sicupak lada membangun serambi mekkah

2
12 Edisi 8 - 14 Juni 2016 No.3658 Tahun XLVI jelajah Inovasi Tim Jelajah Inovasi berfoto bersama petani lada Lhokseumaweh Kompleks Pemakaman Malikulssaleh, Penyebar Islam Pertama di Indonesia Goa Jepang di Blangpanjang, Lhokseumaweh Kilang Minyak Arun, Lhokseumaweh A da komoditi yang melegenda di Provinsi Nanggroe Aceh Darus- salam (NAD). Tanam- an lada namanya, ia tumbuh di Serambi Mekkah, menjadi bagian penting perjalanan perjuangan rakyatnya. Bermodal sicupak (sicupak: alat ukur masyarakat Aceh yang kira-kira sama dengan 500 gram) bisa ditukar dengan sebuah meriam dari Kesultanan Turki. Ini menandakan begitu bernilainya lada dalam per- dagangan ketika itu. Lalu sekarang bagaimana lada Aceh? Masa keemasan lada Aceh telah berlalu, produksinya menurun drastis hingga nyaris lenyap di kancah perdagangan lada dunia. Namun seperti kata petuah,”sejarah akan terulang lagi”. Semangat inilah yang dipakai oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh untuk kembali membangkitkan kejayaan itu. Pekan lalu, alhamdulillah Jelajah Inovasi berhasil berkunjung di tanah rencong itu. Hujan yang terus mengguyur sebagian besar wilayah NAD tidak melemahkan semangat untuk menguak ber- Sicupak Lada Membangun Serambi Mekkah bagai rintisan kebangkitan lada yang sedang dilaksanakan oleh BPTP Aceh. Selama tiga hari liputan ini berlangsung, Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar, MSi, setia mendampingi sekaligus memberikan berbagai informasi yang diperlukan. Daerah yang menjadi sasaran adalah Kota Lhokseumawe yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara. Untuk sampai ke sana, tim jelajah inovasi membutuhkan waktu sekitar 5 jam dari Banda Aceh untuk tiba di Desa Blang Manyang, Lhokseumawe. Di desa inilah kami menemukan petani yang tiada pernah menyerah untuk menangkarkan bibit dan mengembangkan lada. Dia adalah M. Yusuf (64 tahun) yang telah puluhan tahun bergelut dengan lada dan kini didukung oleh anaknya, Mulyadi Saputra. Bibit lada yang mereka perbanyak kini telah menyebar ke berbagai pelosok Aceh. Saat ini ada sekitar 70.000 bibit siap tanam tersedia di samping rumahnya. Berkolaborasi dengan BPTP Aceh, Dinas Perkebunan dan Politeknik Lhokseumawe, petani lada ini bertekad untuk kembali membangkitkan kejayaan lada. Bagi BPTP Aceh, kendati bukan komoditi prioritas, lada tetap akan menjadi kajian utama penelitian, sehingga lada akan menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat Aceh ke depan. “Kalau dulu Lhokseumawe dikenal sebagai daerah petro dollar dengan Kilang Minyak Arun yang begitu megah, ke depan sumber dollar ini akan digantikan oleh lada” ujar Basri. Optimis itu muncul setelah melihat turunnya kinerja Kilang Minyak Arun akibat cadangan minyaknya yang kian menipis. Ratusan hektar lahan yang tersebar di sekitar kilang minyak itu sangat potensial untuk pengembangan lada. Rekan-rekan jelajah perlu mengetahui bahwa Desa Blang Manyang ini berada di sekitar Kilang Minyak Arun. Setelah BPTP Aceh hadir mendampingi, petani lada di Lhokseumawe semakin yakin lada akan bangkit kembali dan tumbuh menjadi sumber ekonomi. Bermodalkan inovasi yang dibawa, Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Litbang Pertanian ini yakin bisa lebih mengembangkan lada Lhokseumawe. Apalagi Dinas Perkebunan sangat antusias untuk menggelontorkan berbagai program untuk pengembangan lada, begitu juga dengan Politeknik Lhokseumawe siap untuk mendampingi petani. Aroma kejayaan lada Aceh itu semakin terasa setelah penjelajahan ini menguak berbagai informasi dan sikap berbagai pihak yang terkait dengan pembangunan lada. Semoga, legenda lada kembali ke Serambi