pemeriksaan sinar wood dalam dermatologi

32
Referat PEMERIKSAAN SINAR WOOD DALAM DERMATOLOGI Oleh Siti Ramadhani KP, S.Ked NIM: 04114708076 Pembimbing dr Inda Astri Aryani , SpKK BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2013

Upload: kartika-ramadhani-bahri

Post on 24-Oct-2015

187 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Referat

PEMERIKSAAN SINAR WOOD DALAM DERMATOLOGI

Oleh

Siti Ramadhani KP, S.Ked

NIM: 04114708076

Pembimbing

dr Inda Astri Aryani , SpKK

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2013

Page 2: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul:

Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

oleh

Siti Ramadhani KP, S.Ked

NIM: 04114708076

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, Juli 2013

dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK

Page 3: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

PEMERIKSAAN SINAR WOOD DALAM DERMATOLOGI

Siti Ramadhani KP, S.KedBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Page 4: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

PENDAHULUAN

Sinar Wood diciptakan pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan yang berasal

dari Baltimore, Robert W. Wood ( r868 – 1955). Sinar dengan gelombang

panjang yang dikenal sebagai cahaya Ultraviolet, disebut juga dengan lampu

Wood. Lampu Wood telah menjadi alat praktik yang sangat berguna dalam ilmu

kedokteran. 1,2 Sinar wood dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi melalui

"wood’s filter" terbuat dari silikat dengan nikel oksida, yang buram terhadap

semua radiasi melampaui panjang gelombang antara 320 nm dan 400 nm

[ultraviolet A (UVA)], dengan puncak emisi pada 365 nm. Penggunaan pertama

lampu Wood dilaporkan pada tahun 1925, yang dianjurkan untuk mendeteksi

infeksi jamur di rambut.1

Lampu Wood merupakan pemeriksaan sederhana dan mudah dalam

menggunakannya. Saat ini, penggunaan lampu Wood tidak hanya dimanfaatkan

untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi jamur, tetapi juga untuk evaluasi

klinis berbagai jenis penyakit kulit seperti kelainan pigmen, infeksi kulit akibat

bakteri, dan porfiria.2 Agar lebih mudah untuk diaplikasikan dalam praktik sehari-

hari maka perlu pengetahuan dalam mempergunakan lampu Wood.

Tujuan penulisan referat ini untuk menjelaskan tentang teknik, aplikasi dan

fungsi dari lampu Wood untuk dapat membantu dokter lebih mengerti tentang

lampu Wood untuk menunjang penentuan diagnosis dan memberikan terapi yang

tepat.

Page 5: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

LAMPU WOOD

gambar 1. Lampu wood.

Lampu Wood merupakan alat diagnostik non-invasif yang dapat

memberikan fluoresensi tertentu. Fluoresensi merupakan pancaran cahaya ketika

terpapar cahaya. Lampu Wood dapat memberikan fluoresensi dengan cara sinar

yang diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul

metabolit organisme penyebab sehingga menimbulkan indeks bias berbeda yang

dapat menghasilkan pendaran warna tertentu. Emisi gelombang panjang dari

lampu Wood dihasilkan oleh merkuri bertekanan tinggi yang cocok dengan filter

yang sudah dicampurkan oleh barium silikat dan 9 % nikel oksida yang diberi

nama filter Wood. Filter ini tidak tembus cahaya kecuali untuk cahaya ukuran 320

dan 400 nm dengan puncaknya pada 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika

cahaya dari panjang gelombang lebih pendek. dalam hal ini 340-400 nm, awalnya

dipancarkan oleh lampu wood, diserap dan radiasi dari panjang gelombang cahaya

biasanya terlihat dan dipancarkan.

