secondary drowning

20
SECONDARY DROWNING PENDAHULUAN Drowning atau tenggelam adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam saluran pernapasan. Tenggelam merupakan akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan. Tenggelam tidak terbatas di dalam air seperti sungai, danau, atau kolam renang tetapi mungkin juga terbenam dalam kubangan atau selokan dengan hanya muka yang berada di bawah permukaan air. Tenggelam, yang dahulu dianggap sebagai kematian yang secara langsung disebabkan oleh asfikisia (“asphyxial death”), kini diketahui terdiri dari serangkaian gangguan fisiologis dan biokimiawi yang seluruhnya memiliki peranan penting terhadap akibat fatal dari tenggelam. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam akan memberikan warna yang berbeda- beda pada pemeriksaan korban 1,2,3 .Tenggelam pada umumnya merupakan kecelakaan, baik kecelakaan saat naik kapal, berolahraga air, maupun yang terjadi oleh karena korban dalam keadaan mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka yang terserang epilepsi. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan korban lebih jarang terjadi, korban biasanya bayi atau anak-anak. Pada korban dewasa biasanya korban sebelumnya dianiaya, kemudian untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai. Bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Korban sering memberati dirinya dengan batu atau besi, baru kemudian terjun ke air. Dengan demikian, pemeriksaan kasus

Upload: taufik-abidin

Post on 15-Jun-2015

1.370 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Secondary Drowning

SECONDARY DROWNING

PENDAHULUAN

Drowning atau tenggelam adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam

saluran pernapasan. Tenggelam merupakan akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh

ke dalam cairan. Tenggelam tidak terbatas di dalam air seperti sungai, danau, atau kolam renang

tetapi mungkin juga terbenam dalam kubangan atau selokan dengan hanya muka yang berada di

bawah permukaan air. Tenggelam, yang dahulu dianggap sebagai kematian yang secara

langsung disebabkan oleh asfikisia (“asphyxial death”), kini diketahui terdiri dari serangkaian

gangguan fisiologis dan biokimiawi yang seluruhnya memiliki peranan penting terhadap akibat

fatal dari tenggelam. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam akan

memberikan warna yang berbeda-beda pada pemeriksaan korban1,2,3.Tenggelam pada umumnya

merupakan kecelakaan, baik kecelakaan saat naik kapal, berolahraga air, maupun yang terjadi

oleh karena korban dalam keadaan mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka

yang terserang epilepsi. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan korban lebih jarang terjadi,

korban biasanya bayi atau anak-anak. Pada korban dewasa biasanya korban sebelumnya

dianiaya, kemudian untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai. Bunuh diri dengan

cara menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Korban sering

memberati dirinya dengan batu atau besi, baru kemudian terjun ke air. Dengan demikian,

pemeriksaan kasus tenggelam juga ditujukan untuk mengetahui apakah kasus tersebut

merupakan kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri2,3.

Tenggelam merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Di seluruh dunia

setiap tahun dilaporkan sekitar 1,5 juta kematian terjadi akibat tenggelam. Namun tingkat

mortalitas dan morbiditas akibat tenggelam yang sebenarnya sulit ditentukan karena banyaknya

kasus yang tidak dilaporkan dan banyaknya korban yang tidak mendapat pelayanan medis.

Secara umum 90% kasus tenggelam terjadi di air tawar (danau, sungai, kolam) dan 10% terjadi

di air laut. Tenggelam di dalam cairan lain lebih jarang terjadi dan biasanya merupakan

kecelakaan kerja4,5.