Mekkah. Silahkan Mampir Rekan-rekan jelajah tanah air yang sempat ke tanah rencong jangan sampai lupa untuk berkunjung ke berbagai lokasi wisata di sana. Jika masih ada yang ingat dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia, maka jangan lupa untuk ziarah ke makan Malikussaleh. Beliau merupakan sultan pertama kerajaan Islam pertama di Nusantara yakni Malikussaleh yang memerintah mulai tahun 1267 M, dengan nama aslinya adalah Meurah Silu. Setelah ziarah, rekan-rekan jelajah bisa melanjutkan pelan- congan ke Bukit Goa Jepang. Dari atas bukit inilah kita bisa menyaksikan pemandangan kawasan Kilang Minyak Arun dan masuk ke dalam Goa Jepang. Lis B alai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh sejak tahun 2001 telah melakukan serangkaian penelitian untuk komoditas lada seperti pengujian beberapa jenis mulsa terhadap pertumbuhan lada perdu, jenis tiang panjat dan pengendalian hama penyakit. Pasca tsunami tahun 2004, praktis pengkajian tentang lada mulai berkurang karena termasuk tanaman perkebunan yang memerlukan waktu lebih dari setahun ( multi year). Lada (Piper nigrum L.) bagi masyarakat Aceh merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan sejak 400 tahun lalu bahkan terkenal sampai ke Eropa (Lihat Box) . Daerah penyebarannya terutama di daerah pesisir utara - timur Aceh meliputi Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, sedangkan pesisir barat Aceh, lada banyak ditanam di Aceh Barat dan Aceh Selatan. Luas areal lada di Aceh turun drastis sejak lima puluh tahun terakhir akibat serangan hama dan penyakit terutama penyakit layu dan penyakit keriting daun. Pada tahun 1997 luas areal lada hanya tinggal 2.130 ha, sedangkan sebelum terjadi serangan hama penyakit, luas areal tanaman lada mencapai 19.932 ha. Dengan harga jual yang relatif lumayan, membuat animo masyarakat untuk menanam lada tumbuh kembali. Kini diperkirakan luas tanaman lada di Aceh sekitar 1.500 ha. Petani lada mengaku mudah sekali menjual hasil olahan lada putih dengan harga Rp 160.000 – 180.000/ kg, sedangkan lada hitam dilepas dengan harga Rp A ceh nyaris identik dengan lada, karena kalau kita buka lembaran sejarah masa lalu, Aceh dikenal sampai ke Eropa karena rempah terutama lada, pala dan cengkeh. Dikisahkan, hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama kali dibangun oleh Sultan Ali Ri’ayatsyah Al Qahhar yang memerintah dari tahun 1557-1568. Pada masa itu, Sultan Salim Khan dari Turki mengikat perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Aceh dan mengirim 40 orang ahli artileri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh. Perjanjian persahabatan terus berlanjut pada masa Aceh di bawah Sultan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1586. Bahkan, pada masa itu Turki menjamin dan melindungi Kerajaan Aceh dari gangguan pihak lain. Kemudian saat tahta Turki dipegang oleh Sultan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan lagi oleh sultan Aceh berikutnya yakni Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil yang memerintah pada tahun 1588-1604. Sejarahwan H. Zainuddin menjelaskan hubungan Aceh - Turki agak merenggang pada masa Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda, karena lebih fokus membangun urusan dalam negeri setelah Aceh hancur dalam perang di semenanjung Malaka. Setelah rakyat Aceh benar-benar makmur, Sultan Iskandar Muda kembali membuka hubungan dengan Turki dengan menyiapkan tiga buah kapal berisi lada yang akan diserahkan ke sultan Turki sebagai hadiah dari rakyat Aceh dengan surat pengantar dalam bahasa Arab. Sultan Iskandar Muda mengutus Panglima Nyak Dum sebagai duta ke Turki bersama dua orang ahli bahasa. Singkat cerita, dalam perjalanan menuju ke Turki, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai ke Calcuta. Beberapa lama kemudian, setelah normal kembali, mereka melanjutkan pelayaran menyusuri pantai Coromondal kemudian sampai ke Madras yang akhirnya sampai ke Turki dengan menghabiskan waktu hampir dua tahun. Akibat lamanya pelayaran, maka bekal yang dibawapun sudah habis, sehingga lada yang akan dipersembahkan untuk Sultan Turki terpaksa dijual di Bombay. Lada yang tersisa saat itu hanya sepuluh goni saja. Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada (sekitar 800 gram) dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada Sultan Turki dari Sultan Aceh seraya meminta maaf karena mereka mendapat musibah dalam perjalanan. Sultan Turki memaklumi hal itu, bahkan rombongan delegasi Aceh disambut dengan meriah seperti tamu agung. Saat Panglima Nyak Dum dan rombongannya pamit kembali ke Aceh, maka sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sultan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-alat perang untuk Sultan Aceh. Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Sicupak adalah takaran umum masyarakat Aceh untuk setengah liter atau dua kai. Menurut sumber sejarah, dengan bantuan Turki, angkatan perang Aceh bertambah kuat. Senjata-senjata yang dirampas dari Portugis saat penyerangan di Pidie dan Pasai ditambah dengan bantuan Turki membuat militer Aceh menjadi kekuatan yang tangguh. Baskar/ dbs Kisah Meriam Lada Sicupak Basri A Bakar Introduksi Inovasi Bangkitkan Lada Aceh 120.000/ kg. Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar, MSi melihat tanaman lada sangat prospektif dikembangkan karena tidak menghendaki lingkungan tumbuh yang khusus dan perawatan yang rumit. Menurut Basri, lada Aceh perlu dijaga kelestariannya dari kepunahan karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas. ”Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut agar petani lada di Aceh dapat meningkatkan produksi yang lebih baik, sehingga dapat menambah pendapatan dan kesejahteraan mereka sekaligus mengangkat kembali kejayaan Aceh dalam budidaya lada”, pintanya. Untuk itu BPTP Aceh akan memperkenalkan kembali lada sebagai salah satu komoditi strategis dan bernilai ekonomis dalam even pameran terutama acara Pekan Daerah dan Pekan Nasional Kontaktani Nelayan Andalan (KTNA) dalam waktu dekat di Aceh Besar. Ia menghimbau agar lada Aceh perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait. “Jangan sampai lada Aceh hilang dari Aceh sendiri. Di Aceh ada nama Kampung Lada, tapi justru tanaman ladanya tidak lagi ditemukan,” ujarnya prihatin. Disebutkan saat ini BPTP Aceh mulai melakukan pembinaan terhadap penangkar lada, salah satunya M. Yusuf ketua kelompok tani di Desa Blang Manyang Kota Lhokseumawe yang saat ini melakukan pembibitan sekitar 70.000 bibit lada siap tanam. Guna memasyarakatkan kembali lada, pihaknya memboyong sebanyak 50 batang lada untuk ditanam di lahan visitor plot BPTP termasuk lokasi Taman Teknologi Pertanian (TTP) Kota Jantho Aceh Besar. Basri menambahkan, produktivitas lada yang saat ini relatif masih rendah dapat ditingkatkan melalui sentuhan teknologi seperti pemupukan berimbang, pemangkasan, pengendalian hama penyakit dan prosesing hasil yang lebih baik. Saat ini rata-rata perolehan hasil lada putih sekitar 1 kg per batang per tahun. “Tahun 2017, kita akan usulkan dana pengkajian lada baik APBN maupun APBA,” ujar Basri. Untuk tahun ini, BPTP Aceh mengkaji prospek penanaman lada di lahan bekas tambang. Selain itu, salah satu kerjasama yang telah dirintis BPTP adalah dengan Politeknik Lhokseumawe terutama kajian tanaman lada Aceh. Lis

