ritual etu masyarakat kampung olaewa flores 1978 –...

139
RITUAL ETU MASYARAKAT KAMPUNG OLAEWA FLORES 1978 – 1981 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Disusun Oleh Kriwirinus Yosida Kalvaristo 024314021 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

Upload: others

Post on 16-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • RITUAL ETU MASYARAKAT KAMPUNG OLAEWA FLORES 1978 – 1981

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

    Program Studi Ilmu Sejarah

    Disusun Oleh

    Kriwirinus Yosida Kalvaristo

    024314021

    PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

    2007

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    Persembahan

    Skripsi Ini Saya Persembahkan Buat:

    Tuhanku Yesus Kristus, yang sangat baik dan penuh kesetiaan yang tinggi terhadap saya. Karena kasihnya dan kebesaran kuasanyalah saya bisa

    menyelesaikan Skripsi. Banyak halangan, rintangan yang mencoba menerjang saya, tak kuasa saya menahan derita ini, namun karena kepasrahan yang saya serahkan kepadanya dan atas doa darinya yang memberikan kesabaran bagi

    saya, halangan, rintangan yang mencoba menerjang saya luntur berkat kekuatan Tuhanku Yesus Kristus. Thanks Tuhan....

    Kedua orang tuaku: Hyasintus. Proklamasi Maxi Ebutho dan Yohanna Fransiska

    Sarjumiyati yang selalu memberikan doanya, mengajarkan bagaimana pentingnya

    hidup, bagaimana memberikan cinta kasih, dan bagaimana hidup dengan

    kesederhanaan, bagaimana menahan rasa gengsi yang tinggi. Terimakasih, I Love

    You Papa, I Love You Mama.

    Adikku Yohanes Baptista yang sangat jenius. Makasih ya dek atas segala nasehat,

    doamu, kesabaranmu. Tanpa kamu saya tidak akan bisa seperti sekarang ini.

    My Sweet Girls ”Maria Magdalena Wijayanti/White Pig” yang selalu setia

    menungguku dan sabar membimbingku, kemarahanmu adalah kekuatanku, kasihmu

    adalah surgaku, kesabaranmu adalah cahaya hidup bagiku.

    Bapak, Ibuku di Wonosobo yang selalu menasehatiku layaknya orang tuaku sendiri,

    terimakasih atas semuanya.

    Almamater saya yang saya cintai, kebanggaan yang takkan pernah saya lupakan

    sampai kapanpun: Fakultas Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata

    Dharma Yogyakarta.

    THANKS YOU ALL

  • v

    MOTTO:

    ”Takkan Ada Yang Tak Mungkin BisaJika Kita Bisa Berkata Bisa”

  • vi

    Pernyataan Keaslian Karya Skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai

    syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak

    memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau

    suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

    Penulis bertanggungjawab penuh atas kebenaran fakta-fakta berdasarkan

    sumber-sumber yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini.

    Yogyakarta,8 Desember 2007 Penulis

    Kwirinus Yosida Kalvaristo

  • vii

    ABSTRAK

    Penulisan Skripsi dengan judul: “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”, berusaha mendeskripsikan dan menganalisa mengenai perkembangan ritual Etu yang dipegang teguh oleh masyarakat adat di kampung Olaewa ketika masyarakatnya sampai bermukim di wilayah kawasan pemukiman yang baru sebagai dampak dari akibat adanya gerakan program pada tahun 1978 oleh Gubernur NTT Band Boi, untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat dan pada tahun 1981 masyarakat menempati kawasan yang dijadikan perkampungan bagi masyarakat adatnya. Latar belakang masyarakat adat di kampung Olaewa melaksanakan ritual Etu, proses pelaksanaan ritual dan sejauhmana kontribusinya ritual terhadap masyarakat adat, yang semuanya akan dijelaskan dengan mendeskripsikan dan juga menganalisiskannya. Teori yang akan digunakan dalam menganalisis fenomena di atas adalah dengan menggunakan teori fungsional milik Bronislaw Malinowski, sedangkan metode yang digunakan adalah pengumpulan data, analisis data dan penulisan. Kesimpulan yang di dapat dari penelitian ini adalah masyarakat yang menghuni kampung Olaewa merupakan masyarakat yang memiliki tradisi untuk menghargai orang lain sekaligus memiliki rasa saling menghormati, masyarakat adat sadar bahwa sebagai komunitas yang baru sudah seharusnya memperkenalkan diri kepada masyarakat di luar komunitas mereka. Ritual Etu menjadi pegangan hidup bagi masyarakat adat, adanya ritual Etu bagi masyarakat pendukungnya mendapatkan kontribusinya dengan menciptakan eksistensi kepada masyarakat luas serta pandangan yang positif sebagai masyarakat yang berbudi luhur dan memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat, ikatan hubungan kekeluargaan yang mereka tanamkan tidak dapat digeser oleh kekuatan modernisasi.

  • viii

    ABSTRACT

    The thesis with the title “Ritual Etu of society in village Olaewa Flores 1978-1981”, tried to describe and analyze about Etu tradition development that the society of Olaewa Village when their people lived in the new village as the results of program movement in 1978 by Band Boi, Governor of NTT, for the welfare of all the aspect of society in 1981 the society lived in the place which is made as the new settlement for their society. The background of society in Olaewa village did the Etu ritual as a proces and how it contributes to the society will be explained by describing and analyzing it. The theory which is used to analyze the “fenomena” is by using the fungsional theory by Bronislaw Malinowski, the method which is used is collecting the data, analyzing the data and finally writing it. The conclusion which can be draw from this experiment is the society who lived in Olaewa village are society who have tradition to appreciate other people the society realize as the new community introduced them selves to a new society outside their community, that they must explain they are a society who was a brief history. Etu tradition for gets its reward from get thing its contribution from the existension of this society in the other society’s eyes as a people with history and tradition, has a high collaborative connection with each other that can’t be destroyed by the effect of modernization.

  • ix

    KATA PENGANTAR

    Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

    jalan yang diberikannya, cintanya, pertolongan dan kasihnya, penulis berhasil

    mewujudkan impian dan cita-cita selama ini dengan menyelesaikan skripsi dengan

    judul: “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”.

    Penulis menghaturkan rasa hormat kepada bapak Hery Santosa yang dengan

    segala kesabaran dan ketelitian yang dimilikinya, bersedia memberikan bimbingan

    kepada penulis. Selaku ketua Program Studi jurusan Ilmu Sejarah walaupun dengan

    kesibukan dan waktunya yang cukup padat, beliau membimbing dan mengoreksi

    skripsi ini hingga terwujud. Terimakasih atas nasehat, saran, dan motivasi yang bapak

    berikan.

    Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari peran pihak-pihak lain yang telah

    memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil, baik itu secara langsung

    maupun tidak langsung. Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis juga ingin

    mengucapkan rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada:

    1. Para dosen-dosen sejarah karena mereka saya bisa seperti sekarang, kepada Bapak

    Aji Sampurno (Indonesiana), SRL, Bapak Sandiwan Suharso, Almarhum Bapak

    G. Moedjanto, Teuku Ibrahim Alfian, Romo Baskara Tulus Wardaya (PUSdEP).

    SJ, Bapak H. Purwanto, Bapak Budiawan, Romo Banar. SJ, Bapak St. Sunardi,

    Ibu Susilawati Endah Peni, Bapak Anton Haryono, Ibu Lucia Yuningsih, Bapak

    Manu.

  • x

    2. Kepada keluarga besar masyarakat kampung Olaewa bapak Pius Dhay Gu, bapak

    Piet, dan semua pihak yang sudah memberikan waktunya.

    3. Bapak Band Boi yang sudah meluangkan sedikit waktunya, terimakasih.

    4. Bapak Bupati Piet Nuwa Wea, terimakasih.

    5. Kepada keluarga besar saya, keluarga mama : Kakekku, Almarhum Nenek, bu

    Tutik dan om Mamat, bu Rita dan om Sigit, bude Tri, bu Yanik dan om Wayan,

    tante Yanti dan om Agus, tante Yuni, tante Ani, om Santo Rawaseneng, bude

    saya yang ada di Rawaseneng, keluarga dari papa: om Rama, om John, om Piter,

    om Sensi, tante Diana, mama Ida, mama Devi, mama As(almarhum), om Fensi,

    Nenek Felix Feto Wea, nenek Pius Dhay Gu, nenek Piet Lengi, nenek Piet, om

    Oskar, keluarga kampung Olaewa, keluarga Kelimado, keluarga kampung

    Boawae, dan semua keluarga besar lainnya, terimakasih atas doa dan kesabaran

    serta dorongannya.

    6. Saudara-saudaraku, Kakak-kakakku, Adik-adikku; Hanes, Nanang, Dira, Indah,

    Yoga, Singgih, Fajar, Lucky, Wikmon, Valdo, Nastri, Billy, Tedi, Ade, Tris, Kak

    Mira, Ebi, Karin, Manda, Lia, dik Lia, Mbak Siska, Ino, Ivan, Ririn, Meri, dek

    Lia, kak Betsi, kak Jane, Salmin, Bernard, Gede, Yuce, Serly, mbak Siska, kak

    Venny, kalian semua penyemangatku, terimakasih atas doa dan dukungannya.

    7. Untuk sahabat saya Tina terima kasih atas dorongannya.

    8. Mas Tri (sekretariat ilmu sejarah) terimakasih atas bantuannya.

    9. Kepada bapak Bupati Ngada Piet Nuwa Wea, bapak Band Boi.

    10. Special sangat special, yang hanya bisa aku temukan di Yogyakarta, teman

    seperjuangan angkatan 02 ilmu sejarah you’re My Best Friends; Gusty Yaser

  • xi

    Arafat, Hendrik Eka Rama K, Daniel Dwi Nugroho, Sukarno, Erlangga Hari

    Murti (Elang), Markus Y, Iyus, Trex, Biba, Hananto, Eko Fibrianto, Teo (ada

    rokok), Yoan C, Agus Tabuni, Rogerio, Yohannes Vianey, Theodorus Noviardi,

    Heridawati, Vila, Devi, Rini, Feni S, Mamik, Nana, Margaretha Eva, Ratih,

    terimakasih untuk segalanya, ilmu maupun nasehatnya akan aku kenang dan aku

    coba tuangkan di dalam kehidupanku. Robert (sastra Indonesia), Agus (sastra

    Indonesia), Kentung (sastra Indonesia), teman KKN 32(Agnes, Danang, Rendeng,

    Rini, Lukas, mas Vincent, Murni, Afril)dan kelompok-kelompok Ngandong, Pak

    Lurah Ngandong”Pak Joko teman ilmu sejarah Icsmi, Teo, Ifa, Atik, Teo, Eric,

    Darwin, Bondan, Suster, Edy Pramana, Keke, Afda, Anggi, Yoga, Sundari, Dedi,

    Anong, Anggoro, Luperno, Ana, Nana, Max, Hafein, Eno, Mita, mbak Monik,

    Kae Hendrik (papi), pokoknya mulai dari angkatan 1999-2006 tanpa kalian semua

    saya tidak akan bisa seperti sekarang. Thanks Thanks

    11. Kos Holiwood, ketenangan, kedamaian, curahan hati yang tak terlupakan serta

    spirit yang kalian beri, Wawan, Salvan(wartawan kompas), Inus, Daniel, Nanto,

    kak Berno, Ale, mas Paul, Bima, Edi, untuk semuanya Thanks banget juga

    Nana&Bram..

    Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan karya tulis ini masih jauh

    dari kesempurnaan, dan masih terdapat banyak kekurangan kekurangan, oleh

    karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik untuk membangun sebuah karya

    yang lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat

    bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

    Penulis

  • xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

    HALAMAN PERSETUJUAN.................................................. .......................ii

    HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................iii

    HALAMAN PERSEMBAHAN........................................... .........................iv

    HALAMAN MOTTO.......................................................... ....................v

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................ ..........................vi

    ABSTRAK........................................................................... ........................... vii

    ABSTRACT...................................................................................... ............. vii

    KATA PENGANTAR.................................................................... ............ ..xi

    DAFTAR ISI....................................................................................................xii

    DAFTAR TABEL...........................................................................................xvi

    BAB I: PENDAHULUAN.................................................................... ............1 A. Latar Belakang Masalah....................................................... ...........1 B. Identifikasi Masalah...................................................................... ......6 C. Rumusan Masalah......................................................................... ......8 D. Tujuan Penelitian.......................................................................... ......8 E. Manfaat Penelitian........................................................................ ......9 F. Kajian Pustaka............................................................................. .....10 G. Landasan Teori............................................................................ ...13 H. Metode Penelitian.......................................................................... ...17

    1. Pengumpulan Data................................................................. .....18 2. Analisis Data.............................................................................. .20 3. Penulisan........................................................... .........................21

    I. Sistematika Penulisan............................. ........................................22

    BAB II: KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES............................23 A. Gambaran Umum Pulau Flores...................................................... ....23

  • xiii

    1. Flores........................................................................................ ..23 2. Lingkungan dan Masyarakat Flores....................................... .....25 3. Religi....................................................................... ....................26

    4. Pola Perkampungan di Flores.......................... .......................28 B. Sejarah Nagekeo................................................ ..............................30 C. Asal-Usul Masyarakat Kampung Olaewa..................................... ..32 1. Kondisi Sosial Masyarakat .........................................................32 1.1. Orang Dhuge................................................................ ........32 1.2. Latar Belakang.................................................................. ...32

    a. Tingkatan Gae atau Ata Kai.......................................... .....33 b. Tingkatan Kuju Noe Walu Halo atau Ata Kisa........... .......34 c. Tingkatan Ata Hoo.............................................. ...............34 1.3. Sistem Kekerabatan ...............................................................35 a. Kekerabatan dalam keluarga inti........................................35 b. Kekerabatan dalam klan.....................................................35 2. Sejarah Masyarakat Kampung Olaewa................................ . .......36

    D. Letak Wilayah Kampung Olaewa................................................. ....37

    E. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa ...............39 1. Kondisi Topografi .......................................................................39

    2. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa........................40 F. Simbol-Simbol Adat Masyarakat Kampung Olaewa........................45

    BAB III: RITUAL ETU BAGI MASYARAKAT.. ........................................47 A. Ritual Etu Sebagai Adat .................................................................47 B. Ritual Etu Sebagai Penyeimbang Kehidupan Bermasyarakat. ..50

    1. Ungkapan syukur ........................................................................56 2. Pengikat masyarakat dengan kampung ........................................57

    C. Asal Mulanya Ritual Etu di Masyarakat ..........................................58 1. Mitologi tentang ritual Etu .........................................................58 2. Waktu dan tempat penyelenggaraan ............................................60 3. Tahap-tahap pelaksanaan ..........................................................67

  • xiv

    BAB IV: KONTRIBUSI RITUAL ETU BAGI MASYARAKAT KAMPUNG OLAEWA 1978-1981................ .......................................................70

    A. Kondisi Sosial Masyarakat Kampung Olaewa ..........................70 B. Modernisasi di Tengah-Tengah Masyarakat .............................74 1. Perpindahan kampung tahun 1981 ........................................74

    2. Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Makmur (ONM), dan Operasi Nusa Sehat (ONS) berintegrasi dengan budaya lokal............................................................................................... 77

    C. Dampaknya Ritual Etu Bagi Masyarakat Kampung Olaewa Secara Luas................................................................................................82

    1. Sadar akan pluralistik yang dimiliki masyarakat. ......................82 2.Masyarakat diakui, dihargai, dan dihormati........................... ....84

    3.Menyatukan dan menumbuhkan semangat solidaritas antar warga masyarakat ............................................................................. .......87

    D. Usaha Masyarakat Adat terhadap Eksistensi Ritual Etu... . .... ......93 E. Nilai Positif Masyarakat Olaewa.......................................... ..........96 BAB V: PENUTUP.................................................................................. ....103

    A. Kesimpulan......................................................................... ..........103 B. Saran.................................................................................... .........105

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................107 LAMPIRAN......................................................................................... .........114

    A. Lampiran 1: Gambar Peta Kabupaten Nagekeo B. Lampiran 2: Kronologis Bentuk dan Kondisi, dan Situasi Kampung

    Masyarakat Adat. C. Lampiran 3: Suasana masyarakat pada saat melaksanakan ritual Etu

  • xv

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Beberapa penyebutan wujud Tertinggi orang Flores.............................27

    Tabel 2. Beberapa altar atau tempat pemujaan orang Flores...............................28

    Tabel 3. Curah hujan di kecamatan Boawae 2005...............................................39

    Tabel 4: Gelar hubungan kekeluargaan dalam masyarakat Nagekeo..................92

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Pepatah mengatakan bahwa sejarah berulang!!! Pernyataan ini tidak

    hanya menekankan pada peristiwa melainkan bentuk atau polanya. Sejarah

    cenderung berkaitan dengan kegiatan manusia di masa lalu. Sejarah mengandung

    dua unsur di dalamnya, yakni sejarah dalam arti subjektif dan sejarah dalam arti

    objektif. Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, bangunan yang

    disusun sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu

    kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta yang terangkaikan dalam

    menggambarkan suatu gejala sejarah baik di dalam proses maupun struktur,1

    sedangkan sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau

    peristiwanya itu sendiri, yang merupakan proses sejarah dalam aktua litasnya,

    sehingga sejarah dikatakan berulang, disini mau menekankan bahwa sejarah

    dalam arti objektif, sedangkan seseorang harus bisa belajar dari sejarah, sehingga

    hal ini akan lebih menunjuk sejarah dalam arti subjektif.2 Kesadaran akan sejarah

    merupakan sumber inspirasi serta aspirasi penting yang saling berhubungan

    karena keduanya sangat potensial untuk membangkitkan sense of pride

    (kebanggaan) dan sense of obligation (tanggungjawab dan kewajiban).

    Budaya lokal dengan segala masa lalunya menciptakan kesejahteraan

    sendiri bagi masyarakatnya. Sejarah sebagai rangkaian peristiwa masa lalu,

    1 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah, PT Gramedia, 1990, hal.14.

    2 Ibid, hal. 15.

  • 2

    berperan aktif mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa kini dan masa yang

    akan datang, seperti Koentowijoyo dalam tulisannya mengatakan

    “sejarah menawarkan cara pandang yang kritis mengenai masa lalu, sehingga negara tidak akan terjebak pada archaisme dan makronisme , sekalipun kita berpijak pada jati diri yang terbentuk di masa lampau sejarah kita”.3

    Seandainya cara ini dilakukan dan dilaksanakan secara baik maka

    pembangunan dengan tujuan mencerdaskan bangsa dan sekaligus menciptakan

    ketertiban dunia sesuai pembukaan UUD 1945 akan berjalan sempurna.

    Situasi negara Indonesia yang akhir-akhir ini sering diwarnai berbagai

    konflik yang juga mengakibatkan hilangnya harta benda serta nyawa seperti

    peristiwa di daerah Ambon, Poso, dan Kalimantan, tentu saja merugikan

    pembangunan demi kesejahteraan bersama. Kasus yang terjadi tidak terlepas dari

    keseriusan peran pemerintah Indonesia dalam memahami kebudayaan masyarakat

    lokal sebagai potensi asli yang dimiliki yang mampu menyokong pembangunan

    Indonesia..

    Penulisan ini ingin membangkitkan sejarah kebudayaan masa lalu, sebagai

    identitas bangsa. Pembangunan di Indonesia yang ideal berlandaskan kebudayaan,

    sama halnya harapan Meutia Farida Hatta Swasono yang mengatakan:

    “perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warga negara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata, oleh karenanya kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?”4

    3 Kuntowijoyo, Metodelogi Sejarah Edisi kedua, PT Tiara Wacana Yogya, 2003, hal. 134.

    4 Meutia Farida Hatta Swasono, Kebudayaan Nasional Indonesia:penataan pola pikir, http://www.kongresbud.budpar.go.id/meutia_hatta.htm, 18-03-07.

  • 3

    Pertanyaan-pertanyaan di atas mengisyaratkan akan harapan mengenai

    kejelasan bangsa ini. Terkandung sebuah nilai di balik pernyataan diatas, agar

    menginginkan negara ini untuk sungguh-sungguh mengenali diri sendiri, dengan

    cara pemahaman akan sejarah kebudayaan. Menjadi PR (pekerjaan rumah) yang

    harusnya diselesaikan seluruh komponen lapisan masyarakat negara Republik

    Indonesia. Sudah saatnya bangsa ini bangkit, sudah saatnya bangsa ini bergerak,

    caranya tidak lain melalui budaya.5 Mengenai siapa yang menjadi patner dari

    negara, dijelaskan oleh Jacob Burckhardt (1818-1897) bahwa negara tidak akan

    bisa melepaskan budaya seperti dalam karyanya Die Culture Der Renaissance in

    Italien yang menuliskan “negara mempunyai hubungan dengan budaya, sebagai

    pendorong munculnya bentuk budaya dan sebaliknya, negara adalah bagian dari

    sistem budaya”, 6 untuk itu kebudayaan penting untuk dikaji. Sejarah kebudayaan

    merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah umum, sisi

    kebudayaan dapat memberikan solusi yang tepat bagi kemajuan perkembangan

    bangsa dan negara. Joseph H. Greenberg menulis:

    “sejarah kebudayaan adalah bagian dari sejarah umum, mengenai perkembangan-perkembangan histories bangsa-bangsa yang belum mengenal tulisan, pada waktu sekarang dan masa lampau”.7

    Negara Indonesia dibangun atas dasar budaya, Kebudayaan Nasional Indonesia

    tidak lepas dari peranan kebudayaan lokal, salah satunya Flores yang merupakan

    salah satu daerah bagian timur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    5 Sartono Kartodirjo, op.cit, hal. 195. 6 Ibid, hal. 117. 7 Taufik Abdullah dan Abdul Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historigrafi: Arah dan

    Persepektif, Jakarta: PT, Gramedia . 1985, hal. 213.

