laporan penelitian - studi komparatif antara mediasi dengan perdamaian dalam penyelesaian perkara...
DESCRIPTION
trtrtrTRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
STUDI KOMPARATIF ANTARA MEDIASI DENGAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA
SECARA LITIGASI
Tim Peneliti :
1. IDHAM, SH., MH NIP. 196202021988101001 2. BELLA PEBRIANI NIM. A01108025
Sumber Dana : DIPA-PNBP Fakultas Hukum Untan No. Kontrak : 651/H22.1/PL/2012, tanggal 15 Juni 2012
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM PONTIANAK
2 0 1 2
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T., karena dengan
rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Adapun judul penelitian ini
adalah: “STUDI KOMPARATIF ANTARA MEDIASI DENGAN PERDAMAIAN
DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI”.
Menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangan dan
kekeliruannya, karena itu untuk kesempurnaannya segala kritik dan saran yang
konstruktif akan penulis terima dengan senang hati.
Akhirul kalam, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya.
Pontianak, September 2012
P e n e l i t i,
IDHAM, SH., MH NIP. 196202021988101001
ii
A B S T R A K
Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan
menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk mengupayakan
seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang berperkara. Pada
awalnya proses perdamaian di pengadilan dilakukan secara khusus pada persidangan
pertama, hasil yang diperolehpun tidak maksimal.
Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan pasal 130 HIR
banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan tingkat keberhasilan
perdamaian di Pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan peradilan dalam
menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi pihak advokad
atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri para hakim yang lebih mengedepankan
sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan
yang mengatakan: keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui
perdamaian.
Memperhatikan kondisi tersebut, maka Mahkamah Agung yang menaungi
seluruh peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para Hakim
menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan pasal 130 HIR, melalui
mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan.
Untuk mengisis kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur mediasi
yang terintegrasi ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang
memfasilitasi perihal bagaimana tata cara melakukan mediasi yang terintegrasi ke
iii
dalam proses litigasi. HIR dan Rbg memang mewajibkan pengadilan, disebut di
dalamnya Pengadilan Negeri, untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum
perkara diputus, tetapi HIR dan RBg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian
yang difasilitasi oleh pihak ketiga. Selain untuk mengurangi penumpukan perkara pada
tingkat kasasi, asa cepat, sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui
proses mediasi.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
ABSTRAK .....................................................................………………….. ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang Penelitian ........................................... 1
B. Masalah Penelitian ...................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................ 5
D. Tinjauan Pustaka 5
E. Metode Penelitian ....................................................... 13
BAB II : ASPEK HUKUM PERDAMAIAN DAN MEDIASI
DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA
SECARA LITIGASI...................................................
17
A. Pengertian Serta Dasar Hukum Perdamaian Dan Mediasi Dalam Hukum Acara Perdata .......................
17
B Hakekat Dari Perdamaian Dan Mediasi Dalam Perkara Perdata Secara Litigasi .......................
26
C Prosedur Malakukan Perdamaian Dan Mediasi
Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Secara Litigasi.........................................................................
30 BAB III : ANALISIS TERHADAP PERDAMAIAN DALAM
PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI SEBELUM
DAN SESUDAH ADANYA LEMBAGA MEDIASI
37
v
BAB IV : PENUTUP .......................................................................... 52
A. Kesimpulan ................................................................. 52
B. Saran ........................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Dalam pergaulan sehari-hari setiap individu selalu berhadapan dengan
individu lain, dengan kata lain bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling
berinteraksi dan bergaul antara satu dengan yang lainnya, saling bekerja sama dalam
menjalani hidup dan kehidupan. Untuk tertibnya pergaulan dan terjalinnya hubungan
yang baik, maka diciptakan aturan-aturan atau norma-norma yang lazim disebut
“hukum”.
Dengan hukum manusia dalam pergaulannya akan memperoleh suatu
pegangan bagaimana cara bermasyarakat, berhubungan atau mengadakan kontak-
kontak satu sama lain sehingga keserasian berjalan secara berkesinambungan dan
terciptanya suatu keadaan yang tertib, tenteram di dalam masyarakat dan selain
daripada itu dapat menciptakan suatu yang setidak-tidaknya mendekati keadilan.
Tujuan hukum dimaksud baru dapat terwujud apabila manusia sebagai subyek
hukum, yakni pembawa hak dan kewajiban-kewajiban senantiasa patuh dan mentaati
hukum itu sendiri.
Namun tidak dipungkiri, terkadang dalam pergaulan antar manusia baik dalam
sosial kemasyarakatan, atau dalam hal adanya hubungan hukum karena kerja sama di
bidang ekonomi atau lain sebagainya terdapat perselisihan-perselisihan atau
pertengkaran karena sesuatu hal.
2
Terkadang perselisihan tersebut dapat diselesaikan dengan musyawarah
sehingga keadaan kembali harmonis seperti sedia kala, namun juga terkadang
persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah sehingga menggunakan
jalur hukum.
Demikian pula halnya dalam perkara-perkara perdata yang diajukan ke
Pengadilan Negeri, kemungkinan sebelumnya telah ada upaya dari para pihak untuk
menyelesaikannya secara musyawarah tetapi menemui jalan buntu, sehingga
menggunakan jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Setiap perkara perdata yang sudah masuk ke Pengadilan Negeri, sudah tentu
harus mengikuti prosedur dan proses persidangan, dari awal pendaftaran perkara
(gugatan dari penggugat) sampai ditetapkan hakim-hakim yang memproses perkara
tersebut hingga dimulainya persidangan memerlukan waktu, sedangkan para pihak
yang berperkara menginginkan perkara dapat diproses secepatnya, karena masing-
masing pihak yang berperkara juga mempunyai kepentingan lain yang mesti
diselesaikan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hukum acara perdata, terdapat suatu
azaz yang berbunyi: “Peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan”. Azaz tersebut penting bagi mereka yang berperkara, Hakim dan aparat
penegak hukum lainnya mengingat untuk menjaga agar supaya perkara yang telah
masuk ke Pengadilan Negeri tidak banyak yang tertumpuk serta tidak berlarut-larut
penyelesaiannya. Seandainya banyak perkara yang tertumpuk di Pengadilan, maka
3
akan memakan waktu yang lama dan akhirnya dari lamanya waktu tersebut
mengakibatkan biaya tidak sedikit.
Namun meskipun adanya asas Peradilan dilaksanakan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan, kenyataannya dalam praktek tetap memerlukan waktu, karena
untuk dapat menyelesaikan suatu perkara perdata agar putusan yang diambil oleh
Hakim dapat dilakukan secara obyektif, sudah pasti memerlukan waktu untuk
mengumpulkan bukti-bukti, saksi-saksi dan data-data, belum lagi jauhnya jarak dari
para pihak yang berperkara atau saksi-saksinya ke Pengadilan yang memeriksanya,
itupun masih lama lagi apabila dalam suatu keputusan ada pihak yang tidak puas atas
Putusan Pengadilan Negeri yang kemudian putusan tersebut dimintakan banding oleh
pihak yang tidak puas tersebut, maka untuk dapat menyelesaikan perkara para pihak
dapat melakukan perdamaian di luar sidang Pengadilan, namun perdamaian yang
dilakukan para pihak di luar sidang Pengadilan banyak kelemahan-kelemahannya, di
antaranya tidak mempunyai kekuatan hukum dan di kemudian hari apabila salah satu
pihak mengingkari perdamaian tersebut, maka perkara tersebut timbul kembali.
Dalam Pasal 130 HIR ayat (1) menentukan bahwa hakim sebelum memeriksa
perkara perdata harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, dan proses
perdamaian ini didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2
Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, masih banyak kelemahan-
kelemahannya, di antaranya adalah masih ada salah satu pihak yang merasa tidak puas,
karena salah satu pihak merasa hakim yang berusaha mendamaikan tersebut berpihak
4
kepada pihak yang lainnya, karena yang melakukan perdamaian adalah Hakim yang
memproses dan memeriksa perkara tersebut.