Page 6: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Output pada lampu wood biasanya rendah, lampu wood yang khas

mempunyai output kurang dari 1 mW/cm2. Sementara itu kedua melanin

epidermal dan dermal menyerap dalam gelombang, yaitu adalah kolagen dalam

dermis yang dimana sesaat setelah absorbsi fluoresensi dapat terlihat pada batas

biru. Namun harus diingat dalam general fluoresensi pada kulit sangat buruk

untuk dikarakteristikan. Spektra fluoresensi pada kulit manusia seringkali berubah

pada paparan kronik dari sinar matahari, mungkin disebabkan oleh alterasi pada

elastin dermal.4

Gambar 2. Struktur fisika lampu wood

TEKNIK PEMERIKSAAN LAMPU WOOD

Penggunaan lampu Wood tidak memerlukan keahlian khusus. Namun,

beberapa hal praktis yang harus diingat untuk menghindari hasil positif palsu,

yaitu menegakkan diagnosis yang salah akibat salah mengelompokkan individu

kedalam suatu penyakit3:

1. lampu sebaiknya dipanaskan dahulu selama lima menit.

Page 7: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

2. Ruangan pemeriksaan harus sepenuhnya gelap (ruangan tanpa jendela)

3. Pemeriksa harus beradaptasi pada kegelapan agar dapat melihat kontras

dengan jelas.

4. Kurang akurat pada orang kulit hitam.

5. Obat topikal, kassa, dan residu sabun harus dibersihkan karena dapat

menimbulkan fluoresensi.

6. Sumber cahaya berjarak 4 – 5 inci dari lesi.

7. Tidak membersihkan daerah yang akan diperiksa karena dapat

menimbulkan negatif palsu akibat dilusi pigmen.

Aplikasi Sinar Wood

Pemeriksaan sinar wood pertama kali ditemukan untuk kepentingan medis

dimanfaatkan untuk mendeteksi infeksi jamur. Pemeriksaan sinar wood bisa

digunakan pada beberapa kondisi dibawah ini:

1. Deteksi tinea capitis

Tabel 1. Karakteristik fluoresensi pada tinea kapitis.5

Organisme Warna Fluoresens

Microsporum audonii

Microsporum canis

Microsporum ferrugineum

Microsporum distortum

Microsporum gypseum

Trichophyton schoenleinii

Biru-hijau

Biru-hijau

Biru-hijau

Biru-hijau

Kuning-tidak mengkilat

Biru-tidak mengkilat

Page 8: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Dermatofita yang zoofilik dan geofilik dari genus Microsporum,

menghasilkan pigmen pteridine yang berfluoresensi di bawah sinar

wood.6,7

2. Deteksi infeksi jamur lainnya

Tinea versicolor yang disebabkan oleh pytirosporum orbiculare

memperlihatkan warna kuning keemasan.5,7

3. Deteksi infeksi bakteri

Erythrasma, infeksi intertriginosa disebabkan Corynebacterium

minutissimum. Fluoresensi kerang merah terang (coral red) atau pink

orange disebabkan oleh Coproporphyrin III yang dihasilkan oleh C.

minutissimum.6,7 Porphyrin merupakan substansi yang larut dalam air, oleh

karena itu tidak akan terlihat jika sebelum dilakukan pemeriksaan sudah

dibersihkan dengan air.6

Gambar 1. Fluoresensi coral merah muda dari erythrasma di lipatan

pangkal paha, dilihat dengan sinar wood.6

Page 9: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Infeksi Pseudomonas aeruginosa mengeluarkan fluoresensi kuning

kehijauan akibat piosianin.6

4. Gambaran kelainan pigmentasi

Long-wave ultraviolet light (UVL) di transmisikan ke lapisan

dermis, maka akan memperlihatkan fluoresensi berwarna putih hingga

putih kebiruan. Melanin yang terdapat pada lapisan epidermis (bukan pada

lapisan dermis) bekerja untuk mengabsorbsi long-wave UVL dan dengan

demikian dapat menghalangi warna putih tersebut. Dibawah sinar wood,

bermacam-macam pigmentasi epidermal (freckles, vitiligo, melasma)

dapat dilihat lebih jelas, sedangkan pada pigmentasi dermis (Mongolian

spot, beberapa contoh hiperpigmentasi pasca inflamasi) tidak terlihat jelas

atau tidak terlihat perubahan warna yang jelas dibandingkan dengan sinar

yang visible. Sinar wood memperjelas antara kulit yang pigmentasi dan

non pigmentasi tetapi yang lebih utama adalah untuk membedakan

hipopigmentasi dari area amelanotic total. Sinar wood juga digunakan

untuk memeriksa pasien dengan vitiligo, albinisme, leprosy, dan gangguan

hipopigmentasi lainnya.7

Gambar 2. Fluresensi hipopigmentasi yang terlihat pada pemeriksaan

lampu wood.5

Hipermelanosis

Page 10: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Lampu wood bisa digunakan untuk membedakan kedalaman

