laporan penelitian - studi komparatif antara mediasi dengan perdamaian dalam penyelesaian perkara...

62
LAPORAN PENELITIAN STUDI KOMPARATIF ANTARA MEDIASI DENGAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI Tim Peneliti : 1. IDHAM, SH., MH NIP. 196202021988101001 2. BELLA PEBRIANI NIM. A01108025 Sumber Dana : DIPA-PNBP Fakultas Hukum Untan No. Kontrak : 651/H22.1/PL/2012, tanggal 15 Juni 2012 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA FAKULTAS HUKUM PONTIANAK 2 0 1 2

Upload: ryzal-hasibuan

Post on 28-Nov-2015

99 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

trtrtr

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

LAPORAN PENELITIAN

STUDI KOMPARATIF ANTARA MEDIASI DENGAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA

SECARA LITIGASI

Tim Peneliti :

1. IDHAM, SH., MH NIP. 196202021988101001 2. BELLA PEBRIANI NIM. A01108025

Sumber Dana : DIPA-PNBP Fakultas Hukum Untan No. Kontrak : 651/H22.1/PL/2012, tanggal 15 Juni 2012

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

FAKULTAS HUKUM PONTIANAK

2 0 1 2

Page 2: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

i

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T., karena dengan

rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Adapun judul penelitian ini

adalah: “STUDI KOMPARATIF ANTARA MEDIASI DENGAN PERDAMAIAN

DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI”.

Menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangan dan

kekeliruannya, karena itu untuk kesempurnaannya segala kritik dan saran yang

konstruktif akan penulis terima dengan senang hati.

Akhirul kalam, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya.

Pontianak, September 2012

P e n e l i t i,

IDHAM, SH., MH NIP. 196202021988101001

Page 3: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

ii

A B S T R A K

Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan

menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk mengupayakan

seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang berperkara. Pada

awalnya proses perdamaian di pengadilan dilakukan secara khusus pada persidangan

pertama, hasil yang diperolehpun tidak maksimal.

Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan pasal 130 HIR

banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan tingkat keberhasilan

perdamaian di Pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan peradilan dalam

menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi pihak advokad

atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri para hakim yang lebih mengedepankan

sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan

yang mengatakan: keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui

perdamaian.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka Mahkamah Agung yang menaungi

seluruh peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para Hakim

menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan pasal 130 HIR, melalui

mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan.

Untuk mengisis kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur mediasi

yang terintegrasi ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang

memfasilitasi perihal bagaimana tata cara melakukan mediasi yang terintegrasi ke

Page 4: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

iii

dalam proses litigasi. HIR dan Rbg memang mewajibkan pengadilan, disebut di

dalamnya Pengadilan Negeri, untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum

perkara diputus, tetapi HIR dan RBg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian

yang difasilitasi oleh pihak ketiga. Selain untuk mengurangi penumpukan perkara pada

tingkat kasasi, asa cepat, sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui

proses mediasi.

Page 5: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

ABSTRAK .....................................................................………………….. ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iv

BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. 1

A. Latar Belakang Penelitian ........................................... 1

B. Masalah Penelitian ...................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ........................................................ 5

D. Tinjauan Pustaka 5

E. Metode Penelitian ....................................................... 13

BAB II : ASPEK HUKUM PERDAMAIAN DAN MEDIASI

DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA

SECARA LITIGASI...................................................

17

A. Pengertian Serta Dasar Hukum Perdamaian Dan Mediasi Dalam Hukum Acara Perdata .......................

17

B Hakekat Dari Perdamaian Dan Mediasi Dalam Perkara Perdata Secara Litigasi .......................

26

C Prosedur Malakukan Perdamaian Dan Mediasi

Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi.........................................................................

30 BAB III : ANALISIS TERHADAP PERDAMAIAN DALAM

PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI SEBELUM

DAN SESUDAH ADANYA LEMBAGA MEDIASI

37

Page 6: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

v

BAB IV : PENUTUP .......................................................................... 52

A. Kesimpulan ................................................................. 52

B. Saran ........................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 7: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dalam pergaulan sehari-hari setiap individu selalu berhadapan dengan

individu lain, dengan kata lain bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling

berinteraksi dan bergaul antara satu dengan yang lainnya, saling bekerja sama dalam

menjalani hidup dan kehidupan. Untuk tertibnya pergaulan dan terjalinnya hubungan

yang baik, maka diciptakan aturan-aturan atau norma-norma yang lazim disebut

“hukum”.

Dengan hukum manusia dalam pergaulannya akan memperoleh suatu

pegangan bagaimana cara bermasyarakat, berhubungan atau mengadakan kontak-

kontak satu sama lain sehingga keserasian berjalan secara berkesinambungan dan

terciptanya suatu keadaan yang tertib, tenteram di dalam masyarakat dan selain

daripada itu dapat menciptakan suatu yang setidak-tidaknya mendekati keadilan.

Tujuan hukum dimaksud baru dapat terwujud apabila manusia sebagai subyek

hukum, yakni pembawa hak dan kewajiban-kewajiban senantiasa patuh dan mentaati

hukum itu sendiri.

Namun tidak dipungkiri, terkadang dalam pergaulan antar manusia baik dalam

sosial kemasyarakatan, atau dalam hal adanya hubungan hukum karena kerja sama di

bidang ekonomi atau lain sebagainya terdapat perselisihan-perselisihan atau

pertengkaran karena sesuatu hal.

Page 8: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

2

Terkadang perselisihan tersebut dapat diselesaikan dengan musyawarah

sehingga keadaan kembali harmonis seperti sedia kala, namun juga terkadang

persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah sehingga menggunakan

jalur hukum.

Demikian pula halnya dalam perkara-perkara perdata yang diajukan ke

Pengadilan Negeri, kemungkinan sebelumnya telah ada upaya dari para pihak untuk

menyelesaikannya secara musyawarah tetapi menemui jalan buntu, sehingga

menggunakan jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.

Setiap perkara perdata yang sudah masuk ke Pengadilan Negeri, sudah tentu

harus mengikuti prosedur dan proses persidangan, dari awal pendaftaran perkara

(gugatan dari penggugat) sampai ditetapkan hakim-hakim yang memproses perkara

tersebut hingga dimulainya persidangan memerlukan waktu, sedangkan para pihak

yang berperkara menginginkan perkara dapat diproses secepatnya, karena masing-

masing pihak yang berperkara juga mempunyai kepentingan lain yang mesti

diselesaikan.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hukum acara perdata, terdapat suatu

azaz yang berbunyi: “Peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya

ringan”. Azaz tersebut penting bagi mereka yang berperkara, Hakim dan aparat

penegak hukum lainnya mengingat untuk menjaga agar supaya perkara yang telah

masuk ke Pengadilan Negeri tidak banyak yang tertumpuk serta tidak berlarut-larut

penyelesaiannya. Seandainya banyak perkara yang tertumpuk di Pengadilan, maka

Page 9: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

3

akan memakan waktu yang lama dan akhirnya dari lamanya waktu tersebut

mengakibatkan biaya tidak sedikit.

Namun meskipun adanya asas Peradilan dilaksanakan dengan sederhana,

cepat dan biaya ringan, kenyataannya dalam praktek tetap memerlukan waktu, karena

untuk dapat menyelesaikan suatu perkara perdata agar putusan yang diambil oleh

Hakim dapat dilakukan secara obyektif, sudah pasti memerlukan waktu untuk

mengumpulkan bukti-bukti, saksi-saksi dan data-data, belum lagi jauhnya jarak dari

para pihak yang berperkara atau saksi-saksinya ke Pengadilan yang memeriksanya,

itupun masih lama lagi apabila dalam suatu keputusan ada pihak yang tidak puas atas

Putusan Pengadilan Negeri yang kemudian putusan tersebut dimintakan banding oleh

pihak yang tidak puas tersebut, maka untuk dapat menyelesaikan perkara para pihak

dapat melakukan perdamaian di luar sidang Pengadilan, namun perdamaian yang

dilakukan para pihak di luar sidang Pengadilan banyak kelemahan-kelemahannya, di

antaranya tidak mempunyai kekuatan hukum dan di kemudian hari apabila salah satu

pihak mengingkari perdamaian tersebut, maka perkara tersebut timbul kembali.

Dalam Pasal 130 HIR ayat (1) menentukan bahwa hakim sebelum memeriksa

perkara perdata harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, dan proses

perdamaian ini didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2

Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, masih banyak kelemahan-

kelemahannya, di antaranya adalah masih ada salah satu pihak yang merasa tidak puas,

karena salah satu pihak merasa hakim yang berusaha mendamaikan tersebut berpihak

Page 10: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

4

kepada pihak yang lainnya, karena yang melakukan perdamaian adalah Hakim yang

memproses dan memeriksa perkara tersebut.

