nilai-nilai mistik dan religius dalam geguritan …

218
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i NILAI-NILAI MISTIK DAN RELIGIUS DALAM GEGURITAN KARYA YAN TOHARI (Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Disusun oleh: ANNA SUBEKTI NIM. C 0107011 FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

NILAI-NILAI MISTIK DAN RELIGIUS

DALAM GEGURITAN KARYA YAN TOHARI

(Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni rupa

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Disusun oleh:

ANNA SUBEKTI

NIM. C 0107011

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Anna Subekti

NIM : C 0107011

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Nilai-Nilai

Mistik dan Religius Dalam Geguritan Karya Yan Tohari, Tinjauan Semiotika

Michael Riffaterre adalah betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan

oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda

citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang

diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Februari 2012

Yang membuat pernyataan

Anna Subekti

NIM. C 0107011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO

Sesuatu yang tak pernah dimulai,

tak akan pernah bisa diakhiri (anonim).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Kedua orang tua penulis (Suharsi dan

Sudarmi) untuk setiap hati yang tak pernah

mati.

Almamater.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Kajian ini diajukan dengan segenap kerendahan hati dan kesadaran yang

mendalam betapa dalam penulisannya, penulis didera kemampuan yang belum

memenuhi prasyarat pengetahuan yang cukup. Namun, dengan keterbatasan

penulis, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar menulis dalam kategori

ilmu pengetahuan.

Di antara kesempatan dan keterbatasan pengetahuan, penulis merasa

banyak hal yang harus disyukuri dalam proses pembelajaran ini. Sebagai rasa

syukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan

Senirupa Universitas Sebelas Maret yang telah berkenan memberikan

kesempatan penyusunan skripsi ini.

2. Drs. Supardjo, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah dengan

kerendahan hatinya senantiasa memberikan dorongan dan dukungan yang

penuh kebijaksanaan.

3. Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum, selaku pembimbing akademik

untuk bimbingannya selama 4,5 tahun, untuk setiap KRS yang selalu

ditandatangani dengan obrolan ringan dan senyum yang tulus dan untuk

semua pembelajaran yang bersahabat. Saya berhutang banyak.

4. Drs. A. Indratmo, M.Hum, selaku pembimbing satu yang telah sudi

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran demi sebuah perbincangan yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

belum terlalu jelas gunanya, hingga terselesaikannya penyusunan skripsi

ini. Pertemuan-pertemuan selama setahun penuh berbicara sangat banyak

sebagai hasil dari kajian ini.

5. Dra. Sundari, M. Hum, selaku pembimbing kedua yang selalu gigih

mengingatkan untuk segera menyelesaikan kajian ini, untuk setiap

kesabaran dan keteguhan hati dalam memberikan bimbingan agar segera

terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen jurusan Sastra Daerah untuk transfer ilmu yang

berlangsung selama empat tahun belakang an, untuk memberi cahaya

kepada yang gelap. Saya merasa menjadi seorang buta yang sedang

meraba-raba dan bapak ibu dosen seakan memberi penglihatan bagi yang

buta.

7. Kepala dan staf perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret dan

Perpustakaan Jurusan Fakultas Sastra dan Senirupa, Universitas Sebelas

Maret, yang senantiasa memberikan fasilitas dan pelayanan demi

kelancaran penyusunan skripsi ini.

8. Keluarga dan adik-adik penulis, Ahmad Arida, Affi Tri Pertiwi dan Agung

Rohmadi yang telah memberikan keindahan dalam rumah sederhana,

kecupan yang menenangkan, perhatian yang meneguhkan dan cinta yang

tak tergantikan.

9. Yan Tohari dan keluarga selaku penyair yang karya-karyanya menjadi

obyek kajian penulis, yang tiada henti yang menemani proses

pembelajaran penulis.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

10. Teman-teman penulis dan komunitas Sastra Pawon, Yudhi Herwibowo,

Indah Darmastuti, Puitri Hati Ningsih, Bandung Mawardi, Songksi Ekalya

Mardika dan teman-teman komunitas yang lain, yang meneguhkan setiap

gerilya kata yang mengundang tanya dan menemani penulis dalam proses

yang mendewasakan. Saya siap menjadi pribadi.

11. Sahabat penulis, Fanny Chotimah dan Nikotopia yang selalu memberi

dukungan, doa dan perbincangan yang mencerahkan. Bandung Mawardi,

untuk buku-buku yang penulis pinjam. Joko Narimo, untuk kesediaan

mendengar keluhan penulis.

12. Teman-teman Sastra Daerah angkatan 2007 untuk dukungan dan

kebersamaan selama empat tahun lebih, Hekawati S, Zulfa Laila Maulida,

Nuryantini, Ghea Orleana, Dhagan Widyaloka, Haniv Siti Nurjannah,

Rizki Proborani, Fajar Yuli dan teman-teman yang lain.

Masih banyak nama yang memiliki pemaknaan penting dalam proses

penulisan skripsi ini, namun terbatasnya ruang dan waktu membuat penulis tidak

bisa menuliskannya satu persatu. Tidak tertulisnya nama-nama penting yang

seharusnya penulis sebutkan dalam halaman ini, tidak akan mengurangi esensi

makna mereka di hati penulis.

Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................................... x

ABSTRAK ....................................................................................................... xiv

ABSTRACT ..................................................................................................... xv

SARI PATHI .................................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. ................................................................................................... Latar

Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. ................................................................................................... Peru

musan Masalah................................................................................... 5

C. ................................................................................................... Tujua

n Penelitian......................................................................................... 5

D. ................................................................................................... Manf

aat Penelitian ...................................................................................... 6

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

a. ................................................................................................ Manf

aat Teoritis ...................................................................................... 6

b. ............................................................................................... Manf

aat Praktis ....................................................................................... 6

E. ................................................................................................... Siste

matika Penulisan ................................................................................ 6

BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................... 8

A. Konsep Puisi dan Geguritan ................................................................. 9

B. Analisis Struktural ................................................................................ 11

C. Analisis Semiotika Michael Riffaterre ................................................. 13

1. ............................................................................................... Peng

gantian Arti (Displacing of Meaning) ........................................... 17

2. ............................................................................................... Penyi

mpangan Arti (Distorting of Meaning) ......................................... 21

a. .......................................................................................... Ambi

guitas ........................................................................................ 21

b. .......................................................................................... Kontr

adiksi ........................................................................................ 22

c. .......................................................................................... Nons

ense ........................................................................................... 22

3. ............................................................................................... Penci

ptaan Arti (creating of meaning) ................................................... 23

a. .......................................................................................... Simet

ri ............................................................................................... 23

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

b. .......................................................................................... Rima

.................................................................................................. 23

c. .......................................................................................... Hom

ologues ..................................................................................... 24

d. .......................................................................................... Enja

mbemen .................................................................................... 24

e. .......................................................................................... Tipo

grafi .......................................................................................... 25

4. ............................................................................................... Pemb

acaan Heuristik dan Hermeneutik .................................................. 25

D. Mistik-Religius ..................................................................................... 26

1. Mistik ............................................................................................. 27

2. Religius .......................................................................................... 28

BAB III METODELOGI PENELITIAN ......................................................... 31

A. Bentuk Penelitian ................................................................................. 31

B. Sumber Data ......................................................................................... 32

C. Data Penelitian ..................................................................................... 33

D. Teknik Analisis Data ............................................................................ 34

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 37

A. Analisis Semiotika Michael Riffaterre ................................................. 37

1. Penggantian Arti................................................................................ 37

a. Personifikasi ............................................................................. 37

b. Metonimi .................................................................................. 47

2. Penyimpangan Arti .......................................................................... 56

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

a. Ambiguitas ............................................................................... 56

b. Kontradiksi ............................................................................... 64

c. Nonsense................................................................................... 72

3. Penciptaan Arti........ .......................................................................... .56

a. Rima ........................................................................................ 78

a. Rima Bait ............................................................................. 78

b. Rima Antar Bait ................................................................... 88

b. Homologues ............................................................................ 105

c. Enjambemen ............................................................................ 109

d. Tipografi .................................................................................. 112

a. Judul .................................................................................... 112

b. Pembaitan ............................................................................ 114

c. Jumlah Baris ........................................................................ 115

d. Pemakaian Huruf ................................................................. 117

e. Pemakaian Tanda Baca ....................................................... 117

4. Pembacan Semiotik . ......................................................................... .129

a. .......................................................................................... Pemb

acaan Heuristik dan Hermeneutik ............................................ 129

b. .......................................................................................... Matri

ks dan Model ............................................................................ 155

B. Nilai Mistik-Religius ............................................................................ 170

1. ................................................................................................ Misti

k ...................................................................................................... 170

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

2. ................................................................................................ Relig

ius ................................................................................................... 181

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 194

1. ................................................................................................ Simp

ulan ................................................................................................. 193

2. ................................................................................................ Saran

........................................................................................................ 197

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 199

LAMPIRAN ..................................................................................................... 202

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

ABSTRAK

ANNA SUBEKTI. C0107011. Nilai-nilai Mistik dan Religius dalam Geguritan

Karya Yan Tohari (Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre). Skripsi: Jurusan

Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar belakang penelitian ini adalah tujuh belas geguritan karya Yan

Tohari. Penelitian terhadap geguritan karya Yan Tohari didasari oleh beberapa

pertimbangan yakni karena Yan Tohari telah berhasil menerbitkan buku antalogi

geguritan. Disisi lain, kandungan isi dalam geguritan memiliki banyak tema

seperti mistik, religius, cinta atau filsafat.

Perumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1)

Bagaimana struktur yang dibangun ketujuhbelas geguritan karya Yan Tohari? (2)

Bagaimana matriks dan model yang terdapat dalam geguritan tersebut? (3) Apa

sajakah kandungan makna mistik-religius dalam geguritan tersebut?

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan struktur yang dibangun

dalam ketujuhelas geguritan karya Yan Tohari. (2) Mendeskripsikan matriks

yang terdapat dalam geguritan karya Yan Tohari. (4) Apa sajakah kandungan

makna mistik-religius dalam ketujuhbelas geguritan karya Yan Tohari.

Manfaat secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan

dan teori mengenai studi analisis terhadap sastra Jawa, terutama penelitian

geguritan yang memanfatkan teori semiotika Michael Riffaterre. Manfaat praktis

dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian karya sastra

Jawa dan menambah wawasan kepada pembaca tentang mistik-religius. Data yang

ada dalam penelitian ini diharap dapat menjadi data bagi penelitian selanjutnya.

Bentuk penelitian ini adalah penelitian sastra yaitu memberi makna dengan

hati-hati dan kritis. Objek kajian dalam penelitian ini adalah geguritan yang

dipaparkan dalam bentuk deskripsi untuk membeberkan fakta-fakta tekstual.

Penelitian sastra yang dilakukan bertujuan memperoleh informasi yang akurat

berdasar struktur dan ilmu tanda.

Simpulan dari penelitian ini adalah: analisis dengan teori semiotika

Michael Riffaterre, (1) meliputi penggantian arti, penyimpangan arti dan

penciptaan arti. Pada penggantian arti penulis menemukan personifikasi yang

memanusiakan benda mati. Penyimpangan arti meliputi ambiguitas yang

didominasi penggunaan kiasan, kontradiksi yang didominasi perlawanan makna

dan nonsense yang condong ada kalimat-kalimat yang kadang tidak logis. Pada

penciptaan arti ditemukan berbagai kemungkinan makna-makna baru yang bisa

terbentuk. (2) Matriks dan model merupakan inti dari makna yang terkandung di

dalamnya. Matriks berupa kalimat yang monumental dalam geguritan. (3) Nilai-

nilai yang tercantum dalam ketujuhbelas geguritan Yan Tohari terbagi menjadi

dua macam yaitu nilai mistik dan religius. Sisi mistik ditandai aktifitas

spiritualitas penyair dan cara pandang yang ditandai dengan adanya tindakan

untuk meniadakan keinginan dan berburu keheningan. Perilaku religius nampak

pada keinginan mendekatkan diri pada Tuhan dengan keheningan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

ABSTRAC

ANNA SUBEKTI. C0107011. Mystic and Religious Values in Geguritan by

Yan Tohari (A Semiotic Study of Michael Riffaterre). Thesis: Local Letters

Department of Faculty of Letters and Fine Arts of Surakarta Sebelas Maret

University.

The background of this research is the work is seventeen geguritan by

Yan Tohari. Research o the work of Yan Tohari based on several considerations

namely because Tohari Yan has published a book antalogi geguritan. On the other

hand, the content of the contents in geguritan has many themes such as

the mystical, religious, philosophical and love.

The problem statements discussed in this research were (1) what are the

structures of the seventeen geguritan by Yan Tohari? (2) what do matrix and

model exist in geguritan by Yan Tohari? (3) what are mystic and religious content

contained in seventeen geguritan by Yan Tohari?

The objectives of research were (1) to describe the structure built in the

seventeen geguritan by Yan Tohari, (2) to describe the matrix existing in the

geguritan by Yan Tohari, and (3) to describe the mystic-religious meaning of the

seventeen geguritan by Yan Tohari.

The theoretical benefit of research was that it was expected to increase

insight and theory about analytical study on Javanese letters, particularly in

geguritan research utilizing Michael Riffaterre’s semiotic theory. Meanwhile the

practical benefit of research was that it was expected to increase the reference of

Javanese literary works and to increase the readers’ insight into behavior, mystic-

religious meaning existing in geguritan by Yan Tohari. In addition, the data

existing in the research was expected to be the data for further research.

The study belonged to a literary research, namely the attempt of seeking

knowledge and giving meaning thoroughly and critically to the problem of letters

continuously. The object of study was geguritan who was description to describe

the textual facts. This literary study was expected to get accurate information in a

research on geguritan by Yan Tohari based on the structure and semiotics.

The conclusion of research was that the analysis on geguritan by Yan

Tohari applying Michael Riffaterre’s semiotics theory (1) included meaning

substitution, deviation, and creation. In meaning substitution, the author found

metaphor using other object as intermediary and metonym dominated by the use

of one attribute. Meaning deviation included ambiguity dominated by the one

using metaphor, contradiction dominated by the one with contradictory meaning,

and nonsense sometimes containing illogical sentences. In meaning creation, it

was found a variety of possible new meanings that could form. (2) Matrix and

model was the core of meaning contained within it. Matrix constituted the

monumental sentences in geguritan. (3) The values included in the seventeen

geguritan by Yan Tohari were divided into two: mystic and religious. The mystic

aspect was characterized by the poet’s spirituality activity and point of view. The

poet’s spiritual activity was characterized by the presence of action to negate the

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

desire and to hunt silence. This religious behavior could be seen in the desire to be

close to God by positioning the self in the silence.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

SARI PATHI

ANNA SUBEKTI. C0107011. Nilai-nilai Mistik-Religius dalam Geguritan

Karya Yan Tohari (Tinjauan Semiotika Michael Riffatere). Skripsi : Jurusan

Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Prêkawis ing panalitèn inggih menika geguritan ingkang dipunanggit Yan

Tohari. Panalitèn marang geguritan anggitan Yan Tohari menika amargi Yan

Tohari sampun gadhah antologi geguritan. Wonten ing babagan sanesipun,

geguritan menika kathah teges bagagan mistik, religius, tresna utawi filsafat.

Prêkawis ingkang dipunrembag ing panalitèn punika: (1) kados pundi

rancangan ingkang dipun wangun wontên ing pitulas geguritan Yan Tohari

kemawon isi makna mistik-religius wontên ing geguritan kasebat? (2) kados pundi

matriks lan modhel ingkang wontên ing geguritan kasebat? (3) punapa kemawon

isi makna mistik-religius wontên ing geguritan kasebat?

Ancas pangerten panalitèn punika (1) Njlèntrèhakên rancangan ingkang

dipun wangun wontên ing pitulas geguritan Yan Tohari kemawon isi makna

mistik-religius wontên ing geguritan kasebat?? (2) Njlèntrèhakên matriks lan

modhel ingkang wontên ing geguritan kasebat? (3) Njlèntrèhakên isi makna

mistik-religius wontên ing geguritan kasebat.

Paedah teoritis panalitèn punika dipunajab saged amimbuhi wawasan lan

teori studi analisis tumrap sastra jawa utamanipun wontên ing bidhang semiotika

Michael Riffatere. Dene paedah praktis wontên ing panalitèn punika asiling

panalitèn dipun ajab saged amimbuhi referensi panalitèn karya sastra. Kajawi

punika, dhata ingkang wontên ing panalitèn punika dipunajab saged dados dhata

tumrap panalitèn salajengipun.

Wujud panalitèn punika, panalitèn sastra tegesipun budidaya paweweh

makna kanthi ngatos-atos lan teliti. Obyek kajian wontên ing panalitèn geguritan

ingkang dipun jlentrehaken wujud jlentrehan kangge njlentrehaken fakta-fakta

tekstual. Panalitèn sastra ingkang dipuntindakaken punika dipunajab pikantuk

kabar ingkang pasthi adedasar rancangan lan ngelmu tanda.

Dudutan panalitèn punika: analisis panalitèn ingkang ngetrapaken teori

semiotika Michael Riffatere (1) kadosta panggentosan teges, penyimpangan teges

lan pendamelan teges. Wontên penggantosan teges panyerat manggihaken

personifikasi ingkang nganggep barang mati gesang kados manungsa.

Penyimpangan teges: ambiguitas, ingkang dipun kuwaosi babagan ingkang

migunakaken kiasan personifikasi. Kontradiksi ingkang dikuwaosi teges kosok

balen. Nonsense ingkang condong wontên ing ukara-ukara ingkang tarkadang

mboten mlebet ing nalar. Wontên ing pandamelan makna dipunpanggihaken

kathah makna enggal ingkang saged kabentuk. (2) matriks lan modhel minangka

inti saking makna ingkang wontên ing lebetipun. Matrik awujud ukara ingkang

monumental ing geguritan. (3) piwulang ingkang wontên ing pitulas geguritan

kaperang dados kalih warni: inggih punika piwulang mistik-religius. Saking

perangan mistik dipun tandami kegiatan spiritualitas penggurit lanpandulu.

Tumindak spiritual penggurit dipuntandani kanthi wontênipun tumindak ingkang

ge ngicali kepinginan lan dados kaweningan. Tumindak religiusitas menika katon

ing kepinginan nyelaaken dhiri pribadi marang Gusti kanthi cara kaweningan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

NILAI-NILAI MISTIK DAN RELIGIUS DALAM GEGURITAN KARYA

YAN TOHARI

(Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre)

Anna Subekti1

Drs. A. Indratmo, M.Hum2

Dra. Sundari, M. Hum3

ABSTRAK

2012. Nilai-nilai Mistik dan Religius dalam Geguritan Karya Yan Tohari

(Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar belakang penelitian ini adalah tujuh belas geguritan karya Yan Tohari.

Penelitian terhadap geguritan karya Yan Tohari didasari oleh beberapa

pertimbangan yakni karena Yan Tohari telah berhasil menerbitkan buku antalogi

geguritan. Disisi lain, kandungan isi dalam geguritan memiliki banyak tema

seperti mistik, religius, cinta atau filsafat. Perumusan masalah yang dibahas

dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana struktur yang dibangun ketujuhbelas

geguritan karya Yan Tohari? (2) Bagaimana matriks dan model yang terdapat

dalam geguritan tersebut? (3) Apa sajakah kandungan makna mistik-religius

dalam geguritan tersebut?

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan struktur yang dibangun dalam

ketujuhelas geguritan karya Yan Tohari. (2) Mendeskripsikan matriks yang

terdapat dalam geguritan karya Yan Tohari. (4) Apa sajakah kandungan makna

mistik-religius dalam ketujuhbelas geguritan karya Yan Tohari.

Manfaat secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan dan

teori mengenai studi analisis terhadap sastra Jawa, terutama penelitian geguritan

yang memanfatkan teori semiotika Michael Riffaterre. Manfaat praktis dari

penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian karya sastra Jawa

dan menambah wawasan kepada pembaca tentang mistik-religius. Data yang ada

dalam penelitian ini diharap dapat menjadi data bagi penelitian selanjutnya.

Bentuk penelitian ini adalah penelitian sastra yaitu memberi makna dengan hati-

hati dan kritis. Objek kajian dalam penelitian ini adalah geguritan yang

dipaparkan dalam bentuk deskripsi untuk membeberkan fakta-fakta tekstual.

Penelitian sastra yang dilakukan bertujuan memperoleh informasi yang akurat

berdasar struktur dan ilmu tanda.

Simpulan dari penelitian ini adalah: analisis dengan teori semiotika Michael

Riffaterre, (1) meliputi penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti.

Pada penggantian arti penulis menemukan personifikasi yang memanusiakan

benda mati. Penyimpangan arti meliputi ambiguitas yang didominasi penggunaan

kiasan, kontradiksi yang didominasi perlawanan makna dan nonsense yang

1 Mahasiswa,Jurusan Sastra Daerah dengan NIM C 0107011

2 Dosen Pembimbing I

3 Dosen PembimbingII

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

condong ada kalimat-kalimat yang kadang tidak logis. Pada penciptaan arti

ditemukan berbagai kemungkinan makna-makna baru yang bisa terbentuk. (2)

Matriks dan model merupakan inti dari makna yang terkandung di dalamnya.

Matriks berupa kalimat yang monumental dalam geguritan. (3) Nilai-nilai yang

tercantum dalam ketujuhbelas geguritan Yan Tohari terbagi menjadi dua macam

yaitu nilai mistik dan religius. Sisi mistik ditandai aktifitas spiritualitas penyair

dan cara pandang yang ditandai dengan adanya tindakan untuk meniadakan

keinginan dan berburu keheningan. Perilaku religius nampak pada keinginan

mendekatkan diri pada Tuhan dengan keheningan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra Jawa memiliki banyak genre karya sastra seperti novel, roman, cerita

cerkak, cerita sambung maupun geguritan (puisi). Produktivitas para penulis tersebut

tidak bisa dianggap remeh karena di tangan mereka tercatat eksplorasi budaya yang

dinamis.

Pada tahun 1923 terbit majalah Panji Pustaka yang membuka rubrik bahasa

Jawa pada tahun 1943. Penyair penting dalam majalah ini adalah Soebagijo I.N, Wida

Aminah dan P. Atmodhihardjo (Sutadi, 1987:25). Sosok kenamaan Soebagijo I.N

yang disejajarkan dengan Amir Hamzah, seorang tokoh besar di khasanah sastra

Indonesia berhasil menjadi perintis geguritan. “Kekasihku” karya Soebagijo I.N

merupakan geguritan yang disinyalir menjadi tonggak tampilnya geguritan Jawa.

Karya-karya Soebagijo I.N cenderung bersifat mendidik (memberikan ajaran moral

secara Islami), tetapi aspek estetikanya menonjol. Karena itu, menjadi perintis awal

perkembangan puisi Jawa modern (Sri Widati.dkk, 2001:298).

Menurut Mulyana (melalui Atar Semi, 1993:93) puisi adalah sintesis dari

pelbagai peristiwa bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan pelbagai proses

jiwa yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi

dalam satu bentuk. Setiap penulis atau penyair membuat definisi masing-masing

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

tentang puisi, baik dikemukakan secara eksplisit atau tidak.

Melihat dari bentuk dan struktur puisi dan geguritan sekilas nampak tak

berbeda, namun bila menilik dari kebahasaan, geguritan lebih menonjol dengan

kekompleksannya karena geguritan memakai bahasa Jawa yang kosakatanya jauh

lebih kaya dibandingkan dengan bahasa Indonesia.

Faktor perasaan sangat berperan di dalam geguritan, sehinga tidak mustahil

bila geguritan seringkali menjadi suatu rahasia. Geguritan seringkali menjadi media

penyair Jawa untuk menumpahkan pengalaman batinnya, seperti halnya Yan Tohari

yang banyak menuliskan pengalaman batinnya di dalam geguritan. Geguritan Yan

Tohari banyak yang bernuansa mistik, religius, cinta dan sari-sari kehidupan.

Yan Tohari merupakan salah seorang penggurit kelahiran Klaten, 23 Mei

1969. Penggurit satu ini juga memiliki keahlian mendalang, tidak mengherankan jika

pengetahuannya dalam dunia Jawa sangat luas. Karya-karyanya telah dimuat di

beberapa majalah Jawa seperti Djaka Lodang, Mekar Sari, Jaya Baya, Panjebar

Semangat, Pagagan, Damarjati dan Surabaya Post. Selain majalah Jawa,

karya-karyanya juga dimuat dalam beberapa antologi geguritan dan cerkak seperti

Rembulan Padhang ing Ngayogyakarta (1992), Pangilon (1994), Pesta Emas Sastra

Jawa (1995), Pemilihan Lurah (1996), Pisungsung (1997), Rembuyung (1997),

Bandha Pusaka (2001) dan Senthong edisi Juli 2008.

