pengaruh ketiadaan pedoman pemidanaan terhadap …
TRANSCRIPT
1
PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP
PUTUSAN HAKIM BERKEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM
Oleh
Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Disampaikaan dalam rangka Focus Group Discussion dengan tema “Urgensi
PedomanPemidanaan Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum”
yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung
Denpasar tanggal 17-18 Juni 2019
2
PENGARUH KETIADAAN PEDOMAN PEMIDANAAN TERHADAP
PUTUSANHAKIM BERKEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM*
Oleh
Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH**
[email protected] / 0818560828
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Prawacana
Judul di atas mengisyaratkan bahwa tulisan ini seharusnyamenggunakan
penelitian hukum empiris untuk menjawab dan menjelaskan pengaruh ketiadaan
pedoman pemidanaan dalam upaya untuk memperoleh suatu putusan hakim yang
berkeadilan dan berkepastian hukum. Berhubung keterbatasan waktu, maka tulisan ini
hanya bertujuan mendeskripsikan saja dari maksud judul di atas, dengan menguraikan
secara singkat variabel-variabel dari judul yang ingin dikaji. Tentu penelitian ini juga akan
memakan waktu yang cukup lama apabila diijinkan untuk meneliti putusan-putusan
pengadilan khususnya putusan hakim pidana apakah dengan ketiadaan pedoman
pemidanaan yang tertuang di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berisikan tentang adanya perbuatan pidana beserta sanksinya sudah mencerminkan rasa
keadilan dan berkepastian hukum di dalam amar putusan para hakim pidana?. Tanpa
mengurangi substansi yang hendak dibahas maka penulis mencoba mengemukakan
pembahasan dengan memilah variabel-variabel yang dimaksudkan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah
Agung Republik Indonesia, sesuai topik yang diberikan.
1. Ketiadaan Pedoman Pemidanaan
Di dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak semua bangunan/konstruksi
konsepsional sistem hukum pidana atau ajaran hukum pidana umum itu
dimasukkan/dirumuskan di dalam Bagian Umum Buku I. Yang tidak
dimasukkan/dirumuskan secara eksplisit dalam Buku I KUHP itu antara lain ketentuan
mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan, pengertian/hakikat tindak pidana, sifat mela-
wan hukum (termasuk asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum;
“noliability without unlawfulness”; asas ketiadaan sama sekali sifat melawan hukum
secara materiel atau dikenal dengan asas “afwezigheids van alle materiele
wederrechtelijkheid”-AVAW), masalah kausalitas, masalah kesalahan atau
3
pertanggungjawaban pidana (termasuk asas tiada pidana tanpa kesalahan; asas
culpabilitas; “no liability without blameworthiness”; “afwezigheids van alle schuld”-
AVAS; pertanggungjawaban akibat / erfolgshaftung, kesesatan/error; pertanggungjawaban
korporasi).
Walaupun ajaran umum atau konstruksi konsepsional yang umum itu tidak ada di
dalam KUHP, tetapi semua itu ada di dalam pelajaran/ ilmu hukum pidana dan umumnya
diajarkan kepada para mahasiswa hukum. Namun, karena tidak tercantum secara
tegas/eksplisit di dalam KUHP,sering konstruksi konsepsional yang umum itu
dilupakan;bahkan kemungkinan “diharamkan” dalam praktek atau putusan pengadilan1.
Demikian pulalah halnya dengan masalah tujuan dan pedoman pemidanaan yang
kemungkinan bisa dilupakan, diabaikan, atau diharamkan hanya karena tidak ada pe-
rumusannya secara eksplisit di dalam KUHP. Padahal dilihat dari sudut sistem, posisi
“tujuan” sangat sentral dan fundamental. Tujuan inilah yang merupakan jiwa/roh/spirit dari
sistem pemidanaan.
2.Posisi Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Dalam rangka melakukan rekonstruksi sistem hukum pidana nasional itulah, maka
berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Ketentuan Umum Buku RKUHP
dimasukkan perumusan mengenai “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskannya
hai ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
- sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (“purposive
system”) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan;
- “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem
pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem
“tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;
- perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pe-
ngendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis,
rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;
- dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian
proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan
1Salah satu putusan pengadilan yang tidak mengharamkan digunakannya “tujuan pemidanaan”
sebagai dasar putusan, adalah putusan hakim Bismar Siregar, SH dalam kasus Ny. Elda (Ellya Dato), Putusan
PN Jakarta Utara-Timur No. 46/PID/78/UT/WANITA, 17 Juni 1978; Putusan Mahkamah Konstitusi No.
003/PUU-IV/2006 25 Juli 2006 mengenai penjelasan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi, terkesan
mengharamkan sifat melawan hukum materiel (sumber hukum tidak terulis).
4
judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/ eksekutif); oleh
karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu
kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kedudukan/posisi tujuan dan
pedoman pemidanaan dalam sistem pemidanaan substantif (atau sistem hukum pidana
substantif), dapat dilihat bagan berikut:
Dari bagan di atas terlihat, bahwa tiga masalah pokok hukum pidana yang berupa
“tindak pidana” (strabaarfeit/criminal act/actus reus), “kesalahan” (schuld/guilt/mens rea),
dan “pidana” (straf/punishment/poena)2sebenarnya hanya merupakan komponen atau sub-
sub sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana yang pada hakikatnya juga merupakan
sistem pemidanaan.3 Dilihat dari sistem pemidanaan, ketiga masalah pokok itu bukan
merupakan pilar-pilar yang berdiri sendiri namun berada di dalam bangunan sistem yang
lebih besar. Bangunan sistem hukum pidana yang lebih besar inilah yang biasanya disebut
bagian umum (general part) atau aturan/ketentuan umum (general rules) yang di dalam
RKUHP dimasukkan dalam Buku I. Di dalam aturan umum Buku I inilah dimasukkan
bangunan konsepsional sistem hukum pidana (sistem pemidanaan) yang mencakup
2Sauer menyebutnya sebagai “inas hukum pidana” (berupa “sifat melawan hukum”, “kesalahan”,
dan “pidana”) dan H.L. Packer (1968: 17) menyebutnya sebagai “the three concept” atau “the three basic
problems” (berupa “offence”, “guilt”, dan “punishment”). 3Lihat pengertian “sistem pemidanaan” dalam Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana
Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, 2005, Bab X, yang berasal dari Bahan
Sosialisasi RUU KUHP 2004, Dephumham, di Hotel Sahid Jakarta, 23-24 Maret 2005.
