senin, 18 april 2011 susi, kartini, dan empat pilar pendidikan filemi ring masyarakat di seke...

1
“Jika Anda mendidik seorang lelaki, Anda mendidik seorang in- dividu, tetapi jika Anda mendidik seorang gadis, Anda mendidik sebuah komunitas.” (Greg Mortenson, Three Cups of Tea) A PRIL selalu identik dengan RA Kartini, sosok perempuan yang berjuang un- tuk kemajuan kaumnya dan menginspirasi banyak kaum perempuan Indonesia untuk dapat mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Apa yang Kartini perjuangkan ada- lah upaya mendobrak pikiran kolot yang menganggap perem- puan hanya berurusan dengan tugas dapur, mengasuh anak, dan melayani suami. Itu sebuah perjuangan yang berujung pada kesempatan mengenyam pendidikan tanpa dibatasi jenis kelamin. Namun, apakah pen- didikan atau sekolah di negeri ini, benar-benar sudah mampu untuk memajukan pemikiran kaum perempuan? Saya yakin setiap sekolah mempunyai cara tersendiri un- tuk membuat para siswa maju dalam pemikiran dan kede- wasaan. Cara yang mampu membuat siswa yang tadinya biasa-biasa saja menjadi siswa luar biasa. Sekolah Sukma Bangsa adalah salah satu seko- lah yang diakui siswanya seba- gai sekolah yang mampu mem- buat mereka menjadi merasa lebih baik daripada sekadar sekolah lain, baik dari segi pergaulan, motivasi belajar, dan kematangan berpikir. Setidaknya, itulah yang di- percaya Susi Maulita, gadis yang lahir di Desa Mon Mata, Kecamatan Krueng Sabee, Ka- bupaten Aceh Jaya, pada 21 Agustus 1993. Pada saat masuk Sekolah Sukma Bangsa, 10 Juli 2006, Susi hanyalah siswa biasa-biasa saja. Susi kecil yang terlahir dari keluarga yang serbakekurangan tinggal ber- sama ibu kandung dan ayah tirinya. Ayah dan ibunya su- dah bercerai sejak Susi dalam kandungan. Pekerjaan ayah tiri Susi sebagai kuli pemotong kayu membuatnya harus turut tinggal di kawasan hutan. Sebuah keadaan yang jauh dari kemewahan dan justru selalu berdekatan dengan bahaya. Lokasi tempat tinggal keluarga membuat mereka sering diang- gap menjadi bagian dari ke- lompok separatis di Aceh yang sedang bergolak saat itu. Keadaan itu memuncak ke- tika pada suatu hari keluarga Susi dipaksa mengungsi, meny- usul tekanan dari aparat yang memberi peringatan terakhir bagi penduduk yang merasa tidak terlibat kelompok separa- tis untuk meninggalkan hutan. Pada masa pengungsian itu Susi dibawa untuk tinggal ber- sama ayah kandungnya. Ayah kandung Susi menganggap kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi Susi akan se- makin mustahil jika terus ting- gal bersama ayah tirinya. Sejak saat itulah Susi mera- sakan bangku sekolah dasar. Sejak saat itu pulalah ia tidak bertemu lagi dengan ibu kan- dungnya, sampai saat ketika ia harus mengidentikasi jenazah ibunya yang meninggal akibat tsunami pada 2004. Pengalaman hidup dan ber- sekolah di masa konik mem- buat Susi mempunyai trauma tersendiri dengan orang yang datang dari latar belakang budaya lain. Bagi Susi, tentara dan aparat keamanan lainnya yang saat itu selalu berbahasa Indonesia adalah represen- tasi dari penindasan, kejahatan, dan kekejaman. Terlebih ketika ia menyaksikan sekolahnya dibakar habis oleh tentara di masa konik. Kebiasaan para tentara untuk selalu berbahasa Indonesia dan asal daerah me- reka yang kebanyakan dari Jawa membuat Susi memiliki kebencian tersendiri terhadap orang Jawa. Kebencian itu semakin akut oleh anggapan miring masyarakat di sekeli- lingnya tentang ‘tentara Jawa’. Masa awal tinggal di as- rama dan bersekolah di Seko- lah Sukma Bangsa bukan hal yang membahagiakan buat Susi. Baginya, bersekolah di tempat yang baru adalah sebuah keterpaksaan. Perasaan trauma masa kon- flik kembali menghantui- nya setiap kali dia mende- ngar pa- ra guru- nya ber- bicara dengan meng- guna- kan ba- hasa In- donesia. Susi sering berpura-pu- ra tidur untuk menghin- dari pem- bicaraan dengan guru- nya. Bukan karena dia canggung dengan para guru, melainkan lebih karena canggung de- ngan bahasa Indonesia yang digunakan