pemilihan dan perancangan unit pengolahan lumpur …
TRANSCRIPT
PEMILIHAN DAN PERANCANGAN UNIT PENGOLAHAN LUMPUR DI IPA LEGONG (PDAM TIRTA KAHURIPAN)
Okita Miraningrum Nur Atsari, Irma Gusniani D., dan Djoko M. Hartono
Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas
Indonesia, Kampus Baru UI Depok 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, limbah akhir dari proses pengolahan air wajib diolah sebelum dibuang. IPA Legong di bawah PDAM Tirta Kahuripan selama ini langsung membuang lumpurnya ke badan air (Sungai Ciliwung) tanpa pengolahan apapun. Dalam penelitian ini, ada empat alternatif yang dibuat dan pemilihan berdasarkan pertimbangan kebutuhan lahan, volume dry cake, pengoperasian, dan biaya. Alternatif yang terpilih adalah alternatif 1, terdiri dari 1 bak ekualisasi, 1 gravity thickening,1 sludge conditioning tank, 1 belt filter press, 1 bak penampung lumpur, dan 1 bak supernatan dengan menerapkan resirkulasi air cucian filter dan supernatan menjadi air baku sehingga lumpur yang diolah hanya berasal dari unit sedimentasi. Debit lumpur dari instalasi konvensional sebesar 382,87 m3/hari, sedangkan debit lumpur dari instalasi heksakoloidal sebesar 191,43 m3/hari. Data kuantitas dan kualitas lumpur diperoleh melalui pengukuran di lapangan. Perkiraan kebutuhan lahan yang diperlukan adalah sebesar 420 m2. Kata kunci: IPA Legong; Timbulan Lumpur; Unit Pengolahan Lumpur THE CHOOSING AND DESIGNING OF SLUDGE TREATMENT UNIT IN LEGONG
WATER TREATMENT PLANT (PDAM TIRTA KAHURIPAN)
Abstract Based on Government Regulation Number 16 Year 2005, waste produced from water treatment process must be treated before discharging. Legong Water Treatment Plant, under PDAM Tirta Kahuripan, discharge the sludge directly into stream water Ciliwung without any treatment. In this research, there are four alternatives sludge treatment made and the choosing done based on land area, dry cake volume, operational and maintenance, and financial criteria. The choosen alternative is first alternative, consists of 1 equalization tank, 1 gravity thickener, 1 sludge conditioner tank, 1 belt filter press, 1 dry cake tank, and 1 supernatant tank by applying filter backwash waste recycle into raw water so the sludge that flows into treatment unit only comes from sedimentation unit. Sludge generation from conventional installation is 382.87 m3/day and from hexacoloidal installation is 191,43 m3/day. Sludge quantity and quality data obtained from direct measurement. Land area needed for sludge treatment approximately is 420 m2. Keywords: Legong Water Treatment Plant; Sludge Generation; Sludge Treatment Unit Pendahuluan Permasalahan mengenai apa yang harus dilakukan dengan lumpur yang dihasilkan dari proses
koagulasi konvensional dari pengolahan air minum telah mendapat perhatian khusus selama
beberapa dekade (Neubauer, 1968 dalam Verrelli et al., 2009). Pasal 9 ayat 3 Peraturan
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
menyebutkan bahwa limbah akhir dari proses pengolahan air baku menjadi air minum wajib
diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sumber air baku dan daerah terbuka.
Proses koagulasi konvensional merupakan proses dengan penambahan bahan kimia sehingga
residu yang terbentuk dari proses tersebut digolongkan sebagai limbah berbahaya. Mengacu
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun pada pasal 9 ayat 3 disebutkan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3
wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan teknologi yang ada.
Dalam sebuah penelitian di Brazil disebutkan bahwa dari hasil uji lumpur sisa proses
pengolahan air bersih dapat menyebabkan penurunan kualitas air dan efek kronis pada
ekosistem perairan sehingga dibutuhkan pengolahan lumpur sebelum dibuang ke lingkungan.
Paparan jangka panjang dari lumpur besi menyebabkan kematian dan penurunan reproduksi
daphnids, sedangkan lumpur alum hanya menyebabkan penurunan reproduksi organisme uji
(Sotero-Santos et al., 2005).
Tinjauan Teoritis Pada umumnya, unit pengolahan air bersih yang menghasilkan lumpur adalah unit pra
sedimentasi (dengan penambahan oksidan koagulan sebelumnya), unit sedimentasi (lumpur
koagulan), dan unit filtrasi (berupa air cucian filter).
Gambar 1. Unit Pengolahan Air Bersih Penghasil Lumpur Sumber: AWWA, 2010
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Tipe residu yang dihasilkan dari pengolahan air bersih di Indonesia umumnya berupa lumpur,
hal ini dikarenakan proses pengolahan yang digunakan bertujuan untuk menghilangkan
kandungan padatan tersuspensi yang berasal dari air baku (Pratami, 2011).
Crittenden et al. (2012) memberikan bahwa estimasi total lumpur yang diproduksi dalam satu
instalasi merupakan hasil penjumlahan berikut:
Total lumpur = lumpur koagulan + lumpur suspended solid +
lumpur dari bahan kimia (persamaan 1)
Perhitungan produksi lumpur dari masing-masing sumber menggunakan persamaan berikut:
!"#$"% !"#$%&#' !"ℎ!"# =
!!"#$%&%#!!!