SISTEM PEMIDANAAN
(SISTEM HK PIDANA)
Asas & Tujuan
Pemidanaan
Aturan/Pedoman
pemidanaan
Pemid.
Kesalahan (PJP) Pidana Tindak Pidana
3 (TIGA) MASALAH POKOK
HK PIDANA
5
ketentuan mengenai asas-asas, tujuan pidana/pemidanaan, aturan dan pedoman
pemidanaan, serta berbagai pengertian/batasan juridis secara umum yang berkaitan dengan
ketiga masalah pokok (tindak pidana, kesalahan, dan pidana). Secara doktrinal, bangunan
konsepsional hukum pidana yang bersifat umum inilah yang biasanya disebut “ajaran-
ajaran umum” ('algemeine leerstukken” atau “algemeine lehren”), seperti masalah tindak
pidana, sifat melawan hukum, kesalahan, pidana dan tujuan pemidanaan, asas-asas hukum
pidana dan sebagainya.
Telah dikemukakan dalam bagan sistem pemidanaan, bahwa “tujuan dan pedoman
pemidanaan merupakan bagian integral dan sistem pemidanaan”, di samping sub-sub
sistem lainnya yang berupa tindak pidana, kesalahan (pertanggungjawaban pidana), dan
pidana.. Dengan konstruksi demikian, maka persyaratan pemidanaan atau dasar
pembenaran (justifikasi) adanya pidana, tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak
pidana” (TP) dan “kesalahan atau pertanggungjawaban pidana” (K/PJP), tetapi juga
didasarkan pada “tujuan pemidanaan”. Persyaratan pemidanaan demikian dapat disajikan
dalam skema sebagai berikut:
PIDANA = TP + K (PJP) + Tujuan
Skema pemidanaan di atas dapat pula digambarkan dalam bentuk neraca
keseimbangan, sebagai berikut:
Skema pemidanaan di atas akan berbeda dengan syarat pemidanaan yang hanya
bertolak atau terfokus pada tiga masalah pokok hukum pidana [tindak pidana;
kesalahan/pertanggungjawaban pidana; dan pidana]. Dengan hanya melihat tiga masalah
pokok itu, maka formula syarat pemidanaan yang sering dikemukakan secara konvensional
adalah:
PIDANA = TP + K (PJP)
Dalam formula/model/pola konvensional di atas, tidak terlihat variabel “tujuan”,
karena tidak dirumuskan secara eksplisit dalam KUHP, sehingga terkesan “tujuan” berada
6
di luar sistem. Dengan model demikian, dasar pembenaran atau justifikasi adanya pidana
hanya terletak pada TP (syarat objektif) dan Kesalahan (syarat subjektif). Jadi seolah-olah
pidana dipandang sebagai konsekuensi absolut yang harus ada, apabila kedua syarat itu
terbukti. Jelas terkesan sebagai “model kepastian” yang kaku. Dirasakan janggal (menurut
model ini), apabila kedua syarat itu terbukti tetapi sipelaku “dimaafkan” dan tidak
dipidana. Dengan demikian, ide “permaafan/pengampunan hakim” (Rechterlijk par-
don/judicial pardon/dispensa de pena) seolah-olah tidak mempunyai tempat atau setidak-
tidaknya sulit diterima.
3. Tujuan Pidana dalam konteks Kebijakan Pembaharuan Hukum (Pidana) Nasional
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya
UUD”45 tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin
dicapai seperti telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD”45.Tujuan nasional itu tertuang
dalam alinea keempat Pembukaan UUD”45 yang menegaskan:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .....
berdasar kepada Ketuhanan Yang MahaEsa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Dari perumusan Pembukaan UUD “45 di atas, terlihat dua tujuan nasional yang
utama yaitu : (1) “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”; dan (2) “untuk
memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila”. Jadi terlihat dua kata kunci dari
tujuan nasional yaitu “perlindungan masyarakat” dan “kesejahteraan masyarakat”. Dua
kata kunci itu identik dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/dunia keilmuan
dengan sebutan “social defence” dan “social welfare”. Dengan adanya dua kata kunci ini
pun terlihat adanya asas keseimbangan dalam tujuan (pembangunan) nasional Patut dicatat,
bahwa kedua istilah ini pun sering dipadatkan dalam satu istilah saja, yaitu “social
defence”, karena di dalam istilah “perlindungan masyarakat” sudah tercakup juga
“kesejahteraan masyarakat”.
Tujuan nasional itu tentunya merupakan garis kebijakan umum yang menjadi
landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pulalah yang seharusnya
7
menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaharuan hukum, termasuk
pembaharuan hukum pidana dan tujuan penanggulangan kejahatan (dengan hukum pidana)
di Indonesia. Oleh karena itu, wajarlah apabila:
Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dalam kesimpulannya menyatakan:4
“Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence
dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau
memulihkan kembali (rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan
kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”.
Demikian pula Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, dalam salah
satu laporannya menyatakan:5Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan
pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dan kejahatan serta
keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.
Dari dua simpulan di atas jelaslah bahwa tujuan utama yang ingin dicapai oleh
pidana dan hukum pidana sebagai salah satu sarana dari politik kriminal adalah
“perlindungan masyarakat”.6 Tujuan perlindungan masyarakat inilah yang menurut Cherif
Bassiouni merupakan batu landasan (a cornerstone) dari hukum pidana.7
Apakah yang menjadi tujuan pidana (penegakan hukum pidana) apabila bertolak
dari tujuan nasional itu (yaitu “perlindungan masyarakat” atau “social defence”)?
Mengenai hal ini,tujuan pidana/pemidanaan harus dikaitkan dengan 4 (empat) aspek atau
ruang lingkup dari perlindungan masyarakat, yaitu :8
1. Masyarakat memerlukan perlindungan ter-hadap perbuatan anti sosial yang
merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka tujuan
pemidanaan (penegakan hukum pidana) adalah mencegah dan menanggulangi
kejahatan.
2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang.
