Download - Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi
Referat
PEMERIKSAAN SINAR WOOD DALAM DERMATOLOGI
Oleh
Siti Ramadhani KP, S.Ked
NIM: 04114708076
Pembimbing
dr Inda Astri Aryani , SpKK
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2013
HALAMAN PENGESAHAN
Referat dengan judul:
Pemeriksaan Sinar Wood Dalam Dermatologi
oleh
Siti Ramadhani KP, S.Ked
NIM: 04114708076
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Palembang, Juli 2013
dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK
PEMERIKSAAN SINAR WOOD DALAM DERMATOLOGI
Siti Ramadhani KP, S.KedBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaRumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Sinar Wood diciptakan pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan yang berasal
dari Baltimore, Robert W. Wood ( r868 – 1955). Sinar dengan gelombang
panjang yang dikenal sebagai cahaya Ultraviolet, disebut juga dengan lampu
Wood. Lampu Wood telah menjadi alat praktik yang sangat berguna dalam ilmu
kedokteran. 1,2 Sinar wood dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi melalui
"wood’s filter" terbuat dari silikat dengan nikel oksida, yang buram terhadap
semua radiasi melampaui panjang gelombang antara 320 nm dan 400 nm
[ultraviolet A (UVA)], dengan puncak emisi pada 365 nm. Penggunaan pertama
lampu Wood dilaporkan pada tahun 1925, yang dianjurkan untuk mendeteksi
infeksi jamur di rambut.1
Lampu Wood merupakan pemeriksaan sederhana dan mudah dalam
menggunakannya. Saat ini, penggunaan lampu Wood tidak hanya dimanfaatkan
untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi jamur, tetapi juga untuk evaluasi
klinis berbagai jenis penyakit kulit seperti kelainan pigmen, infeksi kulit akibat
bakteri, dan porfiria.2 Agar lebih mudah untuk diaplikasikan dalam praktik sehari-
hari maka perlu pengetahuan dalam mempergunakan lampu Wood.
Tujuan penulisan referat ini untuk menjelaskan tentang teknik, aplikasi dan
fungsi dari lampu Wood untuk dapat membantu dokter lebih mengerti tentang
lampu Wood untuk menunjang penentuan diagnosis dan memberikan terapi yang
tepat.
LAMPU WOOD
gambar 1. Lampu wood.
Lampu Wood merupakan alat diagnostik non-invasif yang dapat
memberikan fluoresensi tertentu. Fluoresensi merupakan pancaran cahaya ketika
terpapar cahaya. Lampu Wood dapat memberikan fluoresensi dengan cara sinar
yang diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul
metabolit organisme penyebab sehingga menimbulkan indeks bias berbeda yang
dapat menghasilkan pendaran warna tertentu. Emisi gelombang panjang dari
lampu Wood dihasilkan oleh merkuri bertekanan tinggi yang cocok dengan filter
yang sudah dicampurkan oleh barium silikat dan 9 % nikel oksida yang diberi
nama filter Wood. Filter ini tidak tembus cahaya kecuali untuk cahaya ukuran 320
dan 400 nm dengan puncaknya pada 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika
cahaya dari panjang gelombang lebih pendek. dalam hal ini 340-400 nm, awalnya
dipancarkan oleh lampu wood, diserap dan radiasi dari panjang gelombang cahaya
biasanya terlihat dan dipancarkan.
Output pada lampu wood biasanya rendah, lampu wood yang khas
mempunyai output kurang dari 1 mW/cm2. Sementara itu kedua melanin
epidermal dan dermal menyerap dalam gelombang, yaitu adalah kolagen dalam
dermis yang dimana sesaat setelah absorbsi fluoresensi dapat terlihat pada batas
biru. Namun harus diingat dalam general fluoresensi pada kulit sangat buruk
untuk dikarakteristikan. Spektra fluoresensi pada kulit manusia seringkali berubah
pada paparan kronik dari sinar matahari, mungkin disebabkan oleh alterasi pada
elastin dermal.4
Gambar 2. Struktur fisika lampu wood
TEKNIK PEMERIKSAAN LAMPU WOOD
Penggunaan lampu Wood tidak memerlukan keahlian khusus. Namun,
beberapa hal praktis yang harus diingat untuk menghindari hasil positif palsu,
yaitu menegakkan diagnosis yang salah akibat salah mengelompokkan individu
kedalam suatu penyakit3:
1. lampu sebaiknya dipanaskan dahulu selama lima menit.
