ritual etu masyarakat kampung olaewa flores 1978 –...
TRANSCRIPT
-
RITUAL ETU MASYARAKAT KAMPUNG OLAEWA FLORES 1978 – 1981
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh
Kriwirinus Yosida Kalvaristo
024314021
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
Persembahan
Skripsi Ini Saya Persembahkan Buat:
Tuhanku Yesus Kristus, yang sangat baik dan penuh kesetiaan yang tinggi terhadap saya. Karena kasihnya dan kebesaran kuasanyalah saya bisa
menyelesaikan Skripsi. Banyak halangan, rintangan yang mencoba menerjang saya, tak kuasa saya menahan derita ini, namun karena kepasrahan yang saya serahkan kepadanya dan atas doa darinya yang memberikan kesabaran bagi
saya, halangan, rintangan yang mencoba menerjang saya luntur berkat kekuatan Tuhanku Yesus Kristus. Thanks Tuhan....
Kedua orang tuaku: Hyasintus. Proklamasi Maxi Ebutho dan Yohanna Fransiska
Sarjumiyati yang selalu memberikan doanya, mengajarkan bagaimana pentingnya
hidup, bagaimana memberikan cinta kasih, dan bagaimana hidup dengan
kesederhanaan, bagaimana menahan rasa gengsi yang tinggi. Terimakasih, I Love
You Papa, I Love You Mama.
Adikku Yohanes Baptista yang sangat jenius. Makasih ya dek atas segala nasehat,
doamu, kesabaranmu. Tanpa kamu saya tidak akan bisa seperti sekarang ini.
My Sweet Girls ”Maria Magdalena Wijayanti/White Pig” yang selalu setia
menungguku dan sabar membimbingku, kemarahanmu adalah kekuatanku, kasihmu
adalah surgaku, kesabaranmu adalah cahaya hidup bagiku.
Bapak, Ibuku di Wonosobo yang selalu menasehatiku layaknya orang tuaku sendiri,
terimakasih atas semuanya.
Almamater saya yang saya cintai, kebanggaan yang takkan pernah saya lupakan
sampai kapanpun: Fakultas Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
THANKS YOU ALL
-
v
MOTTO:
”Takkan Ada Yang Tak Mungkin BisaJika Kita Bisa Berkata Bisa”
-
vi
Pernyataan Keaslian Karya Skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai
syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak
memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau
suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.
Penulis bertanggungjawab penuh atas kebenaran fakta-fakta berdasarkan
sumber-sumber yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini.
Yogyakarta,8 Desember 2007 Penulis
Kwirinus Yosida Kalvaristo
-
vii
ABSTRAK
Penulisan Skripsi dengan judul: “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”, berusaha mendeskripsikan dan menganalisa mengenai perkembangan ritual Etu yang dipegang teguh oleh masyarakat adat di kampung Olaewa ketika masyarakatnya sampai bermukim di wilayah kawasan pemukiman yang baru sebagai dampak dari akibat adanya gerakan program pada tahun 1978 oleh Gubernur NTT Band Boi, untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat dan pada tahun 1981 masyarakat menempati kawasan yang dijadikan perkampungan bagi masyarakat adatnya. Latar belakang masyarakat adat di kampung Olaewa melaksanakan ritual Etu, proses pelaksanaan ritual dan sejauhmana kontribusinya ritual terhadap masyarakat adat, yang semuanya akan dijelaskan dengan mendeskripsikan dan juga menganalisiskannya. Teori yang akan digunakan dalam menganalisis fenomena di atas adalah dengan menggunakan teori fungsional milik Bronislaw Malinowski, sedangkan metode yang digunakan adalah pengumpulan data, analisis data dan penulisan. Kesimpulan yang di dapat dari penelitian ini adalah masyarakat yang menghuni kampung Olaewa merupakan masyarakat yang memiliki tradisi untuk menghargai orang lain sekaligus memiliki rasa saling menghormati, masyarakat adat sadar bahwa sebagai komunitas yang baru sudah seharusnya memperkenalkan diri kepada masyarakat di luar komunitas mereka. Ritual Etu menjadi pegangan hidup bagi masyarakat adat, adanya ritual Etu bagi masyarakat pendukungnya mendapatkan kontribusinya dengan menciptakan eksistensi kepada masyarakat luas serta pandangan yang positif sebagai masyarakat yang berbudi luhur dan memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat, ikatan hubungan kekeluargaan yang mereka tanamkan tidak dapat digeser oleh kekuatan modernisasi.
-
viii
ABSTRACT
The thesis with the title “Ritual Etu of society in village Olaewa Flores 1978-1981”, tried to describe and analyze about Etu tradition development that the society of Olaewa Village when their people lived in the new village as the results of program movement in 1978 by Band Boi, Governor of NTT, for the welfare of all the aspect of society in 1981 the society lived in the place which is made as the new settlement for their society. The background of society in Olaewa village did the Etu ritual as a proces and how it contributes to the society will be explained by describing and analyzing it. The theory which is used to analyze the “fenomena” is by using the fungsional theory by Bronislaw Malinowski, the method which is used is collecting the data, analyzing the data and finally writing it. The conclusion which can be draw from this experiment is the society who lived in Olaewa village are society who have tradition to appreciate other people the society realize as the new community introduced them selves to a new society outside their community, that they must explain they are a society who was a brief history. Etu tradition for gets its reward from get thing its contribution from the existension of this society in the other society’s eyes as a people with history and tradition, has a high collaborative connection with each other that can’t be destroyed by the effect of modernization.
-
ix
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
jalan yang diberikannya, cintanya, pertolongan dan kasihnya, penulis berhasil
mewujudkan impian dan cita-cita selama ini dengan menyelesaikan skripsi dengan
judul: “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”.
Penulis menghaturkan rasa hormat kepada bapak Hery Santosa yang dengan
segala kesabaran dan ketelitian yang dimilikinya, bersedia memberikan bimbingan
kepada penulis. Selaku ketua Program Studi jurusan Ilmu Sejarah walaupun dengan
kesibukan dan waktunya yang cukup padat, beliau membimbing dan mengoreksi
skripsi ini hingga terwujud. Terimakasih atas nasehat, saran, dan motivasi yang bapak
berikan.
Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari peran pihak-pihak lain yang telah
memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil, baik itu secara langsung
maupun tidak langsung. Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis juga ingin
mengucapkan rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada:
1. Para dosen-dosen sejarah karena mereka saya bisa seperti sekarang, kepada Bapak
Aji Sampurno (Indonesiana), SRL, Bapak Sandiwan Suharso, Almarhum Bapak
G. Moedjanto, Teuku Ibrahim Alfian, Romo Baskara Tulus Wardaya (PUSdEP).
SJ, Bapak H. Purwanto, Bapak Budiawan, Romo Banar. SJ, Bapak St. Sunardi,
Ibu Susilawati Endah Peni, Bapak Anton Haryono, Ibu Lucia Yuningsih, Bapak
Manu.
-
x
2. Kepada keluarga besar masyarakat kampung Olaewa bapak Pius Dhay Gu, bapak
Piet, dan semua pihak yang sudah memberikan waktunya.
3. Bapak Band Boi yang sudah meluangkan sedikit waktunya, terimakasih.
4. Bapak Bupati Piet Nuwa Wea, terimakasih.
5. Kepada keluarga besar saya, keluarga mama : Kakekku, Almarhum Nenek, bu
Tutik dan om Mamat, bu Rita dan om Sigit, bude Tri, bu Yanik dan om Wayan,
tante Yanti dan om Agus, tante Yuni, tante Ani, om Santo Rawaseneng, bude
saya yang ada di Rawaseneng, keluarga dari papa: om Rama, om John, om Piter,
om Sensi, tante Diana, mama Ida, mama Devi, mama As(almarhum), om Fensi,
Nenek Felix Feto Wea, nenek Pius Dhay Gu, nenek Piet Lengi, nenek Piet, om
Oskar, keluarga kampung Olaewa, keluarga Kelimado, keluarga kampung
Boawae, dan semua keluarga besar lainnya, terimakasih atas doa dan kesabaran
serta dorongannya.
6. Saudara-saudaraku, Kakak-kakakku, Adik-adikku; Hanes, Nanang, Dira, Indah,
Yoga, Singgih, Fajar, Lucky, Wikmon, Valdo, Nastri, Billy, Tedi, Ade, Tris, Kak
Mira, Ebi, Karin, Manda, Lia, dik Lia, Mbak Siska, Ino, Ivan, Ririn, Meri, dek
Lia, kak Betsi, kak Jane, Salmin, Bernard, Gede, Yuce, Serly, mbak Siska, kak
Venny, kalian semua penyemangatku, terimakasih atas doa dan dukungannya.
7. Untuk sahabat saya Tina terima kasih atas dorongannya.
8. Mas Tri (sekretariat ilmu sejarah) terimakasih atas bantuannya.
9. Kepada bapak Bupati Ngada Piet Nuwa Wea, bapak Band Boi.
10. Special sangat special, yang hanya bisa aku temukan di Yogyakarta, teman
seperjuangan angkatan 02 ilmu sejarah you’re My Best Friends; Gusty Yaser
-
xi
Arafat, Hendrik Eka Rama K, Daniel Dwi Nugroho, Sukarno, Erlangga Hari
Murti (Elang), Markus Y, Iyus, Trex, Biba, Hananto, Eko Fibrianto, Teo (ada
rokok), Yoan C, Agus Tabuni, Rogerio, Yohannes Vianey, Theodorus Noviardi,
Heridawati, Vila, Devi, Rini, Feni S, Mamik, Nana, Margaretha Eva, Ratih,
terimakasih untuk segalanya, ilmu maupun nasehatnya akan aku kenang dan aku
coba tuangkan di dalam kehidupanku. Robert (sastra Indonesia), Agus (sastra
Indonesia), Kentung (sastra Indonesia), teman KKN 32(Agnes, Danang, Rendeng,
Rini, Lukas, mas Vincent, Murni, Afril)dan kelompok-kelompok Ngandong, Pak
Lurah Ngandong”Pak Joko teman ilmu sejarah Icsmi, Teo, Ifa, Atik, Teo, Eric,
Darwin, Bondan, Suster, Edy Pramana, Keke, Afda, Anggi, Yoga, Sundari, Dedi,
Anong, Anggoro, Luperno, Ana, Nana, Max, Hafein, Eno, Mita, mbak Monik,
Kae Hendrik (papi), pokoknya mulai dari angkatan 1999-2006 tanpa kalian semua
saya tidak akan bisa seperti sekarang. Thanks Thanks
11. Kos Holiwood, ketenangan, kedamaian, curahan hati yang tak terlupakan serta
spirit yang kalian beri, Wawan, Salvan(wartawan kompas), Inus, Daniel, Nanto,
kak Berno, Ale, mas Paul, Bima, Edi, untuk semuanya Thanks banget juga
Nana&Bram..
