pencatatan perkawinan dalam hukum...
TRANSCRIPT
i
PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM KEKELUARGAAN
DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN
TEORI MASHLAHAH AL-SYATIBI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMAD AWALUDDIN
NIM : 109044100031
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
T
w srozlH 9€rIVIUYXYf
HYITNIYAYOIH dIUVAS NIOruNXI}H NYO I{VIUVAS SYITfDIY.I
YCUVnTfl)r I nXnH IffIIS r MUSOUdYruYOY NYTIOYUfld ISYUJNflSNOX
rcUzzt L96I 1001096I : dINY'ru'uBqqns qBvrrtlBz '!H'r(I Jord
:rrBEurqlurg rlB {eg rc
IEOOOI'7060I : WINffi
:qelo
(r(S'S) qeF€r(S uueFs releg qeloredruel4l srmg leredg nl€S qupsntnueruetr { {ntun um{nH uep qeuedg s"}lDIBd epeda4 uqnf€lC
Isdlnts
ISIIYAS.AY HYHYTHSYI^I IUOflINYCNflC VANISNVAflTIU NVO YISflNOONI IO
NVYCUVNTDTtr){ ruNXNH 'IIYITYO
NYNIA\YXUSd NVIYIYJNgd
LEI\IBAIT PENGES,\III\N
Skripsi yang berjudul "Pcncatatan Perkauinan dl lanr I lukunr Kckcluargarn cl iIndonesia r lan l le lcvansinya dcnga n' I 'eor i N lashlahah AI-Syathibi " telah diajukandalam sidang muuaqasyah Fakultas Syariah clan llnl<rrm Program Stucli IlukurnKeluarga Universitas Islarn Negeri Syarif Fliclayatullah Jakarla pada tanggal 07 April2015. Skripsi ini telah diterirna sebagai salah satu syarat untuk rnemperoleh gelarSarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilukurn Keluarga.
PANITIA UJIAN
l. Ketua FI. Kamarusdiana, S. Ag, MH.
NrP. I 97202241008031003
2. Seketaris Sri Hidayat i , M.Ag.
NIP. 197102151997032002'
Prof.Dr. Hj. Zaitunah Subhan, M.A.NIP. 1 950 1001 1967 122001
Dr. Hj. Mesraini, M.Ag.NIP. r 97602 132003122001
Dr. H. Nurul Irfan, M.Ag.NIP. I 97308022003121001
3. Pernbirnbing :
4. Penguji I
5. Penguji II
Jakarta, 08 Apri l 2015
91216199603 1 00 1
I\IUNAQI\SY.\H
l l l
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 17 Maret 2015
Penulis
Muhamad Awaluddin
v
ABSTRAK
Persoalan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan merupakan
persoalan yang sampai saat masih diperdebatkan. Menurut sebagian pandangan,
pencatatan tidak merupakan syarat sah perkawinan karena dalam perkawinan telah
ada saksi yang kedudukannya sebagai bukti bilmana suatu hari terjadi perselisihan
antara suami dan isteri. Sedangkan sebagian pandangan lainya, menganggap bahwa
kedudukan pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai syarat sah perkawinan.
Tarik ulur perdebatan-perdebatan tersebut berlenjut dalam pembahasan pengesahan
RUU Hukum Materil Peradilan Agama di Parlemen. Bila hal ini dibiarkan berlarut-
larut dalam arus perdebatan, maka kedudukan pencatatan perkawinan sebagai syarat
sah perkawinan tidak akan menemukan titik terang.
Perdebatan-perdebatan tersebut pada akhirnya berimplikasi pada perilaku
hukum di masyarakat terhadap pencatatan perkawinan. Bagi sebagian masyarakat,
perkawinan tidak perlu dicatatkan. Sebab, dicatat atau tidaknya suatu perkawinan
tidak berdampak pada status perkawinan mereka. Karena sejatinya menurut hukum
Islam, perkawinan adalah sah manakala telah memenuhi rukun dan syarat sah
perkawinan. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya, pencatatan perlu dilakukan
agar ada kepastian hukum dalam ikatan perkawinan. Kepastian hukum dimaksud
adalah adanya jaminan hukum dari negara manakala dikemudian hari terjadi
perselisihan antara suami dan isteri.
Persoalan-persoalan perdebatan di atas kiranya sesegera mungkin harus diakhiri
agar tidak terjadi penerapan hukum yang ganda di masyarakat. Dalam perspektif
negara hukum, pencatatan perkawinan dianggap penting. Tapi bukan berarti
menafikan kedudukan saksi dalam perkawinan. Perlunya pencatatan perkawinan
adalah sebagai upaya untuk lebih mempertegas bagaimana posisi pembuktian suatu
perkawinan. Hal ini lebih menarik lagi bila dihubungkan dengan teori mashlahah Al-
Syathibi.
Berangkat dari uraian-uraian di atas, maka penelitian ini mencoba untuk
menelaah: Pertama, apa tujuan dari pada pecatatan perkawinan dalam hukum
nasional; Kedua, bagaimana relevansi pencatatan perkawinan tersebut dengan teori
mashlahah Al-Syathibi; dan ketiga, apakah pencatatan perkawinan harus menjadi
salah satu syarat sah perkawinan atau tidak. Untuk dapat mengungkap pertanyaan-
pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan metode
vi
penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder.
Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan jawaban-jawaban terkait dengan
persoalan-persoalan di atas. Pertama, dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan
memiliki tujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam perkawinan. Kedua, bahwa
pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syahitbi, yaitu
terletak pada perlindungan hukum atas hak dan kewajiban masing-masing suami
isteri yaitu dalam hal perlindungan jiwa, harta dan keturunan. Ketiga, karena
pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syathibi maka
pencatatan perkawinan harus dijadikan syarat sah perkawinan.
Kata kunci : Pencatatan Perkawinan, Mashlahat
Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA.
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji syukur kepada Allah Swt atas limpahan rahmat, karunia, nikmat
kesehatan jasmani dan rohani serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat manusia yang telah menggiring kita
keluar dari zaman kebodohan ke zaman peradaban yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini. Mudah-mudahan kita termasuk bagian dari ummat
beliau yang akan mendapat syafa’at kelak fi yaumil akhirat , amin.
Dalam penulisan skripsi ini terdapat berbagai macam hambatan dan rintangan
yang penulis hadapi, Namun berkat rahmat dan pertolongan Allah Swt serta
kontribusi dan motivasi dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung,
segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah dan lancar hingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang
turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:
1. Dr. Asep Saipudin Jahar, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Kepala Program Studi Hukum Keluarga, H. Kamarusdiana, S. Ag, M.H
dan Sekretaris Program Studi Sri Hidayati, M.Ag.
3. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA. Sebagai pembimbing skripsi,
terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan
skripsi ini;
4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah
banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di
Kampus;
5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pelayanan kepada penulis dalam menyediakan referensi dalam penulisan
skripsi ini;
6. Kedua Orang Tuaku yang tercinta (Ayahanda La Zaena dan Ibunda
Marwa) dengan segala kasih sayang, dan penuh tanggung jawab. Yang
siang dan malam terus semangat bekerja dan rela berkorban jiwa raga
viii
demi kesuksesan putranya. Yang mengajarkanku untuk hidup mandiri dan
mengingatkanku untuk selalu berbuat baik;
7. Adik-adikku yang kusayang, Amiruddin, Nur Ilma, Nurul Annisa, serta
adik iparku Nur Hadijah yang tak bosan-bosannya berharap dan berdoa
agar saya segera menyelesaikan studi;
8. Kawan-kawan saya di kampung (Katembe), La Tate, Hawurin, Zumiana,
Erys, Baini, Jabar, Laangka, Abdul Majid, dan Nado. Yang tak bosan-
bosannya menanyakan kapan saya wisuda;
9. Sdr. Ld. Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan
seperjuangan dari Pulau Buton.
10. Senior-senior saya di LKBHMI Cab. Ciputat, kakanda Fahmi M. Ahmadi,
Ihdi Karim Makin Ara, Ainul Syamsu, Cak Sili, Ainul Yakin, M. Isnur,
Irsyad Maulana, M. Ali Fernandez, Febri, Muhammad Hafidz, Asep
Samsuri, Teuku Mahdar Ardian, Haris Barkah, Ridho Akmal Nasution,
Aji Andika Muftih, Reza Arif Rahman, Haris Sumirat Nurgraha, Asep
Sholahuddin, dan Yunda Ida Widyawati (Ny. Fahmi M. Ahmadi).
Terimakasih atas dukungan dan saran-saran kalian dalam penulisan skripsi
ini begitu pula selama menjadi anggota dan pengurus LKBHMI. Semoga
kelak di kemudian hari dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa, amin;
11. Kawan-kawan penghuni serta pengurus LKBHMI, Sahrial, Irpan, Bilal,
Aqil, Zullisan, Marzuki, Abiyuddin, Imung, Humaidullah (Ume), Karim
Munthe, Dimas, Wanda, Humaidi, Ucok AQB, Zainuri, Afif, Hariri,
Bagus, dan Tio, serta pengurus-pengurus lain yang tak dapat saya
sebutkan. Semoga canda dan tawa kita selama menjadi anggota dan
pengurus LKBHMI terus teringat sepanjang waktu dan tali persaudaraan
kita tetap kokoh. Berkat dorongan dan semangat yang kalian berikan
akhirnya saya dapat dapat menyelesaikan skripsi ini;
12. Adik-adik anggota dan pengurus Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum,
Fariz Aburrahman (bekas Ketua Umum Komisariat 2013-2014) dan
Muhamad Irvan (Ketum Komisariat 2014-2015) beserta jajarannya;
13. Kawan-kawan seperjuangan di Konsentrasi Peradilan Agama dan
Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2009 dan kawan-kawan Double
Degree dan Ilmu Hukum angkatan 2013. Mohon maaf atas segala
kekhilafan yang pernah penulis perbuat kepada kalian;
14. Kawan-kawan kos “white house” Fikri, Azmi, Azhar, Syawal, Sapta,
Habib, dan Eka. Tak luput pula Ibu Kost dan Demi;
ix
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.
Semoga kontribusi dan partisipasi semua pihak tersebut menjadi investasi
amal shaleh, semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.
Terakhir harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang konstruktif sangat
penulis harapkan sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.
Jakarta, 17 Maret 2015
Penulis
Muhamad Awaluddin
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Masalah .................................... 9
D. Riview Studi Terdahulu ................................................................. 10
E. Metode Penelitian ....................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian, Tujuan, dan Asas-asas Perkawinan ................................ 15
B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan ................................ 26
C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam .................................... 34
D. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional ............................... 38
xi
BAB III KONSEP MASHLAHAH AL-SYATIBI
A. Biogriafi Al-Syatibi ....................................................................... 41
B. Karya al-Syathibi ........................................................................... 44
C. Metodologi Istinbat Hukum ............................................................ 49
D. Konsep Mashlahah ............................................................................... 55
BAB IV RELEVENASI PENCATATAN DENGAN TEORI MASHLAHAH
AL-SYATIBI
A. Problematika Pencatatan Perkawinan di Indonesia ........................... 65
B. Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di
Indonesia ...................................................................................... 72
C. Pandangan Penulis Tentang Pencatatan Perkawinan ......................... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 83
B. Saran ........................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 85
1
BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi hukum Islam di Indonesia sekarang ini sesungguhnya
memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar geneologisnya dapat ditarik ke
belakang, yaitu saat pertama kali Islam masuk ke nusantara.1 Namun menurut
Martin seperti yang dikutip Mahsun Fuad dalam buku Hukum Islam Indonesia,
sulit bagi kita untuk memotret secara cukup sempurna perkembangan Islam di
Indonesia sebelum abad 17 M.
Hukum dalam Islam merupakan ruh2 dan aspek ajaran yang paling kuat
mendominasi pemahaman umat dibandingkan dengan disiplin keilmuan
tradisional maupan lainnya.3 Perkataan hukum tersebut berarti norma atau
kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk
menilai tingkah-laku atau perbuatan manusia dan benda.4
Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum atau kaidah yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang
ibadah maupun di bidang muamalah. Kelima jenis kaidah hukum yang lima,
1 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2005), h.27.
2 Disadur dari M. H. Hoker, “Muhammad Law and Islamic Law” dalam M. H. Hoker (ed.),
Islam in Southeast Asia, (Leiden: E.J. Brill, 1998), h.160 3 Dimensi ajaran mapan yang dimaksud adalah fiqih, kalam, tasawuf, dan filsafat Islam.
disadur dari Nurkholis Majid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), cet. Ke-6,
h. 199-247 4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 44
2
disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti
Thalib, 1985:16) yaitu (1) ja’iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh,
(4) wajib, (5) haram. Yang selanjutnya disebut juga dengan hukum taklifi
(Masyfuk Zuhdi, 1987: 5).5
Hukum Islam seperti telah disebutkan di atas, dapat dikelompokkan
dalam dua bidang yakni mengenai (bidang) ibadah dan mengenai (bidang)
muamalah. Pertama, mengenai ibadah, adalah cara dan tata cara manusia
berhubungan langsung dengan Tuhan, dalam hal ini tidak boleh ditambah-
tambah atau dikurangi. Sebab, ketentuannya telah diatur oleh Allah sendiri
(dalam Alquran) dan dijelaskan secara rinci oleh (hadis) Rasul-Nya. Dengan
demikian, tidak mungkin ada modernisasi mengenai ibadah atau proses yang
membawa perubahan mengenai ibadah atau proses yang membawa perubahan
dan perombakan secara hukum, susunan, cara, dan tata cara ibadah itu sendiri.
Kedua, mengenai muamalah, adalah ketetapan Tuhan yang
berhubungan dengan kehidupan social manusia - terbatas pada yang pokok-
pokok saja – “terbuka” sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia
yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. Karena sifatnya yang
demikian, dalam soal muamalah berlaku asas umum yakni pada dasarnya
semua perbuatan „boleh‟ dilakukan, kecuali kalau mengenai perbuatan itu
dilarang di dalam Alquran dan Hadis. Artinya, semua perbuatan yang termasuk
5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.44.
3
ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada larangan
untuk melakukan perbuatan itu. Oleh karena sifatnya yang demikian,
perumusan dan kaidah-kaidahnya dapat saja berubah sesuai dengan perubahan
zaman. Atau dengan kata lain dapat dilakukan modernisasi, asal saja
modernisasi itu sesuai (dan menimbulkan maslahat), atau sekurang-kurangnya
tidak bertentangan dengan jiwa hukum Islam pada umumnya.6
Hal demikian didukung oleh pendapat kebanyakan ahli fiqh yang telah
menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material
dan hubungan antara sesama manusia (mu‟amalat) adalah boleh, kecuali apabila
ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang.7
Muamalat dalam pengertiannya dapat dikatergorikan dalam pengertian
umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, muamalah adalah
norma hukum yang memuat (1) munakahat (hukum perkawinan mengatur
segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-
akibat hukumnya, (2) warisan atau faraid (hukum kewarisan mengatur sefala
persoalan yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,
harta warisan, serta pembagian harta warisan). Sedangkan dalam pengertian
khusus, muamalah adalah norma yang mengatur masalah kebendaan dan hak-
hak atas benda, aturan mengenai jual beli, sewa-menyewa, pinjam-peminjam,
6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.54-56.
7 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: LPH, 1996), bag. Pertama, h.40.
4
persyarikatan (kerja sama bagi hasil), pengalihan hak, dan segala yang
berkaitan dengan transaksi.8
Dari pengertian di atas maka dapat kita kategorikan bahwa ruanglingkup
muamalah ada dua yakni dalam pengertian yang umum dan pengertian khusus
sebagaimana penjabarannya di atas. Namun pada kesempatan ini penulis
mengkaji muamalah dari aspek pengertiannya yang umum, yakni mengenai
perkawinan.
Perkawinan dan segala aspek yang timbul darinya dapat ditemukan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diaturnya perkawinan
melalui undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk upaya protektif atau
perlindungan hukum. Lebih lanjut, perlindungan tersebut tentu merupakan
kewajiban negara yang berdasarkan hukum9. Karena, setiap perilaku atau
perbuatan warga negera harus dilaksanakan berdasarkan dan tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain perlindungan, kodifikasi hukum perkawinan dalam peraturan per-
UU-an juga dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan10
dalam
perkawinan. Di mana ketertiban menunjuk pada hubungan atau komunikasi
zahiriah atau dengan kata lain ia melihat pada proses interaksi para pribadi
8 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.1.
