problematika mediasi dalam perkara...
TRANSCRIPT
PROBLEMATIKA MEDIASI DALAM PERKARA REKONVENSI
(Analisis Putusan Perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
MOHAMMAD ANDRIANSYAHNIM. 106044101422
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2010 M/1431 H
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. wb
Segala puji bagi Allah SWT, sang Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam
semesta yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis
terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang
telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan
kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan
skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang
berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis
mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Kamarusdiana, S.Ag., MH. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA. Selaku dosen pembimbing skripsi penulis, Terima
Kasih karena telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi
kepada penulis dalam rangka menyelesaiakan skripsi ini.
5. Para Narasumber dan Staff Pengadilan Agama Depok, yang telah memberikan
izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan
wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Drs. H.Toha
Mansyur SH. MH dan Drs. Sarnoto, MH Yang telah memberikan informasi
kepada penulis.
6. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi
sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan
baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
7. Teristimewa untuk Ayahanda H. Iing Ibrahim dan Ibunda Mugiroh tercinta. Yang
telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan
memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun
materil. Kakak tercinta Nazmudin, Iis Aisyah, Muhtadin dan Adik tersayang
Halimatul Sasqia, juga sepupu penulis Ahmad Azhari S.Hum. Terimakasih atas
vi
segala doanya, kesabaran, jerih payah, serta nasihat yang senantiasa memberikan
semangat tanpa jemu hingga penulis dapat menyelesaiakan studi.
8. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan
2006. Terkhusus untuk M. Taqiyuddin al-Qisti S.Sy, Farid Wajdi S.Sy, Yaomil
Agus Muharam S.Sy, Rika Delfayona S.Sy, Istiarini Cahyaningsih S.Sy, Ibnu
Rahman, Ilyas Kartawijaya, Joko Susilo, Raudlotul Irfan S.Sy, Maslahul Huda
S.Sy, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih
atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini.
Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi
kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan
terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima
sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlipat ganda
(amin). Amin Ya Rabbal ‘Alamin
Jakarta, 07 November 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING…………………………………… ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………. iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… vii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………..7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………… 8
D. Studi Riview…………………………………………………… 9
E. Metode Penelitian……………………………………………… 14
F. Sistematika Penulisan…………………………………………...19
BAB II RUANG LINGKUP MEDIASI DAN GUGATAN
REKONVENSI SERTA PROSES MEDIASI DALAM
PERKARA REKONVENSI
A. Mediasi………………………………………………………… 21
B. Gugatan Rekonvensi……………………………………………32
C. Proses Mediasi dalam Perkara Perceraian……………………...36
D. Proses Perkara Rekonvensi……………………………………..48
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK PERKARA
NOMOR 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK
A. Duduk Perkara…………………………………………………. 49
B. Pertimbangan Hukum Hakim…………………………………...56
C. Putusan Pengadilan…………………………………………….. 65
viii
BAB IV MEDIASI DALAM PERKARA NO. 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK
A. Analisis Putusan Tentang Duduk Perkara………………………67
B. Analisis Putusan Tentang Pertimbangan Hukum Hakim……….71
C. Analisis Putusan Tentang Putusan Pengadilan………………….75
D. Proses mediasi dalam perkara Rekonvensi…………………….. 77
E. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Mediasi…………… 78
F. Peran Mediator dalam Proses Mediasi dalam perkara
Rekonvensi……………………………………………………...79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….. 81
B. Saran-Saran…………………………………………………….. 85
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 87
LAMPIRAN- LAMPIRAN………………………………………………………. 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan saling melengkapi agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.2
Ikatan pernikahan antara suami dan istri adalah ikatan yang paling suci dan
paling kokoh, “mitsaqan gholizhon (perjanjian yang kokoh)”. Dalam KHI pasal 2
dinyatakan bahwa “Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah”.3
Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21 Allah berfirman, yang mengungkapkan
tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga, yaitu di disamping untuk
1 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 1974 tentangPerkawinan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1986), cet I, h,64
2 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Semarang: Rajawali Pers, 1995), h.56
3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo,1992), h.114
2
mendapat keturunan yang saleh, adalah untuk dapat hidup tentram, adanya
suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang.4
Dalam kehidupan rumah tangga meskipun pada dasarnya suami isteri penuh
rasa kasih cinta, kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada
kenyataanya rasa cinta itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa
hilang berganti dengan kebencian, kalau kebencian sudah datang dan suami isteri
tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar untuk memulihkan kembali kasih
sayangnya, akan berakibat buruk pada anak keturunannya.5
Suami isteri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil
keputusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin disusun kembali
walaupun dalam ajaran Islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian.
Talak (perceraian) menurut bahasa artinya “melepaskan ikatan tali”, sedang
menurut syara’ artinya “melepaskan ikatan dengan lafal yang dituturkan nanti”.6
Namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci
oleh Nabi.7 Hal ini sesuai dengan asas prinsipil dalam Undang-undang No. 1
4 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:Prenada Media, 2004), h.96
5 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h.97
6 Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in 3,(Surabaya :Alhidayah, 1993), h. 151
7 Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in 3, h. 97
3
tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu prinsip untuk mempersulit terjadinya
perceraian, didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
ابن الولید حدثنا كثیر ابن عبید الحمصي حدثنا محمد ابن خالد عن عبید اهللا
قال : الوصافي عن محارب ابن دثار عن عبد اهللا ابن عمر رضي اهللا عنھما
)رواه ابن ماجھ(الطالق ابغض الحالل الى اهللا : رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم Artinya : “Telah Menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid al-Himsyi, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah binWalid Al- Dzashofi dari Muharib bin itsar dari Abdullah bin UmarR.A. : telah bersabda Rasulullah SAW : sesuatu perbuatan halal yangpaling dibenci Allah adalah thalaq atau perceraian.” (H.R. IbnuMajah).8
Berdasarkan hadits di atas dihukumi talak (perceraian) itu makruh.
Menetapkan ada kemurkaan Allah terhadap talak (perceraian), adalah
dimaksudkan untuk kuat menghindari talak (perceraian), bukan dimaksudkan
dengan hakikat kebencian (kemurkaan) yang sesungguhnya, sebab akan berarti
menunjukan ketidakhalalan dilakukannya.9
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama khususnya Pasal 1, 2, 49 dan penjelasan umum angka 2 serta peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, PP No.28 tahun 1977 tentang Wakaf, PERMENAG
No.2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan
8 Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Lebanon: Daar el-Fikr,1994), h. 633
9 Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in 3, h. 153
4
berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang
hukum keluarga dan harta perkawinan bagi yang beragama Islam berdasarkan
hukum Islam.10
Penyelesaian suatu perselisihan yang terbaik adalah dengan cara perdamaian.
Hukum Islam mementingkan penyelesaian perselisihan dengan cara perdamaian,
sebelum dengan cara putusan pengadilan, karena putusan pengadilan dapat
menimbulkan dendam yang mendalam, terutama bagi pihak yang dikalahkan.
Untuk itu sebelum diperiksa hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah
pihak terlebih dahulu, apabila hal ini belum dilakukan oleh hakim bisa berakibat
bahwa putusan yang dijatuhkan batal demi hukum.11
Ketentuan ini terdapat dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBG yang
menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai dan Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
pasal 2 yang disebutkan bahwa: “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan
peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau
pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Peraturan
tentang mediasi ini terdapat pada Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor
1 Tahun 2002, kemudian direvisi dengan Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang
10 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2006), h.2
11 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2008), h.351
5
Prosedur Mediasi di Pengadilan, terakhir disempurnakan lagi dengan lahirnya
Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian.
Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyeleseaian perkara yang diajukan
berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or
losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep sama-sama menang
(win-win solution). Akibatnya, keberadaan pasal 130 HIR, pasal 154 RBG dalam
hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.12
Dalam pemeriksaan perkara perceraian, fungsi upaya hakim untuk
mendamaikan para pihak, tidak terbatas pada sidang pertama saja. Ketentuan UU
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 82 ayat (4) jis Pasal 31 ayat (2)
dan Pasal 21 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan melampaui prinsip tersebut.
Menurut ketentuan pasal dimaksud, upaya mendamaikan dalam perkara
perceraian adalah berlanjut selama proses pemeriksaan berlangsung dan mulai
dari sidang pertama sampai tahap putusan belum dijatuhkan. Oleh karena itu,
pada setiap kali pemeriksaan sidang berlangsung, hakim tetap dibebani fungsi
mengupayakan perdamaian.13
12Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2004), h.241
13Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008), h.71
6
Praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan balik (rekonvensi)
jarang ditemukan. Padahal tuntutan rekonvensi tersebut pada dasarnya merupakan
satu perkara lain yang kebetulan pemeriksaannya disatukan dengan perkara awal
(konvensi) untuk tujuan efektifitas dan efisiensi serta sinkronisasi sepanjang
dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku.
Tuntutan balik itu pada umumnya meliputi perkara nafkah lampau
(madhiyah), nafkah iddah, mut’ah, hadhanah dan nafkah anak, sebagian di
antaranya harta bersama. Oleh karena perkara ini muncul di tengah persidangan,
maka terhadap perkara ini tidak pernah ditempuh upaya perdamaian melalui
mediasi dengan alasan proses persidangan telah berjalan dan tahap perdamaian
telah dilalui, Apabila direnungkan dengan seksama, dari segi substansi, perkara-
perkara yang muncul dalam tuntutan balik pada dasarnya adalah perkara
tersendiri, kepentingannya berbeda dan terpisah dengan pokok perkara. Hanya
saja karena terdapat kaitan yang erat dengan perkara awal, maka pemeriksaannya
dibenarkan bersamaan dengan pokok perkara. Oleh karena permasalahan diatas
penulis terdorong ingin mengetahui problematika mediasi dalam perkara
rekonvensi di Pengadilan Agama Depok.
Disamping itu ingin mengetahui bagaimana analisis Hukum Acara Peradilan
Agama terhadap putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No. 1155/Pdt.G/2008
/PA. DPK terhadap praktek proses mediasi dalam perkara rekonvensi, faktor-
faktor apa saja yang menentukan keberhasilan mediasi dan bagaimana peran
hakim mediator dalam proses mediasi dalam perkara rekonvensi.
7
Sejumlah pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong rasa ingin tahu
penulis dan ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, sehingga penulis
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul : “PROBLEMATIKA
MEDIASI DALAM PERKARA REKONVENSI” (Analisis Putusan Perkara
No. 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Ruang lingkup dalam penelitian ini berkisar pada masalah mediasi dalam
perkara rekonvensi. Agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah dan tidak
meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada proses mediasi dalam
perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok, dengan menitik beratkan
terhadap Putusan Perkara No. 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK.
2. Perumusan Masalah
Menurut Peraturan formal yang berlaku menyatakan meskipun mediasi
telah gagal, namun dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara hakim
pemeriksa perkara tetap mempunyai wewenang untuk mendorong atau
mengusahakan perdamaian. Begitu pula dalam proses mediasi dalam perkara
rekonvensi, hakim tetap dibebani fungsi mengupayakan perdamaian.
Tetapi kenyataannya dalam praktek mediasi dalam proses persidangan
melalui tuntutan balik (rekonvensi) di pengadilan jarang ditemui, seperti salah
8
satunya dalam Putusan Perkara No.1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yang penulis
telusuri dalam penulisan skripsi ini. Untuk mempermudah pembahasan,
rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut :
1. Bagaimana praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan
balik (rekonvensi) di Pengadilan Agama Depok?
2. Bagaimana pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh
Majelis Hakim tersebut dalam putusan perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008
/PA.DPK ?
3. Faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan mediasi ?
4. Bagaimana peran hakim mediator dalam proses mediasi dalam perkara
rekonvensi di Pengadilan Agama Depok ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai agar mendapatkan jawaban yang pasti dari
permasalahan mediasi dalam perkara rekonvensi,sebagai berikut :
1. Memenuhi persyaratan dalam penyelesaian studi di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memperoleh gelar Sarjana
Syariah.
9
2. Mengetahui praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan
balik (rekonvensi) di Pengadilan Agama Depok.
3. Memperoleh pengetahuan tentang pertimbangan hukum dan amar putusan
yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut dalam putusan perkara
Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK.
4. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan mediasi.
5. Memperoleh pengetahuan tentang peran hakim mediator dalam proses
mediasi dalam perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok.
2. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini akan memperluas wawasan intelektualitas di
bidang hukum terutama tentang mediasi.
2. Bagi Fakultas, penelitian ini menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
literature pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada
segenap pihak yang berkompeten untuk meningkatkan efektivitas peranan
mediasi khususnya peran hakim mediator dalam perkara rekonvensi
sehingga menyelesaikan gugatan rekonvensi agar rasa keadilan lebih dapat
diwujudkan untuk kedua belah pihak.
D. Studi Review
10
Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh
mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang
akan diteliti oleh penulis, diantaranya sebagai berikut :
1. Skripsi oleh Suaeb PH/PMH Tahun 2006 yang berjudul “Peran Hakim dalam
mendamaikan perkara perceraian di Pengadilan Agama Bekasi”.
Dalam skripsi ini membahas tentang perceraian dan membahas tentang upaya
perdamaian dalam perkara cerai di Pengadilan Agama, maksud perdamaian dalam
perceraian serta teknik dan tata cara Hakim dalam mendamaikan para pihak.
