perang gerilya politik - kiblat.net · memperbolehkan masuk dalam tatanan demokrasi, tentunya...

29
1 Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015 Perang Gerilya Politik Wacana Baru Membentuk Negara Islam Mendirikan sebuah negara sebelum terpenuhinya sarana dan prasarana sering kali mengaborsi hasil amal jihad.” (Usamah bin Ladin) Salah seorang pengamat, peneliti, dan pemikir gerakan jihad, Abdullah bin Muhammad, meluncurkan sebuah wacana baru mengenai langkah politik bagi gerakan jihad untuk mendirikan sebuah negara pada Maret 2015 lalu. Wacana baru tersebut ia istilahkan dengan Perang Gerilya Politik. DAFTAR ISI Perang Gerilya Politik 1 Memahami Konflik Libya 19 ____________________________ Tentang Kami Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian SYAMINA (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitik- beratkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: [email protected] . Seluruh laporan kami bisa diunduh di website: www.syamina.org

Upload: hanhu

Post on 30-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Perang Gerilya Politik

Wacana Baru Membentuk Negara Islam

“Mendirikan sebuah negara sebelum terpenuhinya sarana dan

prasarana sering kali mengaborsi hasil amal jihad.”

(Usamah bin Ladin)

Salah seorang pengamat, peneliti, dan pemikir gerakan jihad, Abdullah

bin Muhammad, meluncurkan sebuah wacana baru mengenai langkah

politik bagi gerakan jihad untuk mendirikan sebuah negara pada

Maret 2015 lalu. Wacana baru tersebut ia istilahkan dengan Perang

Gerilya Politik.

DAFTAR ISI

Perang Gerilya Politik 1

Memahami Konflik Libya 19

____________________________

Tentang Kami

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari

Lembaga Kajian SYAMINA (LKS). LKS merupakan

sebuah lembaga kajian independen yang bekerja

dalam rangka membantu masyarakat untuk

mencegah segala bentuk kezaliman.

Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh

pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh

semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit

sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari

sekian banyak media yang mengajak segenap

elemen umat untuk bekerja mencegah

kezaliman.

Media ini berusaha untuk menjadi corong

kebenaran yang ditujukan kepada segenap

lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas

dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya

mengemukakan gagasan ilmiah dan menitik-

beratkan pada metode analisis dengan uraian

yang lugas dan tujuan yang legal.

Pandangan yang tertuang dalam laporan ini

merupakan pendapat yang diekspresikan oleh

masing-masing penulis. Untuk komentar atau

pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan

e-mail ke: [email protected].

Seluruh laporan kami bisa diunduh di website:

www.syamina.org

2

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Istilah tersebut dipinjam dari dunia militer untuk

dipakai dalam bidang politik dengan maksud yang

sama, yaitu untuk melawan kekuatan musuh yang

lebih besar dalam ranah politik. Ide ini muncul

terutama disebabkan kegagalan gerakan jihad yang

unggul di bidang militer dalam mendirikan negara

Islam sebagaimana yang mereka cita-citakan.

Inti usulan Abdullah bin Muhammad1

Selain itu, juga akan memudahkan musuh untuk

melakukan pengepungan terhadap gerakan jihad,

menguras ekonomi mereka, merampas dengan

paksa kekuasaan mereka secara politik, serta

kesempatan untuk memperburuk citra dan

membunuh karakter mereka melalui media.

Sehingga dengan demikian, keruntuhan negara

yang didirikan gerakan jihad dan penolakan

penduduknya kepada mereka, hanya masalah

waktu. Bahkan negara tersebut akan gagal dengan

bagi gerakan

jihad adalah untuk tidak mengandalkan kekuatan

kelompoknya saja dalam menguasai dan

memerintah sebuah wilayah atau dalam sebuah

negara, namun melalui payung legalitas yang bisa

diterima (saqf syar’i maqbul) oleh mayoritas

penduduk di suatu wilayah atau suatu negara.

Menurutnya, jika payung legalitas tersebut tidak

dimiliki gerakan jihad, maka hal itu akan

memberikan kesempatan bagi musuh untuk

berhadapan langsung dengan negara Islam yang

baru tersebut melalui hegemoni rezim

internasional.

1 Yang bersangkutan adalah pemilik akun Twitter

@Strateeeegy yang memiliki pengikut sekitar 248 ribu (per 24/6/2015).

sendirinya meski tanpa turun tangan langsung

militer rezim penguasa dunia.

Menarik untuk diperhatikan adalah bahwa jika

seandainya berdirinya negara yang dicita-citakan

jihadis ini mampu tegak dengan kokoh, seiring

dengan mandulnya peran lembaga-lembaga

internasional, seperti PBB, untuk menyelesaikan

berbagai konflik skala internasional, terutama Arab

Spring, akankah hal itu sebagai pertanda akan

runtuhnya hegemoni Tatanan Dunia Baru (New

World Order).

Karena hegemoni tersebut kenyataannya hanya

menguntungkan dan berpihak pada Barat, tetapi

antipati dan tidak berpihak kepada umat Islam

yang berjumlah lebih dari satu miliar. Kemudian di

atas puing-puing reruntuhan tersebut tegak berdiri

Tatanan Dunia Baru yang lebih baru yang

berdasarkan prinsip Islam. Dan jika tatanan baru

dunia yang berdasarkan prinsip Islam tersebut

berhasil menghegemoni dunia, maka barangkali

inilah fase tegaknya Khilafah ‘ala Manhaj An-

Nubuwwah sebagaimana yang telah dikabarkan

Muhammad Rasulullah saw.

Tulisan ini mencoba untuk memaparkan maksud

dari Perang Gerilya Politik perspektif Abdullah bin

Muhammad. Mencoba menggali motif

dimunculkannya wacana tersebut. Juga berusaha

menampilkan diskusi para ulama dan cendekiawan

Islam terhadap ide Perang gerilya Politik tersebut.

3

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Perang Gerilya Politik

Abdullah bin Muhammad tidak secara tegas

mendefisinisikan Perang Gerilya Politik yang ia

maksud dalam artikelnya hurub al-‘ishabat as-

siyasiyyah. Namun, dari penjelasannya dalam

artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa yang ia

maksudkan dengan Perang Gerilya Politik adalah

kemampuan untuk bertahan dalam arena poltik

regional di suatu wilayah dalam menghadapi

serangan politik yang diatur oleh tatanan

internasional yang dipimpin AS.

Abdullah bin Muhammad menulis, “… sebagaimana

dalam perang militer kita melakukan gerilya, maka

dalam hal politik pun kita juga harus melakukan

perang gerilya sehingga memungkinkan kita untuk

kuat secara politik di hadapan hukum

internasional”2. Dengan adanya perlawanan politik

gerilya tersebut, diharapkan hal itu mampu

meredam gejolak perlawanan politik dari dalam

dan juga menutup pintu masuknya pihak-pihak

luar, serta menghindari konfrontasi langsung

dengan Barat. Dan salah satu bentuk dari perang

politik tersebut adalah terjadinya perang militer.

Hal inilah, menurut ‘Ala Asy-Syarif, yang belum

begitu dipahami oleh sebagian besar para

komandan pergerakan jihad.3

Lebih jauh, Abdullah bin Muhammad menjelaskan

bahwa dalam militer, terkonsentrasinya jihadis

2 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj 3 Ala’ Asy-Syarif, I’adah Taujih Maqal: Hurub Al-‘Ishabat As-Siyasiyyah, diakses di https://www.dropbox.com/s/yzcwrvxkoeag75n/

pada satu titik membuat Barat memiliki

kesempatan untuk menghajar jihadis dengan telak.

Begitu juga dengan keberadaan jihadis saat

menguasai sebuah negara. Hal itu akan

memberikan peluang bagi Barat untuk

meruntuhkan negara yang didirikan jihadis dengan

berbagai macam cara.

Oleh karena itu, seyogianya jihadis harus menjauh

dari penguasaan tunggal terhadap negara-negara

yang mampu dikuasai. Sebagai gantinya, hendaklah

jihadis mengadakan persekutuan di dalam bingkai

kerakyatan yang bernaung di bawah payung

legalitas (saqf syar’i) yang diterima. Disamping itu,

mereka juga harus fokus untuk mengembangkan

kemampuan militer negara agar memiliki jaminan

bahwa tidak adanya elemen-elemen negara yang

masih loyal kepada Barat.3F

4

Menurut Abdullah bin Muhammad, faktor penting

bagi kesuksesan sebuah negara adalah memiliki

daya tahan politik, ekonomi, dan militer. Faktor-

faktor tersebut belum semuanya dimiliki dengan

mapan oleh jihadis. Oleh karena itu, jihadis harus

berkoalisi dengan gerakan-gerakan Islam di bawah

satu payung legalitas (saqf syar’i) yang disepakati.

Pada poin inilah para jihadis gagal melewatinya

dikarenakan sempitnya pemahaman politik syar’i

mereka.4F

5

Abdullah bin Muhammad menilai bahwa masalah

pergerakan-pergerakan jihad bukan terletak pada

kemampuan melawan rezim internasional karena

4 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj 5 Ibid.

4

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Al-Qaidah melalui perang gerilya mampu

melakukan hal itu. Akan tetapi, masalahnya adalah

ketidakmampuan mereka dalam menghadirkan

sebuah metode dan sarana untuk mendirikan

negara Islam di bawah hukum internasional.

Sebagaimana melakukan perang terbuka melawan

musuh yang jauh lebih unggul militernya seperti AS

adalah upaya bunuh diri dan strategi perang gerilya

adalah cara yang cocok untuk memberikan

balasan. Begitu juga dengan kajian politik yang

menghasilkan rekomendasi yang sama bahwa,

menghadapi Barat dengan politik terbuka

(mendeklarasikan sebuah negara) sama saja

dengan bunuh diri secara politik.

Barat dengan kekuasaannya terhadap hukum

internasional mampu menggagalkan atau

melemahkan dan menundukkan berbagai

keberhasilan yang diraih jihadis dalam menerapkan

hukum (deklarasi negara). Sehingga Barat dengan

usahanya mampu membuat kegaduhan politik,

tersebarnya penyakit, kemiskinan, dan kemarahan

rakyat sampai akhirnya mereka mendapatkan

momen terbaik untuk mencabut kekuasaan jihadis

sampai ke akar-akarnya dengan kekuatan militer,

sebagaimana yang mereka lakukan di Afghanistan

dan Irak.6

Munculnya jihadis secara terbuka di suatu wilayah

setelah mereka berhasil menguasai dan

mengontrolnya dengan mendeklarasikan sebuah

negara tanpa adanya payung legalitas yang

didiukung penuh oleh rakyat adalah sebuah

6 Ibid.

kesalahan dalam pandangan Abdullah bin

Muhammad. Ia menjelaskan bahwa strategi

terbaru Amerika ialah tidak mencegah munculnya

jihadis secara terang-terangan (deklarasi negara

atau berkuasa di tempat tertentu).

Akan tetapi, AS akan menunggu, jika kemunculan

jihadis secara terang-terangan ini parsial (tidak

memiliki legitimasi politik) maka dengan kondisi ini

AS akan sangat mudah untuk menghancurkan

mereka dengan biaya yang relatif murah. Hal ini

didasarkan pada pendalaman mereka terhadap

cara berpikir jihadis. Mereka paham betul bahwa

tujuan jihadis adalah menerapkan hukum Islam

sehingga mereka membiarkan jihadis menerapkan

hukum Islam. Kemudian barulah mereka mulai

menyerang secara terprogram dengan tujuan

terbatas dan waktu yang panjang.

