pemilihan dan perancangan unit pengolahan lumpur …

19
PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR DI IPA LEGONG (PDAM TIRTA KAHURIPAN) Okita Miraningrum Nur Atsari, Irma Gusniani D., dan Djoko M. Hartono Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok 16424 E-mail: [email protected] Abstrak Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, limbah akhir dari proses pengolahan air wajib diolah sebelum dibuang. IPA Legong di bawah PDAM Tirta Kahuripan selama ini langsung membuang lumpurnya ke badan air (Sungai Ciliwung) tanpa pengolahan apapun. Dalam penelitian ini, ada empat alternatif yang dibuat dan pemilihan berdasarkan pertimbangan kebutuhan lahan, volume dry cake, pengoperasian, dan biaya. Alternatif yang terpilih adalah alternatif 1, terdiri dari 1 bak ekualisasi, 1 gravity thickening,1 sludge conditioning tank, 1 belt filter press, 1 bak penampung lumpur, dan 1 bak supernatan dengan menerapkan resirkulasi air cucian filter dan supernatan menjadi air baku sehingga lumpur yang diolah hanya berasal dari unit sedimentasi. Debit lumpur dari instalasi konvensional sebesar 382,87 m 3 /hari, sedangkan debit lumpur dari instalasi heksakoloidal sebesar 191,43 m 3 /hari. Data kuantitas dan kualitas lumpur diperoleh melalui pengukuran di lapangan. Perkiraan kebutuhan lahan yang diperlukan adalah sebesar 420 m 2 . Kata kunci: IPA Legong; Timbulan Lumpur; Unit Pengolahan Lumpur THE CHOOSING AND DESIGNING OF SLUDGE TREATMENT UNIT IN LEGONG WATER TREATMENT PLANT (PDAM TIRTA KAHURIPAN) Abstract Based on Government Regulation Number 16 Year 2005, waste produced from water treatment process must be treated before discharging. Legong Water Treatment Plant, under PDAM Tirta Kahuripan, discharge the sludge directly into stream water Ciliwung without any treatment. In this research, there are four alternatives sludge treatment made and the choosing done based on land area, dry cake volume, operational and maintenance, and financial criteria. The choosen alternative is first alternative, consists of 1 equalization tank, 1 gravity thickener, 1 sludge conditioner tank, 1 belt filter press, 1 dry cake tank, and 1 supernatant tank by applying filter backwash waste recycle into raw water so the sludge that flows into treatment unit only comes from sedimentation unit. Sludge generation from conventional installation is 382.87 m 3 /day and from hexacoloidal installation is 191,43 m 3 /day. Sludge quantity and quality data obtained from direct measurement. Land area needed for sludge treatment approximately is 420 m 2 . Keywords: Legong Water Treatment Plant; Sludge Generation; Sludge Treatment Unit Pendahuluan Permasalahan mengenai apa yang harus dilakukan dengan lumpur yang dihasilkan dari proses koagulasi konvensional dari pengolahan air minum telah mendapat perhatian khusus selama beberapa dekade (Neubauer, 1968 dalam Verrelli et al., 2009). Pasal 9 ayat 3 Peraturan Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR DI IPA LEGONG (PDAM TIRTA KAHURIPAN)

Okita Miraningrum Nur Atsari, Irma Gusniani D., dan Djoko M. Hartono

Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas

Indonesia, Kampus Baru UI Depok 16424

E-mail: [email protected]

Abstrak Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, limbah akhir dari proses pengolahan air wajib diolah sebelum dibuang. IPA Legong di bawah PDAM Tirta Kahuripan selama ini langsung membuang lumpurnya ke badan air (Sungai Ciliwung) tanpa pengolahan apapun. Dalam penelitian ini, ada empat alternatif yang dibuat dan pemilihan berdasarkan pertimbangan kebutuhan lahan, volume dry cake, pengoperasian, dan biaya. Alternatif yang terpilih adalah alternatif 1, terdiri dari 1 bak ekualisasi, 1 gravity thickening,1 sludge conditioning tank, 1 belt filter press, 1 bak penampung lumpur, dan 1 bak supernatan dengan menerapkan resirkulasi air cucian filter dan supernatan menjadi air baku sehingga lumpur yang diolah hanya berasal dari unit sedimentasi. Debit lumpur dari instalasi konvensional sebesar 382,87 m3/hari, sedangkan debit lumpur dari instalasi heksakoloidal sebesar 191,43 m3/hari. Data kuantitas dan kualitas lumpur diperoleh melalui pengukuran di lapangan. Perkiraan kebutuhan lahan yang diperlukan adalah sebesar 420 m2. Kata kunci: IPA Legong; Timbulan Lumpur; Unit Pengolahan Lumpur THE CHOOSING AND DESIGNING OF SLUDGE TREATMENT UNIT IN LEGONG

WATER TREATMENT PLANT (PDAM TIRTA KAHURIPAN)

Abstract Based on Government Regulation Number 16 Year 2005, waste produced from water treatment process must be treated before discharging. Legong Water Treatment Plant, under PDAM Tirta Kahuripan, discharge the sludge directly into stream water Ciliwung without any treatment. In this research, there are four alternatives sludge treatment made and the choosing done based on land area, dry cake volume, operational and maintenance, and financial criteria. The choosen alternative is first alternative, consists of 1 equalization tank, 1 gravity thickener, 1 sludge conditioner tank, 1 belt filter press, 1 dry cake tank, and 1 supernatant tank by applying filter backwash waste recycle into raw water so the sludge that flows into treatment unit only comes from sedimentation unit. Sludge generation from conventional installation is 382.87 m3/day and from hexacoloidal installation is 191,43 m3/day. Sludge quantity and quality data obtained from direct measurement. Land area needed for sludge treatment approximately is 420 m2. Keywords: Legong Water Treatment Plant; Sludge Generation; Sludge Treatment Unit Pendahuluan Permasalahan mengenai apa yang harus dilakukan dengan lumpur yang dihasilkan dari proses

koagulasi konvensional dari pengolahan air minum telah mendapat perhatian khusus selama

beberapa dekade (Neubauer, 1968 dalam Verrelli et al., 2009). Pasal 9 ayat 3 Peraturan

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 2: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

menyebutkan bahwa limbah akhir dari proses pengolahan air baku menjadi air minum wajib

diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sumber air baku dan daerah terbuka.