!×!"#$# !"#$%&#' !"
!×! (persamaan 2)
!"#$"% !"!#$%&$& !"#$%! !"ℎ!"# =
!!"#$%&%#!!!
!×!"!"#$ℎ!" !"# ×! (persamaan 3)
!"#$"% !"#$ !"#$%&$ℎ!" !"#$%&' =
!!"#$%&%#!!!
!×!"#$# !"#$%&' !"
!×! (persamaan 4)
Di mana C adalah konstanta kuantitas produksi lumpur dan A adalah rasio TSS dengan
kekeruhan. Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa produksi lumpur sangat tergantung
pada kualitas air baku (berupa kekeruhan dan padatan tersuspensi) dan penggunaan bahan
kimia. Penggunaan polimer pada proses pengolahan air bersih akan menambah jumlah
produksi lumpur. Tabel 1. Konstanta Tipikal untuk Estimasi Produksi Lumpur
Sumber Satuan Nilai Tipikal Ferric sulfate, Fe2(SO4)3 kg lumpur/kg koagulan 0,53 Ferric chloride, FeCl3 kg lumpur/kg koagulan 0,66 PACl kg lumpur/kg PACl 0,0489 x (Al, %) Penambahan polimer kg lumpur/kg koagulan 1
Turbidity removal mg TSS/NTU yang dihilangkan 1,4
Sumber: Crittenden et al. (2012)
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Perkalian kekeruhan dengan A merupakan persamaan yang digunakan untuk menunjukkan
kaitan antara tingkat kekeruhan dengan padatan tersuspensi dalam air baku. Nilai A dapat
bervariasi antara 0,7 sampai 2,2 (Cornwell et al., 1987 dalam Letterman, 1999), namun yang
umumnya digunakan adalah 1,4 (Crittenden et al., 2012).
Volume lumpur dapat diestimasi dengan persamaan berikut yang menunjukkan kaitan massa
lumpur kering dengan volume lumpur:
∀ = !!!!!!"!!
(persamaan 5)
di mana,
∀ : volume (m3)
Ms : massa padatan kering (kg)
ρw : massa jenis air (103 kg/m3)
Ssl : specific gravity lumpur
Ps : persentase padatan (ditulis dalam desimal)
Sedangkan specific gravity lumpur basah dapat dihitung dengan persamaan berikut
(Crittenden et al. 2012): !!!!!!
= !!
!!!!+ !!
!!!! (persamaan 6)
di mana,
Ws : massa total padatan kering, kg
Ss : specific gravity padatan
Dari nilai specific gravity lumpur basah (Ssl) dapat diperoleh nilai densitas lumpur basah
yang dihasilkan dari proses pengolahan air bersih. Perhitungan densitas lumpur basah tersebut
dapat diperoleh dengan cara berikut (Crittenden et al., 2012):
!!" = !!!!" (persamaan 7)
di mana,
ρsl : densitas lumpur, kg/m3
ρw : densitas air, kg/m3
Ssl : specific gravity lumpur
Dalam perhitungan keseimbangan massa dan volume, digunakan software STAN (Substance
Flow Analysis). Software ini dapat digunakan untuk menganalisa aliran material (material
flow analysis). Setelah membuat model grafis dari komponen yang sudah ditentukan dan
memasukkan data yang dibutuhkan seperti aliran massa, konsentrasi, dan koefisien transfer
maka dapat disimulasikan keseimbangan massa atau volume dari suatu sistem. Software ini
dapat diterapkan pada berbagai sistem yang membutuhkan analisa aliran material, sehingga
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
dapat digunakan untuk analisa keseimbangan massa dan volume pada instalasi pengolahan
lumpur.
Untuk menghitung keseimbangan volume lumpur, dibutuhkan data debit lumpur. Salah satu
cara pengukuran debit yang sederhana dan tidak mahal adalah metode apung (float method).
Metode ini menerapkan prinsip pengukuran kecepatan permukaan. Rata-rata kecepatan
diperoleh dengan faktor koreksi. Prinsip dasar metode ini adalah mengukur waktu yang
diperlukan untuk mengalirkan suatu benda pada jarak tertentu.
!!"#$%&' =!"#"$ (!)!"#$% (!)
(persamaan 8)
Karena kecepatan permukaan umumnya lebih besar dibanding kecepatan rata-rata, maka
kecepatan rata-rata diperoleh dengan mengalikan kecepatan permukaan dengan koefisien (k)
yang umumnya berkisar antara 0,8 untuk permukaan kasar sampai 0,9 untuk permukaan
halus, umumnya digunakan 0,85.