Mereka menyerang setiap pekan, entah itu kamp,

sekolah, tempat penyimpanan makanan, dan hal

ini berlangsung terus dengan jeda waktu yang

teratur. Kemudian barulah diiringi dengan

serangan darat dari pasukan setempat yang

bersekutu dengan mereka agar musuh mereka

(jihadis) tahu bahwa upaya penegakan hukum

Islam apapun yang dilakukan oleh jihadis cepat

atau lambat akan mereka hancurkan.

Metode seperti ini memberikan tekanan psikologis

yang besar. Bisa saja jihadis menarik diri, seperti

yang dilakukan Al-Qaidah, atau bisa saja jihadis

berusaha bertahan, yang menjadikan mereka

5

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

sasaran serangan, sebagaimana yang terjadi pada

Jamaah Daulah Islamiyah di Irak.7

Biaya memerangi jihadis tidak besar seperti dulu.

Cukup operasional drone, usaha intelijen, dan

sedikit nafas yang panjang (kesabaran). Akan

tetapi, hal seperti ini tidak berlaku bagi tempat-

tempat yang jihadis tidak muncul secara terang-

terangan seperti Waziristan. Hal ini akan berefek

kuat di tempat yang jihadis muncul resmi di sana

seperti Yaman. Dan hal ini mungkin saja terjadi di

Syam jika jihadis melepaskan diri dari revolusi

Hal inilah yang berhasil ditangkap dan dipahami

oleh jihadis di Abyan, Yaman dan di Azwad, Mali.

Setelah terjadi revolusi dan chaos di sana yang

membuat jihadis Yaman dan Mali mengumumkan

penguasaan mereka terhadap Abyan dan Azwad.

Mereka lalu mempraktikkan hukum Islam di sana.

Kemudian begitu cepatnya mereka menarik diri

setelah mereka mengetahui bahwa muncul ke

permukaan tanpa adanya payung dukungan rakyat

dan politik adalah sebuah kesalahan.

Hal ini berdasarkan pengalaman mereka bahwa

pasca mundurnya militer AS, jihadis naik ke

permukaan dengan mengumumkan penguasaan

mereka terhadap daerah tersebut. Kemudian AS

melancarkan serangan drone dan pasukan khusus.

Target serangan pun berganti, yang sebelumnya AS

sekarang berganti jihadis. Dan begitulah juga yang

dilakukan AS pada wilayah yang memiliki kesamaan

kondisi politik seperti itu.

7 Abdullah bin Muhammad, Ta’liq Muhimm Haula Maqal Hurub Al-‘Ishabat As-Siyasiyyah, diakses dari www.justpaste.it/jwqs

bersama rakyat yang menjadi payung pelindung

bagi arena jihad.8

Ijtihad yang mereka lakukan ini memberikan

mereka kesempatan untuk menjadi elemen

Model Aplikasi Perang Gerilya Politik

Model aplikasi Perang Gerilya Politik yang dianggap

cukup berhasil oleh Abdullah bin Muhammad

adalah eksperimen jihadis di Libya. Menurutnya,

sejarah panjang mereka dalam memerangi rezim

Qadzafi selama 30 tahun, peran aktif mereka

dalam revolusi dan serangan terhadap Tripoli serta

keberhasilan mereka dalam menguasai sebagian

besar wilayah ibukota, ditambah keberhasilan

mereka menaklukkan batalion-batalion dan markas

militer musuh tidak membuat mereka tergesa-gesa

dalam mendeklarasikan sebuah negara.

Namun, mereka justru membuat persekutuan

bersama dengan kekuatan-kekuatan revolusi Islam

lainnya dan mereka memperlihatkan kefleksibelan

mereka dalam berinteraksi dengan pihak di luar

mereka. Kemudian mereka berijtihad dengan

memperbolehkan masuk dalam tatanan

demokrasi, tentunya setelah mereka

mengumumkan secara resmi bahwa syariat adalah

satu-satunya sumber hukum (payung syar’i). Dari

sana, sempurnalah sebuah negara Islam melalui

amandemen yang menjamin penerapan syariat

yang akan diterapkan secara bertahap kepada

masyarakat.

8 Ibid.

6

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

penting dalam sebuah tatanan nagara baru.

Sehingga negara baru ini tidak digunakan untuk

melawan mereka, jihadis (karena mereka menjadi

elemen penting dalam negara tersebut). Dan inilah

yang diusahakan oleh Barat akan tetapi mereka

tidak berhasil, sehingga mereka harus

menggunakan Haftar untuk mengeliminasi islamis

setelah Barat gagal menyingkirkan islamis dengan

cara politik melalui agen mereka Mahmud Jibril.

Keberhasilan islamis menguasai Tripoli dan Misrata

melalui jalur parlemen dan keberhasilan mereka

menguasai perangkat negara yang penting seperti

intelijen, tentara, garda keamanan, penjara-

penjara, serta pasukan tank, menjadikan mereka

pihak yang sulit dikalahkan. Bahkan kaum islamis

telah menyusun rencana dalam melawan makar-

makar Barat dan revolusi yang menentang mereka.

Hal ini bisa terjadi karena takdir Allah sehingga

mereka menggunakan strategi gerilya politik yang

dengan itu mereka tidak memberikan kesempatan

kepada Barat untuk menjadikan perangkat negara

melawan islamis.

Terjadilah keseimbangan politik (antara islamis dan

sekuler) sehingga mau tidak mau Barat

memberikan lampu hijau kepada Mesir, Saudi dan

Uni Emirat Arab untuk membuat revolusi

tandingan di bawah slogan perang terhadap

terorisme. Namun, perkembangan kemampuan

militer jihadis Libya membuat musuh-musuh

kesulitan mengalahkan mereka secara militer

setelah sebelumnya musuh juga gagal

menyingkirkan mereka secara politik. Ijtihad politik

syar’i yang dihadirkan oleh Jama’ah Libiyyah

Muqatilah memberikan daya tahan politik, militer

dan ekonomi yang membantu para islamis untuk

tetap berdiri kokoh melawan strategi-strategi

Barat.

Dari sanalah kelihatan jelas bahwa meruntuhkan

rezim Qadafi kemudian menjatuhkan revolusi

sekuler akan melepaskan Libya dari hegemoni

Barat sehingga terciptalah sebuah keadaan yang

representatif untuk berdirinya Negara Islam.

Keberhasilan para islamis mempertahankan

eksistensi mereka sebagai kekuatan politik dan

militer berhasil menciptakan sebuah suasana yang

kondusif untuk menegakkan Negara Islam dan juga

dikarenakan keberhasilan mereka menutup

peluang Barat untuk menyingkirkan mereka dari

hati rakyat secara politik dan juga dikarenakan

keberhasilan mereka menutup kesempatan Barat

menyingkirkan mereka agar mereka tidak menjadi

elemen penting negara.

Kesadaran politik di kalangan para jihadis Libya

inilah yang menjadikan Barat tidak bisa berbuat

apa-apa melawan mereka. Barat terbiasa

merampas kemenangan yang dihasilkan para

jihadis di tempat-tempat konflik dengan cara

membiarkan daerah konflik dan dalam beberapa

waktu kemudian mereka membuat kegaduhan

dalam negeri, embargo dan pembunuhan agar

rakyat berada dalam kesempitan dan merasa di

pinggirkan. Kemudian Barat mulai mencitrakan

buruk penerapan hudud yang merupakan impian

gerakan-gerakan jihad lewat media.

7

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Setelah itu semua, sebelum perang berakhir,

sebelum tamkin (eksis menguasai sebuah wilayah)

maka media Barat memberitakan bahwa rakyat

sipil menentang segala tindak terorisme yang

bengis. Dengan demikian, Barat berhasil

mengkondisikan rakyat setempat dan dunia

internasional agar mereka menerima intervensi

militer yang akan dilakukan Barat. Barat mulai

menggunakan perangkat negara setempat untuk

menetapkan bahwa apa yang dilakukan oleh

gerakan jihad adalah sebuah tindak kriminal

melalui PBB, akhirnya suatu gerakan jihad

dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris.

Kemudian mulailah pembekuan aset setiap pihak

yang membantu gerakan tersebut dan

mengkriminalkannya, mereka (para jihadis)

dipersempit geraknya, kemudian keluarlah

keputusan PBB untuk melancarkan serangan

militer dalam rangka membasmi mereka.

Dibentuklah koalisi militer untuk melawan jihadis.

Inilah cerita yang terus berulang terjadi pada

gerakan jihad. Namun, kesadaran politik yang

dimiliki oleh Jama’ah Libiyyah Muqatilah membuat

Barat tidak mampu melakukan hal yang serupa

kepada mereka.

Oleh karena itu, sekarang Barat tidak bisa

mencemarkan nama baik jihadis Libia melalui

media, sebagaimana mereka juga tidak bisa

mengeluarkan keputusan PBB melawan jihadis

Libia yang memungkinkan mereka membuat koalisi

militer. Inilah faedah dari Perang Gerilya Politik.

Perang Gerilya Politik membuat Barat tidak

berhasil menguasai sarana kekuasaan politik

(media, intelijen, tentara, dll) sebagaimana yang

Barat lakukan pasca-PD II. Sehingga hal itu

memaksa Barat untuk mengambil pilihan lain yang

bisa jihadis lawan secara politik, sebagaimana

jihadis mampu melawan mereka dalam perang

gerilya militer yang membuat Barat tidak bisa

menggunakan kemajuan teknologi nuklir mereka,

tidak bisa menggunakan kapal-kapal induk dan

tidak bisa menggunakan rudal balistik. Akhirnya

mereka akan mengambil pilihan serangan darat

yang bisa kita hadapi.9

Maka kemudian hadirlah strategi Usamah bin Ladin

untuk mewujudkan kondisi yang memungkinkan

jihadis untuk mengerahkan kekuatan mereka agar

Ide Perang Gerilya Politik

Menurut pengakuan Abdullah bin Muhammad,

pada dasarnya Perang Gerilya Politik hadir untuk

menanggulangi permasalahan yang sama

sebagaimana yang disarankan oleh Usamah Bin

Ladin terkait operasi mengetuk kepala ular sebagai

penganti dari strategi perang yang berkepanjangan

melawan rezim penguasa yang terus berlangsung

selama periode 70an, 80an, dan 90an di Suriah, Al

Jazair dan Mesir, yang tidak menghasilkan apa-apa.

Karena pada saat itu gerakan-gerakan jihad

berkeyakinan untuk menyerang musuh terdekat.

Saat itu mereka tidak memahami hakikat hukum

internasional kecuali setelah itu.

