sabar hutasoit_111201108

25
MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UNGGULAN UNTUK MEMPERKUAT DAYA SAING DAERAH Munawar Ismail Wildan Syafitri Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Abstraksi Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan persoalan dalam kerangka peningkatan daya saing produk agroindustri serta strategi peningkatan dan model pengembangan daya saing produk agroindustri nasional sebagai pertimbangan bagi daerah untuk menentukan strategi pengembangan agroindustri. Hasil kajian menunjukkan bahwa perkembangan ekspor pertanian Indonesia pasca krisis 1997, mengalami penurunan yang signifikan hampir di seluruh komoditas pertanian. Perkembangan nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi selama krisis tidak memberikanpengaruh yang positif terhadap peningkatan daya saing suatu komoditas. Penurunan perkembangan ekspor tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah musim kemarau panjang yang datangnya bersamaan dengan krisis, kapasitas produksi yang terbatas sehingga petani-petani tidak dapat memenuhi permintaan dunia diatas jumlah tertentu, keterbatasan informasi di tingkat petani mengenai potensi pasaryang muncul akibat depresiasi rupiah, dan kualitas yang rendah dari komoditi yang dihasilkan. Selain itu tentu masalah yang sangat krusial untuk berbicara tentang daya saing adalah faktor teknologi dan inovasi. Kata-kata Kunci: agroindustri, daya saing, depresiasi rupiah Pendahuluan Seringkali ukuran keberhasilan pembangunan identik dengan terciptanya laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi. Dimana alat yang digunakan sebagai motor penggeraknya adalah mesin-mesin industrialisasi terutama di kawasan-kawasan perkotaan. Kondisi ini akan berakibat pada kesenjangan yang semakin lebar antara kawasan pedesaan dan perkotaan. Adanya dikotomi antara perencanaan kota dan perencanaan daerah/ desa dan lebih terfokus pada perencanaan kota telah memberi dampak pembangunan yang kurang menguntungkan secara regional misalnya terjadi disparitas kegiatan ekonomi dan demografi antara kota sebagai growth pole dengan desa/kawasan produksi sebagai hinterland-nya. Pembangunan yang lebih menonjolkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan cepat tersebut, tidak bisa dipungkiri telah mengakibatkan pertumbuhan di perkotaan menjadi suatu energi penarik tersendiri bagi kawasan perdesaan. 26

Upload: desrinanmanalu

Post on 19-Jan-2016

53 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Model Pengembangan Agroindustri Unggulan

TRANSCRIPT

Page 1: Sabar Hutasoit_111201108

MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UNGGULAN UNTUK MEMPERKUAT DAYA SAING DAERAH

Munawar Ismail Wildan Syafitri

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

AbstraksiArtikel ini bertujuan untuk menggambarkan persoalan dalam

kerangka peningkatan daya saing produk agroindustri serta strategi peningkatan dan model pengembangan daya saing produk agroindustri nasional sebagai pertimbangan bagi daerah untuk menentukan strategi pengembangan agroindustri. Hasil kajian menunjukkan bahwa perkembangan ekspor pertanian Indonesia pasca krisis 1997, mengalami penurunan yang signifikan hampir di seluruh komoditas pertanian. Perkembangan nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi selama krisis tidak memberikanpengaruh yang positif terhadap peningkatan daya saing suatu komoditas. Penurunan perkembangan ekspor tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah musim kemarau panjang yang datangnya bersamaan dengan krisis, kapasitas produksi yang terbatas sehingga petani-petani tidak dapat memenuhi permintaan dunia diatas jumlah tertentu, keterbatasan informasi di tingkat petani mengenai potensi pasaryang muncul akibat depresiasi rupiah, dan kualitas yang rendah dari komoditi yang dihasilkan. Selain itu tentu masalah yang sangat krusial untuk berbicara tentang daya saing adalah faktor teknologi dan inovasi.Kata-kata Kunci: agroindustri, daya saing, depresiasi rupiah

Pendahuluan

Seringkali ukuran keberhasilan pembangunan identik dengan terciptanya laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi. Dimana alat yang digunakan sebagai motor penggeraknya adalah mesin-mesin industrialisasi terutama di kawasan-kawasan perkotaan. Kondisi ini akan berakibat pada kesenjangan yang semakin lebar antara kawasan pedesaan dan perkotaan.

Adanya dikotomi antara perencanaan kota dan perencanaan daerah/ desa dan lebih terfokus pada perencanaan kota telah memberi dampak pembangunan yang kurang menguntungkan secara regional misalnya terjadi disparitas kegiatan ekonomi dan demografi antara kota sebagai growth pole dengan desa/kawasan produksi sebagai hinterland-nya.

Pembangunan yang lebih menonjolkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan cepat tersebut, tidak bisa dipungkiri telah mengakibatkan pertumbuhan di perkotaan menjadi suatu energi penarik tersendiri bagi kawasan perdesaan.

26

Page 2: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysßtri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulanuntuk Memperkuat

Dengan kata lain pertumbuhan tersebut telah mendorong percepatan urbanisasi (punctuated urbanization). Proses urbanisasi yang tidak terkendali tersebut berpengaruh pada sektor agrikultur, karena hal tersebut akan mendesak produktifitas pertanian Indonesia. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi kenaikan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5 % pada 1995 menjadi 40,5% pada tahun 1998. Akibatnya akan terjadi konversi lahan pertanian menjadi kawasan perkotaan. Hal ini dapat kita lihat pada pantai utara Jawa misalnya, dimana terjadi konversi lahan mencapai kurang lebih 20%. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian.

Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia, khususnya krisis di bidang ekonomi, merupakan suatu kenyataan yang membuktikan dan menyadarkan kita semua akan pentingnya peran strategis sektor pertanian sebagai pilar penyangga atau basis utama ekonomi nasional. Sektor pertanian pula yang mampu bertahan dalam menghadapi kris is ekonom i dan menyelamatkan negara kita dari situasi yang lebih parah.

Di sisi lain, kondisi dan pengembangan sektor pertanian di Indonesia masih memerlukan perhatian khusus dalam hal produktifitas yang masih rendah, sistem pemasaran yang rendah, kelembagaan yang tidak kondusif, dan Indonesia yang masih mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.227.685 ton pada tahun 2000 atau senilai US$ 275 juta, pada tahun yang sama Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta serta buah-buahan senilai US$ 65 juta.

Berdasarkan kondisi diatas, perubahan paradigma dalam pendekatan pembangunan harus dilakukan. Pembangunan nasional yang cenderung memprioritaskan pembangunan perkotaan (industrialisasi) sebagai satu- satunya mesin pertumbuhan (engine o f growth) yang handai harus direvisi kembali. Pembangunan perdesaan harus mulai didorong guna mengatasi permasalahan pembangunan. Ditambah lagi selama ini pembangunan perdesaan dipisahkan dengan pembangunan perkotaan. Karena terdapat keterkaitan dan ketergantungan baik secara fungsional maupun keruangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan.

Bagi Indonesia pertanian dan agroindustri merupakan prioritas pembangunan ekonomi dan pilar perekonomian rakyat. Sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999-2004 dalam kurun waktu tersebut pengembangan agroindustri tersebut memiliki landasan. Dibanding dengan produk segar, produk olahan hasil pertanian mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar. Data BPS menunjukkan bahwa perolehan devisa dari ekspor produk olahan dari tahun 1997 sampai dengan 2000 adalah rata-rata sebesar US$ 4.638,2 juta sementara ekspor produk segar hanya mencapai US$ 119,2 ribu. Dari komoditi yang ada, ekspor produk olahan hasil perkebunan merupakan penyumbang terbesar dari perolehan devisa

Peningkatan daya saing agroindustri perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu kualitas (quality), biaya (cost) dan penyampaian (delivery). Ketiga aspek diatas penting diperhatikan sebab produk pertanian mem iliki karakteristik yang sangat khas, seperti mudah rusak (perishable), musiman (seasonal), kamba (bulky). Kelembagaan yang baik menjadi kunci utama keberhasilan agroindustri.

27

Page 3: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

Pengembangan agroindustri dalam era globalisasi diharuskan mampu memunculkan keunggulan kompetitif, efisien dan berwawasan lingkungan serta bertumpu pada sumberdaya lokal agar terwujud suatu sistem yang berkelanjutan. Globalisasi dan pasar bebas menuntut kemampuan bersaing yang tinggi pada produk-produk yang dihasilkan agar tetap mampu bertahan dalam persaingan tersebut. Dengan latar belakang sebagaimana disebutkan diatas, maka artikel ini berusaha membahas permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana gambaran persoalan dalam kerangka peningkatan daya saing produk agroindustri?, dan 2) Bagaimana strategi peningkatan dan model pengembangan daya saing produk agroindustri?

Kajian Pustaka

Teori Keterkaitan Antar SektorAda banyak teori yag menjelaskan tentang keterkaitan antar sektor.