Di Amerika Serikat, cedera yang berhubungan dengan tenggelam merupakan penyebab

kematian akibat kecelakaan terbanyak kelima bagi semua kelompok umur, dengan insidensi 2,5–

Page 2: Secondary Drowning

3,5 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2002, Centers for Disease Control and Prevention di

Amerika Serikat melaporkan 3447 korban meninggal akibat unintentional drowning (tenggelam

karena kecelakaan), terbanyak terjadi pada kelompok usia di bawah 4 tahun dan kedua terbanyak

adalah kelompok remaja dan dewasa muda laki-laki berusia antara 14-24 tahun. Pada kelompok

balita, sebagian insiden terjadi di bathtub dan kolam renang4.

Sejauh ini belum ada pengertian yang seragam mengenai definisi tenggelam. Beberapa ahli

mencoba mengklasifikasikan tenggelam berdasarkan kondisi paru korban :

1. Typical drowning (wet drowning)

Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat korban tenggelam.

2. Atypical drowning

a. Dry drowning

Pada keadaan ini hanya sedikit atau bahkan tidak ada cairan yang masuk ke dalam

saluran pernapasan, kematian disebabkan oleh laringospasme.

b. Immersion syndrome (vagal inhibition)

Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu

<20°C), yang menyebabkan terpicunya refleks vagal yang menyebabkan apneu,

bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan

terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebral. Alkohol juga dapat merupakan

pemicu.

c. Submersion of the unconscious

Bisa terjadi pada korban yang memang menderita epilepsi atau menderita penyakit

jantung khususnya coronary atheroma atau hipertensi, atau peminum yang

mengalami trauma kepala saat masuk ke air, atau dapat pula pecahnya aneurisma

serebral dan muncul perdarahan serebral yang terjadi tiba-tiba.

1

Page 3: Secondary Drowning

d. Delayed death (near drowning and secondary drowning)

Menurut Verive, Michael (2007), near drowning adalah keadaan dimana seorang

korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam (walaupun hanya untuk sementara)

setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam. Secondary drowning adalah suatu

keadaan dimana muncul gejala beberapa hari setelah korban tenggelam diselamatkan

(dan diangkat dari air) dan korban meninggal akibat komplikasi6.

Secondary drowning merupakan hal yang menarik untuk dipelajari, karena kasus secondary

drowning yang diantisipasi, dikenali, dan ditangani dengan cepat dapat memberikan hasil akhir

yang lebih baik bagi prognosis perjalanan penyakit korban. Pada penanganan kasus secondary

drowning juga penting untuk diketahui beberapa faktor yang turut berpengaruh, antara lain

konsumsi alkohol, tipe air lokasi korban tenggelam (air asin, air tawar, atau air payau), dan

temperatur air, serta riwayat penyakit sebelumnya3.

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Terdapat berbagai macam pengertian mengenai definisi yang jelas dari secondary drowning.

Secara umum, secondary drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa

hari setelah korban tenggelam diselamatkan dan korban meninggal akibat komplikasi1.

Menurut Pearn, J.H. (1980), secondary drowning merupakan salah satu dari sindrom pada

sistem respirasi yang terjadi paska suatu episode tenggelam. Selanjutnya, Pearn

mendefinisikan secondary drowning sebagai penurunan fungsi pulmoner setelah terjadi

penurunan pertukaran gas akibat hilang atau inaktivasi surfaktan. Hal ini diperkirakan terjadi

akibat kerusakan surfaktan karena terjadinya kerusakan secara kimiawi, anoksik, mapupun

osmotik pada pneumatosit yang melapisi alveoli. Sedangkan beberapa sumber lain tidak

membatasi gangguan fungsi paru sebagai faktor yang mendasari secondary drowning, namun

lebih karena terjadinya kegagalan multi sistem organ5,7.

2

Page 4: Secondary Drowning

2.2. Insiden

Di seluruh dunia setiap tahun dilaporkan terjadi sekitar 1,5 juta kematian akibat drowning.

Jumlah insiden near drowning dan secondary drowning diperkirakan 20–500 kali

dibandingkan angka kejadian kematian akibat drowning. Perkiraan jumlah kasus secondary

drowning belum pasti, namun diperkirakan terjadi pada 2% dari kasus near drowning4,5.