Proses koagulasi konvensional merupakan proses dengan penambahan bahan kimia sehingga

residu yang terbentuk dari proses tersebut digolongkan sebagai limbah berbahaya. Mengacu

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan

Beracun pada pasal 9 ayat 3 disebutkan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3

wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan teknologi yang ada.

Dalam sebuah penelitian di Brazil disebutkan bahwa dari hasil uji lumpur sisa proses

pengolahan air bersih dapat menyebabkan penurunan kualitas air dan efek kronis pada

ekosistem perairan sehingga dibutuhkan pengolahan lumpur sebelum dibuang ke lingkungan.

Paparan jangka panjang dari lumpur besi menyebabkan kematian dan penurunan reproduksi

daphnids, sedangkan lumpur alum hanya menyebabkan penurunan reproduksi organisme uji

(Sotero-Santos et al., 2005).

Tinjauan Teoritis Pada umumnya, unit pengolahan air bersih yang menghasilkan lumpur adalah unit pra

sedimentasi (dengan penambahan oksidan koagulan sebelumnya), unit sedimentasi (lumpur

koagulan), dan unit filtrasi (berupa air cucian filter).

Gambar 1. Unit Pengolahan Air Bersih Penghasil Lumpur Sumber: AWWA, 2010

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 3: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Tipe residu yang dihasilkan dari pengolahan air bersih di Indonesia umumnya berupa lumpur,

hal ini dikarenakan proses pengolahan yang digunakan bertujuan untuk menghilangkan

kandungan padatan tersuspensi yang berasal dari air baku (Pratami, 2011).

Crittenden et al. (2012) memberikan bahwa estimasi total lumpur yang diproduksi dalam satu

instalasi merupakan hasil penjumlahan berikut:

Total lumpur = lumpur koagulan + lumpur suspended solid +

lumpur dari bahan kimia (persamaan 1)

Perhitungan produksi lumpur dari masing-masing sumber menggunakan persamaan berikut:

!"#$"%  !"#$%&#'  !"ℎ!"# =

!!"#$%&%#!!!

!×!"#$#  !"#$%&#' !"

!×!   (persamaan 2)

!"#$"%  !"!#$%&$&  !"#$%!  !"ℎ!"# =

!!"#$%&%#!!!

!×!"!"#$ℎ!" !"# ×! (persamaan 3)

!"#$"%  !"#$  !"#$%&$ℎ!"  !"#$%&' =

!!"#$%&%#!!!

!×!"#$#  !"#$%&' !"

!×! (persamaan 4)

Di mana C adalah konstanta kuantitas produksi lumpur dan A adalah rasio TSS dengan

kekeruhan. Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa produksi lumpur sangat tergantung

pada kualitas air baku (berupa kekeruhan dan padatan tersuspensi) dan penggunaan bahan

kimia. Penggunaan polimer pada proses pengolahan air bersih akan menambah jumlah

produksi lumpur. Tabel 1. Konstanta Tipikal untuk Estimasi Produksi Lumpur

Sumber Satuan Nilai Tipikal Ferric sulfate, Fe2(SO4)3 kg lumpur/kg koagulan 0,53 Ferric chloride, FeCl3 kg lumpur/kg koagulan 0,66 PACl kg lumpur/kg PACl 0,0489 x (Al, %) Penambahan polimer kg lumpur/kg koagulan 1

Turbidity removal mg TSS/NTU yang dihilangkan 1,4

Sumber: Crittenden et al. (2012)

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 4: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Perkalian kekeruhan dengan A merupakan persamaan yang digunakan untuk menunjukkan

kaitan antara tingkat kekeruhan dengan padatan tersuspensi dalam air baku. Nilai A dapat

bervariasi antara 0,7 sampai 2,2 (Cornwell et al., 1987 dalam Letterman, 1999), namun yang

umumnya digunakan adalah 1,4 (Crittenden et al., 2012).

Volume lumpur dapat diestimasi dengan persamaan berikut yang menunjukkan kaitan massa

lumpur kering dengan volume lumpur:

∀  =   !!!!!!"!!

(persamaan 5)

di mana,

∀  : volume (m3)

Ms : massa padatan kering (kg)

ρw : massa jenis air (103 kg/m3)

Ssl : specific gravity lumpur

Ps : persentase padatan (ditulis dalam desimal)

Sedangkan specific gravity lumpur basah dapat dihitung dengan persamaan berikut

(Crittenden et al. 2012): !!!!!!

= !!

!!!!+ !!