Pokok masalahnya yaitu tentang penyelesaian perceraian dengan cara perdamaian
yang ditangani oleh Pengadilan Agama Bekasi. Kemudian menggunakan metode
penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan penelitian
kepustakaan (library reseach) dan lapangan (field reseach) dan menggunakan
Sumber data berupa data atau dokumen yang diperoleh dari data Pengadilan
Agama Bekasi, hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi dan
juga teori-teori yang mendukung penelitian ini.
Adapun temuannya yaitu berdasarkan Laporan Tahun 2004 Pengadilan
Agama Bekasi tentang perkara yang diputus, adanya perbandingan cerai gugat
lebih banyak dibanding cerai talak yang membuktikan permintaan cerai dari pihak
istri lebih dominan dan alasan perceraian paling banyak dikarenakan tidak adanya
keharmonisan dalam rumah tangga. Dari perkara yang masuk sebanyak 808
perkara, sebanyak 99 perkara berhasil dicabut karena terjadi perdamaian. Peran
11
hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam mendamaikan perkara percaeraian sudah
cukup maksimal atau efektif dalam meminimalisir terjadinya perceraian dengan
kata lain penerapan asas wajib mendamaikan yang diterapkan di Pengadilan
Agama Bekasi mempunyai pengaruh dan membawa hasil. Perbedaannya dengan
skripsi penulis yaitu lebih menekankan pada upaya Hakim Majelis dalam
mendamaikan para pihak. Sedangkan judul yang penulis angkat tentang
Problematika Mediasi dalam Perkara Rekonvensi dimana lebih terfokus pada
pembahasan proses Mediasi dalam Perkara Rekonvensi di Pengadilan Agama
Depok dengan menganalisis putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK.
2. Skripsi oleh Budi Setiawan PF/PMH Tahun 2006 yang berjudul “Hakam
Menurut Imam Mazhab dan UU No. 7/ 1989 Tentang Peradilan Agama, Serta
Peranannya dalam menyelesaikan Sengketa Perceraian” (Studi Kasus Pada
Pengadilan Agama Jakarta Utara )
Dalam skripsi ini membahas tentang hakam, perdamaian (hakam) dimasa
sahabat dan perdamaian pada sengketa perceraian pada masa sekarang dan juga
membahas pandangan imam mazhab dan undang-undang Peradilan Agama
tentang hakam serta bentuk dan upaya hakam dalam mendamaikan dan juga
peranan hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
Adapun pokok masalahnya yaitu tentang pandangan Imam Mazhab dan
Undang-undang Peradilan Agama terhadap Hakam, peranan Hakam sebagai
penengah dalam menyelesaikan kasus perceraian di Pengadilan Agama.
12
Kemudian menggunakan metode penelitian dengan menggunakan pendekatan
yang bersifat yuridis empirik dengan penelitian deskriptif dan menggunakan
sumber data berupa kepustakaan, wawancara, studi dokumentasi, hasil penelitian
dan berkas perkara perceraian yang diselesaikan dengan perdamaian.
Adapun temuannya yaitu fungsi hakam di Pengadilan Agama masih terbatas
pada perkara syiqaq, realitas didapati banyak perkara syiqaq yang diputuskan di
Pengadilan Agama Jakarta Utara tanpa satupun dari perkara mereka yang
ditangani oleh Hakam. Peranan hakam dalam menyelesaikan sengketa perceraian
di Pengadilan Agama yaitu untuk mendamaikan pihak yang bersengketa dengan
alasan syiqaq, namun keberhasilan peranan hakam tidak maksimal (nihil).
Adapun perbedaannya dengan skripsi penulis yaitu lebih menekankan pada
pembahasan Hakam yang ditinjau dari pendapat imam mazhab dan UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan judul yang penulis angkat
tentang Problematika Mediasi dalam Perkara Rekonvensi dimana lebih terfokus
pada pembahasan proses Mediasi dalam Perkara Rekonvensi di Pengadilan
Agama Depok dengan menganalisis putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.
DPK.
3. Skripsi oleh Nusra Arini / PH / PMH Tahun 2009 yang berjudul “Aplikasi
Perma No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi dalam putusan perkara
perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”
Dalam skripsi ini membahas tentang Prosedur Mediasi yang terintegrasi
dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, juga menguraikan mengenai
13
pelaksanaan putusan yang ditetapkan oleh Hakim di PA Jakarta Selatan baik
sebelum maupun sesudah Perma No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi ini
diberlakukan.
Adapun pokok masalahnya yaitu tentang Mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam menerapkan Perma No. 1 Tahun 2008 pada putusannya,
prosedur dan penerapan Perma, tantangan dan hambatan Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dalam menerapkan Perma dan pengaruh mediasi terhadap
putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebelum dan sesudah
diberlakukannya Perma.
Kemudian menggunakan metode penelitian dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan normatif dengan jenis penelitian Kualitatif deskriptif
dengan penelitian kepustakaan (library reseach) dan lapangan (field reseach) dan
sumber data berupa wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
data putusan-putusan Hakim sebelum dan sesudah diberlakukannya Perma. Dan
data sekunder diperoleh dari Peraturan Perundang-undangan, data resmi dari
instansi Pemerintah, Peradilan, buku-buku literature, karangan ilmiah, makalah
umum.
Adapun temuannya yaitu pelaksanaan aturan mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan bersifat fleksibel, tidak sesuai Perma secara keseluruhan, sebelum
diberlakukan Perma tahun 2007 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara
yang diputus dengan alasan perceraian sebanyak 1343 perkara dan perkara yang
didamaikan sebanyak 170 perkara. Setelah diberlakukannya Perma tahun 2008 di
14
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dari 1641 perkara yang diputus, sebanyak 176
perkara yang didamaikan, Perma belum berjalan secara efektif dan belum
dijalankan secara maksimal karena taraf proses sosialisasi.
Adapun perbedaannya dengan skripsi penulis yaitu lebih menekankan pada
pembahasan prosedur mediasi dan penerapan peraturan Mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan baik sebelum maupun sesudah Perma No. 1 tahun 2008
tentang prosedur mediasi ini diberlakukan.
Sedangkan judul yang penulis angkat tentang Problematika Mediasi dalam
Perkara Rekonvensi dimana lebih terfokus pada pembahasan proses mediasi
dalam Perkara Rekonvensi di Pengadilan Agama Depok dengan menganalisis
putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka
penulis menggunakan beberapa metode, antara lain :
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan memakai
penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
15
normatifnya, yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.14
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif yang bersifat deskriftif yang menggambarkan data-data dan
informasi berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Adapun tujuan
dari penelitian deskriftif ini adalah untuk menggambarkan suatu objek secara
sistematis.15
Pendekatan kualitatif yaitu dengan menggunakan analisa isi, dengan cara
menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan,
kemudian menghubungkan dengan masalah mediasi dalam perkara
rekonvensi khususnya dengan putusan Hakim Pengadilan Agama Depok
dalam perkara No.1155/Pdt.G/2008/PA DPK sehingga dapat menemukan
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini akan digunakan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, karena ini penelitian hukum. Untuk memecahkan isu
14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat(Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.
15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986), h.43
16
hukum dan sekaligus memberikan deskripsi mengenai apa yang seharusnya,
diperlukan sumber-sumber penelitian hukum berupa bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.16 Di bawah ini akan dirinci satu persatu apa saja yang
termasuk ke dalam data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang
diteliti,17 yaitu bahan hukum yang mengikat.18 Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.19 Jika
dikaitkan dengan objek pembahasan ini, maka data primer yakni berupa
putusan cerai yang melalui proses mediasi dalam tahap gugatan balik
(rekonvensi) yaitu putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yang
diperoleh dari Pengadilan Agama Depok. Selain itu juga data primer
diperoleh lewat interview (wawancara) terhadap Hakim yang memeriksa
perkara ini dan Hakim mediator Pengadilan Agama Depok, kemudian
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h.141
17 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), h.5
18 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2005), Cet. VII, h.113
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141
17
data-data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum.20
Dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku
ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama pasal 65 dan 82 ayat (4), PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 31 ayat (2)
dan Pasal 21 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974, Ketentuan pasal
130 HIR dan pasal 154 RBG, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema)
Nomor 1 Tahun 2002, Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 dan
Pasal 143, serta peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi ini.
20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.165
18
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Mengumpulkan berbagai referensi baik berupa buku-buku, jurnal-jurnal
hukum, dan kitab-kitab fikih yang khusus berbicara tentang mediasi atau
perdamaian sengketa perceraian dan gugatan balik (rekonvensi) lalu
dihubungkan dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok
Perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK dan Peraturan Perundang-
undangan yang mengatur mediasi dan gugatan balik (rekonvensi)
khususnya pada Peraturan Perundang-undangan Pasal 65 dan 82 ayat (4)
UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jis Pasal 31 ayat (2) dan
Pasal 21 PP No. 9 Tahun 1975, Ketentuan pasal 130 HIR dan pasal 154
RBG, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 1 Tahun 2002,
Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
Kompilasi Hukum Islam Pasal 115, Pasal 143. Dari data tersebut diolah
sedemikian rupa, sehingga akan terlihat dengan jelas sebagai jawaban atas
rumusan masalah yang dikaji.
b. Interview atau wawancara yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau
lebih secara langsung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada
kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu hakim mediator yang memeriksa
19
perkara perceraian ini. Adapun fungsi dari wawancara adalah untuk
membuat deskripsi dan/atau eksplorasi.21
5. Teknik Analisis Data
Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan
dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data yang sudah ada diolah
dan dianalisis untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi penelitian ini.
Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data
tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content
analysis. Kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis
sendiri, dengan demikian menjadi nampak rincian jawaban atas pokok
permasalahan yang diteliti.
Sementara untuk teknis penulisan penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi yang menjadi
pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam
mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan ini sebagai berikut:
21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 25
20
Bab Pertama berisi pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan penelitian, studi review, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua berisikan teori-teori yang membahas mediasi, gugatan rekonvensi,
proses mediasi dalam perkara perceraian, proses perkara rekonvensi.
Bab Ketiga berisikan putusan Pengadilan Agama Depok putusan perkara
nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yang terdiri dari duduk Perkara, pertimbangan
hukum Hakim dan putusan Pengadilan
Bab Keempat, didalamnya membahas analisis putusan, analisis hukum acara
Peradilan Agama terhadap putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor
1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk terhadap proses mediasi dalam perkara rekonvensi,
faktor yang mempengaruhi keberhasilan Mediasi, peran mediator dalam proses
mediasi dalam perkara rekonvensi.
Bab Kelima Penutup yang merupakan akhir dari seluruh rangkaian
pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
21
BAB II
RUANG LINGKUP MEDIASI DAN GUGATAN REKONVENSI SERTA
PROSES MEDIASI DALAM PERKARA REKONVENSI
A. Mediasi
1. Pengertian Mediasi
Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang
berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak.1
Dalam bahasa Indonesia mediasi diartikan sebagai upaya perdamaian
dimana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian secara
etimologi adalah perhentian permusuhan.2
Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa
mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa
guna menghasilkan kesepakatan (agreement).3 Joni Emirzon memberikan
pengertian mediasi yaitu proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
1 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), h.2.
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, BalaiPustaka, 1998), h.223.
3 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.2
22
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.4 Seorang ahli resolusi
konflik Laurence Bolle menyatakan bahwa mediasi adalah proses
pengambilan keputusan yang dilakukan para pihak dengan dibantu pihak
ketiga sebagai mediator. Pernyataan Bolle menunjukan bahwa kewenangan
pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan para pihak, dan mediator
hanyalah membantu para pihak di dalam proses pengambilan keputusan
tersebut. 5
Mediasi diartikan pula sebagai negosiasi dengan bantuan pihak ketiga,
yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang bertikai dan Pihak
ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping, pemangkin, dan penasihat.6
Dalam pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa yang dimaksud
perdamaian adalah suatu persetujuan atau perjanjian dengan mana kedua belah
pihak, dengan menyerah, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu
perkara.7
4 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi,Konsiliasi, dan Arbitrase,( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.60.
5 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.4
6 Mediasi, oleh Rizal Panggabean, Riza N. Arfani, Poppy S. Winanti. Diakses pada 24Agustus 2010 dari www.diahkei.staff.ugm.ac.id.
7 Jaih Mubarok, dan Nurlailatul Musyafalah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:Pustaka Bani Quiraisy, 2004), h.124.
23
Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi telah lama dikenal dalam
praktek hukum Islam. Mediasi adalah istilah baru, yang di dalam Islam ia
dapat disebut dengan tahkim namun pengertiannya sedikit berbeda. Tahkim
berasal dari bahasa Arab yang artinya ialah ”menyerahkan putusan pada
seseorang dan menerima putusan itu”. Tahkim dimaksudkan sebagai upaya
untuk menyelesaikan sengketa dimana para pihak yang terlibat dalam sengketa
diberi kebebasan untuk memilih seorang hakam (mediator) sebagai penengah
atau orang yang di anggap netral yang mampu mendamaikan kedua belah
pihak yang bersengketa.8
Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad menawarkan proses penyelesaian
sengketa dipengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta hukum
(adjudikasi), dan penyelesaian melalui perdamaian (islah). Didalam Islam
mediasi dikenal pula dengan istilah sulh, sulh adalah kehendak para pihak
yang bersengketa untuk membuat kesepakatan damai. Akad sulh yang dibuat
para pihak harus diberitahukan kepada hakim, agar hakim tidak melanjutkan
proses penyelesaian sengketa melalui pembuktian fakta adjudikasi. Akad sulh
ini akan dibuat penetapan oleh hakim, agar dapat dilaksanakan oleh para
pihak. Keberadaan sulh sebagai upaya damai dalam penyelesaian sengketa
telah diterangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Dalam Al-
Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 114 dan 128 :
8Potret Mediasi dalam Islam, oleh Siti Juwariyah, S.HI. (Calon Hakim Agama PABalikpapan Kalimantan Timur), diakses pada 6 Agustus 2010 dari WWW.BADILAG.NET.