9 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj

8

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

menghasilkan efek yang berlipat ganda, dan pada

saat bersamaan tidak memberi kesempatan

kepada musuh untuk menghancurkan mereka

dengan sekali perang. Kondisi ini (pasca-Perang

WTC) memperpanjang nafas jihadis karena mereka

tidak lagi berhadapan dengan satu negara, akan

tetapi jihadis dihadapkan pada koalisi internasional

selama satu setengah dekade. Perkembangan

dalam strategi saat itu merupakan produk Al-

Qaidah, bukan produk pihak lain.10

Sarana yang digunakan Barat tidak hanya kekuatan

militer, tetapi juga lembaga-lembaga PBB, media,

kekuatan ekonomi dan intelijen untuk melemahkan

negara yang melawan mereka dan mampu

membuat negara lain mendukung Barat. Di

samping itu, Barat juga akan senantiasa membuat

keadaan di negara lawan berada dalam kekacauan

internal dan senantiasa dalam krisis yang

berkepanjangan. Pada kondisi seperti ini,

Ide perang gerilya politik itu sendiri disebabkan

realitas perubahan drastis tatanan dunia sekarang

ini tentang konsep dan perspektif mendirikan dan

mendeklarasikan sebuah negara. Abdullah bin

Muhammad menulis bahwa, bentuk dan tanggung

jawab baru yang dimiliki pemerintah setiap negara

disertai dengan aturan-aturan dunia yang dikuasai

oleh Barat pasca kemenangan mereka dalam PD II

membuat mereka menemukan sarana baru untuk

menjatuhkan dan melemahkan negara-negara yang

melawan Barat.

10 Abdullah bin Muhammad, Ta’liq Muhimm Haula Maqal Hurub Al-‘ishabat As-Siyasiyyah, diakses dari www.justpaste.it/jwqs

perlawanan dan ketangguhan negara yang

berlawanan dengan Barat tergantung pada

kemampuan mereka dalam mengatasi krisis-krisis

yang ditimbulkan oleh Barat.

Kita melihat negara-negara komunis di Eropa Timur

runtuh tanpa adanya satu pun peluru yang

ditembakkan, akan tetapi lebih disebabkan oleh

tekanan rakyat sebagai buah dari kegagalan

ekonomi dan perang media yang dilakukan

Amerika. Adapun negara-negara lain seperti Kuba,

Iran, Korea Utara dan Sudan, mereka berhasil

mengamankan negara mereka dari keguncangan

keamanan dan ekonomi sehingga membuat

mereka berhasil bertahan dari embargo yang

dilakukan oleh negara regional dan internasional.

Adapun negara-negara lainnya seperti negara-

negara yang didirikan jihadis di Afganistan,

Chechnya, dan Somalia dengan mudah

dihancurkan karena karena tidak memiliki daya

tahan militer dan politik yang kuat.11

Dalam menjelaskan perubahan drastis tatanan

internasional tersebut, Abdullah bin Muhammad

menyebutkan bahwa sebelum AS memasuki

kancah PD, dewan penasihat khusus (US State

Departement—edt) telah menyelesaikan sebuah

laporan yang panjang terkait tujuan perang yang

wajib AS berlakukan bagi negara sekutunya pasca

perang. Dewan penasihat merekomendasikan

berdirinya PBB untuk menentukan pihak-pihak

mana yang diterima dan ditolak dalam setiap

kejadian. Dewan juga merekomendasikan

11 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj

9

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

berdirinya Dewan Keamanan sebagai alat monopoli

perang yang sah. Juga, Bank Dunia dan IMF untuk

mengendalikan perekonomian dunia.

Inilah lembaga-lembaga yang menjamin kekuasaan

Barat atas dunia. Maka tidak ada sebuah negara

baru yang berdiri kecuali telah mendapat

persetujuan dari PBB agar diterima oleh negara lain

sehingga bisa membuka kedutaan di negara lain

dan diakui kedaulatannya oleh negara lain. Jika ada

sebuah negara yang menyerang negara lain maka

Dewan Keamanan PBB akan mengeluarkan izin

bagi dunia internasional untuk menghukum negara

tersebut secara militer. Sebagaimana yang terjadi

di Irak saat menyerang Kuwait, Perang Kosovo, dan

perang-perang lainnya.

Negara manapun yang berusaha meraih nuklir atau

membantu terorisme maka akan diembargo secara

ekonomi hingga nantinya tunduk kepada Bank

Dunia seperti yang terjadi pada Iran dan Korea

Utara. Pada kondisi tertentu mata uang mereka

bisa saja dieliminasi nilainya oleh IMF.12

Bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet pada

akhir dekade ‘80-an maka berakhir pula Perang

Dingin I sehingga jadilah AS sebagai satu-satunya

negara adidaya di dunia yang menjadikan AS

memiliki 700 peleton pasukan militer di seluruh

wilayah dunia. Akan tetapi, hal itu tidak

berlangsung lama. Amerika terkuras energinya

dalam perang melawan Al-Qaidah di Afghanistan

dan Irak dekade yang lalu. Perang ini mampu

12 Ibid.

menggetarkan kewibawaan politik dan militer

Amerika.

Kekalahan Amerika ini menjadi sebab utama krisis

moneter yang menimpanya. Hal ini berbarengan

dengan meningkatnya perekonomian Cina dan

Rusia yang mulai menggeliat. Fenomena ini seolah

mengembalikan keseimbangan kekuatan dunia

yang dengannya berakhirlah dominasi Amerika

yang hanya mampu bertahan selama 20 tahun.

Rusia kembali menggunakan hak vetonya melawan

berbagai kebijakan AS di Dewan Keamanan.

Padahal, dalam rentang waktu 20 tahun yang

lalu—pasca runtuhnya Uni Soviet—ketika masih

lemah, Rusia sama sekali tidak mampu melawan

kehendak AS. Namun, sekarang Angkatan Laut

Rusia sudah kembali mengarungi berbagai

samudera.

Rusia kembali bersikap laksana kekuatan

superpower seperti sebelumnya yang menjadikan

Rusia semakin menjalin kekuatan dengan sekutu-

sekutunya seperti Iran, Suriah, Ukraina, dan Serbia.

Keadaan ini menandakan bahwa secara resmi

dunia telah memasuki Perang Dingin II.

Perkembangan sains yang pesat pada abad lalu

membuat fungsi dan tugas negara-negara berubah,

baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dahulu

negara hanya bertanggung jawab menjaga

keamanan rakyatnya, keamanan negara,

memutuskan sengketa, dan mengambil pajak.

Adapun hari ini negara bertanggung jawab atas

semua hal. Bisa kita lihat bagaimana tingginya

10

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

tingkat pengangguran di negara-negara Eropa

dibebankan kepada negara. Kondisi ini tentunya

berbeda di antara negara-negara Eropa tergantung

perkembangan sain dan tabiat hukum yang berlaku

di negara yang bersangkutan. Poinnya adalah tugas

pemerintah berbeda antara dulu dan sekarang

dikarenakan perubahan yang terjadi pada

kebutuhan-kebutuhan rakyat. Makanan, obat-

obatan, senjata, listrik, bahan bangunan, dan

bahan bakar merupakan komoditi pokok yang

untuk mendapatkannya harus menjalin

kesepakatan dengan negara-negara lainnya.

Kesepakatan-kesepakatan ini tergantung kepada

kemampuan suatu pemerintahan dalam mengatur

kesepakatan tersebut agar tidak bertentangan

dengan kepentingan negara-negara besar yang

menguasai Bank Dunia, IMF dan WTO (World Trade

Organization). Ketersediaan kekayaan alam seperti

minyak dan barang tambang pada sebuah negara

bukanlah jaminan suatu negara menjadi makmur

dan pemerintahnya sukses. Karena dominasi

negara-negara Barat terhadap hukum internasional

membuat mereka mampu membuat negara yang

kaya akan hasil alam menjadi miskin dan terus

berada dalam permasalahan ekonomi dan politik,

sebagaimana yang mereka lakukan kepada Sudan.

Sudan memiliki sumber minyak, dialiri Sungai Nil,

berada di sepanjang laut, memiliki lahan-lahan

pertanian, dan berbagai kekayaan lainnya yang

mampu membuat Sudan lebih maju. Namun,

karena diperintah oleh kubu islamis akhirnya Barat

memberikan sanksi ekonomi kepada Sudan.

Dengan alasan Sudan menampung Usamah bin

Ladin dan Aiman Azh-Zhawahiri mensponsori

perang saudara dan mendukung pemisahan Sudan

Selatan. Oleh karena itu, sampai saat ini Sudan

masih berada dalam krisis.

Hal yang sama juga terjadi pada Irak, Kuba, Iran,

dan Korea Utara. Pada setiap negara tersebut,

Barat senantiasa menghalangi kesuksesan mereka

agar Barat bisa menundukkan negara-negara

tersebut. Dan perlawanan yang dilakukan oleh

negara-negara tadi berbeda sesuai dengan kondisi

politik internasional. Saat dunia masih dikuasai dua

negara adidaya, negara-negara tadi mampu

bertahan dengan baik. Akan tetapi, setelah AS

mendominasi, keadaan negara-negara tadi menjadi

semakin sulit. Maka kita bisa saksikan bagaimana

Goerge W. Bush dengan pongahnya berkata,

“Bersama kami atau bersama teroris” dan dengan

seenaknya dia melancarkan perang tanpa

persetujuan Dewan Keamanan PBB karena dia tahu

tidak akan ada negara yang mampu menentang

kebijakan mereka.

Pasca runtuhnya dominasi AS dan kembalinya

keseimbangan kekuatan dunia dan penolakan

pemerintah AS untuk turun perang lagi pasca

terkurasnya energi mereka melawan Al Qaida,

serta ditambah efek krisis moneter yang menimpa

AS membuat mereka tidak mampu bergerak

(perang) sendirian. Dengan begitu kestabilan

negara-negara yang menjadi musuh AS meningkat.

Tentunya peningkatan ini sesuai keadaan masing-

masing.

11

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Diskusi Perang Gerilya Politik: Kritik dan Apresiasi

Ide Perang Gerilya Politik yang disampaikan

Abdullah bin Muhammad dengan bahasa yang jelas

dan gamblang tersebut menjadikannya sebagai

bahan diskusi dan perdebatan antara banyak

pemikir, terkhusus ulama jihadis.

a. Tanggapan dan Kritik Abu Qatadah Al-

Filishthini (Ideolog Jihadi Terkemuka)

Abu Qatadah Al-Filishthini misalnya. Hanya

berselang satu hari setelah diutarakannya wacana

tersebut oleh Abdullah bin Muhammad, ia

langsung memberikan tanggapan dan kritik yang

lumayan panjang atas ide Perang Gerilya Politik

tersebut. Umumnya, Abu Qatadah sependapat

dengan Abdullah bin Muhammad mengenai

adanya perubahan drastis politik tatanan dunia

mengenai pendirian dan pendeklarasian negara

modern. Di mana sebuah negara tidak mungkin

bisa terlepas dari tatanan dan hukum tersebut.

Abu Qatadah juga sepakat bahwa perang

merupakan bagian dari politik dan tidak

semestinya gerakan jihad hanya terfokus pada

perlawanan militer tanpa pernah memperhatikan

perlawanan politik. Namun, pemikir jihadi tersebut

tidak sependapat dengan Abdullah bin Muhammad

bahwa para komandan gerakan jihad dewasa ini

mengabaikan peran politik tersebut. Menurutnya,

anggapan bahwa sikap gerakan jihad dewasa ini

terhadap politik tidak jauh berbeda dengan sikap

gerakan jihad terdahulu adalah sebuah kekeliruan.