2. Ruangan pemeriksaan harus sepenuhnya gelap (ruangan tanpa jendela)
3. Pemeriksa harus beradaptasi pada kegelapan agar dapat melihat kontras
dengan jelas.
4. Kurang akurat pada orang kulit hitam.
5. Obat topikal, kassa, dan residu sabun harus dibersihkan karena dapat
menimbulkan fluoresensi.
6. Sumber cahaya berjarak 4 – 5 inci dari lesi.
7. Tidak membersihkan daerah yang akan diperiksa karena dapat
menimbulkan negatif palsu akibat dilusi pigmen.
Aplikasi Sinar Wood
Pemeriksaan sinar wood pertama kali ditemukan untuk kepentingan medis
dimanfaatkan untuk mendeteksi infeksi jamur. Pemeriksaan sinar wood bisa
digunakan pada beberapa kondisi dibawah ini:
1. Deteksi tinea capitis
Tabel 1. Karakteristik fluoresensi pada tinea kapitis.5
Organisme Warna Fluoresens
Microsporum audonii
Microsporum canis
Microsporum ferrugineum
Microsporum distortum
Microsporum gypseum
Trichophyton schoenleinii
Biru-hijau
Biru-hijau
Biru-hijau
Biru-hijau
Kuning-tidak mengkilat
Biru-tidak mengkilat
Dermatofita yang zoofilik dan geofilik dari genus Microsporum,
menghasilkan pigmen pteridine yang berfluoresensi di bawah sinar
wood.6,7
2. Deteksi infeksi jamur lainnya
Tinea versicolor yang disebabkan oleh pytirosporum orbiculare
memperlihatkan warna kuning keemasan.5,7
3. Deteksi infeksi bakteri
Erythrasma, infeksi intertriginosa disebabkan Corynebacterium
minutissimum. Fluoresensi kerang merah terang (coral red) atau pink
orange disebabkan oleh Coproporphyrin III yang dihasilkan oleh C.
minutissimum.6,7 Porphyrin merupakan substansi yang larut dalam air, oleh
karena itu tidak akan terlihat jika sebelum dilakukan pemeriksaan sudah
dibersihkan dengan air.6
Gambar 1. Fluoresensi coral merah muda dari erythrasma di lipatan
pangkal paha, dilihat dengan sinar wood.6
Infeksi Pseudomonas aeruginosa mengeluarkan fluoresensi kuning
kehijauan akibat piosianin.6
4. Gambaran kelainan pigmentasi
Long-wave ultraviolet light (UVL) di transmisikan ke lapisan
dermis, maka akan memperlihatkan fluoresensi berwarna putih hingga
putih kebiruan. Melanin yang terdapat pada lapisan epidermis (bukan pada
lapisan dermis) bekerja untuk mengabsorbsi long-wave UVL dan dengan
demikian dapat menghalangi warna putih tersebut. Dibawah sinar wood,
bermacam-macam pigmentasi epidermal (freckles, vitiligo, melasma)
dapat dilihat lebih jelas, sedangkan pada pigmentasi dermis (Mongolian
spot, beberapa contoh hiperpigmentasi pasca inflamasi) tidak terlihat jelas
atau tidak terlihat perubahan warna yang jelas dibandingkan dengan sinar
yang visible. Sinar wood memperjelas antara kulit yang pigmentasi dan
non pigmentasi tetapi yang lebih utama adalah untuk membedakan
hipopigmentasi dari area amelanotic total. Sinar wood juga digunakan
untuk memeriksa pasien dengan vitiligo, albinisme, leprosy, dan gangguan
hipopigmentasi lainnya.7
Gambar 2. Fluresensi hipopigmentasi yang terlihat pada pemeriksaan
lampu wood.5
Hipermelanosis
Lampu wood bisa digunakan untuk membedakan kedalaman
melanin pada kulit. Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang
sering dijumpai, bersifat didapat dengan distribusi simetris pada daerah
yang sering terpapar sinar matahari dan biasanya ditemui pada wanita
dengan usia reproduksi. Etiologi melasma masih belum dimengerti.