Untuk menghilangkan rasa keraguan dari para pihak yang berperkara, maka

diperlukan solusi yaitu mediasi. Dalam proses mediasi hakim-hakim yang bertugas

sebagai mediator adalah hakim-hakim lain yang tidak memproses perkara tersebut

sehingga independensi dan mediator tersebut tidak diragukan oleh para pihak. Proses

mediasi ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai perbaikan Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menelitinya lebih jauh

dan membahasnya dalam bentuk penelitian dengan judul: “STUDI KOMPARATIF

ANTARA MEDIASI DENGAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN

PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI”.

B. Masalah Penelitian

Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: “Berupa Apa Saja Kelebihan Dan

Kekurangan dari Mediasi Dibandingkan Perdamaian Dalam Penyelesaian

Perkara Perdata?”

Page 11: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

5

C. Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penelitian selalu berkaitan erat dalam menjawab

permasalahan yang menjadi fokus penulisan, sehingga penulisan hukum yang akan

dilaksanakan tetap terarah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang prosedur dan tata cara mediasi dan

perdamaian dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri;

2. Untuk menganalisis dan membandingkan antara penyelesaian perkara perdata di

Pengadilan Negeri dengan melakukan mediasi dan perdamaian;

3. Untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan antara melakukan mediasi dan

perdamaian dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri;

4. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang diadakannya ketentuan mediasi

sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam kehidupan setiap, manusia selalu membutuhkan manusia lain, atau

dengan kata lain setiap manusia selalu berinteraksi sesamanya baik dalam sosial

kemasyarakatan maupun dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena sesuat yang tidak

mungkin kebutuhan suatu individu dapat dipenuhinya sendiri tanpa adanya bantuan

individu lainnya.

Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa dalam pergaulan antar individu

tersebut juga tidak jarang timbul masalah, berupa adanya perselisihan-perselisihan hak

Page 12: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

6

dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut terkadang dapat diselesaikan secara

musyawarah, tetapi terkadang juga tidak adanya kesepakatan sehingga ditempuh jalur

hukum.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio, dan Iskandar

Oeripkartawinata, : “orang yang merasa haknya itu dilanggar disebut penggugat,

sedangkan bagi orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena ia dianggap melanggar

hak seseorang atau beberapa orang itu disebut tergugat”.1

Dengan demikian seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh pihak lain

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 118 HIR bahwa : “Setiap perkara perdata dimulai dengan

pengajuan gugatan dan menetapkan Pengadilan Negeri yang berwenang dalam suatu

perkara perdata tertentu ialah Pengadilan yang dalam daerah hukumnya si tergugat

mempunyai tempat tinggal”.2

Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat tinggal si tergugat dikenal

dengan asas “actor sequitur forum rei”, dan menurut Retnowulan Sutantio, dan

Iskandar Oeripkartawinata, terhadap asas tersebut ada pengecualiannya, yakni :

1. Gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri tempat kediaman penggugat, apabila tempat tinggal tergugat diketahui.

2. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat yang menentukan di mana ia akan mengajukan gugatannya.

3. Akan tetapi dalam ad.2 tadi, apabila pihak tergugat ada 2 orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain adalah

1 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan

Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hal. 1. 2 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1999), hal. 23.

Page 13: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

7

penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri pihak yang berhutang. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan, bahwa secara analogis dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 118 (2) HIR bagian akhir ini, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.

4. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat.3

Ketentuan tersebut sangat penting untuk diketahui oleh para penggugat,

karena apabila penggugat salah mengajukan gugatannya, maka Pengadilan negeri

tempat diajukan gugatan tersebut tidak dapat memproses perkara tersebut, karena

diluar kewenangannya.

Pentingnya mengetahui prosedur dan tata cara gugatan juga dapat membantu

dalam mempercepat proses perkara yang diajukan oleh penggugat, dikatakan demikian

karena masih panjang proses yang harus ditempuh untuk sampai pada putusan siapa

yang bersalah atau tidak melanggar hak orang lain sebagaimana dimaksudkan oleh

penggugat. Untuk sampai pada putusan perlu waktu yang panjang, mulai dari

pendaftaran berkas gugatan ke Panitera, pemeriksaan kelengkapan berkas gugatan,

penetapan hakim yang memproses perkara, kemudian baru masuk ke dalam proses

pemeriksaan perkara dan putusan.

Dengan demikian, dari proses awal sampai adanya putusan hakim

memerlukan waktu yang lama, sehingga untuk memenuhi asas peradilan yang

sederhana, cepat dan biaya ringan hanya dapat dicapai apabila para pihak menempuh

jalan damai. Namun perdamaian di luar sidang tanpa mediasi banyak kelemahan-

3 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op-Cit, hal. 9-10.

Page 14: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

8

kelemahannya, di antaranya bahwa perdamaian tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum yang sempurna untuk dilaksanakan para pihak yang bersengketa karena tidak

mempunyai kekuatan eksekutorial. Hal ini dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio dan

Iskandar Oeripkartawinata, yaitu:

“Berbeda dengan perdamaian yang telah berhasil dilakukan oleh Hakim di sidang, adalah perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak sendiri di luar sidang, perdamaian semacam ini hanya mempunyai kekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui suatu proses di Pengadilan”.4

Dengan demikian perdamaian yang dilakukan para pihak di luar sidang

pengadilan tanpa melalui mediasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang sempurna

yang serta merta mempunyai kekuatan eksekutorial bagi para pihak yang membuatnya.

Pasal 130 ayat (1) HIR (Herziene Indonesisch Reglement) menyebutkan

bahwa: “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka

Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan memperdamaikan

mereka”.5

Dalam Pasal 1 angka 7 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi

Di Pengadilan menegaskan bahwa: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa

melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu

oleh mediator”.

Sehubungan dengan hal tersebut, Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Oeripkartawinata mengemukan: “Hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut,

4 Ibid, hal. 32. 5 Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 245.

Page 15: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

9

harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu

dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh Pengadilan

Tinggi”.6

Lebih lanjut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata

mengemukakan bahwa:

“Apabila Hakim berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara itu, lalu dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).7

Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa diaturnya upaya perdamaian

agar mempersingkat proses penyelesaian perkara, hal ini penting bagi para pihak yang

berperkara, bagi hakim Pengadilan Negeri. Bagi para pihak dengan secepatnya

penyelesaian perkara tersebut sudah tentu para pihak dapat menyelesaikan pekerjaan-

pekerjaannya yang lain yang sudah menunggu, dan hal lain juga berdampak

berkurangnya kerugian yang diterima para pihak yang berperkara dengan kata lain

biaya perkara menjadi lebih ringan, sedangkan bagi hakim dengan secepat mungkin

perkara tersebut terselesaikan maka perkara-perkara di Pengadilan Negeri tersebut

tidak bertumpuk, dengan demikian Hakim dapat terbantukan.

Selain hal itu, perdamaian yang dilakukan dalam sidang Pengadilan Negeri

melalui mediasi yang dilakukan oleh Mediator yakni Hakim yang bukan memeriksa,

6 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op-Cit, hal. 30. 7 Ibid, hal. 31.

Page 16: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

10

memproses perkara tersebut, mempunyai kekuatan hukum sama dengan putusan

Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sehubungan dengan hal tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa:

“Perkembangan pranata-pranata ini secara tidak langsung akan mengurangi jumlah

perkara ke pengadilan. Hakim dapat melaksanakan tugas secara wajar tanpa terburu-

buru yang akan lebih meningkatkan mutu putusan dan menghindari pula berbagai

bentuk kolusi untuk mempercepat atau memenangkan perkara”.8

Dengan dilakukan mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan

Negeri, bukan berarti Hakim terkesan bekerja dengan terburu-buru, tetapi secara wajar

agar tetap profesional dalam pengambilan keputusan.

Prosedur mediasi yang telah berlangsung yakni yang diatur dengan PERMA

No. 2 Tahun 2003 menjadi suatu hal yang perlu untuk dilakukan perbaikan, maka

melalui fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam

membuat peraturan, Mahkamah Agung telah memberlakukan PERMA No. 1 Tahun

2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan sebagai standar umum bagi pedoman

pelaksanaan perdamaian sebagaimana digariskan oleh ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal

154 RBg.

PERMA No. 1 Tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih

komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di

pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berperkara untuk menempuh proses

8 Bagir Manan, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati-Pokok-Pokok Pikiran

Bagir Manan Dalam Rakernas, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2008), hal. 5.