Bagi negara-negara dengan peran sektor partanian masih substansial, maka pem ikiran m endinam iskan sektor pertanian lewat kekuatan dan keterkaitannya degan sektor lain menjadi sangat menarik.

Pemikiran Mellor dan Lele (1973) serta Mellor (1976, 1986, 1989) sangat terkenal dengan rural-led strategy o f growth model. Sedangkan, Johnston dan Kilby (1975) mengembangkan agricultural and structural transformation model. King dan Byerlee (1978) menemukan bahwa keterkaitan industri dengan sektor pertanian amat kuat apabila sektor industri memiliki keterkaitan ke belakang yang tinggi.

Sedangkan, Adelman (1984) menekankan pentingnya agricultural demand- led industrializaton (ADLI). Dengan sejumlah analisis, dibuktikan bahwa strategi ADLI lebih superior dibanding export-led growth, khususnya apabila diterapkan di negara sedang berkembang dimana peran sektor pertanian masih substansial. Strategi ini menghendaki pergeseran strategi pertanian dari surplus extraction menjadi surplus creation, dan ditumbuhkannya keterkaitan permintaan antara sektor pertanian dengan sektor lain dalam perekonomian. Sedangkan Sumodiningrat dan Kuncoro (1990) mencoba untuk melihat pola simbiosis antara sektor pertanian dan industri di Indonesia lewat strategi pengembangan agroindustri dan agribisnis.

Pemikiran-pemikiran di atas mewakili pandangan pentingnya konsumsi serta keterkaitan produksi ke belakang dan ke depan. Para peneliti tersebut memiliki keyakinan dengan cara tersebut keterkaitan antara industri kecil dengan berbagai aktivitas di luar pertanian (off-farm activities) dan di dalam pertanian dapat amat signifikan.

Selain itu Tambunan (1993) mengkritik bahwa dalam teori tersebut, peranan keterkaitan investasi dari sektor pertanian ke sektor lain serta kaitan antara industri berskala menengah dan besar dengan industri kecil, tidak secara eksplisit didiskusikan dan dianalisis. Oleh karena itu Tambunan (1993) menggabungkan konsep growth-linkages antara industri kecil dengan sektor lain dalam perekonomian dengan keterkaitan antar sektor.

Pengembangan Ekonomi DaerahKebutuhan perubahan orientasi tidaklah berlebihan kalau mengamati

bahwa di dalam era otonomi daerah ini banyak Pemerintah Kota/Kabupaten

28

Page 4: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysßtri, Model Pengembangan Agroindustri Ungguian untuk Memperkuat

yang tidak mempunyai pegangan dalam mengelola ekonomi daerahnya. Otonomi daerah disambut dengan eksploitasi sumberdaya alam, menjual aset daerah, memberlakukan berbagai pajak dan retribusi yang seringkali tidak rasional, yang justru menyebabkan investor enggan masuk. Tanpa ada visi tentang bagaimana mengelola kota/kabupaten sebagai unit ekonomi yang sustainable.

Pengembangan ekonomi daerah ini bukanlah retorika baru tetapi mewakili suatu perubahan fundamental pada aktor dan kegiatan yang terkait dengan pengembangan ekonomi, sebagaimana definisinya:

Local Economic Development is the process by which actors within cities and towns- “our communities*- work collectively with public, business and non­governmental sector partners to create better conditions fo r economic growth and employment generation. Trough this process they establish and maintain a dynamic enterpreunerial culture and create new community and business wealth in order to enhance the quality o f life fo r all in the community (World Bank, 2001).

Pengembangan ekonomi daerah pada hakekatnya adalah proses yang mana pemerintah daerah dan/atau kelompok berbasis komunitas mengelola sumberdaya yang ada dan masuk kepada penataan kemitraan baru dengan sektor swasta, dan atau diantara mereka sendiri, untuk menciptakan pekerjaan baru dan merangsang kegiatan ekonomi wilayah.

Ciri utama dari pengembangan ekonomi daerah adalah titik beratnya pada kebijakan “endogenous development menggunakan potensi sumberdaya manusia, institusional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1994).

Apapun bentuk kebijakan yang diambil pengembangan ekonomi daerah mempunyai satu tujuan, yaitu: meningkatkan jumlah dan variasi peluang kerja tersedia untuk penduduk setempat. Dalam mencapai itu, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dituntut untuk mengambil inisiatif dan bukan hanya berperan pasif saja. Setiap kebijakan dan keputusan publik dan sektor usaha, serta keputusan dan tindakan masyarakat, harus sinkron dengan pengembangan ekonomi daerah, atau sinkron dan mendukung kebijakan pengembangan ekonomi daerah yang telah disepakati bersama.

Mengembangkan ekonomi daerah berarti bekerja secara langsung membangun daya saing ekonomi suatu daerah untuk meningkatkan ekonominya. Prioritas ekonomi daerah pada peningkatan daya saing ini adalah krusial, mengingat keberhasilan komunitas ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan meningkatnya kompetisi pasar.

Daya saing dapat diukur dengan beberapa kategori indikator. Tiap ukuran mencerminkan insentif penting untuk berinvestasi didaerah tersebut. Setidaknya ada empat kategori penilaian yang digunakan untuk mengukur daya saing (Munir, 2002):1. Struktur Ekonomi

Komposisi ekonomi, produktivitas, output dan nilai tambah serta tingkat investasi asing atau domestik. Beberapa teknik analisis yang biasa digunakan dalam hal ini adalah Location Quotients, Shift Share Analysis, Economic Base Analysis, Regional Income Indicators, dan lainnya.

29

Page 5: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

2. Potensi WilayahYang non-tradeable, seperti lokasi, prasarana, sumberdaya alam, amenity, biaya hidup dan bisnis, citra daerah.

3. Sumberdaya ManusiaKualitas SDM yang mendukung kegiatan ekonomi.

4. KelembagaanKonsistensi kebijakan pemerintah serta budaya yang mendukung produktivitas.

Karenanya pendekatan yang paling tepat bagi pengembangan ekonomi daerah adalah pengembangan yang holistik, dimana kota atau daerah dianggap sebagai suatu ekosistem yang mana masing-masing anggotanya akan mewarnai dalam pembangunan di daerah tersebut.

Daya Saing: Kasus Indonesia dan Konsep Daya Saing DaerahPelaksanaan ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau perdagangan bebas di

tingkat regional Asia Tenggara pada tahun 2003, berarti perdagangan kini semakin terbuka tanpa mengenal batas-batas wilayah negara-negara. Yang artinya setiap negara harus menghilangkan segala bentuk hambatan perdagangan (trade barriers) seperti pengenaan tarif, kuota, proteksi yang dapat menimbulkan terjadinya perdagangan yang tidak adil (unfair trade). Tujuan dari AFTA adalah untuk meningkatkan keunggulan kompetitif wilayah ASEAN sebagai basis produksi bagi pasar dunia. Disamping itu, dengan bertambah besarnya ukuran pasar, diharapkan investor dapat menikmati skala ekonomis dalam produksi (Alisjahbana, 2001). Hal ini dilakukan ASEAN sebagai pijakan atau batu lompatan (step stone) untuk menapak pada globalisasi atau perdagangan bebas dunia (Yustika, 2002). Dimana pada akhirnya eksistensi sebuah komoditi tergantung pada mekanisme hukum pasar bebas, konsumen akan memilih barang-barang berkualitas dengan harga yang bersaing. Faktor kunci sukses terletak pada mutu barang dan efisiensi di bidang pemanfaatan sumber daya alam yang terbatas, sumber daya manusia yang profesional, akses yang mudah, sumber pembiayaan yang murah serta network pemasaran yang luas. Sebaliknya produsen yang tidak efisien dan komoditi berkualitas rendah cepat atau lambat akan tersingkir dari persaingan (Erni, 2003). Atau dengan kata lain semua komoditi yang akan diperdagangkan akan ditentukan oleh kinerja dan daya saing yang dimilikinya. Semakin efisien dan berkualitas maka komoditi tersebut dapat bertahan dalam persaingan arus barang dalam perdagangan bebas. “At least one step a head over the other” yang akan keluar sebagai pemimpin dalam dunia usaha.

Pertumbuhan GDP dan ekspor menurun drastis pada periode tahun 1997- 1998, yang kemudian mengalami recovery pada masa post-crisis dengan pertumbuhan Indonesia lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya yaitu sebesar 2,8% untuk pertumbuhan GDP dan 15% untuk pertumbuhan ekspor.