Gerakan jihad Al-Qaidah pasca-Perang Afghanistan,

misalnya, telah berusaha dengan segenap daya dan

upaya yang mereka miliki untuk sampai pada

tujuan mereka, yang salah satunya adalah dengan

mengadakan aliansi dengan Taliban.13

Kritik utama Abu Qatadah terhadap wacana

Abdullah bin Muhammad terletak pada aspek

aplikasi dari teori Perang Gerilya Politik, bukan

pada tataran konsep dan teorinya. Untuk itu, poin

pertama berkaitan landasan teori (ta’shil) yang

disebutkan oleh Abu Qatadah untuk wacana dan

ide apa pun adalah kemungkinan wacana atau ide

tersebut untuk diaplikasikan, bukan sekadar

wacana dan ide yang muluk dan indah, namun

tidak mungkin diaplikasikan di lapangan. Atas dasar

ini, Abu Qatadah menilai bahwa mendirikan

sebuah negara—meski dengan mendeklarasikan

secara resmi bahwa syariat Islam sebagai satu-satu

sumber hukum melalui jalan demokrasi (partai dan

pemilu)—merupakan sesuatu yang hampir

mustahil untuk terealisasi. Ini karena demokrasi

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem hegemoni tatanan internasional, yang ia

istilahkan dengan Manzhumah Hukm Al-Jahiliyyah

Al-Kulli (tatanan hukum jahiliyyah yang

universal).

14

Poin kritik Abu Qatadah berikutnya adalah

mengenai eksperimen jihadi Libya yang dijadikan

sebagai model aplikasi teori Abdullah bin

Muhammad. Bagi Abu Qatadah, sebelum

13 Baca Abu Qatadah Al-Filishthini, Ta’qib Asy-Syaikh Abi Qatadah ‘ala Maqal Hurub Al-‘Ishabat As-Siyasiyyah, dapat diakses di www.justpaste.it/jvw0 14 Ibid.

12

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

terjadinya Arab Springs, penyebab utama

kegagalan gerakan jihad terdahulu dalam

membentuk sebuah negara bukanlah karena

komandan jihad mengabaikan aspek politik, namun

lebih kepada rapat dan tidak adanya celah dari

tatanan hukum internasional yang bisa

dimanfaatkan oleh gerakan jihad.

Berbeda ketika kondisi pasca Arab Springs di mana

terbuka lobang yang besar yang bisa dimanfaatkan

gerakan jihad untuk memainkan peran politiknya.

Oleh sebab itu, Abu Qatadah masih

mempertanyakan dan meragukan mengenai

keberhasilan Perang Gerilya Politik Jama’ah

Libiyyah Muqatilah yang dijadikan model oleh

Abdullah bin Muhammad.

Pertanyaan Abu Qatadah adalah, “Apa standar

keberhasilan Jama’ah Libiyyah Muqatilah?” Ia

menyimpulkan bahwa standar keberhasilan

mereka menurut Abdullah bin Muhammad adalah

keberhasilan mereka dalam membangun koalisi di

bawah naungan atau payung legalitas yang bisa

diterima syariat (at-tahaluf tahta saqfi syar’iyyin

maqbul). Sebagaimana diketahui bahwa kaolisi

berarti bersekutu, yaitu adanya sekutu dari pihak

lain selain gerakan jihad. Lantas siapa pihak lain

tersebut?

Abu Qatadah menjelaskan bahwa pasca mulainya

revolusi demi revolusi dan masuknya para jihadis

ke dalam jihad yang lebih luas (jihad bersama

rakyat) dan tidak lagi melakukan jihad terbatas,

beliau terus berpikir akan pertanyaan yang sulit

untuk ditemukan jawabannya. Pertanyaan tersebut

ialah bagaimana jihadis bisa bersinergi dengan

jama’ah islamis (non jihadi) yang lain, yaitu

Ikhwanul Muslimin, karena mereka yang paling

besar.

Apabila dikatakan, “Jika salafi jihadi pernah

mengalah dengan kesalafian mereka dan

bergabung dengan Taliban yang notabene Hanafi,

Deobandiyah, dan Maturidi untuk mewujudkan

tujuan jihad, maka kenapa tidak mengalah dengan

hal yang tingkat prinsipnya lebih rendah dari hal di

atas dengan berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin

(IM)?” Jawabannya adalah karena IM bukanlah

gerakan jihad. Di Yaman yang mana para Jihadis

bisa bergabung bersama kabilah-kabilah (rakyat)

tanpa adanya embel-embel apapun kecuali embel-

embel Ahlus Sunnah, sementara IM tidak andil

sedikitpun (dalam jihad Yaman).

Jika ada pernyataan bahwa “Inilah contoh koalisi

dengan IM yang berhasil di Libya”. Hal itu dapat

dibantah bahwa tokoh-tokoh mazhab Malikiyah

telah berkoalisi dengan Khawarij melawan Syi’ah

Ubaidiyah. Khawarij pasca kejadian tersebut malah

membunuh Ahlu Sunnah.

Marilah kita lihat sejauh mana para politikus

mampu bertahan bergandengan tangan dengan

jihadis yang tujuannya adalah memukul kepala ular

kekufuran dan ingin menegakkan hukum yang

hanya miliki Allah. Dari sanalah, Abu Qatadah

lantas berkesimpulan bahwa sejauh kajian yang

dilakukannya, beliau melihat hal terbesar yang

paling merusak pergerakan Islam (pergerakan

13

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Islam, bukan hanya gerakan jihad) adalah berkoalisi

dengan pihak-pihak jahiliah.

Abu Qatadah juga menilai, pendapat bahwa koalisi

mampu mencegah campur tangan asing,

merupakan analisa yang tidak sempurna. Kita lihat

bagaimana Mesir ikut campur tangan dengan

begitu jelas. Maka koalisi tidak mencegah campur

tangan pihak luar. Justru keputusan Mahkamah

Konstitusi membuat mereka bingung lebih dari

kebingungan mereka terhadap koalisi itu sendiri.

Tidak adanya dukungan rakyat juga memiliki

peranan yang sangat besar dalam menghancurkan

gerakan Islam. Atas dasar tersebut, Abu Qatadah

berkesimpulan bahwa contoh yang diberikan

Abdullah bin Muhammad tidaklah cocok.15

Solusi yang disarankan Abu Qatadah untuk

mendirikan negara sebagaimana yang dicita-

citakan jihadis adalah melalui aktivitas jihad

dengan pemahamannya yang benar (jihad

merupakan bagian dari langkah politik, hanya

sarana bukan tujuan) sesuai dengan syariat. Hanya

cara itulah yang bisa mengantarkan jihadis pada

tujuan mereka yaitu untuk meruntuhkan

lingkaran kekafiran dan kejahiliahan. Sehingga

aspek apa pun itu, baik politik, harta, serta

persatuan dan dukungan rakyat, merupakan

elemen untuk memperkuat tujuan tersebut.

16

15 Ibid. 16 Ibid.

b. Tanggapan dan Kritik Sami Al-Uridi

(Penanggungjawab Umum Dewan Syariah

Jabhah Nushrah)

Kritikan terhadap wacana Perang Gerilya Politik

juga disampaikan oleh Dr. Sami Al-Uridi yang

merupakan penanggung jawab umum Dewan

Syariah Jabhah Nushrah. Sebagaimana Abu

Qatadah, Al-Uridi tidak mengkritik kerangka

konsep dan teori Perang Gerilya Politik, namun

lebih kepada aplikasi riil Perang Gerilya Politik. Al-

Uridi menilai bahwa bentuk aplikasi Perang Gerilya

Politik yang dijadikan model oleh Abdullah bin

Muhammad (ijtihad masuk dalam sistem

demokrasi dengan tetap membangun kekuatan

militer) lebih dekat kepada sekedar berlindung

(tatarrus) pada saat berkecamuknya perang politik

dibanding Perang Gerilya Politik itu sendiri.

Secara politik, menurut Al-Uridi, hari ini –

berdasarkan realita kondisi kontemporer-

merupakan fase memunculkan benih-benih

pemikiran yang lurus (al-fikr as-salim) beriringan

dengan aktivitas pergerakan yang juga lurus (‘amal

haraki salim), yang tentunya di bawah pengawasan

para ahli ilmu dan ahli berpengalaman yang jujur.

Fase hari ini bukanlah fase berlindung (tatarrus)

dan bersembunyi (ikhtifa`). Ini berarti bahwa hari

ini merupakan fase pergulatan pemikiran dan fisik,

juga fase pergulatan pemikiran dan pergerakan.

Umat belum pernah melewati fase yang lebih

membutuhkan penjelasan, ketegasan, dan

keterusterangan, baik secara pemikiran dan

pergerakan, seperti pada fase hari ini.

14

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Untuk itu, Al-Uridi menegaskan bahwa yang kita

butuhkan hari ini adalah menyatakan dengan

argumentatif akan kejujuran dan kebenaran

dakwah kita, dengan bahasa yang paling lugas dan

jelas, dan dengan potret dan identitasnya yang asli

(ideologi, visi, misi, dan cita-cita), tanpa

meninggalkan satu pun ketidakjelasan. Namun cara

menjelaskan hal itu harus menyertakan kaidah-

kaidah dan pijakan-pijakan yang mampu

mengantisipasi terjadinya penyimpangan dan

penyelewengan di kemudian hari.17

Pada hemat Al-Uridi, ide penting yang seyogianya

dijelaskan secara gamblang, baik dengan bahasa

saran atau pun pendekatan teori, adalah

Hakimiyyah Asy-Syari’ah (syariat sebagai satu-

satunya sumber hukum), atau penegakan negara,

atau perbedaan antara manhaj pemegang

kebenaran dan orang yang sesat, atau persoalan

iman dan takfir, persoalan menyelesaikan

persengketaan, dan persoalan membangun koalisi,

juga membuat piagam dan perjanjian. Terkhusus

berkaitan dengan Hakimiyyah Asy-Syari’ah

tersebut, Al-Uridi menekankan akan urgennya

menjadikan hal itu persyaratan dalam setiap

langkah dan di setiap fase. Bahkan Al-Uridi

menyebutkan bahwa jelasnya persoalan ini dalam

setiap fase dan langkah merupakan metode Al-

Qur`an dan As-Sunnah.

18

Adapun mengenai usulan Abdullah bin Muhammad

untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu sebagai

17 Berkaitan dengan tanggapan dan kriti Dr. Sami Al-‘Aridi ini dapat diakses di www.justpaste.it/jxc9 18 Ibid.

bagian dari strategi Perang Gerilya Politik, Al-‘Aridi

merasa keberatan atas usulan itu. Karena

menurutnya, bagi jihadis terkhusus Al-Qaidah,

persoalan ikut berpartisipasi dalam pemilu yang

berada di bawah payung demokrasi dan

perundangan-undangan kontemporer merupakan

suatu yang sudah final. Yaitu, tidak masyru’nya

jalan tersebut, selain juga telah terbukti gagal

bertahan ketika berhadapan dengan serangan

politik dan militer pihak lawan, sebagaimana yang

diterangkan oleh Usamah bin Laden dalam banyak

kesempatan.19

Untuk menemukan metode yang paling solutif

dalam membangun negara, Al-‘Aridi mengusulkan

bahwa sangat diperlukan adanya pembahasan

kolektif dan juga bukti aktivitas kolektif nyata yang

berdasarkan landasan teori yang mapan. Di mana

hal itu dilakukan oleh kumpulan-kumpulan para

ahli ilmu dan para ahli berpengalaman yang jujur,

tentunya setelah mereka melakukan musyawarah

dan studi mendalam untuk menentukan solusi

syar’i yang paling tepat.