melanin pada kulit. Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang

sering dijumpai, bersifat didapat dengan distribusi simetris pada daerah

yang sering terpapar sinar matahari dan biasanya ditemui pada wanita

dengan usia reproduksi. Etiologi melasma masih belum dimengerti.

Adapun faktor- faktor yang berperan dalam patogenesisnya seperti faktor

endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi UV dan faktor-faktor

lainnya. Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu

yang terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat

fototoksik, dan fotosensitif atau fotoalergik, dan obat-obatan

antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari akan ikut

terlibat dalam patogenesis melasma. Patogenesis melasma selalu

digunakan dalam pelaksanaan proses diagnosis maupun proses pengobatan 4,5.

Pengetahuan tentang patogenesis melasma banyak berkaitan

dengan biologi, biokimia, patofisiologi dan patologi dari proses pigmentasi

kulit, baik ditingkat selular, biomolekular dan jaringan kulit. Juga

berhubungan langsung dengan faktor penyebab melalui beberapa

mekanisme yang bersifat spesifik 5.

Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma

a). Faktor Endokrin

Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain :

Melanin Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan

progesteron. Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis

melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas adenyl

cyclase (c-AMP) dan juga meningkatkan pembentukan tirosinase, melanin dan

penyebaran melanin. Hipermelanosis yang difus berhubungan dengan insufisiensi

korteks adrenal. Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar

Page 11: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

pituitari akan terjadi bila kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari

kegagalan mekanisme inhibisi umpan balik. Estrogen dan progesteron baik natural

maupun sintetis diduga sebagai penyebab terjadinya melasma oleh karena sering

berhubungannya dengan kehamilan penggunaan obat kontrasepsi yang

mengandung estrogen dan progesterone.4,5,6

Faktor Paparan Sinar Matahari

Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini

berlaku untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah parah

apabila terpapar sinar matahari. Eksaserbasi melasma hampir pasti dijumpai

setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi melasma akan

memudar selama musim dingin. Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar

dengan sinar, terutama UV dapat menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan

radikal bebas yang merusak lipid dan jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan

menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebihan.

Faktor Kosmetika

Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan

faktor positif dan negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit

seseorang dapat menimbulkan efek kosmetik. Bahan kosmetika yang

menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal dari bahan iritan atau

photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak, minyak

mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen

diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik. Melasma yang terjadi biasanya difus

dengan batas tidak jelas dan akan lebih jelas bila terkena sinar matahari.6

Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan

sinar matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian terbentuk

hapten yang akan bergabung dengan protein karier dan memicu terjadinya respon

imun. Mediator inflamasi yang mempunyai kemampuan merangsang prolifersi

Page 12: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

melanosit yaitu leukotrien C4 dan D4. Sedangkan sitokin dan interleukin (IL)-1 α,

IL6, Tumor Necrosing Factor (TNF) α menghambat proliferasi melanosit.27

Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal dan edema

kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas dan multiplikasi

lamina basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap pemberian bahan-bahan

kimia ini menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi sel basal. Dalam proses

ini melanosom dalam keratinosit yang mengalami degenerasi berpindah ke dermis

dan terjadilah inkontinensia pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal.5,6

e). Faktor Obat-obatan

Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari keseluruhan

kasus hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi yang diinduksi oleh

obat ini bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab pengobatan dan

melibatkan akumulasi melanin, diikuti dengan peradangan kutaneus yang non

spesifik dan sering diperparah dengan paparan sinar matahari.30 Biasanya obat-

obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis bagian atas secara kumulatif, dan

juga dapat merangsang melanogenesis.6

Beberapa obat yang dapat merangsang aktivitas melanosit dan

meningkatkan pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang sering terpapar

sinar matahari yaitu, obat-obat psikotropik seperti fenotiazin (klorpromazin),

amiodaron, tetrasiklin, minosiklin, klorokuin, sitostatika, logam berat, arsen

inorganik, dan obat antikonvulsan seperti hidantoin, dilantin, fenitoin dan

barbiturat.6

Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam

pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320 nm dan UVA 320-400 nm. Semakin

kuat UVB maka akan semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan

perkiraan 10% dapat mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai

Page 13: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

dermis.30 Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat

tirosinase sehingga dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara

maksimal dan memicu proses melanogenesis 6.