Untuk menghilangkan rasa keraguan dari para pihak yang berperkara, maka
diperlukan solusi yaitu mediasi. Dalam proses mediasi hakim-hakim yang bertugas
sebagai mediator adalah hakim-hakim lain yang tidak memproses perkara tersebut
sehingga independensi dan mediator tersebut tidak diragukan oleh para pihak. Proses
mediasi ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai perbaikan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menelitinya lebih jauh
dan membahasnya dalam bentuk penelitian dengan judul: “STUDI KOMPARATIF
ANTARA MEDIASI DENGAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN
PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI”.
B. Masalah Penelitian
Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: “Berupa Apa Saja Kelebihan Dan
Kekurangan dari Mediasi Dibandingkan Perdamaian Dalam Penyelesaian
Perkara Perdata?”
5
C. Tujuan Penelitian
Perumusan tujuan penelitian selalu berkaitan erat dalam menjawab
permasalahan yang menjadi fokus penulisan, sehingga penulisan hukum yang akan
dilaksanakan tetap terarah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang prosedur dan tata cara mediasi dan
perdamaian dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri;
2. Untuk menganalisis dan membandingkan antara penyelesaian perkara perdata di
Pengadilan Negeri dengan melakukan mediasi dan perdamaian;
3. Untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan antara melakukan mediasi dan
perdamaian dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri;
4. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang diadakannya ketentuan mediasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam kehidupan setiap, manusia selalu membutuhkan manusia lain, atau
dengan kata lain setiap manusia selalu berinteraksi sesamanya baik dalam sosial
kemasyarakatan maupun dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena sesuat yang tidak
mungkin kebutuhan suatu individu dapat dipenuhinya sendiri tanpa adanya bantuan
individu lainnya.
Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa dalam pergaulan antar individu
tersebut juga tidak jarang timbul masalah, berupa adanya perselisihan-perselisihan hak
6
dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut terkadang dapat diselesaikan secara
musyawarah, tetapi terkadang juga tidak adanya kesepakatan sehingga ditempuh jalur
hukum.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio, dan Iskandar
Oeripkartawinata, : “orang yang merasa haknya itu dilanggar disebut penggugat,
sedangkan bagi orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena ia dianggap melanggar
hak seseorang atau beberapa orang itu disebut tergugat”.1
Dengan demikian seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh pihak lain
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 118 HIR bahwa : “Setiap perkara perdata dimulai dengan
pengajuan gugatan dan menetapkan Pengadilan Negeri yang berwenang dalam suatu
perkara perdata tertentu ialah Pengadilan yang dalam daerah hukumnya si tergugat
mempunyai tempat tinggal”.2
Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat tinggal si tergugat dikenal
dengan asas “actor sequitur forum rei”, dan menurut Retnowulan Sutantio, dan
Iskandar Oeripkartawinata, terhadap asas tersebut ada pengecualiannya, yakni :
1. Gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri tempat kediaman penggugat, apabila tempat tinggal tergugat diketahui.
2. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat yang menentukan di mana ia akan mengajukan gugatannya.
3. Akan tetapi dalam ad.2 tadi, apabila pihak tergugat ada 2 orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain adalah
1 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan
Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hal. 1. 2 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1999), hal. 23.
7
penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri pihak yang berhutang. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan, bahwa secara analogis dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 118 (2) HIR bagian akhir ini, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.
4. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat.3
Ketentuan tersebut sangat penting untuk diketahui oleh para penggugat,
karena apabila penggugat salah mengajukan gugatannya, maka Pengadilan negeri
tempat diajukan gugatan tersebut tidak dapat memproses perkara tersebut, karena
diluar kewenangannya.
Pentingnya mengetahui prosedur dan tata cara gugatan juga dapat membantu
dalam mempercepat proses perkara yang diajukan oleh penggugat, dikatakan demikian
karena masih panjang proses yang harus ditempuh untuk sampai pada putusan siapa
yang bersalah atau tidak melanggar hak orang lain sebagaimana dimaksudkan oleh
penggugat. Untuk sampai pada putusan perlu waktu yang panjang, mulai dari
pendaftaran berkas gugatan ke Panitera, pemeriksaan kelengkapan berkas gugatan,
penetapan hakim yang memproses perkara, kemudian baru masuk ke dalam proses
pemeriksaan perkara dan putusan.
Dengan demikian, dari proses awal sampai adanya putusan hakim
memerlukan waktu yang lama, sehingga untuk memenuhi asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan hanya dapat dicapai apabila para pihak menempuh
jalan damai. Namun perdamaian di luar sidang tanpa mediasi banyak kelemahan-
3 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op-Cit, hal. 9-10.
8
kelemahannya, di antaranya bahwa perdamaian tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum yang sempurna untuk dilaksanakan para pihak yang bersengketa karena tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial. Hal ini dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata, yaitu:
“Berbeda dengan perdamaian yang telah berhasil dilakukan oleh Hakim di sidang, adalah perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak sendiri di luar sidang, perdamaian semacam ini hanya mempunyai kekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui suatu proses di Pengadilan”.4
Dengan demikian perdamaian yang dilakukan para pihak di luar sidang
pengadilan tanpa melalui mediasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang sempurna
yang serta merta mempunyai kekuatan eksekutorial bagi para pihak yang membuatnya.
Pasal 130 ayat (1) HIR (Herziene Indonesisch Reglement) menyebutkan
bahwa: “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka
Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan memperdamaikan
mereka”.5
Dalam Pasal 1 angka 7 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
Di Pengadilan menegaskan bahwa: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu
oleh mediator”.
Sehubungan dengan hal tersebut, Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata mengemukan: “Hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut,
4 Ibid, hal. 32. 5 Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 245.
9
harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu
dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh Pengadilan
Tinggi”.6
Lebih lanjut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
mengemukakan bahwa:
“Apabila Hakim berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara itu, lalu dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).7
Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa diaturnya upaya perdamaian
agar mempersingkat proses penyelesaian perkara, hal ini penting bagi para pihak yang
berperkara, bagi hakim Pengadilan Negeri. Bagi para pihak dengan secepatnya
penyelesaian perkara tersebut sudah tentu para pihak dapat menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaannya yang lain yang sudah menunggu, dan hal lain juga berdampak
berkurangnya kerugian yang diterima para pihak yang berperkara dengan kata lain
biaya perkara menjadi lebih ringan, sedangkan bagi hakim dengan secepat mungkin
perkara tersebut terselesaikan maka perkara-perkara di Pengadilan Negeri tersebut
tidak bertumpuk, dengan demikian Hakim dapat terbantukan.
Selain hal itu, perdamaian yang dilakukan dalam sidang Pengadilan Negeri
melalui mediasi yang dilakukan oleh Mediator yakni Hakim yang bukan memeriksa,
6 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op-Cit, hal. 30. 7 Ibid, hal. 31.
10
memproses perkara tersebut, mempunyai kekuatan hukum sama dengan putusan
Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa:
“Perkembangan pranata-pranata ini secara tidak langsung akan mengurangi jumlah
perkara ke pengadilan. Hakim dapat melaksanakan tugas secara wajar tanpa terburu-
buru yang akan lebih meningkatkan mutu putusan dan menghindari pula berbagai
bentuk kolusi untuk mempercepat atau memenangkan perkara”.8
Dengan dilakukan mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan
Negeri, bukan berarti Hakim terkesan bekerja dengan terburu-buru, tetapi secara wajar
agar tetap profesional dalam pengambilan keputusan.
Prosedur mediasi yang telah berlangsung yakni yang diatur dengan PERMA
No. 2 Tahun 2003 menjadi suatu hal yang perlu untuk dilakukan perbaikan, maka
melalui fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam
membuat peraturan, Mahkamah Agung telah memberlakukan PERMA No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan sebagai standar umum bagi pedoman
pelaksanaan perdamaian sebagaimana digariskan oleh ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal
154 RBg.
PERMA No. 1 Tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih
komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di
pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berperkara untuk menempuh proses
8 Bagir Manan, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati-Pokok-Pokok Pikiran
Bagir Manan Dalam Rakernas, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2008), hal. 5.
11
perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi
pelanggaran terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi
hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan PERMA
No. 1 Tahun 2008 ini.
Jika diperbandingkan dengan PERMA No. 2 Tahun 2003 maka PERMA No.
2 Tahun 2003 tidak memberikan sanksi. PERMA No. 2 Tahun 2003 banyak aspek
yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan menurut
PERMA No. 1 Tahun 2008 hal-hal tersebut telah diatur.
