prosiding - p3sekpipuspijak.org/uploads/fcpf/prosiding/prosidingreviewregulasidisekt... · 2011...
TRANSCRIPT
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN, KEMENTERIAN KEHUTANANDAN
FOREST CARBON PARTNERSHIP FACILITY
Jakarta, Desember 2011
(STAKEHOLDER PROCESS TO REVIEW REGULATORY FRAMEWORK IN LAND-BASE SECTOR RELATING TO REDD+)
Prosiding
(Standardisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim)Gedung Manggala Wanabakti
E-mail: [email protected] atau [email protected]
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN
Jalan Gatot Subroto Blok VII Lt. 8 Jakarta 10270 Telp/Fax: 021-5733433
Komite Akreditasi Nasional
Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu
PERTEMUAN STAKEHOLDER
FORESTCARBONPARTNERSHIPF A C I L I T Y
di Beberapa SektorBerbasis Lahan Terkait Dengan REDD+
di Beberapa SektorBerbasis Lahan Terkait Dengan REDD+
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN, KEMENTERIAN KEHUTANANDAN
FOREST CARBON PARTNERSHIP FACILITY
Jakarta, Desember 2011
(STAKEHOLDER PROCESS TO REVIEW REGULATORY FRAMEWORK IN LAND-BASE SECTOR RELATING TO REDD+)
ProsidingPERTEMUAN STAKEHOLDER
Review Regulasi
di Beberapa SektorBerbasis Lahan Terkait Dengan REDD+
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN, KEMENTERIAN KEHUTANANDAN
FOREST CARBON PARTNERSHIP FACILITY
Jakarta, Desember 2011
(STAKEHOLDER PROCESS TO REVIEW REGULATORY FRAMEWORK IN LAND-BASE SECTOR RELATING TO REDD+)
ProsidingPERTEMUAN STAKEHOLDER
Review Regulasi
di Beberapa SektorBerbasis Lahan Terkait Dengan REDD+
Penyusun:
Tim Bidang Perubahan Iklim Pusat Standardisasi dan Lingkungan1. Novia Widyaningtyas, S.Hut, M.Sc2. Yayan Hadiyan, S.Hut, M.Sc3. Haryo Pambudi, S.Hut, M.Sc4. Dinik Indrihastuti, S.Hut5. Windyo Laksono, S.Hut6. Erna Rosita, S.Hut
Editor:
Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc
Cover Sampul: Pustanling
ISBN: 978-602-98670-3-9
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak Prosiding ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan men-cantumkan sumbernya sebagai berikut:
Pusat Standardisasi dan Lingkungan (2011). PERTEMUAN STAKEHOLDER DALAM RANGKA REVIEW REGULASI DI BEBERAPA SEKTOR BERBASIS LAHAN TERKAIT DENGAN REDD+, Jakarta Desember 2011.Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal, Kementerian Kehutanan.
Diterbitkan oleh:
Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kementerian KehutananJl. Gatot Subroto, Gd. Manggala Wanabakti Blok VII Lt.8Jakarta, 10270, Indonesia.Telp/Fax: +62-21-5733433Email: [email protected]; [email protected]
ii
Keputusan COP-16 mengamanatkan negara yang akan melaksanakan REDD+ untuk menyiapkan beberapa infrastruktur REDD+ termasuk didalamnya kebijakan untuk menangani akar masalah deforestasi dan degradasi. Kerangka kebijakan dan regulasi terkait penanganan akar masalah deforestasi dan degradasi diperlukan dalam mendukung keberhasilan implementasi REDD+, seperti halnya infrastruktur REDD+ lainnya yaitu pembangunan Reference Emission Level/Reference Level (REL/RL), Sistem MRV, instrumen safeguards dan instrumen pendanaan serta distribusi insentif dan tanggung jawab.
Guna memberikan kontribusi dalam penyiapan kerangka kebijakan untuk implementasi REDD+ maka dilakukan pertemuan stakeholder sebagai bagian dari proses review regulasi yang telah ada terkait “REDD+” dan dalam cakupan yang lebih luas “Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Berbasis Lahan”. Pertemuan stakeholder tersebut dilakukan dengan pendanaan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) di bawah kerangka kegiatan “Stakeholder Process to Review Regulatory Framework and Formulate an Inteprated REDD+ Regulation”. Pertemuan stakeholder tahun 2011 dilakukan dalam dua seri, pertama membahas tentang “Penanganan Akar Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan” pada tanggal 23 Desember 2011 dan kedua membahas tentang “Regulasi Terkait REDD+, Tata Ruang, dan Kebijakan Pengembangan Energi” pada tanggal 28 Desember 2011.
Prosiding ini merupakan dokumentasi pelaksanaan 2 (dua) pertemuan di atas mencakup informasi tentang permasalahan “existing regulasi” terkait, permasalahan dan kendala yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan dan regulasi dimaksud beserta pandangan, harapan dan rekomendasi yang terhimpun dari acara tersebut. Dengan disusunnya prosiding ini diharapkan informasi tentang pertemuan tersebut dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kerangka kebijakan dan regulasi untuk mendukung keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia.
Atas terselenggaranya pertemuan stakeholder serta tersusunnya prosiding ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusinya.
Semoga prosiding ini bermanfaat.
Jakarta, Desember 2011
Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan,
Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. NIP. 19580108 198603 2 002
Kata Pengantar
iiiPROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Daftar IsiKata Pengantar ....................................................... iii
Daftar Isi .................................................................. v
Daftar Singkatan .................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................11.2 Tujuan ............................................11.3 Hasil yang Diharapkan ......................11.4 Peserta ............................................11.5 Format/Pengorganisasian Pertemuan ...2
BAB 2 PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 23 DESEM-BER 2011 ..................................................... 3
2.1 Agenda ............................................32.2 Sambutan Sekretaris Jenderal Kemente-
rian Kehutanan ................................32.3 Catatan Penyelenggaraan Pertemuan ...4
BAB 3 PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 28 DESEM-BER 2011 ..................................................... 9
3.1 AGENDA ..........................................93.2 Sambutan Sekretaris Jenderal Kemente-
rian Kehutanan ................................93.3 Catatan Penyelenggaraan Pertemuan .10
vPROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Daftar SingkatanAMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkun-
gan
AMAN : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
APHI : Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia
APL : Areal Penggunaan Lain
A/R CDM : Afforestation and Reforestation Clean Development Mechanism
Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Na-sional
BBN : Bahan Bakar Nabati
BFCP : Berau Forest Carbon Project
BKTRN : Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
BLH : Badan Lingkungan Hidup
BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
BUHA : Bina Usaha Hutan Alam
CCS : Carbon Capture and Storage
CDM : Clean Development Mechanism
CER : Carbon and Environmental Research
CO2 : Karbon Dioksida
COP : Conference of the Parties
CSR : Corporate Social Responsibility
DA : Demonstration Activity
DAS : Daerah Aliran Sungai
DD : Deforestation and Forest Degradation
DISHUT : Dinas Kehutanan
DITJEN : Direktorat Jenderal
DKN : Dewan Kehutanan Nasional
DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DR : Dana Reboisasi
EBT : Energi Baru Terbarukan
ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
FGD : Focus Group Discussion
FKKM : Forum Komunikasi Kehutanan Ma-syarakat
GER : Global Eco Rescue
GERHAN : Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
GHG : Green House Gasses
GRK : Gas Rumah Kaca
HCVF : High Conservation Value Forests
HPH : Hak Pengusahaan Hutan
HTI : Hutan Tanaman Industri
HTR : Hutan Tanaman Rakyat
ICCTF : Indonesia Climate Change Trust Fund
ICEL : Indonesian Center for Environmental Law
IFACS : International Fine Art Conservation Studios
IHMB : Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala
IUPHHK : Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu
IUPJL : Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkun-gan
IUPAN : Izin Usaha Pemanfaatan Penyimpanan
IUPRAP : Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan
JICA : Japan International Cooperation Agen-cy
KOICA : Korea International Cooperation Agency
KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan
Litbang : Penelitian dan Pengembangan
viiPROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
LEI : Lembaga Ekolabel Indonesia
LULUCF : Land Use, Land Use Change, and For-estry
MFP : Multistakholder Forestry Programme
MIFEE : Merauke Integrated Food and Energy Estate
NGO : Non Governmental Organization
NKRI : Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia
OBIT : One Billion Indonesian Trees
Permenhut : Peraturan Menteri Kehutanan
Perpres : Peraturan Presiden
PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
PJLKKHL : Pemanfaatan Jasa Lingkungan Ka-wasan Konservasi dan Hutan Lindung
POKJA : Kelompok Kerja
PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil
PR : Penataan Ruang
PUSPIJAK : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
PUSTANLING : Pusat Standardisasi dan Lingkungan
RAN MAPI : Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
REDD : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation
REffBun : Reducing Emission from Fossil Fuel Burning
RIL : Reduced Impact Logging
RTH : Ruang Terbuka Hijau
RTR : Rencana Tata Ruang
RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah
RTRWN : Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Satgas : Satuan Tugas
SBSTA : Subsidiary Body on Scientific and Tech-nological Advice
SFM : Sustainable Forest Management
SILIN : Silvikultur Intensif
SPM : Standar Pelayanan Mineral
SVLK : Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
STRANAS : Strategi Nasional
TN : Taman Nasional
TNC : The Nature Conservancy
TPTI : Tebang Pilih Tanam Indonesia
TPTJ : Tebang Pilih Tanam jalur
UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change
UNMUL : Universitas Mulawarman
UNRI : Universitas Riau
USAID : United States Agency for International Development
WWF : World Wildlife Fund
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu aspek penting dalam pembangunan REDD+ adalah terbentuknya regulasi yang dapat mencakup pelaksanaan pada tingkat nasional dan sub nasional dengan melibatkan seluruh komponen yang terintegrasi. Sampai saat ini para pemangku kepentingan merasa masih kurangnya regulasi yang dapat mendukung dan meningkatkan daya dorong bagi pembangunan REDD+, termasuk untuk penanganan akar masalah deforestasi dan degradasi hutan. Meskipun telah banyak hasil kajian tentang hal tersebut, namun faktanya sangat sulit untuk menangani isu penyebab deforestatsi dan degradasi hutan dalam REDD+ tersebut.
Sebagai bagian dari upaya memberikan kontribusi terkait penyiapan kerangka kebijakan untuk implementasi REDD+, Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) – Kementerian Kehutanan dengan dukungan dari Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), telah menyelenggarakan pertemuan stakeholder dalam rangka Kajian Kerangka Kebijakan dan Formulasi Regulasi REDD+ yang Terintegrasi, yang dalam kesempatan ini khususnya diarahkan untuk membahas regulasi yang terkait dengan isu deforestasi dan degradasi hutan dan penanganannya serta regulasi/kebijakan di beberapa sektor berbasis lahan yang akan mempengaruhi keberhasilan implementasi REDD+. Pertemuan ini diselenggarakan sebagai sarana dialog untuk mencari solusi permasalahan tersebut di atas, dan juga untuk mengidentifikasi peran yang harus dilakukan oleh ke-empat pilar tata kelola (pemerintah, swasta, civil society, dan akademia) untuk penanganan isu penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan konsistensi kebijakan antar sektor terkait sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan REDD+.
1.2 Tujuan1. Mendiskusikan status kerangka kebijakan dan
regulasi di Indonesia, khususnya dalam rangka meng-address penyebab deforestasi dan degradasi hutan, dan konsistensi kebijakan antar sektor terkait yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia,
2. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala yang mempengaruhi efektivitas kebijakan dan regulasi yang terkait dengan penyebab deforestasi dan degradasi hutan, serta mengidentifikasi peran yang harus dilakukan oleh ke-empat pilar tata kelola, dalam rangka mencari solusi permasalahan tersebut.
1.3 Hasil yang Diharapkan1. Diketahuinya status kerangka kebijakan dan
regulasi di Indonesia, khususnya dalam rangka meng-address isu penyebab deforestasi dan degradasi hutan, dan konsistensi kebijakan antar sektor terkait yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia,
2. Teridentifikasinya permasalahan dan kendala yang mempengaruhi efektivitas kebijakan dan regulasi yang terkait dengan isu penyebab deforestasi dan degradasi hutan, serta mengidentifikasi peran yang harus dilakukan oleh ke-empat pilar tata kelola, dalam rangka mencari solusi permasalahan tersebut.
1.4 Peserta
Pertemuan stakeholder pertama diselenggarakan selama 1 (satu) hari di Ruang Rimbawan I, Gedung Manggala Wanabakti pada hari Jumat tanggal 23 Desember 2011. Pertemuan diikuti 50 (lima puluh) orang yang merupakan perwakilan dari Instansi pemerintah Pusat dan Daerah, NGOs dan organisasi terkait, lembaga penelitian dan swasta. Pertemuan kedua dilaksanakan di Ruang Rimbawan I, Gedung
1PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Manggala Wanabakti, selama 1 (satu) hari, pada hari Rabu tanggal 28 Desember 2011. Pertemuan diikuti 70 (tujuh puluh) orang yang merupakan perwakilan dari instansi pemerintah pusat dan daerah, NGO dan organisasi terkait, lembaga penelitian, dan swasta.
1.5 Format/Pengorganisasian Pertemuan
Pertemuan stakeholder pertama pada tanggal 23 Desember 2011 diselenggarakan dengan format sebagai berikut:
1. Pembukaan oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan
2. Presentasi kunci dengan topik “Penanganan Akar Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia”, oleh Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc (The Nature Conservancy)
3. Diskusi kelompok (diawali dengan penjelasan oleh Kepala Pustanling), dimana peserta akan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok
4. Presentasi hasil diskusi kelompok
5. Penutupan.
Sedangkan pertemuan kedua pada tanggal 28 Desember 2011 diselenggarakan dengan format presentasi dan diskusi yang menyajikan materi sebagai berikut:
1. Pembukaan oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan
2. Presentasi 3 (tiga) materi yaitu: a. Review Peraturan Perundang-Undangan
terkait REDD + oleh Dr. Suhaeri (Kementerian Kehutanan),
b. Sosialisasi Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang oleh Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP (Kementerian Pekerjaan Umum) dan
c. Kesiapan peraturan perundangan untuk Mitigasi Perubahan Iklim terkait tata Guna Lahan subsektor Energi Terbarukan-Bio Energi oleh Ir. Maritje Hutapea, MM (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral).
3. Diskusi dengan moderator Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc.
4. Penutupan.
PENDAHULUAN 2
BAB 2
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 23 DESEMBER 2011
2.1 Agenda
Waktu Kegiatan
Penanggung Jawab/Pembicara
12.30 – 13.30 Registrasi dan makan siang Panitia
13.30 – 13.35 Laporan Panitia MC
13.35 – 13.50 Sambutan dan Pembukaan Sekretaris Jenderal Kemenhut
13.50 – 14.35 Presentasi ”Penanganan Akar Masalah De-
forestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia”
Bp. Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc
14.35 – 14.45 Penjelasan Diskusi Kelompok Kepala Pustanling
14.45 – 15.00 Coffee Break
15.00 – 17.00 Focus Group Discussion (FGD) Fasilitator :
1. M. Farid (DNPI)
2. Iwan Wibisono (WWF)
17.00 – 17.30 Presentasi Hasil Diskusi Kelompok
17.30 – 17.35 Penutupan Kepala Pustanling
2.2 Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Assalamu’alaikum Warohmatullohiwabarokatuh,
Selamat pagi dan selamat datang,
Yth. Para Tamu Undangan dan Para Peserta Workshop
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul di sini untuk mengikuti “Pertemuan Stakeholder dalam Rangka Kajian Kerangka Kebijakan dan Formulasi Regulasi REDD+ yang Terintegrasi Terkait Isu Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan”.
Hadirin yang saya hormati,
Dalam salah satu keputusan COP-17 di Durban, UNFCCC telah mengamanatkan kepada negara pihak
melalui SBSTA untuk melaksanakan kajian lebih dalam mengenai penanganan perubahan iklim di bidang kehutanan terutama REDD+ dan penanganan penyebab masalah deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai peran penting dalam pengembangan dan kesiapan menuju implementasi REDD+ di masa datang.
Salah satu aspek penting dalam pembangunan REDD+ adalah terbentuknya regulasi yang dapat mencakup pelaksanaan pada tingkat nasional dan sub nasional dengan melibatkan seluruh komponen yang terintegrasi. Sampai saat ini para pemangku kepentingan merasa bahwa regulasi yang dapat mendukung dan meningkatkan daya dorong bagi pembangunan REDD+ masih kurang, termasuk regulasi untuk penanganan akar masalah deforestasi dan degradasi hutan. Meskipun telah banyak hasil kajian tentang hal tersebut, namun faktanya sangat
3PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
sulit untuk menangani isu penyebab deforestasi dan degradasi hutan dalam REDD+ tersebut.
Hadirin yang berbahagia,
Dalam rangka mencari solusi terhadap permasalahan inilah, Pusat Standardisasi dan Lingkungan dengan dukungan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), pada hari ini melaksanakan pertemuan dalam rangka mendiskusikan status kerangka kebijakan dan regulasi di Indonesia, khususnya dalam rangka meng-address penyebab deforestasi dan degradasi hutan, yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia dan mengidentifikasi permasalahan dan kendala yang mempengaruhi efektivitas kebijakan dan regulasi yang terkait dengan penyebab deforestasi dan degradasi hutan, serta mengidentifikasi peran yang harus dilakukan oleh ke-empat pilar tata kelola, dalam rangka mencari solusi permasalahan tersebut.
Dengan demikian dapat diketahui status kerangka kebijakan dan regulasi yang meng-address isu penyebab deforestasi dan degradasi hutan, yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia dan teridentifikasinya permasalahan dan kendala yang mempengaruhi efektivitas kebijakan dan regulasi tersebut serta peran yang harus dilakukan oleh ke-empat pilar tata kelola, dalam rangka mencari solusi permasalahan tersebut.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih, selamat berdiskusi, semoga pertemuan ini bermanfaat, dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim, “Pertemuan Stakeholder dalam Rangka Kajian Kerangka Kebijakan dan Formulasi Regulasi REDD+ yang Terintegrasi Terkait Isu Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan” secara resmi dibuka.
Wabillahittaufiq Walhidayah, Wassalamualaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh.
Sekretaris Jenderal
Dr. Ir. Hadi Daryanto, D.E.A.