20

c. Tanggapan dan Kritik Thariq Abdul Halim

(Pengamat Pergerakan Jihad)

Tokoh lain yang juga menanggapi dan memberikan

kritikannya pada wacana Perang Gerilya Politik

adalah Dr. Thariq Abdul Halim salah seorang

pengamat pergerakan jihad yang terpandang dan

berhubungan dengan tokoh-tokoh jihad

19 Ibid. 20 Ibid.

15

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

internasional. Dalam membangun landasan

kritiknya, Thariq Abdul Halim mengingatkan

bahwa, bagi seorang pengamat terhadap wacana

dan ide apa pun semestinya mengetahui realita

secara benar dan sempurna, juga secara mendetail

dan tidak secara global atas persoalan tertentu.

Selain itu, seorang pengamat juga harus

memperhatikan maqashid (tujuan-tujuan) Syariat.

Wacana dan ide yang diusulkannya tidak sebatas

hanya pada legalitas dari wacana dan ide tersebut,

namun juga berdasarkan efek dan akibat yang akan

ditimbulkan dari ide tersebut.21

Berkaitan persoalan mendeklarasikan negara,

menurut Thariq Abdul Halim, secara syar’i

hukumnya tidaklah wajib. Bahkan ia berpendapat

bahwa mendeklarasikan negara sebelum

memenuhi seluruh persyaratannya tidak akan

menghasilkan suatu kebaikan.

22

Pertama, hal itu tertolak secara syar’i dan realita.

Menurutnya, adanya niat awal untuk masuk ke

dalam parlemen merupakan suatu yang tidak sah

(diperbolehkan) kecuali demi merealisasikan

tujuan (untuk membangun negara Islam) dan

memiliki kemampuan untuk menjamin

diberlakukannya syariat. Diberlakukannya syariat

Adapun mengenai masuknya perwakilan dari

gerakan-gerakan jihad ke dalam sistem demokrasi

demi membangun payung legalitas gerakan jihad

mereka, menurut penilaian Thariq Abdul Halim:

21 Thariq Abdul Halim, Harb Al-‘Ishabat fi Majal As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, http://tariqabdelhaleem.net/new/Artical-72859 [diakses pada 30/04/2015] 22 Ibid.

yang dimaksud bukan sekedar penerapan hudud

(pidana Islam), namun memberlakukan syariat

sebagaimana yang tercantum dalam teks-teks

syar’i dan juga yang ditetapkan oleh kaidah-kaidah

syariat baku.

Kedua, asumsi bahwa bahwa politik dan perang

memungkinkan untuk berjalan beriringan

merupakan kesalahpahaman terbesar dari usulan

Perang Gerilya Politik. Ini karena aktivitas politik

akan seketika berhenti tatkala peluru pertama

meletus, demikian juga bahwa letusan-letusan

peluru tersebut akan seketika berhenti manakala

diatur meja perundingan politik. Hal ini merupakan

filosofis yang dipegang oleh Barat tanpa terkecuali.

Untuk itulah, mereka rela berkorban untuk tidak

melakukan perundingan dengan kelompok yang

mereka cap sebagai teroris, yaitu kelompok yang

mengacungkan senjata pada mereka, meski

kelompok tersebut ikut terlibat di parlemen.23

Selain itu, Thariq Abdul Halim juga menyangsikan

keberhasilan Jama’ah Libiyyah Muqatilah dalam

melakukan Perang Gerilya Politik. Ia berpandangan

bahwa terjadinya chaos di Libya hari ini

menjadikannya sebagai negara yang gagal. Ini

disebabkan tidak adanya pasukan militer yang riil

di sana. Atau dapat dikatakan juga bahwa

kumpulan dari Konferensi Nasional telah berhasil

menginfiltran pasukan militer tersebut. Lebih dari

itu, menurut penilaiannya, Barat bahkan langsung

sukses menggagalkan proyek mereka melalui

23 Ibid.

16

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

milisi-milisi Haftar dan juga melalui parlemen

Libya.24

Tharib Abdul Halim yakin bahwa menggalang

dukungan dari umat merupakan salah satu metode

dalam menghadapi rezim-rezim. Yaitu dengan

mengikutsertakan umat dalam menghadapi

mereka. Karena umatlah bahan bakar sebenarnya

kekuatan politik tersebut.

25

d. Tanggapan dan Apresiasi Abu Muhammad

Ash-Shadiq (Penanggungjawab Umum

Dewan Syariah Ahrar Asy-Syam)

Sebagai lazimnya sebuah wacana dan ide baru,

selain adanya berbagai kritik, Perang Gerilya Politik

juga menuai apresiasi dari beberapa ulama jihadis.

Abu Muhammad Ash-Shadiq yang merupakan

penanggung jawab umum Dewan Syariah Ahrar

Asy-Syam memuji wacana Abdullah bin

Muhammad tersebut sebagai isyarat penting akan

perlunya bagi gerakan jihad untuk terbiasa dalam

menghadapi berbagai perubahan kondisi dan

peluang dengan melalui macam cara dan strategi

dalam mengantisipasi dan melakukan manuver

atas perubahan tersebut.

Abu Muhammad Ash-Shadiq mengingatkan para

komandan dan aktivis gerakan jihad untuk tidak

lemah dalam siyasah syar’iyyah. Menurutnya,

dasar utama siyasah tersebut adalah tidak adanya

penyimpangan terhadap syariat untuk

24 Ibid. 25 Ibid.

mewujudkan Maqashidusy Syari’ah dan

mengamalkan hal-hal yang didiamkan (tidak

disebutkan hukumnya secara tegas) oleh syariat

demi tercapainya tujuan. Ia berpendapat bahwa

siyasah syar’iyyah termasuk di dalamnya segala

sesuatu yang mubah yang dilakukan rakyat

walaupun syariat tidak menyebutnya secara

langsung. Tentunya selama hal tersebut dekat ke

maslahat dan jauh dari mafsadat.

Atas dasar ini, ia menilai bahwa orang yang tidak

mengindahkan fiqih muwazanah (menimbang

antara maslahat dan mafsadat) maka ia akan

menyelisihi syariat tanpa ia sadari. Selain sudah

pasti ia akan mengalami kegagalan, kemudian

secara tidak langsung ia menghalangi orang lain

dari jalan Allah, sementara dia berkeyakinan

bahwa dia telah berbuat baik.26

Sayangnya, Abu Muhammad Ash-Shadiq tidak

mengomentari mengenai bentuk aplikasi dari

Perang Gerilya Politik yang dijadikan sebagai model

oleh Abdullah bin Muhammad, yaitu berupa ijtihad

masuk dalam sistem demokrasi dengan tetap

membangun kekuatan militer. Terkhusus terkait

sejauh mana keberhasilan dan efek eksperimen

Jama’ah Libiyyah Muqatilah dalam Perang Gerilya

Politik mereka. Ini mengingat bahwa krisis Libya

termasuk persoalan yang menjadi perhatian

internasional. Selain itu, ia belum menyebutkan

kaidah mengenai dengan siapa saja gerakan jihad

memungkinkan untuk melakukan koalisi demi

mewujudkan tujuan mereka.

26 Untuk lebih mendalami tanggapan Abu Muhammad Ash-Shadiq, silakan akses www.justpaste.it/ShounIstratijia

17

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

e. Tanggapan dan Apresiasi Abu Mariya Al-

Qahthani (Mantan Dewan Syariat Jabhah

Nushrah)

Tanggapan dan apresiasi yang juga tak kalah

penting adalah apa yang disampaikan oleh Abu

Mariya Al-Qahthani. Sosok yang dianggap sebagai

orang kedua Jabhah Nushrah tersebut menilai

bahwa pada dasarnya artikel Perang Gerilya Politik

tidak memerlukan tambahan komentar-komentar

konseptual atau pun kritik-kritik yang dikaitkan

dengan partai atau gerakan tertentu, namun yang

dibutuhkan adalah dukungan landasan teori syar’i

atas ide dan pendekatan tersebut, dan ditambah

dengan batasan-batasan dari kaidah-kaidah syar’i

setelah menjelaskan hukum syar’i dari ide

tersebut.

Menurutnya, secara substansi, ide Perang Gerilya

Politik yang dikemukakan oleh Abdullah bin

Muhammad hampir mirip dengan pendekatan Abu

Qatadah Al-Filishthini. Untuk itulah, agar nilai

artikel tersebut bertambah, ia menyarankan

kepada Abdullah bin Muhammad untuk

memberikan batasan-batasan ide Perang Gerilya

Politik tersebut sesuai dengan apa yang ditetapkan

oleh syariat.27

Dari pemaparan wacana dan ide Perang Gerilya

Politik beserta tanggapan, komentar, kritik dan

apresiasi atasnya, perlu kembali ditegaskan di sini

bahwa, Abdullah bin Muhammad tidak sedang

27 Tanggapan Abu Mariya Al-Qahthani ini dapat diakses pada alamat www.justpaste.it/jzi2

menyarankan gerakan-gerakan jihad untuk

meninggalkan sifat jihadi mereka lalu berpaling

pada politik praktis, yaitu ikut berpartisipasi dalam

pemilu. Ikut serta dalam pemilu tersebut

menurutinya adalah sebagai bentuk strategi

tambahan -bukan pokok- bagi jihadis setelah

mereka mampu memiliki kemapanan militer dan

mampu memenangkan hati dan pikiran umat

Islam. Sehingga dengan demikian jihadis memiliki

kemampuan bertahan yang lebih besar, yaitu

militer, dukungan umat, dan legalitas politik untuk

menentukan arah kebijakan negara yang baru

terbentuk.

Namun, sebagaimana lazimnya sebuah wacana

dan ide baru, sebelum diterapkan, wacana dan ide

tersebut harus dimatangkan terlebih dahulu, yang

dilakukan oleh para ulama, ahli ilmu, ahli

berpengalaman, dan komandan lapangan yang

jujur. Demikian itu adalah untuk meninjau sejauh

mana wacana dan ide tersebut selaras dengan

syariat (dilakukan oleh ulama yang jujur),

memungkinkan untuk diaplikasikan (dilakukan oleh

komandan lapangan yang jujur), dan juga pengaruh

positif atau negatif akibat diaplikasikannya wacana

dan ide tersebut (dilakukan oleh ahli

berpengalaman yang jujur). Paling tidak, adanya

wacana dan ide Perang Gerilya Politik ini

diharapkan mampu menggerakkan ulama, ahli

berpengalaman, dan komandan lapangan untuk

bisa duduk bersama guna membahas dan

mendalaminya, serta membuahkan sebuah solusi

paling tepat.

18

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Kesimpulan

Wacana dan ide konsep Perang Gerilya Politik

merupakan usaha untuk mengembalikan prosedur

standar untuk menghadapi kekuatan tatanan

hukum internasional. Selain juga untuk

mengembalikan dan memberikan kesadaran pada

aliran jihadi untuk memanfaatkan ruang-ruang dan

celah-celah politik di wilayah yang di sana mereka

unggul dalam aspek militer dengan strategi perang

gerilya mereka. Wacana dan ide itu hadir setelah

adanya usaha Barat menyerang secara gerilya

melalui drone di wilayah-wilayah yang dikuasai

oleh jihadis setelah mereka mengumumkan

berdirinya sebuah negara, sehingga menimbulkan

banyak korban dari mereka. Meski perlu

dimatangkan terlebih dahulu, tak dipungkiri

bahwa, konsep Perang Gerilya Politik telah

memberikan tambahan pembendaharaan dan

strategi alternatif bagi tatanan pemikiran, strategi,

dan poltik bagi gerakan-gerakan jihad. Jadi, jika

konsep tersebut bisa dimatangkan kemudian

ditetapkan dan diaplikasikan dalam setiap proses

pembuatan keputusan gerakan jihad, maka akan

terwujudlah keharmonisan dan sinergi aktifitas

jihad di dunia yang tampak pada kedinamisan baru

dalam perubahan dan manuver mereka. Namun

untuk menuju ke arah itu diperlukan suatu proses.