Adapun faktor- faktor yang berperan dalam patogenesisnya seperti faktor
endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi UV dan faktor-faktor
lainnya. Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu
yang terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat
fototoksik, dan fotosensitif atau fotoalergik, dan obat-obatan
antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari akan ikut
terlibat dalam patogenesis melasma. Patogenesis melasma selalu
digunakan dalam pelaksanaan proses diagnosis maupun proses pengobatan 4,5.
Pengetahuan tentang patogenesis melasma banyak berkaitan
dengan biologi, biokimia, patofisiologi dan patologi dari proses pigmentasi
kulit, baik ditingkat selular, biomolekular dan jaringan kulit. Juga
berhubungan langsung dengan faktor penyebab melalui beberapa
mekanisme yang bersifat spesifik 5.
Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma
a). Faktor Endokrin
Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain :
Melanin Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan
progesteron. Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis
melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas adenyl
cyclase (c-AMP) dan juga meningkatkan pembentukan tirosinase, melanin dan
penyebaran melanin. Hipermelanosis yang difus berhubungan dengan insufisiensi
korteks adrenal. Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar
pituitari akan terjadi bila kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari
kegagalan mekanisme inhibisi umpan balik. Estrogen dan progesteron baik natural
maupun sintetis diduga sebagai penyebab terjadinya melasma oleh karena sering
berhubungannya dengan kehamilan penggunaan obat kontrasepsi yang
mengandung estrogen dan progesterone.4,5,6
Faktor Paparan Sinar Matahari
Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini
berlaku untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah parah
apabila terpapar sinar matahari. Eksaserbasi melasma hampir pasti dijumpai
setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi melasma akan
memudar selama musim dingin. Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar
dengan sinar, terutama UV dapat menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan
radikal bebas yang merusak lipid dan jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan
menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebihan.
Faktor Kosmetika
Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan
faktor positif dan negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit
seseorang dapat menimbulkan efek kosmetik. Bahan kosmetika yang
menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal dari bahan iritan atau
photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak, minyak
mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen
diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik. Melasma yang terjadi biasanya difus
dengan batas tidak jelas dan akan lebih jelas bila terkena sinar matahari.6
Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan
sinar matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian terbentuk
hapten yang akan bergabung dengan protein karier dan memicu terjadinya respon
imun. Mediator inflamasi yang mempunyai kemampuan merangsang prolifersi
melanosit yaitu leukotrien C4 dan D4. Sedangkan sitokin dan interleukin (IL)-1 α,
IL6, Tumor Necrosing Factor (TNF) α menghambat proliferasi melanosit.27
Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal dan edema
kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas dan multiplikasi
lamina basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap pemberian bahan-bahan
kimia ini menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi sel basal. Dalam proses
ini melanosom dalam keratinosit yang mengalami degenerasi berpindah ke dermis
dan terjadilah inkontinensia pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal.5,6
e). Faktor Obat-obatan
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari keseluruhan
kasus hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi yang diinduksi oleh
obat ini bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab pengobatan dan
melibatkan akumulasi melanin, diikuti dengan peradangan kutaneus yang non
spesifik dan sering diperparah dengan paparan sinar matahari.30 Biasanya obat-
obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis bagian atas secara kumulatif, dan
juga dapat merangsang melanogenesis.6
Beberapa obat yang dapat merangsang aktivitas melanosit dan
meningkatkan pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang sering terpapar
sinar matahari yaitu, obat-obat psikotropik seperti fenotiazin (klorpromazin),
amiodaron, tetrasiklin, minosiklin, klorokuin, sitostatika, logam berat, arsen
inorganik, dan obat antikonvulsan seperti hidantoin, dilantin, fenitoin dan
barbiturat.6
Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam
pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320 nm dan UVA 320-400 nm. Semakin
kuat UVB maka akan semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan
perkiraan 10% dapat mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai
dermis.30 Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat
tirosinase sehingga dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara
maksimal dan memicu proses melanogenesis 6.