Upload: bobby-denil-lesmana

Post on 11-Apr-2017

45 views

Category:

Government & Nonprofit


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sicupak Lada Membangun Serambi Mekkah

12 Edisi 8 - 14 Juni 2016 No.3658 Tahun XLVIjelajah Inovasi

Tim Jelajah Inovasi berfoto bersama petani lada Lhokseumaweh

Kompleks Pemakaman Malikulssaleh, Penyebar Islam Pertama di Indonesia Goa Jepang di Blangpanjang, Lhokseumaweh

Kilang Minyak Arun, Lhokseumaweh

Ada komoditi yang melegenda di Provinsi Nanggroe Aceh Darus-salam (NAD). Tanam-

an lada namanya, ia tumbuh di Serambi Mekkah, menjadi bagian penting perjalanan perjuangan rakyatnya. Bermodal sicupak (sicupak: alat ukur masyarakat Aceh yang kira-kira sama dengan 500 gram) bisa ditukar dengan sebuah meriam dari Kesultanan Turki. Ini menandakan begitu bernilainya lada dalam per-dagangan ketika itu.

Lalu sekarang bagaimana lada Aceh? Masa keemasan lada Aceh telah berlalu, produksinya menurun drastis hingga nyaris lenyap di kancah perdagangan lada dunia. Namun seperti kata petuah,”sejarah akan terulang lagi”. Semangat inilah yang dipakai oleh Balai Pengkajian Tekno logi Pertanian (BPTP) Aceh untuk kembali membangkitkan kejayaan itu.

Pekan lalu, alhamdulillah Jelajah Inovasi berhasil berkunjung di tanah rencong itu. Hujan yang terus mengguyur sebagian besar wilayah NAD tidak melemahkan semangat untuk menguak ber-

Sicupak Lada Membangun Serambi Mekkahbagai rintisan kebangkitan lada yang sedang dilaksanakan oleh BPTP Aceh. Selama tiga hari liputan ini berlangsung, Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar, MSi, setia mendampingi sekaligus memberikan berbagai informasi yang diperlukan.

Daerah yang menjadi sasaran adalah Kota Lhokseumawe yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara. Untuk sampai ke sana, tim jelajah inovasi membutuhkan waktu sekitar 5 jam dari Banda Aceh untuk tiba di Desa Blang Manyang, Lhokseumawe. Di desa inilah kami menemukan petani yang tiada pernah menyerah untuk menangkarkan bibit dan mengembangkan lada. Dia adalah M. Yusuf (64 tahun) yang telah puluhan tahun bergelut dengan lada dan kini didukung oleh anaknya, Mulyadi Saputra. Bibit lada yang mereka perbanyak kini telah menyebar ke berbagai pelosok Aceh. Saat ini ada sekitar 70.000 bibit siap tanam tersedia di samping rumahnya.

Berkolaborasi dengan BPTP Aceh, Dinas Perkebunan dan Politeknik Lhokseumawe, petani

lada ini bertekad untuk kembali membangkitkan kejayaan lada. Bagi BPTP Aceh, kendati bukan komoditi prioritas, lada tetap akan menjadi kajian utama penelitian, sehingga lada akan menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat Aceh ke depan. “Kalau dulu Lhokseumawe dikenal sebagai daerah petro dollar dengan Kilang Minyak Arun yang begitu megah, ke depan sumber dollar ini akan digantikan oleh lada” ujar Basri.

Optimis itu muncul setelah

melihat turunnya kinerja Kilang Minyak Arun akibat cadangan minyaknya yang kian menipis. Ratusan hektar lahan yang tersebar di sekitar kilang minyak itu sangat potensial untuk pengembangan lada. Rekan-rekan jelajah perlu mengetahui bahwa Desa Blang Manyang ini berada di sekitar Kilang Minyak Arun.

Setelah BPTP Aceh hadir mendampingi, petani lada di Lhokseumawe semakin yakin lada akan bangkit kembali dan tumbuh menjadi sumber ekonomi. Bermodalkan inovasi yang dibawa, Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Litbang Pertanian ini yakin bisa lebih mengembangkan lada Lhokseumawe. Apalagi Dinas Perkebunan sangat antusias untuk menggelontorkan berbagai program untuk pengembangan lada, begitu juga dengan Politeknik Lhokseumawe siap untuk mendampingi petani.

Aroma kejayaan lada Aceh itu semakin terasa setelah penjelajahan

ini menguak berbagai informasi dan sikap berbagai pihak yang terkait dengan pembangunan lada. Semoga, legenda lada kembali ke Serambi Mekkah.

Silahkan Mampir Rekan-rekan jelajah tanah air

yang sempat ke tanah rencong jangan sampai lupa untuk berkunjung ke berbagai lokasi wisata di sana. Jika masih ada yang ingat dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia, maka jangan lupa untuk ziarah ke makan Malikussaleh. Beliau merupakan sultan pertama kerajaan Islam pertama di Nusantara yakni Malikussaleh yang memerintah mulai tahun 1267 M, dengan nama aslinya adalah Meurah Silu.

Setelah ziarah, rekan-rekan jelajah bisa melanjutkan pelan-congan ke Bukit Goa Jepang. Dari atas bukit inilah kita bisa menyaksikan pemandangan kawas an Kilang Minyak Arun dan masuk ke dalam Goa Jepang. Lis

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh sejak tahun 2001 telah melakukan serangkaian

penelitian untuk komoditas lada seperti pengujian beberapa jenis mulsa terhadap pertumbuhan lada perdu, jenis tiang panjat dan pengendalian hama penyakit. Pasca tsunami tahun 2004, praktis pengkajian tentang lada mulai berkurang karena termasuk tanaman perkebunan yang memerlukan waktu lebih dari setahun (multi year).

