pemasungan_terhadap_penderita_gangguan_j.docx

17
Pemasungan Terhadap Penderita Gangguan Jiwa Pengertian Gangguan Jiwa Gila adalah sebuah kata yang digunakan oleh masyarakat awam untuk mengungkapkan sebuah kondisi tidak berfungsi dengan baiknya cara interaksi seseorang terhadap yang lain. Dengan bahasa psikologis, seorang yang dinyatakan “gila” oleh masyarakat awam, adalah seorang yang tidak sama secara tingkah laku dengan masyarakat secara mayoritas (secara statistik, signifikan tidak berada dalam distribusi normal). Gila secara ilmiah dikatakan sebagai penyakit mental yang disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). Penyakit mental dapat me-ngenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi. Gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah kumpulan dari keadaan- keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan terbagi dalam dua golongan yaitu: gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai gejala adalah ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan yang terpaksa, histeria, rasa lemah dan tidak mampu mencapai tujuan. Perbedaan neurosa dengan psikosa adalah jika neurosa masih mengetahui dan mereasakan kesukarannya, serta kepribadiannya 1

Upload: nuri-

Post on 09-Jul-2016

11 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

Pemasungan Terhadap Penderita Gangguan Jiwa

Pengertian Gangguan Jiwa

Gila adalah sebuah kata yang digunakan oleh masyarakat awam untuk mengungkapkan sebuah kondisi tidak berfungsi dengan baiknya cara interaksi seseorang terhadap yang lain. Dengan bahasa psikologis, seorang yang dinyatakan “gila” oleh masyarakat awam, adalah seorang yang tidak sama secara tingkah laku dengan masyarakat secara mayoritas (secara statistik, signifikan tidak berada dalam distribusi normal).

Gila secara ilmiah dikatakan sebagai penyakit mental yang disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera).

Penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). Penyakit mental dapat me-ngenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan terbagi dalam dua golongan yaitu: gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa).

Keabnormalan terlihat dalam berbagai gejala adalah ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan yang terpaksa, histeria, rasa lemah dan tidak mampu mencapai tujuan.

Perbedaan neurosa dengan psikosa adalah jika neurosa masih mengetahui dan mereasakan kesukarannya, serta kepribadiannya tidak jauh dari realitas dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya sedangkan penderita psikosa tidak memahami kesukarannya, kepribadiannya (dari segi tanggapan, perasaan/ emosi, dan dorongan motivasinya sangat terganggu), tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan (Zakiah dalam Yosep, 2007).

Penanganan Penderita Gangguan Jiwa di Masyarakat

Masyarakat seringkali memiliki persepsi negatif terhadap kegilaan. Orang gila dianggap sebagai orang yang tidak waras, sinting dan ungkapan kasar lainnya. Menurut Irwanto, Phd, peneliti di Universitas Atma Jaya, Jakarta, "Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidak tahuan publik.

1

Page 2: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

Terdapat logika yang salah di masyarakat. Mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai sampah sosial. Pola pikir demikian harus didekonstruksi" (Kompas, 27/09/04).

Salah kaprah pengertian dan pemahaman penyakit jiwa ini mungkin karena ketidak tahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan dan kesehatan mental. Ketidak tahuan ini mengakibatkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit mental merupakan aib bagi si penderita maupun bagi keluarganya. Sehingga si penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh keluarganya.

Selain itu ada anggapan keliru di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa hanya mereka yang menghuni rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang berkeliaran di jalanan. Padahal gangguan jiwa bisa dialami oleh siapa saja, disadari atau tidak. Orang yang tampaknya sehat secara fisik, bukan tidak mungkin sebenarnya menderita gangguan jiwa, dalam kadar yang paling ringan seperti depresi misalnya,

Persepsi masyarakat tersebut antara lain:

1. Penyakit mental disebabkan oleh roh jahat

Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat

2. Penyakit mental itu memalukan

Adanya persepsi masyarakat bahwa orang gila ataupun keluarganya akan menerima aib. Orang gila dan keluarganya sering dicemooh bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Adanya persepsi bahwa kegilaan adalah aib menyebabkan orang gila yang dianggap sembuh oleh doter di rumah sakit jiwa tetap tidak dapat dipulangkan karena keluarga dan masyarakat tidak menginginkannya kembali.