Perubahan mendasar dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 dapat dilihat dalam
Pasal 4 yang menyatakan bahwa batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun
ketentuan tersebut belum menentukan kriteria secara spesifik mengenai perkara apa
yang bisa dimediasi atau tidak. Pendekatan PERMA ini adalah pendekatan yang paling
luas. Dalam PERMA ini semua perkara selama tidak masuk dalam kriteria yang
dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.
1. Kerangka Konsep
Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan
menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk mengupayakan
seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang berperkara. Pada
awalnya proses perdamaian di pengadilan dilakukan secara khusus pada persidangan
pertama, hasil yang diperolehpun tidak maksimal.
12
Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan pasal 130 HIR
banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan tingkat keberhasilan
perdamaian di Pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan peradilan dalam
menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi pihak advokad
atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri para hakim yang lebih mengedepankan
sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan
yang mengatakan: keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui
perdamaian.
Memperhatikan kondisi tersebut, maka Mahkamah Agung yang menaungi
seluruh peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para Hakim
menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan pasal 130 HIR, melalui
mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan.
Untuk mengisis kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur mediasi
yang terintegrasi ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang
memfasilitasi perihal bagaimana tata cara melakukan mediasi yang terintegrasi ke
dalam proses litigasi. HIR dan Rbg memang mewajibkan pengadilan, disebut di
dalamnya Pengadilan Negeri, untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum
perkara diputus, tetapi HIR dan RBg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian
yang difasilitasi oleh pihak ketiga. Selain untuk mengurangi penumpukan perkara pada
tingkat kasasi, asa cepat, sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui
proses mediasi.
13
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sumber penelitian sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubunganya dengan masalah yang diteliti.9 Penelitian hukum
normatif terbagi menjadi beberapa cakupan, antara lain sebagai berikut:
a) Penelitian terhadap asas-asas hukum; b) Penelitian terhadap sistematika hukum; c) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, baik secara vertikal maupun
horizontal; d) Penelitian terhadap perbandingan hukum; e) Penelitian terhadap sejarah hukum.10
Berdasarkan pembagian tersebut, maka penelitian hukum yang penulis susun
ini termasuk sebagai penelitian hukum normatif terhadap perbandingan hukum. Dalam
penulisan hukum ini penulis berusaha untuk menelaah aspek-aspek hukum
penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri melalui perdamaian, baik
perdamaian sebelum maupun setelah adanya lembaga mediasi, sehingga terlihat
perbandingan di antara keduanya. Kemudian dari hasil telaah tersebut akan dilakukan
analisa sehingga diperoleh jawaban atas perumusan masalah yang diajukan.
9 Ibid, hal. 10. 10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 14.
14
2. Jenis Dan Sumber Data Penelitian
Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan bahan-bahan pustaka, yang diperoleh langsung dari
masyarakat dinamakan data primer, sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.11
Penelitian hukum yang penulis susun ini, datanya diperoleh dari bahan-bahan
sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan berupa buku, jurnal, dokumen-
dokumen resmi, laporan dan data lainnya yang didapat dari studi kepustakaan.
Sumber data penelitian diperlukan untuk memecahkan isu hukum dan
sekaligus memberikan prepenelitian mengenai apa yang seyogyanya. Menurut Peter
Mahmud, sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai
otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi mengenai hukum meliputi buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.12
11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op-Cit, hal. 12. 12 Peter Mahmud Marzuki, Op-Cit, hal. 141.
15
Menurut Soerjono Soekanto sumber data penelitian terbagi menjadi dua
macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data penelitian
yang digunakan penulis dalam menyusun penulisan hukum ini adalah sumber data
sekunder, di mana dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan dalam:
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat, yakni berupa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan izin usaha pertambangan
dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam
hal ini undang-undang yang akan digunakan oleh penulis antara lain, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai,
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti: Hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum, buku-buku, hasil seminar, jurnal-jurnal ilmiah dan sebagainya.
c) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, mencakup:
(1) Bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder yang lebih dikenal dengan nama bahan
16
acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya : abstrak
perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, kamus
hukum indeks, majalah hukum dan seterusnya.
(2) Bahan-bahan primer di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari
bidang : Sosiologi, Ekonomi, Ilmu Politik, Filsafat, Ekologi, Teknik dan
lain sebagainya, yang oleh peneliti digunakan untuk menunjang dan
melengkapi data penelitian.13
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah studi dokumen atau
bahan pustaka (library study). Hal ini dilakukan penulis guna mendapatkan data yang
seakurat mungkin guna menjawab permasalahan pokok dalam penelitian ini.
Pengumpulan data jenis ini dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan-
perpustakaan maupun melalui media internet, mengumpulkan, membaca, mengkaji,
dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel, majalah, koran, makalah, jurnal hukum,
dan sebagainya. Substansi data yang dikumpulkan berkaitan erat dengan masalah
pokok dalam penelitian yang dilakukan.
13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op-Cit, hal. 31-33.
17
BAB II
ASPEK HUKUM PERDAMAIAN DAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI
A. Pengertian Serta Dasar Hukum Perdamaian Dan Mediasi Dalam Hukum Acara
Perdata
Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi penyelenggara kekuasaan
kehakiman selalu berusaha mencari solusi yang terbaik demi tegaknya aturan hukum
dan keadilan. Produk-produk hukum baru berikut perangkat tehnisnya pun
diformulasikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dimensi hukum.
Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan
terhadap putusan pengadilan. MA mencoba mengintegrasikan proses penyelesaian
sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini mediasi ke dalam proses peradilan
(litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses mediasi untuk mencapai perdamaian pada
tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah yang biasa disebut dengan lembaga
damai dalam bentuk mediasi atau lembaga mediasi.
Model lembaga mediasi yang diterapkan di Indonesia sangat mirip dengan
mediasi yang diterapkan di Australia, yaitu sistem mediasi yang berkoneksitas dengan
pengadilan (mediation connected to the court). Pada umumnya yang bertindak sebagai
mediator adalah pejabat pengadilan. Dengan demikian, compromise solution yang
diambil bersifat paksaan (compulsory) kepada kedua belah pihak. Namun agar
resolusinya memiliki potensi memaksa, harus lebih dulu diminta persetujuan para
18
pihak dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya apapun yang dapat
mengurangi daya kekuatannya14.
Ketentuan mediasi di pengadilan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pangadilan.
Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah
satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.
Selain itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian
sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).
Hukum acara yang berlaku, baik pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR)
maupun pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak
untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses ini.
Penggunaan mediasi pada lembaga damai ini bermula dengan dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 (Eks Pasal 130 HIR/154
Rbg) tentang pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai.
SEMA tersebut dikeluarkan menyikapi salah satu problema yang dihadapi oleh
lembaga peradilan di Indonesia dalam hal tunggakan perkara di tingkat kasasi (MA)
dan rasa ketidakpuasan para pencari keadilan terhadap putusan lembaga peradilan yang
dianggap tidak menyelesaikan masalah. SEMA ini merupakan langkah nyata dalam
14 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT Aditya
Bakti, 2003), hal. 50-51.
19
mengoptimalkan upaya perdamaian sehingga pelaksanaannya tidak hanya sekedar
formalitas.4 Namun karena beberapa hal yang pokok belum secara eksplisit diatur
dalam SEMA tersebut maka MA mengeluarkan PERMA NO. 2 tahun 2003 yang berisi
tentang ketentuan umum, tahapan, tempat dan biaya mediasi di pengadilan dan
kemudian terakhir disempurnakan dengan keluarnya PERMA NO. 1 tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang
umumnya diakui di semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian
dikukuhkan ke dalam sebuah institusi yang bernama hukum, maka hukum itu harus
mampu menjadi saluran agar keadilan itu dapat deselenggarakan secara seksama dalam
masyarakat. Dalam konteks ini tugas hakim yang paling berat adalah menjawab
kebutuhan manusia akan keadilan tersebut selain melakukan pendekatan kedua belah
pihak untuk merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki dan upaya ini dapat
dilakukan pada tahap perdamaian15.
Dalam bahasa Indonesia perdamaian diartikan sebagai perhentian permusuhan.
Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan
dalam Pasal 1851 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara16.
