pola tanam agroforesti

27
Mata Kuliah : Model-Model Sistem Pertanian Dosen : Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, M.Sc BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRY DI LAHAN KERING OLEH : MOHAMMAD AQSA G511 03 701

Upload: edis-blog

Post on 23-Jun-2015

313 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

Bentuk pola tanam sistem agroforestry di lahan kering

TRANSCRIPT

Page 1: POLA TANAM AGROFORESTI

Mata Kuliah : Model-Model Sistem PertanianDosen : Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, M.Sc

BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRY DI LAHAN KERING

OLEH :

MOHAMMAD AQSAG511 03 701

KONSENTRASI TANAMANPROGRAM STUDI SISTEM-SISTEM PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2003

Page 2: POLA TANAM AGROFORESTI

I. PENDAHULUAN

Luas daratan indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta

hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera,

Kalimantan , Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan tersebut, 123

juta hektar berupa lahan/tanah kering dan selebihnya 34 juta hektar berupa lahan/tanah

basah, baik berupa rawa pasang surut maupun rawa lebak (Hakim, dkk., 1986)

Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peluang besar

untuk dimanfaatkan secara optimal. Areal lahan kering di Indonesia terluas, yaitu

mencapai 52,5 Juta Ha yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali (7,1 Juta Ha), Sumatera

(14,8 Juta Ha), Kalimantan (7,4 Juta Ha), Sulawesi (5,1 Juta Ha), Maluku dan Nusa

Tenggara (6,2 Juta Ha) dan Irian Jaya (11,8 Juta Ha) (Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat, 1998) dalam (Haryati, 2003).

Meskipun areal lahan kering luas, namun daya guna sumberdaya tanah tersebut

sangat bervariasi dimana ditentukan oleh keadaan fisik lingkungan, pembatas sifat

tanah, kesesuaian wilayah, teknologi, dan faktor sosial budidaya.

Dari segi tanah, potensial lahan kering sangat tergantung dari jenis-jenis tanah.

Sebagain besar lahan kering di Indonesia terdiri dari jenis podsolik, dimana dari segi

sifat tanah termasuk golongan marginal yang memerlukan teknologi pengelolaan yang

hati-hati dan intensif (Foth, 1994).

Tanah merupakan komponen penting dalam pertanian. Oleh karena itu,

berhasilnya suatu usaha pertanian tergantung pada perencanaan penggunaan tanah/lahan

Page 3: POLA TANAM AGROFORESTI

setempat. Perencanaan penggunaan lahan yang baik harus disesuaikan dengan

kemampuan dari lahan yang ada. Namun dengan peningkatan jumlah penduduk yang

terus –menerus menuntut para petani untuk meningkatkan produksinya, sehingga lahan-

lahan dengan kelas kemampuan IV, V, VI dengan kelas kesesuaian S3 dan N1 yang

sudah jelas merupakan lahan marginal untuk tanaman pangan juga menjadi sasaran

pemanfaatan. Akibat model pertanian seperti ini menyebabkan degradasi unsur hara,

pencucian , dan erosi tanah.

Agar kondisi seperti di atas tidak berlangsung terus-menerus, maka diperlukan

teknologi baru. Teknologi baru ini selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman,

efisien, mampu memperbaiki dan mengkonversi sumberdaya lahan dan air, teknologi ini

juga harus mempunyai manfaat yang berkelanjutan. Menurut Sutanto (2002), yang

dimaksud berkelanjutan adalah bahwa model yang dikembangkan harus dilihat

berdasarkan kemampuan untuk menghasilkan secara berkelanjutan-menghasilkan

sesuatu dalam jangka pendek, jangka menengah, demikian selanjutnya jangka panjang.

Penekanan diberikan pada sistem yang stabil sesuai dengan kondisi lingkungan

setempat dan tidak mudah berubah karena perubahan yang tiba-tiba (iklim dan pasar).

Akhirnya sistem yang dikembangkan harus berwawasan konservasi termasuk

mempertahankan konservasi tanah dan air, serta pengelolaan kesuburan tanah.