24
)/:114(
Artinya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecualibisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atauberbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. danbarangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Makakelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.”( Q.S. 4 (An-Nisa’) ayat: 114)
)النساء/:128(
Artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh darisuaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yangsebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupunmanusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan istrimusecara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh),maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamukerjakan.” ( Q.S. 4 (An-Nisa’) ayat : 128)
Hal senada juga dijelaskan Nabi Muhammad: Dari ‘Amr bin ‘Auf Al-
Muzzani, bahwasannya Rasulullah saw. Bersabda :
25
نرعمنوعفبوناعايملزلنوسرلصهليعلمسقالو)لحـآءزالصجنيبنلميسااالالملحصمرحالالحلاواحامرلاحسالمونولمىعطهمورطااالشرشمرحالالحلاوااحامر9)الرتمذىرواه()ح
“perdamaian itu halal antara orang-orang Islam kecuali perdamaian yangmengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan orang-orangIslam (wajib) berpegang dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yangmengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (HR. Tirmidzi)10
Menurut Umar Ibn Khattab, beliau mewajibkan hakim pada masanya
untuk mengajak para pihak melakukan perdamaian (islah), baik pada awal
proses perkara diajukan kepadanya, maupun pada masa persidangan yang
sedang berjalan di pengadilan. Hakim tidak boleh membiarkan para pihak
tidak menempuh upaya damai. Hakim harus proaktif dan mendorong para
pihak mewujudkan kesepakatan damai dalam sengketa mereka. Penegasan
Khalifah Umar Ibn Khattab ini di ketahui dari surat yang ditulisnya kepada
Abu Musa as-‘Asyari, seorang hakim di Kufah. Umar Ibn Khattab menulis
surat yang berisi prinsip pokok beracara di pengadilan.
Salah satu prinsip yang dibebankan kepada hakim adalah prinsip sulh.
Hakim wajib menjalankan sulh kecuali sulh yang menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal. Umar berpandangan bahwa kewajiban ini
harus dilakukan hakim, karena melalui upaya damai (islah) keadilan dapat
diwujudkan bagi para pihak. Putusan dan mahkamah yang mengikat para
9 At - Tirmidzi, Sunan Tirmidzi Juz 5, ( Kairo: Dar al Hadits, 2001), h.199
10 A.Hassan, Tarjamah bulughul maram ibnu hajar al-‘asqalani, (Bandung: cv Diponegoro,2006), hal.387.
26
pihak tidak dapat memuaskan hati kedua belah pihak, karena putusan tersebut
dibuat berdasarkan fakta dan bukti yang telah menempatkan para pihak dalam
keadaan menang atau kalah.11 Umar Ibn Khattab sangat menjunjung tinggi
sulh ini diterapkan di pengadilan, karena pengadilan membuat putusan yang
tidak mungkin dapat memuaskan keinginan para pihak yang bersengketa.
Putusan pengadilan cenderung meninggalkan kesan yang tidak baik antar para
pihak dan dendam diantara keduanya. Umar berujar; “kembalilah wahai para
pihak yang bertikai untuk berdamai, karena putusan yang dibuat mahkamah
(pengadilan) akan meninggalkan kesan dendam.”12
Dalam kategorisasi hukum, perkara hukum atau sengketa yang dapat
diajukan upaya damai atau sulh adalah perkara yang berkaitan dengan hukum
privat, terutama yang berkaitan dengan harta dan keluarga (mu’amalah wa
ahwal al-syakhsiyah). Sedangkan dalam hukum publik atau perkara pidana
seperti zina, qadhaf, pencurian, minuman khamar, dan lain-lain tidak dapat
dilakukan upaya damai, karena disitu terdapat hak Allah secara murni.13
Islah atau sulh akan menjadi payung bagi masyarakat untuk mewujudkan
keadilan dan kedamaian. Karena dalam sulh para pihak berpartisipasi aktif
untuk mengupayakan jalan keluar terhadap sengketa yang dihadapinya.
11 Syahrizal Abbas, Mediai Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.162
12 Syahrizal Abbas, Mediai Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.163
13 Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 5, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003),h.295-297
27
Bahkan dalam penerapannya, keterlibatan pihak ketiga sangat membantu
penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, dalam hukum syariah, sulh merupakan
payung dari sejumlah bentuk penyelesaian sengketa dengan cara damai baik di
pengadilan maupun di luar pengadilan.14
2. Ruang Lingkup Mediasi
Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang
lingkup utama berupa wilayah privat/perdata. Sengketa-sengketa perdata
berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis,
lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat
diselesaikan melalui jalur mediasi. Dalam perundang-perundangan Indonesia
ditegaskan ruang lingkup sengketa yang dapat dijalankan kegiatan mediasi.
Ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 2 disebutkan bahwa semua
perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih
dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Ketentuan
pasal ini menggambarkan bahwa ruang lingkup sengketa yang dapat di
mediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan peradilan
umum dan peradilan agama pada tingkat pertama. Kewenangan peradilan
agama meliputi perkara perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, sedekah, wasiat
dan ekonomi Islam.
14 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.165
28
3. Tujuan dan Manfaat Mediasi
Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para
pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi
dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang
permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi
menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang
dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).15
Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain:
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif
murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan
atau ke lembaga arbitrase.
b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan
mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologi mereka,
sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumya.
c. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untiuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan control
terhadap proses dan hasilnya.
15Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.24
29
e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit
diprediksi, dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.
f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih baik antara para pihak yang bersengketa
karena mereka sendiri yang memutuskannya.
g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir
selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan
oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase. 16
Nilai yang menjadi tujuan akhir penyelesaian sengketa, antara lain; nilai
kemuliaan, keadilan sosial, rahmah, ihsan, persaudaraan, dan martabat
kemanusiaan.17
4. Prinsip – prinsip Mediasi
Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis dari
terselanggaranya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan
kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam
menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi
lahirnya institusi mediasi.
16Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.26
17Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.128
30
David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton
tentang 5 prinsip mediasi. Kelima prinsip tersebut adalah; prinsip kerahasiaan
(confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan
(empowewrment), prinsip netralitas (neutraliti), dan prinsip solusi yang unik
(a unique solution).18
Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality.
Kerahasiaan yang dimaksud disini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi
dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh moderator dan pihak-pihak yang
bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing
pihak.
Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai
datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela
dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di dasarkan
pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk negosiasikan masalah mereka sendiri dan
dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Didalam mediasi, peranan seorang
mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik
18Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.28
31
para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol
proses berjalan atau tidaknya mediasi.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya solusi
yang dihasilkan dari proses mediasi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak
harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses
kreativitas.
5. Model – model Mediasi
Lawrence Boulle, seorang professor dalam ilmu hukum dan Directur
Dispute Resolution Centre-Bond University, menyebutkan ada empat model
mediasi, yaitu :
Settlement mediation merupakan mediasi yang tujuan utamanya adalah
untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak
yang sedang bertikai. Fasilitative mediation, yang bertujuan untuk
menghindarkan para pihak yang bersengketa dari posisi mereka dan
menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak dari hak-hak legal
mereka secara kaku. Transformative mediation, Mediasi yang menekankan
untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya permasalahan antara para
pihak yang bersengketa, dengan pertimbangan untuk meningkatkan hubungan
diantara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar resolusi
konflik dari pertikaian yang ada. Evaluative mediation, merupakan model
mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak-hak legal
32
dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang diantisipasi oleh
pengadilan.19
B. Gugatan Rekonvensi
1. Pengertian Gugatan
Perkara yang diperiksa di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
ada dua macam, yaitu permohonan (voluntair) dan gugatan (kontentieus).
Dalam perkara permohonan, sifat persidangannya tidak mempertentangkan
pihak-pihak yang bersengketa antara Pemohon dan Termohon, dan produk
hukum yang dihasilkan dalam perkara permohonan yaitu berupa penetapan
(Beschikking). Adapun gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung
sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan
penyelesaian Pengadilan.20 Berbeda dengan permohonan, produk hukum yang
dihasilkan dalam perkara gugatan yaitu berupa putusan atau vonis.
Menurut Yahya Harahap, kedua bentuk perkara itu dapat disebut gugatan
yang dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan permohonan dan gugatan
biasa. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan
perdata atau gugatan saja.21
19Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.32
20 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.229
21 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktiandan Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafindo, 2006), h. 47
33
2. Pengertian Gugatan Rekonvensi
Bertitik tolak dari kontruksi gugatan sederhana seperti sebelumnya, dalam
proses peradilan dapat terjadi pula gugatan rekonvensi. Pemahamannya
sederhana, pengertian gugatan utamanya disebut gugatan konvensi, sedangkan
pihak tergugat dalam kerangka mempertahankan haknya diperkenankan oleh
undang-undang untuk melakukan gugatan balik, yakni gugatan rekonvensi.22
Rekonvensi (latin), aslinya reconventio, berarti tuntutan balasan, tuntutan
balik, tuntutan tergugat dalam rekonvensi. Tergugat dalam konvensi menjadi
penggugat dalam rekonvensi.23
Dalam kamus hukum istilah rekoventie diartikan gugatan kembali, gugatan
balasan; dalam memberi jawaban terhadap tuntutan atau gugatan penggugat,
jadi tergugat menggugat kembali (rekonvensi).24
Gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap
penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka.25
Menurut Pasal 132 a ayat (1) HIR makna rekonvensi adalah “gugatan
yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang
22Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, (Malang : Bayu Media, 2007), h. 31
23Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,(Bandung: CV Mandar Maju, 2008), h. 111.
24J. C. T. Simorangkir, Dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 144.
25Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,2002), h. 99.
34
diajukan penggugat kepadanya, dan gugatan rekonvensi itu diajukan tergugat
kepada pengadilan pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang
diajukan penggugat” dimana maknanya hampir sama dengan yang
dirumuskan dalam pasal 244 Rv, yang mengatakan ”gugatan rekonvensi
adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam
suatu proses perkara yang sedang berjalan.”26
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa pada masa belakangan ini, baik
praktek hukum dan yurisprudensi, lebih sering menggunakan istilah aslinya,
yakni gugatan rekonvensi, dan istilah ini sudah lebih umum penggunaannya di
kalangan praktisi hukum dan dirasakan sudah menjadi khazanah
perbendaharaan hukum nasional.27
3. Gugatan Rekonvensi dalam Perceraian
Pasal 66 ayat 5 UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama menyatakan
bahwa “permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan
harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan” dan Pasal 86
ayat 1 menyatakan pula bahwa “gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak,
nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama
26 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta:Sinar Grafindo, 2006), h. 468.
27 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,(Bandung : CV Mandar Maju. 2008), h. 112.
35
dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap”. Ketentuan tersebut pada dasarnya mengatur tentang
kemungkinan penggabungan permohonan cerai talak atau cerai gugat dengan
masalah sengketa penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta
bersama.
Tujuan dari dibolehkannya penggabungan itu telah ditentukan sendiri oleh
penjelasan Pasal 86 ayat 1, yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah demi
tercapainya “prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan”.28 Kebolehan penggabungan ini sebagai langkah maju dan
disinilah letak kejelian UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan dibolehkannya oleh Pasal 66 ayat 5 dan Pasal 86 ayat1 UU No.
7/1989 tentang Peradilan Agama untuk menggabungkan cerai talak atau cerai
gugat dengan pembagian harta bersama, maka berarti masalah pembagian
harta bersama itu juga dapat diajukan gugatan rekonvensi berhadapan dengan
gugatan konvensi perceraian, karena antara gugat perceraian sebagai perkara
pokok sangat erat jalinan kaitannya dengan gugat pembagian harta bersama.
Soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah isteri. Sebagaimana
diketahui bahwa menurut UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama,
28Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, h.121
36
perceraian itu dibedakan antara cerai talak diatur dalam Pasal 66 sampai
dengan Pasal 72, dan cerai gugat diatur dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal
86. Dalam cerai talak, ketentuan yang mengatur soal penguasaan anak, nafkah
anak, dan nafkah isteri, terdapat dalam Pasal 66 ayat 5 yang dapat dipahami
bahwa andaikan dalam kasus cerai talak, dimana isteri berkeinginan untuk
memelihara anaknya dan sekaligus pula hendak menuntut biaya hidup bagi
anaknya itu dari suaminya, karena mungkin suami menguasai anaknya pada
saat gugatan cerai diajukan, maka dalam hal ini isteri dapat mengajukan hal itu
sebagai gugatan rekonvensi, demikian juga halnya dengan nafkah untuk
dirinya, isteri dapat menempuh cara yang sama.
C. Proses Mediasi dalam Perkara Perceraian
1. Pengertian dan Maksud Mediasi dalam Perkara Perceraian
Pengertian mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No.1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah “cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator” (Pasal 1 butir 7).
