politik hukum islam melayu jambi adat besendi syarak...

15

Click here to load reader

Upload: phungnga

Post on 07-Feb-2018

231 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

219

Politik Hukum Islam Melayu Jambi

Adat Besendi Syarak, Syarak Besendi Kitabullah Dan Hubungannya dengan

Upaya Kontekstualisasi Hukum Islam di Jambi

Bahrul Ulum

IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

ABSTRAK

Artikel ini menelisik makna di balik slogan “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi

Kitabullah.” Slogan ini tidak saja menyimpan nilai filosofis, yakni pertarungan

epistemologis tentang kebenaran sumber hukum, dan secara ontologis membahas

tentang eksistensi adat dan syarak. Sedemikian rupa, penelitian ini berusaha

menganalisis makna politik hukum adat di Jambi sebagai implikasi dari slogan yang

dijadikan landasan filosofis dalam berfikir dan bertindak. Penelitian ini juga

menganalisis dampak gerakan Islam syariat versus slogan ini, yang didapati bahwa

gerakan syariat Islam menyimpan masalah yang dapat mengancam bangunan ontologis

dan epistemologis nilai-nilai dan local wisdom Melayu Islam, yang telah mengakar di

Jambi. Slogan ini sarat dengan nilai filosofis yang bisa menjadi jalan tengah dalam

konteks kehidupan sosial-politik dan keagamaan, yang merupakan cermin dari Islam

Indonesia yang sebenarnya, karenanya harus dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan

masyarakat Jambi.

Kata Kunci: Adat, Syarak, Filosofis, Gerakan Syariat Islam.

Pendahuluan

Islam dan Melayu adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini bukan saja

dapat dibuktikan secara historis, namun secara faktual keadaan dan aktivitas masyarakat

Melayu selalu identik dengan, dan dipengaruhi oleh, ajaran Islam. Sebaliknya, Islam

terefleksi dengan sangat jelas dalam kehidupan masyarakat Melayu sebagaimana

terlihat dalam budaya berpakaian, bertutur, dan terutama dalam ritual yang dibungkus

dalam adat-istiadat budaya Melayu. Refleksi Islam dalam kehidupan masyarakat

Melayu ini dengan jelas dapat dilihat, misalnya, dalam tradisi masyarakat Melayu

Jambi, seperti upacara perkawinan, kematian, perayaan hari besar Islam, dan kegiatan

yang bersangkut-paut dengan adat-istiadat.1 Hampir semua kegiatan tersebut

memperlihatkan dengan jelas hubungan tak terpisahkan antara Islam dan budaya

Melayu Jambi.

Menurut antropolog Judith A. Nagata, hubungan antara Islam dan Melayu, termasuk

Melayu Jambi ini, terjadi karena Melayu adalah salah satu dari beberapa suku di mana

1 Lihat http://home.candimuarojambi.com/index.php?option=com_content&view=section

&layout=blog&id=7&Itemid=114.

Page 2: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

220

antara identitas agama dan etniknya rangkap atau tumpang-tindih. Identitas agama

sekaligus merupakan identitas suku. Dalam hal ini, identitas Melayu adalah Islam.

Sehingga, nyaris tidak ada orang Melayu yang memeluk agama lain selain Islam.

Sehingga muncul istilah yang menyatakan bahwa “to be Malay is to be Moslem.”2

Agama Islam diyakini telah hadir di Jambi sekitar abad 7 M dan berkembang menjadi

agama kerajaan setelah abad 13 M. Orang Parsi (Iran), Turki dan bangsa Arab lainnya

telah hadir di pantai timur Jambi (Bandar Muara sabak) sekitar abad 1 H (abad 7 M).

Dalam catatan I-Tsing disebutkan bahwa sewaktu ia mengunjungi Melayu (Mo-lo-yeu),

ia menumpang kapal Persia (Iran). Pada masa itu di Iran, agama Islam telah menyebar

dalam masyarakatnya.3

Proses kedatangan Islam, yang paling menarik adalah, ditandai dengan adanya

akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat. Akulturasi budaya pada akhirnya

menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda

dengan Islam dalam great tradition (Islam di tanah Arab). Fenomena demikian bagi

sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam

dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang

memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam

di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain. Untuk itu gejala

ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan Islam sesuai

dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk

memperkaya mozaik budaya Islam.4

Di Jambi, artikulasi ajaran Islam diwujudkan sejak masa kesultanan Jambi. Dalam

perkembangannya identitas Melayu-Islam berangkat dari seloko masyarakat Jambi,

yakni “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, sebuah selogan yang

sebenarnya berasal dari Minang Kabau. Seloko ini menunjukkan dua hal; pertama, adat

Melayu Jambi bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah; kedua, al-Qur’an dan Sunnah

(tradisi Islam) terefleksi melalui adat Melayu Jambi.

Dengan demikian, menyatunya Islam dan budaya Melayu Jambi tidak dapat dilepaskan

dari proses Islamisasi yang pernah terjadi di daerah ini. Menurut Suaidi Asyari, proses

Islamisasi yang terus-menerus terjadi ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh Orang

Kayo Hitam sekitar dekade pertama abad ke-16. Prosesnya berlangsung secara damai

tanpa konfrontasi dengan agama dan kepercayaan lokal. Mazhab yang kemudian dianut

oleh sultan, meskipun mazhab yang lain juga tumbuh, adalah mazhab Syafi’i. Ini yang

kemudian menjelaskan mengapa mazhab ini menguat dan dianut mayoritas pemeluk

Islam di Jambi.5 Ketika agama Islam telah menguat, sultan menggunakan gelar-gelar

yang menyatakan bahwa basis legitimasi mereka adalah legitimasi agama. Sementara

itu, bersamaan dengan kedatangan kolonialisme, Islam menjadi sumber kekuatan dalam

2 Judith A. Nagata, “What is the Malay?: Situational Selection of Ethnic Identity in a Plural Society”,

American Ethnologist, 1, 2 (1974), hal. 331-350. 3Amali Muadz, “Sejarah Perkembangan Islam di Jambi” dalam http://www.amali-

muadz.com/2011/12/sejarah-perkembangan-islam-di-jambi.html 4 http://sejarahsebelas.blogspot.com/2013/11/akulturasi-kebudayaan-indonesia-dan.html 5 Suaidi Asyari, Nalar Politik NU dan Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris, (Yogyakarta: LKiS,

2009), hal. 205-206.