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan karya tulis ini masih jauh
dari kesempurnaan, dan masih terdapat banyak kekurangan kekurangan, oleh
karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik untuk membangun sebuah karya
yang lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Penulis
-
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................. .......................ii
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................... .........................iv
HALAMAN MOTTO.......................................................... ....................v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................ ..........................vi
ABSTRAK........................................................................... ........................... vii
ABSTRACT...................................................................................... ............. vii
KATA PENGANTAR.................................................................... ............ ..xi
DAFTAR ISI....................................................................................................xii
DAFTAR TABEL...........................................................................................xvi
BAB I: PENDAHULUAN.................................................................... ............1 A. Latar Belakang Masalah....................................................... ...........1 B. Identifikasi Masalah...................................................................... ......6 C. Rumusan Masalah......................................................................... ......8 D. Tujuan Penelitian.......................................................................... ......8 E. Manfaat Penelitian........................................................................ ......9 F. Kajian Pustaka............................................................................. .....10 G. Landasan Teori............................................................................ ...13 H. Metode Penelitian.......................................................................... ...17
1. Pengumpulan Data................................................................. .....18 2. Analisis Data.............................................................................. .20 3. Penulisan........................................................... .........................21
I. Sistematika Penulisan............................. ........................................22
BAB II: KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES............................23 A. Gambaran Umum Pulau Flores...................................................... ....23
-
xiii
1. Flores........................................................................................ ..23 2. Lingkungan dan Masyarakat Flores....................................... .....25 3. Religi....................................................................... ....................26
4. Pola Perkampungan di Flores.......................... .......................28 B. Sejarah Nagekeo................................................ ..............................30 C. Asal-Usul Masyarakat Kampung Olaewa..................................... ..32 1. Kondisi Sosial Masyarakat .........................................................32 1.1. Orang Dhuge................................................................ ........32 1.2. Latar Belakang.................................................................. ...32
a. Tingkatan Gae atau Ata Kai.......................................... .....33 b. Tingkatan Kuju Noe Walu Halo atau Ata Kisa........... .......34 c. Tingkatan Ata Hoo.............................................. ...............34 1.3. Sistem Kekerabatan ...............................................................35 a. Kekerabatan dalam keluarga inti........................................35 b. Kekerabatan dalam klan.....................................................35 2. Sejarah Masyarakat Kampung Olaewa................................ . .......36
D. Letak Wilayah Kampung Olaewa................................................. ....37
E. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa ...............39 1. Kondisi Topografi .......................................................................39
2. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa........................40 F. Simbol-Simbol Adat Masyarakat Kampung Olaewa........................45
BAB III: RITUAL ETU BAGI MASYARAKAT.. ........................................47 A. Ritual Etu Sebagai Adat .................................................................47 B. Ritual Etu Sebagai Penyeimbang Kehidupan Bermasyarakat. ..50
1. Ungkapan syukur ........................................................................56 2. Pengikat masyarakat dengan kampung ........................................57
C. Asal Mulanya Ritual Etu di Masyarakat ..........................................58 1. Mitologi tentang ritual Etu .........................................................58 2. Waktu dan tempat penyelenggaraan ............................................60 3. Tahap-tahap pelaksanaan ..........................................................67
-
xiv
BAB IV: KONTRIBUSI RITUAL ETU BAGI MASYARAKAT KAMPUNG OLAEWA 1978-1981................ .......................................................70
A. Kondisi Sosial Masyarakat Kampung Olaewa ..........................70 B. Modernisasi di Tengah-Tengah Masyarakat .............................74 1. Perpindahan kampung tahun 1981 ........................................74
2. Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Makmur (ONM), dan Operasi Nusa Sehat (ONS) berintegrasi dengan budaya lokal............................................................................................... 77
C. Dampaknya Ritual Etu Bagi Masyarakat Kampung Olaewa Secara Luas................................................................................................82
1. Sadar akan pluralistik yang dimiliki masyarakat. ......................82 2.Masyarakat diakui, dihargai, dan dihormati........................... ....84
3.Menyatukan dan menumbuhkan semangat solidaritas antar warga masyarakat ............................................................................. .......87
D. Usaha Masyarakat Adat terhadap Eksistensi Ritual Etu... . .... ......93 E. Nilai Positif Masyarakat Olaewa.......................................... ..........96 BAB V: PENUTUP.................................................................................. ....103
A. Kesimpulan......................................................................... ..........103 B. Saran.................................................................................... .........105
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................107 LAMPIRAN......................................................................................... .........114
A. Lampiran 1: Gambar Peta Kabupaten Nagekeo B. Lampiran 2: Kronologis Bentuk dan Kondisi, dan Situasi Kampung
Masyarakat Adat. C. Lampiran 3: Suasana masyarakat pada saat melaksanakan ritual Etu
-
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Beberapa penyebutan wujud Tertinggi orang Flores.............................27
Tabel 2. Beberapa altar atau tempat pemujaan orang Flores...............................28
Tabel 3. Curah hujan di kecamatan Boawae 2005...............................................39
Tabel 4: Gelar hubungan kekeluargaan dalam masyarakat Nagekeo..................92
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pepatah mengatakan bahwa sejarah berulang!!! Pernyataan ini tidak
hanya menekankan pada peristiwa melainkan bentuk atau polanya. Sejarah
cenderung berkaitan dengan kegiatan manusia di masa lalu. Sejarah mengandung
dua unsur di dalamnya, yakni sejarah dalam arti subjektif dan sejarah dalam arti
objektif. Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, bangunan yang
disusun sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu
kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta yang terangkaikan dalam
menggambarkan suatu gejala sejarah baik di dalam proses maupun struktur,1
sedangkan sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau
peristiwanya itu sendiri, yang merupakan proses sejarah dalam aktua litasnya,
sehingga sejarah dikatakan berulang, disini mau menekankan bahwa sejarah
dalam arti objektif, sedangkan seseorang harus bisa belajar dari sejarah, sehingga
hal ini akan lebih menunjuk sejarah dalam arti subjektif.2 Kesadaran akan sejarah
merupakan sumber inspirasi serta aspirasi penting yang saling berhubungan
karena keduanya sangat potensial untuk membangkitkan sense of pride
(kebanggaan) dan sense of obligation (tanggungjawab dan kewajiban).
Budaya lokal dengan segala masa lalunya menciptakan kesejahteraan
sendiri bagi masyarakatnya. Sejarah sebagai rangkaian peristiwa masa lalu,
1 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah, PT Gramedia, 1990, hal.14.
2 Ibid, hal. 15.
-
2
berperan aktif mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa kini dan masa yang
akan datang, seperti Koentowijoyo dalam tulisannya mengatakan
“sejarah menawarkan cara pandang yang kritis mengenai masa lalu, sehingga negara tidak akan terjebak pada archaisme dan makronisme , sekalipun kita berpijak pada jati diri yang terbentuk di masa lampau sejarah kita”.3
Seandainya cara ini dilakukan dan dilaksanakan secara baik maka
pembangunan dengan tujuan mencerdaskan bangsa dan sekaligus menciptakan
ketertiban dunia sesuai pembukaan UUD 1945 akan berjalan sempurna.
Situasi negara Indonesia yang akhir-akhir ini sering diwarnai berbagai
konflik yang juga mengakibatkan hilangnya harta benda serta nyawa seperti
peristiwa di daerah Ambon, Poso, dan Kalimantan, tentu saja merugikan
pembangunan demi kesejahteraan bersama. Kasus yang terjadi tidak terlepas dari
keseriusan peran pemerintah Indonesia dalam memahami kebudayaan masyarakat
lokal sebagai potensi asli yang dimiliki yang mampu menyokong pembangunan
Indonesia..
Penulisan ini ingin membangkitkan sejarah kebudayaan masa lalu, sebagai
identitas bangsa. Pembangunan di Indonesia yang ideal berlandaskan kebudayaan,
sama halnya harapan Meutia Farida Hatta Swasono yang mengatakan:
“perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warga negara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata, oleh karenanya kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?”4
3 Kuntowijoyo, Metodelogi Sejarah Edisi kedua, PT Tiara Wacana Yogya, 2003, hal. 134.
4 Meutia Farida Hatta Swasono, Kebudayaan Nasional Indonesia:penataan pola pikir, http://www.kongresbud.budpar.go.id/meutia_hatta.htm, 18-03-07.
-
3
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengisyaratkan akan harapan mengenai
kejelasan bangsa ini. Terkandung sebuah nilai di balik pernyataan diatas, agar
menginginkan negara ini untuk sungguh-sungguh mengenali diri sendiri, dengan
cara pemahaman akan sejarah kebudayaan. Menjadi PR (pekerjaan rumah) yang
harusnya diselesaikan seluruh komponen lapisan masyarakat negara Republik
Indonesia. Sudah saatnya bangsa ini bangkit, sudah saatnya bangsa ini bergerak,
caranya tidak lain melalui budaya.5 Mengenai siapa yang menjadi patner dari
negara, dijelaskan oleh Jacob Burckhardt (1818-1897) bahwa negara tidak akan
bisa melepaskan budaya seperti dalam karyanya Die Culture Der Renaissance in
Italien yang menuliskan “negara mempunyai hubungan dengan budaya, sebagai
pendorong munculnya bentuk budaya dan sebaliknya, negara adalah bagian dari
sistem budaya”, 6 untuk itu kebudayaan penting untuk dikaji. Sejarah kebudayaan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah umum, sisi
kebudayaan dapat memberikan solusi yang tepat bagi kemajuan perkembangan
bangsa dan negara. Joseph H. Greenberg menulis:
“sejarah kebudayaan adalah bagian dari sejarah umum, mengenai perkembangan-perkembangan histories bangsa-bangsa yang belum mengenal tulisan, pada waktu sekarang dan masa lampau”.7
Negara Indonesia dibangun atas dasar budaya, Kebudayaan Nasional Indonesia
tidak lepas dari peranan kebudayaan lokal, salah satunya Flores yang merupakan
salah satu daerah bagian timur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5 Sartono Kartodirjo, op.cit, hal. 195. 6 Ibid, hal. 117. 7 Taufik Abdullah dan Abdul Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historigrafi: Arah dan
Persepektif, Jakarta: PT, Gramedia . 1985, hal. 213.