3. Orang Gila adalah sampah masyarakat yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota

Perlakuan-Perlakuan Masyarakat Terhadap Orang Gila

1. Memasung

2. Memperlakukan dengan kasar

3. Membuang orang gila tersebut ke daerah lainnya karena orang gila tersebut adalah sampah masyarakat

2

Page 3: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

4. Masyarakat menghardik orang gila tersebut dan pemerintah menyingkirkannya secara tidak manusiawi

Dampak persepsi yang salah tentang orang gila:

1. Pada keluarga orang gila tersebut

Keluarga merasa malu atas anggota keluarganya yang gila bahkan adanya tekanan batin yang dialami keluarga karena cemoohan dan pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat.

2. Pada orang gila itu sendiri

Persepsi masyarakat yang salah dapat menyebabkan orang gila tersebut akan menerima siksaan dengan pemasungan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat. Kesembuhan pada orang gila tersebut pun sangat kecil harapannya karena masyarakat malah menghina mereka alih-alih memberi perhatian dan kasih sayang untuk kesembuhan gangguan mental mereka.

Setelah sembuhpun ada kemungkian orang gila tersebut akan kembali menjadi gila, hal ini dikarenakan masyarakat tetap tidak menerima mantan orang gila. Mereka tetap mempersepsi negative terhadap orang gila sehingga orang gila tersebut tetap menjadi beban keluarganya ataupun masyarakat karena ketiadaan lapangan kerja yang mau menerima orang gila untuk bekerja.

3. Pada masyarakat

Masyarakat mungkin saja akan mengalami kekerasan yang dilakukan orang gila atas perlakuan kasar yang mereka lakukan kepada orang gila tersebut. Persepsi masyarakat tersebut dapat pula menyebabkan perilaku imitasi yang akan dilakukan oleh anak-anak untuk menyakiti orang lain terutama orang gila dengan melakukan kekerasan secara fisik dan secara verbal.

Perlakuan Pada Orang Gila

1. Isolasi, perlakuan terhadap orang gila dengan cara dipasung

2. Deinstitutionalization, perlakuan terhadap orang dengan cara mengobati orang tersebut dirawat di rumah sakit.

3. Homelessness, perlakuan terhadap orang gila dengan cara obat jalan yaitu dirawat oleh keluarganya sendiri di rumah.

4. Transinstitutionalization, perlakuan terhadap orang gila dengan jalan dibiarkan saja yaitu ditempatkan pada suatu tempat dimana dia bebas menjadi dirinya sendiri (dimana dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dan orang lain serta tidak mengganggu orang lain). Cara ini berangkat dari paham eksistensialisme yaitu setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri.

3

Page 4: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

Minimnya pemahaman keluarga dan masyarakat terhadap gangguan jiwa menjadi salah satu kendala penanganan pasien pengidap gangguan jiwa di Indonesia. Misalnya, banyak kasus warga mengalami gangguan psikis yang menyebabkan gangguan fisik langsung dipasung oleh keluarganya.

Padahal dengan pemahaman dan penanganan yang baik, banyak penderita gangguan jiwa bsia beraktivitas normal kembali. Persoalan lain yang sering dihadapi masyarakat Indonesia adalah banyak pengidap gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan meski sudah berobat. Hal itu disebabkan oleh penanganan keluarga yang salah pasca pengobatan.

Selain itu, stigma negatif masyarakat berdampak pada kendala penyembuhan secara sosial bagi pengidap gangguan jiwa. Pada umumnya, kasus gangguan jiwa baru terdeteksi setelah kondisinya sudah parah karena tidak ditangani sedini mungkin. Untuk itu dia menyambut baik rencana pembangunan selter khusus penderita gangguan jiwa di Puskesmas Pejagoan.

Yang lebih memprihatinkan, masih banyak anggapan yang salah secara adat-istiadat terhadap adanya anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa. Para pasien masih mendapat stigma negatif di masyarakat. Banyak warga malu jika ada anggota keluarganya mengidap gangguan jiwa. Mereka enggan melaporkan ke institusi kesehatan.

