seuneubok lada
TRANSCRIPT
1
RESUME BUKU
SEUNEUBOK LADA, ULEËBALANG, DAN KUMPENI: PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI DI DAERAH
BATAS ACEH TIMUR, 1840-1942
Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Pemahaman Fakta Sejarah
Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum.
Oleh
TSABIT AZINAR AHMAD
NIM S860209113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009
2
SEUNEUBOK LADA, ULEËBALANG, DAN KUMPENI:
PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI DI DAERAH BATAS
ACEH TIMUR, 1840-1942
Muhammad Gade Ismail
Dibandingkan dengan beberapa wilayah lain di Aceh, kawasan Aceh timur
adalah daerah yang paling akhir berkembang, padahal daerah ini adalah daerah
yang pertama disebut dalam perkembanga Islam dan Kerajaan Aceh. Kawasan
Aceh Timur terletak di paling ujung pantai timur Aceh. Kawasan Aceh Timur
dikateogrikan sebagai wilayah batas (frontier) terletak di antara dua kesultanan,
yakni Kesultanan Aceh di bagian utara dan Kesultanan Biak di sebelah selatan.
Akan tetapi semenjak terjadi penanaman lada di daerah ini pada tahun 1840 mulai
terjadi perkembangan secara signifikan. Hal ini memberikan dampak terhadap
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di kawasan tersebut.
Penanaman lada di daerah Aceh Timur pertama-tama dilakukan oleh pada
pendatang dari Pasei, Pidie, dan Aceh Besar. Penanaman lada yang dilakukan
ternyata memberikan konttribusi yang positif, sehingga daerah ini kemudian mulai
didatangi oleh para migran dan menjadi salah satu pusat penanaman lada di Aceh.
Dalam perkembanannya di kawasan ini muncul seuneubok-seuneubok, yakni
kompleks perkebunan lada yang terdiri atas 10 sampai 20 kebun lada yang berada
di bawah petua seuneubok.
Perkembangan penanaman lada di kawasan Aceh Timur memberikan
beberapa perubahan. Perubahan pertama perubahan dalam bidang ekonomi yang
disusul dalam bidang politik dengan terbentuknya kenegrian-kenegrian lada di
Aceh Timur sejak tahun 1840. Setelah itu, terjadi beberapa tahap perkembangan
yakni pada periode 1840-1898 yang ditandai dengan aktivitas ekonomi rakyat dan
sumber pemasukan utama dari para uleëbalang yang amat tergantung pada usaha
penanaman lada. Kemudian tahap kedua perkembangan adalah pada 1898-1842
dengan adanya penanaman modal swasta barat yang pada akhirnya memunculkan
dualisme ekonomi.
3
Perkembangan-perkembangan Aceh Timur pada awal abad XIX inilah
yang menjadi kajian awal dari buku ini. Selanjutnya diulas pula tentang akibat
kegiatan ekonomi yang dipusatkan pada penanaman lada. Permasalahan ketiga
yang diangkat dalam buku ini adalah tentang sikap politik para uleëbalang
terhadap kekuasaan Hindia Belanda yang didasarkan pada tanaman lada.
Permasalahan keempat adalah tentang perekonomian rakyat masa pemerintahan
kolonial Belanda, terutama pada masa penanaman modal swasta barat. Kemudian,
permasalahan yang diulas adalah tentang posisi ekonomi uleëbalang dalam masa
penanaman modal swasta barat. Permasalahan keenam yang diulas adalah tentang
pertambahan penduduk sebagai akibat aktivitas ekonomi dan pengarunya terhadap
pembentukan kampung-kampung baru di Aceh Timur.
Perubahan Ekonomi dan Politik
Permasalahan pertama muncul dalam kajian ini adalah tentang
perkembangan Aceh Timur pada abad XIX akibat penanaman lada. Munculnya
usaha penanaman lada sejak awal abad XIX adalah permulaan perkembangan
sosial dan ekonomi di Aceh Timur. Aceh timur dipilih sebagai tempat untuk
pengembangan tanaman lada karena selain kawasan Aceh Timur adalah daerah
yang sesuai untuk tanaman lada, juga karena wilayah ini masih belum
berkembang daripada kawasan lain seperti Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar.
