penyelenggaraan sistem presidensil berdasarkan …

13
[77] PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA Oleh: Laurensius Arliman S [email protected] Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang (STIH Padang) dan Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Abstrak Pemerintahan sistem presidensil adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen. Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan “kombinasi yang sulit”, melainkan juga membuka peluang terjadinya deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial. Sistem pemerintahan dalam lintasan konstitusi yang berlaku adalah sebanyak 5 kali, hal ini terbagi dari: tiga kali memakai sisten presidensil, satu kali Parlementer Semu (Quasi Parlementer), dan satu kali memakai sistem presidensil. Dalam koalisi pemerintahan, parpol tidak bertanggung jawab menaikkan presiden dalam pemilu sehingga parpol cenderung meninggalkan presiden yang tidak lagi popular. Pemilu presiden selalu ada di depan mata sehingga partai politik berusaha sebisa mungkin menjaga jarak dengan berbagai kebijakan presiden, yang mungkin baik, tetapi tidak populis. Alasan ketidakcocokan, kemungkinan akan menjatuhkan pemerintah secara inkonstitusional. Besarnya peluang pergantian pemerintah secara inkonstitusional amat relatif karena dalam sistem presidensialisme amat sulit menurunkan presiden terpilih. Akibat multi partai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat keputusan berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis. Sebenarnya posisi Presiden sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilih oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. Kata Kunci: Presidensil. Konstitusi, Indonesia. Abstract A presidential system government is a government in which the executive position is not accountable to the representative body of the people, in other words the executive power is outside (direct) parliamentary oversight. Not only is presidentialism and a multiparty system a "difficult combination", it also opens up opportunities for deadlocks in executive and legislative relations which then impact on the instability of presidential democracy. The government system in the constitutional trajectory that applies is as much as 5 times, it is divided into: three times using a presidential system, one time Quasi Parliamentary (Quasi Parliamentary), and one time using a presidential system. In a coalition government, political parties are not responsible for raising the president in the election so political parties tend to leave the president who is no longer popular. Presidential elections are always there before the eyes so that political parties try as much as possible to keep distance from various presidential policies, which may be good, but not populist. The reason for the incompatibility, is likely to bring down the government unconstitutionally. The magnitude of the opportunity for unconstitutional change of government is very relative because in a presidential system it is very difficult to reduce an elected president. We can feel the multi-party effects in Indonesia, namely the difficulty of the President to make decisions relating to the problems of national life and strategic state. Actually the position of the President is very strong because the president is directly elected by the people not elected by the DPR. But in the case of the issuance and ratification of the presidential legislation the DPR needs support. Keywords: Presidential. The Constitution, Indonesia.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[77]

PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN KONSTITUSI

YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA

Oleh:

Laurensius Arliman S

[email protected]

Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang (STIH Padang) dan Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Abstrak Pemerintahan sistem presidensil adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak

bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada

diluar pengawasan (langsung) parlemen. Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan “kombinasi yang sulit”, melainkan juga membuka peluang terjadinya deadlock dalam

relasi eksekutif dan legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial.

Sistem pemerintahan dalam lintasan konstitusi yang berlaku adalah sebanyak 5 kali, hal ini terbagi dari: tiga kali memakai sisten presidensil, satu kali Parlementer Semu (Quasi Parlementer), dan satu

kali memakai sistem presidensil. Dalam koalisi pemerintahan, parpol tidak bertanggung jawab

menaikkan presiden dalam pemilu sehingga parpol cenderung meninggalkan presiden yang tidak lagi popular. Pemilu presiden selalu ada di depan mata sehingga partai politik berusaha sebisa mungkin

menjaga jarak dengan berbagai kebijakan presiden, yang mungkin baik, tetapi tidak populis. Alasan

ketidakcocokan, kemungkinan akan menjatuhkan pemerintah secara inkonstitusional. Besarnya

peluang pergantian pemerintah secara inkonstitusional amat relatif karena dalam sistem presidensialisme amat sulit menurunkan presiden terpilih. Akibat multi partai di Indonesia dapat kita

rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat keputusan berkaitan dengan masalah

kehidupan berbangsa dan negara yang strategis. Sebenarnya posisi Presiden sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilih oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan

pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR.

Kata Kunci: Presidensil. Konstitusi, Indonesia.

Abstract A presidential system government is a government in which the executive position is not accountable

to the representative body of the people, in other words the executive power is outside (direct) parliamentary oversight. Not only is presidentialism and a multiparty system a "difficult

combination", it also opens up opportunities for deadlocks in executive and legislative relations which

then impact on the instability of presidential democracy. The government system in the constitutional

trajectory that applies is as much as 5 times, it is divided into: three times using a presidential system, one time Quasi Parliamentary (Quasi Parliamentary), and one time using a presidential system. In a

coalition government, political parties are not responsible for raising the president in the election so

political parties tend to leave the president who is no longer popular. Presidential elections are always there before the eyes so that political parties try as much as possible to keep distance from various

presidential policies, which may be good, but not populist. The reason for the incompatibility, is likely

to bring down the government unconstitutionally. The magnitude of the opportunity for unconstitutional change of government is very relative because in a presidential system it is very

difficult to reduce an elected president. We can feel the multi-party effects in Indonesia, namely the

difficulty of the President to make decisions relating to the problems of national life and strategic

state. Actually the position of the President is very strong because the president is directly elected by the people not elected by the DPR. But in the case of the issuance and ratification of the presidential

legislation the DPR needs support.

Keywords: Presidential. The Constitution, Indonesia.