Debit akan diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
! = !×!!"#"!!"#" (persamaan 9)
di mana,
Q : debit, m3/s
A : luas penampang melintang, m2
vrata-rata : kecepatan rata-rata yang sudah dikalikan dengan koefisien, m/s. Metode Penelitian. Data yang dikumpulkan ada dua jenis yakni data primer yang diperoleh dengan pengambilan
sampel di lapangan dan pengukuran langsung, sedangkan data sekunder diperoleh dari PDAM
Tirta Kahuripan. Sampel yang diambil berupa lumpur sisa proses unit sedimentasi dan air
cucian filter pada unit filtrasi dari instalasi konvensional dan heksakoloidal. Perbedaan
instalasi konvensional dengan heksakoloidal terdapat pada unit flokulasi, sistem pencucian
filter, dan debit air yang di olah. Instalasi konvensional menggunakan flokulator jenis
horizontal baffle, sistem pencucian filter dengan menggunakan pompa, dan mempunyai
kapasitas instalasi maksimal sebesar 330 L/detik, sementara instalasi heksakoloidal
menggunakan flokulator jenis heksagonal, sistem pencucian filter dengan memanfaatkan
grravitasi, dan mempunyai kapasitas terpasang sebesar 100 L/detik.
Hasil dan Pembahasan
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Desain unit pengolahan lumpur direncanakan untuk satu tahap pembangunan dengan asumsi
tidak ada pegembangan instalasi. Instalasi konvensional selama ini mengolah debit sebesar
260 L/detik, sedangkan instalasi heksakoloidal mengolah debit sebesar 100 L/detik.
Dalam membuat desain unit pengolahan lumpur, hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas
dan kualitas lumpur. Kuantitas lumpur yang dihitung berupa massa dan debit lumpur yang
kemudian dicari kaitan antara keduanya.
Perhitungan produksi massa lumpur menggunakan persamaan 1, 2, dan 3. Tidak ada
penambahan polimer di Instalasi Legong sehingga tidak ada perhitungan produksi lumpur
akibat polimer. Koagulan yang digunakan adalah PAC dengan persentase kandungan
aluminium sebesar 16,4%, sehingga konstanta produksi lumpur sebesar 0,8 (Letterman,
1999). Menurut Malhotra (1994), penggunaan PAC sebagai koagulan memberikan
keuntungan berupa koagulasi yang lebih cepat pada berbagai tingkat kekeruhan dan
menghasilkan lumpur alum yang lebih sedikit.
Perhitungan produksi massa lumpur dilakukan untuk keadaan pada waktu tahun 2013
berdasarkan data dosis koagulan dan kekeruhan air baku. Tabel 2. Dosis Koagulan di IPA Legong Tahun 2013
Bulan Total Pemakaian PAC (kg)
Total Volume Air Baku (m3)
Dosis PAC (untuk satu
instalasi) (mg/L)
Januari 57.585 916.601 31,41
Februari 42.570 950.685 22,39
Maret 40.340 861.237 23,42 April 51.050 968.271 26,36
Mei 45.375 939.641 24,14
Juni 46.695 974.655 23,95
Juli 40.105 958.752 20,92 Agustus 48.840 909.299 26,86
September 53.608 944.084 28,39
Oktober 58.395 935.361 31,22 November 50.825 1.004.895 25,29
Desember 45.705 949.752 24,06 Sumber: PDAM Tirta Kahuripan (2013) Tabel 3. Data Kekeruhan Air Baku Januari-September 2013
Bulan Kekeruhan (NTU)
Januari 347
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Bulan Kekeruhan (NTU)
Februari 70,5 Maret 31
April 23,8
Mei 20,7 Juni 17,5
Juli 14,2
Agustus 18
September 32 Sumber: PDAM Tirta Kahuripan (2013) Perhitungan produksi massa lumpur untuk masing-masing instalasi adalah sebagai berikut. Tabel 4. Perhitungan Massa Lumpur Instalasi Konvensional Periode Januari-September 2013
Bulan Produksi Lumpur Koagulan
(kg/hari)
Produksi Lumpur Suspended Solids
(kg/hari)
Total Produksi
Lumpur (kg/hari)
Januari 565,90 10913,01 11478,91 Februari 403,35 2217,20 2620,54 Maret 421,91 974,94 1396,85 April 474,91 748,50 1223,41 Mei 434,98 651,01 1085,98 Juni 376,79 550,37 981,92 Juli 510,46 446,58 823,38 Agustus 483,81 566,09 1049,91 September 511,48 1006,39 1517,87
Rata-rata 2464,31 Maksimum 11478,91 Minimum 823,38
Sumber: Hasil Perhitungan, 2014 Tabel 5. Perhitungan Massa Lumpur Instalasi Heksakoloidal Periode Januari-September 2013
Bulan Produksi Lumpur Koagulan
(kg/hari)
Produksi Lumpur Suspended Solids
(kg/hari)
Total Produksi
Lumpur
(kg/hari)
Januari 217,65 4197,31 4414,97 Februari 155,13 852,77 1007,90 Maret 162,27 374,98 537,25 April 182,66 287,88 470,54 Mei 167,30 250,39 417,69 Juni 165,98 211,68 377,66 Juli 144,92 171,76 316,68 Agustus 186,08 217,73 403,81 September 196,72 387,07 583,80
Rata-rata 947,81 Maksimum 4414,97 Minimum 316,68
Sumber: Hasil Perhitungan, 2014
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Desain unit pengolahan lumpur yang dibuat tidak menggunakan pertimbangan musim,
sehingga data produksi lumpur yang diambil adalah nilai rata-rata. Dari perhitungan massa
lumpur tersebut, terlihat bahwa rasio produksi massa lumpur terhadap debit instalasi adalah
sebesar 0,11. Rasio ini sesuai dengan kriteria yang disebutkan oleh Crittenden et al. (2012)
bahwa produksi lumpur dengan koagulan alum akan berada pada rentang 0,08 sampai 0,3
persen dari debit instalasi dengan nilai pada umumnya sebesar 0,1 persen. Artinya adalah
untuk setiap 1 liter/detik debit air produksi yang diolah, terdapat produksi lumpur sebesar
0,11 kg/detik. Perhitungan kuantitas lumpur berikutnya adalah debit lumpur. Karena tidak
adanya data sekunder tentang debit lumpur, maka perhitungan debit dilakukan berdasarkan
pengukuran di lapangan dengan metode apung kecuali pada air cucian filter instalasi
konvensional yang menggunakan pompa sehingga debit air cucian disesuaikan dengan debit
pompa.