Pengertian ini menekankan pada satu aspek penting yang mana mediator
proaktif mencari berbagai kemungkinan penyelesaiain sengketa. Mediator
harus mampu menemukan alternatif - alternatif penyelesaian sengketa. Ia tidak
hanya terikat dan terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam
penyelesaian sengketa mereka.
37
Upaya damai wajib dilakukan disetiap persidangan, akan tetapi proses
mediasi cukup sekali saja pada saat diawal pada saat para pihak hadir di
persidangan, mediasi dianjurkan seterusnya setelah di awal persidangan tetapi
tidak diwajibkan. Untuk perkara perceraian umumnya sekali dilakukan
mediasi, namun untuk perkara selain perceraian misalnya perkara waris, harta
bersama, pembatalan wakaf, bisa lebih dari sekali.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
kemudian diamandemen dengan UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama,
membawa sejumlah aturan dalam bidang hukum acara, khususnya bagi
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Diantara aturan itu ialah
seperti yang termuat dalam Pasal 66 ayat 5 dan Pasal 86 ayat 1, yang pada
dasarnya mengatur tentang kemungkinan diadakannya penggabungan
permohonan cerai talak atau cerai gugat dengan sengketa penguasaan anak,
nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama.29
Ketentuan pasal 82 ayat (4) UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama jis Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 dan KHI Pasal 143 bahwa upaya damai
dalam perkara perceraian adalah berlanjut selama proses pemeriksaan
berlangsung dan mulai dari sidang pertama sampai tahap putusan belum
29 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,h.127
38
dijatuhkan. Oleh karena itu, pada setiap kali pemeriksaan sidang berlangsung,
hakim tetap dibebani fungsi mengupayakan perdamaian.
2. Dasar Hukum Mediasi
Dalam Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 5 Ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan “peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Pengadilan membantu pencari keadilan
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam kaitan dengan
penyelesaian sengketa dengan upaya damai ditegaskan dalam UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 56 disebutkan “pengadilan tidak
boleh menolak untuk memutus atau memeriksa suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan memutuskannya”. Keputusan yang diambil hakim tidak
menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.
Prinsip-prinsip umum tatacara upaya perdamaian di pengadilan tercantum
dalam Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang isinya
persis sama dengan rumusan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.30 Pasal 115, 131, 143, dan 144 KHI, serta Pasal 31 ayat (2) PP
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974. Ketentuan yang
30 Jaih Mubarok, dan Nurlailatul Musyafalah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung :
Pustaka Bani Quiraisy, 2004), h,138
39
termuat dalam pasal-pasal ini meminta hakim untuk berusaha mendamaikan
para pihak sebelum perkara mereka diputuskan. Upaya hakim tidak hanya
dilakukan hakim pada saat permulaan sidang, tetapi juga pada setiap proses
pemeriksaan perkara. Hakim dituntut selalu menawarkan upaya damai dalam
setiap proses peradilan, karena penyelesaian perkara melalui kesepakatan
damai jauh lebih baik.31
Pada sidang pertama atau sebelum proses mediasi dilakukan, hakim wajib
memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya
mediasi. Hal ini penting agar para pihak dapat mengetahui mekanisme,
prosedur dan biaya mediasi yang harus dikeluarkan dalam proses mediasi.
Dasar hukum mediasi terdapat dalam dasar hukum Negara Indonesia yaitu
Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa
adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
Dinyatakan pula dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “Peradilan Negara
menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”.
Dalam Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki
penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:
“Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka
31 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h.293
40
pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan
mereka ”.32 jadi dari hukum acara yang berlaku ini mengatur agar para pihak
menempuh proses perdamaian yang dapat di intensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses perdamain ini. Selain itu terdapat pula ketentuan
dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBG yang menghendaki penyelesaian
sengketa melalui cara damai dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor
1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 2 yang
disebutkan bahwa: “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan
ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal
154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Peraturan tentang mediasi ini terdapat pada Surat Edaran Mahkamah
Agung (Sema) Nomor 1 Tahun 2002, kemudian direvisi dengan Perma Nomor
2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, terakhir
disempurnakan lagi dengan lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sebagaimana dalam Pasal 4 Perma No. 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menyatakan bahwa
semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib
lebih dahulu di upayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan
mediator.
32 Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktiandan Putusan Pengadilan, h. 238
41
3. Prosedur dan Tahapan Mediasi
Prosedur dan tahapan mediasi di pengadilan diatur dalam Pasal 3 sampai
Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Mediasi di pengadilan dibagi dalam dua tahap yaitu
tahap pra mediasi dan tahapan pelaksanaan mediasi. Tahap pramediasi adalah
tahap dimana para pihak mendapatkan tawaran dari hakim untuk
menggunakan jalur mediasi dan para pihak menunjuk mediator sebagai pihak
ketiga yang akan membantu menyelesaikan sengketa mereka.33
Dalam pramediasi, hakim memberikan waktu untuk memilih mediator 2
(dua) hari kerja sejak hari pertama sidang. Dalam Pasal 11 Perma No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa para pihak
diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama Para pihak segera menyampaikan
mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim
memberitahukan mediator untuk melaksanakan tugas tugasnya. Bila dalam
masa 2 (dua) hari sejak sidang pertama, para pihak tidak dapat bersepakat
memilih mediator, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka
memilih mediator kepada majelis hakim, dan ketua majelis hakim segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada
pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.
33 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006), h.322
42
Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 (empat puluh) hari sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim,
sebagaiamana tercantum dalam Pasal 13 ayat (3) Perma No.1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Atas dasar kesepakatan para pihak,
masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak
berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari. Selama proses mediasi berlangsung
sebagaimana terdapat dalam Pasal 13 ayat (4) Perma No.1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediator berkewajiban menyiapkan jadwal
mediasi, mendorong para pihak secara langsung berperan dalam proses
mediasi, dan bila dianggap perlu dapat melakukan kaukus.34 “Kaukus adalah
pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak
lain”(Pasal 1 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan). Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam masa 40
(empat puluh) hari sejak para pihak memilih mediator wajib menyampaikan
secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal, dan memberitahukan
kegagalan mediasi kepada hakim, segera setelah menerima pemberitahuan
tersebut, maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku.35
34 Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.314
35 Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.315
43
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, maka para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang ditanda tangani
oleh para pihak. Kesepakatan tersebut memuat antara lain, nama lengkap dan
tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal mediator, uraian
singkat masalah yang dipersengketakan, pendirian para pihak, pertimbangan
dan kesimpulan dari mediator, pernyataan kesediaan melaksanakan
kesepakatan, pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau kedua belah
pihak bersedia menanggung semua biaya mediasi (bila mediator berasal dari
luar pengadilan), larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang
menyinggung atau menyerang pribadi, kehadiran pengamat atau tenaga ahli
(bila ada), larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan,
tempat para pihak melaksanakan perundingan (kesepakatan), batas waktu
pelaksanaan isi kesepakatan dan klausul pencabutan perkara atau pernyataan
perkara telah selesai. 36
Proses mediasi di pengadilan baik yang mencapai kesepakatan maupun
yang tidak mencapai kesepakatan (gagal), mediator tetap harus
memberitahukan kepada hakim dalam masa waktu 22 hari kerja sejak
pemilihan atau penunjukan mediator. Pemberitahuan dimaksudkan agar hakim
dapat mengetahui apakah sidang terhadap perkara yang sedang dimediasi
dilanjutkan atau sudah dapat ditutup. Bila kesepakatan diperoleh, maka hakim
36 Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h.325
44
akan mengakhiri proses sidang di pengadilan, sebaliknya bila mediasi tidak
tercapai kesepakatan, maka sidang akan terus dilanjutkan di mana hakim akan
melanjutkan pemeriksaan perkara berdasarkan hukum acara yang berlaku.37
Dalam Pasal 13 Perma No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa “jika para pihak gagal mencapai kesepakatan,
pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara
bersangkutan atau perkara lainnya”. Ketentuan Pasal 13 menggambarkan
bahwa proses mediasi adalah proses rahasia dan tertutup, dimana publik tidak
dapat mengetahui pokok persengketaan yang terjadi diantara pihak.
Kerahasiaan inilah yang membedakan proses mediasi dengan proses
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Proses penyelesaian perkara di
pengadilan menganut asas terbuka untuk umum.38
4. Peran Mediator dalam Proses Mediasi
Dari ketentuan Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan dapat dipahami bahwa esensi dari mediasi adalah
perundingan antara para pihak bersengketa yang dipandu oleh pihak ketiga
(mediator). Perundingan akan menghasilkan sejumlah kesepakatan yang dapat
mengakhiri persengketaan. Mediator dalam memediasi para pihak bertindak
37 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan HukumNasional, h. 328
38Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h.329
45
netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak. Dengan bekal berbagai
kemampuan yang dimiliki mediator diharapkan mampu melaksanakan
perannya untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa tertentu
kemudian mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun
para pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat.
Mediator yang bertugas di pengadilan dapat saja berasal dari hakim
pengadilan atau dari mediator luar pengadilan. Hakim mediator adalah hakim
yang menjalankan tugas mediasi setelah ada penunjukan dari ketua majelis
hakim. Hakim yang bertindak sebagai mediator bukanlah hakim yang
menangani perkara yang sedang dimediasi, tetapi hakim lain yang tidak ada
sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa.
Disamping itu, mediator di pengadilan dapat pula berasal dari pihak luar,
yang ditunjuk oleh para pihak. Pihak luar yang bertindak sebagai mediator di
pengadilan harus memiliki keterampilan mediasi yang bersertifikat sebagai
mediator. Dalam pasal 6 perma 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan bahwa “mediator pada setiap pengadilan berasal dari
kalangan hakim dan bukan hakim yang telah memiliki sertifikat mediator”.
Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator, dan
pengadilan juga wajib memiliki daftar mediator beserta riwayat hidupnya dan
pengalaman kerja mediator serta mengevaluasi daftar tersebut setiap tahun.
Mediasi yang dilakukan oleh hakim (hakim mediator) cukup penting
46
mengingat hakim diwajibkan oleh undang-undang untuk mengupayakan
damai antara para pihak yang bersengketa.
Hakim tidak dibenarkan melakukan proses acara dengan mengabaikan
upaya damai. Upaya damai melalui proses mediasi dapat dilakukan hakim
pada setiap proses beracara, pada tingkat pertama. Hakim melakukan upaya
damai secara terus-menerus dalam setiap proses pemeriksaan perkara yang ia
tangani.39 Hakim harus bersedia menjadi mediator, bila ia diminta para pihak
untuk menyelesaikan perkara mereka melalui jalur mediasi.
Dalam praktik, beberapa peranan penting yang harus dilakukan mediator
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Melakukan diagnosis konflik;
b. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak;
c. Menyusun agenda;
d. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi;
e. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilam tawar-menawar; dan
f. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan
pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
39 Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,h.318
47
g. Sebagai pihak netral yang melayani kedua belah pihak, mediator berperan
melakukan interaksi dengan para pihak, baik secara bersama atau secara
individu, dan membawa mereka pada tiga tahap sebagai berikut:
Memfokuskan pada upaya membuka komunikasi di antara para pihak;
Memanfaatkan komunikasi tersebut untuk menjembatani atau menciptakan
saling pengertian di antara para pihak (berdasarkan persepsi mereka atas
perselisihan tersebut dan kekuatan serta kelemahan masing-masing); dan
Memfokuskan pada munculnya penyelesaian sengketa.40
Dalam kaitan itu, tugas mediator adalah mengarahkan dan memfasilitasi
lancarnya komunikasi dan membantu para pihak agar memperoleh pengertian
tentang perselisihan secara keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak
membuat penilaian yang objektif. Dengan bantuan dan bimbingan mediator,
para pihak bergerak ke arah negosiasi penyelesaian sengketa mereka.
Meskipun salah satu atau kedua belah pihak sudah mengetahui cara kerja
mediasi dan peran yang harus dilakukan mediator, akan sangat bermanfaat
apabila mediator menjelaskan semua di hadapan kedua belah pihak dalam
sebuah pertemuan. Penjelasan itu terutama berkaitan dengan identitas dan
pengalaman mediator, sifat netral mediator, proses mediasi, mekanisme
pelaksanaannya, kerahasiaannya, dan hasil-hasil dari mediasi.41
40 Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h.137
41 Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h.137
48
D. Proses Perkara Rekonvensi
Bertitik tolak dari kontruksi gugatan sederhana seperti sebelumnya, dalam
proses peradilan dapat terjadi pula gugatan rekonvensi. Pemahamannya
sederhana, pengertian gugatan utamanya disebut gugatan konvensi, sedangkan
pihak tergugat dalam kerangka mempertahankan haknya diperkenankan oleh
undang-undang untuk melakukan gugatan balik, yakni gugatan rekonvensi. Dalam
konteks gugatan rekonvensi itu menyangkut dalil-dalil yang dikemukakan di
dalam pundamentum petendi atau disebut juga posita gugatan, maupun petitum-
nya. Menurut Pasal 132 a HIR/Pasal 157 RBg dipersilakan.42
Gugatan asal disebut “gugatan dalam conventie”. Tergugat asal adakalanya
akan menggunakan sekaligus dalam kesempatan berperkara itu untuk menggugat
kembali kepada penggugat asal, sehingga tegugat asal sekaligus menjadi
penggugat dalam reconventie.43
42 Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, (Malang : Bayu Media, 2007), h. 31
43 Roihan A Rasyid, , Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2002), h.70
49
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK PERKARA NOMOR
1155/Pdt.G/2008/PA.DPK
A. Duduk Perkara
1. Para Pihak (Pemohon/temohon)
Tentang para pihak pada Putusan Nomor Perkara 1155/Pdt.G/2008/PA
Dpk. Bahwa dalam Perkara Cerai Talak pihak Pemohon adalah Suami,
selanjutnya disebut sebagai pihak “Pemohon” dalam konvensi atau sebagai
“Tergugat Rekonvensi” dalam rekonvensi. Sebagai pihak Termohon adalah
Istri, selanjutnya disebut sebagai pihak “Termohon” dalam konvensi atau
sebagai “Penggugat Rekonvensi” dalam rekonvensi.