!!!! (persamaan 6)

di mana,

Ws : massa total padatan kering, kg

Ss : specific gravity padatan

Dari nilai specific gravity lumpur basah (Ssl) dapat diperoleh nilai densitas lumpur basah

yang dihasilkan dari proses pengolahan air bersih. Perhitungan densitas lumpur basah tersebut

dapat diperoleh dengan cara berikut (Crittenden et al., 2012):

!!" = !!!!"   (persamaan 7)

di mana,

ρsl : densitas lumpur, kg/m3

ρw : densitas air, kg/m3

Ssl : specific gravity lumpur

Dalam perhitungan keseimbangan massa dan volume, digunakan software STAN (Substance

Flow Analysis). Software ini dapat digunakan untuk menganalisa aliran material (material

flow analysis). Setelah membuat model grafis dari komponen yang sudah ditentukan dan

memasukkan data yang dibutuhkan seperti aliran massa, konsentrasi, dan koefisien transfer

maka dapat disimulasikan keseimbangan massa atau volume dari suatu sistem. Software ini

dapat diterapkan pada berbagai sistem yang membutuhkan analisa aliran material, sehingga

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 5: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

dapat digunakan untuk analisa keseimbangan massa dan volume pada instalasi pengolahan

lumpur.

Untuk menghitung keseimbangan volume lumpur, dibutuhkan data debit lumpur. Salah satu

cara pengukuran debit yang sederhana dan tidak mahal adalah metode apung (float method).

Metode ini menerapkan prinsip pengukuran kecepatan permukaan. Rata-rata kecepatan

diperoleh dengan faktor koreksi. Prinsip dasar metode ini adalah mengukur waktu yang

diperlukan untuk mengalirkan suatu benda pada jarak tertentu.

!!"#$%&' =!"#"$  (!)!"#$%  (!)

(persamaan 8)

Karena kecepatan permukaan umumnya lebih besar dibanding kecepatan rata-rata, maka

kecepatan rata-rata diperoleh dengan mengalikan kecepatan permukaan dengan koefisien (k)

yang umumnya berkisar antara 0,8 untuk permukaan kasar sampai 0,9 untuk permukaan

halus, umumnya digunakan 0,85.

Debit akan diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

! = !×!!"#"!!"#" (persamaan 9)

di mana,

Q : debit, m3/s

A : luas penampang melintang, m2

vrata-rata : kecepatan rata-rata yang sudah dikalikan dengan koefisien, m/s. Metode Penelitian. Data yang dikumpulkan ada dua jenis yakni data primer yang diperoleh dengan pengambilan

sampel di lapangan dan pengukuran langsung, sedangkan data sekunder diperoleh dari PDAM

Tirta Kahuripan. Sampel yang diambil berupa lumpur sisa proses unit sedimentasi dan air

cucian filter pada unit filtrasi dari instalasi konvensional dan heksakoloidal. Perbedaan

instalasi konvensional dengan heksakoloidal terdapat pada unit flokulasi, sistem pencucian

filter, dan debit air yang di olah. Instalasi konvensional menggunakan flokulator jenis

horizontal baffle, sistem pencucian filter dengan menggunakan pompa, dan mempunyai

kapasitas instalasi maksimal sebesar 330 L/detik, sementara instalasi heksakoloidal

menggunakan flokulator jenis heksagonal, sistem pencucian filter dengan memanfaatkan

grravitasi, dan mempunyai kapasitas terpasang sebesar 100 L/detik.

Hasil dan Pembahasan

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 6: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Desain unit pengolahan lumpur direncanakan untuk satu tahap pembangunan dengan asumsi

tidak ada pegembangan instalasi. Instalasi konvensional selama ini mengolah debit sebesar

260 L/detik, sedangkan instalasi heksakoloidal mengolah debit sebesar 100 L/detik.

Dalam membuat desain unit pengolahan lumpur, hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas

dan kualitas lumpur. Kuantitas lumpur yang dihitung berupa massa dan debit lumpur yang

kemudian dicari kaitan antara keduanya.

Perhitungan produksi massa lumpur menggunakan persamaan 1, 2, dan 3. Tidak ada

penambahan polimer di Instalasi Legong sehingga tidak ada perhitungan produksi lumpur

akibat polimer. Koagulan yang digunakan adalah PAC dengan persentase kandungan

aluminium sebesar 16,4%, sehingga konstanta produksi lumpur sebesar 0,8 (Letterman,

1999). Menurut Malhotra (1994), penggunaan PAC sebagai koagulan memberikan

keuntungan berupa koagulasi yang lebih cepat pada berbagai tingkat kekeruhan dan

menghasilkan lumpur alum yang lebih sedikit.

Perhitungan produksi massa lumpur dilakukan untuk keadaan pada waktu tahun 2013

berdasarkan data dosis koagulan dan kekeruhan air baku. Tabel 2. Dosis Koagulan di IPA Legong Tahun 2013

Bulan Total Pemakaian PAC (kg)

Total Volume Air Baku (m3)

Dosis PAC (untuk satu

instalasi) (mg/L)

Januari 57.585 916.601 31,41

Februari 42.570 950.685 22,39

Maret 40.340 861.237 23,42 April 51.050 968.271 26,36

Mei 45.375 939.641 24,14

Juni 46.695 974.655 23,95

Juli 40.105 958.752 20,92 Agustus 48.840 909.299 26,86

September 53.608 944.084 28,39

Oktober 58.395 935.361 31,22 November 50.825 1.004.895 25,29

Desember 45.705 949.752 24,06 Sumber: PDAM Tirta Kahuripan (2013) Tabel 3. Data Kekeruhan Air Baku Januari-September 2013

Bulan Kekeruhan (NTU)

Januari 347

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 7: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Bulan Kekeruhan (NTU)