Oleh karena itu, pidana/hukum pidana bertujuan memperbaiki sipelaku kejahatan
4Keputusan Seminar Kriminologi ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hlm. 4
5Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN Departemen Kehakiman, 1980,
hlm. 6-7. 6Sahetapy, dalam disertasinya kurang sependapat dengan pandangan ini (Suatu studi khusus
mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap pembunuhan Berencana, CV.Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 189-
190) 7M.Cherif Bassiouni. SubstantiveCriminalLaw, Charles C Publisher, Springfield, Ilhoms. USA,
1978hlm.79 8Uraian lebih rinci. dapat dilih Barda NA, “Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara”, BP UNDIP, 1996, 2000; atau terbitan CV Ananta, 1994.
8
atau berusaha merubah dan memengaruhi ting-kah lakunya agar kembali patuh
pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau
reaksi dari penegak hukum maupun dan warga masyarakat pada umumnya. Oleh
karena itu wajar pula apabila tujuan pidana harus mencegah terjadinya perlakuan
atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum (tidak manusiawi).
4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan
berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya keja-
hatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Keempat aspek tujuan pemidanaan itu, apabila dikaitkan dengan pendapat/teori,
dapat diskemakan sbb.:
Aspek S.D. Tujuan Pidana Pendapat/Teori
Perlindungan
thd. kejahatan
(perbtn. jahat)
Penanggulangan
kejahatan • represion/reduction/pr evention/control of crime;
• teori isolasi;
• pengamanan masyarakat.
Perlindungan
thd. pelaku
(orang jahat)
Perbaikan si
pelaku
(mengubah
tingkah laku)
• rehabilitasi/reformasi/ reedukasi/readaptasi
sosial/resosialisasi/pemasyarakatan/pembebasan/t
reratment ofoffenders;
• “gedragsbeinvloeding(Hulsman);
• J. Andenaes:“stimulate habitual law-abiding
conduct” (social-pedagogical effect/habituative-
effect);
• Schwartz & Skolnick : “to prevent recidivism”
Perlindungan
thd. penyalah-
gunaan sanksi/
reaksi
Mengatur/
membatasi
kesewenangan
penguasa &
warga ma-
syarakat.
• Montero's aim: "to protect offenders
andsuspectedoffender against unofficial
retaliation":
• Emile Durkheim: "to create a possibility for the
release of emotions that are aroused by the
crime";
• Schwartz & Skolnick : "to provide a channel for
the expression of retaliatory motives".
Perlindungan
thd. keseim-
bangan kepen-
tingan/niiai
yang terganggu
Memelihara/
memulihkan
keseimbangan
masyarakat
• teori retribution, expiation, restitution,
denunciation (the expressive);
• menghilangkan noda-
noda/memulihkankeseimbangan(Konsep KUHP);
• "conflict opplosing"/conflict resolution;*
"vredemaking";
• membawa kerukunan (R.Saleh);
• reinforcing social values;
9
• reaffirmation of the public feeling of security;
• revival of shaken feelings of solidarity, dsb
Bertolak dari keempat aspek tujuan perlindungan masyarakat seperti telah
diuraikan di atas, maka tujuan pemidanaan pada intinya mengandung dua aspek pokok,
yaitu:
(1). aspek perlindungan masyarakatterhadap tindak pidana.
Aspek pokok pertama ini meliputi tujuan-tujuan:
a. Pencegahan Kejahatan
b. Pengayoman (pengamanan) masyarakat
c. Pemulihan keseimbangan masyarakat:
• penyelesaian konflik (conflict oplos-sing)
• mendatangkan rasa damai (vrede-making)
(2) aspek perlindungan/pembinaan individupelaku tindak pidana (aspek individualisasi
pidana)
Aspek pokok kedua ini dapat meliputi tujuan :
a. rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi (memasyarakatkan) terpidana; antara lain :
• agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak/merugikan diri
sendiri maupun orang lain/masyarakat.
• agar berbudi pekerti (berakhlak) Pancasila;
b. membebaskan rasa bersalah;
c. melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-
wenang tidak manusiawi (pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia).
Uraian di atas, dapat digambarkan dengan ragaan sbb.:
10
11
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila tujuan pidana dan hukum
pidana harus diorientasikan pada tujuan “perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan sosial”, maka suatu teori yang hanya melihat salah satu aspek dari tujuan
umum tersebut sebenarnya terlalu bersifat sepihak.
Dalam RUU KUHP juga sudah dimuat mengenai Tujuan Pemidanaan antara lain:
1) mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;
2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan
pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan
keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam
masyarakat; dan
12
4) menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada
terpidana.
5) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
4. Makna Putusan (Hakim) Pengadilan
Perlakuan secara adil melalui pengadilan harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Dalam memberikan keadilan, tidak cukup berorientasi pada hasil
akhir, melainkan dari aspek proses dan mekanisme juga harus memperlakukan secara
proporsional. Perlakuan adil harus dapat dirasakan pencari keadilan, sehingga dapat
dipahami dan dimengerti alur pikir dan logika yang dibangun hakim. Menurut
Djokosoetono, hakim harus berpikir secara yuridis, sistematis dan teratur atau
goerdendenken, sehingga setiap persoalan hukum dapat dipecahkan secara baik dan benar,
sehingga putusannya dapat diterima secara yuridis, sosiologis dan filosofis9. Putusan
Hakim menentukan apa hukum dan keadilannya dalam setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Selain memutus berdasarkan hukum, sekaligus harus mendasarkan kepada
keadilan dan kebenaran10
. Melalui putusannya, hakin harus dapat
mempertanggungjawabkan kepada para pencari keadilan (justisiabelen) pada khususnya
dan kepada masyarakat pada umumnya, terlebih kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Putusan pengadilan merupakan keseluruhan rangkaian proses pemeriksaan
persidangan sampai pada sikap hakim untuk mengakhiri perkara yang disidangkan.
Piutusan pengadilan tidak dapat dipahami hanya dengan membaca amar putusan,
melainkan harus secara keseluruhan. Semua yang terurai dalam putusan merupakan satu
kesatuan dan saling terkait serta tidak dapat dipisahkan. Formalitas putusan terdiri dari 4
bagian: Kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan (considerans), dan amar11
.
Keempat bagian tersebut sangat penting, namun yang paling penting berkaitan dengan
amar putusan yaitu bagian pertimbangan hukumnya. Bagian ini merupakan
pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya.