Page 3: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

221

menentang penjajahan. Sultan Thaha, misalnya, sering diceritakan menolak bertemu

Belanda karena menganggap mereka sebagai kafir.

Banyak kalangan saat ini berupaya untuk mengembalikan kedigjayaan hukum Islam

sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya. Anthony Reid menunjukkan bahwa sejak

awal abad ke-17 M, hukum Islam yang ketat telah diterapkan secara parsial di Banten

(Jawa Barat) dan Aceh, di mana misalnya hukum potong tangan diberlakukan kepada

para pencuri.6 Ini jelas menunjukkan bahwa hukum kriminal semacam ini diambil dari

hukum pidana Islam yang bernama hudud.

Di era Remormasi, seiring dengan adanya kebebasan dan keterbukaan yang semakin

luas berikut otonomi daerah sejak era Presiden B.J. Habibie, muncul gairah untuk

menerapkan kembali syariat Islam di kalangan Islam Ideologis atau Islam politik,

seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan bahkan

dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).7 Sedemikian rupa hingga wacana syariat Islam

dapat digambarkan sebagai sebuah gairah yang luar biasa.8 Ini, sekali lagi,

memunculkan polemik antar kaum Muslim sendiri. Ada yang mendukung dan sebagian

lagi menolak dengan keras.9

Persoalan penegakan syariat Islam, pada dasarnya, memiliki keterkaitan dengan

pemahaman hukum Islam sendiri. Dalam paham masyarakat Melayu Jambi,

sebagaimana diterjemahkan oleh para penguasa Islam di zamannya, Islam adalah hal

yang identik dengan adat, dan adat merupakan representasi dari Islam. Slogan “adat

besendi syarak, syarak besendi kitabullah” tampaknya menjadi jawaban terhadap

keharusan penerapan hukum Islam. Sebagai daerah yang bertransformasi menjadi Islam,

kewajiban tersebut memang menjadi keharusan. Namun yang menarik adalah bahwa

tradisi yang ada tidak serta merta ditinggalkan, melainkan tetap dipertahankan dan

bahkan mengukuhkan sebagai adat yang bersendi syarak. Pola pikir semacam ini

mengindikasikan adanya upaya konteksutalisasi dan politik hukum Islam di zaman

keemasan Melayu Jambi. Upaya ini ternyata berhasil melahirkan sebuah perkawinan

antara hukum Islam dan hukum adat tanpa mengeliminir salah satunya.

Filosofi slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.

Sejauh menyangkut hukum dan permasalannya, selalu terdapat sebuah landasan berfikir

yang melatari keberadaan suatu hukum. Landasan berfikir itu memiliki nilai yang amat

tinggi karena telah melewati pengujian yang mendalam dan perenungan yang serius.

6Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, New Heaven: Yale University Press,

1988, hlm. 143. Bandingkan dengan Wahyuddin Halim, “Gerakan Formalisasi Syariat Islam melalui

Instrumen Negara: Refleksi Kritis atas KPSSI.” Makalah disampaikan pada “Annual Conference

Postgraduate Program State Institute for Islamic Studies (IAINs) and State Islamic Universities (UINs),

Comfort Hotel Makassar, 25-27 November 2005. 7Tentang gerakan Islam syariat ini lihat Haedar Nashir, “Gerakan Islam Syari’at: Reproduksi Salafiyah

Ideologis di Indonesia,” dalam Maarif, Vol. 1. No. 02. November 2006. lihat juga Nandang Burhanuddin,

Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan, Jakarta: Al-Jannah Pustaka, 2004. 8Lihat Suara Hidayatullah “Gairah Syariat Islam di Berbagai Daerah,” Juli 2000. 9Perdebadan ini dapat dilihat, misalnya, dalam Masykuri Abdillah et.al, dalam Muhammad Zain [ed],

Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas, Jakarta: Renaisan.

2005b.

Page 4: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

222

Inilah yang disebut dengan corak berfikir filsafat yang dikatakan sebagai cara berfikir

yang reflektif dan mendalam.

Filsafat hukum, dengan mengacu pada pengertian filsafat di atas, dapat diartikan

sebagai upaya untuk “mempelajari persoalan-persoalan filosofis yang muncul dari

eksistensi dan praktik hukum.”10 Pada dasarnya pernyataan-pernyataan filsafat hukum

merupakan prinsip-prinsip yang fundamental atau mendasar tentang hukum. Kerja

filsafat hukum merupakan usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tertentu.11

Dengan asumsi bahwa filsafat itu mengandung – dan merupakan hasil perenungan akan

– nilai-nilai, maka slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, paling

tidak dapat dikur sudut pandang filsafat (ilmu), yakni perspektif ontologis dan

epistemologis. Meneliti filsafat hukum dari sudut pandang ontologis berarti berusaha

melihat hakikat hukum itu sendiri. Jika meneliti filsafat hukum dari sudut pandang

epistemologis berarti berusaha mengetahui hukum dari sumber kebenarannya.12

Eksistensi “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” berasal dari kearifan lokal

masyarakat Jambi dalam menyikapi Islam sebagai agama anutannya dan adat-istiadat

sebagai pandangan hidupnya. Secara epistemologis, slogan “adat bersendi syarak,

syarak bersendi kitabullah” merupakan kombinasi kreatif antara kebenaran “adat” dan

kebenaran “agama”. Ini serupa dengan kombinasi kreatif antara “akal” dan “wahyu”

dalam dialektika Ilmu Kalam.

Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” mengingatkan pada dinamika

hukum Islam yang berkembang di Timur Tengah. Setelah Nabi Muhammad SAW

wafat, hukum Islam menjadi kehilangan patron dan otoritasnya. Alhasil, banyak orang

yang kemudian berusaha mengambil posisi penting ini, sebagai patron dan pihak

otoritas penentu kebijakan hukum Islam ini. Beruntung, segera setelah Nabi wafat itu,

empat orang Khalifah yang lurus menjadi pelindung bagi eksistensi dan dinamika

hukum Islam ini. Pada masa ini para Khalifah masih kuat berpegang pada al-Qur’an dan

Sunnah dalam mengatasi berbagai persoalan hukum. Namun, seiring dengan semakin

meluasnya daerah kekuasaan Islam dan problematika kehidupan manusia semakin

komplek dan rumit, ada juga dorongan untuk melakukan ijtihad baik sebagai peribadi

maupun selaku Khalifah, terutama berasal dari Khalifah Umar bin Khattab r.a.13

Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,” mengandung nilai-nilai

filosofis yang sangat kuat, yakni tentang teori kebenaran yang diakui oleh masyarakat

Melayu Jambi. Keyakinan epistemologis yang dimiliki masyarakat Melayu Jambi

sebagaimana yang tercermin dalam slogan tersebut membuktikan bahwa masyarakat

Jambi adalah masyarakat yang luwes dan moderat. Keluwesan dan moderasi ini muncul

sebagai akibat logis pengakuan masyarakat Melayu Jambi akan eksistensi adat dan

syarak yang sama-sama dinilai benar dan sejalan, sehingga saling mengisi. Ini sesuai

dengan apa yang diakatakan oleh seorang tokoh agama seperti Tarmizi bahwa slogan ini

bermakna “bahwa prilaku masyarakat Jambi harus berlandaskan syara’ atau hukum

10 R.M. Dworkin, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar, terj. Yudi Santoso, (Yogyakarta: Merkid Press,

2007), hal. ix 11 Teguh Prasetyo dan Abdul Halil Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli

Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 17. 12 Lihat Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 18. 13 Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 189

Page 5: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

223

agama. Atau adat istiadat di jambi selalu bersinergi dengan syara’, saling menopang dan

memperkuat.”14

Implikasi sosiologis dari pandangan dunia yang tercermin dari slogan itu adalah

kehidupan sosial agama yang membumi, “di mana bumi dipijak, di situ langit

dijunjung.” Penghargaan pada kearifan lokal ini menjadikan sistem hukum adat Jambi

menjadi lebih mudah diterima karena ia tidak asing. Akan tetapi hukum adat Jambi juga

memiliki sandaran normatif agama yang kuat sehingga menimbulkan keyakinan akan

keaslian dan keotentikan hukum Adat Jambi.

Lebih jauh, hukum Adat Jambi sebagaimana yang tercermin dalam slogan tersebut

agaknya telah mendahului pandangan kebangsaan dan keislaman sebagaimana yang saat

ini banyak dibicarakan dan didiskusikan menyangkut sistem politik dan pemerintahan di

Indonesia. Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,” dengan

sendirinya melahirkan sebuah pemikiran tentang Islam dan kebangsaan yang utuh, serta,

melalui pemahaman akan slogan itu, dapat melahirkan sikap toleransi, terbuka, dan

tasamuh.

Dengan demikian cita-cita di balik falsafah “adat bersendi syarak, syarak bersendi

kitabullah” adalah tatanan masyarakat yang harmonis dan ideal yang dipersatukan oleh

nilai-nilai universal dan lokal. Terlebih bahwa masyarakat Jambi adalah masyarakat

yang plural, konsep-konsep filosofik untuk menopang realitas sosio-kultural itu adalah

sangat diperlukan agar sumber daya manusianya dapat memberikan potensi terbaiknya,

baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, maupun agama.

Model politik hukum Islam sebagaimana termaktub dalam slogan “adat bersendi

syarak, syarak bersendi kitabullah”.

Istilah politik hukum paling tidak didasarkan pada dua asumsi. Pertama, bahwa hukum

itu merupakan suatu produk kepentingan (interest). Di sini, hukum dipandang sangat

tidak netral karena merupakan refleksi dari kepentingan suatu kelompok atau aliran

tertentu. Banyak tulisan mengenai politik hukum yang menyorot hubungan antara

politik dan hukum.

Pramudya, dalam kesimpulan penelitiannya mengatakan bahwa “hukum itu

kepentingan.”15 Dalam konteks ini, politik hukum lebih cendrung mejadi kajian

(subordinasi) dari ilmu politik, sekalipun banyak kajian ilmu hukum yang juga

membahas soal ini. Selain itu, bahwa hukum juga merupakan produk legislasi. Politik

hukum didefenisikan sebagai “proses pembentukan dan pelaksanaan sistem atau tatanan

hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam Negara secara nasional.”16

Politik hukum seringpula diartikan sebagai kebijaksaan hukum (legal policy) yang akan

dan telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, di mana mencakup pula di

14 Wawancara dengan Tarmizi, Wakil Ketua MUI Propinsi Jambi dan Ketua Umum MUI Kota Jambi, 15

Desember 2014. 15 Lihat Pramudya, Hukum itu Kepentingan, Salatiga: Sanggar Mitra Sabda, 2007. 16 Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum, Yogyakarta: Thafa

Media, 2012, hal. 5. Lihat juga Soehino, Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 2010, hal. 3.

Page 6: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

224

dalamnya pengertian tentang bagaimana politik hukum mempengaruhi hukum dengan

cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembentukan dan penegakan

hukum itu. Berdasarkan pengertian ini, hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai

pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan yang bersifat das sollen, melainkan

juga harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya (das sein) bukan

tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi muatan dan

pasal-pasalnya maupun dalam impelementasi dan penegakannya.17

Berangkat dari defenisi dan paparan di atas, dapat dibaca bahwa ungakapan “adat

bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” menyiratkan adanya dua sistem hukum

yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, yakni antara hukum Islam dan hukum

adat. Interaksi itu bisa saja bermakna positif dan maupun negatif; sinergi atau bahkan

persaingan antara “syarak” atau hukum Islam dan hukum “adat”.