Karena pertanian di Indonesia tidak dapat menghindari penggunaan lahan

marginal dalam hal ini lahan kering yang tingkat kesuburannya rendah, maka

diperlukan suatu teknologi yang tepat, dimana selain memiliki fungsi produksi juga

Page 4: POLA TANAM AGROFORESTI

sebagai proteksi atau konservasi lingkungan. Kedua fungsi diatas dapat ditemui pada

sistem agroforestry dengan berbagai model atau pola didalamnya.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan salah satu bentuk pola tanam

dalam agroforestry yang dapat diterapkan pada lahan kering yaitu pola tanam alley

cropping berikut peluang dan kendala dalam penerapannya, keunggulan dan kelemahan

serta cara minimasi dan maksimasi pengaruhi negatif dan positif dari pola tersebut.

Page 5: POLA TANAM AGROFORESTI

II. BENTUK POLA TANAM DALAM SISTEM AGROFORESTRY

Agroforestry adalah bentuk atau sistem penggunaan lahan, dimana pemakai

lahan dapat memperoleh hasil tanaman pangan atau tanaman agronomi lain, tanaman

pakan ternak dan hasil kayu, secara simultan, serta dapat melestarikan sumberdaya

lahan tersebut. Dalam sistem agroforestry ada beberapa pola tanam, diantaranya adalah

bentuk pola tanam tiga strata, multistorey cropping, alley cropping, dan sebagainya

(Sutidjo, 1986).

Salah satu pola tanam yang populer dari sistem agroforestry yang mempunyai

ciri produktivitas tinggi dan dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang luas adalah

pola tanam tumpangsari berlorong atau lebih dikenal dengan istilah alley cropping.

Anonim (2003) mengatakan, Alley cropping adalah suatu cara pemeliharaan

lahan berlereng dengan menanam tanaman lorong atau pagar, yang dari tanaman

tersebut kita tidak hanya mengurangi resiko erosi melainkan kita juga memperoleh

manfaat lain dari tanaman lorong tersebut, misalnya mulsa (sisa-sisa tanaman yang

sangat cepat membusuk dan menjadi penyubur lahan), bahkan mungkin tanaman lorong

dapat digunakan sebagai makanan ternak.

Selanjutnya, Kang et al., (1984) menuliskan, Alley cropping merupakan salah

satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di

antara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak. Tanaman

pagar dipangkas secara periodik selama pertanaman untuk menghindari naungan dan

mengurangi kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim. Leucaena leucocephala

Page 6: POLA TANAM AGROFORESTI

merupakan jenis pohon leguminosa yang pertama diuji dalam sistem Alley cropping dan

menyusul Glinsidia sepium.

Menurut Haryati (2003) dalam memilih jenis leguminosa yang akan

diintroduksikan, selain dipilih tanaman yang sesuai dengan agroekosistem setempat,

mempunyai pengaruh negatif yang rendah, juga harus sesuai dengan tujuan utama

(prioritas masalah) yang akan dipecahkan, misalnya :

- Jika erosi menjadi masalah utama, maka Flemingia congesta menjadi pilihan utama

dalam Alley cropping.

- Jika pakan ternak menjadi masalah utama, maka Gliricidia sepium dan atau

Calliandra calothyrsus menjadi pilihan atau dikombinasikan dengan Flemingia

congesta.

- Jika tanah alkalin kuat, atau solum tanah <50 cm di atas batu kapur, maka Gliricidia

sepium yang dipilih.

- Jika ketinggian tempat >500 m dari permukaan laut, maka Calliandra calothyrsus

menjadi pilihan utama dan sebagai alternatif Gliricidia sepium atau Flemingia

congesta.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif

mengendalikan erosi. Di Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak

62 %, yang terdiri atas 48 % disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa,

8 % disebabkan oleh perubahan profil tanah dan 4 % oleh penanaman secara kontour

(Haryati, 2003).