9 Purwoto S. Gandasubrata. Tugas Hakim Indonesia.1994.Bina Yustisia, Litbang MARI, Jakarta, hlm
17. 10
Ibid 11
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, 1993. Citra Aditya Bhakti, Bandung,
hlm164-171
13
Urgensi mengkaji esensi pertimbangan hukum putusan pengadilan karena
pertimbangan hukum merupakan bagian yang sangat penting dan menentukan. Banyaknya
perbedaan putusan pengadilan memerlukan penelusuran dan penelahaan secara khusus
agar dapat diketahui penalaran dan logika serta argumentasi hukumnya. Perbedaan putusan
berarti terdapat perbedaan pertimbangan hukumnya, baik putusan pengadilan tingkat
pertama, banding maupun kasasi. Dalam pertimbangan hukum memuat dasar hukum,
penalaran dan argumentasi hukum yang didalamnya sarat dengan penerapan berbagai teori
hukum, teori kebenaran dan keadilan, guna memberikan landasan pada putusannya.
Putusan merupakan hasil dari suatu proses atau serangkaian tindakan dan
perlakuan hakim selama mengadili dan memperlakukan pihak berperkara berdasarkan
peraturan perundang-undangan, yang dapat dirasakan oleh para pencari keadilan. Keadilan
putusan merupakan keadilan yang dituntut masyarakat berdasarkan pada aturan hukum dan
rasa keadilan yang pluralistis12
.
Pertimbangan hukum putusan merupakan pertanggungjawaban oleh karenanya
harus disusun menggunakan hukum penalaran dan penalaran hukum yang tepat. Menurut
Djokosoetono, putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni
kebutuhan teoritis maupun praktis13
. Kebutuhan teoritis menilik kepada isi beserta
pertimbangannya. Putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum
atau harus juridisch en filosofisch verantwoord. Kebutuhan praktis dengan putusan
diharapkan dapat menyelesaikan sengketa hukum yang ada dan dapat diterima para pihak,
maupun masyarakat karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum atau dapat
diterima secara sosiologis. Putusan pengadilan mengandung hal-hal yang prinsipiil yaitu:
mendasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik hukum formil maupun
material, mengandung nilai moral, memberikan rasa adil serta dapat dilaksanakan atau
ekskusi demi kepastian hukum14
. Putusan pengadilan merupakan mahkota hakim, dan inti
12
Rasa keadilan yang pluralis dimaksudkan yaitu keadilan berdasarkan aturan hukum yang berlaku
di lingkungan masing-masing. Setiap masyarakat memiliki aturan hukum atau hukum adat yang berbeda.
Perlakuan adil menurut masyarakat yang satu tidak serta merta dirasakan adil bagi kelompok masyarakat
lain. Perbedaan aturan hukum mengakibatkan perbedaan rasa keadilan terhadap masyarakat. Karena itu,
hakim dalam mengadili dan memutus perkara juga harus tetap memperhatikan hukum positif dan hukum
yang hidup serta diyakini kebenarannya oleh masyarakat. 13
Purwoto S Gandasubrata, loc.cit 14
Dalam mengadili perkara hakim tetap terikat peraturan perundang-undangan baik formil
maupun materiil. Pada saat proses memeriksa perkara, hakim harus memperlakukan para pihak secara baik
dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai agama serta memperhatian
dengan seksama tatanan yang berlaku dalam masyarakat. Putusan hakim harus dapat dilaksanakan atau
14
mahkotanya terletak pada pertimbangan hukumnya. Sebagai inti mahkota dengan
sendirinya harus dibuat dan disusun menggunakan hukum penalaran dan penalaran hukum
yang benar.
Penalaran merupakan : a) suatu proses berpikir menarik suatu kesimpulan yang
berupa pengetahuan; b) suatui proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis
penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing15
. Ciri penalaran: pertama,
adanya pola pikir yang secara luas dapat disebut logika. Kedua, adanya sifat analitis dari
proses berpikirnya16
. Penalaran hukum (legalreasoning) merupakan salah satu unsur utama
yang harus dipahami dalam penelitian hukum17
.
Penalaran hukum pada dasarnya mempelajari pertanggungjawaban ilmiah dari
segi ilmu hukum terhadap proses pembuatan suatu keputusan (judicial decision making)
yang meliputi argumentasi dan alasan-alasan logis sebagai alasan pembenar atau
justification terhadap keputusan yang dibuat18
. Sebuah keputusan hukum yang tepat
diperlukan logika hukum yang mengontrol proses pembenaran (processofjustification)
setiap keputusan hukum. Kegiatan ilmiah yang termasuk dalam penalaran hukum antara
lain: logika hukum, argumentasi hukum, dan discourse hukum19
. Putusan pengadilan dapat
termasuk dalam keputusan hukum. Karena itu, penerapan penalaran hukum dalam
pertimbangan hukum putusan bersifat imperatif. Penalaran hukum dapat menuntun kita
untuk memahami putusan serta pola pikir yang digunakan hakim.
Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu
dilakukan Tindak Pidana atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan
untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
ekskusi demi kepastian hukum. Jika semua kriteria telah terpenuhi, putusan harus dilaksanakan apapun
resikonya. 15
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar, 2000, Pustaka Sinar Harapan, hlm.42 16
Ibid 17
Jhony Ibrahim. Teori dan Methodologi Penelitian Hukum Normatif, 2006. Bayumedia, Surabaya,
hlm 239 18
Ibid 19
Ibid
15
Untuk orang dewasa/umum Untuk Korporasi
1. kesalahan pembuat Tindak Pidana;
2. motif dan tujuan melakukan
Tindak Pidana;
3. sikap batin pembuat Tindak
Pidana;
4. Tindak Pidana dilakukan dengan
direncanakan atau tidak
direncanakan;
5. cara melakukan Tindak Pidana;
6. sikap dan tindakan pembuat
sesudah melakukan Tindak Pidana;
7. riwayat hidup, keadaan sosial, dan
keadaan ekonomi pembuat Tindak
Pidana;
8. pengaruh pidana terhadap masa
depan pembuat Tindak Pidana;
9. pengaruh Tindak Pidana terhadap
korban atau keluarga korban;
10. pemaafan dari korban dan/atau
keluarganya; dan/ataunilai hukum
dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
11. nilai hukum dan keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
1. tingkat kerugian atau dampak
yang ditimbulkan;
2. tingkat keterlibatan pengurus
Korporasi dan/atau peran
personel pengendali Korporasi;
3. lamanya Tindak Pidanayang
telah dilakukan;
4. frekuensi Tindak Pidana oleh
Korporasi;
5. bentuk kesalahan Tindak Pidana;
6. keterlibatan pejabat;
7. nilai hukum dan keadilan yang
hidup dalam masyarakat
8. rekam jejak Korporasi dalam
melakukan usaha atau kegiatan;
9. pengaruh pemidanaan terhadap
Korporasi; dan/atau
10. kerja sama Korporasi dalam
penanganan Tindak Pidana.