15 Lailatul arofah, ”Perdamaian dan bentuk lembaga damai di Pengadilan Agama Sebuah
Tawaran Alternatif”, Mimbar Hukum, No. 63, hal. 43. 16 Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1989).
20
Kemudian dikenal juga dengan istilah dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara
damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu
perkara17.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan sebuah perdamaian adalah
untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu
perkara.
Berdasarkan HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari
yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan
pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang
demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akte)
tentang itu, di mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat
itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”
Selain itu ketentuan perdamaian juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (2) yaitu: ”Kententuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara
perdata secara perdamaian”.
Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan bahwa hakim wajib mendamaikan para
pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha mendamaikan ini dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Apabila diperhatikan dalam praktek, tempat dan waktu pelaksanaan perdamaian
dapat diklasifkasikan kepada: Perdamaian diluar sidang pengadilan dan perdamian
17 Simorangkir dkk, Kamus Hukum, cet ke 8 (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 33.
21
melalui sidang pengadilan. Dalam persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak
yang sedang bertikai dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja para pihak
menyelesaikanya sendiri tanpa melalui pengadilan misalnya mereka minta bantuan
kepada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari
penyelesaian persengketaan seperti ini cukup banyak yang berhasil. Namun sering pula
terjadi dikemudian hari salah satu pihak menyalahi perjanjian yang telah disepakati,
untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari, maka
dalam praktek sering perjanjian damai itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu dibuat akta
perjanjian perdamaian. Agar akta perjanjian perdamaian itu mempunyai kekuatan
hukum tentunya haruslah dibuat secara autentik yaitu dibuat dihadapan notaris.
Berbeda halnya dengan perdamaian diluar pengadilan, perdamaian di
pengadilan dilangsungkan pada saat perkara sudah masuk dalam proses sidang
pengadilan (gugatan sedang berjalan)18 tentunya proses dan prosedurnya agak sedikit
formal dan bersifat resmi.
Berdasarkan KUH Perdata yang telah mengatur dan menentukan persyaratan
syahnya suatu perdamaian secara limitatif seperti yang termuat dalam Pasal 1320,
1321, 1851-1864, sebagai berikut 19:
a. Perdamaian harus atas persetujuan kedua belah pihak
18 Chairuman Pasaribu dan Suhawardi k Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, cet ke 2
(Jakarta :Sinar Grafika, 1996) hal. 31-32. 19 Nashruddin Salim, “Pemberdayaan”, Mimbar Hukum No. 63. hal. 9.
22
Unsur-unsur persetujuan yakni adanya kata sepakat secara sukarela
(toesteming), kedua belah pihak cakap dalam membuat persetujuan
(bekwamnied), objek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde
onderwerp), berdasarkan alasan yang diperbolehkan (seorrlosofde oorzaak).
Dengan demikian bahwa persetujuan-persetujuan tidak boleh terdapat cacat
pada setiap unsur esensialnya suatu persetujuan.
b. Perdamaian harus mengakhiri sengketa
Dalam pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg mengatakan bahwa apabila perdamaian
telah dapat dilaksanakan, maka dibuat putusan perdamaian yang disebut dengan
akte perdamaian. Akte yang dibuat ini harus betul-betul dapat mengakhiri
sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak berperkara apabila tidak maka
dianggap tidak memenuhi syarat formal, dianggap tidak syah dan tidak
mengikat para pihak-pihak yang berperkara. Putusan perdamaian harus dibuat
dalam persidangan majelis hakim, disinilah peran hakim sangat dibutuhkan
dalam akte perdamaian ini dapat diwujudkan.
c. Perdamaian harus atas dasar keadaan sengketa yang telah ada
Syarat untuk mendapatkan dasar suatu putusan perdamaian itu hendaklah atas
dasar persengketaan para pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud
maupun yang sudah nyata terwujud tapi baru akan diajukan ke pengadilan,
sehingga perdamaian itu dapat mencegah gugatan atas perkara di pengadilan.
Hal ini berarti bahwa perdamaian itu dapat lahir dari suatu perdata yang belum
diajukan ke pengadilan. Bentuk perjanjian damai yang dapat diajukan ke depan
23
sidang pengadilan dapat saja dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta
dibawah tangan.
d. Bentuk perdamaian harus secara tertulis (akta perdamaian)
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata disebutkan bahwa persetujuan perdamaian itu
sah apabila dibuat secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh
ketentuan peraturan yang berlaku. Syarat ini sifatnya memaksa (inferatif),
dengan demikian tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara
lisan, meskipun dihadapan pejabat yang berwenang. Hakim tidak berhak
menambah, merubah mengurangi atau mencoret satu katapun dari isi akta
perdamaian yang telah dibuat oleh para pihak yang telah melakukan
perdamaian itu, melainkan harus diterima secara bulat, mengambil over
sepenuhnya dan seluruh isi perjanjian perdamaian itu. Jadi dalam membuat
keputusan perdamaian itu haruslah terpisah dengan akta persetujuan
perdamaian. Persetujuan damai dibuat sendiri oleh pihak yang bersengketa,
baru kemudian persetujuan perdamaian itu diajukan pada pengadilan atau
hakim yang menyidangkan perkara tersebut untuk dikukuhkan sebagai putusan
perdamaian dengan memberikan titel eksekusi.
Selanjutnya mengenai mediasi. Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation
yang berarti penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang
jadi penengah20. Dan dalam Ketentuan Umum PERMA No. 1 Tahun 2008, mediasi
20 John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet ke XXV (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003) hal. 377.
24
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Menurut Joni Emerzon mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak
dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak
membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk
terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar
pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain mediasi adalah proses negosiasi
pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral
bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh
kesepakatan perjanjian secara memuaskan21.
Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui perundingan yang dipandu oleh seorang
mediator yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang diterima oleh pihak-pihak
yang bersengketa guna mengakhiri perkara.
Pengaturan mengenai mediasi dalam hukum positif dapat kita temukan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbiterase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai yang disempurnakan dengan PERMA No. 2
Tahun 2003 tantang Prosedur Mediasi di Pengadilan, untuk selanjutnya terakhir
disempurnakan dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
21 Joni Emerzon Alternatif, hal. 69. Bandingkan dengan Rahmadi Usman, Pilihan, hal. 82.
25
Dari pengertian mediasi di atas bisa ditarik sebuah gambaran bahwa unsur atau
ciri khusus mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (non litigasi) adalah sebagai berikut:
a. Mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa informal dipimpin oleh seorang
mediator yang netral. Oleh sebab itu para pihaklah yang menentukan atau
menunjuk orang yang menjadi mediator sesuai kesepakatan. Mediator yang
ditunjuk tidak terbatas pada satu orang tetapi dapat lebih dari satu orang.
b. Mediator bertugas membantu para pihak untuk membuat persetujuan-
persetujuan. Dalam upaya tertib dan lancarnya proses mediasi, maka mediator
seharusnya terlebih dahulu menentukan waktu dan menyiapkan tempat dalam
rangka mengadakan pertemuan-pertemuan, menyusun proposal persetujuan
setelah memperoleh data dan informasi tentang keinginan-keingina para pihak
yang bersengketa dalam rangka menemukan solusi yang memuaskan dan
menguntungkan masing-masing pihak (win-win solution).
c. Mediator tidak mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Dengan
demikian pada dasarnya mediasi merupakan pengembangan dari negosiasi
(negosiasi juga salah satu bentuk sarana penyelesaian sengketa alternatif) yang
dengan bantuan pihak ketiga yang netral sebagai mediator. Mediator tidak
bertindak sebagai hakim karena mediator tidak mempunyai otoritas mengambil
keputusan sendiri, yang berhak mengambil keputusan atau menentukan
26
keputusan adalah pihak-pihak yang bersengketa yang disepakati selama
berlangsungnya proses mediasi22.