Dalam penelitian ini penulis meneliti geguritan karya Yan Tohari sejumlah

tujuh belas puisi yang dimuat di berbagai media cetak. Dari sekitar 154 geguritan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

yang telah dimuat penulis mengambil sejumlah tujuh belas geguritan yang

bertemakan mistik dan religius. Dalam penelitian ini penulis sengaja memilih ketujuh

belas puisi yang memiliki tema yang sama, yaitu mistik dan religius. Penetapan tema

yang sama ini bertujuan untuk membatasi kajian agar lebih fokus dan mendalam.

Ketujuh belas geguritan tersebut dirasa perlu mendapat perhatian penting

karena pengkajian terhadap ketujuh belas geguritan tersebut dapat ditengarai

seberapa jauh nilai mistik berpengaruh terhadap sebuah karya sastra. Selain itu

pengkajian juga telah banyak dilakukan ditengarai sejak tahun 1970 muncul artikel

berjudul Trejenge Geguritan Anyar (Panjebar Semangat, 24 Juli 1971) oleh Moch.

Nursyahid P. Artikel tersebut mempertanyakan konsep bentuk dan visi puisi Jawa

modern (geguritan). Melihat realitas tesebut dirasa perlu melakukan penelitian

dengan objek kajian geguritan dan mengaplikasikan teori yang juga terus mengalami

perkembangan.

Penelitian ini diharapkan mampu menjembatani kesusastraan daerah dengan

masyarakat luas. Penelitian ini bertujuan mengupas karya sastra secara mendalam

agar bisa lebih dipahami, dengan begitu akan timbul kecintaan terhadap sastra daerah.

Ditinjau dari pihak penulis, Yan Tohari termasuk salah satu penulis yang

sangat produktif. Selain 154 puisi yang diproduksi sampai bulan Maret 2010, Yan

Tohari juga aktif menulis cerpen, esai dan artikel di berbagai media. Karya-karya Yan

Tohari juga telah dimuat di beberapa antologi maupun media massa di daerah Jawa

maupun luar Jawa. Produktivitas Yan Tohari telah diakui oleh beberapa pihak,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

terbukti pada tahun 1995 karyanya yang berjudul Manggung Kanthi Tesbih

mendapatkan penghargaan Sinangling dari sanggar Sastra Jawa Yogyakarta sebagai

juara III. Selain itu beberapa karya telah dimusikalisasi beberapa pihak dan dibacakan

di beberapa acara kesenian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep semiotik Riffaterre karena

geguritan Yan Tohari mengandung berbagai tanda yang merangkai makna. Dengan

semiotika Riffaterre, tanda-tanda yang ada dalam geguritan dapat diurai dan

pemaknaan terhadap menyeluruh. Semiotika Riffaterre (melalui Pradopo,1995:318)

yang menyoroti tiga hal antara lain penggantian arti (displacing of meaning),

penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creating of meaning).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

strukturalisme yang berdasarkan konsep semiotik, karena dengan menggunakan

konsep ini dapat diketahui bagaimana tanda-tanda kebahasaan yang terkandung di

dalam geguritan. Dalam suatu penelitian, seorang peneliti haruslah dapat dalam

melakukan suatu pendekatan. Pendekatan adalah cara memandang suatu hal, dan

pendekatan (approach) sastra pada dasarnya adalah memahami jenis sastra tertentu

sesuai dengan sifatnya.

Berdasarkan konsep semiotik, yaitu dengan menganalisis karya berdasarkan

satuan-satuan tanda yang bermakna dengan tidak melupakan hubungan fungsi satuan

tanda tersebut (Pradopo, 2005:118). Dalam pandangan strukturalisme dinamik karya

sastra tidak lepas dari konvensi-konvensi masyarakat, baik masyarakat sastra,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

maupun masyarakat pada umumnya, dan dipandang sebagai suatu sistem tanda yang

bermakna.

Melihat tema yang penulis angkat yaitu tentang pengalaman batin Yan Tohari

dengan Ketuhanan dan kehidupannya, maka ketujuh belas geguritan Yan Tohari

tersebut akan diteliti lebih lanjut dengan judul Nilai-Nilai Mistik dan religius Dalam

Geguritan Karya Yan Tohari, Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre.

B. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih fokus dalam problematik mistik dan religius, maka

penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah yang diharapkan mampu menjadi

batasan penelitian. Beberapa rumusan masalah itu adalah :

1. Bagaimana struktur yang dibangun ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari?

2. Bagaimana matriks dan model yang terdapat dalam geguritan karya Yan

Tohari?

3. Apa sajakah nilai-nilai mistik dan religius dalam ketujuh belas geguritan

karya Yan Tohari?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu mewujudkan beberapa tujuan yang ingin

dicapai berdasarkan rumusan masalah di atas. Tujuan yang hendak dicapai adalah :

1. Mendeskripsikan struktur yang dibangun dalam ketujuhelas geguritan karya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Yan Tohari.

2. Mendeskripsikan matriks dan model yang terdapat dalam geguritan karya

Yan Tohari .

3. Mendeskripsikan nilai-nilai mistik dan religius dalam ketujuh belas geguritan

karya Yan Tohari.

D. Manfaat Penulisan

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan teori tentang studi

analisis terhadap sastra Jawa, terutama dalam bidang penelitian geguritan yang

memanfatkan teori semiotika Michael Riffaterre.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian karya

sastra Jawa dan menambah wawasan kepada pembaca tentang perilaku Mistik dan

religius yang ada dalam geguritan karya Yan Tohari. Selain itu data yang ada dalam

peneliian ini diharap dapat menjadi data bagi penelitian selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Dalam menyampaikan hasil penelitian terhadap teks puisi karya Yan Tohari

yang berjudul Ing Pusering Ning, Sing Kesit Pindha Thatit, Kembang-kembang,

Muksa, Manjing Jagad Sunyaruri, Ana Cahya, Cathetan Wengkoning Pandulu,

Amasuh Jejer Kasejaten, Kendhi Pertala, Mburu Suwunging Jiwa, Nyuluh

Wewerdine Wengi, Tan Kapetung, Ing Salembar iki, Laku Tumuju Sih-Mu, Mateg

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Kemat, Dakcandhak Lakune Sasmita dan Miyak Isining Kitir penulis menggunakan

sistematika sesuai dengan Pedoman Penulisan dan Pembimbingan Skripsi/Tugas

Akhir Fakultas Sastra dan Seni Rupa (2005). Adapun sistematika penulisan kajian ini

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN yang secara berturut-turut memuat latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, sistematika

penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI yang memuat konsep puisi dan geguritan,

analisis struktural, analisis semiotika Michael Riffaterre dengan sub-bab penggantian

arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distoring of meaning), penciptaan

arti (creating of meaning), pembacaan heuristik dan hermeutik, mistik dan religius.

BAB III : METODE PENELITIAN yang memuat bentuk penelitian,

sumber data, data penelitian dan analisis data.

BAB IV : PEMBAHASAN yang memuat struktur geguritan karya Yan

Tohari, analisis semiotika Michael Riffaterre dan unsur mistik dan religius.

BAB V : PENUTUP yang berisi kesimpulan dan saran.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

BAB II

LANDASAN TEORI

Objek dapat didekati dengan sempurna bila pendekatan dan teori yang

digunakan tepat. Karya sastra sebagai objek penelitian dalam skripsi ini

merupakan sebuah struktur yang kompleks, karena itu untuk memahami karya

(sajak) haruslah karya sastra (sajak) dianalisis (Hill dalam Pradopo, 2005: 120).

Berbagai macam teori untuk menganalisis sebuah karya sastra telah dipaparkan

banyak tokoh sastra. Dalam kesempatan kali ini untuk menguak sisi mistik dan

religius ketujuhbelas geguritan Yan Tohari penulis menggunakan teori semiotika.

Teori Michael Riffaterre dalam buku Semiotic of Poetry dan dipaparkan

ulang oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Pengkajian Puisi. Pendekatan

semiotik Michael Riffaterre dirasa tepat untuk dipakai sebagai teori analisis

geguritan Yan Tohari karena semiotika sebagai ilmu tanda mampu menguak

tanda-tanda yang ada dalam geguritan.

Menurut Pradopo (2005:121) bahasa merupakan sistem ketandaan yang

berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian masyarakat). Sistem

ketandaan itu disebut semiotik. Konsep analisis menggunakan teori semiotika

Michael Riffaterre merupakan kajian yang diawali dengan analisis struktural,

kemudian analsis semiotika. Melalui analisis yang sistematis ini nanti diharapkan

mampu menguak tanda dan pemaknaan yang ada dalam keseluruhan geguritan

karya Yan Tohari.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

a. Konsep Puisi dan Geguritan

Dalam Kamus Istilah sastra (Panuti, 2006) puisi (poetry I, poesie P) yang

berarti ragam sastra yang bahasanya terikat irama, mantra, rima serta

penyusunan larik dan bait.

Bagi seorang penyair puisi memiliki definisi tersendiri, dapat dikatakan

sebagai hidup itu sendiri. Octavio Paz (dalam Bandung, 2011: 278) menganggap

puisi urusan tak selesai. Bandung (2011: 278) menjelaskan kodrat keabadian

seolah melekat pada puisi, sebuah kebenaran tak tertanggungkan sepanjang

zaman, sejak puisi dilisankan dan dituliskan. Paz menjadikan pusi sebagai ikhtiar

menapaki titian keabadian manusia dan dunia-ciptaan.

Menurut Pradopo (2005: 7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang

membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan

yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan

diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Pradopo

menyimpulkan bahwa puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman

manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.

Menurut Altenberd (dalam Pradopo, 2005: 5-6) puisi adalah pendramaan

pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama

(bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience in metrical

language).

Dari pengertian di atas dapat disimpulan bahwa puisi adalah pengalaman

kebatinan yang berwujud ungkapan perasaan dan pikiran penyair atas dasar

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

pengalamannya, yang bersifat imajinatif atau rekaan yang dituangkan atau disusun

dengan mengkonsentrasikan semua dari kekuatan bahasa serta dikemas secara

khas dalam kontek dan kode budaya yang ada pada masyarakat.

Tidak berbeda dengan puisi, geguritan memiliki diskripsi yang hampir

sama. Menurut Sutadi Wiryaatmaja dkk (1997:23) geguritan bentuk dasar katanya

dari gurit, sedangkan bentuk gegurit atau gugurit adalah bentuk dwipurwa atau

bentuk ulang suku awal. Apabila dilihat dari sudut atinya kata guritan searti

dengan tembang, kidung, dan rerepen (Poerwodarminto dalam Sutadi, 1997: 23).

Geguritan merupakan nama yang diberikan kepada semua bentuk puisi

Jawa modern (Subalidinata 1981:47). Jadi pengertian geguritan atau puisi Jawa

modern adalah puisi yang pengungkapannya mengunakan media bahasa Jawa

modern. Puisi Jawa lama tidak berbeda dengan puisi Indonesia lama yang

memiliki aturan atau konvensi yang ketat meskipun aturannya berbeda, aturan ini

menyangkut jumlah suku kata dan bunyi akhiran ada larik, namun geguritan dan

puisi berkembang lebih bebas, tidak terikat dengan konvensi-konvensi tersebut.

Sutadi (1997: 35) mengungkapkan bahwa puisi Jawa modern (dalam hal

ini geguritan) ialah apa yang dikomunikasikan oleh penyairnya, bertumpu pada

rasa kemanusiawiannya, dengan memeras kemampuan dan daya guna kata-kata

bahasa Jawa, mengacu pada kehidupan yang digumulinya dengan naungan kode

bahasa dan budayanya, dalam orientasi mengindonesia, serta mengimbau

keterlibatan penyambutan pada khalayaknya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Awal perkembangan geguritan Jawa dimulai oleh Soebagijo I.N yang

disejajarkan dengan Amir Hamzah dalam khasanah sastra nasional dengan

geguritannya ”Kekasihku”. Akan tetapi, puisi-puisi karya Soebagijo I.N yang

disebut modern itu, termasuk puisi R. Intoyo sebenarnya masih senafas dengan

puisi tradisional Eropa, yaitu Soneta, dan jenis itu telah populer dimasa Pujangga

Baru (Tim Penyusun Sejarah Sastra Jawa Modern, 2001: 298).

Perbedaan utama puisi Indonesia modern dengan geguritan (puisi Jawa

modern) terletak pada medium yang dipakai. Puisi Indonesia modern

menggunakan bahasa Indonesia sebagai media, geguritan menggunakan bahasa

lokal, bahasa Jawa sebagai media. Sedang untuk konsepsi penulisan hampir sama.

Dulu ketika perkembangan awal geguritan, tematik masih sangat terbatas namun

saat ini tematik geguritan jauh lebih luas.

b. Analisis Struktural

Membaca puisi berarti bergulat terus menerus untuk merebut makna sajak

yang disajikan oleh sang penyair. Sajak yang baik merupakan bangunan bahasa

yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan seorang manusia dengan segala

pengalaman suka-dukanya (Teeuw, 1980: 5). Senada dengan yang diungkapkan

Pradopo (2005:118) sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Maka untuk

mendapatkan pemaknaan sebuah geguritan (sajak) secara utuh, penulis harus

membedah bangunan yang membentuk geguritan tersebut, yaitu strukturnya.

Analisis struktural merupakan tahap awal untuk memahami pemaknaan

geguritan. Dengan analisis struktural akan didapat kebulatan makna intrinsik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Teeuw

(dalam Pradopo, 2005: 280) tanpa analisis demikian, kebulatan makna intrinsik

yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri tidak akan tertangkap. Oleh

karena itu, ada usaha untuk mengatasinya, yaitu dengan strukturalisme dinamik

(Teeuw dalam Pradopo, 2005: 280).

Kris Budiman (1999: 111) dalam kamus Kosa Semiotikanya menjelaskan :

Struktur: Piaget. Pengertian tentang struktur tersusun dari tiga gagasan

kunci, yakni keseluruhan (wholeness), transformasi, dan regulasi-diri (self-

regulation). Pertama, gagasan tentang keseluruhan mengindikasikan

bahwa elemen-elemen suatu struktur diatur sesuai kaidah-kaidah

kombinasi yang bukan semata-mata penyatuan bersama-sama sebagai

sebuah agregat. Kedua, transformasi berarti kamampuan dari bagian-

bagian suatu struktur untuk dipertukarkan atau dimodifikasi sesuai dengan

kaidah-kaidah tertentu. Sedangkan, ketiga, gagasan tentang regulasi-diri

mengacu kepada ”saling-pengaruh antara antisispasi dan koreksi (umpan-

balik)” di dalam sistem sibernetik atau kepada ”mekanisme-mekanisme

ritmis seperti tampak pada biologi dan setiap tahap kehidupan manusia.”

struktur yang meregulasi diri adalah sekaligus struktur yang mampu

”mempertahankan diri sendiri” dan bersifat ”tertutup”.

Strukturalisme Kris Budiman (1999, 111-112) menuliskan :

Pada dasarnya strukturalisme merupakan suatu cara berfikir tentang dunia

yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai

struktur. Strukturalisme menjadi terkemuka berkat adanya aplikasi

linguistik Saussurean untuk mengkaji fenomena seperti mitos, ritual,

relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya. Fenomena semacam ini dipahami

sebagai sistem penandaan dan dengan begitu, terbuka untuk dianalisis

secara linguistik. Pemanfaatan bahasa sebagai model untuk memahami

aspek-aspek realitas telah memantapkan struktulaisme sebagai alternatif

yang kuat untuk menandingi metode-metode analisis yang potivistik

ataupun empiristik.

Strukturalisme dinamik adalah strukturalisme dalam kerangka semiotik,

yaitu dengan memperhatikan karya sastra sebagai sistem tanda (Pradopo, 2005:

280). Hawkes (dalam Pradopo, 2005: 279) mengungkapkan tiap unsur-unsur itu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

hanya mempunyai makna dalam kaitannya dengan unsur-unsur lain dalam

struktur itu dan keseluruhannya. Dengan pengertian itu, maka analisis struktural

adalah analisis puisi (sajak) ke dalam unsur-unsur dan fungsinya (dalam struktur

sajak), penguraian bahwa tiap-tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam

kaitannya dengan usur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempat atau letaknya

dalam struktur (Pradopo, 2005: 279).

c. Analisis Semiotika Michael Riffaterre

Semiologi menurut Saussure (Kris Budiman, 1999:107) merupakan sebuah

ilmu tentang tanda. Dalam definisi Saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu

yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat dan dengan demikian

menjadi bagaian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannnya adalah untuk

menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang

mengaturnya.

Semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang menginvestigasi seluruh

bentuk kemonukasi sejauh terjadi akibat tanda, didasarkan pada sistem tanda

(kode) (Sebeok dalam Rosyidi, 2010: 100), tanda merupakan kombinasi konsep

(petanda) dan bentuk (yang tertulis atau diucapkan) atau penanda (Saussure

dalam 2010: 100). Pierce (Kris Budiman, 1999:107) menjelaskan istilah semiotik

merujuk kepada doktrin formal tentang tanda-tanda. Yang menjadi dasar tentang

semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi

yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiripun-sejauh terkait

dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri dari tanda-tanda, karena bila tidak

demikian manusia tidak akan dapat menjalin hubungannya dengan realitas.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Tidak ada perbedaan antara istilah semiologi dan semiotik. Komarudin

Hidayat dalam Drs Alex Sobur mengatakan bahwa.

Bidang kajian semiotik atau semiologi adalah mempelajari fungsi tanda

dalam teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks

yang berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan yang

terkandung di dalamnya. Dengan ungkapan lain, semiologi berperan untuk

melakukan interogasi terhadap kode-kode yang dipasang oleh penulis agar

pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan dalam sebuah

teks. Seorang pembaca, ibarat pemburu harta karun yang bermodalkan

peta, harus paham terhadap sandi dan tanda-tanda yang menunjukkan

dimana ”makna-makna” itu disimpan dan kemudian dengan bimbingan

tanda-tanda baca itu pintu makna dibuka (Alex Sobur, 2006: 106-107).

Jelaslah sudah bahwa kutipan di atas Hidayat tidak membedakan istilah

semiotik dan semiologi. Menurut Terence Hawkes dalam Alex Sobur menyatakan

istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotik cenderung

dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Atau dalam ungkapan Zoest (1996:2)

, penggunaan kata semilogi menunjukkan pengaruh kubu Saussure, sementara

semiotik lebih tertuju kepada kubu Pierce.

Bahasa itu merupakan sistem kentandaan yang berdasarkan atau

ditentukan oleh konvensi (perjanjian masyarakat). Sistem ketandaan itu disebut

semiotik (Pradopo, 2005: 121). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa konvensi-

konvensi apa yang mendasari timbulnya makna eksplisit dalam konkretisasi

(pemberian makna). Pemberian makna melibatkan peranan teks dan pembaca.

Teori semiotik puisi Riffaterre didasari premis bahwa ”puisi

mengekspresikan konsep dan sesuatu secara tidak langsung” (Riffaterre, 1978: 1).

Pengekspresian dan sesuatu secara tidak langsung itu dicirikan oleh beberapa

penyimpangan leksikal (kosa kata) dan gramatikal (tata bahasa) (Noth dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Ridha, 2010: 173), yang juga menentukan produksi tanda (sign production) dan

prosuksi teks (teks production) sebuah puisi. Ridha (2010:173) menjelaskan

karena penyimpangan itulah unsur-unsur tanda (sign) dalam puisi sering tidak

sesuai dengan tata bahasa normal, yang diistilahkan Riffaterre sebagai

”ketidakgramatikalan” (ungrammayical).

menjelaskan :

Matriks merupakan aktualisasi struktur atau konsep abstrak yang

mendasari puisi, bersifat hipotesisi, dan merupakan turunan dari model

yang berupa kata atau kalimat pendek yang sering tidak hadir dalam teks

puisi. Riffaterre mengistilahkan, yang juga diamini Robert Young, matriks

sebagai inti (kernel) atau pusat puisi (Riffaterre dalam Ridha, 2010:173).

”Puisi hasil tranformasi matriks” (Riffaterre, 1978:19), melalui ekspansi

dan konversi tekstual yang memanfaatkan rangkaian tanda-tanda

representasional. Sedangkan dengan matriks sendiri hanya mungkin

dikenali dari ”hipogram” (perkiraan, sistem deskriptif dan kompleks

tematik0 sebagai keniasaan yang muncul dari ekspresi-ekspresi

penandaan. Implikasi dari cara pembacaan ini adalah untuk menemukan

pernyataan tunggal yang ditranformasi pada sebuah teks puisi (Ridha,

2010: 174).

Riffaterre terkenal dengan pengibaratann puisinya sebagai sebuah donat.

Menurutnya signifikansi terbentuk seperti kue donat (Riffaterre, 1978: 13). Ridha

(2010: 175) menjelaskan adapun kue yang tampak merupakan teks yang terbaca,

sedangkan bagian tengah yang kosong atau berlubang merupakan matriks dan

hipogram. Bagian kosong ditengah-tengah daging kue inilah pusat makna, inti

puisi dan justru jadi tumpuan seluruh prosuksi tanda dan teks puisi. Matriks tidak

hadir secara langsung dalam puisi, namun aktualisasinya berupa kata atau kalimat

yang menjadi model dan kemudian mengalami perluasan menjadi teks.

Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4)

bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari

matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu

yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan

kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila

tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.

Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan

bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model

menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud

senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian

itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang

akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang

utuh dan menyeluruh dalam geguritan karya Yan Tohari.

Metode semiotika yang dipaparkan Michael Riffaterre, diharapkan mampu

memaparkan pembacaan yang terdapat satu kesatuan tekstual puisi.

[....] Kesatuan tekstual terbentuk dari suatu struktur, yakni satuan-satuan

semantik yang saling berpasangan, berhubungan dan sering beroposisi.

Pendasaran unsur struktural ini tidak bisa dilepaskan dalam pembacaan

semiotika terhadap sastra, terutama puisi. Seperti diuraikan Terry

Eagleton, bahwa semiotika, atau kajian atas relasi tanda-tanda sejalan

dengan penalaran struktural (Eagleton, 2003: 79-109). Relasi antar satuan

semantik yang bersifat struktural ini terwujud dari signifikansi tanda-

tanda, yang hubungan semantiknya bersifat ekuivalen; senilai, sejajar,

sepadan, sebanding. Pada gilirannya, pembacaan mesti menemukan pusat

makna dari keseluruhan satuan semantik (Ridha, 2010:175).

Dikemukakan oleh Riffaterre bahwa ketidaklangsungan pernyataan puisi

itu disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning),

penyimpangan arti (distoring of meaning) dan penciptaan arti (creating of

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

meaning) (Pradopo, 1995:318). Ketiganya berkaitan satu sama lain, membentuk

satu kesatuan.

Menentukan matriks atas pembacaan puisi karya Yan Tohari tidak lepas

dari kode dan tanda mistik dan religius. Tema keimanan, rasa syukur, pencarian

Tuhan, kepercayaan lokal merupakan tanda-tanda yag merujuk pada hipogram

puisi mistik dan religius.

Menurut Ridha (2010: 175) fungsi retorika, kiasan, tanda dan hipogram

juga menentukan bagaimana konsep ketuhanan ditransformasikan ke dalam teks

puisi. Karena itu teori pembacaan semiotik terhadap puisi yang diajukan

Riffaterre ibarat mengungkapkan teka-teki (puzzle) teks puisi. Teka-teki makna

tanda, teka-teki bagian yang kosong dari donat karena menurutnya ”puisi

menyatakan satu hal dan berarti lainnya”.

1. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)

Puisi/geguritan mengandung banyak bahasa figuratif yang pakda akhirnya

membentuk makna figuratif. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan

penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa

baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian)

kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus (Abrams,1981:63).

Bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan. Altenbernd yang

dikutip oleh Pradopo (1994:93) membedakan bahasa kiasan dan sarana

retoris (rethorical device). Sejalan dengan pendapat Altenbernd, Abrams

(1981:63) mengelompokkan gaya bahasa kiasan dan sarana retoris ke dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

bahasa figuratif. Menurutnya, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bahasa

penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa standar untuk memperoleh

efek tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abrams (1981:63).

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain

lebih-lebih metafora dan metomini. Dalam penggantian arti suatu kata (kiasan)

berarti yang lain tidak (tidak menurut arti sesungguhnya) (Pradopo, 1995:210).

Metafora, mengandung unsur-unsur yang kadang-kadang tidak disebutkan

secara eksplisit. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain.

Bentuk ini sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-

kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan

pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah

komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang

relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik.

Metafora terdiri atas tiga bagian, yaitu (a) topik, yaitu benda atau hal yang

dibicarakan; (b) citra, yaitu bagian metaforis dari majas tersebut yang digunakan

untuk mendeskripsikan topik dalam rangka perbandingan; (c) titik kemiripan,

yaitu bagian yang memperlihatkan persamaan antara topik dan citra. Ketiga

bagian yang menyusun metafora tersebut tidak selalu disebutkan secara eksplisit.

Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu, yaitu topik, sebagian dari citra, atau

titik kemiripannya implisit, Rosyidi menuturkan :

Metafora, kata Monroe, adalah ”puisi dalam miniatur” (Rosyidi, 2010:

155). Metafora mengubungkan makna harfiah dengan makna figuratif

dalam makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra

merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

Dalam tradisi prosivitisme logis, perbedaan antara makna eksplisit dan

implisit diperlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif

yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi

dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan

tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik. Konotasi

terdiri atas seruan-seruan emotif yang terjadi serentak yang nilai

kgnitifnyadangkal. Dengan demikian, arti figuratif suatu teks harus dilihat

sebagai hilangnya makna kognitif apapun. Karya sastra dibuka oleh saling

berpengaruhnya makna-makna ini, yaitu karya wacana yang menghasilkan

ambiguitas semantik yang mencirikan suatu karya sastra. Karya wacana

inilah yang dapat dilihat dalam miniatur dala metafora (Ricoeur, dalam

Rosyidi, 2010:155-156).

Metafora adalah maksud pemakainya yang sangat terasa, terencana dan

diperhitungkan untuk mengefektifkan efek emotif darinya (Wund dalam Wellek,

1983:251). H. Konrand mengkontraskannya antara metafora estetis. Metafora

linguistis (misalnya kaki meja) menggarisbawahi dari kecenderungan umum

objeknya ”memandikannya dengan suasana yang baru” (Konrand dalam Wellek,

1983:251). Metafora biasanya memberi perumpamaan atau menggantikan sesuatu

hal dengan tidak menggunakan kata pembanding: bak, ibarat, seperti, laksana, dan

sebagainya.

Metafora dianggap sebagai stuktur penentu dari dua macam tipe puisi, tipe

yang pertama adalah membuat asosiasi berdasarkan perbandingan yaitu puisi yang

mengacu pada dunia wacana. Sedangkan tipe yang kedua ialah menggabungkan

dari sebuah dunia yang berbeda (Wellek, 1983:250).

Penyebab munculnya metafora banyak disebabkan oleh rasa takut dan

segan. Dengan memberikan sebutan metafora, dapat dilihat dari sudut pandang

tertentu, karena memalui itulah objeknya dapat dicerminkan dalam fokus tertentu

oleh objeknya yang difokuskan tersebut. Ditambahkan pula bahwa, ada beberapa

unsur sebagai dasar yaitu bahwa ada empat unsurnya mendasar di dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

pengertian tentang apa itu metafora, adalah metafora (1) sebagai analogi (2)

sebagai visi ganda (3) sebagai citra indrawi yang mengungkapkan hal-hal yang tak

dapat dilihat dan (4) sebagai proyeksi animistis (Wellek, 1983:253).

Penggunaan metafora merupakan salah satu ciri khas dari puisi, akan tetapi

pemakaian dan penggunaan kiasan itu harus spontan, langsung keluar dari

sanubari penyair dan hendaknya ada persejajaran dengan adanya apa yang

dilukiskan oleh penyair dengan apa yang dimaksudkan.

Berbagai pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa metafora

adalah pergeseran dari suatu sifat tertentu ke dalam sifat lain berdasarkan asosiasi

kaitan atau asosiasi perbandingan. Dengan kata lain, metafora memindahkan sifat

tertentu ke dalam suatu objek yang dipersamakan oleh suatu metafora.

Kata metonimi diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti

menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian,

metonimi adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk

menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.

Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang

yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan

kulitnya, dan sebagainya.

Metonimi disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke.

Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari

objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan

keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Metonimi dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai kiasan pengganti

nama. Bahasa itu berarti penggunaan sebuah atribut, sebuah objek atau

penggunaan sesuatu sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan

objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 1995:77). Penggunaan metomini ini

untuk membuat lebih hidup dengan menunjukkan hal yang konkrit. Penggunaan

hal tersebut lebih dapat menghasilkan imaji-imaji yang nyata. Namun, tidak

menutup kemungkinan bentuk pengganti arti juga dibangun oleh bentuk-bentuk

kiasan yang lain seperti personifikasi, anekdok dan sebagainya.

2. Penyimpangan Arti (Distoring of Meaning)

Penyimpangan arti dalam karya sastra disebabkan oleh tiga hal, yaitu

ambigius, kontradiksi dan nonsense (Riffaterre, dalam Pradopo 1995:213).

a. Ambiguitas

Ambiguitas adalah keragu-raguan atau ketidakpastian dalam menafsirkan

makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya beberapa

kemungkinan (Panuti, 1990:50). Dalam puisi sering ditemui makna ganda atau

ambiguitas sehingga menimbulkan banyak tafsiran atau ambiguitas. Dengan

ambiguitas puisi, dapat memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Asosiasi

dalam puisi berperan utama untuk memberikan efek atau pengaruh kepada

pembaca. Efek yang ditimbulkan berbeda-beda bagi setiap orang. Perbedaan itu

disebabkan perbedaan pengalaman batin pembaca. Kata yang sama dalam sebuah

puisi belum tentu menghasilkan asosiasi yang sama, bisa jadi satu kata

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

menghasilkan bermacam-macam asosiasi. Jadi, setiap kali puisi itu dibaca akan

menimbulkan arti baru.

Ambiguitas di dalam pemakaian bahasa secara estetik, penanda-

penanda mengejawantah sebagai suatu ”kemajemukan” yang sangat luar

biasa. Kemanjemukan inilah yang dinamakan sebagai ambiguitas.

Dipandang secara semiotik, menurut Umberto Eco, ambiguitas harus

dirumuskan sebagai sebuah cara untuk melanggar kaidah-kaidah kode.

Dalam hal ini, sastra dan seni pada umumnya merupakan sebuah cara

untuk mengaitkan amanat yang sama-sama dalam rangka menghasilkan

teks, yang di dalamnya peran ambiguitas sebagai ”pelanggar kaidah”

dikembangkan dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga pembaca

tidak akan pernah sampai decoding final atas amanat estetik. Hal ini terjadi

karena masing-masing ambiguitas tersebut menghasilkan ”pelanggaran

kaidah” lebih lanjut pada tataran berikutnya, yang secara

berkesinambungan mengundang kita untuk mengupas atau menata ulang

apa yang seakan-akan dikemukakan oleh suatu karya seni (Kris

Budiman,199:5).

b. Kontradiksi

Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan

menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Hal ini disebabkan oleh

paradoks dan ironi. Paradoks adalah pernyataan yang tampaknya berlawanan

dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, akan tetapi

kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya mengandung sesuatu kebenaran, contoh

kalimat : walaupun bergelimang harta tetap dalam kesedihan (Sudjiman, 1990:59).

Ironi yaitu majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan

makna yang sesungguhnya, misalnya mengemukan makna yang berlawanan

dengan makna yang sebenarnya, ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan,

ketidaksesuaian antara suasana yang diketengahkan (Sudjiman, 1990:38).

c. Nonsense

Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai

arti, sebab tidak terdapat pada kosakata, karena hanya berupa rangkaian bunyi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

yang tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi dalam puisi mempunyai makna

sesuai arti sastra berdasarkan konvensi sastra (Pradopo, 1995:219).

3. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)

Terjadinya penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) adalah ruang teks berlaku

sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal

ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya

simetri, rima, enjabemen atau ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan

posisi di dalam bait (homologues) dan tipografi.

a. Simetri

Di dalam puisi banyak ditemui simetri, yaitu keseimbangan berupa

persejajaran antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait (Padopo, 1995:220).

b. Rima

Pengulangan bunyi dalam puisi untuk musikalitas atau orkestrasi. Untuk

mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan

cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi (Waluyo,

1991:90). Menurut Wellek (dalam Santosa, 1993:38), rima dibedakan menjadi

rima akhir, rima tengah, rima awal. Ketiga rima itu diperhatikan menjadi rima

terus ( a a a a), rima berpasangan (a a b b), rima bersilang (a b a b), rima berpeluk

(a b b a), rima putus (a a a b atau a b a c).

Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) : a, i, u, e, o, bunyi-bunyi

konsonan bersuara (voiced) : b, d, g, j, bunyi liquida : r, l, dan bunyi sengau : m, n,

ng, ny, menimbulkan bunyi merdu dan berirama yang disebut dengan eufoni.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang mesra, kasih sayang,

gembira dan bahagia (Pradopo, 1995:29).

Sebaliknya kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t,

s ini disebut kakafoni. Kakafoni ini cocok untuk memperkuat suasana yang tidak

menyenangkan. Kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan (Pradopo,

1995:30).

c. Homologues

Homologues ini misalnya nampak dalam sajak pantun. Semua tanda di

luar kebahasaan. Misalkan makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan

yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme (Pradopo, 1995:220). Dengan

demikian, pada penciptaan arti telah mencakup adanya aspek formal puisi. Aspek

formal puisi berfungsi untuk menilai kepuitisan suatu puisi, yaitu lewat estetik

setiap unsur yang ada dalam puisi. Contoh homologues adalah bentuk sajak

pantun yang berisi baris-baris yang sejajar, baik bentuk visualnya atau bentuk

kata-katanya, persejajaran suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama.

d. Enjambemen

Enjambemen adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada baris

berikutnya. Pemutusan atau perlompatan kalimat ke baris berikutnya pada puisi

ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang menunjukkan satu

kandungan tertentu, atau untuk memberi tekanan makna baris tersebut. Menurut

Riffaterre, enjambemen termasuk dalam penciptaan arti, yang merupakan

konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual secara linguistik tidak mempunyai

arti, tetapi menimbulkan makan dalam puisi (Riffaterre, 1978:2). Menurut

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Luxemburg (1986: 185) enjambemen merupakan kata-kata yang terdapat pada

akhir larik sajak yang memperoleh tekanan semantik yang lebih kuat.

e. Tipografi

Tipografi merupakan pembeda yang paling penting antara puisi dengan

prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi. Cara sebuah teks

ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna tambahan. Kata-kata

yang disusun larik-larik yang panjang dan pendek sedemikian bervariasi secara

harmonis menimbulkan ritma yang padu (Waluyo, 1991:97).

4. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang berdasarkan pada struktur

bahasanya secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat

pertama (Pradopo, 205:295). Dalam pembacaan ini karya sastra dibaca secara

linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat

pertama.

Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik

seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam

kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif.

Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan arti kata atau

sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas.

Untuk lebih memahami makna sebuah puisi, atau agar mengerti konsep

yang diekspresikan sebuah puisi, pembaca yang menghadapi

”ketidakgramatikalan” puisi tersebut tidak cukup membaca puisi dengan

bahasa konvensional. Pembaca dituntut mengungkapkan sistem

pemaknaan tingkat kedua, terutama setelah proses pembacaan tingkat

pertama. Pembacaan pertama disebut ”pembacaan heuristik” (heuristic

reading), yang terjadi atas mengidentifikasi kiasan, makna kata, relasi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

antar kata, retorika dan unsur-unsur tidak gramatikal. Pembacaan ini

bersifat mimetik, yakni sekedar memeriksa konvensi bahasa dalam puisi.

Akan tetapi, makna yang dibawa puisi sendiri tidak cukup dilihat dengan

cari ini, karena pada tahap ini baru diperoleh makna-makna yang sering

heterogen, terpecah dan belum menyatu (Ridha, 2010: 174)

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir

dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi

sastra (puisi) (Pradopo, 2005:297). Dalam kamus Kosa Semiotika Kris Budiman

(1999: 45) menuturkan hermeneutik sebagai sebuah teori tentang operasi-operasi

pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks, permasalahan sentral di

dalam hermeneutik adalah interpretasi.

Istilah hermeneutik itu sendiri mengandung suatu pengertian dasar, yaitu

bahwa pusat perhatian hermeneutik adalah mengenai kaidah-kaidah yang

diperlukan untuk menginterpretasikan doukmen-dokumen -yang biasanya tertulis,

terinskripsikan- didalam suatu kebudayaan.

[...] dengan pembacaan tingkat kedua, ”pembacaan retroaktif” (retroactif

reading) atau hermeneutik, pembaca dituntut melakukan penafsiran yang

didasari asumsi bahwa keseluruhan teks puisi merupakan perluasan dari

struktur tematik yang signifikansinya terwujud dari transformasi matriks.

Pembacaan hermeneutik ini bersifat semiotik. Pada tahap ini pembaca

dituntut mengintregasikan seluruh unsur dari pembacaan heuristik ke

dalam kesatuan semantik (matriks). Jika dalam pembacaan heuristik

diperoleh keragaman makna, maka dalam pembacaan hermeneutik

ditemukan kesatuan makna (Ridha, 2010: 174).

d. Mistik dan religius

Unsur mistik dan religius seringkali merasuk dalam karya seorang

pengarang. Maka, pengkajian ini mencoba melihat sejauh mana posisi unsur

mistik dan religius dalam geguritan karya Yan Tohari.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

1. Mistik

Suwardi (2006:3-4) mengatakan religiusitas Jawa tak lain adalah mistik

kejawen. Mistik kejawen adalah saka guru (empat tiang penyangga) kehidupan

kejawen. Karena itu, jika kejawen tanpa mistik, maka akan pudar pula kejawen

tersebut. Kejawen dan mistik telah menyatu, menjadi sebuah ekspresi religi

mistik kejawen. Maka dalam kajian ini penulis fokus pada mistik kejawen.

Mistik adalah hal-hal gaib yang tidak terjangkau akal manusia,

tetapi ada dan nyata. Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik

sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk

memenuhi hasrat manusia mengalamai dan merasakan kebersatuan dengan

Tuhan.

Mistik merupakan keyakinan yang hidup dalam alam pikiran

kolektif masyarakat. Alam kolektif akan kelak abadi, meskipun

masyarakat telah berganti generasi. Demikian pula dengan mistik orang

Jawa. Keyakinan itu telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat

Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi (Yana MH, 2010:25).

Jawa dipandang dari sudut pemikiran memiliki khasanah budaya yang

sangat luas. Selain budaya yang luas, filsafat berkehidupan Jawa juga sangat luas,

bahkan Jawa bisa dikatakan bukan lagi wilayah geografis tetapi Jawa adalah

filsafat. Suwardi (2006:39) mengungkapkan mistik kejawen adalah pelaku

budaya Jawa yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini

berarti, mistik kejawen, kepercayaan dan kebatinan adalah perwujudan dari salah

satu laku yang dilaksanakan sebuah aliran kebatinan dan kepercayaan. Dengan

kata lain, mistik merupakan bagian dari jurus kebatinan dalam praktik kultural.

Prof. Dr. Damarjati Supadjar (dalam Suwadi, 2006:12) pernah

menjelaskan lima ciri mistik, yaitu :

1. Mistisisme adalah persoalan praktek.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

2. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual.

3. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang.

4. Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.

5. Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.

Bentuk-bentuk mistik kejawen lebih sering diaplikasikan dalam kehidupan

sehari-hari. Misalnya keyakinan tentang keblat papat lima pancer, sebuah

keyakinan tentang saudara gaib. Kosmologi ini merupakan bentuk alam yang

dimanifestasikan dalam anatomi tubuh manusia. Suwardi (2006:54) menjelaskan:

Alam kosmis ini, dibatasi oleh keblat papat lima pancer, yakni arah wetan,

kidul, kulon dan lor serta pancer (tengah). Tengah adalah pusat kosmis

manusia Jawa. Arah kiblat ini juga terkait dengan perjalanan hidup

manusia, yang hidupnya ditemani juga oleh kadang papat lima pancer.

Kadang papat, yaitu kawah, getih, puser dan adhi ari-ari. Sedangkan

pancer (ego, atau manusia itu sendiri).

Letak kadang papat ini sejalan dengan arah kiblat manusia Jawa juga.

Kawah berwarna putih, berada di sebelah timur (wetan, witan) ini

mengawali kelahiran, dia pembuka jalan. Getih, berwarna merah di setelah

selatan, puser berwarna hitam di sebelah barat dan adhi ari-ari berwarna

kuning berda di arah utara. Sedangkan yang di tengah adalah pancer, yaitu

Mar dan Marti yang keluar lewat margahina, secara lahiriah.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mistik harus dipahami

melalui pemahaman batin yang dalam karena praktik mistik kejawen tidak bisa

dilepaskan dari kebatinan. Media batin inilah yang membuat mistik dapat

dipahami siapapun tanpa harus memandang ras.

2. Religius

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, religi berarti kepercayaan akan

adanya kekuatan adikodrati di atas manusia, kepercayaan (animisme,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

dinamisme), agama. Sedangkan religius berarti bersifat religi, bersifat

keagamaan, yang bersangkut-paut dengan religi.

Religius, yang semula berasal dari bahasa latin : religare, berarti :

mengikat. Religio berarti ikatan atau pengikatan. Yang dimaksud adalah bahwa

manusia mengikat diri pada Tuhan atau lebih tepatnya manusia menerima ikatan

Tuhan yang dialami sebagai sumber bahagia. Sedangkan religius adalah

keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan

kebahagiaan (Dojosantosa, 1986:3).

Situasi kehidupan religius orang Jawa sangat majemuk. Banyak agama

yang dianut, baik agama pribumi maupun agama yang diimpor. Sebelum

Hinduisme dan Budhisme yang diimpor dari negeri India masuk, bahkan sejak

masa prasejarah, agaknya orang-orang Jawa telah mengantut agama asli yang

bercorak animistik-dinamistik (Masroer, 2004: 19).

Masroer(2004: 19) menjelaskan :

Animistik atau animisme berarti doktrin tentang realitas jiwa sebagai daya

kekuatan luar biasa yang dapat bersemayam secara mempribadi (maujud)

di dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dansegala yang ada di

alam raya ini. Sementara dinamistik atau dinamsme diartikan sebagai

doktrin kepercayaan yang memandang bahwa benda-benda alam

mempunyai kekuatan keramat atau kesaktian yang tidak mempribadi,

seperti batu, pohon, hewan dan manusia.

Masyarakat Jawa memiliki kemampuan akulturistik yang sangat khas.

Ketika agama Hindu dan Budhamasuk kesini, agama asli bukannya malah punah,

tetapi menemukan tempatnya yang baik bagi perkembangannya di kemudian hari

(Masroer, 2004: 21).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Proses masuknya Hindu dan Budha dijelaskan Masroer sebagai berikut :

Sejarah kedatangan agama Hindu di tanah Jawa mula-mula dipelopori oleh

para pelaut India dan Brahmana. Kaum Brahmana ini lalu memperoleh

kedudukan yang kuat dan menjabat sebagai penasihat raja serta melakukan

upacara-upacara keagamaan Abhiseka (pertobatan) dan Mahatya

(menghindukan adat). Proses penghinduan di Asia Tenggara, termasuk

Jawa, telah dimulai sejak tahun 300 SM. Sementara itu, Sularso Sopater

mengabarkan, agama Hindu yang tiba di sini adalah dari golongan Siwa,

seperti yang dianut oleh wangsa (dinasti) Sanjaya dari Mataram Kuno.

Tetapi, bersamaan dengan itu pula, agama Budha mazhab Mahayana juga

memperoleh pengikutnya, terutama di kalangan dinast-dinasti syailendra.

Kedua agama itu dapat hidup berdampingan karena sama-sama

mengandung iklim pemikiran mistis yang kuat sekali (Masroer dalam

Sularso, 2004: 21).

Pada masa permulaan abad 15 Masehi, pesisir Jawa menjadi daerah yang

sangat ramai dengan pelabuhan-pelabuhan besar yang seringkali dipakai untuk

perdagangan. Banyaknya kontak niaga dan interaksi yang berlangsung di kota-

kota tersebut menjadikan orang-orang Jawa mulai berkenalan dengan agama

Islam. Masroer (2004: 27) bahkan menekankan bahwa mereka tidak hanya

berkenalan, melainkan tertarik dan mengikrarkan diri sebagai orang Islam. Alasan

ketertarikan ini antara lain karena –menurut Christian Snouck Hurgronje, seperti

di kutip Wertheim- agama Islam waktu itu, bagi orang Jawa ternyata membawa

ide mengenai dunia. Islam memberi rasa berharga kepada masyarakat kecil

sebagai sebuah komunitas (Masroer, 2004: 27).

Dari penjelasan di atas dapat sedikit disimpulkan religiusitas merupakan

kepercayaan akan adanya kekuatan adidaya yang dimanifestasikan dalam wujud

Ketuhanan dan melaksanakan semacam laku atau ritual atas dasar keagamaan.

Sampai pada saat ini, ritual keagamaan manusia Jawa terdapat berbagai macam

agama yang dianut seperti Hindu, Budha, Kristen dan Islam.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Siswantoro (2010:55) menjelaskan metode berarti cara yang dipergunakan

seorang peneliti di dalam usaha memecahkan masalah yang diteliti. Oleh sebab itu

penelitian merupakan kegiatan ilmiah, metode harus sitematis atau prosedural.

Keberadaan metodologi penelitian menjadi penting agar kajian bisa sistematis dan

memiliki kepaduan hukum keilmiahan, seperti yang diungkapkan Hadari Nawawi

(dalam Siswantoro, 2010:56):

1. Menghindari cara pemecahan masalah dan cara berfikir spekulatif.

2. Menghindari cara pemecahan atau cara bekerja yang bersifat trial an

error.

3. Meningkatkan sifat objektivitas dalam menggali kebenaran pengetahuan.

A. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah bentuk

penelitian sastra. Penelitian sastra adalah usaha pencarian pengetahuan dan

pemberi makna dengan hati-hati dan kritis secara terus menerus terhadap masalah

sastra (Atar Semi, 1993:18). Objek kajian dalam penelitian ini adalah puisi yang

merupakan inti dari karya sastra, maka layak bila pengkajian menggunakan

metode penelitian sastra. Penelitian sastra mengandalkan ketelitian, ketepatan, dan

ketepercayaan data serta mengikuti metode kerja ilmiah (Atar Semi, 1993:18-19).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Penelitian sastra tidak bisa terlepas dari metode yang sistematis.

Siswantoro (2010:55) menyatakan penelitian sastra bersifat deskriptif, karena itu

metodenya juga digolongkan ke dalam metode deskriptif. Hadari Nawawi (dalam

Siswantoro) juga menjelaskan:

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek

atau objek penelitian (novel, drama, cerita pendek, puisi) pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakya yang tampak atau sebagaimana adanya

(2010:56).

Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode ini kajian

terhadap karya sastra dipaparkan dalam bentuk diskripsi untuk membeberkan

fakta-fakta tekstual. Siswantoro (2010:55) menjelaskan fakta atau data

merupakan sumber informasi yang menjadi basis analisis. Tetapi data harus

diambil berdasar parameter yang jelas, misalnya parameter struktur.

B. Sumber Data

Sumber data yang disajikan dalam penelitian ini yaitu ketujuh belas

geguritan karya Yan Tohari yang dimuat diberbagai media. Adapun ketujuh belas

geguritan tersebut berjudul:

1. Ing Pusering Ning (Antologi Pisungsung tahun 1997)

2. Sing Kesit Pindha Thatit ( antologi Pisungsung tahun 1997)

3. Kembang-kembang (Antologi Pisungsung tahun 1997)

4. Muksa (Antologi Pisungsung tahun 1997)

5. Manjing Jagad Sunyaruri (Antologi Pesta Emas Sastra Jawa tahun

1995)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

6. Ana Cahya (Jayabaya No. 23 Januari 1994)

7. Cathetan Wengkoning Pandulu (Mekar Sari, 15 Juli 1994)

8. Amasuh Jejer Kasejaten (Panjebar Semangat, 2000)

9. Kendhi Pertala (Djaka Lodang No 27 tahun 1995)

10. Mburu Suwunging Jiwa (Mekar Sari)

11. Nyuluh Wewerdine Wengi (Mekar Sari, 11 Maret 1994)

12. Tan Kapetung (Mekar Sari)

13. Ing Salembar iki (Mekar Sari, 7 Oktober 1994)

14. Laku Tumuju Sih-Mu (Mekar Sari)

15. Mateg Kemat (Mekar Sari, 8 Juli 1994)

16. Miyak Isining Kitir (Mekar Sari)

17. Dakcandhak Lakune Sasmita ( Mekar Sari, September 1994).

C. Data Penelitian

Data yang disajikan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam jenis

data, yaitu :

1) Data primer merupakan data pokok, dalam penelitian ini berupa unsur-

unsur yang membangun totalitas makna yang terdapat dalam geguritan

karya Yan Tohari.