Secara historis, awal perkembangan Islam di Jambi - dengan begitu diberlakukan secara

serta-merta hukum Islam - diperkirakan terjadi pada abad XV (sekitar 1450 M). Diawali

dengan disebutkannya Putri Selaras Pinang Masak, putri keturunan Raja Pagaruyung

yang menikah dengan saudagar bernama Ahmad Salim atau Ahmad Barus II yang

merupakan keturunan Turki, kemudian dikenal sebagai Datuk Paduko Berhalo.18 Dari

perkawinannya, mereka dianugerahi empat orang anak, yaitu: Orang Kayo Pingai,

Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam, dan seorang perempuan bernama Orang

Kayo Gemuk.19

Menurut catatan Junaidi, perkawinan Putri Selaras Pinang Masak dan Datu Paduko

Berhalo menjadi titik awal bertapaknya Kerajaan Melayu Islam di Jambi – sehingga

disebut sebagai Kerajaan Jambi. Secara berturut-turut Orang Kayo Pingai memegang

tampuk pemerintahan pada tahun 1480 M, dilanjutkan oleh Orang Kayo Kedataran

tahun 1490 M, kemudian oleh Orang Kayo Hitam pada tahun 1500 M.20 Pada masa

Orang Kayo Hitam inilah Islam menjadi agama resmi orang Jambi, hingga Kesultanan

terakhir Jambi pada 1857 M oleh Sultan Thaha Saifuddin.21

Di kalangan penganut Islam di Indonesia, masyarakat Melayu boleh dikatakan sebagai

masyarakat tersendiri yang identik dengan Islam. Berbeda dengan Islam di Jawa yang,

menurut Ricklefs, tidak identik Muslim.22 Hubungan kuat antara Islam dan Melayu

mengandaikan bahwa masyarakat Melayu memang merupakan masyarakat yang sangat

kuat berpegang terhadap agama Islam, 23 dengan demikian menerapkan hukum Islam

dengan caranya sendiri.

17 Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal. 1-2. 18 Lindayanti dkk, Jambi dalam Sejarah 1500-1942, (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi

Jambi, 2013), hal. 129. 19 Junaidi T. Noor, Op.Cit., hal. 109. 20 Ibid. 21 Lihat Lindayanti dkk, Op.Cit., hal.131-132. 22 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangannya dari 1930 sampai

Sekarang, terj. FX Dono Sunardi & Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2012), hal. 46. 23 Robert Day McAmis, Malay Muslims, The History and Challenge of Resurgent Islam in Southeast

Asia, (Cambridge, U.K: William B Eerdmans Publishing Company, 2002), hal. 46.

Page 7: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

225

Hukum Islam, sejak kedatangannya, di bumi Nusantara, termasuk di Jambi sendiri,

hingga saat ini tergolong hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat. Bukan

saja karena hukum Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas

penduduk hingga saat ini, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya ia telah menjadi bagian

dari tradisi (adat) masyarakat, yang terkadang dianggap sakral, sebagaimana yang

terjadi di Jambi.24

Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berurat

berakar pada budaya masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena fleksibilitas dan

elastisitas yang dimiliki hukum Islam. Artinya, kendatipun hukum Islam tergolong

hukum yang otonom – karena adanya otoritas Tuhan di dalamnya – akan tetapi dalam

tataran implemntasi ia sangat aplicable dan acceptable dengan berbagai jenis budaya

lokal. Karena itu, bisa dipahami bila dalam sejarahnya di Jambi, ia menjadi kekuatan

moral masyarakat yang mampu menandingi hukum positif negara, baik tertulis maupun

tidak tertulis.25

Pada saat kedatangannya di negeri Jambi, hukum Islam lebih bercorak Syafi’iyyah. Ini

memang dimungkinkan mengingat faham atau mazhab Syafi’i berkembang pesat di

abad ini. Perkembangan itu menembus hingga Asia Tenggara. Oleh sebab itu, sangat

wajar bila dikatakan bahwa bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Melayu Jambi,

adalah penganut mazhab Syafi’i terbesar di muka bumi.26 Namun demikian, hal itu tidak

berarti bahwa Muslim di Indonesia tidak merujuk pada mazhab atau pemikiran lain

selain Syafi’i. Kenyataannya, penganut mazhab Syafi’i di Indonesia juga merujuk pada

pemikiran Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, dan juga Imam Hanafi. Adapun mazhab

teologi yang dianur adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang sering disejajarkan dengan

faham Asy’ariyah, dan bukannya Maturidiyah. Jalinan hubungan antara teologi Sunni

dan fiqh mazhab Syafi’i benar-benar mewarnai corak Islam di Indonesia, khususnya di

kalangan masyarakat Melayu. Jadi, jika didefenisikan Islam di kawasan Melayu, seperti

di Jambi, Sunni dan mazhab Syafi’i adalah refleksi dari Islam itu sendiri.

Masuknya Islam di Jambi agaknya telah melewati proses yang paling damai. Berbeda

dengan masuk dan berkembangnya Islam di wilayah lain Sumatera seperti Aceh atau

Minangkabau. Di dua tempat yang disebut terakhir ini, pergolakan pemikiran agama

pernah terjadi di sana. Di Aceh, antara heterodok dan ortodok pernah terlibat konflik

yang amat parah, antara Hamzah Fanshuri (kira-kira 1607M) dan Nuruddin ar-Raniri w.

1068H/1658M). Hamzah Fanshuri yang tampil dengan ajaran Wujudiahnya, sebuah

ajaran tentang kemungkinan “bersatunya” manusia dengan Tuhan yang konon

dipengaruhi dari faham Ibnu Arabi, ditentang dengan amat sengit oleh Nuruddin ar-

Raniri.27 Lain lagi di Minangkabau, konflik terjadi antara kaum agamawan dan kaum

24 Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia,

(Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 81. 25 Ibid. 26 Nurcholish Madjid, “Imam Syafi’i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman Hukum Dalam Islam,”

dalam pengantarnya terhadap buku Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj.Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2004), hal. 9. 27 Ahmad Haris, Islam Inovatif, Eksposisi Bid’ah dalam Teori & Praktek, (Jambi: Sulthan Thaha Press,

2007), hal. 34.