B. Hakekat Dari Perdamaian Dan Mediasi Dalam Perkara Perdata Secara Litigasi
Pengintegrasian mediasi dalam sistem peradilan merupakan institusionalisasi atau
melembagakan proses mediasi dalam badan peradilan. Maksud pelembagaan itu, sebagai upaya
mendorong peran Pasal 130 HIR, Pasal 154 RGB, agar:
- Mampu mendorong para pihak merundingkan penyelesaian perkara yang lebih efektif melalui
perdamaian;
- Dengan demikian, dalam upaya mewujudkan penyelesaian perkaramelalui perdamaian, tidak
lagi bertumpu pada pasal 130 HIR, pasal 154 RGB, tetapi sekaligus berperdoman pada proses
mediasi yang bersifatmemaksa (compulsory)
Dengan ditetapkannya Peraturan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di
Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan
perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan
sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga
menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak
yang bertikai. Persoalan yang menjadi beban pengadilan selama ini, terutama pada
tingkat Mahkamah Agung adalah semakin meningkatnya perkara yang masuk. Setiap
22 Harijah Damis, “Hakim Mediasi”, Mimbar Hukum, No. 63, hal. 27-28.
27
tahun perkara yang masuk bukannya berkurang, tetapi malah meningkat. Sementara
hakim yang harus menyelesaikan perkara tersebut daya kerjanya sangat terbatas
sehingga perkara yang masuk tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Berbagai solusi
telah diupayakan untuk mengurangi tunggakan perkara agar semakin banyak perkara
yang diputus, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Pada era perdagangan bebas,
kemungkinan tingkat sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan proses
perekonomian negeri ini akan menjadi meningkat. Sengketa itu selain kualitas dan
kuantitasnya bertambah, juga aneka macamnya juga akan bertambah. Tidak hanya
terjadi antar kepentingan di dalam negeri, tetapi juga mencakup kepentingan dengan
pihak luar secara internasional. Kalau penyelesaian perkara yang masuk ke pengadilan
hanya memakai cara-cara yang konvensional, maka tidak dapat terbayangkan betapa
banyak beban pengadilan untuk memutus perkara yang masuk.
Kalau tidak terjadi perubahan tentang proses penegakan hukum di Indonesia,
maka akan sulit untuk menarik investor asing ke dalam negeri. Padahal prioritas utama
pebisnis asing adalah kepastian hukum. Kalau ada sengketa antara pihak-pihak yang
berkepentingan, harus ada penyelesaian secara cepat dan jelas. Ini merupakan satu
tantangan bagi pengadilan di mana suatu penegakan hukum harus dilakukan secara
cepat dan tuntas. Apabila tidak demikian, maka pebisnis asing bukan hanya tidak mau
datang ke Indonesia, tetapi yang sudah ada di Indonesia bisa-bisa hengkang ke luar
negeri. PERMA No. 1 Tahun 2008 ini secara fundamental telah merubah praktek
peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Mediasi
sebagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara bukan hanya penting,
28
tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya diperiksa. Kalau selama ini upaya
mendamaikan pihak-pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa
perkara, tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan
kepada mediator mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Diberikan waktu dan
ruang yang khusus untuk melakukan mediasi antara pihak-pihak. Upaya perdamaian
bukan hanya formalitas, tetapi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Untuk mengerti secara konperhensip mengenai mediasi, perlu dipahami tentang
tiga aspek dari mediasi:23
1. Aspek urgensi/motivasi:
Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara
menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila
ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus
diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi
adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang
bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila
bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang
dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka
mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan
difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk memfilter persoalan-persoalan agar
23 Siddiki, Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan,
www.badilag.net.
29
menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya
perdamaian antara mereka.
2. Aspek prinsip:
Secara hukum, mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun
2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti
prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur
mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau
Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara
yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi.
Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.
3. Aspek substansi:
Mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap
perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang
harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu
diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa.
Mediasi bukan hanya sekadar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi
merupakan upaya yang sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak
terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak
yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan
kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga
dengan demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh
30
pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan diharapkan bisa menjadi filter dari persoalan-
persoalan dan pertikaian yang terjadi di dalam masyarakat sehingga masyarakat
menjadi tenteram dan damai, bukan malah memunculkan masalah-masalah baru yang
pada gilirannya akan mengganggu proses pembangunan pada umumnya. Apabila
masyarakat selalu berada di dalam kondisi konflik, maka secara psikologis kehidupan
berbangsa akan menjadi terganggu yang pada gilirannya akan memacetkan rencana
pemberdayaan perekonomian masyarakat.
C. Prosedur Malakukan Perdamaian Dan Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara
Perdata Secara Litigasi
1. Prosedur Perdamaian Menurut HIR/RBg
Dalam Hukum Acara Perdata, prosedur pelaksanaan perdamaian tidak diatur
secara rinci dan sistematis, sehingga dalam pelaksanaannya bersandar pada ketentuan
yang diatur dalam HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari yang
ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan
ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang demikian itu
dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akte) tentang itu,
dimana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat itu, surat
mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”
Berangkat dari ketentuan hukum tersebut di atas, dalam praktek
pelaksanaannya upaya perdamaian dilakukan dalam setiap perkara perdata, apabila
kedua belah pihak hadir di persidangan, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak.
31
Usaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara tidak terbatas pada hari sidang
pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam sidang sidang berikutnya meskipun
taraf pemeriksaan telah berlanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg).
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus
dibacakan terlebih dahulu oleh hakim di hadapan para pihak sebelum hakim
menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi
perdamaian tersebut.
Akta/putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat
dimintakan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Akta/putusan perdamaian
tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita
acara persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan
surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan
menggunakan penterjemah (Pasal 131 HIR/Pasal 155 RBg). Namun demikian, proses
perdamaian pada prinsipnya dapat dilakukan terus pada setiap sidang pemeriksaan,
baik atas usul para pihak yang bersengketa maupun atas usul hakim yang memeriksa
perkara.
2. Prosedur Perdamaian melalui Mediasi
Dalam mengupayakan perdamaian melalui mediasi berdasarkan PERMA No. 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan agar semua
perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui
32
perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal 2 ayat (3) PERMA). Adapun prosedurnya
dapat diuraikan sebagai berikut di bawah ini:24
a. KEWAJIBAN HAKIM PEMERIKSA DAN KUASA HUKUM
1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak,
hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksaaan
mediasi.
3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,
mendorong para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung
atau aktif dalam proses mediasi.
4) Kuasa hukum para berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan
aktif atau langsung dalam proses mediasi.
5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
6) Hakim wajib menjalankan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada
para pihak yang bersengketa.
b. HAK PARA PIHAK UNTUK MEMILIH MEDIATOR
Para pihak berhak memilih mediator dia antara Hakim bukan pemeriksa
perkara pada Pengadilan yang bersangkutan, Advokat atau Akademisi
hukum, Pofesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
24 www.pa-kedirikab.go.id
33
berpengalaman dalam pokok sengketa, Hakim majelis pemeriksa perkara,
Gabungan antara mediator.
c. BATAS WAKTU PEMILIHAN MEDIATOR
1) Setelah para pihak hadir pada siding pertama, hakim mewajibkan para
pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya
untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin
timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada
Ketua Majelis Hakim.
3) Ketua Majelis Hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk
melaksanakan tugas.
4) Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksudterpenuhi,
para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki,
maka para pihak wajbmenyampaikan kegagalan mereka memilih
mediator kepada Ketua Majelis Hakim.
5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih
mediator, Ketua Majelis Hakim segera menunjuk hakim bukan
pemeriksa pokok pekara yang bersertifikat pada Pengadilan yang sama
untuk menjalankan fungsi mediator.
6) Jika pada Pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa
perkara yang bersertifikat, maka pemeriksa pokok perkara dengan atau
34
tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib
menjalankan fungsi mediator.
d. MENEMPUH MEDIASI DENGAN IKTIKAD BAIK
i. Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.
ii. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika
pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.
e. TAHAP-TAHAP PROSES MEDIASI
1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada
mediator.
2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal
memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja
sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis
hakim.
4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir
masa 40 (empat puluh) hari.
5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan
perkara.
35
6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat
dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
f. KEWENANGAN MEDIATOR MENYATAKAN MEDIASI GAGAL
1) Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu
pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut
tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi
yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam
sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan
atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang
tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang
berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses
mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim
pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk
dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.
g. TUGAS-TUGAS MEDIATOR
1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi
kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan
dalam proses mediasi.
3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
36
4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang
terbaik bagi para pihak.
h. KETERLIBATAN AHLI
1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan
mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang
ahli.