Page 17: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

11

perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi

pelanggaran terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi

hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan PERMA

No. 1 Tahun 2008 ini.

Jika diperbandingkan dengan PERMA No. 2 Tahun 2003 maka PERMA No.

2 Tahun 2003 tidak memberikan sanksi. PERMA No. 2 Tahun 2003 banyak aspek

yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan menurut

PERMA No. 1 Tahun 2008 hal-hal tersebut telah diatur.

Perubahan mendasar dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 dapat dilihat dalam

Pasal 4 yang menyatakan bahwa batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun

ketentuan tersebut belum menentukan kriteria secara spesifik mengenai perkara apa

yang bisa dimediasi atau tidak. Pendekatan PERMA ini adalah pendekatan yang paling

luas. Dalam PERMA ini semua perkara selama tidak masuk dalam kriteria yang

dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.

1. Kerangka Konsep

Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan

menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk mengupayakan

seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang berperkara. Pada

awalnya proses perdamaian di pengadilan dilakukan secara khusus pada persidangan

pertama, hasil yang diperolehpun tidak maksimal.

Page 18: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

12

Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan pasal 130 HIR

banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan tingkat keberhasilan

perdamaian di Pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan peradilan dalam

menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi pihak advokad

atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri para hakim yang lebih mengedepankan

sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan

yang mengatakan: keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui

perdamaian.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka Mahkamah Agung yang menaungi

seluruh peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para Hakim

menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan pasal 130 HIR, melalui

mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan.

Untuk mengisis kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur mediasi

yang terintegrasi ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang

memfasilitasi perihal bagaimana tata cara melakukan mediasi yang terintegrasi ke

dalam proses litigasi. HIR dan Rbg memang mewajibkan pengadilan, disebut di

dalamnya Pengadilan Negeri, untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum

perkara diputus, tetapi HIR dan RBg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian

yang difasilitasi oleh pihak ketiga. Selain untuk mengurangi penumpukan perkara pada

tingkat kasasi, asa cepat, sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui

proses mediasi.

Page 19: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

13

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sumber penelitian sekunder

yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu

kesimpulan dalam hubunganya dengan masalah yang diteliti.9 Penelitian hukum

normatif terbagi menjadi beberapa cakupan, antara lain sebagai berikut:

a) Penelitian terhadap asas-asas hukum; b) Penelitian terhadap sistematika hukum; c) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, baik secara vertikal maupun

horizontal; d) Penelitian terhadap perbandingan hukum; e) Penelitian terhadap sejarah hukum.10

Berdasarkan pembagian tersebut, maka penelitian hukum yang penulis susun

ini termasuk sebagai penelitian hukum normatif terhadap perbandingan hukum. Dalam

penulisan hukum ini penulis berusaha untuk menelaah aspek-aspek hukum

penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri melalui perdamaian, baik

perdamaian sebelum maupun setelah adanya lembaga mediasi, sehingga terlihat

perbandingan di antara keduanya. Kemudian dari hasil telaah tersebut akan dilakukan

analisa sehingga diperoleh jawaban atas perumusan masalah yang diajukan.

9 Ibid, hal. 10. 10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.

(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 14.

Page 20: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

14

2. Jenis Dan Sumber Data Penelitian

Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara

langsung dari masyarakat dan bahan-bahan pustaka, yang diperoleh langsung dari

masyarakat dinamakan data primer, sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan

pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.11

Penelitian hukum yang penulis susun ini, datanya diperoleh dari bahan-bahan

sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan berupa buku, jurnal, dokumen-

dokumen resmi, laporan dan data lainnya yang didapat dari studi kepustakaan.

Sumber data penelitian diperlukan untuk memecahkan isu hukum dan

sekaligus memberikan prepenelitian mengenai apa yang seyogyanya. Menurut Peter

Mahmud, sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai

otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi mengenai hukum meliputi buku-buku

teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.12

11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op-Cit, hal. 12. 12 Peter Mahmud Marzuki, Op-Cit, hal. 141.

Page 21: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

15

Menurut Soerjono Soekanto sumber data penelitian terbagi menjadi dua

macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data penelitian

yang digunakan penulis dalam menyusun penulisan hukum ini adalah sumber data

sekunder, di mana dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan dalam:

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat, yakni berupa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan izin usaha pertambangan

dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam

hal ini undang-undang yang akan digunakan oleh penulis antara lain, yaitu

Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai,

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti: Hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum, buku-buku, hasil seminar, jurnal-jurnal ilmiah dan sebagainya.

c) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, mencakup:

(1) Bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder yang lebih dikenal dengan nama bahan

Page 22: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

16

acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya : abstrak

perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, kamus

hukum indeks, majalah hukum dan seterusnya.

(2) Bahan-bahan primer di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari

bidang : Sosiologi, Ekonomi, Ilmu Politik, Filsafat, Ekologi, Teknik dan

lain sebagainya, yang oleh peneliti digunakan untuk menunjang dan

melengkapi data penelitian.13

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah studi dokumen atau

bahan pustaka (library study). Hal ini dilakukan penulis guna mendapatkan data yang

seakurat mungkin guna menjawab permasalahan pokok dalam penelitian ini.

Pengumpulan data jenis ini dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan-

perpustakaan maupun melalui media internet, mengumpulkan, membaca, mengkaji,

dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel, majalah, koran, makalah, jurnal hukum,

dan sebagainya. Substansi data yang dikumpulkan berkaitan erat dengan masalah

pokok dalam penelitian yang dilakukan.

13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op-Cit, hal. 31-33.

Page 23: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

17

BAB II

ASPEK HUKUM PERDAMAIAN DAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI

A. Pengertian Serta Dasar Hukum Perdamaian Dan Mediasi Dalam Hukum Acara

Perdata

Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi penyelenggara kekuasaan

kehakiman selalu berusaha mencari solusi yang terbaik demi tegaknya aturan hukum

dan keadilan. Produk-produk hukum baru berikut perangkat tehnisnya pun

diformulasikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dimensi hukum.

Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan

terhadap putusan pengadilan. MA mencoba mengintegrasikan proses penyelesaian

sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini mediasi ke dalam proses peradilan

(litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses mediasi untuk mencapai perdamaian pada

tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah yang biasa disebut dengan lembaga

damai dalam bentuk mediasi atau lembaga mediasi.

Model lembaga mediasi yang diterapkan di Indonesia sangat mirip dengan

mediasi yang diterapkan di Australia, yaitu sistem mediasi yang berkoneksitas dengan

pengadilan (mediation connected to the court). Pada umumnya yang bertindak sebagai

mediator adalah pejabat pengadilan. Dengan demikian, compromise solution yang

diambil bersifat paksaan (compulsory) kepada kedua belah pihak. Namun agar

resolusinya memiliki potensi memaksa, harus lebih dulu diminta persetujuan para

Page 24: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

18

pihak dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya apapun yang dapat

mengurangi daya kekuatannya14.

Ketentuan mediasi di pengadilan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung

(Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pangadilan.

Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah

satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.

Selain itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat

memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian

sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).

Hukum acara yang berlaku, baik pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR)

maupun pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak

untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara

mengintegrasikan proses ini.

Penggunaan mediasi pada lembaga damai ini bermula dengan dikeluarkannya

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 (Eks Pasal 130 HIR/154

Rbg) tentang pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai.

SEMA tersebut dikeluarkan menyikapi salah satu problema yang dihadapi oleh

lembaga peradilan di Indonesia dalam hal tunggakan perkara di tingkat kasasi (MA)

dan rasa ketidakpuasan para pencari keadilan terhadap putusan lembaga peradilan yang

dianggap tidak menyelesaikan masalah. SEMA ini merupakan langkah nyata dalam

14 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT Aditya

Bakti, 2003), hal. 50-51.

Page 25: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

19

mengoptimalkan upaya perdamaian sehingga pelaksanaannya tidak hanya sekedar

formalitas.4 Namun karena beberapa hal yang pokok belum secara eksplisit diatur

dalam SEMA tersebut maka MA mengeluarkan PERMA NO. 2 tahun 2003 yang berisi

tentang ketentuan umum, tahapan, tempat dan biaya mediasi di pengadilan dan

kemudian terakhir disempurnakan dengan keluarnya PERMA NO. 1 tahun 2008

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang

umumnya diakui di semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian

dikukuhkan ke dalam sebuah institusi yang bernama hukum, maka hukum itu harus

mampu menjadi saluran agar keadilan itu dapat deselenggarakan secara seksama dalam

masyarakat. Dalam konteks ini tugas hakim yang paling berat adalah menjawab

kebutuhan manusia akan keadilan tersebut selain melakukan pendekatan kedua belah

pihak untuk merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki dan upaya ini dapat

dilakukan pada tahap perdamaian15.