Adanya penurunan laju perekonomian tersebut m erefleksikan penurunan tingkat kesiapan Indonesia dalam menghadapi AFTA. Tingkat kesiapan tersebut dapat dilihat dari tingkat daya saing intemasional ekonomi Indonesia dalam laporan peringkat daya saing yang disusun dalam The Global Competitiveness Report oleh World Economic Forum (WEF) dengan merangking tingkat daya saing 75 negara didunia. Dimana tingkat daya saing yang didefinisikan oleh WEF adalah kemampuan suatu negara untuk mencapai

30

Page 6: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysßtri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

pertumbuhan GDP per kapita yang tinggi. Penilaian daya saing ini didasarkan atas delapan unsur, yakni keterbukaan perekonomian terhadap perdagangan dan. keuangan internasional, peranan anggaran dan regulasi pemerintah, perkembangan pasar finansial, kualitas infrastruktur, kualitas teknologi, kualitas manajemen bisnis, fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta kualitas kelembagaan hukum dan politik (Zeta,1997), Penilaian tersebut dapat dilihat pada tabel 1., dimana daya saing internasional ekonomi Indonesia memburuk, dari peringkat 55 pada tahun 2001 menjadi 64 pada tahun 2002, atau turun sembilan tingkat. Peringkat daya saing perekonomian memang tercatat terus merosot dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari peringkat 15 pada tahun 1997, 31 pada tahun 1998 dan 37 pada tahun 1999.

Dengan demikian, sejak krisis ekonomi di Asia pada pertengahan tahun1997, sampai akhir tahun 2002, peringkat Indonesia sudah merosot 49 angka. Dimana secara langsung maupun tidak langsung, daya saing ekonomi Indonesia juga mencerminkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar internasional, yang menjadi ukuran kunci kesiapan produk Indonesia untuk bersaing dengan produk negara lain (termasuk dengan negara ASEAN).

Tabel 1Peringkat Daya Saing Internasional dan Posisi Asia Berdasarkan

Laporan World Economic Forum (WEF)

Negara 2002 2001 2000 1999 1998 1997 19961. Amerika Serikat 1 2 2 2 3 3 42. Finlandia 2 1 1 11 15 19 163. Switzerland 5 5 5 6 8 8 84. Netherland 7 3 4 9 7 12 175. Singapore 9 10 9 1 1 1 16. Canada 10 11 11 5 5 4 8

Peringkat sejumlah negara Asia

1. Taiwan 16 21 21 4 6 9 92. Japan 11 15 14 14 12 14 133. Malaysia 26 37 30 16 17 9 104. Korea 23 28 27 22 19 21 205. Thailand 35 38 40 30 21 18 146. Filipina 61 54 46 33 33 34 317. China 38 47 44 32 28 29 368. Indonesia 64 55 47 37 31 15 309. India 37 36 37 52 50 45 45

10. Vietnam 60 62 53 48 39 49 -

Sumber. Tambunan, (2001) untuk tahun 1996-1999World Economic Forum Iwww. weforum.org) yang diambil pada tanggai 13 Januari untuk tahun 2000-2002.

Krisis ekonomi yang belum juga dapat diselesaikan di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 ditunjukkan pula dari penurunan ekspor kita, terutama pada industri manufaktur. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. tentang ringkasan ekspor Indonesia dari tahun 1993-1999, dimana industri manufaktur sebagai

31

Page 7: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

kontributor tertinggi terhadap ekspor Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 yaitu sebesar 12 041,2 juta US$, dan kemudian mengalami penurunan ekspor dimulai pada tahun 1998 dan sampai 1999 mencapai 1652,8 juta US$.

Tabel 2Ringkasan Ekspor Indonesia (dalam Juta/Million US $ )

TahunNonminyak dan gas bumi

Migas JumlaheksporPertanian1) Industri Tambang Lain Sub

jumlah1993 2 644,2 22 944,0 1 463,9 25,0 27 077,1 9 745,9 36 823,01994 2 818,4 25 702,1 1 800,4 38,6 30 359,7 9 693,7 40 053,41995 2 888,3 29 328,2 2 690,9 46,0 34 953,4 10 464,6 45 418,01996 2 912,7 32 124,8 3 019,8 35,6 38 092,9 11 722,0 49 814,91997 3 132,5 34 985,2 3 107,1 596,1 41 821,0 11622,5 53 443,51998 3 653,5 34 593,2 2 704,4 24,2 40 975,3 7 872,3 48 847,61999 2 901,5 33 332,4 2 625,9 13,5 38 873,2 9 792,2 48 665,4

catatan : 1). sejak tahun 1987 tidak termasuk rotan Sumber: Indikator ekonomi , 2001, BPS (diolah)

Studi yang banyak dilakukan untuk pengukuran daya saing lebih banyak berbicara pada level negara. Sangat sedikit yang berbicara tentang daya saing daerah. Salah satu diantaranya yang membahas tentang daya saing daerah adalah UK-DTI (Depatemen Perdagangan dan Industri Inggris) yang menerbitkan Regional Competitiveness lnd.ica.tors.

Menurut UK-DTI ini, daya saing daerah diartikan sebagai (Abdullah dkk, 2002) kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun international.

Dengan demikian, ukuran daya saing baik untuk negara maupun daerah tidak terlalu signifikan bedanya, satu hal yang paling jelas adalah perbedaan soal wilayah adminstratifnya saja. Karenanya dalam membahas daya saing nantinya harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut (Abdullah dkk., 2002):1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas daripada sekedar produktivitas

atau e fis ien s i pada level mikro. Dengan dem ikian, maka lebih memungkinkan mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta/perusahaan”.

2. Pelaku ekonomi (economic agent) bukan hanya perusahaan. Akan tetapi juga rumah tangga dan pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpada dalam sistem ekonomi yang sinergis.

3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian adalah tingkat kesejahteraan penduduk dalam perekonomian tersebut. Dan ini berarti variabel lebih besar dari hanya sekedar pertumbuhan ekonomi.

4. Kata kunci dari konsep daya saing adalah “kompetisi”,

Permasalahan Pembangunan PertanianPertanian sebagai industri yang lestari adalah jelas harus pertanian yang

dirancang secara sistematis menggunakan akal sehat (ratio) dan usaha keras

32

Page 8: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysßtri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

yang berkesinambungan sehingga pertanian itu sangat produktif secara terus menerus, merupakan habitat tenaga kerja yang baik untuk jumlah yang besar dan merupakan suatu usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian sebagai industri yang lestari akan dapat menghasilkan produksi pertanian yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara terus menerus sehingga mereka dapat merancang masa depannya di situ. Disamping menghasilkan produksi yang cukup tinggi, secara terus menerus pertanian itu juga harus menghasilkan spektrum produksi yang cukup luas sehingga dapat menyediakan bahan baku bagi berbagai agroindustri dan produk- produk ekspor secara lestari. Dengan kemampuan menampung tenaga keija dalam jumlah besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, maka daerah pertanian itu akan menjadi penyerap hasil-hasil industri lain. Semua hal ini yang akan menjadikan pertanian itu sebagai industri yang lestari.

Salah satu sasaran pembangunan pertanian adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia terutama masyarakat petani, lebih khusus lagi adalah petani miskin. Untuk menetapkan strategi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani miskin tersebut maka kita harus melihat faktor-faktor apa yang menyebabkan petani tersebut miskin. Dari beberapa penelitian terungkap bahwa petani itu miskin terutama disebabkan oleh faktor-faktor seperti: produktivitas pertaniannya rendah, lahannya sempit, harga hasil pertaniannya rendah, dan kesempatan kerja di luar usahatani juga sempit.

Kalau ditelusuri lebih jauh, produktivitas pertanian yang rendah tersebut dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: lahan tidak subur atau miskin, lahan sudah tererosi berat, pemakaian pupuk tidak memadai, sistim pertanian dan pengelolaannya kurang sesuai dan kurang memadai, kurangnya ketrampilan petani, dan jenis tanaman yang ditanam tidak sesuai dengan keadaan biofisik daerah.

Harga hasil pertanian yang rendah tersebut dapat disebabkan oleh sistem pemasaran yang kurang efektif atau mutu produksi yang rendah. Dari faktor- faktor penyebab kemiskinan tersebut terlihat bahwa penduduk miskin cenderung memusat di daerah-daerah pertanian lahan kering yang terpencil dengan sumberdaya alam yang sangat tidak memadai.

Salah satu penelitian di daerah pertanian lahan kering di DAS Jratunseluna dan Brantas menunjukkan bahwa tanah pertanian lahan kering didominasi (lebih 50 %) oleh tanah yang berbahan induk batuan sedimen (Harker dan Gnagey, 1993) yang pada umumnya kurang subur bila dibandingkan dengan tanah yang berbahan induk bahan vulkanik. Pendapatan perkapita petani di dua DAS tersebut masih jauh di bawah pendapatan perkapita nasional yang besamya US $ 600 per tahun. Besarnya pendapatan keluarga petani yang beranggotakan 4-5 orang berkisar dari Rp 409.000 sampai Rp 1.347.000 per tahun pada tahun 1990/1991 (Sinukaban, 1994 dan Juwanti etal., 1992).

Agroindustri: Sumbu Keterkaitan Pertanian dan IndustriSalah satu hal yang harus dipenuhi untuk tercukupinya syarat

transformasi struktural ekonomi adalah keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri yang tangguh. Kaitan yang paling sesuai adalah pengolahan produk-produk pertanian kedalam pengembangan agroindustri.