Gambaran Klinis

Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan

pinggir iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan

pola retikular.8 Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu

sentrofasial (63%) mengenai daerah pipi, dahi, hidung, di atas bibir dan dagu,

merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, malar (21%) mengenai pipi dan

hidung, dan mandibular (16%) mengenai ramus mandibula. Melasma tidak

mengenai membran mukosa. Jumlah makula hiperpigmentasi berkisar antara satu

lesi sampai multipel dengan distribusi simetris.6

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan

fungsi endokrin, tiroid dan hepatik.5,6

B. Pemeriksaan histopatologis

Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal.

Terdapat tiga gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal,

dan campuran. Pada melasma tipe epidermal, yang terlihat berwarna kecoklatan,

terdapat peningkatan melanin di lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah

dan aktivitas melanosit masih diamati seiring dengan meningkatnya transfer

Page 14: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

melanosom ke keratinosit. Tipe epidermal lebih responsif terhadap pengobatan.6,7

Pada melasma tipe dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen

melanin yang diproduksi oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan

diambil oleh makrofag (melanofag), dimana sering berkumpul di sekitar

pembuluh darah kecil dan dilatasi. Pada melasma tipe campuran ditandai dengan

adanya deposisi pada lapisan dermal dan epidermal.1,3

Cara pemeriksaan lampu wood

Page 15: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi

sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat

menentukan pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan

lokalisasi pigmen, sebelum diterapi maka pasien harus diperiksa dengan

menggunakan lampu Wood.1

Lawrens berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak dapat

membantu meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada melasma.

Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki tipe

melasma campuran dermal-epidermal.3 Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap

berguna untuk menentukan prognosis dari pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi

terlihat lebih jelas dengan pemeriksaan lampu Wood maka kesempatan lebih baik

bagi perbaikan klinis.3

Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood, secara klasik melasma dapat

diklasifikasikan menjadi :

a). Tipe Epidermal

Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu

biasa dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara

daerah yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal Sebagian besar pasien

melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan hiperpigmentasi tipe

epidermal memiliki respon yang lebih baik terhadap bahan-bahan depigmentasi.6

b). Tipe Dermal

Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan apabila dilihat

dibawah lampu biasa dan dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras

pada lesi. Pada tipe ini, eliminasi pigmen bergantung pada transport melalui

Page 16: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

makrofag dan keadaan ini tidak mampu dicapai oleh bahan-bahan

depigmentasi.1,3,6

Page 17: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

c). Tipe Dermal-Epidermal (Campuran)

Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan

lampu biasa dan dengan lampu Wood terlihat papada beberapa daerah lesi akan

tampak warna yang kontras sedangkan pada daerah yang lain tidak.1,3,6

d). Tipe Indeterminate

Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe V

danVI) dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna abu-

abu gelap namun sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang timbul

Variasi pigmen epidermis lebih terlihat di bawah sinar wood. Berdasarkan

penemuan sinar wood, Sanchez dkk mengelompokkan melasma ke dalam empat

subtipe : epidermis, dermis, campuran dan tidak terlihat dengan pemeriksaan sinar

wood. Sinar wood bisa juga sebagai panduan prognosis pada pengobatan

melasma, melasma tipe epidermis lebih respon terhadap bahan depigmentasi

dibanding tipe lainnya.2

Lampu wood juga sebagai panduan penting dalam peeling kimia (chemical

peeling). Penambahan asam salisilat (dalam rasio 1:5) atau fluoresens dalam

sodium (rasio 1:15) untuk cairan peeling dan diamati fluoresens hijau dan kuning-