9 Lihat pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945.
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h.58.
5
dalam kelompok.11
Dan keadilan lahir sebagai akibat dari pelaksanaan
kewajiban dan pemenuhan hak, sehingga tercipta keluarga sakinah, mawaddah
wa rahmah.
Namun realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasikan
atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan
hukum yang dilakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus, misalnya
perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat.
Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuna. Padahal,
jika ditelaah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatan yang kuat antara
seorang perempuan dan laki-laki yang tidak hanya disaksikam oleh dua orang
saksi, tetapi juga disaksikan oleh Allah Swt.12
Oleh sebab itu, dengan mentaati peraturan perudang-undangan ini
berarti kita mendorong untuk terwujudnya ketertiban perkawinan. Bila norma
hukum yang ada di dalam Undang Undang tersebut tidak ditaati maka akan
terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, di
mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak
efektif. Gejala semacam itu mencul oleh karena ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum,
11
Purnadi Purbacaraka, dkk, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1993), cet. Ke-6, h.20. 12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke
3, h.62.
6
penegak hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun golongan-
golongan lain di dalam masyarakat.13
Dari sekian banyak norma yang diatur, norma tentang pencatatan
perkawinan sebagaimana disebut di atas merupakan norma yang sampai saat ini
masih diperdebatkan. Apakah pencatatan perkawinan tersebut sebagai rukun
perkawinan atau sebagai syarat administrasi saja. Yang implikasinya pencatatan
perkawinan tidak terlalu dihiraukan dan muncul perkawinan-perkawinan liar
yang tidak dicatatkan, atau biasa dikenal dengan perkawinan di bawah tangan.
Norma hukum pencatatan perkawinan tentu memiliki tujuan, yakni
untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, baik
kepentingan pribadi, kepentingan publik serta kepentingan sosial. Yang oleh
Van Apeldron dikatakan sebagai pengaturan yang adil.14
Namun, karena karena
norma itu tidak dipatuhi dan dilaksanakan oleh subyek hukum, maka cita
hukum sebagaimana yang diinginkan oleh Undang-Undang itu tidak tercapai.
Banyaknya perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau perkawinan tidak
dicatatkan, mengindikasikan bahwa Undang-Undang tersebut tidak berlaku
efektif. Sebagai contoh, kasus perkawinan di bawah tangan Aceng H.M Fikri
yang saat itu sebagai bupati Garut dengan Fany Octora yang berlangsung
singkat. Di mana perkawinan tersebut hanya bertahan hingga 4 hari saja dan
hubungan perkawinan mereka putus.
13
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.135. 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.58-59.
7
Memang dalam Alquran dan Hadist, ketentuan pencatatan perkawinan
ini tidak ditemukan. Namun, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman,
hal ini dirasakan sangat penting bagi masyarakat. Sehubungan dengan itu,
Syathibi menyatakan bahwa syari‟ah telah memandang kebaikan hukum apa
yang dipandang baik dalam pengalaman sosial. Mana kala dalam pengalaman
social suatu “kebaikan hukum” tertentu mulai merugikan jaringan masyarakat
manusia, atau bahkan individu, maka ia kehilangan sifatnya sebagai kebaikan
hukum.15
Artinya, jika kita tetap berpegang teguh pada pemahaman perkawinan
tradisional yang tidak menganggap pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang
urgen, maka akan semakin banyak timbul persoalan-persoalan dalam
perkawinan. Misalnya, tidak dapat melakukan tuntutan atas nafkah di
pengadilan karena tidak memiliki bukti perkawinan. Padahal pembuktian dalam
perkawinan memiliki kedudukan yang sangat penting. Dari itu kemudian,
pencatatan perkawinan memiliki kedudukan yang penting jika ditinjau
perspektif maqashid al-syar’ah.
Oleh sebab itu, sangat penting untuk merubah mindset dari pemahaman
masyarakay yang bercorak tradisional ke pemahaman masyarakat yang lebih
moderat. Di mana pencatatan perkawinan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu
yang tabu, melainkan dianggap sebagai suatu unsur yang sangat penting
15
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka, 1996), h.236.
8
kehadirannya sebagai syarat sah perkawinan. Dengan tujuan agar dapat
mewujudkan kemaslahatan dalam perkawinan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sangat diperlukan untuk
dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap pencatatan perkawinan dalam
bentuk karya ilmiah atau skripsi dengan judul “Pencatatan Perkawinan
dalam Hukum Kekeluargaan di Indonesia dan Relevansinya dengan Teori
Mashlahah Al-Syatibi”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu norma hukum yang
mestinya ditaati oleh setiap warga Negara yang tunduk pada hukum nasional.
Namun, bila norma tersebut tidak ditaati hingga menyebabkan distabilitas
hukum. Padahal pencatatan perkawinan sangat syarat dengan Mashlahah atau
kebaikan bagi keberlangsungan hubungan perkawinan antara seorang
perempuan dan laki-laki. Untuk membatasi ruanglingkup pencatatan
perkawinan yang begitu luas, maka penelitian ini fokus dan penulis hanya
membatasi terhadap Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Kekeluargaan
Indonesia dan Relevansinya dengan Teori Mashlahah Al-Syatibi.
2. Perumusan Masalah
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, meskipun pencatatan perkawinan
telah ditentukan dalam bentuk norma hukum, pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
9
Nomor 1 tahun 19724 tentang Perkawinan, namun realitanya norma tersebut
tidak efektif dan akhirnya menimbulkan distabilitas hukum. Sebagaimana
contoh yang telah dikemukakan di atas
Berikut ini rumusan masalah yang menjadi titik fokus kajian dalam
skripsi ini, yaitu:
a. Apa tujuan pencatatan perkawinan dalam hukum Nasional?
b. Bagaimana relevansi pencatatan perkawina dengan Teori Mashlahah
Al-Syatibi?
c. Apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan salah satu sarat sah
perkawinan menurut hukum Islam atau tidak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa tujuan pencatatan perkawinan Hukum Nasional.
b. Untuk mengetahui relevansi pencatatan perkawinan dengan Teori
Mashlahah Al-Syathibi.
c. Untuk mengetahui apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan
salah satu syarat sah perkawinan menurut hukum Islam atau tidak.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis
10
Secara teoritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka untuk
pengembangan wawasan ilmu pengetahuan khususnya mengenai urgensi
pencatatan perkawinan dalam bidang Hukum Kekeluargaan di Indonesia.
b. Secara prkatis
Secara prakstis dari hasil penelitian ini adalah untuk memperluas
pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan dan informasi bagi
masyarakat yang ingin mengetahui urgensi pencatatan perkawinan di
tinjau dari maslahatnya serta untuk memenuhi syarat akademis dalam
rangka memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum.
D. Riview Studi Terdahulu
Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik
yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun
perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti
lainnya, namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan
bahasan penulis diantaranya adalah
1. Signifikansi Pencatatan Perkawinan Dalam Persepektif Hukum Islam dan
Hukum Positif oleh Abu Bakar tahun 2010. Skripsi tersebut membahas
secara lebih spesifik tentang pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam
dan Hukum Positif. Dimana lebih mengedapankan konsep signifiknasi
pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam berdasarkan istinbath hukum
dan mencatatan perkawinan berdasarkan hukum Hukum Positif.
Sedangkan pencatatan perkawinan dalam skripsi yang penulis teliti lebih
11
spesifik tentang urgensi pencatatan perkawinan dalam hukum
kekeluargaan dengan pendekatan teori maslahat Abu Ishaq Al-Syatibi,
2. Penerapan Mashlahah Mursalah dalam KHI dan Pengaruhnya Terhadap
Putusan Hakim (Studi Kasus Petusan Cerai Gugat Karena Suami
Poligami di Penadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007) oleh
Taufikurrohman tahun 2008. Skripsi tersebut hanya mengulas tentang
penerapan Mashlahah dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam
bidang cerai gugat akibat poligami. Sedangkan skripsi yang hendak
penulis lakukan adalah mengenai pencatatan perkawinan yang ditinjau
dari perspektif Mashlahah Abu Ishaq Al-Syatibi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian normatif,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder.16
Mengingat permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada
pencatatan perkawinan dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi,
maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Karena
itu, tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah tipe penelitian
deskriptif, yaitu penelitian untuk memecahkan masalah yang ada pada masa
16
Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 5
12
sekarang (masa aktual) dengan megumpulkan data, menyusun,
mengklasifikasikan, menganalisis dan mengeinterpretasikan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif,
untuk memberikan data seteliti mungkin tentang hal yang menjadi objek
penelitian dan untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di
dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori
baru.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana uraian di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi:
a) Sumber Primer, yaitu berupa undang-undang (UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,
dan UU lainnya yang terkait dengan pencatatan perkawinan), KHI dan
buku-buku yang membahas mengenai Pencatatan perkawinan serta buku
Mashlahah Al-Syatibi.
b) Sumber Sekunder, yakni sumber yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu dalam menganilisis dan memahami
bahan hukum primer, berupa karya tulis antara lain makalah, koran,
majalah, dan Lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan
pembahasan Skripsi ini.
13
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan secara kualitatif,
dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan data
yang diperoleh ke dalam bentuk penjalasan-penjalasan. Artinya problem yang
ada dianalisis dan dipecahkan berdasarkan peraturan yang ada, serta dilengkapi
analisis.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.17
Agar pembahasan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis akan menguraikan
pembahasan ini dalam lima bagian sebagaimana berikut:
BAB PERTAMA : Merupakan bab pendahuluan dari skripsi ini. Dalam
pendahuluan ini penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi riview, metode
penelitian serta sistematikan penulisan dalam skripsi ini.
BAB KEDUA : Menguraikan pencatatan perkawinan. Dalam bab ini
penulis akan membahas tentang pengertian, tujuan dan asas-asas perkawinan.
Dilanjutkan dengan membahas pengertian dan tujuan pencatatan perkawinan,
17
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat, Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012).
14
pencatatan perkawinan dalam hukum Islam, dan pencatatan perkawinan dalam
Hukum Nasional
BAB KETIGA : Menguraikan konsep mashalahah Al-Syathibi. Pada
bagian ini penulis akan membahas biografi, karya, metodologi istinbat hukum
dan konsep mashlahah Al-Syathibi.
BAB KEEMPAT : Dalam bab ini penulis akan meninjau pencatatan
perkawinan di Indonesia dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi.
Hal-hal yang akan dibahas pada bab ini mengenai problematika pencatatan
perkawinan di Indonesia, relevansi konsep mashlahah terhadap pencatatan
perkawinan di Indonesia, dan pandangan penulis tentang pencatatan
perkawinan.
BAB KELIMA : Adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
15
BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian, Tujuan, dan Prinsip Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan arti kata pernikahan yang berasal dari bahasa
arab.1 Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. sebagai
jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2
Artinya melalui perkawinan tersebut umat manusia mempertahankan
esksistensi kemanusiaannya di muka bumi ini dengan menciptakan suatu
masyarakat kecil dalam bentuk keluarga.3
Secara etimologis perkawinan dalam Bahasa Arab berarti nikah atau
zawaj. Nikah mempunyai arti al-wath’i, al-dhommu, al-tadakhul, al-jam’u atau
ibarat ‘an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, berhubungan badan,
berkumpul, jima’ dan akad. Sedangkan secara terminologis perkawinan atau
nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (melakukan perbuatan
yang menyenangkan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.4
1 Fuan Mohd. Fachrudiin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Pedoman Ilmu
Jaya, 1992), h.1. 2 H.M.A. Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Rajawali pers, 2009), h.6.
3 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan
Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1993), terjemah, h.14. 4 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009), h.4.
16
Pengertian perkawinan secara epistemologis dan terminologis tersebut
kemudian dikembangkan oleh ulama fiqih. Ulama yang dimaksud adalah
sebagian ulama Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang
selanjutnya disebut ulama mutaqaddimin, maupun ulama mutaakhirin
(kontemporer). Pengertian perkawinan yang dikemukakan masing-masing
ulama tersebut berbeda-beda, akan tetapi mereka tidak memperlihatkan adanya
pertentangan makna yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan
pendapat yang lainnya.5
Menurut sebagian ulama Hanafiah, perkawinan adalah akad yang
memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sadar (sengaja) bagi seorang laki-laki dengan seorang perempuan,
terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut
sebagian mazhab Maliki, perkawinan adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau
titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih
kenikmatan (seksual) semata-mata. Oleh mazhab Syafi’i, perkawinan
dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh
dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwid; atau turunan (makna)
dari keduanya”.
Sedangkan ulama Hanabilah, perkawinan adalah akad yang dilakukan
guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang). Pendapat terakhir, dari
5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UIP, 2007), h.47.
17
kalangan ulama Muta’akhirin, bahwa perkawinan adalah akad yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-
istri) dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi
pemiliknya dan pemenuhan kewajiban-kewajiban masing-masing.6
Berbagai macam perspektif di atas, pandangan penulis tidak jauh berbeda,
bahkan antara satu pendapat dan pendapat lain saling mendukung dan
melengkapi. Artinya, esensi pengertian perkawinan tetaplah sama. Dimana
perkawinan sebagai lembaga sosial7 adalah cara untuk mempertemukan seorang
laki dengan seorang perempuan melalui akad atau perjanjian untuk memenuhi
naluri kemanusiaannya. Seperti menyalurkan hasrat seksualnya, ingin
berkembang biak dan melestarikan kehidupannya melalui keturunan,
memimpin dan lainnya.
Namun, dafinisi perkawinan menurut para ulama fiqh di muka, memberi
kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki.
Di mana perempuan dilihat dari aspek biologisnya semata. Ini terlihat dalam
penggunaan kata al-wat’ atau istimta’ yang semua konotasinya seks. Implikasi
lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki
seperti yang tercermin dalam berbagai peristiwa-peristiwa perkawinan.8
6 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h.4.
7 Nabil Muhammad Taufik as-Samaluti, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987). h.92. 8 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h. 4. Disadur dari Amiur Nurdin, dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004) h.45.
18
Berbeda halnya dengan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9
Pengertian perkawinan dalam UU tersebut, memiliki implikasi makna
yang berbeda dari pengertian perkawinan dalam fiqh. Di mana makna
pengertian perkawinan dalam UU itu tidak hanya dilihat dari aspek fiqih, tapi
juga dapat ditinjau dari aspek hukum, sosial dan agama. Dengan maksud agar
pemahaman kita tentang pengertian perkawinan tidak hanya seperti yang telah
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih tersebut. Tiga segi pandangan tersebut dapat
diuraikan sebagaimana berikut:10
a) Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat
kuat atau “mitsaqon ghalizhan”. Terlihat dalam firman Allah Swt pada
Q.S. an-Nisa ayat 21.
9 Lihat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 ayat 2. Sekiranya perkawinan
berarti hubungan lahir dan batin, maka perkawinan bukan berarti permainan. Fuad Moh. Fachrudiin,
Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, h.4. 10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.47.
19
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S. an-
Nisa [4]: 21)
Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu
merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
- Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlabih dahulu yaitu
dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu;
- Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah
diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur thalaq, kemungkinan fasaq,
syiqaq dan sebagainya.
b) Perkawinan dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum,
ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
c) Perkawinan dari segi agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat
penting. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci.
Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak
dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi
pasangan hidupnya dengan menggunakan nama Allah sebagai diingatkan
oleh Q.S. an-Nisa ayat 1.
20
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya;
dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa [4]: 1)
2. Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan sunnah Nabi yang patut dilakukan sebab
perkawinan merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani.
Perkawinan disyariatkan agar umat manusia mempunyai keturunan dan
keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah
naungan cinta dan ridha Ilahi.11
Oleh karena itu, aturan perkawinan dalam Islam merupakan tuntutan
agama yang patut mendapat perhatian, sebab tujuan melangsungkan
perkawinan ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama di samping untuk
memenuhi naluri kemanusiaan. Pentingnya aturan perkawinan terlihat dari sifat
dasar manusia itu sendiri, yaitu mencintai kepada apa-apa yang diingini seperti
perempuan-perempuan, anak-anak dan harta yang banyak.
11
Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, ), h.33.
21
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali ‘Imran [3]: 14)
Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan
sebagaimana tersebut dalam surat ar-Rum 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah
wajahamu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tigak
mengetahui.” Pengenalan terhadap Tuhan ini, menurut Abdul Rahman Ghazali
ialah dalam bentuk pengamalan agama.