Dalam bahasa Indonesia perdamaian diartikan sebagai perhentian permusuhan.

Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan

dalam Pasal 1851 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah

pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri

suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara16.

15 Lailatul arofah, ”Perdamaian dan bentuk lembaga damai di Pengadilan Agama Sebuah

Tawaran Alternatif”, Mimbar Hukum, No. 63, hal. 43. 16 Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1989).

Page 26: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

20

Kemudian dikenal juga dengan istilah dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara

damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu

perkara17.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan sebuah perdamaian adalah

untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu

perkara.

Berdasarkan HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari

yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan

pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang

demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akte)

tentang itu, di mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat

itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”

Selain itu ketentuan perdamaian juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (2) yaitu: ”Kententuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara

perdata secara perdamaian”.

Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan bahwa hakim wajib mendamaikan para

pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha mendamaikan ini dapat

dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Apabila diperhatikan dalam praktek, tempat dan waktu pelaksanaan perdamaian

dapat diklasifkasikan kepada: Perdamaian diluar sidang pengadilan dan perdamian

17 Simorangkir dkk, Kamus Hukum, cet ke 8 (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 33.

Page 27: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

21

melalui sidang pengadilan. Dalam persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak

yang sedang bertikai dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja para pihak

menyelesaikanya sendiri tanpa melalui pengadilan misalnya mereka minta bantuan

kepada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari

penyelesaian persengketaan seperti ini cukup banyak yang berhasil. Namun sering pula

terjadi dikemudian hari salah satu pihak menyalahi perjanjian yang telah disepakati,

untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari, maka

dalam praktek sering perjanjian damai itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu dibuat akta

perjanjian perdamaian. Agar akta perjanjian perdamaian itu mempunyai kekuatan

hukum tentunya haruslah dibuat secara autentik yaitu dibuat dihadapan notaris.

Berbeda halnya dengan perdamaian diluar pengadilan, perdamaian di

pengadilan dilangsungkan pada saat perkara sudah masuk dalam proses sidang

pengadilan (gugatan sedang berjalan)18 tentunya proses dan prosedurnya agak sedikit

formal dan bersifat resmi.

Berdasarkan KUH Perdata yang telah mengatur dan menentukan persyaratan

syahnya suatu perdamaian secara limitatif seperti yang termuat dalam Pasal 1320,

1321, 1851-1864, sebagai berikut 19:

a. Perdamaian harus atas persetujuan kedua belah pihak

18 Chairuman Pasaribu dan Suhawardi k Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, cet ke 2

(Jakarta :Sinar Grafika, 1996) hal. 31-32. 19 Nashruddin Salim, “Pemberdayaan”, Mimbar Hukum No. 63. hal. 9.

Page 28: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

22

Unsur-unsur persetujuan yakni adanya kata sepakat secara sukarela

(toesteming), kedua belah pihak cakap dalam membuat persetujuan

(bekwamnied), objek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde

onderwerp), berdasarkan alasan yang diperbolehkan (seorrlosofde oorzaak).

Dengan demikian bahwa persetujuan-persetujuan tidak boleh terdapat cacat

pada setiap unsur esensialnya suatu persetujuan.

b. Perdamaian harus mengakhiri sengketa

Dalam pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg mengatakan bahwa apabila perdamaian

telah dapat dilaksanakan, maka dibuat putusan perdamaian yang disebut dengan

akte perdamaian. Akte yang dibuat ini harus betul-betul dapat mengakhiri

sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak berperkara apabila tidak maka

dianggap tidak memenuhi syarat formal, dianggap tidak syah dan tidak

mengikat para pihak-pihak yang berperkara. Putusan perdamaian harus dibuat

dalam persidangan majelis hakim, disinilah peran hakim sangat dibutuhkan

dalam akte perdamaian ini dapat diwujudkan.

c. Perdamaian harus atas dasar keadaan sengketa yang telah ada

Syarat untuk mendapatkan dasar suatu putusan perdamaian itu hendaklah atas

dasar persengketaan para pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud

maupun yang sudah nyata terwujud tapi baru akan diajukan ke pengadilan,

sehingga perdamaian itu dapat mencegah gugatan atas perkara di pengadilan.

Hal ini berarti bahwa perdamaian itu dapat lahir dari suatu perdata yang belum

diajukan ke pengadilan. Bentuk perjanjian damai yang dapat diajukan ke depan

Page 29: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

23

sidang pengadilan dapat saja dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta

dibawah tangan.

d. Bentuk perdamaian harus secara tertulis (akta perdamaian)

Dalam Pasal 1851 KUH Perdata disebutkan bahwa persetujuan perdamaian itu

sah apabila dibuat secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh

ketentuan peraturan yang berlaku. Syarat ini sifatnya memaksa (inferatif),

dengan demikian tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara

lisan, meskipun dihadapan pejabat yang berwenang. Hakim tidak berhak

menambah, merubah mengurangi atau mencoret satu katapun dari isi akta

perdamaian yang telah dibuat oleh para pihak yang telah melakukan

perdamaian itu, melainkan harus diterima secara bulat, mengambil over

sepenuhnya dan seluruh isi perjanjian perdamaian itu. Jadi dalam membuat

keputusan perdamaian itu haruslah terpisah dengan akta persetujuan

perdamaian. Persetujuan damai dibuat sendiri oleh pihak yang bersengketa,

baru kemudian persetujuan perdamaian itu diajukan pada pengadilan atau

hakim yang menyidangkan perkara tersebut untuk dikukuhkan sebagai putusan

perdamaian dengan memberikan titel eksekusi.

Selanjutnya mengenai mediasi. Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation

yang berarti penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang

jadi penengah20. Dan dalam Ketentuan Umum PERMA No. 1 Tahun 2008, mediasi

20 John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet ke XXV (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003) hal. 377.

Page 30: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

24

adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

Menurut Joni Emerzon mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak

dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak

membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk

terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar

pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain mediasi adalah proses negosiasi

pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral

bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh

kesepakatan perjanjian secara memuaskan21.

Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa mediasi

adalah proses penyelesaian sengketa melalui perundingan yang dipandu oleh seorang

mediator yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang diterima oleh pihak-pihak

yang bersengketa guna mengakhiri perkara.

Pengaturan mengenai mediasi dalam hukum positif dapat kita temukan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbiterase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat

Pertama Menerapkan Lembaga Damai yang disempurnakan dengan PERMA No. 2

Tahun 2003 tantang Prosedur Mediasi di Pengadilan, untuk selanjutnya terakhir

disempurnakan dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

21 Joni Emerzon Alternatif, hal. 69. Bandingkan dengan Rahmadi Usman, Pilihan, hal. 82.

Page 31: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

25

Dari pengertian mediasi di atas bisa ditarik sebuah gambaran bahwa unsur atau

ciri khusus mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar

pengadilan (non litigasi) adalah sebagai berikut:

a. Mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa informal dipimpin oleh seorang

mediator yang netral. Oleh sebab itu para pihaklah yang menentukan atau

menunjuk orang yang menjadi mediator sesuai kesepakatan. Mediator yang

ditunjuk tidak terbatas pada satu orang tetapi dapat lebih dari satu orang.

b. Mediator bertugas membantu para pihak untuk membuat persetujuan-

persetujuan. Dalam upaya tertib dan lancarnya proses mediasi, maka mediator

seharusnya terlebih dahulu menentukan waktu dan menyiapkan tempat dalam

rangka mengadakan pertemuan-pertemuan, menyusun proposal persetujuan

setelah memperoleh data dan informasi tentang keinginan-keingina para pihak

yang bersengketa dalam rangka menemukan solusi yang memuaskan dan

menguntungkan masing-masing pihak (win-win solution).

c. Mediator tidak mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Dengan

demikian pada dasarnya mediasi merupakan pengembangan dari negosiasi

(negosiasi juga salah satu bentuk sarana penyelesaian sengketa alternatif) yang

dengan bantuan pihak ketiga yang netral sebagai mediator. Mediator tidak

bertindak sebagai hakim karena mediator tidak mempunyai otoritas mengambil

keputusan sendiri, yang berhak mengambil keputusan atau menentukan

Page 32: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

26

keputusan adalah pihak-pihak yang bersengketa yang disepakati selama

berlangsungnya proses mediasi22.