Lada (Piper nigrum L.) bagi masyarakat Aceh merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan sejak 400 tahun lalu bahkan terkenal sampai ke Eropa (Lihat Box). Daerah penyebarannya terutama di daerah pesisir utara - timur Aceh meliputi Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, sedangkan pesisir barat Aceh, lada banyak ditanam di Aceh Barat dan Aceh Selatan.

Luas areal lada di Aceh turun drastis sejak lima puluh tahun terakhir akibat serangan hama dan penyakit terutama penyakit layu dan penyakit keriting daun. Pada tahun 1997 luas areal lada hanya tinggal 2.130 ha, sedangkan sebelum terjadi serangan hama penyakit, luas areal tanaman lada mencapai 19.932 ha. Dengan harga jual yang relatif lumayan, membuat animo masyarakat untuk menanam lada tumbuh kembali. Kini diperkirakan luas tanaman lada di Aceh sekitar 1.500 ha. Petani lada mengaku mudah sekali menjual hasil olahan lada putih dengan harga Rp 160.000 – 180.000/ kg, sedangkan lada hitam dilepas dengan harga Rp

Aceh nyaris identik dengan lada, karena kalau kita buka lembaran sejarah masa lalu, Aceh dikenal sampai ke Eropa karena rempah

terutama lada, pala dan cengkeh. Dikisahkan, hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama kali dibangun oleh Sultan Ali Ri’ayatsyah Al Qahhar yang memerintah dari tahun 1557-1568. Pada masa itu, Sultan Salim Khan dari Turki mengikat perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Aceh dan mengirim 40 orang ahli artileri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh.

Perjanjian persahabatan terus berlanjut pada masa Aceh di bawah Sultan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1586. Bahkan, pada masa itu Turki menjamin dan melindungi Kerajaan Aceh dari gangguan pihak lain. Kemudian saat tahta Turki dipegang oleh Sultan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan lagi oleh sultan Aceh berikutnya yakni Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil yang memerintah pada tahun 1588-1604.

Sejarahwan H. Zainuddin menjelaskan hubungan Aceh - Turki agak merenggang pada masa Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda, karena lebih fokus membangun urusan dalam negeri setelah Aceh hancur dalam perang di semenanjung Malaka. Setelah rakyat Aceh benar-benar makmur, Sultan Iskandar Muda kembali membuka hubungan dengan Turki dengan menyiapkan tiga buah kapal berisi lada yang akan diserahkan ke sultan Turki sebagai hadiah dari rakyat Aceh dengan surat pengantar dalam bahasa Arab. Sultan Iskandar Muda mengutus Panglima Nyak Dum sebagai duta ke Turki bersama dua orang ahli bahasa.

Singkat cerita, dalam perjalanan menuju ke Turki, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai ke Calcuta. Beberapa lama kemudian, setelah normal kembali, mereka melanjutkan pelayaran menyusuri pantai Coromondal kemudian sampai ke Madras yang akhirnya sampai ke Turki dengan menghabiskan waktu hampir dua tahun.

Akibat lamanya pelayaran, maka bekal yang dibawapun sudah habis, sehingga lada yang akan dipersembahkan untuk Sultan Turki terpaksa dijual di Bombay. Lada yang tersisa saat itu hanya sepuluh goni saja. Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada (sekitar 800 gram) dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada Sultan Turki dari Sultan Aceh seraya meminta maaf karena mereka mendapat musibah dalam perjalanan. Sultan Turki memaklumi hal itu, bahkan rombongan delegasi Aceh disambut dengan meriah seperti tamu agung.

Saat Panglima Nyak Dum dan rombongannya pamit kembali ke Aceh, maka sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sultan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-alat perang untuk Sultan Aceh. Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Sicupak adalah takaran umum masyarakat Aceh untuk setengah liter atau dua kai. Menurut sumber sejarah, dengan bantuan Turki, angkatan perang Aceh bertambah kuat. Senjata-senjata yang dirampas dari Portugis saat penyerangan di Pidie dan Pasai ditambah dengan bantuan Turki membuat militer Aceh menjadi kekuatan yang tangguh. Baskar/ dbs

Kisah Meriam Lada Sicupak Basri A BakarIntroduksi Inovasi Bangkitkan Lada Aceh

120.000/ kg.Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A.