Page 8: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

226

adat. Konflik yang melahirkan sebuah perang yang berdarah-darah yang dikenal dengan

sebutan Perang Paderi.28

Di Jambi, konflik dan ketegangan menyangkut soal faham keagamaan ini tidak pernah

terjadi. Ahasil masuknya Islam ke negeri ini berjalan dengan amat damai. Kedamaian

itu dimungkinkan karena para penyebar agama Islam ini banyak yang berasal dari kaum

sufi. Meski demikian, hal itu tidak berarti bahwa syariat lantas tidak dikenal di kalangan

kaum Muslim di kawasan ini. Berbagai literatur tradisional awal Nusantara, seperti

“sejarah”, “hikayat”, undang-undang, dan semacamnya jelas memasukkan ajaran syariat

tertentu ke dalam diskursus mereka. Di Jambi sendiri terdapat Oendang-Oendang

Jambi.29

Kehadiran Islam di tengah-tengah adat dan budaya Jambi yang sudah hidup sebelumnya

melahirkan produk politik hukum (Islam) yang kompleks bilamana diurai dan

dinarasikan satu demi satu. Politik hukum (Islam) sebagaimana yang tercermin dalam

slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” menyimpan fenomena yang

kompleks dan pelik. Dikatakan kompleks karena di dalamnya terdapat elemen-elemen

pembentuk narasi itu yang terdiri dari norma adat dan norma agama, dalam hal ini

adalah Islam. Disebut pelik karena masing-masing agama memiliki epistemnya sendiri-

sendiri.

Berdasarkan catatan-catatan yang ada, dapat difahami bahwa Islam yang hadir di tengah

masyarakat Melayu Jambi merupakan konsekwensi dari Islam yang sudah ditempa oleh

faham teologi Asyariyah / Sunni, mazhab Syafi’i, dan jalan tasawuf yang

memungkinkannya dapat menerima eksistensi adat. Disinyalir sifat moderasi dari faham

itulah yang menyebabkan Islam dapat disandingkan dengan adat atau tradisi setempat.

Selain itu, sebagai ciri utama Islam yaitu sifatnya yang felksibel dan dapat berubah

sesuai dengan kondisi. Para ulama penyebar Islam tentulah faham benar dengan kaidah

ushul fiqh yang berbunyi “al-‘adah syari’ah muhakkamah” yang artinya “adat itu

syariat dihukumkan”.30

Berdasarkan catatan dan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa formalisasi (syariat)

Islam yang pernah dilakukan oleh Kesultanan Melayu Jambi pada hakikatnya

merupakan pengejawantahan dari pola fikir keislaman abad ke-15 itu yang khas dengan

segala bangunan ontologis dan epistemologisnya yang telah menyerap unsur-unsur lain

di luar Islam, seperti unsur Hindu, Budha, animisme, dan adat-budaya setempat, yang

tentunya masih sejalan dengan prinsip Islam. Oleh karenanya, politik hukum Islam yang

dilakukan sejak masa Kerajaan/Kesultanan Melayu Islam Jambi merupakan respon yang

logis dan kontekstual di zaman itu. Islam dan syariatnya merupakan identitas “baru”

yang menjadi khas kerajaan Melayu Islam.

Ciri utama dari kerajaan Melayu Islam adalah terdapatnya nilai “tauhidik”, kepercayaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, yang menggantikan sistem kepercayaan

28 Amir Sjarifoedin Tj.A., Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol,

(Jakarta: Gria Media Prima, 2014), hal. 508-509. 29 Anonim, “Oendang-Oendang Jambi,” (ttp:tt) 30 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri & Ahmad Qarib, (Semarang: Toha Putra

Group, 1994), hal. 124.

Page 9: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

227

kepada dewa-dewa dan animisme maupun dinamisme. Kemudian, nilai “tauhidik”31 ini

diimplementasikan dengan menjalankan rukun Islam. Undang-undang dibuat dan

disesuaikan dengan ajaran Islam, tetapi tidak sepenuhnya karena masih

mempertahankan hukum adat yang bersesuaian dengan prinsip syariat. Oleh karena itu,

istilah “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” agaknya merupakan

konsekwensi logis dari berbaurnya hukum Islam dan hukum adat.

Refleksi politik hukum sebagaimana yang terdapat dalam ungkapan “adat bersendi

syarak, syarak bersendi kitabullah” adalah konsekwensi dari dialektika antara Islam dan

tradisi. Dialektika itu bisa melahirkan produk kebijakan hukum yang demokratis dan

responsif, bila ungkapan slogan tersebut ternyata merupakan refleksi dari realitas faham

keagamaan masyarakat. Namun, ia juga bisa bersifat otoriter dan konservatif bilamana

slogan itu merupakan cermin dari pemaksaan atau peminggiran (hukum) Islam di bawah

hukum adat.

Politik hukum slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” agaknya baru

muncul di abad ke-19. Ini berarti bahwa masa awal keislaman dan formalisasi Islam di

Jambi, slogan ini belum ada. Sekalipun demikian, boleh jadi pada tahap awal

formalisasi Islam di Jambi, adat dan agama masih berada pada posisi berjalan seiring

dan belum saling mengisi. Setelah konflik adat dan agama terjadi, keperluan untuk

mensinergikan kedua nilai itu dilakukan. Melihat proses pembentukannya, politik

hukum kala itu dapat disebut sebagai politik hukum yang demokratis dan responsif.

Disebut demokratis karena melalui tahap musyawarah. Adapun sifat responsifnya dapat

dilihat dari saling diterimanya antara norma adat dan norma agama dalam satu slogan

“adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.

Dalam konteks kekinian, aspek politik hukum dalam slogan “adat bersendi syarak,

syarak bersendi kitabullah” masih difahami sebagai sebuah sinergi antara Islam dan

adat. Implementasi dari faham ini adalah penerapan syariat Islam, seperti yang

berkembang saat ini, menjadi bagian yang dapat diakomodir menurut slogan itu.

Masa depan adat-budaya Melayu Jambi melalui slogan “adat bersendi syarak,

syarak bersendi kitabullah” vis a vis penerapan syariat Islam saat ini.

Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa adat-budaya Jambi terbentuk dari

semangat yang muncul dan digali dari nilai-nilai adat dan nilai-nilai agama (Islam).

Kedua norma ini dianggap sebagai sumber kebenaran yang sama-sama shahih. Slogan

“adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” tampaknya sudah menjadi kesadaran

masyarakat Melayu Islam Jambi. Artinya, mereka hidup dengan agama dan adat

sekaligus dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Kesadaran masyarakat Jambi yang tercermin dari slogan ini mempengaruhi kesadaran

mereka dalam kehidupan sosial, agama, maupun politiknya. Bangunan peradaban

Melayu yang telah dan hendak dibangun kembali (rekonstruksi?) adalah bangunan

31 Lihat Siddiq Fadzil, Islam dan Melayu, Martabat Ummat dan Daulat Rakyat, (Kajang, Selangor:

Akademi Kajian Ketamadunan Kolej Dar al-Hikmah, 2012), hal. 3.