Dua kelompok umur yang terbanyak mengalami secondary drowning adalah kelompok usia

di bawah 4 tahun dan kelompok usia 15-19 tahun. Pada bayi usia di bawah 1 tahun,

tenggelam sering terjadi di seember air atau bak mandi. Perlu dipertimbangkan adanya child

abuse pada kasus-kasus seperti ini. Sebagian besar kasus pada balita terjadi di bathtub dan

kolam renang akibat kurangnya pengawasan, sedangkan pada remaja sebagian besar kasus

tenggelam terjadi di laut, kolam atau sungai, dan biasanya berhubungan dengan olahraga air

atau penyalahgunaan alkohol4,5.

Pada kelompok usia remaja, sebagian besar secondary drowning terjadi pada laki-laki. Tiga

puluh lima persen dari episode immersion yang terjadi pada anak-anak membawa akibat yang

fatal, 33% korban selamat mengalami gangguan neurologis dalam beberapa derajat dan 11%

mengalami sequelae neurologik yang parah4,5.

Pada kasus near drowning dan secondary drowning, pemeriksa harus mencari tahu

kemungkinan adanya penyebab sekunder dari tenggelam, meliputi epilepsi, trauma kepala

atau trauma tulang belakang, serangan jantung, penggunaan alkohol dan obat-obatan,

hipoglikemia, dan sebagainya5.

2.3. Patofisiologi

Korban yang berada dalam keadaan sadar pada saat tenggelam awalnya akan berusaha untuk

menahan napas secara volunter. Untuk menyelamatkan dirinya, korban dengan panik

menggerak-gerakkan tungkai atas dan tungkai bawah untuk menjaga kepalanya tetap di atas

permukaan air. Korban dapat menahan napasnya untuk sementara waktu sebelum akhirnya

refleks untuk bernapas akan meningkat dan korban mencoba untuk bernapas walaupun masih

di dalam air2,3,5.

3

Page 5: Secondary Drowning

Reflek bernapas pada tubuh manusia terutama berhubungan dengan kadar karbon dioksida

dalam tubuh. Bila kadar oksigen menurun dan kadar karbon dioksida semakin meningkat,

akan timbul rangsangan refleks bernapas yang semakin kuat sampai mencapai suatu titik

dimana korban tidak lagi dapat menahan napasnya, akibatnya sejumlah air masuk ke dalam

saluran pernapasan. Air yang masuk ke saluran pernapasan akan memediasi timbulnya reflek

laringospasme, yang sebenarnya merupakan usaha tubuh untuk melindungi diri agar cairan

tidak masuk lebih banyak lagi. Hipoksia pada otak kemudian membuat korban mengalami

penurunan kesadaran, dan saat ini terjadi maka laringospasme akan mengalami relaksasi

sehingga lebih banyak lagi air yang masuk ke saluran pernapasan3,5.

Gerakan yang tidak terkoordinasi pada saat korban mencoba menjaga tetap mengapung

membuat korban berulang kali tenggelam dan muncul di atas permukaan air, lamanya

bergantung dari kondisi fisik dan daya tahan korban. Akhirnya korban mengalami kelelahan

dan dikombinasi dengan usaha bernapas dalam air sehingga banyak cairan masuk ke paru,

maka korban pun tenggelam ke dasar untuk terakhir kalinya3,5.

Sistem Respirasi

Aspirasi sejumlah besar cairan ke dalam paru menyebabkan (1) obstruksi pada saluran napas

pulmoner ekstrinsik dan intrinsik dan (2) terbentuknya sawar obstruktif berupa busa dalam

saluran napas yang terbentuk saat korban berusaha bernapas di permukaan air atau tepat di

bawah permukaan air, mengaspirasi udara dan air secara bersamaan. Aspirasi cairan

sebanyak 1-3 ml/kg berat badan dapat menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru dan

juga menyebabkan gangguan fungsi surfaktan3,4,5.