  • 4

    Flores memiliki keanekaragaman budaya, hingga saat ini masih sering

    dijumpai upacara tradisional warisan masa lalu, yang mengandung nilai, ide dan

    semangat masyarakat. Ritual Etu masih dipahami oleh masyarakat yang tidak

    mengerti akan ritual ini sebagai sesuatu yang kejam, sadis, yang menggambarkan

    masyarakat adatnya, padahal Ritual Etu mengajarkan bagaimana rasa saling

    menghormati dan menghargai antar masyarakatnya.

    Kampung Olaewa merupakan daerah yang baru bagi masyarakat adat,

    masyarakat ini biasa juga disebut dengan orang Dhuge. Masyarakatnya sangat

    menghargai kebudayaan, sebagai warisan budaya leluhur Ritual Etu dilaksanakan

    secara sungguh-sungguh, dan penuh rasa hormat. Tidak sembarangan masyarakat

    dapat melaksanakan ritual ini, karena hanya masyarakat yang memiliki Peo,

    patung Bu’e Coo, dan sejarah masyarakat kampung yang jelas. Perpindahan

    kampung oleh masyarakat ke Olaewa menjadi sesuatu yang baru, masyarakat

    selama ini menetap di kampung yang memiliki sejarah dan ikatan emosionalnya

    yang jelas saat ini tinggal di kampung yang nyata-nyata tidak memiliki ikatan

    emosional, sebab dalam kebudayaan setempat oleh masyarakat dan kampung

    merupakan satu kesatuan. Menariknya Ritual Etu dilaksanakan justru tidak pada

    kampung yang memiliki kedekatan, ritual ini berada di tengah-tengah

    modernisasi.

    Masyarakat pada tahun 1978, oleh pemerintah daerah mencanangkan

    program Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, dan Operasi Nusa Indah,

    menginginkan adanya kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pada tahun 1981 wujud

  • 5

    dari program tersebut ialah perpindahan kampung oleh masyarakat yang dikenal

    sebagai orang Dhuge.

    Kebudayaan tidak begitu saja muncul tanpa memiliki maksud dan

    tujuannya, beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur mempunyai konsep tertentu

    tentang desa maupun kampung yang dianggap sebagai mahluk hidup 8, mengutip

    tulisannya Koentjaraningrat bahwa kebudayaan menurut ilmu antropologi adalah

    “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

    kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”9, sama

    seperti masyarakat yang dikenal dengan orang Dhuge. Kampung yang baru tidak

    menyurutkan nilai kebudayaan Ritual Etu yang tetap dipertahankan oleh

    masyarakat. Namun masyarakat mampu menciptakan ketentraman, suasana yang

    harmonis di antara mereka, dan kondisi ini menjadikan masyarakat adat setempat

    dikenal dan dihargai sebagai masyarakat yang benar-benar menghargai adat.

    B. Identifikasi Masalah

    Masyarakat Kampung Olaewa adalah masyarakat pemegang kebudayaan.

    Ritual Etu merupakan warisan leluhur yang masih sampai saat ini terus dan tetap

    dilaksanakan. Masyarakat kampung Olaewa sangat pemali10 atau terlarang apabila

    Ritual Etu ini tidak dilaksanakan, karena akan sangat berakibat bagi

    masyarakatnya khususnya lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat masih

    8 Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

    1977/1978, hal. 10. 9 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Penerbit Rineka Cipta, 1990, Jakarta,

    hal. 80. 10 Pemali maksudnya sesuatu yang tidak boleh dilanggar, apabila dilanggar maka akan

    mendapat malapetaka yang besar.

  • 6

    merasa yakin bahwa Ritual Etu memiliki kekuatan yang luar biasa. Masyarakat

    merasa meyakini adanya kekuatan leluhur yang bekerja dalam segala kehidupan

    umat manusia, menurut keyakinan masyarakat, leluhur bermukim di sebuah

    gunung yang disebut Ebu Lobo.

    Ritual Etu merupakan sebutan masyarakat adat, terbentuknya ritual ini

    terkait dengan adanya penciptaan bumi dan langit. Ritual ini hanya boleh

    dilakukan di tengah kampung yang lengkap dengan simbol masyarakat adat

    kampung Olaewa, menunjukan bagaimana kampung, masyarakat, dan leluhur

    (diyakini berada di dalam simbol adat) bergabung dalam satu ikatan Ritual Etu.

    Masyarakat kampung Olaewa memiliki sejarah perkembangan hidupnya,

    masyarakat pola hidupnya masih sangat tradisional, kampung masih dianggap

    sebagai tempat bertemunya masyarakat dan leluhur, konsep leluhur, alam,

    merupakan ciri kehidupan masyarakat, karena masyarakat percaya bahwa

    keselamatan tidak terlepas dari unsur alam dan leluhur.

    Kondisi masyarakat Olaewa saat ini merupakan dampak dari arus

    modernisasi yang begitu kuat. Struktur rumah yang tadinya hanya beratapkan

    jerami, namun saat ini sudah memakai seng, dinding rumah yang dahulunya

    menggunakan bambu saat ini sudah memakai tembok yang berbahan dasar batako.

    Masyarakat bermukim di kampung yang baru tidak semata-mata begitu saja

    menetap, namun terjadi proses yang cukup panjang. Awalnya di kampung induk,

    baru kemudian bergeser di kampung yang baru yakni Kampung Olaewa, proses

    perpindahan dari kampung lama menuju kampung yang baru jarak waktunya

    cukup lama, sehingga tidak jarang masyarakat Kampung Olaewa disebut juga

  • 7

    sebagai orang Dhuge sebab Kampung Dhuge pernah berjasa memberikan rasa

    aman dan juga yang lainnya adalah memiliki kedekatan emosional langsung

    dengan Kampung Dhuge. Kampung Olaewa dipengaruhi modernisasi, usulan

    pemerintah agar masyarakat pindah di kampung ini agar kesejahteraan semakin

    meningkat dan akses transportasi, kegiatan kantor, sekolah mudah dijangkau,

    sudah terjadi modernisasi, faktor yang sangat penting yang mempengaruhi

    manusia memiliki sikap modern adalah pendidikan, lingkungan kekotaan,

    komunikasi massa, dan negara nasional dengan segenap aparatnya. 11

    Ritual Etu juga dianggap sebagian masyarakat sebagai ritual yang sadis,

    tidak manusiawi dan memiliki ciri khas seperti komunitas kaum barbar, karenanya

    masyarakat dianggap pencitraan dari ritual ini, ada kalanya masyarakat yang tidak

    memahaminya sering dalam ritual ini terjadi perselisihan paham dengan anggota

    masyarakat lain, ritual Etu juga sering dianggap sebagai ritual yang hanya

    memboroskan uang dan cendrung masyarakat dikatakan sebagai masyarakat yang

    suka pesta-pesta dan royal, tidak jarang masyarakat dikatakan masyarakat yang

    suka akan kemewahan. Modernisasi yang begitu kuat masuk dalam kehidupan

    masyarakat, membawa dampak sosial yang besar, masyarakat menjadi

    individualistik, masyarakat mulai mengukur segala sesuatu atas dasar uang.

    C. Rumusan Masalah

    Berdasarkan dari identifikasi permasalahan di atas, yang mampu dikaji

    adalah diantaranya:

    11 Prof. Harsojo, Pengantar Antropologi, Penerbit Bina Cipta, 1977, Jakarta, hal.243.

  • 8

    1. Apa yang melatarbelakangi masyarakat adat Kampung Olaewa

    melaksanakan Ritual Etu?

    2. Bagaimana Ritual Etu dilaksanakan di masyarakat?

    3. Sejauhmana kontribusi dari Ritual Etu bagi masyarakat Kampung Olaewa

    1978-1981 ?

    D. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian dalam tulisan skripsi mengenai “Ritual Etu Masyarakat

    Kampung Olaewa Flores 1978-1981” adalah untuk memahami, mengetahui, serta

    menganalisis apa yang menjadi latarbelakang Ritual Etu dilaksanakan oleh

    masyarakat kampung Olaewa dan juga untuk mencermati nilai-nilai yang

    terkandung di dalam Ritual Etu sehingga masyarakat begitu meyakini bahwa

    Ritual Etu sebagai suatu budaya yang harus dipertahankan. Selain itu juga untuk

    mengetahui sejauhmana Ritual Etu dapat menjadi sebuah budaya yang memiliki

    keunggulan serta bagaimana cara Ritual Etu mempertahankan dirinya di zaman

    yang modern.

    Inventarisasi dan pendokumentasian Ritual Etu yang erat kaitannya

    dengan keyakinan masyarakat setempat diharapkan dapat mendukung usaha-usaha

    pelestarian budaya dalam sejarah Kebudayaan Nasional Indonesia, dan juga

    berusaha memperkenalkan budaya daerah ini kepada daerah lain sehingga terjadi

    adanya komunikasi antar budaya pada masyarakat Indonesia yang majemuk.

    Penulisan mengenai sejarah kebudayaan lokal ini juga sekaligus sebagai

    referensi baru atau sebagai sumbangan data bagi penelitian-penelitian baru di

  • 9

    masa mendatang, pada sisi lain tulisan ini tidak saja penting bagi diri sendiri

    melainkan juga penting bagi orang lain. Melalui tulisan ini diharapkan mampu

    mengkomunikasikan masyarakat luas agar memahami budaya lain. Penulisan

    sejarah kebudayaan jika tidak dimulai saat ini, maka sejarah-sejarah kebudayaan

    lokal sebagai kekuatan sejarah nasional negara Republik Indonesia akan hilang

    ditelan zaman.

    E. Manfaat Penelitian

    Manfaat dari penelitian kali ini ialah menambah suatu karya tulis ilmiah

    mengenai sesuatu peristiwa sejarah yang baru di Indonesia, khususnya mengenai

    peristiwa sejarah lokal yang berbudaya yang jarang diangkat ke dalam koleksi

    sejarah nasional. Dari karya tulis ini diharapkan mampu menjembatani informasi-

    informasi yang ada di daerah pulau Flores, khususnya kabupaten Nagekeo,

    dengan masyarakat yang tinggal di daerah luar pulau Flores.

    Sehingga pada akhirnya dengan mengerti dan mengetahui informasi tadi

    diharapkan mampu menjadikan perbedaan budaya tersebut menjadi sebuah

    keunikan dan menjadi sebuah ilmu yang sangat berarti demi kelangsungan negara

    Indonesia ke arah yang lebih baik dan mampu memberikan sumbangan

    pengetahuan informasi kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan

    kearah yang lebih baik. Sehingga semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi

    selaras dengan prinsip-prinsip hidup bermasyarakat yang semakin lama saat ini

    terasa semakin mengkhawatirkan. Dengan belajar sejarah semakin mampu

    membawa negara Indonesia menjadi dewasa.