Perhitungan debit lumpur adalah sebagai berikut.
1. Instalasi Konvensional
Unit Sedimentasi
Debit lumpur dari satu pipa adalah sebagai berikut
! = !×! = 0,171 !!×0,311!! = 0,0532
!!
! = 53,18!!
Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari
∀ = !×!"#$%#&'( !"#$%&'(&'×!"#$%ℎ !"!#×!"#$%&
∀ = 0,0532!!
! ×2×1×3600 ! = 382,87 !!
Unit Filtrasi (Backwash Filter)
Debit lumpur disesuaikan dengan pompa yang digunakan untuk backwash filter, yakni 30
liter/s.
Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari
∀ = !×!"#$%#&'( !"#$%$&'#×!"#$%&
∀ = 0,03!!
! ×2×1800 ! = 108 !!
Total
Produksi lumpur untuk instalasi konvensional adalah 490,87 m3/hari atau 5,68 liter/detik.
2. Instalasi Heksakoloidal
Unit Sedimentasi
Debit lumpur dari satu pipa adalah sebagai berikut
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
! = !×! = 0,171 !!×0,311!! = 0,0532
!!
! = 53,18!!
Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari
∀ = !×!"#$%#&'( !"#$%&'(&'×!"#$%ℎ !"!#×!"#$%&
∀ = 0,0532!!
! ×2×2×3600 ! = 191,43 !!
Unit Filtrasi
Debit lumpur dari satu pipa adalah sebagai berikut
! = !×! = 0,099 !!×0,328!! = 0,0325
!!
! = 32,50!!
Volume lumpur yang dihasilkan dalam satu hari
∀ = !×!"#$%#&'( !"#$%$&'#×!"#$%ℎ !"!# ×!"#$%&
∀ = 0,0325 !!
! ×2×2 ×600 ! = 78,01 !!
Total
Produksi lumpur untuk instalasi heksakoloidal adalah 269,46 m3/hari atau 3,12 liter/detik.
Sedangkan kualitas lumpur yang diuji berupa karakteristik fisik dan mimia yang kemudian
dibandingkan dengan baku mutu yang tercabtum dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat
Nomor 6 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat. Tabel 6. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Lumpur Sedimentasi Instlasi Konvensional
No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999
1. Suhu ᴼC 24,4 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 236 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 14000 200 4. Kekeruhan NTU 5900 - 5. pH 7,1 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 54,33 50 7. COD (Dichromat) mg/L 100,86 100 8. Besi (Fe) mg/L 63,8 5
Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Tabel 7. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Air Backwash Filter Instalasi Konvensional
No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999
1. Suhu ᴼC 24,6 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 80,9 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 73 200 4. Kekeruhan NTU 20 - 5. pH 7,2 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 6,82 50 7. COD (Dichromat) mg/L <40 100
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999
8. Besi (Fe) mg/L 8,09 5 Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Tabel 8. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Lumpur Sedimentasi Instalasi Heksakoloidal
No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999
1. Suhu ᴼC 24,3 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 165 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 17100 200 4. Kekeruhan NTU 18800 - 5. pH 6,8 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 51,48 50 7. COD (Dichromat) mg/L 159,22 100 8. Besi (Fe) mg/L 116 5
Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Tabel 9. Hasil Uji Laboratorium Karakteristik Air Backwash Filter Instalasi Heksakoloidal
No. Parameter Satuan Hasil Uji Kep. Gub. Jawa Barat No. 6 Tahun 1999
1. Suhu ᴼC 24,4 38 2. Zat Padat Terlarut mg/L 71,8 2000 3. Zat Padat Tersuspensi mg/L 200 200 4. Kekeruhan NTU 71 - 5. pH 7,1 6,0-9,0 6. BOD (20ᴼC, 5 hari) mg/L 20,4 50 7. COD (Dichromat) mg/L <40 100 8. Besi (Fe) mg/L 0,43 5
Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium, 2014 Hasil uji laboratorium juga menunjukkan untuk parameter TSS, unit sedimentasi memiliki
kontribusi paling signifikan dalam produksi lumpur dengan nilai kandungan padatan
tersuspensi yang paling besar. Lumpur alum umumnya memiliki kandungan total padatan
(total solids) mencapai 1.000 sampai 17.000 mg/L (AWWA, 1969a dalam ILENR 1987), di
mana 75 sampai 95 persennya adalah padatan tersuspensi.