Page 10: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

228

peradaban yang bersendi adat, adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.

Kesadaran hirarkis seperti ini tampaknya tidak dapat diubah begitu saja, misalnya

langsung merujuk pada syarak atau al-Qur’an tanpa eksistensi adat. Hal itu pasti akan

menimbulkan efek yang berbeda, baik dalam kehidupan sosial, agama, maupun

politiknya.

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam melestarikan adat dan mensyiarkan

agama di tengah masyarakat32 merupakan hal yang perlu disambut dengan positif oleh

semua elemen dan institusi yang ada di Jambi bila ingin mendapatkan adat dan agama

terus hidup di tengah masyarakat Jambi. Dukungan sekolah atau institusi formal,

misalnya, untuk memakai simbo-simbol adat dan agama di acara-acara formal

sebetulnya merupakan gerakan struktural yang dengan nantinya dapat melahirkan

sebuah gerakan kultural di tengah masyarakat dalam melestarikan adat dan agama di

Jambi, baik dalam pradigma dan pandangan dunianya maupun dalam tindakan

kesehariannya.

Kendati demikian, eksistensi adat dan agama (Islam) di Jambi sebagaimana yang

tercermin dalam slogan adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” bukannya

tidak menghadapi permasalahan sehingga dikhawatirkan identitas Jambi ini akan punah

dan tinggal sejarah. Salah satu tantangannya adalah tantangan “modernitas”. Diakui atau

tidak bahwa ide yang berasal dari Barat ini dapat saja menggantikan peran adat dan

agama dalam kehidupan. Pengaruh modernitas sangat kuat karena ia ditopang oleh

globalisasi dan teknologi informasi sehingga dalam waktu yang teramat cepat pola fikir,

pandangan dunia, dan kehidupan kultural masyarakat dapat berubah ke arah simbol-

simbol modernitas ini.

Kekhawatiran terhadap melemahnya kecintaan terhadap agama dan tradisi ini, misalnya,

berimbas pada lemahnya kesadaran dan etika moral masyarakat. Ajaran dan norma adat

dan agama secara tidak langsung terkesampingan oleh perilaku amoral, gaya hidup

pragmatis, hedonisme, dan individualisme. Dalam koteks ini, benar apa yang dikatakan

oleh Junaidi T.Noor, bahwa sehubungan dengan eratnya hubungan antara adat dan

agama di Jambi, maka orang yang disebut tidak beradat sama artinya dengan orang yang

tidak beragama; pelanggaran adat sama artinya dengan pelanggaran terhadap norma dan

ajaran agama.33

Dalam sejarah sosial, modernisme menjadi wacana tersendiri vis a vis tradisi dengan

masing-masing argumentasinya yang tidak jarang merupakan persoalan yang profokatif.

Kaum Muslim sering terpilah pada dua arus ini; mengikuti arus modernisme atau

mempertahankan tradisi yang orisinal. Dalam wacana sosial kontemporer, ini menjadi

proyek pemikiran yang meliputi tema-tema seperti: al-turats wal al-hadatsah,34 al-

turats wa al-tajdîd,35 al-ashlah wa al-hadatsah,36 al-turats wa al-mu’ashirah.37

32 Wawancara dengan Muallimah, Staf Ahli Gubernur Jambi Bidang Pembangunan, 15 November 2014. 33 Wawancara dengan Junaidi T.Noor, 20 Desember 2014. 34 Lihat Al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, Dirasat wa Munaqasyat, (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafî al-

‘Arabi, 1991). 35 Lihat Hassan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-Qadim, (Beirut,1981). 36 A.H. Jidah, al-Ashlah wa al-Hadatsah fî Takwin al-Fikr al-‘Arabi al-Naqd al-Hadits, (Lebanon,1985). 37 A.D. Umari, al-Turats wa al-Mu’ashirah, (Qatar, 1985).

Page 11: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

229

Sampai saat ini, wacana tentang modernisme dan tradisionalisme masih menjadi

perdebatan hangat di kalangan akademisi. Tetapi fakta menunjukkan bahwa arus

modernism sulit dibendung. Memilih salah satunya ibarat memakan buah simalakama.

Modernime tanpa tradisionalisme pasti akan kehilangan otentisitas dan identitasnya.

Sedangkan tradisonalisme tanpa modernisme akan kehilangan elan vital dan

dinamikanya. Oleh karena itu, tampaknya, hanya pemikiran yang dapat mengakomodir

keduanya itulah yang akan tetap eksis pada masa mendatang. Dalam konteks ini

falsafah hidup “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” akan tetap bertahan

bilamana berpegang pada teori perubahan sosial “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-

shalih, wa al-akhzu bi al-jadid al-shalih” (memelihara tradisi yang baik dan mengambil

hal baru yang lebih baik), sebuah jargon, yang menurut Cak Nur , amat populer di

kalangan orang-orang NU (Nahdhatul Ulama).38

Tantangan berikutnya yang tidak kurang pentingnya adalah konservatisme agama.