Lama tidaknya proses tersebut tergantung sejauh

mana gerakan jihad mampu mensinergikan antara

Sunnah Syar’iyyah dan Sunnah Kauniyyah menjadi

kerangka dalam seluruh pemikiran dan aktifitas

mereka.

Rasulullah telah menjanjikan akan kembalinya fase

Khilafah ‘ala Manhaj An-Nubuwwah bagi umatnya,

setelah ia hilang tergantikan oleh fase-fase lain. Hal

itu merupakan fase di mana akan kembalinya Islam

sebagai sistem yang menghegemoni dunia

sebagaimana yang terjadi pada era Khulafa`

Rasyidin. Sebagaimana diketahui bahwa Khilafah

‘ala Manhaj An-Nubuwwah pertama merupakan

hasil dari kesepakatan dan persatuan umat Islam

pada saat itu yang berdasarkan prinsip-prinsip

Islam yang baku. Lantas, apakah dengan adanya

wacana dan ide Perang Gerilya Politik merupakan

di antara proses untuk lahirnya wacana dan ide

baru yang mampu mempersatukan umat Islam

tanpa terkecuali? Wallahu A’lam. (Ali Sadikin)

19

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Memahami Konflik Libya

Ansharusy Syariah sebagai Pemain Kunci

Konflik Libya—yang diistilahkan oleh beberapa

media sebagai perang saudara (civil war)—

adalah konflik bersenjata yang sedang

berlangsung antara kubu islamis Libya dan

lawan-lawan politik mereka dari kubu sekuler

sejak 2014. Dari sisi politik, golongan penerus

rezim Qadzafi bisa dibedakan menjadi dua

kelompok utama: golongan nasionalis yang

ingin menjadikan Libya sebagai negara sekuler

dan golongan islamis yang ingin mengubah

negara menjadi negara yang berbasis Syariah.

Kedua golongan ini masing-masingnya juga

bisa dibedakan lagi menjadi golongan sentralis

(yang menginginkan agar pemerintah pusat

memiliki kontrol kuat ke daerah) dan golongan

federalis (yang menginginkan otonomi luas di

daerah).

Faktor politik bukanlah faktor satu-satunya yang

menyebabkan perpecahan antargolongan di Libya.

Faktor sentimen kesukuan dan kedaerahan juga

menjadi penyebab lain dari perpecahan di mana

ketika terjadi sengketa dan konflik, maka pihak-

pihak yang terlibat di dalamnya cenderung

menempatkan kepentingan suku dan daerahnya

sendiri sebagai prioritas. Dikombinasikan dengan

begitu bebasnya peredaran senjata di Libya dan

masih lemahnya penegakan hukum dan

pemerintahan sipil yang efektif di Libya pasca

perang penggulingan Qadzafi (2011). Libya pun

menjadi negara yang dipenuhi oleh kelompok

bersenjata sehingga situasi keamanan di sana

menjadi tidak menentu.

Tahun 2012, Libya sempat berhasil menyusun

pemerintahan usai digelarnya pemilu parlemen

pada bulan Juli di tahun yang sama. Parlemen hasil

pemilu tersebut oleh media-media asing dikenal

dengan nama Kongres Nasional Umum (GNC;

General National Congress) dan keanggotaannya

didominasi oleh golongan Islamis. Namun, selama

GNC berkuasa, muncul rasa tidak puas dari kubu

militer Libya karena GNC dituduh lebih memilih

untuk mempersenjatai kelompok-kelompok milisi

Islamis daripada memperbarui alutsista dan

meningkatkan kesejahteraan tentara. Rasa tidak

suka terhadap gaya pemerintahan GNC juga

muncul dari golongan sekuler karena GNC

mencoba menerapkan syariat Islam ke seantero

Libya.

20

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Masa kerja GNC seharusnya berakhir pada tanggal

7 Februari 2014. Namun, dengan alasan GNC

belum berhasil merumuskan UUD/konstitusi baru

Libya akibat konflik antargolongan di parlemen,

GNC pun mengajukan perpanjangan masa tugas.

Gagasan ini pun menuai aksi protes dari golongan

non-Islamis, termasuk Khalifah Haftar selaku salah

satu mantan petinggi militer Libya. Kubu militer

pun menganggap lawan politiknya gagal

mempertahankan otoritas mereka sebelum

mandat berakhir. Pada tanggal 14 Februari 2014,

Jenderal Khalifah Haftar memerintahkan

pembubaran GNC dan pembentukan komite

pemerintahan sementara untuk mengawasi

pemilihan umum yang baru. GNC menolak perintah

ini.

Konflik dimulai dua bulan kemudian, pada tanggal

16 Mei, ketika tentara yang setia kepada Jenderal

Haftar melancarkan serangan darat dan udara

besar-besaran (dengan nama kode Operasi

Martabat; Operation Dignity; 'Amaliyyah Al-

Karamah) terhadap kubu Islamis di Benghazi.

Haftar dan pendukungnya menjelaskan bahwa

Operasi Martabat adalah "pembenaran menuju

jalan revolusi" dan "perang terhadap terorisme".

Dua hari kemudian, pasukan Haftar berupaya

untuk membubarkan GNC di Tripoli supaya pemilu

yang baru bisa segera digelar. Tindakan ini oleh

kubu Islamis GNC dianggap sebagai upaya kudeta.

Ekskalasi konflik menghalangi upaya kelompok

islamis di GNC yang sejak awal menolak pemilu

baru. Pada tanggal 25 Juni 2014 terselenggara

pemilu yang bertujuan untuk mengangkat Dewan

Perwakilan Rakyat sebagai pengganti GNC. Karena

pemaksaan agenda dan dominasi kubu sekuler,

kelompok islamis pun dipinggirkan dalam pemilu

tersebut kubu sekuler berhasil keluar sebagai

pemenang.

Namun, perlu diperhatikan bahwa pemilu tersebut

hanya diikuti oleh kurang dari 20% rakyat Libya

sebagai akibat dari kacaunya situasi keamanan dan

menurunnya antusiasme rakyat untuk

berpartisipasi. Lepas dari hal tersebut, pemilu

tetap disahkan secara sepihak serta para

pemenang diangkat menjadi anggota parlemen

yang baru sebulan sesudahnya. Parlemen inilah

yang diakui negara-negara Barat sebagai

pemerintahan sah Libya dan parlemen ini juga

mendapat dukungan dari kubu Haftar dan

pengikutnya.

Dibentuknya parlemen Libya yang baru tidak

disambut dengan baik oleh semua pihak. Kubu

Islamis di GNC menganggap pemilu yang menjadi

dasar pembentukan parlemen terbaru tidak sah

karena pemilu tersebut harusnya tidak digelar jika

pasukan pendukung Haftar tidak membubarkan

GNC secara paksa. Maka, golongan Islamis pun

membentuk parlemen tandingan dengan nama

New General National Congress (NGNC).

Untuk menggulingkan paksa parlemen baru Libya

lewat jalur militer, NGNC lalu menggelar operasi

militer tandingan dengan nama sandi Operasi Fajar

(Operation Dawn) pada 13 Juli 2014, di mana

kelompok-kelompok milisi islamis yang sehaluan

dengan NGNC menjadi ujung tombaknya. Konflik

21

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

semakin memuncak setelah pasukan islamis

melancarkan operasi yang berupaya menguasai

Bandara Internasional Tripoli. Gagal

mempertahankan bandara, mereka

menghancurkan sejumlah pesawat di landasan dan

membuatnya tidak bisa dioperasikan.

Sementara itu di Benghazi (kota terbesar di Libya

timur), operasi militer yang dilakukan pasukan

Haftar dimaknai sebagai perang melawan agama

oleh kelompok islamis. Maka, kelompok-kelompok

Islamis di Benghazi pun membentuk organisasi

koalisi baru yang bernama "Shura Council of

Benghazi Revolutionaries" (SCBR; Dewan Syura

Revolusioner Benghazi) pada bulan Juni 2014.

Dewan ini mendorong pembentukan pemerintahan

islami di Benghazi. Salah satu kelompok penyusun

SCBR adalah kelompok Ansharusy Syariah, di mana

kelompok tersebut tidak mengakui GNC karena

Ansharusy Syariah menolak paham demokrasi.

Kelompok inilah yang dituduh Amerika Serikat (AS)

sebagai jaringan Al-Qaidah dan terlibat dalam

serangan Benghazi 2012.

Perang Libya 2014–2015 banyak mengambil

tempat di pantai utara Libya karena di sanalah

kota-kota penting dan kilang minyak Libya

terkonsentrasi. Berikut ini peta yang

menggambarkan persebaran pengaruh dan kontrol

dari masing-masing pihak yang bertikai, menurut

tiga kategori kubu utama:

- kubu nasionalis sekuler;

- kubu Islamis pendukung parlemen NGNC;

- kubu Islamis lain yang mencakup Ansharusy

Syariah dan sekutunya.28

Sekilas rincian dari kubu-kubu yang bertikai adalah

sebagai berikut:

A. Pemerintah Sekuler Libya dan Para

Pendukungnya

Kubu ini menginginkan Libya menjadi negara

dengan sistem pemerintahan sekuler & memiliki

parlemennya sendiri di mana parlemennya baru

terbentuk pada bulan Agustus 2014 lalu. Sekarang

parlemen nasionalis bermarkas di Tobruk, timur

Libya, karena ibukota Tripoli dikuasai oleh kubu

islamis.

1. Libyan National Armed Forces (LNA) atau

Tentara Nasional Libya, baik dari elemen

angkatan darat, laut, dan udara. Sebagian

elemennya adalah mantan tentara yang

masih loyal kepada Qadzafi. Menurut data

bulan Oktober 2013, kekuatan angkatan 28 “Daftar Kelompok Bersenjata dalam Perang Libya 2014”, http://www.re-tawon.com/2014/11/daftar-kelompok-bersenjata-dalam-perang.html

22

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

bersenjata sempat mencapai 35.000

personel, tetapi kini diperkirakan hanya

mencapai 20.000 personel dengan

pengalaman tempur rendah. Sisanya

diperkirakan memihak rival dari kubu

islamis. Selaku KSAD adalah Kolonel

Abdurrazzaq Nadhuri, sedangkan KSAU

adalah Jenderal Shaqr Al-Jarusyi. Pasukan

ini mendapat dukungan penuh dari kubu

Khalifah Haftar. Mereka menjadi motor

utama Operasi Martabat.

2. The Petroleum Facilities Guard (PFG) atau

Pasukan Penjaga Instalasi Minyak Libya.

Sesuai namanya, pasukan ini melindungi

instalasi minyak yang dimiliki Libya.

Kekuatan tempur yang dimiliki 18.000–

21.000 orang, di mana 2.000 dari mereka

adalah militer terlatih. Pemimpin PFG

wilayah Timur adalah Kolonel Idris Abu

Khamada, yang juga bersekutu dengan

Pasukan Cyrenaica. Pasukan ini selain

memainkan peran sebagai penjaga instalasi

minyak Libya, juga mengatur ekspor impor

minyak ke luar Libya, di samping menghalau

para Islamis yang ingin merebut ladang

minyak.