Air tawar bersifat relatif hipotonik dibandingkan plasma darah dan menyebabkan kerusakan

pada surfaktan di alveoli. Air asin, yang bersifat relatif hipertonik dibandingkan plasma,

meningkatkan gradien osmotik dan oleh karena itu menarik cairan masuk ke alveoli dan

menyebabkan dilusi surfaktan (surfactant washout). Air asin juga dapat menyebabkan

kerusakan pada pneumatosit yang menyebabkan penurunan produksi surfaktan5,7.

4

Page 6: Secondary Drowning

Selain gangguan pada surfaktan, gangguan respirasi pada korban secondary drowning juga

dapat diakibatkan oleh barotrauma pulmoner, kerusakan mekanis paru-paru akibat usaha

resusitasi, pneumonitis akibat benda asing (pasir, lumpur, rumput laut, muntahan) atau bahan

kimia yang teraspirasi (terutama terjadi pada kasus tenggelam di kolam renang yang diberi

klorin atau di ember yang mengandung produk permbersih lantai), pemberian ventilasi yang

tidak adekuat, atau apneu sekunder akibat kerusakan sistem saraf pusat (sering terjadi secara

tiba-tiba). Pneumonia bakterial merupakan komplikasi yang lebih jarang, dan biasanya terjadi

pada kasus tenggelam di air tawar yang tidak mengalir dan hangat5,7.

Sistem Saraf Pusat

Cedera sistem saraf pusat merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kemungkinan

korban dapat bertahan hidup dan morbiditas untuk jangka panjang. Kerusakan sistem saraf

pusat secara primer berhubungan dengan hipoksia jaringan. Jika periode hipoksia hanya

berlangsung singkat maka korban dapat sembuh dengan sequelae neurologis yang minimal.

Namun pada kasus-kasus dengan hipoksia yang berkepanjangan kemungkinan akan berujung

pada sequelae yang berat, bahkan pada kematian. Edema serebri merupakan dampak yang

umum dijumpai pada kasus tenggelam yang berlangsung cukup lama. Namun proses

tenggelam juga dapat dihubungkan dengan trauma (terutama pada kepala dan leher), maka

mungkin terdapat defisit neurologis fokal atau persisten yang mengindikasikan terdapat

massa atau cedera lain yang memerlukan tindakan pembedahan. Infeksi pada sistem saraf

pusat merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun cukup serius, dapat disebabkan oleh

jamur atau virus yang hidup di tanah atau air5.

Sistem Kardiovaskuler

Air tawar bersifat hipotonik terhadap plasma darah, sehingga akan cepat diserap dalam

jumlah besar, sehingga terjadi peningkatan volume darah, hemodilusi dari elemen-elemen

darah dan hemolisis. Kalium dalam plasma akan meningkat dan natrium berkurang, juga

terjadi hipoksia yang hebat pada miokardium. Dalam waktu beberapa menit akan terjadi 5

Page 7: Secondary Drowning

fibrilasi ventrikel. Jantung dalam beberapa saat masih berdenyut dengan lemah, namun

hipoksia serebri yang hebat2,5,9.

Air asin bersifat hipertonik terhadap plasma darah, sehingga cairan dari sirkulasi darah

tertarik keluar dan masuk ke dalam jaringan paru-paru sehingga dalam waktu yang singkat.

Volume darah menurun, terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan kadar natrium plasma.

Fibrilasi ventrikel tidak terjadi, namun terjadinya hipoksia pada miokardium disertai

peningkatan viskositas darah, akan menyebabkan terjadinya payah jantung2,5,9.

Kegagalan Multi Sistem Organ

Kondisi korban dapat diperburuk dengan adanya kegagalan multi sistem organ lain akibat

hipoksia yang berlangsung lama, antara lain terjadinya disseminated intravascular

coagulation, insufisiensi hepatik, insufisiensi renal, asidosis metabolik dan cedera pada

sistem gastrointestinal5.