2.3 Catatan Penyelenggaraan Pertemuan
2.3.1 Ringkasan
Salah satu aspek penting dalam pembangunan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) adalah terbentuknya regulasi yang dapat mencakup pelaksanaan pada tingkat nasional dan sub nasional, dengan melibatkan seluruh stakeholder kehutanan yang terintegrasi. Namun demikian, dalam implementasinya para pemangku kepentingan merasa regulasi tersebut masih kurang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik, salah satu diantaranya belum mencakup penanganan isu penyebab deforestasi dan degradasi hutan. Dalam rangka mencari solusi terhadap permasalahan inilah Pusat Standardisasi dan Lingkungan dengan dukungan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), telah melaksanakan pertemuan stakeholder dengan tema “Kajian Kerangka Kebijakan dan Formulasi Regulasi REDD+ yang Terintegrasi terkait Isu Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan”.
Pertemuan menghasilkan beberapa poin penting yaitu pemahaman terkait penanganan drivers of deforestation and forest degradation (DD) yang kurang menyeluruh, beberapa kebijakan dipandang kurang didukung oleh data yang reliable, implementasinya belum terkoordinasi dengan optimal serta kurangnya law enforcement. Untuk mendorong agar regulasi terkait penanganan DD memadai diperlukan policy alignment antar sektor dan payung hukum perubahan iklim. Regulasi terkait penanganan DD dianggap tidak efektif dikarenakan beberapa hal sebagai berikut : Permenhut tentang DD belum semua memiliki petunjuk pelaksanaan atau turunan aturan yang memadai, kurang terpadunya kerangka regulasi yang berlaku, belum adanya framework peraturan yang mengakomodir perbedaan tipe DD (planned dan unplanned) serta masih adanya pihak-pihak yang mengggunakan kawasan hutan sebagai alat/sumberdaya politik. Beberapa regulasi terkait perlu dipertimbangkan untuk dikaji ulang (review) adalah : (i) UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 19, 38, dan 78; (ii) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Pasal 9; (iii) PP No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 4 jo Pasal
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 23 DESEMBER 2011 4
16 dan Pasal 5; (iii) Peraturan Menteri Kehutanan No. P.31/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dalam rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan Pasal 3; (iv) Permenhut No. P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan; (v) Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan; dan (vi) Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perijinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung.
2.3.2 Presentasi
Sesi presentasi dipimpin oleh Dr.Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan), dengan menampilkan paparan dengan judul “Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia dan Upaya Penanganan Akar Masalah” oleh Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc. (TNC).
Berdasarkan data dari Second National Communication (SNC) tahun 2009 dapat diketahui bahwa sumber emisi Indonesia didominasi oleh sektor Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF) sebanyak 46% dari total emisi, sedangkan sektor energi yang menduduki peringkat ke-2 hanya berkontribusi sebesar 24%. Sektor industri sendiri hanya menyumbang sekitar 2%, yang menjadikannya sebagai penyumbang emisi terkecil dari total emisi di Indonesia.
Secara lebih rinci pada sektor LULUCF diketahui bahwa tingkat deforestasi di seluruh Indonesia meningkat dari periode 1996 – 2000 dan mencapai puncaknya pada periode 2000 – 2003 dengan angka 3,51 juta Ha/tahun. Namun seiring dengan berjalannya waktu yang juga selaras dengan perbaikan pengelolaan hutan, angka tersebut mengalami penurunan menjadi 1,08 juta Ha/tahun pada periode 2003 – 2006, meskipun terdapat kecenderungan naik hingga 1,17 juta Ha/tahun.
Pada dasarnya sektor kehutanan sangat diperlukan untuk membantu keseimbangan karbon global. Hal tersebut dikarenakan isu deforestasi dan degradasi hutan berkontribusi 20% terhadap emisi yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang.
Sementara itu 80% sisanya disumbangkan oleh aktivitas pembakaran Bahan Bakar Minyak (BBM). Oleh karena itu, diperlukan sebuah shared vision yang diwujudkan melalui usaha mitigasi, adaptasi, alih teknologi, dan pendanaan agar tercipta keadaan yang dikenal sebagai carbon neutral.
Berdasarkan pengalaman dan diskusi dengan beberapa pakar, terdapat pemahaman yang kurang benar/menyeluruh akan isu deforestasi dan degradasi hutan ini, diantaranya bahwa:
1. karbon hutan sama dengan carbon neutral. Hal ini hanya memungkinkan apabila hutan tersebut tidak tersentuh/alami;
2. wood products dapat dihitung sebagai carbon stock. Walaupun berupa biomassa, produk hutan yang telah diproses akan mengalami pengurangan nilai stok.
3. penanaman adalah aktivitas utama untuk mitigasi perubahan iklim. Aktivitas penanaman memang dapat membantu, namun akan menjadi kurang signifikan apabila isu DD, seperti pemeliharaan atas hutan yang sudah ada, tidak ditangani. Hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan menunjukkan bahwa dengan pelaksanaan berbagai program penanaman di tahun 2003-2011 yang menanam lebih dari 1 miliar batang pohon di lebih dari 1 juta Ha lahan, hanya akan tercapai serapan sekitar 66 juta ton CO2 hingga tahun 2020.
Beberapa rekomendasi untuk penanganan isu deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia diantaranya:
1. Revisi atas beberapa peraturan perundangan yang dinilai kurang kondusif untuk mendukung implementasi mitigasi perubahan iklim
2. Pengarusutamaan isu perubahan iklim dalam peraturan perundangan
3. Adanya peraturan perundangan yang dapat menangani isu deforestasi di luar kawasan hutan
4. Percepatan realisasi pembentukan KPH
5. Penerapan desentralisasi yang meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab di setiap level
6. Penerapan proses bottom-up dan transparansi dalam penyusunan RTRW sehingga dapat menyentuh level desa
5PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
2.3.3 Diskusi
2.3.3.1 Iwan Wibisono (WWF)
Pertanyaan 1:
Bagaimana cara mendefinisikan deforestasi dan degradasi? Karena hingga saat ini definisi kedua istilah tersebut masih dalam perdebatan. Apakah definisi tersebut by law atau berdasar kenyataan di lapangan? Karena kalau kita ambil definisi by law, sedangkan di lapangan ternyata lahan yang sudah tidak berhutan lagi masih disebut hutan, dan itulah yang menjadi perdebatan sampai saat ini. Kalau menurut saya, kita bicara tentang driver itu sendiri.
Jawaban 1:
Definisi deforestasi yang dipakai adalah alih fungsi lahan dari yang berhutan menjadi tidak berhutan. Karena penghitungan emisi dilakukan di dalam kawasan dan di luar kawasan, apalagi kalau penghitungan dilakukan di Areal Penggunaan Lain (APL), maka angka emisinya jauh lebih tinggi.
2.3.3.2 M. Farid (DNPI)
Pertanyaan 1:
Berdasarkan presentasi yang disampaikan, bagaimana kalau penanaman dilakukan sampai tahun 2020. Apabila dikaitkan dengan RAN GRK di sektor
kehutanan sesuai Perpres No. 61 tahun 2011, apakah upaya tersebut termasuk ke dalam bagian 26% atau berdasarkan estimasi saja?
Jawaban 2:
Penghitungan yang disampaikan adalah berdasarkan target kehutanan sampai dengan tahun 2020.
2.3.3.3 Penutup dari moderator
Pembahasan mengenai deforestasi dan degradasi hutan harus bertolak dari perspektif pembangunan. Jangan sampai ada pihak yang merasa diadili. Terdapat pekerjaan rumah untuk mengidentifikasi driver dari deforestasi dan degradasi hutan. Rumusan mengenai hutan masih dibahas di UNFCCC. Diskusi ini dikhususkan untuk membahas policy. Sebagai tindak lanjut akan diadakan satu workshop lagi, dengan mengundang berbagai sektor di tingkat nasional agar nantinya semua pihak dapat memahami isu ini.
2.3.4 Focus Group Discussion
Diskusi dibagi dalam 2 kelompok (Kelompok A dan Kelompok B), yang masing-masing berupaya membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci. Fasilitator yang meminpin FGD ini adalah M. Farid (DNPI) pada kelompok A dan Iwan Wibisono (WWF) pada Kelompok B. Beberapa masukan yang diperoleh dari FGD adalah sebagai berikut :
Kelompok A Kelompok B
1 Bagaimana Indonesia menangani ‘drivers of de-forestation and forest degradation’ (drivers DD)?
Bagaimana Indonesia menangani ‘drivers of defor-estation and forest degradation’ (drivers DD)?
a. Beberapa langkah yang dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain:
• STRANASREDD+• RANGRK(PerpresNo.61/2011)• InventarisasiGRK(PerpresNo.71/2011)• TrustFund–IndonesiaClimateChangeTrustFund(ICCTF)denganpayunghukumPerpresNo.80atau81
• RegionalIncentiveMechanism(KementerianKeuangan)
• PengembangansisteminformasiREDD+safe-guards
• PembentukanSatgasREDD+
• Adanyakegagalandalamkebijakan,kebijakan-kebijakanyangadasaatinidinilaikurangdapatmengakomodirpenangananisuDD
• Penangananbelumdilakukansecaraholistik• Kurangdidukungolehdatayangreliable,sum-berdatautamayangbelumada/ditetapkan
• Kurangnyalawenforcement.
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 23 DESEMBER 2011 6
Kelompok A Kelompok B
• Pembuatanpetamoratorium(ijin)perijinan• RegulasiREDD+• ForumdanPokjasudahterbentuk• PilotProjectProvince/District(KaltengdanSulteng)danlebihdari30-anDA
• Penelitianterkait• Capacitybuilding/pelatihan• Workshop/seminar
b. WalaupunsudahbanyakkegiatanpenangananDDolehberbagaipihaknamundalamtataranimplementasitidakterkoordinasidenganopti-mal.
2 Sudah memadaikah regulasi yang ada untuk me-na-ngani drivers DD?
Sudah memadaikah regulasi yang ada untuk menan-gani drivers DD?
Belummemadai,denganbeberapaalasandianta-ranya: a. Dibutuhkanpolicyalignmentantarsektorse-
hingga perlu peraturan payung.b. Policyalignmentmemakanwaktuyanglama
menjadipekerjaanrumahbersamaagardiefek-tifkanprosesnya.
c. Payunghukumperubahaniklimyangharusdiproduksipertamakali.
Belummemadaiakibatdarikurangjelasnyakerangkaregulasiyangadasaatini,kurangnyaharmonisasiperaturanperundangan,misalyangterkaitagrariadanpengelolaanlahan,sertakurangefektifdanefisiennyaproses-prosesperizinan.
3 (Bila regulasi sudah memadai) persoalan men-dasar apa yang menjadi kendala tidak efektifnya regulasi yang dimaksud?
(Bila regulasi sudah memadai) persoalan men-dasar apa yang menjadi kendala tidak efektifnya regulasi yang dimaksud?
a. PermenhuttentangDDbelumadapetunjukpelaksanaanatauturunanaturannya.
b. Regulasipusattidaksampaikesampaisubnasional
c. PemerintahDaerahhanyapatuhkepadaKement-eriandalamNegeri(dampakotonomikhusus)
d. Tidakmemasukkannilai-nilaimoraldalamimplementasiregulasi.
a. Kurangjelasdankurangterpadunyakerangkaregulasiyangberlaku
b. Kurangnyaketegasandalampenanganantenurialyangberujungpadakonflik(termasukpemilahan/identifikasiatasygdisebut‘konflik’sertapene-tapanperiodeuntukpenyelesaiannya).Diperlu-kanpengumpulanlessonslearnedpenanganankonflik-konflikyangpernahterjadi
c. Belumadaframeworkperaturanyangmengako-modirperbedaantipeDD(planneddanun-planned)
d. Beberapapenguasa/pemimpindaerahmenggu-nakankawasanhutansebagaialat/sumberdayapolitiknya.
4 (Bila regulasi belum memadai) regulasi apa yang harus disempurnakan/dibuat?
(Bila regulasi belum memadai) regulasi apa yang harus disempurnakan/dibuat?
a. Peraturan-peraturan(yangdipresentasikan)perludisempurnakankarena:• Pertimbanganpolicyalignment• Sumberemisidisemuasektor• Belumimplementatif
• UUNo.41harusdirevisikarenadihasilkansebe-lumadanyadeklarasipembangunanberkelanjutansehinggabelummengakomodirkonseptersebut.
7PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Kelompok A Kelompok B
b. Tahapanuntukmenyempurnakanyaitu:• Identifikasisemuaperaturan• Analisagap/overlapdanrekomendasi• Sinkronisasidanharmonisasi• Penyempurnaanregulasi• Koordinasiuntukimplementasi
c. Pihakyangdiharapkanberperandalamtahapanpenyempurnaanregulasiadalah:• DNPIdanKementerianSektorterkaityangterdiriatas17KementeriandanBMKG;
• KejelasanposisisatgasREDD+sebagailem-bagaadhocdantugasyangdiembanhinggaakhirtahun2012.
d. Perluadaregulasitentangsubsidisilangjasalingkungan.
• UUdanPPtentangPemerintahDaerah:dalamperaturanyangadasaatini,pengurusanhutanbukanmerupakanisuwajibbagibupati,melain-kanhanyapilihansehinggakurangtertangani,untukituhutanharusdijadikanisuwajib
• PPNo.35direvisiuntukmemungkinkanDanaReboisasi(DR)digunakanjugauntukpenguatankelembagaanKPH,termasukmasyarakat.DRjugasebaiknyadapatdijadikaninstrumenbagisistemsilvikulturintensif
• Regulasiyangtidakselaluhomogen,melainkanmengkomodirjugaperbedaan-perbedaansosialbudayamaupungeografis,yangadaditiapdae-rah/wilayah
• Tiperegulasiyangdapatmemberikantekanansehinggalebihefektif
• STRANASREDD+agarsegeradiputuskan• Regulasiyangjugadapatmencakupnon-ka-
wasanhutan.
5 Apa peran yang harus dilakukan oleh keempat pilar tata kelola (pemerintah, swasta, masyara-kat sipil, akademisi) untuk keberhasilan penan-ganan drivers DD?
Apa peran yang harus dilakukan oleh keempat pilar tata kelola (pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi) untuk keberhasilan penanganan drivers DD?
Peran PemerintahMelakukankegiatanyangmeng-addressdeforestasidandegradasihutanantaralain:a. Penerapanmultisilvikulturb. Mengumpulkandataterkait,misalnyahasil
penelitiankerjasamaantaraUNMULdenganTNC,tentangpenerapanRIL(ReducedImpactLogging)yangdapatmenurunkanemisisebesar30%.
c. IHMB(InventarisasiHutanMenyeluruhBerkala)d. PenerapanKPH
Peran NGOa. Memberikandukunganscientific,advokasidan
provokasi,sertapendampingan/communitydevelopmentmasyarakatlokal/organisasi
b. Mengawalprosespenyusunanregulasi(Paritici-patorydariawalsampaidengantahapimple-mentasi),
c. Memonitordanmengevaluasilawenforcement,d. Berperanaktifdilevelnyadantupoksinya
masing-masing.
Secaraumum,diperlukansuatuprotokoluntukmeng-koordinasikandanmensinergikanperankeempatpilartatakelolatersebut.Pemerintaha. Mengeluarkankebijakanuntukmembangkitkan
kepemimpinandalampenangananisu;b. menerbitkanperaturanperundanganyangkon-
dusifSwastaa. Memberikandukunganinvestasi,misalnyamelalui
danaCSRb. Agaradadevolusikewenangansehinggamem-
berikankeleluasaanlebihbagiswastaMasyarakat sipilMengawasiimplementasidanmemberikanmasukankritisAkademisia. Mendukunganalisis,misalnyadalampenyediaan
datayangreliable;b. Memberikanrekomendasiberbasisilmiah;c. Mengkajidanmelakukandiseminasikajianterse-
but
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 23 DESEMBER 2011 8
BAB 3
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 28 DESEMBER 2011
3.1 AGENDA Waktu Kegiatan Penanggung Jawab/Pembicara
08.00–09.00 Registrasi Panitia
09.00–09.10 Pembukaan MC
09.10–09.25 LaporanPanitia
09.25–09.45 SambutandanPembukaan SekretarisJenderalKemenhut (diwakiliolehDr.YettyRusli-StafAhliMenteriBidangLingkungandanPerubahanIklim)
09.45–10.10 Coffeebreak
PRESENTASIDANDISKUSI Moderator:
Dr.Ir.NurMasripatin,M.For.Sc (KepalaPusatStandardisasidanLingkungan)
10.10–10.40 Reviewperaturan-perundanganterkaitREDD+
Dr.Ir.Suhaeri (Ka.Bag.KelembagaanBiroHukumKementerianKehutanan)
Kesiapanperaturan-perundanganuntukmitigasiperubahaniklimterkaittataguna lahan :
10.40–11.20 • SosialisasiUndang-UndangNo.26Tahun2007TentangPenataanRuang
Dr.Ir.BudiSitumorang,MURP (KasubditPenyusunanTataRuangNasionaldanPulau,KementerianPekerjaanUmum)
11.20–11.50 • KesiapanPeraturanPerundanganuntukMitigasiPerubahanIklimTerkaitTataGunaLahanSubsektorEnergiTerbarukan-Bioenergi
Ir.MaritjeHutapea,MSc. (DirekturBioenergiKementerianEnergidanSumberdayaMineral)
11.50–12.50 DISKUSI
12.50–13.00 Penutupan
13.00–selesai Makansiangbersama
3.2 Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Yth. Para pejabat lingkup Kementerian Kehutanan,
Yth. Para narasumber dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian terkait,
Yth. Para perwakilan stakeholder dari Kementerian terkait dan pemerintah daerah, dari swasta, civil
society dan para mitra terkait, serta para peserta workshop yang berbahagia,
Assalamu’alaikum Warohmatullohiwabarokatuh,
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas ijin dan anugerah-Nya sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul dalam rangka mengikuti Workshop “Pertemuan Stakeholder dalam Rangka
9PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Kajian Kerangka Kebijakan dan Formulasi Regulasi REDD+ yang Terintegrasi”.
Hadirin yang berbahagia,
Sejak COP ke-13 di Bali tahun 2007, dimana REDD+ dicantumkan di dalam Bali Action Plan telah diamanatkan agar negara-negara pihak dapat melaksanakan kegiatan demonstrasi demi terlaksananya kegiatan REDD+, demikian juga dalam salah satu keputusan COP-17 di Durban bulan November 2011 lalu, UNFCCC memberi mandat melalui SBSTA agar negara-negara pihak melaksanakan kajian lebih dalam mengenai penanganan perubahan iklim di bidang kehutanan terutama REDD+.