Page 7: POLA TANAM AGROFORESTI

III. PELUANG DAN KENDALA POLA TANAM ALLEY CROPPING DI LAHAN KERING

A. PELUANG

Petani lahan kering pada umumnya bermodal rendah dengan tenaga kerja yang

langka, maka Alley cropping merupakan alternatif yang baik dibandingkan dengan teras

bangku. Pada lahan yang sudah terlanjur dibuat teras bangku, biasanya tanpa tanaman

penguat teras, memerlukan tanaman penguat teras berupa rumput dan leguminosa pohon

untuk lebih mengefektifkan dari teras bangku tersebut. Ini merupakan peluang

pengembangan leguminosa yang biasa ditanam dalam Alley cropping.

Adanya masalah kelangkaan hijauan pohon setiap musim kemarau di lahan

kering juga dapat menjadi pendorong kuatnya motivasi petani untuk menerapkan Alley

cropping. Untuk lebih mendayagunakan sistem ini hubungannya dengan kebutuhan

petani, maka Alley cropping dapat dimodifikasi, yaitu dengan mengkombinasikan

rumput pakan ternak pada barisan pagarnya atau ditanam secara berselang-seling antar

barisan tanaman pohon atau tanamn semusim. Menurut Shancez (1995) Alley cropping

lebih baik diterapkan pada kondisi dimana tanah cukup subur tanpa keterbatasan unsur

hara makro, curah hujan cukup selama masa pertanaman, lahan sangat miring dan erosi

tinggi, tenaga kerja banyak tersedia dan lahannya luas, serta status pemilikan tanah yang

aman

Pada daerah-daerah seperti Flores dan Lombok, pola tanam alley cropping cocok

untuk diterapkan, karena dengan cara demikian evapotranspirasi tanaman tidak terlalu

tinggi atau dapat dikurangi, dan mikroklimat serta kesuburan tanah dapat diperbaiki.

Pada lahan yang berlereng, lamtorogung dapat ditanam pada guludan-guludan yang

Page 8: POLA TANAM AGROFORESTI

dibuat mengikuti arah lereng sehingga sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi

(Sutidjo, 1986). Hal ini sejalan pula dengan pendapat Samosir (1996), Untuk

meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani di lahan kering dapat

dilakukan melalui pertanaman tumpangsari, karena pertanaman secara tumpangsari

pada lahan kering dapat memelihara kelembaban dan kadar air serta mengurangi erosi

dan meningkatkan kesuburan.

B. KENDALA

Secara sosial ekonomi, Alley cropping mempunyai beberapa tantangan untuk

dikembangkan di lahan kering diantaranya pandangan negatif petani teras bangku,

persepsi negatif petani (trauma) terhadap pengembangan tanaman Lamtoro, biaya sosial

tinggi untuk daerah marginal kritis, prioritas petani masih berorientasi pada keamanan

pangan (food security), kerawanan keamanan tanaman pagar dari masyarakat itu sendiri,

dan teknologi ini mengkonsumsi kesadaran, kesabaran, dan pengorbanan petani yang

tidak ringan (Haryati, 2003).

Selain hal tersebut, adanya persepsi petani, dengan penerapan budidaya lorong

mengurangi areal produksi yang dimiliki, sedangkan rata-rata pemilikan lahan usaha

tani sangat sempit. Penyediaan benih tanaman pagar/leguminosa dalam jumlah besar

juga menjadi kendala apabila sistem ini akan diterapkan pada skala luas.

Page 9: POLA TANAM AGROFORESTI

IV. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN POLA TANAM ALLEY CROPPING

A. KEUNGGULAN

A.1. Efektivitas Pengendalian Erosi

Efektivitas pengendalian erosi sangat tergantung pada jenis tanaman

pagar yang digunakan, jarak antara tanaman pagar dan kemiringan lahan. Alley

cropping menahan kehilangan tanah 93% dan air 83% dibandingkan pada

pertanaman tunggal semusin. Efektivitas pengendalian erosi ini juga

dikarenakan terbentuknya teras secara alami dan perlahan-lahan setinggi

25-30 cm pada dasar tanaman pagar.

Alegre dan Rao (1996) mengemukakan bahwa rendahnya erosi

disebabkan oleh hasil pangkasan yang sukar melapuk yang berfungsi sebagai

mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan, dan pemadatan tanah oleh

pekerja selama operasi di lapangan. Barisan tanaman pagar menurunkan

kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada air untuk

berinfiltrasi. Selanjutnya, tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu

berkurang untuk kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga

sistem ini menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya

menurunkan erosi.

