pencatatan perkawinan dalam hukum...

101
i PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM KEKELUARGAAN DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN TEORI MASHLAHAH AL-SYATIBI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: MUHAMAD AWALUDDIN NIM : 109044100031 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M

Upload: lyduong

Post on 06-Mar-2018

243 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

i

PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM KEKELUARGAAN

DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN

TEORI MASHLAHAH AL-SYATIBI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMAD AWALUDDIN

NIM : 109044100031

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436 H/2015 M

Page 2: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

T

w srozlH 9€rIVIUYXYf

HYITNIYAYOIH dIUVAS NIOruNXI}H NYO I{VIUVAS SYITfDIY.I

YCUVnTfl)r I nXnH IffIIS r MUSOUdYruYOY NYTIOYUfld ISYUJNflSNOX

rcUzzt L96I 1001096I : dINY'ru'uBqqns qBvrrtlBz '!H'r(I Jord

:rrBEurqlurg rlB {eg rc

IEOOOI'7060I : WINffi

:qelo

(r(S'S) qeF€r(S uueFs releg qeloredruel4l srmg leredg nl€S qupsntnueruetr { {ntun um{nH uep qeuedg s"}lDIBd epeda4 uqnf€lC

Isdlnts

ISIIYAS.AY HYHYTHSYI^I IUOflINYCNflC VANISNVAflTIU NVO YISflNOONI IO

NVYCUVNTDTtr){ ruNXNH 'IIYITYO

NYNIA\YXUSd NVIYIYJNgd

Page 3: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

LEI\IBAIT PENGES,\III\N

Skripsi yang berjudul "Pcncatatan Perkauinan dl lanr I lukunr Kckcluargarn cl iIndonesia r lan l le lcvansinya dcnga n' I 'eor i N lashlahah AI-Syathibi " telah diajukandalam sidang muuaqasyah Fakultas Syariah clan llnl<rrm Program Stucli IlukurnKeluarga Universitas Islarn Negeri Syarif Fliclayatullah Jakarla pada tanggal 07 April2015. Skripsi ini telah diterirna sebagai salah satu syarat untuk rnemperoleh gelarSarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilukurn Keluarga.

PANITIA UJIAN

l. Ketua FI. Kamarusdiana, S. Ag, MH.

NrP. I 97202241008031003

2. Seketaris Sri Hidayat i , M.Ag.

NIP. 197102151997032002'

Prof.Dr. Hj. Zaitunah Subhan, M.A.NIP. 1 950 1001 1967 122001

Dr. Hj. Mesraini, M.Ag.NIP. r 97602 132003122001

Dr. H. Nurul Irfan, M.Ag.NIP. I 97308022003121001

3. Pernbirnbing :

4. Penguji I

5. Penguji II

Jakarta, 08 Apri l 2015

91216199603 1 00 1

I\IUNAQI\SY.\H

l l l

Page 4: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 17 Maret 2015

Penulis

Muhamad Awaluddin

Page 5: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

v

ABSTRAK

Persoalan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan merupakan

persoalan yang sampai saat masih diperdebatkan. Menurut sebagian pandangan,

pencatatan tidak merupakan syarat sah perkawinan karena dalam perkawinan telah

ada saksi yang kedudukannya sebagai bukti bilmana suatu hari terjadi perselisihan

antara suami dan isteri. Sedangkan sebagian pandangan lainya, menganggap bahwa

kedudukan pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai syarat sah perkawinan.

Tarik ulur perdebatan-perdebatan tersebut berlenjut dalam pembahasan pengesahan

RUU Hukum Materil Peradilan Agama di Parlemen. Bila hal ini dibiarkan berlarut-

larut dalam arus perdebatan, maka kedudukan pencatatan perkawinan sebagai syarat

sah perkawinan tidak akan menemukan titik terang.

Perdebatan-perdebatan tersebut pada akhirnya berimplikasi pada perilaku

hukum di masyarakat terhadap pencatatan perkawinan. Bagi sebagian masyarakat,

perkawinan tidak perlu dicatatkan. Sebab, dicatat atau tidaknya suatu perkawinan

tidak berdampak pada status perkawinan mereka. Karena sejatinya menurut hukum

Islam, perkawinan adalah sah manakala telah memenuhi rukun dan syarat sah

perkawinan. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya, pencatatan perlu dilakukan

agar ada kepastian hukum dalam ikatan perkawinan. Kepastian hukum dimaksud

adalah adanya jaminan hukum dari negara manakala dikemudian hari terjadi

perselisihan antara suami dan isteri.

Persoalan-persoalan perdebatan di atas kiranya sesegera mungkin harus diakhiri

agar tidak terjadi penerapan hukum yang ganda di masyarakat. Dalam perspektif

negara hukum, pencatatan perkawinan dianggap penting. Tapi bukan berarti

menafikan kedudukan saksi dalam perkawinan. Perlunya pencatatan perkawinan

adalah sebagai upaya untuk lebih mempertegas bagaimana posisi pembuktian suatu

perkawinan. Hal ini lebih menarik lagi bila dihubungkan dengan teori mashlahah Al-

Syathibi.

Berangkat dari uraian-uraian di atas, maka penelitian ini mencoba untuk

menelaah: Pertama, apa tujuan dari pada pecatatan perkawinan dalam hukum

nasional; Kedua, bagaimana relevansi pencatatan perkawinan tersebut dengan teori

mashlahah Al-Syathibi; dan ketiga, apakah pencatatan perkawinan harus menjadi

salah satu syarat sah perkawinan atau tidak. Untuk dapat mengungkap pertanyaan-

pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan metode

Page 6: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

vi

penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder.

Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan jawaban-jawaban terkait dengan

persoalan-persoalan di atas. Pertama, dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan

memiliki tujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam perkawinan. Kedua, bahwa

pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syahitbi, yaitu

terletak pada perlindungan hukum atas hak dan kewajiban masing-masing suami

isteri yaitu dalam hal perlindungan jiwa, harta dan keturunan. Ketiga, karena

pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syathibi maka

pencatatan perkawinan harus dijadikan syarat sah perkawinan.

Kata kunci : Pencatatan Perkawinan, Mashlahat

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA.

Page 7: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

vii

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمن الرحيم

Puji syukur kepada Allah Swt atas limpahan rahmat, karunia, nikmat

kesehatan jasmani dan rohani serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat manusia yang telah menggiring kita

keluar dari zaman kebodohan ke zaman peradaban yang penuh dengan ilmu

pengetahuan seperti sekarang ini. Mudah-mudahan kita termasuk bagian dari ummat

beliau yang akan mendapat syafa’at kelak fi yaumil akhirat , amin.

Dalam penulisan skripsi ini terdapat berbagai macam hambatan dan rintangan

yang penulis hadapi, Namun berkat rahmat dan pertolongan Allah Swt serta

kontribusi dan motivasi dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung,

segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah dan lancar hingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang

turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:

1. Dr. Asep Saipudin Jahar, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Kepala Program Studi Hukum Keluarga, H. Kamarusdiana, S. Ag, M.H

dan Sekretaris Program Studi Sri Hidayati, M.Ag.

3. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA. Sebagai pembimbing skripsi,

terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan

skripsi ini;

4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah

banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di

Kampus;

5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan

Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan

pelayanan kepada penulis dalam menyediakan referensi dalam penulisan

skripsi ini;

6. Kedua Orang Tuaku yang tercinta (Ayahanda La Zaena dan Ibunda

Marwa) dengan segala kasih sayang, dan penuh tanggung jawab. Yang

siang dan malam terus semangat bekerja dan rela berkorban jiwa raga

Page 8: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

viii

demi kesuksesan putranya. Yang mengajarkanku untuk hidup mandiri dan

mengingatkanku untuk selalu berbuat baik;

7. Adik-adikku yang kusayang, Amiruddin, Nur Ilma, Nurul Annisa, serta

adik iparku Nur Hadijah yang tak bosan-bosannya berharap dan berdoa

agar saya segera menyelesaikan studi;

8. Kawan-kawan saya di kampung (Katembe), La Tate, Hawurin, Zumiana,

Erys, Baini, Jabar, Laangka, Abdul Majid, dan Nado. Yang tak bosan-

bosannya menanyakan kapan saya wisuda;

9. Sdr. Ld. Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan

seperjuangan dari Pulau Buton.

10. Senior-senior saya di LKBHMI Cab. Ciputat, kakanda Fahmi M. Ahmadi,

Ihdi Karim Makin Ara, Ainul Syamsu, Cak Sili, Ainul Yakin, M. Isnur,

Irsyad Maulana, M. Ali Fernandez, Febri, Muhammad Hafidz, Asep

Samsuri, Teuku Mahdar Ardian, Haris Barkah, Ridho Akmal Nasution,

Aji Andika Muftih, Reza Arif Rahman, Haris Sumirat Nurgraha, Asep

Sholahuddin, dan Yunda Ida Widyawati (Ny. Fahmi M. Ahmadi).

Terimakasih atas dukungan dan saran-saran kalian dalam penulisan skripsi

ini begitu pula selama menjadi anggota dan pengurus LKBHMI. Semoga

kelak di kemudian hari dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa, amin;

11. Kawan-kawan penghuni serta pengurus LKBHMI, Sahrial, Irpan, Bilal,

Aqil, Zullisan, Marzuki, Abiyuddin, Imung, Humaidullah (Ume), Karim

Munthe, Dimas, Wanda, Humaidi, Ucok AQB, Zainuri, Afif, Hariri,

Bagus, dan Tio, serta pengurus-pengurus lain yang tak dapat saya

sebutkan. Semoga canda dan tawa kita selama menjadi anggota dan

pengurus LKBHMI terus teringat sepanjang waktu dan tali persaudaraan

kita tetap kokoh. Berkat dorongan dan semangat yang kalian berikan

akhirnya saya dapat dapat menyelesaikan skripsi ini;

12. Adik-adik anggota dan pengurus Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum,

Fariz Aburrahman (bekas Ketua Umum Komisariat 2013-2014) dan

Muhamad Irvan (Ketum Komisariat 2014-2015) beserta jajarannya;

13. Kawan-kawan seperjuangan di Konsentrasi Peradilan Agama dan

Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2009 dan kawan-kawan Double

Degree dan Ilmu Hukum angkatan 2013. Mohon maaf atas segala

kekhilafan yang pernah penulis perbuat kepada kalian;

14. Kawan-kawan kos “white house” Fikri, Azmi, Azhar, Syawal, Sapta,

Habib, dan Eka. Tak luput pula Ibu Kost dan Demi;

Page 9: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

ix

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.

Semoga kontribusi dan partisipasi semua pihak tersebut menjadi investasi

amal shaleh, semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.

Terakhir harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang konstruktif sangat

penulis harapkan sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.

Jakarta, 17 Maret 2015

Penulis

Muhamad Awaluddin

Page 10: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Masalah .................................... 9

D. Riview Studi Terdahulu ................................................................. 10

E. Metode Penelitian ....................................................................... 11

F. Sistematika Penulisan ................................................................ 13

BAB II PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Asas-asas Perkawinan ................................ 15

B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan ................................ 26

C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam .................................... 34

D. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional ............................... 38

Page 11: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

xi

BAB III KONSEP MASHLAHAH AL-SYATIBI

A. Biogriafi Al-Syatibi ....................................................................... 41

B. Karya al-Syathibi ........................................................................... 44

C. Metodologi Istinbat Hukum ............................................................ 49

D. Konsep Mashlahah ............................................................................... 55

BAB IV RELEVENASI PENCATATAN DENGAN TEORI MASHLAHAH

AL-SYATIBI

A. Problematika Pencatatan Perkawinan di Indonesia ........................... 65

B. Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di

Indonesia ...................................................................................... 72

C. Pandangan Penulis Tentang Pencatatan Perkawinan ......................... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 83

B. Saran ........................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 85

Page 12: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

1

BAB I

PEDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi hukum Islam di Indonesia sekarang ini sesungguhnya

memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar geneologisnya dapat ditarik ke

belakang, yaitu saat pertama kali Islam masuk ke nusantara.1 Namun menurut

Martin seperti yang dikutip Mahsun Fuad dalam buku Hukum Islam Indonesia,

sulit bagi kita untuk memotret secara cukup sempurna perkembangan Islam di

Indonesia sebelum abad 17 M.

Hukum dalam Islam merupakan ruh2 dan aspek ajaran yang paling kuat

mendominasi pemahaman umat dibandingkan dengan disiplin keilmuan

tradisional maupan lainnya.3 Perkataan hukum tersebut berarti norma atau

kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk

menilai tingkah-laku atau perbuatan manusia dan benda.4

Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum atau kaidah yang

dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang

ibadah maupun di bidang muamalah. Kelima jenis kaidah hukum yang lima,

1 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2005), h.27.

2 Disadur dari M. H. Hoker, “Muhammad Law and Islamic Law” dalam M. H. Hoker (ed.),

Islam in Southeast Asia, (Leiden: E.J. Brill, 1998), h.160 3 Dimensi ajaran mapan yang dimaksud adalah fiqih, kalam, tasawuf, dan filsafat Islam.

disadur dari Nurkholis Majid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), cet. Ke-6,

h. 199-247 4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 44

Page 13: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

2

disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti

Thalib, 1985:16) yaitu (1) ja’iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh,

(4) wajib, (5) haram. Yang selanjutnya disebut juga dengan hukum taklifi

(Masyfuk Zuhdi, 1987: 5).5

Hukum Islam seperti telah disebutkan di atas, dapat dikelompokkan

dalam dua bidang yakni mengenai (bidang) ibadah dan mengenai (bidang)

muamalah. Pertama, mengenai ibadah, adalah cara dan tata cara manusia

berhubungan langsung dengan Tuhan, dalam hal ini tidak boleh ditambah-

tambah atau dikurangi. Sebab, ketentuannya telah diatur oleh Allah sendiri

(dalam Alquran) dan dijelaskan secara rinci oleh (hadis) Rasul-Nya. Dengan

demikian, tidak mungkin ada modernisasi mengenai ibadah atau proses yang

membawa perubahan mengenai ibadah atau proses yang membawa perubahan

dan perombakan secara hukum, susunan, cara, dan tata cara ibadah itu sendiri.

Kedua, mengenai muamalah, adalah ketetapan Tuhan yang

berhubungan dengan kehidupan social manusia - terbatas pada yang pokok-

pokok saja – “terbuka” sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia

yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. Karena sifatnya yang

demikian, dalam soal muamalah berlaku asas umum yakni pada dasarnya

semua perbuatan „boleh‟ dilakukan, kecuali kalau mengenai perbuatan itu

dilarang di dalam Alquran dan Hadis. Artinya, semua perbuatan yang termasuk

5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.44.

Page 14: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

3

ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada larangan

untuk melakukan perbuatan itu. Oleh karena sifatnya yang demikian,

perumusan dan kaidah-kaidahnya dapat saja berubah sesuai dengan perubahan

zaman. Atau dengan kata lain dapat dilakukan modernisasi, asal saja

modernisasi itu sesuai (dan menimbulkan maslahat), atau sekurang-kurangnya

tidak bertentangan dengan jiwa hukum Islam pada umumnya.6

Hal demikian didukung oleh pendapat kebanyakan ahli fiqh yang telah

menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material

dan hubungan antara sesama manusia (mu‟amalat) adalah boleh, kecuali apabila

ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang.7

Muamalat dalam pengertiannya dapat dikatergorikan dalam pengertian

umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, muamalah adalah

norma hukum yang memuat (1) munakahat (hukum perkawinan mengatur

segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-

akibat hukumnya, (2) warisan atau faraid (hukum kewarisan mengatur sefala

persoalan yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,

harta warisan, serta pembagian harta warisan). Sedangkan dalam pengertian

khusus, muamalah adalah norma yang mengatur masalah kebendaan dan hak-

hak atas benda, aturan mengenai jual beli, sewa-menyewa, pinjam-peminjam,

6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.54-56.

7 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: LPH, 1996), bag. Pertama, h.40.

Page 15: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

4

persyarikatan (kerja sama bagi hasil), pengalihan hak, dan segala yang

berkaitan dengan transaksi.8

Dari pengertian di atas maka dapat kita kategorikan bahwa ruanglingkup

muamalah ada dua yakni dalam pengertian yang umum dan pengertian khusus

sebagaimana penjabarannya di atas. Namun pada kesempatan ini penulis

mengkaji muamalah dari aspek pengertiannya yang umum, yakni mengenai

perkawinan.

Perkawinan dan segala aspek yang timbul darinya dapat ditemukan

dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diaturnya perkawinan

melalui undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk upaya protektif atau

perlindungan hukum. Lebih lanjut, perlindungan tersebut tentu merupakan

kewajiban negara yang berdasarkan hukum9. Karena, setiap perilaku atau

perbuatan warga negera harus dilaksanakan berdasarkan dan tunduk pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain perlindungan, kodifikasi hukum perkawinan dalam peraturan per-

UU-an juga dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan10

dalam

perkawinan. Di mana ketertiban menunjuk pada hubungan atau komunikasi

zahiriah atau dengan kata lain ia melihat pada proses interaksi para pribadi

8 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.1.