Bakar, MSi melihat tanaman lada sangat prospektif dikembangkan karena tidak menghendaki lingkungan tumbuh yang khusus dan perawatan yang rumit. Menurut Basri, lada Aceh perlu dijaga kelestariannya dari kepunahan karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas. ”Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut agar petani lada di Aceh dapat meningkatkan produksi yang lebih baik, sehingga dapat menambah pendapatan dan kesejahteraan mereka sekaligus mengangkat kembali kejayaan Aceh dalam budidaya lada”, pintanya.

Untuk itu BPTP Aceh akan memperkenalkan kembali lada sebagai salah satu komoditi strategis dan bernilai ekonomis dalam even pameran terutama acara Pekan Daerah dan Pekan Nasional Kontaktani Nelayan Andalan (KTNA) dalam waktu dekat di Aceh Besar. Ia menghimbau agar lada Aceh perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait. “Jangan sampai lada Aceh hilang dari Aceh sendiri. Di Aceh ada nama Kampung Lada, tapi justru tanaman ladanya tidak lagi ditemukan,” ujarnya prihatin.

Disebutkan saat ini BPTP Aceh mulai melakukan pembinaan terhadap penangkar lada, salah satunya M. Yusuf ketua kelompok tani di Desa Blang Manyang Kota Lhokseumawe yang saat ini melakukan pembibitan sekitar 70.000 bibit lada siap tanam. Guna memasyarakatkan kembali lada, pihaknya memboyong sebanyak

50 batang lada untuk ditanam di lahan visitor plot BPTP termasuk lokasi Taman Teknologi Pertanian (TTP) Kota Jantho Aceh Besar.

Basri menambahkan, produktivitas lada yang saat ini relatif masih rendah dapat ditingkatkan melalui sentuhan teknologi seperti pemupukan berimbang, pemangkasan, pengendalian hama penyakit dan prosesing hasil yang lebih baik. Saat ini rata-rata perolehan hasil lada putih sekitar 1 kg per batang per tahun. “Tahun 2017, kita akan usulkan dana pengkajian lada baik APBN maupun APBA,” ujar Basri. Untuk tahun ini, BPTP Aceh mengkaji prospek penanaman lada di lahan bekas tambang. Selain itu, salah satu kerjasama yang telah dirintis BPTP adalah dengan Politeknik Lhokseumawe terutama kajian tanaman lada Aceh. Lis

Page 2: Sicupak Lada Membangun Serambi Mekkah

13Edisi 8 - 14 Juni 2016 No.3658 Tahun XLVI jelajah Inovasi

Jelajah Inovasi ke Nangroe Aceh Darussalam kali ini memang cukup berkesan. Pasalnya ketika melintas

di Kabupaten Pidie Jaya, tim jelajah berkesempatan mampir di warung Coklat ‘Socolatte’ dan sekaligus bertemu dengan pemi-liknya, Irwan Ibrahim (45 tahun).

Menurut Irwan yang status aslinya petani coklat itu, tahun 2003 adalah tahun pertama pencetusan ide untuk mengolah coklat. Ide ini muncul di tengah

M. Yusuf

M. Yusuf bersama istri

“Untuk masyarakat Aceh yang ingin mengem bangkan lada, saya akan

kasih bibitnya secara gratis, minimal tiga bibit tiap rumah,” begitu semangat M. Yusuf Yahya (64 tahun), Ketua Kelompoktani Lada “Endatu” di Desa Blang Panyang, Lhok seumawe demi kembalinya masa kejayaan lada di Aceh.

Bagi Yusuf, lada adalah komoditi asli dan bernilai sejarah bagi Aceh, sehingga komoditi ini tidak boleh hilang dari bumi

rencong. Bahkan, setelah melihat kinerja kilang minyak Arun yang semakin menurun, dia sangat yakin ke depan lada yang akan menjadi penggantinya.

Desa tempat Yusuf berdomisili memang tidak jauh dari kilang minyak itu hanya terpaut dengan pagar dan jalan raya, sehingga wajar bila ia banyak tahu soal bagaimana pola kehidupan masyarakat ketika kilang tersebut masih berproduksi normal. Menurutnya, ketika kilang itu masih berjaya, masyarakat disini seolah-olah lupa daratan. “Hanya sedikit orang yang peduli dengan pertanian seperti lada. Bahkan, di saat saya memulai mengembangkannya lada, banyak yang menganggap ini pekerjaan yang sia-sia dan tidak menguntungkan,” kenangnya.