Salah satu aspek penting dalam pembangunan REDD+ adalah terbentuknya regulasi yang dapat mencakup pelaksanaan pada tingkat nasional dan sub nasional dengan melibatkan seluruh komponen yang terintegrasi. Sampai saat ini para pemangku kepentingan merasa masih kurangnya regulasi yang dapat mendukung dan meningkatkan daya dorong bagi pembangunan REDD+.
Sebelum pertemuan hari ini, pada tanggal 23 Desember 2011 lalu telah dilaksanakan pertemuan serupa dengan scope yang lebih kecil untuk mendiskusikan status kerangka kebijakan dan regulasi di Indonesia, khususnya dalam rangka meng-address penyebab deforestasi dan degradasi hutan, yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia. Pertemuan hari ini merupakan lanjutan dari pertemuan itu dengan jumlah peserta yang lebih banyak dan scope yang lebih luas, dimana diharapkan dari paparan narasumber berbagai kementerian/lembaga terkait dan diskusi nanti dapat dihasilkan rumusan yang diperoleh dari berbagi pandangan, harapan dan identifikasi permasalahan serta kendala yang mempengaruhi efektivitas kebijakan dan regulasi REDD+, serta teridentifikasinya peran yang harus dilakukan masing-masing pihak.
Hadirin yang saya hormati,
Seiring dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dimana seluruh kegiatan mitigasi perubahan iklim, termasuk REDD+, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan
terintegrasi dengan berbagai kementerian/lembaga lain yang terkait, maka Kementerian Kehutanan memandang bahwa sangat penting untuk duduk bersama dalam rangka bertukar pandangan, harapan dan berdiskusi mengenai formulasi regulasi REDD+ ke depan menjelang diimplementasikan pasca 2012. Oleh karena itu, pada hari ini selain instansi lingkup Kementerian Kehutanan, kami juga mengundang antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Pertanian, mitra terkait dan stakeholder terkait lainnya.
Saya sangat mengharapkan pertemuan ini dapat menghasilkan kajian yang komprehensif dan memberikan hasil yang maksimal sehingga regulasi REDD+ dapat terformulasikan sesuai keinginan dan harapan kita bersama.
Akhir kata, dengan ucapan Bismillahirrohmanirrohim, “Pertemuan Stakeholder dalam rangka Kajian Kerangka Kebijakan dan Formulasi Regulasi REDD+ yang Terintegrasi” pada hari ini, secara resmi, saya nyatakan dibuka.
Wabillahitaufiq Wal Hidayah
Wassalamu’alikum warohamtullohi Wabarokatuh,
Sekretaris Jenderal
Dr. Ir. Ing. Hadi Daryanto, D.E.A
3.3 Catatan Penyelenggaraan Pertemuan
3.3.1 Ringkasan
Skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) mengamanatkan terbentuknya kerangka kebijakan yang mencakup pelaksanaan pada tingkat nasional dan sub nasional. Para pemangku kepentingan merasa regulasi yang ada masih kurang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Sebagai bagian dari proses mencari solusi terhadap permasalahan ini Pusat Standardisasi dan Lingkungan dengan dukungan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), telah melaksanakan pertemuan stakeholder
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 28 DESEMBER 2011 10
membahas tentang “Regulasi terkait REDD+, Tata Ruang, dan Kebijakan Pengembangan Energi “.
Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan status kerangka kebijakan dan regulasi di Indonesia, khususnya dalam rangka meng-address penyebab deforestasi dan degradasi hutan, yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia. Selain itu diharapkan dapat diidentifikasi permasalahan dan kendala yang mempengaruhi efektivitas kebijakan dan regulasi yang terkait dengan penyebab deforestasi dan degradasi hutan, serta terjalin koordinasi berbagai kementerian/lembaga terkait untuk memformulasikan regulasi REDD+. Pertemuan dilaksanakan di Ruang Rimbawan I, Gedung Manggala Wanabakti, selama 1 (satu) hari, pada hari Rabu tanggal 28 Desember 2011. Pertemuan diikuti 70 (tujuh puluh) orang yang merupakan perwakilan dari instansi pemerintah pusat dan daerah, NGO dan organisasi terkait, lembaga penelitian, dan swasta.
Pertemuan menghasilkan beberapa poin penting, sebagai berikut: 1) terkait REDD+, kompleksitas dan implementability dari sejumlah Permenhut memerlukan kaji ulang dan sinkronisasi dengan peraturan kementerian terkait, serta peningkatan law enforcement ; 2) terkait tata ruang, diperoleh pembelajaran baru antara lain inter-linkage yang kuat antar tata-guna lahan di berbagai sektor yang memerlukan sinergitas tinggi; 3) terkait energi, kebijakan mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan yang membawa konsekuensi pada kebutuhan lahan baru, sampai saat ini belum clear dengan sektor terkait terutama kehutanan, PU, pertanian dan Pemda.
3.3.2 Presentasi
Sesi presentasi dipimpin oleh Dr.Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan), dengan menampilkan 3 (tiga) paparan sebagai berikut:
1. Review Peraturan Perundangan-Undangan Terkait REDD+
Pembicara: Dr. Ir. Suhaeri (Kepala Bagian Kelembagaan, mewakili Kepala Biro Hukum Kementerian Kehutanan)
Hutan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap stabilitas iklim global. Hutan berfungsi sebagai penyerap gas rumah kaca dan penghasil gas oksigen, namun di lain pihak hutan juga dapat menjadi sumber gas rumah kaca kalau tidak dikelola sesuai dengan prinsip Sustainable Forest Management (SFM). Selain dalam hal iklim, hutan juga berperan dalam keseimbangan energi dan pola tekanan udara di atmosfer, pengaturan siklus air, serta dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Sedemikian pentingnya peran hutan maka dalam pengelolaannya harus terdapat regulasi yang mengatur. Secara hukum hal itu terwujud dalam Peraturan Perundang-undangan Kementerian Kehutanan. Beberapa asas dalam pembuatan peraturan tersebut antara lain kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.
Peraturan kehutanan yang diterapkan berlaku secara nasional, sehingga seharusnya dalam pelaksanaannya tidak berbenturan dengan ketentuan masing-masing daerah. Sehubungan dengan isu REDD, pada dasarnya seluruh peraturan perundangan di Kementerian Kehutanan sudah terkait dengan REDD+ karena prinsip lingkungan telah diaplikasikan dalam peraturan-peraturan tersebut.
Namun demikian, terdapat beberapa gap yang teridentifikasi dalam Permenhut No. P.14/2004 mengenai A/R-CDM, yakni yang berhubungan dengan terminologi proyek, terminologi teknis/substansi, dan terminologi hukum. Sebagai contoh dalam hal definisi area yang dapat dikembangkan untuk kegiatan aforestasi dan reforestasi yang berbeda dengan terminologi definisi hutan yang telah ada sebelumnya. Selain itu, dalam Permenhut tersebut pelaku kegiatan A/R-CDM adalah pemegang IUPHHK dan IUPJL, sehingga dalam kasus kegiatan yang dilakukan oleh Sumitomo bekerjasama dengan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru serta Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan KOICA belum dapat diberikan endorsement.
Terkait dengan P.36 tentang IUPRAP/PAN Karbon, dalam peraturan tersebut sudah diatur mengenai pajak penjualan kredit karbon. Namun demikian,
11PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Kementerian Keuangan tidak menyetujui hal tersebut karena isu pajak dianggap bukan wewenang pihak Kementerian Kehutanan. Selain itu sampai saat ini belum terdapat aturan mengenai pajak karbon sebagai PNBP. Hingga saat ini sedang diusulkan revisi PP No. 72 tentang PNBP yang memasukkan isu pajak karbon dan sedang menunggu pengesahan dari Presiden. Dalam usulan ini, pajak karbon dihitung sebesar 10% dari nilai penjualan kredit karbon. Selain itu sedang disusun pula draft peraturan menteri mengenai prinsip-prinsip karbon hutan, serta mengenai pasar karbon nasional.
Terkait dengan penyelenggaraan DA REDD yang diatur pada P.68/Menhut-II/2008 disebutkan bahwa kegiatan tersebut dapat dilakukan pada hutan negara dan hutan hak. Pelaksanaan DA dapat dilakukan secara kemitraan dan usulan kegiatan tersebut akan dinilai oleh POKJA Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan. Jangka waktu pelaksanaan DA REDD ditetapkan selama 5 tahun. Namun demikian, peraturan ini belum menyebutkan kriteria dan indikator DA yang akan digunakan untuk penilaian usulan DA tersebut. Sehingga hal ini akan menjadi kendala dalam proses persetujuan DA yang diusulkan.
Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara REDD menyebutkan bahwa REDD dapat dilakukan oleh pelaku yang berentitas nasional maupun internasional. Peraturan ini juga menyebutkan bahwa komisi REDD juga diberi kewenangan untuk menilai usulan kegiatan REDD yang akan dilaksanakan. Pada peraturan ini belum menyebutkan adanya mekanisme penyesuaian antara prinsip REDD dengan pelaksanaan perijinan usaha pemanfaatan hutan.
2. Sosialisasi Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Pembicara: Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP (Kepala Sub Direktorat Penyusunan Tata Ruang Nasional dan Pulau, mewakili Direktur Penataan Ruang Nasional - Kementerian Pekerjaan Umum)
Kementerian Pekerjaan Umum sedang menyusun Rencana Aksi Nasional terkait perubahan iklim di sektor pekerjaan umum (RAN-MAPI). RAN ini dibagi menjadi 4 sub bidang, yaitu tata ruang, bina marga, sumberdaya air, dan lain-lain. Kementerian Pekerjaan Umum juga sedang menginisiasi konsep
green construction di penelitian dan pengembangan konstruksi. Pada bagian sumberdaya air, kegiatan difokuskan pada tata kelola air di lahan gambut. Sementara bina marga melakukan program penghijauan jalan di ruas-ruas jalan pemerintah. Sedangkan sektor persampahan, manajemen sampah kota bergantung juga pada aturan daerah/kota, karena adanya desentralisasi pemerintahan.
Berdasarkan aturan tata ruang, ditetapkan bahwa 30% lahan dalam penataan ruang harus dialokasikan untuk ruang terbuka hijau (RTH). Sementara itu, dalam pembentukan tata ruang pulau dan kepulauan Pulau Papua ditetapkan minimal 70% areanya merupakan kawasan hutan, Pulau Kalimantan 45%, Kepulauan Nusa Tenggara & Maluku 35%, Pulau Jawa 30%, Pulau Sumatera 40%, dan Pulau Sulawesi 45%. Untuk melindungi dan menjamin komitmen tersebut ditetapkan sanksi hukum atas pelanggaran tata ruang. Sanksi ini akan dikenakan kepada pihak pemberi dan penerima izin.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), terdapat kawasan srategis nasional. Kawasan strategis nasional adalah kawasan yang mencakup wilayah dan kegiatan utama di Indonesia. Kawasan strategis ini juga direncanakan pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Secara detail juga diuraikan tentang substansi UU No. 26 tahun 2006 tentang Penataan Ruang.
3. Kesiapan Peraturan Perundangan untuk Mitigasi Perubahan Iklim Terkait Tata Guna Lahan Subsektor Energi Tarbarukan-Bioenergi
Pembicara: Ir. Maritje Hutapea, MSc. (Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral)
Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca di atmosfer. Sektor energi merupakan salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca. Pada pertemuan G-20 di Pittsburg dan UNFCCC COP-15 di Copenhagen, Presiden berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 26% atau 767 juta ton melalui upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Jika di-breakdown lebih lanjut maka dari 767 juta ton atau 26% tersebut sektor energi sendiri menyumbang 30
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 28 DESEMBER 2011 12
juta ton emisi untuk diturunkan. Target tersebut akan dicapai melalui pengembangan energi baru terbaharukan seperti geothermal dan bioenergi serta pelaksanaan konservasi energi dari seluruh sektor. Hal tersebut juga didukung oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan mempromosikan Clean Energy Initiative yang terdiri dari peningkatan efisiensi energi, memaksimalkan energi baru dan terbarukan, serta implementasi teknologi rendah karbon.
Salah satu programnya adalah ReffBun (Reducing Emission from Fossil Fuel Burning) yang bertujuan untuk mengurangi emisi melalui pengurangan pembakaran bahan bakar fosil. Pengurangan emisi dilakukan melalui: (i) pre-fossil combustion, misalnya dengan melakukan treatment sebelum proses pembakaran untuk meningkatkan nilai kalori bahan bakar sehingga mengefisienkan penggunaannya; (ii) during fossil combustion, mengurangi pelepasan emisi yang dihasilkan selama proses pembakaran, misalnya dengan teknologi co-generation; (iii) post fossil combustion, misalnya dengan menerapkan CCS (carbon capture and storage) dan pengembangan algae untuk bioenergi.
Pada tahun 2025, ditargetkan bahwa porsi energi baru terbarukan sebesar minimal 17%, dengan 5% diantaranya berasal dari bahan bakar nabati (BBN). Menurut perhitungan, untuk tahun 2015 yang menyebutkan bahwa diperlukan lahan sebesar 4 juta Ha untuk kelapa sawit dan 3 juta Ha untuk jarak pagar guna memenuhi kebutuhan produksi BBN.
3.3.3 Diskusi
1. Nanang (APHI)
Pertanyaan 1
Sepengetahuan saya berdasarkan hasil COP-17 di Durban, Afrika Selatan, program A/R-CDM (Kyoto Protocol) akan terus berlanjut. Apabila dikaitkan dengan payung hukum di Indonesia yaitu Permenhut No. 14 tahun 2004, maka perlu ada beberapa bagian yang mesti diperbaiki. Ada potensi besar yang bisa di-create di A/R CDM, tapi kita belum melakukannya. Bagian apa saja yang perlu diperbaiki dan di-create?
Saya setuju mesti ada perbaikan terkait REDD di Permenhut No. 30, sebaiknya di dalam Ijin Pemanfaatan Hutan sebaiknya dibuka juga adanya conservation consession. Hal tersebut belum ada sehingga bisa saja nantinya Hutan Lindung dimungkinkan untuk dijadikan conservation consession. Dengan mengakomodir hal itu maka diharapkan hutan lindung akan ada pengelolanya dan bukan penjarah.
Saya mohon hati-hati jika akan menerapkan pajak karbon pada HTI, karena merupakan asset privat. Sedangkan hutan alam merupakan aset negara, sehingga wajar kalau dipungut pajak karbonnya.
Jawaban 1 (Dr. Ir. Suhaeri)
Yang disebut konsepsi resources adalah tidak ada yang namanya jasa lingkungan dan jasa ekologis adalah milik privat dan hal ini dianut di semua negara. Konsep negara-negara yang dahulunya menggunakan Hak Kepemilikan Mutlak, saat ini konsepnya sudah bergeser. Dalam konsepsi resources, mana yang disebut barang publik dan mana yang disebut barang privat, pada saat yang dibicarakan adalah kayu maka itu adalah aset privat. Namun pada saat yang dibicarakan adalah serapan karbon dan iklim mikro, apakah itu aset privat?
Seharusnya memang hak kepemilikan mutlak akan jasa lingkungan dan ekologis dikuasai negara dan dikelola pemerintah untuk dilakokasikan secara adil. Konsepnya adalah nilai penjualan dianggap sebagai PNBP yang dibagi secara adil/merata. Nilai penjualan karbon masuk 10% sebagai PNBP.
Pertanyaan 2
Berdasarkan informasi media massa, saya berpendapat PT Silva Inhutani adalah pihak yang terdholimi. Menurut saya pemicunya adalah Kementerian Pekerjaan Umum yang membuka jalan di wilayah tersebut, padahal dahulu wilayah PT Silva Inhutani jauh dari jangkauan orang, hanya ada satu desa saja dan dipertahankan sampai sekarang. Namun begitu dibuka akses jalan lintas Sumatera sekitar 12 km membelah IUPHK maka menimbulkan aksesibilitas yang tinggi bagi pengembangan ekonomi, muncullah berbagai macam kepentingan, seperti okupasi kawasan hutan di sepanjang jalan. Sehingga Kementerian Pekerjaan Umum harus ikut bertanggungjawab
13PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
membangun pos minimal di 3 lokasi sepanjang jalan tersebut. Selanjutnya bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan serta Pemda setempat untuk mengamankan, sebagai upaya bersama untuk meng-avoid deforestastion and forest degradation dari perambahan.
Jawaban 2 (Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP)
Terkait Mesuji, saya tidak tahu persis kronologis ceritanya dan sebaiknya jangan saling menyalahkan tetapi yang lebih penting adalah menentukan langkah ke depan yang lebih baik. Namun Kementerian Pekerjaan Umum juga disalahkan apabila tidak membangun jalan karena manusia perlu akses infrastruktur juga. Dahulu banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap jalan karena terbentur kawasan-kawasan tertentu. Kementerian Pekerjaan Umum juga mempertimbangkan banyak faktor dalam membangun jalan. Sebagai contoh ketika membuka akses jalan di Lampung Barat yang melewati TN Bukit Baris Barisan yang melewati lintasan gajah tiap 2 – 3 kali seminggu, maka setiap melewati tempat tersebut maka harus menunggu selama 4 jam. Saat ini tentang Peraturan Tata Ruang Pulau khususnya di Sumatera sudah ditetapkan. Peraturan tersebut akan diterjemahkan dalam aturan turunan lebih lanjut di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Aturan tersebut mengatur penggunaan kawasan sepanjang jalan (kawasan berbatas dan tidak berbatas tertentu).
Sesuai dengan arahan Kementerian Pekerjaan Umum dalam pembangunan jalan di Kalimantan juga ditunda karena melewati banyak kawasan taman nasional di sana meskipun sudah mendapatkan dana ADB. Pembangunan jalan akan dilaksanakan setelah berdiskusi dengan sektor lingkungan di Kementerian/Lembaga.
Pertanyaan 3
Selama ini pembicaraan bioenergi masih terbatas pada pangan saja. Mengapa kita tidak memulai membicarakan masalah nabati non-pangan yang ada di hutan? Saya ingin merekatkan Kementerian ESDM dengan Kementerian Kehutanan, dengan menyiapkan Hutan Tanaman Energi. Kalau Kementerian Kehutanan bisa menyiapkan 4 Juta Ha, maka akan menghasilkan bioenergi non-pangan 10% dari kebutuhan energi nasional. Jadi apabila Bu Maritje membuat target
dari nabati pangan 5%, maka apabila bisa menjalin kerjasama dengan Kementerian Kehutanan diharapkan pada tahun 2025 dapat mencapai target 15% dari kebutuhan energi nasional.
Jawaban 3 (Ir. Maritje Hutapea, MSc.)