A.2. Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman

Selain efektif pengendalian erosi, Alley cropping juga dapat

meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Alegre dan Rao (1996)

Page 10: POLA TANAM AGROFORESTI

mengemukakan bahwa sistem ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu

menurunkan BD (bulk density) dan meningkatkan konduktivitas hidraulik

tanah (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh Pertanaman Tunggal (semusim) dan Alley cropping terhadap BD (bulk density) dan Konduktivitas Hidraulik setelah 14 kali Pertanaman Semusim. 

PerlakuanBD

(kg/m3)Konduktivitas hidraulik

(cm/hari)Pertanaman tunggal (semusim) 1,43 18,5Alley cropping 1,29 50,0Hutan sekunder 1,20 99,8LSD (0,05) 0,06 6,8

Sumber : Alegre and Rao (1996)

Perbaikan sifat fisik ini disebabkan karena adanya perambahan residu

organik dari hasil pangkasan secara periodik ke tanah. Alley cropping juga

dapat mengingkatkan diameter agregat dan stabilitas agregat. Selain perbaikan

sifat fisik tanah, Alley cropping juga dapat meningkatkan unsur hara di dalam

tanah (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh Alley cropping terhadap Unsur Hara Dalam Tanah.

PerlakuanUnsur Hara

SumberC P K Ca Mg(%) mg/l me/100g

a. Tanpa Alley cropping 0,65 27,0 0,19 2,9 0,35Karg et al.

(1984)b. Dengan Alley cropping (Leucaena sp)

1,07 26,0 0,28 3,45 0,5

a. Tanpa Alley cropping 1,18 6,0 0,07 0,08 0,18Alegre and Rao

(1996)b. Dengan Alley cropping (Inga edulis)

1,32 9,1 1,13 0,96 0,22

Respon spatial dalam Alley cropping juga terjadi pada aktivitas

organisme di dalam tanah yang ditunjukkan oleh gradient spatial dan temporal

Page 11: POLA TANAM AGROFORESTI

dari aktivitas casting cacing tanah. Alley cropping dengan tanaman utama

kacang-kacangan juga dapat meningkatkan kehidupan mikrobiota tanah pada

tahun-tahun kering.

Perbaikan produktivitas tanah yang meliputi perbaikan sifat fisik tanah,

sifat kimia tanah dan aktivitas biologi tanah tentu saja akan sangat menunjang

pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya meningkatkan produksi tanaman

pangan/semusim yang ditanam pada lorongnya. Kang et al. (1984)

menambahkan bahwa hasil tanaman pangan/semusim yang ditanam dengan

Alley cropping lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa Alley cropping.

Contoh peningkatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Tanaman Jagung, Kacang Tunggak dan Ubikayu pada Alley Croppin

PerlakuanHasil tanaman (ton/ha)

Jagung Kacang tunggak UbikayuKontrol 2,8 0,7 23,0Alley cropping :      ~ Leucaena leucocephala - - -~ Glirisidia sepium 4,4 0,8 25,0~ Acioa barterii 3,2 - -

Sumber : Kang et al. (1984) ; keterangan : tanda (-) berarti tidak ada perlakuannya.

A.3. Adanya Interaksi Menguntungkan antara Tanaman Pagar dan Tanaman Pangan/Semusim.

Keunggulan lain sistem Alley cropping adalah dengan adanya interaksi

yang bersifat menguntungkan antara pangan dan tanaman utama

(pangan/semusim) menurut Mapa dan Gunasena (1995), sebagai berikut :

Page 12: POLA TANAM AGROFORESTI

a. Serasah dan hasil pangkasan (daun dan ranting) merupakan lapisan

pelindung sumber bahan organik untuk tanah.

b. Lapisan serasah menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari

permukaan tanah dan memperbaiki regim kelembaban tanah.

c. Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma dan

mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau.

d. Tanaman pagar dapat mengikat unsur N2 secara biologis dari udara dan

sebagai suplai nitrogen sehingga kebutuhan pupuk N dapat diturunkan.

e. Memberikan iklim mikro yang stabil, dengan penurunan kecepatan angin,

peningkatan kelembaban, memberikan naungan (misalnya Erythrina pada

pertanaman coklat atau kopi).