Melihat tujuan-tujuan perkawinan di atas, dan memperhatikan uraian
Imam Al-Ghazali dalam Ihya-nya tentang faedah melangsungkan perkawinan,
maka tujuan perkawinan12
adalah (1) untuk mendapatkan keturunan yang sah
dan melangsungkan keturunan,13
(2) memenuhi hajat manusia untuk
12
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. ke-5, h.22-24. 13
An-Nisa ayat 1 : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
22
menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya,14
(3) memenuhi
panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan,15
(4)
menumbuhkan kesungguhan bertanggungjawab juga bersungguh-sungguh
untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, dan (5) membangun rumah
tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta
dan kasih sayang.16
3. Asas-asas Perkawinan
Terdapat beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu
diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia
dalam melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan. Prinsip-prinsip
perkawinan tersebut antara lain: 17
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama;
Melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari
ajaran agama. Agama mengatur perkawinan dengan memberi batasan
melalui rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bila rukun dan
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” 14
Al-Baqarah ayat 187: 187. “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu……” 15
Sebuah hadis Nabi Saw yang menyatakan “sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi
liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan” 16
Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 17
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.32-43.
23
syarat-syarat tidak dipenuhi, maka perkawinan itu batal atau fasad. Di
samping itu pula agama memberi ketentuan lain, seperti harus adanya
mahar dalam perkawinan dan harus adanya kemampuan.
2. Kerelaan dan persetujuan;
Melakukan perkawinan harus bebas dari unsur paksaan, pihak yang
hendak melangsungkan perkawinan harus bebas dari unsur ini. Oleh
sebab itu, Islam mengatur melalui proses khihtbah atau peminangan
sebagai suatu langkah sebelum mereka melakukan perkawinan, sehingga
semua pihak dapat mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan.
Kerelaan dari calon suami dan wali jelas dapat dilihat dan didengar dari
tindakan, ucapan dan sikapnya. Mengenai persetujuan para pihak meliputi
juga izin wali. Kedudukan wali dalam perkawinan sangat penting,
sehingga perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali dianggap batal.
3. Perkawinan untuk selamanya;
Perkawinan yang bertujuan antara lain untuk mendapat keturunan,
ketenangan, ketentraman dan cinta kasih sayang hanya dapat dicapi
dengan prinsip bahwa perkawinan untuk selamanya, bukan hanya dalam
waktu tertenut saja. Karena itu Islam tidak membenarkan perkawinan
yang mengandung ketentuan pemabatasan waktu perakwinan, nikah
mut’ah, dan nikah muhallil.
4. Suami bertanggungjawab atas rumah tangga;
24
Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa
suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga,
karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Mahmoud Syalthout
mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan sama halnya
dengan kelebihan salah satu anggota badan, yang satu melebihi yang
lainnya.
Selain itu, terdapat pula prinsip-prinsip perkawinan dalam UU Nomor 1
Tahun 1974. Prinsip-prinsip ini ditetapkan demi menjamin terciptanya cita-cita
luhur dari perkawinan itu sendiri. Prinsip-prinsip tersebut adalah:18
1. Asas sukarela:
Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Mengingat bahwa
perakwinan mempunyai maksud agar supaya suami istri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Oleh sebab itu, perkawinan
tidak ada paksaan dari pihak manapun.
2. Partisipasi keluarga;
Dalam suatu perkawinan, partisipasi keluarga sangat diperlukan,
walaupun anak yang hendak kawin dipandang telah dewasa, sebab
perkawinan adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Di
18
Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.35.
25
samping itu, prinsip ini sejalan dengan rukun dan syarat perkawinan
dalam ajaran Islam.
3. Perceraian dipersulit;
Perceraian merupakan suatu yang amat tidak disenangi baik istri maupun
suami. Mudahnya terjadinya perceraian akan menimbulkan kerugian bagi
kedua belah pihat terutama anak-anak. Oleh sebab itu, UU ini
menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-
alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
4. Poligami dibatasi secara ketat;
Dalam Islam seorang suami dibolehkan untuk ber-poligami, begitu pula
dalam UU Perkawinan namun harus dengan memenuhi syarat tertentu
dan diputus oleh pengadilan. Walaupun UU ini menentukan perkawinan
adalah monogami (suami tidak memiliki istri lebih dari satu), poligami
tetap dibolehkan dengan syarat. Di mana syarat-syarat yang dimaksud
dapat dilihat pada pasal 4 (empat) dan 5 (lima) UU No. 1/1974.19
5. Kematangan calon mempelai;
UU Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah
matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar
19
Pada pasal 4 disebutkan bahwa syarat poligami ialah mengajukan permohonan poligami
kepada Pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan dapat memberikan izin dengan alasan: (1) Istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan; dan (3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dan dalam pasal 5 menyebutkan
bahwa untuk dapat mengajukan permohonan poligami, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: (a) Adanya persetujuan dari istri/istri; (b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; dan (c) Adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
26
supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya
perkawinan anak-anak di bawah umur. Sebab perkawinan dibawah umur
bagi perempuan, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
Ketentuan ini dapat ditemukan dalam pasal 7 UU Perkawinan.20
6. Memperbaiki derajat kaum perempuan;
Perempuan adalah merupakan jenis manusia yang paling banyak
memerlukan perlindungan. Pada masa-masa yang lalu, di kala laki-laki
mempergunakan hak cerai secara semena-mena, maka perempuanlah
yang paling banyak mengalami penderitaan. Oleh sebab itu, maka UU
Perkawinan ini harus ditaati dengan kata lain melaksanakan segala
ketentuan norma yang ada.
B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan
1. Pengertian Pencatatan Perkawinan
Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum perkawinan, tidak
ditemukan pengertian pencatatan perkawinan. Kita hanya akan menemukan
norma tentang perintah pencatatan perkawinan. Pengertian pencatatan
perkawinan hanya akan ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang
hukum perkawinan. Mengenai hal ini, dapat dilihat dalam buku yang berjudul
20
Pasal ini menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun, dalam
penyimpangan terhadap ketentuan tersebut dapat saja para pihak meminta dispensasi kepada
Pengadilan.
27
“Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat” karya Neng
Dubaidah.
Menurut Neng Djubaidah dalam buku tersebut, pencatatan perkawinan
adalah pencatatan atas perkawinan yang sah menurut hukum Islam atau
perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan syariat
Islam yang dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.21
Pengertian
tersebut, dalam pandangan lain dapat diartikan sebagai suatu tahapan atau
proses yang mesti dilaksanakan dalam perkawinan. Dimana melalui pencatatan
perkawinan itu, sepasang suami-isteri akan mendapatkan akta nikah (bukti
nikah).
Tahapan-tahapan dan proses pelaksanaan pencatatan perkawinan tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pemberitahuan kehendak nikah;
b. Pemeriksaan kehendak nikah;
c. Pengumuman kehendak nikah;
d. Akad nikah dan pencatatan.22
Proses-proses tersebut ini tentu merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Karena kesatuan yang utuh maka
tidak boleh salah satu dari proses yang ditentukan tersebut dilewati dan
diabaikan. Ketentuan tentang proses pelaksanaan pencatatan nikah tersebut
21
Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, (Jakarta; Sinar
Grafika, 2010), Cet. Ke-II, h. 3 22
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h. 19-20
28
dapat dilihat pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Perkawinan.
Peraturan ini merupakan turunan dari UU Perkawinan, dimana dalam
pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut menentukan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatatkan. Peraturan menteri agama di muka tidak menjelaskan
secara rinci tentang pengertian pencatatan perkawinan. Namun bila ditelaah
peraturan tersebut menentukan bagaimana tahapan-tahapan agar suatu
perkawinan dicatatatkan. Proses pelaksanaan pencatatatan ini sudah
dikemukakan sebagaimana di atas namun dipandang perlu untuk diuraikan
sebagaimana berikut agar tidak mendapatkan kesimpulan yang ambigu.
Dalam pasal 5 Peraturan Menteri Agama di atas, dijelaskan bahwa
pemberitahuan kehendak nikah disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) di wilayah kecamatan calon istri tinggal. Pemberitahuan kehendak nikah
tersebut disampaikan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan
dan dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan.23
Setelah menerima pemberitahuan kehendak nikah PPN memeriksa para
pihak terkait yaitu calon suami, calon istri dan wali nikah, tentang ada atau
tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum Islam (hukum
23
Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Perkawinan.
29
munakahat), menurut UU Perkawinan,24
dan kelengkapan persyaratan
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama di atas.25
Halangan pernikahan dalam hukum Islam misalnya dikategorikan pada
dua yaitu mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad. haram muabbad
(dilarang selamanya) misalnya seorang laki-laki atau perempuan dilarang
melakukan perkawinan disebabkan adanya hubungan kekerabatan, karena
adanya hubungan perkawinan, dan karena hubungan persusuan. Sedangkan
haram ghairu muabbad (dilarang untuk sementara waktu) misalnya karena
mengawini dua orang saudara dalam satu masa, poligami di luar batas, karena
ikatan perkawinan, karena talak tiga, karena ihram, karena perzinaan dan
karena beda agama.26
Adapun halangan perkawinan karena melanggar peraturan perundang-
undangan tentang perkawinan dapat dilihat pada pasal 8 UUP:27
Perkawinan dilarang antar dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke
atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri;
d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
24
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1986), h. 128 25
Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Perkawinan. 26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 110 - 133 27
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, h. 67
30
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami bersitri lebih dari soerang;
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.
Sedangkan pemeriksaan pernikahan karena khawatir akan melanggar
ketentuan persyaratan sebagai diatur dalam Peraturan Menteri Agama tersebut
adalah sebagaimana berikut, yaitu:
a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama
lainnya;
b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan
asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
c. Persetujuan kedua calon mempelai;
d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala
desa/pejabat setingkat;
e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai
usia 21 tahun;
f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya
sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;
g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai
umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16
tahun;
h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota
TNI/POLRI;
31
i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri
lebih dari seorang;
j. kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka
yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat
oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;
l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi
warga negara asing.
Hasil pemeriksaan tersebut kemudian ditulis dalam Berita Acara
Pemeriksaan Nikah, ditandatangani oleh PPN atau petugas, calon istri, calon
suami dan wali nikah oleh PPN. Apabila calon suami, calon istri, dan/atau wali
nikah tidak dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti
dengan cap jempol tangan kiri. Hasil pemeriksaan ini kemudian dibuat dalam
dua rangkap, helai pertama beserta surat-surat yang diperlukan disampaikan
kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang
bersangkutan.28
Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975
dijelaskan bahwa calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang
28
Pasal 9 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Perkawinan.
32
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian tersebut dibuat empat
rangkap di atas kertas bermaterai menurut peraturan yang berlaku. jika
perjanjiannya berupa ta’lik talak, maka perjanjian tersebut baru dianggap sah
kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad
nikah dilangsungkan.
Setelah segala persyaratan atau ketentuan dipenuhi dalam pemerikasaan
nikah, PPN mengumumkan pemberitahuan kehendak nikah itu. Pengumuman
tersebut dilakukan pada tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat
lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal masing-
masing calon mempelai. Pengumuman ini dilakukan selama 10 (sepuluh) hari
sejak ditempelkan.29
Dalam masa pengumuman tersebut, pernikahan dapat dicegah apabila ada
pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernihakan.
Pencegahan ini dilakukan oleh pihak keluarga garis keturunan lurus ke atas dan
ke bawah, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang berkepentingan dengan mengajukan permohonan ke
Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana pernikahan akan
dilangsungkan..
Setelah masa pengumuman kehendak nikah selesai maka akad nikah
sudah dapat dilangsungkan. Namun, terdapat pengecualian terhadap jangka
29
Pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.
33
waktu tersebut yakni dikarenakan suatu alasan yang penting, dengan
rekomendasi camat di wilayah yang bersangkutan.30
Akad nikah dilangsungkan
di hadapan PPN atau Penghulu dan Pembantu PPN yang mewilayahi tempat
tinggal calon istri. Jika tidak memungkinkan, maka calon mempelai atau
walinya harus memberitahukan kepada PPN yang mewilayahi tempat tinggal
calon istri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah. 31
Akad nikah yang telah dilakukan tersebut dicatat oleh PPN sebagaimana
ditentukan dalam pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2007.
Akta nikah ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.
Akta tersebut dibuat dua, masing-masing disimpan di KUA dan PPN. Setelah
itu pernikahan dilaporkan kepada kantor administrasi kependudukan di wilayah
tempat pelaksanaan akan dikah.32
Setelah itu, kepada suami dan istri diberikan
buku nikah. Buku nikah ini harus ditandatangani oleh PPN. Bila tidak
ditandatangani, maka kedudukan buku nikah menjadi tidak sah.33
2. Tujuan Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
peraturan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian
perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
30
Pasal 16 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. 31
Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. 32
Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. 33
Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.
34
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta nikah apabila terjadi
perselisihan di antara suami istri maka salah satu diantaranya dapat melakukan
upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.
Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan
hukum yang telah mereka lakukan.34
Pencatatan perkawinan juga berfungsi sebagai “pengatur” lalu lintas
praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak
tertentu yang hanya menjadikan perkawinan di bawah tangan tanpa pencatatan
sebagai alat poligami atau berpoligami. Setiap pasangan yang akan kawin di
KUA (Kantor Urusan Agama) atau KCS (Kantor Catatan Sipil) harus melalui
mekanisme sebagaimana yang telah dikemukan di atas.35
C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam
Dalam Islam, perkawinan disyariatkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah
dan ijma’.36
Islam sangat menganjurkan perkawinan dalam rangka mewujudkan
keluarga SAMARA (sakinah mawadah warahmah). Perkawinan merupakan
satu-satunya sarana untuk melahirkan generasi “generasi yang baik (dzurriyah
tayyibah)”. Dalam satu riwayat hadis, nabi menegaskan bahwa pernikahan
merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan. Hadis tersebut berbunyi sebagai
berikut:
34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.107. 35
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h.57. 36
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS,
2008), h.4.
35
ول كن : قال وعنه ر وسمل عليه هللا صىل الله رس لباء يأم عنه وينى , ةه به
يا التبتله يدا ن وا : ويق ول , شده ود تزوج نه الول ود الود كثهر ا ياء بهك م نبه يوم ال
يامةه بن وصحه , أحد رواه ( القه بان اه )حه
Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga
dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda:
"Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan
jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi
pada hari kiamat." (Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu
Hibban.)
Perkawinan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat
besar, baik bagi kehidupan indvidu, keluarga, masyarakat, bahkan agama,
bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia. Hikmah dan manfaat
tersebut dapat terlihat dalam beberapa hal, misalnya secara fitrah manusia ingin
menyalurkan syahwatnya secara manusiawi dan syar’i, ingin hidup tentram
dengan adanya cinta dan kasih sayang di antara sesama dan lain sebagainya. 37
Dalam Al-Qur’an terdapat lebih kurang 70 ayat yang berbicara tentang
perkawinan,38
pada umumnya bersifat muhkamaat (bersifat tidak memerlukan
interpretasi). Begitu pula hadis-hadis Nabi yang berisi tentang ketentuan-
ketentuan hukum perkawinan pada umumnya bersifat jelas dan pasti. Walaupun
ketentuan hukum perkawinan diatur secara jelas dan rinci di dalam Al- Quran
dan sunnah Nabi, akan tetapi kita tidak bisa menemukan ketentuan- ketentuan
37
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.4-42. 38
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), h.8.
36
hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan di dalam kedua sumber
utama hukum Islam tersebut, bahkan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pada
umumnya dikarang oleh mujtahid-mujtahid yang datang kemudian setelah
periode sahabat dan tabi’in, juga tidak ditemukan pembahasan yang berkaitan
dengan ketentuan hukum tentang pencatatan perkawinan. Hal ini
mengambarkan, seakan pembahasan mengenai pencatatan perkawinan
merupakan aspek yang terlupakan dalam pembahasan di kitab-kitab fiqh klasik,
bahkan dalam kitab- kitab fiqh yang datang kemudian.39
Hal tersebut mengindikasikan, bahwa pencatatan perkawinan tidak begitu
mendapat perhatian dalam hukum Islam, walaupun ada ayat dalam Al-Qur’an
yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Utang
piutang misalanya, dalam surat Al-Baqarah ayat 282 menyebutkan bahwa
apabila kita bermuamalah (melakukan hubungan keperdataan) tidak secara
tunai untuk waktu yang tidak ditentukan hendaklah kita menuliskannya atau
mencatatkannya.