oranye berturut-turut di bawah sinar wood membantu untuk mencegah penutupan

berlebihan dari cairan peeling dan memastikan dilakukan di semua area.2

5. Deteksi porfirin

Deteksi kelebihan porfirin pada gigi, urin, sampel tinja, sel darah

merah dan cairan blister dalam berbagai bentuk porfiria dapat dengan

mudah dilakukan dengan bantuan lampu Wood. Penambahan asam klorida

encer untuk sampel yang diperiksa mengintensifkan fluoresensi dengan

mengubah porphyrinogens menjadi porfirin.4

Pada urin, feses, dan cairan tubuh yang berasal dari pasien dengan

porfiria cutanea tarda memperlihatkan fluoresensi berwarna pink orange

terang “a brilliant pink orange”.4

Page 18: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Tabel 2. Fluoresensi pada porfiria.4

Diagnosis Sampel Fluoresensi

Eritropoetik porfiria

Eritropoetik protoporfiria

Porfiria kutaneus tarda

Variegate porfiria

RBC, urine, gigi, tulang,

cairan lepuh

RBC, feses, batu empedu

RBC, feses, urine

Urine (hanya kondisi krisis),

feses

Merah-merah muda

Merah-merah muda

Merah-merah muda

Merah-merah muda

Page 19: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Gambar 3. Pemeriksaan sinar wood pada porphyria cutanea tarda:

fluoresensi coral red dari urin pasien dengan PCT dibandingkan dengan

sebuah kontrol normal.7

6. Deteksi obat-obatan

Pada anak-anak yang mengkonsumsi tetrasiklin selama pembentukan gigi

desidua bisa terdeteksi dengan fluoresensi berwarna kuning, fluoresensi

pink pada lanula nail bed pasien yang mengkonsumsi tetrasiklin oral,

walaupunn pada topikal terapi didapatkan fluoresensi kuning pada lokasi

yang diterapi.8

7. Diagnosis Fotodinamik

Teknik yang relatif baru, non invasif, dan sederhana sedang dikembangkan

untuk diagnosis kondisi premaligna dan maligna. Melibatkan aplikasi 20%

salap ALA ke tumor dan dibiarkan 4-6 jam, membiarkan protoporfirinogen

IX terakumulasi, setelah itu area disinari dengan sinar wood. Diagnosis

fotodinamik ini telah dibuktikan sangat bermanfaat untuk diagnosis

epitelioma sel basal, Bowen’s disease, solar keratosis, dan extramammary

paget’s disease.8

8. Acne vulgaris

Coproporfirin merupakan porfirin utama yang dihasilkan P.acnes

memberikan fluoresensi orange-merah pada komedo yang mengandung

P.acnes.

9. Dan lainnya

Sebagai marker pada kosmetik, medikasi, bahan-bahan industri yang

mungkin bisa dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan sinar

wood.5,6,7,8

Disamping itu terdapat beberapa aplikasi lain2:

Page 20: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

Pemeriksaan terowongan pada skabies dengan mengoleskan zat

fluoresensi seperti pasta tetrasiklin atau dicelup zat fluorescein

Deteksi pemberian obat sistemik seperti tetrasiklin pada lunula kulit

dan kuku. Topikal tetrasiklin hidroklorida memperlihatkan fluoresensi

merah karang (coral red) yang berubah menjadi kuning setelah

beberapa menit diperiksa di bawah lampu wood.

Menentukan krim proteksi sinar matahari dan krim pelindung lainnya.

Lampu wood bisa digunakan untuk mendeteksi alergen pada kulit yang

disebabkan alergi kosmetik, hal tersebut sering digunakan untuk foto

tes tempel (patch test) meskipun tidak ideal untuk tes ini. Penggunaan

penanda fluoresensi selama tes tempel atau tes lainnya yang

memerlukan identifikasi kulit setelah 24-48 jam dibantu dengan lampu

wood.

Deteksi semen di kulit pada kasus pelecehan seksual.9

Sinar wood mempunyai efek sterilisasi terhadap Staphylococcus

aureus dan mycobacteria, dan bisa digunakan untuk sterisasi media

kultur.

Tabel 3. Fluoresensi pada pemeriksaan sinar wood.