-
4
Flores memiliki keanekaragaman budaya, hingga saat ini masih sering
dijumpai upacara tradisional warisan masa lalu, yang mengandung nilai, ide dan
semangat masyarakat. Ritual Etu masih dipahami oleh masyarakat yang tidak
mengerti akan ritual ini sebagai sesuatu yang kejam, sadis, yang menggambarkan
masyarakat adatnya, padahal Ritual Etu mengajarkan bagaimana rasa saling
menghormati dan menghargai antar masyarakatnya.
Kampung Olaewa merupakan daerah yang baru bagi masyarakat adat,
masyarakat ini biasa juga disebut dengan orang Dhuge. Masyarakatnya sangat
menghargai kebudayaan, sebagai warisan budaya leluhur Ritual Etu dilaksanakan
secara sungguh-sungguh, dan penuh rasa hormat. Tidak sembarangan masyarakat
dapat melaksanakan ritual ini, karena hanya masyarakat yang memiliki Peo,
patung Bu’e Coo, dan sejarah masyarakat kampung yang jelas. Perpindahan
kampung oleh masyarakat ke Olaewa menjadi sesuatu yang baru, masyarakat
selama ini menetap di kampung yang memiliki sejarah dan ikatan emosionalnya
yang jelas saat ini tinggal di kampung yang nyata-nyata tidak memiliki ikatan
emosional, sebab dalam kebudayaan setempat oleh masyarakat dan kampung
merupakan satu kesatuan. Menariknya Ritual Etu dilaksanakan justru tidak pada
kampung yang memiliki kedekatan, ritual ini berada di tengah-tengah
modernisasi.
Masyarakat pada tahun 1978, oleh pemerintah daerah mencanangkan
program Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, dan Operasi Nusa Indah,
menginginkan adanya kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pada tahun 1981 wujud
-
5
dari program tersebut ialah perpindahan kampung oleh masyarakat yang dikenal
sebagai orang Dhuge.
Kebudayaan tidak begitu saja muncul tanpa memiliki maksud dan
tujuannya, beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur mempunyai konsep tertentu
tentang desa maupun kampung yang dianggap sebagai mahluk hidup 8, mengutip
tulisannya Koentjaraningrat bahwa kebudayaan menurut ilmu antropologi adalah
“keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”9, sama
seperti masyarakat yang dikenal dengan orang Dhuge. Kampung yang baru tidak
menyurutkan nilai kebudayaan Ritual Etu yang tetap dipertahankan oleh
masyarakat. Namun masyarakat mampu menciptakan ketentraman, suasana yang
harmonis di antara mereka, dan kondisi ini menjadikan masyarakat adat setempat
dikenal dan dihargai sebagai masyarakat yang benar-benar menghargai adat.
B. Identifikasi Masalah
Masyarakat Kampung Olaewa adalah masyarakat pemegang kebudayaan.
Ritual Etu merupakan warisan leluhur yang masih sampai saat ini terus dan tetap
dilaksanakan. Masyarakat kampung Olaewa sangat pemali10 atau terlarang apabila
Ritual Etu ini tidak dilaksanakan, karena akan sangat berakibat bagi
masyarakatnya khususnya lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat masih
8 Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1977/1978, hal. 10. 9 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Penerbit Rineka Cipta, 1990, Jakarta,
hal. 80. 10 Pemali maksudnya sesuatu yang tidak boleh dilanggar, apabila dilanggar maka akan
mendapat malapetaka yang besar.
-
6
merasa yakin bahwa Ritual Etu memiliki kekuatan yang luar biasa. Masyarakat
merasa meyakini adanya kekuatan leluhur yang bekerja dalam segala kehidupan
umat manusia, menurut keyakinan masyarakat, leluhur bermukim di sebuah
gunung yang disebut Ebu Lobo.
Ritual Etu merupakan sebutan masyarakat adat, terbentuknya ritual ini
terkait dengan adanya penciptaan bumi dan langit. Ritual ini hanya boleh
dilakukan di tengah kampung yang lengkap dengan simbol masyarakat adat
kampung Olaewa, menunjukan bagaimana kampung, masyarakat, dan leluhur
(diyakini berada di dalam simbol adat) bergabung dalam satu ikatan Ritual Etu.
Masyarakat kampung Olaewa memiliki sejarah perkembangan hidupnya,
masyarakat pola hidupnya masih sangat tradisional, kampung masih dianggap
sebagai tempat bertemunya masyarakat dan leluhur, konsep leluhur, alam,
merupakan ciri kehidupan masyarakat, karena masyarakat percaya bahwa
keselamatan tidak terlepas dari unsur alam dan leluhur.
Kondisi masyarakat Olaewa saat ini merupakan dampak dari arus
modernisasi yang begitu kuat. Struktur rumah yang tadinya hanya beratapkan
jerami, namun saat ini sudah memakai seng, dinding rumah yang dahulunya
menggunakan bambu saat ini sudah memakai tembok yang berbahan dasar batako.
Masyarakat bermukim di kampung yang baru tidak semata-mata begitu saja
menetap, namun terjadi proses yang cukup panjang. Awalnya di kampung induk,
baru kemudian bergeser di kampung yang baru yakni Kampung Olaewa, proses
perpindahan dari kampung lama menuju kampung yang baru jarak waktunya
cukup lama, sehingga tidak jarang masyarakat Kampung Olaewa disebut juga
-
7
sebagai orang Dhuge sebab Kampung Dhuge pernah berjasa memberikan rasa
aman dan juga yang lainnya adalah memiliki kedekatan emosional langsung
dengan Kampung Dhuge. Kampung Olaewa dipengaruhi modernisasi, usulan
pemerintah agar masyarakat pindah di kampung ini agar kesejahteraan semakin
meningkat dan akses transportasi, kegiatan kantor, sekolah mudah dijangkau,
sudah terjadi modernisasi, faktor yang sangat penting yang mempengaruhi
manusia memiliki sikap modern adalah pendidikan, lingkungan kekotaan,
komunikasi massa, dan negara nasional dengan segenap aparatnya. 11
Ritual Etu juga dianggap sebagian masyarakat sebagai ritual yang sadis,
tidak manusiawi dan memiliki ciri khas seperti komunitas kaum barbar, karenanya
masyarakat dianggap pencitraan dari ritual ini, ada kalanya masyarakat yang tidak
memahaminya sering dalam ritual ini terjadi perselisihan paham dengan anggota
masyarakat lain, ritual Etu juga sering dianggap sebagai ritual yang hanya
memboroskan uang dan cendrung masyarakat dikatakan sebagai masyarakat yang
suka pesta-pesta dan royal, tidak jarang masyarakat dikatakan masyarakat yang
suka akan kemewahan. Modernisasi yang begitu kuat masuk dalam kehidupan
masyarakat, membawa dampak sosial yang besar, masyarakat menjadi
individualistik, masyarakat mulai mengukur segala sesuatu atas dasar uang.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari identifikasi permasalahan di atas, yang mampu dikaji
adalah diantaranya:
11 Prof. Harsojo, Pengantar Antropologi, Penerbit Bina Cipta, 1977, Jakarta, hal.243.
-
8
1. Apa yang melatarbelakangi masyarakat adat Kampung Olaewa
melaksanakan Ritual Etu?
2. Bagaimana Ritual Etu dilaksanakan di masyarakat?
3. Sejauhmana kontribusi dari Ritual Etu bagi masyarakat Kampung Olaewa
1978-1981 ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam tulisan skripsi mengenai “Ritual Etu Masyarakat
Kampung Olaewa Flores 1978-1981” adalah untuk memahami, mengetahui, serta
menganalisis apa yang menjadi latarbelakang Ritual Etu dilaksanakan oleh
masyarakat kampung Olaewa dan juga untuk mencermati nilai-nilai yang
terkandung di dalam Ritual Etu sehingga masyarakat begitu meyakini bahwa
Ritual Etu sebagai suatu budaya yang harus dipertahankan. Selain itu juga untuk
mengetahui sejauhmana Ritual Etu dapat menjadi sebuah budaya yang memiliki
keunggulan serta bagaimana cara Ritual Etu mempertahankan dirinya di zaman
yang modern.
Inventarisasi dan pendokumentasian Ritual Etu yang erat kaitannya
dengan keyakinan masyarakat setempat diharapkan dapat mendukung usaha-usaha
pelestarian budaya dalam sejarah Kebudayaan Nasional Indonesia, dan juga
berusaha memperkenalkan budaya daerah ini kepada daerah lain sehingga terjadi
adanya komunikasi antar budaya pada masyarakat Indonesia yang majemuk.
Penulisan mengenai sejarah kebudayaan lokal ini juga sekaligus sebagai
referensi baru atau sebagai sumbangan data bagi penelitian-penelitian baru di
-
9
masa mendatang, pada sisi lain tulisan ini tidak saja penting bagi diri sendiri
melainkan juga penting bagi orang lain. Melalui tulisan ini diharapkan mampu
mengkomunikasikan masyarakat luas agar memahami budaya lain. Penulisan
sejarah kebudayaan jika tidak dimulai saat ini, maka sejarah-sejarah kebudayaan
lokal sebagai kekuatan sejarah nasional negara Republik Indonesia akan hilang
ditelan zaman.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian kali ini ialah menambah suatu karya tulis ilmiah
mengenai sesuatu peristiwa sejarah yang baru di Indonesia, khususnya mengenai
peristiwa sejarah lokal yang berbudaya yang jarang diangkat ke dalam koleksi
sejarah nasional. Dari karya tulis ini diharapkan mampu menjembatani informasi-
informasi yang ada di daerah pulau Flores, khususnya kabupaten Nagekeo,
dengan masyarakat yang tinggal di daerah luar pulau Flores.
Sehingga pada akhirnya dengan mengerti dan mengetahui informasi tadi
diharapkan mampu menjadikan perbedaan budaya tersebut menjadi sebuah
keunikan dan menjadi sebuah ilmu yang sangat berarti demi kelangsungan negara
Indonesia ke arah yang lebih baik dan mampu memberikan sumbangan
pengetahuan informasi kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan
kearah yang lebih baik. Sehingga semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi
selaras dengan prinsip-prinsip hidup bermasyarakat yang semakin lama saat ini
terasa semakin mengkhawatirkan. Dengan belajar sejarah semakin mampu
membawa negara Indonesia menjadi dewasa.
-
10
F. Kajian Pustaka
Tulisan ini mencoba melihat permasalahan yang sangat berbeda dengan
masalah-masalah yang sudah diangkat oleh sejarawan lainnya. Data yang di
peroleh untuk menunjang penulisan ini melalui studi pustaka, beberapa literatur
berupa buku, artikel, internet, dan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat, adat, maupun pemerintahan.