  • 10

    F. Kajian Pustaka

    Tulisan ini mencoba melihat permasalahan yang sangat berbeda dengan

    masalah-masalah yang sudah diangkat oleh sejarawan lainnya. Data yang di

    peroleh untuk menunjang penulisan ini melalui studi pustaka, beberapa literatur

    berupa buku, artikel, internet, dan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh

    masyarakat, adat, maupun pemerintahan.

    Topik yang akan dikaji oleh penulis sebenarnya merupakan hal yang baru,

    dimana selama penulis membaca buku-buku budaya maupun sejarah penulis

    belum menemukan tulisan mengenai apa sebenarnya Ritual Etu sehingga begitu

    besar kekuatannya.

    Sumber-sumber yang akan digunakan dalam pembuatan tulisan dengan

    judul “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”, masih sangat

    sulit dan sifatnya terbatas sehingga perlu mengadakan penelitian langsung.

    Sumber-sumber buku yang ada belum menceritakan secara lengkap mengenai

    ritual Etu.

    Ada beberapa buku yang sudah menuliskan mengenai sejarah kebudayaan

    Flores tepatnya di daerah Ngada (lokasi wilayah ini telah dimekarkan sehingga

    muncul daerah baru Nagekeo), namun untuk secara khusus tentang budaya Ritual

    Etu (hanya terdapat di wilayah Nagekeo) secara khusus belum ada. Buku-buku ini

    biasanya digunakan sebagai gambaran umum untuk melengkapi sumber yang

    lainnya.

    Buku tersebut antara lain ialah REBA: Ritual Budaya ”Tahun Baru”

    Masyarakat Ngada (Cultural Ritual ”New Year” Society of Ngada), buku ini

  • 11

    menceritakan mengenai sejarah orang Ngada seputar ulasan mengenai budaya

    tradisional REBA secara umum, disamping itu berisi juga tentang event-event

    budaya tahunan. Oleh karena itu sifat buku ini lebih merupakan buku panduan

    bagi mereka yang ingin berkunjung dan melakukan perjalanan wisata ke daerah

    ini. Buku ini hanya sekedar menyoroti karakter kehidupan kebudayaan

    masyarakat Ngada.

    Buku lain adalah “Manusia dan kebudayaan di Indonesia” yang disusun

    oleh Koentjaraningrat, menceritakan mengenai kebudayaan Flores yang di

    dalamnya memuat antara lain identifikasi wilayah kelompok suku di Flores, pola

    perkampungan, religi. Sehingga sifat buku ini terbatas hanya menjelaskan pola-

    pola geografis dan organisasi sosial.

    Ada juga buku yang berjudul “Peranan Hukum Pertanahan Dalam

    Pembangunan Daerah Otonom Ngada”, buku ini ialah sekumpulan makalah-

    makalah dari beberapa sarjana-sarjana yang mengadakan seminar mengenai

    masalah tanah yang diadakan di Bajawa, 21-23 januari 2002. Buku ini tidak

    menjelaskan secara mendetail mengenai ritua l Etu.

    Dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur(NTT),

    yang berjudul “Upacara Tinju Tradisional (ETU) Di Kelurahan Natanage

    Kecamatan Boawae Kabupaten Ngada”, pada buku yang satu ini ada kesamaan

    mengenai objek kajian yakni sama-sama mengkaji Ritual Etu, sehingga buku ini

    hanya sekedar mendeskripsikan tahap-tahap upacara budaya ini berlangsung.

    Pada sumber yang lain melalui internet dengan alamat situsnya,

    http://www.geocities.com/kapetmbay/event.htm,http://www.kompas.com/kompas

  • 12

    cetak/0304/16/otonomi/259141.htm, isinya mengenai deskripsi tentang ritus tinju

    tradisional Etu yang diadakan selama setahun sekali dan tahap-tahapnya.

    Dalam penulisan skripsi ini dengan judul “Ritual Etu Masyarakat

    Kampung Olaewa Flores 1978-1981,” agak berbeda dengan tulisan yang sudah

    pernah di tulis oleh orang lain, ingin melihat bagaimana masyarakat adat begitu

    mempertahankan Ritual Etu hingga begitu sangat penting bagi kehidupan

    masyarakat. Penulis berpendapat bahwa tidak ada budaya yang diciptakan tanpa

    memiliki fungsi yang bermanfaat bagi keberlangsungan pemilik kebudayaan yang

    bersangkutan.

    G. Landasan Teori

    Perubahan kebudayaan di suatu masyarakat lebih disebabkan oleh

    masuknya kebudayaan asing. Faktor yang sangat penting yang mempengaruhi

    manusia memiliki sikap modern adalah: pendidikan, lingkungan kekotaan,

    komunikasi massa, negara nasional dengan segenap aparatnya.12 Sarjana

    antropologi budaya beranggapan hampir setiap observasi mengenai kebudayaan

    itu berarti mencatat fakta sejarah karena apa yang ada dalam suatu masyarakat

    merupakan produk dari apa yang telah manusia lakukan. Kebudayaan itu ada,

    hadir dalam masyarakat dan berubah lewat waktu, kebudayaan itu keluar dari

    masa lalu, hadir pada masa kini, dan dilanjutkan pada masa yang akan datang, 13

    sebab masa sekarang tidak pernah terlepas dari masa lalu. Kaitan dengan Ritual

    Etu yang terjadi di masyarakat kampung Olaewa, menggunakan teori fungsional,

    12 Prof. Harsojo, op.cit. 13 Koentjaraningrat, op.cit, hal. 40

  • 13

    menurut Malinowski fungsi diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan, dengan

    demikian pada akhirnya fungsi menjadi sesuatu yang melayani kehidupan dan

    kelanjutan hidup.

    Hubungan antara masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Masyarakat

    tidak mungkin ada tanpa kebudayaan begitu sebaliknya kebudayaan hanya

    mungkin ada dalam satu masyarakat, hal tersebut di atas adalah dua pengertian

    kebudayaan dan masyarakat sebenarnya merupakan dua segi dari satu kenyataan

    kehidupan sosial manusia. Kondisi biologi dan psikologinya yang khusus,

    manusia harus mampu bekerjasama dengan manusia lain dalam ikatan masyarakat

    untuk dapat melangsungkan kehidupan jenisnya. Bronislaw Malinowski ialah

    tokoh yang memahami masyarakat melalui kebudayaan, yang mengemukakan

    bahwa semua unsur kebudayaan (cultural traits) merupakan bagian yang

    terpenting dalam masyarakat, karena unsur tersebut memiliki fungsinya, itu

    sebabnya setiap pola adat kebiasaan merupakan sebagian dari fungsi dasar dalam

    kebudayaan, 14 selanjutnya Bronislaw Malinowski mengatakan “dalam mencari

    kaidah-kaidah dalam masyarakat terdapat tiga masalah sebagai azas penting

    menurut pendekatan fungsional, yaitu (1) adakah sesuatu itu berfungsi; (2)

    bagaimana sesuatu itu berfungsi; dan (3) mengapakah sesuatu itu berfungsi.”15

    Malinowsi melihat bahwa masyarakat adalah gabungan dari sistem sosial yang

    sistemnya memuat unsur-unsur tentang kebutuhan dasar manusia yang harus

    14 Museografia: Majalah Ilmu Permuseuman, 1985, Direktur Permuseuman Direktorat

    Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 55 15 Ibid.

  • 14

    dipenuhi. 16 Kebutuhan dasar itu meliputi aspek-aspek yang menunjang

    kelangsungan kehidupan masyarakatnya, Ritual Etu merupakan bagian kekuatan

    masyarakat untuk dapat mengenali jati diri terutama asal-usul masyarakat sebagai

    komunitas yang memegang kebudayaan.

    Integrasi sosial menurut Durkheim ditemukan dalam pembagian kerja

    dalam masyarakat, yaitu semakin sama pembagian kerja dalam masyarakat

    semakin tinggi tingkat integrasi sosial, lebih lanjut Durkheim menguraikan dua

    tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.

    Solidaritas mekanis yang berasal dari golongan masyarakat tradisional yang

    pembagian kerja dalam masyarakatnya masih rendah, norma-norma yang

    cendrung represif, dan masih adanya kesatuan sosial dalam tingkat yang tinggi.

    Solidaritas organik di sisi lain adalah sifatnya yang lebih maju, sebuah masyarakat

    industri dalam pembagian kerja yang begitu kompleks (tidak sama),

    meningkatnya hubungan kontrak (yang diikat dengan perjanjian) dan memiliki

    tingkat integrasi sosial yang lebih rendah. Dalam hal ini upaya kontrol individu

    menjadi lemah menuju suatu keadaan berkurangnya norma-norma yang lebih

    tinggi dalam masyarakat.17 Durkheim mengatakan kekuatan sosial didasarkan

    pada pandangan kolektif yaitu berbagai bentuk kekuasaan yang bersandar pada

    struktur-struktur normatif dari kelompok tertentu selama kontrol itu diterapkan

    pada anggota kelompok melalui norma-norma ini. Ritual Etu merupakan norma

    yang dipegang oleh masyarakat, mampu mengontrol masyarakat dalam kehidupan

    sehari-hari, dalam kenyataan secara umum seluruh aspek struktur sosial termasuk

    16 Ibid. 17 Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, penerbit

    Pustaka Setia Bandung, 2005, hal.90.

  • 15

    lembaga- lembaga bersandar pada sebuah sistem normatif masyarakat.18 Fungsi

    masing-masing kelompok sosial dalam masyarakat kampung telah ada, untuk

    mengatur kesejahteraan bersama, sebab prinsip masyarakat tradisional adalah

    kebersamaan

    Memahami gejala sosial ketika kampung berpindah ke kampung yang

    tidak ada kedekatan historis dengan masyarakat, agar memahami masalah

    membutuhkan teori Durkheim bahwa evolusi norma sosial didasarkan pada

    kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam masyarakat19, bahwa ikatan kekeluargaan

    tetap dipertahankan, solidaritas di antara suku-suku dalam kampung semakin

    menguat, terlihat kemasyarakatan, kehidupan bersama antara manusia ingin

    menunjukan adanya proses sosial dan relasi sosial. Proses sosial adalah cara

    interaksi sosial yang dapat dilihat apabila individu dan kelompok bertemu dan

    membentuk satu sistem relasi sosial, 20 melihat masyarakat memakai sedikit

    konsep teori tradisi sosial (kemasyarakatan), menurut Herbert Spencer masyarakat

    sebagai suatu kesatuan yang utuh dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum

    evolusi alam, pada akhirnya proses alam yang menentukan masyarakat kampung

    Olaewa sebagai ikatan komunitas kekerabatan yang kuat.