3. Cyrenaica Self-Defence Force (CSDF) atau

Pasukan Bela Diri Cyrenaica di timur Libya.

Mereka memberikan loyalitasnya kepada

Jenderal Haftar dan ingin mendirikan

daerah otonomi federal di wilayah timur

Libya. Mereka memiliki dua divisi pasukan,

pasukan tempur dan pasukan penjaga

keamanan. Memiliki dewan transisi

pimpinan Ahmad Zubair As-Sanusi dan Biro

Politik pimpinan Ibrahim Jadhran, mantan

komandan PFG. Sedangkan pasukan

penjaga keamanannya dipimpin oleh

Kolonel Najib Al-Hassi. Berdasarkan data

bulan Oktober 2013, kekuatan CSDF

mencapai 17.500 personil.

4. Thunderbolt Special Force atau Pasukan

Khusus Ash-Sha’iqah. Merupakan unit

pasukan khusus yang berjumlah sekitar

3.000–5.000 personel yang dipimpin

Kolonel Wanis Boukhamda. Brigade ini

ditugaskan pemerintah Libya untuk

menjaga keamanan di Bengazhi pada era

GNC. Brigade ini terlibat pertempuran

dengan kelompok Ansharusy Syariah pada

akhir Juli 2014 dan gagal mempertahankan

wilayah Bengazhi.

5. Al-Zintan Revolutionaries' Military Council

(ZRMC) atau Brigade-Brigade Zintan.

Ideologi kelompok ini bercampur antara

nasionalisme dan kesukuan. Kelompok ini

terbagi menjadi tiga kekuatan tempur

utama:

a. Brigade Ash-Shawa’iq dengan kekuatan

mencapai 2.000 personil yang berseragam

sama dengan AD Libya dan dibekali dengan

senjata-senjata berat. Brigade ini berdiri

tahun 2011 dalam rangka memberi

perlindungan keamanan bagi para pejabat

pemerintah transisi dan lembaga di Tripoli.

23

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Pimpinannya adalah Isham Ath-Tharabulusi.

Sebagian besar elemennya berasal dari

suku Zintan yang berbasis di Tripoli.

b. Brigade Al-Qa’qa. Pasukan ini juga berdiri

di tahun 2011 dalam rangka menggulingkan

Qadzafi. Mereka mengklaim sebagai

brigade yang paling terorganisir dan terbaik

dengan sekitar 18.000 tentara. Brigade

pimpinan Utsman Mulayqitah ini

berideologi Nasionalis. Awalnya, dalam

konflik ini mereka berugas menjaga

keamanan pemerintah Libya. Namun,

dalam perjalanannya, mereka juga turut

bertempur melawan pasukan islamis,

termasuk dugaan penculikan para anggota

GNC.

c. Brigade Al-Madani. Brigade ini dipimpin

oleh Muhammad Ali Al-Madani di tengah-

tengah suasana konflik. Diperkirakan

kekuatannya sekitar 4.000 personil

sehingga membentuk total kekuatan

Brigade-Brigade Zintan hingga 24.000

pasukan.

6. Pihak Luar Negeri. Peran Mesir dan UEA

dalam konflik Libya tidak boleh diabaikan.

Saat pertempuran terjadi di Tripoli,

angkatan udara kedua negara tersebut

diduga kuat turut menyerang pejuang

islamis. Alasannya adalah dalam rangka

memerangi kelompok teroris di Libya.

B. Kelompok Islamis Pro NGNC dan Koalisinya

Kubu ini ingin mengubah Libya menjadi negara

Islam dan dianggap sebagai sayap militer tidak

resmi dari parlemen islamis NGNC yang sekarang

bermarkas di Tripoli. Selain dengan nama NGNC,

parlemen yang bersangkutan juga menyebut

dirinya dengan nama National Salvation

(Keselamatan Nasional).

1. LROR (The Libya Revolusioner Operation

Room). Kelompok ini menjadi backing bagi

pemerintah GNC yang berhasil digeser oleh

pemerintah Libya saat ini. Mereka berada di

bawah kendali Komandan Sya’ban Hadiyah

dan Adil Gharyani. Saat lengser, pemerintah

Libya menuding bahwa pasukan ini masuk

dalam daftar organisasi teroris. Pasukan ini

dibentuk dalam rangka menjaga ketertiban

dan keamanan wilayah Tripoli. Dalam

perjalanannya, mereka tidak hanya

beroperasi di Tripoli, namun meluas ke

daerah-daerah lain di Libya, termasuk

Bengazhi.

2. LSF (Libya Shield Force) atau Pasukan Perisai

Libya. Kelompok ini dianggap sebagai salah

satu yang terkuat di Libya. Pasukannya

terdiri dari 12.000 pejuang terlatih dan

1.200 kendaraan militer. Di samping itu,

kelompok ini juga aktif dalam misi sosial

dan dakwah. Mereka bekerja sama dengan

suku Misrata dalam Operasi Fajar untuk

menyerang Bandara Tripoli. Daerah operasi

kelompok ini meliputi Libya bagian barat,

tengah, dan timur. Libya Shield Force 1

(Pasukan Pertahanan Libya 1) adalah

24

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

cabang dari Libya Shield Force yang

tergabung dalam Majelis Syura

Revolusioner Benghazi (SCBR).

3. Brigade Misrata. Kelompok ini termasuk

yang terkuat di Libya berdasarkan jumlah

anggota dan stok persenjataannya. Pasukan

Misrata aslinya merupakan gabungan dari

236 kelompok milisi setempat yang

bermunculan saat perang sipil Libya masih

berlangsung. Menurut data bulan Oktober

2013, jumlah anggota Pasukan Misrata

adalah sekitar 40.000 personil. Bukan hanya

itu, Pasukan Misrata juga menyimpan stok

persenjataan yang terdiri dari 800 buah

tank, 2.000 buah kendaraan militer, dan

30.000 pucuk senjata api. Daerah operasi

Brigade Misrata terkonsentrasi di Libya

bagian tengah dan barat.

4. Pihak Luar Negeri seperti Qatar, Sudan, dan

Turki. Anggota pemerintah sekuler Libya,

salah satunya Ahmad Al-Hirati, menuding

Qatar telah mendukung kelompok-

kelompok militan Islam. Qatar dinilai

memanfaatkan dukungan ini untuk

menambah pundi-pundi ekonomi mereka

dengan dikirimnya minyak dan gas alam

dari Bandara Tripoli setelah berhasil

dikuasai.

C. Kelompok Jihadis

Kubu yang juga ingin menjadikan Libya sebagai

negara Islam. Kelompok paling dominan dalam

kubu ini adalah Ansharusy Syariah, di mana

kelompok yang bersangkutan menolak

demokrasi sehingga secara otomatis kelompok

tersebut tidak terlibat langsung dengan

keberadaan NGNC dan parlemen nasionalis

Libya. Namun, di kota Benghazi Ansharusy

Syariah bekerja sama kelompok-kelompok

Islamis lainnya tergabung dalam SCBR (Shura

Council of Benghazi Revolutionaries) sebagai

wadah perjuangan bersama.

1. Ansharusy Syariah Libya (ASL). Kelompok ini

bertujuan untuk menegakkan syariat Islam

di Libya. Pada mulanya dipimpin oleh

Muhammad Az-Zahawi dan setelah ia gugur

digantikan oleh Abu Khalid Al-Madani. Pada

2012, AS menuding kelompok ini

bertanggung jawab atas pengeboman

Kantor Konsulat AS di Bengazhi 2012 dan

menawaskan duta besarnya, Christopher

Stevens. Dari sinilah AS menempatkannya

termasuk dalam kelompok teroris yang

terkait Al-Qaidah. ASL memiliki pejuang

yang loyal dan berpengalaman sekitar 5.000

personil, sebagian dari mereka adalah

veteran Perang Afghanistan.

2. Brigade Syuhada 17 Februari. Kelompok ini

dianggap sebagai kelompok terkuat,

terbaik, dan terlengkap dari sisi

persenjataan di wilayah timur Libya.

Anggotanya berkisar 3.500 pejuang.

Namun, sumber lain menyatakan

jumlahnya mencapai 12.000 pejuang.

25

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

3. Brigade Rafallah Al-Sahati. Mereka adalah

pecahan dari Brigade Syuhada 17 Februari

yang dipimpin oleh Ismail Ash-Shallabi.

Berdasarkan data Oktober 2013, jumlah

pasukannya berkisar 1.000 orang dan

memiliki daerah operasi di Libya Timur dan

Kufra. Bersama dengan LSF dan Brigade 17,

pemerintah pusat Libya pada era GNC

sempat mengakui peran Pasukan Rafallah

sebagai penjaga keamanan resmi di wilayah

timur.

4. ISL (the Islamic State in Libya) atau Daulah

Islamiyah Wilayah Libya. Kelompok ini

merupakan pendukung ISIS yang sudah

mulai menampakkan eksistensinya, di

antaranya di Derna. Mereka memiliki

agenda sendiri dan menyatakan sumpah

setia kepada Abu Bakar Al-Baghdadi.

Mereka sudah mempersiapkan administrasi

semi-pemerintahan di daerah yang mereka

kontrol dan upaya penegakkan hudud.

Namun, kelompok ini terlibat dalam

sejumlah insiden berdarah. Di antaranya

pemenggalan warga Koptik yang memicu

respons serangan dari militer Mesir.

Kelompok ini juga terlibat konflik bersenjata

dengan Majelis Syura Mujahidin Derna

sehingga terusir dari sana (Juni 2015).

Di lapangan, kelompok islamis dan jihadis—

selain ISL—bekerja sama melawan kubu Haftar

di bawah naungan Majelis Syura Revolusi Libya.

Wadah ini merupakan aliansi gabungan dari

beberapa brigade yang terbentuk bulan Juni

2014 sebagai respons atas Operasi Martabat

yang dilancarkan kubu Haftar. Pada tanggal 14

Juli 2014, aliansi ini berhasil mengambil alih

Barrack 319, salah satu barak militer terbesar di

Libya Timur. Pada akhir Juli 2014, lima barak

militer di Bengazhi berhasil dikuasai, termasuk

markas Pasukan Khusus Ash-Sha’iqah. Secara

khusus, kemunculan dan kiprah ASL sebagai

pemain kunci dan representasi kelompok

jihadis akan diuraikan lebih lanjut.

Kemunculan Ansharusy Syariah Libya (ASL)

Selama dua tahun terakhir, perhatian global

banyak bergeser ke Suriah dan Irak dengan

munculnya Jabhatun Nushrah (JN) dan kembalinya

Daulah Islamiyah Irak dan Syam atau the Islamic

State of Iraq and Sham (ISIS). Namun, hampir

seribu mil ke barat, Ansharusy Syariah di Libya

(ASL) terus bekerja memfasilitasi sebuah embrio

daulah islamiyah masa depan sejak serangan

spektakuler di Konsulat Jenderal AS di Benghazi

pada 11 September 2012.

Awalnya, ASL meluncurkan program dakwah yang

sangat mengesankan, termasuk penyediaan

pelayanan sosial baik di dalam dan di luar Libya. Ini

telah memberikan dengan sebuah jalan untuk

dukungan lokal. Namun, karena kubu Jenderal

Khalifah Haftar mengumumkan Operasi Martabat

terhadap kelompok bersenjata islamis di Libya

timur sejak Mei 2014, aktivitas ASL menjadi lebih

difokuskan terutama pada aksi militer.