Berikut beberapa gambaran betapa dalam benak masyarakat gangguan kejiwaan masih dianggap aib:

Banyak Penderita Gangguan Jiwa DipasungTEMPO.CO, Malang--Mayoritas penderita gangguan jiwa berat atau orang dengan skizofrenia (ODS) ditangani dengan tindakan pemasungan. Pemasungan sebenarnya melanggar hak asasi manusia. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan masyarakat dalam menangani mereka.

Direktur Rumah Sakit Jiwa dr Radjiman Wediodiningrat (RSJ Lawang) Bambang Eko Sunaryanto mengatakan, dalam tiga bulan terakhir RSJ Lawang menerima laporan 12 kasus pemasungan atas diri penderita skizofrenia. Pihak keluarga kemudian membawa ODS ke RSJ Lawang dan Rumah Sakit Umum Sjaiful Anwar di Kota Malang serta RSJ Menur dan Rumah Sakit Umum dr Soetomo di Surabaya untuk ditangani.

"Di Sjaiful Anwar dan RSUD Soetomo ada psikiater yang khusus menangani penderita gangguan jiwa. Kami yakin jumlah orang yang dipasung lebih banyak dari laporan yang kami terima," kata Eko kepada Tempo seusai peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Jumat, 10 Oktober 2014.

Sebagai pembanding, menurut Eko, di wilayah Kabupaten Malang sempat muncul 81 kasus pemasungan atas diri orang dengan skizofrenia yang dilakukan keluarganya. Namun,

4

Page 5: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

dengan berbagai pendekatan, akhirnya kini jumlah ODS yang dipasung berkurang dan tinggal sekitar 30 kasus. Selebihnya dilepas karena mereka terbukti mengalami gangguan jiwa tanpa risiko.

Dalam banyak kasus, keluarga lebih suka memasung ketimbang membawa ODS ke rumah sakit lantaran khawatir membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Pemasungan dilakukan karena keluarga malu punya ODS yang dianggap oleh masyarakat sebagai aib.

"Pemahaman yang ditindaklanjuti dengan pemasungan itu sebuah kekeliruan. Masyarakat memang harus terus diedukasi bahwa tidak semua gangguan jiwa itu berbahaya. Pemahaman yang paling keliru adalah menyamakan ODS dengan orang gila dan mengaitkannya dengan hal-hal supranatural," kata Eko.

RSJ Lawang sendiri kini merawat sekitar 609 pasien atau 87 persen dari kapasitas 700 tempat tidur. Mayoritas pasien berasal dari Malang, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Blitar, Kediri, Tulungagung, dan Trenggalek. Umumnya mereka berprofesi sebagai petani, pekerja serabutan, dan ibu rumah tangga. Rata-rata penyebab mereka dikirim ke rumah sakit jiwa karena masalah kemiskinan. Dokter Yuniar Sunarko, Kepala Bidang Pelayanan Medik merangkap Kepala Instalasi Psikogeriatri menambahkan, pasien yang ditangani RSJ Lawang dibagi dalam dua kelompok, yakni orang dengan masalah kejiwaan (OMDK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Pengelompokan ini berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dari seluruh pasien, memang ODGJ yang terbanyak.Sumber: www.tempo.co, 10 Oktober 2014

Ratusan Warga Bali Masih Hidup dalam Pasungan  TEMPO.CO, Denpasar - Ratusan warga Bali yang menderita gangguan jiwa akut diduga kini hidup dalam pasungan. Tragisnya, kebijakan pemerintah belum bisa menjangkau dan memberikan pelayanan kepada mereka.

"Pemerintah hanya melayani mereka yang dibawa keluarganya ke fasilitas kesehatan," kata Dr. dr Cok Bagus Jaya Lesmana, aktivis LSM Suryani Mental Health Institute (SMHI), Jumat, 15 Agustus 2014. Dari penelitian yang dilakukan lembaganya pada 2008, setidaknya 7.000 orang Bali mengalami gangguan jiwa dan 300 di antaranya berada dalam pasungan. Saat ini diperkirakan jumlahnya masih terus meningkat.

Mengacu pada data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Departemen Kesehatan 2013, kondisi di Bali memang masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata nasional, yakni 4,6 per-seribu jiwa dengan jumlah total satu juta orang dan 18 ribu di antaranya dalam kondisi

5

Page 6: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

terpasung. "Tapi di Bali menjadi sangat ironis karena bersanding dengan gemerlapnya pariwisata," kata Cok.