Adalah menarik bahwa adat dan agama yang semula dianggap konservatif vis a vis

modernisme yang dianggap dinamis, justru mendapat tantangan dari kalangan

konservatif agama. Kaum konservatif agama ini muncul sebagai reaksi terhadap

perubahan yang tadinya dibawa oleh modernitas dengan segala akibatnya. Kaum

konservatif menawarkan al-ashalah, otentisitas, dan orisinalitas yang, menurut mereka,

hanya dapat diperoleh dengan kembali pada keaslian agama, sebagaimana yang terdapat

dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jargon yang diusung adalah kembali kepada dua sumber

agama tersebut. Adapun metode dan langkah kerjanya adalah purifikasi, membersihkan

segala macam pemikiran, perbuatan, dan kebiasan-kebiasaan yang dinilai tidak punya

dasar pada dua sumber yang asli itu. Perbuatan yang tidak mendasar itu disebut dengan

bid’ah.39

Berkembangnya faham puritan ini diinisiasi dan dimotori oleh Wahabi-Salafi yang

berpusat di Madinah. Dalam kehidupan sosial, kelompok Wahabi-Salafi berusaha

melakukan pemurnian akidah dan amal di kalangan umat Islam dengan membersihkan

segala kebiasan yang dianggap tidak ada dasarnya pada al-Qur’an dan Sunnah,

sekalipun hal itu bisa dijustifikasi oleh qiyash, pendapat Shahabat, maupun pendapat

para ulama pada umumnya. Kebiasaan-kebiasaan agama seperti tahlilan, yasinan,

maulidan, perayaan Isra’ dan Mikraj Nabi, pembacaan al-Barzanji, dan sebagainya

biasanya menjadi sasaran kritik dan “tuduhan” bid’ah. Ini tentu belum menyebut

kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari praktik-praktik adat masyarakat setempat yang

bahkan bisa disebut sebagai perbuatan syirk.40

Selain kalangan konservatif, fundamentalisme agama juga memiliki peran dalam

menghapuskan tradisi. Ciri utama fundamentalisme agama adalah penerapan Islam

38 Nurcholish Madjid, “NU antara Tradisi dan Relevansi Pemikiran,” dalam Zuhairi Misrawi [ed],

Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004), hal. Ix. 39 Perdebatan dan wacana mengenai msalah ini, salah satunya yang paling menarik, adalah apa yang

pernah diteliti oleh Ahmad Haris, Inovasi….. 40 Lihat, misalnya, Suaidi Asyari, “Managing Potentials of Religious Conflicts: Responses of Sumatran

Malay Muslims towards Neo Anti-Bid’a Movement,” dalam Anonim, Proceeding: The First

International Conference on Jambi Studies (ICJS) 2013, (Jambi: International Conference on Jambi

Studies, 2013), hal. 325.

Page 12: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

230

secara “kaffah” dan radikal sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. Baik

konservatisme agama maupun fundamentalisme agama, keduanya memimpikan

kehidupan yang ideal sebagaimana yang dulu dipraktikkan oleh Nabi Muhammad

SAW. Bedanya, konservatisme agama seperti Salafi-Wahabi bergerak di bidang akidah

dan syariah, fundamentalisme agama lebih terfokus pada politik Islam, yaitu negara

Islam.

Kehidupan yang dibayangkan oleh kaum konservatif dan kaum fundamentalis ialah

kehidupan ideal di zaman Rasulullah SAW, baik dalam soal akidah, syariah, maupun

akhlak; baik itu ibadah maupun soal muamalah. Karenanya, tidak jarang, segala macam

perbuatan, sistem sosial, politik, dan eokonomi yang bukan berasal dari tradisi Islam,

dengan ukurannya al-Qur’an dan Hadits/Sunnah, maka perbuatan itu dengan sendirinya

batal, sesat, bid’ah, syirk, thagut, dan bahkan kafir. Semua jenis kegiatan yang

teridentifikasi dengan “penyakit” ini adalah sesat dan harus dijernihkan atau, dalam

taraf tertentu, diperangi.

Slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” yang melahirkan pandangan

dunia dan tradisi masyarakat Melayu Islam Jambi sebenarnya amat rentan dengan

berbagai tantangan di atas. Jika faham dan ideologi, sebagaimana yang diuraikan di

atas, dianut oleh kebanyakan orang Jambi, dapat dipastikan bahwa tradisi Jambi yang

terbentuk dari slogan tersebut akan punah dan hilang dari kehidupan masyarakat karena

terjadinya perubahan mindset dan paradigma akiat digerus oleh ideologi asing. Aspek

paling mudah diamati adalah cara berpakaian yang dulunya menggunakan baju kurung,

sekarang sudah berganti mengikuti model trans-nasional. Model baju kurung dianggap

asing karena dianggap pakaian Malaysia. Bahkan yang menghawatirkan adalah

terjadinya pergeseran nilai substansial, masyarakat khususnya generasi muda semakian

jauh dari adat Melayu yang bersendikan syarak. Sebagai contoh, kalau dahulu bujang-

gadis (muda-mudi) berdiri berduaan saja adalah tabu, baik di tempat ramai apalagi sepi,

sekarang sudah menjadi biasa.41

Demikian pula, di sisi lain, bila faham konservatif dan fundamentalisme agama menjadi

marak, maka nilai-nilai adat juga tergeser dan akhirnya tergantikan dengan ideologi

agama yang puritan. Faham puritan itu sangat mengedepankan nilai-nilai Islam yang

murni menurut al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana adanya. Sebagai contoh, belakangan

ini marak sekali dakwah/seruan untuk menutup aurat dengan hijab yang besar (hijab

syar’i). Sebagian faham ini justru mengharuskan cadar bagi wanita. Sementara dalam

adat Jambi, pakaian wanita seperti tengkuluk (semacam penutup yang terbuat dari kain

batik yang dililitkan di kepala) justru dianjurkan sebagai bagian dari pakaian adat yang

dipandang syar’i. Demikian pula, adat Jambi juga mengenal seni budaya, seperti tari-

tarian, lagu, dan syair. Padahal kegiatan-kegiatan ini, bagi kalangan Muslim puritan,

adalah haram, apalagi jika dilakukan oleh kaum perempuan. Karena itu, gerakan

syariatisasi yang mengambil jalan puritan, dalam banayak hal, tidak cocok dengan ide

slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.”

41 Irmawati Sagala, “Peluang dan Tantangan Reinvensi Model Pemerintahan Adat Tigo Tali Sepilin di

Propinsi Jambi Pasca Reformasi,” dalam Annonim, Proceeding…hal. 292.

Page 13: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

231

Menimbang segala macam tantangan yang ada, pemikiran yang lebih kritis dan inovatif

terhadap adat budaya Jambi yang bersendikan syarak menjadi mutlak. Usaha-usaha

kreatif dalam mengembangkan dan mereinvensi idealisme dari slogan tersebut

tampaknya juga dilakukan. Eksistensi adat budaya Jambi yang bersendikan syarak

memang sangat tergantung pada elemen penting di dalamnya, yaitu Lembaga Adat,

Lembaga Agama (MUI dan Ormas Islam), dan Pemerintah, dengan segala otoritas dan

kepentingannya.