Februari 70,5 Maret 31

April 23,8

Mei 20,7 Juni 17,5

Juli 14,2

Agustus 18

September 32 Sumber: PDAM Tirta Kahuripan (2013) Perhitungan produksi massa lumpur untuk masing-masing instalasi adalah sebagai berikut. Tabel 4. Perhitungan Massa Lumpur Instalasi Konvensional Periode Januari-September 2013

Bulan Produksi Lumpur Koagulan

(kg/hari)

Produksi Lumpur Suspended Solids

(kg/hari)

Total Produksi

Lumpur (kg/hari)

Januari 565,90 10913,01 11478,91 Februari 403,35 2217,20 2620,54 Maret 421,91 974,94 1396,85 April 474,91 748,50 1223,41 Mei 434,98 651,01 1085,98 Juni 376,79 550,37 981,92 Juli 510,46 446,58 823,38 Agustus 483,81 566,09 1049,91 September 511,48 1006,39 1517,87

Rata-rata 2464,31 Maksimum 11478,91 Minimum 823,38

Sumber: Hasil Perhitungan, 2014 Tabel 5. Perhitungan Massa Lumpur Instalasi Heksakoloidal Periode Januari-September 2013

Bulan Produksi Lumpur Koagulan

(kg/hari)

Produksi Lumpur Suspended Solids

(kg/hari)

Total Produksi

Lumpur

(kg/hari)

Januari 217,65 4197,31 4414,97 Februari 155,13 852,77 1007,90 Maret 162,27 374,98 537,25 April 182,66 287,88 470,54 Mei 167,30 250,39 417,69 Juni 165,98 211,68 377,66 Juli 144,92 171,76 316,68 Agustus 186,08 217,73 403,81 September 196,72 387,07 583,80

Rata-rata 947,81 Maksimum 4414,97 Minimum 316,68

Sumber: Hasil Perhitungan, 2014

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 8: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Desain unit pengolahan lumpur yang dibuat tidak menggunakan pertimbangan musim,

sehingga data produksi lumpur yang diambil adalah nilai rata-rata. Dari perhitungan massa

lumpur tersebut, terlihat bahwa rasio produksi massa lumpur terhadap debit instalasi adalah

sebesar 0,11. Rasio ini sesuai dengan kriteria yang disebutkan oleh Crittenden et al. (2012)

bahwa produksi lumpur dengan koagulan alum akan berada pada rentang 0,08 sampai 0,3

persen dari debit instalasi dengan nilai pada umumnya sebesar 0,1 persen. Artinya adalah

untuk setiap 1 liter/detik debit air produksi yang diolah, terdapat produksi lumpur sebesar

0,11 kg/detik. Perhitungan kuantitas lumpur berikutnya adalah debit lumpur. Karena tidak

adanya data sekunder tentang debit lumpur, maka perhitungan debit dilakukan berdasarkan

pengukuran di lapangan dengan metode apung kecuali pada air cucian filter instalasi

konvensional yang menggunakan pompa sehingga debit air cucian disesuaikan dengan debit

pompa.

Perhitungan debit lumpur adalah sebagai berikut.

1. Instalasi Konvensional

Unit Sedimentasi

Debit lumpur dari satu pipa adalah sebagai berikut

! = !×! = 0,171  !!×0,311!! = 0,0532

!!

! = 53,18!!

Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari

∀  = !×!"#$%#&'(  !"#$%&'(&'×!"#$%ℎ  !"!#×!"#$%&

∀  = 0,0532!!

! ×2×1×3600  ! = 382,87  !!

Unit Filtrasi (Backwash Filter)

Debit lumpur disesuaikan dengan pompa yang digunakan untuk backwash filter, yakni 30

liter/s.

Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari

∀  = !×!"#$%#&'(  !"#$%$&'#×!"#$%&

∀  = 0,03!!

! ×2×1800  ! = 108  !!  

Total

Produksi lumpur untuk instalasi konvensional adalah 490,87 m3/hari atau 5,68 liter/detik.

2. Instalasi Heksakoloidal

Unit Sedimentasi

Debit lumpur dari satu pipa adalah sebagai berikut

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 9: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

! = !×! = 0,171  !!×0,311!! = 0,0532

!!

! = 53,18!!

Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari

∀  = !×!"#$%#&'(  !"#$%&'(&'×!"#$%ℎ  !"!#×!"#$%&

∀  = 0,0532!!

! ×2×2×3600  ! = 191,43  !!

Unit Filtrasi

Debit lumpur dari satu pipa adalah sebagai berikut

! = !×! = 0,099  !!×0,328!! = 0,0325

!!

! = 32,50!!

Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari

∀  = !×!"#$%#&'(  !"#$%$&'#×!"#$%ℎ  !"!#  ×!"#$%&

∀  = 0,0325  !!

!  ×2×2  ×600  ! = 78,01  !!  

Total

Produksi lumpur untuk instalasi heksakoloidal adalah 269,46 m3/hari atau 3,12 liter/detik.