Topik yang akan dikaji oleh penulis sebenarnya merupakan hal yang baru,
dimana selama penulis membaca buku-buku budaya maupun sejarah penulis
belum menemukan tulisan mengenai apa sebenarnya Ritual Etu sehingga begitu
besar kekuatannya.
Sumber-sumber yang akan digunakan dalam pembuatan tulisan dengan
judul “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”, masih sangat
sulit dan sifatnya terbatas sehingga perlu mengadakan penelitian langsung.
Sumber-sumber buku yang ada belum menceritakan secara lengkap mengenai
ritual Etu.
Ada beberapa buku yang sudah menuliskan mengenai sejarah kebudayaan
Flores tepatnya di daerah Ngada (lokasi wilayah ini telah dimekarkan sehingga
muncul daerah baru Nagekeo), namun untuk secara khusus tentang budaya Ritual
Etu (hanya terdapat di wilayah Nagekeo) secara khusus belum ada. Buku-buku ini
biasanya digunakan sebagai gambaran umum untuk melengkapi sumber yang
lainnya.
Buku tersebut antara lain ialah REBA: Ritual Budaya ”Tahun Baru”
Masyarakat Ngada (Cultural Ritual ”New Year” Society of Ngada), buku ini
-
11
menceritakan mengenai sejarah orang Ngada seputar ulasan mengenai budaya
tradisional REBA secara umum, disamping itu berisi juga tentang event-event
budaya tahunan. Oleh karena itu sifat buku ini lebih merupakan buku panduan
bagi mereka yang ingin berkunjung dan melakukan perjalanan wisata ke daerah
ini. Buku ini hanya sekedar menyoroti karakter kehidupan kebudayaan
masyarakat Ngada.
Buku lain adalah “Manusia dan kebudayaan di Indonesia” yang disusun
oleh Koentjaraningrat, menceritakan mengenai kebudayaan Flores yang di
dalamnya memuat antara lain identifikasi wilayah kelompok suku di Flores, pola
perkampungan, religi. Sehingga sifat buku ini terbatas hanya menjelaskan pola-
pola geografis dan organisasi sosial.
Ada juga buku yang berjudul “Peranan Hukum Pertanahan Dalam
Pembangunan Daerah Otonom Ngada”, buku ini ialah sekumpulan makalah-
makalah dari beberapa sarjana-sarjana yang mengadakan seminar mengenai
masalah tanah yang diadakan di Bajawa, 21-23 januari 2002. Buku ini tidak
menjelaskan secara mendetail mengenai ritua l Etu.
Dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur(NTT),
yang berjudul “Upacara Tinju Tradisional (ETU) Di Kelurahan Natanage
Kecamatan Boawae Kabupaten Ngada”, pada buku yang satu ini ada kesamaan
mengenai objek kajian yakni sama-sama mengkaji Ritual Etu, sehingga buku ini
hanya sekedar mendeskripsikan tahap-tahap upacara budaya ini berlangsung.
Pada sumber yang lain melalui internet dengan alamat situsnya,
http://www.geocities.com/kapetmbay/event.htm,http://www.kompas.com/kompas
-
12
cetak/0304/16/otonomi/259141.htm, isinya mengenai deskripsi tentang ritus tinju
tradisional Etu yang diadakan selama setahun sekali dan tahap-tahapnya.
Dalam penulisan skripsi ini dengan judul “Ritual Etu Masyarakat
Kampung Olaewa Flores 1978-1981,” agak berbeda dengan tulisan yang sudah
pernah di tulis oleh orang lain, ingin melihat bagaimana masyarakat adat begitu
mempertahankan Ritual Etu hingga begitu sangat penting bagi kehidupan
masyarakat. Penulis berpendapat bahwa tidak ada budaya yang diciptakan tanpa
memiliki fungsi yang bermanfaat bagi keberlangsungan pemilik kebudayaan yang
bersangkutan.
G. Landasan Teori
Perubahan kebudayaan di suatu masyarakat lebih disebabkan oleh
masuknya kebudayaan asing. Faktor yang sangat penting yang mempengaruhi
manusia memiliki sikap modern adalah: pendidikan, lingkungan kekotaan,
komunikasi massa, negara nasional dengan segenap aparatnya.12 Sarjana
antropologi budaya beranggapan hampir setiap observasi mengenai kebudayaan
itu berarti mencatat fakta sejarah karena apa yang ada dalam suatu masyarakat
merupakan produk dari apa yang telah manusia lakukan. Kebudayaan itu ada,
hadir dalam masyarakat dan berubah lewat waktu, kebudayaan itu keluar dari
masa lalu, hadir pada masa kini, dan dilanjutkan pada masa yang akan datang, 13
sebab masa sekarang tidak pernah terlepas dari masa lalu. Kaitan dengan Ritual
Etu yang terjadi di masyarakat kampung Olaewa, menggunakan teori fungsional,
12 Prof. Harsojo, op.cit. 13 Koentjaraningrat, op.cit, hal. 40
-
13
menurut Malinowski fungsi diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan, dengan
demikian pada akhirnya fungsi menjadi sesuatu yang melayani kehidupan dan
kelanjutan hidup.
Hubungan antara masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Masyarakat
tidak mungkin ada tanpa kebudayaan begitu sebaliknya kebudayaan hanya
mungkin ada dalam satu masyarakat, hal tersebut di atas adalah dua pengertian
kebudayaan dan masyarakat sebenarnya merupakan dua segi dari satu kenyataan
kehidupan sosial manusia. Kondisi biologi dan psikologinya yang khusus,
manusia harus mampu bekerjasama dengan manusia lain dalam ikatan masyarakat
untuk dapat melangsungkan kehidupan jenisnya. Bronislaw Malinowski ialah
tokoh yang memahami masyarakat melalui kebudayaan, yang mengemukakan
bahwa semua unsur kebudayaan (cultural traits) merupakan bagian yang
terpenting dalam masyarakat, karena unsur tersebut memiliki fungsinya, itu
sebabnya setiap pola adat kebiasaan merupakan sebagian dari fungsi dasar dalam
kebudayaan, 14 selanjutnya Bronislaw Malinowski mengatakan “dalam mencari
kaidah-kaidah dalam masyarakat terdapat tiga masalah sebagai azas penting
menurut pendekatan fungsional, yaitu (1) adakah sesuatu itu berfungsi; (2)
bagaimana sesuatu itu berfungsi; dan (3) mengapakah sesuatu itu berfungsi.”15
Malinowsi melihat bahwa masyarakat adalah gabungan dari sistem sosial yang
sistemnya memuat unsur-unsur tentang kebutuhan dasar manusia yang harus
14 Museografia: Majalah Ilmu Permuseuman, 1985, Direktur Permuseuman Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 55 15 Ibid.
-
14
dipenuhi. 16 Kebutuhan dasar itu meliputi aspek-aspek yang menunjang
kelangsungan kehidupan masyarakatnya, Ritual Etu merupakan bagian kekuatan
masyarakat untuk dapat mengenali jati diri terutama asal-usul masyarakat sebagai
komunitas yang memegang kebudayaan.
Integrasi sosial menurut Durkheim ditemukan dalam pembagian kerja
dalam masyarakat, yaitu semakin sama pembagian kerja dalam masyarakat
semakin tinggi tingkat integrasi sosial, lebih lanjut Durkheim menguraikan dua
tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Solidaritas mekanis yang berasal dari golongan masyarakat tradisional yang
pembagian kerja dalam masyarakatnya masih rendah, norma-norma yang
cendrung represif, dan masih adanya kesatuan sosial dalam tingkat yang tinggi.
Solidaritas organik di sisi lain adalah sifatnya yang lebih maju, sebuah masyarakat
industri dalam pembagian kerja yang begitu kompleks (tidak sama),
meningkatnya hubungan kontrak (yang diikat dengan perjanjian) dan memiliki
tingkat integrasi sosial yang lebih rendah. Dalam hal ini upaya kontrol individu
menjadi lemah menuju suatu keadaan berkurangnya norma-norma yang lebih
tinggi dalam masyarakat.17 Durkheim mengatakan kekuatan sosial didasarkan
pada pandangan kolektif yaitu berbagai bentuk kekuasaan yang bersandar pada
struktur-struktur normatif dari kelompok tertentu selama kontrol itu diterapkan
pada anggota kelompok melalui norma-norma ini. Ritual Etu merupakan norma
yang dipegang oleh masyarakat, mampu mengontrol masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari, dalam kenyataan secara umum seluruh aspek struktur sosial termasuk
16 Ibid. 17 Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, penerbit
Pustaka Setia Bandung, 2005, hal.90.
-
15
lembaga- lembaga bersandar pada sebuah sistem normatif masyarakat.18 Fungsi
masing-masing kelompok sosial dalam masyarakat kampung telah ada, untuk
mengatur kesejahteraan bersama, sebab prinsip masyarakat tradisional adalah
kebersamaan
Memahami gejala sosial ketika kampung berpindah ke kampung yang
tidak ada kedekatan historis dengan masyarakat, agar memahami masalah
membutuhkan teori Durkheim bahwa evolusi norma sosial didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam masyarakat19, bahwa ikatan kekeluargaan
tetap dipertahankan, solidaritas di antara suku-suku dalam kampung semakin
menguat, terlihat kemasyarakatan, kehidupan bersama antara manusia ingin
menunjukan adanya proses sosial dan relasi sosial. Proses sosial adalah cara
interaksi sosial yang dapat dilihat apabila individu dan kelompok bertemu dan
membentuk satu sistem relasi sosial, 20 melihat masyarakat memakai sedikit
konsep teori tradisi sosial (kemasyarakatan), menurut Herbert Spencer masyarakat
sebagai suatu kesatuan yang utuh dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum
evolusi alam, pada akhirnya proses alam yang menentukan masyarakat kampung
Olaewa sebagai ikatan komunitas kekerabatan yang kuat.