Pemohon dan Termohon telah melakukan Perkawinan pada tanggal 20 Juli
1983 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Gondoman Yogyakarta dengan Kutipan Akta Nikah Nomor
26/5/VII/1983. Perkawinan Pemohon dan Termohon adalah berdasarkan suka
sama suka, tidak ada paksaan dari pihak manapun dengan tujuan membentuk
keluarga bahagia berdasarkan kasih sayang dan saling menghormati. Selama
Perkawinan Pemohon dan Termohon telah dikaruniai dua orang anak, anak
pertama (almarhumah) lahir di Jakarta pada tanggal 16 April 1984, wafat di
Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2007, dan anak kedua lahir di Jakarta pada
50
tangal 12 April 1988. Awal perkawinan hubungan antara Termohon dan
Pemohon masih berjalan dengan baik, namun sejak anak pertama mereka
meninggal dunia, Termohon lebih sering tidur di kamar anak sehingga
Pemohon merasa diabaikan oleh Termohon. Termohon telah berulang kali
memohon maaf kepada Pemohon, namun Pemohon tidak mau memaafkan
Termohon.
Pada tanggal 5 Agustus 2008 Pemohon meninggalkan rumah kediaman
bersama, dan antara Pemohon dan Termohon telah terjadi pisah tempat
tinggal. Termohon telah berupaya agar Pemohon dapat kembali kerumah
semula dan dapat hidup bersama seperti sediakala, namun Pemohon belum
kembali lagi kerumah bersama.
Selama tahun 2008 kondisi rumah tangga antara Pemohon dan Termohon
tidak harmonis, karena sering terjadi perselisihan dan bertengkar antara
Pemohon dan Termohon yang disebabkan sering terjadi perbedaan pendapat
yang berkelanjutan. Pemohon menjalin hubungan dengan wanita lain,
temannya semasa di SMP dan Pemohon pernah menyampaikan niatnya akan
menikah dengan perempuan tersebut kepada Termohon. Termohon pernah
menawarkan agar Pemohon melakukan poligami namun Pemohon tidak mau.
Pemohon kecewa dengan pelayanan Termohon terhadap Pemohon. Pemohon
merasa sudah tidak mencintai Termohon dan berniat menceraikannya.
Termohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan atau cara
51
bermusyawarah atau berbicara dengan Pemohon secara baik-baik tetapi tidak
berhasil.
Pada tanggal 30 Agustus 2008 Pemohon telah mengucapkan lafaz talak
kepada Termohon di depan anak Pemohon dan Termohon yang kedua.
Pemohon atas permintaan Termohon telah menghibahkan seluruh harta
(rumah dan mobil), kepada anak Pemohon dan Termohon yang kedua
dihadapan Notaris. Rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak dapat
diharapkan lagi keharmonisannya, serta tidak ada harapan untuk rukun dalam
rumah tangga, maka jalan yang paling akhir adalah mengakhiri perkawinan
tersebut (bercerai).
2. Isi Gugatan
Pemohon mengajukan permohonan cerai dan agar Majelis Hakim
memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan talak terhadap Termohon
di depan sidang Pengadilan Agama Depok setelah putusan ini mempunyai
kekuatan hukum tetap. Kemudian agar menetapkan besarnya hak Termohon
berdasarkan apa yang telah Pemohon serahkan dan kemampuan serta kondisi
finansial Pemohon saat ini.
Termohon dalam tahap rekonvensi sebagai Penggugat Rekonvensi
menuntut haknya akibat terjadinya talak yang akan dijatuhkan oleh Tergugat
Rekonvensi, meliputi pemberian mut’ah, nafkah iddah, biaya pendidikan
52
anak, dan perlindungan hak atas barang/harta yang telah diberikan kepada
anak yang kedua Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi.
3. Saksi-saksi dan Alat Bukti
Pemohon telah menghadirkan seorang saksi keluarga (kakak kandung
Pemohon), dengan memberikan keterangan sebagai berikut : Saksi adalah
kakak kandung Pemohon. Saksi tahu antara Pemohon dan Termohon telah
dikarunia 2 (dua) orang anak, namun satu orang telah meninggal dunia. Saksi
tahu antara Pemohon dan Termohon telah terjadi pisah rumah, hubungan
keduanya tidak harmonis, dan komunikasi antara Pemohon dan Termohon
menjadi kaku. Pemohon menyampaikan kepada saksi kalau Termohon sudah
tidak menghargai Pemohon lagi sebagai seorang suami dan apabila ada
masalah Termohon hanya diam, namun Pemohon tidak pernah menjelaskan
permasalahan yang sebenarnya. Saksi tahu kalau pada saat ini Pemohon
menjalin komunikasi kembali dengan teman SMPnya, sekitar 2 atau 3 bulan
yang lalu Pemohon bercerita kepada saksi kalau Pemohon bertemu kembali
dengan temannya tersebut. Saksi tidak tahu apakah Pemohon masih tinggal
satu rumah dengan Pemohon atau sudah pisah.
Termohon telah pula menghadirkan seorang saksi keluarga (kakak
kandung Termohon), dengan dibawah sumpahnya memberikan keterangan
sebagai berikut: Saksi adalah kakak kandung Termohon, Saksi tahu antara
Pemohon dan Termohon telah dikaruniai 2 (dua) orang anak, namun satu
53
orang telah meninggal dunia. Saksi tahu sejak tiga bulan terakhir antara
Pemohon dan Termohon telah terjadi pisah rumah dan keadaan rumah tangga
keduanya tidak harmonis. Termohon pernah menyampaikan kepada saksi
kalau Pemohon mempunyai wanita idaman lain (WIL) dan Pemohon merasa
kecewa dengan pelayanan sek dari Termohon. Pemohon juga pernah mengadu
kepada saksi tentang rumah tangganya yang sedang ada masalah, namun
Pemohon tidak menjelaskan permasalahan yang sebenarnya. Saksi tahu
Pemohon yang keluar meninggalkan rumah kediaman bersama Termohon.
Saksi tidak sanggup merukunkan Pemohon dan Termohon.
Alat-alat bukti yang diajukan Pemohon dan Termohon berupa :
a. Foto copy buku Kutipan Akta Nikah, atas nama Pemohon dan Termohon,
Nomor 26/5/VII/1983, tertanggal 20 Juli 1983, yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Gondomanan, Kotamadya Yogyakarta.
b. Foto copy Kartu Keluarga, atas nama Kepala Keluarga Pemohon, Nomor
3276042411070023, tertanggal 26 November 2007, yang dikeluarkan oleh
Lurah Kelurahan Cinere, kecamatan Limo, Kota Depok.
c. Surat Pengantar Nomor 105/RT/Cp/XI/2008, tanggal 7 November 2008,
yang dikeluarkan oleh ketua RT 03 RW 06 Kelurahan Duren Tiga,
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
d. 2 (dua) buah foto copy kutipan Akta Kelahiran, atas nama kedua anak
Termohon dan Pemohon, masing-masing Nomor 7525/JS/1984, tertanggal
18 Mei 1984 dan Nomor 3.927/JS/1988, tertanggal 31 Maret 1988.
54
e. Foto copy Surat Keterangan Meninggal Dunia atas nama anak pertama
Termohon dan Pemohon, Nomor 474.3/0/x/2007 tertangagal 16 Oktober
2007, di keluarkan oleh Lurah Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota
Depok.
f. Foto copy Akta Hibah Nomor 62/2008, tanggal 23 Agustus 2008, yang
dibuat dan ditanda tangani oleh PPAT di kota Depok.
g. Foto copy Sertifikat Hak Milik Nomor 1394, yang dikeluarkan oleh
Kantor Pertanahan Kota Depok, Foto copy Akta Hibah Nomor 53/2008,
tanggal 23 Agustus 2008, yang dibuat dan ditanda tangani oleh PPAT di
Kabupaten Bogor.
h. Foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1129, dikeluarkan oleh
Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor.
i. Foto copy surat pernyataan Pemohon tanggal 17 Agustus 2008, tentang
hibah & balik nama atas 1 (satu) unit mobil merk Toyota, type Wish No.
Pol. 2267 Od, Kepada anak yang kedua Termohon dan Pemohon, Foto
copy surat pernyataan Ngaisah, pembantu rumah tangga Termohon dan
Pemohon, tanggal 1 November 2008.
j. 8 (delapan) buah foto keluarga Pemohon dan Termohon. Foto kapling
makam Pemohon dan Termohon di TPU Tanah Kusir Jakarta.
k. 10 (sepuluh) lembar e-mail yang berisi tulisan dan beberapa foto kenangan
dari Termohon yang dikirimkan kepada Pemohon.
55
l. Daftar rincian kebutuhan anak yang pertama, dari bulan Agustus 2008
sampai dengan Agustus 2009 (13 bulan).
m. Surat keterangan Nomor 006/4000-LT/01/2009 tertanggal 31 Desember
2008 dari PT Rekayasa Industri, Jakarata.
n. Foto copy kwitansi yang dikeluarkan oleh DENMA MABES TNI SUB
DETASMEN BALAI SUDIRMAN, tanggal 22 Desember 2008, untuk
pembayaran uang muka pemesanan tempat/gedung resepsi pernikahan
anak yang pertama. Perincian penghasilan Pemohon di tempat bekerja PT.
PERENTJANA DJAJA, bulan November 2008.
o. Perincian penghasilan Pemohon di PT. PERENTJANA DJAJA, bulan
Desember 2008. Formulir pengiriman uang melalui BNI 46 tanggal 8
januari 2009. Foto copy surat permohonan pinjaman uang di koperasi
Karyawan (KOPKAR) PT. PERENTJANA DJAJA.
p. Foto copy transkrip pembicaraan Pemohon dan Termohon tanggal 3
Agustus 2008.
q. Foto copy transkrip pembicaraan Pemohon dan Termohon tanggal 1
Agustus 2008, Foto copy transkrip pembicaraan Pemohon dan Termohon
tanggal 30 Agustus 2008, Foto copy transkrip pembicaraan Pemohon dan
Termohon tanggal 3 Agustus 2008, Foto copy transkrip pembicaraan
Pemohon dan Diah Prananta Lestari (Terry) tanggal 16 Agustus 2008,
Foto copy transkrip pembicaraan Pemohon dan Termohon tanggal 23
Agustus 2008. Foto copy ringkasan kronologis kejadian yang berlangsung
56
antara Pemohon dan Termohon dari bulan tanggal Juli 2008 sampai
dengan Desember 2008.
4. Keterangan lainnya
Pada hari sidang yang telah ditetapkan Pemohon dan Termohon telah
datang menghadap di persidangan. Dalam konvensi Majelis Hakim telah
berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon agar kembali rukun untuk
membina rumah tangga bersama, namun tidak berhasil. Majelis Hakim telah
memerintahkan Pemohon dan Termohon untuk melakukan mediasi di luar
pengadilan, baik dengan bantuan mediator dari luar pengadilan maupun dari
dalam pengadilan, namun Pemohon dan Termohon sama-sama menolak upaya
mediasi tersebut. Antara Pemohon dan Termohon, tenyata Termohon
mengakui dan tidak membantah sebagian dalil permohonan Pemohon dan
dalil jawaban Termohon.
B. Pertimbangan Hukum Hakim
1. Kompetensi Pengadilan
Dalam perkara putusan ini dengan Nomor Perkara 1155/Pdt.G/2008/ PA
Dpk. Bahwa dalam putusan ini berisikan perkara cerai talak dimana Pemohon
dalam surat permohonannya tertanggal 10 November 2008 yang didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Depok pada tanggal itu juga dengan register
perkara Nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk mengajukan permohonan cerainya.
57
Pemohon adalah beragama Islam tinggal di Jl. Minyak Raya Nomor 10 K
RT 03 RW 06 Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan,
sesuai dengan yang tertera dalam surat permohonan Pemohon. Sedangkan
Termohon beragama islam pula dan berdomisili di Jalan Lumut Hijau III
kav.F 157 Mega Cinere Blok L, RT 08 RW 09, Kelurahan Cinere Kecamatan
Limo, Kota Depok.
Termohon bertempat tinggal di Jalan Lumut Hijau III Kav F 157 Mega
Cinere Blok L Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok. Sesuai
dengan Foto copy Kartu Keluarga, atas nama Kepala Keluarga Pemohon,
Nomor 3276042411070023, tertanggal 26 November 2007, yang dikeluarkan
oleh Lurah Kelurahan Cinere, kecamatan Limo, Kota Depok. Dengan
pertimbangan kompetensi absolute dan kompetensi relative Pengadilan
Agama Depok, Majelis Hakim berwenang Memeriksa dan Memutuskan
perkara ini dengan No. Perkara 1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk.