 

Sedangkan kualitas lumpur yang diuji berupa karakteristik fisik dan mimia yang kemudian

dibandingkan dengan baku mutu yang tercabtum dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat

Nomor 6 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat. Tabel 6. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Lumpur Sedimentasi Instlasi Konvensional

No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999

1. Suhu ᴼC 24,4 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 236 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 14000 200 4. Kekeruhan NTU 5900 - 5. pH 7,1 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 54,33 50 7. COD (Dichromat) mg/L 100,86 100 8. Besi (Fe) mg/L 63,8 5

Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Tabel 7. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Air Backwash Filter Instalasi Konvensional

No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999

1. Suhu ᴼC 24,6 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 80,9 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 73 200 4. Kekeruhan NTU 20 - 5. pH 7,2 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 6,82 50 7. COD (Dichromat) mg/L <40 100

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 10: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999

8. Besi (Fe) mg/L 8,09 5 Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Tabel 8. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Lumpur Sedimentasi Instalasi Heksakoloidal

No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999

1. Suhu ᴼC 24,3 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 165 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 17100 200 4. Kekeruhan NTU 18800 - 5. pH 6,8 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 51,48 50 7. COD (Dichromat) mg/L 159,22 100 8. Besi (Fe) mg/L 116 5

Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Tabel 9. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Air Backwash Filter Instalasi Heksakoloidal

No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999

1. Suhu ᴼC 24,4 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 71,8 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 200 200 4. Kekeruhan NTU 71 - 5. pH 7,1 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 20,4 50 7. COD (Dichromat) mg/L <40 100 8. Besi (Fe) mg/L 0,43 5

Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Hasil uji laboratorium juga menunjukkan untuk parameter TSS, unit sedimentasi memiliki

kontribusi paling signifikan dalam produksi lumpur dengan nilai kandungan padatan

tersuspensi yang paling besar. Lumpur alum umumnya memiliki kandungan total padatan

(total solids) mencapai 1.000 sampai 17.000 mg/L (AWWA, 1969a dalam ILENR 1987), di

mana 75 sampai 95 persennya adalah padatan tersuspensi.

Nilai BOD dan COD lumpur dari unit sedimentasi di kedua instalasi menunjukkan nilai yang

cukup tinggi. Qasim (2000) menyatakan bahwa walaupun nilai BOD dan COD lumpur bisa

jadi tinggi, namun sifat lumpur yang dihasilkan akibat presipitasi koagulan dan kekeruhan

pada air baku relatif stabil karena tidak ada zat organik yang mengalami dekomposisi aktif

atau menyebabkan kondisi anaerobik sehingga lumpur dapat dibiarkan sampai terakumulasi

selama beberapa waktu kemudian dibuang secara intermittent. Untuk lumpur alum, nilai BOD

umumnya berada pada kisaran 30-300 mg/L, sedangkan COD berkisar antara 30-5000 mg/L

(Crittenden et al., 2012). Rasio nilai BOD dengan COD hasil analisa laboratorium kurang dari

0,6, yakni 0,53 untuk lumpur sedimentasi instalasi konvensional dan 0,32 untuk lumpur

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 11: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

sedimentasi instalasi heksakoloidal. Dengan rasio kurang dari 0,6, maka lumpur tidak dapat

dibuang ke instalasi pengolahan air limbah yang menerapkan pengolahan biologis dalam

prosesnya.

Dalam perencanaan pengolahan lumpur, salah satu tahap pengolahan lumpur adalah

thickening dengan menggunakan gravity thickening yang beroperasi serupa dengan bak

sedimentasi (Crittenden et al., 2012). Pada bak sedimentasi primer, terjadi penurunan nilai

BOD dengan penurunan BOD dapat bervariasi tergantung pada waktu detensi dan debit

overflow (Qasim, 1985) sehingga diharapkan pada pengolahan lumpur (terutama unit gravity

thickener) nantinya akan berkontribusi terhadap penurunan nilai BOD lumpur.

Pengujian kandungan logam pada lumpur perlu dilakukan untuk mengetahui potensi dampak

pembuangan lumpur di sanitary landfill, kemungkinan efek penghambat terhadap proses di

instalasi jika lumpur dibuang ke instalasi pengolahan air limbah untuk diolah, efek yang

ditimbulkan terhadap kandungan racun pada effluen instalasi pengolahan air limbah

(AWWA/ASCE/U.S. EPA, 1996). Kandungan logam yang diuji pada lumpur dan air

backwash filter ini adalah kandungan logam besi (Fe). Dari hasil pengujian laboratorium,

kandungan logam besi cukup tinggi ditunjukkan pada semua residu kecuali pada residu air

backwash filter instalasi konvensional. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya karat pada

pipa pembuangan lumpur yang berkontribusi terhadap kandungan logam lumpur. Kandungan

besi pada air backwash filter instalasi konvensional cukup rendah karena pembuangan air

backwash filter tidak melalui pipa terlebih dahulu, hanya melalui saluran, tidak seperti residu

lumpur lainnya yang melalui pipa terlebih dahulu sebelum masuk ke saluran. Kandungan

logam juga penting untuk mengetahui kemungkinan pemanfaatan lumpur di bidang

agrikultur. Florida Soil Cleanup Target Levels (SCTLs) menetapkan untuk land application

batas maksimum kandungan besi pada lumpur adalah sebesar 23000 mg/kg koagulan.

Mengacu batas tersebut, lumpur alum dari IPA Legong masih memenuhi syarat untuk land

application.

Pengujian pH dan suhu lumpur juga dilakukan untuk mengetahui tingkat bahaya lumpur

terhadap organisme di Sungai Ciliwung sebagai tempat pembuangan lumpur selama ini.

Berdasarkan hasil pengujian, pH dan suhu lumpur masih memenuhi standar sehingga tidak

membahayakan organisme dari sisi kedua parameter tersebut. Pemanfaatan lumpur juga perlu

memperhatikan pH karena dapat pH yang rendah (bersifat asam) akan membahayakan

lingkungan. Lumpur alum pada umumnya cenderung memiliki nilai pH yang netral (Faust

dan Aly, 1998).