Nilai BOD dan COD lumpur dari unit sedimentasi di kedua instalasi menunjukkan nilai yang
cukup tinggi. Qasim (2000) menyatakan bahwa walaupun nilai BOD dan COD lumpur bisa
jadi tinggi, namun sifat lumpur yang dihasilkan akibat presipitasi koagulan dan kekeruhan
pada air baku relatif stabil karena tidak ada zat organik yang mengalami dekomposisi aktif
atau menyebabkan kondisi anaerobik sehingga lumpur dapat dibiarkan sampai terakumulasi
selama beberapa waktu kemudian dibuang secara intermittent. Untuk lumpur alum, nilai BOD
umumnya berada pada kisaran 30-300 mg/L, sedangkan COD berkisar antara 30-5000 mg/L
(Crittenden et al., 2012). Rasio nilai BOD dengan COD hasil analisa laboratorium kurang dari
0,6, yakni 0,53 untuk lumpur sedimentasi instalasi konvensional dan 0,32 untuk lumpur
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
sedimentasi instalasi heksakoloidal. Dengan rasio kurang dari 0,6, maka lumpur tidak dapat
dibuang ke instalasi pengolahan air limbah yang menerapkan pengolahan biologis dalam
prosesnya.
Dalam perencanaan pengolahan lumpur, salah satu tahap pengolahan lumpur adalah
thickening dengan menggunakan gravity thickening yang beroperasi serupa dengan bak
sedimentasi (Crittenden et al., 2012). Pada bak sedimentasi primer, terjadi penurunan nilai
BOD dengan penurunan BOD dapat bervariasi tergantung pada waktu detensi dan debit
overflow (Qasim, 1985) sehingga diharapkan pada pengolahan lumpur (terutama unit gravity
thickener) nantinya akan berkontribusi terhadap penurunan nilai BOD lumpur.
Pengujian kandungan logam pada lumpur perlu dilakukan untuk mengetahui potensi dampak
pembuangan lumpur di sanitary landfill, kemungkinan efek penghambat terhadap proses di
instalasi jika lumpur dibuang ke instalasi pengolahan air limbah untuk diolah, efek yang
ditimbulkan terhadap kandungan racun pada effluen instalasi pengolahan air limbah
(AWWA/ASCE/U.S. EPA, 1996). Kandungan logam yang diuji pada lumpur dan air
backwash filter ini adalah kandungan logam besi (Fe). Dari hasil pengujian laboratorium,
kandungan logam besi cukup tinggi ditunjukkan pada semua residu kecuali pada residu air
backwash filter instalasi konvensional. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya karat pada
pipa pembuangan lumpur yang berkontribusi terhadap kandungan logam lumpur. Kandungan
besi pada air backwash filter instalasi konvensional cukup rendah karena pembuangan air
backwash filter tidak melalui pipa terlebih dahulu, hanya melalui saluran, tidak seperti residu
lumpur lainnya yang melalui pipa terlebih dahulu sebelum masuk ke saluran. Kandungan
logam juga penting untuk mengetahui kemungkinan pemanfaatan lumpur di bidang
agrikultur. Florida Soil Cleanup Target Levels (SCTLs) menetapkan untuk land application
batas maksimum kandungan besi pada lumpur adalah sebesar 23000 mg/kg koagulan.
Mengacu batas tersebut, lumpur alum dari IPA Legong masih memenuhi syarat untuk land
application.
Pengujian pH dan suhu lumpur juga dilakukan untuk mengetahui tingkat bahaya lumpur
terhadap organisme di Sungai Ciliwung sebagai tempat pembuangan lumpur selama ini.
Berdasarkan hasil pengujian, pH dan suhu lumpur masih memenuhi standar sehingga tidak
membahayakan organisme dari sisi kedua parameter tersebut. Pemanfaatan lumpur juga perlu
memperhatikan pH karena dapat pH yang rendah (bersifat asam) akan membahayakan
lingkungan. Lumpur alum pada umumnya cenderung memiliki nilai pH yang netral (Faust
dan Aly, 1998).
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Nilai specific gravity lumpur basah dihitung berdasarkan persamaan 2.14 dengan acuan
Crittenden et al. (2012) tentang karakteristik lumpur alum berupa kandungan padatan tetap
(fixed solids) sebesar 5%, kandungan padatan volatil sebesar 10%, specific gravity dari
padatan volatil sebesar 1,0, maka nilai specific gravity lumpur alum basah dapat dihitung
sebagai berikut:
Lumpur Sedimentasi Instalasi Konvensional
• Perhitungan specific gravity padatan dalam lumpur: 1!!=0,902,77+
0,101,0 = 0,425
!! =1,00,425 = 2,35
• Perhitungan specific gravity lumpur alum basah (dengan nilai specific gravity air sebesar
1,00): 1!!"
=0,052,35+
0,951,00 = 0,97
!!" =10,97 = 1,03
Lumpur Sedimentasi Instalasi Heksakoloidal
• Perhitungan specific gravity padatan dalam lumpur: 1!!=0,902,63+
0,101,0 = 0,442
!! =1,00,442 = 2,26
• Perhitungan specific gravity lumpur alum basah (dengan nilai specific gravity air sebesar
1,00):
1!!"