33

Page 9: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

Kuncoro (1997) menjelaskan adanya perbedaan pendapat mengenai pengertian agroindustri (agroindustry), agrobased industry, dan agribisnis. White (1990) mengartikan agroindustri sebagai:

Agroindustry can be defined loosely as certain forms o f agricultural (livestock, fiheries) production itself In particular, those which are tending toward an industrial character, highly commercialised and normally involving significant investment and/or working capital. The agricultural production unit themselves are not necessary large-scale.

Dalam definisi agroindustri diatas lebih condong disamakan dengan agribisnis. Sedangkan agrobased industry didefinisikan oleh White (1990) sebagai:

Agrobased industries on the upstream (input) and downstream (output processing) side o f agricultural production (generally limited to the first stage o f agro linked input production o f processing, or at least to the relatively immediate stages).

Jelas bahwa agrobased indusry mencakup dua jenis industri manufaktur,yaitu:1. Industri penyedia input pertanian, seperti industri pupuk, pestisida, da penghasil

mesin-mesin pertanian. Umumnya industri semacam ini tidak berlokasi di pedesaan, padat modal, dan berskala besar.

2. Industri pengolah hasil pertanian, seperti industri pengolah lahan pucuk the menjadi the hijau/hitam, industri tepung, industri gula, industri tekstil, industri kayu/bambu/rotan, industri barang dari karet.

Namun dapat juga agroindustry diartikan dalam arti luas, dimana selain mencakup industri pengolah hasil pertanian dan industri penyedia input bagi pertanian, juga termasuk seluruh subsektor dalam sektor pertanian, yang meliputi tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Konsep ini didasari oleh adanya banyak interaksi pertanian- agroindustri sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 3.

Metode Penelitian

Data dan Sumber DataData yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan data

sekunder. Dalam peneiltian ini menggunakan data sekunder yang sudah diolah menjadi laporan dari sumber yang berkompeten dan sudah diterbitkan dan merupakan data time series (berkala) tahunan. Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka pengambilan data dilakukan pada sumber-sumber yang relevan seperti misalnya dari:

1. Biro Pusat Statistik (BPS)2. Departemen Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura3. Dinas Perindustrian dan Perdagangan4. Lembaga-lembaga Kajian Strategis

34

Page 10: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysfitri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

Tabel 3Berbagai Bentuk Alternatif dalam Interaksi Pertanian (Hulu) dan

Agroindustri (Hilir)

Bentuk Interaksi

Bentuk Pemilikan Agroindustri

Negara SwastaBesar

SwastaKecil Koperasi

Usaha

Bersama

1. Perkebunan besar: agroindustri besar yang terintegrasi vertikal ke depan

X X

2. Agroindustri besar yang sebagian terintegrasi vertikal ke belakang sebagian berdasar contract farming (»PIR)

X X

3. Agroindustri besar dengan sistem pengadaan contact farming (=inti-satelit)

X X X

4. Usaha pemasaran (agribisnis) dengan sistem pengadaan contract (tanpa pengolahan lokal domestik)

X ?

5. Agroindustri yang membeli bahan bakunya di pasar be bas

X X ?

6. Petani kecil yang terintegrasi vertikal ke depan (=pemilikan agroindustri bersama oleh petani)

X X X

Catatan: X = bentuk yang kira-kira terdapat di Indonesia Sumber. Bejamin White dalam Kuncoro (1997)

Disamping lembaga diatas, penelitian ini juga mengambil data sekunder dari jurnal dan buku-buku literatur lain yang berguna untuk memahami indikator daya saing yang mendukung analisa dari literatur yang ada. Disamping itu juga dilakukan penelusuran data melalui internet.

Jenis PenelitianPenelitian yang dilakukan ini adalah merupakan Penelitian Eksploratif.

Dimana Kuncoro (2002) menjelaskan Penelitian Eksploratif adalah penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan atau dugaan yang sifatnya masih baru dan untuk memberikan arahan bagi penelitian selanjutnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi situasi penelitian dan tujuan khusus atau data yang diperlukan untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian ini menggunakan analisa deskriptif. Dimana penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan dan melukiskan fenomena dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel-variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.

35

Page 11: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

Tujuan dari penelitian deksriptif adalah untuk membuat penggambaran secara tegas (descriptive assertions) tentang populasi yang menemukan distribusi dari beberapa atribut. Dimana penelitian tersebut tidak menekankan pada kenapa d istribusi itu ada melainkan pada bentuk d istribusi. Untuk menggambarkan keseluruhan penelitian, maka peneliti menggambarkan bagian-bagian penelitian dan membandingkannya. Dimana pada saat pembandingan tersebut, tujuan utamanya adalah menggambarkan bukan menjelaskan perbedaan. Metode deskriptif ini sangat diperlukan dalam kerangka menjelaskan perkembangan kebijakan dalam pembangunan pertanian dan agroindustri. Karena didalamnya akan banyak menggunakan data-data sekunder dan pola kebijakan yang kualitatif sifatnya.

Gambaran Umum Daya Saing Produk AgroindustriSeperti Negara-negara lain di dunia, Indonesia juga saat ini sedang

menghadapi suatu perubahan besar dalam sistem perdagangan dunia dari proteksi ke liberalisasi yang diawali pada tingkat regional (AFTA) dan disusul nanti pada tingkat global (WTO). Perubahan ini tentu akan mempunyai suatu dampak besar terhadap produksi pertanian Indonesia, karena dalam perdagangan bebas di satu sisi potensi peluang pasar luar negeri bagi komoditas-komoditas pertanian dan Agroindustri Indonesia menjadi besar, tetapi di sisi lain persaingan dari Negara-negara lain di pasar ekspor maupun dalam negeri (impor) pasti akan sangat ketat.

Tabel 4Ekspor Produk-produk Pertanian dari Negara-negara Terpilih (1990-2002)

(Juta Dolar)

Nilai1990 1995 2000 2001 2002 2002 (%)

Dunia 414720 583200 552250 554130 582530 100.00%Australia 11628 14717 16446 16701 17060 2.93%

Brazil 9779 15673 15467 18431 19442 3.34%

Cina 10060 14997 16384 16626 18796 3.23%

Uni Eropa (15) 175847 238990 218690 218091 233732 40.12%

Indonesia 4154 8197 7764 7024 9020 1.55%

Jepang 3299 4656 4395 5157 4472 0.77%

Republik Korea 2985 4448 4298 3948 3993 0.69%

Singapura 4095 5949 3723 3302 3361 0.58%

Thailand 7786 13911 12242 12057 11572 1.99%

Amerika Serikat 59404 80435 71408 70017 68757 11.80%

Lain-lain 125683 181227 181433 182776 192325 33.02%

Sumber. WTO, 2004, diolah

Berdasarkan data pada tabel 4, ekspor pertanian dunia tahun 2002, Uni Eropa dan Amerika Serikat mempunyai share yang sangat besar dalam total

36

Page 12: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysßtri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

ekspor komoditas pertanian. Masing-masing mencapai 233.732 (Juta $) untuk Uni Eropa dan 69.757 (Juta $) untuk Amerika Serikat, sedangkan Indonesia hanya mampu menyumbang 1,55 % atau 9.020 (juta $) dari total ekspor dunia. Nilai ekspor pertanian tersebut masih dibawah Thailand yang mencapai 11.572 (juta $) atau sekitar 1,99 % dari total ekspor dunia. Namun bila diperhatikan peningkatan dari tahun ke tahun/yoy (year on year), nilai ekspor Indonesia mengalami peningkatan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai ekspor Thailand, yang mencapai lebih dari 2 kali nilai ekspor dari tahun 1990 hingga tahun 2002.

Arus ekspor perdagangan regional produk pertanian, juga dapat diamati melalui perdagangan intra regionalnya. Berdasarkan informasi dari WTO pada tahun 2004, pada tabel 5 perputaran produk pertanian intra-Eropa Barat mencatat peningkatan yang paling tinggi (7%) bila dibandingkan dengan daerah regional lainnya. Diikuti dengan intra Asia dan Amerika Latin ke Eropa Barat yang sama- sama mencatat peningkatan hingga 6%. Arus Perputaran produk pertanian yang mengalami penurunan paling drastis terjadi antara Amerika Utara ke Asia, yang mencapai minus 4%. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan pasar produk pertanian di Asia, lebih banyak disumbang oleh Negara-negara di Asia sendiri. Hal ini sejalan dengan dibukanya perdagangan tingkat regional (AFTA).