Subsistem ini mempertahankan masyarakat sebagai satu kesatuan utuh
dalam sebuah perjalanan evolusi. Proses ini secara terus menerus berkembang
jauh dari tingkat-tingkat baru sebagaimana ia berkembang dari masyarakat
18 Ibid, hal. 89. 19 Ibid. 20 Prof. Harsojo, op.cit, hal. 153.
-
16
primitif menuju masyarakat modern dan industri,21 teori struktural fungsional
yang intinya tidak lepas dari sebuah usaha untuk menjaga keseimbangan dalam
kehidupan masyarakat, dan teori psikologi sosial dimana mengadopsi dari Herbert
Blumer bahwa bagi masyarakat baik secara individu maupun kelompok, telah
disiapkan sebuah perbuatan yang berdasarkan makna-makna, yang objeknya
terdiri atas dunia mereka, dijelaskan juga bahwa tindakan-tindakan sosial terus
mengkonstruksikan sebuah proses yang para pelakunya mencatat, menafsirkan,
dan menilai untuk menghadapi situasi mereka.22
Tersebarnya berbagai unsur kebudayaan ke berbagai wilayah, bermula dari
suatu wilayah tertentu. Setiap unsur kebudayaan tidak berdiri sendiri dan terlepas
satu sama lain, melainkan unsur-unsur kebudayaan saling mempengaruhi dan
saling tergantung sama lain. Melalui studi kelompok sosial, akan mengerti
bagaimana dan dengan cara apa manusia berprilaku di dalam kehidupannya.
Manusia dalam kehidupannya telah membentuk apa yang disebut dengan
masyarakat dimana di dalamnya terbagi ke dalam kelompok-kelompok sosial.
Dalam hal ini ketika situasi modernisasi berkembang pesat, kebudayaan
harus mampu berintegrasi dengan baik dan mampu berfungsi dengan baik.
Masyarakat memegang ritual Etu sebagai senjata yang berarti dalam menangkis
efek terburuk dari modernisasi.
21 Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, penerbit Pustaka Setia Bandung, 2005, hal op.cit, hal. 83.
22 Ibid, hal. 243.
-
17
H. Metode Penelitian
Tema yang akan diangkat tentang sejarah kebudayaan lokal “Ritual Etu
Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981,” maka menggunakan metode
untuk melihat secara keseluruhan mengenai secara keseluruhan mengenai ritual
adat ini. Metode sendiri merupakan cara, apabila dikaitkan dengan penelitian ini
maka bagaimana caranya agar dalam perkembangan selanjutnya memperoleh
hasil penelitian yang baik.
Ritual Etu berada di Kabupaten Nagekeo dan lebih khususnya di Kampung
Olaewa Kecamatan Boawae. Jarak antara Kampung Olaewa ke kota Kecamatan
Boawae kurang lebih 8 km, berada di dataran tinggi. Masyarakat Kampung
Olaewa hampir sebagian besar penduduknya masih menggantungkan sumber
penghasilannya pada alam yakni bertani dan berladang, namun tidak sedikit juga
yang menjual hasil bertaninya untuk dijual ke pasar, ada yang berbisnis, guru, atau
pegawai negeri.
Kebudayaan di daerah ini sangat unik, salah satunya adalah Ritual Etu,
masyarakat yang hadir disambut oleh masyarakat pendukung Ritual Etu,
masyarakat mempersilahkan masyarakat yang datang untuk makan di rumah
masyarakat pendukung. Setiap rumah menyediakan makanan lebih untuk tamu
yang hadir, seluruh lapisan masyarakat, kerabat keluarga, atau juga orang asing di
layani dengan senang hati. Penelitian tentang penulisan ini menggunakan
penelitian partisipan yakni sebagai peneliti terjun langsung di lokasi, berbaur
bersama masyarakat sekaligus mengamati keseharian dalam kehidupan mereka
selama mereka beraktivitas setiap harinya, dari pagi hingga malam hari. Sejarah
-
18
tidak dapat hidup sendiri, karenanya sejarah menggunakan ilmu bantu dengan
pendekatan yang dipakai adalah Antropologi. Terkait penulisan sejarah budaya,
perlu menjelaskan secara terinci cara-cara apa saja yang dilakukan untuk
memperoleh data akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Sejarawan tidak pernah bisa melepaskan dari yang namanya data dan juga
fakta dalam setiap penelitiannya. Untuk mendukung penelitian mengenai sejarah
kebudayaan khususnya Ritual Etu dilakukan pencarian data, baik data primer
maupun data sekunder. Data primer di dapat dengan berkunjung ke lokasi di
daerah Flores tepatnya di Kabupaten Nagekeo Kampung Olaewa dengan
wawancara para tokoh-tokoh masyarakat maupun tokoh adat Kampung Olaewa,
wawancara dengan Bupati Ngada (tahun 1981 Kampung Olaewa masih dalam
status wilayah Ngada tapi sekarang Nagekeo) yang terlibat langsung pada saat
ritual ini dilaksanakan pada saat pindah kampung, dan mantan pejabat instansi
seperti camat dan penilik kebudayaan Ngada. Metode wawancara yang digunakan
adalah wawancara bebas (free interview). Hal ini dilakukan untuk memperoleh
data dari sudut pandang masyarakat (emic), yakni kerangka mental yang dimiliki
masyarakat itu sendiri. 23 Kunjungan ini tidak semata-mata, rekreasi melainkan
mencoba melihat skope spasialnya. Karena ciri penulisan sejarah harus ada skope
spasialnya maupun skope temporalnya.
Untuk data sekunder penulis membagi tiga wilayah pencarian data,
pertama data yang diambil di wilayah Yogyakarta melalui perpustakaan
23 Robert Cambers. PRA Participation Rural Appraisal: Memahami Desa Secara
Partisipan. Yogyakarta: Kanisius OXFAM. 1997. hal. 7.
-
19
Universitas Sanata Dharma, berupa buku-buku tentang masyarakat Ngada (karena
Kabupaten Nagekeo baru, maka buku seputar isi tentang Nagekeo belum ada) dan
internet melalui situs-situs yang menyinggung seputar masalah kehidupan
masyarakat Nagekeo, kedua data diambil di Kupang (kota Propinsi NTT) yakni
perpustakaan UNIKA Kupang berupa buku tentang masyarakat Flores dan
masyarakat Ngada, dinas Pariwisata berupa laporan atau juga arsip mengenai
kebudayaan yang ada di Flores khususnya Ngada, perpustakaan propinsi berupa
buku-buku tentang kebudayaan dan masyarakat Ngada, ketiga data yang diperoleh
melalui kantor-kantor pemerintahan mulai kantor kecamatan hingga kantor desa,
dinas pariwisata Kabupaten Ngada berupa arsip-arsip mengenai jumlah penduduk,
mata pencaharian, sampai pada letak geografis wilayahnya.
2. Analisis Data
Sumber-sumber tulisan dan sumber lisan terbagi didalamnya menjadi dua
jenis yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah wawancara
dengan pelaku yang terlibat langsung pada acara tersebut seperti seorang yang
pernah menjabat sebagai Bupati, Camat, serta kepala kampung dan masyarakat
pemilik adat, yang direkam menggunakan tape rekorder. Sumber sekunder dengan
wawancara dengan orang yang tidak mengerti seputar peristiwa adat Ritual Etu
berlangsung, dan tulisan-tulisan dari koran mengenai Ritual Etu. Selanjutnya
langkah berikutnya adalah dengan kritik sumber, bertujuan untuk mengetahui
secara kritis mengenai otentitas (keaslian) dan kredibilitas sumber.24
24 Koentowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Budaya, Yogyakarta: 1995, hal. 99-100.
-
20
Data-data sangat penting bagi sejarawan yang ingin menuliskan sejarah
atau historiografi. Karena itu data benar-benar harus diteliti secara mendalam.
Untuk menjelaskan sejauhmana masyarakat melakukan Ritual Etu, tidak bisa
sembarang sejarawan mengambil data dari wawancara yang dilakukan oleh
masyarakat sembarangan. Harus diteliti terlebih dahulu, siapa masyarakat yang di
wawancarai? Kalau masyarakat itu adalah masyarakat di luar dari masyarakat
pemegang adat tertentu, tentunya interpretasi yang dikemukakannya akan sangat
tidak beralasan karena mereka tidak mengetahui secara pasti apa itu budaya
tertentu, karena mereka tidak mengalami secara langsung.
Analisis data berkaitan dengan Ritual Etu, data-data yang diambil pertama
selalu menjurus pada masyarakat asli Kampung Olaewa, data-data yang lainnya
diambil dengan melihat kondisi kampung lama yang diperbandingkan dengan
kondisi kampung yang baru. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai ciri kampung
ini, berusaha mencari informasi mengenai sejarah masyarakatnya sejak awalnya
dari cerita-cerita, yang kemudian membawa informasi sampai pada sejarah
masyarakat ini berasal dimana terdapat kampung awal yang letaknya persis
dibawah kaki gunung Ebu Lobo yang bernama Kampung Duge, kemudian
menyusuri kampung berikutnya kampung Nagemi, dan terakhir di kampung
Olaewa. Jaraknya cukup jauh, keberadaan asal-usul masyarakat yang letak
pertama kali di atas gunung yang berjarak kurang lebih 8 km, menyusuri hutan-
hutan, tebing-tebing terjal. Melalui penyusuran ini, peneliti merasa yakin bahwa
sejarah dari kampung ini sangat jelas ada dan bisa dianalisa. Kemudian
menginterpretasikan yakni tahap menguraikan informasi, fakta, dan relasi satu
-
21
dengan yang lain tanpa meninggalkan ketentuan dalam penelitian sejarah. Dalam
penelitian ini dituntut untuk mencermati dan mengungkapkan data secara akurat.
Maka untuk mengurangi unsur subjektifitas, diperlukan pengolahan data dan
analisis secara cermat.25
3. Penulisan
Langkah terakhir adalah historiografi yang merupakan suatu proses
rekonstruksi dari sekian peristiwa-peristiwa masa lampau dalam bentuk penulisan
yang telah di interpretasikan sehingga sesuai dengan imajinatif ilmiah. 26 Melalui
data-data yang digunakan kemudian di kumpul, di kritik dan di interpretasikan
lalu kemudian data-data tersebut disajikan dalam bentuk tulisan. Penulisan ini
bersifat deskriptif analitis yang sepenuhnya menuntut alat-alat analitis. Alat-alat
analitis itu berdasarkan perspektif, objektif, dan subjektif. Tulisan sejarah yang
baik adalah tulisan yang mampu menghasilkan tulisan dengan data primer yang
kuat berupa wawancara langsung dengan tokoh yang terkait dan mengetahui
secara persis kondisi dan atmosfir peristiwa Ritual Etu berlangsung..
I. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah pemahaman mengenai hasil penelitian untuk skripsi
ini, maka dalam penjelasan nantinya akan dijabarkan melalui beberapa bagian
sub-sub bab yang isinya adalah sebagai berikut :
25 Sartono Kartodirdjo, op.cit, hal. 62. 26 Koentowijoyo, op.cit, hal. 99
-
22
Bab I pada bagian ini, berisikan tentang latar belakang, identifikasi dan
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II pada bagian ini akan menguraikan mengenai kondisi masyarakat
Olaewa Flores, dimana pada bab ini menyajikan gambaran umum tentang Flores,
sejarah Nagekeo, asal-usul masyarakat di Kampung Olaewa, letak wilayah
Kampung Olaewa, simbol-simbol adat masyarakat Olaewa, kondisi mata
pencaharian masyarakat.