2. Pertimbangan terhadap isi gugatan
Termohon dan Pemohon juga mengakui dan tidak membantah sebagian
dalil jawaban masing. Majelis Hakim berpendapat tidak perlu membuktikan
lagi, oleh karena pengakuan merupakan bukti yang mengikat dan sempurna
sebagaimana yang dimaksud Pasal 174 HIR sehingga Pemohon dan Termohon
masing-masing terkait dengan pengakuannya tersebut dan terhadap fakta yang
telah diakui tersebut dinyatakan telah terbukti kebenarannya. Telah
58
terbuktinya sebagian penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara
Pemohon dan Termohon, Majelis Hakim memandang telah cukup untuk
mempertimbangkan alasan permohonan cerai yang diajukan oleh Pemohon.
Dalam pemerikasaan perkara ini Majelis Hakim memandang tidak perlu
untuk menggali fakta tentang apa dan siapa yang menyebabkan terjadinya
perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon,
akan tetapi fakta yang perlu diungkap adalah tentang pecahnya rumah tangga
Pemohon dan Termohon itu sendiri sebagaimana maksud yurisprudensi
Mahkamah Agung RI Nomor 38 K/AG/1990 tanggal 22-8-1991 dan Nomor
266 K/AG/1993 tanggal 25-6-1996.
Dalam kondisi tidak harmonis tersebut Majelis Hakim berpendapat ikatan
perkawinan antara Pemohon dan Termohon telah pecah (broken marriage)
yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana tersebut diatas, sehingga antara
Pemohon dan Termohon tidak mungkin untuk dapat dirukunkan kembali
untuk membina rumah tangga bersama dan permohonan Pemohon telah
memenuhi maksud Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan beserta penjelasannya dan Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam,
dengan demikian permohonan Pemohonan untuk bercerai dengan Termohon
cukup beralasan dan tidak melawan hak. Majelis Hakim menganggap perlu
59
untuk mengemukakan dalil Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 227 sebagai
berikut:
) :227(
Artinya :
“Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak (bercerai),
Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas yang
menunjukan Pemohon tetap berkeinginan keras untuk menceraikan Termohon,
dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa perceraian antara
Pemohon dan Termohon adalah lebih maslahat dari pada mempertahankan
perkawinan yang sudah pecah.
3. Pertimbangan terhadap alat bukti dan saksi
Terhadap bukti-bukti masing-masing berupa; foto copy kutipan akta nikah
atas nama Pemohon dan Termohon, memperkuat fakta bahwa antara Pemohon
dan Termohon terikat dalam perkawinan yang sah. Surat Pengantar Nomor
105/RT/Cp/XI/ 2008, tanggal 7 November 2008, yang dikeluarkan oleh RT 03
RW 06 Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan,
memperkuat fakta bahwa pada saat ini Pemohon tinggal di Jl. Minyak Raya
60
Nomor 10 K RT 03 RW 06 Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran,
Jakarta Selatan, sesuai dengan yang tertera dalam surat permohonan Pemohon.
Foto copy Kartu Keluarga tertera atas nama Kepala Keluarga Pemohon,
memperkuat fakta bahwa selama berumah tangga Pemohon dan termohon
berdomisii di Jalan Lumut Hijau III kav.F 157 Mega Cinere Blok L, RT 08
RW 09, Kelurahan Cinere Kecamatan Limo, Kota Depok. foto copy kutipan
akta kelahiran atas nama anak pertama dan anak kedua Pemohon dan
Termohon, memperkuat fakta bahwa selama dalam ikatan perkawinan
Pemohon dan Termohon telah dikaruniai 2 (dua) orang anak tersebut. foto
copy surat keterangan kematian atas nama anak pertama Pemohon dan
Termohon, memperkuat fakta bahwa anak Pemohon dan Termohon yang
pertama telah meninggal dunia pada tanggal 16 Oktober 2007. foto-foto
keluarga dan kavling calon makam Pemohon dan Termohon di TPU Tanah
Kusir, menunjukkan bahwa selama ini hubungan antara Pemohon dan
Termohon sangat harmonis dan bahkan Pemohon dan Termohon telah
mempersiapkan tempat yang akan dijadikan sebagai makam Pemohon maupun
Termohon sewaktu-waktu Pemohon dan Termohon meninggal dunia. 10
lembar e-mail Termohon kepada Pemohon dan berupa salinan SMS Termohon
kepada Pemohon atau sebaliknya, serta kronologis kejadian dalam rumah
tanga Pemohon dan Termohon dari bulan Juli s/d Desember 2008;
menunjukkan bahwa Termohon telah sedemikian rupa berupaya mengajak
61
Pemohon kembali membina rumah tangga bersama, namun tidak pernah
mendapatkan tanggapan dari Pemohon.
keterangan saksi keluarga Pemohon dan saksi keluarga Termohon yang
tidak dibantah oleh Pemohon dan Termohon dan dengan telah dihadirkannya 2
(dua) orang saksi keluarga, masing-masing adalah kakak kandung Pemohon
dan kakak kandung Termohon, Majelis Hakim memandang dalam
pemeriksaan perkara ini telah memenuhi maksud Pasal 22 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – undang No.1
Tahun 1974 dan Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah di ubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dan diperkuat dengan
keterangan 2 (dua) orang saksi keluarga Pemohon dan Termohon yang
menyatakan sudah tidak sanggup merukunkan Pemohon dan Termohon;
diperkuat dengan fakta selama proses persidangan tidak ada tanda-tanda antara
Pemohon dan Termohon dapat dirukunkan kembali seperti Pemohon tidak
mau pulang kerumah kediaman bersama, Majelis Hakim berpendapat bahwa
hubungan antara Pemohon dan termohon dalam membina rumah tangga sudah
tidak harmonis, sehingga sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan
sebagaimana maksud dari Al Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam (INPRES Nomor 1 Tahun 1991).
62
Dalam Rekonvensi yaitu dari bukti yang diajukan oleh Tergugat
Rekonvensi, berupa perincian penghasilan Tergugat Rekonvensi sebagai
Direksi pada PT. PERENTJANA DJAJA, untuk bulan November dan
Desember 2008, ternyata terbukti pada bulan November 2008 total
penghasilan Tergugat Rekonvensi adalah Rp. 15.684.200,- (lima belas juta
enam ratus delapan puluh empat ribu dua ratus rupiah) dan untuk bulan
Desember 2008 total penghasilan Tergugat Rekonvensi setelah ditambah
dengan hadiah adalah Rp. 22.806.200,- (dua puluh dua juta delapan ratus
enam ribu dua ratus rupiah); dengan demikian terbukti bahwa penghasilan
Tergugat Rekonvensi setiap bulan sekurang-kurangnya adalah Rp.
15.684.200,- (lima belas juta enam ratus delapan puluh empat ribu dua ratus
rupiah).
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat
adalah layak dan patut apabila Tergugat Rekonvensi dihukum untuk
memberikan mut’ah kepada Penggugat Rekonvensi berupa uang sejumlah Rp.
15.000.000,- (lima belas juta). Dengan kembali mempertimbangkan
penghasilan Tergugat Rekonvensi setiap bulan yang sekurang-kurangnya Rp.
15.684.200,- (lima belas juta enam ratus delapan puluh empat ribu dua ratus
rupiah), Dari bukti yang diajukan oleh Tergugat Rekonvensi, masing-masing
berupa; Bukti transfer uang sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
melalui BNI 46 dari Tergugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi dan
persetujuan permohonan peminjaman koperasi; terbukti Tergugat Rekonvensi
63
telah memberikan uang sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
sebagai biaya pendidikan anak sesuai dengan permintaan dari Penggugat
Rekonvensi; dan meskipun demikian Majelis Hakim menganggap perlu untuk
mencantumkan kembali dalam putusan.
Terhadap tuntutan atau permintaan Penggugat Rekonvensi agar
dicantumkan dalam putusan mengenai hak-hak anak Penggugat Rekonvensi
dan Tergugat Rekonvensi yang kedua atas barang/harta yang telah dihibahkan
kepadanya berupa : Sebuah rumah dan tanah yang terletak di Jl. Lumut Hijau
III F 157 Blok L Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Sebuah
rumah dan tanah yang terletak di Taman Ganesha D5 No.3A, Telaga
Kahuripan, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebuah mobil
dengan Nomor polisi B 2267 OD, Toyota Wish, tahun pembuatan 2003.
Majelis Hakim akan mempertimbangkan dari bukti yang diajukan oleh
Penggugat Rekonvensi masing-masing berupa; Foto copy akta hibah Nomor
82/2008, terbukti bahwa pada tanggal 23 Agustus 2008 Tergugat Rekonvensi
telah menghibahkan tanah seluas 264 m2 (dua ratu enam puluh empat meter
persegi) dan sebuah bangunan rumah yang berdiri di atasnya, terletak di Jl.
Lumut Hijau III F 157 Blok L Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa
Barat, kepada Laras Paramastuti Adhyasari, di hadapan Betty supartini, S.H,
Notaris/PPAT yang berkantor di Jl. Cinere Raya Blok A Nomor 55 Cinere
Kota Depok. foto copy Sertifikat Hak Milik Nomor 1394 yang diterbitkan
Kantor Pertanahan Kota Depok, terbukti bahwa telah terjadi peralihan hak
64
milik dari Tergugat Rekonvensi kepada Laras Paramastuti Adhyasari (anak
kedua), atas tanah seluas 264 m2 (dua ratu enam puluh empat meter persegi)
dan sebuah bangunan rumah yang berdiri di atasnya, terletak di Jl. Lumut
Hijau III F 157 Blok L Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat.
Foto copy akta hibah Nomor 53/2008, terbukti bahwa pada tanggal 1
September 2008 Penggugat Rekonvensi telah menghibahkan tanah seluas 180
m2 (seratus delapan puluh meter persegi) dan sebuah rumah yang berdiri si
atasnya, terletak di Taman Ganesha D5 No.3A, Telaga Kahuripan, Kecamatan
Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kepada Laras Paramastuti Adhyasari
(anak kedua), di hadapan Rini Yulianti, S.H, Notaris/PPAT yang berkantor di
Jl. Raya Parung Nomor 107, Parung, Bogor. foto copy Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 1129 yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor,
terbukti bahwa telah terjadi peralihan hak milik dari Tergugat Rekonvensi
kepada Laras Paramastuti Adhyasari (anak kedua), atas tanah seluas 264 m2
(dua ratu enam puluh empat meter persegi) dan sebuah bangunan rumah yang
berdiri di atasnya, terletak di Taman Ganesha D5 No.3A, Telaga Kahuripan,
Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. foto copy surat pernyataan Tergugat
Rekonvensi, tertanggal 17 Agustus 2008, terbukti bahwa Tergugat Rekonvensi
telah menghibahkan satu unit mobil Toyota Wish, warna Silver, tahun
pembuatan 2003, Nomor polisi B 2267 OD, kepada Laras Paramastuti
Adhyasari (anak kedua). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas terbukti bahwa Tergugat Rekonvensi dan Penggugat Rekonvensi telah
65
menghibahkan harta/barang kepada kepada Laras Paramastuti Adhyasari (anak
kedua).
Untuk melindungi hak Laras Paramastuti Adhyasari (anak kedua). Anak
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi atas harta/barang yang telah
dihibahkan kepadanya tersebut, Majelis Hakim berpendapat perlu menetapkan
telah terjadinya hibah dari Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi
kepada Laras Paramastuti Adhyasari (anak kedua) atas harta/barang
sebagaimana tersebut diatas.
C. Putusan Pengadilan
Mengabulkan permohonan Pemohon dengan memberi izin kepada Pemohon
untuk menjatuhkan talak satu raj’I terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan
Agama Depok setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Bekas
suami wajib memberikan mut’ah kepada bekas istri dan nafkah selama menjalani
masa iddah. Waktu tunggu bagi yang masa haid di tetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dengan demikian ditetapkan waktu tunggu
(iddah) bagi Termohon adalah selama 90 hari. Beban pemberian mut’ah dan
nafkah iddah dari Pemohon yang harus diberikan kepada Termohon, Majelis
Hakim akan mempertimbangkannya dalam pertimbangan rekonvensi. Dalam
rekonvensi yaitu mengabulkan gugatan penggugat rekonvensi untuk sebagian.
Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan kepada Penggugat
Rekonvensi Mut’ah berupa uang sejumlah Rp. 15.000.000,- (lima belas juta
66
rupiah). Nafkah selama menjalani iddah seluruhnya Rp. 15.684.000,- (lima belas
juta enam ratus delapan puluh empat rupiah). Biaya pendidikan anak kedua (Laras
Paramastuti Adhyasari) sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Menetapkan telah terjadi hibah dari Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi kepada Laras Paramastuti Adhyasari (anak kedua) atas harta/barang
berupa : Tanah seluas 264 m2 (dua ratu enam puluh empat meter persegi) dan
sebuah bangunan rumah yang berdiri di atasnya, terletak di Jl. Lumut Hijau III F
157 Blok L Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat dengan Sertifikat
Hak Milik Nomor 1394 yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Depok. Tanah
seluas 180 m2 (seratus delapan puluh meter persegi) dan sebuah rumah yang
berdiri si atasnya, terletak di Taman Ganesha D5 No.3A, Telaga Kahuripan,
Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 1129 yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
Satu unit mobil Toyota Wish, warna Silver, tahun pembuatan 2003, Nomor polisi
B 2267 OD. Membebankan kepada Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi
untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 171.000,- (seratus tujuh puluh satu
ribu rupiah).