    Subsistem ini mempertahankan masyarakat sebagai satu kesatuan utuh

    dalam sebuah perjalanan evolusi. Proses ini secara terus menerus berkembang

    jauh dari tingkat-tingkat baru sebagaimana ia berkembang dari masyarakat

    18 Ibid, hal. 89. 19 Ibid. 20 Prof. Harsojo, op.cit, hal. 153.

  • 16

    primitif menuju masyarakat modern dan industri,21 teori struktural fungsional

    yang intinya tidak lepas dari sebuah usaha untuk menjaga keseimbangan dalam

    kehidupan masyarakat, dan teori psikologi sosial dimana mengadopsi dari Herbert

    Blumer bahwa bagi masyarakat baik secara individu maupun kelompok, telah

    disiapkan sebuah perbuatan yang berdasarkan makna-makna, yang objeknya

    terdiri atas dunia mereka, dijelaskan juga bahwa tindakan-tindakan sosial terus

    mengkonstruksikan sebuah proses yang para pelakunya mencatat, menafsirkan,

    dan menilai untuk menghadapi situasi mereka.22

    Tersebarnya berbagai unsur kebudayaan ke berbagai wilayah, bermula dari

    suatu wilayah tertentu. Setiap unsur kebudayaan tidak berdiri sendiri dan terlepas

    satu sama lain, melainkan unsur-unsur kebudayaan saling mempengaruhi dan

    saling tergantung sama lain. Melalui studi kelompok sosial, akan mengerti

    bagaimana dan dengan cara apa manusia berprilaku di dalam kehidupannya.

    Manusia dalam kehidupannya telah membentuk apa yang disebut dengan

    masyarakat dimana di dalamnya terbagi ke dalam kelompok-kelompok sosial.

    Dalam hal ini ketika situasi modernisasi berkembang pesat, kebudayaan

    harus mampu berintegrasi dengan baik dan mampu berfungsi dengan baik.

    Masyarakat memegang ritual Etu sebagai senjata yang berarti dalam menangkis

    efek terburuk dari modernisasi.

    21 Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, penerbit Pustaka Setia Bandung, 2005, hal op.cit, hal. 83.

    22 Ibid, hal. 243.

  • 17

    H. Metode Penelitian

    Tema yang akan diangkat tentang sejarah kebudayaan lokal “Ritual Etu

    Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981,” maka menggunakan metode

    untuk melihat secara keseluruhan mengenai secara keseluruhan mengenai ritual

    adat ini. Metode sendiri merupakan cara, apabila dikaitkan dengan penelitian ini

    maka bagaimana caranya agar dalam perkembangan selanjutnya memperoleh

    hasil penelitian yang baik.

    Ritual Etu berada di Kabupaten Nagekeo dan lebih khususnya di Kampung

    Olaewa Kecamatan Boawae. Jarak antara Kampung Olaewa ke kota Kecamatan

    Boawae kurang lebih 8 km, berada di dataran tinggi. Masyarakat Kampung

    Olaewa hampir sebagian besar penduduknya masih menggantungkan sumber

    penghasilannya pada alam yakni bertani dan berladang, namun tidak sedikit juga

    yang menjual hasil bertaninya untuk dijual ke pasar, ada yang berbisnis, guru, atau

    pegawai negeri.

    Kebudayaan di daerah ini sangat unik, salah satunya adalah Ritual Etu,

    masyarakat yang hadir disambut oleh masyarakat pendukung Ritual Etu,

    masyarakat mempersilahkan masyarakat yang datang untuk makan di rumah

    masyarakat pendukung. Setiap rumah menyediakan makanan lebih untuk tamu

    yang hadir, seluruh lapisan masyarakat, kerabat keluarga, atau juga orang asing di

    layani dengan senang hati. Penelitian tentang penulisan ini menggunakan

    penelitian partisipan yakni sebagai peneliti terjun langsung di lokasi, berbaur

    bersama masyarakat sekaligus mengamati keseharian dalam kehidupan mereka

    selama mereka beraktivitas setiap harinya, dari pagi hingga malam hari. Sejarah

  • 18

    tidak dapat hidup sendiri, karenanya sejarah menggunakan ilmu bantu dengan

    pendekatan yang dipakai adalah Antropologi. Terkait penulisan sejarah budaya,

    perlu menjelaskan secara terinci cara-cara apa saja yang dilakukan untuk

    memperoleh data akan diuraikan sebagai berikut:

    1. Pengumpulan data

    Sejarawan tidak pernah bisa melepaskan dari yang namanya data dan juga

    fakta dalam setiap penelitiannya. Untuk mendukung penelitian mengenai sejarah

    kebudayaan khususnya Ritual Etu dilakukan pencarian data, baik data primer

    maupun data sekunder. Data primer di dapat dengan berkunjung ke lokasi di

    daerah Flores tepatnya di Kabupaten Nagekeo Kampung Olaewa dengan

    wawancara para tokoh-tokoh masyarakat maupun tokoh adat Kampung Olaewa,

    wawancara dengan Bupati Ngada (tahun 1981 Kampung Olaewa masih dalam

    status wilayah Ngada tapi sekarang Nagekeo) yang terlibat langsung pada saat

    ritual ini dilaksanakan pada saat pindah kampung, dan mantan pejabat instansi

    seperti camat dan penilik kebudayaan Ngada. Metode wawancara yang digunakan

    adalah wawancara bebas (free interview). Hal ini dilakukan untuk memperoleh

    data dari sudut pandang masyarakat (emic), yakni kerangka mental yang dimiliki

    masyarakat itu sendiri. 23 Kunjungan ini tidak semata-mata, rekreasi melainkan

    mencoba melihat skope spasialnya. Karena ciri penulisan sejarah harus ada skope

    spasialnya maupun skope temporalnya.

    Untuk data sekunder penulis membagi tiga wilayah pencarian data,

    pertama data yang diambil di wilayah Yogyakarta melalui perpustakaan

    23 Robert Cambers. PRA Participation Rural Appraisal: Memahami Desa Secara

    Partisipan. Yogyakarta: Kanisius OXFAM. 1997. hal. 7.

  • 19

    Universitas Sanata Dharma, berupa buku-buku tentang masyarakat Ngada (karena

    Kabupaten Nagekeo baru, maka buku seputar isi tentang Nagekeo belum ada) dan

    internet melalui situs-situs yang menyinggung seputar masalah kehidupan

    masyarakat Nagekeo, kedua data diambil di Kupang (kota Propinsi NTT) yakni

    perpustakaan UNIKA Kupang berupa buku tentang masyarakat Flores dan

    masyarakat Ngada, dinas Pariwisata berupa laporan atau juga arsip mengenai

    kebudayaan yang ada di Flores khususnya Ngada, perpustakaan propinsi berupa

    buku-buku tentang kebudayaan dan masyarakat Ngada, ketiga data yang diperoleh

    melalui kantor-kantor pemerintahan mulai kantor kecamatan hingga kantor desa,

    dinas pariwisata Kabupaten Ngada berupa arsip-arsip mengenai jumlah penduduk,

    mata pencaharian, sampai pada letak geografis wilayahnya.

    2. Analisis Data

    Sumber-sumber tulisan dan sumber lisan terbagi didalamnya menjadi dua

    jenis yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah wawancara

    dengan pelaku yang terlibat langsung pada acara tersebut seperti seorang yang

    pernah menjabat sebagai Bupati, Camat, serta kepala kampung dan masyarakat

    pemilik adat, yang direkam menggunakan tape rekorder. Sumber sekunder dengan

    wawancara dengan orang yang tidak mengerti seputar peristiwa adat Ritual Etu

    berlangsung, dan tulisan-tulisan dari koran mengenai Ritual Etu. Selanjutnya

    langkah berikutnya adalah dengan kritik sumber, bertujuan untuk mengetahui

    secara kritis mengenai otentitas (keaslian) dan kredibilitas sumber.24

    24 Koentowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Budaya, Yogyakarta: 1995, hal. 99-100.

  • 20

    Data-data sangat penting bagi sejarawan yang ingin menuliskan sejarah

    atau historiografi. Karena itu data benar-benar harus diteliti secara mendalam.

    Untuk menjelaskan sejauhmana masyarakat melakukan Ritual Etu, tidak bisa

    sembarang sejarawan mengambil data dari wawancara yang dilakukan oleh

    masyarakat sembarangan. Harus diteliti terlebih dahulu, siapa masyarakat yang di

    wawancarai? Kalau masyarakat itu adalah masyarakat di luar dari masyarakat

    pemegang adat tertentu, tentunya interpretasi yang dikemukakannya akan sangat

    tidak beralasan karena mereka tidak mengetahui secara pasti apa itu budaya

    tertentu, karena mereka tidak mengalami secara langsung.

    Analisis data berkaitan dengan Ritual Etu, data-data yang diambil pertama

    selalu menjurus pada masyarakat asli Kampung Olaewa, data-data yang lainnya

    diambil dengan melihat kondisi kampung lama yang diperbandingkan dengan

    kondisi kampung yang baru. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai ciri kampung

    ini, berusaha mencari informasi mengenai sejarah masyarakatnya sejak awalnya

    dari cerita-cerita, yang kemudian membawa informasi sampai pada sejarah

    masyarakat ini berasal dimana terdapat kampung awal yang letaknya persis

    dibawah kaki gunung Ebu Lobo yang bernama Kampung Duge, kemudian

    menyusuri kampung berikutnya kampung Nagemi, dan terakhir di kampung

    Olaewa. Jaraknya cukup jauh, keberadaan asal-usul masyarakat yang letak

    pertama kali di atas gunung yang berjarak kurang lebih 8 km, menyusuri hutan-

    hutan, tebing-tebing terjal. Melalui penyusuran ini, peneliti merasa yakin bahwa

    sejarah dari kampung ini sangat jelas ada dan bisa dianalisa. Kemudian

    menginterpretasikan yakni tahap menguraikan informasi, fakta, dan relasi satu

  • 21

    dengan yang lain tanpa meninggalkan ketentuan dalam penelitian sejarah. Dalam

    penelitian ini dituntut untuk mencermati dan mengungkapkan data secara akurat.

    Maka untuk mengurangi unsur subjektifitas, diperlukan pengolahan data dan

    analisis secara cermat.25

    3. Penulisan

    Langkah terakhir adalah historiografi yang merupakan suatu proses

    rekonstruksi dari sekian peristiwa-peristiwa masa lampau dalam bentuk penulisan

    yang telah di interpretasikan sehingga sesuai dengan imajinatif ilmiah. 26 Melalui

    data-data yang digunakan kemudian di kumpul, di kritik dan di interpretasikan

    lalu kemudian data-data tersebut disajikan dalam bentuk tulisan. Penulisan ini

    bersifat deskriptif analitis yang sepenuhnya menuntut alat-alat analitis. Alat-alat

    analitis itu berdasarkan perspektif, objektif, dan subjektif. Tulisan sejarah yang

    baik adalah tulisan yang mampu menghasilkan tulisan dengan data primer yang

    kuat berupa wawancara langsung dengan tokoh yang terkait dan mengetahui

    secara persis kondisi dan atmosfir peristiwa Ritual Etu berlangsung..