Saat ini bahan non pangan belum banyak dikembangkan. Kami pernah berdiskusi dengan Kepala Badan Litbang Kehutanan mengenai bagaimana kehutanan dapat berkontribusi terhadap pengadaan kebutuhan energi nasional. Namun kenyataannya, pogram MIFEE yang dikembangkan di Merauke selalu memunculkan angka ratusan ribu hektar untuk bioenergi, namun ketika investor masuk, ternyata angka lahan di lapangan tidak sama.
2. Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc (The Nature Conservancy)
Pertanyaan 1
Saya berpendapat komunikasi antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM kurang bagus. Terkait bioenergi, Litbang Kehutanan sudah mengembangkan nyamplung dan sedang mengembangkan penelitian biofuel untuk second generation, sehingga tidak dari barang material saja tetapi juga pengembangan dari jamur di kayu. Apabila ini dikembangkan jadi lebih efisien daripada yang sedang dikerjakan ESDM.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Planologi terdapat 40 juta Ha lahan hutan yang terdegradasi, sehingga apabila diambil 1,5 juta Ha untuk bioenergi akan dapat menghasilkan angka yang luar biasa.
Terkait peraturan, kami berharap pada peraturan perundangan yang sangat jelas dari ESDM tentang pengaturan best practices di lahan pertambangan batubara, timah, dan beberapa pertambangan yang sebagian besar adalah open mining. Karena kalau itu bisa dilakukan dengan baik, itu telah membuat peran yang luar biasa untuk mengurangi emisi CO
2 dari lahan yang sebenarnya tidak perlu dibuka, tetapi ternyata untuk memudahkan para investor maka dibuka semuanya. Artinya ada lahan yang memang di alokasikan untuk batubara tetapi tidak seharusnya seluruhnya dibuka. Tetapi karena tidak ada peraturan yang melarang, maka akhirnya mereka buka semua. Menurut catatan Ditjen Planologi tadi,
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 28 DESEMBER 2011 14
hutan yang rusak mempunyai cadangan stok karbon yaitu 100 ton/Ha. Jadi kalau Ibu bisa mengurangi disana, saya pikir itu adalah peran yang luar biasa untuk mengurangi emisi CO2 dari sektor ESDM.
Jawaban 1 (Ir. Maritje Hutapea, MSc.)
Kalau ke depan akan ada peraturan yang mengatur bahwa tidak semua wilayah akan menjadi kawasan pertambangan, namun justru ditanam dengan tanaman yang bersifat bioenergi. Sebagai informasi tambahan, di Kalimantan banyak sekali batubara. Sesuai dengan UU No. 4 tahun 2009, khusus tambang yang di dalam bumi tetapi yang di bawah kawasan konservasi itu menjadi pencadangan negara, sehingga belum dibuka. Jadi sebenarnya di lapangan banyak yang masih berupa hutan.
Pertanyaan 2
Kementerian Pekerjaan Umum berperan penting terkait deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana tercantum dalam STRANAS REDD+. Penyebab deforestasi dan degradasi hutan diantaranya Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang belum memenuhi syarat untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Apakah RAN-MAPI yang disampaikan pada presentasi sudah menghitung seberapa besar peran untuk mitigasi mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi? Berdasarkan perhitungan TNC, apabila kita mampu menjaga/protect 10.000 Ha lahan hutan yang rusak, sama dengan menanami kawasan hutan dan di luar hutan dengan program penanaman (GERHAN, One Man One Tree, OBIT) selama 7 tahun. Artinya kita tetap harus menanam tetapi juga jangan membiarkan penebangan semena-mena.
Jawaban 2 (Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP)
Apakah sudah menghitung ke depan? Inilah tantangan kami ke depan, karena harus dibicarakan berbagai unsur agar masyarakat yang dapat hasil yang lebih baik.
Pertanyaan 3
Berdasarkan pengalaman, RTRW hanya menjangkau level kabupaten ke atas. Apabila kita ingin menyelesaikan konflik di lapangan, harus dimulai di tingkat desa. Apakah sudah ada pemikiran untuk menjembatani ide-ide seperti ini atau tidak?
Jawaban 3 (Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP)
Pertanyaannya cukup mendasar. Berdasar Undang-undang perencanaan lebih detil dan apabila dirasakan perlu secara signifikan dapat dilakukan di level kabupaten. Alasan yang paling mengena adalah baik anggaran maupun aparat lebih siap di tingkat kabupaten. Tata ruang memang harus sudah menggambarkan detil desa.
Terkait tata ruang, skenario low carbon diharapkan pihak Kepala Daerah ditingkat Kabupaten/Kota/Provinsi di waktu yang akan datang mampu mengambil kebijakan dengan segala konsekuensinya. Meskipun kendala yang sering dihadapi adalah diskusi dengan DPRD yang susah karena perbedaan persepsi sejak awal. Tahun depan kami akan bicara dengan tiap sektor, termasuk kehutanan (untuk membicarakan gambut) dan ESDM.
Pertanyaan 4
Pada hari Jum’at, 23 Desember 2011, saya sudah memberikan paparan tentang 8 (delapan) Permenhut yang harus direview, karena itu kenyataannya malah mempercepat deforestasi di kawasan hutan. Tiga diantaranya yaitu Permenhut No. P. 68, P.30 dan P.36, memang harus dijadikan satu dan direvisi. Selain itu, konsep A/R-CDM berbeda dengan REDD+, sehingga tidak bisa langsung membandingkan, tetapi menghubungkannya.
Jawaban 4 (Dr. Ir. Suhaeri)
Terimakasih atas masukannya. Saat ini kami sedang mengevaluasi Permenhut. Kami saat ini sudah menerbitkan Permenhut P.2/2011 yang mengatur tentang prinsip-prinsip mengatur pedoman, kebijakan, mengevaluasi, dan merevisi. Salah satu dari 8 poinnya adalah benar secara proses dan benar secara materi. Kompetensi Biro Hukum adalah jika peraturan itu jadi, maka dapat diterapkan. Azas yang berlaku umum di dunia kebijakan, yaitu kalau peraturan itu jadi, harus bisa diterapkan. Jika peraturan itu jadi namun tidak bisa diterapkan disebut government failed. Konsep kami ke depan peraturan harus bisa diterapkan dan bisa ditegakkan.
15PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
3. Hadi (Dinas Kehutanan Provinsi Kalimatan Tengah)
Pertanyaan 1
Keputusan Presiden menetapkan Kalimantan Tengah untuk proyek REDD+ karena Provinsi ini memiliki kawasan konservasi terluas di Indonesia (2,9 Juta Ha) dan Hutan Produksi 10,6 Juta Ha. Selain itu Kalimantan Tengah memiliki luas kawasan paling produktif di Indonesia dan kondisi 11 Daerah Aliran Sungai yang masih bagus. Fokus REDD+ di Kalimantan Tengah tanpa bantuan dari siapapun merupakan komitmen masyarakat Dayak. Dengan kearifan masyarakat Dayak yang ingin menjaga kelestarian hutan, bukan untuk orang luar, tetapi untuk masyarakat Dayak sendiri. Terkait target penurunan emisi 26 % dan 41% akan tercapai kalau menghentikan semua ijin (tidak boleh ada ijin tambang, ijin sawit baru, HTI dan HPH baru). Terkait REDD+, Kalimantan Tengah masih terdapat masalah dalam hal tata ruang dan lahan. Hal ini harus diselesaikan terlebih dahulu apabila REDD+ ingin berhasil. Kementerian Pekerjaan Umum diharapkan terlibat dalam penyelesaian persoalan tata ruang yang ada di Kalimantan Tengah. Penuntasan persoalan tata ruang akan menjadi faktor penentu keberhasilan REDD+.
Jawaban 1 (Dr. Ir. Suhaeri)
Saat ini, Kementerian Kehutanan berusaha menuju ke arah yang lebih baik. Peraturan yang ada memang sudah banyak, tetapi penerapannya mungkin belum terlaksana dengan baik.
Jawaban 1 (Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP)
Saat ini Kementerian Pekerjaan Umum sedang merencanakan pembangunan jalan trans Kalimantan bagian utara dengan memperhatikan Taman Nasional dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya dan faktor-faktor lain. Targetnya akan diselesaikan tahun depan. Satu tantangan membuka jalan trans Kalimantan adalah melewati sungai yang airnya surut di musim kemarau, sehingga masyarakat harus berjalan kaki. Terkait Peraturan Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Dinas Pekerjaan Umum Daerah akan mengawal sampai dengan terbentuknya Perda Kabupaten/Kota.
4. A. Ngaloken Gintings (Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia)
Pertanyaan 1
Apakah kita harus banyak aturan kehutanan yang rumit tetapi tidak terlaksana dengan baik? Kita mempunyai peraturan tentang TPTI, tetapi kenyataannya tidak dilaksanakan dengan baik di lapangan. Jadi aturan yang salah atau mental orangnya yang salah? Saran saya lebih baik buat aturan yang umum saja sebagai pegangan, setelah itu kita laksanakan.
Jawaban 1 (Dr. Ir. Suhaeri)
Tampaknya sudah setuju, jadi tidak perlu saya tanggapi.
Pertanyaan 2
Kalau dihubungkan dengan Green Cities, barangkali itu otomatis dalam penyerapan karbon dan tidak bisa lagi diperdebatkan. Jadi berapapun yang bisa dilaksanakan dalam RAN-MAPI yang Bapak sebutkan tadi bisa bermanfaat bagi negara. Penetapan bahwa Kalimantan harus sekian %. Jangan-jangan ini seperti UU kehutanan, yang menetapkan 30%, setelah itu tidak tahu kita dari mana datangnya angka itu.
Jawaban 2 (Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP)
Terkait penetapan tata ruang Kalimantan sebesar 45%, angka ini sudah dibicarakan dan disepakati dengan berbagai stakeholder di daerah dengan ditandatangani Gubernur, tanda tangan semua kementerian/lembaga termasuk dari Kementerian Kehutanan yaitu dari PHKA dan Planologi. Termasuk juga pengembangan Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Perencanaan juga melihat fungsi kelestarian lingkungan termasuk gambut. Sementara itu, peraturan tata ruang menunggu disetujui Presiden.
Kalimantan dari berbagai hal memiliki kelebihan namun dari sisi kehutanan menjadi hamparan yang utuh, sedangkan tempat lain terpencar-pencar. Kalaupun di sana ada tempat budidaya, itu sudah sesuai dengan arahan Menteri Kehutanan. Prinsipnya adalah pelestarian untuk konservasi, pembangunan berkelanjutan, dan budidaya. Konsekuensinya adalah jaringan jalan dan infrastruktur mengikuti target
PENYELENGGARAAN PERTEMUAN 28 DESEMBER 2011 16
45% yang dicanangkan. Pendekatan yang dilakukan adalah penetapan kawasan lindungnya dan kawasan budidaya secara efisien.
Pertanyaan 3
Permasalahan kebutuhan lahan untuk pengembangan bioenergi tidak hanya sekedar mencari lahan yang luas. Apabila kita mampu mengembangkan usaha yang menguntungkan masyarakat, maka mereka akan menggunakan lahannya untuk menanamnya. Sebagai contoh masyarakat di Lombok Timur yang disuruh menanam jarak pagar, namun hasilnya dibeli dengan harga yang rendah, maka secara otomatis mereka akan beralih ke jenis lain yang lebih menguntungkan. Sehingga apabila program yang disediakan Kementerian ESDM menguntungkan, maka secara otomatis mereka akan menyediakan lahan miliknya untuk ditanami.
Jawaban 3 (Ir. Maritje Hutapea, MSc.)
Kami berupaya untuk mencari apa saja tanaman yang bisa dikembangkan, sehingga tidak terjadi masyarakat disuruh menanam tanaman bioenergi (tanaman jarak pagar) namun tidak seimbang dari biaya produksi dan revenue-nya. Namun demikian, kami masih mengalami kendala dalam hal koordinasi yang masih sulit dilakukan.
5. Puspa Dewi Liman (PHKA Kementerian Kehutanan)
Pertanyaan 1
Peraturan perundangan yang ada, khususnya sektor kehutanan sudah menumpuk banyak masalah. Terkait pertambangan panas bumi di dalam Hutan Produksi dan Hutan Lindung dapat dilakukan antara lain dengan prosedur pinjam pakai kawasan, tetapi permasalahannya adalah kesulitan mencari lahan penggantinya. Berdasarkan hasil diskusi kelompok per kelompok, pemerintah daerah menyampaikan bahwa ijin pinjam pakai kawasan telah melanggar aturan tata ruang. Sehingga pembelajaran yang ingin kami sampaikan adalah peraturan kehutanan yang kita anggap bagus tidak semua dapat diimplementasikan.
Jawaban 1 (Ir. Maritje Hutapea, MSc.)
Terimakasih atas kritikannya. Sebanyak 40% energi panas bumi dunia ada di Indonesia, namun sayangnya sebagian besar berada di wilayah kehutanan khususnya di wilayah hutan lindung.
17PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Lampiran dan Dokumentasi
A. Pertemuan di Jakarta pada Tanggal 23 Desember 2011
1. Bahan Presentasi
a. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia dan Upaya Penanganan Akar Masalah (Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc. – TNC)
Oleh
Wahjudi WardojoSenior Advisor for International Forest Carbon Policy-TNC
DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA
DAN
UPAYA PENANGANAN AKAR MASALAH
OUTLINE PRESENTASI
1. Fakta dan Data 2. Peran Hutan dalam Perubahan Iklim3. Half Truth Understanding Peran Hutan
Terhadap Perubahan Iklim4. Penyebab Utama Deforestasi dan
Degradasi Hutan5. Identifikasi Peraturan Perundang
undangan6. Rekomendasi Perbaikan Peraturan
Perundang Undangan7. Rekomendasi Perbaikan Governance di
Tingkat Pemerintah, Bisnis, Masyarakat, dan Akademia.
8. Penutup
SUMBER EMISI INDONESIA
Sumber: SNI, 2009
1.87
3.51
1.08 1.17 1.37
2.83
0.78 0.76
0.50 0.68
0.30 0.41
‐
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
Seluruh Indonesia Di dalam Kawasan Hutan Di luar Kawasan Hutan (APL)
Deforestation Rate 1990‐1996 1996‐2000 2000‐2003 2003‐2006 Projection
Indonesia 1.87 3.51 1.08 1.17 1.125
Forest Land 1.37 2.83 0.78 0.76 0.770 Non Forest Land (APL) 0.50 0.68 0.30 0.41 0.355
1990‐1996 1996‐2000 2000‐2003 2003‐2006
Ditjen Planologi, Kemhut, 2010
19PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
KEHUTANAN diperlukan untuk membantu Keseimbangan karbon global
Carbon neutral
Atmosfir47%
Emisi
yang
dise
rap
Emmisi
ygdikeluarkan
Laut26%
Lahan27%
x x
0 0
Low Carbon and Zero CarbonEnergy
Technology
“Shared Vision”(Mitigasi, Adaptasi,
Transfer teknologi, Pendanaan)