Gambaran Klinis
Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan
pinggir iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan
pola retikular.8 Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu
sentrofasial (63%) mengenai daerah pipi, dahi, hidung, di atas bibir dan dagu,
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, malar (21%) mengenai pipi dan
hidung, dan mandibular (16%) mengenai ramus mandibula. Melasma tidak
mengenai membran mukosa. Jumlah makula hiperpigmentasi berkisar antara satu
lesi sampai multipel dengan distribusi simetris.6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan
fungsi endokrin, tiroid dan hepatik.5,6
B. Pemeriksaan histopatologis
Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal.
Terdapat tiga gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal,
dan campuran. Pada melasma tipe epidermal, yang terlihat berwarna kecoklatan,
terdapat peningkatan melanin di lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah
dan aktivitas melanosit masih diamati seiring dengan meningkatnya transfer
melanosom ke keratinosit. Tipe epidermal lebih responsif terhadap pengobatan.6,7
Pada melasma tipe dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen
melanin yang diproduksi oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan
diambil oleh makrofag (melanofag), dimana sering berkumpul di sekitar
pembuluh darah kecil dan dilatasi. Pada melasma tipe campuran ditandai dengan
adanya deposisi pada lapisan dermal dan epidermal.1,3
Cara pemeriksaan lampu wood
Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi
sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat
menentukan pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan
lokalisasi pigmen, sebelum diterapi maka pasien harus diperiksa dengan
menggunakan lampu Wood.1
Lawrens berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak dapat
membantu meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada melasma.
Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki tipe
melasma campuran dermal-epidermal.3 Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap
berguna untuk menentukan prognosis dari pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi
terlihat lebih jelas dengan pemeriksaan lampu Wood maka kesempatan lebih baik
bagi perbaikan klinis.3
Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood, secara klasik melasma dapat
diklasifikasikan menjadi :
a). Tipe Epidermal
Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu
biasa dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara
daerah yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal Sebagian besar pasien
melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan hiperpigmentasi tipe
epidermal memiliki respon yang lebih baik terhadap bahan-bahan depigmentasi.6
b). Tipe Dermal
Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan apabila dilihat
dibawah lampu biasa dan dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras
pada lesi. Pada tipe ini, eliminasi pigmen bergantung pada transport melalui
makrofag dan keadaan ini tidak mampu dicapai oleh bahan-bahan
depigmentasi.1,3,6
c). Tipe Dermal-Epidermal (Campuran)
Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan
lampu biasa dan dengan lampu Wood terlihat papada beberapa daerah lesi akan
tampak warna yang kontras sedangkan pada daerah yang lain tidak.1,3,6
d). Tipe Indeterminate
Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe V
danVI) dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna abu-
abu gelap namun sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang timbul
Variasi pigmen epidermis lebih terlihat di bawah sinar wood. Berdasarkan
penemuan sinar wood, Sanchez dkk mengelompokkan melasma ke dalam empat