Mengenai pencatatan perkawinan yang tidak begitu mendapat perhatian
dalam hukum Islam, mungkin dapat dikemukakan beberapa analisis. Pertama,
adanya larangan menulis sesuatu selain Al-Qur’an yang mengakibatkan budaya
tulis menulis tidak begitu berkembang dibandingkan budaya hafalan (oral);
kedua, lanjutan dari yang pertama, akibat dilarangnya menulis selain Al-Qur’an
39
M. Yusar, Makalah, Pencatatan Perkawinan: Sebuah Tinjauan Yuridis Menurut Hukum Islam
Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
37
maka mereka lebih mengandalkan hafalan (ingatan); ketiga, tradisi walimat al-
‘ursy yang merupakan saksi di samping saksi syar’I tentang sebuah
perkawinan; keempat, terdapat kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-
masa awal islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda.40
Namun, Seiring dengan perkembangan zaman serta dinamika yang terus
berubah, empat analisis yang dikemukakan tadi dianggap tidak relevan lagi
sehingga memuntut perubahan-perubahan yang lebih relevan dan sesuai
kebutuhan zaman kekinian. Pergeseran budaya lisan (oral) kepada budaya tulis
sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akad, surat sebagai
bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa
hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan
kekhilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang
disebut dengan akta. 41
Akta merupakan bukti otentik dari sebuah perkawinan. Tanpa akta,
pengakuan terhadap sebuah perkawinan tidak mendapatkan legitimasi yang
kuat di mata hukum. Dengan demikian, maka pencatatan perakawinan dirasa
perlu untuk menjadi dasar legitimasi sebuah perakwinan. Semestinya kita tahu,
bahwa dimuatnya pencatatan perakawinan ke dalam UU No. 1/1974 adalah
untuk untuk mewujudkan ketertiban perkawinan. Di sisi lain, dengan dimuatnya
ketentuan pencatatan perakawinan dalam UU tersebut, adalah sebagai upaya
40
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2006), cet. Ke-
3, h.120. 41
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.121.
38
untuk menjaga kesucian (mitasaqan galidzan) aspek hukum yang timbul dari
ikatan perkawinan.42
D. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional
Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundanga-undangan yang
berlaku.43
UU ini menghendaki perkawinan dicatatakan dengan tujuan agar
tiap-tiap perkawinan tertib, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan
hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan hukum
Islam.44
Perkawinan yang dilakukan dengan sistem perkawinan Islam
dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat. Adapun
perkawinan yang dilakukan menurut hukum perdata Burgeriljk Weetbook
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil demikian menurut Arso Sostroatmodjo dan
Wasit Aulawi dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia.45
Di samping adanya pandangan tentang keharusan pencatatan perkawinan,
terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan
merupakan suatu keharusan tetapi sesuatu yang hukumnya sunnah. Pandangan
tersebut dikemukan oleh Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan
Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan. Pandangan ini didasarkan pada
42
Zanuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-2,
h.26. 43
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan, h. 64. 44
Zanuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.26. 45
Arso Sostroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975)
h.51.
39
argumentasi bahwa pencatatan perkawinan dapat dikategorikan sebagai
implementasi hukum pesta perkawinan atau walimah. Yakni di mana Islam
memandang walimah yang dilaksanakan setelah akad nikah memiliki tujuan
agar masyarakat mengtahui kedudukan suami isteri bersangkutan telah sah.46
Sejatinya ketentuan tentang pencatatan perkawinan dahulu telah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tetang Pencatatan Nikah,
Talaq, dan Rujuk. Yang kemudian berlaku di seluruh Indonesia pada tanggal 2
Novemeber 1954 melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talaq, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa
dan Madura. Keberadaan Undang-Undang tersebut kemudian mencabut
peraturan perundangan mengenai pencatatan perkawinan yang telah ada
sebelumnya, yaitu Huwelijks Ordonantie Stbl. 1929 – 348, Vorstenladsche
Huwelijks Ordonnantie Stbl. 1938 -98 dan Huwelijks Ordonantie
Buitengewesten Stbl 1932 -482.
Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang dikemukan di atas
dalam pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa, “Nikah yang dilakukan menurut
agama Islam diawasi oleh pegawai pencatatan nikah yang diangkat oleh
Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa pegawai pencatatan nikah bertugas mengawasi
46
Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, h.152.
40
terlaksananya perkawinan agar perkawinan itu berlangsung menurut ketentuan-
ketentuan agama Islam.
Undang-Undang tersebut di atas kini telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang ini,
pencatatan perkawinan diposisikan pada tempat yang urgen. Di mana ia
menjadi bukti atas perkawinan yang telah dilaksanakan. Sungguh pun
demikian, menurut Sayuti Thalib pencatatan bukanlah sesuatu hal yang
menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.47
Artinya, dicatat atau
tidak, suatu perkawinan tetaplah sah dan diakui.
Perkawinan tetap sah bila dilakukan menurut ketentuan agamanya
masing-masing, walaupun tidak atau belum didaftar. Hal ini didasarkan pada
Surat Keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun 1953 Nomor. 23/19 yang
menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar, maka
nikah tersebut adalah sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda
karena tidak didaftarkannya nikah tersebut.48
47
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.70. 48
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.64.
41
BAB III
KONSEP MASHLAHAH AL-SYATHIBI
A. Biografi al-Syathibi
Nama lengkap al-Syathibi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin
Muhammad al Lakhmi al-Syatibi al Gharnathi. Menurut kebanyakan pengamat
dan ulama, ia dilahirkan di Granada pada tahun 730 H dan meninggal 790 H
atau 1388 M.1 Masa pendidikannya tidak begitu diketahui dengan jelas.
Namun, satu hal yang patut diketahui adalah, bahwa pada masanya, Granada
menjadi pusat pendidikan di Spanyol ditandai dengan berdirinya Universitas
Granada pada masa pemerintahan Yusuf Abu al-Hajjaj. Sehubungan dengan itu,
menurut Hamka Haq, dapat diduga bahwa proses belajar mengajar yang dijalani
al-Syathibi banyak terkait dengan universitas tersebut.
Al-Syathibi belajar pada sejumlah guru, antara lain adalah Ibn al-
Fakhkhar al-Ilbri,2 Abu al-Qasim al-Sabti,
3 Abu Abdillah al-Balinsi, Abu
Abdillah al-Syarif al-Tilimsani,4 Abu „Abdullah al-Muqqari,
5 al-Khathib Ibn al-
1 Sebenarnya tempat kelahiran al-Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada atau
di Jativa/Xativa/Syatibah. Sebab dalam bebera literature hanya disebutkan bahwa al-Syathibi hanya
nasya‟a bi Gharnathah, hanya tumubuh bukan lahir. Lihat Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaaan, 2008, h.82. 2 Ia terkenal sebagai guru tatabahas (syaikh al-nuhat) di Andalusia, dari guru ini pula al-
Syathibi belajar bahas Arab. 3 Adalah pengarang kita tafsir terkenal menganai Maqshurah-nya Ibn Hazm, juga guru al-
Syathibi dalam bahasa Arab. 4 Dari Abu Abdillah al-Syarif al-Tilimsani, al-Syathibi belajar filsafat. al-Talimsani merupakan
orang yang bersifat kritis terhadap Raziisme (bermazhab kalam Mu‟tazilah). Ia menguasai ilmu-ilmu
42
Marzuq, Abu „Ali al-Manshur al-Zawawi,6 Abu al-Abbas al-Qabab, dan
Abdillah al-Hifar. Selain berguru al-Syathibi juga memiliki murid, antara lain
adalah Abu Bakr ibn „Ashim7 dan, saudaranya, Abu Yahya ibn „Ashim, serta
Abu „Abdillah al-Bayani.8
Ketika ia hidup di Granada yang saat itu dipimpin di bawah keperintahan
Bani Ahmar,9 kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan Islami, bahkan
mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid‟ah. Kondisi tersebut
semakin parah ketika tumpu kekuasaan dipegang oleh Muhammad al Khamis
yang bergelar al Ghany Billah.10
Al-Syathibi juga sering mendapat tuduhan
bahwa ia berbuat bid‟ah.11
tradisional maupun rasional. Sebagai guru ia mengajarkan kepada muridnya dengan menggunakan
buku-buku Ibn Sina dan Ibn Rusyd. 5 Juga pengarang sebuah kitab tatabahasa Arab dan terkenal sebagai pemegang muahaqqiq,
(ahli dalam penerapan prinsip-prinsip umum mazhab Maliki pada kasus-kasus tertentu). sebagai guru,
ia memperkenalkan kepada al-Syathibi Raziisme dalam ushul fiqh-nya dan filsafat, kalam, serta ilmu-
ilmu rasional (al-ulum al-„aqliyah). Maqqari dikenal karena bukunya al-Haqa‟iq wa‟I-raqa‟iq fi al-
thasawwuf. 6 Abu „Ali al-Manshur al-Zawawi, al-Syathibi belajar Filsafat dan ilmu kalam. Dia datang ke
Granana pada tahun 753/1352, dikenal dan dipuji karena kesarjanaannya dalam ilmu-ilmu tradisional
dan rasional dan sering juga terlibat dalam petentangan pendapat dengan yuris-yuris di Granada. 7 Abu Bakr ibn „Ashim pernah menjabat sebagai kadi di Granada, dan terkenal dengan
karyanya, Tuhfaf al-Hukkam, yang merupakan kompilasi hukum dan menjadi pegangan hakim di
Granada. 8 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
(Erlangga, 2007), h.17-18. 9 Daulah ini Berjaya selama dua abad enampuluh tahun, yaitu sejak tahun 635-897 H. dengan
runtuhnya Bani Ahmar ini sekaligus mengakhiri kehadiran Islam di Andalusia. Granada merupakan
kerjaan Islam Spanyol yang didirikan oleh Muhammad ibn Yusuf ibn Nashr, yang dikenal dengan
panggilan Ibn al-Ahmar. Menjelang akhir kekuasaan Bani Ahmar ini, dalam kota tersebut terdapat
sekitar setengah juga jiwa penduduk, terdiri dari orang-orang Syiria dan Yahudi. 10
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua
Pertanyaaan, 2008, h.183. 11
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.20.
43
Dikisahkan, bahwa pada saat itu sering terjadinya pertumpahan darah dan
pemberontakan, dan penghukuman kepada setiap orang yang menyeru kepada
cara beragama yang menyimpang dari agama. Hampir semua ulama saat itu
adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup,
bahkan tak jarang mereka yang tidak tahu menahu soal agama diangkat oleh
raja sebaga dewan fatwa. Alhasil, tidak mengherankan jika fatwa-fatwa yang
dihasilkan saat itu sangat jauh dari kebenaran.
Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, al-Syathibi bangkit menentang
dan melawan para ulama tersebut dengan mencoba meluruskan dan
mengembalikan bid‟ah ke sunnah, serta membawa masyarakat dari kesesatan
kepada kebenaran. Pertentangan pendapat antara al Syathibi dan para ulama
Granada saat itu tidak dapat dihindarkan. Terlihat dalam setiap kali al-Syathibi
berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih
dahulu kepada nash. Karena melihat setiap fatwa al Syathibi yang bertentangan
dengan mereka, akhirnya mereka melecehkan, mencerca, mengucilkan al
Syathibi dan bahkan ia dianggap telah murtad.
Selain persoalan fatwa, praktik tasawuf ulama dan ta‟ashub berlebihan
ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap mazhab Maliki juga
menjadi hal lain disoroti al Syathibi saat itu. Ia mengharamkan praktik tasawuf
tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesungguhnya.12
12
Praktek tasawuf yang dianggap sesat dan diharamkan oleh al-Syathibi karena mereka
berkumpul di malam hari, kemudian berzikir bersama dengan suara yang sangat keras dan diakhiri
44
Menurutnya, cara mereka mendekatkan diri tidak seperti yang dipraktekkan
oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, cara mereka adalah bathil dan
terlarang. Begitu pula ta‟ashub yang berlebihan, dimana mereka memandang
setiap orang yang bukan mazhab Maliki adalah sesat.13
Pola pikir masyarakat
Andalusia ini berbeda dengan al-Syathibi yang juga seorang ulama Maliki,. al-
Syathibi tetap menghargai ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi
yang saat itu selalu menadi sasaran tembak nomor satu.
B. Karya al-Syathibi
Al-Syathibi menulis sejumlah karya, beberapa di antaranya ialah: Syarh
al-Jalil „ala al-Khulashah fi al-Nahwi, al-Muwafaqat, al-I‟tisham, al-Ifadah wa
al-Insyadah, Unwan al-Ittifaq fi „Ilm al-Isytiqaq, Ushul al-Nahwi dan sejumlah
fatwanya. Dari beberapa karyanya tersebut, terdapat dua karyanya yang telah
diterbitkan, yaitu al-Muwafaqat dan al-I‟tisham. Sedangkan karya-karyanya
yang lain diketahui hanya melalui beberapa catatan sejarah. Al-muwafaqat
dengan tarian serta nyanyian bersama sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-
memukul dadanya bahkan kepalnya sendiri. 13
Sebagaimana diketahui, masyarakat Andalusia memegang erat madzhab Maliki sejak mereka
dipimpin oleh raja Hisyam al-Ahwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180
H yang menjadikan madzab ini sebagai madzab resmi negara. Seoalah sudah amat resmi, masyarakat
Andalus memegang kokoh madzhab Maliki dan saking berlebihannya, mereka tidak lagi mengenal,
bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya, terutama madzhab Hanafi.
Sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka sebagai masyarakat yang tidak lagi
mengenal al-Quran dan al-Muwattha‟ Imam Malik. Dikutip dari Muhammad Fadhil bin Asyur, A‟lam
al Fikr al Islamy, (Tunisia: Maktabah an Najah, tt.), h.10. Lihat Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaaan, 2008, h.183.
45
merupakan karya monumental al-Syathibi tentang mashlahah14
, yang di
dalamnya tertuang konsep teologi dan ushul fiqh-nya.15
Sedangkan kitab al-
I‟tisham yang juga merupakan kitab ushul fiqh, mengandung pembahasan
tentang arti bidah dan bagian-bagiannya, baik secara hakiki maupun idhafi. Di
dalamnya pula diuraikan perbedaan antara bid‟ah, mashlalah mursalah, dan
istihsan dengan berbagai kaitannya.16
Kitab al-Muwafaqat mengandung lima pokok bahasan, yaitu (1)
muqaddimah; (2) al-ahkam; (3) al-maqashid; (4) al-adalah; dan (5) al-ijtihad.
Menurut Hamka Haq, pada bagian pertama, al-Syathibi mengemukakan
beberapa kaidah pokok yang menjadi dasar pemikirannya secara umum dan
sebagai pengantar bagi uraian-uraian pada bagian selanjutnya. Dari tiga belas
muqaddimah, ia menunjukkan bahwa konsep mashlahah adalah didasarkan
pada dalil-dalil yang pasti (qath‟i). Dalil-dalil qath‟i yang dimaksud bukanlah
satuan-satuan nas atau teks, melainkan hasil induksi (istiqra‟i) yang ditarik dari
makna keseluruhan nas. Di samping itu juga menggunakan dalil akal yang
melahirkan hukum-hukum akliah yang banyak digunakan dalam ilmu kalam,
yaitu wajib, boleh, dan mustahil.
14
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.21. 15
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.
24. Sebagai karya yang bernuansa filosofis-teologis, al-Muwafaqat tidak mudah dicerna. Kesulitan
memahaminya bukan karena gaya bahasa dan susunannya, meliankan karena buku tersebut
mengandung aspek lain di luar ushul fiqh. Menurut Khalid Mas‟ud, untuk memahami kitab ini
disamping kita memiliki pengatahuan fikih dan ushul fiqh, kita perlu memiliki pengetahuan di bidang
teologi, filsafat, dan tasawuf untuk memahami kandungan buku tersebut. 16
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.20-23.
46
Di bagian kedua, al-ahkam, al-Syathibi berbicara tentang hukum taklifi
dan hukum wadh‟i. pada hukum taklifi, ia banyak menguraikan hukum mubah
dikaitkan dengan kewenangan manusia untuk boleh memilih antara berbuat
atau tidak berbuat. Menurutnya, perbuatan manusia yang berkaitan dengan
hukum adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau punya tujuan
tertentu (bi al-maqashid). Dalam hal ini, al-Syathibi mengemukakan tiga alasan
bahwa setiap perbuatan hukum harus deserta dengan niat, lahir dari akal yang
sehat, dan tidak merupakan pembenaran di luar kemampuan manusia (taklif bi
ma la yathaq).