Prognosis korban secondary drowning terutama berhubungan langsung dengan durasi dan

tingkat keparahan hipoksia. Dampak yang paling signifikan terhadap mortalitas dan

morbiditas korban secondary drowning adalah usaha resusitasi yang tepat dan berkelanjutan

mulai dari lokasi kejadian hingga sampai di rumah sakit. Dari keseluruhan korban near

drowning, 35-60% meninggal di Unit Gawat Darurat dan 60% menderita sequelae jangka

panjang. Hipotermia dapat menurunkan cerebral metabolic rate, sehingga korban dengan

hipotermia memiliki prognosis yang lebih buruk5.

Menurut Pearn, J.H. (1980), kelompok yang memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya

secondary drowning adalah anak-anak yang tenggelam dalam air asin atau air yang terpolusi,

dimana pernapasan spontan tidak juga terjadi setelah 5-10 menit setelah penyelamatan,

namun tampak menunjukkan perbaikan dengan cepat setelahnya. Perlu diingat bahwa pada

secondary drowning seringkali korban anak-anak memberikan respon yang sangat baik pada

resusitasi yang dilakukan di tempat kejadian sehingga kemudian korban tidak dibawa ke

rumah sakit dan kemudian ditemukan di rumah dalam keadaan distres pernapasan yang berat

beberapa jam kemudian. Pearn, J.H. (1980) menyarankan tim penyelamat dan petugas medik 6

Page 8: Secondary Drowning

harus mengantisipasi penurunan fungsi pulmoner terutama dalam 4 jam pertama setelah

penyelamatan, yang dapat terjadi pada satu dari tiap 20 korban tenggelam yang selamat.

Untuk itu, walaupun tidak selalu dilakukan, namun sebaiknya semua korban tenggelam yang

diselamatkan harus dibawa ke rumah sakit untuk observasi, walaupun korban tampak baik-

baik saja setelah usaha pertolongan pertama, karena penurunan fungsi pulmoner dapat terjadi

dengan cepat. Pada kasus secondary drowning yang diantisipasi, dikenali dan ditangani

dengan cepat dan tepat maka prognosisnya akan jauh lebih baik7.

2.4. Presentasi Klinis

Presentasi klinis yang ditemukan pada korban tenggelam :

Asimtomatis, terutama pada pasien tenggelam dengan adanya saksi mata yang

melihat kejadian, sehingga pertolongan dan resusitasi dapat segera diberikan. Namun

perlu juga diingat bahwa pada secondary drowning seringkali korban anak-anak

memberikan respon yang sangat baik pada resusitasi yang dilakukan di tempat

kejadian sehingga kemudian korban tidak dibawa ke rumah sakit dan kemudian

ditemukan di rumah dalam keadaan distres pernapasan yang berat beberapa jam

kemudian.

Simtomatis :

Batuk

Sesak nafas

Mengi

Hipotermia

Bradikardia atau takikardia

Muntah-muntah, diare

Gelisah, kesadaran menurun

Cardiopulmonary arrest, antara lain terjadi takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikel.

Kematian5.

7

Page 9: Secondary Drowning

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan :

Laboratorium : analisa gas darah, hitung sel darah, serum elektrolit, gula darah

sewaktu, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, uji kadar etanol dan obat-obatan terlarang.

Oksimetri dan monitoring fungsi kardiorespirasi.

Pemeriksaan radiografi : rontgen toraks, CT-scan kepala dan tulang belakang (jika

dicurigai ada trauma), rontgen ekstremitas, abdomen dan pelvis (jika dicurigai ada

trauma), elektrokardiografi (jika dicurigai ada disfungsi miokardium)5.