Faktor lain yang menyebabkan berkembangnya penanaman lada di kawasan Aceh
adalah posisi geografis yang terletak di tepi Selat Malaka, sehingga memudahkan
jalur distibusi dalam jaringan perdagangan internasional.
Setelah penanaman lada pada awal abad XIX daerah Aceh Timur baru
berkembang dengan pesat. Hal ini tidak lain disebabkan meningkatnya permintaan
lada di pasaran dunia dan naiknya harga pasaran lada. Hal lain yang cukup
penting adalah karena menurunnya produksi lada dari Banten menjelang akhir
abad XVIII akibat monopoli perdaganan oleh Banten dan berkurangnya peran
pedagang Belanda selama perang-perang Napoleon. Oleh karena permintaan dari
pasar terhadap lada tidak dapat ditawar, hal ini turut mendorong munculnya pusat-
pusat perdagangan lada baru di kawasan pantai barat dan pantai timur Sumatera.
4
Salah satu kawasan pusat penghasil lada di pantai timur Sumatera adalah
kawasan Aceh Timur. Setelah berkembagnnya tanaman lada, terjadi
perkembangan kehidupan ekonomi masyarakat. Keadaan ini berpengaruh
terhadap mobilitas sosial dalam masyarakat ataupun hubungan antara para
penguasa. Pengaruh itu terlihat dari munculnya permukinam-permukiman baru
yang dihuni oleh para pedangan dan penanam lada yang pada awal abad XX
berubah menjadi kampung-kampung penduduk yang bersifat tetap.
Penanaman lada yang berhasil di kawasan Aceh menyebabkan sejumlah
kepala dalam penanaman lada berhasil meningkatkan statusnya sebagai
uleëbalang. Uleëbalang merupakan sebutan bagi para kepala yang berkuasa di
daerah masing-masing, yang mengakui tunduk di bawah kekuasaan Sultan Aceh
yang memperoleh surat pengangkatan secara resmi dari Sultan Aceh yang disebut
sarakata.
Dalam pemberian surakata, Sultan Aceh memiliki kepentingan yakni
dalam usaha melakukan kontrol terhadap kenegrian-kenegrian lada. Selain itu
pemberian surakata oleh sultan berarti uleëbalang tersebut memiliki kewajiban-
kewajiban kepada sultan untuk memberikan wase sultan. Wase sultan merupakan
hak yang dimiliki oleh sultan atas pajak lada yang disetorkan pada tiap tahun.
Dalam pemungutan wase, sultan menugaskan seorang wazir atau mangkubumi di
kawasan tersebut.
Pada awal perkembangan Aceh Timur sebagai kawasan pusat penanaman
lada Sultan Alaudin Syah (1837-1871) melakukan beberapa kebijakan. Pertama ia
mengangkat wakilnya yang disebut wazir atau mangkubumi untuk memungut
waze sultan. Kedua melakukan pengawasan terhadap kapal asing dengan
menempatkan kapal bersenjata di pantai selat malaka. Ketiga mengirimkan
armada laut utuk menegaskan kembali kekuasaannya sampai di kawasan Sumatera
Timur. Kempat adalah menekan negeri-negeri lada yang menolak kekuasaannya,
serta membangun negeri baru, seperti Simpag Ulin dan Tanjung Seumantok.
Kelima adalah mengakui kepala-kepala dalam penanaman lada sebagai
uleëbalang baru, yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan uleëbalangnya.
Perkembangan kawasan penanaman lada mengakibatkan perkembanga
dalam hal kenegrian. Namun demikian, perkembangan kenegrian-kenegrian lada
5
di kawasan Aceh timur mengakibatkan dua pertentangan. Pertama pertentangan
antara petua seuneubok yang ingin menjadi uleëbalang baru dengan uleëbalang
yang berkuasa atas daerah penanaman lada tersebut. Pertentangan kedua terjadi
antar kenegrian karena permasalahan wilayah. Contoh pertentangan tersebut
adalah pertentangan antara Simpang Ulin dan Idi Rayeuk. Dalam masyarakat
Aceh konflik serupa disebut prang pageu atau perang pagar. Konflik ini muncul
disebabkan keinginan uleëbalang menguasai daerah penanaman lada yang lebih
luas, atau karena menuntuk pembayaran wase dari penanaman lada yang dianggap
termasuk ke dalam wilayah kekuasaannya.