2) Data sekunder merupakan data pendukung penelitian yang dapat berupa

hasil wawancara dan data-data biografi, artikel-artikel, buku-buku acuan,

serta penelitian sejenis yang berhubungan dengan objek penelitian.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

D. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu Nilai-nilai Mistik dan religius

dalam Geguritan Karya Yan Tohari (tinjauan Semiotika Michael Riffaterre),

penulis menggunakan pendekatan Semiotika yang dipaparkan oleh Michael

Riffaterre. Kajian menggunakan teks sastra sebagai data penelitian. Setelah data

terkumpul, tahap pertama penelitian fokus untuk membedah sisi struktur teks

sastra dengan struktualisme dinamik.

Setelah terlihat struktur yang membentuk teks sastra tersebut, tahap

selanjutnya analisis karya sastra melalui teori semiotika Michae Riffaterre.

Analisis dilakukan dengan pemaparan bentuk deskriptif terhadap masing-masing

data secara fungsional dan relasional. Istilah analisis dalam format paparan, oleh

Milke dan Huberman (dalam Siswantoro, 2010:81).

Siswantoro (2010:81) menggambarkan bentuk deskriptif untuk

menganalisis puisi:

Ciri utama paparan deskriptif adalah unitisasi, artinya analisis dikerjakan

berdasarkan tiap-tiap topic, tema, feature, konsep atau unsur. Dalam

penelitian ini, semua data yang terkumpul atau tergolong ke dalam satu

kategori ke dalam satu kategori unsur gaya bahasa¸ yang meliputi:

metafor, sinekdoke, personifikasi, hiperbola dianalisis dalam satu unit.

Sedang data lain yang termasuk ke dalam unsur lain, semisal ritme yang

meliputi: iambic, trochaic, spondaic, tetrameter, pentameter dan

sebagainya dianalisis dalam unit lain. Model paparan yang seperti ini,

yakni yang berdasar pada tiap-tiap kategori, disebut conceptually clustered

display (paparan analisis sekelompok data dalam konsep yang sama).

Agar penelitia lebih terarah dan sistematis, maka tahap penelitian ini

sebagai berikut :

1. Membaca cermat objek penelitian, yaitu ketujuh belas geguritan Yan Tohari

berjudul : Ing Pusering Ning, Sing Kesit Pindha Thatit, Kembang-kembang,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Muksa, Manjing Jagad Sunyaruri, Ana Cahya, Cathetan Wengkoning

Pandulu, Amasuh Jejer Kasejaten, Kendhi Pertala, Mburu Suwunging Jiwa,

Nyuluh Wewerdine Wengi, Tan Kapetung, Ing Salembar iki, Laku Tumuju

Sih-Mu, Mateg Kemat, Dakcandhak Lakune Sasmita dan Miyak Isining Kitir.

2. Menganalisis kata-kata sebagai data yang akan digunakan untuk penelitian,

yaitu ungkapan-ungkapan yang menjadi tanda-tanda mistik dan religius

sebagai tematik penelitian.

3. Menganalisis secara cermat terhadap tanda-tanda mistik dan religius yang

terdapat dalam ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari dengan

menggunakan paradigma teori semiotika Michael Riffaterre. Adapun langkah

kerjanya mencakup :

a. Penggantian Arti, yaitu menganalisis dan mendiskripsikan metafora dan

metonimi yang terdapat dalm ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari.

b. Penyimpangan arti, yaitu menganalisis dan mendiskripsikan

penyimpangan yang terjadi dalam geguritan. Penyimpangan

didiskripsikan dalam tiga penyebab, yaitu ambiguitas, kontradiksi dan

nonsense.

c. Penciptaan Arti, yaitu memaparkan ruang teks yang secara linguistik tidak

memiliki mana. Pencptaan arti ini dapat dijabarkan dalam rima,

enjabement, homologue dan tipografi.

d. Pembacaan heuristik dan hermeneutik.

e. Menganalisis matriks yang ada dalam ketujuh belas geguritan karya Yan

Tohari.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

f. Memaparkan nilai-nilai mistik dan religius yang ada dalam ketujuhgbelas

geguritan Yan Tohari berdasarkan dari pembacaan heuristik, hermeneutik

dan matriks (simbol).

4. Merumuskan kesimpulan atas penelitian yang telah dilakukan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

BAB IV

PEMBAHASAN

Langkah awal untuk membedah nilai sebuah karya dalam skema geguritan

adalah mengetahui unsur strukturnya terlebih dahulu. Membedah stuktur menjadi

sangat penting sebagai pondasi awal pemaknaan geguritan. Analisis struktural

yang digabungkan dengan semiotik disebut strukturalisme dinamik (Teeuw dalam

Pradopo, 2005:209). Melalui strukturalisme dinamik diharap mampu membedah

nilai mistik dan religius dari ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari.

Untuk mempermudah pembahasaan akan di bubuhkan kutipan pada setiap

cuplikan geguritan. Kutipan terletak di akhir baris dengan skema judul geguritan,

kemudian koma (,) angka arab, koma (,) dan angka arab yang kesemuanya terletak

pada dalam kurung. Angka arab pertama merupakan penanda bait kesekian,

sedangkan angka arab kedua merupakan penanda baris kesekian dari bait.

A. Analisis Semiotika Michael Riffaterre

1. Penggantian Arti

a. Personifikasi

Puisi seringkali menggunakan kiasan untuk memantik keindahan.

Pengungkapan dengan kiasan ini menimbulkan kepuitisan puisi, puisi menjadi

menarik, segar dan gambaran angan dapat ditangkap dengan jelas.

Personifikasi merupakan pengungkapan dengan menggunakan perilaku

manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Personifikasi dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari pada masing-masing geguritan sebagai

berikut:

a) Geguritan Ing Pusering Ning

ginarba ing puser wening (Ing Pusering Ning, 2, 5)

Terjemahan:

„dikandung pada keheningan malam‟

Kata wening „keheningan‟ pada baris di atas dapat merupakan bentuk

personifikasi. Keheningan yang merupakan benda mati seolah dapat mengandung

seperti halnya manusia.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

wit nglenjer ijen-ijenan kabuntel samun (Sing Kesit Pindha Thatit, 1, 2)

Terjemahan:

„pohon berdiri sendiri didalam sepi‟

Baris geguritan di atas terdapat perumpaan yang mengandaikan benda

mati seperti manusia. Pohon memang tumbuh ke atas, namun dalam hal ini

penyair menyampaikan seolah ia mampu seperti manusia melakukan kegiatan

berdiri, padahal pohon tidak dapat melakukan kegiatan duduk, berdiri seperti

halnya manusia.

ana isih wilasaning jagad kang tumiba (Sing Kesit Pindha Thatit, 1, 5)

Terjemahan:

„masih ada kasih sayang dari jagad raya yang turun‟

Tumiba „turun‟ tidak diartikan seagai sesuatu yang jatuh dari atas kebawah

mengikuti grafitasi bumi dalam wujud yang konkrit, tetapi sesuatu yang abstrak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

berwujud kasih yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Kasih Tuhan ini

dapat diartikan sebagai anugrah. Hesti (2006: 09) menuturkan anugrah dapat

dimakanai dari segi ilahiah dan nonilahiah.

Dari segi ilahiah, pancaran Nur Muhammad yang ada diseluruh tubuh

manusia menjadikan manusia hidup dan organ dapat berfungsi dan berlangsung

secara alami dan abstrak hal itu sebagai wahana yang menunjukkan pancaran dzat

Tuhan. Dari segi nonillahiah, Pancaran cahaya (Nur Muhammad) yang menyatu

dengan tubuh manusia sehingga kuasa melihat, mendengar, mencium, berbicara

dan merasakan segala rasa dari kodratnya lantaran Dzat Tuhan. Unsur ini

menunjukkan penandaan tentang religiusitas, dimana penyair percaya pada

sesuatu yang abstrak terkait dengan nilai ketuhanan.

c) Geguritan Kembang-kembang

rembulan sujud (Kembang-kembang, 1, 4)

lintang-lintang sujud (1, 5)

cahya sakathahing cahya sumujud (1, 6)

Terjemahan:

„bulan bersujud‟

„bintang-bintang bersujud‟

„cahaya dari segala cahaya bersujud‟

Personifikasi merupakan pengungkapan dengan menggunakan perilaku

manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Dalam bait tersebut,

kata sujud biasa dipakai untuk manusia sebagai bentuk peribadatan dan

penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam geguritan tersebut

dipakai untuk kata rembulan, bintang dan cahaya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

ngedhap manembrama ambar-ambar ganda gaib (Kembang-kembang, 1,

7)

Terjemahan:

„kilat menciptakan aroma gaib yang menyebar‟

Kilat merupakan sebutan yang dipakai manusia untuk menyebut kejadian

alam, namun dalam geguritan ini penyair seolah memposisikannya seperti

manusia yang bisa menciptakan aroma. Dalam bait ini terdapat metafor

personifikasi.

sinarMu anjrah nibakake berkah (Kembang-kembang, 1, 9)

„cahayaMu menyebar menurunkan berkah‟

Seperti pada baris diatas, perumpamaan terhadap kata cahaya terdapat

perumpaan yang memanusiakan benda mati, uang bisa menurunkan sesuatu.

d) Geguritan Muksa

jiwa raga wus kapagut plesating wayah (Muksa, 1, 2)

Terjemahan:

„jiwa raga sudah termangsa cepatnya waktu‟

Kata „termangsa cepatnya‟ merupakan bentuk perumpamaan. kata tersebut

merupakan bentukan kalimat personifikasi yang memanusiakan benda mati.

Waktu bisa dikatakan sebagai benda mati yang tidak dapat memangsa.

e) Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

kabeh dadi bisu data ana sabawaning alok-alok (Manjing Jagad

Sunyaruri, 1, 6)

Terjemahan:

„semua menjadi bisu tanpa ada suara yang menyapa‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Personifikasi pada bait di atas nampak pada suara yang seolah seperti

manusia, mampu menyapa.

f) Geguritan Ana Cahya

ana cahya ngiringake cumloroting cahya (Ana Cahya, 1, 1)

Terjemahan:

„ada cahaya mengiringi bersinarnya cahaya‟

Judul geguritan di atas terdapat pelukisan sesuatu dengan menggunakan

simbol atau lambang untuk menyatakan maksud. Cahaya yang notabene

merupakan sebuah penerangan dipakai sebagai simbol dari ilmu. Keduanya

memiliki sifat yang sama yairu memberi penerangan bagi yang gelap atau tidak

tahu. Metafor yang ada dalam baris ini dapat dikatakan sebagai majas simbolik.

lan cahya ndeder amburu ilange cahya (Ana Cahya, 1, 4)

Terjemahan:

„dan cahaya naik mengejar hilangnya cahaya‟

Baris di atas terdapat pengungkapan dengan menggunakan perilaku

manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Cahaya dikatakan

dapat mengejar seperti perliaku manusia.

ana cahya ngiringake kumambanging cahya (Ana Cahya, 2, 1)

Terjemahan:

„ada cahaya mengiringi terapungnya cahaya‟

Cahaya Dalam baris diatas seolah-olah diibaratkan sebagai perilaku

manusia yang mampu mengiringi sesuatu. Cahaya diperlakukan seperti manusia,

maka dalam geguritan ini terdapat majas personifikasi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

lan cahya nyilem ngudi dhasaring cahya (Ana Cahya, 2, 1)

Terjemahan:

„dan cahaya menyelam mencari asal cahaya‟

Cahaya dalam baris di atas dikatakan dapat menyelam seperti manusia.

Ungkapan menyelam merupakan ungkapan untuk menyatakan perilaku manusia

namun diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia, yaitu cahaya.

g) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

sumusuh ana ngendi kowe, he gegatraning kaendahan (Chatetan

Wengkoning Pandulu, 1, 1)

sing wasis paweh edhum mring kumbaraning ati lan jiwa (1, 2)

Terjemahan:

„bersarang di mana kau, he wajah keindahan‟

„yang pandai memberi kesejukan pada kesusahan hati dan jiwa‟

Keindahan, sesuatu yang sifatnya abstrak dalam geguritan di atas

diposisikan seperti manusia yang mampu memberi. Memberi merupakan tindakan

manusia yang menyerahkan sesuatu pada orang lain secara cuma-Cuma.

prapta kanthi sagegem rerangkening puspa cahya (Chatetan Wengkoning

Pandulu, 3, 2)

Terjemahan:

„datang dengan membawa segenggam rangkaian bunga cahaya‟

Keindahan kembali diperlakukan seperti manusia. Keindahan tidak bisa

membawa apalagi menggenggam sesuatu, namun dalam baris ini penyair

mengatakan keindahan membawa segenggam rangkaian cahaya. Pengandaian ini

bertujuan menggantikan makna bahwa keindahan itu yang nantinya akan

membuat penyair paham dan mengerti.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

h) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

angin sing nggegem sasmita sakalangit teka anteng (Amasuh Jejer

Kasejaten, 1, 1)

Terjemahan:

„angin yang menggenggam isyarat dari langit datang dengan tenang‟

Angin dalam baris geguritan diatas seperti manusia yang mampu

menggenggam sesuatu. Pengibaratan ini disebut personifikasi, majas yang

membandingkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti

manusia.

i) Pada Geguritan Kendhi Pertala

pepeg mring sela-selaning peplayon napas (Kendhi Pertala, 1, 1)

Terjemahan:

„hadir di sela-sela nafas yang berlarian‟

Baris geguritan di atas mengandung majas personifikasi. Personifikasi

terlihat dalam perumpamaan nafas yang dapat berlari seperti manusia.

j) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

dumandakan kasamunan njiret geter jiwa (Mburu Suwunging Jiwa, 1, 1)

Terjemahan:

„tiba-tiba kesepian menjerat jiwa‟

Terdapat personifikasi pada baris di atas yang menyatakan kesepian

mampu berperilaku seperti manusia yaitu menjerat. Proses penyebutan seperti

manusia ini dapat memperindah geguritan karena pembaca lebih bisa

berimajenasi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

k) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

yen mangulat kekandhane paripolah wayah (Nyuluh Wewerdine Wengi, 1,

1)

Terjemahan:

„jika kembali melihat bergulirnya waktu yang berbicara‟

Judul geguritan di atas terdapat metafor yang sudah umum, waktu

biasanya memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Waktu bagi

manusia kadang seperti manusia itu sendiri, bisa bercerita tentang banyak hal.

Waktu yang telah terlewati meninggalkan kenangan yang nantinya bisa membuat

manusia terus ingat tentang sesuatu, dari sisi inilah waktu seolah berbicara.

l) Geguritan Tan Kapetung

kang mrambul kabeh frman-firman-Mu (Tan Kapetung, 3, 3)

Terjemahan:

„yang melayarkan semua firman-firman-Mu‟

Perumpamaan yang ada dalam baris di atas menggunakan perumpamaan

yang memposisikan benda mati seolah mampu seperti manusia. Perumpamaan

tersebut terdapat pada kata firman. Firman sebagai obyek yang merupakan benda

mati seolahmampu berlayar seperti halnya manusia.

m) Geguritan Ing Salembar Iki

ing salembar iki, donga pinuji (Ing Salembar Iki, 1, 1)

wutuh njamah alusing wewanti (1, 2)

Terjemahan:

„di selembar ini, doa dihaturkan‟

„utuh menyentuh lembutnya pesan‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Doa merupakan sesuatu yang abstrak, sebuah pengharapan kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Namun, dalam baris geguritan ini penyair menyatakan sesuatu

perilaku manusia yang diterapkan pada kata doa. Doa seolah bisa menyentuh

seperti perilaku manusia. Dalam hal ini, doa yang mampu menyentuh lebutnya

pesan dapat diartikan bahwa doa dapat menggapai ridho Tuhan yang penyair tulis

sebagai pesan yang lembut.

n) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

amrih sabda-Mu kuwawa dakcekethem (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 4)

Terjemahan:

„supaya sabda-Mu sanggup kugenggam‟

Penyair kembali menggunakan majas personifikasi dalam baris di atas.

Personifikasi ditunjukkan dengan pengungkapan menggunakan perilaku manusia

yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Sabda yang merupakan

bentuk abstrak seolah dapat digenggam oleh manusia.

o) Geguritan Mateg Kemat

----sujudku-ngadegku-laku lan lumayuku (Mateg Kemat, 2, 1)

nguber wewadi (2, 2)

nguber sing sinlempit kakempit (2, 3)

Terjemahan:

„---sujudku-pendirianku-langkahku-lariku‟

„mengejar rahasia‟

„mengejar yang terselip‟

Kata sujud, pendirian, langkah dan lariku bukan merupakan benda hidup

yang dapat melakukan kegiatan seperti halnya manusia. Dalam geguritan di atas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

beberapa hal tersebut seolah seperti manusia yang dapat mengejar rahasia.

Perumpamaan ini dapat disebut personifikasi.

p) Geguritan Miyak Isining Kitir

miyak isining kitir kang kakirim sore iki (Miyak Isining Kitir, 1, 1)

Terjemahan:

„membuka isi undangan yang terkirim sore ini‟

Ada dua metafora dalam bait ini. Yang pertama kitir yang dalam bahasa

Indonesia disebut undangan. Undangan dalam bait ini tidak diartikan sebagai surat

yang meminta seseorang untuk menghadiri sebuah acara, misalnya pernikahan

atau sunatan. Undangan dalam hal ini adalah panggilan untuk menghadap Tuhan.

Undangan ini jelas menjadi tanda religiusitas, adanya kepercayaan penyair bahwa

kematian itu berarti menghadap Tuhan.

Kedua, kata sore ini. Kata ini tidak menunjukkan waktu transisi waktu

siang yang bergeser menuju malam melainkan usia yang tidak lagi muda.

q) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

wangue wengi iki sasmita wingit tumeka (Dakcandhak Lakune Sasmita, 1,

1)

nlasak ing sela-selaning gegodhongan lan (1, 2)

Terjemahan:

„sepertinya malam ini isyarat rahasia datang‟

„menelusup disela-sela dedaunan dan‟

Terdapat majas personifikasi pada baris di atas. Personifikasi nampak pada

kalimat isyarat rahasia datang menelusup. Isyarat rahasia merupakan benda mati

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

yang tidak dapat bergerak, namun dalam hal ini dinyatakan mampu menyelusup

seperti halnya manusia.

Personifikasi merupakan bentuk yang mengibaratkan benda dapat

berperilaku seperti manusia. Majas ini dominan dalam ketujuh belas geguritan

Yan tohari. Majas dapat dilihat pada frase rembulan sujud, lintang-lintang sujud,

cahya sakathahing cahya sumujud yang terdapat pada geguritan Kembang-

kembang. Pada frase tersebut, bulan, bintang dan cahaya yang merupakan benda

mati diibaratkan seperti manusia yang melakukan kegiatan bersujud.

Personifikasi yang digunakan Yan Tohari cenderung pada benda-benda

alam sekitar. Dalam beberapa geguritan, penyair memanfaatkan keheningan,

pohon, bulan, bintang-bintang, cahaya, kilat, angin, nafas sebagai sesuatu yang

bisa melakukan kegiatan seperti manusia. Pemanfaatan benda-benda alam sekitar

ini menandakan penyair ingin melebur dengan alam sekitar yang merupakan

ciptaan Tuhan. Meleburkan diri dalam alam dapat dimaknai sebagai upaya

mendekatka diri kepada Tuhan denga mencintai ciptaanya.

b. Metonimi

a) Geguritan Ing Pusering Ning

gegambaran manengkuku marang Pamurba Jagad (Ing Pusering Ning, 1,

2)

Terjemahan:

„menggambarkan tentang Pencipta Jagad raya‟

Pamurba Jagad dalam geguritan ini dipakai untuk mengganti penyebutan

Tuhan Yang Maha Esa, yang melingkupi seluruh alam raya. Penggantian istilah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

ini bertujuan memperindah geguritan dan memperluas imajenasi pembaca dalam

pembacaanya nanti.

: e yekti urip saderma nulisi tapaking janji (Ing Pusering Ning, 1, 4)

Terjemahan:

:e sebenarnya hidup hanya sekedar menulis jejak-jejak janji

Metonimi ditunjukkan kata tapaking janji yang dalam bahasa Indonesia

bisa disebut jejak-jejak janji. Penggunaan metonimi tapaking janji dapat diartikan

sebagai takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Manusia hanya berkewajiban

menjalani apa yang telah ditaksirkan Tuhan.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

ngirid pasemon nglurug ing pang enom (Sing Kesit Pindha Thatit, 1, 1)

Terjemahan:

„menggiring pertanda dibatang muda‟

Kata pang enom merupakan bentuk metonimi. Kata pang enom berarti

batang muda yang dapat dimaknai sebagai usia yang masih muda.

ing pangkon asat (Sing Kesit Pindha Thatit, 1, 6)

Terjemahan:

„di pangkuan kering‟

Metonimi dalam baris ini ditunjukkan oleh kata pangkon asat yang berarti

pangkuan kering. Dalam hal ini, pangkuan kering menggantikan maksud penyair

yang ingin menyatakan keadaan yang tidak berilmu. Sesuatu yang kering tidak

akan ada kehidupan, maka tidak berilmu akan kesulitan bertahan hidup.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

c) Geguritan Kembang-kembang

kembang iku kembangMu mekrok arumwangi (Kembang-kembang, 1, 2)

Terjemahan:

„bunga itu bunga-Mu mekar harum wangi‟

Kembang seringkali dipakai untuk mengantikan makna keindaha. Dalam

hal ini, kembang dipakai untuk memakai keindahan yang dihadirkan Tuhan untuk

manusia. Baris ini dapat dikatakan sebagai bentuk syukur manusia atas keindahan

yang diberikan Tuhan.

d) Geguritan Muksa

pitakonmu sumlempit ing kethuling sejarah (Muksa, 1, 1)

Terjemahan:

„pertanyaanmu terselip di tumpulnya sejarah‟

Metonimi terletak dalam kata kethuling sejarah yang berarti tumpulnya

sejarah. Dalam konteks geguritan ini, penyair ingin menyampaikan bahwa

perjalanan hidup, seusai kita merangkai sejarah, walau amat remeh (kethuling

sejarah), menghabiskan waktu.

e) Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

Aku kabur dadi mega ing tlapukaning wicara (Manjing Jagad Sunyaruri,

1, 1)

Terjemahan:

„Aku melayang menjadi awan di dunia penuh kata‟

Metonimi dalam baris di atas ditunjukkan oleh kata tlapukaning wicara

yang berarti dunia penuh kata. Dunia penuh kata dapat menggantikan pemaknaan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

dari banyaknya pertanyaan yang melingkupi si aku dalam geguritan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan itu ada mengingat dunia ini memang penuh misteri.

f) Geguritan Ana Cahya

ana cahya ngiringake cumloroting cahya (Ana Cahya, 1, 1)

Terjemahan:

„ada cahaya mengiringi bersinarnya cahaya‟

Metonimi dalam bait ini adalah cahaya. Cahaya yang dipakai sebagai

penyebut sesuatu yang terang dalam hal ini menggantikan ilmu. Keduanya

memiliki sifat yang sama, yakni member penerangan, bla cahaya dari gelap

menjadi terang, ilmu sedikit berbeda, dari tidak tahu menjadi tahu.

nyigrag keteging wengi (Ana Cahya, 1, 2)

sing kabuntel pepeging pedhut (1, 3)

Terjemahan:

„membelah sunyinya malam‟

„yang terselimuti tebalnya kabut‟

Metonimi dalam baris di atas ditunjukkan oleh kata malam yang dapat

diimplementasikan dalam makna ketidaktahuan. Dapat dikatakan ketidaktahuan

karena dalam konteks geguritan sedang membicarakan ilmu yang disimbolkan

kata cahaya. Sedangkan malam merupakan suatu bentuk yang gelap, keadaan

seseorang tidak dapat melihat atau mengetahui sesuatu.

g) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

lan ngulungake cahya kanggo gage-gage jumangkah (Chatetan

Wengkoning Pandulu, 1, 3)

Terjemahan:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

„dan memberikan cahaya untuk segera melangkah‟

Cahaya mewakili metonimi dalam baris geguritan di atas. Kata tersebut

dapat menjadi perwakilan makna dari banyak hal, seperti penerangan atau ilmu

yang memberi kejelasan tentang sesuatu.

h) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

angin sing nggegem sasmita sakalangit teka anteng (Amasuh Jejer

Kasejaten, 1, 1)

Terjemahan:

„angin yang menggenggam isyarat dari langit datang dengan tenang‟

Penyair menggunakan metonimi lama yang sudah seringkali diguakan

secara umum. Metafora dalam bait ini ditunjukkan oleh kata „langit‟ yang

seringkali dipakai untuk menggantikan arti „Tuhan‟. Unsur penyebutan langit

„Tuhan‟ ini mengacu pada penandaan religiusitas, kepercayaan kepada sang

Adidaya.

i) Geguritan Kendhi Pertala

kanthinen jiwaku mapan linud ing tilam sarimu (Kendhi Pertala, 2, 2)

Terjemahan:

„bawalah jiwaku menetap di tempat tidurmu‟

Judul geguritan Kendhi Pertala di atas, metonimi ditunjukkan oleh kata

tilam sarimu. Tilam sari atau yang bisa disebut tempat tidur tidak hanya mewakili

tempat manusia biasa berbaring dan tidur, tetapi juga hati. Hati dapat terwakili

oleh kata tempat tidur.

j) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

ngglandhang pepasren urip (Mburu Suwunging Jiwa, 1, 3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Terjemahan:

„menyeret hiasan hidup‟

Metonimi dalam baris di atas ditunjukkan kata pepasren urip yang berarti

hiasan hidup. Hiasan hidup dapat diartikan berbagai hal yang membuat hidup

semakin berwarna, baik senang, sedih, suka, duka, ceria atau apapun.

k) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

yen mangulat kekandhane paripolah wayah (Nyuluh Wewerdine Wengi, 1,

1)

Terjemahan:

„jika kembali melihat bergulirnya waktu yang berbicara‟

Paripolah wayah yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi

bergulirnya waktu yang berbicara menjadi metonimi dalam geguritan ini.