2.5. Penanganan

Keberhasilan atau kegagalan bantuan hidup dasar yang diberikan di lokasi

ditemukannya korban merupakan faktor penentu utama dari prognosis korban. Pada

saat melakukan bantuan hidup dasar awal, selain menjaga patensi jalan nafas,

pernapasan dan sirkulasi, harus dilakukan stabilisasi servikal jika dicurigai terdapat

trauma tulang belakang.

Pemberian oksigen 100% harus dimulai sedini mungkin.

Pertimbangkan intubasi endotrakeal dengan ventilasi mekanis pada korban dengan

distres pernapasan berat atau gangguan jalan nafas, dengan penurunan kesadaran,

hipoksemia berat, asidosis berat.

Penggantian volume intravaskuler dapat dilakukan dengan pemberian infus kristaloid

atau koloid. Bila diperlukan inotropik dapat diberikan dopamin atau dobutamine.

Sebagian besar kasus asidosis dapat dikoreksi dengan koreksi kehilangan volume

intravaskuler dan oksigenisasi yang adekuat. Sodium bikarbonat dapat diberikan pada

kasus asidosis berat yang tidak dapat dikoreksi dengan dengan usaha-usaha tersebut,

namun hanya diberikan bila ventilasi yang adekuat telah dipertahankan.

8

Page 10: Secondary Drowning

Pemasangan pipa nasogastrik untuk mengeluarkan air atau kotoran yang tertelan

(lakukan pemasangan pipa orogastrik jika dicurigai ada trauma wajah atau kepala).

Kateter urin untuk memantau cairan keluar. Kateter vena sentral untuk memantau

tekanan vena sentral

Hipotermia dapat terjadi dan memperburuk bradikardia, asidosis dan hipoksemia.

Perlu diperhatikan apakah korban tenggelam di air hangat atau air dingin. Pada kasus

korban tenggelam di air dingin, pasien dengan hipotermia berat dapat tampak seolah-

olah sudah mati karena bradikardia berat dan vasokonstriksi pembuluh darah,

sehingga usaha resusitasi harus tetap dilanjutkan sementara usaha untuk

mengembalikan suhu tubuh normal harus tetap dilakukan.

Perlu dicari kemungkinan adanya cedera-cedera yang lain, sebagaimana yang umum

ditemukan pada cedera kecelakaan yang lain. Pada kecelakaan saat menyelam, perlu

dipertimbangkan cedera tulang belakang.

Pemberian antibiotika propilaksis tidak diindikasikan kecuali korban tenggelam

dalam air yang terkontaminasi atau di saluran pembuangan. Pemberian kortikosteroid

tidak memberikan manfaat pada penanganan kasus secondary drowning5.

2.6 Temuan pada Pemeriksaan Korban Mati

Pemeriksaan Luar

Ditemukan adanya cairan berbuih dari hidung dan mulut, yang dihasilkan dari campuran

udara, mukus dan cairan aspirasi yang terkocok-kocok saat adanya upaya pernapasan yang

hebat. Busa dapat berwarna putih, atau lebih merah muda jika berasal dari edema pulmonum.

Terkadang busa tidak lagi keluar dari mulut dan hidung, terutama setelah dilakukan kompresi

pada dinding dada. Namun jika dilakukan pemeriksaan dalam dapat masih ditemukan adanya

busa pada saluran pernapasan atas dan bawah2,3,8,9,10.

9

Page 11: Secondary Drowning

Dapat dijumpai adanya luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bawah bagian

depan, yang dapat terjadi akibat persentuhan korban dengan dasar sungai atau kolam, atau

dengan benda-benda disekitarnya2,3,8,9,10.

Pemeriksaan Dalam

Dapat ditemukan adanya busa atau cairan dengan buih pada saluran pernapasan atas dan

bawah. Dapat pula ditemukan adanya benda-benda asing yang teraspirasi di dalam trakea.