Alasan pemasungan umumnya karena sudah putus asa dengan proses pengobatan yang diakukan. Padahal, kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk memberikan perawatan komprehensif dan terus-menerus. Keluarga juga tidak memperoleh pendampingan dari pihak terkait pasca-pengobatan untuk mencegah pasien kambuh. Pelayanan yang bisa diberikan oleh SMHI masih sangat terbatas.

Untuk membangkitkan kepedulian kepada orang-orang yang terpasung itu, SMHI akan menggelar pameran foto "Terpasung di Pulau Surga" di Bentara Bali, 19-24 Agustus 2014. "Ini sekaligus untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI dengan melihat saudara-saudara kita yang belum bebas dari masalahnya," kata Cok.

Pameran menampilkan 70 karya fotografi terpilih dari 13 fotografer, yakni Alexandra Dupeyron (Jerman), Alit Kertaraharja (Indonesia), Brice Richard (Inggris), Cameron Herweynen (Australia), Christian Werner (Jerman), Cokorda Bagus Jaya Lesmana (Indonesia), Fanny Tondre (Perancis), Giulio Paletta (Italia), Ingetje Tandros (Australia), Luciano Checco (Singapura), Nadia Janis (Australia), Rudi Waisnawa (Indonesia), dan Tjandra Kirana (Indonesia).

"Karya-karya mereka benar-benar menyuarakan kepedulian akan orang-orang penderita sakit jiwa yang hidup dalam pasungan," kata Yudha Bantono, kurator dari pameran ini.

Pameran juga akan diisi dengan serangkaian acara, seperti workshop tenaga medis, workshop tenaga pendidikan, dan meditasi bersama. Ketiga acara tersebut langsung akan dipandu oleh Prof. DR. Luh Suryani dari Suryani Institute. Sedangkan perbincangan tentang perspektif fotografi serta pengalaman fotografer akan dibincangkan melalui diskusi fotografi bersama para fotografer yang terlibat.Sumber: www.tempo.co, 15 Agustus 2014

57.000 Orang Gangguan Jiwa Dipasung di IndonesiaPekanbaru - Seorang penggiat masalah kesehatan jiwa, Prof. Dr Budi Anna Keliat, mengatakan, sebanyak 57.000 lebih orang Indonesia pernah dipasung keluarga selama minimal dua hingga 20 tahun.

"Bahkan ada yang mencapai 40 tahun, dan perlakuan pemasungan itu jelas melanggar HAM karena masyarakat telah merampas hak penderita dari sisi pangan, sandang dan papan," katanya dalam keteranganya, Rabu (29/10)

6

Page 7: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

Ia mengatakan, sebanyak 57.500 jiwa yang pernah dipasung itu merupakan bagian dari 400.000 jiwa penderita gangguan kesehatan jiwa di Indonesia.

Menurut Budi Anna, dalam temuan kasus tersebut negara terbukti "tidak hadir" sebagai pendamping, ketika masyarakatnya stres akibat adanya anggota keluarga mereka mengalami gangguan kesehatan jiwa (gila).

Oleh karena itu kini, katanya, Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IKPJI) terus menggiatkan pembahasan tentang legal aspek untuk melindungi penderita gila agar tidak lagi dipasung dengan harapan pada 2019 Indonesia sudah bebas pasung.

"Harapan ini optimistis tercapai sebab UU Kesehatan Jiwa No 8 tahun 2014, sudah mengisyaratkan keluarga dan masyarakat dilarang memasung anak, atau saudaranya yang menderita gila. UU ini sudah sangat lebih baik jika dibandingkan pada masa 1968 di mana pengaturan soal orang gila disatukan dengan UU No 23 tahun 1990 tentang Kesehatan yang pasalnya tidak spesifik lagi," katanya.

Ia memandang bahwa UU Kesehatan Jiwa No 8 tahun 2014 itu, justru lebih menguntungkan bagaimana memperlakukan orang gila lebih manusiawi lagi supaya sehat kembali jiwanya serta memberikan perlindungan kepada pasien gangguan kesehatan jiwa itu.