3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses
mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
37
BAB III
ANALISIS TERHADAP PERDAMAIAN DALAM PERKARA PERDATA SECARA LITIGASI SEBELUM DAN SESUDAH
ADANYA LEMBAGA MEDIASI
Keberadaan lembaga mediasi di pengadilan sangat diperlukan, karena:
1. Dapat mengurangi masalah penumpukan perkara;
2. Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat
dan murah, serta dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak
yang bersengketa untuk memperoleh keadilan; dan
3. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di samping proses litigasi.
Keberadaan mediasi tersebut di atas sebenarnya juga merupakan tujuan
keberadaan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg yang sama-sama menghendaki agar
sengketa yang terjadi dapat diselesaikan secara damai tanpa menempuh proses
persidangan lebih lanjut sehingga asas dari peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan dapat terwujud.
Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan
menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk mengupayakan
seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang berperkara. Pada
awalnya proses perdamaian di pengadilan dilakukan secara khusus pada persidangan
pertama, namun hasil yang diperoleh tidak maksimal.
38
Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan Pasal 130
HIR/Pasal 154 RBg banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan
tingkat keberhasilan perdamaian di Pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan
peradilan dalam menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi
pihak advokad atau kuasa hukum, tetapi juga melekat pada diri para hakim yang lebih
mengedepankan sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai
dengan ungkapan yang mengatakan “keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang
bersengketa melalui perdamaian”.
Memperhatikan kondisi tersebut, maka Mahkamah Agung yang menaungi
seluruh peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para Hakim
menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR/Pasal 154
RBg, melalui mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan, hal ini hampir
sama dengan sistem court conected mediation yang diterapkan di berbagai negara di
dunia.
Untuk mengisi kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur mediasi yang
terintegrasi ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang memfasilitasi
perihal bagaimana tata cara melakukan mediasi yang terintegrasi ke dalam proses
litigasi. HIR dan Rbg memang mewajibkan pengadilan, disebut di dalamnya
Pengadilan Negeri, untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum perkara
diputus, tetapi HIR dan Rbg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian yang
difasilitasi oleh pihak ketiga. Selain untuk mengurangi penumpukan perkara, asas
cepat, sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui proses mediasi.
39
Penerbitan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan didorong oleh keberhasilan negara-negara lain dalam
menerapkan aturan tersebut, seperti; Jepang, Amerika Serikat, Singapore, dan lain-
lainya.
Saat ini mediasi yang terintegrasi dengan proses litigasi baru dinaungi oleh
Peraturan Mahkamah Agung. Idealnya, pengaturan mediasi yang terintegrasi dengan
proses litigasi diatur oleh undang-undang, sebagaimana halnya mediasi yang di luar
peradilan sudah diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 2008, prosedur mediasi wajib dilakukan dalam menyelesaikan perkara
perdata di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 13, Pasal 2, dan Pasal 4.
Pasal 1 angka 13 menyatakan bahwa: ”Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat
pertama dalam lingkungan peradilan umum dan agama”.
Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa:
(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait
dengan proses berperkara di pengadilan
(2) Setiap Hakim, Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian
sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini.
(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan
pelanggaran terhadap pasal 130 HIR dan atau 154 Rbg yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
40
(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara
yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan
menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Kemudian Pasal 4 menegaskan bahwa kecuali perkara yang diselesaikan
melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian
dengan bantuan mediator.
Kondisis peradilan yang dulunya lebih banyak mengeluarkan putusan
konvensional, berupa menang dan kalah, diharapkan mengalami perubahan setelah
lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008 ini. Komitmen ini juga yang tidak tegas diatur
oleh ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg.
Mediator yang menangani kasus atau sengketa di pengadilan mesti memiliki
sertifikat mediator yang dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi oleh Mahkamah
Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 5 PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi sebagai
berikut:
(1) Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (3) dan pasal 11 ayat (6),
setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki
sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang
diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
41
(2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada Hakim, advokad, akademisi
hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di
lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi
mediator.
(3) Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia
b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti
pendidikan atau pelatihan mediasi
c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan
untuk mediator bersertifikat di pengadilan
d. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang
disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada sebuah
pengadilan mesti ada sekurang-kurangnya lima (5) orang mediator.
Dari ketentuan hukum tersebut di atas jelas terlihat bahwa lembaga mediasi
yang diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008 menunjukkan kesungguh-sungguhan
untuk mewujudkan dan mengedepankan perdamaian dalam penyelesaian suatu perkara
perdata yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Negeri melalui mediator-mediator
yang memang telah mempunyai kemampuan khusus untuk menyelesaikan suatu
perkara melalui perdamaian. Sebaliknya, sebelum adanya lembaga mediasi ini, upaya
perdamaian yang diamanahkan oleh ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg tidak bisa
42
diaplikasikan secara maksimal karena pada umumnya para Hakim hanya mempunyai
keahlian dalam menguasai hukum baik secara materiil maupun formil saja, sedangkan
keahlian untuk mendamaikan dengan kapasitas sebagai seorang mediator belum
dimilikinya. Oleh karena itu, putusan-putusan yang dikeluarkan umumnya bersifat
konvensional menang dan kalah, yang diperoleh melalui proses persidangan biasa.
Mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. Mediasi
dilakukan di dalam ruangan mediasi di Pengadilan Tingkat Pertama, tetapi dapat juga
diselenggarakan di luar lingkungan pengadilan jika mediatornya bukan hakim. Jika
mediatornya seorang hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi, ketidakhadiran pihak turut Tergugat
tidak menghalangi mediasi.
Para pihak memiliki hak untuk memilih mediator yang mereka kehendaki
bersama dalam waktu paling lama tiga hari kerja, sejak hari persidangan yang dihadiri
lengkap kedua belah pihak.
Jika dalam batas waktu maksimal yang telah ditentukan para pihak belum
mencapai kesepakatan untuk memilih mediator, maka para pihak segera melaporkan
ketidaksepakatan mereka kepada Ketua Majelis Hakim. Jika tidak ada kesepakatan
para pihak dalam menentukan mediator maka Ketua Majelis segera menunjuk hakim
yang tidak memeriksa pokok perkara unutk bertindak menjadi mediator perkara
tersebut.
43
Ada dua kondisi yang dapat digunakan oleh mediator untuk menyatakan
mediasi telah gagal atau tidak layak untuk dilanjutkan, meskipun batas waktu
maksimal 40 hari dan dapat diperpanjang selama empat belas hari kerja atas dasar
kesepakatan para pihak (Pasal 13 ayat (3) dan (4) PERMA No. 1 Tahun 2008, belum
dilampaui. Pertama, jika salah satu pihak atau para pihak telah dua kali berturut-turut
tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan jadwal mediasi yang telah
disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Kedua, setelah proses mediasi
berjalan, mediator memahami bahwa sengketa yang sedang dimediasi ternyata
melibatkan aset, harta kekayaan atau kepentingan pihak lain yang tidak menjadi peserta
mediasi.
Dari sederet proses mediasi di atas, terlihat bahwa hakim baik selaku pemeriksa
pokok perkara maupun sebagai mediator diwajibkan untuk berperan secara aktif dalam
proses perdamaian, berbeda halnya peran hakim sebelum adanya lembaga mediasi
dalam hal mendamaikan para pihak yang bersengketa tidak ada penekanan secara
khusus untuk terlibat secara aktif, sehingga dalam prakteknya terkesan hanya
menjalankan formalitas saja sekedar memenuhi ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg.
Dalam menjalankan perannya seorang mediator mesti memiliki skill, di antara
skill yang diperlukan oleh seorang mediator adalah:
1. Membangun kepercayaan (rapport)
a. Memahami perannya sebagai mediator
b. Ramah dan percaya diri
44
c. Mampu mendengarkan dan penuh perhatian (Empati) pada proses dan
mampu menangani pertanyaan serta tantangan secara konstruktif
2. Mendengarkan secara sungguh-sungguh
a. Memberikan atensi dan selalu terbuka untuk menghadapi berbagai hal
b. Mendengarkan secara “terbuka” seperti kertas putih
c. Buat kesimpulan yang akurat dan tepat (appropriate) dari informasi yang
diterima dan perasaan yang diekspresikan
d. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat
3. Mengajak para pihak untuk “keluar dari area konflik”
Menghindari para pihak terjebak dari situasi yang saling menyalahkan
4. Mendorong para pihak untuk mediasi
a. Tidak semua orang pada awalnya mau melakukan mediasi
b. Pertemuan terpisah di awal proses sangat membantu dalam rangka
memotivasi para pihak
c. Jelaskan apa keuntungan dari proses mediasi (keputusan di tangan para
pihak)
d. Gunakan bahasa yang mudah dipahami (plain language)
5. Netralitas dan imparsialitas
a. Adanya kecenderungan bahwa:
1) sudah “menghakimi” seseorang
2) Mempunyai asumsi-asumsi
45
3) Mempunyai stereotype tertentu
b. Mediator perlu menjaga netralitas dan independensi dan “step back”
Skill-skill tersebut di atas sebelum lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008
bukanlah merupakan suatu keciscayaan untuk dimiliki seorang hakim, khususnya bagi
hakim dalam menjalankan amanah Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg.