9 Lihat pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945.

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h.58.

Page 16: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

5

dalam kelompok.11

Dan keadilan lahir sebagai akibat dari pelaksanaan

kewajiban dan pemenuhan hak, sehingga tercipta keluarga sakinah, mawaddah

wa rahmah.

Namun realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasikan

atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan

hukum yang dilakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus, misalnya

perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat.

Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuna. Padahal,

jika ditelaah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatan yang kuat antara

seorang perempuan dan laki-laki yang tidak hanya disaksikam oleh dua orang

saksi, tetapi juga disaksikan oleh Allah Swt.12

Oleh sebab itu, dengan mentaati peraturan perudang-undangan ini

berarti kita mendorong untuk terwujudnya ketertiban perkawinan. Bila norma

hukum yang ada di dalam Undang Undang tersebut tidak ditaati maka akan

terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, di

mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak

efektif. Gejala semacam itu mencul oleh karena ada faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum,

11

Purnadi Purbacaraka, dkk, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

1993), cet. Ke-6, h.20. 12

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke

3, h.62.

Page 17: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

6

penegak hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun golongan-

golongan lain di dalam masyarakat.13

Dari sekian banyak norma yang diatur, norma tentang pencatatan

perkawinan sebagaimana disebut di atas merupakan norma yang sampai saat ini

masih diperdebatkan. Apakah pencatatan perkawinan tersebut sebagai rukun

perkawinan atau sebagai syarat administrasi saja. Yang implikasinya pencatatan

perkawinan tidak terlalu dihiraukan dan muncul perkawinan-perkawinan liar

yang tidak dicatatkan, atau biasa dikenal dengan perkawinan di bawah tangan.

Norma hukum pencatatan perkawinan tentu memiliki tujuan, yakni

untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, baik

kepentingan pribadi, kepentingan publik serta kepentingan sosial. Yang oleh

Van Apeldron dikatakan sebagai pengaturan yang adil.14

Namun, karena karena

norma itu tidak dipatuhi dan dilaksanakan oleh subyek hukum, maka cita

hukum sebagaimana yang diinginkan oleh Undang-Undang itu tidak tercapai.

Banyaknya perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau perkawinan tidak

dicatatkan, mengindikasikan bahwa Undang-Undang tersebut tidak berlaku

efektif. Sebagai contoh, kasus perkawinan di bawah tangan Aceng H.M Fikri

yang saat itu sebagai bupati Garut dengan Fany Octora yang berlangsung

singkat. Di mana perkawinan tersebut hanya bertahan hingga 4 hari saja dan

hubungan perkawinan mereka putus.

13

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.135. 14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.58-59.

Page 18: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

7

Memang dalam Alquran dan Hadist, ketentuan pencatatan perkawinan

ini tidak ditemukan. Namun, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman,

hal ini dirasakan sangat penting bagi masyarakat. Sehubungan dengan itu,

Syathibi menyatakan bahwa syari‟ah telah memandang kebaikan hukum apa

yang dipandang baik dalam pengalaman sosial. Mana kala dalam pengalaman

social suatu “kebaikan hukum” tertentu mulai merugikan jaringan masyarakat

manusia, atau bahkan individu, maka ia kehilangan sifatnya sebagai kebaikan

hukum.15

Artinya, jika kita tetap berpegang teguh pada pemahaman perkawinan

tradisional yang tidak menganggap pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang

urgen, maka akan semakin banyak timbul persoalan-persoalan dalam

perkawinan. Misalnya, tidak dapat melakukan tuntutan atas nafkah di

pengadilan karena tidak memiliki bukti perkawinan. Padahal pembuktian dalam

perkawinan memiliki kedudukan yang sangat penting. Dari itu kemudian,

pencatatan perkawinan memiliki kedudukan yang penting jika ditinjau

perspektif maqashid al-syar’ah.

Oleh sebab itu, sangat penting untuk merubah mindset dari pemahaman

masyarakay yang bercorak tradisional ke pemahaman masyarakat yang lebih

moderat. Di mana pencatatan perkawinan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu

yang tabu, melainkan dianggap sebagai suatu unsur yang sangat penting

15

Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka, 1996), h.236.

Page 19: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

8

kehadirannya sebagai syarat sah perkawinan. Dengan tujuan agar dapat

mewujudkan kemaslahatan dalam perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sangat diperlukan untuk

dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap pencatatan perkawinan dalam

bentuk karya ilmiah atau skripsi dengan judul “Pencatatan Perkawinan

dalam Hukum Kekeluargaan di Indonesia dan Relevansinya dengan Teori

Mashlahah Al-Syatibi”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu norma hukum yang

mestinya ditaati oleh setiap warga Negara yang tunduk pada hukum nasional.

Namun, bila norma tersebut tidak ditaati hingga menyebabkan distabilitas

hukum. Padahal pencatatan perkawinan sangat syarat dengan Mashlahah atau

kebaikan bagi keberlangsungan hubungan perkawinan antara seorang

perempuan dan laki-laki. Untuk membatasi ruanglingkup pencatatan

perkawinan yang begitu luas, maka penelitian ini fokus dan penulis hanya

membatasi terhadap Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Kekeluargaan

Indonesia dan Relevansinya dengan Teori Mashlahah Al-Syatibi.

2. Perumusan Masalah

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, meskipun pencatatan perkawinan

telah ditentukan dalam bentuk norma hukum, pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

Page 20: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

9

Nomor 1 tahun 19724 tentang Perkawinan, namun realitanya norma tersebut

tidak efektif dan akhirnya menimbulkan distabilitas hukum. Sebagaimana

contoh yang telah dikemukakan di atas

Berikut ini rumusan masalah yang menjadi titik fokus kajian dalam

skripsi ini, yaitu:

a. Apa tujuan pencatatan perkawinan dalam hukum Nasional?

b. Bagaimana relevansi pencatatan perkawina dengan Teori Mashlahah

Al-Syatibi?

c. Apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan salah satu sarat sah

perkawinan menurut hukum Islam atau tidak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui apa tujuan pencatatan perkawinan Hukum Nasional.

b. Untuk mengetahui relevansi pencatatan perkawinan dengan Teori

Mashlahah Al-Syathibi.

c. Untuk mengetahui apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan

salah satu syarat sah perkawinan menurut hukum Islam atau tidak.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis

Page 21: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

10

Secara teoritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka untuk

pengembangan wawasan ilmu pengetahuan khususnya mengenai urgensi

pencatatan perkawinan dalam bidang Hukum Kekeluargaan di Indonesia.

b. Secara prkatis

Secara prakstis dari hasil penelitian ini adalah untuk memperluas

pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan dan informasi bagi

masyarakat yang ingin mengetahui urgensi pencatatan perkawinan di

tinjau dari maslahatnya serta untuk memenuhi syarat akademis dalam

rangka memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum.

D. Riview Studi Terdahulu

Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik

yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun

perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti

lainnya, namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan

bahasan penulis diantaranya adalah

1. Signifikansi Pencatatan Perkawinan Dalam Persepektif Hukum Islam dan

Hukum Positif oleh Abu Bakar tahun 2010. Skripsi tersebut membahas

secara lebih spesifik tentang pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam

dan Hukum Positif. Dimana lebih mengedapankan konsep signifiknasi

pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam berdasarkan istinbath hukum

dan mencatatan perkawinan berdasarkan hukum Hukum Positif.

Sedangkan pencatatan perkawinan dalam skripsi yang penulis teliti lebih

Page 22: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

11

spesifik tentang urgensi pencatatan perkawinan dalam hukum

kekeluargaan dengan pendekatan teori maslahat Abu Ishaq Al-Syatibi,

2. Penerapan Mashlahah Mursalah dalam KHI dan Pengaruhnya Terhadap

Putusan Hakim (Studi Kasus Petusan Cerai Gugat Karena Suami

Poligami di Penadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007) oleh

Taufikurrohman tahun 2008. Skripsi tersebut hanya mengulas tentang

penerapan Mashlahah dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam

bidang cerai gugat akibat poligami. Sedangkan skripsi yang hendak

penulis lakukan adalah mengenai pencatatan perkawinan yang ditinjau

dari perspektif Mashlahah Abu Ishaq Al-Syatibi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian normatif,

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder.16

Mengingat permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada

pencatatan perkawinan dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi,

maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Karena

itu, tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

deskriptif, yaitu penelitian untuk memecahkan masalah yang ada pada masa

16

Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 5

Page 23: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

12

sekarang (masa aktual) dengan megumpulkan data, menyusun,

mengklasifikasikan, menganalisis dan mengeinterpretasikan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif,

untuk memberikan data seteliti mungkin tentang hal yang menjadi objek

penelitian dan untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di

dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori

baru.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana uraian di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian

normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi:

a) Sumber Primer, yaitu berupa undang-undang (UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,

dan UU lainnya yang terkait dengan pencatatan perkawinan), KHI dan

buku-buku yang membahas mengenai Pencatatan perkawinan serta buku

Mashlahah Al-Syatibi.

b) Sumber Sekunder, yakni sumber yang erat hubungannya dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu dalam menganilisis dan memahami

bahan hukum primer, berupa karya tulis antara lain makalah, koran,

majalah, dan Lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan

pembahasan Skripsi ini.

Page 24: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

13

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan secara kualitatif,

dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan data

yang diperoleh ke dalam bentuk penjalasan-penjalasan. Artinya problem yang

ada dianalisis dan dipecahkan berdasarkan peraturan yang ada, serta dilengkapi

analisis.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu

(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.17

Agar pembahasan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis akan menguraikan

pembahasan ini dalam lima bagian sebagaimana berikut:

BAB PERTAMA : Merupakan bab pendahuluan dari skripsi ini. Dalam

pendahuluan ini penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi riview, metode

penelitian serta sistematikan penulisan dalam skripsi ini.

BAB KEDUA : Menguraikan pencatatan perkawinan. Dalam bab ini

penulis akan membahas tentang pengertian, tujuan dan asas-asas perkawinan.

Dilanjutkan dengan membahas pengertian dan tujuan pencatatan perkawinan,

17

Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat, Pusat

Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012).

Page 25: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

14

pencatatan perkawinan dalam hukum Islam, dan pencatatan perkawinan dalam

Hukum Nasional

BAB KETIGA : Menguraikan konsep mashalahah Al-Syathibi. Pada

bagian ini penulis akan membahas biografi, karya, metodologi istinbat hukum

dan konsep mashlahah Al-Syathibi.

BAB KEEMPAT : Dalam bab ini penulis akan meninjau pencatatan

perkawinan di Indonesia dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi.

Hal-hal yang akan dibahas pada bab ini mengenai problematika pencatatan

perkawinan di Indonesia, relevansi konsep mashlahah terhadap pencatatan

perkawinan di Indonesia, dan pandangan penulis tentang pencatatan

perkawinan.

BAB KELIMA : Adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

saran.

Page 26: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

15

BAB II

PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Prinsip Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan arti kata pernikahan yang berasal dari bahasa

arab.1 Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. sebagai

jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2

Artinya melalui perkawinan tersebut umat manusia mempertahankan

esksistensi kemanusiaannya di muka bumi ini dengan menciptakan suatu

masyarakat kecil dalam bentuk keluarga.3

Secara etimologis perkawinan dalam Bahasa Arab berarti nikah atau

zawaj. Nikah mempunyai arti al-wath’i, al-dhommu, al-tadakhul, al-jam’u atau

ibarat ‘an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, berhubungan badan,

berkumpul, jima’ dan akad. Sedangkan secara terminologis perkawinan atau

nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (melakukan perbuatan

yang menyenangkan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.4

1 Fuan Mohd. Fachrudiin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Pedoman Ilmu

Jaya, 1992), h.1. 2 H.M.A. Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Rajawali pers, 2009), h.6.

3 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan

Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1993), terjemah, h.14. 4 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009), h.4.

Page 27: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

16

Pengertian perkawinan secara epistemologis dan terminologis tersebut

kemudian dikembangkan oleh ulama fiqih. Ulama yang dimaksud adalah

sebagian ulama Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang

selanjutnya disebut ulama mutaqaddimin, maupun ulama mutaakhirin

(kontemporer). Pengertian perkawinan yang dikemukakan masing-masing

ulama tersebut berbeda-beda, akan tetapi mereka tidak memperlihatkan adanya

pertentangan makna yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan

pendapat yang lainnya.5

Menurut sebagian ulama Hanafiah, perkawinan adalah akad yang

memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang

secara sadar (sengaja) bagi seorang laki-laki dengan seorang perempuan,

terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut

sebagian mazhab Maliki, perkawinan adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau

titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih

kenikmatan (seksual) semata-mata. Oleh mazhab Syafi’i, perkawinan

dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh

dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwid; atau turunan (makna)

dari keduanya”.

Sedangkan ulama Hanabilah, perkawinan adalah akad yang dilakukan

guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang). Pendapat terakhir, dari

5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UIP, 2007), h.47.

Page 28: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

17

kalangan ulama Muta’akhirin, bahwa perkawinan adalah akad yang

memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-

istri) dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi

pemiliknya dan pemenuhan kewajiban-kewajiban masing-masing.6

Berbagai macam perspektif di atas, pandangan penulis tidak jauh berbeda,

bahkan antara satu pendapat dan pendapat lain saling mendukung dan

melengkapi. Artinya, esensi pengertian perkawinan tetaplah sama. Dimana

perkawinan sebagai lembaga sosial7 adalah cara untuk mempertemukan seorang

laki dengan seorang perempuan melalui akad atau perjanjian untuk memenuhi

naluri kemanusiaannya. Seperti menyalurkan hasrat seksualnya, ingin

berkembang biak dan melestarikan kehidupannya melalui keturunan,

memimpin dan lainnya.

Namun, dafinisi perkawinan menurut para ulama fiqh di muka, memberi

kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki.

Di mana perempuan dilihat dari aspek biologisnya semata. Ini terlihat dalam

penggunaan kata al-wat’ atau istimta’ yang semua konotasinya seks. Implikasi

lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki

seperti yang tercermin dalam berbagai peristiwa-peristiwa perkawinan.8

6 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h.4.

7 Nabil Muhammad Taufik as-Samaluti, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga,

(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987). h.92. 8 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h. 4. Disadur dari Amiur Nurdin, dan Azhari Akmal

Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004) h.45.

Page 29: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

18

Berbeda halnya dengan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9

Pengertian perkawinan dalam UU tersebut, memiliki implikasi makna

yang berbeda dari pengertian perkawinan dalam fiqh. Di mana makna

pengertian perkawinan dalam UU itu tidak hanya dilihat dari aspek fiqih, tapi

juga dapat ditinjau dari aspek hukum, sosial dan agama. Dengan maksud agar

pemahaman kita tentang pengertian perkawinan tidak hanya seperti yang telah

dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih tersebut. Tiga segi pandangan tersebut dapat

diuraikan sebagaimana berikut:10

a) Perkawinan dilihat dari segi hukum.

Dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat

kuat atau “mitsaqon ghalizhan”. Terlihat dalam firman Allah Swt pada

Q.S. an-Nisa ayat 21.

9 Lihat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 ayat 2. Sekiranya perkawinan

berarti hubungan lahir dan batin, maka perkawinan bukan berarti permainan. Fuad Moh. Fachrudiin,

Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, h.4. 10

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.47.

Page 30: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

19

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah

bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka

(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S. an-

Nisa [4]: 21)

Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu

merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:

- Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlabih dahulu yaitu

dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu;

- Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah

diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur thalaq, kemungkinan fasaq,

syiqaq dan sebagainya.

b) Perkawinan dari segi sosial

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum,

ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai

kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

c) Perkawinan dari segi agama

Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat

penting. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci.

Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak

dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi

pasangan hidupnya dengan menggunakan nama Allah sebagai diingatkan

oleh Q.S. an-Nisa ayat 1.

Page 31: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

20

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan

kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya;

dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa [4]: 1)

2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan sunnah Nabi yang patut dilakukan sebab

perkawinan merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani.

Perkawinan disyariatkan agar umat manusia mempunyai keturunan dan

keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah

naungan cinta dan ridha Ilahi.11

Oleh karena itu, aturan perkawinan dalam Islam merupakan tuntutan

agama yang patut mendapat perhatian, sebab tujuan melangsungkan

perkawinan ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama di samping untuk

memenuhi naluri kemanusiaan. Pentingnya aturan perkawinan terlihat dari sifat

dasar manusia itu sendiri, yaitu mencintai kepada apa-apa yang diingini seperti

perempuan-perempuan, anak-anak dan harta yang banyak.

11

Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, ), h.33.