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 12: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Nilai specific gravity lumpur basah dihitung berdasarkan persamaan 2.14 dengan acuan

Crittenden et al. (2012) tentang karakteristik lumpur alum berupa kandungan padatan tetap

(fixed solids) sebesar 5%, kandungan padatan volatil sebesar 10%, specific gravity dari

padatan volatil sebesar 1,0, maka nilai specific gravity lumpur alum basah dapat dihitung

sebagai berikut:

Lumpur Sedimentasi Instalasi Konvensional

• Perhitungan specific gravity padatan dalam lumpur: 1!!=0,902,77+

0,101,0 = 0,425

!! =1,00,425 = 2,35

• Perhitungan specific gravity lumpur alum basah (dengan nilai specific gravity air sebesar

1,00): 1!!"

=0,052,35+

0,951,00 = 0,97

!!" =10,97 = 1,03

Lumpur Sedimentasi Instalasi Heksakoloidal

• Perhitungan specific gravity padatan dalam lumpur: 1!!=0,902,63+

0,101,0 = 0,442

!! =1,00,442 = 2,26

• Perhitungan specific gravity lumpur alum basah (dengan nilai specific gravity air sebesar

1,00):

1!!"

=0,052,26+

0,951,00 = 0,972

!!" =1

0,972 = 1,03

Lumpur alum basah dari kedua sampel menghasilkan nilai specific gravity sebesar 1,03.

Kedua lumpur memiliki nilai specific gravity yang sama karena air baku dan proses

pengolahan yan dilakukan sama, perbedaan hanya terletak pada debit yang diolah dan jenis

unit flokulasi yang tidak mempengaruhi nilai specific gravity lumpur basah. Nilai ini sesuai

dengan literatur (Pizzi/AWWA, 2011) yang menyebutkan nilai specific gravity lumpur alum

basah sekitar 1,03 sampai 1,04.

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 13: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Hubungan massa dan volume lumpur perlu diperhatikan karaena lumpur yang dihasilkan di

IPA Legong merupakan campuran dari lumpur yang berasal dari bak pengendap dan air

cucian filter, sehingga lumpur menjadi lebih encer akibat pencampuran air. Dari hubungan

massa dengan volume lumpur ini diperoleh persentase padatan kering lumpur setelah

pencampuran dengan air cucian filter. Nilai massa jenis air yang digunakan adalah 997,196

kg/m3 pada suhu 24,4°C.

Instalasi Konvensional

!! =!!

!!!!"∀=

2464,31 !"ℎ!"#

997,196 !"!!×1,03×490,87!!

ℎ!"#

= 0,49  %

Instalasi Heksakoloidal

!! =!!

!!!!"∀=

947,81 !"ℎ!"#

997,196 !"!!×1,03×269,46!!

ℎ!"#

= 0,34%

Desain Unit Pengolahan Lumpur Secara garis besar, sistem pengolahan lumpur akan meliputi bak ekualisasi, unit thickening,

penggunaan bahan kimia sebagai chemical conditioner untuk meningkatkan konsentrasi

padatan lumpur, unit dewatering, dan terakhir adalah pembuangan akhir. Unit thickening yang

digunakan untuk semua alternatif adalah gravity thickener karena kemudahan operasional,

penggunaan energi yang minimum, dan biaya operasional murah serta unit ini merupakan unit

thickening yang umum digunakan untuk pengolahan lumpur dari instalasi pengolahan air

(Pratami, 2011). Alternatif sistem pengolahan lumpur yang dibuat untuk penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Alternatif 1 dan 2

Diagram alir sistem pengolahan lumpur pada kedua alternatif ini sama. Yang

membedakan keduanya adalah pada unit dewatering, di mana alternatif 1 akan

menggunakan centrifuge sebagai unit dewatering sedangkan pada alternatif 2 akan

menggunakan belt filter press. Kedua alternatif ini menerapkan proses recycle dari air

cucian filter dan supernatan hasil pengolahan lumpur, sehingga lumpur yang diolah pada

unit pengolahan lumpur hanya berasal dari unit sedimentasi. Dengan adanya recycle dari

air cucian filter maka tidak akan terjadi pencampuran antara lumpur sedimentasi dengan

air cucian filter, sehingga tidak terjadi proses pengenceran yang akan menurunkan

kandungan padatan dalam lumpur. Berkurangnya kandungan padatan dalam lumpur akan

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 14: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

menyebabkan penurunan kinerja unit dewatering dan kebutuhan polimer sebagai

chemical conditioner meningkat.

2. Alternatif 3 dan 4

Sama dengan poin 1, diagram alir kedua alternatif ini sama, yang membedakannya adalah

pada unit dewatering. Perbedaan dengan poin 1 adalah lumpur yang diolah berasal dari

air cucian filter dan unit sedimentasi, sehingga chemical conditioner diberikan sebelum

lumpur masuk ke unit gravity thickening untuk meningkatkan performa thickening dan

dewatering lumpur. Supernatan dari unit pengolahan lumpur ditampung dalam bak

ekualisasi untuk selanjutnya dilakukan proses recycle ke unit koagulasi sehingga tidak

ada residu berupa limbah cair yang dibuang ke badan air.