guru-gurunya. Baginya, bahasa Indonesia adalah bahasa ‘tentara Jawa’ yang hanya meninggalkan mimpi buruk di masa kecil- nya. Kepercayaan diri Kebiasaan berpura-pura tidur saat guru berkunjung ternyata diperhatikan teman sekamarnya. Berkat teman sekamarnyalah akhirnya Susi mulai mau belajar berbahasa Indonesia. Setelah mulai mera- sa nyaman dengan mengguna- kan bahasa Indonesia, Susi mulai berani untuk berbicara dan membangun ke- percayaan kepada se- bagian gurunya yang berasal dari luar Aceh. Kemauan untuk membuka diri itulah yang membuat Susi belajar banyak hal. Termasuk tentu saja pe- nerimaan dirinya terhadap ‘orang Jawa’ yang sekarang menjadi gurunya di Sekolah Sukma Bangsa. Kemauan Susi untuk membu- ka diri diperkuat kepercayaan dirinya yang terus tumbuh. Susi memiliki talenta suara yang bagus. Suara yang dikena- li teman-temannya saat ia ber- senandung di kamar mandi. Senandung di kamar mandi itulah yang kemu- dian mem- bawa Susi memenangi perlombaan menyanyi antarkelas di sekolah. Ke- menangan itu makin mem- buatnya merasa dihargai dan per- caya diri, terlebih saat ia terpilih men- jadi syeikh--penyanyi utama--pada kelompok tari sekolah. Kepercayaan teman- teman, guru, dan sekolah terhadap dirinya dijawab Susi dengan kerja keras dan kemauan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Kesadaran Susi akan kekurangannya di bi- dang akademik mem- buat dia harus belajar dua kali lipat daripada teman- temannya. Namun, dukung- an teman-teman dan bimbing- an guru-gurunya di sekolah membuat Susi mulai bisa me- nyesuaikan diri dengan ke- mampuan belajar teman-teman lainnya. Sampai lulus SMP, Susi dikenal sebagai siswa dengan perkembangan akademik yang bagus. Bukan yang terbaik, me- lainkan siswa dengan progres yang membanggakan. Saat ini Susi duduk di bang- ku SMA. Hampir tak ada guru yang tidak dekat dengan Susi. Kepribadiannya yang periang, kerelaannya untuk membantu teman-temannya yang kesulit- an, dan kemauan untuk terus belajar membuat Susi sangat bisa diterima di semua ka- langan di sekolah. Salah satu bukti itu adalah kepercayaan teman-temannya untuk men- jabat Komisaris (Ketua) Siswa Asrama Putri Sekolah Sukma Bangsa selama dua tahun ber- turut-turut. Jika ditanya apa yang mem- buat Susi bisa tetap bertahan di Sekolah Sukma Bangsa, berdamai dengan ‘guru dari Jawa’ dan melakukan loncatan yang tinggi pada kepercayaan dirinya dan prestasinya, Susi hanya menjawab pendek, bagi- nya semua kesulitan bisa dia lewati karena kepercayaan dan motivasi yang diberikan para guru kepadanya. Kepercayaan dan motivasi yang selalu mem- bangkitkan kegairahannya untuk menjadi putra Aceh yang terbaik. Baginya, kesempatan bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa adalah nikmat Tuhan yang selalu disyukurinya. Pengalaman Susi, yang prestasinya melampaui batas pengalaman hidupnya, meng- ajarkan kita beberapa hal. Se- perti halnya Kartini yang hidup di zaman keberpihakan pada perempuan adalah sebuah ke- mewahan, Susi memilih belajar menerima banyak hal di saat semuanya tampak tidak mung- kin. Pilihannya untuk berdamai dengan ‘guru dari Jawa’ mung- kin sejalan dengan semangat UNESCO tentang empat pilar pendidikan (four pillars of educa- tion) (Delors: 1998). Tulisan Jacques Lucien Jean Delors yang merupakan lapo- ran UNESCO Commission on Education for the Twenty-rst Century menyatakan pendi- dikan memiliki empat pilar yang merupakan kesatuan tak terpisahkan; learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk berbuat), learning to live together (belajar untuk hidup bersama) dan learning to be (belajar untuk menjiwai dan menjadi). Pengalaman bersekolah Susi pada awalnya hanyalah per- soalan bagaimana ia belajar mengetahui sesuatu, pelajaran dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh melalui buku dan ajar- an gurunya. Juga bagaimana ia menerjemahkan ilmunya ke dalam praktik kehidupan yang membuatnya memiliki banyak keterampilan (skills). Namun, yang paling menakjub- kan