=0,052,26+
0,951,00 = 0,972
!!" =1
0,972 = 1,03
Lumpur alum basah dari kedua sampel menghasilkan nilai specific gravity sebesar 1,03.
Kedua lumpur memiliki nilai specific gravity yang sama karena air baku dan proses
pengolahan yan dilakukan sama, perbedaan hanya terletak pada debit yang diolah dan jenis
unit flokulasi yang tidak mempengaruhi nilai specific gravity lumpur basah. Nilai ini sesuai
dengan literatur (Pizzi/AWWA, 2011) yang menyebutkan nilai specific gravity lumpur alum
basah sekitar 1,03 sampai 1,04.
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Hubungan massa dan volume lumpur perlu diperhatikan karaena lumpur yang dihasilkan di
IPA Legong merupakan campuran dari lumpur yang berasal dari bak pengendap dan air
cucian filter, sehingga lumpur menjadi lebih encer akibat pencampuran air. Dari hubungan
massa dengan volume lumpur ini diperoleh persentase padatan kering lumpur setelah
pencampuran dengan air cucian filter. Nilai massa jenis air yang digunakan adalah 997,196
kg/m3 pada suhu 24,4°C.
Instalasi Konvensional
!! =!!
!!!!"∀=
2464,31 !"ℎ!"#
997,196 !"!!×1,03×490,87!!
ℎ!"#
= 0,49 %
Instalasi Heksakoloidal
!! =!!
!!!!"∀=
947,81 !"ℎ!"#
997,196 !"!!×1,03×269,46!!
ℎ!"#
= 0,34%
Desain Unit Pengolahan Lumpur Secara garis besar, sistem pengolahan lumpur akan meliputi bak ekualisasi, unit thickening,
penggunaan bahan kimia sebagai chemical conditioner untuk meningkatkan konsentrasi
padatan lumpur, unit dewatering, dan terakhir adalah pembuangan akhir. Unit thickening yang
digunakan untuk semua alternatif adalah gravity thickener karena kemudahan operasional,
penggunaan energi yang minimum, dan biaya operasional murah serta unit ini merupakan unit
thickening yang umum digunakan untuk pengolahan lumpur dari instalasi pengolahan air
(Pratami, 2011). Alternatif sistem pengolahan lumpur yang dibuat untuk penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Alternatif 1 dan 2
Diagram alir sistem pengolahan lumpur pada kedua alternatif ini sama. Yang
membedakan keduanya adalah pada unit dewatering, di mana alternatif 1 akan
menggunakan centrifuge sebagai unit dewatering sedangkan pada alternatif 2 akan
menggunakan belt filter press. Kedua alternatif ini menerapkan proses recycle dari air
cucian filter dan supernatan hasil pengolahan lumpur, sehingga lumpur yang diolah pada
unit pengolahan lumpur hanya berasal dari unit sedimentasi. Dengan adanya recycle dari
air cucian filter maka tidak akan terjadi pencampuran antara lumpur sedimentasi dengan
air cucian filter, sehingga tidak terjadi proses pengenceran yang akan menurunkan
kandungan padatan dalam lumpur. Berkurangnya kandungan padatan dalam lumpur akan
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
menyebabkan penurunan kinerja unit dewatering dan kebutuhan polimer sebagai
chemical conditioner meningkat.
2. Alternatif 3 dan 4
Sama dengan poin 1, diagram alir kedua alternatif ini sama, yang membedakannya adalah
pada unit dewatering. Perbedaan dengan poin 1 adalah lumpur yang diolah berasal dari
air cucian filter dan unit sedimentasi, sehingga chemical conditioner diberikan sebelum
lumpur masuk ke unit gravity thickening untuk meningkatkan performa thickening dan
dewatering lumpur. Supernatan dari unit pengolahan lumpur ditampung dalam bak
ekualisasi untuk selanjutnya dilakukan proses recycle ke unit koagulasi sehingga tidak
ada residu berupa limbah cair yang dibuang ke badan air.
Pemilihan alternatif didasarkan pada luas lahan, volume dry cake, pengoperasian, dan
pembiayaan. Setelah dilakukan perhitungan desain dan melihat kelebihan dan kekurangan
setiap alternatif, maka komponen-komponen tersebut dirangkum dalam tabel berikut. Tabel 10. Perbandingan Setiap Alternatif dari Berbagai Kriteria
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4
Resirkulasi Air Air cucian filter dan supernatan
Air cucian filter dan supernatan Supernatan Supernatan
Luas lahan (m2) 333,48 317,71 362,18 345,89 Volume dry cake (m3) 12,94 10 14,52 11,22
Capital Cost (USD) 1.085.787,653 436.190,99 1.335.877,67 478.722,39
Operation and Maintenance (USD)
134.548,4 137.237 167.473 158.367,8
Mechanical dewatering Belt Filter Press Centrifuge Belt Filter Press Centrifuge
Kelebihan
Mengurangi debit lumpur yang diolah, mengurangi pengambilan air baku.