Sebab, katanya lagi, orang gila juga manusia dan berhak mendapat hak sandang, papan, dan pangan. Perampasan hak orang gila terjadi selama ini lebih akibat keterbatasan kemampuan dan wawasan keluarga, apalagi adanya anggapan kalau orang gila dianggap berprilaku aneh dan bisa mengganggu orang banyak, dengan sifatnya yang kadang merusak itu.

"Padahal mereka berprilaku gila karena ada sesuatu yang terjadi di dalam syaraf mereka sehingga sikap masyarakat perlu diubah dan dinas kesehatan dan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota perlu melakukan pengawasan dan evaluasi," katanya.

Evaluasi oleh dinas terkait diperlukan, katanya, khususnya peningkatan kemampaun tenaga perawat, apalagi penderita bisa menuju sehat sudah bisa berkomunikasi, bisa mandi sendiri, dan sudah bisa pulang hanya dalam kunjungan 6-8 minggu.

Budi Anna bersama timnya yang pernah mendampingi masyarakat antara lain dalam pascabencana gempa Aceh itu, meyakini 2019 Indonesia bebas pasung juga jika persepsi semua lintas terkait dibangun yakni pertama dimulai dengan semua faskes I memiliki program kesehatan jiwa, minimal perawat dan dokternya telah diberikan pelatihan.Sumber: www.antara.co.id, 30 Oktober 2014

7

Page 8: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

8

Page 9: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

Memasung Penderita Gangguan Jiwa Berdasarkan Hukum Adat

Dalam merawat penderita gangguan jiwa, ada tradisi yang hingga kini masih dijalankan, yakni memasung atau memasang belenggu pada kaki dan tangan orang yang stres. Alasannya agar orang stres tidak mengamuk dan merusak rumah warga.

Berdasarkan alasan kasus di atas, langkah atau upaya dari masyarakat untuk menjaga ketentraman serta ketertiban di dusun atau daerah mereka dengan memasung sebagian orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Pemasungan tersebut tidak serta merta tanpa izin dari pejabat setempat tetapi kepala dusun serta pejabat yang berwenang pun mengizinkannya demi keselamatan masyarakat yang lain.

Jika dilihat dari tujuannya memang sah-sah saja untuk memasung mereka karena jika mereka sedang mengamuk atau marah mereka suka merusak barang-barang milik warga bahkan berpotensi bisa menyakiti bahkan melukai warga yang lain

Tentunya keputusan tersebut sudah didasari pertimbangan-pertimbangan yang matang serta mendapatkan persetujuan dari anggota keluarga yang bersangkutan jadi tidak serta merta ada pemaksaan atau desakan dari warga yang lain melainkan adanya kesadaran dari keluarga yang bersangkutan untung memasung anggota keluarganya sendiri meskipun mendapat tekanan dari warga tetapi mereka melakukannya dengan ikhlas dan kesadaran.

Menurut masyarakat, pemasungan penderita gangguan jiwa untuk memudahkan mengontrol dan menjaga hal terburuk apabila para penderita sakit mental ini tiba-tiba mengamuk. Banyak tokoh adat “merestui” keadaan ini dengan pertimbangan hal tersebut demi kemaslahatan ummat.

Para tokoh masyarakat atau tokoh adat membiarkan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa jika itu adalah alternative terakhir yang bisa dilakukan keluarga. Pada dasarnya mereka mengharapkan pihak keluarga mau memberikan perawatan yang lebih baik daripada pemasungan. Namun, karena berbagai faktor yang tidak bisa dipenuhi oleh pihak keluarga, maka para pemuka adat atau tokoh masyarakat tidak bisa berbuat banyak untuk menghindarkan tradisi pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa.

Memasung Penderita Gangguan Jiwa Berdasarkan Hukum Nasional

9

Page 10: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

Mengenai perlakuan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa/orang gila dengan cara dikurung atau dipasung dapat dianggap sebagai perbuatan pelanggaran hak asasi manusia. Pada dasarnya, setiap manusia berhak untuk hidup bebas dari penyiksaan sebagaimana yang termaktub dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di bawah ini: 

1. Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

2. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

3. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)

(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya

(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin

(3) Setiap orang berhak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat

Dari bunyi pasal-pasal di atas jelas kiranya diketahui bahwa hak untuk hidup bebas merupakan hak asasi manusia.