Paru-paru pada korban tenggelam biasanya tampak sangat mengembang (bulky and

ballooned). Edema dan kongesti paru dapat sangat hebat sehingga beratnya mencapai 700-

1000 gram, dimana berat paru normal adalah sekitar 250-300 gram. Paru-paru pucat dan

diselingi bercak-bercak merah di antara jaringan yang berwarna kelabu. Pada pengirisan

tampak banyak keluar cairan merah kehitaman bercampur buih dari irisan tersebut, dikenal

dengan nama ”emphysema aquosum” 2,3,8,9,10.

Secara mikroskopik, dapat ditemukan adanya diatome pada aluran napas, jaringan paru,

darah jantung, atau sumsum tulang. Diatome merupakan kelompok alga yang uniseluler,

mikroskopik dengan dinding sel yang mengandung silika dan mengandung klorofil dan

diatomin. Diatome secara universal ditemukan pada air tawar dan air asin dan terdapat lebih

dari 10.000 spesies diatome. Uji diatome didasarkan pada asumsi bahwa pada korban

tenggelam diatome dalam media air tawar atau air laut akan terbawa masuk ke dalam

parenkim paru bersama dengan air yang teraspirasi. Diatome kemudian akan masuk ke

kapiler alveolar dan terbawa dalam aliran darah sirkulasi ke seluruh tubuh. Ukurannya yang

sangat kecil memungkinan diatome masuk ke dalam hepar, ginjal, otan dan sumsum tulang

femoral. Sampel untuk uji diatome diperoleh dengan mengambil beberapa ratus gram organ

yang dicurigai mengandung diatome (paru, ginjal, hepar, atau otak) kemudian diberi asam

sulfat dan asam nitrat untuk mendestruksi jaringan organ, baru kemudian di-sentrifuge dan

dilihat dibawah mikroskop2,3,8,9,10.

Pada pemeriksaan isi lambung dapat ditemukan sisa pasir, lumpur, atau tumbuhan air2.

10

Page 12: Secondary Drowning

KESIMPULAN

Secara umum, secondary drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa

hari setelah korban tenggelam diselamatkan (dan diangkat dari air) dan korban meninggal

akibat komplikasi. Jumlah insiden secondary drowning (dan near drowning) diperkirakan

cukup tinggi, yaitu sekitar 20–500 kali dibandingkan angka kejadian kematian akibat

drowning.

Patofisiologi terjadinya secondary drowning berhubungan adanya kegagalan multi sistem

organ lain akibat hipoksia yang berlangsung lama.

Prognosis korban secondary drowning terutama berhubungan langsung dengan durasi dan

tingkat keparahan hipoksia. Oleh sebab itu, kasus secondary drowning yang diantisipasi,

dikenali dan ditangani dengan cepat dan tepat akan memberikan prognosis yang jauh lebih

baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto, A., et al, 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2. Idris, Mun’im Abdul, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.

3. Adelson, Lester, 1994. The Pathology of Homicide. Charles Thomas Publisher. Springfield USA.

4. Shepherd, Suzanne Moore, 2003. Drowning. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/772753). (Accessed: April 1st, 2009).

5. Verive, Michael, 2007. Near Drowning. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/908677). (Accessed: April 1st, 2009).

6. Parikh, C.K, 1983. Drowning: Immersion: Parikh’s Textbook of Medical Jurisprudence and

Toxicology. Medical Publication. India.

11

Page 13: Secondary Drowning

7. Pearn, J.H., 1980. Secondary Drowning in Children. British Medical Journal, Vol. 281 p. 1103-

1105. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/pagerender.fcgi?

artid=1714551&pageindex=3#page). (Accessed: April 1st, 2009).

8. Giertsen, J.C., 1997. Forensic Medicine : Volume III Environmental Hazards. W.B. Saunders

Company. Philadelphia.

9. Knight, Bernard, 1996. Forensic Pathology, Second Edition. Arnold. London.

10. Knight Bernard, 1997. Simpson’s Forensic Medicine. Arnold. London.

12