Page 32: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

21

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-

apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang

banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak

dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi

Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali ‘Imran [3]: 14)

Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan

sebagaimana tersebut dalam surat ar-Rum 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah

wajahamu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah

yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tu. Tidak ada perubahan pada

fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tigak

mengetahui.” Pengenalan terhadap Tuhan ini, menurut Abdul Rahman Ghazali

ialah dalam bentuk pengamalan agama.

Melihat tujuan-tujuan perkawinan di atas, dan memperhatikan uraian

Imam Al-Ghazali dalam Ihya-nya tentang faedah melangsungkan perkawinan,

maka tujuan perkawinan12

adalah (1) untuk mendapatkan keturunan yang sah

dan melangsungkan keturunan,13

(2) memenuhi hajat manusia untuk

12

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. ke-5, h.22-24. 13

An-Nisa ayat 1 : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada

keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah

Page 33: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

22

menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya,14

(3) memenuhi

panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan,15

(4)

menumbuhkan kesungguhan bertanggungjawab juga bersungguh-sungguh

untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, dan (5) membangun rumah

tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta

dan kasih sayang.16

3. Asas-asas Perkawinan

Terdapat beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu

diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia

dalam melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan. Prinsip-prinsip

perkawinan tersebut antara lain: 17

1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama;

Melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari

ajaran agama. Agama mengatur perkawinan dengan memberi batasan

melalui rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bila rukun dan

kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” 14

Al-Baqarah ayat 187: 187. “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur

dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni

kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah

ditetapkan Allah untukmu……” 15

Sebuah hadis Nabi Saw yang menyatakan “sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi

liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan” 16

Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,

dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-

benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 17

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.32-43.

Page 34: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

23

syarat-syarat tidak dipenuhi, maka perkawinan itu batal atau fasad. Di

samping itu pula agama memberi ketentuan lain, seperti harus adanya

mahar dalam perkawinan dan harus adanya kemampuan.

2. Kerelaan dan persetujuan;

Melakukan perkawinan harus bebas dari unsur paksaan, pihak yang

hendak melangsungkan perkawinan harus bebas dari unsur ini. Oleh

sebab itu, Islam mengatur melalui proses khihtbah atau peminangan

sebagai suatu langkah sebelum mereka melakukan perkawinan, sehingga

semua pihak dapat mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan.

Kerelaan dari calon suami dan wali jelas dapat dilihat dan didengar dari

tindakan, ucapan dan sikapnya. Mengenai persetujuan para pihak meliputi

juga izin wali. Kedudukan wali dalam perkawinan sangat penting,

sehingga perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali dianggap batal.

3. Perkawinan untuk selamanya;

Perkawinan yang bertujuan antara lain untuk mendapat keturunan,

ketenangan, ketentraman dan cinta kasih sayang hanya dapat dicapi

dengan prinsip bahwa perkawinan untuk selamanya, bukan hanya dalam

waktu tertenut saja. Karena itu Islam tidak membenarkan perkawinan

yang mengandung ketentuan pemabatasan waktu perakwinan, nikah

mut’ah, dan nikah muhallil.

4. Suami bertanggungjawab atas rumah tangga;

Page 35: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

24

Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa

suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga,

karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Mahmoud Syalthout

mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan sama halnya

dengan kelebihan salah satu anggota badan, yang satu melebihi yang

lainnya.

Selain itu, terdapat pula prinsip-prinsip perkawinan dalam UU Nomor 1

Tahun 1974. Prinsip-prinsip ini ditetapkan demi menjamin terciptanya cita-cita

luhur dari perkawinan itu sendiri. Prinsip-prinsip tersebut adalah:18

1. Asas sukarela:

Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan harus

didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Mengingat bahwa

perakwinan mempunyai maksud agar supaya suami istri dapat

membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Oleh sebab itu, perkawinan

tidak ada paksaan dari pihak manapun.

2. Partisipasi keluarga;

Dalam suatu perkawinan, partisipasi keluarga sangat diperlukan,

walaupun anak yang hendak kawin dipandang telah dewasa, sebab

perkawinan adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Di

18

Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.35.

Page 36: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

25

samping itu, prinsip ini sejalan dengan rukun dan syarat perkawinan

dalam ajaran Islam.

3. Perceraian dipersulit;

Perceraian merupakan suatu yang amat tidak disenangi baik istri maupun

suami. Mudahnya terjadinya perceraian akan menimbulkan kerugian bagi

kedua belah pihat terutama anak-anak. Oleh sebab itu, UU ini

menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-

alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.

4. Poligami dibatasi secara ketat;

Dalam Islam seorang suami dibolehkan untuk ber-poligami, begitu pula

dalam UU Perkawinan namun harus dengan memenuhi syarat tertentu

dan diputus oleh pengadilan. Walaupun UU ini menentukan perkawinan

adalah monogami (suami tidak memiliki istri lebih dari satu), poligami

tetap dibolehkan dengan syarat. Di mana syarat-syarat yang dimaksud

dapat dilihat pada pasal 4 (empat) dan 5 (lima) UU No. 1/1974.19

5. Kematangan calon mempelai;

UU Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah

matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar

19

Pada pasal 4 disebutkan bahwa syarat poligami ialah mengajukan permohonan poligami

kepada Pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan dapat memberikan izin dengan alasan: (1) Istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan; dan (3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dan dalam pasal 5 menyebutkan

bahwa untuk dapat mengajukan permohonan poligami, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai

berikut: (a) Adanya persetujuan dari istri/istri; (b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; dan (c) Adanya jaminan bahwa suami

akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Page 37: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

26

supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya

perkawinan anak-anak di bawah umur. Sebab perkawinan dibawah umur

bagi perempuan, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.

Ketentuan ini dapat ditemukan dalam pasal 7 UU Perkawinan.20

6. Memperbaiki derajat kaum perempuan;

Perempuan adalah merupakan jenis manusia yang paling banyak

memerlukan perlindungan. Pada masa-masa yang lalu, di kala laki-laki

mempergunakan hak cerai secara semena-mena, maka perempuanlah

yang paling banyak mengalami penderitaan. Oleh sebab itu, maka UU

Perkawinan ini harus ditaati dengan kata lain melaksanakan segala

ketentuan norma yang ada.

B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan

1. Pengertian Pencatatan Perkawinan

Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum perkawinan, tidak

ditemukan pengertian pencatatan perkawinan. Kita hanya akan menemukan

norma tentang perintah pencatatan perkawinan. Pengertian pencatatan

perkawinan hanya akan ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang

hukum perkawinan. Mengenai hal ini, dapat dilihat dalam buku yang berjudul

20

Pasal ini menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun, dalam

penyimpangan terhadap ketentuan tersebut dapat saja para pihak meminta dispensasi kepada

Pengadilan.

Page 38: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

27

“Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat” karya Neng

Dubaidah.

Menurut Neng Djubaidah dalam buku tersebut, pencatatan perkawinan

adalah pencatatan atas perkawinan yang sah menurut hukum Islam atau

perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan syariat

Islam yang dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.21

Pengertian

tersebut, dalam pandangan lain dapat diartikan sebagai suatu tahapan atau

proses yang mesti dilaksanakan dalam perkawinan. Dimana melalui pencatatan

perkawinan itu, sepasang suami-isteri akan mendapatkan akta nikah (bukti

nikah).

Tahapan-tahapan dan proses pelaksanaan pencatatan perkawinan tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Pemberitahuan kehendak nikah;

b. Pemeriksaan kehendak nikah;

c. Pengumuman kehendak nikah;

d. Akad nikah dan pencatatan.22

Proses-proses tersebut ini tentu merupakan suatu kesatuan yang utuh dan

tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Karena kesatuan yang utuh maka

tidak boleh salah satu dari proses yang ditentukan tersebut dilewati dan

diabaikan. Ketentuan tentang proses pelaksanaan pencatatan nikah tersebut

21

Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, (Jakarta; Sinar

Grafika, 2010), Cet. Ke-II, h. 3 22

Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h. 19-20

Page 39: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

28

dapat dilihat pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang

Pencatatan Perkawinan.

Peraturan ini merupakan turunan dari UU Perkawinan, dimana dalam

pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut menentukan bahwa tiap-tiap

perkawinan dicatatkan. Peraturan menteri agama di muka tidak menjelaskan

secara rinci tentang pengertian pencatatan perkawinan. Namun bila ditelaah

peraturan tersebut menentukan bagaimana tahapan-tahapan agar suatu

perkawinan dicatatatkan. Proses pelaksanaan pencatatatan ini sudah

dikemukakan sebagaimana di atas namun dipandang perlu untuk diuraikan

sebagaimana berikut agar tidak mendapatkan kesimpulan yang ambigu.

Dalam pasal 5 Peraturan Menteri Agama di atas, dijelaskan bahwa

pemberitahuan kehendak nikah disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah

(PPN) di wilayah kecamatan calon istri tinggal. Pemberitahuan kehendak nikah

tersebut disampaikan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan

dan dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan.23

Setelah menerima pemberitahuan kehendak nikah PPN memeriksa para

pihak terkait yaitu calon suami, calon istri dan wali nikah, tentang ada atau

tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum Islam (hukum

23

Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan

Perkawinan.

Page 40: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

29

munakahat), menurut UU Perkawinan,24

dan kelengkapan persyaratan

sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama di atas.25

Halangan pernikahan dalam hukum Islam misalnya dikategorikan pada

dua yaitu mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad. haram muabbad

(dilarang selamanya) misalnya seorang laki-laki atau perempuan dilarang

melakukan perkawinan disebabkan adanya hubungan kekerabatan, karena

adanya hubungan perkawinan, dan karena hubungan persusuan. Sedangkan

haram ghairu muabbad (dilarang untuk sementara waktu) misalnya karena

mengawini dua orang saudara dalam satu masa, poligami di luar batas, karena

ikatan perkawinan, karena talak tiga, karena ihram, karena perzinaan dan

karena beda agama.26

Adapun halangan perkawinan karena melanggar peraturan perundang-

undangan tentang perkawinan dapat dilihat pada pasal 8 UUP:27

Perkawinan dilarang antar dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke

atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya;

c. Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak

tiri;

d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan dan bibi/paman susuan;

24

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, (Jakarta:

Akademika Pressindo, 1986), h. 128 25

Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan

Perkawinan. 26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 110 - 133 27

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, h. 67

Page 41: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

30

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari istri, dalam hal seorang suami bersitri lebih dari soerang;

f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin.

Sedangkan pemeriksaan pernikahan karena khawatir akan melanggar

ketentuan persyaratan sebagai diatur dalam Peraturan Menteri Agama tersebut

adalah sebagaimana berikut, yaitu:

a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama

lainnya;

b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan

asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;

c. Persetujuan kedua calon mempelai;

d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala

desa/pejabat setingkat;

e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai

usia 21 tahun;

f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya

sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;

g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai

umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16

tahun;

h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota

TNI/POLRI;

Page 42: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

31

i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri

lebih dari seorang;

j. kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka

yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat

oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;

l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi

warga negara asing.

Hasil pemeriksaan tersebut kemudian ditulis dalam Berita Acara

Pemeriksaan Nikah, ditandatangani oleh PPN atau petugas, calon istri, calon

suami dan wali nikah oleh PPN. Apabila calon suami, calon istri, dan/atau wali

nikah tidak dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti

dengan cap jempol tangan kiri. Hasil pemeriksaan ini kemudian dibuat dalam

dua rangkap, helai pertama beserta surat-surat yang diperlukan disampaikan

kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang

bersangkutan.28

Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975

dijelaskan bahwa calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang

28

Pasal 9 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang

Pencatatan Perkawinan.

Page 43: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

32

tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian tersebut dibuat empat

rangkap di atas kertas bermaterai menurut peraturan yang berlaku. jika

perjanjiannya berupa ta’lik talak, maka perjanjian tersebut baru dianggap sah

kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad

nikah dilangsungkan.

Setelah segala persyaratan atau ketentuan dipenuhi dalam pemerikasaan

nikah, PPN mengumumkan pemberitahuan kehendak nikah itu. Pengumuman

tersebut dilakukan pada tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat

lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal masing-

masing calon mempelai. Pengumuman ini dilakukan selama 10 (sepuluh) hari

sejak ditempelkan.29

Dalam masa pengumuman tersebut, pernikahan dapat dicegah apabila ada

pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernihakan.

Pencegahan ini dilakukan oleh pihak keluarga garis keturunan lurus ke atas dan

ke bawah, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan

pihak-pihak yang berkepentingan dengan mengajukan permohonan ke

Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana pernikahan akan

dilangsungkan..

Setelah masa pengumuman kehendak nikah selesai maka akad nikah

sudah dapat dilangsungkan. Namun, terdapat pengecualian terhadap jangka

29

Pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.

Page 44: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

33

waktu tersebut yakni dikarenakan suatu alasan yang penting, dengan

rekomendasi camat di wilayah yang bersangkutan.30

Akad nikah dilangsungkan

di hadapan PPN atau Penghulu dan Pembantu PPN yang mewilayahi tempat

tinggal calon istri. Jika tidak memungkinkan, maka calon mempelai atau

walinya harus memberitahukan kepada PPN yang mewilayahi tempat tinggal

calon istri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah. 31

Akad nikah yang telah dilakukan tersebut dicatat oleh PPN sebagaimana

ditentukan dalam pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2007.

Akta nikah ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.

Akta tersebut dibuat dua, masing-masing disimpan di KUA dan PPN. Setelah

itu pernikahan dilaporkan kepada kantor administrasi kependudukan di wilayah

tempat pelaksanaan akan dikah.32

Setelah itu, kepada suami dan istri diberikan

buku nikah. Buku nikah ini harus ditandatangani oleh PPN. Bila tidak

ditandatangani, maka kedudukan buku nikah menjadi tidak sah.33

2. Tujuan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

peraturan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian

perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.

30

Pasal 16 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. 31

Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. 32

Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. 33

Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.

Page 45: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

34

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta nikah apabila terjadi

perselisihan di antara suami istri maka salah satu diantaranya dapat melakukan

upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.

Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan

hukum yang telah mereka lakukan.34

Pencatatan perkawinan juga berfungsi sebagai “pengatur” lalu lintas

praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak

tertentu yang hanya menjadikan perkawinan di bawah tangan tanpa pencatatan

sebagai alat poligami atau berpoligami. Setiap pasangan yang akan kawin di

KUA (Kantor Urusan Agama) atau KCS (Kantor Catatan Sipil) harus melalui

mekanisme sebagaimana yang telah dikemukan di atas.35

C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Dalam Islam, perkawinan disyariatkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah

dan ijma’.36

Islam sangat menganjurkan perkawinan dalam rangka mewujudkan

keluarga SAMARA (sakinah mawadah warahmah). Perkawinan merupakan

satu-satunya sarana untuk melahirkan generasi “generasi yang baik (dzurriyah

tayyibah)”. Dalam satu riwayat hadis, nabi menegaskan bahwa pernikahan

merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan. Hadis tersebut berbunyi sebagai

berikut:

34

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.107. 35

Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h.57. 36

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS,

2008), h.4.

Page 46: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

35

ول كن : قال وعنه ر وسمل عليه هللا صىل الله رس لباء يأم عنه وينى , ةه به

يا التبتله يدا ن وا : ويق ول , شده ود تزوج نه الول ود الود كثهر ا ياء بهك م نبه يوم ال

يامةه بن وصحه , أحد رواه ( القه بان اه )حه

Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah

Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga

dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda:

"Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan

jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi

pada hari kiamat." (Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu

Hibban.)

Perkawinan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat

besar, baik bagi kehidupan indvidu, keluarga, masyarakat, bahkan agama,

bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia. Hikmah dan manfaat

tersebut dapat terlihat dalam beberapa hal, misalnya secara fitrah manusia ingin

menyalurkan syahwatnya secara manusiawi dan syar’i, ingin hidup tentram

dengan adanya cinta dan kasih sayang di antara sesama dan lain sebagainya. 37

Dalam Al-Qur’an terdapat lebih kurang 70 ayat yang berbicara tentang

perkawinan,38

pada umumnya bersifat muhkamaat (bersifat tidak memerlukan

interpretasi). Begitu pula hadis-hadis Nabi yang berisi tentang ketentuan-

ketentuan hukum perkawinan pada umumnya bersifat jelas dan pasti. Walaupun

ketentuan hukum perkawinan diatur secara jelas dan rinci di dalam Al- Quran

dan sunnah Nabi, akan tetapi kita tidak bisa menemukan ketentuan- ketentuan

37

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.4-42. 38

Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), h.8.