Paripolah wayah lebih ringkas untuk menyampaikan persoalan waktu yang terus

berjalan dan meninggalkan banyak cerita bagi setiap orang.

l) Pada Geguritan Tan Kapetung

rikala jiwa during tumungkul : sumujud (Tan Kapetung, 1, 2)

Terjemahan:

„ketika jiwa salah dalam menunduk:bersujud‟

Geguritan Tan Kapetung memiliki metonimi yang dapat dilihat pada kata

sumujud yang berarti sujud. Sumujud merupakan salah satu bentuk peribadatan,

namun dalam geguritan ini sumujud dapat dimakani sebagai ibadah secara luas

tau pengandian manusia kepada Tuhan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

m) Geguritan Ing Salembar Iki

wutuh njamah alusing wewanti (Ing Salembar Iki, 1, 2)

Terjemahan:

„utuh menyentuh lembutnya pesan‟

Judul geguritan Ing Salembar Iki memiliki metonimi yang ditunjukkan

oleh kata wewwanti. Wewanti dalam bahasa Indonesia dapat disebut sebagai

pesan. Pesan dalam konteks geguritan ini dapat mewakili atau menggantikan

penyebutan banyak hal, seperti firman-firman Tuhan berupa perintah dan

larangan.

n) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

Pangeran Kang Jembar Ngukung sakalir jembar (Laku Tumuju Sih-Mu, 1,

1)

Pangeran kang jejeg, (Laku Tumuju Sih-Mu, 2, 1)

Terjemahan:

„Pangeran Yang Luas melingkupi semua yang luas‟

„Pangeran yang tegak‟

Metonimi dalam geguritan di atas terdapat pada kata Pangeran Kang

Jembar dan Pangeran kang jejeg. Keduanya dipakai untuk menyebutkan Tuhan.

Penyebutan Tuhan pada kedua kalimat tersebut dianggap dapat mewakili dan

menggantikan pemaknaan tentang Tuhan karena menyebutkan difat-sifat Tuhan.

o) Geguritan Mateg Kemat

---- saeba urip wus kepasang pajar (Mateg Kemat, 3, 1)

Terjemahan:

„betapa hidup sudah terpasang cahaya‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Kata pajar dalam geguritan di atas menjadi metonimi. Pajar merupakan

cahaya, kata ini dapat mewakili segala hal yang bersifat menerangi misalnya ilmu,

cahaya yang sebenarnya. Cahayapun dapat dari berbagai sumber cahaya, seperi

matahari, api, lampu dan lain sebagainya.

p) Geguritan Miyak Isining Kitir

miyak isining kitir kang kakirim sore iki (Miyak Isining Kitir, 1, 1)

Terjemahan:

„membuka isi undangan yang terkirim sore ini‟

Terdapat dua metonimi dalam penggalan geguritan di atas, kitir dan sore

iki. Kitir dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai undangan.

Undangan yang dimaksud dalam hal ini bukanlah undangan untuk menghadiri

sebuah hajata, rapat atau kegiatan manusia yang lain, tetapi undangan untuk

kembali kepada Tuhan. Undangan dapat dikatakan sebagai waktu kematian yang

tidak bisa ditolak.

Sore iki, dalam geguritan di atas dapat menggantikan pemaknaan yang

lebih luas. Sore seringkali dipakai menjadi matafor sesuatu yang sudah tua. Dalam

geguritan inipun sore dapat meggantikan pemaknaan usia seseorang yang sudah

mulai tua dan teringat akan undangan Tuhan.

q) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

omah iki pancen kawangun saka rembesing jangka (Dakcandhak Lakune

Sasmita, 2, 1)

Terjemahan:

„rumah ini memang terbangun dari tetesan waktu‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Kata rembesing jangka dalam baris geguritan di atas yang dalam bahasa

Indonesia berari tetesan waktu merupakan bentuk metonimi. Tetesan waktu dapat

mewakili betapa bayak waktu yang diperlukan untuk membangun rumah tersebut,

seolah-olah waktu yang dibutuhkan tersebut harus tetes demi tetes.

Secara keseluruhan, metonimi pada ketujuh belas geguritan Yan Tohari

didominasi metonimi yang dibangun oleh bentuk-bentuk kiasan personifikasi.

frase pang enom yang menggantikan pemaknaan dari usia yang sudah tua.

Selanjutnya frase pangkuan kering pada geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

menggantikan pemaknaan dari ketidaktahuan manusia. Kembang-kembang

metaforis dari keindahan, kethuling sejarah metaforis dari sejarah yang tumpul

dan kata cahya menjadi metaforis dari ilmu pengetahuan.

Metonimi yang lain dapat dilihat pada penggunaan sebuah atribut, sebuah

objek atau penggunaan sesuatu sangat dekat berhubungan dengannya untuk

menggantikan objek tersebut. Penyair menggunakan kata Pencipta Jagad raya,

jejak-jejak janji, dibatang muda, pangkuan kering, bunga, tumpulnya sejarah,

dunia penuh kata, cahaya, langit, undangan untuk menggatikan pemaknaan lain.

Pencipta Jagad raya menggantikan nama Tuhan, jejak-jejak janji menggantikan

makna takdir, dibatang muda menggantikan makna usia yang masih muda,

pangkuan kering menggantikan pemaknaan dari sebsuatu yang belum paham,

bunga menggantikan bentuk keindahan, dunia penuh kata menggantikan

banyaknya pertanyaan, cahaya menggantikan pemaknaan dari ilmu, langit dapat

menggantikan makna Tuhan dan undangan menggantikan makna dari kematian

yang selalu dianggap panggilan Tuhan. Penggunaan atribut ini dapat dilihat pada

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

geguritan Ing Pusering Ning, frase pamurba jagad merupakan atribut yang

dipakai untuk menyebutkan Tuhan.

2. Penyimpangan Arti

Berdasarkan teori yang dipaparkan Riffaterre, penyimpangan arti di dalam

sebuah sajak bisa terjadi bila dalam sajak terdapat ambiguitas, kontradiksi dan

nonsense (dalam Pradopo, 2005: 213). Untuk mengetahui penyimpangan arti yang

terdapat dalam geguritan Yan Tohari, penulis menganalisis berdasarkan skematis

yang dipaparkan Riffaterre yaitu ambiguitas, kontradiksi kemuadian nonsense.

a. Ambiguitas

Dalam puisi kata-kata, frase dan kalimat sering mempunyai arti ganda,

menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Pradopo, 2005: 213). Ambiguitas dalam

ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari dapat ditemukan dalam bait-bait

berikut:

a) Geguritan Ing Pusering Ning

bun sing niba ing gegodhongan nyandhi sesanti (Ing Pusering Ning, 1, 1)

gegambaran manengkuku marang Pamurba Jagad (1, 2)

Terjemahan:

„embun yang jatuh di dedaunan menandakan doa rahasia‟

„menggambarkan tentang Pencipta Jagad raya‟

Kedua baris geguritan Ing Pusering Ning tersebut terdapat ambiguitas

yang bertumpu pada kata Pamurba Jagad. Ambiguitas telihat pada penggambaran

tentang Pencipta Jagad Raya bisa saja embun, doa yang rahasia ataupun keduanya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

ngirid pasemon nglurug ing pang enom (Sing Kesit Pindha Thatit, 1, 1)

Terjemahan:

„menggiring pertanda dibatang muda‟

Ambiguitas nampak pada kata pang enom. Pang enom yang dalam bahasa

Indonesia bisa disebut batang muda bisa berarti makna yang sesungguhnya yaitu

batang pohon yang masih muda, namun bisa berarti yang lain yaitu usia manusia

yang masih muda.

c) Geguritan Kembang-kembang

kembang iku kembangMu mekrok arumwangi (III, 1, 2)

Terjemahan:

„bunga itu bunga-Mu mekar harum wangi‟

Kata kembang-kembang merupakan bentuk ambiguitas pada baris

geguritan di atas. Kembang bisa diartikan bunga yang sesungguhnya, namun bisa

juga diartikan sebuah keindahan. Metrum yang telah disepakati bersama bahwa

bunga seringkali dipakai untuk mewakili kata keindahan.

d) Geguritan Muksa

jiwa raga wus kapagut plesating wayah (Muksa, 1, 2)

Terjemahan:

„jiwa raga sudah termangsa cepatnya waktu‟

Penyair menuliskan jiwa raga sudah termangsa cepatnya waktu, waktu

merupakan bentuk yang tidak nampak, namun dalam geguritan dituliskan seolah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

bisa memangsa. Sisi ambigu terletak pada waktu yang benar-benar memangsa

atau waktu telah membuat sesuatu menjadi semakin tua dan tidak berdaya.

e) Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

binungkem dening pranatan ing jagad sunyaruri (Manjing Jagad

Sunyaruri, 1, 7)

Terjemahan:

„terbungkam oleh peraturan di dunia hampa‟

Ambiguitas nampak dalam kata terbungkam. Dalam hal ini, tidak nampak

siapakah yang terbungkam, penyair, aku dalam geguritan atau semua orang.

f) Geguritan Ana Cahya

pangudine marang cahya sejatine ngemuli cahya (Ana Cahya, 3, 1)

Terjemahan:

„pencariannya terhadap cahaya yang sejati menyelimuti cahaya‟

Pencarian dalam geguritan ini bisa bersifat ambigu. Subyek tidak jelas,

pencarian dilakukan oleh siapa.

g) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

sumusuh ana ngendi kowe, he gegatraning kaendahan (Cathetan

Wengkoning Pandulu, 1, 1)

Terjemahan:

„bersarang di mana kau, he wajah keindahan‟

Kata „keindahan‟ dalam baris di atas menunjukkan bentuk ambiguitas.

Dalam bait ini si aku sedang mempertanyakan keberadaan perempuan yang

seringkali dinotabenekan sebagai keindahan. Di sisi lain si aku sedang mencari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

wujud „kau‟ yang sejati, kesejatian keindahan karena wujud keindahan itu

sesungguhnya abstrak.

lan ngulungake cahya kanggo gage-gage jumangkah (Chatetan

Wengkoning Pandulu, 1, 3)

asung piweling amrih laku urip datan kajuwing (1, 4)

ing kene aku kanthi acluming pandulu (2, 1)

Terjemahan:

„dan memberikan cahaya untuk segera melangkah‟

„memberi pesan agar jalannya hidup tidak luka‟

„di sini aku bawa dengan penglihatan yang lelah‟

Kata kanthi yang berarti bawa bersifat ambigu. Tidak jelas apa yang

dibawa oleh si aku, bisa saja cahaya atau yang lain.

h) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

sakeplasan titah kinurung ombak panembah (Amasuh Jejer Kasejaten, 1,

5)

Terjemahan:

„sekilas hamba terkurung ombak persembahan‟

Ombak persembahan sepintas seperti ombak dilaut yang sebenarnya,

namun bisa saja berarti sebuah perumpamaan. Ombak persembahan dapat

diartikan sebagai persembahan yang sangat besar, bergelora seperti samudra.

i) Geguritan Kendhi Pertala

dhadha wus suwe gosong (Kendhi Pertala, 1, 2)

Terjemahan:

„dada sudah lama hangus‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

Dada yang hangus bisa diartikan makna yang sebenarnya, dada yang

terbakar kemudian menjadi hangus. Disisi lain. Dada yang hangus dapat diartikan

sebagai hati yang sudah lama terkena pikiran buruk dan kotor, sering

berprasangka buruk dan yang lainnya.

j) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

ngglandhang pepasren urip (Mburu Suwunging Jiwa, 1, 3)

Terjemahan:

„menyeret hiasan hidup‟

Hiasan hidup dalam baris geguritan di atas tidak dijelaskan hiasan hidup

yang seperti apa oleh penyair. Tidak adanya penjelasan ini membuat geguritan

lebih bisa di ekspolrasi secara luas, melalui makna yang sebenarnya bisa saja

hidup hiasan hidup berupa perabot rumah tangga yang memperindah rumah dalam

menjalani kehidupan. Disisi lain, hiasan hidupdapat diartikan keindahan dan

kedamaian hati si penyair.

k) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

dhuh, tetimbalanMu nyengka kumitire jaja (Nyuluh Wewerdine Wengi, 1,

4)

Terjemahan:

„dhuh, panggilanMu memaksa dada untuk bergetar‟

Dada yang bergetar bisa diartikan sebagai makna yang sebenarnya bahwa

dada memang merasakan getaran. Disisi lain, dada yang bergetar bisa diartikan

hati yang merasakan rasa yang luar biasa sehingga hatinya seakan bergetar.

l) Geguritan Tan Kapetung

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

rikala jiwa during tumungkul : sumujud (Tan Kapetung, 1, 2)

Terjemahan:

„ketika jiwa salah dalam menunduk:bersujud‟

Ambiguitas dalam baris geguritan di atas ditunjukkan oleh kata sumujud.

Sumujud yang dalam bahasa Indonesia berarti sujud dapat diartikan dengan makna

yang sebenarnya, yaitu salah satu posisi seorang muslim ketika sedang

melakukan ibadah sholat. Disisi lain, sujud dapat diartikan sebagai pemaknaan

ibadah dalam skala yang lebih luas atau bahkan pengabdian dan persembahan

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

m) Geguritan Ing Salembar Iki

ing salembar iki, larahan panuwun (Ing Salembar Iki, 2, 1)

Terjemahan:

„di selembar ini, mencari doa‟

Pencarian doa seperti yang tertulis dalam baris di atas merupakan bentuk

ambigu. Pencarian dapat diartikan dengan makna yang sebenarnya, namun di sisi

lain pencarian bisa diartikan sebagai sebuah pengharapan mengingat doa

merupakan bentuk yang abstrak.

n) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

amrih sabda-Mu kuwawa dakcekethem (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 4)

Terjemahan:

„supaya sabda-Mu sanggup kugenggam‟

Ambigu dalam baris di atas ditunjukkan kata dakcekethem yang dalam

bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai kugenggam. Menggenggam dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

hal ini dapat diartikan yang sebenarnya, menggenggam dengna tangan. Di sisi

lain, menggenggam tidak harus dengan tangan namun mengingatnya terus di

dalam hati.

o) Geguritan Mateg Kemat

ngelur dawa: nyimpen mantra aji-aji (Mateg Kemat, 1, 1)

Terjemahan:

„mengukur panjang: menyimpan mantra aji-aji‟

Ngelur dawa menjadi kata yang membuat kalimat pada baris di atas

menjadi ambigu. Mengukur biasanya kegiatan manusia yang memberi tanda

sesuatu untuk mengetahui panjang pendek menggunakan alat ukur. Dalam baris

ini, mengukur dapat diartikan dengan makna yang sebenarnya, namun dapat pula

dengan makna yang lain mengingat obyek ukuran adalah mantra, sesuatu yang

abstrak.

p) Geguritan Miyak Isining Kitir

miyak isining kitir kang kakirim sore iki (Miyak Isining Kitir, 1, 1)

Terjemahan:

„membuka isi undangan yang terkirim sore ini‟

Kitir dalam bahasa Indonesia disebut undangan. Undangan dalam bait ini

tidak diartikan sebagai surat yang meminta seseorang untuk menghadiri sebuah

acara, misalnya pernikahan atau sunatan. Undangan dalam hal ini adalah

panggilan untuk menghadap Tuhan, ada kepercayaan dalam masyarakat Jawa

bahwa hidup hanyalah untuk mengantri mati. Undangan atau waktu kematian ini

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

tidak sama, ada yang mati saat lahir, mati saat anak-anak, mati muda atau mati

tua. Kata sore ini, tidak menunjukkan waktu transisi waktu siang yang bergeser

menuju malam melainkan usia yang tidak lagi muda.

Pembacaan pertama dapat diartikan si penulis menerima undangan untuk

menghadiri sebuag acara pada suatu sore. Makna yang lain, di usia yang sudah

sangat tua si penulis sedang teringat kematiannya yang tidak lama lagi.

q) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

omah iki pancen kawangun saka rembesing jangka (Dakcandhak Lakune

Sasmita, 2, 1)

Terjemahan:

„rumah ini memang terbangun dari tetesan waktu‟

Rembesing jangka yang dalam bahasa indonesia diterjemakan menjadi

tetesan waktu merupakan bentuk ambigu dalam baris diatas. Waktu tidak

berbentuk cair seperti air, ia tidak menetes.

Secara keseluruhan, ambiguitas yang mendominasi ketujuh belas

geguritan Yan Tohari berupa ambiguitas yang menggunakan kiasan metafora.

Bentuk perumpamaan memposisikan geguritan harus dipahami secara mendalam

untuk mengetahui metafor yang ada dalam geguritan. Metafor inilah yang

membuat geguritan dapat dimaknai ganda.

Ambiguitas berdasarkan metafor ini dapat dilihat pada kata pang enom

pada geguritan Sing Kesit Pindha Thatit. Pang enom dapat diartikan dengan

makna yang sebenarnya, yaitu batang muda. Namun disisi lain dapat pula

diartikan sebagai usia yang masih muda.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

b. Kontradiksi

a) Geguritan Ing Pusering Ning

Di dalam geguritan Ing Pusering Ning terdapat bentuk keselarasan yang

mendukung satu pemaknaan dengan pemaknaan yang lain. Kontradiksi tidak

ditemukan dalam geguritan ini.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

ana isih wilasaning jagad kang tumiba (Sing Kesit Pindha Thatit, 1, 5)

ing pangkon asat (1, 6)

Terjemahan:

„masih ada kasih sayang dari jagad raya yang turun‟

„di pangkuan kering‟

Pangkon asat atau yang disebut pangkuan kering menandakan sesuatu

yang masih dangkal, di dalam diri yang belum banyak mengerti arti kehidupan.

Kedangkalan dapat digolongkan dalam sesuatu yang gelap dan suram, namun

disana diharapkan sesuatu yang terang seperti wilasaning atau kasih sayang.

c) Geguritan Kembang-kembang

sinarMu anjrah nibakake berkah (Kembang-kembang, 1, 9)

ngayahi sakehing durgama lan ribuwatan (1, 10)

Terjemahan:

„cahayaMu menyebar menurunkan berkah‟

„menyingkirkan semua derita dan nestapa‟

Dalam penggalan geguritan diatas terdapat sesuat yang berlawanan. Pada

baris pertama, penyair menuliskan sinar yang menurunkan berkah yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

melambangkan sesuatu yang terang, jernih dan membahagiakan. Pada baris

kedua, penyair menuliskan sesuatu yang berlawanan berupa derita dan nestapa.

d) Geguritan Muksa

pitakonmu sumlempit ing kethuling sejarah

jiwa raga wus kapagut plesating wayah

kinunjara kasatyan sing larang pangajine

o, kita tansah ginubet padudon-padudon winit

urip kapupuh ing grahita

pamulat kalangan anteping gati

tumuli paran ngendi jiwa muksa

lamun ati kari sakecik gluprat gantha cuplik

Terjemahan:

„pertanyaanmu terselip di tumpulnya sejarah‟

„jiwa raga sudah termangsa cepatnya waktu‟

„terpenjara kesetiaan yang mahal harganya‟

„o, kita selalu terjerat pertengkaran-pertengkaran meruncing‟

„hidup diatur oleh rasa‟

„selalu pandanganya diatur atas kepentingan‟

„lantas kemana sujud akan menuju

„jka hati tinggal sebesar bici kecik yang penuh kehendak sederhana‟

Dalam geguritan Muksa, terdapat keselarasan makna yang mendukung

satu kaliat dengan kalimat yang lain. Kalimat pada baris pertama menyatakan

tentang pertanyaan, didukung pada baris kedua bahwa banyaknya pertanyaan

tersebut terjadi sepanjang usia sampai si penyair tua. Dalam perjalanan tersebut,

penyair seolah-olah selalu terjerat persoalan meruncing, jarang menemukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

kesetiaan. Keadaan tersebut membuat siapapun kebingungan, mempertanyakan

harus kemana sujud akan menuju.

e) Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

Aku kabur dadi mega ing tlapukaning wicara (Manjing Jagad Sunyaruri,

1, 1)

jagad agung iki paweh swasana suwung uwung-uwung (1, 2)

Terjemahan:

„Aku melayang menjadi awan di dunia penuh kata‟

„jagad besar ini memberi suasana kosong melompong‟

Dalam bait ini pemakaian kontradiksi dapat dilihat dengan jelas, si aku

terbang menjadi awan di dunia penuh kata tetapi sangat kontradiktif dengan larik

kedua yang menyatakan suasana dunia yang kosong melompong.

f) Geguritan Ana Cahya

ana cahya ngiringake cumloroting cahya (Ana Cahya, 1, 1)

nyigrag keteging wengi (1, 2)

sing kabuntel pepeging pedhut (1, 3)

Terjemahan:

„ada cahaya mengiringi bersinarnya cahaya‟

„membelah sunyinya malam‟

„yang terselimuti tebalnya kabut‟

Penggalan baris geguritan di atas, kontradiksi nampak pada kata cahya

dan keteging wengi. Cahya dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi

cahaya, sedangkan keteging wengi diterjemahkan menjadi sunyinya malam.