Tabel 5Arus Regional Terbesar dalam Ekspor Produk Pertanian Dunia

(Milyar Dollar dan Persentase)

NilaiPersentase perubahan

tahunan2002 1995-00 2001 2002

Intra- Eropa Barat 189.3 -2 0 7Intra-Asia 64.6 -2 -2 6Intra-Amerika Utara 34.0 5 1 1Amerika utara ke Asia 32.8 5 -6 -4Amerika Latin ke Eropa Barat 19.2 -1 0 6Amerika Latin ke Amerika Utara 18.4 5 -2 2

Sumber. WTO, 2004, diolah

Perkembangan ekspor pertanian di Indonesia masih menunjukkan nilai yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan total seluruh komoditas ekspor. Seperti terlihat pada tabel 6, nilai ekspor pertanian menyumbang 8,74 % dari total seluruh ekspor Indonesia pada tahun 2003. Selama tahun 1998-2004, perkembangan ekspor pertanian mengalami penurunan dari 5.091 (Juta $) pada tahun 1998 hingga mencapai 4.191 (Juta $) pada tahun 2003. Hasil pertanian yang diekspor terdiri atas sejumlah komoditi, diantaranya yang sangat penting adalah : kayu, getah karet, kopi, teh, lada, tembakau, tapioka, hewan dan hasilnya, udang, kulit dan lainnya. Diantara jenis-jenis komoditi tersebut, getah karet, hewan dan udang, sangat dominan terhadap total ekspor pertanian. Komoditas tersebut masing-masing menyumbang 2,73% atau 1.309 (Juta $) untuk getah karet, hewan dan hasilnya menyumbang 3,01% atau 1.444 (Juta $) dan udang menyumbang 1,64% atau 787 (Juta $) selama tahun 2003. Dari subsektor perikanan, dapat dikatakan bahwa udang dan ikan tuna merupakan dua

37

Page 13: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

komoditi ekspor andalan pertanian Indonesia, yang diekspor ke sejumlah negara termasuk Jepang, Singapura, Malaysia, Australia, AS dan beberapa Negara di Eropa Barat.

Tabel 6Nilai Ekspor Non Migas Menurut Komoditas (Juta $)

Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003*2003(%)

Total Ekspor 42.951 40.987 50.341 44.805 46.307 47.928 100%Pertanian 5.091 4.179 4.152 3.557 3.905 4.191 8.74%

Kayu 53 86 97 105 54 48 0.10%

Getah Karet 1.006 854 883 810 988 1.309 2.73%

Kopi 602 465 327 161 211 219 0.46%

Teh 169 102 115 97 108 96 0.20%

Lada 195 183 227 105 77 74 0.15%

Tembakau 139 108 80 95 73 72 0.15%

Tapioka 21 23 11 12 6 3 0.01%Hewan & hasilnya 1.779 1.574 1.622 1.499 1.431 1.444 3.01%

Udang 1.041 886 971 864 750 787 1.64%

Kulit 72 74 94 80 69 74 0.15%

Lainnya 1.056 710 695 592 888 854 1.78%

Sumber. WTO, 2004, diolah

Perkembangan ekspor pertanian Indonesia pasca krisis 1997, mengalami penurunan yang signifikan hampir di seluruh kom oditas pertanian. Perkembangan nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi selama krisis tidak memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan daya saing suatu komoditas, karena melemahnya nilai tukar domestik seharusnya dapat meningkatkan daya saing harga dari produk-produk pertanian, yang berarti pertumbuhan ekspor yang besar (terutama karena kandungan impornya relatif lebih kecil dibandingkan sektor lain, seperti industri manufaktur).

Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah musim kemarau yang panjang yang datangnya bersamaan dengan krisis, kapasitas produksi yang terbatas sehingga petani-petani tidak dapat memenuhi permintaan dunia diatas jumlah tertentu, keterbatasan informasi di tingkat petani mengenai potensi pasar yang muncul akibat depresiasi rupiah, dan kualitas yang rendah dari komoditi yang dihasilkan. Dalam terakhir ini, terutama sebagai suatu konsekuensi dari kemajuan teknologi di bidang pertanian dan bersamaan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan kesehatan persaingan dalam perdagangan komoditi-komoditi pertanian di pasar dunia tidak lagi hanya ditentukan oleh harga, tetapi juga oleh kualitas produk. Sudah banyak kasus-kasus selama beberapa tahun belakangan ini yang menunjukkan bahwa beberapa komoditi pertanian tertentu dari Indonesia

38

Page 14: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysfitri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulpn untuk Memperkuat

(seperti Udang) ditolak di sejumlah Negara tujuan ekspor (diantaranya Eropa Barat) karena mengandung zat-zat antibiotika.

Ada beberapa kemungkinan menurunnya nilai ekspor pertanian Indonesia. Pertama, akibat turunnya harga-harga internasional untuk komoditi- komoditi primer periode krisis. Hancurnya pasar domestik akibat krisis memaksa produsen-produsen dalam negeri mengalihkan penjualannya ke luar negeri, dan agar laku, maka mereka terpaksa menawarkan dengan harga murah, atau karena sangat tergantung pada pembeli di luar negeri, para eksportir dipaksa oleh pembeli di luar negeri untuk memberi diskon yang besar. Kedua, keterbatasan pendanaan akibat hancurnya sektor perbankan nasional. Pada masa krisis, bank-bank di luar negri tidak menerima pembayaran dari Indonesia dengan menggunakan Letter o f Credit (L/C). Ketiga, nilai tukar efektif riil dari rupiah turun karena pada saat krisis inflasi naik hampir 100%. Akibatnya, efek dari depresiasi nilai nominal dari rupiah menjadi lebih keci! atau bahkan berubah menjadi negatif (apresiasi rupiah dalam nilai riil).

Tabel 7Total Ekspor Sektor Agroindustri dan Sektor Industri (Juta $)

Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003* 2003(%)Total Ekspor 33.157 32.678 40.623 35.628 36.867 37.306 100.00%Tekstil & produk tekstil 7.034 6.291 7.317 6.752 6.266 6.342 17.00%Barang-barang Listrik 2.813 3.365 6.366 6.115 6.641 6.290 1.69%Lainnya 5.275 5.670 6.205 4.234 4.457 4.702 12.60%Produk Kayu 4.245 4.526 4.495 3.962 3.896 3.792 10.16%Pakaian Jadi 3.769 3.450 4.067 3.821 3.344 3.459 9.27%Mesin & psw. Mekanik 1.478 1.853 3.783 3.054 3.207 3.015 8.08%Produk Kimia 2.098 1.835 2.259 2.146 2.360 2.696 7.23%Minyak Sawit 888 1.369 1.265 1.343 2.291 2.613 7.00%Kertas 2.471 2.645 3.046 2.677 2.460 2.558 6.86%Kayu Lapis 2.328 2.259 1.996 1.725 1.564 1.410 0.38%Alas kaki 1.583 1.519 1.620 1.433 1.346 1.264 3.39%Produk Logam 1.387 1.078 1.217 1.131 1.073 1.156 3.10%Produk plastic 935 860 1.216 1.024 1.059 1.045 2.80%Produk Karet 415 374 440 429 523 578 1.55%Kerajinan Tangan 2.089 569 548 532 510 480 1.29%Gelas dan alat dari gelas 269 279 349 306 314 323 0.87%Produk Rotan 39 255 296 272 284 298 0.80%Semen 87 143 141 170 112 90 0.24%Bungkil Kopra 51 47 62 49 68 65 0.17%

Sumber. WTO, 2004, diolah

Perkembangan ekspor sektor agroindustri selama tahun 1998 hingga 2003 mengalami perkembangan yang cukup variatif. Berdasarkan data WTO pada tabel 7, komoditas agroindustri yang mengalami peningkatan ekspor selama tahun 1998-2003 antara lain: Minyak Sawit, Produk Karet, Produk Rotan dan Bungkil Kopra, sedangkan komoditas agroindustri yang mengalami

39

Page 15: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

penurunan ekspor antara lain: produk kayu, kayu lapis dam kerajinan tangan. Secara keseluruhan total ekspor agroindustri menyumbang sebesar 20,98% dari keseluruhan total ekspor pada tahun 2003. Share terbesar agroindustri disumbang oleh komoditas kayu sekitar 10,16% (3.792 Juta $), dan diikuti oleh komoditas lainnya seperti: minyak sawit 7,00% (2.613 Juta $), produk karet (1,55% atau 578 Juta $), kerajinan tangan (1,29% atau 480 juta $) diikuti dengan komoditas lainnya seperti: kayu lapis, rotan dan bungkil kopra yang menyumbang kurang dari 1% dari total seluruh komoditas ekspor.

Nilai ekspor produk agroindustri terus menunjukkan peningkatan sejak tahun 1985 sampai pada tahun 2001. Meskipun sempat menurun pada masa krisis namun sektor ini mampu bangkit lagi dan kembali pada trend semula seperti pada gambar 1 berikut ini.