subtipe : epidermis, dermis, campuran dan tidak terlihat dengan pemeriksaan sinar
wood. Sinar wood bisa juga sebagai panduan prognosis pada pengobatan
melasma, melasma tipe epidermis lebih respon terhadap bahan depigmentasi
dibanding tipe lainnya.2
Lampu wood juga sebagai panduan penting dalam peeling kimia (chemical
peeling). Penambahan asam salisilat (dalam rasio 1:5) atau fluoresens dalam
sodium (rasio 1:15) untuk cairan peeling dan diamati fluoresens hijau dan kuning-
oranye berturut-turut di bawah sinar wood membantu untuk mencegah penutupan
berlebihan dari cairan peeling dan memastikan dilakukan di semua area.2
5. Deteksi porfirin
Deteksi kelebihan porfirin pada gigi, urin, sampel tinja, sel darah
merah dan cairan blister dalam berbagai bentuk porfiria dapat dengan
mudah dilakukan dengan bantuan lampu Wood. Penambahan asam klorida
encer untuk sampel yang diperiksa mengintensifkan fluoresensi dengan
mengubah porphyrinogens menjadi porfirin.4
Pada urin, feses, dan cairan tubuh yang berasal dari pasien dengan
porfiria cutanea tarda memperlihatkan fluoresensi berwarna pink orange
terang “a brilliant pink orange”.4
Tabel 2. Fluoresensi pada porfiria.4
Diagnosis Sampel Fluoresensi
Eritropoetik porfiria
Eritropoetik protoporfiria
Porfiria kutaneus tarda
Variegate porfiria
RBC, urine, gigi, tulang,
cairan lepuh
RBC, feses, batu empedu
RBC, feses, urine
Urine (hanya kondisi krisis),
feses
Merah-merah muda
Merah-merah muda
Merah-merah muda
Merah-merah muda
Gambar 3. Pemeriksaan sinar wood pada porphyria cutanea tarda:
fluoresensi coral red dari urin pasien dengan PCT dibandingkan dengan
sebuah kontrol normal.7
6. Deteksi obat-obatan
Pada anak-anak yang mengkonsumsi tetrasiklin selama pembentukan gigi
desidua bisa terdeteksi dengan fluoresensi berwarna kuning, fluoresensi
pink pada lanula nail bed pasien yang mengkonsumsi tetrasiklin oral,
walaupunn pada topikal terapi didapatkan fluoresensi kuning pada lokasi
yang diterapi.8
7. Diagnosis Fotodinamik
Teknik yang relatif baru, non invasif, dan sederhana sedang dikembangkan
untuk diagnosis kondisi premaligna dan maligna. Melibatkan aplikasi 20%
salap ALA ke tumor dan dibiarkan 4-6 jam, membiarkan protoporfirinogen
IX terakumulasi, setelah itu area disinari dengan sinar wood. Diagnosis
fotodinamik ini telah dibuktikan sangat bermanfaat untuk diagnosis
epitelioma sel basal, Bowen’s disease, solar keratosis, dan extramammary
paget’s disease.8
8. Acne vulgaris
Coproporfirin merupakan porfirin utama yang dihasilkan P.acnes
memberikan fluoresensi orange-merah pada komedo yang mengandung
P.acnes.
9. Dan lainnya
Sebagai marker pada kosmetik, medikasi, bahan-bahan industri yang
mungkin bisa dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan sinar
wood.5,6,7,8
Disamping itu terdapat beberapa aplikasi lain2:
Pemeriksaan terowongan pada skabies dengan mengoleskan zat
fluoresensi seperti pasta tetrasiklin atau dicelup zat fluorescein
Deteksi pemberian obat sistemik seperti tetrasiklin pada lunula kulit
dan kuku. Topikal tetrasiklin hidroklorida memperlihatkan fluoresensi
merah karang (coral red) yang berubah menjadi kuning setelah
beberapa menit diperiksa di bawah lampu wood.
Menentukan krim proteksi sinar matahari dan krim pelindung lainnya.
Lampu wood bisa digunakan untuk mendeteksi alergen pada kulit yang
disebabkan alergi kosmetik, hal tersebut sering digunakan untuk foto
tes tempel (patch test) meskipun tidak ideal untuk tes ini. Penggunaan
penanda fluoresensi selama tes tempel atau tes lainnya yang
memerlukan identifikasi kulit setelah 24-48 jam dibantu dengan lampu
wood.
Deteksi semen di kulit pada kasus pelecehan seksual.9
Sinar wood mempunyai efek sterilisasi terhadap Staphylococcus
aureus dan mycobacteria, dan bisa digunakan untuk sterisasi media
kultur.
Tabel 3. Fluoresensi pada pemeriksaan sinar wood.