5. Penerapan Teori Kebenaran, Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum
5.1. Teori Kebenaran
Kebenaran merupakan persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan20
.
Dalam realitas mencari kebenaran putusan pengadilan tidak cukup memngandalkan logika
serta indera, tetapi juga petunjuk yang dapat membentuk keyakinan. Untuk memperoleh
kebenaran putusan, di samping mendasarkan dan menerapkan peraturan perundang-
20
A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, sebuah Tinjauan Filofosfis, 2001, Kanisius,
Yogyakarta, hlm. 66
16
undangan, juga mendasarkan teori kebenaran. Teori kebenaran meliputi kebenaran
koresponden, koheren, dan pragmatis serta kebenaran performatif21
, yang akan diuraikan
secara singkat di bawah ini:
a). Teori Kebenaran Koresponden
Mengadili perkara pidana, pihak penuntut umum mendalilkan bahwa seseorang
didakwa melakukan tindak pidana. Atas dasar surat dakwaan tersebut, penuntut umum
harus membuktikan kebenaran dalil hukum di pengadilan. Semua orang yang berperkara
dan diadili, senantiasa menuntut keadilan dan kebenaran. Dalam upaya memperoleh
kebenaran harus didasarkan pada teori atau aturan berpikir yang benar. Teori kebenaran
diterapkan untuk memperoleh sesuatu yang benar. Tokoh yang menyuarakan teori
kebenaran antara lain R. Allan White dengan teori korensponden (tradisional), Aristoteles,
Eucid, Plato, Bertran Ruissell: kebenaran yaitu persesuaian antara apa yang dikatakan
dengan kenyataan22
. Teori koresponden menyatakan bahwa suatu pernyataan yaitu benar
jika materi pengetahuan berkoresponden atau berhubungan dengan objek yang dituju
pernyataan tersebut. Dengan kata lain, suatu pernyataan itu bernilai benar bila pernyataan
itu memiliki kesesuian dengan kenyataan atau realitas. Kebenaran dapat dibuktikan secara
langsung pada realitas. Kontruksi berpikir teori korespondensi yaitu suatu kebenaran
dibuktikan dengan cara menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan
korespondensi sangat beragam mulai dari korelasi, kausal, kontribusi, dan mutual23
.
Ada beberapa catatan dalam teori kebenaran koresponden antara lain: (1)
Mengutamakan pengalaman dan pengamatan inderawi atau aliran empiris; (2) Cenderung
menegaskan dualitas antara subjek dan objek. Teori ini menekankan pentingnya objek bagi
kebenaran; (3) Menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran, yang disebut sebagai
pembuktian (justifikasi) yaitu proses menyodorkan fakta yang mendukung atau proposisi
atau hipotesis; (4) Menegaskan bahwa semua pernyataan, proposisi atau hipotesis yang
tidak didukung bukti empiris, oleh kenyataan faktual apapun, tidak dianggap benar24
Jenis perkara sangat menentukan kebenaran yang akan dicari dalam acara
pembuktian. Dalam perkara pidana kebenaran yang dicari yaitu kebenaran material,
sedang dalam perkara perdata kebenaran yang dicari yaitu kebenaran formil. Kebenaran
21
Ibid. hlm 65 22
Yuyun, op.cit. hlm 57 23
H. Noeng Muhajir, Filasafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, Post Modernisme . 2001. Rake
sarasin, Yogyakarta, hlm. 52 24
A Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Op.cit. hlm 66-67
17
material merupakan suatu kebenaran yang diperoleh hakim dengan cara memeriksa dan
menguji secara langsung pihak yang diajukan dalam persidangan. Kebenaran formal
merupakan suatu kebenaran yang diperoleh hakim dengan menguitamakan bukti formal
atau bukti tertulis. Saksi-saksi yang diajukan fungsinya untuk mendukung kebenaran bukti
tertulis. Teori korespondensi diterapkan hakim untuk melakukan pengujian dengan
mengkorelasikan antara pasal-pasal yang didakakan dengan fakta hukum yang terungkap
dipersidangan.
b) Teori Kebenaran Koheren
Upaya untuk memperoleh putusan yang benar tidak cukup untuk hanya
menggunakan teori korespondensi, dibagian lain juga digunakan teori kebenaran koheren
yang saling mendukung dan menunjang.teori kebenaran koheren termasuk teori tradisional
yang dibangun oleh poara pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Discartes, Hegel,
dan Bradley. Teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth).
Kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan
dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Teori kebenaran
koheren menyatakan bahwa suatu proposisi itu benar apabila hal tersebut mempunyai
hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada atau benar. Dalam hukum dikenal
dengan istilah yurisprudensi atau asas preseden.
Menurut R. Allan White teori kebenaran koheren sebagai berikut : “…to say what
is said (usually called a judgement, bilief, or propostition) is true ar false is to say that it
coheres or fails to cohere with a system of other things which are said; that it is a member
of a system whose element in a system of pure mathematic are realted”25
.
Louis O Kattsoff menyatakan: “Suatu proposisi cenderung benar jika proposisi
tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang lain yang
benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan
pengalaman kita.26
Syarat mutlak dalam menerapkan teori kebenaran koheren yaitu adanya
psoposisi yang benar sebelumnya. Dalam hal membuat pertimbangan hukum putusan, juga
harus mendasarkan pada yurisprudensi tetap yang telah ada. Dalam hal membuat
pertimbangan hukum tentang mengambil barang yang obykenya aliran listrik, hakim
senantiasa mendasarkan pada arrest hoogeraad yang telah ada.
25
Tim Dosen Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu, sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, 2001.
UGM, Yogyakarta. hlm. 138-139 26
Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, 1992. Tiara Wacana Yogya,
hlm. 181
18
c). Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis digunakan hakim untuk mengukur, memprediksi
putusan yang akan dijatuhkan. Putusan pengadilan dapat diketahui dan dirasakan setelah
putusan tersebut diucapkan dan disikapi para pihak. Sepanjang putusan belum diterima
para pihak akan selalu muncul upaya hukum. Setelah putusan diucapkan, dapat
menimbulkan opini hukum dalam masyarakat. Semakin besar kiritk masyarakat terhadap
putusan pengadilan, menunjukkan adanya perhatian yang besar kepoada pengadilan.