Bab III pada bagian ini akan membahas Ritual Etu bagi masyarakat yang
akan menguraikan mengenai Ritual Etu sebagai adat, Ritual Etu sebagai
penyeimbang kehidupan bermasyarakat yang diuraikan bahwa ada ungkapan
syukur dan keterikatan masyarakat dengan kampung, kemudian diuraikan
mengenai asal usul ritual Etu.
Bab IV pada bagian ini akan menguraikan mengenai kontribusi Ritual Etu
bagi masyarakat Kampung Olaewa tahun 1981, dengan menjelaskan mengenai
kondisi sosial masyarakat, modernisasi di tengah masyarakat, dampak dari Ritual
Etu, usaha masyarakat adat terhadap eksistensi Ritual Etu, nilai positif terhadap
masyarakat Kampung Olaewa zaman modern.
Bab V pada bagian ini merupakan bagian penutup. Dalam bab ini penulis
mencoba meringkas dan menyampaikan beberapa kesimpulan dari jawaban
terhadap masalah yang diajukan dalam bab pendahuluan.
-
23
BAB II
KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES
A. Gambaran Umum Pulau Flores
1. Flores
Flores letaknya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Penduduk Nusa
Tenggara Timur terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa dan tradisi sangat
bervariasi dan tentu hal ini berpengaruh sekali dalam perkembangan
kebudayaannya.27 Flores merupakan pulau yang memiliki banyak
keanekaragaman budaya hampir di setiap kehidupan dalam lingkungan
masyarakat. Nama pulau Flores berasal dari bahasa Portugis yaitu "Cabo de
Flores" yang berarti "tanjung bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M.
Cabot untuk menyebut wilayah paling timur pulau Flores, kemudian semenjak itu
dipakai secara resmi pada tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda
Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini,
sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau
ini, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan
bahwa nama asli pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Pulau
Flores masuk dalam wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur.
Masyarakatnya masih sangat kental dengan adat, setiap kegiatan yang
dilakukan selalu dimulai dengan ritual khusus. Bentuk kebudayaan peninggalan
leluhur seperti simbol-simbol adat sebagai penunjang ritual masih dipertahankan
27 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984, Upacara Tradisional Daerah Nusa
Tenggara Timur, hal. 4.
-
24
dalam masyarakat, hal inilah yang menjadi keunikan masyarakat di Flores. Flores
banyak sekali menyimpan berbagai peninggalan sejarah dan kepurbakalaan,
contohnya di daerah kabupaten Ngada pada tahun 1990-an, penemuan seorang
kurator museum Bikon Blewut Ledalero yang menemukan fosil manusia jenis
Proto Negrito Florensis di Rawe, menurutnya fosil manusia yang pernah
menghuni Flores diperkirakan berusia sekitar 300.000 tahun. Misionaris asal
Jerman, Pastor Dr Th Verhoven SVD yang berkarya di Flores tahun 1950-an,
ketika di Mataloko (Ngada) menemukan berbagai artefak kuno, antara lain berupa
porselen Cina dan berbagai benda kuno berukir berupa papan, manik-manik,
peralatan dari zaman batu berupa: barang perunggu, dan yang tidak kalah
menariknya ialah temuan di daerah Ngada sebuah fosil gajah raksasa Stego don
Trigonocephalus Florensis. Temuan lain berupa kapak neolitik sebanyak 150
buah.28 Semuanya tadi menunjukan bahwa daerah Flores merupakan daerah yang
tidak kalah bernilai harganya jika dibandingkan dengan daerah lain.
Masyarakat Flores sangat kental akan budayanya. Secara umum
masyarakatnya memiliki sifat keunikan tersendiri, kebiasaan masyarakatnya
sebelum dan setelah melakukan pekerjaan selalu diawali dengan ritual sebagai
bentuk ungkapan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan dengan cara tersebut ada
rasa kedamaian yang mereka temukan. Masyarakat Flores sangat kental dengan
berbagai simbol-simbol adat, masyarakat Flores selalu mendiami kampungnya
dengan dihiasi simbol-simbol adat. Kampung adalah tempat bermukim tradisional
28 Http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/16/otonomi/259141.htm, pada tanggal
25/02/2007.
-
25
yang hampir keseluruhan masyarakatnya masih mempertahankan pola pemikiman
dengan gaya perkampungan.
Masyarakat dan kampung merupakan satu kesatuan yang utuh, umumnya
masyarakat Flores masih mempertahankan budayanya demi menjaga ketentraman,
hampir setiap permasalahan yang ada selalu diselesaikan dengan cara adat.
Aktivitas kehidupan sehari-hari mencerminkan adanya nilai budaya, seperti yang
dikatakan oleh Melville J. Herskovits seorang sarjana antropologi budaya dari
Amerika Serikat bahwa kebudayaan dan masyarakat itu ibarat dua muka pada
sehelai kertas, artinya bahwa masyarakat manusia dimanapun dan kapan pun akan
menghasilkan kebudayaan. 29
2. Lingkungan dan Masyarakat Flores
Pulau Flores terdapat berbagai kelompok etnik yang hidup dalam
komunitas-komunitas yang hampir masing-masing komunitasnya sangat eksklusif
sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan
pranata sosial budaya dan ideologi yang semuanya itu mengikat anggota
masyarakatnya secara utuh. Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah
asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di
Flores. Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang
meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis
Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage,
Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka,
29 Museografia: majalah ilmu permuseuman, op.cit.
-
26
Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok
bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah), dan terakhir
kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian
selatan). Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal-usul
genealogis dan budaya yang sama.30
3. Religi
Kristianitas, khususnya Katolik sudah dikenal penduduk pulau Flores
sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di pulau Solor, kemudian
pada tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk
mendirikan misi permanen disana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz
membangun sebuah benteng di pulau Solor dan Seminari di dekat kota Larantuka,
perkembangan katolik yang begitu besar pada tahun 1577 sudah ada sekitar
50.000 orang katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi
migrasi besar-besaran penduduk Melayu kristen ke Larantuka ketika Portugis
ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai
mengenal kristianitas, dimulai dari pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur
kemudian menyebar ke seluruh daratan pulau Flores dan pulau Timor, dengan
demikian pulau Flores secara mayoritas penduduknya beragama Katolik.31
Kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, walaupun
demikian kehidupan keagamaan di pulau Flores memiliki pelbagai keunikan dan
yang paling nampak adalah unsur budaya tradisional yang masih melekat hingga
saat ini. Hidup beragama di pulau Flores sebagaimana nampak juga di berbagai
30 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Orang Flores, op.cit, Makalah, hal. 1. 31 Ibid, hal, 2.
-
27
daerah lainnya di Nusantara, unsur-unsur kultural yakni pola tradisi asli warisan
nenek moyang atau leluhur masih sangat melekat di dalam masyarakatnya. Unsur-
unsur historis, yakni tradisi- tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut
berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini merupakan bentuk
dari sistem kebudayaan Flores sehingga menilai di beberapa tempat di Flores ada
semacam percampuran yang aneh antara kristianitas dan kekafiran. 32
Gambaran agama-agama di Flores secara umum dapat dilihat melalui tabel
satu (1) dengan mendeskripsikan wujud tertinggi masyarakat pulau Flores, secara
konkrit ingin menunjukkan bahwa masyarakat Flores memiliki tingkat
kepercayaan tradisional yang cukup tinggi kepada dewa matahari, bulan, dan
bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari
pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidupnya dipercayai adanya bantuan
dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman).33
Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores
NO KABUPETEN WUJUD TERTINGGI MAKNA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Flores Timur Lembata Sikka Ende/Lio Ngadha Manggarai Nagekeo
Lera Wulan Tanah Ekan Lera Wulan Tanah Ekan Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta Wula Leja Tana Watu Deva zeta-Nitu zale Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta Dewa Zeta-Gae Zale
Matahari-Bulan-Bumi Matahari-Bulan-Bumi Bumi-Matahari-Bulan Bulan-Matahari-Bumi Langit-Bumi Tanah di bawah, langit di atas Penguasa Langit (Tuhan), Penguasa Bumi (leluhur)
32 Ibid, hal. 3. 33 Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu
dan Kini, Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, op.cit, hal. 40.
-
28
Masyarakat Flores selain mengenal adanya prinsip wujud tertinggi, juga
memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, pada umumnya dilengkapi dengan
altar pemujaannya yang khusus melambangkan hubungan antara alam manusia
dengan alam ilahi, melalui tabel dua (2) ingin menunjukkan altar sebagai tempat
upacara ritual orang Flores.34
Tabel 2. Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores
NO KABUPATEN NAMA TEMPAT KETERANGAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Flores Timur Lembata Sikka Ende/Lio Ngadha Manggarai Nagekeo
Nuba Nara Nuba Nara Watu Make Watu Boo Vatu Leva - Vatu Meze Compang – Lodok Peo-Nabe
Menhir dan Dolmen Menhir dan Dolmen Menhir dan Dolmen Dolmen Menhir dan Dolmen Menhir Dolmen
4. Pola Perkampungan di Flores
Desa-desa di Flores dulu biasanya dibangun di atas bukit untuk keperluan
pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu, biasanya merupakan
suatu lingkaran dengan tiga bagian depan, tengah dan belakang. 35
Wilayah Nagekeo terdiri atas beberapa kampung-kampung, Kampung
Olaewa merupakan kampung yang letaknya di sebuah kecamatan Boawae,
letaknya persis dipinggir jalan. Wilayah Nagekeo merupakan wilayah yang di
dalamnya dihuni oleh masyarakat yang masih memegang konsep tradisional,
kondisi mata pencaharian masyarakatnya yang masih agraris serta konsep tempat
tinggalnya dengan bentuk perkampungan yang membujur dari utara ke selatan,
merupakan ciri dari masyarakatnya. Setiap kampung pada umumnya terdiri atas
34 Yoseph Yapi Taum, op.cit, hal. 3 35 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, 1970, Djakarta: Penerbit
Djambatan, hal. 188.