Sedangkan pada hukum wadh‟i, al-Syathibi memusatkan perhatiannya
pada hukum asbab (sebab-sebab). Di sini, ia mengemukakan analisis baru yang
bercorak filosofis-teologis. Hukum asbab diuraikannya dalam pengertian
hukum kausalitas yang menentukan terjadinya suatu perbuatan dan keadaan.
Dalam hal ini, ia menetapkan adanya musabbib (Allah sebagai pencipta sebab),
tasabbub (proses sebab-akibat), dan mutasabbib (manusia sebagai pelaku
sebab). Hal ini menunjukkan bahwa hukum asbab tidak dipandang melalui
perspektif fikih semata, melainkan juga dengan pemahaman teologis
menyangkut hukum kausalitas atau sunatullah pada perbutan manusia.
Dalam bagian ketiga, al-maqashid, al-Syathibi membahas maksud Allah
dalam menciptakan syariat (maqashid al-mukallaf). Dalam menguraikan hal ini,
ia menyatakan bahwa Allah menciptakan syariat adalah untuk menjaga
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ia mengaitakannya dengan
47
pemahaman teologis tentang adanya tujuan Allah dalam berbuat dan mencitpta
seperti umumnya dibahas dalam ilmu kalam dan filsafat. Begitupun urainnya
mengenai maksud hamba dalam melaksanakan syariat, ia mengaitkannya
dengan kemaslahatan. Menurutnya perbuatan manusia haruslah sesuai dengan
maksud Allah, yakni menjaga kemashlatahan.
Pada bagian keempat, al-adillah, al-Syathibi menguraikan ragam bentuk
dan sifat nas yang ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Di samping itu, ia juga
mengemukakan peranan akal dalam memahami makna dalil-dalil yang bersifat
absolut. Dalam hal ini, akal dapat memahami nilai-nilai universal yang
terkandung dalam nas, seperti nilai keadilan, kebaikan, pengampunan,
kesabaran, dan kesyukuran yang terdapat pada sesuatu yang diperintahkan;
begitu juga nilai kezaliman, kekejian, kemungkaran, penyimpangan dan
pelanggaran janji yang terdapat pada sesuatu yang terlarang. Uraian ini
menunjukkan bahwa al-Syathibi mengakui kemampuan akal dalam mengetahui
nilai baik dan jahat suatu perbuatan. Pada bagian ini pula, ia menunjukkan
perbedaan mendasar antara ayat-ayat makkiyyah dan madaniyyah. Menurutnya
bahwa ayat-ayat makkiyyah bersifat menetapkan pokok-pokok agama,
khususnya pokok-pokok syariat yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Di sisi lain, ayat-ayat madaniyyah bersifat merinci dan
menyempurnakan.
Dan di bagian terakhir, al-ijtihad, al-Syathibi menegaskan bahwa
pengetahuan tentang mashlahah sebagai syarat utama seorang mujtahid.
48
Kesesuaian antara hasil ijtihat dan mashlahah sebagai tujuan syariat menjadi
kriteria kuatnya ijtihad itu. Dengan demikian, pandangan al-Syathibi tentang
mashalahah dalam al-Muwafaqat secara keseluruhan berkaitan dengan paham
teologis yang dianutnya17
Adapun dalam kitab I‟tisham, lebih dari ingin menguraikan perbedaan
bid‟ah, mashlalah mursalah, dan istihsan dengan berbagai kaitannya, al-
Syathibi membuktikan tuduhan yang berlebihan kepadanya bahwa ia telah
melenceng dari jalur agama yang benar dan bahwa ia adalah seroang ahli bid‟ah
(mubdi‟). Ia mengemukan enam buah pandangan yang menyebabkan ia
dianggap sebagai mempertahankan kesalahannya itu. Tiga pendapat pertama di
antaranya terdiri dari pendapat yang membuatnya dianggap memiliki
pandangan yang subversif. Sedangkan pandangan yang keempat, dari kumpulan
ahli hukum, ia dianggap terlalu ketat dalam pandangan hukumnya, ia dituduh
menghendaki penerapan hukum yang membawa pada penderitaan. Dan
pandangan kelima, adalah tuduhan bahwa ia memiliki sikap yang bermusuhan
dengan kaum sufi dan menyebarluaskan sikap permusuhan terhadap praktik-
praktik bid‟aj mereka. Serta terkahir ia dituduh telah keluar dari jama‟ah. Yang
menurut al-Syathibi sendiri tuduhan ini didasarkan pada sumsi bahwa jamaah
yang harus diikuti didefinisikan sebagai mayoritas umat.18
17
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.24-27. 18
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), ed.
Terjemah, cet. Ke-2, h.241.
49
C. Metodologi Istinbat Hukum
Salah satu cara untuk dapat memahami hukum Islam adalah dengan
mempelajari ushul fiqh, yakni suatu ilmu dasar dalam pembentukan dan
pemahaman hukum Islam .19
Ushul fiqh meletakkan dasar metodologis yang
harus digunakan oleh seorang “hakim” dalam menemukan dan menerapkan
hukum, dengan kata lain ushul fiqh berupaya untuk menentukan (to govern). Di
samping itu, ushul fiqh juga merupakan bagian dari epistemologi hukum
Islam.20
Ushul fiqh berupaya menjelaskan asal-usul, hakikat, dan sistem hukum
Islam, juga menjelaskan secara terperinci cara menganilisis hukum dalam
kategorisasi yang berbeda-beda. Secara epistemologis, hukum Islam harus
digali dari sumber-sumbernya yang dibantu dan disempurnakan oleh sistem
penafsiran yang otoritatif.21
Untuk memahami makna ushul fiqh, dapat dilihat dari pengertian ushul
fiqh itu sendiri. Yaitu, “pengtahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara‟ mengenai perbuatan
manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.” Atau dengan kata lain, ushul fiqh
adalah “himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil
19
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.72. 20
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta: CV Artha Rivera), h.3. 21
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h. 4. Penafsiran otoritatif merupakan penafsiran
yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip metodologis yang diberikan ushul fiqh yang berperan
sebagai acuan teoritis dan praktis yang bersifat standar.
50
dalil hukum-hukum syara‟ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya
yang terinci.”22
Pengertian ini menunjukkan bahwa ushul fiqh berbicara pada bidang
muamalah yang dalam pengertian umumnya yaitu mengatur tata hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat23
dengan
menggunakan dalil-dalil atau sumber-sumber yang terperinci. Dalam hukum
Islam, dalil-dalil atau sumber-sumber yang dimaksud adalah ada yang berasal
dari dimensi Ilahi atau disebut dengan istilah al-wahyu al-Ilahy dan ada yang
berasal dari potensi insani yang disebut dengan al-ijtihady.24
Yang termasuk al-wahyu al-Ilahy adalah al-Quran sebagai wahyu
langsung dari Allah Swt, dan sunnah (hadits) Nabi sebagai wahyu yang tidak
langsung yang menjelaskan al-Quran. Sedangkan al-ijtihady adalah proses
upaya penggalian melalui akal pikiran manusia (ra‟yu) dari al-wahyu al-Ilahy
bagi masalah-masalah yang belum jelas atau tidak secara tegas disebut
hukumnya dalam al-Quran. Jika dilihat menurut urutan tertib sistematikan dalil
hukum Islam, maka al-Quran menempati dalil yang utama dalam urutan
mashadir al-ahkam. Adapun sunnah (hadits) menempati posisi kedua dalam
dalil hukum atau mashadir al-ahkam.25
Sedangkan al-ijtihady berada pada
22
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), edisi terjemah, h.2.
lihat juga buku asli dalam bahasa arab, Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-tTaraatsi, h.11. 23
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.72. 24
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.35. 25
Suparman Usman, Hukum Islam, h.36.
51
urutan ketiga. Ia digunakan manakala suatu masalah belum ditemukan atau
belum dijelaskan hukumnya dalam al-Quran atau sunnah.26
Kedudukan al-ijtihad pada posisi ketiga menempati posisi yang ideal
mengingat bahwa al-Quran sebagai sumber utama dalam hukum Islam,
bukanlan sumber yang memuat kaidah-kaidah hukum secara lengkap terinci.
Umumnya ia hanya memuat kaidah-kaidah hukum yang bersifat fundamental.
Begitu pula sunnah Nabi, sepanjang mengenai soal „muamalah‟, pada
umumnya, hanya mengatur kaidah-kaidah yang bersifat umum pula. Oleh
karena itu, al-ijtihad sebagaimana disebutkan di atas berfungsi memperjelas
secara rinci. Dengan maksud agar kedua sumber, yaitu al-Quran dan sunnah
Nabi dapat diterpakan pada atau dalam kasus-kasus tertentu dalam kehidupan
masyarakat.27
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa al-ijtihad merupakan suatu
kebutuhan dan keniscayaan adanya. Al-ijtihad dalam kajian ushul fiqh dapat
dilakukan oleh secara kolektif atau ijtihad jama‟iy yang dikenal dengan ijma‟,
atau secara individual (ijtihad fardyi) yang selanjutnya dikenal dengan qiyas.28
Ijtihad jama‟iy atau ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat
Muhammad Saw. pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah tentang suatu
26
Suparman Usman, Hukum Islam, h.37. 27
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.75. 28
Suparman Usman, Hukum Islam, h.52.
52
hukum syara, yang terjadi dalam bentuk ijma‟ sharih (aktif)29
atau ijma‟ sukuty
(pasif).30
Adapun qiyas adalah proses deduksi (menarik kesimpulan) untuk
menetapkan hukum terhadap suatu masalah yang tidak disebutkan hukumnya
dalam nash (al-Quran atau sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan
hukumnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan „illat hukum antara
keduanya.31
Metodologi istinbath al-hukm (al-Quran, sunnah, dan al-ijtihad) seperti
yang dikemukan di atas digunakan oleh seluruh ulama ushul fiqh dari kalangan
sunni yang masih eksis hingga sekarang.32
Seperti Hanafi,33
Maliki,34
Syafi‟i,35
29
Ijma‟ sharih (aktif) adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui
perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. kesepakatan itu dikemukan dalam sidang (pertemuan)
ijma‟, setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas.
Ijma‟ seperti ini, menurut jumhur ulamat bisa dijadikan hujjah (landasan hukum). 30
ijma‟ sukuty ((pasif) adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu
masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja tanpa ada yang menolak pendapat
tersebut. Menurut jumhur ulama – walaupun terjadi perdebatan – ijma‟ seperti ini tidak dapat dijadikan
hujjah (landasan hukum). 31
uparman Usma, Hukum Islam, h.61. 32
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.163. 33
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.164. Menurut mazhab Handafi, dalam
menetapkan dalail atau sumber hukum Islam maka dilakukan dengan metodologi ijtihad. Ijtihad
dilakukan dengan metode al-ijtihad bi an-nusus dan al-ijtihad bi ghair an-nusus. al-ijtihad bi an-nusus
adalah ijtihad dengan nash al-Quran dan sunnah Nabi jika tidak ditemukan dalam al-Quran. 34
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.166. Menurut Mazhab Maliki, dalam ber-istidlal
pertamakali harus merujuk kepada al-Quran, jika tidak ditemukan maka merujuk kepada Hadits (hadits
mutawatir, hadits masyhur, dan hadis ahad), dan bila belum ditemukan lagi maka dengan melihat
fatwa sahabat yang tidak bertentangan dengan hadis marfu‟, jika fatwa sahabat tidak ditemukan maka
dengan metode ijma‟ ulama, jika tidak menemukan ijmak ulama maka dengan qiyas, jika qiyas
bertentangn dengan maqashid maka harus menerapkan istihsan, jikat tidak dapat maka dengan istislah,
zara‟i dan ;urf (adat). 35
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.169. Metodologi istidlal al-Syafi‟i secara
berurutan adalah pertama ayat al-Quran, jika tidak ditemukan di dalamnya ia menggunakan hadis
(mutawatir maupun ahad), jika tidak ditemukan, maka ia melihat pada zahir an-nash al-Quran dan
zahir al-sunnah secara berurutan, dengan teliti mencari segi-segi kekhususanny. Jika tidak menemukan
lagi ia berpegang pada ijmak (Syafi‟i hanya menerima ijma‟ sahabat. Jikat ijma‟ sahabat tidak ada,
maka metode yang digunakan adalah qiyas.
53
Hanbali,36
dan Daud Zahiri.37
Sebagaimana halnya ulama ushul fiqh tersebut,
al-Syathibi juga menggunakan metodologi istinbat hukum di atas. Dimana al-
Syathibi menempatkan al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang paling
utama, disusul kemudian sunnah Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan al-
Quran, dan al-ijtihad pada posisi terakhir untuk memahami al-Quran dan
sunnah, mengingat bahwa al-Quran dan sunnah diturunkan memiliki maksud
dan kandungan yang hakikatnya hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya.38
Akan tetapi, bila dilihat dalam penetapan teori mashlahah, al-Syathibi
dalam al-muwafaqat-nya, lebih menekankan siafat kepastian (qath‟iy) sebuah
dalil dalam ushul fiqh39
di samping dalil-dalil terperinci. Penekanan kepastian
dalil ini merupakan upaya al-Syathibi dalam membangun premis fundamental
(muqaddimah) dalam teori hukmnya tersebut. Sebab, jika suatu teori hukum
dibangun berdasarkan sumber-sumber hukum yang dapat mengurangi
kepastiannya, maka seluruh bangunan hukum yang dibentuknya menjadi dapat
36
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.173. Hanbali menetapkan al-Quran sebagai
sumber tertinggi, jika dalil dalam al-Quran tidak ditemukan, maka ia merujuk pada sunnah (hadis sahi
hah). Jika tidak ditemukan lagi, ia berpaling dan menggunakan ijma‟ sahabat. Bila tidak ditemukan
lagi ia mencari fatwa sahabat. Kemudia jika tidak ditemukan fatwa sahabat, maka ia mencari fatwa
tabi‟in yang riwayatnya masyhur (masih diperdebatkan). Namun bila fatwa tabi‟in juga tidak
ditemukan, maka ia menggunakan hadis dhaif dan mursal. Jika tidak ditemukan lagi maka ia
menggunakan qiyas. 37
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.176. Dalam beristidlal Daud Zahiri pertamakali
berpegang pada zahir an-nas al-Quran. Jika tidak ditemukan, ia menggunakan zahir sunah dengan cara
menakwil atau menggali „illat- nya. Bila dalam al-Quran dan Sunah tidak ditemukan maka ia
menggunakan ijma‟ pascasahabat. Namun bila ijam‟ juga tidak ditemukan maka ia menggunakan
aqwal sahabat. Jika aqwal sahabat tidak dijumpai juga, maka ia menerapkan teori istihsab iatau al-
ibahah al-asliyyah atau al-bara‟ah al-asliyyah. 38
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.120-121. 39
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Lebanon: Dar Al-Kibat Bairut,
2004), h.18.
54
dipertanyakan, bahkan diragukan. Premis fundamental yang dimaksud al-
Syathibi ini berupa premise rasional (pikiran manusia), konvensional
(kebiasaan), dan wahyu (nash). Yang mana masing-masing premise tersebut
memiliki kepastian yang jelas.40
Kepastian premis-premis di atas menurut Hallaq, dengan mengutib
pendapat al-Syathibi, ditentukan berdasarkan penelitian yang komprehensif
terhadap seluruh dalil, baik itu berbentuk teks nash (al-Quran dan sunnah),
ijima‟, qiyas, dan bukti-bukti kontekstual (qara-ini al-ahwal).41
Cara
memahami dalil sebagai istinbath hukum seperti ini merupakan dasar dari
metode al-Syathibi dalam membangun teori dan argumentasinya dalam al-
muwafaqat.42
Metode seperti ini lebih lanjut disebut sebagai metode al-istiqra‟
al-ma‟nawi (induksi tematik) terhadap teks, yaitu suatu metode berpikir yang
tidak semata-mata menggunakan dalil tertentu, tetapi juga dengan cara
mengumpulkan beberapa dalil, sehingga menjadi qath‟i.43
Mengenai al-istiqra‟ al-ma‟nawi (induksi tematik) ini, al-Syathibi
sebagaimana diuraikan Hallaq, menggunakan prinsip-prinsip yang bersifat
umum (kulliyyat) dalam membentuk dasar-dasar syari‟ah. Masing-masing
prinsip tersebut dibentuk oleh kumpulan prinsip-prinsip khusus (juz‟iyyat),
dimana prinsip-prinsip khusus ini memiliki makna atau kandungan yang sama
40
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.243. 41
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.244. 42
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.245. 43
Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h.124.