Dalam tahapan mediasi seorang mediator mesti memegang prinsip dan bersikap
yang benar-benar menjaga netralitas dan imparsialnya sebagai seorang penengah. Ada
beberapa prinsip seorang mediator yang dapat menjaga netralitasnya dalam menangani
sebuah perkara:
1. Pahami karakteristik diri, sesuatu yang membuat marah atau freze
2. Perhatikan gaya tubuh anda, sejauh mana perasaan mempengaruhi sikap
3. Hati-hati terhadappola perilaku yang akan membawa anda ke keadaan sulit
4. Perhatikan orang yang sedang berinteraksi dengan anda
5. Gunakan bahasa yang netral
6. Datang sebagai orang yang “baru” yang ingin tahu segala sesuatunya
Sedangkan sikap yang mesti dipegang oleh seorang mediator, jika ingin sukses
dalam menengahi sebuah sengketa adalah:
1. Tunjukan atensi terhadap persoalan dan terhadap para pihak
2. Berikan pihak-pihak waktu yang seimbang untuk menyampaikan
persoalannya
3. Memahami perasaan para pihak tanpa terlibat di dalamnya
4. Mendorong maksimum partisipasi
46
5. Kembangkan pertanyaan-pertanyaan yang konstruktif
6. Terbuka pada kritik jika ada
Dalam tahapan mediasi dapat dilakukan kaukus, pertemuan antara mediator
dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak yang lainnya. Kaukus memiliki
fungsi sebagai berikut:
a. Memungkinkan salah satu pihak untuk mengungkapkan kepentingan yang tidak
ingin mereka ungkapkan di hadapan mitra runding merekab.
b. Memungkinkan mediator untuk mencari informasi tambahan, mengetahui garis
dasar dan BATNA (Best Alternative To A Negotiated Agreemant), dan
menyelidiki agenda tersembunyi.
c. Membantu mediator dalam memahami motivasi para pihak dan prioritas
mereka dan membangun empati dan kepercayaan secara individual.
d. Memberikan para pihak, waktu dan kesempatan untuk menyalurkan emosi
kepada mediator tanpa membahayakan kemajuan mediasi.
e. Memungkinkan mediator untuk menguji seberapa realistis opsi-opsi yang
diusulkan.
f. Memungkinkan mediator untuk mengarahkan para pihak untuk melaksanakan
perundingan yang konstruktif.
g. Memungkinkan mediator dan para pihak untuk mengembangkan dan
mempertimbangkan alternatif-alternatif baru.
h. Memungkinkan mediator untuk menyadarkan para pihak untuk menerima
penyelesaian.
47
Ketika kesepakatan dapat dihasilkan, maka mediator memeriksa hasil
kesepakatan tersebut, menghindari agar hasil kesepakatan tidak bertentangan dengan
hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Hasil
kesepakatan tidak mesti dibuatkan dalam akta perdamaian yang memiliki kekuatan
eksekutorial, tergantung kesepakatan para pihak. Jika para pihak tidak berkeinginan
untuk membubuhkan perdamaian tersebut dalam akta perdamaian maka para pihak
cukup mencabut perkara tersebut.
Mediator tidak dapat dituntut atas hasil kesepakatan yang dicapai dalam
mediasi, karena mediator hakikatnya hanya sebagai fasilitator (penghubung), hasil
kesepakatan tersebut semata-mata keinginan para pihak.
Serangkaian ketentuan proses mediasi tersebut di atas menjadi pedoman yang
mengikat bagi para madiator dalam melakukan upaya perdamaian bagi para pihak yang
menyelesaikan perkara perdatanya ke Pengadilan Negeri. Sangat berbeda dengan
pelaksanaan perdamaian sebelum adanya lembaga mediasi, tidak terdapat bagaimana
prosedur pelaksanaan perdamaian sebagai wujud pelaksanaan ketentuan Pasal 130
HIR/Pasal 154 RBg, sehingga dalam pelaksanaannya hakim yang memeriksa perkara
hanya menyarankan para pihak untuk dapat berdamai, tanpa ada ruang dan waktu
khusus yang diberikan untuk proses perdamaian itu sendiri.
Karena mediasi merupakan hukum acara baru dalam praktek peradilan di
Indonesia, maka pada awal pelaksanaannya seakan menjadi beban dalam proses
berperkara di pengadilan. Padahal kalau nanti mediasi sudah menjadi praktek yang
mapan dan dijalankan secara profesional, maka mediasi akan merupakan alternatif
48
yang ideal bagi proses berperkara di pengadilan. Barangkali untuk langkah ke depan
ada beberapa hal masukan dari penulis untuk menjadikan mediasi sebagai sarana upaya
perdamaian dalam mengemban amanah ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, yang
lebih berdaya-guna dan berhasil-guna. Juga untuk meningkatkan profesionalisme
mediator sebagai komponen penting dalam mediasi.
Pertama:
Menurut Pasal 7 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008, pada hari sidang
yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi. Dari ketentuan ini bahwa proses mediasi merupakan
kewajiban pihak-pihak yang berperkara yang mana kalau tahapan mediasi ini tidak
dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga wajib untuk menolak/tidak
menerima gugatannya. Apabila majelis hakim terus memproses perkara tersebut maka
putusannya batal demi hukum. Penekanan ini tidak ditemui sebelum adanya lembaga
mediasi sebagaimana diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2008. Pada periode yang hanya
bersandar pada ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg, ketentuan batal demi hukum hanya
apabila hakim yang memeriksa tidak menawarkan penyelesaian perkara kepada para
pihak yang bersengketa untuk berdamai, tanpa mewajibkan kepada para pihak untuk
melakukan perdamaian melalui suatu proses secara nyata.
Namun demikian, persoalannya adalah apabila pada persidangan hanya dihadiri
oleh penggugat tetapi tidak dihadiri oleh tergugat, maka terhadap perkara tersebut tidak
wajib melalui proses mediasi. Padahal menurut Pasal 4 semua sengketa perdata yang
diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian
49
melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Menurut Pasal 4 ini semestinya semua
perkara tanpa kecuali harus melalui proses mediasi, apakah dihadiri oleh kedua belah
pihak, atau hanya dihadiri oleh satu pihak saja. Jalan keluar dari persoalan ini menurut
penulis, seharusnya bukan hakim pemeriksa perkara yang menunjuk mediator. Tetapi
sejak perkara telah terdaftar di Pengadilan, maka Ketua Pengadilan yang harus
menunjuk mediator guna memediasi pihak-pihak yang berperkara supaya berdamai.