-
29
dua kelompok atau lebih, kampung Olaewa sendiri sistem politik tradisional
karena itu mendasarkan kepemimpinannya pada tokoh klen, dan ada kepala klen
atau suku yang menggunakan titel atau pun gelar dengan sebutan mosalaki, sistem
pengaturan menjadi sangat jelas dalam setiap masyarakatnya, sehingga orang
Dhuge dianggap sebagai pendahulu atau pernah berjasa di kampung sehingga
statusnya menjadi sangat tinggi, di atas struktur semacam itu nampak kemudian
muncul kekuasaan yang lebih tinggi, mencakup kampung-kampung. 36
Peran ketua suku atau pemimpin kampung selalu memegang prinsip
dengan apa yang dinamakan dengan mosa ulu laki eko, sehingga martabat
kepemimpinan seorang pemimpin kampung tetap sangat dikendalikan oleh
segmen masyarakat yang disebut fai walu ana halo atau janda dan yatim piatu.
Pemimpin di Nagekeo maupun Kampung Olaewa adalah tokoh yang berjuang
untuk memihak yang lemah dan tak berdaya.
Para antropolog umumnya menggambarkan bahwa pembagian masyarakat
ke dalam kelompok keturunan kakak (kae) dan kelompok keturunan adik (azi)
serta kelompok rumah deretan timur (padhi mena) dan barat (padhi rale)
hendaknya dipahami dalam suatu kerangka sistem dan struktur hirarkis seputar
“rumah-rumah inti” (sa”o pu”u) yang berperan sentral dalam praktik aliansi
perkawinan. 37
Masyarakat Flores bagian tengah ini mengenal adanya kelompok pada
ikatan genealogis, membagi masyarakatnya ke dalam tiga(3) tingkatan. Biasanya
36 I Gede Parimartha, Perdagangan dan Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915 , Penerbit
Djambatan, 2002, Jakarta, hal.77 37 P. Philipus Tule, SVD, op.cit, hal. 153.
-
30
orang pertama disebut ata kai38, orang ke dua disebut ata kisa39, dan orang ke tiga
disebut ata ho’o40, susunan ini yang menyelimuti masyarakat.41
B. Sejarah Nagekeo
Pulau Flores dihuni oleh sekian banyak komunitas masyarakat yang
tentunya memiliki bentuk kebudayaan yang berbeda. Nagekeo adalah kabupaten
yang baru saja diresmikan oleh pemerintah Indonesia sebagai wilayah hasil dari
pemekaran kabupaten induk yakni kabupaten Ngada. Masyarakat Kampung
Olaewa misalnya, mereka adalah etnis Nagekeo, yang merupakan bagian dari
masyarakat Ngadha dahulu sejarahnya pada tahun 1958 kabupaten Ngadha
dibentuk dan membawahi atas beberapa wilayah gabungan antara lain wilayah eks
kerajaan Nagekeo, eks kerajaan Bajawa, dan eks kerajaan Riung. Nama
Kabupaten Ngada sebenarnya berasal dari kata “Ngadha”, masa pemerintahan
kolonial oleh bangsa Belanda karena konsonan “dh” tidak dapat diucapkan
dengan benar sebagaimana umumnya diucapan oleh masyarakat Ngadha,
dipengaruhi pemerintahan kolonial masa itu maka perkembangan selanjutnya
kebiasaan masyarakat akhirnya terpengaruh oleh Belanda sehingga menyebut
Ngada tanpa menggunakan “dh” dan merubahnya dengan menggunakan konsonan
”d” maka kebiasaan dalam pengucapan kata Ngadha menjadi terbiasa sampai
sekarang di dalam masyarakat, baik sebagai nama tempat maupun sebagai nama
38 Ata kai merupakan susunan tertinggi yang ada dalam masyarakat, mereka -mereka
adalah para tetua, tokoh adat atau turunan langsung dari cikal bakal atau penggagas sebuah perkampungan
39 Ata kisa merupakan susunan kedua, mereka adalah orang-orang yang karena keterikatan dengan perkawinan, dianggap masyarakat biasa.
40 Ata ho’o adalah masyarakat yang tingkatannya terendah, mereka-mereka adalah orang yang diberi tugas sebagai pekerja yang dipekerjakan untuk mengolah tanah dari ata kai.
41 I Gede Parimartha, op.cit. hal. 78.
-
31
klan, selanjutnya menjadi wilayah administratif kabupaten yang dikenal sebagai
Kabupaten Ngada.42
Baru pada tanggal 8 Desember 2006, secara resmi DPR RI meresmikan
pemekaran kabupaten Ngada menjadi Kabupaten Nagekeo, sehingga kampung
Olaewa masuk dalam wilayah Kabupaten Nagekeo. Kampung Olaewa terletak di
ibukota Kecamatan Boawae, desa Rigi Kabupaten Nagekeo. Sejak saat itu
masyarakat dari eks kerajaan Nagekeo mulai resmi memiliki kabupaten sendiri
sesuai peninggalan sejarah kerajaan Nagekeo yang letaknya di Kecamatan
Boawae.
Wilayah Nagekeo tepatnya di Kecamatan Boawae Kampung Boawae,
masih meninggalkan bekas bangunan peninggalan kerajaan Nagekeo, sebagian
bangunan peninggalan bersejarah ini sudah digunakan sebagai hotel dan sisa
bangunan lain masih bisa dilihat seperti rumah maupun kampungnya. Kabupaten
Nagekeo di bagi atas 7 (tujuh) wilayah administrasi pemerintahan tingkat
kecamatan dan dua puluh (20) kelurahan dengan luas wilayah 1.386,63 km2 atau
46,64% dari total luas wilayah Kabupaten Ngada. Wilayah kecamatannya meliputi
Kecamatan Aesesa Selatan, Aesesa, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Nangaroro
dan Keo tengah, sedangkan wilayah kelurahannya terdiri atas Rowa, Solo,
Kelewae, Leguderu, Nagespadhi, Rigi, Olakile, Natanage, Nageoga, Wolopogo,
Rega, Kelimado, Mulakoli, Wea Au, Raja, Wolowea, Ratongamobo, Dhereisa,
Gerodhere, Nagerawe. Kecamatan Boawae terdapat adanya kampung tradisional
diantaranya adalah Kampung Solo, Kampung Boawae, Kampung Olaewa,
42 REBA: ritual budaya masyarakat Ngada, Biro Humas Setda Prov. NTT, 2005, hal. 7.
-
32
Kampung Natanage, Kampung Natalea, Kampung Raja, Kampung Gero,
Kampung Dhereisa, Kampung Nunukae.
C. Asal-Usul Masyarakat Kampung Olaewa
1. Kondisi Sosial Masyarakat
1.1 Orang Dhuge
Orang Dhuge memiliki kampung yang sebenarnya pada awalnya bukan
berada di Kampung Olaewa, masyarakatnya telah mengalami perkembangan,
masyarakat ini hidupnya dahulu masih sangat nomaden, dilihat dari bukti
artefactnya telah mengalami dua kali kepindahannya, tepatnya di bawah kaki
gunung Ebulobo yang sangat tinggi terdapat kampung yang dikenal dengan
Kampung Dhuge, yang kemudian karena terjadi sesuatu maka masyarakatnya
pindah di Kampung Nagemi dan pada akhirnya pada tahun 1981 inilah
masyarakat menempati perkampungan yang diberi nama dengan Kampung
Olaewa
1.2. Latar Belakang
Kampung Olaewa sangat kental dengan budaya tradisional.
Masyarakatnya masih sangat menghormati leluhur atau nenek moyangnya.
Masyarakat Kampung Olaewa dalam arti luas sering disebut sebagai masyarakat
Nagekeo, menyebut istilah nenek moyang atau leluhur adalah gae zale,
masyarakat Kampung Olaewa sangat mempercayai akan keagungan dan
kekuasaan penguasa yang lebih tinggi yakni dewa agung atau sering mereka
menyebut dengan dewa zeta atau Tuhan. Dewa Zeta dan Gae Zale merupakan
-
33
kekuatan besar, yang mampu membawa mereka ke dalam dunia spiritualitas
dalam kehidupan sehari-harinya.
Masyarakat kampung Olaewa ditempati beberapa suku, satu dan lainnya
saling menghormati, ada beberapa suku antara lain: suku Dhuge, suku Boa, suku
Saga Enge, suku Dobe, suku Gawi, suku Tegu, suku Sodha, suku Nage Wae.
Masyarakat Olaewa memiliki tingkatan-tingkatan dalam kehidupan
sosialnya, tingkatan yang dimaksud :
a. Tingkatan Gae atau Ata Kai
Secara harafiahnya “gae” berarti di atas. Tingkatan gae merupakan
pelapisan sosial yang paling tinggi dan paling tua. Golongan tingkat ini biasanya
berasal dari keturunan bangsawan atau berdarah biru sehingga mendapatkan
tempat yang sangat istimewa dalam kehidupan sosial. Fungsionaris adat atau
tokoh adat dan pemimpin adat selalu berasal dari pelapisan sosial ini. Masyarakat
biasanya menyebut dengan istilah ”Mosalaki”. Mosalaki terdiri atas 2 (dua) suku
kata, yakni mosa yang berarti kuasa, dan laki (pria). Dengan kata kain, mosalaki
menunjuk pada seorang pria yang memiliki pandangan luas dan terkemuka dalam
sebuah klan dan bersama anggota lainnya turut menentukan nasib klannya.
Ada dua kriteria yang harus dimiliki seorang mosalaki. Pertama, ia adalah
keturunan orang yang karena sesuatu dan lain hal pernah berjasa terhadap
daerahnya. Kedua, ia harus memiliki keterampilan tertentu, selalu cepat dalam
setiap usahanya dan pandai mengatur segala hal dan cerdas. Pentingnya kriteria di
atas tidak terlepas dari kedudukan mosalaki, seorang pemimpin adat tertinggi di
suatu wilayah. Mosalaki memiliki wewenang memelihara tata adat dan menuntut
kesetian terhadap adat, apabila terjadi kasus-kasus yang cukup serius menyangkut
-
34
adat, maka mosalaki harus mampu menyelesaikan permasalahan dengan arif dan
penuh tanggung jawab, selain beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan,
sebagai mosalaki juga memiliki hak-hak yang diakui adat istiadat. Pada upacara-
upacara adat misalnya, pihak mosalaki selalu memimpin tata laksana inti.
b. Tingkatan Kuju Noe Walu Halo atau Ata Kisa
Tingkatan ini merupakan tingkatan kedua dalam struktur sosial
masyarakat. Orang-orang yang termasuk di dalam tingkatan atau lapisan sosial ini
adalah mereka-mereka yang berasal dari lapisan bawah atau yang disebut rakyat
biasa, yang termasuk kelompok ini adalah janda, ya tim piatu, dan orang miskin.
Posisi politik dan ekonomi mereka tergolong lemah.