B. Hakekat Dari Perdamaian Dan Mediasi Dalam Perkara Perdata Secara Litigasi

Pengintegrasian mediasi dalam sistem peradilan merupakan institusionalisasi atau

melembagakan proses mediasi dalam badan peradilan. Maksud pelembagaan itu, sebagai upaya

mendorong peran Pasal 130 HIR, Pasal 154 RGB, agar:

- Mampu mendorong para pihak merundingkan penyelesaian perkara yang lebih efektif melalui

perdamaian;

- Dengan demikian, dalam upaya mewujudkan penyelesaian perkaramelalui perdamaian, tidak

lagi bertumpu pada pasal 130 HIR, pasal 154 RGB, tetapi sekaligus berperdoman pada proses

mediasi yang bersifatmemaksa (compulsory)

Dengan ditetapkannya Peraturan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di

Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan

menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan

perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan

sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga

menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak

yang bertikai. Persoalan yang menjadi beban pengadilan selama ini, terutama pada

tingkat Mahkamah Agung adalah semakin meningkatnya perkara yang masuk. Setiap

22 Harijah Damis, “Hakim Mediasi”, Mimbar Hukum, No. 63, hal. 27-28.

Page 33: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

27

tahun perkara yang masuk bukannya berkurang, tetapi malah meningkat. Sementara

hakim yang harus menyelesaikan perkara tersebut daya kerjanya sangat terbatas

sehingga perkara yang masuk tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Berbagai solusi

telah diupayakan untuk mengurangi tunggakan perkara agar semakin banyak perkara

yang diputus, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Pada era perdagangan bebas,

kemungkinan tingkat sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan proses

perekonomian negeri ini akan menjadi meningkat. Sengketa itu selain kualitas dan

kuantitasnya bertambah, juga aneka macamnya juga akan bertambah. Tidak hanya

terjadi antar kepentingan di dalam negeri, tetapi juga mencakup kepentingan dengan

pihak luar secara internasional. Kalau penyelesaian perkara yang masuk ke pengadilan

hanya memakai cara-cara yang konvensional, maka tidak dapat terbayangkan betapa

banyak beban pengadilan untuk memutus perkara yang masuk.

Kalau tidak terjadi perubahan tentang proses penegakan hukum di Indonesia,

maka akan sulit untuk menarik investor asing ke dalam negeri. Padahal prioritas utama

pebisnis asing adalah kepastian hukum. Kalau ada sengketa antara pihak-pihak yang

berkepentingan, harus ada penyelesaian secara cepat dan jelas. Ini merupakan satu

tantangan bagi pengadilan di mana suatu penegakan hukum harus dilakukan secara

cepat dan tuntas. Apabila tidak demikian, maka pebisnis asing bukan hanya tidak mau

datang ke Indonesia, tetapi yang sudah ada di Indonesia bisa-bisa hengkang ke luar

negeri. PERMA No. 1 Tahun 2008 ini secara fundamental telah merubah praktek

peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Mediasi

sebagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara bukan hanya penting,

Page 34: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

28

tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya diperiksa. Kalau selama ini upaya

mendamaikan pihak-pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa

perkara, tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan

kepada mediator mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Diberikan waktu dan

ruang yang khusus untuk melakukan mediasi antara pihak-pihak. Upaya perdamaian

bukan hanya formalitas, tetapi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Untuk mengerti secara konperhensip mengenai mediasi, perlu dipahami tentang

tiga aspek dari mediasi:23

1. Aspek urgensi/motivasi:

Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara

menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila

ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus

diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi

adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang

bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila

bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang

dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka

mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan

difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk memfilter persoalan-persoalan agar

23 Siddiki, Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan,

www.badilag.net.

Page 35: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

29

menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya

perdamaian antara mereka.

2. Aspek prinsip:

Secara hukum, mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun

2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti

prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur

mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau

Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara

yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi.

Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.

3. Aspek substansi:

Mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap

perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang

harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu

diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa.

Mediasi bukan hanya sekadar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi

merupakan upaya yang sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak

terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak

yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan

kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga

dengan demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh

Page 36: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

30

pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan diharapkan bisa menjadi filter dari persoalan-

persoalan dan pertikaian yang terjadi di dalam masyarakat sehingga masyarakat

menjadi tenteram dan damai, bukan malah memunculkan masalah-masalah baru yang

pada gilirannya akan mengganggu proses pembangunan pada umumnya. Apabila

masyarakat selalu berada di dalam kondisi konflik, maka secara psikologis kehidupan

berbangsa akan menjadi terganggu yang pada gilirannya akan memacetkan rencana

pemberdayaan perekonomian masyarakat.

C. Prosedur Malakukan Perdamaian Dan Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara

Perdata Secara Litigasi

1. Prosedur Perdamaian Menurut HIR/RBg

Dalam Hukum Acara Perdata, prosedur pelaksanaan perdamaian tidak diatur

secara rinci dan sistematis, sehingga dalam pelaksanaannya bersandar pada ketentuan

yang diatur dalam HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari yang

ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan

ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang demikian itu

dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akte) tentang itu,

dimana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat itu, surat

mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”

Berangkat dari ketentuan hukum tersebut di atas, dalam praktek

pelaksanaannya upaya perdamaian dilakukan dalam setiap perkara perdata, apabila

kedua belah pihak hadir di persidangan, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak.

Page 37: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

31

Usaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara tidak terbatas pada hari sidang

pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam sidang sidang berikutnya meskipun

taraf pemeriksaan telah berlanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg).

Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus

dibacakan terlebih dahulu oleh hakim di hadapan para pihak sebelum hakim

menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi

perdamaian tersebut.

Akta/putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan

hakim yang berkekuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat

dimintakan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Akta/putusan perdamaian

tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali.

Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita

acara persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan

surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan

menggunakan penterjemah (Pasal 131 HIR/Pasal 155 RBg). Namun demikian, proses

perdamaian pada prinsipnya dapat dilakukan terus pada setiap sidang pemeriksaan,

baik atas usul para pihak yang bersengketa maupun atas usul hakim yang memeriksa

perkara.

2. Prosedur Perdamaian melalui Mediasi

Dalam mengupayakan perdamaian melalui mediasi berdasarkan PERMA No. 1

Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan agar semua

perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui

Page 38: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

32

perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal 2 ayat (3) PERMA). Adapun prosedurnya

dapat diuraikan sebagai berikut di bawah ini:24

a. KEWAJIBAN HAKIM PEMERIKSA DAN KUASA HUKUM

1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak,

hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksaaan

mediasi.

3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,

mendorong para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung

atau aktif dalam proses mediasi.

4) Kuasa hukum para berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan

aktif atau langsung dalam proses mediasi.

5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan

kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.

6) Hakim wajib menjalankan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada

para pihak yang bersengketa.

b. HAK PARA PIHAK UNTUK MEMILIH MEDIATOR

Para pihak berhak memilih mediator dia antara Hakim bukan pemeriksa

perkara pada Pengadilan yang bersangkutan, Advokat atau Akademisi

hukum, Pofesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau

24 www.pa-kedirikab.go.id

Page 39: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

33

berpengalaman dalam pokok sengketa, Hakim majelis pemeriksa perkara,

Gabungan antara mediator.

c. BATAS WAKTU PEMILIHAN MEDIATOR

1) Setelah para pihak hadir pada siding pertama, hakim mewajibkan para

pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya

untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin

timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.

2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada

Ketua Majelis Hakim.

3) Ketua Majelis Hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk

melaksanakan tugas.

4) Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksudterpenuhi,

para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki,

maka para pihak wajbmenyampaikan kegagalan mereka memilih

mediator kepada Ketua Majelis Hakim.

5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih

mediator, Ketua Majelis Hakim segera menunjuk hakim bukan

pemeriksa pokok pekara yang bersertifikat pada Pengadilan yang sama

untuk menjalankan fungsi mediator.

6) Jika pada Pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa

perkara yang bersertifikat, maka pemeriksa pokok perkara dengan atau

Page 40: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

34

tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib

menjalankan fungsi mediator.

d. MENEMPUH MEDIASI DENGAN IKTIKAD BAIK

i. Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.

ii. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika

pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.

e. TAHAP-TAHAP PROSES MEDIASI

1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak

menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat

menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada

mediator.

2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal

memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume

perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.

3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja

sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis

hakim.

4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat

diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir

masa 40 (empat puluh) hari.

5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan

perkara.

Page 41: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

35

6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat

dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.

f. KEWENANGAN MEDIATOR MENYATAKAN MEDIASI GAGAL

1) Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu

pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut

tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi

yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri

pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.

2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam

sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan

atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang

tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang

berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses

mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim

pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk

dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.

g. TUGAS-TUGAS MEDIATOR

1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi

kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.