A. Penutup

Akhirnya, penelitian merekomendasikan agar slogan “adat bersendi syarak, syarak

bersendi kitabullah” harus dan wajib untuk dijaga. Slogan ini sarat dengan nilai filosofis

yang bisa menjadi jalan tengah dalam konteks kehidupan sosial-politik dan keagamaan.

Slogan ini merupakan cermin dari Islam Indonesia yang sebenarnya. Slogan ini, dengan

begitu, dapat melahirkan faham moderat sebagaimana yang diperjuangkan oleh dua

organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.

Ciri khas moderasi adalah toleransi dan pribumisasi Islam. Saran lanjutannya adalah

diperlukan pemikiran yang lebih kritis dan inovatif terhadap adat budaya Jambi yang

bersendikan syarak menjadi mutlak. Usaha-usaha kreatif dalam mengembangkan dan

mereinvensi idealisme dari slogan tersebut mesti dilakukan agar dapat melahirkan cita

hukum Jambi yang kontekstual namun tetap berakar pada tradisi, sehingga diharapkan

ide ini dapat menjadi inspirasi pengembangan hukum Adat/Islam yang progresif.

Wallahu ‘alam.

Rujukan

Al-Jabiri, Muhammad Abid, 1991, al-Turats wa al-Hadatsah, Dirasat wa

Munaqasyat, Bairut: al-Markaz al-Tsaqafî al-‘Arabi.

Anonim, 2013, Proceeding: The First International Conference on Jambi Studies

(ICJS) 2013, Jambi: International Conference on Jambi Studies.

Asyari, Suaidi, 2009, Nalar Politik NU dan Muhammadiyah: Over Crossing Java

Sentris, Yogyakarta: LkiS.

Burhanuddin, Nandang, 2004, Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan,

Jakarta: Al-Jannah Pustaka.

Dworkin, R.M., 2007, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar, terj. Yudi Santoso,

Yogyakarta: Merkid Press.

Fadzil, Siddiq, 2012, Islam dan Melayu, Martabat Ummat dan Daulat Rakyat,

Kajang, Selangor: Akademi Kajian Ketamadunan Kolej Dar al-Hikmah.

Hanafi, Hassan, 1981, al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-

Qadim, Beirut.

Haris, Ahmad, 2007, Islam Inovatif, Eksposisi Bid’ah dalam Teori & Praktek,

Jambi: Sulthan Thaha Press.

Ismatullah, Dedi, 2011, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Page 14: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

232

Jidah, A.H., 1985, al-Ashlah wa al-Hadatsah fî Takwin al-Fikr al-‘Arabi al-Naqd

al-Hadits, Lebanon.

Khalaf, Abdul Wahab, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri & Ahmad Qarib,

Semarang: Toha Putra Group.

Lindayanti dkk, 2013, Jambi dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi.

Madjid, Nurcholish, “Imam Syafi’i Peletak Dasar Metodologi Pemahaman

Hukum Dalam Islam,” dalam pengantarnya terhadap buku Imam Syafi’i,

2004, Ar-Risalah, terj.Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Madjid, Nurcholish, “NU antara Tradisi dan Relevansi Pemikiran,” dalam Zuhairi

Misrawi [ed], 2004, Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda

NU, Jakarta: Kompas.

Mahfud MD, 2010, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group.

Marzuki, 2013, Hukum Islam, Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan

Permasalahan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ombak.

McAmis, Robert Day, 2002, Malay Muslims, The History and Challenge of

Resurgent Islam in Southeast Asia, Cambridge, U.K: William B Eerdmans

Publishing Company.

Pramudya, 2007, Hukum itu Kepentingan, Salatiga: Sanggar Mitra Sabda.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halil Barkatullah, 2007, Ilmu Hukum & Filsafat

Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Praja, Juhaya S., 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia.

Ricklefs, M.C., 2012, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan

Penentangannya dari 1930 sampai Sekarang, terj. FX Dono Sunardi &

Satrio Wahono, Jakarta: Serambi.

Reid, Anthony, 1988, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, New

Heaven: Yale University Press.

Rosadi, Otong dan Andi Desmon, 2012, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu

Hukum, Yogyakarta: Thafa Media.

Sjarifoedin, Amir Tj.A., 2014, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain

Sampai Tuanku Imam Bonjol, Jakarta: Gria Media Prima.

Soehino, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta: BPFE.

Umari, A.D., 1985, al-Turats wa al-Mu’ashirah, Qatar.

Zain, Muhammad [ed], 2005b, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah

Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas, Jakarta: Renaisan.

Makalah/Majalah

Page 15: Politik Hukum Islam Melayu Jambi Adat Besendi Syarak ...ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/18-Bahrul-Ulum.pdf · Politik Hukum Islam Melayu Jambi ... bersamaan dengan kedatangan

233

Halim, Wahyuddin, 2005, “Gerakan Formalisasi Syariat Islam melalui Instrumen

Negara: Refleksi Kritis atas KPSSI.” Makalah disampaikan pada “Annual

Conference Postgraduate Program State Institute for Islamic Studies

(IAINs) and State Islamic Universities (UINs), Comfort Hotel Makassar,

25-27 November.

Nashir, Haedar, 2006, “Gerakan Islam Syari’at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di

Indonesia,” dalam Maarif, Vol. 1. No. 02. November.

Suara Hidayatullah 2000, “Gairah Syariat Islam di Berbagai Daerah,” Juli.

Internet/Undang-Undang:

Anonim, “Oendang-Oendang Jambi,” (ttp:tt)

http://sejarahsebelas.blogspot.com/2013/11/akulturasi-kebudayaan-indonesia-

dan.html

Muadz, Amali, “Sejarah Perkembangan Islam di Jambi” dalam http://www.amali-

muadz.com/2011/12/sejarah-perkembangan-islam-di-jambi.html

Informan:

Muallimah, Staf Ahli Gubernur Bidang Pembangunan.

Noor, Junaidi T., Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Propinsi Jambi.

Tarmizi, Wakil Ketua MUI Propinsi Jambi dan Ketua Umum MUI Kota Jambi.