Page 47: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

36

hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan di dalam kedua sumber

utama hukum Islam tersebut, bahkan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pada

umumnya dikarang oleh mujtahid-mujtahid yang datang kemudian setelah

periode sahabat dan tabi’in, juga tidak ditemukan pembahasan yang berkaitan

dengan ketentuan hukum tentang pencatatan perkawinan. Hal ini

mengambarkan, seakan pembahasan mengenai pencatatan perkawinan

merupakan aspek yang terlupakan dalam pembahasan di kitab-kitab fiqh klasik,

bahkan dalam kitab- kitab fiqh yang datang kemudian.39

Hal tersebut mengindikasikan, bahwa pencatatan perkawinan tidak begitu

mendapat perhatian dalam hukum Islam, walaupun ada ayat dalam Al-Qur’an

yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Utang

piutang misalanya, dalam surat Al-Baqarah ayat 282 menyebutkan bahwa

apabila kita bermuamalah (melakukan hubungan keperdataan) tidak secara

tunai untuk waktu yang tidak ditentukan hendaklah kita menuliskannya atau

mencatatkannya.

Mengenai pencatatan perkawinan yang tidak begitu mendapat perhatian

dalam hukum Islam, mungkin dapat dikemukakan beberapa analisis. Pertama,

adanya larangan menulis sesuatu selain Al-Qur’an yang mengakibatkan budaya

tulis menulis tidak begitu berkembang dibandingkan budaya hafalan (oral);

kedua, lanjutan dari yang pertama, akibat dilarangnya menulis selain Al-Qur’an

39

M. Yusar, Makalah, Pencatatan Perkawinan: Sebuah Tinjauan Yuridis Menurut Hukum Islam

Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Page 48: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

37

maka mereka lebih mengandalkan hafalan (ingatan); ketiga, tradisi walimat al-

‘ursy yang merupakan saksi di samping saksi syar’I tentang sebuah

perkawinan; keempat, terdapat kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-

masa awal islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda.40

Namun, Seiring dengan perkembangan zaman serta dinamika yang terus

berubah, empat analisis yang dikemukakan tadi dianggap tidak relevan lagi

sehingga memuntut perubahan-perubahan yang lebih relevan dan sesuai

kebutuhan zaman kekinian. Pergeseran budaya lisan (oral) kepada budaya tulis

sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akad, surat sebagai

bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa

hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan

kekhilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang

disebut dengan akta. 41

Akta merupakan bukti otentik dari sebuah perkawinan. Tanpa akta,

pengakuan terhadap sebuah perkawinan tidak mendapatkan legitimasi yang

kuat di mata hukum. Dengan demikian, maka pencatatan perakawinan dirasa

perlu untuk menjadi dasar legitimasi sebuah perakwinan. Semestinya kita tahu,

bahwa dimuatnya pencatatan perakawinan ke dalam UU No. 1/1974 adalah

untuk untuk mewujudkan ketertiban perkawinan. Di sisi lain, dengan dimuatnya

ketentuan pencatatan perakawinan dalam UU tersebut, adalah sebagai upaya

40

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2006), cet. Ke-

3, h.120. 41

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.121.

Page 49: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

38

untuk menjaga kesucian (mitasaqan galidzan) aspek hukum yang timbul dari

ikatan perkawinan.42

D. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional

Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundanga-undangan yang

berlaku.43

UU ini menghendaki perkawinan dicatatakan dengan tujuan agar

tiap-tiap perkawinan tertib, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan

hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan hukum

Islam.44

Perkawinan yang dilakukan dengan sistem perkawinan Islam

dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat. Adapun

perkawinan yang dilakukan menurut hukum perdata Burgeriljk Weetbook

dicatatkan di Kantor Catatan Sipil demikian menurut Arso Sostroatmodjo dan

Wasit Aulawi dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia.45

Di samping adanya pandangan tentang keharusan pencatatan perkawinan,

terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan

merupakan suatu keharusan tetapi sesuatu yang hukumnya sunnah. Pandangan

tersebut dikemukan oleh Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan

Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan. Pandangan ini didasarkan pada

42

Zanuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-2,

h.26. 43

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan, h. 64. 44

Zanuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.26. 45

Arso Sostroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975)

h.51.

Page 50: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

39

argumentasi bahwa pencatatan perkawinan dapat dikategorikan sebagai

implementasi hukum pesta perkawinan atau walimah. Yakni di mana Islam

memandang walimah yang dilaksanakan setelah akad nikah memiliki tujuan

agar masyarakat mengtahui kedudukan suami isteri bersangkutan telah sah.46

Sejatinya ketentuan tentang pencatatan perkawinan dahulu telah diatur

dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tetang Pencatatan Nikah,

Talaq, dan Rujuk. Yang kemudian berlaku di seluruh Indonesia pada tanggal 2

Novemeber 1954 melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

1946 tentang Pencatatan Nikah, Talaq, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa

dan Madura. Keberadaan Undang-Undang tersebut kemudian mencabut

peraturan perundangan mengenai pencatatan perkawinan yang telah ada

sebelumnya, yaitu Huwelijks Ordonantie Stbl. 1929 – 348, Vorstenladsche

Huwelijks Ordonnantie Stbl. 1938 -98 dan Huwelijks Ordonantie

Buitengewesten Stbl 1932 -482.

Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang dikemukan di atas

dalam pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa, “Nikah yang dilakukan menurut

agama Islam diawasi oleh pegawai pencatatan nikah yang diangkat oleh

Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya. Ketentuan ini

menunjukkan bahwa pegawai pencatatan nikah bertugas mengawasi

46

Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, h.152.

Page 51: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

40

terlaksananya perkawinan agar perkawinan itu berlangsung menurut ketentuan-

ketentuan agama Islam.

Undang-Undang tersebut di atas kini telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang ini,

pencatatan perkawinan diposisikan pada tempat yang urgen. Di mana ia

menjadi bukti atas perkawinan yang telah dilaksanakan. Sungguh pun

demikian, menurut Sayuti Thalib pencatatan bukanlah sesuatu hal yang

menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.47

Artinya, dicatat atau

tidak, suatu perkawinan tetaplah sah dan diakui.

Perkawinan tetap sah bila dilakukan menurut ketentuan agamanya

masing-masing, walaupun tidak atau belum didaftar. Hal ini didasarkan pada

Surat Keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun 1953 Nomor. 23/19 yang

menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar, maka

nikah tersebut adalah sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda

karena tidak didaftarkannya nikah tersebut.48

47

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.70. 48

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.64.

Page 52: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

41

BAB III

KONSEP MASHLAHAH AL-SYATHIBI

A. Biografi al-Syathibi

Nama lengkap al-Syathibi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin

Muhammad al Lakhmi al-Syatibi al Gharnathi. Menurut kebanyakan pengamat

dan ulama, ia dilahirkan di Granada pada tahun 730 H dan meninggal 790 H

atau 1388 M.1 Masa pendidikannya tidak begitu diketahui dengan jelas.

Namun, satu hal yang patut diketahui adalah, bahwa pada masanya, Granada

menjadi pusat pendidikan di Spanyol ditandai dengan berdirinya Universitas

Granada pada masa pemerintahan Yusuf Abu al-Hajjaj. Sehubungan dengan itu,

menurut Hamka Haq, dapat diduga bahwa proses belajar mengajar yang dijalani

al-Syathibi banyak terkait dengan universitas tersebut.

Al-Syathibi belajar pada sejumlah guru, antara lain adalah Ibn al-

Fakhkhar al-Ilbri,2 Abu al-Qasim al-Sabti,

3 Abu Abdillah al-Balinsi, Abu

Abdillah al-Syarif al-Tilimsani,4 Abu „Abdullah al-Muqqari,

5 al-Khathib Ibn al-

1 Sebenarnya tempat kelahiran al-Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada atau

di Jativa/Xativa/Syatibah. Sebab dalam bebera literature hanya disebutkan bahwa al-Syathibi hanya

nasya‟a bi Gharnathah, hanya tumubuh bukan lahir. Lihat Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaaan, 2008, h.82. 2 Ia terkenal sebagai guru tatabahas (syaikh al-nuhat) di Andalusia, dari guru ini pula al-

Syathibi belajar bahas Arab. 3 Adalah pengarang kita tafsir terkenal menganai Maqshurah-nya Ibn Hazm, juga guru al-

Syathibi dalam bahasa Arab. 4 Dari Abu Abdillah al-Syarif al-Tilimsani, al-Syathibi belajar filsafat. al-Talimsani merupakan

orang yang bersifat kritis terhadap Raziisme (bermazhab kalam Mu‟tazilah). Ia menguasai ilmu-ilmu

Page 53: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

42

Marzuq, Abu „Ali al-Manshur al-Zawawi,6 Abu al-Abbas al-Qabab, dan

Abdillah al-Hifar. Selain berguru al-Syathibi juga memiliki murid, antara lain

adalah Abu Bakr ibn „Ashim7 dan, saudaranya, Abu Yahya ibn „Ashim, serta

Abu „Abdillah al-Bayani.8

Ketika ia hidup di Granada yang saat itu dipimpin di bawah keperintahan

Bani Ahmar,9 kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan Islami, bahkan

mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid‟ah. Kondisi tersebut

semakin parah ketika tumpu kekuasaan dipegang oleh Muhammad al Khamis

yang bergelar al Ghany Billah.10

Al-Syathibi juga sering mendapat tuduhan

bahwa ia berbuat bid‟ah.11

tradisional maupun rasional. Sebagai guru ia mengajarkan kepada muridnya dengan menggunakan

buku-buku Ibn Sina dan Ibn Rusyd. 5 Juga pengarang sebuah kitab tatabahasa Arab dan terkenal sebagai pemegang muahaqqiq,

(ahli dalam penerapan prinsip-prinsip umum mazhab Maliki pada kasus-kasus tertentu). sebagai guru,

ia memperkenalkan kepada al-Syathibi Raziisme dalam ushul fiqh-nya dan filsafat, kalam, serta ilmu-

ilmu rasional (al-ulum al-„aqliyah). Maqqari dikenal karena bukunya al-Haqa‟iq wa‟I-raqa‟iq fi al-

thasawwuf. 6 Abu „Ali al-Manshur al-Zawawi, al-Syathibi belajar Filsafat dan ilmu kalam. Dia datang ke

Granana pada tahun 753/1352, dikenal dan dipuji karena kesarjanaannya dalam ilmu-ilmu tradisional

dan rasional dan sering juga terlibat dalam petentangan pendapat dengan yuris-yuris di Granada. 7 Abu Bakr ibn „Ashim pernah menjabat sebagai kadi di Granada, dan terkenal dengan

karyanya, Tuhfaf al-Hukkam, yang merupakan kompilasi hukum dan menjadi pegangan hakim di

Granada. 8 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

(Erlangga, 2007), h.17-18. 9 Daulah ini Berjaya selama dua abad enampuluh tahun, yaitu sejak tahun 635-897 H. dengan

runtuhnya Bani Ahmar ini sekaligus mengakhiri kehadiran Islam di Andalusia. Granada merupakan

kerjaan Islam Spanyol yang didirikan oleh Muhammad ibn Yusuf ibn Nashr, yang dikenal dengan

panggilan Ibn al-Ahmar. Menjelang akhir kekuasaan Bani Ahmar ini, dalam kota tersebut terdapat

sekitar setengah juga jiwa penduduk, terdiri dari orang-orang Syiria dan Yahudi. 10

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua

Pertanyaaan, 2008, h.183. 11

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.20.

Page 54: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

43

Dikisahkan, bahwa pada saat itu sering terjadinya pertumpahan darah dan

pemberontakan, dan penghukuman kepada setiap orang yang menyeru kepada

cara beragama yang menyimpang dari agama. Hampir semua ulama saat itu

adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup,

bahkan tak jarang mereka yang tidak tahu menahu soal agama diangkat oleh

raja sebaga dewan fatwa. Alhasil, tidak mengherankan jika fatwa-fatwa yang

dihasilkan saat itu sangat jauh dari kebenaran.

Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, al-Syathibi bangkit menentang

dan melawan para ulama tersebut dengan mencoba meluruskan dan

mengembalikan bid‟ah ke sunnah, serta membawa masyarakat dari kesesatan

kepada kebenaran. Pertentangan pendapat antara al Syathibi dan para ulama

Granada saat itu tidak dapat dihindarkan. Terlihat dalam setiap kali al-Syathibi

berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih

dahulu kepada nash. Karena melihat setiap fatwa al Syathibi yang bertentangan

dengan mereka, akhirnya mereka melecehkan, mencerca, mengucilkan al

Syathibi dan bahkan ia dianggap telah murtad.

Selain persoalan fatwa, praktik tasawuf ulama dan ta‟ashub berlebihan

ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap mazhab Maliki juga

menjadi hal lain disoroti al Syathibi saat itu. Ia mengharamkan praktik tasawuf

tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesungguhnya.12

12

Praktek tasawuf yang dianggap sesat dan diharamkan oleh al-Syathibi karena mereka

berkumpul di malam hari, kemudian berzikir bersama dengan suara yang sangat keras dan diakhiri

Page 55: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

44

Menurutnya, cara mereka mendekatkan diri tidak seperti yang dipraktekkan

oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, cara mereka adalah bathil dan

terlarang. Begitu pula ta‟ashub yang berlebihan, dimana mereka memandang

setiap orang yang bukan mazhab Maliki adalah sesat.13

Pola pikir masyarakat

Andalusia ini berbeda dengan al-Syathibi yang juga seorang ulama Maliki,. al-

Syathibi tetap menghargai ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi

yang saat itu selalu menadi sasaran tembak nomor satu.

B. Karya al-Syathibi

Al-Syathibi menulis sejumlah karya, beberapa di antaranya ialah: Syarh

al-Jalil „ala al-Khulashah fi al-Nahwi, al-Muwafaqat, al-I‟tisham, al-Ifadah wa

al-Insyadah, Unwan al-Ittifaq fi „Ilm al-Isytiqaq, Ushul al-Nahwi dan sejumlah

fatwanya. Dari beberapa karyanya tersebut, terdapat dua karyanya yang telah

diterbitkan, yaitu al-Muwafaqat dan al-I‟tisham. Sedangkan karya-karyanya

yang lain diketahui hanya melalui beberapa catatan sejarah. Al-muwafaqat

dengan tarian serta nyanyian bersama sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-

memukul dadanya bahkan kepalnya sendiri. 13

Sebagaimana diketahui, masyarakat Andalusia memegang erat madzhab Maliki sejak mereka

dipimpin oleh raja Hisyam al-Ahwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180

H yang menjadikan madzab ini sebagai madzab resmi negara. Seoalah sudah amat resmi, masyarakat

Andalus memegang kokoh madzhab Maliki dan saking berlebihannya, mereka tidak lagi mengenal,

bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya, terutama madzhab Hanafi.

Sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka sebagai masyarakat yang tidak lagi

mengenal al-Quran dan al-Muwattha‟ Imam Malik. Dikutip dari Muhammad Fadhil bin Asyur, A‟lam

al Fikr al Islamy, (Tunisia: Maktabah an Najah, tt.), h.10. Lihat Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaaan, 2008, h.183.

Page 56: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

45

merupakan karya monumental al-Syathibi tentang mashlahah14

, yang di

dalamnya tertuang konsep teologi dan ushul fiqh-nya.15

Sedangkan kitab al-

I‟tisham yang juga merupakan kitab ushul fiqh, mengandung pembahasan

tentang arti bidah dan bagian-bagiannya, baik secara hakiki maupun idhafi. Di

dalamnya pula diuraikan perbedaan antara bid‟ah, mashlalah mursalah, dan

istihsan dengan berbagai kaitannya.16

Kitab al-Muwafaqat mengandung lima pokok bahasan, yaitu (1)

muqaddimah; (2) al-ahkam; (3) al-maqashid; (4) al-adalah; dan (5) al-ijtihad.

Menurut Hamka Haq, pada bagian pertama, al-Syathibi mengemukakan

beberapa kaidah pokok yang menjadi dasar pemikirannya secara umum dan

sebagai pengantar bagi uraian-uraian pada bagian selanjutnya. Dari tiga belas

muqaddimah, ia menunjukkan bahwa konsep mashlahah adalah didasarkan

pada dalil-dalil yang pasti (qath‟i). Dalil-dalil qath‟i yang dimaksud bukanlah

satuan-satuan nas atau teks, melainkan hasil induksi (istiqra‟i) yang ditarik dari

makna keseluruhan nas. Di samping itu juga menggunakan dalil akal yang

melahirkan hukum-hukum akliah yang banyak digunakan dalam ilmu kalam,

yaitu wajib, boleh, dan mustahil.

14

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.21. 15

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.

24. Sebagai karya yang bernuansa filosofis-teologis, al-Muwafaqat tidak mudah dicerna. Kesulitan

memahaminya bukan karena gaya bahasa dan susunannya, meliankan karena buku tersebut

mengandung aspek lain di luar ushul fiqh. Menurut Khalid Mas‟ud, untuk memahami kitab ini

disamping kita memiliki pengatahuan fikih dan ushul fiqh, kita perlu memiliki pengetahuan di bidang

teologi, filsafat, dan tasawuf untuk memahami kandungan buku tersebut. 16

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.20-23.