Mengurangi debit lumpur yang diolah, mengurangi pengambilan air baku.
Mengolah semua residu yang dihasilkan.
Mengolah semua residu yang dihasilkan.
Kekurangan
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai kandungan mikroba.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai kandungan mikroba.
Debit lumpur yang diolah lebih tinggi.
Debit lumpur yang diolah lebih tinggi.
Sumber: Hasil Olahan, 2014 Dengan mempertimbangkan komponen-komponen yang dijabarkan pada tabel 10, maka
pemilihan alternatif menyempit menjadi alternatif 1 dan 2 saja karena luas lahan menjadi
pertimbangan yang paling penting. Perbedaan alternatif 1 dan 2 hanya terdapat pada unit
mechanical dewatering dengan penerapan sistem yang sama, yakni resirkulasi air cucian filter
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
dan supernatan menjadi air baku. Oleh karena itu, pertimbangan berikutnya yang perlu
ditinjau adalah kelebihan dan kekurangan unit mechanical dewatering. Tabel 11. Perbandingan Unit Mechanical Dewatering Belt Filter Press dengan Centrifuge
Belt Filter Press Centrifuge Ruang/lahan Lebih besar Lebih kecil Desain pelindung bau Terbuka Tertutup
Kebutuhan operator Butuh pengawasan operator secara berkala
Otomatis sepenuhnya, pengawasan lebih sedikit
Chemical conditioning Butuh lebih sedikit polimer Butuh lebih banyak polimer Cake dryness Lebih sedikit Lebih banyak Kebutuhan pencucian Kontinyu Hanya pada saat dimatikan Otomatisasi Parsial Penuh
Sumber: Andritz Separation Presentation, 2011 Pemilihan unit mechanical dewatering yang tepat menitik beratkan pada kesesuaian dengan
kondisi di lapangan. Penggunaan belt filter press akan lebih tepat dibandingkan centrifuge
karena penggunaan listriknya yang lebih minim dan pengoperasiannya yang lebih sederhana
dibanding jenis mechanical dewatering lainnya (Bane, 2014). Biaya untuk penggunaan
operator di lapangan bisa sedikit lebih besar karena adanya kebutuhan pembersihan alat,
namun hal itu tidak lebih besar dibandingkan kebutuhan listrik yang akan memakan biaya
yang sangat besar. Oleh karena itu, alternatif yang dipilih adalah alternatif 1.
Gambar 2. Keseimbangan Massa dan Volume Lumpur dengan Unit Pengolahan Sumber: Hasil Perhitungan, 2014
Tabel 12. Kebutuhan Lahan Alternatif Desain 1 Unit Pengolahan Dimensi (m) Luas (m2)
Bak ekualisasi P = L = 13,9 m 193,21 Gravity thickener D = 6,6 m 34,23 Sludge conditioning tank P = L = 1,2 m 1,44 Belt filter press P = 5,994 m; L = 1,727 m 10,35 Bak penampung dry cake P = L = 5,5 m 30,25
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Unit Pengolahan Dimensi (m) Luas (m2) Bak supernatan P = L = 8 m 64
Total 333,48 Sumber: Hasil Perhitungan, 2014
Gambar 3. Diagram Alir IPA Legong dan Sistem Pengolahan Lumpur Alternatif 1 Sumber: Hasil Olahan, 2014
Ket.: ( ) aliran air olahan; ( ) aliran lumpur; ( ) aliran supernatan; ( ) aliran air recycle; ( ) aliran bahan kimia
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lumpur sisa unit pengolahan di IPA Legong memiliki kandungan padatan tersuspensi
yang jauh melebihi baku mutu yang diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor
6 Tahun 1999, yaitu 70 kali lipat di atas baku mutu untuk lumpur sedimentasi instalasi
konvensional dan 85,5 kali lipat untuk lumpur sedimentasi instalasi heksakoloidal.
2. Timbulan lumpur yang dihasilkan dari sumber unit sedimentasi instalasi konvensional
sebesar 2464,31 kg/hari dengan debit 382,87 m3/hari, sedimentasi instalasi heksakoloidal
sebesar 947,81 kg/hari dengan debit 191,43 m3/hari, air cucian filter instalasi
Koagulan Koagulan
Bak ekualisasi
Polimer
Koagulasi
Flokulasi
Sedimentasi
Filtrasi
Intake
Desinfeksi
Reservoir
Distribusi
Koagulasi
Flokulasi
Sedimentasi
Filtrasi
Intake
Desinfeksi
Reservoir
Distribusi
Bak supernatan
Gravity thickener
Chemical conditioning
Dewatering
Bak penampung lumpur
Disposal
Desinfektan Desinfektan
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
konvensional 189,22 kg/hari dengan debit 108 m3/hari, dan air cucian filter heksakoloidal
199,37 kg/hari dengan debit 78 m3/hari.
3. Alternatif yang terpilih adalah alternatif 1 dengan kelebihan berupa a) resirkulasi air
cucian filter dan supernatan sehingga debit lumpur yang masuk ke unit pengolahan lebih
sedikit; b) unit mechanical dewatering yang digunakan adalah belt filter press dengan
pembiayaan operasional yang lebih rendah dibanding mechanical dewatering lainnya.