55
yang membentuk sebuah prinsip khusus. Dengan demikian sebuh juz‟iy harus
merupakan bagian dari kully, karena jika juz‟iy berdiri sendiri ia tidak dapat
dipergunakan sebagai dasar bagi teori hukum. Jika juz‟iy tidak dapat digunakan
karena berdiri sendiri, maka begitu juga dengan kully tidak dapat digunakan
sebagai dasar bagi teori hukum tanpa menyebutkan semua juz‟iy yang
tergabung di dalamnya.44
Melalui metode al-istiqra‟ al-ma‟nawi ini, al-Syathibi menarik
kesimpulan terhadap teori hukumnya tentang tujuan penetapan syariat
(maqashid al-syariah) yaitu mashlahah manusia.45
Para ulama juga menamakan
mashlahah sebagai tujuan Allah selaku Pencipta syariat (qashd al-Syari‟). al-
Syathibi juga mengutip pendapat Mu‟tazilah yaitu, bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam mengadakan syariat, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia
(mashalih al-ibad).46
Sehingga dengan demikian menurutnya bahwa kriteria
mashlahah adalah tegaknya kehidupan dunia demi tercapainya kehidupan
akhirat.47
D. Konsep Mashlahah Al-Syatibi dalam Hukum Islam
Pada dasarnya, ulama ushul fiqh menamakan mashlahah sebagai tujuan
Allah selaku Pencipta syariat, hukum Islam. (al-muwafaqat, juz 2. 5-6).48
44
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.246. 45
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, h.244. 46
Al-Syathibi , al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Fikr), h.5-6. 47
Al-Syathibi , al-Muwafaqat, h.37. 48
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.78.
56
Mashlahah tersebut terlihat dalam tujuan hukum Islam (maqashid al-syariah)
yaitu menciptakan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, 49
dengan prinsip mengambil manfaat dan menolak kemudaratan. Dalam tahap
realisasinya, al-Syathibi menunjukkan maqashid al-syariah itu kepada lima
bidang, yaitu hifdz al-din (memelihara agama), hifdz al-nafs (memelihara jiwa),
hifdz al-„aql (memelihara akal), hifdz al-nasl (memelihara keturunan), dan hifdz
al-mal (memelihara harta).50
Menurut Mashood, maqashid al-syari‟ah, yang telah diklasifikasikan
sebagai peningkatan mashlahah manusia dan pencegahan mafsadah, adalah
pendekatan holistik yang penting untuk mewujudkan lingkup yang tepat dan
luhur dari hukum Islam. Dalam pembahasannya mengenai sasaran dan tujuan
hukum Islam, al-Syathibi menekankan bahwa maksud awal Allah dalam
mewahyukan hukum ialah untuk melindungi kepentingan-kepentingan
manusia.51
Dengan kata lain, doktrin ini adalah upaya untuk menegakkan
mashlahah sebagai unsur pokok tujuan hukum.52
Dalam menghubungkan dua hal tersebut (mashlahah dengan maqashid
al-syariah), al-Syathibi, beranjak dari teori al-Ghazali, mengajukan tiga
klasifikasi hirarkis untuk menentukan lingkup tujuan hukum Islam, yaitu:
49
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, h.61. 50
Jaenal Arifin, dkk, Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar‟i, (UIN Jakarta Press, 2006) h.82. 51
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, (Jakarta:
Komnas HAM, 2013) edisi terjemah, cet. Ke-3, h.39. 52
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, h.111.
57
dharuriyyat, hajjiyat, tahsiniyyah.53
Yang mana tiga klasifikasi ini, menurut
Fatruhman Djamil, berfungsi untuk memelihara ataupun mewujudkan kelima
pokok seperti yang sudah disebutkan diatas. Hanya saja, peringkat
kepentingannya berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama
dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer, yang kalau kelima pokok itu
diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok itu.
Adapun Kebutuhan dalam kelompok kedua dapat dikatakan sebagai
kebutuhan sekunder. Artinya kalau diabaikan, maka tidak akan mengancam
eksistensinya, melainkan akan mempersulit dan mempersempit kehidupan
manusia. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok ketiga erat kaitannya dengan
upaya untuk menjaga etiket sesua dengan kepatutan, dan tidak akan
mempersulit, apalagi mengancam eksistensi kelima pokok tersebut di atas.
Dengan demikian, menurut Fathurrahman Djamil berpendapat bahwa
kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat komplementer.54
Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang tetang mashalah sebagai
maqashid al-syariah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemashlahatan
itu berdasarkan peringkatnya masing-masing.
1. Hifdz al-Din (memelihara agama)55
53
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, h.42. 54
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.127. 55
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.128.
58
Memelihara agama dalam peringakat daruriyyah, yaitu memelihara dan
melaksakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti
melaksanakan shalat lima waktu. Bila mana shalat diabaikan, maka akan
mengancam eksistensi agama. Dalam peringkat hajjiyat, yaitu
melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan,
seperti shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian.
Ketentuan ini, jika tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam
eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang
melakukannya. Sedangkan pada peringkat tahsiniyyah, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus
melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup
aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan, pakaian,
dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlaq yang terpuji. Kalau
hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan
mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang
melakukannya.
2. Hifdz al-Nafs (memelihara jiwa)56
Memliharan jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup, kalau
kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terncamnya
56
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.129.
59
eksistensi jiwa manusia. Pada peringkat hajiyyah, seperti diperbolehkan
berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Adapun
apabila kegiatan ini tidak dilakukan ini diabaikan, maka tidak akan
mengancam eksistensi manusia, malinkan hanya mempersulit hidupnya.
Sedangkan pada peringkat tahsiniyyah, seperti tata cara makan dan
minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopnan dan etika,
sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun
mempersulit kehidupan seseorang.
3. Hifdz al-„Aql (memelihara akal)
Memelihara akal dalam peringkat daruriyyah, seperti diharamkan
meminum minuman khamr, sebab jika meminumnya maka akan berakibat
terancamnya eksistensi akal. Di peringakat hajiyyah, seperti dianjurkan
menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal ini tidak dilakukan, maka
tidak akan merusak akal, tetapi mempersulit diri seseorang, dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu pentahuan. Sedangkan pada
peringkat tahsiniyyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya
dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal seca langsung.
4. Hifdz al-Nasl (memelihara keturunan)57
57
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.130.
60
Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyah, seperti disyariatkan
nikah dan dilarang berzina. Kalau hal ini diabaikan, maka eksistensi
keturunan akan terancam. Pada peringkat hajiyyah, seperti ditetapkannya
ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akan nikah dan
diberikan hak talaq kepadanya. Jika mahar tidak disebutkan pada waktu
akad, maka suami akan mengalami kesulitan sebab ia harus membayar
mahar misl. Dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan jika ia
tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak
harmonis. Sedangkan pada peringkat tahsiniyyah, seperti disyariatkan
khitbah atau walimat dalam perkawinan. dimana hal ini dilakukan dalam
rangka melengkapi kegiatan perkawinan. jika hal ini diabaikan, maka
tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit
orang melakukan perkawinan.
5. Hifdz al-Mal (memelihara harta).58
Memilihara harta dalam peringkat daruriyyah, seperti syariat tentang tata
cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan
cara yang tidak sah. Di tingkat hajiyyah, seperti syari‟at tentang jual beli
dengan cara salam. Bila cara ini tidak dipakai maka tidak akan
mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang
58
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.131.
61
memerlukan modal. Adapun pada tingkat tahsiniyyah, seperti ketentuan
tengang menghindarkan diri dari pencegohan dan penipuan.
Dalam setiap peringkat, seperti yang dijelaskan di atas, terdapat hal-hal
atau kegiatan yang bersifat penyempurna terhadap pelaksanaan tujuan hukum
Islam. Di samping itu, mengetahui urutan peringkat mashlahah di atas menjadi
penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya,
ketika kemaslahatan yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain,
seperti pencatatan perkawinan yang akan dijelaskan pada bab berikutnya.
Dalam hal ini, peringkat pertama ,daruriyyah, harus didahulukan daripada
peringkat kedua, hajiyyah, dan peringkat ketiga, tahsiniyyah. Ketentuan ini
menunjukkan, bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam
peringkat kedua dan ketiga, manakala kemaslahatan yang masuk peringkat
pertama terancam eksistensinya.59
Tercapainya tujuan hukum Islam, yaitu kemaslahatan manusia di dunia
maka niscaya akan tercapai pula kemaslahatan kehidupan di akhirat. Mengenai
hal ini, menurut al-Syathibi, sebagaimana dikutip Hamka Haq, ditegakkannya
kemaslahatan kehidupan dunia demi tercapainya kemaslahatan kehidupan di
akhirat. Artinya bahwa kemaslahatan di dunia dan akhirat memiliki keterkaitan
dan kesinambungan. Oleh sebab itu, menurut al-Syathibi, manusia dalam
mewujudkan mashlahah di dunia haruslah terbebas dari keinginan nafsu.60
59
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, h.132. 60
Al-Syathibi , al-Muwafaqat, h.172.
62
Sehingga dengan demikian, mereka hamba yang berikhitiar, tidak secara
terpaksa.61
Untuk menjadi hamba yang berikhtiar, menurut al-Syathibi, manusia
dapat melakukan tiga hal salah satunya adalah mewujudkan mashlahah, selain
ber-ibadah dan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Mashlahah
diwujudkan dan diperoleh tidak berdasarkan keinginan nafsu,62
sebab
mashlahah untuk kebaikan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah.
Manusia tidak boleh menurutkan nafsunya, tetapi harus berdasarkan kepada
syariat Allah,63
sebab kemaslahatan dicapai seorang hamba Allah harus
bertujuan untuk mekaslahatan akhirat.64
Karena Mashlahah untuk kebaikan manusia maka ia bersifat universal,
berlaku umum dan abadi atas seluruh menusia dan dalam segala keadaan.
Pokok pikiran menyangkut universalitas syariat ini65
dirumuskan sebagai
berikut: 66
61
Al-Syathibi , al-Muwafaqat, h.168. 62
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.82. 63
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.83. 64
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 2001) cet. Ke-3, h.114. 65
Syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang
Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak baik dalam hubungannya dengan Allah maupun
dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat, dan sunnah Nabi sebagai pejelasnya. Syariat
bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, berlaku abadi, hanya satu dan
menunjukkan kesatuan dalam Islam. Lihat Mohaammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.46-51. 66
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.83-84.
63
1. Bahwa setiap aturan (nizham) bagi kemaslahatan diciptakan Tuhan secara
harmonis dan tidak saling berbenturan.
2. Kemaslahatan itu berlaku secara umum, tidak parsial, artinya bukan
hanya berlaku secara khusus pada satu tempat tertentu saja.
3. Mashlahah dapat diterima secara umum (al-mashalih al-mu‟tabarah).
4. Bersifat tegas dan pasti (qath‟i).
5. Tidak berlaku padanya nasakh (pembatalan), Sebab nasakh hanya terjadi
pada kaidah-kaidah parsial saja.
Berdasarkan argument di atas, menurut Hamka Haq, diketahui bahwa
universalitas mashalahah dan syariat mengandung arti keharmonisan dan
keutuhan hukum Tuhan, yaitu tidak kontradiksi antara satu bagian dan bagia
yang lain. Menurut Hamka, teori keharmonisan seperti ini sebenarnya dianut
juga oleh Mu‟tazilah begitu pula Maturudiyyah Samarkand.67
Konsep
keharmonisan ini pula diterima oleh Fazlur Rahman68
dan Muhammad Abduh
67
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.
85. Tentang hal ini dapat dikemukan pandangan mereka, menurut Abduljabbar dari golongan
Mu‟tazilah bahwa perbuatan Tuhan bersifat harmonis dari segi strukturnya (shalih fi tadbirih),
sehingga tidak lepas pula dari kaitannya dengan hukum taklifi dan mukalaf; segala perbuatan-Nya
tidaklah mengacaukan dua hal (hukum taklifi dan mukalaf) dan tidak membawa mukalaf keluar dari
kesungguhan berbuat; demikian itulah yang disebut harmonis. Sebaliknya, segala hal yang mendorong
semangat mukallaf untuk bekerja berarti Tuhan telah merusak dan mengacaukan struktur perbuatan-
Nya (fasad fi tadbirih). Jadi andai kata Tuhan berdusta dalam janji dan ancaman-Nya maka hal itu
menujukkan kerusakan pada harmonitas perbautan-Nya. Begitu juga golongan Maturidiyah Samarkand
menganut paham keharmonisan perbuatan Tuhan. Menurut al-Maturdi dari golongan ini menyatakan
bahwa siapa pun yang memperoleh ma‟rifah (pengenalan) tentang Allah, mengetahui kekuasaan dan
kerajaan-Nya, dan mengetahui bahwa Dia Maha pencipta dan memberi perintah, ia tentu mengenal
pula bahwa perbuatan-Nya tidak mungkin keluar dari hikmah kebijakan tertentu. 68
Salah satu konsep kalsik yang dipakai dalam merumuskan metode pembaruan hukum Islam-
nya adalah kosep maqashid al-syari‟ah al-Syathibi. Lihat Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazlur
Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, h.169.
64
seorang pelopor pembaruan Islam. Dalam pandangan-pandangan yang
dikemukan oleh mereka, mereka sependapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan
tertentu dalam perbuatan-Nya. Dimana tujuan Tuhan mengadakan syariat
adalah terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat (mashalih al-
„ibad fi al-darayn).69
Pada sisi lain, menurut Wael B. Hallaq,70
menculnya teori al-Syathibi ini,
di dorong oleh sebuah keinginan yang kuat untuk menciptakan sebuah
perangkat teoritis yang dapat meningkatkan fleksibilitas dan adaptabilitas
hukum positif. Yang selanjutnya oleh Wael B. Hallaq disebutkan bahwa al-
Syathibi bertujuan untuk mengembalikan apa disebut sebagai hukum Islam
yang sebenarnya. Yaitu sebuah hukum yang menurutnya merupakan
percampuran antara dua hal yang ekstrim (saat itu) dan tuntutan akan ketentuan
hukum yang berlebihan yang dipaksakan oleh orang-orang yang tampak
sebagai kaum sufi kontemporer, kelompok yang memiliki pemikir hukum Islam
dalam jumlah yang cukup besar.71
69
Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
h.86. 70
Konsep mashlahah yang dikemukakan oleh al-Syathibi direpsentasikan sebagai puncak dari
sebuah perkembangan intelektual yang telah dimulai pada abad keempat/kesepuluh. Pada masanya
pula teori hukum telah mencapai tingkat kematangan yang demikian tinggi hingga telah tersusun
secara utuh, sementara pada saat yang bersamaan ia mempertahankan fungsi tradisionalnya dalam
menggali hukum dan mengatur proses pembentukan hukum secara kontinyu dan, dalam batas-batas
tertentu, memfungsikannya. Lebih dari itu, menurut Wael, teori ini memiliki pengaruh yang penting
dalam pembentukan hukum modern. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.239. 71
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.240.
65
BAB IV
RELEVENASI PENCATATAN
DENGAN TEORI MASHLAHAH AL-SYATHIBI
A. Problematika Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Fenomena perkawinan tidak tercatat secara resmi di Indonesia dinilai
masih tinggi, disebabkan faktor kultur dan budaya masyarakat.1 Dari hasil
penelitian mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, walaupun tingkat
kesadaran hukum masyarakat terhadap pencatatan perkawinan dinilai baik,
namun perilaku hukum masyarakat dinilai masih kurang.2 Baiknya kesadaran
masyarakat untuk mencatatkan perkawinannya di KUA, tidak terlepas dari
dukungan program-program pemerintah untuk merealisasikan hal tersebut,
misalnya, pembuatan akta kelahiran harus dilampirkan dengan buku nikah
kedua orang tua.3
1 Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/27/mivkvw-ribuan-
pasangan-nikah-bawah-tangan, Diakses pada tanggal 27-2-2014 2 Muhammad Zuhdi Arif, Kesadaran Hukum Masyarakat Desa Cibatok Satu Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor Terhadap Pencatatan Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 69. Lihat Nur Fauzi, Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan Cipedak Kecamatan
Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 65.
Lihat Isti Astuti Savitri, Efektifitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA Kecamatan Bekasi Utara,
(Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.59. 3 Alimin, dkk, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia, (Jakarta: Orbit, 2013), h.