Namun saat ini, setelah kilang tidak bisa berjalan optimal dan memberhentikan ribuan karyawan, barulah masyarakat berpikir tentang apa komoditi yang cocok untuk ditanami. Sementara kebun lada yang telah dia rintis sejak lama itu kini bisa

membuktikan bahwa dollar juga bisa diperoleh dari lada.

Sebagai tanda keseriusannya membangun lada, April 2016 lalu dia memberikan bantuan bibit lada untuk dikembangkan di Kebun Bibit Induk Sumber Daya Genetik (SDG) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh ditandai dengan pemancangan tiang panjat oleh Kepala BPTP Aceh Ir. Basri A. Bakar, MSi.

Menurutnya, lada Aceh perlu dijaga kelestariannya dari kepu-nahan karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas. Untuk itu BPTP Aceh diharapkan akan memperkenalkan kembali lada sebagai salah satu komoditi stra-tegis dan bernilai ekonomis dalam even pameran terutama acara Pekan Daerah dan Pekan Nasional dalam waktu dekat di Aceh Besar.

Ia menghimbau agar lada Aceh perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait. “Jangan sampai lada Aceh hilang dari Aceh sendiri. Di Aceh ada nama Kampung Lada, tapi justru tanaman ladanya tidak ada,” ujar Basri dengan nada prihatin. Lis

Dinas Perkebunan Lhok-seumawe sangat antusias dengan hadirnya BPTP Aceh dalam mengawal

inovasi teknologi pengembangan lada. Apalagi daerah ini telah ditetapkan sebagai daerah sentra lada.

Sejak tahun 2013 - 2015 telah berhasil dilakukan penambahan luas tanaman lada mencapai 50 hektar. Perluasan lada ini akan terus dilakukan dengan memanfaatkan berbagai potensi lahan, mulai dari lahan tidur hingga lahan pekarangan. Ini artinya, kendati hanya sejengkal, tanah Lhokseumawe dipergunakan untuk lada.

“Kami juga sadar bahwa kota Lhokseumawe ini tidak luas, hanya 4 kecamatan namun 3 kecamatan yang punya potensi untuk lada. Tiap tahun, Dinas Perkebunan sudah menargetkan terjadi penambahan luas tanam. Saat ini minat masyarakat semakin besar untuk menanam lada,” ujar Fauzan Nur, SP, Kepala Seksi Perkebunan Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Lhokseumawe.

Untuk lahan pekarangan, pihaknya berharap agar setiap rumah memiliki 3 - 5 pot lada perdu. Sedangkan untuk lahan tidur, menurutnya ada sekitar 1000 hektar lahan tidur yang bisa dimanfaatkan untuk penanaman lada. Lis

Fauzan Nur

Tokoh muda ini cukup bersemangat ketika diajak bicara soal lada. Namanya Mulyadi

Saputra, AMd, Pengurus Koperasi Agro Endatu Mulya (KAEM). Mulyadi sekaligu menjadi petani penangkar lada di Desa Blang Manyang, Kota Lhokseumawe.

Lada baginya adalah bagian hidup dari keluarga besarnya. Orang tua dan mertuanya dikenal sebagai petani-petani lada, sehingga di tangan anak muda ini pola dan cara pengembangan lada semakin modern. Ia juga tak segan-segan mengeluarkan biaya sendiri mengikuti seminar lada tahun lalu yang diselenggarakan Balittro Bogor.

“Selama ini tanaman lada hanya dibudidayakan secara tradisional, minim sentuhan teknologi. Maka saya berpendapat bahwa untuk lebih memajukan lada, inovasi teknologi menjadi kuncinya,” kata Mulyadi.

Seperti ‘pucuk dicinta ulampun tiba’ keinginannya menempatkan teknologi menjadi kunci sukses, terjawab dengan hadirnya BPTP sebagai sumber teknologinya. Inovasi yang telah dikembangkannya di antaranya adalah lada perdu dan ‘lada berjalan’.

Khusus untuk lada berjalan, menurutnya inovasi ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan lahan dan ‘portable’ (bisa dipindahkan kapan saja). Caranya adalah menanam lada di dalam pot kemudian diberi ‘tajar’ (tiang panjat) yang terbuat dari pipa paralon yang dililit dengan ijuk.