Cahaya merupakan sesuatu yang terang benderang, kata ini berlawanan atau

kontras dengan kata berikutnya, yaitu sunyinya malam.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

g) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

ninting marang ngendi tibaning kridha cacahing (Chatetan Wengkoning

Pandulu, 2, 4)

kaweningan, (2, 5)

Terjemahan:

„meneliti dimana sekian banyak keberadaan‟

„keheningan‟

Kontadiksi nampak pada geguritan di atas. Pada baris pertama, penyair

menuliskan adanya banyak keberadaan. Tentunya semakin banyak keberadaan

akan semakin ramai, namun pada baris selanjutnya penyair justru menuliskan

keheningan. Keberadaan dan keheningan dalam geguritan ini sangat berlawanan.

h) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

ngirih kamenepan sejati, tan kocap wisa sing nyawatake (Amasuh Jejer

Kasejaten, 1, 2)

durgama, lan ing kene ati kijenan nganam lecuning jiwa (1, 3)

Terjemahan:

„memberi ketenangan sejati, tak terucap bisa (racun) yang melempar‟

„kesulitan, dan di sini hati kesepian merangkai lusuhnya jiwa‟

Baris pertama, penyair menyampaikan tentang ketenangan sejati. Pada

baris kedua, penyair menyampaikan kesepian dan jiwa yang lusuh. Dua

penyampaian ini tidak selaras, tetapi kontradiktif. Di satu sisi ketenangan jiwa

tidak dapat bersanding dengan jiwa yang lusuh apalagi merasa kesepian. Iwa yang

tenang selalu mengahdapi semuanya dengan tenang pula, tidak akan merasa

gelisah karena jiwa yang tenang sudah benar-benar memahami hidup.

i) Geguritan Kendhi Pertala

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

kemul warih kang anenuruh pandeleng garing (Kendhi Pertala, 2, 3)

Terjemahan:

„berselimut air yang menyisakan pandangan kering‟

Baris geguritan di atas kontadiksi justru terjadi dalam satu baris. Si aku

dalam geguritan menyatakan berselimut air, itu artinya ada banyak air

disekelilignya. Sayangnya, dalam pernyataan selanjutnya si aku menyampaikan

hal yang lain. Si aku berada dalam posisi pandangan yang kering,

bertolakbelakang dengan keadaannya yang dilingkupi banyak air.

j) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

dumandakan kasamunan njiret geter jiwa (Mburu Suwunging Jiwa, 1, 1)

ngosak-asik katentreman kang lagi tetembangan (1, 2)

Terjemahan:

„tiba-tiba kesepian menjerat jiwa‟

„mengobrak-abrik kedamaian yang sedang besenandung‟

Kontadiksi dalam geguritan diatas nampak pada kata kasamunan dan

katentreman. Kasamunan yang dapat diartikan sebagai kesepian merupakan

perasaan yang menggelisahkan, namun disandingkan dengan kata katentreman

yang dapat diartikan kedamaian.

k) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi terdapat bentuk keselarasan yang

mendukung satu pemaknaan dengan pemaknaan yang lain. Kontradiksi tidak

ditemukan dalam geguritan ini.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

l) Geguritan Tan Kapetung

akeh tuna dungkape

rikala jiwa during tumungkul : sumujud

akeh lan tan kapetung

rikala nepsu worsuh ing manghalading geni

akeh lan tan kapetung

sepira kumalancangku

kang mrambul kabeh frman-firman-Mu

Terjemahan:

„banyak rugi yang terungkap‟

„ketika jiwa salah dalam menunduk:bersujud‟

„banyak dan tak terhitung‟

„ketika nafsu tak berkumpul‟

„ditengah-tengah kemurkaan‟

„banyak dan tak terhitung‟

„seberapa kelancanganku‟

„yang melayarkan semua firman-firman-Mu‟

Geguritan Tan Kapetung terdapat bentuk keselarasan yang mendukung

satu pemaknaan dengan pemaknaan yang lain. Kontradiksi tidak ditemukan dalam

geguritan ini.

m) Geguritan Ing Salembar Iki

ing salembar iki, donga pinuji

wutuh njamah alusing wewanti

murih angkah binesut

resik

suci

gasik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

ing salembar iki, larahan panuwun

ngebengi kaduwunging rasa

awi akeh mangsa

mblasah

kaprah

mowor adigang adigunging titah

o, gusti dina iki aku sumarah

Terjemahan:

„di selembar ini, doa dihaturkan‟

„utuh menyentuh lembutnya pesan‟

„agar langkah menjadi indah‟

„bersih‟

„suci‟

„awal‟

„di selembar ini, mencari doa‟

„memenuhi rasa sesal‟

„karena banyak waktu‟

„banyak‟

„bercampur‟

„bentuk kesombongan manusia‟

„o, gusti dihari ini aku pasrah‟

Pada selembar kertas, penulis menghaturkan doa kepada Tuhan. Doa itu ia

harapkan dapat menyentuh ridho Tuhan. Ia membutuhkan ridho itu untuk

membuat hidupnya lebih indah, bersih, suci dan semerti semula ketika ia

diciptakan. Dibaris kedua, ia juga memohon ampun untuk segala kesalahan

selama hidup. Ia merasa hatinya penuh dengan kesombongan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Dari baris ke baris, makna satu dengan pemaknaan yang lain merupakan

komposisi yang selaras. Baris yang satu dengan yang lainnya semakin

menguatkan. Tidak ada kontadiksi dalam geguritan ini.

n) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

temah dadi mitra mulur-mungkreting napas (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 5)

Terjemahan:

„agar menjadi teman panjang pendeknya nafas‟

Kontradiksi pada geguritan di atas nampak pada kata mulur-mungkreting

yang berarti panjang-pendek. Panjang merupakan bentuk lawanan dari kata

pendek dalam hal ukuran.

o) Geguritan Mateg Kemat

Di dalam geguritan Mateg Kemat terdapat bentuk keselarasan yang

mendukung satu pemaknaan dengan pemaknaan yang lain. Kontradiksi tidak

ditemukan dalam geguritan ini.

p) Geguritan Miyak Isining Kitir

miyak isining kitir kang kakirim sore iki

ngurupake geter ing nurani

rikala manerteni tetaning aksara-aksaraMu

apa iki tetimbalan kang wus winanci

o,. kamangka sangu during kawadhah ing kalbu.

Terjemahan:

„membuka isi undangan yang terkirim sore ini‟

„menyalakan getar di nurani‟

„ketika mengetahui terbukanya aksara-aksara-Mu‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

„apa ini panggilan yang sudah datang waktunya‟

„o.. padahal bekal belum sempat tertampung dihati‟

Geguritan di atas menceritakan panggilan Tuhan yang akan tiba kepada

siapapun yang hidup. Kematian akan menjemput siapa saja tanpa memandang

usia. Sepanjang geguritan, pemaknaan dari satu baris ke baris yang lain saling

mendukung untuk menceritakan tentang kematian tersebut. Keselarasan ini tidak

memberikan ruang untuk kontradiksi.

q) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi terdapat bentuk keselarasan yang

mendukung satu pemaknaan dengan pemaknaan yang lain. Kontradiksi tidak

ditemukan dalam geguritan ini.

Kontradiksi merupakan bentuk yang berlawanan dalam geguritan.

kontradiksi dari ketujuh belas geguritan Yan Tohari didominasi kontradiksi yang

berlawanan makna. Perlawanan makna ini dapat dilihat pada geguritan Kembang-

kembang. Perlawanan ditunjukkan kalimat sinarMu anjrah nibakake berkah.

Yang berlawanan dengan kalimat ngayahi sakehing durgama lan ribuwatan.

Kalimat pertama, penyair menuliskan sinar yang menurunkan berkah yang

melambangkan sesuatu yang terang, jernih dan membahagiakan. Kalimat kedua,

penyair menuliskan sesuatu yang berlawanan berupa derita dan nestapa.

c. Nonsense

a) Geguritan Ing Pusering Ning

: e yekti urip saderma nulisi tapaking janji (Ing Pusering Ning, 1, 4)

Terjemahan:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

:e sebenarnya hidup hanya sekedar menulis jejak-jejak janji

Nonsense yang ada dalam baris geguritan di atas terletak pada kata

tapaking janji. Istilah tapaking janji sengaja di tulis penyar untuk menggantikan

pemaknaan takdir yang telah ditentukan Tuhan. Janji seperti ini tidak memiliki

jejak, sehingga tidak bisa dilacak.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

tetes bun ngore-ore pabarating batin (Sing Kesit Pindha Thatit, 3, 2)

Terjemahan:

„tetes embun mengurai kebatinan‟

Embun merupakan benda mati yang hanya mengikuti gerak alam semesta.

Embun tidak memiliki tangan untuk mengurai kebatinan. Kalimat pada baris

geguritan di atas menjadi kalimat nonsense karena embun yang merupakan benda

mati di ibaratkan seperti manusia yang mampu mengurai sesuatu.

c) Geguritan Kembang-kembang

rembulan sujud (Kembang-kembang, 1, 4)

lintang-lintang sujud (1, 5)

cahya sakathahing cahya sumujud (1, 6)

Terjemahan:

„bulan bersujud‟

„bintang-bintang bersujud‟

„cahaya dari segala cahaya bersujud‟

Nonsense diperlihatkan pada baris geguritan di atas. Nonsense terdapat

pada kata rembulan, bintang maupun cahaya merupakan benda mati yang tidak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

dapat diposisikan sama dengan manusia. Dalam geguritan ini, penyair

menyatakan ketiga benda tersebut dapat pula bersujud layaknya manusia.

Pengibaratan ini termasuk dalam seuatu yang tidak mungkin terjadi.

d) Geguritan Muksa

lamun ati kari sakecik gluprat gantha cuplik (Muksa, 2, 4)

Terjemahan:

„jka hati tinggal sebesar bici kecik yang penuh kehendak sederhana‟

Hati manusia yang satu dengan yang lainnya memang memiliki ukuran

yang berbeda. Hanya saja, hati mausia memiliki ukuran yang lebih besar dari biji

kecik. Selain itu, hati manusia mengalami perkembangan. Waktu masih kecil

mungkin ukuran harinya masih kecil, namun ketika beranjak dewasa hatinya ikut

berkembang pula. Kalimat di atas bersifat nonsense.

e) Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

Aku kabur dadi mega ing tlapukaning wicara (Manjing Jagad Sunyaruri,

1, 1)

Terjemahan:

„Aku melayang menjadi awan di dunia penuh kata‟

Manusia merupakan makhluk yang tidak bisa terbang tanpa alat bantu

terbang. Kalimat pada baris geguritan di atas seakan ingin menyatakan bahwa si

aku bisa terbang. Dalam hal ini, kalimat ini bersifat nonsense.

f) Geguritan Ana Cahya

ana cahya ngiringake kumambanging cahya (Ana Cahya, 2, 1)

melahi lumembaking jalanidhi (2, 1)

Terjemahan:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

„ada cahaya mengiringi terapungnya cahaya‟

„membelahi gelombang di laut‟

Sifat cahaya adalah memberikan penerangan bagi yang gelap. Dalam

geguritan di atas, sesuatu yang nonsense nampak ketika penyair menyatakan

cahaya dapat membelah lautan.

g) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

sumusuh ana ngendi kowe, he gegatraning kaendahan (Chatetan

Wengkoning Pandulu, 1, 1)

Terjemahan:

„bersarang di mana kau, he wajah keindahan‟

Nonsense yang ada dalam geguritan di atas nampak pada kata keindahan.

Keindahan merupakan sesuatu yang abstrak. Dapat dikatakan keindahan bukan

bentuk yang dapat memiliki sarang seperti burung.

h) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

angin sing nggegem sasmita sakalangit teka anteng (Amasuh Jejer

Kasejaten, 1, 1)

Terjemahan:

„angin yang menggenggam isyarat dari langit datang dengan tenang‟

Angin merupakan nonsense pada geguritan di atas. Angin tidak seperti

manusia yang memiliki tangan dan dapat menggenggam sesuatu. Dalam geguritan

di atas, angin dikatakan dapat menggenggam sesuatu. Penyataan tersebut hanyalah

metafor untuk memperindah geguritan dengan cara penyampaian yang lain,

namun bila diartikan secara linguistik kalimat tersebut tidak memiliki makna.

i) Geguritan Kendhi Pertala

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

kemul warih kang anenuruh pandeleng garing (Kendhi Pertala, 2, 3)

Terjemahan:

„berselimut air yang menyisakan pandangan kering‟

Nonsense pada geguritan di atas bertumpu pada kata air. Air merupakan

sebentuk benda yang cair. Nonsense terjadi ketika air dipadu dengan kata

menyelimuti karena air bukan sebentuk benda yang dapat dipakai sebagai selimut.

j) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

dumandakan kasamunan njiret geter jiwa (Mburu Suwunging Jiwa, 1, 1)

Terjemahan:

„tiba-tiba kesepian menjerat jiwa‟

Kesepian merupakan perasaan manusia yang merasa sendiri. Perasaan ini

hadir ketika tidak ada siapapun yang menemani. Kesepian menjadi sesuatu yang

nonsense ketika dikatakan dapat menjerat. Kesepian bukanlah manusia yang

mampu menjerat sesuatu dengan tangan.

k) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

yen mangulat kekandhane paripolah wayah (Nyuluh Wewerdine Wengi, 1,

1)

Terjemahan:

„jika kembali melihat bergulirnya waktu yang berbicara‟

Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi memiliki nonsense yang bertumpu

pada kata waktu. Waktu tidak memiliki mulut untuk berbicara. Waktu hanya terus

berlalu dan dalam waktu tersebut manusia menjalaninya dengan penuh kenangan,

maka manusia mengatakannya waktu yang berbicara.

l) Geguritan Tan Kapetung

kang mrambul kabeh frman-firman-Mu (Tan Kapetung, 3, 3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Terjemahan:

„yang melayarkan semua firman-firman-Mu‟

Nonsense dalam geguritan di atas ditunjukkan oleh kata firman. Firman

tidak memiliki sifat seperti manusia yang dapat berlayar, namun dalam geguritan

dikatakan firman dapat dilayarkan.

m) Geguritan Ing Salembar Iki

ing salembar iki, donga pinuji (Ing Salembar Iki, 1, 1)

wutuh njamah alusing wewanti (1, 2)

Terjemahan:

„di selembar ini, doa dihaturkan‟

„utuh menyentuh lembutnya pesan‟

Doa merupakan bentuk pengharapan, dapat dikatakan bentuk abstrak.

Dalam geguritan ini doa seolah dapat menyentuh sesuatu. Doa tidak memiliki

tanan yang dapat menyentuh sesuatu.

n) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

amrih sabda-Mu kuwawa dakcekethem (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 4)

Terjemahan:

„supaya sabda-Mu sanggup kugenggam‟

Seperti pada geguritan Tan Kapetung, geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

memiliki nonsense yang sama. Dalam geguritan di atas, nonsense bertumpu pada

kata sabda. Sabda merupakan kata lain dari firman, maka seperti geguritan Tan

Kapetung sabda seolah-olah dapat digenggam.

o) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

omah iki pancen kawangun saka rembesing jangka (Dakcandhak Lakune

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Sasmita, 2, 1)

Terjemahan:

„rumah ini memang terbangun dari tetesan waktu‟

Waktu diibaratkan mampu memiliki sifat yang seharusnya tidak dimiliki.

Waktu tidak seperti air yang memiliki sifat cair dan dapat mengalir.

Secara keseluruhan, nonsense dalam ketujuh belas geguritan Yan Tohari

didominasi kalimat-kalimat yang kadang tidak logis. Ketidaklogisan kalimat ini

seringkali berupa metafora yang bertujuan untuk memperindah geguritan.

Nonsense dengan model ini dapat dilihat pada geguritan Kembang-kembang pada

kalimat bulan bersujud, bintang-bintang bersujud, cahaya dari segala cahaya

bersujud. Ketiga benda tersebut dinyatakan dapat bersujud layaknya manusia.

Pengibaratan ini termasuk dalam sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

3. Penciptaan Arti

a. Rima

Rima merupakan perulangan bunyi dan salah satu ciri yang membedakan

puisi dengan prosa. Puisi memiliki rima yang khas, biasanya terdapat bunyi yang

berturut-turut dan menimbulkan irama yang indah. Susunan rima yang terdapat di

dalam ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari bersifat bebas, tidak lagi

menggunakan rima berpasangan (a a b b), rima terus (a a a a), rima berselang (a b

a b) atau rima berpeluk (a b b a).

a. Rima Bait

Rima bait merupakan pengulangan bunyi yang terdapat pada bait puisi.

Rima ini terjadi basanya karena adanya pemilihan kata dari penulis, sehingga

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

ketika dibaca terdapat irama puisi yang indah. Rima bait ini dalam bahasa Jawa

biasa disebut purwakanthi. Rima bait dalam masing-masing geguritan sebagai

berikut:

a) Geguritan Ing Pusering Ning

jati mulyaning jati sing (Ing Pusering Ning, 2, 4)

ginarba ing puser wening (Ing Pusering Ning, 2, 5)

Terjemahan:

„kesejatian yang benar-benar‟

„dikandung pada keheningan malam‟

Kata sing dan wening memiliki sama-sama menggunakan bunyi sengau

ng. Kata sing merupakan kata sambung, namun si penyair sengaja meletakkannya

di akhir bait agar sepadan dengan bait berikutnya dan menimbulkan irama yang

senada, irama inilah salah satu kekuatan geguritan.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

dakranggeh mawa lambaran menebing rasa (Sing Kesit Pindha Thatit I, 2,

2)

mbokmenawa (1, 3)

ana isih wilasaning jagad kang tumiba (1, 4)

Terjemahan:

„kuraih dengan dasar rasa yang tenang‟

„siapa tahu‟

„masih ada kasih sayang dari jagad raya yang turun‟

Rima dalam baris di atas nampak pada kata rasa, mbokmenawa dan

tumiba. Ketiga kata tersebut berakhiran a pada akhir kalimat. Keseragaman vokal

a pada akhir kalimat membuat pembacaan menjadi indah karena bunyi yng

dihasilkan menjadi nyaring.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

c) Geguritan Kembang-kembang

penering ing tengah samun wengi (Kembang-kembang, 1, 1)

kembang iku kembangMu mekrok arumwangi (1, 2)

Terjemahan:

„di tengah sepinya malam‟

„bunga itu bunga-Mu mekar harum wangi‟

Kata wengi dan wangi dipadankan dalam bait yang berbeda, letaknyapun

di akhir bait. Peletakan kedua kata yang memiliki bunyi yang sama ini

membentuk keselarasan bunyi dalam geguritan.

rembulan sujud (Kembang-kembang, 1, 4)

lintang-lintang sujud (1, 5)

Terjemahan:

„bulan bersujud‟

„bintang-bintang bersujud‟

Dua kata sujud terdapat pada dua bait terakhir dalam geguritan Kembang-

kembang. Pengulangan tersebut dapatr diartikan sebagai sebuah penekakan bahwa

bulan dan bintang benar-benar bersujud bersama dan beriringan. Selain itu,

pengulangan ini dapat diartikan sebagai rima yang bertujuan untuk membentuk

bunyi yang sama.

d) Geguritan Muksa

pitakonmu sumlempit ing kethuling sejarah (Muksa, 1, 1)

jiwa raga wus kapagut plesating wayah (1, 2)

Terjemahan:

„pertanyaanmu terselip di tumpulnya sejarah‟

„jiwa raga sudah termangsa cepatnya waktu‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

Terdapat persamaan bunyi ah pada kata sejarah dan wayah yang berada

dalam akhir bait di atas. Persamaan tersebut menimbulkan keteraturan bunyi yang

menimbulkan keindahan ketika geguritan dibaca.

e) Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

jagad agung iki paweh swasana suwung uwung-uwung (Manjing Jagad

Sunyaruri, 1, 2)

ana gawening pitakon njojoh riciking pamulat (1, 3)

nanging sapa bisa wangsulan lamun kabeh (1, 4)

Terjemahan:

„jagad besar ini memberi suasana kosong melompong‟

„ada pertanyaan muncul menusuk dalamnya kesadaran‟

„tetapi siapa bisa menjawab jika semua‟

Bunyi sengau ng diulang dalam dibeberapa kalimat baris di atas.

Persamaan kalimat ini memang tidak terdapat di akhir kalimat, hanya saja bunyi

ini nampak dominan dalam kalimat.

f) Geguritan Ana Cahya

gelaring jaman tinepung cahya-cahya (Ana Cahya, 3, 2)

kacahyan binudi mawa cahya (3, 3)

pangudine marang cahya sejatine ngemuli cahya (3, 4)

Terjemahan:

„jaman yang terbentang dikelilingi cahaya-cahaya‟

„tersinari kebaikan dengan cahaya‟

„pencariannya terhadap cahaya yang sejati menyelimuti cahaya‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

Rima bait dalam baris ini ditunjukkan oleh kata cahya yang dalam bahasa

Indonesia disebut Cahaya. Cahya terletak di bait terakhir membuat irama yang

senada dalam pembacaannya.

g) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

ing kene aku kanthi acluming pandulu (Chatetan Wengkoning Pandulu, 2,

1)

mbujung sayektine sumusuhing pawengkonmu (2, 2)

nganam irat-irating rasa gegandrungan (2, 3)

ninting marang ngendi tibaning kridha cacahing (2, 4)

kaweningan, (2, 5)

eling, (2, 6)

lan pepaugeraning angling (2, 7)

Terjemahan:

„di sini aku bawa dengan penglihatan yang lelah‟

„mengejar dimana sebenarnya tempatmu‟

„merangkai belahan-belahan rasa asmara‟

„meneliti dimana sekian banyak keberadaan‟

„keheningan‟

„ingat‟

„dan ketentuannya sabda‟

Rima bait pada bait di atas ditunjukkan oleh suku kata ing. Hampir

disetiap baris penyair memilih kosakata yang menggunakan suku kata ing. Suku

kata ing dapat dilihat pada kata acluming, sumusuhing, irat-irating, tibaning,

cacahing, eling, pepaugeraning, angling. Rima bait ini membuat pembacaan

geguritan menjadi selaras dan nyaring sehingga menjadi puisi yang easy listening.

Selain itu, penggunaansuku kata ing yang diidentikkan dengan kata ning oleh

penyair seolah-olah memberikan penekanan pada kata tersebut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

h) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

pamulat winasuh dadi awas ing warah (Amasuh Jejer Kasejaten, 2, 1)

pangrungu winasuh dadi weninging panimbang (2, 1)

pangrasa winasuh dadi tulusing pamengku (2, 1)

lan saparilaku winasuh dadi mulyaning jati jalma (2, 1)

Terjemahan:

„penglihatan terbasuh menjadi tajam (penglihatannya) di ajaran‟

„pendengaran terbasuh menjadi jernihnya pertimbangan‟

„perasaan terbasuh menjadi tulusnya pegangan‟

„dan segala perilaku terbasuh menjadi manusia sejati yang mulia‟

Rima bait terlihat pada kata sejarah dan wayah yang mengulang suku kata

ah, kata titah dan sumarah mengulang kata ah pula. Kemudian pada bait

geguritan berikutnya ada pengulangan kata sujud dan winasuh dadi.

i) Geguritan Kendhi Pertala

lamun sliramu rila canjatukrama (Kendhi Pertala, 2, 1)

kanthinen jiwaku mapan linud ing tilam sarimu (Kendhi Pertala, 2, 2)

kemul warih kang anenuruh pandeleng garing (Kendhi Pertala 2, 3)

Terjemahan:

„jika dirimu merelakan berjodoh‟

„bawalah jiwaku menetap di tempat tidurmu‟

„berselimut air yang menyisakan pandangan kering‟

Dalam bait di atas,bunyi yang nampak dominan di tunjukkan suku kata ri.

Suku kata ri terdapat dalam dalam kata rila, sarimu dan warih.

j) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

temahan ni papancaning tonggak (Mburu Suwunging Jiwa, 2, 1)

daksangga jenggerenge kanggo cecandhi (2, 2)

mamrih jejeg lumaksitaning ati (2, 3)

mbru suwunging jiwa mbebedhag sesulaning gegantha (2, 4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

Terjemahan:

„akhirnya diawal hati melanggkah‟

„kuangkat tegaknya untuk melakukan sesuatu‟

„agar tegaknya perjalanan hati‟

„mengejar heningnya jiwa berburu keinginan sepi‟

Bait di atas memiliki persamaan bunyi suku kata ing yang ditunjukkan

kata papancaning, lumaksitaning, dan sesulaning. Persamaan bunyi tersebut

membentuk kesejajaran bunyi dalam geguritan.

k) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

ana larap-laraping tembung (Nyuluh Wewerdine Wengi, 2, 1)

anjawil kemudhine tetawung driya (2, 2)

iki wayah dakbiyak lembaran pawicaran (2, 3)

kanthi sangu agunging-firman-Mu (2, 4)

aku nyuluh werdining tampuk dalu (2, 5)

Terjemahan:

„ada kata sayup-sayup‟

„menyentuh pengendali sekat (jiwa)‟

„ini waktunya kubuka lembaran pembicaraan‟

„dengan bekal besarnya firman-Mu‟

„aku nyuluh rahasia tengah malam‟

Dalam baris di atas, rima bait ditunjukkan oleh kata tembung dan

tetawung. Keduanya memiliki suku kata yang sama pada akhir kata, yaitu bunyi

ung. Persamaan suku kata ini membentuk irama yang selaras.

l) Geguritan Tan Kapetung

akeh lan tan kapetung (Tan Kapetung, 2, 1)

rikala nepsu worsuh (2, 2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

ing manghalading geni (2, 2)

Terjemahan:

„banyak dan tak terhitung‟

„ketika nafsu tak berkumpul‟

„ditengah-tengah kemurkaan‟

Persamaan bunyi ng pada kata kapetung dan manghalading membentuk

kesamaan bunyi pada baris di atas.

m) Geguritan Ing Salembar Iki

mowor adigang adigunging titah (Ing Salembar Iki, 2, 6)

o, gusti dina iki aku sumarah (2, 7)

Terjemahan:

„bentuk kesombongan manusia‟

„o, gusti dihari ini aku pasrah‟

Pada bait di atas terdapat persamaan bunyi ah yang ditunjukkan kata titah

dan sumarah. Kedua kata tersebut berada di akhir bait seolah-olah terdapat

kesengajaan dari penyair agar keindahan bunyi bisa nampak dalam geguritan.

n) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

ing salembar iki, donga pinuji (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 1)

wutuh njamah alusing wewanti (1, 2)

murih angkah binesut (1, 3)

resik (1, 4)

suci (1, 5)

gasik (1, 6)

Terjemahan:

„di selembar ini, doa dihaturkan‟

„utuh menyentuh lembutnya pesan‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

„agar langkah menjadi indah‟

„bersih‟

„suci‟

„awal‟

Bait pertama geguritan Laku Tumuju Sih-Mu terdapat beberapa kata yang

menggunakan vokal i pada akhir kata. Kata yang menggunakan vokal i terdapat

pada kata pinuji, wewanti, resik, suci, gasik. Keseragaman bunyi pada akhir baris

tersebut membuat geguritan menjadi padu dalam pembacaannya.

o) Geguritan Mateg Kemat

ngelur dawa: nyimpen mantra aji-aji (Mateg Kemat, 1, 1)

ingsun wateg memilah roh lan wadhag (1, 2)

wadhag: isi kasekten yektine titah (1, 3)

roh: isi getering kemudhining urip (1, 4)

Terjemahan:

„mengukur panjang: menyimpan mantra aji-aji‟

„aku berniat memilih roh dan raga‟

„raga: berisi kesaktian sejati manusia‟

„roh : berisi getaran pengendali hidup‟

Kata aji-aji dan isi memiliki sama-sama menggunakan bunyi vokal i. Kata

aji-aji terletak di akhir baris geguritan, namun pada baris berikutnya terdapat kata

isi yang padu dengan kata aji-aji. Kepaduan ini menimbulkan irama yang senada,

irama inilah salah satu kekuatan geguritan.

p) Geguritan Miyak Isining Kitir

miyak isining kitir kang kakirim sore iki (Miyak Isining Kitir, 1, 1)

ngurupake geter ing nurani (1, 2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

rikala manerteni tetaning aksara-aksaraMu (1, 3)

apa iki tetimbalan kang wus winanci (1, 4)

o.. kamangka sangu during kawadhah ing kalbu. (1, 5)

Terjemahan:

„membuka isi undangan yang terkirim sore ini‟

„menyalakan getar di nurani‟

„ketika mengetahui terbukanya aksara-aksara-Mu‟

„apa ini panggilan yang sudah datang waktunya‟

„o.. padahal bekal belum sempat tertampung dihati‟

Kata iki, nurani dan winanci memiliki kesamaan bunyi pada akhir suku

kata. Iki, nurani dan winanci pada geguritan di atas terletak di akhir baris.