67
BAB IV
MEDIASI DALAM PERKARA NOMOR 1155/Pdt.G/2008/PA. DPK
A. Analisis Putusan Tentang Duduk Perkara
Ditinjau dari kekuasaan absolut atau yuridiksi absolut mengadili, kedudukan
Pengadilan Agama Depok yang mengadili perkara cerai talak dalam putusan ini
dengan nomor Perkara 1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk. memang sesuai dengan
wewenangnya.
Kompetensi absolut atau yuridiksi absolut mengadili, kedudukan Pengadilan
Agama Depok sebagai penyelengara kekuasaan Negara di bidang yudikatif yang
berada di bawah Mahkamah Agung (MA), secara konstitual bertindak
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, dalam
kedudukannya sebagai pengadilan Negara Peradilan Agama berwenang mengadili
perkara bagi rakyat yang beragama Islam mengenai: perkawinan, kewarisan yang
meliputi wasiat, hibah, wakaf dan shodaqah, serta bertugas dan berwenang untuk
memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan
harta perkawinan bagi yang beragama islam berdasarkan hukum Islam.
Karena perkara ini termasuk dalam bidang hukum keluarga dan harta
perkawinan bagi yang beragama islam yaitu perkara cerai talak sebagaimana
maksud dan tujuan permohonan Pemohon untuk bercerai. Dalam perkara putusan
ini dengan nomor Perkara 1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk. Bahwa dalam putusan ini
68
berisikan perkara cerai talak dimana Pemohon dalam surat permohonannya
tertanggal 10 November 2008 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Depok pada tanggal itu juga dengan register perkara Nomor
1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk mengajukan permohonan cerainya.
Menurut amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan sekarang diganti dengan pasal 2 jo. Pasal 10
ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004; tentang Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power)
yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA), dilakukan dan dilaksanakan oleh
beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari : Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.1
Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung ini,
merupakan penyelengara kekuasaan Negara di bidang yudikatif. Oleh karena itu
secara konstitual bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum
dan keadilan,dalam kedudukannya sebagai pengadilan Negara. Dengan demikian,
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan landasan sistem peradilan Negara
di Indonesia, yang dibagi dan terpisah berdasarkan yuridiksi.
1 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafindo,2006), h. 180
69
Berdasarkan Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama, bahwa
Peradilan Agama berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama Islam
mengenai: Perkawinan, Kewarisan yang meliputi wasiat, hibah, Wakaf dan
Shodaqah.2
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang peradilan
Agama khususnya pasal 1,2,49 dan penjelasan umum angka 2 serta peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, PP No.28 tahun 1977 tentang Wakaf, PERMENEG
No.2 tahun 1987 tentang wali hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang
hukum keluarga dan harta perkawinan bagi yang beragama islam berdasarkan
hukum Islam.3
Ditinjau dari kompetensi relatif, kedudukan Pengadilan Agama Depok yang
mengadili perkara cerai talak dalam putusan ini dengan Nomor Perkara
1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk. memang sesuai dengan wewenangnya.
Setiap Pengadilan Agama terbatas daerah Hukumnya. Hal ini sesuai dengan
kedudukan Pengadilan Agama, hanya berada di wilayah tertentu. Menurut Pasal 4
ayat (1) UU No.2 Tahun 1986:
2 Muhammad Yahya Harahap,, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h. 183
3 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2006), h.2
70
a. Pengadilan Agama (satu lingkup dengan Pengadilan Negeri di bawah
Mahkamah Agung) berkedudukan di Kotamadya atau di ibukota Kabupaten.
b. Daerah hukumnya, meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang
bersangkutan.
Berdasakan pasal itu, kewenangan mengadili Pengadilan Agama hanya
terbatas pada daerah hukumnya, diluar itu tidak berwenang. Tempat kedudukan
daerah hukum, menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi setiap
Pengadilan Agama.4 Patokan menentukan kewenangan mengadili dihubungkan
dengan batas daerah hukum Pengadilan Agama, merujuk kepada ketentuan Pasal
118 HIR (Pasal 142 RBG). Dalam Pasal 118 HIR ditegaskan bahwa:
a. Yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan tepat tinggal
tergugat,
b. Oleh karena itu, agar gugatan yang diajukan penggugat tidak tidak melanggar
batas kompetensi relatif, gugatan harus diajukan dan dimasukan kepada
Pengadilan yang berkedudukan di wilayah atau daerah hukum tempat tinggal
tergugat.
Menurut hukum, yang dianggap sebagai tenpat tinggal seseorang meliputi:
Tempat kediaman, atau Tempat alamat tertentu, atau Tempat kediaman
4 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h.191
71
sebenarnya. Adapun yang sah dan resmi dijadikan sumber menentukan tempat
tinggal tergugat, terdiri dari berbagai akta atau dokumen. Yang terpenting
diantaranya : Berdasarkan KTP, Kartu Rumah Tangga, Surat Pajak, dan Anggaran
Dasar Perseroan.5
Putusan Pengadilan Agama Depok dengan Nomor Perkara 1155/Pdt.G/2008/
PA.Dpk. Sejalan dengan kompetensi atau wewenang hukumnya, jadi baik
kompetensi absolut maupun kompetensi relatif memang sesuai dengan
wewenangnya dengan hukum positif atau Peraturan yang berlaku di Indonesia.
B. Analisis Putusan Tentang Pertimbangan Hukum Hakim
Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut dalam
putusan perkara nomor 1155 / Pdt.G / 2008 / PA.DPK yaitu:
a. Pasal 174 HIR, dimana Majelis Hakim berpendapat pengakuan merupakan
bukti yang mengikat dan sempurna.
b. Pasal 22 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 76 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
yang telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, dimana Majelis Hakim memandang telah cukup untuk
mempertimbangkan alasan permohonan cerai yang diajukan oleh Pemohon.
5 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h.193
72
c. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 38 K/AG/1990 tanggal 22-8-1991
dan Nomor 266 K/AG/1993 tanggal 25-6-1996, dimana dalam pemeriksaan
perkara ini Majelis Hakim memandang tidak perlu untuk menggali fakta
tentang apa dan siapa yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan
pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, akan tetapi fakta
yang perlu diungkap adalah tentang pecahnya rumah tangga Pemohon dan
Termohon itu sendiri sebagaimana maksud yurisprudensi ini.
d. Al-Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
(INPRES Nomor 1 Tahun 1991), dimana Majelis Hakim berpendapat bahwa
hubungan antara Pemohon dan termohon dalam membina rumah tangga sudah
tidak harmonis, sehingga sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan.
e. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta
penjelasannya dan Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal
116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam. Dalam kondisi tidak harmonis tersebut
Majelis Hakim berpendapat ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon
telah pecah (broken marriage).
f. Pasal 149 dan Pasal 153 b Kompilasi Hukum Islam, bahwa apabila
perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib memberikan mut’ah
73
kepada bekas istri dan nafkah selama menjalani masa iddah. Sesuai dengan
maksud Pasal 153 b Kompilasi Hukum Islam, apabila perkawinan putus
karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masa haid di tetapkan 3 (tiga) kali
suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
g. Pasal 89 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, sebagaimana yang telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perdilan Agama, Dalam Konvensi dan Rekonvensi yaitu
karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, semua biaya yang
timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon Konvensi/Tergugat
Rekonvensi.
Dalam pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim yang memutus
perkara ini sesuai dengan peraturan yang berlaku, berdasarkan bukti yang ada
sudah memenuhi aturan yang berlaku, dalam perkara ini dalam tahap konvensi
Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon agar
kembali rukun untuk membina rumah tangga bersama, namun tidak berhasil,
Majelis Hakimpun telah memerintahkan Pemohon dan Termohon untuk
melakukan mediasi di luar pengadilan, baik dengan bantuan mediator dari luar
pengadilan maupun dari dalam pengadilan, namun Pemohon dan Termohon
sama-sama menolak upaya mediasi tersebut.
Sedangkan dalam tahap rekonvensinya Pada putusan Pengadilan Agama
Depok perkara no.1155/Pdt.G/2008/PA.DPK (rekonvensi), diberita acara
74
persidangan rekonversi belum tercantumkan proses mediasi, Pada perkara ini
tidak dilakukan mediasi dalam rekonvensi yang formal tapi para pihak
diperintahkan untuk bagaimana memikirkan baiknya. Jadi sudah ada anjuran bagi
para pihak kearah baik-baik bagaimana mereka dipikirkan cerainya dalam
rekonvensinya ini. Pada tahun 2008 belum ada mediasi seperti sekarang, pada saat
itu mediasi sosialisasinya belum berjalan, pada tahun 2009 baru berjalan. Pada
saat itu Mediasi belum terlalu prinsip (menurut pemahaman hakim) setelah
sosialisasi berjalan baru mediasi di efektifkan, pada rekonvensi belum dijalankan
mediasi, mediasi dilakukan hanya pada pokok perkara saja. Berita acara dalam
tahap rekonvensi adanya mediasi atau tidak, itu bersifat kondisional.
Menurut penulis mediasi tetap harus diupayakan dalam tahap rekonvensi,
sebagai mana menurut M. Yahya Harahap bahwa pada prinsipnya upaya hakim
dalam mendamaikan bersifat imperatif. Hakim berupaya mendamaikan para pihak
yang berperkara.6 Dalam pemeriksaan perkara perceraian, fungsi upaya hakim
untuk mendamaikan para pihak, tidak terbatas pada sidang pertama saja.
Ketentuan pasal 82 ayat (4) UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jis
Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.
1 Tahun 1974 melampaui prinsip tersebut. Menurut ketentuan pasal dimaksud,
upaya mendamaikan dalam perkara perceraian adalah berlanjut selama proses
6 Muhammad Yahya Harahap,, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h. 239
75
pemeriksaan berlangsung dan mulai dari sidang pertama sampai tahap putusan
belum dijatuhkan.
Dalam praktek pemeriksaan perkara gugatan rekonvensi secara umum selama
ini tidak lagi ditempuh upaya perdamaian oleh majelis, hanya dalam beberapa
kasus ditemukan adanya perdamaian khsusus untuk rekonvensi atas inisiatif para
pihak berperkara. Padahal kalau merujuk kepada asas umum hukum acara yang
berlaku, semestinya setiap sengketa yang diperiksa di persidangan harus diawali
dengan upaya perdamaian.
C. Analisis Putusan Tentang Putusan Pengadilan
Ditinjau mengenai dari hukum yang berlaku isi Putusan pengadilannya Dalam
perkara putusan ini dengan Nomor Perkara 1155/Pdt.G/2008/PA.Dpk tidak
bertentangan, jadi memang sesuai dengan Perundang-undangan. Adapun isi
putusannya diantaranya:
Dalam Konvensi mengabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon untuk
menjatuhkan talak satu raj’I terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan
Agama Depok setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Bekas
suami wajib memberikan mut’ah kepada bekas istri dan nafkah selama menjalani
masa iddah. Waktu tunggu bagi yang masa haid di tetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dengan demikian ditetapkan waktu tunggu
(iddah) bagi Termohon adalah selama 90 hari.
76
Dalam Rekonvensi yaitu Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk
sebagian. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan kepada
Penggugat Rekonvensi Mut’ah berupa uang sejumlah Rp. 15.000.000,- (lima
belas juta rupiah). Nafkah selama menjalani iddah seluruhnya Rp. 15.684.000,-
(lima belas juta enam ratus delapan puluh empat rupiah). Biaya pendidikan anak
kedua (Laras Paramastuti Adhyasari) sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah).
Menetapkan telah terjadi hibah dari Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi kepada Laras Paramastuti Adhyasari (anak kedua) atas harta/barang
berupa : Tanah seluas 264 m2 (dua ratu enam puluh empat meter persegi) dan
sebuah bangunan rumah yang berdiri di atasnya, terletak di Jl. Lumut Hijau III F
157 Blok L Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat dengan Sertifikat
Hak Milik Nomor 1394 yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Depok. Tanah
seluas 180 m2 (seratus delapan puluh meter persegi) dan sebuah rumah yang
berdiri diatasnya, terletak di Taman Ganesha D5 No.3A, Telaga Kahuripan,
Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 1129 yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
Satu unit mobil Toyota Wish, warna Silver, tahun pembuatan 2003, Nomor polisi
B 2267 OD. Dalam Konvensi dan Rekonvensi yaitu Membebankan kepada
Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp. 171.000,- (seratus tujuh puluh satu ribu rupiah).
77
Dalam kovensi dan Rekonvensi membebankan kepada Pemohon
Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
171.000,- (seratus tujuh puluhg satu ribu rupiah).
D. Proses mediasi dalam perkara Rekonvensi
Praktek mediasi dalam perkara Rekonvensi di pengadilan/lapangan,
berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim mediator di Pengadilan Agama
Depok.7 Pada umumnya dalam perkara rekonvensi tidak dilakukan mediasi
karena mediasi dilakukan pada pokok perkara saja, sedangkan rekonvensi
merupakan asessoir (tambahan). Mediasi dalam rekonvensi dilakukan setelah
adanya jawab menjawab dari para pihak sebelum pembuktian, tetapi mediasi
hanya dilakukan di awal persidangan saja pada saat para pihak hadir, sedangkan
seterusnya mediasi hanya dianjurkan saja. Seharuskan dilakukan upaya mediasi
dalam tahap rekonvensi, walaupun semua itu tergantung dari para pihak. Praktek
mediasi dalam rekonvensi di PA Depok, jika para pihak ingin melakukan mediasi
maka mediasi dilakukan, meskipun sidang masih berjalan sebelum pembuktian.