Selain itu, bagi penderita cacat mental, diatur hak-haknya dalam Pasal 42 UU HAM yang berbunyi: 

“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Orang gila dapat dikatakan cacat mental. Ini karena berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, cacat berarti kekurangan yg menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yg terdapat pd badan, benda, batin, atau akhlak), sedangkan mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Kemudian jika kita melihat arti dari “gila”, yaitu sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau

10

Page 11: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

pikirannya tidak normal). Ini berarti “gila” dapat berarti cacat mental karena adanya kekurangan pada batin atau jiwanya (yang berhubungan dengan pikiran).

Dari pasal di atas dapat kita ketahui bahwa orang gila yang memiliki gangguan mental/kejiwaan pun dilindungi oleh undang-undang untuk memperoleh perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Tidak sepantasnya keluarganya memperlakukan orang gila tersebut dengan cara mengurung atau memasungnya.  Mengenai hak-hak penderita gangguan jiwa juga dirumuskan dalam Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) yang berbunyi: Pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan:

“Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.” Pasal 149 UU Kesehatan:

“Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.”

Pengurungan atau pemasungan orang gila, sekalipun dilakukan oleh keluarganya dengan tujuan keamanan untuk dirinya sendiri dan orang-orang sekitar, menurut hemat kami merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perampasan hak untuk hidup secara layak, yang berarti melanggar hak asasi manusia. Di samping itu, mengacu pada pasal di atas, hal yang dapat dilakukan oleh keluarganya demi tercapainya kehidupan layak bagi orang gila tersebut adalah dengan melakukan upaya kesehatan jiwa, yakni mengupayakan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Pasal 86 dinyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran,dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

 

Selain melanggar hak asasi manusia, keluarga yang melakukan pengurungan atau pemasungan dapat terjerat Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”): 

11

Page 12: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.

 Menurut S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 547), yang dimaksud dengan merampas kemerdekaan adalah meniadakan atau membatasi kebebasan seseorang bergerak meninggalkan suatu tempat untuk pergi ke tempat lainnya yang dia inginkan. Perampasan kemerdekaan itu dapat terjadi dengan mengurung seseorang di suatu ruangan tertutup, dengan mengikat kaki atau anggota tubuh lainnya dari seseorang sehingga tidak dapat memindahkan diri, menempatkan seseorang di suatu tempat di mana ia tidak mungkin pergi dari tempat itu, dan mungkin juga dengan cara psychis (hipotis) sehingga ia kehilangan kemampuan untuk pergi dari suatu tempat dan lain-lain. Walaupun tidak boleh dikurung atau dipasung, akan tetapi bukan berarti keluarga dapat membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas. Karena jika keluarga membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas, keluarga dapat juga dijerat dengan Pasal 491 butir 1 KUHP: 

“Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga.”

 Menurut S.R. Sianturi, S.H. (Ibid, hal 390), walaupun pada Pasal 10 Reglemen tentang orang gila Stb 97/54, 4 Februari 1897 di Indonesia diatur ada kewenangan keluarga dekat dari seorang gila untuk memohon kepada ketua pengadilan negeri agar orang gila itu dirawat di lembaga perawatan orang gila demi ketentraman dan ketertiban umum atau demi penyembuhan orang gila itu sendiri, namun dalam prakteknya sulit dapat diharapkan kemampuan pemerintah untuk merawat semua orang gila. 

Karenanya, tetaplah merupakan kewajiban moril dan moral dari keluarga yang bersangkutan untuk merawat keluarganya yang sakit sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, mengingat keterbatasan kemampuan warga pada umumnya, maka dapat disaksikan adanya orang gila berkeliaran tanpa penjagaan. Tetapi hal ini masih lebih manusiawi dibandingkan dengan jika

12

Page 13: Pemasungan_Terhadap_Penderita_Gangguan_J.docx

mereka dipasung. Karenanya, dalam praktik sehari-hari pasal ini tidak lebih dari suatu ketentuan yang mati.

Oleh karena itu, akan lebih baik jika orang gila tersebut dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk mendapat perawatan yang semestinya dan agar tidak mengganggu masyarakat sekitar.

13