A.4. Diversifikasi Hasil Tanaman dan Sumber Pendapatan

Meskipun penerapan sistem agroforestry dengan pola tanam alley

cropping tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset

yang segera dapat diuangkan, diversifikasi tanaman merupakan jaminan terhadap

ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman dan resiko perkembangan pasar

yang sulit diperkirakan. Dalam tabel berikut diperlihatkan rincian pendapatan rata-

rata petani per tahun dari diversifikasi tanaman yang dilakukan.

Page 13: POLA TANAM AGROFORESTI

Tabel 4. Perincian Pendapatan rata-rata Petani Pertahun Menurut Jenis Tanaman pada Pola Tanam Campuran

Strata Pendapatan Rata-rata (Rp/th/ha) Jumlah

Bambu T.Pokok T.Kebun T.Buah Palawija

I 167.804 1.468.293 111.463 192.195 113.170 2.052.925

II 471.578 2.273.684 21.52 133.414 110.526 3.010.254

III 687.500 5.589.286 153.571 535.714 385.714 7.351.785

Rata-rata 442.294 3.110.421 95.362 287.107 203.137

Sumber : Riva (1998)

B. KELEMAHAN

Beberapa kelemahan sistem Alley cropping menurut Haryati (2003) adalah

sebagai berikut :

1. Mengurangi luas areal tanam sebanyak ± 20 – 22 %.

2. Meningkatnya biaya dan tenaga untuk penanaman, pemangkasan, pemulsaan dan

pemeliharaan tanaman pagar.

3. Efek allelophati (mengeluarkan aksudat yang bersifat racun bagi tanaman).

4. Menimbulkan interaksi yang tidak menguntungkan antara pohon dan tanaman

pangan/semusim :

a. Kompetisi cahaya : naungan pohon, menurunkan intensitas cahaya pada

level tanaman pangan/semusim.

Page 14: POLA TANAM AGROFORESTI

b. Kompetisi hara dan air : sistem perakaran tanaman pagar yang dangkal

akan berkompetisi dengan tanaman pangan semusim dalam hal hara dan air,

menurunkan penyerapan oleh akar tanaman pangan/semusim.

c. Tanaman pagar bisa sebagai inang hama dan penyakit bagi tanaman

pangan/semusim dan sebaliknya.

Page 15: POLA TANAM AGROFORESTI

V. MINIMASI DAN MAKSIMASI PENGARUH NEGATIFDAN POSITIF POLA TANAM ALLEY CROPPING

A. MINIMASI PENGARUH NEGATIF

Pengaruh negatif atau pengaruh tidak menguntungkan dalam sistem Alley

cropping dapat dikurangi dengan cara :

~ Pemangkasan secara periodik selama fase pertumbuhan tanaman utama untuk

mengurangi pengaruh naungan.

~ Memilih tanaman yang mempunyai kanopi lebih sempit tetapi rapat untuk

mengurangi kompetisi cahaya.

~ Memilih tanaman utama (pangan/sEmusim) yang toleran terhadap naungan.

~ Memilih jenis tanaman pagar yang mempunyai perakaran yang dalam untuk

menghilangkan kompetisi dengan tanaman utama tetapi cukup dekat untuk

mengendalikan gulma dan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari suplai

bahan organik.

B. MAKSIMASI PENGARUH POSITIF

Pengaruh positif dalam sistem Alley cropping dapat dimaksimalkan dengan cara

memilih tanaman pohon yang sesuai untuk ditumpangsarikan dengan tanaman semusim,

berdasarkan :

~ Bentuk dan distribusi kanopi

Pohon yang tinggi dengan kanopi yang sempit tetapi padat tidak akan memberikan

terlalu banyak naungan terhadap tanaman utama selama musim tanam. Sebaliknya,

pohon dengan kanopi yang lebar dan setengah terbuka akan memungkinkan cahaya

Page 16: POLA TANAM AGROFORESTI

menjangkau tanaman utama, tetapi tidak sesuai dalam mengendalikan gulma setelah

atau diantara periode pertanaman.