Page 57: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

46

Di bagian kedua, al-ahkam, al-Syathibi berbicara tentang hukum taklifi

dan hukum wadh‟i. pada hukum taklifi, ia banyak menguraikan hukum mubah

dikaitkan dengan kewenangan manusia untuk boleh memilih antara berbuat

atau tidak berbuat. Menurutnya, perbuatan manusia yang berkaitan dengan

hukum adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau punya tujuan

tertentu (bi al-maqashid). Dalam hal ini, al-Syathibi mengemukakan tiga alasan

bahwa setiap perbuatan hukum harus deserta dengan niat, lahir dari akal yang

sehat, dan tidak merupakan pembenaran di luar kemampuan manusia (taklif bi

ma la yathaq).

Sedangkan pada hukum wadh‟i, al-Syathibi memusatkan perhatiannya

pada hukum asbab (sebab-sebab). Di sini, ia mengemukakan analisis baru yang

bercorak filosofis-teologis. Hukum asbab diuraikannya dalam pengertian

hukum kausalitas yang menentukan terjadinya suatu perbuatan dan keadaan.

Dalam hal ini, ia menetapkan adanya musabbib (Allah sebagai pencipta sebab),

tasabbub (proses sebab-akibat), dan mutasabbib (manusia sebagai pelaku

sebab). Hal ini menunjukkan bahwa hukum asbab tidak dipandang melalui

perspektif fikih semata, melainkan juga dengan pemahaman teologis

menyangkut hukum kausalitas atau sunatullah pada perbutan manusia.

Dalam bagian ketiga, al-maqashid, al-Syathibi membahas maksud Allah

dalam menciptakan syariat (maqashid al-mukallaf). Dalam menguraikan hal ini,

ia menyatakan bahwa Allah menciptakan syariat adalah untuk menjaga

kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ia mengaitakannya dengan

Page 58: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

47

pemahaman teologis tentang adanya tujuan Allah dalam berbuat dan mencitpta

seperti umumnya dibahas dalam ilmu kalam dan filsafat. Begitupun urainnya

mengenai maksud hamba dalam melaksanakan syariat, ia mengaitkannya

dengan kemaslahatan. Menurutnya perbuatan manusia haruslah sesuai dengan

maksud Allah, yakni menjaga kemashlatahan.

Pada bagian keempat, al-adillah, al-Syathibi menguraikan ragam bentuk

dan sifat nas yang ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Di samping itu, ia juga

mengemukakan peranan akal dalam memahami makna dalil-dalil yang bersifat

absolut. Dalam hal ini, akal dapat memahami nilai-nilai universal yang

terkandung dalam nas, seperti nilai keadilan, kebaikan, pengampunan,

kesabaran, dan kesyukuran yang terdapat pada sesuatu yang diperintahkan;

begitu juga nilai kezaliman, kekejian, kemungkaran, penyimpangan dan

pelanggaran janji yang terdapat pada sesuatu yang terlarang. Uraian ini

menunjukkan bahwa al-Syathibi mengakui kemampuan akal dalam mengetahui

nilai baik dan jahat suatu perbuatan. Pada bagian ini pula, ia menunjukkan

perbedaan mendasar antara ayat-ayat makkiyyah dan madaniyyah. Menurutnya

bahwa ayat-ayat makkiyyah bersifat menetapkan pokok-pokok agama,

khususnya pokok-pokok syariat yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta. Di sisi lain, ayat-ayat madaniyyah bersifat merinci dan

menyempurnakan.

Dan di bagian terakhir, al-ijtihad, al-Syathibi menegaskan bahwa

pengetahuan tentang mashlahah sebagai syarat utama seorang mujtahid.

Page 59: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

48

Kesesuaian antara hasil ijtihat dan mashlahah sebagai tujuan syariat menjadi

kriteria kuatnya ijtihad itu. Dengan demikian, pandangan al-Syathibi tentang

mashalahah dalam al-Muwafaqat secara keseluruhan berkaitan dengan paham

teologis yang dianutnya17

Adapun dalam kitab I‟tisham, lebih dari ingin menguraikan perbedaan

bid‟ah, mashlalah mursalah, dan istihsan dengan berbagai kaitannya, al-

Syathibi membuktikan tuduhan yang berlebihan kepadanya bahwa ia telah

melenceng dari jalur agama yang benar dan bahwa ia adalah seroang ahli bid‟ah

(mubdi‟). Ia mengemukan enam buah pandangan yang menyebabkan ia

dianggap sebagai mempertahankan kesalahannya itu. Tiga pendapat pertama di

antaranya terdiri dari pendapat yang membuatnya dianggap memiliki

pandangan yang subversif. Sedangkan pandangan yang keempat, dari kumpulan

ahli hukum, ia dianggap terlalu ketat dalam pandangan hukumnya, ia dituduh

menghendaki penerapan hukum yang membawa pada penderitaan. Dan

pandangan kelima, adalah tuduhan bahwa ia memiliki sikap yang bermusuhan

dengan kaum sufi dan menyebarluaskan sikap permusuhan terhadap praktik-

praktik bid‟aj mereka. Serta terkahir ia dituduh telah keluar dari jama‟ah. Yang

menurut al-Syathibi sendiri tuduhan ini didasarkan pada sumsi bahwa jamaah

yang harus diikuti didefinisikan sebagai mayoritas umat.18

17

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.24-27. 18

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), ed.

Terjemah, cet. Ke-2, h.241.

Page 60: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

49

C. Metodologi Istinbat Hukum

Salah satu cara untuk dapat memahami hukum Islam adalah dengan

mempelajari ushul fiqh, yakni suatu ilmu dasar dalam pembentukan dan

pemahaman hukum Islam .19

Ushul fiqh meletakkan dasar metodologis yang

harus digunakan oleh seorang “hakim” dalam menemukan dan menerapkan

hukum, dengan kata lain ushul fiqh berupaya untuk menentukan (to govern). Di

samping itu, ushul fiqh juga merupakan bagian dari epistemologi hukum

Islam.20

Ushul fiqh berupaya menjelaskan asal-usul, hakikat, dan sistem hukum

Islam, juga menjelaskan secara terperinci cara menganilisis hukum dalam

kategorisasi yang berbeda-beda. Secara epistemologis, hukum Islam harus

digali dari sumber-sumbernya yang dibantu dan disempurnakan oleh sistem

penafsiran yang otoritatif.21

Untuk memahami makna ushul fiqh, dapat dilihat dari pengertian ushul

fiqh itu sendiri. Yaitu, “pengtahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang

menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara‟ mengenai perbuatan

manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.” Atau dengan kata lain, ushul fiqh

adalah “himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil

19

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.72. 20

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta: CV Artha Rivera), h.3. 21

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h. 4. Penafsiran otoritatif merupakan penafsiran

yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip metodologis yang diberikan ushul fiqh yang berperan

sebagai acuan teoritis dan praktis yang bersifat standar.

Page 61: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

50

dalil hukum-hukum syara‟ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya

yang terinci.”22

Pengertian ini menunjukkan bahwa ushul fiqh berbicara pada bidang

muamalah yang dalam pengertian umumnya yaitu mengatur tata hubungan

manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat23

dengan

menggunakan dalil-dalil atau sumber-sumber yang terperinci. Dalam hukum

Islam, dalil-dalil atau sumber-sumber yang dimaksud adalah ada yang berasal

dari dimensi Ilahi atau disebut dengan istilah al-wahyu al-Ilahy dan ada yang

berasal dari potensi insani yang disebut dengan al-ijtihady.24

Yang termasuk al-wahyu al-Ilahy adalah al-Quran sebagai wahyu

langsung dari Allah Swt, dan sunnah (hadits) Nabi sebagai wahyu yang tidak

langsung yang menjelaskan al-Quran. Sedangkan al-ijtihady adalah proses

upaya penggalian melalui akal pikiran manusia (ra‟yu) dari al-wahyu al-Ilahy

bagi masalah-masalah yang belum jelas atau tidak secara tegas disebut

hukumnya dalam al-Quran. Jika dilihat menurut urutan tertib sistematikan dalil

hukum Islam, maka al-Quran menempati dalil yang utama dalam urutan

mashadir al-ahkam. Adapun sunnah (hadits) menempati posisi kedua dalam

dalil hukum atau mashadir al-ahkam.25

Sedangkan al-ijtihady berada pada

22

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), edisi terjemah, h.2.

lihat juga buku asli dalam bahasa arab, Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-tTaraatsi, h.11. 23

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.72. 24

Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.35. 25

Suparman Usman, Hukum Islam, h.36.

Page 62: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

51

urutan ketiga. Ia digunakan manakala suatu masalah belum ditemukan atau

belum dijelaskan hukumnya dalam al-Quran atau sunnah.26

Kedudukan al-ijtihad pada posisi ketiga menempati posisi yang ideal

mengingat bahwa al-Quran sebagai sumber utama dalam hukum Islam,

bukanlan sumber yang memuat kaidah-kaidah hukum secara lengkap terinci.

Umumnya ia hanya memuat kaidah-kaidah hukum yang bersifat fundamental.

Begitu pula sunnah Nabi, sepanjang mengenai soal „muamalah‟, pada

umumnya, hanya mengatur kaidah-kaidah yang bersifat umum pula. Oleh

karena itu, al-ijtihad sebagaimana disebutkan di atas berfungsi memperjelas

secara rinci. Dengan maksud agar kedua sumber, yaitu al-Quran dan sunnah

Nabi dapat diterpakan pada atau dalam kasus-kasus tertentu dalam kehidupan

masyarakat.27

Dengan demikian dapat kita katakan bahwa al-ijtihad merupakan suatu

kebutuhan dan keniscayaan adanya. Al-ijtihad dalam kajian ushul fiqh dapat

dilakukan oleh secara kolektif atau ijtihad jama‟iy yang dikenal dengan ijma‟,

atau secara individual (ijtihad fardyi) yang selanjutnya dikenal dengan qiyas.28

Ijtihad jama‟iy atau ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat

Muhammad Saw. pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah tentang suatu

26

Suparman Usman, Hukum Islam, h.37. 27

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.75. 28

Suparman Usman, Hukum Islam, h.52.

Page 63: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

52

hukum syara, yang terjadi dalam bentuk ijma‟ sharih (aktif)29

atau ijma‟ sukuty

(pasif).30

Adapun qiyas adalah proses deduksi (menarik kesimpulan) untuk

menetapkan hukum terhadap suatu masalah yang tidak disebutkan hukumnya

dalam nash (al-Quran atau sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan

hukumnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan „illat hukum antara

keduanya.31

Metodologi istinbath al-hukm (al-Quran, sunnah, dan al-ijtihad) seperti

yang dikemukan di atas digunakan oleh seluruh ulama ushul fiqh dari kalangan

sunni yang masih eksis hingga sekarang.32

Seperti Hanafi,33

Maliki,34

Syafi‟i,35

29

Ijma‟ sharih (aktif) adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui

perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. kesepakatan itu dikemukan dalam sidang (pertemuan)

ijma‟, setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas.

Ijma‟ seperti ini, menurut jumhur ulamat bisa dijadikan hujjah (landasan hukum). 30

ijma‟ sukuty ((pasif) adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu

masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja tanpa ada yang menolak pendapat

tersebut. Menurut jumhur ulama – walaupun terjadi perdebatan – ijma‟ seperti ini tidak dapat dijadikan

hujjah (landasan hukum). 31

uparman Usma, Hukum Islam, h.61. 32

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.163. 33

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.164. Menurut mazhab Handafi, dalam

menetapkan dalail atau sumber hukum Islam maka dilakukan dengan metodologi ijtihad. Ijtihad

dilakukan dengan metode al-ijtihad bi an-nusus dan al-ijtihad bi ghair an-nusus. al-ijtihad bi an-nusus

adalah ijtihad dengan nash al-Quran dan sunnah Nabi jika tidak ditemukan dalam al-Quran. 34

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.166. Menurut Mazhab Maliki, dalam ber-istidlal

pertamakali harus merujuk kepada al-Quran, jika tidak ditemukan maka merujuk kepada Hadits (hadits

mutawatir, hadits masyhur, dan hadis ahad), dan bila belum ditemukan lagi maka dengan melihat

fatwa sahabat yang tidak bertentangan dengan hadis marfu‟, jika fatwa sahabat tidak ditemukan maka

dengan metode ijma‟ ulama, jika tidak menemukan ijmak ulama maka dengan qiyas, jika qiyas

bertentangn dengan maqashid maka harus menerapkan istihsan, jikat tidak dapat maka dengan istislah,

zara‟i dan ;urf (adat). 35

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.169. Metodologi istidlal al-Syafi‟i secara

berurutan adalah pertama ayat al-Quran, jika tidak ditemukan di dalamnya ia menggunakan hadis

(mutawatir maupun ahad), jika tidak ditemukan, maka ia melihat pada zahir an-nash al-Quran dan

zahir al-sunnah secara berurutan, dengan teliti mencari segi-segi kekhususanny. Jika tidak menemukan

lagi ia berpegang pada ijmak (Syafi‟i hanya menerima ijma‟ sahabat. Jikat ijma‟ sahabat tidak ada,

maka metode yang digunakan adalah qiyas.

Page 64: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

53

Hanbali,36

dan Daud Zahiri.37

Sebagaimana halnya ulama ushul fiqh tersebut,

al-Syathibi juga menggunakan metodologi istinbat hukum di atas. Dimana al-

Syathibi menempatkan al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang paling

utama, disusul kemudian sunnah Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan al-

Quran, dan al-ijtihad pada posisi terakhir untuk memahami al-Quran dan

sunnah, mengingat bahwa al-Quran dan sunnah diturunkan memiliki maksud

dan kandungan yang hakikatnya hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya.38

Akan tetapi, bila dilihat dalam penetapan teori mashlahah, al-Syathibi

dalam al-muwafaqat-nya, lebih menekankan siafat kepastian (qath‟iy) sebuah

dalil dalam ushul fiqh39

di samping dalil-dalil terperinci. Penekanan kepastian

dalil ini merupakan upaya al-Syathibi dalam membangun premis fundamental

(muqaddimah) dalam teori hukmnya tersebut. Sebab, jika suatu teori hukum

dibangun berdasarkan sumber-sumber hukum yang dapat mengurangi

kepastiannya, maka seluruh bangunan hukum yang dibentuknya menjadi dapat

36

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.173. Hanbali menetapkan al-Quran sebagai

sumber tertinggi, jika dalil dalam al-Quran tidak ditemukan, maka ia merujuk pada sunnah (hadis sahi

hah). Jika tidak ditemukan lagi, ia berpaling dan menggunakan ijma‟ sahabat. Bila tidak ditemukan

lagi ia mencari fatwa sahabat. Kemudia jika tidak ditemukan fatwa sahabat, maka ia mencari fatwa

tabi‟in yang riwayatnya masyhur (masih diperdebatkan). Namun bila fatwa tabi‟in juga tidak

ditemukan, maka ia menggunakan hadis dhaif dan mursal. Jika tidak ditemukan lagi maka ia

menggunakan qiyas. 37

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.176. Dalam beristidlal Daud Zahiri pertamakali

berpegang pada zahir an-nas al-Quran. Jika tidak ditemukan, ia menggunakan zahir sunah dengan cara

menakwil atau menggali „illat- nya. Bila dalam al-Quran dan Sunah tidak ditemukan maka ia

menggunakan ijma‟ pascasahabat. Namun bila ijam‟ juga tidak ditemukan maka ia menggunakan

aqwal sahabat. Jika aqwal sahabat tidak dijumpai juga, maka ia menerapkan teori istihsab iatau al-

ibahah al-asliyyah atau al-bara‟ah al-asliyyah. 38

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.120-121. 39

Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Lebanon: Dar Al-Kibat Bairut,

2004), h.18.

Page 65: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

54

dipertanyakan, bahkan diragukan. Premis fundamental yang dimaksud al-

Syathibi ini berupa premise rasional (pikiran manusia), konvensional

(kebiasaan), dan wahyu (nash). Yang mana masing-masing premise tersebut

memiliki kepastian yang jelas.40

Kepastian premis-premis di atas menurut Hallaq, dengan mengutib

pendapat al-Syathibi, ditentukan berdasarkan penelitian yang komprehensif

terhadap seluruh dalil, baik itu berbentuk teks nash (al-Quran dan sunnah),

ijima‟, qiyas, dan bukti-bukti kontekstual (qara-ini al-ahwal).41

Cara

memahami dalil sebagai istinbath hukum seperti ini merupakan dasar dari

metode al-Syathibi dalam membangun teori dan argumentasinya dalam al-

muwafaqat.42

Metode seperti ini lebih lanjut disebut sebagai metode al-istiqra‟

al-ma‟nawi (induksi tematik) terhadap teks, yaitu suatu metode berpikir yang

tidak semata-mata menggunakan dalil tertentu, tetapi juga dengan cara

mengumpulkan beberapa dalil, sehingga menjadi qath‟i.43

Mengenai al-istiqra‟ al-ma‟nawi (induksi tematik) ini, al-Syathibi

sebagaimana diuraikan Hallaq, menggunakan prinsip-prinsip yang bersifat

umum (kulliyyat) dalam membentuk dasar-dasar syari‟ah. Masing-masing

prinsip tersebut dibentuk oleh kumpulan prinsip-prinsip khusus (juz‟iyyat),

dimana prinsip-prinsip khusus ini memiliki makna atau kandungan yang sama

40

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.243. 41

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.244. 42

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.245. 43

Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.124.