Page 2: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[78]

Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042

A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berpatokan kepada konstitusi suatu

negara, umumnya digunakan untuk

mengatur dan sekaligus untuk membatasi

kekuasaan negara. Melalui konstitusi, dapat

dilihat sistem pemerintahan, bentuk negara,

sistem kontrol antara kekuasaan negara,

jaminan hak-hak warga negara dan tidak

kalah penting mengenai pembagian

kekuasaan antar unsur pemegang kekusaan

negara seperti kekuasaan pemerintahan

(eksekutif), kekuasaan legislatif, dan

kekuasaan yudisial.1

Perkembangan demokrasi modern

menurut Kranenburg, demokrasi modern

dapat dibagai dalam tiga kelas, tergantung

pada hubungan antara organ-organ

pemerintahan yang mewakili tiga fungsi

yang berbeda.2 Klasifikasi tersebut yaitu: (1)

pemerintahan rakyat melalui perwakilan

dengan sistem parlementer. (2) pemerintahan

rakyat melalui perwakilan dengan sistem

pemisahan kekuasaan. (3) pemerintahan

rakyat melalui perwakilan dengan disertai

pengawasan langsung oleh rakyat.3

Sedangkan Miriam Budiardjo4

membedakan hal di atas, kedalam dua

1 Laurensius Arliman S, Polemik Sistem

Presidensil dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di

Indonesia, Makalah yang disampaikan dalam seminar

nasional yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Ekasakti bekerjasama dengan

Perhimpunan Hukum Progresif Universitas Ekasakti

pada tanggal 19 November 2019 di Auditorium

Universitas Ekasakti, Padang, Sumatera Barat, hlm. 1. 2 M Taufiqurahman, Peran Perancang

Peraturan Perundang-Undangan Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Pengawasan

Produk Hukum Daerah Melalui Executive Preview,

Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019,

10.22216/soumlaw.v2i2.4341. 3 Joeniarto, Demokrasi dan Sistem

Pemerintahan Negara, Bina Aksara, Yogyakarta,

1982, hlm. 69. 4 Miriam Budardjo, Dasar-Dasar Ilmu

Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hlm.

301-303

kelompok sistem, yaitu: Sistem parlementer

(parliamentary executive) dan sistem

presidensil dengan fixed executive atau non

parliamentary executive.

Pemerintahan sistem presidensil adalah

suatu pemerintahan dimana kedudukan

eksekutif tidak bertanggung jawab kepada

badan perwakilan rakyat, dengan kata lain

kekuasaan eksekutif berada diluar

pengawasan (langsung) parlemen. Presiden

dalam sistem ini memiliki kekuasaan yang

kuat, karena selain sebagai kepala negara

juga sebagai kepala pemerintahan yang

mengetuai/mengepalai kabinet (dewan

menteri).5 Oleh karena itu, agar tidak

menjurus kepada diktatorisme, maka

diperlukan checks and balances, antara

lembaga tinggi negara inilah yang disebut

checking power with power.6

Menurut Rod Hague, di dalam

pemerintahan presidensil, setidaknya terdiri

dari tiga unsur yaitu:7

a) Presiden yang dipilih rakyat memimpin

pemerintahan dan mengangkat pejabat-

pejabat pemerintahan yang terkait;

b) Presiden dengan dewan perwakilan

memiliki masa jabatan yang tetap, tidak

bisa saling menjatuhkan; dan

c) Tidak ada status yang tumpang tindih

antara badan eksekutif dan badan

legislatif.

Presiden dalam sistem presidensil,

memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak

dapat dijatuhkan karena rendahnya

dukungan politik. Namun masih ada

5 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan

Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 53. 6 Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem

Politik Indonesia, Refika Aditama, Bandung,

2005, hlm. 14. 7 Rod Hague-et al, Comparative Government

and Politics, MacMillan Press, London, 1998, hlm.

26.

Page 3: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[79]

Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89

mekanisme untuk mengontrol presiden.8 Jika

presiden melakukan pelanggaran konstitusi,

pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat

masalah kriminal, posisi presiden bisa

dijatuhkan. Bila presiden diberhentikan

karena pelanggaran-pelanggaran tertentu,

biasanya seorang wakil presiden akan

menggantikan posisinya.

Presiden bertanggungjawab kepada

pemilihnya (kiescollege). Sehingga seorang

presiden diberhentikan atas tuduhan House

of Representattives (Dewan Perwakilan

Amerika Serikat yang di Indonesia adalah

Dewan Perwakilan Rakyat RI) misal, sistem

pemerintahan presidensial di USA setelah

diputuskan oleh senat.9

Adapun ciri-ciri dari sistem

presidensial adalah:10 a) Presiden adalah

kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya

yang semuanya diangkat olehnya dan

bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus

sebagai kepala negara (lambang negara)

dengan masa jabatan yang telah ditentukan

dengan pasti oleh UUD; b) Presiden tidak

dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih

oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia

bukan bagian dari badan legislatif seperti

dalam sistem pemerintahan parlementer; c)

Presiden tidak bertanggung jawab kepada

badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan

oleh badan legislatif; dan d) Sebagai

imbangannya, presiden tidak dapat

membubarkan badan legislatif.

Arend Lijphart11 memandang dari segi

praktek, sistem presidensil memang

8 Arni Sabit, Perwakilan Politik Indonesia,

CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 12. 9 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum

Tata Negara Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta,

2006, hlm. 101. 10 C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik

Modern, Nuansa Nusa Media, Bandung,

2004, hlm. 381. 11 Arend Lijphart, Parliamentary versus

Presidential Government, Oxford University Press,

New York, 2002,hlm. 11-15.

memberikan beberapa keuntungan

(dibanding sistem parlementer) yaitu: a)

Stabilitas eksekutif yang didasarkan oleh

jaminan terhadap kepastian lamanya jabatan

presiden. Hal ini berbeda dengan sistem

parlementer yang lebih memungkinkan

terjadinya instabilitas eksekutif yang

disebabkan oleh besarnya memungkinan

penggunaan kekuasaan parlemen untuk

menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak

percaya atau juga tanpa mosi tidak percaya

secara formal ketika kabinet telah

kehilangan dukungan mayoritas anggota

parlemen; b) pemilihan umum terhadap

presiden dapat dianggap lebih demokratis

dari pada pemilihan secara tidak langsung

baik formal maupun secara informal

sebagaimana eksekutif dalam sistem

parlementer; dan c) adanya pemisahan

kekuasaan yang berarti pembatasan terhadap

kekuasaan eksekutif yang merupakan

proteksi yang sangat berharga untuk

kebebasan individu terhadap pemerintahan

tirani.

Namun di sisi lain, sistem presidensil

juga mengandung beberapa kelemahan,

yaitu:12 a) konflik antara parlemen dan

eksekutif yang dapat menyebabkan ke-

buntuan (deadlock) dan kelumpuhan. Hal ini

dapat saja tidak terhindarkan akibat

kedudukan kedua lembaga yang sama- sama

independen. Ketika konflik atau

ketidaksepakatan terjadi, maka tidak ada

institusi yang dapat menyelesaikan masalah

tersebut; b) kekakuan pemerintahan dalam

batas waktu tertentu (temporal rigidity). Hal

ini disebabkan oleh masa jabatan Presiden

yang tetap dapat menyebabkan proses politik

menjadi terhambat dan tidak menyisakan

ruang untuk penyesuaian sesuai kebutuhan;

12 Dinoroy Marganda Aritonang, Penerapan

Sistem Presidensil Di Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 22,

Nomor 2, 2010, hlm. 394.

Page 4: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[80]

Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042

dan c) berlakunya sistem “the winner takes

all” yang menyebabkan hanya satu kandidat

dan partai yang menang, dan yang lain

kalah. Selain itu, sistem ini menyebabkan

Presiden akan susah untuk bernegosiasi atau

berkoalisi dengan oposisi jika dalam waktu

tertentu muncul masalah yang membutuhkan

penyelesaian.

Melalui sistem presidensil dapat

disimpulkan beberapa kewenangan Presiden

yang biasa dirumuskan dalam Konstitusi

berbagai negara, yang mencakup lingkup

kewenangan sebagai berikut:13

a) Kewenangan yang bersifat eksekutif atau

menyelenggarakan sistem pemerintahan

berdasarkan Konstitusi (to govern based

on the constitution). Bahkan dalam sistem

yang lebih ketat, semua kegiatan pe-

merintahan yang dilakukan oleh presiden

haruslah didasarkan atas perintah

konstitusi dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Sehingga

kecenderungan discretionary power

dibatasi sesempit mungkin wilayahnya;

b) Kewenangan yang bersifat legislatif atau

untuk mengatur kepentingan umum atau

publik (to regulate public affair based on

the law and the constitution). Dalam

sistem pemisahan kekuasaan (separation

of power), kewenangan untuk mengatur

ini dianggap ada di tangan lembaga

perwakilan, bukan di tangan eksekutif.

Jika lembaga eksekutif merasa perlu

mengatur, maka kewenangan mengatur di

tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari

kewenangan legislatif. Artinya, Presiden

tidak boleh menetapkan suatu peraturan

yang bersifat mandiri;

c) Kewenangan yang bersifat judisial dalam

rangka pemulihan keadilan yang terkait

dengan putusan pengadilan, yaitu untuk

13 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan

Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD

1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 75-77.

mengurangi hukuman, memberikan

pengampunan, ataupun menghapuskan

tuntutan yang terkait erat dengan

kewenangan pengadilan. Dalam sistem

parlementer yang mempunyai kepala

negara, ini biasanya mudah dipahami

karena adanya peran simbolik yang

berada di tangan kepala negara. Tetapi

dalam sistem presidensil, kewenangan

untuk memberikan grasi, abolisi dan

amnesti itu ditentukan berada di tangan

Presiden;

d) Kewenangan yang bersifat diplomatik,

yaitu menjalankan perhubungan dengan

negara lain atau subjek hukum

internasional lainnya dalam konteks

hubungan luar negeri, baik dalam

keadaan perang dan damai;

e) Kewenangan yang bersifat adminstratif

untuk mengangkat dan mem- berhentikan

orang dalam jabatan- jabatan kenegaraan

dan jabatan-jabatan administrasi negara.

Hal ini disebabkan pula karena presiden

juga merupakan kepala eksekutif; dan

f) Kewenangan dalam bidang keamanan,

yakni untuk mengatur polisi dan angkatan

bersenjata, menyelenggarakan perang,

pertahanan negara, serta keamanan dalam

negeri.

Problematika sistem presidensial pada

umumnya terjadi ketika ia dikombinasikan

dengan sistem multipartai, apalagi dengan

tingkat fragmentasi dan polarisasi yang

relatif tinggi. Presidensialisme dan sistem

multipartai bukan hanya merupakan

“kombinasi yang sulit”, melainkan juga

membuka peluang terjadinya deadlock

dalam relasi eksekutif dan legislatif yang

kemudian berdampak pada instabilitas

demokrasi presidensial.14 Sistem multipartai

14 Laurensius Arliman S, Lembaga-

Lembaga Negara (Di Dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Deepublish,

Yogyakarta, 2016, hlm. 31.

Page 5: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[81]

Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89

dewasa ini, ternyata gagal memberikan

sumbangan kepada negara karena tidak

mengkondisikan pembentukan kekuatan

oposisi yang diperlukan untuk menopang

rezim dan pemerintahan yang kuat, stabil,

dan efektif secara demokratik.15 Bersamaan

dengan itu, sistem multipartai tidak pula

berfungsi untuk melandasi praktik politik

check and balances, baik diantara lembaga

negara maupun fraksi pemerintah dengan

fraksi lainnya di lembaga perwakilan rakyat.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah

diuraikan di atas dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian yaitu:

1. Bagaimana sistem pemerintahan dalam

lintasan konstitusi yang berlaku?

2. Bagaimana polemik sistem Presidensil

dalam penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia?

C. PEMBAHASAN

1. Sistem Pemerintahan dalam Lintasan

Konstitusi yang Berlaku di Indonesia

Sistem Pemerintahan Periode 1945 –

1949 (18 Agustus 1945 – 27 Desember

1949)

Sistem pemerintahan yang dikehendaki

oleh UUD 1945 orisinil ini adalah

presidensial. Akan tetapi dua bulan setelah

penetapan UUD 1945 sebagai hukum dasar

negara Indonesia, sistem pemerintahannya

mengalami pergeseran menjadi parlementer.

Hal ini diakibatkan karena pada periode ini

kekuasaan pemerintahan cenderung

tersentralisasi. Hal yang demikian itu

dikarenakan lembaga-lembaga legislatif

seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) ataupun Dewan Perwakilan Rakyat

15 Laurensius Arliman S, Keterbukaan

Keuangan Partai Politik Terhadap Praktik Pencucian

Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Cita

Hukum, Vol. 4, No. 2, 2016, doi: 10.15408/jch.v4i2.3

433.

(DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA)

belum dapat dibentuk. Pasal IV Aturan

Peralihan UUD 1945 menyebutkan bahwa

sebelum lembaga-lembaga seperti MPR,

DPR, atau DPA dibentuk, kekuasaannya

dipegang oleh Presiden yang dibantu oleh

komite nasional (KNIP). Inilah yang

menyebabkan kekuasaan Presiden pada saat

itu sangat besar.

Oleh karena itu, demi menghindari

absolutisme/kemutlakan kekuasaan presiden

maka dilahirkan kebijakan-kebijakan yang

memungkinkan pelaksanaan pemerintahan

negara tetap berjalan demokratis. Kebijakan-

kebijakan tersebut antara lain adalah sebagai

berikut: a) Maklumat Pemerintah No. X

Tanggal 16 Oktober 1945 tentang Perubahan

Fungsi KNIP menjadi Fungsi Parlemen;16 b)

Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November

1945 mengenai Pembentukan Partai

Politik;17 dan c) Maklumat Pemerintah

Tanggal 14 November 1945 mengenai

Perubahan dari Kabinet Presidensial ke

16 Maklumat Pemerintah tersebut memuat

diktum yang intinya, sebagai berikut: a) Komite

Nasional Pusat sebelum terbentuk MPR dan DPR

(hasil pemilihan umum) diserahi kekuasaan legislatif

dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;

dan b) Menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional

Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya

keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang

dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab

kepada Komite Nasional Pusat. Dengan lahirnya maklumat tersebut menegaskan bahwa kekuasaan

legislatif dipegang oleh KNIP. Hal tersebut tentunya

tidak lagi sejalan dengan amanah Pasal IV Aturan

Peralihan UUD 1945 yang menugasi KNIP sebagai

pembantu presiden. Dengan adanya maklumat ini

berarti pula kekuasaan presiden dalam bidang

legislatif berkurang. 17 Maklumat Pemerintah Tanggal 3

November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik

merupakan upaya pemerintah saat itu dalam

memberikan kesempatan rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan. Dengan lahirnya maklumat ini, ide

untuk mendirikan partai-partai politik sebagai bentuk

pemberian kesempatan partisipatif rakyat seluas-

luasnya melalui sistem multi partai mendapatkan

tempat.

Page 6: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[82]

Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042

Kabinet Parlementer.18 Kontradiksinya,

sistem parlementer membawa konsekuensi

bahwa kekuasaan parlemen lebih kuat

daripada kekuasaan eksekutif, maka

penerapan demokrasi sulit untuk

berkembang.

Sistem pemerintahan Periode 1949 –

1950 (27 Desember 1949 – 15 Agustus

1950)

Undang-Undang Republik Indonesia

Serikat, Konstitusi Republik Indonesia

Serikat atau lebih dikenal dengan sebutan

Konstitusi RIS adalah konstitusi yang

berlaku di Republik Indonesia Serikat

(federasi) sejak tanggal 27 Desember 1949

(yakni tanggal diakuinya kedaulatan

Indonesia dalam bentuk RIS) hingga

diubahnya kembali bentuk negara federal

RIS menjadi negara kesatuan Republik

Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat

disahkan sebagai undang-undang dasar

negara berkaitan dengan pembentukan

Republik Indonesia Serikat oleh hasil

Konfrensi Meja Bundar, sejak 27 Desember

18 Selanjutnya, Maklumat Pemerintah

Tanggal 14 November 1945 mengenai Perubahan

Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer

membawa konsekuensi bahwa sistem

pertanggungjawaban Presiden yang semula kepada

MPR menjadi Presiden bersama-sama Menteri-

menteri bertanggungjawab kepada parlemen (KNIP).

Berdasarkan maklumat ini berarti sistem pemerintahan yang semula presidensial mengalami

perubahan menjadi sistem pemerintahan parlementer.

Presiden tidak lagi merangkap jabatan sebagai kepala

negara dan kepala pemerintahan melainkan hanya

kepala negara saja. Dari pernyataan tersebut sekali

lagi kekuasaan presiden mengalami pengurangan.

Gagasan pluralistik atau demokrasi yang pluralistik

terwakili oleh lahirnya Maklumat Pemerintah

Tanggal 14 Nopember 1945. Maklumat tersebut

secara mendasar telah merubah sistem ketatanegaraan

kearah pemberian porsi yang besar kepada peranan rakyat dalam partisipasinya menyusun kebijakan

pemerintahan negara. Lebih lanjut lihat dalam: Benny

Bambang Irawan, Perkembangan Demokrasi di

Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan Dinamika

Masyarakat, Vol. 5 No.1, 2007 hlm. 54-64.

1949 berdasarkan poin pertama dan kedua.

Pemberlakuan Konstitusi Republik

Indonesia Serikat tidak serta merta mencabut

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena

perbedaan ruang lingkup penerapan.

Sistem Pemerintahan yang berlaku

pada konstitusi RIS adalah Parlementer

Semu (Quasi Parlementer). Dimana

berdasarkan pasal 118 ayat 2 menyebutkan

sebagai berikut “ Presiden tidak dapat

diganggu gugat. Tanggung jawab

kebijaksanaan pemerintah berada ditangan

menteri, tetapi apabila kebijakan

menteri/para menteri ternyata tidak dapat

dibenarkan oleh DPR, maka menteri/para

menteri-menteri itu harus mengundurkan

diri, atau DPR dapat membubarkan menteri-

menteri (kabinet) tersebut dengan alasan

mosi tidak percaya, jadi kedudukan kabinet

sangat tergantung pada parlemen (DPR).

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan

parlementer adalah sebagai berikut:

a) Badan legislatif atau parlemen adalah

satu-satunya badan yang anggotanya

dipilih langsung oleh rakyat melalui

pemilihan umum. Parlemen memiliki

kekuasaan besar sebagai badan

perwakilan dan lembaga legislatif;

b) Anggota parlemen terdiri atas orang-

orang dari partai politik yang

memenangkan pemiihan umum. Partai

politik yang menang dalam pemilihan

umum memiliki peluang besar menjadi

mayoritas dan memiliki kekuasaan besar

di parlemen;

c) Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas

para menteri dan perdana menteri sebagai

pemimpin kabinet. Perdana menteri

dipilih oleh parlemen untuk melaksakan

kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini,

kekuasaan eksekutif berada pada perdana

menteri sebagai kepala pemerintahan.

Anggota kabinet umumnya berasal dari

parlemen;

Page 7: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[83]

Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89

d) Kabinet bertanggung jawab kepada

parlemen dan dapat bertahan sepanjang

mendapat dukungan mayoritas anggota

parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-

waktu parlemen dapat menjatuhkan

kabinet jika mayoritas anggota parlemen

menyampaikan mosi tidak percaya

kepada kabinet;

e) Kepala negara tidak sekaligus sebagai

kepala pemerintahan. Kepala

pemerintahan adalah perdana menteri,

sedangkan kepala negara adalah presiden

dalam negara republik atau raja/sultan

dalam negara monarki. Kepala negara

tidak memiliki kekuasaan pemerintahan.

Ia hanya berperan sebgai symbol

kedaulatan dan keutuhan negara; dan

f) Sebagai imbangan parlemen dapat

menjatuhkan kabinet maka presiden atau

raja atas saran dari perdana menteri dapat

membubarkan parlemen. Selanjutnya,

diadakan pemilihan umum lagi untuk

membentukan parlemen baru.

g) Pemerintah berhak atas kekuasaan

pembentukan Undang-Undang Darurat,

Undang-Undang Darurat mempunyai

kekuatan atas Undang-Undang Federasi.

Sistem pemerintahan Periode 1950 –

1959 (15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

Undang-Undang Dasar Sementara

Republik Indonesia, atau dikenal dengan

UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku

di negara Republik Indonesia sejak 17

Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekret

Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi

Sementara Republik Indonesia Serikat

menjadi Undang-Undang Dasar Sementara

Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama

Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal

14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini

dinamakan "sementara", karena hanya

bersifat sementara, menunggu terpilihnya

Konstituante hasil pemilihan umum yang

akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan

Umum 1955 berhasil memilih Konstituante

secara demokratis, tetapi Konstituante gagal

membentuk konstitusi baru hingga berlarut-

larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden

Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5

Juli 1959, yang antara lain berisi kembali

berlakunya UUD 1945.

Pemilihan Umum 1955 berhasil

memilih Konstituante secara demokratis,

namun Konstituante gagal membentuk

konstitusi baru hingga berlarut-larut. Pada 5

Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno

mengeluarkan dekrit yang diumumkan

dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi

dekrit presiden 5 Juli 1959 antara lain:19 a)

Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak

berlakunya lagi UUDS 1950; b) Pembubaran

Konstituante; dan c) Pembentukan MPRS

dan DPAS. Dikeluarkannya dekrit presiden

ini diiringi dengan perubahan sistem

pemerintahan dari parlementer ke

presidensial.

Sistem Pemerintahan Periode 1959-

1966 (Orde Lama)

Pasca dikeluarkannya dekrit tersebut

munculah Demokrasi Terpimpin. Salah satu

isi dekrit adalah kembali berlakunya UUD

1945. Hal ini merupakan dampak positif

dengan adanya dekrit. Selain itu dekrit juga

mampu menyelamatkan negera dari

perpecahan dan krisis politik yang berlarut-

larut tidak kunjung selesai. Akan tetapi,

ternyata keluarnya dekrit juga menimbulkan

dampak negatif antara lain memberikan

peluang bagi militer untuk terjun ke dunia

politik dan kekuasaan presiden menjadi

semakin kuat, cenderung ke otoriter.

Pada masa Demokrasi Terpimpin

(1959-1966), nampak sekali dominasi dari

19 Laurensius Arliman S, Ilmu Perundang-

Undangan Yang Baik Untuk Negara Indonesia,

Deepublish, Yogyakarta, 2016, hlm. 45.

Page 8: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[84]

Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042

presiden. Presiden menafsirkan Demokrasi

Terpimpin, merupakan demokrasi yang

dipimpin oleh Presiden sendiri, maka

muncul atribut Pemimpin Besar Revolusi.20

Presiden menjabat berbagai jabatan penting,

antara lain ketua MPRS dan DPAS. Sistem

pemerintahan menjadi sistem pemerintahan

presidensil. Pada akhirnya Demokrasi

Terpimpin harus berakhir sekaligus

berakhinya kekuasaan presiden Soekarno

dan berganti dengan Soeharto.21 Pangkal dari

itu adalah peristiwa pembunuhan para

Jenderal oleh anggota PKI. Semenjak itu

wibawa presiden semakin merosot. Demo

hampir setiap hari dilakukan dan mencapai

puncaknya pada tanggal 12 Januari 1966

ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia

(KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar

Indonesia (KAPPI) yang tergabung dalam

Front Pancasila, melakukan tiga tuntutan

rakyat. Tritura berisi pembubaran PKI dan

ormas-ormasnya, pembersihan kabinet

Dwikora dari unsur PKI serta penurunan

harga.

Karena semakin terpojok, maka

presiden mengeluarkan surat perintah

sebelas maret (Supersemar) kepada Soeharto

yang isinya memerintahkan kepada Letnan

Soeharto agar mengambil tindakan untuk

menjamin keamanan, ketenangan, dan

kestabilan jalannya pemerintahan, demi

keutuhan bangsa dan negara Republik

Indonesia. Sesuai ketetapan MPRS Np

XIII/MPRS/1966, Letnan Soeharto diangkat

sebagai pengemban Supersemar pada

tanggal 25 Juli 1966 membentuk Kabinet

Ampera. Hal ini menandakan bahwa

20 Laurensius Arliman S, Perlindungan

Hukum Bagi Anak dalam Perspektif Pancasila dan

Bela Negara, Jurnal Unifikasi, Vol. 5, No. 1, 2018, hlm. 67.

21 Laurensius Arliman S, Fungsi Badan

Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

Padang, Jural Ilmiah Hukum De’Jure, Vol. 1, No. 2,

2017, hlm. 78.

Demokrasi Terpimpin berganti dengan

Demokrasi Pancasila.

Sistem Pemerintahan Periode 1966-

1998 (Orde Baru)

Orde Baru berlangsung dari tahun

1966 hingga 1998. Pada 1968, MPR secara

resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan

5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian

dilantik kembali secara berturut-turut pada

tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan

1998. Sistem pemerintahan Presidensial,

bentuk pemerintahan Republik dan UUD

1945 sebagai dasar konstitusi atau undang-

undang yang berlaku. Secara sistem,

pemerintahan Orde Baru tidak memiliki

perubahan berarti dari era sebelumnya.

Namun tetap ada beberapa perbedaan

mendasar dilihat dari masa orde baru yang

diubah karena dianggap sebagai

penyimpangan di masa orde lama.22

Sistem pemerintahan masa Orde Baru

mengubah tatanan kehidupan rakyat dan

negara dengan berlandaskan kemurnian

pelaksanaan Pancasila serta UUD 1945

untuk setiap kebijakan pemerintah. Beberapa

pokok sistem pemerintahan pada masa Orde

Baru yang tercantum pada Penjelasan UUD

1945 yaitu:

a) Kekuasaan negara tertinggi berada di

tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR)

b) Presiden adalah penyelenggara

pemerintahan negara tertinggi dan berada

di bawah Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR)

c) Menteri adalah pembantu Presiden dan

tidak bertanggung jawab kepada Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR)

d) Presiden tidak bertanggung jawab kepada

DPR

22 Sayid Anshar, Konsep Negara Hukum

dalam Perspektif Hukum Islam, Soumatera Law

Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumla

w.v2i2.4136.

Page 9: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[85]

Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89

e) Kekuasaan yang dimiliki Kepala Negara

atau Presiden tidak tak terbatas.

Pelaksanaan pemerintahan Orde Baru

pada prakteknya menyimpang dari pokok-

pokok awalnya. Kekuasaan dipegang penuh

oleh Presiden dan walaupun pada awalnya

kehidupan demokrasi di Indonesia

menunjukkan kemajuan, tetapi dalam

perkembangannya ternyata tidak jauh

berbeda prakteknya dengan masa Demokrasi

Terpimpin. Jika dulunya pemerintah

Indonesia pada masa Orde Baru berniat

menjalankan Demokrasi Pancasila dan

memutuskan sistem berdasarkan Trias

Politika, tetapi hal tersebut juga tidak

berjalan dengan baik.23

Hampir semua kewenangan Presiden

yang diatur menurut UUD 1945 dilakukan

tanpa keterlibatan pertimbangan dan

persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.

Sistem demikian bisa berdampak positif

dengan kendali di tangan Presiden maka

seluruh penyelenggaraan pemerintahan bisa

dikendalikan sehingga pemerintahan lebih

solid, stabil dan tidak mudah digoyahkan.

Akan tetapi tanpa adanya pengawasan dan

persetujuan DPR maka kewenangan

Presiden menjadi mudah disalahgunakan.

23 Hal ini bisa dilihat dari beberapa

peraturan berikut yang membuat UUD 1945 menjadi

konstitusi yang sangat sakral yaitu: a) Ketetapan

MPR nomor I/MPR/1983 menyatakan bahwa MPR

telah menetapkan untuk mempertahankan UUD 1945

dan tidak akan merubahnya; b) Ketetapan MPR

nomor IV/MPR/1983 mengenai Referendum yang

antara lain menyatakan bahwa apabila MPR hendak

mengubah UUD 1945 maka rakyat terlebih dulu

harus dimintai pendapat melalui referendu; c)

Undang-undang Nomor 5 tahun 1985 mengenai

Referendum yang menjadi suatu pelaksanaan dari Tap MPR sebelumnya; serta d) Silakukan perampingan

partai-partai politik sehingga hanya menjadi tiga

partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai

Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Perjuangan

Indonesia (PDI).

Sistem Pemerintahan Periode 1998 –

Amandemen ke-4 (Reformasi)

Salah satu ketentuan yang sangat

menandakan kuatnya sistem presidensil

dalam UUD 1945 tersirat dalam Pasal 7C,

yang menyatakan Presiden tidak dapat

membekukan dan/atau membubarkan DPR.

Beberapa kondisi lain yang

menandakan semakin kuatnya menganut

sistem presidensil di Indonesia, yaitu:

a) Digunakannya istilah ‘Presiden’ sebagai

kepala pemerintahan sekaligus kepala

negara. Tidak dikenal adanya pemisahan

dua fungsi tersebut, sebagaimana

lazimnya dalam budaya demokrasi

parlementer;

b) Dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan,

sebagaimana dilihat dalam Pasal 1 ayat

(2), kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini

menandakan, tidak ada satu lembaga pun

yang lebih supreme dari lembaga lainnya.

Semua lembaga negara yang termasuk

main organ berada dalam kedudukan

yang setara dengan fungi masing-masing;

c) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

dengan menggunakan sistem pemilih- an

langsung oleh rakyat, sebagaimana diatur

dalam Pasal 6A. Format pemilihan umum

yang terpisah antara pemilu legislatif dan

Presiden dan Wapres turut menandakan

dianutnya sistem presidensil. Sebab, jika

pada pemilu legislatif salah satu partai

menguasai kursi parlemen (meskipun

tidak mayoritas), tidak otomatis

menjadikan pemimpin partai tersebut

menjadi seorang kepala pemerintahan.

Sebagaimana lazimnya dalam budaya

demokrasi parlementer;

d) Kewenangan Presiden dalam legislasi

yang hanya menjadi pengusul sebuah

RUU kepada DPR, sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 ayat (1). Hal ini berbeda

dengan format kewenangan legislasi yang

Page 10: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[86]

Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042

sebelumnya diatur dalam UUD 1945 pra-

amandemen, di mana kekuasaan legislasi

pada dasarnya berada di tangan Presiden;

e) Pengangkatan dan pemberhentian menteri

merupakan hak prerogatif Presiden tanpa

perlu mekanisme per- setujuan dari DPR,

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat

(2). Oleh karena itu, tanggung jawab

pemerintahan sepenuhnya berada di

tangan Presiden;

f) Penggunaan “fixed tenure of office” untuk

Presiden dan Wakil Presiden yaitu 5

(lima) tahun. Hal ini dapat dilihat dalam

Pasal 7;

g) Lama jabatan tersebut ditegaskan pula

dalam Pasal 3 ayat (3), yang menyatakan

bahwa, MPR hanya dapat

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya menurut

UUD. Yang tidak lain adalah mekanisme

impeachment, sebagaimana diatur pula

dalam Pasal 7A.

h) Presiden tidak bertanggung jawab kepada

lembaga politik tertentu tetapi langsung

kepada rakyat pemilihnya. Sebagai

konsekuensi legal dan politis dari

dianutnya sistem pemilihan secara

langsung bagi Presiden dan Wakil

Presiden. Meskipun secara praktek,

Presiden pada setiap akhir tahun tetap

membacakan laporan kinerja di hadapan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun hal tersebut bukan merupakan

suatu mekanisme pertanggungjawaban

sebagaimana pemerintahan (eksekutif)

bertanggung jawab kepada parlemen

dalam sistem parlementer.

2. Polemik Sistem Presidensil dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan di

Indonesia

Dari beberapa kondisi di atas maka

dapatlah dikatakan bahwa sistem

pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945

pasca amandemen adalah sistem presidensil

murni. Tetapi, kebenaran konsep di atas

hendaknya perlu diuji dalam tataran politik

praktis, sebab demokrasi pada hakekatnya

adalah merupakan konteks budaya politik

bukan hanya konteks penafsiran dan

pelaksanaan terhadap konsitusi.24

Sebagaimana dikatakan oleh Richard

Holder Williams bahwa, a constitution is a

legal document which contains “the rules of

the political game”. Selain itu, politik praktis

Indonesia yang berubah secara signifikan

salah satunya disebabkan oleh kemajuan dari

pemahaman dan praktik konsitutisionalisme

pasca amandemen UUD 1945. Hal ini

sebagimana diutarakan oleh Rosen, the form

in which the consitutition making process is

adopted may reveal the character of the

future political configuration, particularly if

the process takes place during a transition

from an authoritarian rule.25

Penerapan sistem presidensil di

Indonesia, setidaknya ada dua hal yang

menyebabkan tidak bertajinya penerapan

sistem teressbut, yaitu penegasan terhadap

sistem presidensil yang turut diiringi dengan

penguatan peran dan wewenang parlemen

dalam hubungannya dengan eksekutif, serta

sistem politik yang menggunakan sistem

multi partai.

Pelaksanaan sistem presidensil

Indonesia adalah dengan digunakannya

format multi partai dalam sistem politik

Indonesia. Dipandang dari sisi demokrasi,

penggunaan sistem multi partai memang

memberikan kesempatan yang luas kepada

setiap orang untuk ambil bagian dalam

pelaksa- naan hak-hak politiknya. Namun

24 Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas

Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana

Internasional, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3398.

25 Denny Indrayana, Indonesian

Contitutional Reform 1999-2002 an Evaluation of

Constitution Making in Transition, Kompas, Jakarta,

2008, hlm. 29.

Page 11: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[87]

Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89

dipandang dari sisi efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan, sistem ini

malah memperlemah pelaksanaan sistem

presidensil. Pertaruhan politik antara DPR

dan Presiden kerap menyebabkan

pertentangan antara kedua lembaga negara

tersebut. Akibatnya, penyelenggaraan

pemerintahan lebih banyak diwarnai

persoalan politik daripada realisasi kebijakan

pemerintah terhadap masyarakat.

Atas hal tersebut sistem presidensial

yang berdasarkan sistem multipartai, bila

tidak ada partai politik yang meraih suara

mayoritas di parlemen, koalisi merupakan

suatu yang tidak bisa dihindari, karena itu

koalisi merupakan ”jalan penyelamat” bagi

sistem pemerintahan presidensial yang

menganut sistem multipartai. Koalisi

pendukung presiden dalam sistem

presidensialisme tidak stabil, dikarenakan:26

a) Koalisi pemerintahan dan elektoral sering

berbeda. Dalam koalisi pemerintahan,

parpol tidak bertanggung jawab

menaikkan presiden dalam pemilu

sehingga parpol cenderung meninggalkan

presiden yang tidak lagi populer.

b) Pemilu presiden selalu ada di depan mata

sehingga partai politik berusaha sebisa

mungkin menjaga jarak dengan berbagai

kebijakan presiden, yang mungkin baik,

tetapi tidak populis.

c) Alasan ketidakcocokan, kemungkinan

akan menjatuhkan pemerintah secara

inkonstitusional. Besarnya peluang

pergantian pemerintah secara

inkonstitusional amat relatif karena dalam

sistem presidensialisme amat sulit

menurunkan presiden terpilih. Karena itu,

pihak-pihak yang tidak puas dengan

kinerja pemerintah cenderung

26 Meima, Penerapan Sistem Presidensial

Dalam Demokrasi Modern, Fakultas Hukum

Universitas Langlangbuana, Tidak Diterbitkan, 8-9.

menggunakan jalur inkonstitusional untuk

mengganti pemerintahan.

d) Akibat multi partai di Indonesia dapat

kita rasakan bersama, yaitu sulitnya

Presiden untuk membuat keputusan

berkaitan dengan masalah kehidupan

berbangsa dan negara yang strategis

meliputi aspek: politik, ekonomi,

diplomasi dan militer. Bila kita

mengamati secara fokus hubungan antara

Eksekutif dan Legislatif, Presiden

mengalamai resistansi karena peran

Legislatif lebih dominan dalam sistem

multi partai.

e) Sebenarnya posisi Presiden sangat kuat

karena presiden dipilih langsung oleh

rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi

dalam hal penerbitan dan pengesahan

perundang-undangan presiden perlu

dukungan DPR. DPR yang merupakan

lembaga negara, justru menjadi resistansi

dalam sistem pemerintahan kita, karena

mereka bias dengan kepentingan

primordial masing-masing. Menyamakan

visi dan misi dari partai-partai, dengan

ideologi dan kepentingan yang sangat

mendasar perbedaannya akan sangat sulit

dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai

oposisi yang selalu menentang

pemerintah.