Defor.&For. degradation
20%
Pemba‐karan
BBM 80%
FORESTRY IN DEV’NG
COUNTRIES
Sumber : DNPI 2011
Half Truth Understandings Terkait Peran Hutan dalam PI
1. Hutan: Carbon Neutral ?
2. Wood Products Carbon Stock Harus Dihitung?
3. Penanaman ---> avoiding DD dalamMitigasi PI jadi aktivitas utama?
4. Hutan Produksi HarusMenghasilkan Kayu untuk Industri?
2000 to 2010 Indonesian forest cover loss per forest land use
Half Truth Understandings Terkait Peran Hutan dalam PI
1. Hutan: Carbon Neutral ?
2. Wood Products Carbon Stock Harus Dihitung?
3. Penanaman ---> avoiding DD dalamMitigasi PI jadi aktivitas utama?
4. Hutan Produksi HarusMenghasilkan Kayu untuk Industri?
5 CARBON POOLS :• ABOVE-GROUND BIOMASS• TUMBUHAN BAWAH• NECROMASS• SERASAH• BELOW-GROUND BIOMASS
• WOOD PRODUCTS(HARVESTED) 0,8 X 0,7 =
0,56FAKTOREXPLOITASI &FAKTOR BENTUK
0,5RECOVERYFACTOR
15 %NETTO
85 %
KEHILANGAN BIOMASSA DALAM PROSES PEMANFAATAN KAYU
> 0,5RECOVERYFACTOR
LIMBAH PEMBALAKAN
Half Truth Understandings Terkait Peran Hutan dalam PI
1. Hutan: Carbon Neutral ?
2. Wood Products Carbon Stock Harus Dihitung?
3. Penanaman ---> avoiding DD dalamMitigasi PI jadi aktivitas utama?
4. Hutan Produksi HarusMenghasilkan Kayu untuk Industri?
Realisasi Penanaman (x 1000 Ha)
Asumsi untuk OMOT dan OBIT : 1 Ha = 1.111 batang dan 30% merupakan tanaman MPTS dan 70% tanaman kayuOBIT mencakup kehutanan (RHL (APBN, APBD, DAK DR), KBR, Reklamasi hutan bekas tambang, HR Kemitraan, Hutan Kota, Penghijauan Lingkungan (APBN), HTI, HTR, Perhutani, dll.) dan non kehutanan (trembesi (banpres), Kementan, PU, TNI/POLRI, BUMN/D/S)
TahunGERHAN
APSI OMOT OBIT HKMMPTS Kayu Total
2003 116.56 174.84 295.46 116.56
2004 302.27 451.56 759.73 302.27
2005 481.17 719.11 1,206.97 481.17
2006 491.29 734.29 1,232.28 491.29
2007 515.79 771.03 1,293.52 8.81 515.79
2008 560.58 838.23 1,405.51 - 560.58
2009 560.58 838.23 1,405.51 143.17 -
22.70 560.58
2010 560.58 838.23 1,405.51 143.17 1,649.01 50.08 560.58
2011 560.58 838.23 1,405.51 143.17 1,649.01 95.64 560.58
Jumlah Penanaman (juta batang)Tahun
GERHANAPSI OMOT OBIT HKM
MPTS Kayu Total
2003 129.50 129.50 328.25
2004 322.87 482.26 811.23
2005 501.00 748.76 1,256.54
2006 492.37 735.90 1,234.97
2007 518.46 775.04 1,300.19 79 9.79
2008 565.50 845.61 1,417.81 171.1 8.81
2009 508.95 761.049 1276.029 154.0 159.06 34.02
2010 458.055 684.944 1148.426 138.6 143.15 1,832.04 87.14
2011 412.25 616.45 1033.583 124.7 128.84 1,648.84 187.83
Jumlah akumulasi dengan asumsi survival rate 90%
; Untuk t mulai 2004
Sumber: Kabadan Litbang, Nopember 2011
20 Lampiran dan Dokumentasi
Serapan CO2 (Juta ton)Tahun
GERHANOMOT OBIT HKM TotalMPTS Kayu Total
2003 1.29 1.94 3.28 ‐ ‐ ‐ 3.28 2004 3.36 5.01 8.43 ‐ ‐ ‐ 8.43 2005 5.34 7.98 13.40 ‐ ‐ ‐ 13.40 2006 5.45 8.15 13.68 ‐ ‐ ‐ 13.68 2007 5.73 8.56 14.36 ‐ ‐ 0.10 14.46 2008 6.22 9.31 15.60 ‐ ‐ ‐ 15.60 2009 6.22 9.31 15.60 1.59 ‐ 0.25 17.44 2010 6.22 9.31 15.60 1.59 18.31 0.56 36.05 2011 6.22 9.31 15.60 1.59 18.31 1.06 36.56 2012 Asumsi: serapan karbon = 3.0275 tC/ha/yr
Kontribusi serapan karbon program RHL NasionalKemenhut sd 2011 sebesar 36,56 juta tCO2
Dengan model peramalan :Total = 3.7664*t – 1.176 ; R2=82.17%,
diperkirakan kontribusi Kemenhut sd 2020 sebesar66,62 juta tCO2 atau sekitar 10% dari target national
action plan PERPRES 61/2011
36.492013 40.252014 44.022015 47.792016 51.552017 55.322018 59.092019 62.85
202066.62
Sumber: Kabadan Litbang, Nopember 2011
Carbon Stocks (beberapa Land Use System)
14
Time-averaged C-stock of various land use systems estimated from primary and secondary data with 95% confidence interval
PENUTUPAN LAHAN
KAWASAN HUTANAREAL
PENGGUNAAN LAIN
TOTAL
Area (ha) % Area (ha) % Area (ha) %
BERHUTAN92,328
(Primer=43,801, LOA=48,526)
49% 8,412 4% 100,740 54%
TIDAK BERHUTAN 40,071 21% 46,976 25% 87,047 46%
TOTAL 132,399 71% 55,388 29% 187,787 100%
Sumber: Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006 (217 scene)Penafsiran pada tahun 2007, Publikasi pada tahun2008
Unit: Juta hektar
21PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
IDENTIFIKASI PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN YANG MEMPENGARUHI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN dan
atau TIDAK MENDUKUNG MITIGASI
• UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 19, 38, dan 78
• UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, pasal 9• UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 15 dan 22 (KLHS dan AMDAL
• PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, pasal 4 jo pasal 16, dan pasal 5
Identifikasi (lanjutan)…………• PerMen Kehutanan No. P.31/Menhut‐II/2005 tentang Pelepasan
Kawasan Hutan dalam rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan yang telah diubah dengan PerMen Kehutanan No. P.22/Menhut‐II/2009 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.31/Menhut‐II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dalam rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan , pasal 3
• PerMen Kehutanan No. P.68/Menhut‐II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan‐ tidak memberi peluang untuk sub ntl di level kabupaten/kota
• PerMen Kehutanan No. P.53/Menhut‐II/2008 tentang Optimalisasi Peruntukan Areal Hutan Produksi yang dapat Dikonversi ‐ tidak mempertimbangkan emisi dari hutan alam yang dikonversi
Identifikasi (lanjutan…….)• PerMen Kehutanan No. P.30/Menhut‐II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan‐ terlalu site‐ based project dan ‘market‐based’
• Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.36/Menhut‐II/2009 tentang Tata Cara Perijinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung REDD+ tidak lengkap lebih ke arah ‘plus’ nya, tidak ada/sedikit DD
• PerMen Kehutanan No. P.33/Menhut‐II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi pasal 2
Identifikasi (lanjutan)…………• PerMen Kehutanan No. P.34/Menhut‐II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan‐‐ tidak diatur perubahan fungsi terkait mitigasi PI
• PerMen Kehutanan No. P.14/Menhut‐II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, pasal 2 jo pasal 4
Penyebab Deforestasi dan Degradasi
Sumber: Draft Stranas REDD+ (2011)
22 Lampiran dan Dokumentasi
REKOMENDASI PERUBAHAN/PENYEMPURNAAN
REGULASI
1. Pengarus Utamaan Isu Perubahan Iklimdalam tingkat UU PERPPU ?
2. Perubahan/Revisi/PenyempurnaanPermenhut yang tidak/belummemperhatikan implikasi terhadappercepatan deforestasi dan degradasihutan
3. Perubahan/Revisi/Penggabungan/Penyempurnaan Permenhut nomor P.30/2008, P.68/2008, dan P.36/2009 yang akanmendorong upaya penerapan REDD+ dilapangan.
4. Harus ada peraturan perundang undanganyang mengatur deforestasi di luar kawasanhutan.
Rekomendasi Governance di Tingkat Pemerintah
• Penyempurnaan Kelembagaan Pemerintah di semua Level dan penerapan sistem dan mekanisme yang jelas.
• Merealisasikan Pembangunan KPH.
• Penerapan Desentralisasi yang meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab di setiap TINGKAT.
• Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Tata Guna Lahan yang didasarkan atas Prinsip Pembangunan Rendah Karbon (analysis of carbon stock potential at the various management units in a landscape).
• Menerapkan proses ‘bottom-up’ dari tk desa/kampung dalam pembahasan/penetapan RTRW
• Membangun persetujuan para pihak (stakeholders) yang didasarkan atas analisis scientific termasuk konsep ‘bundling’
Approach to replication of
strategies across the district
BFCP
Conservation or
protection area
Natural forest
concessions Palm Oil
Concessions
National Carbon
Management Program
BFCP CREATES ENABLING CONDITIONS
•District-wide carbon accounting
•Upfront finance
•Policy work
•Payment distribution mechanism
MODEL INCENTIVE
AGREEMENTS
Customized for each sector.
Common elements
•Manager commitment to achieve
performance targets (e.g. FSC
certification)
•Technical assistance delivered
efficiently
•Financial incentives, including
operations financing and
performance payments
•Streamlined regulatory context
CUSTOMIZED
AGREEMENTS
•Customized agreements
are negotiated with each
land manager
•Streamlined performance
monitoring
BUNDLING MAINTAINS OPTIONS FOR CARBON FINANCING
Bundling simplifies program management in light of uncertainties about carbon
finance arrangements internationally. Approach could be adapted to:
•Carbon market with company buyers or government buyers
•Fund-based pubic financing from outside Indonesia
•Internal GOI payment/incentive transfer mechanism
Villages
1
2
3
4
• Institusi di tingkatdesa/kampung sangat lemah
• Lemahnya Hak Hak (eg. tenurial) , menyebabkanhubungan mereka denganpihak lain lemah
• Ketidaksetaraan kekuatanmenyebabkan rendahnyakompensasi
• Masyarakat lokal sering tidakbisa bersaing denganpendatang
Posisi Masyarakat LokalKondisi secara Umum
23PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Development of Alternative Livelihood
Monitoring and
Evaluation Implementation of mitigation and NRM activities (Management of Village Forests, patrolling, ANR,
etc.)
Provision of performance‐based Village Dev Assistance
Inputs for next year Mgt Plan
Formulation of Annual Mgt Plan
& Budget
Village Annual Village Dev Plan
Livelihood ‘Business Plan’
Community Resolution and Community‐BFCP Agreement
Development of a Common Vision for
a LCG/’Green’ Village
Development of Strategic Management Plan and Village NRM
Institution
Village Medium Term Dev Plan & Institutional Analysis
Village Boundary Demarcation and ‘Registration’
Village Consultation and
awareness building
Strategi Penerapan Proses PemberdayaanMasyarakat Lokal (contoh)
Rekomendasi Governance di Tingkat Masyarakat (Lokal)
• Pemetaaan dan analisis detail atas karakteristik masyarakat
• Membangun dan menerapkan berbagai strategi Pemberdayaan dan Pelibatan Masyarakat yangsesuai dengan karakteristik setempat.
• Penguatan Sumber daya dan kelembagaan melalui bantuan teknis (technical assistance), pelatihan dan investasi.
• Penyelesaian masalah tenurial - Bersama stakeholders lain.
Pengurangan Emisi tanpa Pengurangan Produksi
Wood Processing
Harvest Tree
Felling Damage
Skidding
Hauling
0
5
10
15
20
25
30
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Conventional Logging
Efficiency Practices
Efficiency Practices
& Set Asides
Tim
ber Production (m
3/ha)
Emissions (MgC/ha)
Timber Production
Rekomendasi Governance di Sektor Swasta
• Penerapan best practices: sustainable forest management di HPH (RIL, SVLK, HCVF, Collaborative Management, Mandatory and/or Voluntary Certification).
• Penerapan Regulasi yang ketat dengan membangun incentive and disincentive system.
• Penegakan Hukum.
PERAN AKADEMISI
1. Pemberi inputs dan analisis berdasarkankajian scientific
2. Aktif sebagai katalisator dalampeningkatan kapasitas di semua levels (pemerintah, Pemda, swasta/bisnis, danmasyarakat.
3. Merangkum lesson learned dari DA’smaupun kajian tingkat regional danglobal untuk policy intervention.
4. Penyedia technical assistance
24 Lampiran dan Dokumentasi
PEMBANGUNAN APA HARUS BERHENTI?
TIDAK!!!Tapi :
SEBAIKNYA HARUS TERANCANG DENGAN BENAR
DAN BAIK ATAS KAJIAN SCIENTIFIC
DEVELOPMENT BY DESIGN
TERIMA KASIH
2. Dokumentasi
Gambar 1. Sekjen Kemenhut, Ka Pustanling dan Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc
25PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Gambar 4. Kelompok Pembahasan_A
Gambar 5. Kelompok Pembahasan_B
27PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
3. Daftar Peserta
NO NAMA INSTANSI
1. AgusBasuki UNREDD
2. AgusJustianto BUK
3. AgusP.Djailani MFPII
4. AriSuharto CERINDONESIA
5. Arifanto PT.WKS
6. BetiNurbaeti IPB
7. DaddyRuhiyat DDPIKaltim
8. DanangPriyanto Pusyanluh
9. DeddyHadriyanto UNMUL
10. Deni BiroHukumdanOrganisasi–Kemenhut
11. DinikIndrihastuti Pustanling
12. EddyS. APHI
13. EffendySumardja GER
14. ErnaRosita Pustanling
15. Ernawati Planologi
16. EviWulandari BiroPerencanaan
17. FadrizalLabay BLHRiau
18. Fathri SJM
19. FarahSofa IFACS
20. GiorgioB.Indarto ICEL
21. GustiEkaS. DIT.BUHA-Kemehut
22. HadiDaryanto SekjenKemenhut
23. HarisSurono SinarMasForestry
24. HaryoPambudi Pustanling
25. IwanWibisono WWF
26. Japar USAID–IFACS
27. JeniPareira GER
28. Kuswandono PJLKKHL
29. M.Farid DNPI
30. M.SigitWidodo IFACS
31. Machfud UNREDD
32. NanangRA. APHI
33. NandangPrihadi KKH
34. NoviaWidyaningtyas Pustanling
35. NurMasripatin Pustanling
36. RetnoMaryani PUSPIJAK
37. RizaldiBoer IPB
38. Ruslandi Planologi
39. SitiYumiati IFACS
40. SofyanSiregar UNRI
41. SriLasmi PUSDALII
42. TeddyRusolono IPB
43. TegarR. KLN
44. TriMainy Pustanling
45. WahjudiWardojo TNC
46. WahyuWidhi DISHUT
47. WindyoLaksono Pustanling
NO NAMA INSTANSI
48. YayanHadiyan Pustanling
49. ZainuriHasyim YMIRiau
50. Zulfikar DISHUTSumsel
B. Pertemuan di Jakarta Pada Tanggal 23 Desember 2011
1. Bahan Presentasi
a. Review Peraturan Perundang-undangan terkait REDD+ (Dr. Ir. Suhaeri – Kepala Bagian Kelembagaan Biro Hukum Kementerian Kehutanan)
REVIEW PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT REDD +
Oleh :
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
BIRO HUKUM DAN ORGANISASI KEMENTERIAN KEHUTANAN
Disampaikan Dalam Rangka“ Workshop Stakeholder Process to Review Regulatory Framework and Formulate an Integrated
REDD + Regulation oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan tanggal 28 Desember 2011 di Jakarta “
Keterkaitan Hutan dengan Iklim
1. Hutan berfungsi sebagai:Penyerap GRK (rosot atau sink) dan penghasil O2
Sumber emisi GRK (source) kalau tidak dikelola sesuai prinsip sustainable forest management
2. Hutan berfungsi dalam mengatur keseimbangan energi dan pola tekanan udara di atmosfer →sebagai sumber Karbon Stock
3. Hutan berfungsi dalam mengatur siklus air dan hidrologi → sebagai sumber air
4. Hutan berfungsi sumber penghidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
28 Lampiran dan Dokumentasi
Asas Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Kehutanan
1. kejelasan tujuan;2. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;3. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;4. dapat dilaksanakan;5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;6. kejelasan rumusan; dan7. keterbukaan.
Asas Pembuatan Materi Muatan Peraturan
1. Pengayoman → perlindungan & ketentraman2. Kemanusiaan→ perlindungan HAM3. Kebangsaan → NKRI4. Kekeluargaan → musyawarah mufakat5. Kenusantaraan → kepentingan nasional6. Bhinneka tunggal ika → keberagaman7. Keadilan→ keadilan yg proporsional8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan → non diskriminatif9. Ketertiban dan kepastian hukum10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Sumber Hukum Pembuatan Kebijakan Kementerian Kehutanan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.02/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Formulasi, Implementasi,
Evaluasi Kinerja dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Kementerian Kehutanan
Peraturan Menteri Kehutanan terkait Isu Perubahan Iklim
1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara aforestasi dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih
2. Peraturan Menteri Kehutanan No.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasai Hutan (REDD)
4. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
P.14/Menhut-II/2011 ttg ARCDM
Aforestasi adalah penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan merupakan hutan
Materi ini tidak sesuai dengan asas dalam peraturan perundang-undangan bidang kehutanan
Reforestasi adalah penghutanan pada lahan yang sejak tanggal 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan.
Pembatasan waktu tidak memenuhi kaidah peraturan dalam bidang kehutanan
Pelaku Usaha :1. Pemegang IUPHHK2. Pemegang IUPJL
Tertutup bagi pemrakarsa yang akan investasi dalam bidang ARCDM
P. 68/Menhut-II/2008 Penyelenggaraan DA REDD
Belum ada kriteria dan indikator DA sehingga usulan kegiatan DA terkendala dalam proses
persetujuannya
Obyek Kegiatan Hutan Negara dan hutan hak
Pelaku Kegiatan Pemrakarsa (dapat bermitra)
Jangka waktu 5 (lima) tahun
Penilai Usulan POKJA Pengendalian Perubahan Iklim Kemhut
P. 30/Menhut-II/2009 Tata Cara REDD
Belum ada mekanisme penyesesuaian antara prinsip REDD dengan pelaksanaan perizinan
usaha pemanfaatan hutan
Obyek Kegiatan Hutan Negara dan hutan hak
Pelaku Kegiatan 1. Entitas Nasional2. Entitas Internasional
Penilai usulan Komisi REDD
P. 36/Menhut-II/2009 Tata Cara IUP RAP/PAN Karbon
Karbon hutan belum dimasukan dalam obyek PNBP sehingga terkendala dalam
pengadministrasian penerimaan negara
Obyek Pengaturan Aplikasi usaha karbon dalam hutan produksi dan hutan lindung
Obyek Kegiatan Kawasan hutan produksi, lindung dan hutan hak
Pelaku Kegiatan Pemegang IUPHHK HA, HT, HTR, RE, IPHKm, IPHD, Hutan Rakyat
Penilai usulan Dirjen yang terkait bentuk Tim Penilai
Distribusi Nilai Jual Jasa Lingk
Terdistribusi diantara Pemerintah, Pengembang dan masyarakat
29PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Tindak Lanjut
1. Telah disusun Draft Permenhut tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan
2. Telah disusun Draft Permenhut tentang Mekanisme Perdagangan Karbon Hutan
3. Memasukan materi karbon hutan sebagai salah satu obyek PNBP Bidang Kehutanan dalam draft Final RPP revisi PP No. 58/1998 tentang Tarif atas jenis PNBP yang berlaku di Kementerian Kehutanan
b. Sosialisasi Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Dr. Ir. Budi Situmorang,
MURP - Kasubdit Penyusunan Tata Ruang
Nasional dan Pulau, Kementerian Pekerjaan
Umum)
DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANGD E P A R T E M E N P E K E R J A A N U M U M
SOSIALISASI
UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007
TENTANG PENATAAN RUANG
Bahan Tayangan Materi SosialisasiUndang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Cetakan Kedua : Desember 200749 Halaman
Direktorat Jenderal Penataan RuangDepartemen Pekerjaan UmumJln. Pattimura No. 21 Kebayoran Baru – Jakarta Selatan 12110
DENGAN UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG MENUJU RUANG NUSANTARA YANG AMAN, NYAMAN, PRODUKTIF,
DAN BERKELANJUTAN
KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
Setelah Undang-Undang No. 26 tentang Penataan Ruang ditetapkan padatanggal 26 April 2007. Selanjutnya Undang-Undang ini menjadi landasan utamabagi seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penataan ruang diIndonesia.
Dalam rangka sosialisasi Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini,diterbitkan buku tayangan singkat sosialisasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun2007 tentang Penataan Ruang. Adapun buku tayangan ini secara garis besarmemuat pendahuluan, visi dan arah kebijakan, hal-hal pokok yang diaturUndang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang, dan penutup.
Semoga buku tayangan ini dapat mempermudah proses penyampaian materisosialisasi, sehingga terwujud pemahaman yang komprehensif terhadapUndang-Undang tentang Penataan Ruang ini.
DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG
IMAM S. ERNAWI
OUTLINE
PENDAHULUAN 1KONSIDERAN 6BAB I KETENTUAN UMUM 8BAB II ASAS DAN TUJUAN 10BAB III KLASIFIKASI PENATAAN RUANG 11BAB IV TUGAS DAN WEWENANG 13BAB V PENGATURAN DAN PEMBINAAN PENATAAN RUANG 15BAB VI PELAKSANAAN PENATAAN RUANG 16BAB VII PENGAWASAN PENATAAN RUANG 40BAB VIII HAK, KEWAJIBAN, DAN PENGAWASAN MASYARAKAT 41BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA 42BAB X PENYIDIKAN 43BAB XI KETENTUAN PIDANA 44BAB XII KETENTUAN PENUTUP 47 KESIMPULAN 48
30 Lampiran dan Dokumentasi
PENDAHULUAN
TANTANGAN
1
1. Posisi Indonesia berada pada kawasan yang sangat cepat berkembang (Pacific
Ocean Rim & Indian Ocean Rim)
perlunya mendorong daya saing perekonomian
khususnya dalam rangka pertumbuhan
ekonomi wilayah
2. Peningkatan intensitas kegiatan pemanfaatan ruang terutama yang
terkait dengan eksploitasi Sumber Daya Alam
Tantangan…Lanjutan
2
sangat mengancam kelestarian lingkungan
Frekuensi gempa di Indonesia(rata-rata
450gempa/thn)
Tantangan…Lanjutan
3
3. Letak Indonesia pada kawasan pertemuan 3
lempeng tektonik, yang mengakibatkan rawan
bencana geologi
menuntut prioritisasi pertimbangan aspek
mitigasi bencana dalam penataan ruang
Tantangan…Lanjutan
4
4. Keberadaan pulau-pulau kecil terluar
pada kawasan perbatasan negara
memerlukan perhatian khusus
demi menjaga kedaulatan NKRI
PERMASALAHAN
Alih fungsi lahan
5
Semakin menurunnya kualitas permukiman
Kesenjangan antar dan di dalam wilayah
KONSIDERAN MENIMBANG
Ruang wilayah NKRI merupakan kesatuan wadah & sumber daya yang perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya, dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang agar kualitas ruang dapat terjaga keberlanjutannya untuk kesejahteraan umum &keadilan sosial.
Perkembangan situasi & kondisi nasional/internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan.
Untuk memperkukuh pertahanan nasional, kewenangan penyelenggaraan penataan ruang perlu diatur guna menciptakan keserasian & keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah.
6
Ruang yang terbatas & pemahaman masyarakat yang telah berkembang menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
NKRI berada pada kawasan rawan bencana menuntut adanya penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana.
UU No. 24 /1992 ttg Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang maka perlu diganti.
7
KONSIDERAN. …Lanjutan
BAB I. KETENTUAN UMUM
1. ruang2. tata ruang3. struktur ruang4. pola ruang5. penataan ruang6. penyelenggaraan
penataan ruang7. Pemerintah Pusat8. pemerintah daerah9. pengaturan penataan
ruang10. pembinaan penataan
ruang11. pelaksanaan
penataan ruang
12. pengawasan penataan ruang
13. perencanaan tata ruang14. pemanfaatan ruang15. pengendalian
pemanfaatan ruang16. rencana tata ruang 17. wilayah 18. sistem wilayah19. sistem internal
perkotaan20. kawasan21. kawasan lindung22. kawasan budidaya23. kawasan perdesaan24. kawasan agropolitan
25. kawasan perkotaan26. kawasan metropolitan27. kawasan megapolitan28. kawasan strategis
nasional29. kawasan strategis
provinsi30. kawasan strategis
kabupaten/kota31. ruang terbuka hijau32. izin pemanfaatan ruang33. orang34. menteri
Ket:
istilah baru
Ps. 1
8
31PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
BAB I. …Lanjutan
PENGERTIAN DASAR
adalah hasil perencanaan tata ruang.
RENCANA TATA RUANG
RUANGadalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempatmanusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memeliharakelangsungan hidupnya.
Ps. 1 angka 1
adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
TATA RUANGPs. 1 angka 2
PENATAAN RUANG
adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Ps. 1 angka 5
Ps. 1 angka 16
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG
adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Ps. 1 angka 6
9
a. keterpaduan;b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;c. keberlanjutan;d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;e. keterbukaan;f. kebersamaan dan kemitraan;g. pelindungan kepentingan umum;h. kepastian hukum dan keadilan; dani. akuntabilitas.
BAB II. ASAS DAN TUJUAN
ASAS
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,nyaman, produktif, dan berkelanjutanberlandaskan Wawasan Nusantara dan KetahananNasional
TUJUAN
Ps. 2
Ps. 3
10
BAB III. KLASIFIKASI PENATAAN RUANG
DIKLASIFIKASIKAN BERDASARKAN
SISTEM
FUNGSI UTAMA KAWASAN
WILAYAH ADMINISTRATIF
KEGIATAN KAWASAN
NILAI STRATEGIS KAWASAN
Sistem Wilayah Sistem Internal Perkotaan
Kws. BudidayaKws. Lindung
PR Wil. Nasional
PR Wil. Provinsi
PR Wil. Kab. / Kota
PR Kws. PerdesaanPR Kws. Perkotaan
PR Kws Strategis Nasional
PR Kws Strategis Provinsi
PR Kws Strategis Kab./Kota
Ps. 4
Ps. 5 ayat (1)
Ps. 5 ayat (2)
Ps. 5 ayat (3)
Ps. 5 ayat (4)
Ps. 5 ayat (5) 11BHK-DJPR/Presentasi/DR
SistemWilayah
SistemInternal
Perkotaan
Penataan Ruang Wilayah Nasional
PR Kws. Strategis Nasional
PR Kws. Perdesaan
PR Kws. Lindung PR Kws. Budi Daya
Penataan Ruang Wilayah Provinsi
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
PR Kws. Strategis Provinsi
PR Kws. Strategis Kabupaten
Penataan Ruang Wilayah Kota
PR. Kws. Strategis Kota
Berdasarkan Sistem Berdasarkan Wilayah Administratif
PR Kws. Perkotaan
Berdasarkan Nilai Strategis Kawasan
Berdasarkan Kegiatan Kawasan
12
Berdasarkan Fungsi Utama Kawasan
KLASIFIKASI PENATAAN RUANG BERDASARKAN SISTEM, FUNGSI DAN NILAI STRATEGIS KAWASAN
Ps. 5 ayat (5)Ps. 5 ayat (3)
Ps. 5 ayat (2)
Ps. 5 ayat (4)
Ps. 5 ayat (1)
BAB III. …Lanjutan
BAB IV. TUGAS DAN WEWENANG
TUR, BIN, dan WAS terhadap :- LAK PR wilayah Nasional, provinsi, &
kabupaten/kota,- LAK PR kws. strategis nasional, provinsi, &
kabupaten/kota
LAK PR wilayah Nasional
LAK PR kws strategis Nasional
Kerja sama PR antarnegara & fasilitasi kerja sama antarprovinsi
NEGARA
WEWENANG PEMERINTAH
WEWENANG PEMERINTAH
PROVINSI
WEWENANG PEMERINTAH KAB./KOTA
Dalam melaksanakan tugasnya, negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah
Negara menyelengga-rakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran raktyat
TUR, BIN, dan WAS terhadap :- LAK PR wilayah provinsi & kabupaten/kota,- LAK PR kws. Provinsi & kabupaten/kota
LAK PR wilayah provinsi
LAK PR kws. strategis provinsi
Kerja sama PR antarprovinsi & fasilitasi kerja sama antarprovinsi
TUR, BIN, dan WAS terhadap :- LAK PR Wilayah kabupaten/kota,- LAK PR kws. strategis kabupaten/kota
LAK PR wilayah kabupaten /kota
LAK PR kws. strategis kabupaten/kota
Kerja sama PR antarkabupaten/kota
Ket:TUR = pengaturanBIN = pembinaanLAK = pelaksanaanWAS = pengawasanPR = penataan ruang
Ps. 7 ayat (1)
Ps. 7 ayat (2)
Ps. 8
Ps. 10
Ps. 11
Seorang Menteri
Ps. 9 ayat (1)
13
BAB IV. …Lanjutan
Pengaturan
upaya pembentukan landasan hukum bagi
Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dalam penataan ruang
Pembinaan Pelaksanaan Pengawasan
Penyelenggaraan Penataan Ruang
Ps. 1 angka 9 Ps. 1 angka 10 Ps. 1 angka 11 Ps. 1 angka 12
14
upaya untuk meningkatkan kinerja
penataan ruang yang diselenggarakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat
upaya pencapaian tujuan penataan
ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
upaya agar penyelenggaraan penataan ruang
dapat diwujudkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
BAB V. PENGATURAN DAN PEMBINAAN PENATAAN RUANG
PENGATURAN
Penetapan ketentuan peraturan per-UU-an bidang penataan ruang (termasuk pedoman bidang penataan ruangPs.12
melalui
PEMBINAAN
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;sosialisasi peraturan per-UU-an dan sosialisasi pedoman bidang penataan ruang;pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang;pendidikan dan pelatihan;penelitian dan pengembangan;pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; danpengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Ps. 13 ayat (2)melalui
dilakukan kepada
Ps. 13 ayat (1)
Pemerintah
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kabupaten/Kota
Masyarakat
15BHK-DJPR/Presentasi/DR
BAB VI. PELAKSANAAN PENATAAN RUANG
PELAKSANAAN
Perencanaan
Tata Ruang
Pemanfaatan
Ruang
Pengendalian
Pemanfaatan Ruang
suatu proses untuk menentukan struktur ruang & pola ruang yang meliputi penyusunan & penetapan
RTR
upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan RTR melalui penyusunan dan pelaksanaan program
beserta pembiayaannya
upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang yang meliputi peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dandisinsentif, serta pengenaan sanksi.
upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan:
Ps.12
Ps. 1 angka 11
Ps. 1 angka 15
Ps. 1 angka 13
Ps. 1 angka 14
16BHK-DJPR/Presentasi/DR
32 Lampiran dan Dokumentasi
BAB VI. …Lanjutan
PERENCANAAN TATA RUANG
WIL
AY
AH
PE
RK
OTA
AN
RENCANA UMUM TATA RUANG
RENCANA RINCI TATA RUANG
RTR KWS METROPOLITAN
RTR PULAU / KEPULAUAN
RTR KWS STRA. NASIONAL
RTR KWS STRA KABUPATEN
RTR KWS PERKOTAAN DLM WIL KABUPATEN
RTRW KOTARTR BAGIAN WIL KOTA
RTR KWS STRA KOTA
RDTR WIL KABUPATEN
RTR KWS STRA. PROVINSI
RDTR WIL KOTA
RTRW NASIONAL
RTRW PROVINSI
RTRW KABUPATEN
Menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang
sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang
Sebagai dasar penyusunan peraturan zonasi
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan
disusun apabila:
Ps. 14 ayat (1)
Ps. 14 ayat (2)Ps. 14 ayat (3)
Ps. 14 ayat (4)
Ps. 14 ayat (5)
Ps. 14 ayat (6)
17BHK-DJPR/Presentasi/DR
6.1
BAB VI. …Lanjutan
RENCANA TATA RUANG
Rencana Sistem Pusat Permukiman
Rencana Sistem Jaringan
Prasarana
Peruntukan Kawasan Lindung
Peruntukan Kawasan Budidaya
Sistem Wilayah
Sistem internal Perkotaan
Rencana Pola RuangRencana Struktur Ruang
Sistem Jaringan Transportasi
Sistem Jaringan Energi
Sistem Jaringan Telekomunikasi
Sistem Persampahan &
Sanitasi
Sistem Jaringan SDA, dll.
Kegiatan Pelestarian
Lingkungan Hidup
Kegiatan Sosial
Kegiatan Budaya
Kegiatan Ekonomi
Kegiatan Pertahanan &
Keamanan
Ps. 17 ayat (1)
Ps. 17 ayat (2) Ps. 17 ayat (3)
Ps. 17 ayat (4)
dalam RTRW ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 %dari luas DAS
Ps. 17 ayat (5)18
BHK-DJPR/Presentasi/DR
PROSES PENETAPAN RAPERDA TENTANG RENCANA TATA RUANG DAERAH
BAB VI. …Lanjutan
Koordinasi
Menteri Pekerjaan Umum
Persetujuan Substansi
Rancangan Perda Kabupaten/Kota3
4 2
GubernurBupati/
WalikotaRekomendasi
1
25 3
Menteri Dalam Negeri
Proses lebih lanjut
Menteri Pekerjaan Umum
B K T R NRancangan Perda
Provinsi
1
19
BAB VI. …Lanjutan
RTRWN
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL (RTRWN)
WANUS & HANASperkembangan permasalahan regional & global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasionalupaya pemerataan pembangunan & pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerahdaya dukung & daya tampung lingkungan hidupRPJPNRTR kawasan strategis nasionalRTRWP dan RTRWK
tujuan, kebijakan, & strategi penataan ruang wilayah nasionalrencana struktur ruang wilayah nasional yg meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya & sistem jaringan prasarana utamarencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional & kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasionalpenetapan kawasan strategis nasionalarahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunanarahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
jangka waktu
penyusunan RPJPNpenyusunan RPJPMNpemanfaatan ruang & pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasionalmewujudkan keterpaduan, keterkaitan, & keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektorpenetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasipenataan ruang kawasan strategis nasionalpenataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota
20 tahun
ditinjau kembali 1 kali dalam 5 tahun
ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun, dalam hal:
perubahan kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar; dan/atauperubahan batas teritorial negara
Peraturan Pemerintah
diatur dengan
Ps.19
Ps. 20 ayat (1)
Ps. 20 ayat (2)Ps. 20 ayat (3)
Ps. 20 ayat (4)
Ps. 20 ayat (5)
Ps. 20 ayat (6)
20BHK-DJPR/Presentasi/DR
Ps. 19
BAB VI. …Lanjutan
RTRWP
RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI (RTRWP)
disusun dengan memperhatikan
perkembangan permasalahan nasional & hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsiupaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsikeselarasan aspirasi pembangunan provinsi & pembangunan kabupaten/kotadaya dukung & daya tampung lingkungan hidupRPJPDRTRWP yang berbatasanRTR kawasan strategis provinsiRTRWK
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsirencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya & sistem jaringan prasarana wilayah provinsirencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsipenetapan kawasan strategis provinsiarahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunanarahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi
jangka waktu
penyusunan RPJPDpenyusunan RPJMDpemanfaatan ruang & pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsimewujudkan keterpaduan, keterkaitan, & keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektorpenetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasipenataan ruang kawasan strategis provinsipenataan ruang wilayah kabupaten/kota
20 tahun
ditinjau kembali 1 kali dalam 5 tahun
ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun, dalam hal:
perubahan kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar; dan/atauperubahan batas teritorial negara dan/atau provinsi
Peraturan Daerah Provinsi
ditetapkan dengan
RTRWNpedoman bidang penataan ruangRPJPD
Ps. 22 ayat (1)
Ps. 22 ayat (2)
Ps. 23 ayat (1)
Ps. 23 ayat (2)Ps. 23 ayat (3)
Ps. 23 ayat (4)
Ps. 23 ayat (5)
Ps. 23 ayat (6)
21BHK-DJPR/Presentasi/DR
Ps. 22
BAB VI. …Lanjutan
RTRW Kab.
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN (RTRW Kab.)
disusun dengan memperhatikan
perkembangan permasalahan provinsi & hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupatenupaya pemerataan pembangunan & pertumbuhan ekonomi kabupaten;keselarasan aspirasi pembangunan kabupatendaya dukung dan daya tampung lingkungan hidupRPJPDRTRWK yang berbatasanRTR kawasan strategis kabupaten
tujuan, kebijakan, & strategi penataan ruang wilayah kabupatenrencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan & sistem jaringan prasarana wilayah kabupatenrencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten & kawasan budi daya kabupatenpenetapan kawasan strategis kabupatenarahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunanketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif & disinsentif, serta arahan sanksi.
penyusunan RPJPDpenyusunan RPJMDpemanfaatan ruang & pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupatenmewujudkan keterpaduan, keterkaitan, & keseimbangan antarsektorpenetapan lokasi & fungsi ruang untuk investasipenataan ruang kawasan strategis kabupaten
20 tahun
ditinjau kembali 1 kali dalam 5 tahun
ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun, dalam hal:
perubahan kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar; dan/atauperubahan batas teritorial negara, prov., dan/atau kab.
Peraturan Daerah Kabupaten
Ditetapkan dengan
RTRWN & RTRWP;pedoman & petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; danRPJPD
Dasar penerbitan perizinan lokasi pembangunan &
administrasi pertanahan
Ps. 25 ayat (1)
Ps. 25 ayat (2)
Ps. 26 ayat (1)
Ps. 26 ayat (2)
Ps. 26 ayat (3)
Ps. 26 ayat (4)
Ps. 26 ayat (5)
Ps. 26 ayat (6)
Ps. 26 ayat (7)
22BHK-DJPR/Presentasi/DR
Ps. 25
21BHK-DJPR/Presentasi/DR
BAB VI. …Lanjutan
• tujuan, kebijakan, & strategi penataan ruang wil. kota • rencana struktur ruang wil. kota yg meliputi sistem
perkotaan di wilayahnya yg terkait dgn kws. perdesaan & sistem jaringan prasarana wilayah kota
• rencana pola ruang wil. kota yg meliputi kawasanlindung kota & kawasan budi daya kota
• penetapan kawasan strategis kota• arahan pemanfaatan ruang wil. kota yg berisi indikasi
program utama jangka menengah 5 tahunan• ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wil. kota
yg berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif & disinsentif, serta arahan sanksi
• rencana penyediaan & pemanfaatan RTH• rencana penyediaan & pemanfaatan ruang terbuka
nonhijau• rencana penyediaan & pemanfaatan prasarana &
sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, & ruang evakuasi bencana, yg dibutuhkan utk menjalankan fungsi wil. kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah
• penyusunan RPJPD• penyusunan RPJMD• pemanfaatan ruang &
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten
• mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, & keseimbangan antarsektor
• penetapan lokasi & fungsi ruang untuk investasi
• penataan ruang kawasan strategis kabupaten
RTRW Kota
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA (RTRW Kota)
• perkembangan permasalahan provinsi & hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota
• upaya pemerataan pembangunan & pertumbuhan ekonomi kota;
• keselarasan aspirasi pembangunan kota• daya dukung & daya tampung lingkungan hidup• RPJPD• RTRWK yang berbatasan• RTR kawasan strategis kota
20 tahun
Peraturan Daerah Kota
Ditetapkan dengan
• RTRWN & RTRWP;• pedoman & petunjuk
pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
• RPJPD
Dasar penerbitan perizinan lokasi pembangunan &
administrasi pertanahan
Ps.28
23
ditinjau kembali 1 kali dalam 5 tahun
ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun, dlm hal:perubahan kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar; dan/atauperubahan batas teritorial negara, prov., dan/atau kab.