26

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Dalam banyak hal, ASL mengikuti model Ansharusy

Syariah di Tunisia (AST), melihat jangkauan dan

layanan sosial kampanye sebagai bagian penting

dari penggalangan dukungan. Juga, pembangunan

bukan hanya masyarakat Islam, tapi daulah

islamiyah (negara Islam), yang nantinya akan diatur

oleh Syariah (hukum Islam). Berbeda dengan

pemerintah Libya, yang sering korup, tidak

kompeten, atau ekstraktif, ASL bekerja untuk

meyakinkan penduduk setempat akan kompetensi

dan kebajikan sendiri. Ini membantunya

memenangkan dukungan publik yang lebih besar.

Selain jangkauan ASL di seluruh Libya—dari

Benghazi, Tripoli, Sirte, Ajdabiya, Derna, dan Teluk

Sidra—pada tingkat lokal yang lebih kecil lainnya

ASL juga beroperasi dan memiliki jaringan di luar

negeri. ASL juga telah mengirimkan bantuan dan

kerja sama untuk Suriah, Sudan, dan Gaza untuk

membantu dalam upaya bantuan kemanusiaan.

Aktivitas ini telah menambah lapisan baru bagi

pemaknaan jihad global dan bagaimana berbagai

kelompok mencoba untuk terlibat pada populasi

dan kegiatan di luar teritorial operasi mereka.

ASL telah menikmati sejumlah identitas sebagai

sebuah organisasi: Di satu sisi, ASL telah menjadi

organisasi amal, layanan keamanan, layanan

kesehatan, dan penyedia tarbiyah diniyah; di sisi

lain, juga merupakan milisi; sebuah organisasi jihad

dan potensi basis pelatihan bagi para pejuang

asing.

Pada dasarnya, ASL muncul ke permukaan sebagai

dampak dari Musim Semi Arab (Arab Spring), yang

secara spesifik merujuk pada negara-negara Afrika

Utara, yaitu Mesir, Libya, dan Tunisia. Kondisinya

adalah rezim sepenuhnya digulingkan dan ruang

publik terbuka. Negara-negara ini juga mewakili

sebuah awal baru dan laboratorium untuk

kampanye jihad baru, sebagai pengganti dari

eksperimen yang pernah dilakukan oleh Al-Qaidah

di Irak (AQI). Melalui payung Daulah Islamiyah

Irak/ISI (the Islamic State of Iraq), mereka

mengalami kegagalan dalam mengendalikan

wilayah dan melembagakan pemerintahan yang

stabil pada satu dekade terakhir, sampai kemudian

bertransformasi menjadi ISIS.

Strategi ASL: Memulai dengan Dakwah

Pembentukan ASL seiring dengan organisasi sejenis

di Tunisia (AST) dan Mesir (ASE) dipandang sebagai

pemaknaan logis dan implementasi gagasan Azh-

Zawahiri dan Al-Maqdisi. Pemimpin Al-Qaidah Dr.

Aiman Azh-Zawahiri berpikir bahwa lingkungan

baru seperti Libya memberikan kesempatan "untuk

27

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

dakwah dan menjelaskan ... Hanya Allah yang tahu

berapa lama mereka [pemerintah daerah dan

Barat] akan berlanjut, sehingga orang-orang Islam

dan jihad mengambil manfaat dari mereka dan

mengeksploitasi mereka."

Dalam pesan audio yang sama, Azh-Zhawahiri juga

menekankan keunggulan Syariah atas semua

sistem hukum lainnya. Ia juga mendukung

pembebasan negeri Islam, menentang normalisasi

hubungan dengan Israel, dan menggarisbawahi

pentingnya "membersihkan negeri" dari korupsi

keuangan dan sosial.29

Sementara, pada tahun 2004, ideolog jihad

terkemuka yang hidup hari ini, yaitu Abu

Muhammad Al-Maqdisi, menulis Waqafat ma’a

Tsamarat Al-Jihad (Renungan bersama Buah-Buah

Jihad) dalam upaya untuk mengarahkan gerakan

jihad jauh dari kesalahan. Buku ini dilatarbelakangi

oleh koreksinya terhadap saudara-saudara

seperjuanganya di AQI yang dipimpin oleh murid

sekaligus sahabatnya, Abu Mush’ab Az-Zarqawi.

30

Dalam buku tersebut, Al-Maqdisi meneliti

perbedaan antara apa yang disebutnya sebagai

qital an-nikayah (berjuang untuk menyakiti atau

merusak musuh) dan qital at-tamkin (berjuang

untuk mengkonsolidasikan kekuasaan seseorang).

Al-Maqdisi berpendapat bahwa mantan hanya

menyediakan jangka pendek kemenangan taktis

sedangkan yang terakhir menyediakan kerangka

kerja untuk mengkonsolidasikan negara Islam.

29 Aaron Y. Zelin, "Know Your Ansar al-Sharia," Foreign Policy, September 21, 2012. 30 Aaron Y. Zelin, "Maqdisi's disciples in Libya and Tunisia," Foreign Policy's Middle East Channel, November 14, 2012.

Implisit adalah penekanan Maqdisi tentang

pentingnya perencanaan, organisasi, tarbiyah, dan

dakwah.31

Pada puncak kampanye dakwahnya sebelum

meletus civil war, ASL mampu melakukan kontrol

Singkatnya, ASL adalah jamaah yang

memprioritaskan strategi dakwah dulu, bukan jihad

dulu. Konsekuensinya, salah satu pendekatan

utama—yang mana ASL mengalami kemajuan

pesat—adalah program pelayanan sosial. Tren

tersebut menunjukkan bahwa gerakan jihadi

melakukan pendekatan dengan menggalang

dukungan dan pengikut secara luas. Ini berbeda

dengan banyak organisasi perjuangan yang telah

terlibat dalam eksperimen jihad dalam kapasitas

lokal, regional, atau global selama 30 tahun

terakhir. Cara ini pun dipandang sebagai

pendekatan baru untuk mengonsolidasikan

“Negara Islam” pada masa depan.

Pendekatan dakwah yang disponsori ASL lebih

terkait dengan layanan sosial seperti pembagian

daging dan makanan untuk fakir-miskin dan selama

Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, terutama pada

musim panas dan musim gugur 2014. ASL juga

menyediakan layanan yang langsung bisa dirasakan

masyarakat seperti membuka klinik medis untuk

perempuan dan anak-anak, sebuah Islamic Center

khusus untuk wanita, sebuah ruang UGD, dan

sebuah ma’had yang bernama Markaz Al-Imam Al-

Bukhari li Al-‘Ulum Asy-Syar’iyyah. ASL juga

menjamin keamanan di RSU Al-Jala 'di Benghazi.

31 Dipublikasikan di situs Minbar At-Tauhid wa Al-Jihad, https://www.tawhed.ws/r?i=5yj8ssez

28

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

jaringan secara luas untuk pelayanan sosial baik di

dalam maupun luar Libya. Bahkan, itu terlibat

dalam kegiatan mulai dari kampanye anti-narkoba,

donor darah, dan distribusi makanan (termasuk

pemotongan hewan ketika liburan bagi fakir-

miskin), musabaqah Qur’ani untuk anak-anak,

proyek perumahan bagi kaum miskin, pembersihan

sekolah, pembuangan sampah, dan perbaikan

jembatan.

Pada awalnya, pendekatan “dakwah dan

pelayanan” di atas tampak sukses untuk prospek

ke depan bagi gerakan jihad. Ini terlihat dari

banyaknya individu yang bergabung dengan ASL

dan AST dalam jumlah yang belum pernah tercapai

sebelumnya. Namun, dalam kurun dua tahun

terakhir antara tahun 2012–2014, pendekatan

dakwah terbuka ini menghadapi tantangan baru

yang juga terbuka.

Di Mesir, misalnya, dalam waktu satu bulan sejak

Abdul Fattah As-Sisi melakukan kudeta di Mesir,

pada awal Juli 2013 semua anggota kunci dari

Ansharusy Syariah Mesir (ASE) telah ditangkap atau

dijerat dengan delik terorisme dan dikaitkan

dengan Anshar Bait Al-Maqdis (ABM), kelompok

jihadis di Sinai Utara, yang disebut-sebut terkait IS

dan berubah nama menjadi IS Wilayah Sinai.

Dampaknya, aktivis ASE banyak yang berhijrah ke

Suriah untuk berjihad melawan rezim Basyar Al-

Asad atau melakukan perlawanan bersenjata

dalam wadah jihad baru, yaitu Ajnad Mishr.

Sementara itu, kurang dari dua bulan kemudian,

pada akhir Agustus 2013, pemerintah Tunisia

melabeli AST sebagai organisasi teroris dan

melanjutkannya dengan operasi untuk

membongkar jaringan dan penangkapan

anggotanya secara luas. Akibatnya, beberapa

aktivis jihadis Tunisia berangkat ke Libya dan

bergabung dengan ASL, sementara yang lain pergi

ke Suriah dan ditengarai banyak yang bergabung

dengan ISIS.32

Sejak Haftar melancarkan perang terhadap ASL,

sebagian besar kegiatan dakwah reguler pun turut

terhenti. Itu tampak dari publikasi ASL jadi lebih

banyak yang berhubungan dengan pertempuran

dengan pasukan Haftar.

33

Prospek ASL ini sempat menurun drastis, yang

tampak melemah seiring dengan meninggalnya

pemimpinnya, Muhammad Az-Zahawi, yang

dikonfirmasi pada bulan Januari 2015. Kemudian

ada intensifikasi dari pendukung ISIS yang memiliki

agenda politik independen untuk memperluas

teritorial organisasinya sejak November 2014. Ini

Sementara ASL masih

melakukan kaderisasi anggota di kota-kota lain,

sebagian besar operasi militernya masih terfokus di

Benghazi. ASL memang tidak sampai kocar-kacir

seperti halnya ASE atau AST, tetapi kapasitas

pelayanannya memang menurun. Di sinilah ISIS

melihat peluang masuk dengan pembukaan

“cabang” pada musim gugur 2014.

Kesimpulan

32 Aaron Y. Zelin, "The Rise and Decline of Ansar al-Sharia," Hudson Institute, April 6, 2015. 33 Hingga tulisan ini diturunkan (24/6/2015), alamat resmi publikasi ASL adalah akun Twitter: @Ansarelshariaa

29

Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

menjadi tantangan tersendiri bagi Abu Khalid Al-

Madani selaku pemimpin baru ASL..

Ada banyak pertanyaan terkait masa depan ASL.

Kelompok ini tetap menjadi kekuatan militer

penting di Benghazi dan Derna, tetapi akankah

mereka tetap mempertahankan independensi

mereka ataukah lambat laun melakukan merger

dengan kelompok lainnya? Setelah eliminasi IS di

Derna, akankah mereka berhadapan dengan IS di

wilayah Libya lainnya, sebagaimana yang terjadi

antara IS dan JN di Suriah? Selanjutnya, dapatkah

ASL memperluas operasi di luar kota-kota yang

menjadi basis terkuatnya?

Tampaknya terlalu dini untuk disimpulkan. Yang

jelas, kelompok jihadis telah sekian kali

menujukkan kemampuan survival dan adaptasi,

seperti halnya JN yang mampu berkoalisi dengan

kelompok-kelompok lokal lainnya dan bertahan

dari tantangan dari IS. Perkembangan selanjutnya

menarik untuk diikuti. (F. Irawan)