Semakin banyk kiritk yang kontra, berarti perlu adanya evaluasi kinerja hakim dalam
mengadili perkara perlu ditingkatkan.
Teori kebenaran pragmatis kebanyakan dianut filosof-filosof Amerika, seperti
Charles S.Pierce, Willaim James dan Johon Dewey. Mereka menyatakan bahwa yang
benar itu konkret, yang individual dan spesifik. Menurut John Dewey, kebenaran
merupakan koresprodensi antara ide dengan fakta dan arti koresprodensi yaitu kegunaan
praktis27
. Menurut teori ini kebenaran yaitu identik dengan kegunaan. Artinya jika ide
konsep pernyataan dan hipotesis yang benar yaitu ide yang berguna, yang memungkinkan
seseorang berdasarkan ide itu melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.
Bagi perkembangan ilmu hukum, putusan pengadilan tidak sekadar bermanfaat
atau tidak bagi terdakwa. Terdakwa dalam perkara pidana secara subjektif pasti
menyatakan bahwa putusan pengadilan merugikan dan menyengsarakan dirinya. Secara
yuridis pidana yang dijatuhkan terhadap diri terdakwa merupakan kosekuensi yuridis yang
harus diterima penuh kesadaran. Dalam rangka menegakkan hukum dan mengembangkan
hukum, putusan pengadilan senantias dikritisi agar tidak terjadi penyimpangan hukum.
d). Teori Kebenaran Performatif
Kebenaran performatif putusan pengadilan dapat diketahui sesaat setelah hakim
menjatuhkan putusan terhadap diri terdakwa. Status itu berubah ketika putusan pengadilan
yang semula terdakwa manakala dikenakan sanksi pidana menjadi terpidana. Jika
dibebaskan, maka statusnya kembali seperti sebelum diadili.
Teori kebenaran performatif dianut oleh Frank Ramsay, John Austin, dan Peter
Starwson. Teori kebenaran performatif sebagai wujud peetanggungjawaban putusan hakim,
khususnya bagi yang disebutkan dalam amar putusan. Jika dikaji secara mendalam,
27
Noeng Muhadjir, op.cit. hlm. 20
19
kebenaran performatif merupakan hasil akhir dari suatu proses yang panjang dalam
putusan pengadilan tersebut.
Suatu putusan yang telah dipertimbangkan secara yuridis berdasarkan teori-teori
kebenaran dapat menghasilkan keputusan yang adil. Putusan yang adil merupakan
perlakuan yang diharapkan bagi semua orang termasuk pencari keadilan. Putusan yang
adil merupakan putusan yang merefleksikan proses dan prosedur yang benar, transparan,
dan memberikan jaminan akuntabilitas.
5.2. Teori Keadilan
Keadilan bukanlah satu-satunya tujuan dari hukum karena selain keadilan,
terdapat tujuan yang lainnya yaitu kepastian dan kemanfaatan. Hukum yang ideal harus
mampu mengakomodasikan ketiga tujuan hukum tersebut. Meski demikian, keadilan
merupakan salah satu tujuan yang banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat
hukum sehingga menimbulkan banyak teori-teori tentang keadilan.
Arestoteles dalam buku NicomacheanEthics menyatakan bahwa keadilan adalah
kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Hal ini, mengandung dua arti
yakni: adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yakni yang semestinya28
.
Thomas Aquinas juga membagi keadilan menjadi keadilan umum (keadilan menurut
kehendak undang-undang yang harus dilaksanakan untuk kepentingan umum) dan keadilan
khusus (keadilan atas kesamaan atau proporsionalitas).
Kaelan mengemuakakan pendatnya mengenai keadilan, yaitu:
Keadilan hendaknya direfleksikan dan menjadi bagian dari substansi hukum.
Kinerja hukum yang konsisten dalam penerapan dan prosedur yang relatif sama
terhadap perilaku yang menyimpang dari norma hukum menjamin terjadinya
keadilan yang substantif. Sebagai konsekuensi nilai-nilai keadilan substantif
yang terwujud dalam kehidupan bersama adalah meliputi pertama, keadilan
distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dengan warga negaranya,
dalam arti negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk
kesejahteraan, serta kesempatan dalam hidup bersama yangdidasarkan atas hak
dan kewajiban. Kedua, keadilan legal atau keadilan bnertaat yaitu suatu
hubungan keandilan antara warga negara terhadap negara, dan warga negara
wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan
28
Darji Darmodiharjo dan Sidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia). 2006. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 156.
20
yang berlaku. Ketiga, keadilan komulatif yaitu hubungan keadilan antara warga
negara satu dengan yang lainnya secara timbal balik29
.
5.2.1. Teori Keadilan John Rawls
Pemikiran mengenai keadilan yang dikemukakan oleh Jhon Rawls, seorang filsuf
politik yang lahir di Baltimor, Maryland Amerika Serikat pada tahun 1921. John Rawls
merupakan seorang guru besar di Universitas Harvard dan karya yang membuatnya
terkenal adalah dengan menerbitkan buku A Theory of Justice pada tahun 1971.
Rawls menyatakan pendapat tentang keadilan adalah “justice is the first virtue of
social institutions, as truth is of system of thought”, selanjutnya dinyatakan “Law and
institutions must be reformed or abolished if they ar unjust”30
(terj. keadilan adalah
kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam pemikiran,
selanjutnya hukum dan konstitusi harus di reformasi atau dihapuskan jika tidak adil). Jhon
Rawls memandang keadilan itu adalah kejujuran dan bilamana keadilan sebagai kejujuran
berjalan dengan baik, maka kebenaran dapat tercapai31
. Menurut Munir Fuadi, menyatakan
bahwa:
Teori keadilan John Rawls lebih mendasari pada teori keadilan sosial
(socialjustice) kepada struktur dasar (basic structur) dari masyarakat, yang tidak lain
merupakan cara di mana institusi sosial yang berkuasa mendistribusikan hak dan
kewajiban kepada masyarakat. Karena menurut John Rawls hukum harus memberikan
keuntungan kepada kelompok masyarakat yang “:paling kurang beruntung”, sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan yaitu pertama, prinsip kebebasan yang sama besarnya, maksudnya
setiap orang mempunyai hak atas kebebasan sepanjang kebebasan itu sama besarnya
dengan kebebasan orang lain; kedua, prinsip perbedaan maksudnya perbedaan memerlukan
hukum yang memberikan keuntungan kepada golongan masyarakat yang paling kurang
beruntung, dan semuanya itu dilaksanakan dalam sityuasi yang jujur/fair32
.