2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan

dalam proses mediasi.

3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.

Page 42: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

36

4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali

kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang

terbaik bagi para pihak.

h. KETERLIBATAN AHLI

1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat

mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk

memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu

menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.

2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan

mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang

ahli.

3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses

mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.

Page 43: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

37

BAB III

ANALISIS TERHADAP PERDAMAIAN DALAM PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI SEBELUM DAN SESUDAH

ADANYA LEMBAGA MEDIASI

Keberadaan lembaga mediasi di pengadilan sangat diperlukan, karena:

1. Dapat mengurangi masalah penumpukan perkara;

2. Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat

dan murah, serta dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak

yang bersengketa untuk memperoleh keadilan; dan

3. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

penyelesaian sengketa di samping proses litigasi.

Keberadaan mediasi tersebut di atas sebenarnya juga merupakan tujuan

keberadaan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg yang sama-sama menghendaki agar

sengketa yang terjadi dapat diselesaikan secara damai tanpa menempuh proses

persidangan lebih lanjut sehingga asas dari peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan dapat terwujud.

Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan

menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk mengupayakan

seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang berperkara. Pada

awalnya proses perdamaian di pengadilan dilakukan secara khusus pada persidangan

pertama, namun hasil yang diperoleh tidak maksimal.

Page 44: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

38

Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan Pasal 130

HIR/Pasal 154 RBg banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan

tingkat keberhasilan perdamaian di Pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan

peradilan dalam menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi

pihak advokad atau kuasa hukum, tetapi juga melekat pada diri para hakim yang lebih

mengedepankan sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai

dengan ungkapan yang mengatakan “keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang

bersengketa melalui perdamaian”.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka Mahkamah Agung yang menaungi

seluruh peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para Hakim

menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR/Pasal 154

RBg, melalui mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan, hal ini hampir

sama dengan sistem court conected mediation yang diterapkan di berbagai negara di

dunia.

Untuk mengisi kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur mediasi yang

terintegrasi ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang memfasilitasi

perihal bagaimana tata cara melakukan mediasi yang terintegrasi ke dalam proses

litigasi. HIR dan Rbg memang mewajibkan pengadilan, disebut di dalamnya

Pengadilan Negeri, untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum perkara

diputus, tetapi HIR dan Rbg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian yang

difasilitasi oleh pihak ketiga. Selain untuk mengurangi penumpukan perkara, asas

cepat, sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui proses mediasi.

Page 45: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

39

Penerbitan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan didorong oleh keberhasilan negara-negara lain dalam

menerapkan aturan tersebut, seperti; Jepang, Amerika Serikat, Singapore, dan lain-

lainya.

Saat ini mediasi yang terintegrasi dengan proses litigasi baru dinaungi oleh

Peraturan Mahkamah Agung. Idealnya, pengaturan mediasi yang terintegrasi dengan

proses litigasi diatur oleh undang-undang, sebagaimana halnya mediasi yang di luar

peradilan sudah diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung

No. 1 Tahun 2008, prosedur mediasi wajib dilakukan dalam menyelesaikan perkara

perdata di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal

1 angka 13, Pasal 2, dan Pasal 4.

Pasal 1 angka 13 menyatakan bahwa: ”Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat

pertama dalam lingkungan peradilan umum dan agama”.

Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa:

(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait

dengan proses berperkara di pengadilan

(2) Setiap Hakim, Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian

sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini.

(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan

pelanggaran terhadap pasal 130 HIR dan atau 154 Rbg yang mengakibatkan

putusan batal demi hukum.

Page 46: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

40

(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara

yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan

menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Kemudian Pasal 4 menegaskan bahwa kecuali perkara yang diselesaikan

melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas

putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan

tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian

dengan bantuan mediator.

Kondisis peradilan yang dulunya lebih banyak mengeluarkan putusan

konvensional, berupa menang dan kalah, diharapkan mengalami perubahan setelah

lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008 ini. Komitmen ini juga yang tidak tegas diatur

oleh ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg.

Mediator yang menangani kasus atau sengketa di pengadilan mesti memiliki

sertifikat mediator yang dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi oleh Mahkamah

Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 5 PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi sebagai

berikut:

(1) Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (3) dan pasal 11 ayat (6),

setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki

sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang

diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari

Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Page 47: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

41

(2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada Hakim, advokad, akademisi

hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di

lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi

mediator.

(3) Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia

b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti

pendidikan atau pelatihan mediasi

c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan

untuk mediator bersertifikat di pengadilan

d. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang

disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada sebuah

pengadilan mesti ada sekurang-kurangnya lima (5) orang mediator.

Dari ketentuan hukum tersebut di atas jelas terlihat bahwa lembaga mediasi

yang diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008 menunjukkan kesungguh-sungguhan

untuk mewujudkan dan mengedepankan perdamaian dalam penyelesaian suatu perkara

perdata yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Negeri melalui mediator-mediator

yang memang telah mempunyai kemampuan khusus untuk menyelesaikan suatu

perkara melalui perdamaian. Sebaliknya, sebelum adanya lembaga mediasi ini, upaya

perdamaian yang diamanahkan oleh ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg tidak bisa

Page 48: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

42

diaplikasikan secara maksimal karena pada umumnya para Hakim hanya mempunyai

keahlian dalam menguasai hukum baik secara materiil maupun formil saja, sedangkan

keahlian untuk mendamaikan dengan kapasitas sebagai seorang mediator belum

dimilikinya. Oleh karena itu, putusan-putusan yang dikeluarkan umumnya bersifat

konvensional menang dan kalah, yang diperoleh melalui proses persidangan biasa.

Mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. Mediasi

dilakukan di dalam ruangan mediasi di Pengadilan Tingkat Pertama, tetapi dapat juga

diselenggarakan di luar lingkungan pengadilan jika mediatornya bukan hakim. Jika

mediatornya seorang hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.

Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim

mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi, ketidakhadiran pihak turut Tergugat

tidak menghalangi mediasi.

Para pihak memiliki hak untuk memilih mediator yang mereka kehendaki

bersama dalam waktu paling lama tiga hari kerja, sejak hari persidangan yang dihadiri

lengkap kedua belah pihak.

Jika dalam batas waktu maksimal yang telah ditentukan para pihak belum

mencapai kesepakatan untuk memilih mediator, maka para pihak segera melaporkan

ketidaksepakatan mereka kepada Ketua Majelis Hakim. Jika tidak ada kesepakatan

para pihak dalam menentukan mediator maka Ketua Majelis segera menunjuk hakim

yang tidak memeriksa pokok perkara unutk bertindak menjadi mediator perkara

tersebut.

Page 49: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

43

Ada dua kondisi yang dapat digunakan oleh mediator untuk menyatakan

mediasi telah gagal atau tidak layak untuk dilanjutkan, meskipun batas waktu

maksimal 40 hari dan dapat diperpanjang selama empat belas hari kerja atas dasar

kesepakatan para pihak (Pasal 13 ayat (3) dan (4) PERMA No. 1 Tahun 2008, belum

dilampaui. Pertama, jika salah satu pihak atau para pihak telah dua kali berturut-turut

tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan jadwal mediasi yang telah

disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Kedua, setelah proses mediasi

berjalan, mediator memahami bahwa sengketa yang sedang dimediasi ternyata

melibatkan aset, harta kekayaan atau kepentingan pihak lain yang tidak menjadi peserta

mediasi.

Dari sederet proses mediasi di atas, terlihat bahwa hakim baik selaku pemeriksa

pokok perkara maupun sebagai mediator diwajibkan untuk berperan secara aktif dalam

proses perdamaian, berbeda halnya peran hakim sebelum adanya lembaga mediasi

dalam hal mendamaikan para pihak yang bersengketa tidak ada penekanan secara

khusus untuk terlibat secara aktif, sehingga dalam prakteknya terkesan hanya

menjalankan formalitas saja sekedar memenuhi ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg.