85. Pengakuan sebagaimana dimaksud diperoleh melalui penelitian di beberapa lembaga kantor urusan
agama (KUA) di Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode kepustakaan dan lapangan. Wilayah dan objek penelitian adalah Kab. Bogor,
Kotamadya Depok, dan Kabupaten Karawang.
66
Di sisi lain, problem yang ada juga ialah adanya kontestasi peran KUA
oleh tokoh masyarakat. Dikatakan demikian karena pernikahan-pernikahan
“liar” atau pernikahan dibawah tangan tidak tercatatkan itu tentu melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat setempat yang dipandang memiliki pengetahuan
agama yang memadai.4 Padahal, mayarakat seharusnya telah mengetahui,
bahwa perkawinan dan pencatatan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh dua
lembaga yang diukui secara yuridis, yaitu KUA dan KCS.5
Memang, dalam Islam perkawinan disebut sebagai sebuah ikatan yang
sangat kuat “mitsaqon ghalidhan”. Di mana bila dilaksanakan merupakan
Ibadan dan menaati perinta Allah. Namun demikian, tidak serta merta, karena
perkawinan merupakan perintah Allah, lantas perkawinan dilepaskan dari
urusan Negara. Perlunya negara sebagai penengah dalam institusi perkawinan
tidak lain adalah untuk menjamin ketertiban perkawinan itu sendiri. Sudah
tentu, keterlibatan negara dalam hal ini adalah melalui kebijakan legislasi
peraturan perundang-undangan.6
Sehingga dengan kebijakan tersebut, segala sesuatu yang terjadi dalam
perkawinan menjadi jelas, baik perkawinan dalam keadaan damai maupun
dalam keadaan tidak damai. Sebuah perkawinan yang dicatatkan akan
menjamin semua perbuatan hukum yang terjadi dalam perkawinan, sebaliknya
4 Alimin, dkk, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia, h.86.
5 Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.55.
6 Jasmani Muzajin, Fenomena Nikah Sirri dalam Sebuah Negara Hukum, Makalah
67
perkawinan tidak dicatatkan tidak demikian. Akibatnya manakala salah satu
pihak melalaikan kewajiban, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya
hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari
perkawinannya.7 Tentu saja, keadaan demikian bertentangan dengan misi dan
tujuan perkawinan itu sendiri. Dalam konteks Rechtstate “Negara Hukm”,
perkawinan tidak dicatatkan pada dasarnya bertentang dengan tujuan-tujuan
hukum, yaitu kesejahteraan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Begitu pula dalam doktrin maqashid al-syar’iyah yang dikemukakan
oleh al-Syathibi.8 Bahwa, dalam perkawian tidak dicatatkan terdapat beberapa
tujuan syari’ah yang dihilangkan sehingga menyebabkan ketidaksesuaian
sebagai berikut:9
1. Dalam kasus perkawinan tidak dicatatkan, perkawinan cenderung
disembunyikan agar tidak diketahui orang lain, sehingga perkawinan
diragukan. Padahal, Islam mensyariatkan bahwa Perkawinan itu harus
diumumkan (diketahui halayak ramai), maksudnya agar orang-orang
mengetahui bahwa perkawinan telah terjadi dan itu sah.
2. Adanya perlindungan hak perempuan yang diabaikan. Dalam perkawinan
tidak dicatatkan, pihak perempuan banyak dirugikan hak-haknya, karena
7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.110. lihat tujuan perkawinan menurut hukum
Islam dalam bab 2 8 Memang dalam karyanya al-Syathibi tidak merumuskan pendapatnya tentang pencatatan
perkawinan. Tapi, di sini penulisnya hanya ingin mengkorelasikan teorinya dengan topik yang
diangkat dengan menggunakan bahan-bahan bacaan terkait. 9 Sumber; http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-
indonesia/49, diakses pada tanggal 20-7-2014
68
kalau terjadi perceraian pihak perempuan tidak mendapatkan apa-apa dari
mantan suaminya sebab tidak dapat dibuktikan perkawinannya.
3. Banyak menimbulkan madlarat terhadap keturunan dari pada
maslahatnya. Perkawinan tidak dicatat, menyebabkan anak-anak yang
lahir dari perkawinan tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk
mencari pekerjaan karena orang tuanya tidak mempunyai surat nikah dan
seandainya ayahnya meninggal dunia/cerai, anak yang lahir dari
perkawinan tidak tercatat tidak mempunyai kekuatan hukum untuk
menuntut harta warisan dari ayahnya.
4. Dalam kasus poligami, seorang suami yang tidak mendapatkan izin dari
istri biasanya melakukan perkawinan tapi tidak dicatatkan. Perkawinan
seperti ini penuh dengan kebohongan dan dusta, karena suami selalu
berbohong kepada istri pertama, sehingga perkawinan seperti ini tidak
akan mendapat rahmat dari Allah.
Secara umum, menurut Jasmani Mujazim, bahwa perkawinan tidak
dicatat di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:10
a. Kesadaran hukum yang tidak diimbangi dengan pemahaman hukum
masyarakat yang baik;
b. Sikap apatis sebagian masyarakat terhadap hukum;
c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas;
10
Jasmani Muzajin, Fenomena Nikah Sirri dalam Sebuah Negara Hukum, Makalah
69
d. Ketatnya Izin Poligami
Pencatatan perkawinan adalah suatu upaya untuk menciptakan ketertiban
perkawinan,11
mengingat bahwa perkawinan merupakan peristiwa hubungan
hukum12
. Persoalan pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat
hukum dalam hukum nasional sebagaimana diuraikan di atas merupakan hal
persoalan yang belum tuntas sampai sekarang. Persoalan tidak hanya ditemukan
dalam tataran pengimplentasian norma hukm pencatatan perkawinan. Namun
pula muncul dalam perdebatan-perdebatan yang berisfat akademis, yang
pembahasannya berkutat pada sah tidaknya perkawinan tanpa dicatatkan.13
Perdebatan-perdebatan tersebut sampai saat ini belum selesai. terlihat dari
pembahasan ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan dalam RUU Hukum
Materil Peradilan Agama yang hingga saat ini belum disahkan. Bagi kalangan
yang mendukung, berpendapat bahwa pencatan perkawinan bertujuan
melindungi semua pihak, tidak hanya perempuan namun juga laki-laki dan
keturunan. Mengingat perkawinan tidak dicatat alias perkawinan di bawah
tangan cenderung menimbulkan mudarat dari pada maslahatanya. Kemudaratan
tidak saja terjadi kepada kaum perempuan, namun dapat terjadi pula pada kaum
laki-laki dan keturunan. Dalam kasus perceraian, perkawinan tidak tercatat
11
Lihat pasal 5 ayat (1) KHI, “Agar terjadi ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat” 12
Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet. Ke-12,
h.556. 13
Sumber: http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-dalam-sistem-hukum-nasional-
dan-pergulatannya/43, diakses pada 18 Juli 2014
70
lebih mudah bagi pasangan suami istri untuk melakukan percaraian. Sementara
perkawinan yang tercatat relatif tidak semudah itu. karena, perceraian harus di
pengadilan dimana mereka mendapat nasihat sehingga berdamai.14
Pencatatan perkawinan juga mempersulit terjadinya poligami. Sebab
dalam pencatatan, sebuah kehendak perkawian harus diberitahukan terlebih
dahulu dan diperiksa oleh Pegawai Pencatat Nikah.15
Dalam Islam, memang
poligami dibolehkan. Namun, poligami yang dipraktekan sekarang berbeda
dengan yang dipraktekkan di masa Rasul. Di masa Rasul, poligami dilakukan
secara terang-terangan, berbeda dengan sekarang, praktek poligami sering
dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau tidak dicatatkan di KUA sehingga
menimbulkan mudlarat di kemudian hari.16
Oleh sebab itu poligami dibatasi
dan dipersulit melalui pencatatan perkawinan. Kesulitan berpoligami karena
pencatatan tersebut terlihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
berpoligami.
Bagi kelompok yang menolak, yaitu masyarakat muslim yang masih
berpegang teguh kepada perspektif fikih tradisional17
berpendapat bahwa
diperketatnya perkawinan melalui pencatatan perkawinan akan lebih besar
14
Sumber: http://www.scribd.com/doc/58154536/KOMENTAR-RUU-HMPA, diakses pada
tanggal 24 Juli 2014 15
Lihat Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahnu 1975 pasal 6 ayat (1) jo pasal 7 jo pasal 8
ayat 2. 16
Sumber: http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-
di-indonesia/49, diakses pada tanggal 20 Juli 2014. 17
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
h.47.
71
menimbulkan mudarat. Apalagi dalam RUU tersebut terdapat ketentuan pidana
bagi pelakunya. Menurut mereka, perkawinan tidak dicatatkan selama ini
dipahami masyarakat adalah pernikahan yang absah secara agama, sebab
memenuhi syarat dan rukunnya secara syar’i. Demikian pula dengan poligami
yang telah memenuhi syarat-syarat sah secara syar’i. Kemudian kewajiban
pencatatan perkawinan dan pemberian sanksi pidana bagi yang melanggarnya
menurut mereka menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, selama ini
sebagian masyarakat telah mempraktikkan bentuk pernikahan tersebut selama
puluhan tahun.18
Akibat pemahaman tersebut maka timbul dualisme hukum yang berlaku,
di satu sisi perkawinan harus dicatatkan dan di sisi lain perkawinan tanpa
dicatatkan pun tetap diakui dimasyarakat. Sebenarnya, jika ditinjau dari
perspektif hukum nasional dan hukum Islam, pencatatan perkawinan memiliki
tujuan-tujuan kemaslahatan. Dari perspektif peraturan perundang-undangan,
perkawinan haruslah dicatatkan, sebab tujuan hukum pencatatan dalam sistem
hukum nasional ialah demi tercapainya kedamaian hidup antar pribadi19
dan
ketertiban perkawinan.
18
Sumber: http://kabarnet.in/2010/02/23/nikah-siri-diributkan-zina-siri-dibebaskan/ diakses
pada tanggal 24 Juli 2014 19
Purnadi Purbacaraka, dkk, Perihal Kaedah Hukum, h.50. Dalam buku ini dijelaskan bahwa
kedamaian hidup meliputi 2 (dua) hal, yaitu ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenagan intern
pribadi. Kedua hal ini memiliki hubungan dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi-
tunggal yang merupakan sepasang nilai yang tidak jarang bersitegang, yaitu memberikan kepastian
dalam hukum (certainty/zekerheid), memberikan kesebandingan dalam hukum (equity/billijkheid),
disamping itu juga memberikan nilai keakhlakan (spiritualism) dan nilai kepentingan kebendaan
(materialism), dan nilai kebaruan (inovatism) dan nilai kelanggengan (conservatism).
72
Ditinjau dari perspektif hukum Islam, pencatatan perkawinan sebagai
kebijakan pemerintah mengandung kemaslahatan, sebagaimana dikenal dalam
kaidah fiqih “ صمللحةةترصف الإ مام عيل الرعية منوط اب ”, suatu tindakan
(peraturan) pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan
umat.20
Dengan demikian, ketundukan terhadap peraturan tersebut merupakan
suatu keharusan.21
Menurut Quraish Shihab, perintah pencatatan perkawinan
tidak bertentangan bahkan sejalan dengan semangat al-Quran.22
B. Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di
Indonesia.
Di dalam hukum pencatatan perkawinan terkandung nilai kepastian
hukum. Hal ini dapat ditemukan pada salah satu prinsip perkawinan dalam UU
No. 1 Tahun 1974, yaitu asas legalitas. Selain berfungsi sebagai penertiban
administrasi dan perlindungan hukum bagi masing-masing suami istri, asas
legalitas dalam perkawinan juga mempermudah para pihak dalam melakukan
kontrol terhadap pelaksanaan undang-undang perkawinan. Menurut Amin
Suma, asas legalitas dalam perkawinan seyogianya dipahami tidak dalam
20
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2003), h.130. 21
Lihat Quran Surat al-Nisa ayat 59 :”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” 22
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.158. Disadur dari M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan,
1996) h.204.
73
konteks admintrasi semata, idealnya juga harus dipahami bahwa ia memiliki
nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam pengertian pencatatan
perkawinan.
Labih lanjut, menurut beliau, pencatatan perkawinan justru turut
menentukan sah tidaknya sebuah akad nikah yang dilangsungkan sepasang laki-
laki dan perempuan. Sehingga, dengan penerapan asas legalitas ini sebagai
salah satu asas dalam perkawinan, maka perkawinan tidak tercatat atau
perkawinan di bawah tangan di masyarakat manapun dapat ditekan sedemikian
rupa. Dari sisi syar’i, pelegal-fomalan asas legalitas juga sangat ditopang oleh
teks wahyu dalam kaitan ini surat al-Baqarah ayat 282:
…….
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya……. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)
Walaupun ayat di atas diturunkan dalam konteks pencatatan dan
pembukuan ekonomi perdagangan, khususnya yang dilakukan dalam bentuk
perkreditan/hutang-piutang, namun tidak ada hambatan apa pun untuk
menerapkan aktivitas administrasi (catat-mencatat) ini dalam transaksi-transaksi
lainnya, termasuk di dalamnya akad nikah.23
23
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2004), h.188.
74
Dengan demikian, suatu perkawinan haruslah dicatatkan sehingga
menjadi perkawinan yang diakui secara legal-formal. Perkawinan yang
dicatatkan mendapatkan akte nikah, di mana akte tersebut adalah merupakan
bentuk pengakuan negara secara legal-formal sebagaimana dimaksud. Suatu
waktu akte tersebut dapat digunakan sebagai bukti, misalnya, jika terjadi
perceraian antara suami isteri.
Memang dalam hukum perkawinan Islam, pembuktian dengan akte nikah
tidak ditemukan, yang ada hanyalah pembuktian dengan saksi. Kedudukan
saksi dalam perkawinan berfungsi untuk menjamin kepastian hukum dan
menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian
hari.24
Di samping itu, keberadaan saksi menurut Ahmad Safwat25
bertujuan
sebagai pengumuman kepada khalayak ramai (public).26
Namun demikian, posi atau kedudukan saksi yang masuk dalam satu
syarat sah perkawinan menghalangi masuknya akte perkawinan sebagai salah
satu syarat sah perkawinan. Bila disandingkan, saksi dan akte memiliki posisi
yang sama penting dalam sebuah perkawinan, yaitu sebagai alat bukti. Bahkan,
menurut Khoiruddin Nasution, kehadiran pencatatan perkawinan dapat
24
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.81. 25
Ahmad Safwat adalah seorang sarjana Mesir yang mendorong pembaruan hukum perkawinan
di Mesir. Menurutnya, dalam hukum perkawinan, pencatatan perkawinan diharuskan berdasarkan pada
pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum ini tidak
berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna
(efisien). Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih
diutamakan. 26
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.161.
75
mengganti kehadiran saksi sebagai rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya
perkawinan.27
Bila dibandingkan, antara urgensitas saksi dan pencatatan perkawinan,
maka pencatatan berdasarkan pendapat di atas, lebih relevan dalam penegakan
hukum di Indonesia. Urgensitas itu terlihat dari maslahat pencatatan, yang oleh
Rafiq disebut manfaat berisfat preventif dan represif. Secara preventif,
pencetatan perkawinan dilakukan untuk menanggulangi agar tidak terjadi
kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut
hukum dan kepercayaan itu, maupun menurut per-UU-an.28
Secara represif,
pencatatan bertujuan untuk meminimalisir perkawinan yang tidak dapat
dibuktikan karena tidak dicatat.29
Perkawinan tidak dicatat merupakan perkawinan yang sering kali
menimbulkan madharrat terhadap istri dan/atau anak.30
Perkawinan seperti ini
jelas bertentangan dengan maqashid al-syari’ah dalam mewujudkan maslahat
manusia, tertuama dalam rangka hifdz an-nafs, hifdz al-nasl, dan hifdz al-mal.
Dalam rangka hifdz an-nafs, melalui perkawinan seorang laki-laki dan
perempuan hidup saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
27
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.165. 28
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.111. 29
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.117. 30
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.49.
76
spiritual dan materil.31
Keadaaan tersebut tentu harus ditopang dan diperkuat
oleh norma hukum yang berlaku.