Page 66: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

55

yang membentuk sebuah prinsip khusus. Dengan demikian sebuh juz‟iy harus

merupakan bagian dari kully, karena jika juz‟iy berdiri sendiri ia tidak dapat

dipergunakan sebagai dasar bagi teori hukum. Jika juz‟iy tidak dapat digunakan

karena berdiri sendiri, maka begitu juga dengan kully tidak dapat digunakan

sebagai dasar bagi teori hukum tanpa menyebutkan semua juz‟iy yang

tergabung di dalamnya.44

Melalui metode al-istiqra‟ al-ma‟nawi ini, al-Syathibi menarik

kesimpulan terhadap teori hukumnya tentang tujuan penetapan syariat

(maqashid al-syariah) yaitu mashlahah manusia.45

Para ulama juga menamakan

mashlahah sebagai tujuan Allah selaku Pencipta syariat (qashd al-Syari‟). al-

Syathibi juga mengutip pendapat Mu‟tazilah yaitu, bahwa Tuhan mempunyai

tujuan dalam mengadakan syariat, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia

(mashalih al-ibad).46

Sehingga dengan demikian menurutnya bahwa kriteria

mashlahah adalah tegaknya kehidupan dunia demi tercapainya kehidupan

akhirat.47

D. Konsep Mashlahah Al-Syatibi dalam Hukum Islam

Pada dasarnya, ulama ushul fiqh menamakan mashlahah sebagai tujuan

Allah selaku Pencipta syariat, hukum Islam. (al-muwafaqat, juz 2. 5-6).48

44

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.246. 45

Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, h.244. 46

Al-Syathibi , al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Fikr), h.5-6. 47

Al-Syathibi , al-Muwafaqat, h.37. 48

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.78.

Page 67: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

56

Mashlahah tersebut terlihat dalam tujuan hukum Islam (maqashid al-syariah)

yaitu menciptakan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, 49

dengan prinsip mengambil manfaat dan menolak kemudaratan. Dalam tahap

realisasinya, al-Syathibi menunjukkan maqashid al-syariah itu kepada lima

bidang, yaitu hifdz al-din (memelihara agama), hifdz al-nafs (memelihara jiwa),

hifdz al-„aql (memelihara akal), hifdz al-nasl (memelihara keturunan), dan hifdz

al-mal (memelihara harta).50

Menurut Mashood, maqashid al-syari‟ah, yang telah diklasifikasikan

sebagai peningkatan mashlahah manusia dan pencegahan mafsadah, adalah

pendekatan holistik yang penting untuk mewujudkan lingkup yang tepat dan

luhur dari hukum Islam. Dalam pembahasannya mengenai sasaran dan tujuan

hukum Islam, al-Syathibi menekankan bahwa maksud awal Allah dalam

mewahyukan hukum ialah untuk melindungi kepentingan-kepentingan

manusia.51

Dengan kata lain, doktrin ini adalah upaya untuk menegakkan

mashlahah sebagai unsur pokok tujuan hukum.52

Dalam menghubungkan dua hal tersebut (mashlahah dengan maqashid

al-syariah), al-Syathibi, beranjak dari teori al-Ghazali, mengajukan tiga

klasifikasi hirarkis untuk menentukan lingkup tujuan hukum Islam, yaitu:

49

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, h.61. 50

Jaenal Arifin, dkk, Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar‟i, (UIN Jakarta Press, 2006) h.82. 51

Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, (Jakarta:

Komnas HAM, 2013) edisi terjemah, cet. Ke-3, h.39. 52

Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, h.111.

Page 68: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

57

dharuriyyat, hajjiyat, tahsiniyyah.53

Yang mana tiga klasifikasi ini, menurut

Fatruhman Djamil, berfungsi untuk memelihara ataupun mewujudkan kelima

pokok seperti yang sudah disebutkan diatas. Hanya saja, peringkat

kepentingannya berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama

dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer, yang kalau kelima pokok itu

diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok itu.

Adapun Kebutuhan dalam kelompok kedua dapat dikatakan sebagai

kebutuhan sekunder. Artinya kalau diabaikan, maka tidak akan mengancam

eksistensinya, melainkan akan mempersulit dan mempersempit kehidupan

manusia. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok ketiga erat kaitannya dengan

upaya untuk menjaga etiket sesua dengan kepatutan, dan tidak akan

mempersulit, apalagi mengancam eksistensi kelima pokok tersebut di atas.

Dengan demikian, menurut Fathurrahman Djamil berpendapat bahwa

kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat komplementer.54

Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang tetang mashalah sebagai

maqashid al-syariah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemashlahatan

itu berdasarkan peringkatnya masing-masing.

1. Hifdz al-Din (memelihara agama)55

53

Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, h.42. 54

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.127. 55

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.128.

Page 69: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

58

Memelihara agama dalam peringakat daruriyyah, yaitu memelihara dan

melaksakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti

melaksanakan shalat lima waktu. Bila mana shalat diabaikan, maka akan

mengancam eksistensi agama. Dalam peringkat hajjiyat, yaitu

melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan,

seperti shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian.

Ketentuan ini, jika tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam

eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang

melakukannya. Sedangkan pada peringkat tahsiniyyah, yaitu mengikuti

petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus

melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup

aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan, pakaian,

dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlaq yang terpuji. Kalau

hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan

mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang

melakukannya.

2. Hifdz al-Nafs (memelihara jiwa)56

Memliharan jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi

kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup, kalau

kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terncamnya

56

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.129.

Page 70: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

59

eksistensi jiwa manusia. Pada peringkat hajiyyah, seperti diperbolehkan

berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Adapun

apabila kegiatan ini tidak dilakukan ini diabaikan, maka tidak akan

mengancam eksistensi manusia, malinkan hanya mempersulit hidupnya.

Sedangkan pada peringkat tahsiniyyah, seperti tata cara makan dan

minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopnan dan etika,

sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun

mempersulit kehidupan seseorang.

3. Hifdz al-„Aql (memelihara akal)

Memelihara akal dalam peringkat daruriyyah, seperti diharamkan

meminum minuman khamr, sebab jika meminumnya maka akan berakibat

terancamnya eksistensi akal. Di peringakat hajiyyah, seperti dianjurkan

menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal ini tidak dilakukan, maka

tidak akan merusak akal, tetapi mempersulit diri seseorang, dalam

kaitannya dengan pengembangan ilmu pentahuan. Sedangkan pada

peringkat tahsiniyyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau

mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya

dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal seca langsung.

4. Hifdz al-Nasl (memelihara keturunan)57

57

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.130.

Page 71: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

60

Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyah, seperti disyariatkan

nikah dan dilarang berzina. Kalau hal ini diabaikan, maka eksistensi

keturunan akan terancam. Pada peringkat hajiyyah, seperti ditetapkannya

ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akan nikah dan

diberikan hak talaq kepadanya. Jika mahar tidak disebutkan pada waktu

akad, maka suami akan mengalami kesulitan sebab ia harus membayar

mahar misl. Dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan jika ia

tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak

harmonis. Sedangkan pada peringkat tahsiniyyah, seperti disyariatkan

khitbah atau walimat dalam perkawinan. dimana hal ini dilakukan dalam

rangka melengkapi kegiatan perkawinan. jika hal ini diabaikan, maka

tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit

orang melakukan perkawinan.

5. Hifdz al-Mal (memelihara harta).58

Memilihara harta dalam peringkat daruriyyah, seperti syariat tentang tata

cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan

cara yang tidak sah. Di tingkat hajiyyah, seperti syari‟at tentang jual beli

dengan cara salam. Bila cara ini tidak dipakai maka tidak akan

mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang

58

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.131.

Page 72: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

61

memerlukan modal. Adapun pada tingkat tahsiniyyah, seperti ketentuan

tengang menghindarkan diri dari pencegohan dan penipuan.

Dalam setiap peringkat, seperti yang dijelaskan di atas, terdapat hal-hal

atau kegiatan yang bersifat penyempurna terhadap pelaksanaan tujuan hukum

Islam. Di samping itu, mengetahui urutan peringkat mashlahah di atas menjadi

penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya,

ketika kemaslahatan yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain,

seperti pencatatan perkawinan yang akan dijelaskan pada bab berikutnya.

Dalam hal ini, peringkat pertama ,daruriyyah, harus didahulukan daripada

peringkat kedua, hajiyyah, dan peringkat ketiga, tahsiniyyah. Ketentuan ini

menunjukkan, bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam

peringkat kedua dan ketiga, manakala kemaslahatan yang masuk peringkat

pertama terancam eksistensinya.59

Tercapainya tujuan hukum Islam, yaitu kemaslahatan manusia di dunia

maka niscaya akan tercapai pula kemaslahatan kehidupan di akhirat. Mengenai

hal ini, menurut al-Syathibi, sebagaimana dikutip Hamka Haq, ditegakkannya

kemaslahatan kehidupan dunia demi tercapainya kemaslahatan kehidupan di

akhirat. Artinya bahwa kemaslahatan di dunia dan akhirat memiliki keterkaitan

dan kesinambungan. Oleh sebab itu, menurut al-Syathibi, manusia dalam

mewujudkan mashlahah di dunia haruslah terbebas dari keinginan nafsu.60

59

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.132. 60

Al-Syathibi , al-Muwafaqat, h.172.

Page 73: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

62

Sehingga dengan demikian, mereka hamba yang berikhitiar, tidak secara

terpaksa.61

Untuk menjadi hamba yang berikhtiar, menurut al-Syathibi, manusia

dapat melakukan tiga hal salah satunya adalah mewujudkan mashlahah, selain

ber-ibadah dan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Mashlahah

diwujudkan dan diperoleh tidak berdasarkan keinginan nafsu,62

sebab

mashlahah untuk kebaikan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah.

Manusia tidak boleh menurutkan nafsunya, tetapi harus berdasarkan kepada

syariat Allah,63

sebab kemaslahatan dicapai seorang hamba Allah harus

bertujuan untuk mekaslahatan akhirat.64

Karena Mashlahah untuk kebaikan manusia maka ia bersifat universal,

berlaku umum dan abadi atas seluruh menusia dan dalam segala keadaan.

Pokok pikiran menyangkut universalitas syariat ini65

dirumuskan sebagai

berikut: 66

61

Al-Syathibi , al-Muwafaqat, h.168. 62

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.82. 63

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.83. 64

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 2001) cet. Ke-3, h.114. 65

Syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang

Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak baik dalam hubungannya dengan Allah maupun

dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat, dan sunnah Nabi sebagai pejelasnya. Syariat

bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, berlaku abadi, hanya satu dan

menunjukkan kesatuan dalam Islam. Lihat Mohaammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum

dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.46-51. 66

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.83-84.

Page 74: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

63

1. Bahwa setiap aturan (nizham) bagi kemaslahatan diciptakan Tuhan secara

harmonis dan tidak saling berbenturan.

2. Kemaslahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan

hanya berlaku secara khusus pada satu tempat tertentu saja.

3. Mashlahah dapat diterima secara umum (al-mashalih al-mu‟tabarah).

4. Bersifat tegas dan pasti (qath‟i).

5. Tidak berlaku padanya nasakh (pembatalan), Sebab nasakh hanya terjadi

pada kaidah-kaidah parsial saja.

Berdasarkan argument di atas, menurut Hamka Haq, diketahui bahwa

universalitas mashalahah dan syariat mengandung arti keharmonisan dan

keutuhan hukum Tuhan, yaitu tidak kontradiksi antara satu bagian dan bagia

yang lain. Menurut Hamka, teori keharmonisan seperti ini sebenarnya dianut

juga oleh Mu‟tazilah begitu pula Maturudiyyah Samarkand.67

Konsep

keharmonisan ini pula diterima oleh Fazlur Rahman68

dan Muhammad Abduh

67

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.

85. Tentang hal ini dapat dikemukan pandangan mereka, menurut Abduljabbar dari golongan

Mu‟tazilah bahwa perbuatan Tuhan bersifat harmonis dari segi strukturnya (shalih fi tadbirih),

sehingga tidak lepas pula dari kaitannya dengan hukum taklifi dan mukalaf; segala perbuatan-Nya

tidaklah mengacaukan dua hal (hukum taklifi dan mukalaf) dan tidak membawa mukalaf keluar dari

kesungguhan berbuat; demikian itulah yang disebut harmonis. Sebaliknya, segala hal yang mendorong

semangat mukallaf untuk bekerja berarti Tuhan telah merusak dan mengacaukan struktur perbuatan-

Nya (fasad fi tadbirih). Jadi andai kata Tuhan berdusta dalam janji dan ancaman-Nya maka hal itu

menujukkan kerusakan pada harmonitas perbautan-Nya. Begitu juga golongan Maturidiyah Samarkand

menganut paham keharmonisan perbuatan Tuhan. Menurut al-Maturdi dari golongan ini menyatakan

bahwa siapa pun yang memperoleh ma‟rifah (pengenalan) tentang Allah, mengetahui kekuasaan dan

kerajaan-Nya, dan mengetahui bahwa Dia Maha pencipta dan memberi perintah, ia tentu mengenal

pula bahwa perbuatan-Nya tidak mungkin keluar dari hikmah kebijakan tertentu. 68

Salah satu konsep kalsik yang dipakai dalam merumuskan metode pembaruan hukum Islam-

nya adalah kosep maqashid al-syari‟ah al-Syathibi. Lihat Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazlur

Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, h.169.

Page 75: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

64

seorang pelopor pembaruan Islam. Dalam pandangan-pandangan yang

dikemukan oleh mereka, mereka sependapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan

tertentu dalam perbuatan-Nya. Dimana tujuan Tuhan mengadakan syariat

adalah terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat (mashalih al-

„ibad fi al-darayn).69

Pada sisi lain, menurut Wael B. Hallaq,70

menculnya teori al-Syathibi ini,

di dorong oleh sebuah keinginan yang kuat untuk menciptakan sebuah

perangkat teoritis yang dapat meningkatkan fleksibilitas dan adaptabilitas

hukum positif. Yang selanjutnya oleh Wael B. Hallaq disebutkan bahwa al-

Syathibi bertujuan untuk mengembalikan apa disebut sebagai hukum Islam

yang sebenarnya. Yaitu sebuah hukum yang menurutnya merupakan

percampuran antara dua hal yang ekstrim (saat itu) dan tuntutan akan ketentuan

hukum yang berlebihan yang dipaksakan oleh orang-orang yang tampak

sebagai kaum sufi kontemporer, kelompok yang memiliki pemikir hukum Islam

dalam jumlah yang cukup besar.71

69

Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,

h.86. 70

Konsep mashlahah yang dikemukakan oleh al-Syathibi direpsentasikan sebagai puncak dari

sebuah perkembangan intelektual yang telah dimulai pada abad keempat/kesepuluh. Pada masanya

pula teori hukum telah mencapai tingkat kematangan yang demikian tinggi hingga telah tersusun

secara utuh, sementara pada saat yang bersamaan ia mempertahankan fungsi tradisionalnya dalam

menggali hukum dan mengatur proses pembentukan hukum secara kontinyu dan, dalam batas-batas

tertentu, memfungsikannya. Lebih dari itu, menurut Wael, teori ini memiliki pengaruh yang penting

dalam pembentukan hukum modern. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.239. 71

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.240.

Page 76: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

65

BAB IV

RELEVENASI PENCATATAN

DENGAN TEORI MASHLAHAH AL-SYATHIBI

A. Problematika Pencatatan Perkawinan di Indonesia

Fenomena perkawinan tidak tercatat secara resmi di Indonesia dinilai

masih tinggi, disebabkan faktor kultur dan budaya masyarakat.1 Dari hasil

penelitian mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, walaupun tingkat

kesadaran hukum masyarakat terhadap pencatatan perkawinan dinilai baik,

namun perilaku hukum masyarakat dinilai masih kurang.2 Baiknya kesadaran

masyarakat untuk mencatatkan perkawinannya di KUA, tidak terlepas dari

dukungan program-program pemerintah untuk merealisasikan hal tersebut,

misalnya, pembuatan akta kelahiran harus dilampirkan dengan buku nikah

kedua orang tua.3

1 Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/27/mivkvw-ribuan-

pasangan-nikah-bawah-tangan, Diakses pada tanggal 27-2-2014 2 Muhammad Zuhdi Arif, Kesadaran Hukum Masyarakat Desa Cibatok Satu Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor Terhadap Pencatatan Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah

Jakarta, 2011), h. 69. Lihat Nur Fauzi, Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan Cipedak Kecamatan

Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 65.