Dalam menjalankan perannya seorang mediator mesti memiliki skill, di antara

skill yang diperlukan oleh seorang mediator adalah:

1. Membangun kepercayaan (rapport)

a. Memahami perannya sebagai mediator

b. Ramah dan percaya diri

Page 50: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

44

c. Mampu mendengarkan dan penuh perhatian (Empati) pada proses dan

mampu menangani pertanyaan serta tantangan secara konstruktif

2. Mendengarkan secara sungguh-sungguh

a. Memberikan atensi dan selalu terbuka untuk menghadapi berbagai hal

b. Mendengarkan secara “terbuka” seperti kertas putih

c. Buat kesimpulan yang akurat dan tepat (appropriate) dari informasi yang

diterima dan perasaan yang diekspresikan

d. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat

3. Mengajak para pihak untuk “keluar dari area konflik”

Menghindari para pihak terjebak dari situasi yang saling menyalahkan

4. Mendorong para pihak untuk mediasi

a. Tidak semua orang pada awalnya mau melakukan mediasi

b. Pertemuan terpisah di awal proses sangat membantu dalam rangka

memotivasi para pihak

c. Jelaskan apa keuntungan dari proses mediasi (keputusan di tangan para

pihak)

d. Gunakan bahasa yang mudah dipahami (plain language)

5. Netralitas dan imparsialitas

a. Adanya kecenderungan bahwa:

1) sudah “menghakimi” seseorang

2) Mempunyai asumsi-asumsi

Page 51: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

45

3) Mempunyai stereotype tertentu

b. Mediator perlu menjaga netralitas dan independensi dan “step back”

Skill-skill tersebut di atas sebelum lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008

bukanlah merupakan suatu keciscayaan untuk dimiliki seorang hakim, khususnya bagi

hakim dalam menjalankan amanah Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg.

Dalam tahapan mediasi seorang mediator mesti memegang prinsip dan bersikap

yang benar-benar menjaga netralitas dan imparsialnya sebagai seorang penengah. Ada

beberapa prinsip seorang mediator yang dapat menjaga netralitasnya dalam menangani

sebuah perkara:

1. Pahami karakteristik diri, sesuatu yang membuat marah atau freze

2. Perhatikan gaya tubuh anda, sejauh mana perasaan mempengaruhi sikap

3. Hati-hati terhadappola perilaku yang akan membawa anda ke keadaan sulit

4. Perhatikan orang yang sedang berinteraksi dengan anda

5. Gunakan bahasa yang netral

6. Datang sebagai orang yang “baru” yang ingin tahu segala sesuatunya

Sedangkan sikap yang mesti dipegang oleh seorang mediator, jika ingin sukses

dalam menengahi sebuah sengketa adalah:

1. Tunjukan atensi terhadap persoalan dan terhadap para pihak

2. Berikan pihak-pihak waktu yang seimbang untuk menyampaikan

persoalannya

3. Memahami perasaan para pihak tanpa terlibat di dalamnya

4. Mendorong maksimum partisipasi

Page 52: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

46

5. Kembangkan pertanyaan-pertanyaan yang konstruktif

6. Terbuka pada kritik jika ada

Dalam tahapan mediasi dapat dilakukan kaukus, pertemuan antara mediator

dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak yang lainnya. Kaukus memiliki

fungsi sebagai berikut:

a. Memungkinkan salah satu pihak untuk mengungkapkan kepentingan yang tidak

ingin mereka ungkapkan di hadapan mitra runding merekab.

b. Memungkinkan mediator untuk mencari informasi tambahan, mengetahui garis

dasar dan BATNA (Best Alternative To A Negotiated Agreemant), dan

menyelidiki agenda tersembunyi.

c. Membantu mediator dalam memahami motivasi para pihak dan prioritas

mereka dan membangun empati dan kepercayaan secara individual.

d. Memberikan para pihak, waktu dan kesempatan untuk menyalurkan emosi

kepada mediator tanpa membahayakan kemajuan mediasi.

e. Memungkinkan mediator untuk menguji seberapa realistis opsi-opsi yang

diusulkan.

f. Memungkinkan mediator untuk mengarahkan para pihak untuk melaksanakan

perundingan yang konstruktif.

g. Memungkinkan mediator dan para pihak untuk mengembangkan dan

mempertimbangkan alternatif-alternatif baru.

h. Memungkinkan mediator untuk menyadarkan para pihak untuk menerima

penyelesaian.

Page 53: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

47

Ketika kesepakatan dapat dihasilkan, maka mediator memeriksa hasil

kesepakatan tersebut, menghindari agar hasil kesepakatan tidak bertentangan dengan

hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Hasil

kesepakatan tidak mesti dibuatkan dalam akta perdamaian yang memiliki kekuatan

eksekutorial, tergantung kesepakatan para pihak. Jika para pihak tidak berkeinginan

untuk membubuhkan perdamaian tersebut dalam akta perdamaian maka para pihak

cukup mencabut perkara tersebut.

Mediator tidak dapat dituntut atas hasil kesepakatan yang dicapai dalam

mediasi, karena mediator hakikatnya hanya sebagai fasilitator (penghubung), hasil

kesepakatan tersebut semata-mata keinginan para pihak.

Serangkaian ketentuan proses mediasi tersebut di atas menjadi pedoman yang

mengikat bagi para madiator dalam melakukan upaya perdamaian bagi para pihak yang

menyelesaikan perkara perdatanya ke Pengadilan Negeri. Sangat berbeda dengan

pelaksanaan perdamaian sebelum adanya lembaga mediasi, tidak terdapat bagaimana

prosedur pelaksanaan perdamaian sebagai wujud pelaksanaan ketentuan Pasal 130

HIR/Pasal 154 RBg, sehingga dalam pelaksanaannya hakim yang memeriksa perkara

hanya menyarankan para pihak untuk dapat berdamai, tanpa ada ruang dan waktu

khusus yang diberikan untuk proses perdamaian itu sendiri.

Karena mediasi merupakan hukum acara baru dalam praktek peradilan di

Indonesia, maka pada awal pelaksanaannya seakan menjadi beban dalam proses

berperkara di pengadilan. Padahal kalau nanti mediasi sudah menjadi praktek yang

mapan dan dijalankan secara profesional, maka mediasi akan merupakan alternatif

Page 54: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

48

yang ideal bagi proses berperkara di pengadilan. Barangkali untuk langkah ke depan

ada beberapa hal masukan dari penulis untuk menjadikan mediasi sebagai sarana upaya

perdamaian dalam mengemban amanah ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, yang

lebih berdaya-guna dan berhasil-guna. Juga untuk meningkatkan profesionalisme

mediator sebagai komponen penting dalam mediasi.

Pertama:

Menurut Pasal 7 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008, pada hari sidang

yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak

untuk menempuh mediasi. Dari ketentuan ini bahwa proses mediasi merupakan

kewajiban pihak-pihak yang berperkara yang mana kalau tahapan mediasi ini tidak

dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga wajib untuk menolak/tidak

menerima gugatannya. Apabila majelis hakim terus memproses perkara tersebut maka

putusannya batal demi hukum. Penekanan ini tidak ditemui sebelum adanya lembaga

mediasi sebagaimana diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008. Pada periode yang hanya

bersandar pada ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg, ketentuan batal demi hukum hanya

apabila hakim yang memeriksa tidak menawarkan penyelesaian perkara kepada para

pihak yang bersengketa untuk berdamai, tanpa mewajibkan kepada para pihak untuk

melakukan perdamaian melalui suatu proses secara nyata.

Namun demikian, persoalannya adalah apabila pada persidangan hanya dihadiri

oleh penggugat tetapi tidak dihadiri oleh tergugat, maka terhadap perkara tersebut tidak

wajib melalui proses mediasi. Padahal menurut Pasal 4 semua sengketa perdata yang

diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian

Page 55: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

49

melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Menurut Pasal 4 ini semestinya semua

perkara tanpa kecuali harus melalui proses mediasi, apakah dihadiri oleh kedua belah

pihak, atau hanya dihadiri oleh satu pihak saja. Jalan keluar dari persoalan ini menurut

penulis, seharusnya bukan hakim pemeriksa perkara yang menunjuk mediator. Tetapi

sejak perkara telah terdaftar di Pengadilan, maka Ketua Pengadilan yang harus

menunjuk mediator guna memediasi pihak-pihak yang berperkara supaya berdamai.