Letakketiga kata tersebut yang berada di akhir baris membuat pembacaan

geguritan memiliki pembacaan yang teratur dan tenang. Dalam hal ini,bisa

dikatakan bunyi yang dihasilkan dapat mewakili isi dari geguritan.

Kata aksara-Mu dan kalbu juga memiliki kesamaan bunyipada akhir suku

kata. Kata aksara-Mu terletak di baris ketiga sedangkan kalbu berada di baris

terakhir, letak keduanya memang terdapat sisipan akhiran bunyi i, namun dengan

letak bunyi u yang tidak teraturjustru membuat bunyi semakin dinamis, tidak

monoton.

q) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

wangue wengi iki sasmita wingit tumeka (Dakcandhak Lakune Sasmita, 1,

1)

nlasak ing sela-selaning gegodhongan lan (1, 2)

gremeting walang-walang ataga, iki apa (1, 3)

Terjemahan:

„sepertinya malam ini isyarat rahasia datang‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

„menelusup disela-sela dedaunan dan‟

„rayapan belalang-belalang, ini apa‟

Rima bait dalam geguritan ini terdapat pada kata tumeka, lan dan apa.

Tumeka yang berarti tiba merupakan kata kerja, menurut SPOK seharusnya kata

tersebutberada di tengah kalimat. Kata tumeka sengaja diletakkan pada akhir baris

oleh penyair agar senada dengan bunyi setelahnya. Pada baris kedua dan ketiga

terdapat kata lan dan apa yang seharusnya tidak dipenggal juga. Pemenggalan ini

disengaja untuk menyelaraskan bunyi yang mendominasi geguritan.

Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-

bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Timbulnya

irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi

(misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan

kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau

panjang pendek kata.

Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk

irama, Rima bait dalam ketujuh belas geguritan Yan Tohari didominasi rima yang

terletak di akhir baris. Mayoritas rima berbunyi vokal a, dengan model persajakan

aabc. Persamaan bunyi yang cukup dominan dalam beberapa geguritan ini

membentuk suasana hening, tenang, lembut, sunyi dan usaha penyair untuk

mendalami sebuah makna kehidupan.

b. Rima Antar Bait

Rima antar bait merupakan pengulangan bunyi antar bait yang satu dengan

bait yang lain. Dalam bahasa Jawa, rima bait ini disebut purwakanthi lumasita.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

Rima bait yang terdapat dalam ketujuh belas geguritan Yan Tohari sebagai

berikut:

a) Geguritan Ing Pusering Ning

bun sing niba ing gegodhongan nyandhi sesanti

gegambaran manengkuku marang Pamurba Jagad

ing weca, marang edi lan wewadining pakarti

: e yekti urip saderma nulisi tapaking janji

rikala swasana jagad wus kawekung

ning rasaku cinipta dadi ujuding BUDI

lamun jatiku jatining wengi

jati mulyaning jati sing

ginarba ing puser wening

kang kaluwih:

Ning!

ing puser Ning

ati kumitir jumerit agala-gala

mendah cekak cupeting ancas titah kang during

wanuh, paran papan sumondhoking teges panembah

ing Ning

ing puser jati

aku mung bisa nangisi cathetaning

Terjemahan:

„embun yang jatuh di dedaunan menandakan doa rahasia‟

„menggambarkan tentang Pencipta Jagad raya‟

„menyatukan tentang keindahan dan akan rahasisa sebuah tindakan‟

:e sebenarnya hidup hanya sekedar menulis jejak-jejak janji

„dikala suasana alam raya sudah terkurung keheningan‟

„rasaku tercipta menjadi wujud pikiran‟

„maka aku menyatu pada keheningan malam‟

„kesejatian yang benar-benar‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

„dikandung pada keheningan malam‟

„yang lebih‟

„hening‟

„di pusat keheningan‟

„hati bergetar menjerit sekeras-kerasnya‟

„betapa remeh tujuan manusia yang belum‟

„paham, akan arti pengabdian terhadap Tuhan „

„di keheningan‟

„dipusat kesejatian‟

„aku hanya bisa menangisi catatan‟

Terlihat bahwa setiap bait dalam geguritan berjudul Ing Pusering Ning ini

terdapat pengulangan suku kata ing. Kepaduan ini senada dengan judulnya. Kata

ing menjadi kata yang sangat dominan dalam geguritan, dominanitas ini

menjadikan geguritan seolah memang ingin memberi penekanan pada kata ing,

betapa kata tersebut sangat penting untuk diperhatikan.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

ngirid pasemon nglurug ing pang enom

wit nglenjer ijen-ijenan kabuntel samun

dakranggeh mawa lambaran menebing rasa

mbokmenawa ana isih wilasaning jagad kang tumiba

ing pangkon asat

lintang-lintang acahya kecundhang

panggah kutah jerit nala, jerit sinangsaya

o, kapan pangranggehku natab sucining werdi

apa jalaran iki titah cekethi?

wengi kang lelungidan wadi

tetes bun ngore-ore pabarating batin

sagatra tembung suksma dakbabar dadi panuwun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

nguber papas-Mu kang sru sesilihan

sarta kesit pindha thathit

Terjemahan:

„menggiring pertanda dibatang muda‟

„pohon berdiri sendiri didalam sepi‟

„kuraih dengan dasar rasa yang tenang‟

„siapa tahu‟

„masih ada kasih sayang dari jagad raya yang turun‟

„di pangkuan kering‟

„bintang-bintang bercahayakan kekalahan‟

„tetap menjadi jeritan hati, jeritan teraniaya‟

„o, kapan doaku bertemu dengan arti yang suci‟

„apa karena ini hamba biasa?‟

„malam yang dipenuhi rahasia‟

„tetes embun mengurai kebatinan‟

„selarik kata sukma kujabarkan menjadi permohonan‟

„mengejar kekuasaan-Mu yang terus berlarian kesana kemari‟

„dan cepat bagai kilat

Rima antar bait dalam geguritan Sing Kesit Pindha Thatit nampak dalam

vokal a yang terdapat pada akhir baris. Keseragaman bunyi akhir ini dapat dilihat

pada kata rasa , tumiba, asat, kecundhang, sinangsaya, sesilihan.

c) Geguritan Kembang-kembang

penering ing tengah samun wengi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

kembang iku kembangMu mekrok arumwangi

kebaking esthi, ngabarake greget gyaking tindak

rembulan sujud

lintang-lintang sujud

cahya sakathahing cahya sumujud

ngedhap manembrama ambar-ambar ganda gaib

dina iki ati ngaru-ara ngua kapang-kapang kembang

sunarMu anjrah nibakake berkah

ngayahi sakehing durgama lan ribuwatan

kembang-kembang mancawarna mbunteli mantra

kojah marang titah-titahMu

linumpukan kembang-kembang suci

nyithak sumiliring ati

Terjemahan:

„di tengah sepinya malam‟

„bunga itu bunga-Mu mekar harum wangi‟

„penuhnya kehendak, mengabarkan semangat bergejolaknya langkah‟

„bulan bersujud‟

„bintang-bintang bersujud‟

„cahaya dari segala cahaya bersujud‟

„kilat menciptakan aroma gaib yang menyebar‟

„hari ini hati rindu akan bayang-bayang kembang‟

„cahayaMu menyebar menurunkan berkah‟

„menyingkirkan semua derita dan nestapa‟

„bunga-bunga beraneka ragam membalut mantra‟

„berbicara pada umatMu‟

„terkumpul bunga-bunga suci‟

„membentuk hati yang sejuk‟

Rima antarbait yang nampak dari geguritan berjudul Kembang-kembang

ditunjukkan persamaan bunyi pada akhir baris. Weingi, arumwangi, gaib, suci dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

ati memiliki kesamaan bunyi yang mengandung vokal i. Persamaan bunyi tersebut

membuat pembacaan dalam geguritan memiliki tone.

d) Geguritan Muksa

pitakonmu sumlempit ing kethuling sejarah

jiwa raga wus kapagut plesating wayah

kinunjara kasatyan sing larang pangajine

o, kita tansah ginubet padudon-padudon winit

urip kapupuh ing grahita

pamulat kalangan anteping gati

tumuli paran ngendi jiwa muksa

lamun ati kari sakecik gluprat gantha cuplik

Terjemahan:

„pertanyaanmu terselip di tumpulnya sejarah‟

„jiwa raga sudah termangsa cepatnya waktu‟

„terpenjara kesetiaan yang mahal harganya‟

„o, kita selalu terjerat pertengkaran-pertengkaran meruncing‟

„hidup diatur oleh rasa‟

„selalu pandanganya diatur atas kepentingan‟

„lantas kemana sujud akan menuju

„jka hati tinggal sebesar bici kecik yang penuh kehendak sederhana‟

Rima antar bait dalam geguritan di atas ditunjukkan oleh kata kethuling,

plesating dan anteping. Ketiga kata tersebut tidak berada pada akhir kalimat,

tetapi ditengah kalimat. Peletakan ketiga kalimat ditengah kalimat tidak

mengurangi keindahan geguritan, sebaliknya bunyi sengau ditengah emberikan

nuansa yang tenang dan agak mendengung.

e) Geguritan Ana Cahya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

ana cahya ngiringake cumloroting cahya

nyigrag keteging wengi

sing kabuntel pepeging pedhut

lan cahya ndeder amburu ilange cahya

ana cahya ngiringake kumambanging cahya

melahi lumembaking jalanidhi

sing wus gempal karang-karange

lan cahya nyilem ngudi dhasaring cahya

lair cahya lan terus kalair cahayane

gelaring jaman tinepung cahya-cahya

kacahyan binudi mawa cahya

pangudine marang cahya sejatine ngemuli cahya

Terjemahan:

„ada cahaya mengiringi bersinarnya cahaya‟

„membelah sunyinya malam‟

„yang terselimuti tebalnya kabut‟

„dan cahaya naik mengejar hilangnya cahaya‟

„ada cahaya mengiringi terapungnya cahaya‟

„membelahi gelombang di laut‟

„yang telah patah karang-karangnya‟

„dan cahaya menyelam mencari asal cahaya‟

„lahir cahaya dan terus melahirkan cahayanya‟

„jaman yang terbentang dikelilingi cahaya-cahaya‟

„tersinari kebaikan dengan cahaya‟

„pencariannya terhadap cahaya yang sejati menyelimuti cahaya‟

Rima nampak dalam pengulangan kata cahya disetiap larik geguritan.

Kata cahya di ulang-ulang di sepanjang geguritan, pengulangan ini seuai dengan

judul yang mengangkat ana cahya, maka geguritan didominasi kata cahya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

f) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

ninting marang ngendi tibaning kridha cacahing

kaweningan,

eling,

lan pepaugeraning angling

kepara suwe ati jumerit ; kanggo ngundang sliramu

prapta kanthi sagegem rerangkening puspa cahya

Terjemahan:

„meneliti dimana sekian banyak keberadaan‟

„keheningan‟

„ingat‟

„dan ketentuannya sabda‟

„telah lama hati menjerit ; untuk mengundang dirimu‟

„datang dengan membawa segenggam rangkaian bunga cahaya‟

Geguritan berjudul Chatetan Wengkoning Pandulu ini bait kedua dan

ketiga terdapat kepaduan bungi ing yang berulang dibeberapa bait. Pengulangan

ini membentuk bunyi yang sama pada akhir atau tengah bait.

g) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

angin sing nggegem sasmita sakalangit teka anteng

ngirih kamenepan sejati, tan kocap wisa sing nyawatake

durgama, lan ing kene ati kijenan nganam lecuning jiwa

mawa sewu donga dakcancang panggrahita ngirup kasampurnan

sakeplasan titah kinurung ombak panembah

sing sinedya parah wengku pambudi rinengga ing wadhah suci

pamulat winasuh dadi awas ing warah

pangrungu winasuh dadi weninging panimbang

pangrasa winasuh dadi tulusing pamengku

lan saparilaku winasuh dadi mulyaning jati jalma

; lair jalma limpad seprapat wis tamat

Terjemahan:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

„angin yang menggenggam isyarat dari langit datang dengan tenang‟

„memberi ketenangan sejati, tak terucap bisa (racun) yang melempar‟

„kesulitan, dan di sini hati kesepian merangkai lusuhnya jiwa‟

„dengan seribu doa kuikat perasaan menggapai kesempurnaan‟

„sekilas hamba terkurung ombak persembahan‟

„yang dikehendaki oleh pikiran yang dihiasi niat suci‟

„penglihatan terbasuh menjadi tajam (penglihatannya) di ajaran‟

„pendengaran terbasuh menjadi jernihnya pertimbangan‟

„perasaan terbasuh menjadi tulusnya pegangan‟

„dan segala perilaku terbasuh menjadi manusia sejati yang mulia‟

„; lahir manusia cekatan memahami kondisi‟

Rima antarbait dalam geguritan di atas ditunjukkan kata jiwa,

kasampurnan, panembah pada bait pertama. Sedangkan pada bait kedua terdapat

pada kata warah, panimbang, jalma dan tamat. Bait pertama dan bait kedua

memiliki kesejajaran bunyi dengan vokal a. Kesejajaran bunyi tersebut membetuk

persejajaran pembacaan pada bait pertama dan kedua yang kemudian

menimbulkan keselarasan bunyi dan makna.

h) Geguritan Kendhi Pertala

pepeg mring sela-selaning peplayon napas

dhadha wus suwe gosong

katerak ewon bagaskara

nuli aking anjejuwingpereng pepeling

lamun sliramu rila anjatukrama

kanthinen jiwaku mapan linud ing tilam sarimu

kemul warih kang anenuruh pandeleng garing

sing ewonan wektu ceclathu bab jagad klawu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

kendhi pertala, e kendhi pertala

sapa sing nyeret pasha lakuku nurut paripolah

mangka udan isih dadi cangkrimanng mangsa

among panuruhmu,

aku nemu jimat kangongruwat sakalir kala-satru

Terjemahan:

„hadir di sela-sela nafas yang berlarian‟

„dada sudah lama hangus‟

„terjamah ribuan matahari‟

„juga kering mengiris tebing nasihat‟

„jika dirimu merelakan berjodoh‟

„bawalah jiwaku menetap di tempat tidurmu‟

„berselimut air yang menyisakan pandangan kering‟

„yang ribuan waktu berbincang di dunia abu-abu‟

„kendhi pertala, e kendhi pertala‟

„siapa yang menyeret perjalananku menuruti perilaku‟

„padahal hujan masih menjadi teka-teki waktu‟

„hanya tetesanmu‟

„aku menemukan jimat untuk meruwat segala keburukan dan musuh‟

Rima bait dalam geguritan Kendhi Pertala nampak pada kata napas,

bagaskara, anjatukrama, pertala, paripolah, mangsa yang sama-sama memiliki

bunyi akhir a. Persamaan bunyi akhir terdapat pada akhir baris.

i) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

dumandakan kasamunan njiret geter jiwa

ngosak-asik katentreman kang lagi tetembangan

ngglandhang pepasren urip

sing mataun-taun kinukup pambudi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

temahan ni papancaning tonggak

daksangga jenggerenge kanggo cecandhi

mamrih jejeg lumaksitaning ati

mbru suwunging jiwa mbebedhag sesulaning gegantha

Terjemahan:

„tiba-tiba kesepian menjerat jiwa‟

„mengobrak-abrik kedamaian yang sedang besenandung‟

„menyeret hiasan hidup‟

„yang bertahun-tahun terkuasai usaha‟

„akhirnya diawal hati melanggkah‟

„kuangkat tegaknya untuk melakukan sesuatu‟

„agar tegaknya perjalanan hati‟

„mengejar heningnya jiwa berburu keinginan sepi‟

Rima baris pada geguritan di atas dibentuk oleh kata jiwa, tetembangan,

tonggak, gegantha. Keempat kata tersebut terdapat pada akhir baris geguritan

dengan menggunakan bunyi vokal a. Persejajaran bunyi ini membentuk

keselarasan dalam geguritan.

j) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

yen mangulat kekandhane paripolah wayah

daksandhak sesanggeman kang ginarit, ana

wewayanganing tlusure raga

dhuh, tetimbalanMu nyengka kumitire jaja

ana larap-laraping tembung

anjawil kemudhine tetawung driya

iki wayah dakbiyak lembaran pawicaran

kanthi sangu agunging-firman-Mu

aku nyuluh werdining tampuk dalu

Terjemahan:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

„jika kembali melihat bergulirnya waktu yang berbicara‟

„kugapai kesanggupan yang telah tergaris, ada‟

„bayangan dari sekujur tubuh‟

„dhuh, panggilanMu memaksa dada untuk bergetar‟

„ada kata sayup-sayup‟

„menyentuh pengendali sekat (jiwa)‟

„ini waktunya kubuka lembaran pembicaraan‟

„dengan bekal besarnya firman-Mu‟

„aku nyuluh rahasia tengah malam‟

Rima bait padageguritan di atas ditunjukkan oleh kata wayah, ana, raga,

jaja, driya, dan pawicaran. Wayah, ana, raga dan jaja terletak pada bait pertama,

kemudian disejajarkan dengan kata driya dan pawicaran pada bait kedua. Keenam

kata tersebut terletak diakhir baris dengan menggunakan persamaan vokal a.

k) Geguritan Tan Kapetung

akeh tuna dungkape

rikala jiwa during tumungkul : sumujud

akeh lan tan kapetung

rikala nepsu worsuh

ing manghalading geni

akeh lan tan kapetung

sepira kumalancangku

kang mrambul kabeh frman-firman-Mu

Terjemahan:

„banyak rugi yang terungkap‟

„ketika jiwa salah dalam menunduk:bersujud‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

„banyak dan tak terhitung‟

„ketika nafsu tak berkumpul‟

„ditengah-tengah kemurkaan‟

„banyak dan tak terhitung‟

„seberapa kelancanganku‟

„yang melayarkan semua firman-firman-Mu‟

Geguritan Tan Kapetung memiliki tiga bait. Rima antar bait pada

geguritan ini ditunjukkan kata tumungkul dan sumujud pada bait pertama yang

disejajarkan dengan kata kapetung bait kedua. Pada bait ketiga, persejajaran

ditemukan pada kata kapetung, kumalancangku dan firman-firman-Mu.

Persejajaran bunyi menggunakan vokal a yang terletak di akhir baris. Persejajaran

ini membuat keselarasan bunyi dalam geguritan. Keselarasan bunyi ini juga

berkaitan dengan keselarasan makna geguritan.

l) Geguritan Ing Salembar Iki

ing salembar iki, donga pinuji

wutuh njamah alusing wewanti

murih langkah binesut

resik

suci

gasik

ing salembar iki, larahan panuwun

ngebengi kaduwunging rasa

awi akeh mangsa

mblasah

kaprah

mowor adigang adigunging titah

o, gusti dina iki aku sumarah

Terjemahan:

„di selembar ini, doa dihaturkan‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

„utuh menyentuh lembutnya pesan‟

„agar langkah menjadi indah‟

„bersih‟

„suci‟

„awal‟

„di selembar ini, mencari doa‟

„memenuhi rasa sesal‟

„karena banyak waktu‟

„banyak‟

„bercampur‟

„bentuk kesombongan manusia‟

„o, gusti dihari ini aku pasrah‟

Dalam geguritan ini banyak kata yang mengandung unsur bunyi i. Unsur i

ini membentuk keselarasan makna yang utuh pada geguritan, meskipun kata yang

mengandung unsur i berpencar, tidak semuanya terdapat pada akhir baris. Rima

bait dalam geguritan ini merupakan bunyi yang dominan dalam geguritan.

m) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

Pangeran Kang Jembar Ngukung sakalir jembar

dakurut liwat sahya thathit sing kinanggit

jagad kapasren mega-mega lan mendhung mancawarna

amrih sabda-Mu kuwawa dakcekethem

temah dadi mitra mulur-mungkreting napas

Pangeran kang jejeg,

ngukuli sakalir kang jejeg

ngrantam wektu dakcandhi kedal panembah

ngudi pepajar marang ngendi sumempen nur

tumuli jangkah saben jangkah gancar

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

Terjemahan:

„Pangeran Yang Luas melingkupi semua yang luas‟

„kuturut lewat indahnya kilat yang tercipta‟

„jagad dipenuhi awan-awan dan mendung anekawarna‟

„supaya sabda-Mu sanggup kugenggam‟

„agar menjadi teman panjang pendeknya nafas‟

„Pangeran yang tegak‟

„melampaui semua yang tegak‟

„merancang waktu aku bangun kekuatan menyembah‟

„mencari pengertian dimana tersimpan cahaya‟

„agar setiap langkah selalu benar‟

Rima bait pada geguritan ini dibentuk oleh kata jembar, mancawarna,

napas, panembah, gancar. Kelima kata tersebut terletak diakhir kalimat, sehingga

penjandi penentu pengucapan akhirkalimat yang selaras dengan satu dan yang

lain. Kelimanya memiliki persamaan vokal a.

n) Geguritan Mateg Kemat

ngelur dawa: nyimpen mantra aji-aji

ingsun wateg memilah roh lan wadhag

wadhag: isi kasekten yektine titah

roh: isi getering kemudhining urip

---- sujudku-ngadegku-laku lan lumayuku

nguber wewadi

nguber sing sinlempit kakempit

swasana

---- saeba urip wuns kepasang pajar

nala inguk-inguk jatining wangsit

marg mateg kemat = miwir-miwir werdi

Urip………… panguripan

sarta warahing GUSTI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

Terjemahan:

„mengukur panjang: menyimpan mantra aji-aji‟

„aku berniat memilih roh dan raga‟

„raga: berisi kesaktian sejati manusia‟

„roh : berisi getaran pengendali hidup‟

„---sujudku-pendirianku-langkahku-lariku‟

„mengejar rahasia‟

„mengejar yang terselip‟

„suasana‟

„betapa hidup sudah terpasang cahaya‟

„hati melihat-lihat kebenaran pesan rahasia‟

„karena membaca mantra itu menguasai banyak arti‟

„hidup…… penghidupan‟

„dan ajaran Gusti‟

Rima dalam geguritan di atas dibentuk oleh kata yang memiliki persamaan

bunyi i. Persamaan bunyi tersebut dapat dilihat pada kata aji-aji, titah, urip,

kakempit, wewadi, wangsit, werdi, GUSTI.

o) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

wangue wengi iki sasmita wingit tumeka

nlasak ing sela-selaning gegodhongan lan

gremeting walang-walang ataga, iki apa

omah iki pancen kawangun saka rembesing jangka

kasangka ati suci lan kawengku ilining pepuji

mbokmanawa mancik titimangsa kesampiran gatra

kasasmitan saka walikining langit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

barengi ati sumarah salumahe sajadah

omah iki kakuwung kekuwatan lair lan batin

sulaking sasmita wus tumurun ing pesthi titiwanci

nuli dakchandak mawa adeging karilane jiwa.

Terjemahan:

„sepertinya malam ini isyarat rahasia datang‟

„menelusup disela-sela dedaunan dan‟

„rayapan belalang-belalang, ini apa‟

„rumah ini memang terbangun dari tetesan waktu‟

„dari hati suci dan dikitari doa yang mengalir‟

„siapa tahu sampai pada waktunya nanti ada hasil‟

„terisyarat dari balik langit‟

„bersama hati pasrah digelar sajadah‟

„rumah ini dikuasai kekuatan lahir dan batin‟

„lalu kupegang dengan adanya bekal jiwa yang ikhlas‟

„warna isyarat sudah tiba dikepastian waktu‟

Rima baris pada geguritan di atas dapat lihat pada kata tumeka, lan, apa,

jangka, gatra, sajadah dan jiwa. Persejajaran bunyi terdapat pada bunyi a yang

terletak pada akhir kata. Ketujuh kata tersebut terletak di akhir baris membentuk

keselarasan dalam geguritan.