Lihat Isti Astuti Savitri, Efektifitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA Kecamatan Bekasi Utara,

(Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.59. 3 Alimin, dkk, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia, (Jakarta: Orbit, 2013), h.

85. Pengakuan sebagaimana dimaksud diperoleh melalui penelitian di beberapa lembaga kantor urusan

agama (KUA) di Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan

menggunakan metode kepustakaan dan lapangan. Wilayah dan objek penelitian adalah Kab. Bogor,

Kotamadya Depok, dan Kabupaten Karawang.

Page 77: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

66

Di sisi lain, problem yang ada juga ialah adanya kontestasi peran KUA

oleh tokoh masyarakat. Dikatakan demikian karena pernikahan-pernikahan

“liar” atau pernikahan dibawah tangan tidak tercatatkan itu tentu melibatkan

tokoh-tokoh masyarakat setempat yang dipandang memiliki pengetahuan

agama yang memadai.4 Padahal, mayarakat seharusnya telah mengetahui,

bahwa perkawinan dan pencatatan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh dua

lembaga yang diukui secara yuridis, yaitu KUA dan KCS.5

Memang, dalam Islam perkawinan disebut sebagai sebuah ikatan yang

sangat kuat “mitsaqon ghalidhan”. Di mana bila dilaksanakan merupakan

Ibadan dan menaati perinta Allah. Namun demikian, tidak serta merta, karena

perkawinan merupakan perintah Allah, lantas perkawinan dilepaskan dari

urusan Negara. Perlunya negara sebagai penengah dalam institusi perkawinan

tidak lain adalah untuk menjamin ketertiban perkawinan itu sendiri. Sudah

tentu, keterlibatan negara dalam hal ini adalah melalui kebijakan legislasi

peraturan perundang-undangan.6

Sehingga dengan kebijakan tersebut, segala sesuatu yang terjadi dalam

perkawinan menjadi jelas, baik perkawinan dalam keadaan damai maupun

dalam keadaan tidak damai. Sebuah perkawinan yang dicatatkan akan

menjamin semua perbuatan hukum yang terjadi dalam perkawinan, sebaliknya

4 Alimin, dkk, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia, h.86.

5 Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.55.

6 Jasmani Muzajin, Fenomena Nikah Sirri dalam Sebuah Negara Hukum, Makalah

Page 78: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

67

perkawinan tidak dicatatkan tidak demikian. Akibatnya manakala salah satu

pihak melalaikan kewajiban, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya

hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari

perkawinannya.7 Tentu saja, keadaan demikian bertentangan dengan misi dan

tujuan perkawinan itu sendiri. Dalam konteks Rechtstate “Negara Hukm”,

perkawinan tidak dicatatkan pada dasarnya bertentang dengan tujuan-tujuan

hukum, yaitu kesejahteraan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Begitu pula dalam doktrin maqashid al-syar’iyah yang dikemukakan

oleh al-Syathibi.8 Bahwa, dalam perkawian tidak dicatatkan terdapat beberapa

tujuan syari’ah yang dihilangkan sehingga menyebabkan ketidaksesuaian

sebagai berikut:9

1. Dalam kasus perkawinan tidak dicatatkan, perkawinan cenderung

disembunyikan agar tidak diketahui orang lain, sehingga perkawinan

diragukan. Padahal, Islam mensyariatkan bahwa Perkawinan itu harus

diumumkan (diketahui halayak ramai), maksudnya agar orang-orang

mengetahui bahwa perkawinan telah terjadi dan itu sah.

2. Adanya perlindungan hak perempuan yang diabaikan. Dalam perkawinan

tidak dicatatkan, pihak perempuan banyak dirugikan hak-haknya, karena

7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.110. lihat tujuan perkawinan menurut hukum

Islam dalam bab 2 8 Memang dalam karyanya al-Syathibi tidak merumuskan pendapatnya tentang pencatatan

perkawinan. Tapi, di sini penulisnya hanya ingin mengkorelasikan teorinya dengan topik yang

diangkat dengan menggunakan bahan-bahan bacaan terkait. 9 Sumber; http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-

indonesia/49, diakses pada tanggal 20-7-2014

Page 79: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

68

kalau terjadi perceraian pihak perempuan tidak mendapatkan apa-apa dari

mantan suaminya sebab tidak dapat dibuktikan perkawinannya.

3. Banyak menimbulkan madlarat terhadap keturunan dari pada

maslahatnya. Perkawinan tidak dicatat, menyebabkan anak-anak yang

lahir dari perkawinan tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk

mencari pekerjaan karena orang tuanya tidak mempunyai surat nikah dan

seandainya ayahnya meninggal dunia/cerai, anak yang lahir dari

perkawinan tidak tercatat tidak mempunyai kekuatan hukum untuk

menuntut harta warisan dari ayahnya.

4. Dalam kasus poligami, seorang suami yang tidak mendapatkan izin dari

istri biasanya melakukan perkawinan tapi tidak dicatatkan. Perkawinan

seperti ini penuh dengan kebohongan dan dusta, karena suami selalu

berbohong kepada istri pertama, sehingga perkawinan seperti ini tidak

akan mendapat rahmat dari Allah.

Secara umum, menurut Jasmani Mujazim, bahwa perkawinan tidak

dicatat di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:10

a. Kesadaran hukum yang tidak diimbangi dengan pemahaman hukum

masyarakat yang baik;

b. Sikap apatis sebagian masyarakat terhadap hukum;

c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas;

10

Jasmani Muzajin, Fenomena Nikah Sirri dalam Sebuah Negara Hukum, Makalah

Page 80: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

69

d. Ketatnya Izin Poligami

Pencatatan perkawinan adalah suatu upaya untuk menciptakan ketertiban

perkawinan,11

mengingat bahwa perkawinan merupakan peristiwa hubungan

hukum12

. Persoalan pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat

hukum dalam hukum nasional sebagaimana diuraikan di atas merupakan hal

persoalan yang belum tuntas sampai sekarang. Persoalan tidak hanya ditemukan

dalam tataran pengimplentasian norma hukm pencatatan perkawinan. Namun

pula muncul dalam perdebatan-perdebatan yang berisfat akademis, yang

pembahasannya berkutat pada sah tidaknya perkawinan tanpa dicatatkan.13

Perdebatan-perdebatan tersebut sampai saat ini belum selesai. terlihat dari

pembahasan ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan dalam RUU Hukum

Materil Peradilan Agama yang hingga saat ini belum disahkan. Bagi kalangan

yang mendukung, berpendapat bahwa pencatan perkawinan bertujuan

melindungi semua pihak, tidak hanya perempuan namun juga laki-laki dan

keturunan. Mengingat perkawinan tidak dicatat alias perkawinan di bawah

tangan cenderung menimbulkan mudarat dari pada maslahatanya. Kemudaratan

tidak saja terjadi kepada kaum perempuan, namun dapat terjadi pula pada kaum

laki-laki dan keturunan. Dalam kasus perceraian, perkawinan tidak tercatat

11

Lihat pasal 5 ayat (1) KHI, “Agar terjadi ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap

perkawinan harus dicatat” 12

Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet. Ke-12,

h.556. 13

Sumber: http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-dalam-sistem-hukum-nasional-

dan-pergulatannya/43, diakses pada 18 Juli 2014

Page 81: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

70

lebih mudah bagi pasangan suami istri untuk melakukan percaraian. Sementara

perkawinan yang tercatat relatif tidak semudah itu. karena, perceraian harus di

pengadilan dimana mereka mendapat nasihat sehingga berdamai.14

Pencatatan perkawinan juga mempersulit terjadinya poligami. Sebab

dalam pencatatan, sebuah kehendak perkawian harus diberitahukan terlebih

dahulu dan diperiksa oleh Pegawai Pencatat Nikah.15

Dalam Islam, memang

poligami dibolehkan. Namun, poligami yang dipraktekan sekarang berbeda

dengan yang dipraktekkan di masa Rasul. Di masa Rasul, poligami dilakukan

secara terang-terangan, berbeda dengan sekarang, praktek poligami sering

dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau tidak dicatatkan di KUA sehingga

menimbulkan mudlarat di kemudian hari.16

Oleh sebab itu poligami dibatasi

dan dipersulit melalui pencatatan perkawinan. Kesulitan berpoligami karena

pencatatan tersebut terlihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk

berpoligami.

Bagi kelompok yang menolak, yaitu masyarakat muslim yang masih

berpegang teguh kepada perspektif fikih tradisional17

berpendapat bahwa

diperketatnya perkawinan melalui pencatatan perkawinan akan lebih besar

14

Sumber: http://www.scribd.com/doc/58154536/KOMENTAR-RUU-HMPA, diakses pada

tanggal 24 Juli 2014 15

Lihat Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahnu 1975 pasal 6 ayat (1) jo pasal 7 jo pasal 8

ayat 2. 16

Sumber: http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-

di-indonesia/49, diakses pada tanggal 20 Juli 2014. 17

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),

h.47.

Page 82: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

71

menimbulkan mudarat. Apalagi dalam RUU tersebut terdapat ketentuan pidana

bagi pelakunya. Menurut mereka, perkawinan tidak dicatatkan selama ini

dipahami masyarakat adalah pernikahan yang absah secara agama, sebab

memenuhi syarat dan rukunnya secara syar’i. Demikian pula dengan poligami

yang telah memenuhi syarat-syarat sah secara syar’i. Kemudian kewajiban

pencatatan perkawinan dan pemberian sanksi pidana bagi yang melanggarnya

menurut mereka menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, selama ini

sebagian masyarakat telah mempraktikkan bentuk pernikahan tersebut selama

puluhan tahun.18

Akibat pemahaman tersebut maka timbul dualisme hukum yang berlaku,

di satu sisi perkawinan harus dicatatkan dan di sisi lain perkawinan tanpa

dicatatkan pun tetap diakui dimasyarakat. Sebenarnya, jika ditinjau dari

perspektif hukum nasional dan hukum Islam, pencatatan perkawinan memiliki

tujuan-tujuan kemaslahatan. Dari perspektif peraturan perundang-undangan,

perkawinan haruslah dicatatkan, sebab tujuan hukum pencatatan dalam sistem

hukum nasional ialah demi tercapainya kedamaian hidup antar pribadi19

dan

ketertiban perkawinan.

18

Sumber: http://kabarnet.in/2010/02/23/nikah-siri-diributkan-zina-siri-dibebaskan/ diakses

pada tanggal 24 Juli 2014 19

Purnadi Purbacaraka, dkk, Perihal Kaedah Hukum, h.50. Dalam buku ini dijelaskan bahwa

kedamaian hidup meliputi 2 (dua) hal, yaitu ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenagan intern

pribadi. Kedua hal ini memiliki hubungan dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi-

tunggal yang merupakan sepasang nilai yang tidak jarang bersitegang, yaitu memberikan kepastian

dalam hukum (certainty/zekerheid), memberikan kesebandingan dalam hukum (equity/billijkheid),

disamping itu juga memberikan nilai keakhlakan (spiritualism) dan nilai kepentingan kebendaan

(materialism), dan nilai kebaruan (inovatism) dan nilai kelanggengan (conservatism).

Page 83: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

72

Ditinjau dari perspektif hukum Islam, pencatatan perkawinan sebagai

kebijakan pemerintah mengandung kemaslahatan, sebagaimana dikenal dalam

kaidah fiqih “ صمللحةةترصف الإ مام عيل الرعية منوط اب ”, suatu tindakan

(peraturan) pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan

umat.20

Dengan demikian, ketundukan terhadap peraturan tersebut merupakan

suatu keharusan.21

Menurut Quraish Shihab, perintah pencatatan perkawinan

tidak bertentangan bahkan sejalan dengan semangat al-Quran.22

B. Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di

Indonesia.

Di dalam hukum pencatatan perkawinan terkandung nilai kepastian

hukum. Hal ini dapat ditemukan pada salah satu prinsip perkawinan dalam UU

No. 1 Tahun 1974, yaitu asas legalitas. Selain berfungsi sebagai penertiban

administrasi dan perlindungan hukum bagi masing-masing suami istri, asas

legalitas dalam perkawinan juga mempermudah para pihak dalam melakukan

kontrol terhadap pelaksanaan undang-undang perkawinan. Menurut Amin

Suma, asas legalitas dalam perkawinan seyogianya dipahami tidak dalam

20

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Fajar Interpratama

Offset, 2003), h.130. 21

Lihat Quran Surat al-Nisa ayat 59 :”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah

Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,

Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar

beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya.” 22

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.158. Disadur dari M. Quraish

Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan,

1996) h.204.

Page 84: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

73

konteks admintrasi semata, idealnya juga harus dipahami bahwa ia memiliki

nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam pengertian pencatatan

perkawinan.

Labih lanjut, menurut beliau, pencatatan perkawinan justru turut

menentukan sah tidaknya sebuah akad nikah yang dilangsungkan sepasang laki-

laki dan perempuan. Sehingga, dengan penerapan asas legalitas ini sebagai

salah satu asas dalam perkawinan, maka perkawinan tidak tercatat atau

perkawinan di bawah tangan di masyarakat manapun dapat ditekan sedemikian

rupa. Dari sisi syar’i, pelegal-fomalan asas legalitas juga sangat ditopang oleh

teks wahyu dalam kaitan ini surat al-Baqarah ayat 282:

…….

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya……. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)

Walaupun ayat di atas diturunkan dalam konteks pencatatan dan

pembukuan ekonomi perdagangan, khususnya yang dilakukan dalam bentuk

perkreditan/hutang-piutang, namun tidak ada hambatan apa pun untuk

menerapkan aktivitas administrasi (catat-mencatat) ini dalam transaksi-transaksi

lainnya, termasuk di dalamnya akad nikah.23

23

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,

2004), h.188.

Page 85: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

74

Dengan demikian, suatu perkawinan haruslah dicatatkan sehingga

menjadi perkawinan yang diakui secara legal-formal. Perkawinan yang

dicatatkan mendapatkan akte nikah, di mana akte tersebut adalah merupakan

bentuk pengakuan negara secara legal-formal sebagaimana dimaksud. Suatu

waktu akte tersebut dapat digunakan sebagai bukti, misalnya, jika terjadi

perceraian antara suami isteri.

Memang dalam hukum perkawinan Islam, pembuktian dengan akte nikah

tidak ditemukan, yang ada hanyalah pembuktian dengan saksi. Kedudukan

saksi dalam perkawinan berfungsi untuk menjamin kepastian hukum dan

menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian

hari.24

Di samping itu, keberadaan saksi menurut Ahmad Safwat25

bertujuan

sebagai pengumuman kepada khalayak ramai (public).26

Namun demikian, posi atau kedudukan saksi yang masuk dalam satu

syarat sah perkawinan menghalangi masuknya akte perkawinan sebagai salah

satu syarat sah perkawinan. Bila disandingkan, saksi dan akte memiliki posisi

yang sama penting dalam sebuah perkawinan, yaitu sebagai alat bukti. Bahkan,

menurut Khoiruddin Nasution, kehadiran pencatatan perkawinan dapat

24

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.81. 25

Ahmad Safwat adalah seorang sarjana Mesir yang mendorong pembaruan hukum perkawinan

di Mesir. Menurutnya, dalam hukum perkawinan, pencatatan perkawinan diharuskan berdasarkan pada

pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum ini tidak

berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna

(efisien). Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih

diutamakan. 26

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.161.

Page 86: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

75

mengganti kehadiran saksi sebagai rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya

perkawinan.27

Bila dibandingkan, antara urgensitas saksi dan pencatatan perkawinan,

maka pencatatan berdasarkan pendapat di atas, lebih relevan dalam penegakan

hukum di Indonesia. Urgensitas itu terlihat dari maslahat pencatatan, yang oleh

Rafiq disebut manfaat berisfat preventif dan represif. Secara preventif,

pencetatan perkawinan dilakukan untuk menanggulangi agar tidak terjadi

kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut

hukum dan kepercayaan itu, maupun menurut per-UU-an.28

Secara represif,

pencatatan bertujuan untuk meminimalisir perkawinan yang tidak dapat

dibuktikan karena tidak dicatat.29

Perkawinan tidak dicatat merupakan perkawinan yang sering kali

menimbulkan madharrat terhadap istri dan/atau anak.30

Perkawinan seperti ini

jelas bertentangan dengan maqashid al-syari’ah dalam mewujudkan maslahat

manusia, tertuama dalam rangka hifdz an-nafs, hifdz al-nasl, dan hifdz al-mal.

Dalam rangka hifdz an-nafs, melalui perkawinan seorang laki-laki dan

perempuan hidup saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan

27

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.165. 28

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.111. 29

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.117. 30

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.49.

Page 87: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

76

spiritual dan materil.31

Keadaaan tersebut tentu harus ditopang dan diperkuat

oleh norma hukum yang berlaku.