Nilai ladaMulyadi sangat antusias dengan berkembangnya lada di

Lhokseumawe, pasalnya komoditi ini bisa membantu pendapatan keluarga petani. Berdasarkan pengalamannya, untuk satu hektar bisa ditanami 2000 pohon, hasilnya bisa mencapai 1,5 ton. Untuk satu pohon dengan tinggi tiang panjat mencapai 2 meter lebih, bisa menghasilkan sekitar 10 kg lada basah atau kalau diolah menjadi lada putih bisa mencapai lebih dari 1,5 kg per pohon dan 3 kg lada hitam. Menurut Mulyadi, saat ini harga lada putih mencapai Rp.160.000/ kg dan lada hitam sekitar Rp 120.000/ kg.

Menurut perhitungan mereka, jika lada ini diusahakan dalam luasan satu hektar, diperkirakan akan memperoleh omzet sebesar Rp 180 juta per hektar per tahun untuk lada yang berumur 10 tahun.

Mulyadi berjanji akan terus berusaha dan berupaya agar lada Aceh bisa membumi lagi. Sebab katanya, dunia luar membutuhkan lada dalam jumlah besar. Sementara petani belum mampu memenuhi permintaan pasar dunia, karena selain keterbatasan lahan yang dimiliki, juga petani masih belum mengenal teknologi budidaya lada yang menguntungkan. Dari keterbatasan tersebut Mulyadi berharap agar BPTP Aceh turut berperan serta dalam melakukan kajian khusus tentang lada sehingga melalui kajian tersebut dapat membantu petani dalam meningkatkan produksi lada.

Ia bersama tujuh petani penangkar lainnya telah menyiapkan kebun bibit induk pada lahan seluas 2,65 hektar di desa Blang Panyang Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe. Abda/Lis

Mulyadi Saputra

Kalau Bukan Kita Siapa Lagi

Untuk mencapai kebang-kitan lada Aceh ada dua pihak yang juga siap untuk memberikan

dukungan, yakni Politeknik Lhok-seumawe dan Asosiasi Lada Aceh.

Menurut Muhamad Sulaiman, Ketua Asosiasi Lada Aceh, memang lada ini sudah tidak banyak digeluti oleh masyarakat. Namun

saat ini, semangat petani sudah kembali untuk menanam lada. Tahap awal dalam mendukung kebangkitan lada ini adalah bibit. “Saya sangat gembira dengan keberhasilan yang dicapai oleh penangkar di desa Blang Panyang ini,” ujarnya.

Dia menjelaskan, sebelumnya bibit lada ini didatangkan dari luar

Akademisi dan Asosiasi Lada Siap MendukungAceh dan harganya bisa mencapai Rp 12.000 - 25.000, sementara di penangkar hanya Rp 5.000 – 8.000 per polybag.

Tentang asosiasi, menurut Sulaiman berperan dalam melaku-kan penataan petani lada dan mem bantu pemasaran lada milik petani.

Sementara itu dukungan juga datang dari Politeknik Lhok seumawe, Menurut Aka-demisi dari perguruan tinggi itu yang sekaligus Ketua Forum Komunitas Hijau Lhokseumawe, Hendi Suhaemi, tata ruang hijau itu sekitar 30 persen. Dari perssentase itu sekitar 10 persen bisa dikembangkan lada. Peran aka demisi akan menggerakkan mahasiswa untuk memberikan pendampingan kepada petani lada sehingga tumbuh menjadi ekonomi keluarga. Lis

Irwan Ibrahim

Jangan Lupa Minum Coklat Pidie Jaya

Dari Lhokseumawe Lada Menyebar ke Seluruh Aceh

Muhamad Sulaiman Hendi Suhaemi

keputus asaan petani menghadapi berbagai persoalan coklat. “Saya berpikir, tanpa diolah maka nilai tam bah coklat sangat rendah,” katanya.

Ia berkisah, awalnya warung olahan coklat miliknya ini diter-tawakan banyak orang. “Ada yang ngomong, kamu gila bikin warung coklat di tengah masyarakat peminum kopi. Namun bagi saya kalau orang itu masih buka mulut, maka peluang pasar warung coklat pasti besar. Alhamdulilah, saat ini

omzet penjualan minuman dan olahan coklat sudah bisa men-capai Rp. 40 juta per bulan,” ujarnya gembira.

Bagi rekan-rekan yang sempat melintas kabupaten ini jangan lupa untuk mampir untuk menikmati minuman coklat. Warung yang merupakan salah satu binaan BPTP Aceh ini berada di jalan Medan - Banda Aceh KM 138 Baroh Musa, Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya.

Lis

Sejengkal Tanah Lhokseumawe untuk Lada