1800016000

1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001

Gambar 1Nilai Ekspor Produk Agroindustri 1985-2001

Sumber. ADB, 2004

Sebagaimana digambarkan pada gambar 2, di bawah ini, proporsi ekspor produk agroindustri terhadap ekpor non migas mulai tahun 1988 secara perlahan menunjukkan penurunan. Puncak tertinggi peran sektor agroindustri terjadi pada tahun 1988 kemudian meningkat lagi pada tahun 1995. Setelah krisis ekonomi tahun 1998 kontribusi sektor ini mulai meningkat pada tahun 1999. Peningkatan ini disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menyebabkan harga komoditi sektor industri di pasaran internasional mengalami penurunan.

Sekalipun dibuktikan bahwa pada masa krisis sektor ini relatif lebih bertahan dari pada sektor lain, namun kecenderungan penurunan kontribusi ekspor secara perlahan ini harus dicermati dan dicari pokok masalahnya. Apakah karena meningkatnya kontribusi sektor lain atau karena penurunan komoditas ekspor. Namun bila melihat data sebelumnya menunjukkan bahwa nilai ekspor agroindustri semakin meningkat, artinya penurunan dapat disebabkan meningkatnya kontribusi sektor lain. Dengan semakin bebasnya perdagangan dunia, persaingan di pasar internasional semakin ketat .

40

Page 16: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysßtri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

0.4 0.35

0.3 0.25

0.2 0.15

0.1

0.05 0

1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001

tahun

Gambar 2Proporsi Ekspor Produk Agroindustri Terhadap Ekspor Non Migas

Sumben ADB, 2004

Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Produk AgroindustriSalah satu indikator yang dapat menunjukkan perubahan keunggulan

komparatif atau tingkat daya saing ekspor suatu produk dari suatu negara terhadap dunia disebut Revealed Comparative Advantage (RCA). Dengan nilai RCA tersebut dapat dilihat jika pangsa ekspor suatu (atau sekelompok) komoditi di dalam total ekspor manufaktur pada suatu negara lebih besar dibandingkan pangsa ekspor komoditi yang sama dari total ekspor manufaktur dunia. maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor komoditi tersebut. Yang berarti semakin tinggi nilai RCA makan daya saing komoditi tersebut semakin tinggi.

Diantara produk Indonesia yang memiliki daya saing cukup tinggi sebagian besar adalah produk pertanian dan agro industri. Produk lemak hewan dan nabati misalnya memiliki share tertinggi yaitu sebesar 9,5% dari total ekspor dunia dan menempati posisi dua besar dunia. Kemudian produk kopi, teh dan rempah-rempah menempati urutan 3 besar dunia dengan indeks RCA sebesar6,55 pada tahun 1996 dan meningkat menurun menjadi 5,59 pada tahun 2000. Beberapa produk pertanian dan agroindustri yang mengalami penurunan daya saing antara lain komoditi kopi, teh, rempah-rempah, kayu, komoditi hasil laut (ikan, udang dan lain-lain) dan karet. Namun beberapa komoditi seperti hewan, lemak dan minyak nabati dan komoditi kertas mengalami kenaikan daya saing. Secara terperinci daya saing komoditi Indonesia dapat dilihat pada tabel 8.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan perkembangan sumber daya manusia, tingkat daya saing suatu perusahaan atau negara tidak lagi hanya ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan komparatif yang dimilikinya secara alamiah, tetapi juga oleh faktor-faktor keunggulan kompetitif yang harus dikembangkan, bahkan belakangan ini menjadi lebih dominan dibandingkan faktor-faktor keunggulan komparatif. Faktor-faktor kompetitif tersebut antara lain iklim bisnis, strategi, manajemen, perubahan ekonomi intemasional dan kebijakan pemerintah yang mendorong perkembangan ekspor. Implikasinya indeks RCA dari suatu produk akan ditentukan oleh suatu kombinasi dari faktor- faktor keunggulan komparatif dan kompetitif.

41

Page 17: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

Tabel 8Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Produk Agroindustri

P R O D U K

%PerananEkspor

Tn rfn n p g ia

th H D iitria

%FertumbRCA1996-2000

RCA1996

RCA2000

Ferub.RCA1996-2000

Posisidi

Duma2000

1 Hewan, Lemak dan Mnyak Nabati, dan sejenisnya 9,5% 37,5% 6,27 8,62 2,35 2

2 Kopi, Teh dan Rempah-rempah 6,2% -14,6% 6,55 5,59 -0,95 3

3 Kayu dan Benda-benda Kayu, Arang 5,9% -33,0% 7,91 5,30 -2,61 3

4 Bijih Besi, Ampas Bijih dan Abu 7,2% -17,7% 7,86 6,47 -1,39 4

5Alas kaki, Perlengkapan peijalanan dan sejenisnya, dan bagian- bagiannya

4,6% -24,4% 5,52 4,17 -1,35 4

6 Ikan, Kepiting/udang-udangan, Mollusca, Invertebrata Aquatic 4,4% -11,4% 4,47 3,96 -0,51 6

7Bubur Kayu, Barang-barang Berserat Selulosa, Limbah dan lain- lain

3,2% 24,7% 2,32 2,89 0,57 6

8 Kawat Pijar buatan tangan 5,0% 32,2% 3,40 4,50 1,10 79 Serat Kawat buatan tangan 5,2% 19,6% 3,92 4,69 0,77 8

10 Pakaian dan Aksesoris bukan rajutan tangen 3,6% 19,8% 2,73 3,27 0,54 8

11 Katun 3,2% 35,5% 2,14 2,90 0,76 10

12Bahan bakar Mineral, Mnyak, Produk-produk Hasil Penyulingan danlain-lain

2,9% -26,1% 3,54 2,62 -0,93 12

13 Pakaian dan Aksesoris Rajutan Tangan 2,4% 8,1% 2,00 2,17 0,16 12

14Kertas dan Papan Kertas, Benda- benda dari Ampas, Kertas dan Papan

2,3% 112,6% 0,99 2,11 1,12 13

15 Karet dan Barang-barang darinya 2,6% -42,8% 4,06 2,32 -1,74 14

Sumber. Deperindag, 2004, diolah

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengukur Tingkat

Daya Saing Komoditi Ekspor suatu negara adalah Indeks Spesialisasi Pedagangan (ISP). Zamroni (dalam Tambunan, 2004) menggunakan ISP dalam menganalisis tingkat daya saing global beberapa jenis komoditi pertanian Indonesia. Dengan indeks ini juga dianalisis proses tahapan industrialisasi dan perkembangan pola perdagangan komoditi tersebut. Dasar pemikiran dari indeks ini sama seperti teori siklus produk, yang mana suatu produk bertahan di pasar lewat beberapa tahap. Nilai ISP antara -1 dan +1. Padatahap Pengenalan, ISP berkisar

42

Page 18: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysfitri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

antara -1 s/d -0,5; kemudian pada Tahap Substitusi Impor antara -0,5 hingga 0; padaTahap Perluasan Ekspor antara 0 dan +0,8; pada Tahap Pematangan nilainya mendekati +1.

Tabel 9

No. Itas P|^^aian Io d o n ^ g l9 9 S F * ^ 9 9 71. Bunga dan Tanaman Hias 0,436 0,364 -0,6172. Sayur-sayuran -0,298 -0,456 -0,6513. Buah-buahan -0,697 f -0,516 -0,6444. Gabah, Beras dan

Olahannya-0,995 -0,996 i -0,999

ij

5. Palawija -0,610 -0,622 j -0,756

Sumber. Zamroni dalam Tambunan, 2004

Hasil analisis pada tabel 9 di atas menunjukkan bahwa Daya Saing Indonesia untuk sayur-sayuran, buah-buahan, palawija dan beras serta gabah sangat rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai ISP negatif untuk komoditi- komoditi tersebut, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa daya saing dari sayur-sayuran Indonesia berada pada posisi substitusi impor, sedangkan daya saing buah-buahnnya lebih buruk, yakni berada pada posisi pengenalan produk.

Kinerja AgroindustriData dari Biro Pusat Statistik (BPS) pada tabel 10, memperlihatkan bahwa

terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997 hanya berpengaruh temporer terhadap jumlah (unit) usaha agroindustri baik skala menengah, besar, kecil maupun skala rumah tangga. Industri skala menengah dan besar pada tahun 1996 sampai dengan 1998 sudah terjadi penurunan jumlah dari jumlah 5.608 unit berkurang menjadi 5.357 unit. Industri skala kecil menurun dari 91.922 unit menjadi 52.524 unit. Demikian juga industri skala rumah tangga menurun dari 963.210 unit berkurang menjadi 719.668 unit. Setelah itu jumlah unit usaha skala menengah-besar, kecil dan rumah tangga menunjukkan kenaikan yang konsisten dan pada tahun 2000 telah berturut-turut menjadi 5.612 unit, 82.430 unit, dan 828.140 un it.

Dilihat dari total outputnya, maka krisis ekonomi hampir tidak punya dampak terhadap agroindustri. Hal ini tercermin dari data yang menunjukkan bahwa total output terus mengalami pertumbuhan yakni sebesar Rp. 59.667 milyar (1996), Rp. 68.660 milyar (1997), Rp. 111.802 milyar (1998), Rp. 126.552 milyar (1999), dan Rp. 145.392 milyar (2000).