Apabila pihak-pihak belum melakukan proses mediasi secara formal sesuai dengan
penetapan Ketua Pengadilan, maka Ketua Pengadilan belum boleh menetapkan majelis
hakim untuk memeriksa perkaranya. Dengan cara ini mediasi akan lebih berdaya guna
karena sejak awal mediator secara proaktif akan menghubungi pihak-pihak yang
berperkara supaya berdamai. Resikonya biaya memang akan membengkak. Tetapi
biaya ini murni untuk proses mediasi. Masyarakat akan mendapatkan pelajaran bahwa
setiap mengajukan perkara ke pengadilan, perkaranya baru akan diperiksa majelis
hakim apabila sudah melalui proses mediasi secara formal. Secara proses alamiah
nantinya masyarakat akan menjadi mandiri dengan mencari solusi sendiri secara damai
terhadap perkara yang dihadapinya. Setelah mediator bekerja dan memberi laporan
secara tertulis bahwa pihak-pihak yang berperkara tidak bisa didamaikan, maka baru
Ketua Pengadilan membuat penetapan tentang penunjukan majelis hakim pemeriksa
perkara. Apabila berhasi damai, perdamaian itu bisa dengan penetapan Ketua
Pengadilan, bisa juga cukup dengan tandatangan mediator dan pihak-pihak yang
berperkara. Dengan demikian majelis hakim pemeriksa perkara tidak akan direpotkan
dengan proses mediasi, jadi murni memeriksa perkara sengketa. Dan perkara yang
50
masuk ke majelis hakim dengan sendirinya sudah melalui proses mediasi. Apabila
tidak, maka majelis hakim tersebut berwenang untuk menolak/tidak menerima
gugatannya. Gagasan penulis tentang proses mediasi ini tidak akan menggangu asas
peradilan yang harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biya ringan. Bahkan
justru memperkuat asas tersebut karena membantu pihak-pihak yang berperkara untuk
menyelesaikan perkaranya secara mandiri.
Berbeda dengan cara Pasal 7 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 yang
mana sering terjadi mejelis hakim pemeriksa perkara tidak menunjuk mediator karena
dalam perkiraannya perkara tersebut tidak akan banding. Padahal secara hukum,
banding atau tidak banding, putusan terhadap perkara yang tidak melalui proses
mediasi secara formal adalah batal demi hukum yang mana pada gilirannya nanti
seluruh produk yang didasarkan pada putusan tersebut juga batal demi hukum.
Kedua:
Dalam Pasal 10 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa
penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Dalam ayat (2) nya disebutkan
bahwa uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau
berdasarkan kesepakatan para pihak. Ketentuan ini kurang adil. Menurut penulis
semestinya semua mediator mendapatkan uang jasa. Kalau non hakim uang jasanya
dari pihak-pihak, maka kalau dari unsur hakim uang jasanya ditanggung oleh Negara.
Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 yang mana Mahkamah Agung
menyediakan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator, tetapi
51
ketentuan ini tidak bergigi karena Perma sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat (2)
nya sampai sekarang belum ada.
Menurut penulis semestinya semua hakim yang menjalankan fungsi mediator
mendapatkan uang jasa dari Negara berdasarkan Perma yang sudah ada, bukan Perma
yang masih menunggu keluarnya entah sampai kapan. Dengan ketentuan yang ada
sekarang, maka bisa jadi hakim yang menjadi mediator akan bekerja secara asal-asalan
atau hanya sekedar untuk memenuhi standar legalitas formal. Kalau cara kerja seperti
ini terus berlanjut, maka mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara di pengadilan
hanya akan berwujud sebagai hayalan belaka. Artinya lembaga mediasi yang sudah
tercipta akan sama kinerjanya pada saat ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg belum
dimaknai secara nyata.
52
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan berdasarkan tujuan penelitian sebagai berikut di bawah ini:
1. Bahwa prosedur dan tata cara mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di
Pengadilan Negeri telah tersedia secara sistematis, lebih detail, diberikan waktu
dan ruang yang khusus untuk dilaksanakan, serta mensyaratkan mediatornya
wajib memiliki sertifikat keahlian sebagai mediator, prosedur dan tata cara
mana sifatnya wajib untuk dilaksanakan setelah dikeluarkannya PERMA No. 1
Tahun 2008. Sedangkan sebelum adanya lembaga mediasi, perdamaian dalam
penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri belum terdapat prosedur dan
tata cara pelaksanaannya, sehingga perdamaian yang digariskan oleh ketentuan
Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg tidak memberikan waktu dan ruang secara
khusus untuk pelaksanaannya, dan umumnya hanya sekedar disarankan oleh
Hakim yang memeriksa untuk berdamai pada hari pemeriksaan perkara pertama
untuk menghindari putusan batal demi hukum;
2. Bahwa penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri melalui mediasi
lebih fokus dan intens untuk mencapai tujuan dari mediasi itu sendiri karena
telah diwajibkan untuk dilaksanakan dalam waktu, tempat, dan dimediasi oleh
mediator yang memiliki skill khusus untuk itu. Sedangkan penyelesaian perkara
53
perdata di Pengadilan Negeri melalui perdamaian sebelum adanya lembaga
mediasi, pelaksanaannya terkesan hanya formalitas saja, sebagai bagian dari
proses acara pemeriksaan perkara perdata oleh Hakim yang memeriksa;
3. Bahwa kelebihan melakukan mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di
Pengadilan Negeri adalah tercapainya perdamaian antara para pihak yang
bersengketa lebih besar kemungkinannya untuk terwujud karena
pelaksanaannya lebih fokus dan intens melalui mediator yang netral yang telah
memiliki skill khusus untuk itu. Kekurangannya, jika pelaksanaan mediasi
gagal maka akan memperpanjang waktu proses acara pemeriksaan perkara,
yang otomatis juga berpengaruh pada besaran beban biaya. Di samping itu,
mediator yang berasal dari Hakim tidak diberikan honor sehingga
dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Sedangkan kelebihan dan
kekurangan melakukan perdamaian dalam penyelesaian perkara perdata di
Pengadilan Negeri sebelum adanya lembaga mediasi, jika pelaksanaannya
gagal tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap waktu proses acara
pemeriksaan perkara, namun kemungkinan terwujudnya perdamaian sangat
kecil karena pelaksanaannya tidak fokus dan intens, di samping itu Hakim yang
memeriksa perkara juga bertindak sebagai penengah sehingga dikhawatirkan
tidak dapat bersikap netral;
4. Bahwa latar belakang diadakannya ketentuan mediasi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan adalah tidak berdayanya ketentuan
54
Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg mengupayakan terwujudnya perdamaian antara
para pihak yang bersengketa yang pada akhirnya berakibat menumpuknya
perkara yang harus diselesaikan baik pada tingkat pertama, banding, kasasi
maupun upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. Oleh karena itu,
ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg selanjutnya di berdayakan melalui
lembaga mediasi yang menitikberatkan penyelesaian perkara melalui win-win
solution untuk mewujudkan asas acara sederhana, cepat dan biaya ringan bagi
para pencari keadilan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Untuk menghindari bertambah panjangnya waktu beracara sebagai akibat
gagalnya pelaksanaan mediasi, disarankan pelaksanaan mediasi sebaiknya
dilakukan sebelum perkara perdata/gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Artinya hasil mediasi yang gagal menjadi syarat mutlak untuk diterimanya
pendaftaran suatu perkara/gugatan, perbaikan mana tentunya melalui revisi
terhadap PERMA No. 1 Tahun 2008;
2. Untuk mewujudkan profesionalisme mediator, khususnya mediator yang
berasal dari Hakim, maka perlu diatur mengenai pemberian dan besaran
honorarium bagi Hakim yang menjadi mediator tersebut, sehingga tidak
terdapat kesenjangan antara mediator yang berasal dari Hakim dengan madiator
yang bukan berasal dari Hakim yang notabene digariskan berhak mendapatkan
honorarium.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu Zien, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Bagir Manan, 2008, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati-Pokok-
Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia. Chairuman Pasaribu dan Suhawardi k Lubis, 1996, Hukum Perjanjian dalam Islam, cet
ke 2, Jakarta :Sinar Grafika. Harijah Damis, 2003, “Hakim Mediasi”, Mimbar Hukum, No. 63.
John Echols dan Hasan Shadily, 2003, Kamus Inggris Indonesia, cet ke XXV, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lailatul arofah, 2003, ”Perdamaian dan bentuk lembaga damai di Pengadilan Agama Sebuah Tawaran Alternatif”, Mimbar Hukum, No. 63.
Nashruddin Salim, 2003, “Pemberdayaan”, Mimbar Hukum No. 63. Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung:
PT Aditya Bakti. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1992, Hukum Acara Perdata
Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: CV. Mandar Maju. R. Subekti, 1999, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta.
Ropaun Rambe, 2006, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika. Siddiki, Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya
Ringan, www.badilag.net. Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing. Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1989, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
PT. Pradnya Paramita. Simorangkir dkk, 2004, Kamus Hukum, cet ke 8, Jakarta : Sinar Grafika.
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI) Press.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Sutopo, HB, 1992, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
www.pa-kedirikab.go.id. http://www.kamusbesar.com