Kemudian, dalam rangka hifdz al-nasl, pencatatan merupakan salah satu
sarana untuk melindungi keturunan dalam perkawinan. Pencatatan dirasa perlu
untuk memberi kepastian hukum terhadap kedudukan nasab.32
Dalam kasus
perkawinan tidak dicatat, kedudukan anak menjadi terancam dalam beberapa
hal tertentu, seperti hilangnya hak nafkah dan waris. Jika ini terjadi, tentu
bertentang dengan ajaran Islam yang memandang bahwa kemurnian nasab
sangat penting, karena hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga,
baik hukum perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya.33
Dan dalam rangka hifdz al-mal, bawha dalam kasus seorang istri yang
dicerai atau ditinggal mati oleh suami, maka berhak atas segala harta yang
diperoleh selama ikatan perkawinan. Pentingnya harta adalah untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari demi keberlangsungan hidup. Hal ini perlu disadari,
sebab salah satu kebutuhan fundament manusia adalah safety of self and
property.34
Karena harta merupakan hak yang harus diperoleh istri
sepeninggalan suami baik karena cerai atau meninggal dunia, maka ia harus
dibuktikan status perkawinannya.
31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.25. 32
Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h.10. 33
Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, h. 7. Beberapa derivasi dari hak
kewarisan meliputi hak nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah dan hak mendapatkan warisan,
bahkan konsep kemurhiman dalam Islam akibat hubungan perkawinan (persemendaan). 34
Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, h.5.
77
Dalam masyarakat (Islam) tradisional, pembuktian perkawinan cukup
dengan memanggil saksi saat perkawinannya mereka dilakukan. Melalui jalan
musayawarah dari kedua belah pihak, permasalahan pembuktian dapat
terselesaikan. Namun, berbeda halnya dengan masyarakat (Islam) modern,
ketika perselisihan harta tidak dapat terselesaikan dengan jalan musyawarah
keluarga, maka penyelesaiannya dilakukan di pengadilan. Dalam penyelesaian
di pengadilan ini, baik pihak suami maupun istri harus mampu membuktikan
perkawinan mereka. Bila perkawinan mereka dapat dibuktikan dengan akta
nikah, penyelesaian perselisihan harta akan menjadi mudah dan pasti. Adapun
jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, penyelesaian
perselisiahan menjadi sulit, bahkan menimbulkan kerugian kepada pihak istri.
Telah kita ketahui bersama, bahwa perkawinan yang tidak memiliki akta
nikah, cenderung dilakukan di bawah tangan atau tanpa sepengetahuan Pegawai
Pencatat Nikah. Jika merujuk pada fatwa MUI, perkawinan di bawah tangan ini
hukumnya adalah sah karena memenuhi rukun dan syarat, tetapi menjadi haram
jika menimbulkan madharrat. Oleh sebab itu, maka perkawinan harus
dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah untuk
menolak dampak negatifnya.35
Dampak negatif timbul manakala terjadi perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan atau syiqaq antara suami dan istri, maka pihak lain tidak dapat
35
Asrorun Ni’am Sholeh,Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.49.
78
melakukan upaya hukum “pembelaan diri”, karena tidak memiliki bukti-bukti
yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.36
Lebih
memprihatinkan lagi adalah jika tidak diakuinya seorang istri, tidak berhak atas
nafkah, dan waris serta anak yang dilahirkan juga dianggap tidak sah.37
Padahal, pencatatan secara administratif dilakukan oleh negara dengan
maksud agar perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang
sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh
negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari perkawinan dapat terselenggara
secara efektif dan efisien. Di samping itu, pembuktian otentik ini melindungi
kepentingan masing-masing suami-istri sehingga terlayani dengan baik, karena
tidak diperlukan proses permbuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan
pikiran lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal
55 UU No. 1/1974.38
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di
dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan apek fikih saja,
tetapi aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.
Dengan demikian dapat terwujud ketertiban dan keadilan dalam perkawinan.39
Kebijakan tersebut, tentu tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip hukum
Islam, bahkan dapat dikatakan sejalan. Sebab, suatu tindakan (peraturan)
36
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.110. 37
Muhammad Zain, dkk, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h.39 38
Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, h.145. 39
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.117.
79
pemerintah berintikan jaminan kepentingan dan kemaslahatan umat manusia,
,” ترصف الإ مام عيل الرعية منوط اباصمللحةة“40
Melalui pencatatan perkawinan juga, segala mudharat yang timbul dalam
perkawinan dapat diminimalisir. Sebaliknya, jika perkawinan tidak dicatat akan
timbul mudharat daripadanya. Potensi mudharat ini dalam hukum Islam harus
dihilangkan, sebagaimana dikenal dalam kaidah fiqh “الرضر يزال”. Lebih dari
itu, bahkan Islam sendiri memerintahkan agar tidak melakukan kemudharatan
kepada orang lain dan/atau membalas kemudharatan dengan kemudharatan
.”لرضر ولرضار“41
Selain itu, menurut Bagir Manan, fungsi dan kedudukan
pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order)
yang berfungsi sebagai instrument kepastian hukum dan kemudahan hukum.42
C. Pandangan Penulis Tentang Pencatatan Perkawinan
Di Indonesia, pencatatan perkawinan merupakan norma yang
terkodifikasi dalam peraturan per-UU-an43
, yaitu dalam UU No. 1 Tahun 1974,
Permen No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, dan
Kompilasi Hukum Islam. Norma berlaku secara nasional, karena, hukum dalam
artian undang-undang adalah hukum nasional. Dikatakan demikian karena
40
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, h.130. 41
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam,h.78. 42
Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatatkan, h.159. 43
Lihat pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, pasal 5 Kompilasi Hukum Islam
80
hukum macam ini diberlakukan sebagai standar untuk rujukan sentral perilaku
warga negara. Hukum ini dibentuk secara sengaja dan rasional melalui
kesepakatan antara wakil-wakil rakyat dalam badan legislative.44
Rasionalitas Pen-taqnin-an pencatatan perkawinan ini dapat terjadi karena
dipengaruhi oleh perkembangan hukum modern, yaitu hukum tertulis (codified
law) sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo.45
Upaya kodifikasi ini
dilakukan secara lengkap dan sistematis dalam undang-undang, dengan tujuan
untuk memperoleh kepastian hukum, pernyederhanaan hukum dan kesatuan
hukum.46
Menurut Amin Suma, kodifikasi hukum dalam pandangan hukum
Islam sesungguhnya didukung sebagai respon perkembangan zaman modern.47
Dengan demikian, dapat dikonklusikan, bawah tidak terdapat
pertentangan tentang norma pencatatan perkawinan antara hukum nasional dan
hukum Islam. Sebab itu, menaati perintah norma tersebut berarti menaati ajaran
agama Islam dan melaksanakannya merupakan suatu keharusan. Karena,
hukum “pencatatan perkawinan” melindungi kepentingan-kepentingan manusia
yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, keturunan, dsb.
terhadap yang merugikannya.48
44
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyrakat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.19. 45
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.171. 46
C.S.T. Kansil, Penganar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1989), cet. Ke-8, h.72. 47
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.171. 48
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2011), cet. Ke-
34, h.11.
81
Dalam ikatan perkawinan, terdapat kewajiban yang harus ditunaikan baik
suami maupun istri, begitu pula hak masing-masing yang dapat dituntut
sewaktu-waktu jika tidak dipenuhi. Dalam sistem hukum kekeluargaan di
Indonesia,49
hak dan kewajiban tersebut dapat ditemukan dalam Undang-
Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.50
Manakalah kewajiban
tidak ditunaikan atau sulitnya memperoleh hak oleh salah satu pihak, maka
pihak lain dapat menuntut dengan dalih bahwa mereka benar-benar memiliki
hubungan yang sah dengan dibuktikan melalui akta nikah.
Namun, menjadi persoalan adalah ketika salah satu pihak tidak dapat
menuntut haknya karena perkawinan tidak dapat dibuktikan atau tidak valid.
Hal semacam ini tentu memicu konflik hubungan perkawinan di antara
keduanya. Secara teoritis, dalam Islam ketika timbul konflik antara suami istri,
maka penyelesaiannya dengan mamanggil keluarga dari kedua belah pihak
menjadi hakam, yaitu dari pihak perempuan dan laki, untuk memberikan
nasihat.51
Penyelesaian konflik semacam ini bersifat tradisional sebab tidak
memerlukan proses litigasi.52
49
Hukum kekeluargaan yang dimaksud adalah hukum tertulis (codified law). 50
Lihat pasal 30 s/d 34 UU No. 1/1974 dan pasal 77, 78, 79, 80, 81, dan 83 Kompilasi Hukum
Islam. 51
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 242. Proses penyelesaian seperti ini ditemukan
dalam al-Quran, surat an-Nisa ayat 35. 52
Penyelesaian kasus dengan cara non-litigasi ini bersifat sederhana dan tidak memakan waktu
dan biaya banyak. Penyelesaiannya cenderung lebih cepat. Namun bukan berarti penyelesaian konflik
perkawinan dengan cara ini bukan berarti tidak mengandung persoalan, jika konflik selesak dengan
perceraian maka akan menimbulkan kerugian terutama kaum wanita.
82
Sebaliknya, jika penyelesaian konflik menuntut adanya proses litigasi,
maka kedua belah pihak harus mempersiapkan segala hal yang berkaitan
dengan kebutuhan-kebutuhan penyelesaian konflik. Salah satunya adalah alat
bukti perkawinan berupa akta nikah.53
Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan,
maka ia tidak memiliki bukti berupa akta nikah. Sebaliknya, suatu perkawinan
yang dicatatkan memiliki bukti tersebut.54
Dalam penyelesaian konflik melalui
litigasi ini, bukti tertulis merupakan sesuatu yang niscaya adanya.
Dalam hukum acara Peradilan Agama55
pembuktian tertulis memiliki
tempat dalam urutan pertama.56
Artinya, bahwa, akta nikah dalam hal ini
merupakan bukti utama dibutuhkan dalam penyelesaian konflik dalam rumah
tangga. Hal ini sejalan dengan pendapat Khoiruddin Nasution, yaitu, catatan
akad nikah (akta nikah) dapat dijadikan bukti otentik untuk menjamin hak-hak
para pihak yang terlibat dalam dan akibat dari perkawinan.57
Kemudian dari pada itu, suatu perkawinan yang dapat dibuktikan
mempermudah segala aspek yang berkaitan dengan hukum kekeluargaan,
seperti hadanah (hak asuh anak), nafkah, waris dan pembagian harta bersama.
53
Lihat pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.” 54
Dalam bab II sub bahasan pengertian pencatatan perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan
perkawinan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki
dalam perkawinan untuk mendapatkan akta nikah. 55
Lihat pasal Pasal 54 UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama: “Hukum Acara yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini.” 56
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.556. 57
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 167
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pencatatan perkawinan dalam dalam hukum nasional, yaitu mewujudkan
ketertiban perkawinan. Ketertiban perkawinan dimaksud adalah
terjaminnya kepastian hukum dan kemudahan hukum. Yang dengan itu,
segala aspek berkaitan dengan perkawinan semakin mudah diakses.
2. Tujuan pencatatan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
mengandung relevansi dengan mashlahah (kebaikan/kemanfaatan) dalam
pandangan al-Syathibi. Relevenasinya terletak pada perlindungan hak dan
kewajiban masing-masing suami istri, yaitu dalam hal perlindungan jiwa
(hifdz al-nafs), melindungi hak nafkah, harta bersama, waris, (hifdz al-
mal), hak anak (hifdz al-nasl). Secara universal, hubungan pencatatan
perkawinan dengan teori mashlahat ini terlihat dalam pengutamaan
kebaikan dan menghindari keburukan. Sebuah pencatatan lebih besar
mengandung mashlahat dibanding mafsadah.
3. Pencatatan perkawinan harus dijadikan syarat sah sebuah perkawinan dan
harus didukung pula oleh infrastrukur hukum yang berlaku. Sebuah
pencatatan perkawinan akan terealisasikan dengan baik, manakala
perdebatan-perdebatan mengenai perlu tidaknya pencatatan perkawinan
sebagai syarat sah atau sebagai syarat administrasi semata diakhiri. Di
84
samping itu, perlu dorongan dari penegak hukum pada masyrakat bawah
agar tidak semata-mata sadar hukum melainkan juga meningkatkan
perilaku taat hukum terhadap pencatatan perkawinan.
B. Saran
1. Ulama dan pemerintah agar terus mendorong masyarakat melakukan
pencatatan perkawinan, mengingat pencatatan mengandung kemaslahatan
bagi pelakunya.
2. Pemerintah agar lebih serius melayani masyarakat dalam pencatatan
perkawinan demi mewujudkan kemaslahatan keluarga dengan menindak
pihak-pihak yang tidak mencatatkan perkawinan.
3. Pemerintah agar mempermudah sarana-sarana pendukung pelayanan
pencatatan perkawinan, melihat beberapa masyarakat daerah masih sulit
menjangkau lokasi pelayanan pencatatan perkawinan.
85
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan,
(Jakarta: Akademika Pressindo, 1986)
Ali, Mohaammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Ali, Zanuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007),
cet. Ke-2
Alimin, dkk, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia, (Jakarta: Orbit,
2013)
al-Syathibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Lebanon: Dar Al-Kibat
Bairut, 2004)
Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008)
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2011),
cet. Ke-34
Arifin, Jaenal, dkk, Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar’i, (UIN Jakarta Press,
2006)
86
Baderin, Mashood A., Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam,
(Jakarta: Komnas HAM, 2013) edisi terjemah, cet. Ke-3
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: LPH, 1996), bag. Pertama
Fachrudiin, Fuan Mohd., Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Pedoman
Ilmu Jaya, 1992)
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2005)
Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. ke-5
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), ed. Terjemah, cet. Ke-2
Haq, Hamka, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-
Muwafaqat, (Erlangga, 2007)
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 2001) cet. Ke-3
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003)
Irfan, Nurul, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2013)
Jubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, (Jakarta;
Sinar Grafika, 2010), Cet. Ke-II
Kansil, C.S.T., Penganar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1989), cet. Ke-8
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), edisi
terjemah
87
Kompilasi Hukum Islam, Depertemen Agama; Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembegaan Agama Islam, Tahun 1997/1998
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam
Dua Pertanyaaan, 2008
Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet. Ke-
12
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006)
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009)
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010)
Masud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka, 1996)
Mugits, Abdul, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta: CV Artha Rivera)
Nabil Muhammad Taufik as-Samaluti, Pengaruh Agama Terhadap Struktur
Keluarga, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987)
Nuruddin, Amiur, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2006),
cet. Ke-3
Purbacaraka, Purnadi, dkk, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1993), cet. Ke-6
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat, Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012).
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
88
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:
eLSAS, 2008)
Soekanto, Soerjono, dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1985)
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
Sosroatmodjo, Arso, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
)
Sostroatmodjo, Arso, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bulan Bintang,
1975)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2010), cet. Ke 34
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004)
Susanto, Happy, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan
dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1993), terjemah
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009),
cet. Ke 3
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UIP, 2007)
Tihami, H.M.A., Fiqih Munakahat, (Jakarta, Rajawali pers, 2009)
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana, 2008)
Usman, Suparman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
89
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum dalam Masyrakat, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013)
Yusar, M., Makalah, Pencatatan Perkawinan: Sebuah Tinjauan Yuridis Menurut
Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Zain, Muhammad, dkk, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta,
2005)
SKRIPSI
Arif, Muhammad Zuhdi, Kesadaran Hukum Masyarakat Desa Cibatok Satu
Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Terhadap Pencatatan
Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011)
Fauzi, Nur, Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan Cipedak Kecamatan
Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan, (Skripsi: UIN Sayrif
Hidayatullah Jakarta, 2011)
Savitri, Isti Astuti, Efektifitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA Kecamatan Bekasi
Utara, (Skripsi: UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta, 2011)
MAKALAH
Jasmani Muzajin, Fenomena Nikah Sirri dalam Sebuah Negara Hukum, Makalah
INTERNET
http://www.scribd.com/doc/58154536/KOMENTAR-RUU-HMPA, diakses pada
tanggal 24 Juli 2014
90
http://kabarnet.in/2010/02/23/nikah-siri-diributkan-zina-siri-dibebaskan/ diakses pada
tanggal 24 Juli 2014
http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-dalam-sistem-hukum-nasional-
dan-pergulatannya/43, diakses pada 18 Juli 2014
http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-
indonesia/49, diakses pada tanggal 20 Juli 2014.
http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-
indonesia/49, diakses pada tanggal 20-7-2014
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/27/mivkvw-ribuan-
pasangan-nikah-bawah-tangan, Diakses pada tanggal 27-2-2014