Strategi Peningkatan Daya Saing Produk AgroindustriKeterkaitan sektor industri dengan pertanian mendapat tempat khusus

dalam wacana pembangunan ekonomi. Block dalam Bedu Amang (1996) mengungkapkan bahwa pertumbuhan sektor non pertanian (termasuk industri) hanya dapat dipicu bila pengambilan keputusan dalam perusahaan-perusahaan yang bermukim di pedesaan semakin efisien, produktivitas tenaga kerja makin baik akibat meningkatnya standar nutrisi pekerja serta meningkatnya profitabilitas pertanian. Dengan kata lain, sektor industri hanya akan bisa tumbuh bila diperkuat pertanian yang tangguh.

43

Page 19: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

Tabel 10Kondisi Agroindustri Tahun 1996-2000

No. Skala Usaha/ Kegiatan 1996 1997 1998 1999 2000

1 . Industri Skala Menengah dan Besara. Jumlah Usaha

(unit)5.608 5.544 5.357 5.459 5.612

b. Tenaga kerja (orang)

810.221 791.393 840.923 809.666 836.000

2.

c. Total output (milyar Rp.)

Industri Skala Kecil

49.199 56.578 94.568 107.897 125.855

a. Jumlah Usaha (unit)

81.892 91.922 52.524 67.214 82.430

b. Tenaga kerja (orang)

639.533 780.136 402.558 521.157 594.923

3.

c. Total output (milyar Rp.)

Industri Skala Rumah Tangga

4.407 6.479 6.592 7.466 8.319

a. Jumlah Usaha (unit)

930.904 963.210 719.668 789.901 828.140

b. Tenaga keija (orang)

1.866.775 1.794.794 1.487.258 1.645.003 1.722.711

c. Total output (milyar Rp.)

6.061 5.603 10.642 11.189 11.218

Sumber. Biro Pusat Statistik (BPS), 2000

Pengalaman di negara manapun yang sukses dalam industrialisasi selalu mengembangkan industrialisasi dengan landasan pertanian yang kuat, seperti Eropa, Australia, AS, Korea, Jepang, dan Taiwan. Perdagangan internasional dari negara-negara maju juga didorong oleh hasil pertaniannya (daging, serealia, hortikultur). Sebaliknya kegagalan ekonomi suatu negara banyak disebabkan kegagalan dalam pembangunan pertanian. Sebut saja, Rusia yang hancur ekonominya karena gagal dalam menyediakan pangan sehingga harus hutang gandum ke AS senilai US$ 5 Milyar (Bunasor, 1996).

Bagi Indonesia pengalaman industrialisasi negara-negara tersebut dapat menjadi pelajaran berharga. Bagaimana pun juga mayoritas masyarakat yang masih bergerak di pertanian tetap menjadi kepentingan utama dalam pembangunan ekonomi, bila disadari penuh bahwa pembangunan pada hakekatnya adalah pembangunan umat manusia yang harus memenuhi kepentingan mayoritas umat manusia tersebut. Keterkaitan pertanian dengan industri hanya bisa dilakukan melalui agroindustri. Ini pun harus didukung oleh upaya konsolidasi pertanian yang kuat di tingkat on farm, sehingga agroindustri akan terjaga kesinambungan usahanya karena adanya input (bahan baku yang berasal dari onfarm) yang terjamin mutu dan kontinuitasnya.

44

Page 20: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysfitri, Model Pengembangan Agroindustri Unggujan untuk Memperkuat

Aspek penting dari agroindustri tersebut adalah terpecahkannya diskursus tentang nilai tukar komoditi pertanian yang re la tif rendah dibandingkan komoditi industri sebagaimana dimasalahkan Prebisch. Produk agroindustri mempunyai nilai tambah (added value) yang lebih besar dari produk pertanian non-processed. Rapuhnya sektor pertanian Indonesia kini, disebabkan rendahnya keterkaitan ke depan (forward linkage) atau keterkaitan ke industri pengolahan sehingga memiliki nilai tambah yang tak kunjung naik. Menurut Nasoetion dalam Bunasor dan Satria (1995), indeks retensi sektor pertanian masih cukup tinggi, yakni 0,75. Artinya, hanya sekitar 25% dari nilai produk komoditas pertanian yang memasuki pasar setelah melalui proses agroindustri. Implikasi selanjutnya adalah bahwa pendapatan petani tidak semakin naik karena tidak naiknya nilai tambah dari hasil produksinya.

Peran strategis agroindustri dalam perekonomian nasional sebenarnya telah terbukti secara empirik. Yang pertama terlihat adalah peranan penting agroindustri (dalam bentuk sumbangan atau pangsa relatif terhadap nilai tambah industri non migas dan ekspor non migas) yang cukup tinggi. Selain itu perlu dilihat juga pangsa impor agroindustri yang rata-rata hanya 27% (lihat tabel 11). Rendahnya pangsa impor ini menunjukkan bahwa agroindustri kurang membebani neraca perdagangan dan pembayaran luar negeri.Kenyataan bahwa agroindustri tetap menjadi subsektor yang strategis sangat disadari oleh beberapa pengusaha yang terhimpun dalam Kadin. Dalam identifikasi sembilan produk unggul 1991-1995 yang dilakukan Kadin, agroindustri masih tampak mendominasi sebagaimana terlihat pada tabel 12.

Upaya mengkaitkan pertanian dengan industri melalui agroindustri tidak lepas dari campur tangan pemerintah. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, sulit bagi keterkaitan tersebut untuk dapat berlangsung dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu kemauan politik pemerintah masih sangat diperlukan dalam memperkuat sektor pertanian. Oleh karena itu, target industrialisasi perlu diarahkan pada tercapainya posisi Indonesia sebagai NAIC (Newly Agroindustrializing Country) sebelum menjadi NIC (Newly Industrializing Country). Ini, akan membawa kuatnya industri yang didukung kuatnya sektor pertanian, sehingga keberlanjutan industrialisasi akan lebih terjaga, mengingat seluruh lapisan masyarakat akan dapat menikmati industrialisasi.

Pertemuan WTO di Singapura bulan Desember 1996, menunjukkan liberalisasi perdagangan komoditi pertanian masih merupakan “momok” baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi, dengan diundurkannya kesepakatan tentang pertanian dalam forum WTO hingga tahun 1999 menunjukkan ketidaksiapan semua anggota terhadap liberalisasi pertanian, kecuali Australia. Hal ini mengingat pertanian di negara maju maupun negara berkembang masih mendapat proteksi tertinggi. Meskipun, bagi Indonesia, ternyata proteksi tertinggi bukan pada sektor pertanian tetapi diberikan kepada sektor industri, khususnya industri hulu.

Adapun dari berbagai ragam produk agroindustri yang dihasilkan oleh Indonesia, rupaya KADIN telah menetapkan produk-produk agroindustri yang selama ini telah menjadi primadona ekspor Indonesia. Dari produk-produk unggulan tersebut pulp mencatat pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Dan pada urutan berikutnya terdapat alat-alat telekomunikasi dan elektronika serta logam-logam lainnya.

45

Page 21: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

Tabel 11Beberapa Ciri Keunggulan Penting Agroindustri di Indonesia, 1970- 1995

Uraian 1971 1975 1980 1985 1990 1995Pangsa terhadap nilai industri non migas (%)

62,7 64,3 65,5 66,6 62,13 68,70

Pangsa terhadap ekspor industri non migas (%)

79,2 45,5 47,4 75,4 80,74 80,74

Pangsa terhadap impor industri non migas (%)

26,4 26,3 28,2 28,6 32,12 31,63

Pangsa terhadap kesempatan kerja non migas (%)

75,6 62,1 70,7 79,4 75,04 74,95

Multiplier nilai tambah 0,87 0,83 2,24 2,31 2,91 3,23Multiplier kesempatan kerja 6,87 2,98 0,35 0,57 0,39 0,35Sumber pertumbuhan utama KS KS KS KS KS KS

Sumber: Dikutip dari Saragih (1995)1. Tahun 1971-1985 : Dasril, 19932. Tahun 1990-1995; Hasil Perhitungan PSP IPB, 1995 adalah estimasi

Tabel 12Sembilan Produk Unggul (1991 - 1995) Versi Kadin

No Produk SITC Nilai Ekspor (US $ Juta)

PertumbuhanRata-rata

1 Barang-barang karet 23 1.965,43 21,322 Alat telekomunikasi dan

elektronika76 1.634,24 82,91

3 Minyak dan lemak nabati 42 1.040,83 25,134 Minyak dan lemak nabati dan

olahannya42 Termasuk Termasuk

5 Kertas dan olahnnya 64 931,65 37,556 Mebel dan perabotan 82 864,39 22,867 Logam bukan besi 68 710,10 22,748 Pulp 251 512,31 115,859 Logam-logam lainnya 69 419,54 82,26

Sumber. Bunasor (1996)

Masalah peluang ini semakin terasa dengan adanya standarisasi mutu produk pertanian, dimana semula negara maju sering mengusulkan standar yang terlalu tinggi yang sulit dipenuhi negara berkembang. Misalnya, dalam Wirakartakusumah (1996) dicontohkan dalam kasus standar tentang kadar aflatoksin pada kacang tanah atau jagung. Amerika mengusulkan ambang maksimum 15 ppb (part per billion), Eropa mengusulkan 5 ppb, dan Indonesia lebih dari 20 ppb. Dalam perdagangan intemasional sebelum standarisasi tersebut jelaslah perdagangan kacang tanah dan jagung hanya akan menguntungkan negara-negara maju, karena negara maju menetapkan standar yang lebih tinggi. Sehingga, negara maju lebih memungkinkan melakukan ekspor ke negara berkembang, sementara sulit bagi negara berkembang untuk mengekspor produknya.