Apabila pihak-pihak belum melakukan proses mediasi secara formal sesuai dengan

penetapan Ketua Pengadilan, maka Ketua Pengadilan belum boleh menetapkan majelis

hakim untuk memeriksa perkaranya. Dengan cara ini mediasi akan lebih berdaya guna

karena sejak awal mediator secara proaktif akan menghubungi pihak-pihak yang

berperkara supaya berdamai. Resikonya biaya memang akan membengkak. Tetapi

biaya ini murni untuk proses mediasi. Masyarakat akan mendapatkan pelajaran bahwa

setiap mengajukan perkara ke pengadilan, perkaranya baru akan diperiksa majelis

hakim apabila sudah melalui proses mediasi secara formal. Secara proses alamiah

nantinya masyarakat akan menjadi mandiri dengan mencari solusi sendiri secara damai

terhadap perkara yang dihadapinya. Setelah mediator bekerja dan memberi laporan

secara tertulis bahwa pihak-pihak yang berperkara tidak bisa didamaikan, maka baru

Ketua Pengadilan membuat penetapan tentang penunjukan majelis hakim pemeriksa

perkara. Apabila berhasi damai, perdamaian itu bisa dengan penetapan Ketua

Pengadilan, bisa juga cukup dengan tandatangan mediator dan pihak-pihak yang

berperkara. Dengan demikian majelis hakim pemeriksa perkara tidak akan direpotkan

dengan proses mediasi, jadi murni memeriksa perkara sengketa. Dan perkara yang

Page 56: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

50

masuk ke majelis hakim dengan sendirinya sudah melalui proses mediasi. Apabila

tidak, maka majelis hakim tersebut berwenang untuk menolak/tidak menerima

gugatannya. Gagasan penulis tentang proses mediasi ini tidak akan menggangu asas

peradilan yang harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biya ringan. Bahkan

justru memperkuat asas tersebut karena membantu pihak-pihak yang berperkara untuk

menyelesaikan perkaranya secara mandiri.

Berbeda dengan cara Pasal 7 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 yang

mana sering terjadi mejelis hakim pemeriksa perkara tidak menunjuk mediator karena

dalam perkiraannya perkara tersebut tidak akan banding. Padahal secara hukum,

banding atau tidak banding, putusan terhadap perkara yang tidak melalui proses

mediasi secara formal adalah batal demi hukum yang mana pada gilirannya nanti

seluruh produk yang didasarkan pada putusan tersebut juga batal demi hukum.

Kedua:

Dalam Pasal 10 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa

penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Dalam ayat (2) nya disebutkan

bahwa uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau

berdasarkan kesepakatan para pihak. Ketentuan ini kurang adil. Menurut penulis

semestinya semua mediator mendapatkan uang jasa. Kalau non hakim uang jasanya

dari pihak-pihak, maka kalau dari unsur hakim uang jasanya ditanggung oleh Negara.

Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 yang mana Mahkamah Agung

menyediakan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator, tetapi

Page 57: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

51

ketentuan ini tidak bergigi karena Perma sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat (2)

nya sampai sekarang belum ada.

Menurut penulis semestinya semua hakim yang menjalankan fungsi mediator

mendapatkan uang jasa dari Negara berdasarkan Perma yang sudah ada, bukan Perma

yang masih menunggu keluarnya entah sampai kapan. Dengan ketentuan yang ada

sekarang, maka bisa jadi hakim yang menjadi mediator akan bekerja secara asal-asalan

atau hanya sekedar untuk memenuhi standar legalitas formal. Kalau cara kerja seperti

ini terus berlanjut, maka mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara di pengadilan

hanya akan berwujud sebagai hayalan belaka. Artinya lembaga mediasi yang sudah

tercipta akan sama kinerjanya pada saat ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg belum

dimaknai secara nyata.

Page 58: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

52

BAB IV

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan berdasarkan tujuan penelitian sebagai berikut di bawah ini:

1. Bahwa prosedur dan tata cara mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di

Pengadilan Negeri telah tersedia secara sistematis, lebih detail, diberikan waktu

dan ruang yang khusus untuk dilaksanakan, serta mensyaratkan mediatornya

wajib memiliki sertifikat keahlian sebagai mediator, prosedur dan tata cara

mana sifatnya wajib untuk dilaksanakan setelah dikeluarkannya PERMA No. 1

Tahun 2008. Sedangkan sebelum adanya lembaga mediasi, perdamaian dalam

penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri belum terdapat prosedur dan

tata cara pelaksanaannya, sehingga perdamaian yang digariskan oleh ketentuan

Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg tidak memberikan waktu dan ruang secara

khusus untuk pelaksanaannya, dan umumnya hanya sekedar disarankan oleh

Hakim yang memeriksa untuk berdamai pada hari pemeriksaan perkara pertama

untuk menghindari putusan batal demi hukum;

2. Bahwa penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri melalui mediasi

lebih fokus dan intens untuk mencapai tujuan dari mediasi itu sendiri karena

telah diwajibkan untuk dilaksanakan dalam waktu, tempat, dan dimediasi oleh

mediator yang memiliki skill khusus untuk itu. Sedangkan penyelesaian perkara

Page 59: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

53

perdata di Pengadilan Negeri melalui perdamaian sebelum adanya lembaga

mediasi, pelaksanaannya terkesan hanya formalitas saja, sebagai bagian dari

proses acara pemeriksaan perkara perdata oleh Hakim yang memeriksa;

3. Bahwa kelebihan melakukan mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di

Pengadilan Negeri adalah tercapainya perdamaian antara para pihak yang

bersengketa lebih besar kemungkinannya untuk terwujud karena

pelaksanaannya lebih fokus dan intens melalui mediator yang netral yang telah

memiliki skill khusus untuk itu. Kekurangannya, jika pelaksanaan mediasi

gagal maka akan memperpanjang waktu proses acara pemeriksaan perkara,

yang otomatis juga berpengaruh pada besaran beban biaya. Di samping itu,

mediator yang berasal dari Hakim tidak diberikan honor sehingga

dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Sedangkan kelebihan dan

kekurangan melakukan perdamaian dalam penyelesaian perkara perdata di

Pengadilan Negeri sebelum adanya lembaga mediasi, jika pelaksanaannya

gagal tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap waktu proses acara

pemeriksaan perkara, namun kemungkinan terwujudnya perdamaian sangat

kecil karena pelaksanaannya tidak fokus dan intens, di samping itu Hakim yang

memeriksa perkara juga bertindak sebagai penengah sehingga dikhawatirkan

tidak dapat bersikap netral;

4. Bahwa latar belakang diadakannya ketentuan mediasi sebagaimana diatur

dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008

tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan adalah tidak berdayanya ketentuan

Page 60: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

54

Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg mengupayakan terwujudnya perdamaian antara

para pihak yang bersengketa yang pada akhirnya berakibat menumpuknya

perkara yang harus diselesaikan baik pada tingkat pertama, banding, kasasi

maupun upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. Oleh karena itu,

ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg selanjutnya di berdayakan melalui

lembaga mediasi yang menitikberatkan penyelesaian perkara melalui win-win

solution untuk mewujudkan asas acara sederhana, cepat dan biaya ringan bagi

para pencari keadilan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Untuk menghindari bertambah panjangnya waktu beracara sebagai akibat

gagalnya pelaksanaan mediasi, disarankan pelaksanaan mediasi sebaiknya

dilakukan sebelum perkara perdata/gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri.

Artinya hasil mediasi yang gagal menjadi syarat mutlak untuk diterimanya

pendaftaran suatu perkara/gugatan, perbaikan mana tentunya melalui revisi

terhadap PERMA No. 1 Tahun 2008;

2. Untuk mewujudkan profesionalisme mediator, khususnya mediator yang

berasal dari Hakim, maka perlu diatur mengenai pemberian dan besaran

honorarium bagi Hakim yang menjadi mediator tersebut, sehingga tidak

terdapat kesenjangan antara mediator yang berasal dari Hakim dengan madiator

yang bukan berasal dari Hakim yang notabene digariskan berhak mendapatkan

honorarium.

Page 61: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

DAFTAR PUSTAKA

Badudu Zien, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Bagir Manan, 2008, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati-Pokok-

Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia. Chairuman Pasaribu dan Suhawardi k Lubis, 1996, Hukum Perjanjian dalam Islam, cet

ke 2, Jakarta :Sinar Grafika. Harijah Damis, 2003, “Hakim Mediasi”, Mimbar Hukum, No. 63.

John Echols dan Hasan Shadily, 2003, Kamus Inggris Indonesia, cet ke XXV, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lailatul arofah, 2003, ”Perdamaian dan bentuk lembaga damai di Pengadilan Agama Sebuah Tawaran Alternatif”, Mimbar Hukum, No. 63.

Nashruddin Salim, 2003, “Pemberdayaan”, Mimbar Hukum No. 63. Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung:

PT Aditya Bakti. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1992, Hukum Acara Perdata

Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: CV. Mandar Maju. R. Subekti, 1999, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta.

Ropaun Rambe, 2006, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika. Siddiki, Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya

Ringan, www.badilag.net. Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing. Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1989, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

PT. Pradnya Paramita. Simorangkir dkk, 2004, Kamus Hukum, cet ke 8, Jakarta : Sinar Grafika.

Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI) Press.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sutopo, HB, 1992, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.

Page 62: Laporan Penelitian - Studi Komparatif Antara Mediasi Dengan Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi - Idham SH MH Ok

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.

www.pa-kedirikab.go.id. http://www.kamusbesar.com