    I. Sistematika Penulisan

    Guna mempermudah pemahaman mengenai hasil penelitian untuk skripsi

    ini, maka dalam penjelasan nantinya akan dijabarkan melalui beberapa bagian

    sub-sub bab yang isinya adalah sebagai berikut :

    25 Sartono Kartodirdjo, op.cit, hal. 62. 26 Koentowijoyo, op.cit, hal. 99

  • 22

    Bab I pada bagian ini, berisikan tentang latar belakang, identifikasi dan

    pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

    kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

    Bab II pada bagian ini akan menguraikan mengenai kondisi masyarakat

    Olaewa Flores, dimana pada bab ini menyajikan gambaran umum tentang Flores,

    sejarah Nagekeo, asal-usul masyarakat di Kampung Olaewa, letak wilayah

    Kampung Olaewa, simbol-simbol adat masyarakat Olaewa, kondisi mata

    pencaharian masyarakat.

    Bab III pada bagian ini akan membahas Ritual Etu bagi masyarakat yang

    akan menguraikan mengenai Ritual Etu sebagai adat, Ritual Etu sebagai

    penyeimbang kehidupan bermasyarakat yang diuraikan bahwa ada ungkapan

    syukur dan keterikatan masyarakat dengan kampung, kemudian diuraikan

    mengenai asal usul ritual Etu.

    Bab IV pada bagian ini akan menguraikan mengenai kontribusi Ritual Etu

    bagi masyarakat Kampung Olaewa tahun 1981, dengan menjelaskan mengenai

    kondisi sosial masyarakat, modernisasi di tengah masyarakat, dampak dari Ritual

    Etu, usaha masyarakat adat terhadap eksistensi Ritual Etu, nilai positif terhadap

    masyarakat Kampung Olaewa zaman modern.

    Bab V pada bagian ini merupakan bagian penutup. Dalam bab ini penulis

    mencoba meringkas dan menyampaikan beberapa kesimpulan dari jawaban

    terhadap masalah yang diajukan dalam bab pendahuluan.

  • 23

    BAB II

    KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES

    A. Gambaran Umum Pulau Flores

    1. Flores

    Flores letaknya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Penduduk Nusa

    Tenggara Timur terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa dan tradisi sangat

    bervariasi dan tentu hal ini berpengaruh sekali dalam perkembangan

    kebudayaannya.27 Flores merupakan pulau yang memiliki banyak

    keanekaragaman budaya hampir di setiap kehidupan dalam lingkungan

    masyarakat. Nama pulau Flores berasal dari bahasa Portugis yaitu "Cabo de

    Flores" yang berarti "tanjung bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M.

    Cabot untuk menyebut wilayah paling timur pulau Flores, kemudian semenjak itu

    dipakai secara resmi pada tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda

    Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini,

    sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau

    ini, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan

    bahwa nama asli pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Pulau

    Flores masuk dalam wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur.

    Masyarakatnya masih sangat kental dengan adat, setiap kegiatan yang

    dilakukan selalu dimulai dengan ritual khusus. Bentuk kebudayaan peninggalan

    leluhur seperti simbol-simbol adat sebagai penunjang ritual masih dipertahankan

    27 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984, Upacara Tradisional Daerah Nusa

    Tenggara Timur, hal. 4.

  • 24

    dalam masyarakat, hal inilah yang menjadi keunikan masyarakat di Flores. Flores

    banyak sekali menyimpan berbagai peninggalan sejarah dan kepurbakalaan,

    contohnya di daerah kabupaten Ngada pada tahun 1990-an, penemuan seorang

    kurator museum Bikon Blewut Ledalero yang menemukan fosil manusia jenis

    Proto Negrito Florensis di Rawe, menurutnya fosil manusia yang pernah

    menghuni Flores diperkirakan berusia sekitar 300.000 tahun. Misionaris asal

    Jerman, Pastor Dr Th Verhoven SVD yang berkarya di Flores tahun 1950-an,

    ketika di Mataloko (Ngada) menemukan berbagai artefak kuno, antara lain berupa

    porselen Cina dan berbagai benda kuno berukir berupa papan, manik-manik,

    peralatan dari zaman batu berupa: barang perunggu, dan yang tidak kalah

    menariknya ialah temuan di daerah Ngada sebuah fosil gajah raksasa Stego don

    Trigonocephalus Florensis. Temuan lain berupa kapak neolitik sebanyak 150

    buah.28 Semuanya tadi menunjukan bahwa daerah Flores merupakan daerah yang

    tidak kalah bernilai harganya jika dibandingkan dengan daerah lain.

    Masyarakat Flores sangat kental akan budayanya. Secara umum

    masyarakatnya memiliki sifat keunikan tersendiri, kebiasaan masyarakatnya

    sebelum dan setelah melakukan pekerjaan selalu diawali dengan ritual sebagai

    bentuk ungkapan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan dengan cara tersebut ada

    rasa kedamaian yang mereka temukan. Masyarakat Flores sangat kental dengan

    berbagai simbol-simbol adat, masyarakat Flores selalu mendiami kampungnya

    dengan dihiasi simbol-simbol adat. Kampung adalah tempat bermukim tradisional

    28 Http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/16/otonomi/259141.htm, pada tanggal

    25/02/2007.

  • 25

    yang hampir keseluruhan masyarakatnya masih mempertahankan pola pemikiman

    dengan gaya perkampungan.

    Masyarakat dan kampung merupakan satu kesatuan yang utuh, umumnya

    masyarakat Flores masih mempertahankan budayanya demi menjaga ketentraman,

    hampir setiap permasalahan yang ada selalu diselesaikan dengan cara adat.

    Aktivitas kehidupan sehari-hari mencerminkan adanya nilai budaya, seperti yang

    dikatakan oleh Melville J. Herskovits seorang sarjana antropologi budaya dari

    Amerika Serikat bahwa kebudayaan dan masyarakat itu ibarat dua muka pada

    sehelai kertas, artinya bahwa masyarakat manusia dimanapun dan kapan pun akan

    menghasilkan kebudayaan. 29

    2. Lingkungan dan Masyarakat Flores

    Pulau Flores terdapat berbagai kelompok etnik yang hidup dalam

    komunitas-komunitas yang hampir masing-masing komunitasnya sangat eksklusif

    sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan

    pranata sosial budaya dan ideologi yang semuanya itu mengikat anggota

    masyarakatnya secara utuh. Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah

    asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.

    Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di

    Flores. Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang

    meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis

    Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage,

    Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka,

    29 Museografia: majalah ilmu permuseuman, op.cit.

  • 26

    Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok

    bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah), dan terakhir

    kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian

    selatan). Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal-usul

    genealogis dan budaya yang sama.30

    3. Religi

    Kristianitas, khususnya Katolik sudah dikenal penduduk pulau Flores

    sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di pulau Solor, kemudian

    pada tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk

    mendirikan misi permanen disana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz

    membangun sebuah benteng di pulau Solor dan Seminari di dekat kota Larantuka,

    perkembangan katolik yang begitu besar pada tahun 1577 sudah ada sekitar

    50.000 orang katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi

    migrasi besar-besaran penduduk Melayu kristen ke Larantuka ketika Portugis

    ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai

    mengenal kristianitas, dimulai dari pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur

    kemudian menyebar ke seluruh daratan pulau Flores dan pulau Timor, dengan

    demikian pulau Flores secara mayoritas penduduknya beragama Katolik.31

    Kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, walaupun

    demikian kehidupan keagamaan di pulau Flores memiliki pelbagai keunikan dan

    yang paling nampak adalah unsur budaya tradisional yang masih melekat hingga

    saat ini. Hidup beragama di pulau Flores sebagaimana nampak juga di berbagai

    30 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Orang Flores, op.cit, Makalah, hal. 1. 31 Ibid, hal, 2.

  • 27

    daerah lainnya di Nusantara, unsur-unsur kultural yakni pola tradisi asli warisan

    nenek moyang atau leluhur masih sangat melekat di dalam masyarakatnya. Unsur-

    unsur historis, yakni tradisi- tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut

    berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini merupakan bentuk

    dari sistem kebudayaan Flores sehingga menilai di beberapa tempat di Flores ada

    semacam percampuran yang aneh antara kristianitas dan kekafiran. 32

    Gambaran agama-agama di Flores secara umum dapat dilihat melalui tabel

    satu (1) dengan mendeskripsikan wujud tertinggi masyarakat pulau Flores, secara

    konkrit ingin menunjukkan bahwa masyarakat Flores memiliki tingkat

    kepercayaan tradisional yang cukup tinggi kepada dewa matahari, bulan, dan

    bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari

    pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidupnya dipercayai adanya bantuan

    dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman).33

    Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores

    NO KABUPETEN WUJUD TERTINGGI MAKNA

    1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

    Flores Timur Lembata Sikka Ende/Lio Ngadha Manggarai Nagekeo

    Lera Wulan Tanah Ekan Lera Wulan Tanah Ekan Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta Wula Leja Tana Watu Deva zeta-Nitu zale Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta Dewa Zeta-Gae Zale

    Matahari-Bulan-Bumi Matahari-Bulan-Bumi Bumi-Matahari-Bulan Bulan-Matahari-Bumi Langit-Bumi Tanah di bawah, langit di atas Penguasa Langit (Tuhan), Penguasa Bumi (leluhur)

    32 Ibid, hal. 3. 33 Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu

    dan Kini, Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, op.cit, hal. 40.

  • 28

    Masyarakat Flores selain mengenal adanya prinsip wujud tertinggi, juga

    memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, pada umumnya dilengkapi dengan

    altar pemujaannya yang khusus melambangkan hubungan antara alam manusia

    dengan alam ilahi, melalui tabel dua (2) ingin menunjukkan altar sebagai tempat

    upacara ritual orang Flores.34

    Tabel 2. Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores

    NO KABUPATEN NAMA TEMPAT KETERANGAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

    Flores Timur Lembata Sikka Ende/Lio Ngadha Manggarai Nagekeo

    Nuba Nara Nuba Nara Watu Make Watu Boo Vatu Leva - Vatu Meze Compang – Lodok Peo-Nabe

    Menhir dan Dolmen Menhir dan Dolmen Menhir dan Dolmen Dolmen Menhir dan Dolmen Menhir Dolmen

    4. Pola Perkampungan di Flores

    Desa-desa di Flores dulu biasanya dibangun di atas bukit untuk keperluan

    pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu, biasanya merupakan

    suatu lingkaran dengan tiga bagian depan, tengah dan belakang. 35

    Wilayah Nagekeo terdiri atas beberapa kampung-kampung, Kampung

    Olaewa merupakan kampung yang letaknya di sebuah kecamatan Boawae,

    letaknya persis dipinggir jalan. Wilayah Nagekeo merupakan wilayah yang di

    dalamnya dihuni oleh masyarakat yang masih memegang konsep tradisional,

    kondisi mata pencaharian masyarakatnya yang masih agraris serta konsep tempat

    tinggalnya dengan bentuk perkampungan yang membujur dari utara ke selatan,

    merupakan ciri dari masyarakatnya. Setiap kampung pada umumnya terdiri atas

    34 Yoseph Yapi Taum, op.cit, hal. 3 35 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, 1970, Djakarta: Penerbit

    Djambatan, hal. 188.