46

Page 22: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysßtri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

Model Pengembangan Agroindustri untuk Memperkuat Daya Saing Daerah

Pada intinya model pengembangan Agroindustri harus memperhatikan aspek sumber daya alam dan sumber daya manusia. Akan tetapi dengan semakin menurunnya kemampuan sumber daya alam maka aspek sumber daya manusia harus mendapatkan perhatian yang lebih. Daya saing dari sebuah industri nasional maupun daerah dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk bersaing serta memiliki pasar yang superior melalui laba yang tinggi dan konstan dibandingkan dengan pesaingnya. Sebuah negara atau wilayah tidak dapat dikatakan memiliki daya saing internasional jika hanya memiliki satu atau dua industri yang berhasil. Sebuah negara harus memiliki banyak industri dengan daya saing yang kuat. Sebuah negara juga tidak dapat dianggap kompetitif secara internasional jika kekuatan industrinya hanya didukung beberapa faktor eksternal. Misalnya stabilnya nilai tukar, turunnya harga dunia atau meningkatnya permintaan luar negeri. Tetapi juga faktor internal seperti efisiensi dan iklim bisnis sebagai bagian dari fundamental ekonomi. Oleh karena itu sebuah negara membutuhkan sumber daya saing yang dapat diterapkan pada sejumlah industri. Sumber daya saing yang dibutuhkan sebuah negara diantaranya dapat ditunjukan oleh gambar sebagai berikut:

Gambar 3Agroindustri dan Faktor Pendorong Daya Saing

Dengan berbekal pada sumber daya manusia (pengalaman), peralatan produksi (teknologi), sarana dan prasarana dan sumber daya alam yang sudah ada, sudah seharusnya kita melihat dan memperhitungkan potensi yang ada (resource based) yang juga merupakan hasil dari proses pembangunan selama ini. Sumber daya alam yang ada di setiap daerah menjanjikan potensi yang berbeda satu dengan lainnya dan untuk pengolahannya membutuhkan teknologi dan oleh SDM yang memiliki kemampuan yang terlatih agar dapat menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi. Ditambah dengan sistem informasi yang tepat guna dalam suatu jaring informasi (networking) pasar, maka diharapkan akan terjadi saling mengisi antar daerah. Dengan menghasilkan bentuk produk barang jadi yang diproduksi sesuai dengan potensi yang tersedia di tiap-tiap daerah, maka strategi pemasaran ekspor akan menjadi pola yang membentuk pasar

47

Page 23: Sabar Hutasoit_111201108

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

(market makers). Sehingga pada akhirnya eksportir akan dapat memperoleh nilai tambah yang lebih banyak. Namun demikian kebijakan yang mendorong iklim investasi melalui kemudahan perijinan dan perbaikan infstruktur adalah syarat penting peningkatan daya saing.

KesimpulanSektor pertanian adalah salah satu komoditi ekpor yang sangat penting,

namun sektor ini mengalami penurunan pada tahun terakhir ini. Penurunan perkembangan ekspor pertanian disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah musim kemarau panjang yang datangnya bersamaan dengan krisis, kapasitas produksi yang terbatas sehingga petani-petani tidak dapat memenuhi permintaan dunia diatas jumlah tertentu, keterbatasan informasi di tingkat petani mengenai potensi pasar yang muncul akibat depresiasi rupiah, dan kualitas yang rendah dari komoditi yang dihasilkan. Selain itu tentu masalah yang sangat krusial untuk berbicara tentang daya saing adalah faktor teknologi dan inovasi. Dua faktor terakhir ini akan memungkinkan pengembangan produk baru yang memiliki daya saing dibandingkan dengan produk lain yang sejenis.

Diantara produk Indonesia yang memiliki daya saing cukup tinggi sebagian besar adalah produk pertanian dan agro industri. Produk lemak hewan dan nabati misalnya memiliki share tertinggi yaitu sebesar 9,5% dari total ekspor dunia dan menempati posisi dua besar dunia. Kemudian produk kopi, teh dan rempah rempah menempati urutan 3 besar dunia dengan indeks RCA sebesar 6,55 pada tahun 1996 dan meningkat menurun menjadi 5,59 pada tahun 2000. Beberapa produk pertanian dan agroindustri yang mengalami penurunan daya saing antara lain komoditi kopi, teh, rempah-rempah, kayu, komoditi hasil laut (ikan, udang dan lain-lain) dan karet. Namun beberapa komoditi seperti hewan hewan lemak, minyak nabati, dan komoditi kertas mengalami kenaikan daya saing.

Dengan berbekal pada sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam yang sudah ada, ditambah dengan sistem informasi yang tepat guna dalam suatu jaring informasi (networking) pasar, maka diharapkan akan terjadi saling mengisi antardaerah.

48

Page 24: Sabar Hutasoit_111201108

Ismail dan Sysfitri, Model Pengembangan Agroindustri Unggulan untuk Memperkuat

Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul, 2004, Análisis Ekonomi Pertanian Imdonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

________ , Pengembangan Agribisnis Berbasis Perkebunan , ImplementasinyaMelalui Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan, (KIMBUN), Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional, Jakarta 5 Nopemberi 2002, Direktorat Pengembangan Perkebunan

Arsyad, Lincolin, 1999, Ekonomi Pembangunan, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta

Dong-Sung Cho, Hwy-Chang Moon, 2003, From Adam Smith to Michael Porter: Evolusi Teori Daya Saing, Salemba Empat, Jakarta.

Douglass, Mike, 1998, “A Regional Network Strategy For Reciprocal to Rural-Urban Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia”, Third World Planning Review Vol. 20 No. 1

E.Gumbira Sa’id dan A. Harizt Intan, 2001, Manajemen Agribisnis, PT Ghalia Indonesia dan MMA-IPB, Jakarta

Eicher, Carl K. dan Stoatz, John M. (Eds), 1990, Agricultural Development in The Third World, 2nd edition, The John Hopkins University Press, USA

H.A. Husainie Syahrani, Maret 2001, “The Agropolitan and Agribusiness in Regional Economic Development”, Jurnal Frontier No. 33

Hitt, Michael, at all, 2001, Strategic Management Competitivenes andglobalization Concept, Short-western College Publication, USA.

Kuncoro, Mudrajad, 2002, Análisis Spasial dan Regional, UPP AMP YKPN, Yogyakarta

Miyoshi, Takiro, 1997, “Success and Failure Associated with The Growth Pole Strategy ”, Tesis, University of Manchester Faculty of Economic and Social Studies, England

Saragih, Bungaran, Pertanian dan Agrobisnis Pascapemilu , Kompas, Senin, 5 Juli 1999

Sjahrizal, 1984, Pola Kebijaksanaan Pembangunan Wilayah di Indonesia: Suatu Gagasan, Jumal Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol. XXXIII No.3

Soelaiman, M. Munandar, 1998, Dinamika Masyarakat Transisi, Mencari A lternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Soenarno, 2003, “Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah”, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Widyaloka Convention Hall Malang, 26 Februari 2003

Soetrisno, Loekman 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Sugestiana, Iman, 2002, Identifikasi Sektor Unggulan dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung, Thesis, Magister Ekonomika Pembangunan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

49

Page 25: Sabar Hutasoit_111201108

Tambunan, Tulus T.H., 2003, Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting, Ghalia Indonesia, Jakarta

Tampubolon, SMH, 2002, Sistem dan Usaha Agribisnis, Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation, Bogor

Thorpe, J.E. Gold, Sosiologi Dunia Ketiga Kesenjangan dengan Pembangunan, Terjemahan oleh Sutadijo, 1992, Penerbit Gramedia, Jakarta

Utama Kajo, 2002, Sebuah Analisa Mengenai Kebijakan Penciptaan: Iklim Usaha Dalam Pengembangan, Ekonomi Daerah, Pada Lokakarya Nasional “Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas Pengembangan Kawasan”, Jakarta, Tanggai 4- 5 November 2002.

TEMA, Volume 6, Nomor 1, Maret 2005

50