John Rawls telah mengemukakan dua prinsip keadilan. Prinsip pertama,
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas, seluas kebabasan yang sama bagi semua orang. Prinsip kedua, menyatakan
29
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, 2007. Paradigma, Yogyakarta, hlm 36
30
Jhon Rawls, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, p.4
31
Ibid
32
Munir Fuadi, Dinamika Teori Hukum, 2010. Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 126
21
bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat
diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan
terbuka bagi semua orang33
.
5.2.2. Keadilan Pancasila
Undang – undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 1 ayat (1) menyatakan : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia”. Pasal 2 ayat (2) menyatakan
“Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila”.
Keadilan dalam hukum pidana bukanlah suatu hal yang mudah untuk
direalisasikan, karena meskipun sudah jelas diatur dalam rechtsidee bangsa Indonesia yaitu
Pancasila dan dalam norma dasar yaitu UUD 1945, namun upaya untuk menegakkan
keadilan sering dikesampingkan untuk alasan-alasan praktis. Kaelan berpendapat bahwa:
Nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
didasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dalam sila ke-5 (lima)
tersebut terkandung nilai yangh keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan
bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan
negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya34
.
5.2.3. Teori Hukum Progresif
Kajian filsafat hukum yang memfokuskan diri pada hakikat dan cita-cita hukum
yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataannya makna keadilan saat ini
telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan
pasal-perpasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan dalam mencapai penegakan hukum yang berkeadilan substantif dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan paradigma hukum progresif.
33
Jhon Rawls, A Theory of Justice : Teori Keadilan. 2011. Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.72
34
Kaelan, Op.cit. hlm 7
22
Apa yang diketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat
dari pemahaman gagasan brillian Satjipto Rahardjo yaitu paradigma hukum progresif yang
mana lahir sebagai oposisi keilmuan terhadap paham postivisme hukum. Gagasan ini
kemudian muncul kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih
lanjut. Apa yang digagas oleh Satjipto Rahardjo ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara
baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang
berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya
manusia penegak hukum itu sendiri.
Dilihat dari kemunculannya hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan,
bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.
Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah
berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri
bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat berupa
ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum yang
sedang terjadi dewasa ini.
Dalam proses pencariannya itu, Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa
salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya sebagai aparat penegak hukum adalah dominasi terhadap
paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat pada paham tersebut
sehingga mempengaruhi kualitas dari penegakan hukum. Setidaknya keadilan substantif
sesuai dengan hukum progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga pemikiran
pokok yaitu pertama menempatkan diri sebagai kekuatan yaitu membebaskan diri dari tipe,
cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik dan lebih
mengutamakan tujuan daripada prosedural.
Kemudian yang kedua didasarkan pada logika kepatutan sosial dan tidak semata-
mata berdasarkan pada logika peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif.
Sehingga dalam hal ini keadilan substantif menurut hukum progresif dapat menjunjung
tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus
pengendali aktivitas penegakan hukum ini. Dan yang ketiga, paling utama keadilan
substantif menurut hukum progresif banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan
23
sumber daya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas aparat penegak hukum
menjadi amat penting seperti empati, kejujuran dan keberanian. Faktor-faktor itulah yang
harus dikedepankan daripada hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan
yang bersifat normatif secara mekanistis dan prosedural dalam hal mencari kebenaran
hakiki oleh aparat penegak hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang memenuhi
rasa keadilan masyarakat.
5.2.4. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan sosiologis, tapi kepastian
hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti
karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan
(multi-tafsir) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian.
Kepastian hukum merupakan suatu keadaan dimana perilaku manusia baik individu,
kelompok maupun organisasi terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh
aturan hukum.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada
undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang
tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya.
Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas
ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku
pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin
kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu
sendiri dan kepastian karena hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap
norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak
mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau
tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di
mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala
tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang
akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
24
Sedangkan kepastian karena hukum dimaksudkan bahwa karena hukum itu
sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa,
dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum
dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan
mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka
salah satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur
dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan
masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian
undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang,
maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum
(Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil
yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan
masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang
hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum
(legal culture) untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran
masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan jaminan kepastian
hukum serta manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu
masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan.
Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara
sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara
filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum
itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan
siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Para penegak hukum harus menerapkan hukum tanpa kehilangan ruh keadilan.
Hanya dengan demikian hukum akan menemukan wajah aslinya, sebagai instrumen yang
diperlukan untuk memenuhi dan melindungi manusia dan tatanan kehidupan
25
bermasyarakat bukan sebaliknya mengorbankan manusia dan masyarakat yang menjadi
tempat keberadaan hukum serta tidak kehilangan roh keadilan yang menjadi tujuan
keberadaan dan penegakan hukum itu sendiri.
Mencermati pendapat Hans Kelsen, penegakan hukum oleh hakim itu terikat pada
teori positivisme yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum positif yang ditetapkan
manusia. Dalam hal ini Hans Kelsen menekankan bahwa konsep keadilan itu mencakup
pengertian yang jernih dan bebas nilai. Dimana hakim terikat dengan hukum positif yang
sudah ada berdasarkan paham legisme dalam konsep positivisme, hakim hanya sebagai
corong undang-undang, artinya mau tidak mau hakim harus benar-benar menerapkan suatu
kejadian berdasarkan konsep hukum yang sudah ada.
Hakim boleh menerapkan teori ini pada kasus yang aturan hukumnya jelas sehingga
tinggal menerapkan saja pada peristiwa konkret, namun dalam hal peristiwa yang tidak ada
aturan hukumnya hakim harus menemukan dan menggunakan analogi untuk penemuan
hukum. Hukumnya harus diupayakan dengan cara menelusuri peraturan yang mengatur
peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa yang hendak dicari hukumnya dengan jalan
argumentasi.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian
dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan
atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.
Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan
dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan
prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
6. Tanggungjawab Hukum Terhadap Putusan Pengadilan
6.1. Tanggungjawab Hakim
Tanggungjawab artinya kewajiban terhadap segala sesuatu; fungsi menerima
pembebanan sebagai akibat sikap tindak sendiri atau pihak lain35
. Tanggungjawab
(responbility) ialah having the caracter of a free moral agent; capable of determininhg
one’s own acts; capable of deternce by consideration of sanction or consequences36
.
Definisi tersebut menekankan : (1) harus ada kesanggupan menetapkan sikap
terhadap suatu perbuatan; (2) harus ada kesanggupan memikul resiko dari sesuatu
35
Em Zul Fajri dan Ratu Aprila Senja, op.cit hlm. 794
36
Burhanudin Salam, Etika Sosial, 1997, hlm. 28
26
perbuatan. Menurut Burhanudin Salam mengemukakan : (a) tanggungjawab itu menuntut
supaya setiap orang dapat menunaikan tugas kewajiban yang diserahkan kepadanya dengan
sebaik-baiknya, sebagai pencerminan dari jiwa yang berperibadi; (b) tanggungjawab itu
menghendaki supaya setiap pribadi memiliki keberanian dan keihhlasan dalam
melaksanakan kewajiban. Berani tidak saja kepada hal yang kritis tetapi juga pada saat-saat
kritik dan krisis, tanggungjawab juga mengandung arti pengorbanan; (c)tanggungjawab
berarti memfungsionalkan sifat-sifat manusiawi guna mempertahankan nilai-nilai pribadi
yang luhur, serta mendudukan nilai harga diri manusia sebagai manusia37
.
Tanggungjawab merupakan salah satu prinsip pokok kaum profesional, termasuk
hakim. Jabatan hakim adalah jabatan profesional. Karena itu, diperlukan tanggungjawab,
yakni: (1). Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan atau jabatan dan terhadap
hasilnya, yaitu putusan pengadilan; (2) Bertanggungjawab atas dampak profesi sebagai
hakim terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya masyarakat pencari
keadilan. Hakim harus pertanggungjawab atas jabatannya atau profesinya apabila
membawa kerugian baik disengaja maupun tidak. Bentuk pertanggungjawaban berupa
pengakuan tulus, permohonan maaf atas kesalahan yang dilakukan, bahkan memberikan
konpensasi tertentu; (3) Dalam menjalankan profesi sebagai hakim dituntut untuk tidak
merugikan hak orang lain, khususnya masyarakat pencari keadilan. Tidak diskriminatif
dalam menjalankan tugas yaitu: memeriksa dan memutus perkara; (4) Menjalankan profesi
atau jabatan sebagai hakim dengan memegang teguh prinsip kebebasan dan kemandirian
dalam mengadili perkara; (5) Mempunyai integritas moral. Hakim yaitu orang yang
mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesi nama baik, juga menjaga
kepentinan orang lain dan khususnya pencari keadilan; (6) hakim harus mempunyai
integritas moral tinggi, menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah terhadap
bujukan apapun untuk memutus perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan
sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan; dan (7) hakim tidak boleh menyerah atas
bujukan uang, ancaman, fitnah, kekuasaan, dan sebagainya demi mempertahankan dan
menegakkan keadilan.
6.2. Dasar Hukum Tanggungjawab Hakim
Secara atributif tugas dan tanggungjawab hakim telah diatur di dalam UUD 1945
dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakimam maupun dalam UU No. 14
37
Ibid, hlm 38-39
27
Tahun 1985 juncto UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Tanggungjawab
hakim dapat dibedakan tugas dan kewajiban, sebagai berikut:
Tugas dan Kewajiban dibidang Yustisial, menyangkut tugas dan kewajiban
menyidangkanperkara:
1. Menyelenggarakan peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (vide
Pasal 29 UUD 1945; Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo UU 14/1970 jo
35/1999).
2. Mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang sesuai prinsip equalitiy
before the law (vide Pasal 27 UUD 1945; Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 10 UU
4/2004);
3. Membantu pencari keadilan mengatasi hambatan dan rintangan (vide Pasal 5
ayat (2) UU 4/2004);
4. Memegang asas praduga tak bersalah {presumptionofinnocent (vide Pasal 8
UU 4/2004 dan Penjelasan umum butir 3 huruf c)};
5. Mengadili perkara yang diajukan kepadanya, baik tingkat pertama, banding,
dan kasasi (vide Pasal 16 ayat (1) juncto Pasal 28 UU 4/2004);
6. Menyelenggarakan sidang terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain (vide Pasal 19 ayat (1), (2);
7. Mengucapkan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum (vide Pasal 20
UU 4/2004);
8. Membuat putusan disertai demngan alasan, penalaran serta dasar hukum (vide
Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3);
9. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana hakim memperhatikan sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa (vide Pasal 28 ayat (2);
10. Hakim atau ketua majelis wajib mengundurkan diri dari persidangan jika ada
hubunghan keluarga atau kepentingan langsung (vide Pasal 29 ayat (3), (4),
dan (5);
11. Mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya (vide Pasal 30 UU
4/2004);
12. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur,adil,
profesional, dan pengalaman di bidang hukum (vide Pasal 32 UU 4/2004)
13. Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (vide Pasal 1, Pasal 24 ayat (1)
dan (2) UUD 1945; Pasal 33 UU 4/2004.
28
Demikian pokok-pokok pikiran dalam membahas persoalan ketiadaan pedoman
pemidanaan dalam putusan hakim (pengadilan).
Semoga bermanfaat.
Denpasar, awal Juni 2019
29
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arif, 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan : Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara. Badan penerbit Universitas
Diponegoro Semarang.
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Jakarta.
Jimly Asshiddiqie,2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta.
John Rawls, A Theory of Justice, London, Oxford University Press, 1973, terjemahan
dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori
Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Muh. Muslehuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientasi, Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana.
M. Karfawi, 1987, Asas Legalitas dalam usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalah-
masalahnya, Jurnal Arena Hukum.
M. Karjadi dan R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politea,
Bogor.
Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta, Cetakan Ketujuh
R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor
Roelof. H. Heveman, 2002, The legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata
Nusa, Jakarta
Sofyan Sastrawidjaja, 1995, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan
Pidana, Armica, Bandung.
30
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum dalam lintasa sejarah, cet VIII, Kanisius,
Yogyakarta
W. Friedman, 1998, Teori-teori Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.