Sedangkan saran untuk penelitian selanjutnya adalah
1. Perlu adanya studi mengenai pengaruh recycle air cucian filter dan supernatan menjadi
air baku terhadap proses pengolahan secara keseluruhan dan kandungan bakteri patogen
pada air produksi.
2. Perlu adanya studi mengenai dosis polimer yang dibutuhkan untuk meningkatkan
performa dewatering lumpur.
3. Dapat dilakukan studi mengenai pemanfaatan limbah berbahaya seperti fly ash untuk
meningkatkan performa dewatering lumpur.
4. Perlu adanya studi mengenai karakteristik dewatering lumpur seperti pengujian
parameter Specific Resistancce to Filtration (SRF), Capillary Suction Time (CST), Time
to Filtration (TTF).
5. Pengukuran debit lumpur sebaiknya tidak menggunakan metode apung karena fluida
yang diukur bukan air sehingga viskositas dan koefisien geseknya mempengaruhi akurasi
hasil pengukuran.
Daftar Referensi AWWA/ASCE/U.S. EPA. (1996). Technology Transfer Handbook: Management of Water
Treatment Plant Residuals. ASCE, New York.
Bane, Ian H. (2014). The Choice of Belt Filter Press vs Centrifuge for Sludge Dewatering.
Magytec International, Hornsby.
Casey, T. J. (2006). Unit Treatment Processes in Water and Wastewater Engineering.
Aquavarra Research Limited, Dublin.
Crittenden, J. C., Trussell, R. R., Hand, D.W., Howe, K. J., Tchobanoglous, G. (2012).
MWH’S Water Treatment Principles and Design Third Edition. Wiley, New Jersey.
Donegal Waste Management Plant. (2006). Sludge Management Plant. Donegal County
Council.
Faust, Samuel D. dan Aly, Osman M. (1998). Chemistry of Water Treatment, Second Edition.
CRC Press, USA.
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Fitri, Hariana. (2012). Dampak Pembuangan Lumpur Perusahaan Daerah Air Minum Kota
Pontianak terhadap Kualitas Air Sungai Kapuas. Skripsi. Program Studi Teknik
Lingkungan, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
ISWA. (1997). Sludge Treatment and Disposal. European Environment Agency, Copenhagen.
Kawamura, Susumu. (2000). Integrated Design and Operation of Water Treatment Facilities
Second Edition. John Wiley & Sons, New York.
Letterman, Raymond D. (1999). Water Quality and Treatment: A Handbook of Community
Water Supplies, Fifth Edition. McGraw Hill.
Malhotra, Sonu. (1994). Poly aluminium chloride as an alternative coagulant. 20th WEDC
Conference: Affordable Water Supply and Sanitation. Colombo, Sri Lanka.
PDAM Tirta Kahuripan. (2013). Areal Pelayanan PDAM Tirta Kahuripan. Diakses 2
Desember 2013 pukul 21.45. http://www.pdam-kabbogor.co.id/
PDAM Tirta Kahuripan. (2013). Rekapitulasi Kegiatan PDAM Tirta Kahuripan Tahun 2013.
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. (1999). Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri
di Jawa Barat.
Pemerintah Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
Pramusinto, A. L. (2013). Evaluasi Timbulan Lumpur dan Perancangan Instalasi Pengolahan
Lumpur (Studi Kasus: Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) Cibinong, PDAM Tirta
Kahuripan. Skripsi. Program Studi Teknik Lingkungan FTUI, Depok.
Pratami, M. R. P. (2011). Perencanaan Sistem Pengolahan Lumpur IPA Pejompongan I dan
II Jakarta. Skripsi. Program Studi Teknik Lingkungan FTUI, Depok.
Parlindungan, May. (2013). Analisis Karakteristik Jejaring Sungai Ciliwung Hulu untuk
Menentukan Pola Hidrograf Banjir. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi,
FMIPA IPB, Bogor.
Qasim, S. R., Montley, E. M., dan Zhu, G. (2000). Water Works Engineering: Planning,
Design, and Operation. Prentice Hall PTR, New Jersey.
Sotero-Santos, R.B., Rocha, O., Povinelli, J. (2005). Evaluation of Water Treatment Sludges
Toxicity Using the Daphnia Bioassay. Water Research 39 (2005) 3909-3917.
Sawyer, C. N., McCarty, P.L., dan Parkin, G. F. (2003). Chemistry for Environmental
Engineering and Science Fifth Edition. McGraw Hill.
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014
Townsend, T.G., Jung, Y. C., Jain, P., Tolaymat, T. (2001). Characterization of Drinking
Water Sludges for Beneficial Reuse and Disposal. Florida Center for Solid and Hazardus
Waste Management, Florida.
United States Environmental Protection Agency. (2011). Drinking Water Treatment Plant
Residuals Management Technical Report.
Verrelli, D. I, Dixon, D. R., Scales, P. J. (2009). Effect of Coagulation Conditions on the
Dewatering Properties of Sludges Produced in Drinking Water Treatment. Colloids and
Surfaces A: Physicochem. Eng. Aspects 348 (2009) 14-23.
Pemilihan dan …, Okita Miraningrum Nur Atsari, FT UI, 2014