BHK-DJPR/AAS/P t i
KOMPLEMENTARITAS RENCANA TATA RUANG
Dilengkapi peraturan zonasi
(Zoning Regulation)
24
BAB VI. …Lanjutan
BHK-DJPR/Presentasi/DR
33PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
PENGUATAN ASPEK PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM RENCANA TATA RUANG
Pasal 17 ayat (5) UUPR memuat: dalam rangka pelestarian lingkungan dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
25
BAB VI. …Lanjutan
CONTOH DAERAH ALIRAN SUNGAI YANG
LUAS KAWASAN HUTANNYA KURANG
DARI 30 %
KAWASAN HUTAN DI DAS CILIWUNG
KURANG LEBIH 15 %
BAB VI. …Lanjutan
RUANG TERBUKA
RUANG TERBUKA HIJAU(MIN 30% LUAS KOTA)
RTH PRIVAT
RUANG TERBUKA NON HIJAU
RUANG TERBUKA NON HIJAU PUBLIK
RTH PUBLIK(20% LUAS KOTA)
TIPOLOGI RTH
RTH
Fisik Struktur Kepemilikan
RTHAlami
RTH Non-alami
Pola Ekologis
Pola Planologis
RTH Publik
RTH Privat
Fungsi
Ekologis
Sosial/ Budaya
Arsitektural
Ekonomi
RUANG TERBUKA NON HIJAU PRIVAT
Ps. 29 ayat (1)Ps. 29 ayat (2)
Ps. 29 ayat (3)
26BHK-DJPR/Presentasi/DR
Neraca Penatagunaan Tanah
BAB VI. …Lanjutan
PEMANFAATAN RUANG
Dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya dgn memperhatikan SPM
dlm penyediaan sarana & prasarana
Dilaksanakan baik pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi
Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, termasuk jabaran dari indikasi program utama yg
termuat di dlm RTRW
Diselenggarakan secara bertahap sesuai dgn jangka waktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yg
ditetapkan dlm RTR
Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah disinkronisasikan dgn pelaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah administratif sekitarnya
Penatagunaan Tanah
dikembangkan
Penatagunaan Udara
Penatagunaan Air
Penatagunaan SDA lainnya
diselenggarakan kegiatan penyusunan
dan penetapan
Neraca Penatagunaan Udara
Neraca Penatagunaan Air
Penatagunaan SDA lainnya
Pembangunan prasarana & sarana bagi kepentingan umum memberikan hak
prioritas pertama bagi pemerintah utk menerima pengalihan hak atas tanah dari
pemegang hak atas tanah
perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRW & RTR kawasan strategis
perumusan program sektoral dlm rangka perwujudan struktur ruang & pola ruang wilayah & kawasan strategis
kawasan budi daya yg dikendalikan
kawasan budi daya yg didorong pengembangannya
pengembangan kawasan secara terpadu
ditetapkan
SPM bidang penataan ruang
standar kualitas lingkungan
daya dukung & dayatampung lingkungan hidup
dilaksanakan sesuai
pelaksanaan pembangunan sesuai dgn program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis
Ps. 32 ayat (1)
Ps. 32 ayat (2)
Ps. 32 ayat (3)
Ps. 32 ayat (4)
Ps. 32 ayat (5)
Ps. 33 ayat (1)Ps. 33 ayat (2)
Ps. 33 ayat (3)
dilakukan
melalui
Ps. 34 ayat (1) Ps. 34 ayat (2)
Ps. 34 ayat (3)
Ps. 34 ayat (4)
27BHK-DJPR/Presentasi/DR
6.2.
BAB VI. …Lanjutan
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Penetapan Peraturan
ZonasiPerizinan
PemberianInsentif & Disinsentif
Dilakukan upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang
Ps. 1 angka15
28BHK-DJPR/Presentasi/DR
6.3.
PengenaanSanksi
Ps. 36 Ps 37 Ps. 38 Ps. 62-63
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Ps. 35
Ps. 69-75
BAB VI. …Lanjutan
Peraturan Zonasi
Penetapan Peraturan
Zonasi
sebagai pedoman untuk pengendalian
pemanfaatan ruang
Rencana Rinci Tata Ruang
disusun berdasarkan
PP untuk arahanperaturan zonasisistem nasional
Perda provinsi untuk arahan peraturan
zonasi sistem provinsi
Perda kabupaten/kota untuk peraturan zonasi
ditetapkan dengan
Ps. 36 ayat (1)
Ps. 36 ayat (3)
Ps. 36 ayat (2)
29
6.3.1.
Peraturan Zonasi (Zoning Map)
4A4A
4A
4B
4B
4B
4B
4B
4B4B
4B
3B
3B
3B
3B
5A
5B
5B
5B
4A
4A
4A
5A
5A
5A
5A
5A
5A
5A 5A
5A
5A
5A
5A
5A
5A
5A
4B
4A
4A
4A
4A
4A
4A
4A4A
5A
5B
ZONA 4A : PERUMAHAN TERBATAS
ZONA 4B : PERUMAHAN KOTAZONA 3B : RUANG TERBUKA/TAMAN KOTA
ZONA 5A : KAWASAN KOMERSIAL
ZONA 5B : KAWASAN PERKANTORAN
ZONA 6A : KAWASAN KHUSUS
6A
30
BAB VI. …Lanjutan
BHK-DJPR/Presentasi/DR
Contoh Peraturan ZonasiPembagian BLOK
Kawasan Pusat PemerintahanKota Sofifi (BWK 2)
No. Pembagian Blok
Luas (Ha)
1 BLOK A 107,13
2 BLOK B 68,18
3 BLOK C 112,76
4 BLOK D 58,24
5 BLOK E 123,78
6 BLOK F 110,01
Fungsi lahan yang akan dikembangkan di KotaSofifi adalah:
• Kawasan Pemerintahan
• Kawasan Niaga/ perdagangan
• Kawasan Perumahan dan Pemukiman
• Kawasan Fasiltas Umum dan Sosial
• Kawasan Rekreasi
• Kawasan Pelabuhan (transportasi)
• Ruang Terbuka Hijau
BHK_DJPR_Dep. PU
31
BAB VI. …Lanjutan
BHK-DJPR/Presentasi/DR
Contoh Peraturan Zonasi (zoning map dan zoning text) untuk Blok C
32
BAB VI. …Lanjutan
BHK-DJPR/Presentasi/DR
34 Lampiran dan Dokumentasi
Izin Pemanfaatan
Ruang
diatur oleh Pemerintah & pemda (menurut kewenangan masing-masing)
apabilatidak
sesuaiRTRW
dikeluarkan dan/atau diperoleh dgn tidak melalui
prosedur yg benar
diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi
kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW
batal demi hukum
penggantian / ganti kerugian
yg layakakibat adanya perubahan
RTRWN
Ps. 37 ayat (6)
Ps. 37 ayat (5)
Ps. 37 ayat (3)
33
BAB VI. …Lanjutan
Perizinan6.3.2.
Perizinan
dapatdibatalkan
Ps. 37 ayat (4)
BAB VI. …Lanjutan
Pemberian Insentif
agar pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW
perangkat/upaya utk memberikan imbalan thdpelaksanaan kegiatan yang sejalan dgn RTR
Pemberian Disinsentifperangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan,
/mengurangi kegiatan yg tidak sejalan dengan RTR
keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, & urun saham
pembangunan serta pengadaan infrastruktur
kemudahan prosedur perizinan
pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah
Subsidi
DukunganPerwujudan RTR
Pemerintah(mendapat manfaat dari penyelenggaraan penataan ruang)
Pemerintah Daerah(dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang)
Pemerintah Daerah 1(mendapat manfaat dari penyelenggaraan penataan ruang)
Pemerintah Daerah 2(mendapat manfaat dari penyelenggaraan penataan ruang)
kompensasi
DukunganPerwujudan RTR
Pemerintah & Pemerintah Daerah Swasta / MasyarakatDispensasi
DukunganPerwujudan RTR
pengenaan pajak yang tinggi yg disesuaikan dengan besarnya biaya yg dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang
pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti
diberikan oleh:Ps. 38 ayat (5)
Ps. 38 ayat (3)Ps. 38 ayat (2)
Ps. 38 ayat (1)
kepada:
34BHK-DJPR/Presentasi/DR
Pemberian Insentif dan Disinsentif6.3.3.
BAB VI. …Lanjutan
Pengenaan Sanksi6.3.4.
Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yg dilakukan terhadap pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan RTR & peraturan zonasi
Ps. 63
SanksiAdministratif
Sanksi Pidana
Ps. 69
peringatan tertulispenghentian sementara kegiatanpenghentian sementara pelayanan umumpenutupan lokasipencabutan izinpembatalan izinpembongkaran bangunanpemulihan fungsi ruang; dan/ataudenda administratif
Ps. 73 ayat (2)
Ps. 74 ayat (2)
Pidana Pokok:PenjaraDenda
Pidana TambahanPemberhentian secara tidak hormat dari jabatannyaPencabutan izin usahaPencabutan status badan hukum
Sanksi Perdata
Tindak pidana yang menimbulkan
kerugian secara perdata
35
KAWASAN PERKOTAAN: KAWASAN METROPOLITAN:
adalah wilayah yg mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dgn susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan & distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, & kegiatan ekonomi
adalah kawasan perkotaan yg terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yg berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dgn kawasan perkotaan di sekitarnya yg saling memiliki keterkaitan fungsional yg dihubungkan dgn sistem jaringan prasarana wilayah yg terintegrasi dgn jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1 juta jiwa
Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada:
kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupatenkawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup 2 atau lebihwilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi
Menurut besarannya dapat berbentuk:
kawasan perkotaan kecilkawasan perkotaan sedangkawasan perkotaan besarkawasan metropolitankawasan megapolitan
RTR kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten adalah rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten
RTR kawasan perkotaan yang mencakup 2 atau lebih wilayah kabupaten/kota pada 1 atau lebih wilayah provinsi merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yg bersifat lintas wilayah
RTR kawasan metropolitan merupakan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah
Penataan ruang kawasan perkotaan yg mencakup 2/ lebih wilayah kabupaten/kota dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah
Ps. 1 angka 25 Ps. 1 angka 26
Ps. 41 ayat (1)
Ps. 42 ayat (1)
Ps. 41 ayat (2)
Ps. 43 ayat (1)
Ps. 44 ayat (1)
Ps. 47 ayat (1)
36BHK-DJPR/Presentasi/DR
BAB VI. …Lanjutan
PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN6.4.
KONSEP KAWASAN METROPOLITAN
KELURAHAN
KEC
AM
ATA
N
KOTA BESAR/ METROPOLITAN/MEGAPOLITAN
UN
IVER
SIT
AS
TAMANTAMAN KECAMATAN
TK
RUMAH
SDTAMAN KELURAHAN
KIOS
Pertokoan
STRUKTUR RUANG PERKOTAAN
BHK DJPR Dep PU
Kota Inti
Daerah Pinggiran
Kota Inti
Daerah Suburban
Kota Satelit
Daerah Pinggiran
Ruang Terbuka
hijau
Kota Inti
Daerah Suburban
Kota Satelit
37
BAB VI. …Lanjutan
Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk:pemberdayaan masyarakat perdesaan;pertahanan kualitas lingkungan setempat & wilayah yg didukungnyakonservasi sumber daya alampelestarian warisan budaya lokalpertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan panganpenjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan
KAWASAN PERDESAAN: KAWASAN AGROPOLITAN:
adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi
adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis
Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada:
kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupatenkawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi
dapat berbentuk kawasan agropolitan
RTR kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten adalah bagian rencana tata ruang wilayah kabupaten
RTR kawasan perdesaan yang mencakup 2 atau lebih wilayah kabupaten merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah
RTR kawasan agropolitan merupakan rencana rinci tata ruang 1 atau beberapa wilayah kabupaten
Penataan ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah
Ps. 1 angka 23 Ps. 1 angka 24
Ps. 49
Ps. 50 ayat (2)
Ps. 51 ayat (1)
Ps. 54 ayat (1)
Ps. 48 ayat (3)
Ps. 48 ayat (4)
Ps. 48 ayat (1)
Pelindungan thd kawasan lahan abadi pertanian pangan
diatur dgn UU Ps. 48 ayat (2)
38BHK-DJPR/Presentasi/DR
BAB VI. …Lanjutan
PENATAAN RUANG KAWASAN PERDESAAN6.5.
Kawasan Agropolitan Dalam Sistem Pemasaran
Sketsa Jaringan Jalan Dalam Kawasan Agropolitan
Sketsa jaringan jalan agar terjadi efisiensi desa-kotasebagai satu kesatuan dalam meningkatkan SDA,Infrastruktur buatan, & SDM
BAB VI. …Lanjutan
39
BAB VII. PENGAWASAN PENATAAN RUANG
PENGAWASAN PENATAAN RUANG
Kinerja PengaturanPenataan
Ruang
dilakukan terhadap
Pemantauan dan Evaluasi Pelaporan
terdiri atas
dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah
Masyarakat
melibatkan
menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah
dan pemerintah daerah
dilakukan dengan
dilakukan dengan
mengamati & memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan
penataan ruang dgn ketentuan peraturan per-UU-an
terbukti terjadi penyimpangan administratif
Menteri, Gubernur, & Bupati/Walikota
mengambil langkah penyelesaian sesuai
dengan kewenangannya
Gubernur mengambil langkah penyelesaian
yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota
dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan
langkah penyelesaian
Menteri mengambil langkah penyelesaian
yang tidak dilaksanakan Gubernur
dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah
penyelesaian
Kinerja pembinaanPenataan
Ruang
Kinerja Pelaksanaan
Penataan Ruang
kinerja fungsi dan manfaat
penyelenggaraan penataan ruang
kinerja pemenuhan standar pelayanan
minimal bidang penataan ruang
Ps. 55 ayat (1)
Ps. 55 ayat (3)
Ps. 55 ayat (4)
Ps. 55 ayat (5)
Ps. 56 ayat (1)
Ps. 56 ayat (2)
Ps. 56 ayat (3)
Ps. 58 ayat (1)
Ps. 56 ayat (4)
Ps. 55 ayat (2)
40
35PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
BAB VIII. HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
H A K KEWAJIBAN
a. mengetahui RTR
b. menikmati pertambahan nilai ruang
c. memperoleh penggantian yg layak
d. mengajukan keberatan
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentianpembangunan yg tidak sesuai dengan RTR
f. mengajukan gugatan ganti kerugian
a. menaati RTR;
b. mematuhi larangan:
memanfaatkanruang tanpa izin
melanggar kekentuan dalam persyaratan izin
menghalangiakses terhadap kawasan-kawasan yg dinyatakan oleh peraturan per-UU-an sebagai milik umum
PERAN
a. partisipasi dalam penyusunan RTR
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang
c. partisipasi dalam pengendalianpemanfaatan ruang
Ps. 60 Ps. 61 Ps. 65 ayat (2)
41
BAB IX. PENYELESAIAN SENGKETA
Penyelesaian Sengketa Melalui
Pengadilan
Penyelesaian Sengketa
di Luar Pengadilan
MediasiKonsiliasiNegosiasi
Tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat
Tidak dicapai mufakat
/kesepakatan
Ps. 67 ayat (1)
Ps. 67 ayat (2)
42
BAB X. PENYIDIKAN
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat dibentukuntuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara RI, denganwewenang:
Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atauketerangan yang berkenaan dengan tindak pidana
Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang didugamelakukan tindak pidana
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungandengan peristiwa tindak pidana
Melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yangberkenaan dengan tindak pidana
Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang didugaterdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukanpenyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasilpelanggaran yang dapat dijadikan bukti
Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugaspenyidikan
Ps. 68 ayat (1)
Ps. 68 ayat (2) 43BHK-DJPR/Presentasi/DR
BAB XI. KETENTUAN PIDANA
PASAL UNSUR TINDAK PIDANA SANKSI PIDANATidak mentaati rencana tata ruang; dan
mengakibatkan perubahan fungsi ruang.
penjara paling lama 3 tahun dandenda paling banyak Rp. 500 juta
Tidak mentaati rencana tata ruang;
mengakibatkan perubahan fungsi ruang;dan
mengakibatkan kerugian terhadap hartabenda/rusaknya barang.
penjara paling lama 8 tahun dandenda paling banyak Rp. 1, 5miliar
Tidak mentaati rencana tata ruang;
mengakibatkan perubahan fungsi ruang;dan
Mengakibatkan Kematian orang
penjara paling lama 15 tahun dandenda paling banyak Rp. 5 miliar
Memanfaatkan ruang tidak sesuai denganizin pemanfaatan ruang dari pejabat yangberwenang.
Pidana penjara paling lama 3tahun dan denda paling banyakRp. 500 juta
Memanfaatkan ruang tidak sesuai denganizin pemanfaatan ruang dari pejabat yangberwenang; dan
mengakibatkan perubahan fungsi ruang;
Pidana penjara paling lama 5tahun dan denda paling banyakRp. 1 miliar
69 ayat (1)
69 ayat (2)
69 ayat (3)
44
70 ayat (1)
70 ayat (2)
PASAL UNSUR TINDAK PIDANA SANKSI PIDANAMemanfaatkan ruang tidak sesuai denganizin pemanfaatan ruang dari pejabat yangberwenang; dan
Mengakibatkan kerugian thd hartabenda/kerusakan barang.
Pidana penjara paling lama 5 tahundan denda paling banyak Rp. 1.5miliar
Memanfaatkan ruang tidak sesuai denganizin pemanfaatan ruang dari pejabat yangberwenang; dan
Mengakibatkan kematian orang
Pidana penjara paling lama 15tahun dan denda paling banyak Rp.5 M miliar
Tidak mematuhi ketentuan yangditetapkan dalam persyaratan izinpemanfaatan ruang.
Pidana penjara paling lama 3 tahundan denda paling banyak Rp. 500juta
Tidak memberikan akses terhadapkawasan yg oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum
Pidana penjara paling lama 1 tahundan denda paling banyak Rp. 100juta
Pejabat pemerintah penerbit izin; dan
Menerbitkan izin tidak sesuai denganrencana tata ruang.
Pidana penjara paling lama 5 tahun& denda paling banyak Rp. 500 jt
Dapat dikenai pidana tambahanberupa pemberhentian tidakhormat dari jabatannya.
70 ayat (3)
70 ayat (4)
45BHK-DJPR/Presentasi/DR
BAB VI. …Lanjutan
71
72
73
BAB XII. KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat UU ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yg berkaitan dgn penataan ruang yg telah ada tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan & belum diganti berdasarkan UU ini.