No. Kegunaan Fluoresensi
1. Infeksi jamur Tinea kapitis fluoresensi hijau berhubungan
dengan jenis microspora dan favus
Pityriasis versicolor kuning keemasan
(pityriasitrin)
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Infeksi bakteri
Infestasi
Porphyria
Kelainan
pigmentasi
Obat-obatan dan
bahan kimia
Tumor
Erythrasma, acne coral pink (porphyrins)
Pseudomonas pyocyanea hijau kekuningan
(pyocyanin)
Scabies solusio fluoresensi akan mengisi
terowongan pada lesi scabies (burrows) sehingga
dapat terlihat dengan menggunakan sinar wood.
Fluoresensi dari urine, feses, dan gelembung
cairan pada porphyria cutanea tarda; gigi-geligi
pada erythropoietic porphyria; dan darah pada
protoporphyria.
Vitiligo terlihat lebih menonjol dibandingkan
pigmen dermal yang kurang terlihat jelas.
Tuberous sclerosis deteksi makula ash leaf
Deteksi pada jaringan, seperti: pewarnaan gigi
atau sebum dari tetrasiklin dan kuku dari
mepacrine
Fluoresensi merah dapat terlihat pada beberapa
jenis tumor ganas dan lesi lainnya pada kulit,
khususnya karsinoma sel skuamosa.
Mengubah aminolaevulinic acid menjadi
protoporphyrin IX yang terjadi didalam tumor
C. KESIMPULAN
Lampu Wood merupakan salah satu alat diagnostik yang non-invasif dan
sederhana terutama digunakan dalam bidang dermatologi untuk mendeteksi
beberapa infeksi jamur, infeksi bakteri, dan kelainan pigmentasi.2 Walaupun
aplikasi lampu Wood sebagai alat diagnostik mudah untuk dilakukan, tetapi
pemeriksa harus tetap teliti dalam melakukan prosedur penggunaan lampu Wood
untuk menghindari positif palsu dan negatif palsu akibat obat topikal pada kulit
dan lesi yang dibersihkan dengan air dapat mengakibatkan delusi pigmen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Scope A, Halpern AC. Diagnostic Procedures and Devices. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz Si, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ., editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: The
McGraw Hill Companies;2008. p. 40-41
2. Gupta K L, Singhi M K. Wood’s Lamp. Indian Journal Dermatology,
Venereology, Leprology. 2004 ; 70 : 131-35
3. Arndt, Kenneth A, Jeffrey TS. Procedures and Techniques. In: Manual of
Dermatology Therapeutics. 6th ed. USA: Lippincott Williams and Wilkkins;
2002. p.257-58
4. Pravit Asawanoda, MD, Charles R. Taylor, MD Wood’s light in dermatology
Department of Dermatology, Massachusets General Hospital, Boston
Massachusets. 2008 p. 801 – 807.
4. Cox NH, Coulson IH. Diagnosis of Skin disease. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7 th ed. UK :
Blackwell Publishing Ltd; 2004. p. 5.19
5. Wolf K, Johnson RA. Photosensitivity, Photo-Induced Disorders, and
Disorders By Ionizing Radiation. In: Color Atlas And Synopsis Of Clinical
Dermatology. 5th ed. New York: The McGraw Hill Companies;2009. p. 256
6. Binic I, Jankovic A. Coral-Red Fluorescence. N Engl J Med 2011; 10: 1056
7. Ducharme EE, Silverberg NB. Selected Applications of Technology in the
Pediatric Dermatology Office. Semin Cutan Med Surg 2008; 27: 96
8. Vereecken P, Da Costa CM, Steels E, Lathouwer OD, Heenen M, De Mey A.
Fluorescence Diagnosis of Face-Located Basal Cell Carcinomas : a New
Dermatological Procedure which May Help the Surgeon. Acta chir belg,
2007; 107: 205
9. Havens CS, Sullivan ND. Sexually Transmited Diseases. In: Manual of
Outpatient Gynecology. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Williams and
Wilkkins; 2002. p.37