~ Kualitas dan kuantitas penyediaan bahan organik serasah

Untuk memaksimalkan pengaruh positif, pohon dengan serasah yang lambat

didekomposisi dikombinasikan dengan pohon yang mempunyai residu bahan

organik yang cepat terdekomposisi. Serasah dengan kualitas yang rendah dan lambat

didekomposisi sesuai untuk mulsa, melindungi permukaan tanah dari erosi.

Kombinasi dari serasah yang berkualitas rendah dan tinggi akan meningkatkan

sinkronisasi dari pelepasan hara dari residu organik dengan kebutuhan tanaman.

~ Kemampuan pertumbuhan

~ Kedalaman perakaran dan distribusinya

~ Tahan terhadap pemangkasan dan periodik

~ Tahan terhadap hama dan penyakit

~ Mempunyai kemampuan biologi untuk memfiksasi N2 - Udara

Page 17: POLA TANAM AGROFORESTI

VI. PENUTUP

Alley cropping merupakan salah satu pola tanam sistem agroforestry dimana

dilakukan penanaman tanaman semusim atau tanaman pangan diantara lorong-lorong

yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak. Alley cropping efektif

mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah,

meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan, serta diversifikasi hasil

tanaman dan pendapatan.

Alley cropping mempunyai peluang yang cukup strategis untuk dikembangkan

pada sistem usaha tani di lahan kering. Dan untuk lebih mendayagunakannya, Alley

cropping dapat dilakukan dengan mengkombinasikan leguminosa pohon dan rumput

pakan ternak. Kendala adopsi Alley cropping adalah kebutuhan tenaga kerja yang

tinggi, keterbatasan nilai tambah terhadap pendapatan usaha tani, sertra kurangnya

bahan tanaman khususnya dari jenis pakan ternak.

Alley cropping mempunyai keunggulan dan juga kelemahan, namun melalui

pengelolaan yang baik hal ini dapat diatasi. Kombinasi kompetisi di bagian atas

(naungan) dan bawah tanah (air dan hara) yang dapat diminimasi dengan cara

menghilangkan, mengurangi, atau menyesuaikan sistem pertanaman dengan Alley

cropping.

Page 18: POLA TANAM AGROFORESTI

DAFTAR PUSTAKA

Alegre, J.C., and M.R. Rao. 1996. Soil and Water Conservation by Countour Ledging in The Humid Tropics of Peru. Elsevier Science. BV.

Anonim. 2003. Teknologi Konservasi Tanah dan Air dengan Alley cropping. On line (www.bi.go.id/sipuk/lin/ind/alley cropping/htm ). Di akses 7 Januari 2003.

Foth, H.D., 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah; Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.

Hakim, N.,Nyakpa, M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A., Hong, G.B., dan Bailey, H.H., 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung, Lampung.

Haryati, U. 2003. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Alley cropping Serta Peluang dan Kendalanya di lahan Kering. On line ([email protected]). Diakses 7 Januari 2003.

Kang, B.T., G.F. Wilson, and T.L. Lawson. 1984. Alley Cropping a Stable Alternative to Shifting Cultivation. International Institute of Tropical Agriculture (IITA). Ibadan, Nigeria.

Mapa, R.B. and H.P.M. Gunasena. 1995. Effect of Alley cropping on Soil Agregate Stability of a Tropical Alfisol. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Riva, W.F., 1998. Pengelolaan Kebun Campuran Tradisional dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Rumah Tangga. Studi Kasus di Kampung Naga Salawu Jawa Barat. Dalam Kehutanan Masyarakat Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Huatn,. IPB dab The Ford Foundation; Hal 37 – 47.

Sanchez, P.A. 1995. Science in Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Samosir, S.S.R, 1996. Pengelolaan Lahan Kering. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional II Budidaya Lahan Kering. Dalam Dies Natalis XV Unhalu, Kendari.

Sutidjo, D., 1986. Pengantar Sistem Produksi Tanaman Agronomi. Buku Kuliah Disusun Dalam Rangka Kerjasama Institusional Fakultas Pertanian Unila-Institut Pertanian Bogor.

Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik; Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta.