pengaruh ketiadaan pedoman pemidanaan terhadap …

30
1 PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP PUTUSAN HAKIM BERKEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM Oleh Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Udayana Disampaikaan dalam rangka Focus Group Discussion dengan tema “Urgensi PedomanPemidanaan Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Denpasar tanggal 17-18 Juni 2019

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

1

PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP

PUTUSAN HAKIM BERKEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM

Oleh

Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Disampaikaan dalam rangka Focus Group Discussion dengan tema “Urgensi

PedomanPemidanaan Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum”

yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan

Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung

Denpasar tanggal 17-18 Juni 2019

Page 2: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

2

PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP

PUTUSANHAKIM BERKEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM*

Oleh

Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH**

[email protected] / 0818560828

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prawacana

Judul di atas mengisyaratkan bahwa tulisan ini seharusnyamenggunakan

penelitian hukum empiris untuk menjawab dan menjelaskan pengaruh ketiadaan

pedoman pemidanaan dalam upaya untuk memperoleh suatu putusan hakim yang

berkeadilan dan berkepastian hukum. Berhubung keterbatasan waktu, maka tulisan ini

hanya bertujuan mendeskripsikan saja dari maksud judul di atas, dengan menguraikan

secara singkat variabel-variabel dari judul yang ingin dikaji. Tentu penelitian ini juga akan

memakan waktu yang cukup lama apabila diijinkan untuk meneliti putusan-putusan

pengadilan khususnya putusan hakim pidana apakah dengan ketiadaan pedoman

pemidanaan yang tertuang di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

berisikan tentang adanya perbuatan pidana beserta sanksinya sudah mencerminkan rasa

keadilan dan berkepastian hukum di dalam amar putusan para hakim pidana?. Tanpa

mengurangi substansi yang hendak dibahas maka penulis mencoba mengemukakan

pembahasan dengan memilah variabel-variabel yang dimaksudkan oleh Badan Penelitian

dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah

Agung Republik Indonesia, sesuai topik yang diberikan.

1. Ketiadaan Pedoman Pemidanaan

Di dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak semua bangunan/konstruksi

konsepsional sistem hukum pidana atau ajaran hukum pidana umum itu

dimasukkan/dirumuskan di dalam Bagian Umum Buku I. Yang tidak

dimasukkan/dirumuskan secara eksplisit dalam Buku I KUHP itu antara lain ketentuan

mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan, pengertian/hakikat tindak pidana, sifat mela-

wan hukum (termasuk asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum;

“noliability without unlawfulness”; asas ketiadaan sama sekali sifat melawan hukum

secara materiel atau dikenal dengan asas “afwezigheids van alle materiele

wederrechtelijkheid”-AVAW), masalah kausalitas, masalah kesalahan atau

Page 3: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

3

pertanggungjawaban pidana (termasuk asas tiada pidana tanpa kesalahan; asas

culpabilitas; “no liability without blameworthiness”; “afwezigheids van alle schuld”-

AVAS; pertanggungjawaban akibat / erfolgshaftung, kesesatan/error; pertanggungjawaban

korporasi).

Walaupun ajaran umum atau konstruksi konsepsional yang umum itu tidak ada di

dalam KUHP, tetapi semua itu ada di dalam pelajaran/ ilmu hukum pidana dan umumnya

diajarkan kepada para mahasiswa hukum. Namun, karena tidak tercantum secara

tegas/eksplisit di dalam KUHP,sering konstruksi konsepsional yang umum itu

dilupakan;bahkan kemungkinan “diharamkan” dalam praktek atau putusan pengadilan1.

Demikian pulalah halnya dengan masalah tujuan dan pedoman pemidanaan yang

kemungkinan bisa dilupakan, diabaikan, atau diharamkan hanya karena tidak ada pe-

rumusannya secara eksplisit di dalam KUHP. Padahal dilihat dari sudut sistem, posisi

“tujuan” sangat sentral dan fundamental. Tujuan inilah yang merupakan jiwa/roh/spirit dari

sistem pemidanaan.

2.Posisi Tujuan dan Pedoman Pemidanaan

Dalam rangka melakukan rekonstruksi sistem hukum pidana nasional itulah, maka

berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Ketentuan Umum Buku RKUHP

dimasukkan perumusan mengenai “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskannya

hai ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :

- sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (“purposive

system”) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan;

- “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem

pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem

“tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;

- perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pe-

ngendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis,

rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;

- dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian

proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan

1Salah satu putusan pengadilan yang tidak mengharamkan digunakannya “tujuan pemidanaan”

sebagai dasar putusan, adalah putusan hakim Bismar Siregar, SH dalam kasus Ny. Elda (Ellya Dato), Putusan

PN Jakarta Utara-Timur No. 46/PID/78/UT/WANITA, 17 Juni 1978; Putusan Mahkamah Konstitusi No.

003/PUU-IV/2006 25 Juli 2006 mengenai penjelasan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi, terkesan

mengharamkan sifat melawan hukum materiel (sumber hukum tidak terulis).

Page 4: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

4

judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/ eksekutif); oleh

karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu

kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kedudukan/posisi tujuan dan

pedoman pemidanaan dalam sistem pemidanaan substantif (atau sistem hukum pidana

substantif), dapat dilihat bagan berikut:

Dari bagan di atas terlihat, bahwa tiga masalah pokok hukum pidana yang berupa

“tindak pidana” (strabaarfeit/criminal act/actus reus), “kesalahan” (schuld/guilt/mens rea),

dan “pidana” (straf/punishment/poena)2sebenarnya hanya merupakan komponen atau sub-

sub sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana yang pada hakikatnya juga merupakan

sistem pemidanaan.3 Dilihat dari sistem pemidanaan, ketiga masalah pokok itu bukan

merupakan pilar-pilar yang berdiri sendiri namun berada di dalam bangunan sistem yang

lebih besar. Bangunan sistem hukum pidana yang lebih besar inilah yang biasanya disebut

bagian umum (general part) atau aturan/ketentuan umum (general rules) yang di dalam

RKUHP dimasukkan dalam Buku I. Di dalam aturan umum Buku I inilah dimasukkan

bangunan konsepsional sistem hukum pidana (sistem pemidanaan) yang mencakup

2Sauer menyebutnya sebagai “inas hukum pidana” (berupa “sifat melawan hukum”, “kesalahan”,

dan “pidana”) dan H.L. Packer (1968: 17) menyebutnya sebagai “the three concept” atau “the three basic

problems” (berupa “offence”, “guilt”, dan “punishment”). 3Lihat pengertian “sistem pemidanaan” dalam Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana

Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, 2005, Bab X, yang berasal dari Bahan

Sosialisasi RUU KUHP 2004, Dephumham, di Hotel Sahid Jakarta, 23-24 Maret 2005.

SISTEM PEMIDANAAN

(SISTEM HK PIDANA)

Asas & Tujuan

Pemidanaan

Aturan/Pedoman

pemidanaan

Pemid.

Kesalahan (PJP) Pidana Tindak Pidana

3 (TIGA) MASALAH POKOK

HK PIDANA

Page 5: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

5

ketentuan mengenai asas-asas, tujuan pidana/pemidanaan, aturan dan pedoman

pemidanaan, serta berbagai pengertian/batasan juridis secara umum yang berkaitan dengan

ketiga masalah pokok (tindak pidana, kesalahan, dan pidana). Secara doktrinal, bangunan

konsepsional hukum pidana yang bersifat umum inilah yang biasanya disebut “ajaran-

ajaran umum” ('algemeine leerstukken” atau “algemeine lehren”), seperti masalah tindak

pidana, sifat melawan hukum, kesalahan, pidana dan tujuan pemidanaan, asas-asas hukum

pidana dan sebagainya.

Telah dikemukakan dalam bagan sistem pemidanaan, bahwa “tujuan dan pedoman

pemidanaan merupakan bagian integral dan sistem pemidanaan”, di samping sub-sub

sistem lainnya yang berupa tindak pidana, kesalahan (pertanggungjawaban pidana), dan

pidana.. Dengan konstruksi demikian, maka persyaratan pemidanaan atau dasar

pembenaran (justifikasi) adanya pidana, tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak

pidana” (TP) dan “kesalahan atau pertanggungjawaban pidana” (K/PJP), tetapi juga

didasarkan pada “tujuan pemidanaan”. Persyaratan pemidanaan demikian dapat disajikan

dalam skema sebagai berikut:

PIDANA = TP + K (PJP) + Tujuan

Skema pemidanaan di atas dapat pula digambarkan dalam bentuk neraca

keseimbangan, sebagai berikut:

Skema pemidanaan di atas akan berbeda dengan syarat pemidanaan yang hanya

bertolak atau terfokus pada tiga masalah pokok hukum pidana [tindak pidana;

kesalahan/pertanggungjawaban pidana; dan pidana]. Dengan hanya melihat tiga masalah

pokok itu, maka formula syarat pemidanaan yang sering dikemukakan secara konvensional

adalah:

PIDANA = TP + K (PJP)

Dalam formula/model/pola konvensional di atas, tidak terlihat variabel “tujuan”,

karena tidak dirumuskan secara eksplisit dalam KUHP, sehingga terkesan “tujuan” berada

Page 6: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

6

di luar sistem. Dengan model demikian, dasar pembenaran atau justifikasi adanya pidana

hanya terletak pada TP (syarat objektif) dan Kesalahan (syarat subjektif). Jadi seolah-olah

pidana dipandang sebagai konsekuensi absolut yang harus ada, apabila kedua syarat itu

terbukti. Jelas terkesan sebagai “model kepastian” yang kaku. Dirasakan janggal (menurut

model ini), apabila kedua syarat itu terbukti tetapi sipelaku “dimaafkan” dan tidak

dipidana. Dengan demikian, ide “permaafan/pengampunan hakim” (Rechterlijk par-

don/judicial pardon/dispensa de pena) seolah-olah tidak mempunyai tempat atau setidak-

tidaknya sulit diterima.

3. Tujuan Pidana dalam konteks Kebijakan Pembaharuan Hukum (Pidana) Nasional

Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya

UUD”45 tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin

dicapai seperti telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD”45.Tujuan nasional itu tertuang

dalam alinea keempat Pembukaan UUD”45 yang menegaskan:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .....

berdasar kepada Ketuhanan Yang MahaEsa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia.”

Dari perumusan Pembukaan UUD “45 di atas, terlihat dua tujuan nasional yang

utama yaitu : (1) “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”; dan (2) “untuk

memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila”. Jadi terlihat dua kata kunci dari

tujuan nasional yaitu “perlindungan masyarakat” dan “kesejahteraan masyarakat”. Dua

kata kunci itu identik dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/dunia keilmuan

dengan sebutan “social defence” dan “social welfare”. Dengan adanya dua kata kunci ini

pun terlihat adanya asas keseimbangan dalam tujuan (pembangunan) nasional Patut dicatat,

bahwa kedua istilah ini pun sering dipadatkan dalam satu istilah saja, yaitu “social

defence”, karena di dalam istilah “perlindungan masyarakat” sudah tercakup juga

“kesejahteraan masyarakat”.

Tujuan nasional itu tentunya merupakan garis kebijakan umum yang menjadi

landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pulalah yang seharusnya

Page 7: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

7

menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaharuan hukum, termasuk

pembaharuan hukum pidana dan tujuan penanggulangan kejahatan (dengan hukum pidana)

di Indonesia. Oleh karena itu, wajarlah apabila:

Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dalam kesimpulannya menyatakan:4

“Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence

dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau

memulihkan kembali (rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan

kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”.

Demikian pula Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, dalam salah

satu laporannya menyatakan:5Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan

pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dan kejahatan serta

keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan

kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.

Dari dua simpulan di atas jelaslah bahwa tujuan utama yang ingin dicapai oleh

pidana dan hukum pidana sebagai salah satu sarana dari politik kriminal adalah

“perlindungan masyarakat”.6 Tujuan perlindungan masyarakat inilah yang menurut Cherif

Bassiouni merupakan batu landasan (a cornerstone) dari hukum pidana.7

Apakah yang menjadi tujuan pidana (penegakan hukum pidana) apabila bertolak

dari tujuan nasional itu (yaitu “perlindungan masyarakat” atau “social defence”)?

Mengenai hal ini,tujuan pidana/pemidanaan harus dikaitkan dengan 4 (empat) aspek atau

ruang lingkup dari perlindungan masyarakat, yaitu :8

1. Masyarakat memerlukan perlindungan ter-hadap perbuatan anti sosial yang

merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka tujuan

pemidanaan (penegakan hukum pidana) adalah mencegah dan menanggulangi

kejahatan.

2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang.

Oleh karena itu, pidana/hukum pidana bertujuan memperbaiki sipelaku kejahatan

4Keputusan Seminar Kriminologi ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hlm. 4

5Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN Departemen Kehakiman, 1980,

hlm. 6-7. 6Sahetapy, dalam disertasinya kurang sependapat dengan pandangan ini (Suatu studi khusus

mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap pembunuhan Berencana, CV.Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 189-

190) 7M.Cherif Bassiouni. SubstantiveCriminalLaw, Charles C Publisher, Springfield, Ilhoms. USA,

1978hlm.79 8Uraian lebih rinci. dapat dilih Barda NA, “Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara”, BP UNDIP, 1996, 2000; atau terbitan CV Ananta, 1994.

Page 8: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

8

atau berusaha merubah dan memengaruhi ting-kah lakunya agar kembali patuh

pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau

reaksi dari penegak hukum maupun dan warga masyarakat pada umumnya. Oleh

karena itu wajar pula apabila tujuan pidana harus mencegah terjadinya perlakuan

atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum (tidak manusiawi).

4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan

berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya keja-

hatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat

menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Keempat aspek tujuan pemidanaan itu, apabila dikaitkan dengan pendapat/teori,

dapat diskemakan sbb.:

Aspek S.D. Tujuan Pidana Pendapat/Teori

Perlindungan

thd. kejahatan

(perbtn. jahat)

Penanggulangan

kejahatan • represion/reduction/pr evention/control of crime;

• teori isolasi;

• pengamanan masyarakat.

Perlindungan

thd. pelaku

(orang jahat)

Perbaikan si

pelaku

(mengubah

tingkah laku)

• rehabilitasi/reformasi/ reedukasi/readaptasi

sosial/resosialisasi/pemasyarakatan/pembebasan/t

reratment ofoffenders;

• “gedragsbeinvloeding(Hulsman);

• J. Andenaes:“stimulate habitual law-abiding

conduct” (social-pedagogical effect/habituative-

effect);

• Schwartz & Skolnick : “to prevent recidivism”

Perlindungan

thd. penyalah-

gunaan sanksi/

reaksi

Mengatur/

membatasi

kesewenangan

penguasa &

warga ma-

syarakat.

• Montero's aim: "to protect offenders

andsuspectedoffender against unofficial

retaliation":

• Emile Durkheim: "to create a possibility for the

release of emotions that are aroused by the

crime";

• Schwartz & Skolnick : "to provide a channel for

the expression of retaliatory motives".

Perlindungan

thd. keseim-

bangan kepen-

tingan/niiai

yang terganggu

Memelihara/

memulihkan

keseimbangan

masyarakat

• teori retribution, expiation, restitution,

denunciation (the expressive);

• menghilangkan noda-

noda/memulihkankeseimbangan(Konsep KUHP);

• "conflict opplosing"/conflict resolution;*

"vredemaking";

• membawa kerukunan (R.Saleh);

• reinforcing social values;

Page 9: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

9

• reaffirmation of the public feeling of security;

• revival of shaken feelings of solidarity, dsb

Bertolak dari keempat aspek tujuan perlindungan masyarakat seperti telah

diuraikan di atas, maka tujuan pemidanaan pada intinya mengandung dua aspek pokok,

yaitu:

(1). aspek perlindungan masyarakatterhadap tindak pidana.

Aspek pokok pertama ini meliputi tujuan-tujuan:

a. Pencegahan Kejahatan

b. Pengayoman (pengamanan) masyarakat

c. Pemulihan keseimbangan masyarakat:

• penyelesaian konflik (conflict oplos-sing)

• mendatangkan rasa damai (vrede-making)

(2) aspek perlindungan/pembinaan individupelaku tindak pidana (aspek individualisasi

pidana)

Aspek pokok kedua ini dapat meliputi tujuan :

a. rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi (memasyarakatkan) terpidana; antara lain :

• agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak/merugikan diri

sendiri maupun orang lain/masyarakat.

• agar berbudi pekerti (berakhlak) Pancasila;

b. membebaskan rasa bersalah;

c. melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-

wenang tidak manusiawi (pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

merendahkan martabat manusia).

Uraian di atas, dapat digambarkan dengan ragaan sbb.:

Page 10: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

10

Page 11: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

11

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila tujuan pidana dan hukum

pidana harus diorientasikan pada tujuan “perlindungan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan sosial”, maka suatu teori yang hanya melihat salah satu aspek dari tujuan

umum tersebut sebenarnya terlalu bersifat sepihak.

Dalam RUU KUHP juga sudah dimuat mengenai Tujuan Pemidanaan antara lain:

1) mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;

2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan

pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;

3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan

keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam

masyarakat; dan

Page 12: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

12

4) menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada

terpidana.

5) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.

4. Makna Putusan (Hakim) Pengadilan

Perlakuan secara adil melalui pengadilan harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan. Dalam memberikan keadilan, tidak cukup berorientasi pada hasil

akhir, melainkan dari aspek proses dan mekanisme juga harus memperlakukan secara

proporsional. Perlakuan adil harus dapat dirasakan pencari keadilan, sehingga dapat

dipahami dan dimengerti alur pikir dan logika yang dibangun hakim. Menurut

Djokosoetono, hakim harus berpikir secara yuridis, sistematis dan teratur atau

goerdendenken, sehingga setiap persoalan hukum dapat dipecahkan secara baik dan benar,

sehingga putusannya dapat diterima secara yuridis, sosiologis dan filosofis9. Putusan

Hakim menentukan apa hukum dan keadilannya dalam setiap perkara yang diajukan

kepadanya. Selain memutus berdasarkan hukum, sekaligus harus mendasarkan kepada

keadilan dan kebenaran10

. Melalui putusannya, hakin harus dapat

mempertanggungjawabkan kepada para pencari keadilan (justisiabelen) pada khususnya

dan kepada masyarakat pada umumnya, terlebih kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Putusan pengadilan merupakan keseluruhan rangkaian proses pemeriksaan

persidangan sampai pada sikap hakim untuk mengakhiri perkara yang disidangkan.

Piutusan pengadilan tidak dapat dipahami hanya dengan membaca amar putusan,

melainkan harus secara keseluruhan. Semua yang terurai dalam putusan merupakan satu

kesatuan dan saling terkait serta tidak dapat dipisahkan. Formalitas putusan terdiri dari 4

bagian: Kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan (considerans), dan amar11

.

Keempat bagian tersebut sangat penting, namun yang paling penting berkaitan dengan

amar putusan yaitu bagian pertimbangan hukumnya. Bagian ini merupakan

pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya.

9 Purwoto S. Gandasubrata. Tugas Hakim Indonesia.1994.Bina Yustisia, Litbang MARI, Jakarta, hlm

17. 10

Ibid 11

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, 1993. Citra Aditya Bhakti, Bandung,

hlm164-171

Page 13: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

13

Urgensi mengkaji esensi pertimbangan hukum putusan pengadilan karena

pertimbangan hukum merupakan bagian yang sangat penting dan menentukan. Banyaknya

perbedaan putusan pengadilan memerlukan penelusuran dan penelahaan secara khusus

agar dapat diketahui penalaran dan logika serta argumentasi hukumnya. Perbedaan putusan

berarti terdapat perbedaan pertimbangan hukumnya, baik putusan pengadilan tingkat

pertama, banding maupun kasasi. Dalam pertimbangan hukum memuat dasar hukum,

penalaran dan argumentasi hukum yang didalamnya sarat dengan penerapan berbagai teori

hukum, teori kebenaran dan keadilan, guna memberikan landasan pada putusannya.

Putusan merupakan hasil dari suatu proses atau serangkaian tindakan dan

perlakuan hakim selama mengadili dan memperlakukan pihak berperkara berdasarkan

peraturan perundang-undangan, yang dapat dirasakan oleh para pencari keadilan. Keadilan

putusan merupakan keadilan yang dituntut masyarakat berdasarkan pada aturan hukum dan

rasa keadilan yang pluralistis12

.

Pertimbangan hukum putusan merupakan pertanggungjawaban oleh karenanya

harus disusun menggunakan hukum penalaran dan penalaran hukum yang tepat. Menurut

Djokosoetono, putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni

kebutuhan teoritis maupun praktis13

. Kebutuhan teoritis menilik kepada isi beserta

pertimbangannya. Putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum

atau harus juridisch en filosofisch verantwoord. Kebutuhan praktis dengan putusan

diharapkan dapat menyelesaikan sengketa hukum yang ada dan dapat diterima para pihak,

maupun masyarakat karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum atau dapat

diterima secara sosiologis. Putusan pengadilan mengandung hal-hal yang prinsipiil yaitu:

mendasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik hukum formil maupun

material, mengandung nilai moral, memberikan rasa adil serta dapat dilaksanakan atau

ekskusi demi kepastian hukum14

. Putusan pengadilan merupakan mahkota hakim, dan inti

12

Rasa keadilan yang pluralis dimaksudkan yaitu keadilan berdasarkan aturan hukum yang berlaku

di lingkungan masing-masing. Setiap masyarakat memiliki aturan hukum atau hukum adat yang berbeda.

Perlakuan adil menurut masyarakat yang satu tidak serta merta dirasakan adil bagi kelompok masyarakat

lain. Perbedaan aturan hukum mengakibatkan perbedaan rasa keadilan terhadap masyarakat. Karena itu,

hakim dalam mengadili dan memutus perkara juga harus tetap memperhatikan hukum positif dan hukum

yang hidup serta diyakini kebenarannya oleh masyarakat. 13

Purwoto S Gandasubrata, loc.cit 14

Dalam mengadili perkara hakim tetap terikat peraturan perundang-undangan baik formil

maupun materiil. Pada saat proses memeriksa perkara, hakim harus memperlakukan para pihak secara baik

dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai agama serta memperhatian

dengan seksama tatanan yang berlaku dalam masyarakat. Putusan hakim harus dapat dilaksanakan atau

Page 14: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

14

mahkotanya terletak pada pertimbangan hukumnya. Sebagai inti mahkota dengan

sendirinya harus dibuat dan disusun menggunakan hukum penalaran dan penalaran hukum

yang benar.

Penalaran merupakan : a) suatu proses berpikir menarik suatu kesimpulan yang

berupa pengetahuan; b) suatui proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis

penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing15

. Ciri penalaran: pertama,

adanya pola pikir yang secara luas dapat disebut logika. Kedua, adanya sifat analitis dari

proses berpikirnya16

. Penalaran hukum (legalreasoning) merupakan salah satu unsur utama

yang harus dipahami dalam penelitian hukum17

.

Penalaran hukum pada dasarnya mempelajari pertanggungjawaban ilmiah dari

segi ilmu hukum terhadap proses pembuatan suatu keputusan (judicial decision making)

yang meliputi argumentasi dan alasan-alasan logis sebagai alasan pembenar atau

justification terhadap keputusan yang dibuat18

. Sebuah keputusan hukum yang tepat

diperlukan logika hukum yang mengontrol proses pembenaran (processofjustification)

setiap keputusan hukum. Kegiatan ilmiah yang termasuk dalam penalaran hukum antara

lain: logika hukum, argumentasi hukum, dan discourse hukum19

. Putusan pengadilan dapat

termasuk dalam keputusan hukum. Karena itu, penerapan penalaran hukum dalam

pertimbangan hukum putusan bersifat imperatif. Penalaran hukum dapat menuntun kita

untuk memahami putusan serta pola pikir yang digunakan hakim.

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana

Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu

dilakukan Tindak Pidana atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan

untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan

mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

ekskusi demi kepastian hukum. Jika semua kriteria telah terpenuhi, putusan harus dilaksanakan apapun

resikonya. 15

Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar, 2000, Pustaka Sinar Harapan, hlm.42 16

Ibid 17

Jhony Ibrahim. Teori dan Methodologi Penelitian Hukum Normatif, 2006. Bayumedia, Surabaya,

hlm 239 18

Ibid 19

Ibid

Page 15: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

15

Untuk orang dewasa/umum Untuk Korporasi

1. kesalahan pembuat Tindak Pidana;

2. motif dan tujuan melakukan

Tindak Pidana;

3. sikap batin pembuat Tindak

Pidana;

4. Tindak Pidana dilakukan dengan

direncanakan atau tidak

direncanakan;

5. cara melakukan Tindak Pidana;

6. sikap dan tindakan pembuat

sesudah melakukan Tindak Pidana;

7. riwayat hidup, keadaan sosial, dan

keadaan ekonomi pembuat Tindak

Pidana;

8. pengaruh pidana terhadap masa

depan pembuat Tindak Pidana;

9. pengaruh Tindak Pidana terhadap

korban atau keluarga korban;

10. pemaafan dari korban dan/atau

keluarganya; dan/ataunilai hukum

dan keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

11. nilai hukum dan keadilan yang

hidup dalam masyarakat.

1. tingkat kerugian atau dampak

yang ditimbulkan;

2. tingkat keterlibatan pengurus

Korporasi dan/atau peran

personel pengendali Korporasi;

3. lamanya Tindak Pidanayang

telah dilakukan;

4. frekuensi Tindak Pidana oleh

Korporasi;

5. bentuk kesalahan Tindak Pidana;

6. keterlibatan pejabat;

7. nilai hukum dan keadilan yang

hidup dalam masyarakat

8. rekam jejak Korporasi dalam

melakukan usaha atau kegiatan;

9. pengaruh pemidanaan terhadap

Korporasi; dan/atau

10. kerja sama Korporasi dalam

penanganan Tindak Pidana.

5. Penerapan Teori Kebenaran, Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum

5.1. Teori Kebenaran

Kebenaran merupakan persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan20

.

Dalam realitas mencari kebenaran putusan pengadilan tidak cukup memngandalkan logika

serta indera, tetapi juga petunjuk yang dapat membentuk keyakinan. Untuk memperoleh

kebenaran putusan, di samping mendasarkan dan menerapkan peraturan perundang-

20

A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, sebuah Tinjauan Filofosfis, 2001, Kanisius,

Yogyakarta, hlm. 66

Page 16: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

16

undangan, juga mendasarkan teori kebenaran. Teori kebenaran meliputi kebenaran

koresponden, koheren, dan pragmatis serta kebenaran performatif21

, yang akan diuraikan

secara singkat di bawah ini:

a). Teori Kebenaran Koresponden

Mengadili perkara pidana, pihak penuntut umum mendalilkan bahwa seseorang

didakwa melakukan tindak pidana. Atas dasar surat dakwaan tersebut, penuntut umum

harus membuktikan kebenaran dalil hukum di pengadilan. Semua orang yang berperkara

dan diadili, senantiasa menuntut keadilan dan kebenaran. Dalam upaya memperoleh

kebenaran harus didasarkan pada teori atau aturan berpikir yang benar. Teori kebenaran

diterapkan untuk memperoleh sesuatu yang benar. Tokoh yang menyuarakan teori

kebenaran antara lain R. Allan White dengan teori korensponden (tradisional), Aristoteles,

Eucid, Plato, Bertran Ruissell: kebenaran yaitu persesuaian antara apa yang dikatakan

dengan kenyataan22

. Teori koresponden menyatakan bahwa suatu pernyataan yaitu benar

jika materi pengetahuan berkoresponden atau berhubungan dengan objek yang dituju

pernyataan tersebut. Dengan kata lain, suatu pernyataan itu bernilai benar bila pernyataan

itu memiliki kesesuian dengan kenyataan atau realitas. Kebenaran dapat dibuktikan secara

langsung pada realitas. Kontruksi berpikir teori korespondensi yaitu suatu kebenaran

dibuktikan dengan cara menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan

korespondensi sangat beragam mulai dari korelasi, kausal, kontribusi, dan mutual23

.

Ada beberapa catatan dalam teori kebenaran koresponden antara lain: (1)

Mengutamakan pengalaman dan pengamatan inderawi atau aliran empiris; (2) Cenderung

menegaskan dualitas antara subjek dan objek. Teori ini menekankan pentingnya objek bagi

kebenaran; (3) Menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran, yang disebut sebagai

pembuktian (justifikasi) yaitu proses menyodorkan fakta yang mendukung atau proposisi

atau hipotesis; (4) Menegaskan bahwa semua pernyataan, proposisi atau hipotesis yang

tidak didukung bukti empiris, oleh kenyataan faktual apapun, tidak dianggap benar24

Jenis perkara sangat menentukan kebenaran yang akan dicari dalam acara

pembuktian. Dalam perkara pidana kebenaran yang dicari yaitu kebenaran material,

sedang dalam perkara perdata kebenaran yang dicari yaitu kebenaran formil. Kebenaran

21

Ibid. hlm 65 22

Yuyun, op.cit. hlm 57 23

H. Noeng Muhajir, Filasafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, Post Modernisme . 2001. Rake

sarasin, Yogyakarta, hlm. 52 24

A Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Op.cit. hlm 66-67

Page 17: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

17

material merupakan suatu kebenaran yang diperoleh hakim dengan cara memeriksa dan

menguji secara langsung pihak yang diajukan dalam persidangan. Kebenaran formal

merupakan suatu kebenaran yang diperoleh hakim dengan menguitamakan bukti formal

atau bukti tertulis. Saksi-saksi yang diajukan fungsinya untuk mendukung kebenaran bukti

tertulis. Teori korespondensi diterapkan hakim untuk melakukan pengujian dengan

mengkorelasikan antara pasal-pasal yang didakakan dengan fakta hukum yang terungkap

dipersidangan.

b) Teori Kebenaran Koheren

Upaya untuk memperoleh putusan yang benar tidak cukup untuk hanya

menggunakan teori korespondensi, dibagian lain juga digunakan teori kebenaran koheren

yang saling mendukung dan menunjang.teori kebenaran koheren termasuk teori tradisional

yang dibangun oleh poara pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Discartes, Hegel,

dan Bradley. Teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth).

Kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan

dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Teori kebenaran

koheren menyatakan bahwa suatu proposisi itu benar apabila hal tersebut mempunyai

hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada atau benar. Dalam hukum dikenal

dengan istilah yurisprudensi atau asas preseden.

Menurut R. Allan White teori kebenaran koheren sebagai berikut : “…to say what

is said (usually called a judgement, bilief, or propostition) is true ar false is to say that it

coheres or fails to cohere with a system of other things which are said; that it is a member

of a system whose element in a system of pure mathematic are realted”25

.

Louis O Kattsoff menyatakan: “Suatu proposisi cenderung benar jika proposisi

tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang lain yang

benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan

pengalaman kita.26

Syarat mutlak dalam menerapkan teori kebenaran koheren yaitu adanya

psoposisi yang benar sebelumnya. Dalam hal membuat pertimbangan hukum putusan, juga

harus mendasarkan pada yurisprudensi tetap yang telah ada. Dalam hal membuat

pertimbangan hukum tentang mengambil barang yang obykenya aliran listrik, hakim

senantiasa mendasarkan pada arrest hoogeraad yang telah ada.

25

Tim Dosen Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu, sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, 2001.

UGM, Yogyakarta. hlm. 138-139 26

Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, 1992. Tiara Wacana Yogya,

hlm. 181

Page 18: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

18

c). Teori Kebenaran Pragmatis

Teori kebenaran pragmatis digunakan hakim untuk mengukur, memprediksi

putusan yang akan dijatuhkan. Putusan pengadilan dapat diketahui dan dirasakan setelah

putusan tersebut diucapkan dan disikapi para pihak. Sepanjang putusan belum diterima

para pihak akan selalu muncul upaya hukum. Setelah putusan diucapkan, dapat

menimbulkan opini hukum dalam masyarakat. Semakin besar kiritk masyarakat terhadap

putusan pengadilan, menunjukkan adanya perhatian yang besar kepoada pengadilan.

Semakin banyk kiritk yang kontra, berarti perlu adanya evaluasi kinerja hakim dalam

mengadili perkara perlu ditingkatkan.

Teori kebenaran pragmatis kebanyakan dianut filosof-filosof Amerika, seperti

Charles S.Pierce, Willaim James dan Johon Dewey. Mereka menyatakan bahwa yang

benar itu konkret, yang individual dan spesifik. Menurut John Dewey, kebenaran

merupakan koresprodensi antara ide dengan fakta dan arti koresprodensi yaitu kegunaan

praktis27

. Menurut teori ini kebenaran yaitu identik dengan kegunaan. Artinya jika ide

konsep pernyataan dan hipotesis yang benar yaitu ide yang berguna, yang memungkinkan

seseorang berdasarkan ide itu melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.

Bagi perkembangan ilmu hukum, putusan pengadilan tidak sekadar bermanfaat

atau tidak bagi terdakwa. Terdakwa dalam perkara pidana secara subjektif pasti

menyatakan bahwa putusan pengadilan merugikan dan menyengsarakan dirinya. Secara

yuridis pidana yang dijatuhkan terhadap diri terdakwa merupakan kosekuensi yuridis yang

harus diterima penuh kesadaran. Dalam rangka menegakkan hukum dan mengembangkan

hukum, putusan pengadilan senantias dikritisi agar tidak terjadi penyimpangan hukum.

d). Teori Kebenaran Performatif

Kebenaran performatif putusan pengadilan dapat diketahui sesaat setelah hakim

menjatuhkan putusan terhadap diri terdakwa. Status itu berubah ketika putusan pengadilan

yang semula terdakwa manakala dikenakan sanksi pidana menjadi terpidana. Jika

dibebaskan, maka statusnya kembali seperti sebelum diadili.

Teori kebenaran performatif dianut oleh Frank Ramsay, John Austin, dan Peter

Starwson. Teori kebenaran performatif sebagai wujud peetanggungjawaban putusan hakim,

khususnya bagi yang disebutkan dalam amar putusan. Jika dikaji secara mendalam,

27

Noeng Muhadjir, op.cit. hlm. 20

Page 19: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

19

kebenaran performatif merupakan hasil akhir dari suatu proses yang panjang dalam

putusan pengadilan tersebut.

Suatu putusan yang telah dipertimbangkan secara yuridis berdasarkan teori-teori

kebenaran dapat menghasilkan keputusan yang adil. Putusan yang adil merupakan

perlakuan yang diharapkan bagi semua orang termasuk pencari keadilan. Putusan yang

adil merupakan putusan yang merefleksikan proses dan prosedur yang benar, transparan,

dan memberikan jaminan akuntabilitas.

5.2. Teori Keadilan

Keadilan bukanlah satu-satunya tujuan dari hukum karena selain keadilan,

terdapat tujuan yang lainnya yaitu kepastian dan kemanfaatan. Hukum yang ideal harus

mampu mengakomodasikan ketiga tujuan hukum tersebut. Meski demikian, keadilan

merupakan salah satu tujuan yang banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat

hukum sehingga menimbulkan banyak teori-teori tentang keadilan.

Arestoteles dalam buku NicomacheanEthics menyatakan bahwa keadilan adalah

kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Hal ini, mengandung dua arti

yakni: adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yakni yang semestinya28

.

Thomas Aquinas juga membagi keadilan menjadi keadilan umum (keadilan menurut

kehendak undang-undang yang harus dilaksanakan untuk kepentingan umum) dan keadilan

khusus (keadilan atas kesamaan atau proporsionalitas).

Kaelan mengemuakakan pendatnya mengenai keadilan, yaitu:

Keadilan hendaknya direfleksikan dan menjadi bagian dari substansi hukum.

Kinerja hukum yang konsisten dalam penerapan dan prosedur yang relatif sama

terhadap perilaku yang menyimpang dari norma hukum menjamin terjadinya

keadilan yang substantif. Sebagai konsekuensi nilai-nilai keadilan substantif

yang terwujud dalam kehidupan bersama adalah meliputi pertama, keadilan

distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dengan warga negaranya,

dalam arti negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk

kesejahteraan, serta kesempatan dalam hidup bersama yangdidasarkan atas hak

dan kewajiban. Kedua, keadilan legal atau keadilan bnertaat yaitu suatu

hubungan keandilan antara warga negara terhadap negara, dan warga negara

wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan

28

Darji Darmodiharjo dan Sidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat

Hukum Indonesia). 2006. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 156.

Page 20: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

20

yang berlaku. Ketiga, keadilan komulatif yaitu hubungan keadilan antara warga

negara satu dengan yang lainnya secara timbal balik29

.

5.2.1. Teori Keadilan John Rawls

Pemikiran mengenai keadilan yang dikemukakan oleh Jhon Rawls, seorang filsuf

politik yang lahir di Baltimor, Maryland Amerika Serikat pada tahun 1921. John Rawls

merupakan seorang guru besar di Universitas Harvard dan karya yang membuatnya

terkenal adalah dengan menerbitkan buku A Theory of Justice pada tahun 1971.

Rawls menyatakan pendapat tentang keadilan adalah “justice is the first virtue of

social institutions, as truth is of system of thought”, selanjutnya dinyatakan “Law and

institutions must be reformed or abolished if they ar unjust”30

(terj. keadilan adalah

kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam pemikiran,

selanjutnya hukum dan konstitusi harus di reformasi atau dihapuskan jika tidak adil). Jhon

Rawls memandang keadilan itu adalah kejujuran dan bilamana keadilan sebagai kejujuran

berjalan dengan baik, maka kebenaran dapat tercapai31

. Menurut Munir Fuadi, menyatakan

bahwa:

Teori keadilan John Rawls lebih mendasari pada teori keadilan sosial

(socialjustice) kepada struktur dasar (basic structur) dari masyarakat, yang tidak lain

merupakan cara di mana institusi sosial yang berkuasa mendistribusikan hak dan

kewajiban kepada masyarakat. Karena menurut John Rawls hukum harus memberikan

keuntungan kepada kelompok masyarakat yang “:paling kurang beruntung”, sesuai dengan

prinsip-prinsip keadilan yaitu pertama, prinsip kebebasan yang sama besarnya, maksudnya

setiap orang mempunyai hak atas kebebasan sepanjang kebebasan itu sama besarnya

dengan kebebasan orang lain; kedua, prinsip perbedaan maksudnya perbedaan memerlukan

hukum yang memberikan keuntungan kepada golongan masyarakat yang paling kurang

beruntung, dan semuanya itu dilaksanakan dalam sityuasi yang jujur/fair32

.

John Rawls telah mengemukakan dua prinsip keadilan. Prinsip pertama,

menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas, seluas kebabasan yang sama bagi semua orang. Prinsip kedua, menyatakan

29

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, 2007. Paradigma, Yogyakarta, hlm 36

30

Jhon Rawls, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge,

Massachusetts, p.4

31

Ibid

32

Munir Fuadi, Dinamika Teori Hukum, 2010. Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 126

Page 21: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

21

bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat

diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan

terbuka bagi semua orang33

.

5.2.2. Keadilan Pancasila

Undang – undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam

Pasal 1 ayat (1) menyatakan : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia”. Pasal 2 ayat (2) menyatakan

“Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila”.

Keadilan dalam hukum pidana bukanlah suatu hal yang mudah untuk

direalisasikan, karena meskipun sudah jelas diatur dalam rechtsidee bangsa Indonesia yaitu

Pancasila dan dalam norma dasar yaitu UUD 1945, namun upaya untuk menegakkan

keadilan sering dikesampingkan untuk alasan-alasan praktis. Kaelan berpendapat bahwa:

Nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

didasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan

beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dalam sila ke-5 (lima)

tersebut terkandung nilai yangh keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan

bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat

keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya

sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan

negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya34

.

5.2.3. Teori Hukum Progresif

Kajian filsafat hukum yang memfokuskan diri pada hakikat dan cita-cita hukum

yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataannya makna keadilan saat ini

telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan

pasal-perpasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Salah satu pendekatan yang dapat

dilakukan dalam mencapai penegakan hukum yang berkeadilan substantif dapat dilakukan

dengan menggunakan pendekatan paradigma hukum progresif.

33

Jhon Rawls, A Theory of Justice : Teori Keadilan. 2011. Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru

Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.72

34

Kaelan, Op.cit. hlm 7

Page 22: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

22

Apa yang diketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat

dari pemahaman gagasan brillian Satjipto Rahardjo yaitu paradigma hukum progresif yang

mana lahir sebagai oposisi keilmuan terhadap paham postivisme hukum. Gagasan ini

kemudian muncul kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih

lanjut. Apa yang digagas oleh Satjipto Rahardjo ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara

baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang

berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu

menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani

kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya

manusia penegak hukum itu sendiri.

Dilihat dari kemunculannya hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan,

bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.

Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah

berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri

bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat berupa

ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum yang

sedang terjadi dewasa ini.

Dalam proses pencariannya itu, Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa

salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia dalam

melaksanakan tugasnya sebagai aparat penegak hukum adalah dominasi terhadap

paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat pada paham tersebut

sehingga mempengaruhi kualitas dari penegakan hukum. Setidaknya keadilan substantif

sesuai dengan hukum progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga pemikiran

pokok yaitu pertama menempatkan diri sebagai kekuatan yaitu membebaskan diri dari tipe,

cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik dan lebih

mengutamakan tujuan daripada prosedural.

Kemudian yang kedua didasarkan pada logika kepatutan sosial dan tidak semata-

mata berdasarkan pada logika peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif.

Sehingga dalam hal ini keadilan substantif menurut hukum progresif dapat menjunjung

tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus

pengendali aktivitas penegakan hukum ini. Dan yang ketiga, paling utama keadilan

substantif menurut hukum progresif banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan

Page 23: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

23

sumber daya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas aparat penegak hukum

menjadi amat penting seperti empati, kejujuran dan keberanian. Faktor-faktor itulah yang

harus dikedepankan daripada hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan

yang bersifat normatif secara mekanistis dan prosedural dalam hal mencari kebenaran

hakiki oleh aparat penegak hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang memenuhi

rasa keadilan masyarakat.

5.2.4. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan sosiologis, tapi kepastian

hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti

karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan

(multi-tafsir) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian.

Kepastian hukum merupakan suatu keadaan dimana perilaku manusia baik individu,

kelompok maupun organisasi terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh

aturan hukum.

Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada

undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang

tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya.

Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas

ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku

pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin

kepastian dan keadilan dalam masyarakat.

Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu

sendiri dan kepastian karena hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap

norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak

mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau

tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di

mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala

tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang

akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.

Page 24: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

24

Sedangkan kepastian karena hukum dimaksudkan bahwa karena hukum itu

sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa,

dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum

dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan

mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.

Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka

salah satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur

dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan

masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian

undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang,

maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum

(Werkelijkheid) yang berlaku.

Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil

yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan

masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang

hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum

(legal culture) untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran

masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan jaminan kepastian

hukum serta manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu

masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan.

Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara

sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara

filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum

itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat

menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan

siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak

menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.

Para penegak hukum harus menerapkan hukum tanpa kehilangan ruh keadilan.

Hanya dengan demikian hukum akan menemukan wajah aslinya, sebagai instrumen yang

diperlukan untuk memenuhi dan melindungi manusia dan tatanan kehidupan

Page 25: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

25

bermasyarakat bukan sebaliknya mengorbankan manusia dan masyarakat yang menjadi

tempat keberadaan hukum serta tidak kehilangan roh keadilan yang menjadi tujuan

keberadaan dan penegakan hukum itu sendiri.

Mencermati pendapat Hans Kelsen, penegakan hukum oleh hakim itu terikat pada

teori positivisme yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum positif yang ditetapkan

manusia. Dalam hal ini Hans Kelsen menekankan bahwa konsep keadilan itu mencakup

pengertian yang jernih dan bebas nilai. Dimana hakim terikat dengan hukum positif yang

sudah ada berdasarkan paham legisme dalam konsep positivisme, hakim hanya sebagai

corong undang-undang, artinya mau tidak mau hakim harus benar-benar menerapkan suatu

kejadian berdasarkan konsep hukum yang sudah ada.

Hakim boleh menerapkan teori ini pada kasus yang aturan hukumnya jelas sehingga

tinggal menerapkan saja pada peristiwa konkret, namun dalam hal peristiwa yang tidak ada

aturan hukumnya hakim harus menemukan dan menggunakan analogi untuk penemuan

hukum. Hukumnya harus diupayakan dengan cara menelusuri peraturan yang mengatur

peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa yang hendak dicari hukumnya dengan jalan

argumentasi.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian

dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan

atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.

Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan

dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan

prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.