Pemilihan alternatif didasarkan pada luas lahan, volume dry cake, pengoperasian, dan

pembiayaan. Setelah dilakukan perhitungan desain dan melihat kelebihan dan kekurangan

setiap alternatif, maka komponen-komponen tersebut dirangkum dalam tabel berikut. Tabel 10. Perbandingan Setiap Alternatif dari Berbagai Kriteria

Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4

Resirkulasi Air Air cucian filter dan supernatan

Air cucian filter dan supernatan Supernatan Supernatan

Luas lahan (m2) 333,48 317,71 362,18 345,89 Volume dry cake (m3) 12,94 10 14,52 11,22

Capital Cost (USD) 1.085.787,653 436.190,99 1.335.877,67 478.722,39

Operation and Maintenance (USD)

134.548,4 137.237 167.473 158.367,8

Mechanical dewatering Belt Filter Press Centrifuge Belt Filter Press Centrifuge

Kelebihan

Mengurangi debit lumpur yang diolah, mengurangi pengambilan air baku.

Mengurangi debit lumpur yang diolah, mengurangi pengambilan air baku.

Mengolah semua residu yang dihasilkan.

Mengolah semua residu yang dihasilkan.

Kekurangan

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai kandungan mikroba.

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai kandungan mikroba.

Debit lumpur yang diolah lebih tinggi.

Debit lumpur yang diolah lebih tinggi.

Sumber: Hasil Olahan, 2014 Dengan mempertimbangkan komponen-komponen yang dijabarkan pada tabel 10, maka

pemilihan alternatif menyempit menjadi alternatif 1 dan 2 saja karena luas lahan menjadi

pertimbangan yang paling penting. Perbedaan alternatif 1 dan 2 hanya terdapat pada unit

mechanical dewatering dengan penerapan sistem yang sama, yakni resirkulasi air cucian filter

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 15: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

dan supernatan menjadi air baku. Oleh karena itu, pertimbangan berikutnya yang perlu

ditinjau adalah kelebihan dan kekurangan unit mechanical dewatering. Tabel 11. Perbandingan Unit Mechanical Dewatering Belt Filter Press dengan Centrifuge

Belt Filter Press Centrifuge Ruang/lahan Lebih besar Lebih kecil Desain pelindung bau Terbuka Tertutup

Kebutuhan operator Butuh pengawasan operator secara berkala

Otomatis sepenuhnya, pengawasan lebih sedikit

Chemical conditioning Butuh lebih sedikit polimer Butuh lebih banyak polimer Cake dryness Lebih sedikit Lebih banyak Kebutuhan pencucian Kontinyu Hanya pada saat dimatikan Otomatisasi Parsial Penuh

Sumber: Andritz Separation Presentation, 2011 Pemilihan unit mechanical dewatering yang tepat menitik beratkan pada kesesuaian dengan

kondisi di lapangan. Penggunaan belt filter press akan lebih tepat dibandingkan centrifuge

karena penggunaan listriknya yang lebih minim dan pengoperasiannya yang lebih sederhana

dibanding jenis mechanical dewatering lainnya (Bane, 2014). Biaya untuk penggunaan

operator di lapangan bisa sedikit lebih besar karena adanya kebutuhan pembersihan alat,

namun hal itu tidak lebih besar dibandingkan kebutuhan listrik yang akan memakan biaya

yang sangat besar. Oleh karena itu, alternatif yang dipilih adalah alternatif 1.

Gambar 2. Keseimbangan Massa dan Volume Lumpur dengan Unit Pengolahan Sumber: Hasil Perhitungan, 2014

Tabel 12. Kebutuhan Lahan Alternatif Desain 1 Unit Pengolahan Dimensi (m) Luas (m2)

Bak ekualisasi P = L = 13,9 m 193,21 Gravity thickener D = 6,6 m 34,23 Sludge conditioning tank P = L = 1,2 m 1,44 Belt filter press P = 5,994 m; L = 1,727 m 10,35 Bak penampung dry cake P = L = 5,5 m 30,25

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 16: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Unit Pengolahan Dimensi (m) Luas (m2) Bak supernatan P = L = 8 m 64

Total 333,48 Sumber: Hasil Perhitungan, 2014

Gambar 3. Diagram Alir IPA Legong dan Sistem Pengolahan Lumpur Alternatif 1 Sumber: Hasil Olahan, 2014

Ket.: ( ) aliran air olahan; ( ) aliran lumpur; ( ) aliran supernatan; ( ) aliran air recycle; ( ) aliran bahan kimia

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Lumpur sisa unit pengolahan di IPA Legong memiliki kandungan padatan tersuspensi

yang jauh melebihi baku mutu yang diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor

6 Tahun 1999, yaitu 70 kali lipat di atas baku mutu untuk lumpur sedimentasi instalasi

konvensional dan 85,5 kali lipat untuk lumpur sedimentasi instalasi heksakoloidal.

2. Timbulan lumpur yang dihasilkan dari sumber unit sedimentasi instalasi konvensional

sebesar 2464,31 kg/hari dengan debit 382,87 m3/hari, sedimentasi instalasi heksakoloidal

sebesar 947,81 kg/hari dengan debit 191,43 m3/hari, air cucian filter instalasi

Koagulan Koagulan

Bak ekualisasi

Polimer

Koagulasi

Flokulasi

Sedimentasi

Filtrasi

Intake

Desinfeksi

Reservoir

Distribusi

Koagulasi

Flokulasi

Sedimentasi

Filtrasi

Intake

Desinfeksi

Reservoir

Distribusi

Bak supernatan

Gravity thickener

Chemical conditioning

Dewatering

Bak penampung lumpur

Disposal

Desinfektan Desinfektan

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 17: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

konvensional 189,22 kg/hari dengan debit 108 m3/hari, dan air cucian filter heksakoloidal

199,37 kg/hari dengan debit 78 m3/hari.