Pada saat RTR ditetapkan, semua pemanfaatan ruang yg tidak sesuai dgn RTR harus disesuaikan dgn RTR melalui
kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang.
Pemanfataan ruang yg sah menurut RTR sebelumnya diberi masa transisi selama 3 tahun untuk penyesuaian.
Untuk pemanfaatan ruang yg izinnya diterbitkan sebelum penetapan RTR & dapat dibuktikan bahwa izin
tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yg layak.
Terhadap Peraturan Per-UU-an lain
Terhadap kegiatan pemanfaatan ruang
Ps. 76
Ps. 77 ayat (1)
Ps. 77 ayat (2)
Ps. 77 ayat (3)
46BHK-DJPR/Presentasi/DR
BAB XIII. KETENTUAN PENUTUP
47
Jenis Peraturan Pelaksanaan yang diamanatkan
Jangka Waktu Penyelesaian / Penyesuaian
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Menteri
Peraturan Pemerintah ttg RTRWN
Peraturan Daerah Provinsi ttg RTRWP
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ttg RTRWK
Diselesaikan paling lambat 2 thn terhitung sejak UU diberlakukan
Diselesaikan paling lambat 5 thn terhitung sejak UU diberlakukan
Diselesaikan paling lambat 3 thn terhitung sejak UU diberlakukan
Disesuaikan paling lambat 1 thn 6 bulan terhitung sejak UU diberlakukan
Disusun atau disesuaikan palinglambat 2 thn terhitung sejak UUdiberlakukan
Disusun atau disesuaikan palinglambat 3 thn terhitung sejak UUdiberlakukan
Ps. 78 ayat (1)
Ps. 78 ayat (2)
Ps. 78 ayat (3)
Ps. 78 ayat (4) a
Ps. 78 ayat (4) b
Ps. 78 ayat (4) c
1. PENATAAN RUANG dibutuhkan untuk mewujudkan ruang Nusantara yang AMAN, NYAMAN, PRODUKTIF dan BERKELANJUTAN.
2. Perwujudan Tujuan Penataan Ruang dilakukan dengan pendekatan baru (TURBINLAKWAS) yang memuat beberapa instrumen baru antara lain; Peraturan Zonasi, Perizinan, Pemberian Insentif dan Disinsentif, dan Pengenaan Sanksi.
3. Produk perencanaan tata ruang tidak hanya bersifat ADMINISTRATIF akan tetapi juga mengatur perencanaan tata ruang yang bersifat FUNGSIONAL dan di klasifikasikan ke dalam RENCANA UMUM dan RENCANA RINCI TATA RUANG.
4. Penataan Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota dilakukan secara BERJENJANG dan KOMPLEMENTER sehingga saling melengkapi satu dengan yang lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.
KESIMPULAN
48
36 Lampiran dan Dokumentasi
BHK-DJPR/Presentasi/DR49
5. Undang-Undang Penataan Ruang telah mengakomodasi perkembangan lingkungan strategis seperti pengaturanRUANG TERBUKA HIJAU (RTH) di Perkotaan dan DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS), STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM), integrasi penataan ruang DARAT, LAUT, dan UDARA, PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG, Penataan Ruang Kawasan PERKOTAAN dan PERDESAAN, dan Aspek Pelestarian LINGKUNGAN HIDUP.
6. Untuk menjamin pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang yang tertib dan konsisten telah diatur KETENTUANPERALIHAN, PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS), danKELEMBAGAAN PENATAAN RUANG.
7. Dengan dimuatnya sanksi pidana, penyelenggara penataan ruang (aparat pemerintah) harus BERHATI-HATI DALAM MEMBUAT KEBIJAKAN terkait dengan bidang penataan ruang.
8. Dengan telah diakomodasikannya berbagai issue strategis penataan ruang di dalam Undang-Undang Penataan Ruang, diharapkan nantinya penyelenggaraan penataan ruang dapat lebih BERDAYAGUNA dan BERHASILGUNA.
TERIMAKASIH
c. Kesiapan Peraturan Perundangan untuk Mitigasi Perubahan Iklim terkait dengan Tata Guna Lahan Subsektor Energi Terbarukan-Bioenergi (Ir. Maritje Hutapea, MSc. - Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
Oleh:Maritje Hutapea
Direktur Bioenergi
Disampaikan pada:Workshop
“Stakeholder Process to Review Regulatory Framework and Formulate and Integrated REDD+ Regulation”Pusat Standardisasi, Lingkungan, dan Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan
Jakarta, 28 Desember 2011
DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN, DAN KONSERVASI ENERGIKEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
PENGERTIAN MITIGASI
• “Mitigasi adalah upaya yang dilakukan dalam mengurangi dampak perubahan iklim.”
• Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca di atmosfer.
• Sektor energi merupakan salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca
2
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
Kehutanan, Gambut, Pertanian
680 Juta Ton
Sektor Energi 30 Juta Ton
Limbah 48 Juta Ton
Industri danTransportasi
9 Juta Ton
Melalui pengembanganenergi baru terbarukan
dan pelaksanaankonservasi energi dari
seluruh sektor
Komitmen Presiden pada G-20 Pittsburgh dan COP15
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020
26%(767 jt Ton)
41%Upaya sendiri
Upaya sendiri dandukungan
internasional
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
SEKTOR ENERGI SALAH SATU PENYUMBANG EMISI GAS RUMAH KACA
4
Bauran Energi Primer Nasional 20101066 Juta SBM
Elastisitas Energi = 1,60Pangsa Energi Non Fosil < 5%
Batubara26,38%
MinyakBumi
46,93%
Gas Bumi
21,90%
EBT4,79%
1. TOTAL EMISI GAS RUMAH KACA (GHG’S) CO2, yangberasal dari pembakaran minyak bumi, batubara dan gas alammeningkat dari 351 Juta Ton pada tahun 2008 menjadi 2,95GT CO2e pada tahun 2020 atau meningkat pesat sesuaidengan pertumbuhan ekonomi .
2. Energi Baru Terbarukan (EBT), dalam pemanfaatannyasedikit mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GHG’s) bahkanbeberapa jenis EBT tidak mengeluarkan emisi gas buangsama sekali. (Zero Emission).
Jenis BahanBakar
Emission Factor
(ton GHG/TJ)
Batubara 94.6
Minyak mentah 73.3
Gas Alam 56.1
Landfill Gas 54.6
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
AGENDA SEKTOR ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI
A. AGENDA UTAMA1. Penyempurnaan dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan bidang EBTKE2. Penyempurnaan Rencana Induk Diversifikasi dan Konservasi Energi3. Peningkatan Efisiensi Pemanfaatan Energi4. Pengembangan Panas Bumi5. PENGEMBANGAN BIOENERGI6. Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan7. Pengembangan dan Penerapan Clean Energy Initiative (REFF - Burn)8. Peningkatan Kandungan Lokal dan Industri Penunjang EBTKE9. Peningkatan Desa Mandiri Energi10. Peningkatan percontohan green building, clean factory, clean industrial park, low carbon
city, clean provinces
B. AGENDA PENDUKUNG1. Peningkatan kelitbangan EBTKE2. Peningkatan kediklatan EBTKE
9
37PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
UPAYA MITIGASI DI SEKTOR ENERGIMELALUI “INISIATIF ENERGI BERSIH”
• PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI (KONSERVASI)• High Efficiency Light• Efficient Appliances• Co-Generation
• MAKSIMALISASI ENERGI TERBARUKAN (DIVERSIFIKASI)• Panas bumi• Tenaga air• Bioenergi dan Hidrogen• Angin• Surya• Samudera
• PENERAPAN TEKNOLOGI FOSIL KARBON RENDAH• High Efficiency Low Emission (HELE) Power Generation• Ultra Supercritical• Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC)• Fuel Switching
6
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
A. Pre-Fossil Combustion untuk mencegah penggunaan energi fosil yang lebih banyak, a.l.dengan :
1. Teknologi Energi yang Efisien (Lampu Hemat Energi, Peralatan Hemat Energi, dll)2. Teknologi Energi Terbarukan (Panas Bumi, Tenaga Air, Sinar Matahari, Tenaga
Angin, dll)3. Fossil Pre-Treatment (Coal Upgrading)
B. During Fossil Combustion untuk menangkal pelepasan GRK, a.l. dengan :
1. Teknologi yang Efisien (Co-generation)2. Pembangkit Listrik Rendah Emisi/Karbon (Efisiensi Tinggi Rendah Emisi, IGCC, etc)3. Teknologi Bahan Bakar Bersih (Fuel Switching)
C. Post Fossil Combustion untuk menanggulangi GRK yang sudah ada, a.l. dengan :1. Carbon Capture and Storage Technologies (CCS & Algae)2. Pemanfaatan CO2
REFF-Burn : Reducing Emissions from Fossil Fuel Burning
4
INISIATIF ENERGI BERSIH / CLEAN ENERGY INITIATIVE Upaya terintegrasi untuk mencapai ketahanan energi dengan memperhatikan pengurangan emisi gas rumah kaca
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG ENERGI BARU, TERBARUKAN, DAN KONSERVASI ENERGI DAN ADA KAITAN DENGAN
MITIGASI1. UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2007 tentang Energi.2. UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2003 tentang Panas Bumi,3. PERATURAN PRESIDEN NO. 5 TAHUN 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.4. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara Yang Dicairkan Sebagai
Bahan Bakar Lain5. INSTRUKSI PRESIDEN NO. 13 TAHUN 2011 tentang Penghematan Energi dan Air
6. INSTRUKSI PRESIDEN NO. 1 TAHUN 2006 tentang Percepatan Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan bakarNabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
7. PERATURAN PEMERINTAH NO. 70 TAHUN 2009 tentang Konservasi Energi
8. PERATURAN MENTERI ESDM NO . 32 TAHUN 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga BahanBakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
9. PERATURAN MENTERI ESDM NO. 31 TAHUN 2009 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan MenengahAtau Kelebihan Tenaga Listrik.
10. PERATURAN MENTERI ESDM NO. 02 TAHUN 2011 tentang Penugasan Kepada PT PT Perusahaan ListrikNegara (Persero) Untuk Melakukan Pembelian Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dan HargaPatokan Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik TenagaPanas Bumi
11. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 21/PMK.011/2010 tentang Fasilitas Pajak dan Kepabeanan untukPeralatan-peralatan Energi Terbarukan.
12. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
10
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
PENGEMBANGAN BIOENERGI DAN KETERKAITAN DENGAN TATA GUNA LAHAN
9
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
TARGET PENGEMBANGAN BBN
• Target energi baru terbarukan pada tahun 2025 adalah minimal 17% (sesuai Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional)
• Target BBN pada tahun 2025: 5% dari Bauran Energi Nasional
• Visi 25/25: Pengembangan energi baru terbarukan pada tahun 2025 adalah minimal 25% dan BBN >5%
10
Batubara , 33%
Gas Bumi, 30%
Minyak Bumi,
20%
Bahan Bakar Nabati(Biofuel), 5%
Panas Bumi, 5%
Biomasa, Nuklir, Air, Surya, Angin, 5%
Batubara yang Dicairkan (Coal Liquefaction), 2%
EBT, 17%
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
PEMANFAATAN BBN
Jenis Penggunaan Bahan baku
Biodiesel Pengganti solar Minyak nabati seperti minyak kelapasawit, kelapa, jarak pagar & mikro alga serta minyak hewani
Bioethanol Pengganti bensin Tanaman yang mengandung pati/gulaseperti tebu, singkong, sagu, sorgum & ligno selulosa
Biooil
- Biokerosin
- Minyak bakar
- Penggantiminyak tanah
- Pengganti IDO(Industrial Diesel Oil)
Minyak nabati (straight vegetable oil)
Biomass melalui proses pirolisa danPPO (Pure Plant Oil)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
MANDATORY PEMANFAATAN BBNPeraturan Menteri ESDM No. 32/2008
BIOETHANOL (Minimum)
Sektor 2008 2009 2010 2015 2020 2025
Transportasi, PSO
3%(Existing)
1% 3% 5% 10% 15%
Transportasi, Non PSO
5%(Existing)
5% 7% 10% 12% 15%
Industri 5% 7% 10% 12% 15%
BIODIESEL (Minimum)
Sektor 2008 2009 2010 2015 2020 2025
Transportasi, PSO
1%(Existing)
1% 2.5% 5% 10% 20%
Transportasi, Non PSO
1% 3% 7% 10% 20%
Industri 2.5% 2.5% 5% 10% 15% 20%
PembangkitListrik
0.1% 0.25% 1% 10% 15% 20%
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011Sumber: Blueprint Pengembangan BBN
38 Lampiran dan Dokumentasi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
Sumber: Blueprint Pengembangan BBN
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
Sumber: Blueprint Pengembangan BBN
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
Sumber: Blueprint Pengembangan BBN
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011Sumber: Blueprint Pengembangan BBN
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011Sumber: Blueprint Pengembangan BBN
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
1. Ketahanan Energi:• Realibilitas pasokan.• Pengurangan penggunaan energi fosil.• Ketersediaan bahan baku terus menerus/energi terbarukan.
2. Dampak Ekonomi :• Diversifikasi bahan bakar.• Peningkatan jumlah kebutuhan tenaga kerja.• Pengembangan sektor pertanian.• Pengurangan ketergantungan impor bahan bakar.
3. Dampak Lingkungan:• Pengurangan gas rumah kaca.• Pengurangan tingkat polusi udara.• Mudah terurai (biodegradable).• Efisiensi pembakaran yang lebih baik.
MANFAAT BAHAN BAKAR NABATI
19
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
PETA KECOCOKAN LAHAN DAN IKLIM UNTUK KOMODITAS PENGHASIL BBN
Sumber: Blueprint Pengembangan BBN
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik IndonesiaDirektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
© EBTKE KESDM - 2011
Go Green Indonesia !energi hijau, energi masa depan
www.ebtke.esdm.go.id www.energiterbarukan.net www.konservasienergi.net
Jalan Jenderal Gatot Subroto, Kav. 49 Jakarta 12950; Telp: 021-52904235; 5250575; Faks: 021-25529106; 25529212Email: [email protected] ; [email protected]
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIADIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN, DAN KONSERVASI ENERGI
TERIMA KASIH
21
39PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
Gambar 8. Peserta Acara
Gambar 9. Para Pembicara
41PROSIDING
Pertemuan Stakeholder dalam rangka Review Regulasi Di Beberapa Sektor Berbasis Lahan Terkait Dengan Redd+
3. Daftar Peserta
NO NAMA INSTANSI
1. A.NgalokenGintings MKTI
2. AdiSoeseno DISHUTProv.Kalteng
3. AghaSwaraGanesha Synthesis
4. AgusAwali APHI
5. AgusJustianto BUK
6. AndriAkbar UNEP
7. AndriSantosa FKKM
8. Annas AMAN
9. AriSuharto CERIndonesia
10. ArusMujijat SinarMasForestry
11. BambangS. Kemenlu
12. BayuSubekti PusatPenelitiandanPengembanganPerubahanIklimdanKebijakan
13. Bekti SAM
14. BudiSitumorang DitjenPR–KemenPU
15. DarmawanListanto FFI
16. Dewi BiroHukumdanOrganisasi
17. DewiRatnaK.S. PusatPenelitiandanPengembanganPerubahanIklimdanKebijakan
18. DharsonoHartono PT.RMU
19. DinikIndrihastuti Pustanling
20. EffendyS. GER
21. Efsa Ditrenhut
22. EmiliaHarahap Kementan
23. ErnaRosita Pustanling
24. EstiDarmaningsih APHI
25. FathrahDikusumah SBK
26. FreslyPanjaitan DitjenPR–KemenPU
27. HabiRubyah JICA–FFORTRA
28. HaruniKrisnawati Puskonser-BadanLitbangKehutanan
29. HaryoPambudi Pustanling
30. HiromiYamauchi JICA–FFORTRA
31. IWayanSusiD. Puskonser-BadanLitbangKehutanan
32. Inom
33. IwanTricahyoW. Wetland
34. Japar USAIDIFACS
35. JeniPareira GER
36. KirsfiantiL.Ginoga PusatPenelitiandanPengembanganPerubahanIklimdanKebijakan
37. Krisno PusatPenelitiandanPengembanganPerubahanIklimdanKebijakan
38. LaksmiBanowati UNREDD
39. Machfud UNREDD
40. MaritjeHutapea DJEBIKE–KementerianESDM
41. MerzaSukanto Pusyanluh
NO NAMA INSTANSI
42. NanangRA. APHI
43. NeilFranklin Daemeter
44. NikenSakuntaladewi PusatPenelitiandanPengembanganPerubahanIklimdanKebijakan
45. NitaK. Bappenas
46. NoviaWidyaningtyas Pustanling
47. NurMasripatin Pustanling
48. NurcahyoAdi INRR
49. PanjiTjahyanto DISHUTSumateraSelatan
50. PriyoSuprayogi PUSDALIII
51. PuspaDewiLiman PHKA-PJLKKHL
52. Rahmina POKJAREDDKaltim
53. RetnoMaryani PusatPenelitiandanPengembanganPerubahanIklimdanKebijakan
54. Ridwan CERIndonesia
55. RuandhaAgungS. Planologi
56. Sambusir APHI
57. SariN. APHI
58. ShintyaD.Arwina CERIndonesia
59. SihYumiati USAIDIFACS
60. Suhaeni Rokum
61. Sukandi PUSDALII
62. SyahrinaDA. CERIndonesia
63. Tatan LEI
64. TriMainy Pustanling
65. WahjudiWardojo TNC
66. Wahyu KementerianPekerjaanUmum
67. WahyuW. Pustanling
68. WindyoLaksono Pustanling
69. YudiIskandarsyah TNC
70. YusupC. RekiHRF
42 Lampiran dan Dokumentasi
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN, KEMENTERIAN KEHUTANANDAN
FOREST CARBON PARTNERSHIP FACILITY
Jakarta, Desember 2011
(STAKEHOLDER PROCESS TO REVIEW REGULATORY FRAMEWORK IN LAND-BASE SECTOR RELATING TO REDD+)
Prosiding
(Standardisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim)Gedung Manggala Wanabakti
E-mail: [email protected] atau [email protected]
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN
Jalan Gatot Subroto Blok VII Lt. 8 Jakarta 10270 Telp/Fax: 021-5733433
Komite Akreditasi Nasional
Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu
PERTEMUAN STAKEHOLDER
FORESTCARBONPARTNERSHIPF A C I L I T Y
di Beberapa SektorBerbasis Lahan Terkait Dengan REDD+
di Beberapa SektorBerbasis Lahan Terkait Dengan REDD+