No. Kegunaan Fluoresensi

1. Infeksi jamur Tinea kapitis fluoresensi hijau berhubungan

dengan jenis microspora dan favus

Pityriasis versicolor kuning keemasan

(pityriasitrin)

Page 21: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Infeksi bakteri

Infestasi

Porphyria

Kelainan

pigmentasi

Obat-obatan dan

bahan kimia

Tumor

Erythrasma, acne coral pink (porphyrins)

Pseudomonas pyocyanea hijau kekuningan

(pyocyanin)

Scabies solusio fluoresensi akan mengisi

terowongan pada lesi scabies (burrows) sehingga

dapat terlihat dengan menggunakan sinar wood.

Fluoresensi dari urine, feses, dan gelembung

cairan pada porphyria cutanea tarda; gigi-geligi

pada erythropoietic porphyria; dan darah pada

protoporphyria.

Vitiligo terlihat lebih menonjol dibandingkan

pigmen dermal yang kurang terlihat jelas.

Tuberous sclerosis deteksi makula ash leaf

Deteksi pada jaringan, seperti: pewarnaan gigi

atau sebum dari tetrasiklin dan kuku dari

mepacrine

Fluoresensi merah dapat terlihat pada beberapa

jenis tumor ganas dan lesi lainnya pada kulit,

khususnya karsinoma sel skuamosa.

Mengubah aminolaevulinic acid menjadi

protoporphyrin IX yang terjadi didalam tumor

Page 22: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

C. KESIMPULAN

Lampu Wood merupakan salah satu alat diagnostik yang non-invasif dan

sederhana terutama digunakan dalam bidang dermatologi untuk mendeteksi

beberapa infeksi jamur, infeksi bakteri, dan kelainan pigmentasi.2 Walaupun

aplikasi lampu Wood sebagai alat diagnostik mudah untuk dilakukan, tetapi

pemeriksa harus tetap teliti dalam melakukan prosedur penggunaan lampu Wood

untuk menghindari positif palsu dan negatif palsu akibat obat topikal pada kulit

dan lesi yang dibersihkan dengan air dapat mengakibatkan delusi pigmen.

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi

1. Scope A, Halpern AC. Diagnostic Procedures and Devices. In: Wolff K,

Goldsmith LA, Katz Si, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ., editors.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: The

McGraw Hill Companies;2008. p. 40-41

2. Gupta K L, Singhi M K. Wood’s Lamp. Indian Journal Dermatology,

Venereology, Leprology. 2004 ; 70 : 131-35

3. Arndt, Kenneth A, Jeffrey TS. Procedures and Techniques. In: Manual of

Dermatology Therapeutics. 6th ed. USA: Lippincott Williams and Wilkkins;

2002. p.257-58

4. Pravit Asawanoda, MD, Charles R. Taylor, MD Wood’s light in dermatology

Department of Dermatology, Massachusets General Hospital, Boston

Massachusets. 2008 p. 801 – 807.

4. Cox NH, Coulson IH. Diagnosis of Skin disease. In: Burns T, Breathnach S,

Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7 th ed. UK :

Blackwell Publishing Ltd; 2004. p. 5.19

5. Wolf K, Johnson RA. Photosensitivity, Photo-Induced Disorders, and

Disorders By Ionizing Radiation. In: Color Atlas And Synopsis Of Clinical

Dermatology. 5th ed. New York: The McGraw Hill Companies;2009. p. 256

6. Binic I, Jankovic A. Coral-Red Fluorescence. N Engl J Med 2011; 10: 1056

7. Ducharme EE, Silverberg NB. Selected Applications of Technology in the

Pediatric Dermatology Office. Semin Cutan Med Surg 2008; 27: 96

8. Vereecken P, Da Costa CM, Steels E, Lathouwer OD, Heenen M, De Mey A.

Fluorescence Diagnosis of Face-Located Basal Cell Carcinomas : a New

Dermatological Procedure which May Help the Surgeon. Acta chir belg,

2007; 107: 205

9. Havens CS, Sullivan ND. Sexually Transmited Diseases. In: Manual of

Outpatient Gynecology. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Williams and

Wilkkins; 2002. p.37