6. Tanggungjawab Hukum Terhadap Putusan Pengadilan

6.1. Tanggungjawab Hakim

Tanggungjawab artinya kewajiban terhadap segala sesuatu; fungsi menerima

pembebanan sebagai akibat sikap tindak sendiri atau pihak lain35

. Tanggungjawab

(responbility) ialah having the caracter of a free moral agent; capable of determininhg

one’s own acts; capable of deternce by consideration of sanction or consequences36

.

Definisi tersebut menekankan : (1) harus ada kesanggupan menetapkan sikap

terhadap suatu perbuatan; (2) harus ada kesanggupan memikul resiko dari sesuatu

35

Em Zul Fajri dan Ratu Aprila Senja, op.cit hlm. 794

36

Burhanudin Salam, Etika Sosial, 1997, hlm. 28

Page 26: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

26

perbuatan. Menurut Burhanudin Salam mengemukakan : (a) tanggungjawab itu menuntut

supaya setiap orang dapat menunaikan tugas kewajiban yang diserahkan kepadanya dengan

sebaik-baiknya, sebagai pencerminan dari jiwa yang berperibadi; (b) tanggungjawab itu

menghendaki supaya setiap pribadi memiliki keberanian dan keihhlasan dalam

melaksanakan kewajiban. Berani tidak saja kepada hal yang kritis tetapi juga pada saat-saat

kritik dan krisis, tanggungjawab juga mengandung arti pengorbanan; (c)tanggungjawab

berarti memfungsionalkan sifat-sifat manusiawi guna mempertahankan nilai-nilai pribadi

yang luhur, serta mendudukan nilai harga diri manusia sebagai manusia37

.

Tanggungjawab merupakan salah satu prinsip pokok kaum profesional, termasuk

hakim. Jabatan hakim adalah jabatan profesional. Karena itu, diperlukan tanggungjawab,

yakni: (1). Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan atau jabatan dan terhadap

hasilnya, yaitu putusan pengadilan; (2) Bertanggungjawab atas dampak profesi sebagai

hakim terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya masyarakat pencari

keadilan. Hakim harus pertanggungjawab atas jabatannya atau profesinya apabila

membawa kerugian baik disengaja maupun tidak. Bentuk pertanggungjawaban berupa

pengakuan tulus, permohonan maaf atas kesalahan yang dilakukan, bahkan memberikan

konpensasi tertentu; (3) Dalam menjalankan profesi sebagai hakim dituntut untuk tidak

merugikan hak orang lain, khususnya masyarakat pencari keadilan. Tidak diskriminatif

dalam menjalankan tugas yaitu: memeriksa dan memutus perkara; (4) Menjalankan profesi

atau jabatan sebagai hakim dengan memegang teguh prinsip kebebasan dan kemandirian

dalam mengadili perkara; (5) Mempunyai integritas moral. Hakim yaitu orang yang

mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesi nama baik, juga menjaga

kepentinan orang lain dan khususnya pencari keadilan; (6) hakim harus mempunyai

integritas moral tinggi, menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah terhadap

bujukan apapun untuk memutus perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan

sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan; dan (7) hakim tidak boleh menyerah atas

bujukan uang, ancaman, fitnah, kekuasaan, dan sebagainya demi mempertahankan dan

menegakkan keadilan.

6.2. Dasar Hukum Tanggungjawab Hakim

Secara atributif tugas dan tanggungjawab hakim telah diatur di dalam UUD 1945

dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakimam maupun dalam UU No. 14

37

Ibid, hlm 38-39

Page 27: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

27

Tahun 1985 juncto UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Tanggungjawab

hakim dapat dibedakan tugas dan kewajiban, sebagai berikut:

Tugas dan Kewajiban dibidang Yustisial, menyangkut tugas dan kewajiban

menyidangkanperkara:

1. Menyelenggarakan peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (vide

Pasal 29 UUD 1945; Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo UU 14/1970 jo

35/1999).

2. Mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang sesuai prinsip equalitiy

before the law (vide Pasal 27 UUD 1945; Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 10 UU

4/2004);

3. Membantu pencari keadilan mengatasi hambatan dan rintangan (vide Pasal 5

ayat (2) UU 4/2004);

4. Memegang asas praduga tak bersalah {presumptionofinnocent (vide Pasal 8

UU 4/2004 dan Penjelasan umum butir 3 huruf c)};

5. Mengadili perkara yang diajukan kepadanya, baik tingkat pertama, banding,

dan kasasi (vide Pasal 16 ayat (1) juncto Pasal 28 UU 4/2004);

6. Menyelenggarakan sidang terbuka untuk umum, kecuali undang-undang

menentukan lain (vide Pasal 19 ayat (1), (2);

7. Mengucapkan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum (vide Pasal 20

UU 4/2004);

8. Membuat putusan disertai demngan alasan, penalaran serta dasar hukum (vide

Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3);

9. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana hakim memperhatikan sifat

yang baik dan jahat dari terdakwa (vide Pasal 28 ayat (2);

10. Hakim atau ketua majelis wajib mengundurkan diri dari persidangan jika ada

hubunghan keluarga atau kepentingan langsung (vide Pasal 29 ayat (3), (4),

dan (5);

11. Mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya (vide Pasal 30 UU

4/2004);

12. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur,adil,

profesional, dan pengalaman di bidang hukum (vide Pasal 32 UU 4/2004)

13. Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (vide Pasal 1, Pasal 24 ayat (1)

dan (2) UUD 1945; Pasal 33 UU 4/2004.

Page 28: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

28

Demikian pokok-pokok pikiran dalam membahas persoalan ketiadaan pedoman

pemidanaan dalam putusan hakim (pengadilan).

Semoga bermanfaat.

Denpasar, awal Juni 2019

Page 29: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

29

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arif, 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan : Perspektif Pembaharuan

Hukum Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara. Badan penerbit Universitas

Diponegoro Semarang.

Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,

Bandung.

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Jakarta.

Jimly Asshiddiqie,2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu

Populer, Jakarta.

John Rawls, A Theory of Justice, London, Oxford University Press, 1973, terjemahan

dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori

Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Muh. Muslehuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientasi, Studi

Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana.

M. Karfawi, 1987, Asas Legalitas dalam usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalah-

masalahnya, Jurnal Arena Hukum.

M. Karjadi dan R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politea,

Bogor.

Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta, Cetakan Ketujuh

R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor

Roelof. H. Heveman, 2002, The legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata

Nusa, Jakarta

Sofyan Sastrawidjaja, 1995, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan

Pidana, Armica, Bandung.

Page 30: PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP …

30

Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum dalam lintasa sejarah, cet VIII, Kanisius,

Yogyakarta

W. Friedman, 1998, Teori-teori Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.