Sikap Politik Uleëbalang
Hal yang cukup menarik dari permasalahan uleëbalang dengan pemerintah
Hindia Belanda adalah sikap politik uleëbalang terhadap kekuasaan Hindia
Belanda. Belanda mulai melakukan penetrasi di kawasan Aceh pada tahun 1873
dengan dikeluarkannya ultimatum perang tertanggal 26 Maret oleh F.N.
Nieuwenhuijen, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda untuk Kejaraan Aceh.
Namun ekspedisi pertama gagal. Dalam tahun-tahun berikutnya Belanda
melakukan serangan terhadap Aceh dan berhasil menguasai Masjid Raya Banda
Aceh pada 5 Januari 1874, serta berhasil menguasai istana pada 24 Januari 1874,
sampai pada 31 Januari 1874 Van Swieten mengeluarkan maklumat yang
menyatakan bahwa Kesultanan Aceh menjadi milik Hindia Belanda, karena
berhasil dikalahkan dengan kekuatan senjata. Untuk menguasai kawasan-kawasan
di luar aceh ada tiga strategi yang dilakuan Belanda, yakni pengakuan kedaulatan
dengan jalur diplomasi, blokade pantai, dan terakhir dengan memaklumkan
perang.
Sebagian uleëbalang memilih bekerjasama dan mengakui kekuasaan
Hindia Belanda oleh karena mereka berusaha mempergunakan kekuasaan itu
sebagai alat menghadapi musuh-musuh yang mengancam mereka. Kenegrian yang
memihak Hindia Belanda merupakan yang pada masa kekuasaan sultan menjadi
kenegrian yang tersisih akibat pengangkatan uleëbalang baru. Kenegrian-
kenegrian tersebut merupakan kenegrian yang menolak kekuasaan Sultan Aceh
dan senantiasa bertindak untuk melakukan perlawanan terhadap kenegrian yang
6
ditugasi oleh Sultan Aceh untuk menghancurkannya. Negeri-negeri serupa muncul
dengan tanpa memperoleh bantuan dari Sultan Aceh. Kebutuhan modal untuk
penanaman lada mereka pinjam dari pedagang Cina di Pulau Penang.
Akan tetapi selain ada uleëbalang yang bekerjasama dengan Hindia
Belanda, ada pula uleëbalang yang masih setia kepada Sultan Aceh. Uleëbalang
yang masih setia terhadap sultan melakukan upaya perlawanan terhadap
kekuasaan Hindia Belanda. Modal mereka dapatkan dari dari kalangan Arab,
India, ataupun orang Aceh sendiri.
Permasalahan keempat yang diulas adalah tentang mengenai
perekonomian rakyat pada masa penanaman modal swasta barat. Sejak akhir abad
XIX modal-modal asing mulai dibukakan pintu. Oleh karena itu, daerah Aceh
Timur menjadi daerah pertama Aceh yang menjadi pusat penanaman modal
swasta Barat. Sampai dengan berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda pada 1942,
daerah ini tetap menjadi pusat kegiatan modal-modal swasta Barat. Modal swasta
masuk di Aceh Timur dimulai pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda resmi
membuka Tamiang untu perusahaan-perusahan perkebunan swasta Barat. Selain
itu ada pula perusahaan minyak bumi yang melakukan eksploitasi di kawasan
Tamiang. Masuknya modal swasta Barat ke kawasan Aceh Timur dikarenakan
posisi Aceh Timur yang strategis, jumlah tanah yang luas untuk penanaman karet
dan kelapa sawit, keamanan yang terjamin, serta tesedianya sarana angkutan.
Bekembangnya modal swasta dan munculnya perusahaan-perusahaan telah
mengubah mata pencaharian penduduk. Penduduk tidak hanya terpusat pada
penanaman lada, tetapi juga mulai merambah ke bidang lain, seperti penanaman
kelapa sawit, karet, dan padi. Hal ini dikarenakan pasaran lada mulai jatuh
memasuki awal abad XX dan mencapai puncaknya sejak akhir perang dunia I.
Masuknya modal asing ini menjadi salah satu proses dalam pasifikasi atau
penaklukan Aceh. Tahap pertama pasifikasi adalah tahap pengakuan kekuasaan
Hindia Belanda oleh para uleëbalang. Tahap kedua adalah terhentinya sama sekali
perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan
cara memperbaiki peroekonomian rakyat yang hancur karena perang. Hal ini
menurut Snouck Hurgronje menyebabkan alasan keagamaan yang mewajibkan
menentang kekuasaan Hindia Belanda dapat dikurangi. Hal ini karena rakyat yang
7
merasa wajib mengadakan perlawanan dapat mengganti itu dengan membayar
sejumlah uang atau barang.
Posisi Ekonomi Uleëbalang
Uleëbalang pada masa perkembangan lada memperoleh pendapatan yang
banyak. Pada uleëbalang yang sekaligus bertindak sebagai peutua pangkai
(pemilik modal) mereka memperoleh hak atas lada yang dihasilkan. Minimal ada
tiga pemasukan yang diterima uleëbalang dari penanaman lada, pertama adalah
wase uleëbalang, kedua bagian dari produksi karena ia sebagai pemilik modal,
ketiga keuntungan dalam perdagangan karena perdagangan lada sepenuhnya
berada dalam tangan uleëbalang.
Munculnya perkembangan baru dari penanaman modal swasta barat
menyebabkan pendapatan para uleëbalang menjadi tergantung pada sumber baru,
dari berbagai pajak yang dipungut dari perusahaan-perusahaan swasta Barat.
Keadaan ini terjadi karena sumber pendapatan uleëbalang yang pada masa
sebelumnya pada tanaman lada, kemudian berangsur tanaman lada mengalami
kemunduran. Kegiatan perusahaan-perusahaan swasta Barat di Aceh Timur
sebenarnya memberikan kesempatan kepada para uleëbalang untuk menikmati
pendapatan yang lebih besar. Keadaan ini dengan jelas dapat dilihat pada tahun-
tahun awal dimulainya kegiatan perusahaan itu, seperi Uleëbalang Peureulak yang
menjadi uleëbalang terkaya pada tahun pertama abad XX karena mendapatkan
pemasukan dari pajak perusahaan minyak bumi.
Pendapatan yang besar dari para uleëbalang tidak berlangsung lama. Hal
ini karena penerimaan uleëbalang menjadi berubah sama sekali ketika sistem
administrasi keuangan baru diterapkan, yakni dengan didirikannya landschapskas
(kas kenegrian) di Aceh Timur sejak tahun 1908. Pendirian ini dalam rangka
penyeragaman dan pengaturan keuangan di daerah. Penerimaan uleëbalang
menjadi semakin kecil ketika diterapkannya sistem gaji dan pedirian Bank Kredit
Rakyat (volkscredietbank) untuk Aceh Timur sejak 1915 yang bertujuan untuk
membantu modal pada petani. Hal ini berarti mengurangi pemasukan uleëbalang
dari kegiatan peminjaman modal.
8
Pertambahan Penduduk dan Pertumbuhan Kampung-Kampung
Perkembangan tanaman lada di Aceh Timur berakibat masuknya para
migran ke daerah Aceh Timur. Kemudian seiring dengan berkembangnya
perusahaan-perusahaan asing, hal ini menyebabkan dibutuhkannya tenaga kerja
dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu didatangkan tenaga kerja dari Jawa
yang menyebabkan penduduk Aceh Timur menjadi semakin bertambah dan
heterogen.
Kemudian rencana penghapusan poenale sanctie yang dijalankan secara
berangsur-angsur sejak tahun 1930 menyebabkan pemilik perkebunan khawatir
dalam penyediaan tenaga kerja. Oleh karena itu, mereka mulai mendirikan
kampung-kampungbaru di Aceh Timur. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
tenaga kerja secara mudah dan murah. Dalam perkembangannya, muncul dua kota
akibat penanaman modal swasta Barat, yakni kota Langsa dan Kuala Simpang.