  • 29

    dua kelompok atau lebih, kampung Olaewa sendiri sistem politik tradisional

    karena itu mendasarkan kepemimpinannya pada tokoh klen, dan ada kepala klen

    atau suku yang menggunakan titel atau pun gelar dengan sebutan mosalaki, sistem

    pengaturan menjadi sangat jelas dalam setiap masyarakatnya, sehingga orang

    Dhuge dianggap sebagai pendahulu atau pernah berjasa di kampung sehingga

    statusnya menjadi sangat tinggi, di atas struktur semacam itu nampak kemudian

    muncul kekuasaan yang lebih tinggi, mencakup kampung-kampung. 36

    Peran ketua suku atau pemimpin kampung selalu memegang prinsip

    dengan apa yang dinamakan dengan mosa ulu laki eko, sehingga martabat

    kepemimpinan seorang pemimpin kampung tetap sangat dikendalikan oleh

    segmen masyarakat yang disebut fai walu ana halo atau janda dan yatim piatu.

    Pemimpin di Nagekeo maupun Kampung Olaewa adalah tokoh yang berjuang

    untuk memihak yang lemah dan tak berdaya.

    Para antropolog umumnya menggambarkan bahwa pembagian masyarakat

    ke dalam kelompok keturunan kakak (kae) dan kelompok keturunan adik (azi)

    serta kelompok rumah deretan timur (padhi mena) dan barat (padhi rale)

    hendaknya dipahami dalam suatu kerangka sistem dan struktur hirarkis seputar

    “rumah-rumah inti” (sa”o pu”u) yang berperan sentral dalam praktik aliansi

    perkawinan. 37

    Masyarakat Flores bagian tengah ini mengenal adanya kelompok pada

    ikatan genealogis, membagi masyarakatnya ke dalam tiga(3) tingkatan. Biasanya

    36 I Gede Parimartha, Perdagangan dan Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915 , Penerbit

    Djambatan, 2002, Jakarta, hal.77 37 P. Philipus Tule, SVD, op.cit, hal. 153.

  • 30

    orang pertama disebut ata kai38, orang ke dua disebut ata kisa39, dan orang ke tiga

    disebut ata ho’o40, susunan ini yang menyelimuti masyarakat.41

    B. Sejarah Nagekeo

    Pulau Flores dihuni oleh sekian banyak komunitas masyarakat yang

    tentunya memiliki bentuk kebudayaan yang berbeda. Nagekeo adalah kabupaten

    yang baru saja diresmikan oleh pemerintah Indonesia sebagai wilayah hasil dari

    pemekaran kabupaten induk yakni kabupaten Ngada. Masyarakat Kampung

    Olaewa misalnya, mereka adalah etnis Nagekeo, yang merupakan bagian dari

    masyarakat Ngadha dahulu sejarahnya pada tahun 1958 kabupaten Ngadha

    dibentuk dan membawahi atas beberapa wilayah gabungan antara lain wilayah eks

    kerajaan Nagekeo, eks kerajaan Bajawa, dan eks kerajaan Riung. Nama

    Kabupaten Ngada sebenarnya berasal dari kata “Ngadha”, masa pemerintahan

    kolonial oleh bangsa Belanda karena konsonan “dh” tidak dapat diucapkan

    dengan benar sebagaimana umumnya diucapan oleh masyarakat Ngadha,

    dipengaruhi pemerintahan kolonial masa itu maka perkembangan selanjutnya

    kebiasaan masyarakat akhirnya terpengaruh oleh Belanda sehingga menyebut

    Ngada tanpa menggunakan “dh” dan merubahnya dengan menggunakan konsonan

    ”d” maka kebiasaan dalam pengucapan kata Ngadha menjadi terbiasa sampai

    sekarang di dalam masyarakat, baik sebagai nama tempat maupun sebagai nama

    38 Ata kai merupakan susunan tertinggi yang ada dalam masyarakat, mereka -mereka

    adalah para tetua, tokoh adat atau turunan langsung dari cikal bakal atau penggagas sebuah perkampungan

    39 Ata kisa merupakan susunan kedua, mereka adalah orang-orang yang karena keterikatan dengan perkawinan, dianggap masyarakat biasa.

    40 Ata ho’o adalah masyarakat yang tingkatannya terendah, mereka-mereka adalah orang yang diberi tugas sebagai pekerja yang dipekerjakan untuk mengolah tanah dari ata kai.

    41 I Gede Parimartha, op.cit. hal. 78.

  • 31

    klan, selanjutnya menjadi wilayah administratif kabupaten yang dikenal sebagai

    Kabupaten Ngada.42

    Baru pada tanggal 8 Desember 2006, secara resmi DPR RI meresmikan

    pemekaran kabupaten Ngada menjadi Kabupaten Nagekeo, sehingga kampung

    Olaewa masuk dalam wilayah Kabupaten Nagekeo. Kampung Olaewa terletak di

    ibukota Kecamatan Boawae, desa Rigi Kabupaten Nagekeo. Sejak saat itu

    masyarakat dari eks kerajaan Nagekeo mulai resmi memiliki kabupaten sendiri

    sesuai peninggalan sejarah kerajaan Nagekeo yang letaknya di Kecamatan

    Boawae.

    Wilayah Nagekeo tepatnya di Kecamatan Boawae Kampung Boawae,

    masih meninggalkan bekas bangunan peninggalan kerajaan Nagekeo, sebagian

    bangunan peninggalan bersejarah ini sudah digunakan sebagai hotel dan sisa

    bangunan lain masih bisa dilihat seperti rumah maupun kampungnya. Kabupaten

    Nagekeo di bagi atas 7 (tujuh) wilayah administrasi pemerintahan tingkat

    kecamatan dan dua puluh (20) kelurahan dengan luas wilayah 1.386,63 km2 atau

    46,64% dari total luas wilayah Kabupaten Ngada. Wilayah kecamatannya meliputi

    Kecamatan Aesesa Selatan, Aesesa, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Nangaroro

    dan Keo tengah, sedangkan wilayah kelurahannya terdiri atas Rowa, Solo,

    Kelewae, Leguderu, Nagespadhi, Rigi, Olakile, Natanage, Nageoga, Wolopogo,

    Rega, Kelimado, Mulakoli, Wea Au, Raja, Wolowea, Ratongamobo, Dhereisa,

    Gerodhere, Nagerawe. Kecamatan Boawae terdapat adanya kampung tradisional

    diantaranya adalah Kampung Solo, Kampung Boawae, Kampung Olaewa,

    42 REBA: ritual budaya masyarakat Ngada, Biro Humas Setda Prov. NTT, 2005, hal. 7.

  • 32

    Kampung Natanage, Kampung Natalea, Kampung Raja, Kampung Gero,

    Kampung Dhereisa, Kampung Nunukae.

    C. Asal-Usul Masyarakat Kampung Olaewa

    1. Kondisi Sosial Masyarakat

    1.1 Orang Dhuge

    Orang Dhuge memiliki kampung yang sebenarnya pada awalnya bukan

    berada di Kampung Olaewa, masyarakatnya telah mengalami perkembangan,

    masyarakat ini hidupnya dahulu masih sangat nomaden, dilihat dari bukti

    artefactnya telah mengalami dua kali kepindahannya, tepatnya di bawah kaki

    gunung Ebulobo yang sangat tinggi terdapat kampung yang dikenal dengan

    Kampung Dhuge, yang kemudian karena terjadi sesuatu maka masyarakatnya

    pindah di Kampung Nagemi dan pada akhirnya pada tahun 1981 inilah

    masyarakat menempati perkampungan yang diberi nama dengan Kampung

    Olaewa

    1.2. Latar Belakang

    Kampung Olaewa sangat kental dengan budaya tradisional.

    Masyarakatnya masih sangat menghormati leluhur atau nenek moyangnya.

    Masyarakat Kampung Olaewa dalam arti luas sering disebut sebagai masyarakat

    Nagekeo, menyebut istilah nenek moyang atau leluhur adalah gae zale,

    masyarakat Kampung Olaewa sangat mempercayai akan keagungan dan

    kekuasaan penguasa yang lebih tinggi yakni dewa agung atau sering mereka

    menyebut dengan dewa zeta atau Tuhan. Dewa Zeta dan Gae Zale merupakan

  • 33

    kekuatan besar, yang mampu membawa mereka ke dalam dunia spiritualitas

    dalam kehidupan sehari-harinya.

    Masyarakat kampung Olaewa ditempati beberapa suku, satu dan lainnya

    saling menghormati, ada beberapa suku antara lain: suku Dhuge, suku Boa, suku

    Saga Enge, suku Dobe, suku Gawi, suku Tegu, suku Sodha, suku Nage Wae.

    Masyarakat Olaewa memiliki tingkatan-tingkatan dalam kehidupan

    sosialnya, tingkatan yang dimaksud :

    a. Tingkatan Gae atau Ata Kai

    Secara harafiahnya “gae” berarti di atas. Tingkatan gae merupakan

    pelapisan sosial yang paling tinggi dan paling tua. Golongan tingkat ini biasanya

    berasal dari keturunan bangsawan atau berdarah biru sehingga mendapatkan

    tempat yang sangat istimewa dalam kehidupan sosial. Fungsionaris adat atau

    tokoh adat dan pemimpin adat selalu berasal dari pelapisan sosial ini. Masyarakat

    biasanya menyebut dengan istilah ”Mosalaki”. Mosalaki terdiri atas 2 (dua) suku

    kata, yakni mosa yang berarti kuasa, dan laki (pria). Dengan kata kain, mosalaki

    menunjuk pada seorang pria yang memiliki pandangan luas dan terkemuka dalam

    sebuah klan dan bersama anggota lainnya turut menentukan nasib klannya.

    Ada dua kriteria yang harus dimiliki seorang mosalaki. Pertama, ia adalah

    keturunan orang yang karena sesuatu dan lain hal pernah berjasa terhadap

    daerahnya. Kedua, ia harus memiliki keterampilan tertentu, selalu cepat dalam

    setiap usahanya dan pandai mengatur segala hal dan cerdas. Pentingnya kriteria di

    atas tidak terlepas dari kedudukan mosalaki, seorang pemimpin adat tertinggi di

    suatu wilayah. Mosalaki memiliki wewenang memelihara tata adat dan menuntut

    kesetian terhadap adat, apabila terjadi kasus-kasus yang cukup serius menyangkut

  • 34

    adat, maka mosalaki harus mampu menyelesaikan permasalahan dengan arif dan

    penuh tanggung jawab, selain beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan,

    sebagai mosalaki juga memiliki hak-hak yang diakui adat istiadat. Pada upacara-

    upacara adat misalnya, pihak mosalaki selalu memimpin tata laksana inti.

    b. Tingkatan Kuju Noe Walu Halo atau Ata Kisa

    Tingkatan ini merupakan tingkatan kedua dalam struktur sosial

    masyarakat. Orang-orang yang termasuk di dalam tingkatan atau lapisan sosial ini

    adalah mereka-mereka yang berasal dari lapisan bawah atau yang disebut rakyat

    biasa, yang termasuk kelompok ini adalah janda, ya tim piatu, dan orang miskin.

    Posisi politik dan ekonomi mereka tergolong lemah.