Menurut penulis mediasi tetap harus diupayakan dalam tahap rekonvensi,
sebagaimana di atas telah disebutkan. Dalam pemeriksaan perkara perceraian,
fungsi dan upaya hakim untuk mendamaikan para pihak, tidak terbatas pada
sidang pertama saja sebagaimana ketentuan pasal 82 ayat (4) UU No.7 Tahun
7 Drs. H. Toha Mansyur SH. MH dan Drs. Sarnoto, M.H, lihat lampiran hasil wawancaradengan Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok.
78
1989 tentang Peradilan Agama jis Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun
memang semua tergantung dari pihak yang berperkara, itikad baik para pihak,
ingin atau tidak dilakukan mediasi dalam rekonvensi.
E. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Mediasi
Indikator atau tolak ukur keberhasilan mediasi dalam perkara Rekonvensi di
pengadilan Agama Depok yaitu perkara dicabut dalam perceraian dan adanya akta
perdamaian dalam perkara lain, sedangkan efisiensi dan efektivitas mediasi dalam
pemeriksaan di persidangan dilihat dari indikator sedikitnya perkara yang putus
cerai dan banyaknya perkara perceraian yang dicabut dari daftar perkara atau
berhasil didamaikan maka kurang lebih mencapai 5-8 %.8 Adapun faktor yang
menentukan keberhasilan mediasi diantaranya hakim mediator atau mediatornya
sebagai penegak hukum, kemudian fasilitas yang mendukung seperti sarana
maupun prasarananya serta kesadaraan para pihak yang bersengketa ingin atau
tidaknya berdamai yang menentukan pula.
Tetapi pendapat hakim Pengadilan Agama Depok dalam perceraian indikator
keberhasilan mediasi yaitu kesamaan pendapat untuk mencari jalan keluar dari
persengketaan. Jadi jika para pihak sejalan, sependapat, sama-sama ingin cerai,
mediator mengarahkan pendapat, sudah bisa dikatakan berhasilan mediasinya.
8 Drs. H. Toha Mansyur SH. MH dan Drs. Sarnoto, M.H, lihat lampiran hasil wawancaradengan Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok.
79
Untuk efektivitas mediasi kurang lebih 5-8% di Pengadilan Agama Depok.
Namun bila dilihat dari perceraian indikator keberhasilan mediasi yaitu kesamaan
pendapat untuk mencari jalan keluar dari persengketaan. Jadi jika para pihak
sejalan, sependapat, sama-sama ingin cerai, sudah bisa dikatakan berhasilan
mediasinya bisa mencapai kurang lebih 60-70%.9
F. Peran Mediator dalam Proses Mediasi dalam perkara Rekonvensi
Dalam menjalankan proses mediasi, mediator diberikan kebebasan untuk
menciptakan sejumlah peluang yang memungkinkan para pihak menemukan
kesepakatan yang dapat mengakhiri sengketa mereka. Mediator proaktif dan
sunguh-sungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah
kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan.
Adapun kendala yang dialami dalam proses mediasi di antaranya apabila para
pihak tidak bisa diajak berunding secara baik-baik bahkan terkadang para pihak
emosi dan sulit diajak komunikasi, sedangkan kendala dari segi fasilitas yaitu
ruangan mediasi yang kurang mendukung dan kurang memadai dimana ruangan
mediasinya kecil.
Jadi peran yang dilakukan hakim mediator dalam proses mediasi dalam
perkara rekonvensi di Pengadilan Agama Depok menganjurkan mediasi kepada
para pihak yang bersengketa. Namun tetap harus aktif dalam proses mediasi
dalam perkara rekonvensi.
9 Drs. H. Toha Mansyur SH. MH dan Drs. Sarnoto, M.H, lihat lampiran hasil wawancaradengan Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok.
80
Langkah yang dilakukan hakim dalam upaya perdamaian relatif sama dengan
langkah-langkah yang ada dalam PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan Tahap pramediasi, perkenalan (ta’aruf), Mengidentifikasi
masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak, Menyusun agenda,
menggali permasalahan, yang intinya mencari titik temu. Dalam proses mediasi
trik-trik yang dilakukan hakim mediator dengan gaya bebas, mediator bebas
berkreasi tetapi tahapannya harus jelas, mediator harus bisa menggali masalah,
membereskan masalah, memberikan alternatif solusi, meyakinkan para pihak
bahwa mereka bisa bersama dan seorang mediator harus dilengkapi dengan ilmu
jiwa, sabar, tidak boleh terpancing emosi, harus tenang.
Adapun Kendala-kendala mediasi secara teknis tidak ada, mungkin ada
kendala dari segi fasilitas, ruangan mediasi belum efektif, kurang nyaman, belum
ideal, ruangannya kecil disini ruang kaukus tidak ada. Peran hakim mediator Aktif
(tidak boleh menolak) dalam mediasi rekonvensi di PA depok, begitu diberi
amanah mediasi pasti dijalankan hakim.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya,
yang kemudian menganalisis putusan Pengadilan Agama Depok perkara
No.1155/Pdt.G/ 2008/PA.DPK maka penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Praktek mediasi dalam proses persidangan melalui tuntutan balik (rekonvensi)
di Pengadilan Agama Depok pada tahun 2008 setelah dikeluarkannya
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, dalam putusan yang penulis
análisis,dalam tahap rekonversi belum dilakukan proses mediasi tetapi para
pihak hanya diperintahkan untuk bagaimana memikirkan baiknya tentang
perceraian. Pada tahun 2008 di Pengadian Agama Depok belum ada
mediasi,dikarenakan pada saat itu pelaksanaan mediasi sosialisasinya belum
berjalan, pada tahun 2009 baru berjalan.
2. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut dalam
putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yaitu: Pasal 174 HIR, Pasal
22 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah di ubah dengan
82
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 38 K/AG/1990 tanggal 22-8-1991
dan Nomor 266 K/AG/1993 tanggal 25-6-1996, Al-Qur’an Surat Ar-Rum
Ayat 21 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (INPRES Nomor 1 Tahun
1991), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
beserta penjelasannya dan Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Jis. Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149 dan Pasal 153 b
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 89 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana yang telah di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Sedangkan Amar Putusan yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut
dalam putusan perkara nomor 1155/Pdt.G/2008/PA.DPK yaitu: Dalam
konvensi mengabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon untuk
menjatuhkan talak satu raj’I. Bekas suami wajib memberikan mut’ah kepada
bekas istri dan nafkah selama menjalani masa iddah. Waktu tunggu bagi yang
masa haid di tetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
Dalam Rekonvensi mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk
sebagian. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan kepada
Penggugat Rekonvensi Mut’ah berupa uang sejumlah Rp. 15.000.000,- (lima
83
belas juta rupiah). Nafkah selama menjalani iddah seluruhnya Rp.
15.684.000,- (lima belas juta enam ratus delapan puluh empat rupiah). Biaya
pendidikan anak kedua (Laras Paramastuti Adhyasari) sejumlah Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Menetapkan telah terjadi hibah dari
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi kepada Laras Paramastuti
Adhyasari (anak kedua) atas harta/barang berupa : Tanah seluas 264 m2 (dua
ratu enam puluh empat meter persegi) dan sebuah bangunan rumah yang
berdiri di atasnya, terletak di Jl. Lumut Hijau III F 157 Blok L Cinere,
Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat dengan Sertifikat Hak Milik
Nomor 1394 yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Depok. Tanah seluas
180 m2 (seratus delapan puluh meter persegi) dan sebuah rumah yang berdiri
diatasnya, terletak di Taman Ganesha D5 No.3A, Telaga Kahuripan,
Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan Sertifikat Hak
Guna Bangunan Nomor 1129 yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten
Bogor. Satu unit mobil Toyota Wish, warna Silver, tahun pembuatan 2003,
Nomor polisi B 2267 OD. Menolak untuk selebihnya. Dalam Konvensi dan
Rekonvensi yaitu Membebankan kepada Pemohon Konvensi/Tergugat
Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 171.000,- (seratus
tujuh puluh satu ribu rupiah). Dalam konvensi dan rekonvensi membebankan
kepada Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya
perkara sejumlah Rp. 171.000,- (seratus tujuh puluhg satu ribu rupiah).
84
3. Praktek mediasi dalam perkara rekonvensi dilihat dari indikator atau tolak
ukur keberhasilan mediasi ada 2 yaitu perkara dicabut dalam perceraian dan
adanya akta perdamaian dalam perkara lain, melihat dari indikator sedikitnya
perkara yang putus cerai dan banyaknya perkara perceraian yang dicabut dari
daftar perkara atau berhasil didamaikan maka kurang lebih untuk efektivitas
mediasi mencapai 5-8% di Pengadilan Agama Depok. Tetapi jika indikator
keberhasilan mediasi di lihat sebagai kesamaan pendapat untuk mencari jalan
keluar dari persengketaan, berhasilan mediasinya bisa mencapai kurang lebih
60-70%. Adapun faktor yang menentukan keberhasilan mediasi yaitu terdiri
dari mediatornya, baik hakim mediator ataupun mediator non hakim,
kemudian fasilitas yang mendukung seperti sarana maupun prasarananya yang
menunjang berjalannya proses mediasi antara para pihak, serta yang
menentukan pula kesadaraan para pihak itu sendiri yang bersengketa ingin
atau tidaknya berdamai.
4. Peran hakim mediator dalam proses mediasi dalam perkara rekonvensi di
Pengadilan Agama Depok proaktif dan sunguh-sungguh mendorong para
pihak untuk memikirkan sejumlah kemungkinan yang dapat dibicarakan guna
mengakhiri persengketaan dalam persidangan, namun dalam perkara
rekonvensi di Pengadilan Agama Depok hanya menganjurkan mediasi kepada
para pihak yang bersengketa saja, tidak mengupayakan perdamaian.
85
B. Saran-Saran
Berdasarkan kenyataan yang sudah diuraikan diatas, maka saran yag dapat
penulis sampaikan sebagai berikut :
1. Kepada Pengadilan Agama khususnya di Pengadilan Agama Depok dalam
menerima, memeriksa dan memutuskan perkara, tetap terus
mempertimbangkan peraturan perundangan yang berlaku baik secara materiil
maupun formil, dengan adanya sosialisasi dan pelatihan terhadap para Hakim
khususnya di Pengadilan Agama.
2. Bahwasanya Hakim mediator khususnya di Pengadilan Agama Depok tetap
lebih aktif dalam menggali dan menemukan hukum objektif atau materiil,
sunguh-sungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah
kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan, mampu
menghilangkan konflik atau permusuhan sehingga tidak ada pihak yang
dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).
3. Bahwasannya dengan perkara yang cukup banyak masuk ke Pegadilan Agama
Depok khususnya, agar jumlah Hakim dan Mediator dapat ditingkatkan, serta
agar diadakan mediator dari Non Hakim yang bersertifikat.
4. Kepada para aktivis hukum dan para penegak hukum dan juga para akademisi
hukum agar lebih mengsosialisasikan mengenai mediasi kepada masyarakat
luas, baik melalui ceramah-ceramah, khutbah jum’at, maupun seminar-
86
seminar, agar masyarakat luas lebih mengetahui tentang mediasi dan proses
mediasi yang ada di Pengadilan Agama.
5. Kepada Pemerintah agar memasukan kurikulum pendidikan Madrasah Aliyah
dan Sekolah Menengah Atas tentang Pelajaran yang membahas tentang
Mediasi atau Islah, dimana pentingnya perdamaian dalam suatu persengketaan
baik di luar pengadilan maupun Pengadilan.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal, MEDIASI Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat,dan Hukum Nasional, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009.
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 1974tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademika Presindo), 1986, cet I
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Lebanon:Daar el-Fikr, 1994
Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004
Al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI.
Arifin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi hukum diIndonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Arto, Mukti, Praktik Perkara Perdata Pengadilan Agama, Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2006.
At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi Juz 5, Kairo : Dar al Hadits, 2001
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat PembinaanBadan Peradilan Agama Islam, 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka, 1998.
Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan:Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase, Jakarta, GramediaPustaka Utama, 2001.
Hassan, A. Tarjamah bulughul maram ibnu hajar al-‘asqalani, Bandung, cvDiponegoro, 2006.
Hasan, Bisri Cik. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Logos WacanaIlmu, 1999.
88
Harahap, Muhammad Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan.Jakarta: Sinar Grafindo, 2006.
J. C. T. Simorangkir, Dkk, Kamus Hukum, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Lubis Sulaikin dkk, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Manaf, Abdul, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di LingkunganPeradilan Agama, Bandung : CV Mandar Maju. 2008.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Surabaya : Kencana PrenadaMedia Group, 2008.
Mertokusumo, Sudikno SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :Liberty Yogayakarta, 2002.
Mono, Henny SH. Praktik Berperkara Perdata, Malang : Bayu Media, 2007.
Mubarok, Jaih dan Nurlailatul Musyafalah dkk, Peradilan Agama diIndonesia, Bandung : Pustaka Bani Quiraisy, 2004.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Semarang : Rajawali Pers, 1995.
Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : PTRajaGrafindo Persada, 2002.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UniversitasIndonesiaUI-Press, 1986.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif SuatuTinjauan Singkat (Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.
Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), Cet. VII,
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta, PT GramediaPustaka Utama, 2006.
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in 3,Surabaya : Alhidayah, 1993.
89
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-fikr,2004.
Zein, Satria Effendi M, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004.
WWW.BADILAG.NET
www.diahkei.staff.ugm.ac.id,
www.padepok.pta-bandung.net