Mereka bekerja untuk kepentingan bangsawan dan dianggap sebagai
anggota keluarga. Masyarakat Olaewa khususnya, menyebut golongan ini sebagai
lapisan sosial azi ana. Mereka tidak diperlakukan sebagai budak karena mereka
juga berdarah bangsawan. Mereka boleh saja kehilangan harta benda dan
kekuasaan tetapi tidak kehilangan darah kebangsawanannya. Meskipun demikian,
hak-hak serta kewajiban mereka terbatas. Mereka boleh hidup dan tinggal
bersama kaum bangsawan sampai akhir hayatnya.
c. Tingkatan Ata Hoo
Lapisan sosial yang terakhir adalah tingkatan ata hoo. Hoo adalah lapisan
sosial masyarakat yang paling rendah. Hoo diartikan sebagai para hamba atau
budak. Budak sangat dibatasi aturan, tidak memiliki hak terutama dalam urusan
yang berkaitan dengan kepentingan keluarga atau sukunya. Golongan ini hanya
menjalankan tugasnya sesuai yang diperintahkan oleh tuannya.
-
35
Dalam masyarakat dikenal istilah ana sao, yang artinya pesuruh yang
dilindungi dan melakukan pekerjaan yang berat. Berdasarkan tingkatan di atas,
anak sao dapat dikategorikan pada tingkatan hoo.
1.3. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Kecamatan Boawae umumnya dibedakan
atas dua:
a. Kekerabatan dalam keluarga inti
Pusat sistem kekerabatan adalah keluarga, baik keluarga inti yang terdiri
atas ayah, ibu dan anak-anak, maupun keluarga yang sangat luas, yang terdiri atas
keluarga inti ditambah kakek, nenek, paman, bibi, para saudara sepupu kandung
maupun tidak kandung, dan kemenakan. Konsep kekerabatan pada masyarakat
berdasarkan darah terdekat, yaitu keluarga inti yang mempunyai hubungan yang
tak terpisahkan satu sama lainnya. Hubungan antara anak dan orang tua biasa
disebut ana ame. Pada saat upacara perkawinan masyarakat Boawae selalu
diawali pembacaan sejarah nenek moyang. Perkawinan tidak dapat dilakukan di
antara saudara terdekat pada lapisan tertentu.
b. Kekerabatan dalam klan
Masyarakat Boawae, hubungan kemargaan atau klan disebut woe atau
suku. Woe adalah kumpulan dari ili woe atau keturunan lurus dari ayah, kae azi
zeta sao atau kakak adik kandung dalam rumah, sedangkan woe adalah kerabat
yang berasal dari keturunan leluhur atau gae zale yang sama dalam satu garis
keturunan lelaki saja. Anggota woe biasanya tidak saling kenal, sehingga pada
saat-saat upacara pernikahan, selalu ada pembacaan sejarah, ada tanda khusus
sebagai tanda pengenal, yang umumnya memakai simbol-simbol seperti nama,
-
36
lagu-lagu, dongeng - dongeng suci, dan lambang khusus bagi masyarakat Olaewa
ialah sao waja, nabe, peo, tanah kampung, patung Bue Coo, Anak Deo.
2. Sejarah Masyarakat Kampung Olaewa
Sejarah kampung dari kedua suku pendiri dari kelompok masyarakat yakni
suku Dhuge dan suku Boa mengalami dua kali perpindahan, awalnya mereka
bertempat tinggal di kampung Dhuge lalu kemudian berpindah ke Kampung
Nagemi dan pada akhirnya sekarang mereka bertempat di kampung Olaewa.
Konon menurut cerita dari salah seorang tokoh masyarakat bahwa kepindahan
kampung yang pertama dari Dhuge ke Nagemi konon perpindahan disebabkan
oleh alam yang sudah tidak bersahabat.43 Biasanya tanda-tanda tadi berupa luja
gedho44, piko kono45, konon ceritanya juga bahwa apabila tanda-tanda ini muncul
di dalam kampung, sangat dilarang bagi masyarakat untuk menepis beras.
Menurut cerita yang berkembang ditengah masyarakat karena alam yang sudah
tidak bersahabat, karenanya Peo konon dibakar oleh masyarakat sebagai akibat
dari alam yang dianggap sudah tidak bersahabat.
Kampung Dhuge bisa dilihat bangunan megalithnya yang masih tertinggal
dan batu-batu sebagai tempat untuk sarana ritual. Kepindahan kampung ini sulit
dilacak kapan waktunya, karenanya melalui bentuk bangunan megalith
peninggalan masa lalu sedikit demi sedikit mengetahui pola kehidupan
masyarakatnya.
43 Wawancara dengan bapak Blasius Lewa Gizi selaku tokoh masyarakat pada tanggal 06-
03-2007. 44 Luja Gedho merupakan sejenis ulat yang sangat langka, yang tidak sembarang muncul.
Ketika ular ini muncul dari persembunyiannya ulat-ulat ini akan berbarengan muncul dan membentuk barisan yang memanjang bisa bermeter-meter panjangnya dan tidak putus.
45 Piko Kono adalah seekor burung puyuh yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat, yang apabila burung tersebut masuk kedalam kampung sebagai pertanda akan terjadi musibah.
-
37
Pada tahun 1981, pindahnya kampung bisa dilacak ketika masyarakat dari
Kampung Nagemi pindah ke Kampung Olaewa yang pada saat itu gubernur Band
Mboi yang meresmikan kampung menjadi kampung Olaewa.
D. Letak Wilayah Kampung Olaewa
Letak Kampung Olaewa Kecamatan Boawae yang merupakan bagian dari
wilayah Kabupaten Ngada (sebelum pembentukan Kabupaten Nagekeo) yang
terletak di sebelah timur kota Bajawa (ibukota Kabupaten Ngada) dengan jarak +
42 km. Kabupaten Ngada dihuni warga dari beberapa suku bangsa seperti suku
Ngada, Nagekeo, kelompok sosial Maung, kelompok etnis Riung, dan kelompok
sosial Rongga. Kecamatan Boawae terdiri atas 13 (tigabelas) desa dan tujuh (7)
kelurahan, dengan rinciannya sebagai berikut :
a. Berstatus Desa :
Desa Rowa, Solo, Kelewae, Leguderu, Rigi, Kelimado, Mulakoli, Wea
Au, Raja, Wolowea, Gerodhere, Dhereisa, dan Nagerawe
b. Berstatus Kelurahan :
Kelurahan Olakile, Natanage, Nageoga, Wolopogo, Rega, Nagesapadhi,
dan Ratongamobo.
Secara geografis, Kabupaten Nagekeo terletak pada posisi 8o Lintang
Utara dan 9o Lintang Selatan, 120o,45’-121o,50’ Bujur Timur. Kecamatan Boawae
terletak pada posisi yang sangat strategis yakni pada jalan lintas Flores, sehingga
sangat memudahkan arus transportasi dari dan menuju wilayah Flores bagian
timur maupun bagian barat. Batasan-batasan wilayah Kecamatan Boawae :
-
38
- sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Aesesa
- sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mauponggo.
-.sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Nangaroro.
- sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ngada.
Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan banyak tersebar di wilayah
Kabupaten Ngada, khususnya kampung-kampung tradisional, begitu pun dengan
Kampung Olaewa peninggalan sejarah dan ke purbakalaan masih sangat tertata
dan masih sebagai living monument dalam kehidupan masyarakat setempat.
Upacara-upacara adat masih sampai detik ini, selalu dihubungkan dengan
monumen yang ada, seperti ketika melaksanakan upacara-upacara adat yang ada
di kampung ini seperti Ritual Etu, berburu atau Toa Lako.
Olaewa merupakan salah satu kampung di Kecamatan Boawae, yang
masuk wilayah administrasi desa Rigi. Kampung Olaewa yang merupakan bagian
wilayah Kecamatan Boawae, berbatasan dengan perbukitan-perbukitan dan
lembah- lembah. Jarak kampung Olaewa ke pusat kota Kecamatan Boawae kurang
lebih 8 km. Letak Kampung Olaewa berdekatan dengan jalan besar (jalur lintas
utama) penghubung antara wilayah Flores bagian timur dan bagian barat.
Kampung Olaewa sendiri memiliki batasan-batasan wilayah
administratifnya sebagai berikut :
- sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Gako dan Leguderu.
- sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Rigi.
- sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Toeteda.
- sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Solo.
-
39
E. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa
1. Kondisi Topografi
Wilayah Boawae beriklim tropis dengan dua musim yang selalu bergantian
yaitu musim barat yang membawa hujan, dan musim timur yang membawa
kemarau (kekeringan). Musim hujan biasanya dimulai bulan Oktober sampai
April sedangkan musim panas (kemarau) mulai bulan Mei sampai September.
Suhu rata-rata wilayah Kecamatan Boawae berkisar antara 24o sampai 34o. Batas
tertinggi suhu pada musim kemarau adalah 34o.
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa Kecamatan Boawae mengalami musim
kemarau selama 5 (lima) bulan yaitu Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober.
Tabel 3 Curah Hujan di Kecamatan Boawae 2005
Sumber: Kantor Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo
Bulan Curah Hujan(mm) Hari Hujan(Hari)
(1) (2) (3) 1. Januari 240.50 16
2. Pebruari 265.50 11
3. Maret 275.50 14
4. April 104.50 9
5. Mei - -
6. Juni - -
7. Juli - -
8. Agutus 54.50 2
9. September - -
10. Oktober 104.00 5
11. November 50.50 3
12. Desember 465.00 19
Rata-Rata 195 10
-
40
Data tabel di atas memakai data 2005, dengan alasan karena kondisi iklim
dan cuaca belum mengalami perubahan yang signifikan. Tanah di wilayah
Boawae tergolong sangat subur karena faktor struktur tanah yang terdiri atas tanah
hitam (vulkanis muda) dan tanah berkapur. Dengan adanya tanah vulkanis muda
maka tanah di daerah Kecamatan Boawae sanga t baik untuk lahan pertanian baik
pertanian tanah kering maupun tanah basah (sawah). Ketinggian dari permukaan
laut merupakan salah satu faktor yang menentukan jenis kegiatan penduduk dan
jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah tersebut.
2. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa
Pemenuhan tingkat kebutuhan hidup masyarakat di kampung Olaewa
sebagian besar masih bergantung pada sistem pertanian, perkebunan, dan juga
sudah ada yang beternak. Penjelasan di awal, dikatakan bahwa segala aspek
pemenuhan kebutuhan hidupnya masyarakat di Kampung Olaewa tidak bisa
melepaskan dengan tanah, tanah menjadi sumber penghidupan. Kondisi saat
masyarakat masih di kampung lama, dulunya m