    Mereka bekerja untuk kepentingan bangsawan dan dianggap sebagai

    anggota keluarga. Masyarakat Olaewa khususnya, menyebut golongan ini sebagai

    lapisan sosial azi ana. Mereka tidak diperlakukan sebagai budak karena mereka

    juga berdarah bangsawan. Mereka boleh saja kehilangan harta benda dan

    kekuasaan tetapi tidak kehilangan darah kebangsawanannya. Meskipun demikian,

    hak-hak serta kewajiban mereka terbatas. Mereka boleh hidup dan tinggal

    bersama kaum bangsawan sampai akhir hayatnya.

    c. Tingkatan Ata Hoo

    Lapisan sosial yang terakhir adalah tingkatan ata hoo. Hoo adalah lapisan

    sosial masyarakat yang paling rendah. Hoo diartikan sebagai para hamba atau

    budak. Budak sangat dibatasi aturan, tidak memiliki hak terutama dalam urusan

    yang berkaitan dengan kepentingan keluarga atau sukunya. Golongan ini hanya

    menjalankan tugasnya sesuai yang diperintahkan oleh tuannya.

  • 35

    Dalam masyarakat dikenal istilah ana sao, yang artinya pesuruh yang

    dilindungi dan melakukan pekerjaan yang berat. Berdasarkan tingkatan di atas,

    anak sao dapat dikategorikan pada tingkatan hoo.

    1.3. Sistem Kekerabatan

    Sistem kekerabatan masyarakat Kecamatan Boawae umumnya dibedakan

    atas dua:

    a. Kekerabatan dalam keluarga inti

    Pusat sistem kekerabatan adalah keluarga, baik keluarga inti yang terdiri

    atas ayah, ibu dan anak-anak, maupun keluarga yang sangat luas, yang terdiri atas

    keluarga inti ditambah kakek, nenek, paman, bibi, para saudara sepupu kandung

    maupun tidak kandung, dan kemenakan. Konsep kekerabatan pada masyarakat

    berdasarkan darah terdekat, yaitu keluarga inti yang mempunyai hubungan yang

    tak terpisahkan satu sama lainnya. Hubungan antara anak dan orang tua biasa

    disebut ana ame. Pada saat upacara perkawinan masyarakat Boawae selalu

    diawali pembacaan sejarah nenek moyang. Perkawinan tidak dapat dilakukan di

    antara saudara terdekat pada lapisan tertentu.

    b. Kekerabatan dalam klan

    Masyarakat Boawae, hubungan kemargaan atau klan disebut woe atau

    suku. Woe adalah kumpulan dari ili woe atau keturunan lurus dari ayah, kae azi

    zeta sao atau kakak adik kandung dalam rumah, sedangkan woe adalah kerabat

    yang berasal dari keturunan leluhur atau gae zale yang sama dalam satu garis

    keturunan lelaki saja. Anggota woe biasanya tidak saling kenal, sehingga pada

    saat-saat upacara pernikahan, selalu ada pembacaan sejarah, ada tanda khusus

    sebagai tanda pengenal, yang umumnya memakai simbol-simbol seperti nama,

  • 36

    lagu-lagu, dongeng - dongeng suci, dan lambang khusus bagi masyarakat Olaewa

    ialah sao waja, nabe, peo, tanah kampung, patung Bue Coo, Anak Deo.

    2. Sejarah Masyarakat Kampung Olaewa

    Sejarah kampung dari kedua suku pendiri dari kelompok masyarakat yakni

    suku Dhuge dan suku Boa mengalami dua kali perpindahan, awalnya mereka

    bertempat tinggal di kampung Dhuge lalu kemudian berpindah ke Kampung

    Nagemi dan pada akhirnya sekarang mereka bertempat di kampung Olaewa.

    Konon menurut cerita dari salah seorang tokoh masyarakat bahwa kepindahan

    kampung yang pertama dari Dhuge ke Nagemi konon perpindahan disebabkan

    oleh alam yang sudah tidak bersahabat.43 Biasanya tanda-tanda tadi berupa luja

    gedho44, piko kono45, konon ceritanya juga bahwa apabila tanda-tanda ini muncul

    di dalam kampung, sangat dilarang bagi masyarakat untuk menepis beras.

    Menurut cerita yang berkembang ditengah masyarakat karena alam yang sudah

    tidak bersahabat, karenanya Peo konon dibakar oleh masyarakat sebagai akibat

    dari alam yang dianggap sudah tidak bersahabat.

    Kampung Dhuge bisa dilihat bangunan megalithnya yang masih tertinggal

    dan batu-batu sebagai tempat untuk sarana ritual. Kepindahan kampung ini sulit

    dilacak kapan waktunya, karenanya melalui bentuk bangunan megalith

    peninggalan masa lalu sedikit demi sedikit mengetahui pola kehidupan

    masyarakatnya.

    43 Wawancara dengan bapak Blasius Lewa Gizi selaku tokoh masyarakat pada tanggal 06-

    03-2007. 44 Luja Gedho merupakan sejenis ulat yang sangat langka, yang tidak sembarang muncul.

    Ketika ular ini muncul dari persembunyiannya ulat-ulat ini akan berbarengan muncul dan membentuk barisan yang memanjang bisa bermeter-meter panjangnya dan tidak putus.

    45 Piko Kono adalah seekor burung puyuh yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat, yang apabila burung tersebut masuk kedalam kampung sebagai pertanda akan terjadi musibah.

  • 37

    Pada tahun 1981, pindahnya kampung bisa dilacak ketika masyarakat dari

    Kampung Nagemi pindah ke Kampung Olaewa yang pada saat itu gubernur Band

    Mboi yang meresmikan kampung menjadi kampung Olaewa.

    D. Letak Wilayah Kampung Olaewa

    Letak Kampung Olaewa Kecamatan Boawae yang merupakan bagian dari

    wilayah Kabupaten Ngada (sebelum pembentukan Kabupaten Nagekeo) yang

    terletak di sebelah timur kota Bajawa (ibukota Kabupaten Ngada) dengan jarak +

    42 km. Kabupaten Ngada dihuni warga dari beberapa suku bangsa seperti suku

    Ngada, Nagekeo, kelompok sosial Maung, kelompok etnis Riung, dan kelompok

    sosial Rongga. Kecamatan Boawae terdiri atas 13 (tigabelas) desa dan tujuh (7)

    kelurahan, dengan rinciannya sebagai berikut :

    a. Berstatus Desa :

    Desa Rowa, Solo, Kelewae, Leguderu, Rigi, Kelimado, Mulakoli, Wea

    Au, Raja, Wolowea, Gerodhere, Dhereisa, dan Nagerawe

    b. Berstatus Kelurahan :

    Kelurahan Olakile, Natanage, Nageoga, Wolopogo, Rega, Nagesapadhi,

    dan Ratongamobo.

    Secara geografis, Kabupaten Nagekeo terletak pada posisi 8o Lintang

    Utara dan 9o Lintang Selatan, 120o,45’-121o,50’ Bujur Timur. Kecamatan Boawae

    terletak pada posisi yang sangat strategis yakni pada jalan lintas Flores, sehingga

    sangat memudahkan arus transportasi dari dan menuju wilayah Flores bagian

    timur maupun bagian barat. Batasan-batasan wilayah Kecamatan Boawae :

  • 38

    - sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Aesesa

    - sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mauponggo.

    -.sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Nangaroro.

    - sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ngada.

    Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan banyak tersebar di wilayah

    Kabupaten Ngada, khususnya kampung-kampung tradisional, begitu pun dengan

    Kampung Olaewa peninggalan sejarah dan ke purbakalaan masih sangat tertata

    dan masih sebagai living monument dalam kehidupan masyarakat setempat.

    Upacara-upacara adat masih sampai detik ini, selalu dihubungkan dengan

    monumen yang ada, seperti ketika melaksanakan upacara-upacara adat yang ada

    di kampung ini seperti Ritual Etu, berburu atau Toa Lako.

    Olaewa merupakan salah satu kampung di Kecamatan Boawae, yang

    masuk wilayah administrasi desa Rigi. Kampung Olaewa yang merupakan bagian

    wilayah Kecamatan Boawae, berbatasan dengan perbukitan-perbukitan dan

    lembah- lembah. Jarak kampung Olaewa ke pusat kota Kecamatan Boawae kurang

    lebih 8 km. Letak Kampung Olaewa berdekatan dengan jalan besar (jalur lintas

    utama) penghubung antara wilayah Flores bagian timur dan bagian barat.

    Kampung Olaewa sendiri memiliki batasan-batasan wilayah

    administratifnya sebagai berikut :

    - sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Gako dan Leguderu.

    - sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Rigi.

    - sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Toeteda.

    - sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Solo.

  • 39

    E. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa

    1. Kondisi Topografi

    Wilayah Boawae beriklim tropis dengan dua musim yang selalu bergantian

    yaitu musim barat yang membawa hujan, dan musim timur yang membawa

    kemarau (kekeringan). Musim hujan biasanya dimulai bulan Oktober sampai

    April sedangkan musim panas (kemarau) mulai bulan Mei sampai September.

    Suhu rata-rata wilayah Kecamatan Boawae berkisar antara 24o sampai 34o. Batas

    tertinggi suhu pada musim kemarau adalah 34o.

    Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa Kecamatan Boawae mengalami musim

    kemarau selama 5 (lima) bulan yaitu Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober.

    Tabel 3 Curah Hujan di Kecamatan Boawae 2005

    Sumber: Kantor Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo

    Bulan Curah Hujan(mm) Hari Hujan(Hari)

    (1) (2) (3) 1. Januari 240.50 16

    2. Pebruari 265.50 11

    3. Maret 275.50 14

    4. April 104.50 9

    5. Mei - -

    6. Juni - -

    7. Juli - -

    8. Agutus 54.50 2

    9. September - -

    10. Oktober 104.00 5

    11. November 50.50 3

    12. Desember 465.00 19

    Rata-Rata 195 10

  • 40

    Data tabel di atas memakai data 2005, dengan alasan karena kondisi iklim

    dan cuaca belum mengalami perubahan yang signifikan. Tanah di wilayah

    Boawae tergolong sangat subur karena faktor struktur tanah yang terdiri atas tanah

    hitam (vulkanis muda) dan tanah berkapur. Dengan adanya tanah vulkanis muda

    maka tanah di daerah Kecamatan Boawae sanga t baik untuk lahan pertanian baik

    pertanian tanah kering maupun tanah basah (sawah). Ketinggian dari permukaan

    laut merupakan salah satu faktor yang menentukan jenis kegiatan penduduk dan

    jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah tersebut.

    2. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa

    Pemenuhan tingkat kebutuhan hidup masyarakat di kampung Olaewa

    sebagian besar masih bergantung pada sistem pertanian, perkebunan, dan juga

    sudah ada yang beternak. Penjelasan di awal, dikatakan bahwa segala aspek

    pemenuhan kebutuhan hidupnya masyarakat di Kampung Olaewa tidak bisa

    melepaskan dengan tanah, tanah menjadi sumber penghidupan. Kondisi saat

    masyarakat masih di kampung lama, dulunya m