3. Alternatif yang terpilih adalah alternatif 1 dengan kelebihan berupa a) resirkulasi air

cucian filter dan supernatan sehingga debit lumpur yang masuk ke unit pengolahan lebih

sedikit; b) unit mechanical dewatering yang digunakan adalah belt filter press dengan

pembiayaan operasional yang lebih rendah dibanding mechanical dewatering lainnya.

Sedangkan saran untuk penelitian selanjutnya adalah

1. Perlu adanya studi mengenai pengaruh recycle air cucian filter dan supernatan menjadi

air baku terhadap proses pengolahan secara keseluruhan dan kandungan bakteri patogen

pada air produksi.

2. Perlu adanya studi mengenai dosis polimer yang dibutuhkan untuk meningkatkan

performa dewatering lumpur.

3. Dapat dilakukan studi mengenai pemanfaatan limbah berbahaya seperti fly ash untuk

meningkatkan performa dewatering lumpur.

4. Perlu adanya studi mengenai karakteristik dewatering lumpur seperti pengujian

parameter Specific Resistancce to Filtration (SRF), Capillary Suction Time (CST), Time

to Filtration (TTF).

5. Pengukuran debit lumpur sebaiknya tidak menggunakan metode apung karena fluida

yang diukur bukan air sehingga viskositas dan koefisien geseknya mempengaruhi akurasi

hasil pengukuran.

Daftar Referensi AWWA/ASCE/U.S. EPA. (1996). Technology Transfer Handbook: Management of Water

Treatment Plant Residuals. ASCE, New York.

Bane, Ian H. (2014). The Choice of Belt Filter Press vs Centrifuge for Sludge Dewatering.

Magytec International, Hornsby.

Casey, T. J. (2006). Unit Treatment Processes in Water and Wastewater Engineering.

Aquavarra Research Limited, Dublin.

Crittenden, J. C., Trussell, R. R., Hand, D.W., Howe, K. J., Tchobanoglous, G. (2012).

MWH’S Water Treatment Principles and Design Third Edition. Wiley, New Jersey.

Donegal Waste Management Plant. (2006). Sludge Management Plant. Donegal County

Council.

Faust, Samuel D. dan Aly, Osman M. (1998). Chemistry of Water Treatment, Second Edition.

CRC Press, USA.

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 18: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Fitri, Hariana. (2012). Dampak Pembuangan Lumpur Perusahaan Daerah Air Minum Kota

Pontianak terhadap Kualitas Air Sungai Kapuas. Skripsi. Program Studi Teknik

Lingkungan, Universitas Tanjungpura, Pontianak.

ISWA. (1997). Sludge Treatment and Disposal. European Environment Agency, Copenhagen.

Kawamura, Susumu. (2000). Integrated Design and Operation of Water Treatment Facilities

Second Edition. John Wiley & Sons, New York.

Letterman, Raymond D. (1999). Water Quality and Treatment: A Handbook of Community

Water Supplies, Fifth Edition. McGraw Hill.

Malhotra, Sonu. (1994). Poly aluminium chloride as an alternative coagulant. 20th WEDC

Conference: Affordable Water Supply and Sanitation. Colombo, Sri Lanka.

PDAM Tirta Kahuripan. (2013). Areal Pelayanan PDAM Tirta Kahuripan. Diakses 2

Desember 2013 pukul 21.45. http://www.pdam-kabbogor.co.id/

PDAM Tirta Kahuripan. (2013). Rekapitulasi Kegiatan PDAM Tirta Kahuripan Tahun 2013.

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. (1999). Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat

I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri

di Jawa Barat.

Pemerintah Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Pramusinto, A. L. (2013). Evaluasi Timbulan Lumpur dan Perancangan Instalasi Pengolahan

Lumpur (Studi Kasus: Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) Cibinong, PDAM Tirta

Kahuripan. Skripsi. Program Studi Teknik Lingkungan FTUI, Depok.

Pratami, M. R. P. (2011). Perencanaan Sistem Pengolahan Lumpur IPA Pejompongan I dan

II Jakarta. Skripsi. Program Studi Teknik Lingkungan FTUI, Depok.

Parlindungan, May. (2013). Analisis Karakteristik Jejaring Sungai Ciliwung Hulu untuk

Menentukan Pola Hidrograf Banjir. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi,

FMIPA IPB, Bogor.

Qasim, S. R., Montley, E. M., dan Zhu, G. (2000). Water Works Engineering: Planning,

Design, and Operation. Prentice Hall PTR, New Jersey.

Sotero-Santos, R.B., Rocha, O., Povinelli, J. (2005). Evaluation of Water Treatment Sludges

Toxicity Using the Daphnia Bioassay. Water Research 39 (2005) 3909-3917.

Sawyer, C. N., McCarty, P.L., dan Parkin, G. F. (2003). Chemistry for Environmental

Engineering and Science Fifth Edition. McGraw Hill.

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014

Page 19: PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR …

Townsend, T.G., Jung, Y. C., Jain, P., Tolaymat, T. (2001). Characterization of Drinking

Water Sludges for Beneficial Reuse and Disposal. Florida Center for Solid and Hazardus

Waste Management, Florida.

United States Environmental Protection Agency. (2011). Drinking Water Treatment Plant

Residuals Management Technical Report.

Verrelli, D. I, Dixon, D. R., Scales, P. J. (2009). Effect of Coagulation Conditions on the

Dewatering Properties of Sludges Produced in Drinking Water Treatment. Colloids and

Surfaces A: Physicochem. Eng. Aspects 348 (2009) 14-23.

Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014