adalah proses menerima dan berdamai dengan keta- kutan dan trauma masa lalu, termasuk menerima “guru dari Jawa” yang merepresentasikan semangat pilar ketiga pendi- dikan: belajar untuk hidup bersama. Pengalaman Susi adalah bukti semangat pendidikan yang seharusnya menghar- gai perbedaan, mengajarkan penyelesaian konflik secara lebih beradab, dan menem- patkan semangat perdamaian melalui pencapaian tujuan bersama. Terakhir, Susi belajar untuk menjadi sesuatu yang diinginkannya. Pengalaman hidup adalah pelajaran yang berharga yang membentuk dirinya. Persinggungan Susi dengan guru dan sekolahnya adalah warna dalam proses be- lajar ‘untuk menjadi sesuatu’. Setidaknya untuk ‘menjadi’ Susi saat ini. Mungkin sekarang Susi be- lum ‘menjadi’ Kartini. Namun, pelajaran yang ia terima selama hidupnya adalah modal bag- inya untuk setidaknya memiliki semangat Kartini untuk mela- wan ketidakmungkinan. Kar- tini bisa. Susi bisa. Bagaimana dengan Anda? “If someone is going down the wrong road, he doesn’t need motivation to speed him up. What he needs is education to turn him around.” (Jim Rohn) A DA banyak anak yang kurang berun- tung dalam hal pendidikan. Mere- ka gagal bukan hanya karena faktor sistem yang tidak me- nempatkan anak sebagai pusat perhatian, melainkan banyak juga karena kelemahan guru dan manajemen sekolah yang tidak becus dalam mendidik. Ada banyak juga anak berha- sil, bahkan untuk contoh yang satu ini lebih banyak datang dari sisi kemampuan anak yang memperoleh dukungan, baik secara nansial maupun moral, dari orang tua, guru dan lingkungan sekolah yang sehat. Pendidikan, dalam diaspora yang sangat luas, memang memberi banyak kesempatan dan peluang bagi masa depan anak-anak. Lihatlah kasus yang menimpa seorang Greg Mortenson. Melalui dua buku kuncinya, yaitu Three Cups of Tea dan Stones into School, sesungguhnya ia sedang ingin membuktikan ada cara lain untuk membangun hubung- an ke arah yang lebih baik daripada perang, yaitu mem- bangun sekolah dan mem- beri kesempatan anak-anak yang kurang beruntung akibat konflik berkepanjangan di Afghanistan dan Pakistan. Selama 17 tahun bekerja di separuh provinsi yang ada di Afghanistan dan beberapa di Pakistan, saat ini Greg dengan lembaganya yang bernama Central Asia Institute (CAI) berhasil membangun sebanyak 131 sekolah yang mendidik lebih kurang 58 ribu siswa tingkat dasar dan menengah, kebanyakan perempuan. Greg menangani kekerasan dengan memberi anak-anak sebanyak mungkin buku, guru, dan sekolah. Keyakinan Greg didasarkan pada riset panjangnya me- ngapa pendidikan, terutama untuk anak perempuan, sa- ngat dibutuhkan masyarakat Afghanistan yang selalu diang- gap fundamentalis dan karena itu, wajib diperangi. Greg menemukan bukti bah- wa seorang perempuan yang terdidik mampu menahan anak paling menderita akibat perang karena konsekuensi sosial dan psikologis akibat konflik lebih banyak datang dan menghampiri mereka. Pengalaman masa kecilnya di Tanzania juga menambah keyakinan Greg bahwa pendi- dikan untuk anak-anak perem- puan jauh lebih penting karena mendidik anak perempuan sama dengan mendidik sebuah komunitas. Anak-anak yang kurang beruntung, baik karena perang, kemiskinan, maupun bentuk keterpaksaan lainnya, me- merlukan penanganan dari orang-orang yang memiliki hati nurani dalam mendidik. Karena itu, sekolah harus mampu menumbuhkan apa yang disebut Charles W Eliot, Presiden Harvard University 1880-an, sebagai mental power. Itu suatu kemampuan untuk berpikir, bernalar, melakukan observasi, dan mendeskripsi- kan sesuatu hal secara logis- rasional. Di Amerika kita mendapati kasus yang menimpa seorang anak bernama Khadijah Wil- liams. Karena keluarganya termasuk kategori gelandangan ( homeless ), Khadijah sangat akrab dengan lingkungan tem- pat tinggal di lokasi tempat- tempat sampah, selter-selter, lapangan, dan taman-taman umum yang terbuka dari Los Angeles ke San Diego, dari San Fransisco hingga ke Orange County. Selama kurang lebih 12 