Kemudian, dalam rangka hifdz al-nasl, pencatatan merupakan salah satu

sarana untuk melindungi keturunan dalam perkawinan. Pencatatan dirasa perlu

untuk memberi kepastian hukum terhadap kedudukan nasab.32

Dalam kasus

perkawinan tidak dicatat, kedudukan anak menjadi terancam dalam beberapa

hal tertentu, seperti hilangnya hak nafkah dan waris. Jika ini terjadi, tentu

bertentang dengan ajaran Islam yang memandang bahwa kemurnian nasab

sangat penting, karena hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga,

baik hukum perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya.33

Dan dalam rangka hifdz al-mal, bawha dalam kasus seorang istri yang

dicerai atau ditinggal mati oleh suami, maka berhak atas segala harta yang

diperoleh selama ikatan perkawinan. Pentingnya harta adalah untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari demi keberlangsungan hidup. Hal ini perlu disadari,

sebab salah satu kebutuhan fundament manusia adalah safety of self and

property.34

Karena harta merupakan hak yang harus diperoleh istri

sepeninggalan suami baik karena cerai atau meninggal dunia, maka ia harus

dibuktikan status perkawinannya.

31

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.25. 32

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h.10. 33

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, h. 7. Beberapa derivasi dari hak

kewarisan meliputi hak nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah dan hak mendapatkan warisan,

bahkan konsep kemurhiman dalam Islam akibat hubungan perkawinan (persemendaan). 34

Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, h.5.

Page 88: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

77

Dalam masyarakat (Islam) tradisional, pembuktian perkawinan cukup

dengan memanggil saksi saat perkawinannya mereka dilakukan. Melalui jalan

musayawarah dari kedua belah pihak, permasalahan pembuktian dapat

terselesaikan. Namun, berbeda halnya dengan masyarakat (Islam) modern,

ketika perselisihan harta tidak dapat terselesaikan dengan jalan musyawarah

keluarga, maka penyelesaiannya dilakukan di pengadilan. Dalam penyelesaian

di pengadilan ini, baik pihak suami maupun istri harus mampu membuktikan

perkawinan mereka. Bila perkawinan mereka dapat dibuktikan dengan akta

nikah, penyelesaian perselisihan harta akan menjadi mudah dan pasti. Adapun

jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, penyelesaian

perselisiahan menjadi sulit, bahkan menimbulkan kerugian kepada pihak istri.

Telah kita ketahui bersama, bahwa perkawinan yang tidak memiliki akta

nikah, cenderung dilakukan di bawah tangan atau tanpa sepengetahuan Pegawai

Pencatat Nikah. Jika merujuk pada fatwa MUI, perkawinan di bawah tangan ini

hukumnya adalah sah karena memenuhi rukun dan syarat, tetapi menjadi haram

jika menimbulkan madharrat. Oleh sebab itu, maka perkawinan harus

dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah untuk

menolak dampak negatifnya.35

Dampak negatif timbul manakala terjadi perselisihan yang tidak dapat

diselesaikan atau syiqaq antara suami dan istri, maka pihak lain tidak dapat

35

Asrorun Ni’am Sholeh,Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.49.

Page 89: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

78

melakukan upaya hukum “pembelaan diri”, karena tidak memiliki bukti-bukti

yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.36

Lebih

memprihatinkan lagi adalah jika tidak diakuinya seorang istri, tidak berhak atas

nafkah, dan waris serta anak yang dilahirkan juga dianggap tidak sah.37

Padahal, pencatatan secara administratif dilakukan oleh negara dengan

maksud agar perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang

sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh

negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari perkawinan dapat terselenggara

secara efektif dan efisien. Di samping itu, pembuktian otentik ini melindungi

kepentingan masing-masing suami-istri sehingga terlayani dengan baik, karena

tidak diperlukan proses permbuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan

pikiran lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal

55 UU No. 1/1974.38

Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di

dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan apek fikih saja,

tetapi aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.

Dengan demikian dapat terwujud ketertiban dan keadilan dalam perkawinan.39

Kebijakan tersebut, tentu tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip hukum

Islam, bahkan dapat dikatakan sejalan. Sebab, suatu tindakan (peraturan)

36

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.110. 37

Muhammad Zain, dkk, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h.39 38

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, h.145. 39

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.117.

Page 90: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

79

pemerintah berintikan jaminan kepentingan dan kemaslahatan umat manusia,

,” ترصف الإ مام عيل الرعية منوط اباصمللحةة“40

Melalui pencatatan perkawinan juga, segala mudharat yang timbul dalam

perkawinan dapat diminimalisir. Sebaliknya, jika perkawinan tidak dicatat akan

timbul mudharat daripadanya. Potensi mudharat ini dalam hukum Islam harus

dihilangkan, sebagaimana dikenal dalam kaidah fiqh “الرضر يزال”. Lebih dari

itu, bahkan Islam sendiri memerintahkan agar tidak melakukan kemudharatan

kepada orang lain dan/atau membalas kemudharatan dengan kemudharatan

.”لرضر ولرضار“41

Selain itu, menurut Bagir Manan, fungsi dan kedudukan

pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order)

yang berfungsi sebagai instrument kepastian hukum dan kemudahan hukum.42

C. Pandangan Penulis Tentang Pencatatan Perkawinan

Di Indonesia, pencatatan perkawinan merupakan norma yang

terkodifikasi dalam peraturan per-UU-an43

, yaitu dalam UU No. 1 Tahun 1974,

Permen No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, dan

Kompilasi Hukum Islam. Norma berlaku secara nasional, karena, hukum dalam

artian undang-undang adalah hukum nasional. Dikatakan demikian karena

40

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, h.130. 41

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam,h.78. 42

Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatatkan, h.159. 43

Lihat pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, pasal 5 Kompilasi Hukum Islam

Page 91: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

80

hukum macam ini diberlakukan sebagai standar untuk rujukan sentral perilaku

warga negara. Hukum ini dibentuk secara sengaja dan rasional melalui

kesepakatan antara wakil-wakil rakyat dalam badan legislative.44

Rasionalitas Pen-taqnin-an pencatatan perkawinan ini dapat terjadi karena

dipengaruhi oleh perkembangan hukum modern, yaitu hukum tertulis (codified

law) sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo.45

Upaya kodifikasi ini

dilakukan secara lengkap dan sistematis dalam undang-undang, dengan tujuan

untuk memperoleh kepastian hukum, pernyederhanaan hukum dan kesatuan

hukum.46

Menurut Amin Suma, kodifikasi hukum dalam pandangan hukum

Islam sesungguhnya didukung sebagai respon perkembangan zaman modern.47

Dengan demikian, dapat dikonklusikan, bawah tidak terdapat

pertentangan tentang norma pencatatan perkawinan antara hukum nasional dan

hukum Islam. Sebab itu, menaati perintah norma tersebut berarti menaati ajaran

agama Islam dan melaksanakannya merupakan suatu keharusan. Karena,

hukum “pencatatan perkawinan” melindungi kepentingan-kepentingan manusia

yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, keturunan, dsb.

terhadap yang merugikannya.48

44

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyrakat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.19. 45

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.171. 46

C.S.T. Kansil, Penganar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1989), cet. Ke-8, h.72. 47

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.171. 48

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2011), cet. Ke-

34, h.11.

Page 92: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

81

Dalam ikatan perkawinan, terdapat kewajiban yang harus ditunaikan baik

suami maupun istri, begitu pula hak masing-masing yang dapat dituntut

sewaktu-waktu jika tidak dipenuhi. Dalam sistem hukum kekeluargaan di

Indonesia,49

hak dan kewajiban tersebut dapat ditemukan dalam Undang-

Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.50

Manakalah kewajiban

tidak ditunaikan atau sulitnya memperoleh hak oleh salah satu pihak, maka

pihak lain dapat menuntut dengan dalih bahwa mereka benar-benar memiliki

hubungan yang sah dengan dibuktikan melalui akta nikah.

Namun, menjadi persoalan adalah ketika salah satu pihak tidak dapat

menuntut haknya karena perkawinan tidak dapat dibuktikan atau tidak valid.

Hal semacam ini tentu memicu konflik hubungan perkawinan di antara

keduanya. Secara teoritis, dalam Islam ketika timbul konflik antara suami istri,

maka penyelesaiannya dengan mamanggil keluarga dari kedua belah pihak

menjadi hakam, yaitu dari pihak perempuan dan laki, untuk memberikan

nasihat.51

Penyelesaian konflik semacam ini bersifat tradisional sebab tidak

memerlukan proses litigasi.52

49

Hukum kekeluargaan yang dimaksud adalah hukum tertulis (codified law). 50

Lihat pasal 30 s/d 34 UU No. 1/1974 dan pasal 77, 78, 79, 80, 81, dan 83 Kompilasi Hukum

Islam. 51

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 242. Proses penyelesaian seperti ini ditemukan

dalam al-Quran, surat an-Nisa ayat 35. 52

Penyelesaian kasus dengan cara non-litigasi ini bersifat sederhana dan tidak memakan waktu

dan biaya banyak. Penyelesaiannya cenderung lebih cepat. Namun bukan berarti penyelesaian konflik

perkawinan dengan cara ini bukan berarti tidak mengandung persoalan, jika konflik selesak dengan

perceraian maka akan menimbulkan kerugian terutama kaum wanita.

Page 93: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

82

Sebaliknya, jika penyelesaian konflik menuntut adanya proses litigasi,

maka kedua belah pihak harus mempersiapkan segala hal yang berkaitan

dengan kebutuhan-kebutuhan penyelesaian konflik. Salah satunya adalah alat

bukti perkawinan berupa akta nikah.53

Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan,

maka ia tidak memiliki bukti berupa akta nikah. Sebaliknya, suatu perkawinan

yang dicatatkan memiliki bukti tersebut.54

Dalam penyelesaian konflik melalui

litigasi ini, bukti tertulis merupakan sesuatu yang niscaya adanya.

Dalam hukum acara Peradilan Agama55

pembuktian tertulis memiliki

tempat dalam urutan pertama.56

Artinya, bahwa, akta nikah dalam hal ini

merupakan bukti utama dibutuhkan dalam penyelesaian konflik dalam rumah

tangga. Hal ini sejalan dengan pendapat Khoiruddin Nasution, yaitu, catatan

akad nikah (akta nikah) dapat dijadikan bukti otentik untuk menjamin hak-hak

para pihak yang terlibat dalam dan akibat dari perkawinan.57

Kemudian dari pada itu, suatu perkawinan yang dapat dibuktikan

mempermudah segala aspek yang berkaitan dengan hukum kekeluargaan,

seperti hadanah (hak asuh anak), nafkah, waris dan pembagian harta bersama.

53

Lihat pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan

Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.” 54

Dalam bab II sub bahasan pengertian pencatatan perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan

perkawinan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki

dalam perkawinan untuk mendapatkan akta nikah. 55

Lihat pasal Pasal 54 UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama: “Hukum Acara yang berlaku

pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku

pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam

Undang-undang ini.” 56

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.556. 57

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 167

Page 94: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

83

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pencatatan perkawinan dalam dalam hukum nasional, yaitu mewujudkan

ketertiban perkawinan. Ketertiban perkawinan dimaksud adalah

terjaminnya kepastian hukum dan kemudahan hukum. Yang dengan itu,

segala aspek berkaitan dengan perkawinan semakin mudah diakses.

2. Tujuan pencatatan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan

mengandung relevansi dengan mashlahah (kebaikan/kemanfaatan) dalam

pandangan al-Syathibi. Relevenasinya terletak pada perlindungan hak dan

kewajiban masing-masing suami istri, yaitu dalam hal perlindungan jiwa

(hifdz al-nafs), melindungi hak nafkah, harta bersama, waris, (hifdz al-

mal), hak anak (hifdz al-nasl). Secara universal, hubungan pencatatan

perkawinan dengan teori mashlahat ini terlihat dalam pengutamaan

kebaikan dan menghindari keburukan. Sebuah pencatatan lebih besar

mengandung mashlahat dibanding mafsadah.

3. Pencatatan perkawinan harus dijadikan syarat sah sebuah perkawinan dan

harus didukung pula oleh infrastrukur hukum yang berlaku. Sebuah

pencatatan perkawinan akan terealisasikan dengan baik, manakala

perdebatan-perdebatan mengenai perlu tidaknya pencatatan perkawinan

sebagai syarat sah atau sebagai syarat administrasi semata diakhiri. Di

Page 95: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

84

samping itu, perlu dorongan dari penegak hukum pada masyrakat bawah

agar tidak semata-mata sadar hukum melainkan juga meningkatkan

perilaku taat hukum terhadap pencatatan perkawinan.

B. Saran

1. Ulama dan pemerintah agar terus mendorong masyarakat melakukan

pencatatan perkawinan, mengingat pencatatan mengandung kemaslahatan

bagi pelakunya.

2. Pemerintah agar lebih serius melayani masyarakat dalam pencatatan

perkawinan demi mewujudkan kemaslahatan keluarga dengan menindak

pihak-pihak yang tidak mencatatkan perkawinan.

3. Pemerintah agar mempermudah sarana-sarana pendukung pelayanan

pencatatan perkawinan, melihat beberapa masyarakat daerah masih sulit

menjangkau lokasi pelayanan pencatatan perkawinan.

Page 96: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

85

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan,

(Jakarta: Akademika Pressindo, 1986)

Ali, Mohaammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Ali, Zanuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007),

cet. Ke-2

Alimin, dkk, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia, (Jakarta: Orbit,

2013)

al-Syathibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Lebanon: Dar Al-Kibat

Bairut, 2004)

Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008)

Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2011),

cet. Ke-34

Arifin, Jaenal, dkk, Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar’i, (UIN Jakarta Press,

2006)

Page 97: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

86

Baderin, Mashood A., Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam,

(Jakarta: Komnas HAM, 2013) edisi terjemah, cet. Ke-3

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: LPH, 1996), bag. Pertama

Fachrudiin, Fuan Mohd., Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Pedoman

Ilmu Jaya, 1992)

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2005)

Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. ke-5

Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2001), ed. Terjemah, cet. Ke-2

Haq, Hamka, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-

Muwafaqat, (Erlangga, 2007)

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 2001) cet. Ke-3

Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Fajar

Interpratama Offset, 2003)

Irfan, Nurul, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2013)

Jubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, (Jakarta;

Sinar Grafika, 2010), Cet. Ke-II

Kansil, C.S.T., Penganar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN

Balai Pustaka, 1989), cet. Ke-8

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), edisi

terjemah

Page 98: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

87

Kompilasi Hukum Islam, Depertemen Agama; Direktorat Jendral Pembinaan

Kelembegaan Agama Islam, Tahun 1997/1998

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam

Dua Pertanyaaan, 2008

Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet. Ke-

12

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2006)

Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010)

Masud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka, 1996)

Mugits, Abdul, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta: CV Artha Rivera)

Nabil Muhammad Taufik as-Samaluti, Pengaruh Agama Terhadap Struktur

Keluarga, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987)

Nuruddin, Amiur, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2006),

cet. Ke-3

Purbacaraka, Purnadi, dkk, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1993), cet. Ke-6

Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat, Pusat

Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012).

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Page 99: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

88

Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:

eLSAS, 2008)

Soekanto, Soerjono, dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1985)

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)

Sosroatmodjo, Arso, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,

)

Sostroatmodjo, Arso, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bulan Bintang,

1975)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2010), cet. Ke 34

Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2004)

Susanto, Happy, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan

dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1993), terjemah

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009),

cet. Ke 3

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UIP, 2007)

Tihami, H.M.A., Fiqih Munakahat, (Jakarta, Rajawali pers, 2009)

Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:

Kencana, 2008)

Usman, Suparman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)

Page 100: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

89

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum dalam Masyrakat, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2013)

Yusar, M., Makalah, Pencatatan Perkawinan: Sebuah Tinjauan Yuridis Menurut

Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Zain, Muhammad, dkk, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta,

2005)

SKRIPSI

Arif, Muhammad Zuhdi, Kesadaran Hukum Masyarakat Desa Cibatok Satu

Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Terhadap Pencatatan

Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011)

Fauzi, Nur, Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan Cipedak Kecamatan

Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif

Hidayatullah Jakarta, 2011)

Savitri, Isti Astuti, Efektifitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA Kecamatan Bekasi

Utara, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011)

MAKALAH

Jasmani Muzajin, Fenomena Nikah Sirri dalam Sebuah Negara Hukum, Makalah

INTERNET

http://www.scribd.com/doc/58154536/KOMENTAR-RUU-HMPA, diakses pada

tanggal 24 Juli 2014

Page 101: PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30486/1/MUHAMAD... · Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan

90

http://kabarnet.in/2010/02/23/nikah-siri-diributkan-zina-siri-dibebaskan/ diakses pada

tanggal 24 Juli 2014

http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-dalam-sistem-hukum-nasional-

dan-pergulatannya/43, diakses pada 18 Juli 2014

http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-

indonesia/49, diakses pada tanggal 20 Juli 2014.

http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-

indonesia/49, diakses pada tanggal 20-7-2014

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/27/mivkvw-ribuan-

pasangan-nikah-bawah-tangan, Diakses pada tanggal 27-2-2014