Perlunya perubahan UUD 1945

mengenai penegasan sistem presidensial

supaya ada kejelasan dalam sistem

ketatanegaraan. Serta harus ada upaya

membatasi jumlah partai peserta pemilu agar

tidak terlampau banyak, sehingga sistem

check and balance menjadi terwujud atau

menjadi jelas. Pemerintahan ada baiknya

diisi beberapa wakil dari partai politik, tetapi

tidak tergabung dalam koalisi yang

permanen. Tidak ada lagi kata koalisi

ataupun oposisi yang mantap, karena akan

berkibat, terhadap kebijakan pemerintah

Page 12: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[88]

Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042

acapkali ditolak oleh parpol yang notabene

punya wakil di kabinet.

D. PENUTUP

Kesimpulan

Sesuai dengan pokok permasalahan

yang dibahas pada bab sebelumnya, maka

penulis menarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

a) Sistem pemerintahan dalam lintasan

konstitusi yang berlaku adalah sebanyak 5

kali, hal ini terbagi dari: 1) Periode tahun

1945-1949 dengan memakai sistem

presidensil dengan berlandasakan pada

Undang-Undang Dasar Tahun 1945; 2)

Periode tahun 1949-1959 dengan

memakai system Parlementer Semu

(Quasi Parlementer) berlandaskan pada

Konstitusi RIS; 3) Periode tahun 1950-

1959 dengan memakai sistem Parlementer

berlandaskan pada Undang-Undang Dasar

Sementara 1950; 4) Periode tahun 1959-

1998 dengan memakai sistem presidensil

dengan berlandasakan pada Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 yang terbagi

pada orde lama dan orde baru; dan 5)

Periode tahun 1998-sekarang dengan

memakai sistem presidensil dengan

berlandasakan pada Undang-Undang

Dasar Tahun Negara Republik Indonesia

tahun 1945 yang telah diamandemen

sebanyak empat kali.

b) Polemik sistem Presidensil dalam

penyelenggaraan pemerintahan di

Republik Indonesia dilihat dari koalisi

pemerintahan dan elektoral sering

berbeda. Dalam koalisi pemerintahan,

parpol tidak bertanggung jawab

menaikkan presiden dalam pemilu

sehingga parpol cenderung meninggalkan

presiden yang tidak lagi popular. Pemilu

presiden selalu ada di depan mata

sehingga partai politik berusaha sebisa

mungkin menjaga jarak dengan berbagai

kebijakan presiden, yang mungkin baik,

tetapi tidak populis. Alasan ketidak

cocokan, kemungkinan akan menjatuhkan

pemerintah secara inkonstitusional.

Besarnya peluang pergantian pemerintah

secara inkonstitusional amat relatif karena

dalam sistem presidensialisme amat sulit

menurunkan presiden terpilih. Akibat

multi partai di Indonesia dapat kita

rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden

untuk membuat keputusan berkaitan

dengan masalah kehidupan berbangsa dan

negara yang strategis. Sebenarnya posisi

Presiden sangat kuat karena presiden

dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh

oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan

dan pengesahan perundang-undangan

presiden perlu dukungan DPR.

Daftar Pustaka

Arend Lijphart, Parliamentary versus

Presidential Government, Oxford

University Press, New York, 2002.

Arni Sabit, Perwakilan Politik Indonesia,

CV. Rajawali, Jakarta, 1985.

Benny Bambang Irawan, Perkembangan

Demokrasi di Negara Indonesia,

Jurnal Hukum dan Dinamika

Masyarakat, Vol. 5 No.1, 2007.

C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik

Modern, Nuansa Nusa Media,

Bandung, 2004.

Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas

Dalam Hukum Pidana Nasional Dan

Hukum Pidana Internasional,

Soumatera Law Review, Volume 1,

Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v

1i1.3398.

Denny Indrayana, Indonesian Contitutional

Reform 1999-2002 an Evaluation of

Constitution Making in Transition,

Kompas, Jakarta, 2008.

Dinoroy Marganda Aritonang, Penerapan

Sistem Presidensil Di Indonesia

Page 13: PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN …

[89]

Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89

Pasca Amandemen UUD 1945,

Jurnal Mimbar Hukum, Volume 22,

Nomor 2, 2010.

Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan

Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,

2002.

Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem

Politik Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, 2005.

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan

Negara dan Pergeseran Kekuasaan

dalam UUD 1945, FH UII Press,

Yogyakarta, 2005.

Joeniarto, Demokrasi dan Sistem

Pemerintahan Negara, Bina Aksara,

Yogyakarta, 1982.

Laurensius Arliman S, Ilmu Perundang-

Undangan Yang Baik Untuk Negara

Indonesia, Deepublish, Yogyakarta,

2016.

Laurensius Arliman S, Keterbukaan

Keuangan Partai Politik Terhadap

Praktik Pencucian Uang Dari Hasil

Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Cita

Hukum, Vol. 4, No. 2, 2016, doi:

10.15408/jch.v4i2.3433.

Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga

Negara (Di Dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945), Deepublish,

Yogyakarta, 2016.

Laurensius Arliman S, Fungsi Badan

Kehormatan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kota Padang, Jural

Ilmiah Hukum De’Jure, Vol. 1, No.

2, 2017

Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum

Bagi Anak dalam Perspektif

Pancasila dan Bela Negara, Jurnal

Unifikasi, Vol. 5, No. 1, 2018.

Meima, Penerapan Sistem Presidensial

Dalam Demokrasi Modern, Fakultas

Hukum Universitas Langlangbuana,

Tidak Diterbitkan.

Miriam Budardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2009.

M Taufiqurahman, Peran Perancang

Peraturan Perundang-Undangan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia dalam Pengawasan Produk

Hukum Daerah Melalui Executive

Preview, Soumatera Law Review,

Volume 2, Nomor 2, 2019,

10.22216/soumlaw.v2i2.4341.

Rod Hague-et al, Comparative Government

and Politics, MacMillan Press,

London, 1998.

Sayid Anshar, Konsep Negara Hukum dalam

Perspektif Hukum Islam, Soumatera

Law Review, Volume 2, Nomor 2,

2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4136.

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum

Tata Negara Indonesia, Prestasi

Pustaka, Jakarta, 2006.