ta- hun, Khadijah telah bersekolah di 12 sekolah berbeda karena hidupnya yang berpindah-pin- dah. Dengan ditemani ibu dan adik perempuannya, Khadijah Williams tahu persis bagaimana rasanya harus tetap bersekolah dengan kondisi serbaminim, sementara di usianya yang masih belia dia juga menjumpai fakta-fakta tentang kerasnya kehidupan para muncikari dan PSK di jalan-jalan, serta para pengedar narkoba yang selalu mengancam kesehatan berpikir dan jiwanya sekaligus. Akhir Juni 2009 lalu dia lulus dari Jefferson High School di Los Angeles pada urutan ke- empat di kelasnya. Setelah dia dan sekolahnya mengirimkan prol dan lamaran ke banyak perguruan tinggi, 20 perguruan tinggi bersedia menerimanya sebagai mahasiswa penerima beasiswa penuh. Pilihan akhirnya dia jatuhkan ke Harvard University yang sangat bergengsi itu. Apa yang dilakukan Khadijah membuat semua orang terperangah, bah- kan teman-teman di sekolah- nya pun tak menyangka bahwa dia datang dari lingkungan keluarga gelandangan. Jika mengaca pada apa yang dilakukan Greg dan dialami Khadijah, kunci utama dalam membangun sebuah kesadaran baru bagi dunia pendidikan adalah rasa saling percaya dan ikhlas. Guru yang ikhlas dan memercayai siswanya sangat- lah jarang kita dapati di seko- lah anak-anak kita. Namun, setidaknya kita masih memiliki Guru Muslimah di Belitong yang kaya hati, Ridwan Dali- munthe dan Siti Nurlela Aek Pastak di Tapanuli, Jupri Umar di Jember Jawa Timur, dan Ahmad Burhanuddin dengan sekolah Qaryah Toyyibah-nya di Salatiga. Meskipun Thomas L Fried- man mengatakan, “The world is at,” dalam konteks peme- rataan pendidikan bagi selu- ruh lapisan masyarakat, dunia pendidikan Indonesia belum- lah merata, searah dengan jargon yang sering digembar- gemborkan politikus kita. Masih terlalu banyak lubang menganga dan fakta yang menyakitkan tentang realitas pendidikan kita. Namun se- bagai sebuah bangsa dengan pengalaman tertindas cukup lama dari Belanda, semangat perjuangan tetap dimiliki anak-anak bangsa semacam Pak Ridwan, Bu Nurlela, Pak Jupri, Pak Rudi, dan Ahmad Burhanuddin. Mereka adalah penapak sejati bagi kukuhnya sebuah bangunan sekolah yang kaya dengan hati nurani. CALAK EDU Susi, Kartini, dan Empat Pilar Pendidikan DOK PRIBADI Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta Sekolah harus mampu menumbuhkan apa yang disebut Charles W Eliot, Presiden Harvard University 1880-an, sebagai mental power.” Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP). PARTISIPASI OPINI Sari Idha Nur Sofa Kepala Asrama Putri Sekolah Sukma Bangsa Pidie k y EBET Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele- pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku- lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per- cetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web- site: www.mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR- TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU ME- MINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra- djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo- pratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu- tabarat Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo- chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunar- wati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitria Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tu- tus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indri- antari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Pa- dang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gus- tiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Is- kandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, An- nette Natalia, Aria Mada, Bayu Wicaksono, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Fredy Wi- jaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su- jiyono Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bam- bang Irianto 081351738384. 26 SENIN, 18 APRIL 2011 P ENDIDIK AN Stones into Schools

Upload: vuongtram

Post on 02-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

“Jika Anda mendidik seorang lelaki, Anda mendidik seorang in-dividu, tetapi jika Anda mendidik seorang gadis, Anda mendidik sebuah komunitas.”

(Greg Mortenson, Three Cups of Tea)

APRIL selalu identik dengan RA Kartini, sosok perempuan yang berjuang un-

tuk kemajuan kaumnya dan menginspirasi banyak kaum perempuan Indonesia untuk dapat mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Apa yang Kartini perjuangkan ada-lah upaya mendobrak pikiran kolot yang menganggap perem-puan hanya ber urusan dengan tugas dapur, mengasuh anak, dan melayani suami. Itu sebuah perjuangan yang berujung pada kesempatan mengenyam pendidikan tanpa dibatasi jenis kelamin. Namun, apakah pen-didikan atau sekolah di negeri ini, benar-benar sudah mampu untuk memajukan pemikiran kaum perempuan?

Saya yakin setiap sekolah mempunyai cara tersendiri un-tuk membuat para siswa maju dalam pemikiran dan kede-wasaan. Cara yang mampu membuat siswa yang tadinya biasa-biasa saja menjadi siswa luar biasa. Sekolah Sukma Bangsa adalah salah satu seko-lah yang diakui siswanya seba-gai sekolah yang mampu mem-buat mereka menjadi merasa lebih baik daripada sekadar sekolah lain, baik dari segi pergaulan, motivasi belajar, dan kematangan berpikir.

Setidaknya, itulah yang di-percaya Susi Maulita, gadis yang lahir di Desa Mon Mata, Kecamatan Krueng Sabee, Ka-bupaten Aceh Jaya, pada 21 Agustus 1993. Pada saat masuk Sekolah Sukma Bangsa, 10 Juli 2006, Susi hanyalah siswa biasa-biasa saja. Susi kecil yang terlahir dari keluarga yang

serbakekurangan tinggal ber-sama ibu kandung dan ayah tirinya. Ayah dan ibunya su-dah bercerai sejak Susi dalam kandungan. Pekerjaan ayah tiri Susi sebagai kuli pemotong kayu membuatnya harus turut tinggal di kawasan hutan. Sebuah keadaan yang jauh dari kemewahan dan justru selalu berdekatan dengan bahaya. Lokasi tempat tinggal keluarga membuat mereka sering diang-gap menjadi bagian dari ke-lompok separatis di Aceh yang sedang bergolak saat itu.

Keadaan itu memuncak ke-tika pada suatu hari keluarga Susi dipaksa mengungsi, meny-usul tekanan dari aparat yang memberi peringatan terakhir bagi penduduk yang merasa tidak terlibat kelompok separa-tis untuk meninggalkan hutan. Pada masa pengungsian itu Susi dibawa untuk tinggal ber-sama ayah kandungnya. Ayah kandung Susi menganggap kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi Susi akan se-makin mustahil jika terus ting-gal bersama ayah tirinya.

Sejak saat itulah Susi mera-sakan bangku sekolah dasar. Sejak saat itu pulalah ia tidak bertemu lagi dengan ibu kan-dungnya, sampai saat ketika ia harus mengidentifi kasi jenazah ibunya yang meninggal akibat tsunami pada 2004.

Pengalaman hidup dan ber-sekolah di masa konfl ik mem-buat Susi mempunyai trauma tersendiri dengan orang yang datang dari latar belakang budaya lain. Bagi Susi, tentara dan aparat keamanan lainnya yang saat itu selalu berbahasa Indonesia adalah represen-tasi dari penindasan, kejahatan, dan kekejaman. Terlebih ketika ia menyaksikan sekolahnya dibakar habis oleh tentara di masa konfl ik. Kebiasaan para tentara untuk selalu berbahasa Indonesia dan asal daerah me-reka yang kebanyakan dari

Jawa membuat Susi memiliki kebencian tersendiri terhadap orang Jawa. Kebencian itu semakin akut oleh anggapan mi ring masyarakat di seke li-lingnya tentang ‘tentara Jawa’.

Masa awal tinggal di as-rama dan bersekolah di Seko-lah Sukma Bangsa bukan hal yang membahagiakan buat Susi. Bagi nya, bersekolah di tempat yang baru adalah sebuah keter paksaan. P e r a s a a n t r a u m a masa kon-flik kembali meng hantui-nya setiap ka l i d ia mende-ngar pa-ra guru-nya ber-b i c a r a dengan m e n g -g u n a -kan ba-hasa In-donesia. Susi sering berpura-pu-ra tidur untuk m e n g h i n -dari pem-b i c a r a a n dengan guru-nya. Bukan karena dia canggung dengan para guru, melain kan lebih karena canggung de-ngan bahasa Indonesia yang digunakan guru-gurunya.

Ba gi nya, bahasa Indonesia adalah bahasa ‘tentara Jawa’ yang hanya meninggalkan mimpi buruk di masa kecil-nya.

Kepercayaan diriKebiasaan berpura-pura

tidur saat guru berkunjung ternyata diperhatikan teman sekamarnya. Berkat teman sekamarnyalah akhirnya Susi mulai mau belajar berbahasa Indonesia. Setelah mulai mera-sa nyaman dengan mengguna-kan bahasa Indonesia, Susi mulai berani untuk berbicara d a n

m e m b a n g u n k e -percayaan kepada se-

bagian gurunya yang berasal dari luar Aceh. Kemauan untuk membuka diri itulah yang membuat Susi belajar banyak hal. Termasuk tentu saja pe-nerimaan dirinya terhadap ‘orang Jawa’ yang sekarang

menjadi gurunya di Sekolah Sukma Bangsa.

Kemauan Susi untuk membu-ka diri diperkuat kepercayaan dirinya yang terus tumbuh. Susi memiliki talenta suara yang bagus. Suara yang dikena-li teman-temannya saat ia ber-

senandung di kamar mandi. Senan dung d i k a m a r mandi itulah

yang kemu-dian mem-bawa Susi memenangi

p e r l o m b a a n m e n y a n y i antarkelas di sekolah. Ke-menangan itu makin mem-

buatnya merasa dihargai dan per-

caya diri, terlebih saat ia terpilih men-

jadi syeikh--penyanyi utama--pada kelompok

tari sekolah.Kepercayaan teman-

teman, guru, dan sekolah terhadap dirinya dijawab

Susi dengan kerja keras dan kemauan

untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Kesadaran Susi akan kekurangannya di bi-

dang akademik mem-buat dia harus belajar dua

kali lipat daripada teman- temannya. Namun, dukung-

an teman-teman dan bimbing-an guru-gurunya di sekolah membuat Susi mulai bisa me-nyesuaikan diri dengan ke-mampuan belajar teman-teman lainnya. Sampai lulus SMP, Susi dikenal sebagai siswa dengan perkembangan akademik yang bagus. Bukan yang terbaik, me-lainkan siswa dengan progres

yang membanggakan.Saat ini Susi duduk di bang-

ku SMA. Hampir tak ada guru yang tidak dekat dengan Susi. Kepribadiannya yang periang, kerelaannya untuk membantu teman-temannya yang kesulit-an, dan kemauan untuk terus belajar membuat Susi sangat bisa diterima di semua ka-langan di sekolah. Salah satu bukti itu adalah kepercayaan teman-temannya untuk men-jabat Komisaris (Ketua) Siswa Asrama Putri Sekolah Sukma Bangsa selama dua tahun ber-turut-turut.

Jika ditanya apa yang mem-buat Susi bisa tetap bertahan di Sekolah Sukma Bangsa, berdamai dengan ‘guru dari Jawa’ dan melakukan loncatan yang tinggi pada kepercayaan dirinya dan prestasinya, Susi hanya menjawab pendek, bagi-nya semua kesulitan bisa dia lewati karena kepercayaan dan motivasi yang diberikan para guru kepadanya. Kepercayaan dan motivasi yang selalu mem-bangkitkan kegairahannya untuk menjadi putra Aceh yang terbaik. Baginya, kesempatan bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa adalah nikmat Tuhan yang selalu disyukurinya.

Pengalaman Susi , yang prestasinya melampaui batas pengalaman hidupnya, meng-ajarkan kita beberapa hal. Se-perti halnya Kartini yang hidup di zaman keberpihakan pada perempuan adalah sebuah ke-mewahan, Susi memilih belajar menerima banyak hal di saat semuanya tampak tidak mung-kin. Pilihannya untuk berdamai dengan ‘guru dari Jawa’ mung-kin sejalan dengan semangat UNESCO tentang empat pilar pendidikan (four pillars of educa-tion) (Delors: 1998).

Tulisan Jacques Lucien Jean Delors yang merupakan lapo-ran UNESCO Commission on Education for the Twenty-fi rst Century menyatakan pendi-

dikan memiliki empat pilar yang merupakan kesatuan tak terpisahkan; learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk berbuat), learning to live together (belajar untuk hidup bersama) dan learning to be (belajar untuk menjiwai dan menjadi).

Pengalaman bersekolah Susi pada awalnya hanyalah per-soalan bagaimana ia belajar mengetahui sesuatu, pelajaran dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh melalui buku dan ajar-an gurunya. Juga bagaimana ia menerjemahkan ilmunya ke dalam praktik kehidupan yang membuatnya memiliki banyak keterampilan (skills). Namun, yang paling menakjub-kan adalah proses menerima dan berdamai dengan keta-kutan dan trauma masa lalu, termasuk menerima “guru dari Jawa” yang merepresentasikan semangat pilar ketiga pendi-dikan: belajar untuk hidup bersama.

Pengalaman Susi adalah bukti semangat pendidikan yang seharusnya menghar-gai perbedaan, mengajarkan penyelesaian konflik secara lebih beradab, dan menem-patkan semangat perdamaian melalui pencapaian tujuan bersama. Terakhir, Susi belajar untuk menjadi sesuatu yang diingin kannya. Pengalaman hidup adalah pelajaran yang berharga yang membentuk dirinya. Per singgungan Susi dengan guru dan sekolahnya adalah warna dalam proses be-lajar ‘untuk menjadi sesuatu’. Setidaknya untuk ‘menjadi’ Susi saat ini.

Mungkin sekarang Susi be-lum ‘menjadi’ Kartini. Namun, pelajaran yang ia terima selama hidupnya adalah modal bag-inya untuk setidaknya memiliki semangat Kartini untuk mela-wan ketidakmungkinan. Kar-tini bisa. Susi bisa. Bagaimana dengan Anda?

“If someone is going down the wrong road, he doesn’t need motivation to speed him up. What he needs is education to turn him around.” (Jim Rohn)

ADA banyak anak yang kurang berun-tung dalam hal pendidikan. Mere-

ka gagal bukan hanya karena faktor sistem yang tidak me-nempatkan anak sebagai pusat perhatian, melainkan banyak juga karena kelemahan guru dan manajemen sekolah yang tidak becus dalam mendidik. Ada banyak juga anak berha-sil, bahkan untuk contoh yang satu ini lebih banyak datang dari sisi kemampuan anak yang memperoleh dukungan, baik secara fi nansial maupun moral, dari orang tua, guru dan lingkungan sekolah yang sehat.

Pendidikan, dalam diaspora yang sangat luas, memang memberi banyak kesempatan dan peluang bagi masa depan anak-anak. Lihatlah kasus yang menimpa seorang Greg Mortenson. Melalui dua buku kuncinya, yaitu Three Cups of Tea dan Stones into School,

sesungguhnya ia sedang ingin membuktikan ada cara lain untuk membangun hubung-an ke arah yang lebih baik daripada perang, yaitu mem-bangun sekolah dan mem-beri kesempatan anak-anak yang kurang beruntung akibat konflik berkepanjangan di Afghanis tan dan Pakistan.

Selama 17 tahun bekerja di separuh provinsi yang ada di Afghanistan dan beberapa di Pakistan, saat ini Greg dengan lembaganya yang bernama Central Asia Institute (CAI) berhasil membangun sebanyak 131 sekolah yang mendidik lebih kurang 58 ribu siswa tingkat dasar dan menengah, kebanyakan perempuan. Greg menangani kekerasan dengan memberi anak-anak sebanyak mungkin buku, guru, dan sekolah.

Keyakinan Greg didasarkan pada riset panjangnya me-ngapa pendidikan, terutama untuk anak perempuan, sa-ngat dibutuhkan masyarakat Afghanistan yang selalu diang-

gap fundamentalis dan karena itu, wajib diperangi.

Greg menemukan bukti bah-wa seorang perempuan yang terdidik mampu menahan anak paling menderita akibat perang karena konsekuensi sosial dan psikologis akibat konflik lebih banyak datang dan menghampiri mereka. Pengalaman masa kecilnya di Tanzania juga menambah keyakinan Greg bahwa pendi-dikan untuk anak-anak perem-puan jauh lebih penting karena mendidik anak perempuan sama dengan mendidik sebuah komunitas.

Anak-anak yang kurang beruntung, baik karena perang, kemiskinan, maupun bentuk keterpaksaan lainnya, me-merlukan penanganan dari orang-orang yang memiliki hati nurani dalam mendidik. Karena itu, sekolah harus mampu menumbuhkan apa yang disebut Charles W Eliot, Presiden Harvard University 1880-an, sebagai mental power. Itu suatu kemampuan untuk

berpikir, bernalar, melakukan observasi, dan mendeskripsi-kan sesuatu hal secara logis-rasional.

Di Amerika kita mendapati kasus yang menimpa seorang anak bernama Khadijah Wil-liams. Karena keluarganya termasuk kategori gelandangan (homeless), Khadijah sangat akrab dengan lingkungan tem-pat tinggal di lokasi tempat-tempat sampah, selter-selter, lapangan, dan taman-taman umum yang terbuka dari Los Angeles ke San Diego, dari San Fransisco hingga ke Orange County.

Selama kurang lebih 12 ta-hun, Khadijah telah bersekolah di 12 sekolah berbeda karena hidupnya yang berpindah-pin-dah. Dengan ditemani ibu dan adik perempuannya, Khadijah Williams tahu persis bagaimana rasanya harus tetap bersekolah dengan kondisi serbaminim, sementara di usianya yang masih belia dia juga menjumpai fakta-fakta tentang kerasnya kehidupan para muncikari dan

PSK di jalan-jalan, serta para pengedar narkoba yang selalu mengancam kesehatan berpikir dan jiwanya sekaligus.

Akhir Juni 2009 lalu dia lulus dari Jefferson High School di Los Angeles pada urutan ke-empat di kelasnya. Setelah dia dan sekolahnya mengirimkan profi l dan lamaran ke banyak perguruan tinggi, 20 perguruan tinggi bersedia menerimanya sebagai mahasiswa penerima beasiswa penuh.

Pilihan akhirnya dia jatuhkan ke Harvard University yang sangat bergengsi itu. Apa yang dilakukan Khadijah membuat semua orang terperangah, bah-kan teman-teman di sekolah-nya pun tak menyangka bahwa dia datang dari lingkungan keluarga gelandangan.

Jika mengaca pada apa yang dilakukan Greg dan dialami Khadijah, kunci utama dalam membangun sebuah kesadaran baru bagi dunia pendidikan adalah rasa saling percaya dan ikhlas. Guru yang ikhlas dan memercayai siswanya sangat-

lah jarang kita dapati di seko-lah anak-anak kita. Namun, setidaknya kita masih memiliki Guru Muslimah di Belitong yang kaya hati, Ridwan Dali-munthe dan Siti Nurlela Aek Pastak di Tapanuli, Jupri Umar di Jember Jawa Timur, dan Ahmad Burhanuddin dengan sekolah Qaryah Toyyibah-nya di Salatiga.

Meskipun Thomas L Fried-man mengatakan, “The world is fl at,” dalam konteks peme-rataan pendidikan bagi selu-ruh lapisan masyarakat, dunia pendidikan Indonesia belum-lah merata, searah dengan jar gon yang sering digembar-gemborkan politikus kita.

Masih terlalu banyak lubang menganga dan fakta yang menyakitkan tentang realitas pendidikan kita. Namun se-bagai sebuah bangsa dengan pengalaman tertindas cukup lama dari Belanda, semangat perjuangan tetap dimiliki anak-anak bangsa semacam Pak Ridwan, Bu Nurlela, Pak Jupri, Pak Rudi, dan Ahmad Burhanuddin. Mereka adalah penapak sejati bagi kukuhnya sebuah bangunan sekolah yang kaya dengan hati nurani.

CALAK EDU

Susi, Kartini, dan Empat Pilar Pendidikan

DOK PRIBADI

Ahmad BaedowiDirektur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Sekolah harus mampu

menumbuhkan apa yang disebut Charles W Eliot, Presiden Harvard University 1880-an, sebagai mental power.”

Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).PARTISIPASI OPINI

Sari Idha Nur SofaKepala Asrama Putri Sekolah Sukma Bangsa Pidie

ky

EBET

Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Tele-pon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirku-lasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Per cetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Reke ning Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Su dir man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Pur nama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Se latan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Per-cetakan: Media In do nesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Web-site: www.mediaindo nesia.com,

DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WAR-TAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DI PERKENANKAN MENERIMA ATAU ME-MINTA IMBALAN DE NGAN ALASAN APA PUN

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Rahni Lowhur-SchadDirektur Pemberitaan: Saur M. HutabaratDirektur Pengembangan Bisnis: Alexander StefanusDewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra-djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo-pratomo, Toeti AdhitamaRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu-tabaratDeputi Direktur Pemberitaan: Usman KansongKepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul KoharSekretaris Redaksi: Teguh NirwahyudiAsisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kuste dja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mo-chamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, SoelistijonoStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, Da vid Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mu tiah, Dwi Tu pa ni Gunar-wati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anuge rah, Fardi an sah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prih mantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Su mantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, Ken norton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mo hamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pra mo no, Siswantini Suryandari, Sitria Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumar yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tu-tus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indri-antari, Zu baedah Hanum

Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf

Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Pa-dang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)

MICOMAsisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. NababanRedaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, WidhorosoStaf Redaksi: Heni Raha yu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto SubariStaf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gus-tiawan, Widjokongko

DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica HuwaeRedaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia No velia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan

CONTENT ENRICHMENTAsisten Kepala Divisi: Yohanes S. WidadaPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Is-

kandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto

ARTISTIKRedaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, An-nette Natalia, Aria Mada, Bayu Wicaksono, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Fredy Wi-jaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi

PENGEMBANGAN BISNISKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriKepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Su-jiyonoAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki TriardiantoPerwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yu dhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bam-bang Irianto 081351738384.

26 SENIN, 18 APRIL 2011PENDIDIKAN

Stones into Schools