Bunyi dalam puisi adalah hal yang penting untuk menggambarkan suasana

dalam puisi. Oleh karena itu pembaca puisi harus benar-benar memperhatikan

pengucapan kata demi kata dalam puisi. Rima antar bait memiliki struktur bunyi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

yang hamper sama dengan rima bait. Banyak pengulangan kata dan bunyi akhir

yang sama dengan satu yang lainnya.

Secara keseluruhan geguritan didominasi bunyi vokal yang disandingkan

dengan konsonan : b, s, g ng, d, k, j, r, c, p, n dan t. Bila geguritan dibacakan akan

membentuk bunyi kakafoni. Bunyi kakafoni ini seringkali dipakai untuk

menciptakan suasana-suasana ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu,

suram, haru, pilu, dan sebagainya. Secara visual ragam bunyi ini banyak memakai

konsonan /b/, /p/, /m/, /k/, /h/, /p/, /t/, /s/, /r/, /ng/, /ny/.

Peran bunyi dalam geguritan Yan Tohari dapat menimbulkan suasana

yang syahdu, dalam dan begitu hening karena ingin menyatu dengan Tuhan dan

pendalaman berfikir dan bersikap tentang hakikat hidup.

b. Homolog

Homolog merupakan kesejajaran atau keseimbangan arti antara bait

dengan bait, antara baris dengan baris atau antara baris-baris dengan bait-bait.

Fungsi dari homolog untuk menimbulkan orkestrasi dan irama yang menyebabkan

liris. Homolog dalam ketujuh belas geguritan Yan Tohari hanya ditemukan pada

beberapa geguritan, antara lain:

a) Geguritan Ing Pusering Ning

bun sing niba ing gegodhongan nyandhi sesanti (Ing Pusering Ning, 1, 1)

gegambaran manengkuku marang Pamurba Jagad (1,2)

Terjemahan:

„embun yang jatuh di dedaunan menandakan doa rahasia‟

„menggambarkan tentang Pencipta Jagad raya‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

Pada larik pertama terdapat perumpamaan embun yang jatuh sebagai

sebuah tanda doa. Pemaknaan pada larik kedua, embun yang jatuh sebagai tanda

sebuah doa tersebut merupakan gambaran keebsaran Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah menciptakan alam semesta ini. Pemaknaan pada larik pertama tidak dapat

dipisahkan dari larik yang kedua karena keduanya saling berhubungan.

rikala swasana jagad wus kawekung ning (Ing Pusering Ning, 2, 1)

rasaku cinipta dadi ujuding BUDI (2, 2)

Terjemahan:

„dikala suasana alam raya sudah terkurung keheningan‟

„rasaku tercipta menjadi wujud pikiran‟

Larik pertama, si aku merasakan suasana alam yang hening, pada saat

keheningan melingkupinya si aku merasa rasa yang ada di dalam hatinya selalu

terbawa ke dalam alam berfikirnya. Kedua larik ini tidak dapat dipisahkan, karena

larik pertama menjelaskan rentan waktu dan larik kedua menjelaskan keadaan.

b) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

angin sing nggegem sasmita sakalangit teka anteng (Amasuh Jejer

Kasejaten, 1, 1)

ngirih kamenepan sejati, tan kocap wisa sing nyawatake (1, 2)

Terjemahan:

„angin yang menggenggam isyarat dari langit datang dengan tenang‟

„angin yang menggenggam isyarat dari langit datang dengan tenang‟

„memberi ketenangan sejati, tak terucap bisa (racun) yang melempar‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

Larik pertama dan kedua terdapat keterikatan yang tidak bisa diartikan

secara terpisah. Pada larik pertama, angin sebagai pembawa isyarat langit datang

dengan tenang, isyarat dari langit itulah yang memeberi ketenangan sejati kepada

si penyair.

c) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

dumandakan kasamunan njiret geter jiwa (Mburu Suwunging Jiwa, 1, 1)

ngosak-asik katentreman kang lagi tetembangan (1, 2)

Terjemahan:

„tiba-tiba kesepian menjerat jiwa‟

„mengobrak-abrik kedamaian yang sedang besenandung‟

Baris di atas mengandung homolog yang terikat. Larik pertama penyair

merasakan kesepian yang mendadak menjerat jiwanya, kesepian itu pula yang

merusak kedamaian hati yang tenagah ia rasakan.

d) Geguritan Tan Kapetung

akeh tuna dungkape (Tan Kapetung, 1, 1)

rikala jiwa during tumungkul : sumujud (1, 2)

Terjemahan:

„banyak rugi yang terungkap‟

„ketika jiwa salah dalam menunduk:bersujud‟

Banyak kerugian yang di dapat, begitu bunyi larik pertama geguritan Tan

Kapetung tersebut. Penyebab kerugian tersebut dapat diketahui dalam larik kedua

yakni ketika jiwa salah dalam beribadah. Dua larik dalam cuplikan geguritan Tan

Kapetung tersebut merupakan sebuah hubungan sebab dan akibat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

e) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

Pangeran kang jejeg, (Laku Tumuju Sih-Mu, 2, 1)

ngukuli sakalir kang jejeg (2, 2)

„Pangeran yang tegak‟

„melampaui semua yang tegak‟

Homolog dalam bait ini terlihat sebagai bentuk penekakan. Pada larik

pertama penyair menyatakan Tuhan yang memiliki sifat tegak ditegaskan kembali

pada bait kedua bahwa Tuhan tidak hanya bersifat tegak, tetapi juga dzat yang

paling tegak diantara yang tegak.

f) Geguritan Mateg Kemat

ingsun wateg memilah roh lan wadhag (Mateg Kemat, 1, 2)

wadhag: isi kasekten yektine titah (1, 3)

roh: isi getering kemudhining urip (1, 4)

Terjemahan:

„aku berniat memilih roh dan raga‟

„raga: berisi kesaktian sejati manusia‟

„roh : berisi getaran pengendali hidup‟

Larik pertama si aku berniat memilih roh dan raga. Pada larik kedua

dijelaskan raga yang dimaksud adalah raga yang berisi kesaktian sejati manusia da

larik ketiga dijelaskan kembali roh yang di inginkan si aku adalah roh yang berisi

getaran pengendali hidup.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

Secara keseluruhan, homolog pada geguritan Yan Tohari berupa

pemenggalan dari baris sati ke baris yang lain. Pemenggalan ini merupakan

bentuk kalimat yang belum selesai dan diselesaikan pada baris setelahnya.

Pemenggalan bertujuan untuk memberi penekanan atau untuk membentuk

keselarasan makna yang liris dalam geguritan.

d. Enjambemen

Kata-kata yang terdapat pada akhir larik sajak yang memperoleh tekanan

semantik yang lebih kuat disebut enjambemen. Dalam geguritan Yan Tohari tidak

semua geguritan mengandung unsur enjambemen. Hal ini dikarenakan

enjambemen bersifat disengaja oleh penyair sebagai salah satu cara memperindah

sebuah geguritan. Enjambemen dalam geguritan Yan Tohari terdapat dalam

beberapa geguritan, yaitu:

a) Dalam geguritan Ing Pusering Ning

jati mulyaning jati sing (Ing Pusering Ning, 2, 4)

ginarba ing puser wening (2, 5)

Terjemahan:

„kesejatian yang benar-benar‟

„dikandung pada keheningan malam‟

Kata sing yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai kata ‟yang‟

dipenggal di akhir larik. Pemenggalan kata sing dalam geguritan ini menggaris

bawahi makna yang dikandung. Penggarisbawahan kata dikandung memberi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

penekanan makna, betapa dalam kesejatian yang dikandung dalam keheningan

malam.

Selain itu, pemenggalan ini juga untuk membentuk rima akhir yang sama,

yaitu antara kata sing dan wening. Kedua alasana pemenggalan ini saling

mendukung, selain penekanan arti berlaku juga memebentuk estetis bunyi

geguritan.

mendah cekak cupeting ancas titah kang during (Ing Pusering Ning, 3, 3)

wanuh, paran papan cumondhoking teges panembah (3, 4)

Terjemahan:

„betapa remeh tujuan manusia yang belum‟

„paham, akan arti pengabdian terhadap Tuhan „

Seperti halnya dengan bait sebelumnya, kata during yang berarti belum

dipenggal untuk memberi penekanan makna kepada kata wanuh yang berarti

paham. Terdapat kesan penyadaran, betapa manusia memiliki ketidakpahaman.

Namun, pada bait ini penyair tidak memenggal kata during untuk membentuk

keselarasan rima akhir seperti bait sebelumnya.

b) Dalam Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

ngirih kamenepan sejati, tan kocap wisa sing nyawatake (Amasuh Jejer

Kasejate, 1, 2)

durgama, lan ing kene ati kijenan nganam lecuning jiwa (1, 3)

Terjemahan:

„memberi ketenangan sejati, tak terucap bisa (racun) yang melempar‟

„kesulitan, dan di sini hati kesepian merangkai lusuhnya jiwa‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

Pemenggalan antara kata nyawatake dan durgama durgama yang dalam,

dapat diartikan bahwa seolah-olah penyair ingin menunjukkan tingkat kesulitan

yang tinggi. Pemenggalan ini berfungsi untuk memberi tekanan pada kata

durgama.

c) Dalam geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

daksandhak sesanggeman kang ginarit, ana (Nyuluh Wewerdine Wengi,

1, 2)

wewayanganing tlusure raga (XI, 1, 3)

Terjemahan:

„memberi ketenangan sejati, tak terucap bisa (racun) yang melempar‟

„kesulitan, dan di sini hati kesepian merangkai lusuhnya jiwa‟

Pemenggalan antara kata ana „ada‟ dan wewayanging „bayangan‟

menggarisbawahi makna bayangan. Pemenggalan ini berfungsi sebagai bentuk

penekanan agar makna bayangan mendapat pemaknaan yang lebih dalam.

Secara keseluruhan, enjambemen dalam geguritan Yan Tohari memutus

kata yang belum selesai dan melanjutkan di baris selanjutnya. Enjabemen ini

dapat dilihat pada geguritan Ing Pusering Ning baris:

jati mulyaning jati sing (Ing Pusering Ning, 2, 4)

ginarba ing puser wening (2, 5)

Terjemahan:

„kesejatian yang benar-benar‟

„dikandung pada keheningan malam‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

Kata sing yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai kata ‟yang‟

dipenggal di akhir larik. Pemenggalan kata sing dalam geguritan ini menggaris

bawahi makna yang dikandung. Penggarisbawahan kata dikandung memberi

penekanan makna, betapa dalam kesejatian yang dikandung dalam keheningan

malam.

e. Tipografi

Tipografi merupakan pembeda yang penting anara puisi dan prosa.

Tipografi atau tata huruf dipergunakan untuk menciptakan makna, biasanya

makna ikonik atau indeksis. Tipografi dalam geguritan Yan Tohari dapat dilihat

dalam analisa sebagai berikut:

a) Judul

Dalam ketujuh belas geguritan karya Yan Tohari, judul sebagai kata yang

mewakili pemaknaan puisi cara penulisanya beragam. Geguritan ing Pusering

Ning pernah dimuat dua kali di Panyebar Semangat no. 51 tangal 21 Desember

1996 dan antologi Pisungsung. Dalam pemuatan kali pertama dan kali keduapun

cara penulisan judul berbeda, cetakan Panyebar Semangat judul ditulis dengan

huruf capital dan dicetak tebal. Sedangkan dalam cetakan antologi Pisungsung,

judul ditulis dengan huruf besar pada awal kata dan huruf kecil dibelakangnya.

Sing Kesit Pindha Thatit pernah dimuat dua kali, yang pertama di antologi

Pisungsung dan Panyebar Semangat edisi 15 Oktober 1994. Terbitan Panyebar

Semangat judul ditulis dengan huruf kapital dan di cetak tebal. Pada terbitan

antologi Pisungsung judul diketik dengan huruf besar pada awal kata dan huruf

kecil dibelakangnya. Ukuran font yang dipakai 14 pt dan dicetak tebal.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

Kembang-Kembang dua kali dimuat di media berbeda dengan cara

penulisan yang berbeda pula. Pertama kali dimuat di majalah Jaya Baya no. 23, 6

Februari 1994 judul ditulis dengan huruf capital tanpa dicetak tebal. Pada terbitan

antologi Pisungsung, judul geguritan ditulis dengan dengan huruf besar pada awal

kata dan huruf kecil dibelakangnya. Sama seperti ketiga geguritan sebelumnya,

font yang dipakai 14 pt dan dicetak tebal.

Muksa juga diterbitkan dua kali. Kali pertama terbit di Panjebar Semangat

No. 4, 28 Januari 1995 kemudian diterbitkan kembali di antologi Pisungsung.

Penulisan judul pada Panjebar Semangat No. 4, ditulis dengan huruf capital dan

antara huruf yang satu dengan huruf yang lain disela dengan satu spasi. Versi

antologi Pisungsung, judul diketik dengan font 14 pt dengan huruf besar pada

awal kata dan huruf kecil setelahnya.

Manjing Jagad Sunyaruri diterbitkan dalam antologi geguritan Pesta

Emas Sastra Jawa yang terbit tahun 1995. Penulisan judul dalam terbitan tersebut

menggunakan huruf capital dengan font 12 pt times new roman.

Ana Cahya pernah diterbitkan majalah Jaya Baya, No. 23 Januari 1994.

Pada terbitan tersebut penulisan judul menggunakan huruf capital dengan 12 pt

dan dicetak miring menyesuaikan keseluruhan geguritan. Pada geguritan ketujuh

berjudul Cathetan Wengkoning Pandulu pernah dimuat di Mekar Sari pada

tanggal 15 Juli 1994. Penulisan judul menggunakan huruf capital dan dicetak

tebal.

Geguritan kedepalan berjudul Amasuh Jejer Kasejaten pernah dimuat di

Panjebar Semangat pada tahun 2000. Penulisan judul menggunakan huruf capital

dan dicetak tebal. Sedangkan geguritan Kendhi Pertala yang terbit di majalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

Djaka Lodang no. 27 tahun 1995 ditulis dengan huruf besar pada huruf pertama

dan setelahnya menggunakan huruf kecil.

Geguritan Mburu Suwunging Jiwa dan Nyuluh Wewerdine Wengi pernah

terbit di majalah Mekarsari edisi 11 Maret 1994. Penulisan judul menggunakan

huruf capital pada huruf pertama pada kata dan selanjutnya menggunakan huruf

kecil. Pada terbitan tersebut terdapat salah pengetikan, kata Jiwa dituliskan

dengan kata Jiawa.

Geguritan Tan Kapetung, Ing Salembar, Laku Tumuju Sih-mu, Mateg

Kemat, Miyak Isining Kitir dan Dakcandak Lakune Sasmita menggunakan gaya

penulisan yang sama. Penulisan judul menggunakan hurf capital dan dicetak tebal.

Dari cara kepenulisan judul geguitan yang berubah-ubah tersebut dapat

disimpulkan bahwa cara penulisan judul tidaklah memperngaruhi perubahan

pemaknaan pada geguritan. Penulisan judul bergantung kepada redaktur yang

mengedit geguritan agar style geguritan sama dengan style penerbitan/media

tersebut.

Secara keseluruhan, penulisan judul dalam geguritan Yan Tohari tidak

selalu sama disetiap media. Penulisan judul tergantung pada redaktur yang

mengelola penerbitan. Dari bentuk penulisan ini dapat disimpulkan cara penulisan

judul, baik dengan huruf capital maupun huruf kecil tidak mempengaruhi

pemaknaan geguritan.

b) Pembaitan

Pembaitan dalam ketujuh geguritan karya Yan Tohari tidak menggunakan

metrum yang patronis. Hampir setiap geguritan Yan Tohari menggunakan

pembaitan yang sesuai dengan kebutuhan penulisan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

Pada geguritan Ing Pusering Ning, Sing Kesit Pindha Thatit, Ana Cahya,

Cathetan Wengkoning Pandulu, Kendhi Pertala, Tan Kapetung dan Dakcandhak

Lakune Sasmita dan Mateg Kemat terdiri dari tiga bait. Penggunaan tiga bait

dalam satu geguritan ini tidak menggunakan patokan tertentu, misalnya pantun

yang harus satu bait berisi empat baris.

Pada geguritan Muksa, Mburu Suwunging Jiwa, Nyuluh Wewerdine

Wengi, Ing Salembar Iki, Amasuh Jejer Kasejaten, Laku Tumuju Sih-Mu terdapat

2 bait. Bait pertama dan kedua membicarakan tema yang sama dan keduanya

memiliki keterikatan untuk membentuk satu pemaknaan penuh atas geguritan.

Untuk menuju bait kedua dari bait pertama selalu ada jembatan yang membuat

topic selalu berkaitan. Pada geguritan Kembang-Kembang, Manjing Jagad

Sunyaruri dan Miyak Isining Kitir hanya terdapat 1 bait saja. Dalam geguritan

tersebut, satu bait sudah cukup untuk mewakili seluruh ungkapan jiwa penyair.

Dari pembahasan di atas ditemukan keberagaman memiliki pembaitan

yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa karya Yan Tohari merupakan karya

yangd apat disebut sebagai geguritan, berbeda dengan prosa. Pembaitan yang

berbeda ini dapat pula diartikan kebebasan penyair dalam menuliskannya. Penyair

tidak terpatron aturan penulisan seperti pantun.

c) Jumlah Baris

Baris dalam setiap bait geguritan juga tidak patronis, jumlah baris dalam

geguritan bermacam-macam. Pada geguritan Ing Pusering Ning jumlah baris

pada bait pertama terdapat 4 baris, bait kedua 7 baris dan bait ketiga 9 baris.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit jumlah baris pada bait pertama

terdapat 6 baris, bait kedua 4 baris dan bait terakhir 5 baris. Geguritan Kembang-

kembang yang hanya memiliki satu bait terdapat 14 baris dalam baitnya.

Geguritan Muksa dalam kedua baitnya terdapat masing-masing 4 baris. Dalam

Manjing Jagad Sunyaruri yang juga hanya memiliki satu bait memiliki 7 baris.

Pada geguritan Ana Cahya pada ketiga baitnya masing-masing memiliki 4

baris. Geguritan Cathetan Wengkoning Pandulu pada bait pertama memiliki 4

baris, bait kedua 7 baris dan bait terakhir 5 baris. Amasuh Jejer Kasejaten

memiliki 5 baris pada bait pertama dan 6 baris pada bait kedua. Geguritan Kendhi

Pertala memiliki 4 baris pada bait pertama dan kedua, bait ketiga terdapat 5 baris.

Pada geguritan Mburu Suwunging Jiwa, kedua baitnya terdapat 4 baris. Geguritan

Nyuluh Wewerdine Wengi pada bait pertama terdapat 4 baris sedangkan bait

berikutnya terdapat 5 baris.

Tan Kapetung merupakan geguritan yang cukup singkat, bait pertama dan

kudua hanya terdapat 2 baris, sedangkan bait ketiga terdapat 3 baris. Geguritan

Ing Salembar Iki pada bait pertama terdapat 6 baris, sedangkan bait kedua terdapat

7 baris. Pada geguritan Laku Tumuju Sih-Mu, kedua baitnya masing-masing

memiliki 5 baris. Geguritan Mateg Kemat memiliki 4 baris pada bait pertama dan

kedua, sedangkan pada bait ketiga memiliki 5 baris. Geguritan Miyak Isining Kitir

yang hanay memiliki satu bait terdapat 5 baris. Geguritan Dakcandhak Lakune

Sasmita pada bait pertama terdapat 3 baris, bait kedua dan ketiga empat baris.

Dapat disimpulkan, jumlah baris yang ada dalam geguritan ini merupakan

skematis geguritan. secara linguistik tidak memiliki makna, namun jumlah baris

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

ini dapat menimbulkan keindahan visual. Banyak geguritan atau puisi yang

menampilkan keindahan visual dengan memainkan baris-baris puisi/geguritan.

Dalam karya Yan Tohari ini, keindahan visual dapat ditangkap dengan melihat

baris-baris yang membentuk puisi.

d) Pemakaian Huruf

Pemakaian huruf pada ketujuh belas geguritan Yan Tohari mayoritas

menggunakan huruf kecil. Pemakaian huruf kecil terdapat pada awal baris dalam

geguritan. Penulisan sebuah geguritan terkadang bebas, tidak perlu

memperhatikan huruf kapital atau tidak. Dalam geguritan Yan Tohari, pemakaian

huruf kapital terkadang nampak dalam judul dan penyebutan kata Tuhan.

Pemakaian huruf kapital untuk kata Tuhan ini dapat diartikan bahwa penyair

sangat mengagungkan dan menghormati Tuhannya.

Geguritan Ing Pusering Ning terdapat pengecualian, kata budi ditulis

dengan huruf kapital. Penulisan kata budi diakhir kalimat dengan huruf kapital ini

dapat dimaknai sebagai penekanan makna terhadap kata budi itu sendiri.

Dari cara penulisan di atas dapat disimpulkan bahwa penulisan bersifat

bebas. Kebebasan penulisan ini membedakan karya Yan Tohari dengan prosa.

Cara penulisan ini dalam geguritan dapat memperindah visualisasi geguritan.

Pemakaian huruf yang tidak terlalu patronis membuat geguritan lebih mudah

dibaca sebagai geguritan.

e) Pemakaian Tanda Baca

Pemakaian tanda baca masih diperhatikan Yan Tohari. Meski penyair

tidak menggunakan titik (.) pada tiap akhir kalimat, dalam beberapa geguritan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

masih dapat ditemukan tanda baca koma (,), seru (!), titik dua (:) dan tanda

penghubung (-). Tanda baca yang dipakai Yan Tohari dapat dilihat sebagai

berikut:

a) Geguritan Ing Pusering Ning

: e yekti urip saderma nulisi tapaking janji (Ing Pusering Ning, 1, 4)

Terjemahan:

: e sebenarnya hidup hanya sekedar menulis jejak-jejak janji

Pada baris di atas terdapat tanda baca (:) pada awal baris.

kang kaluwih: (Ing Pusering Ning, 2, 6)

Ning! (Ing Pusering Ning, 2, 7)

Terjemahan:

„yang lebih:‟

„hening!

Terdapat tanda baca (:) setelah kata kaluwih dan tanda (!) setelah kata

ning. Tanda baca (:) setelah kata kaluwih dapat dimaknai untuk menggantikan

kata „bahwa‟ yang berfungsi memberi penekanan pada kata berikutnya, yaitu kata

ning. Tanda (!) juga memberikan penekanan pada kata ning, betapa ning yang

dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi keheningan sangatlah penting.

Pentingnya keheningan ini juga dapat ditangkap dari dua tanda baca, bahwa

penekanan menggunakan tanda baca diulangi sampai dua kali.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

o, kapan pangranggehku natab sucining werdi (Sing Kesit Pindha Thatit,

2, 3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

Terjemahan:

„o, kapan doaku bertemu dengan arti yang suci‟

Pada baris di atas terdapat tanda (,) setelah vocal o. tanda baca ini dapat

dimakai sebagai jeda antara bunyi o dengan kalimat sesudahnya. Tanda koma ini

juga berfungsi untuk memperpanjang nafas ketika mengucapkan bunyi o.

tetes bun ngore-ore pabarating batin (Sing Kesit Pindha Thatit, 3, 2)

Terjemahan:

„tetes embun mengurai kebatinan‟

Pada baris di atas tedapat tanda sambung (-) pada kalimat ngore-ore.

Tanda ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang

berulang.

nguber papas-Mu kang sru sesilihan (Sing Kesit Pindha Thatit, 3, 4)

Terjemahan:

„mengejar kekuasaan-Mu yang terus berlarian kesana kemari‟

Baris di atas juga terdapat tanda sambung (-) untuk menyambung kata

papas dan Mu yang ditujukan untuk kata Tuhan. Kata sambung ini dapat

dimaknai untuk menghormati Tuhan yang dalam penulisan namanya tidak boleh

sembarangan.

c) Geguritan Kembang-kembang

lintang-lintang sujud (Kembang-kembang, 1, 5)

Terjemahan:

„bintang-bintang bersujud‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

Pada baris di atas tedapat tanda sambung (-) pada kalimat lintang-lintang.

Tanda ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang

berulang.

dina iki ati ngaru-ara ngua kapang-kapang kembang (Kembang-kembang,

1, 8)

Terjemahan:

„hari ini hati rindu akan bayang-bayang kembang‟

Baris di atas tedapat tanda sambung (-) pada kalimat ngaru-ara. Tanda ini

biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang berulang.

kojah marang titah-titahMu (Kembang-kembang, 1, 12)

Terjemahan:

„berbicara pada umatMu‟

Baris di atas tedapat tanda sambung (-) pada kalimat titah-titahMu. Tanda

ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang berulang.

linumpukan kembang-kembang suci (Kembang-kembang, 1, 13)

Terjemahan:

„terkumpul bunga-bunga suci‟

Tanda sambung (-) terdapat pada baris di atas yang melekat pada frase

kembang-kembang. Tanda ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi

kalimat yang berulang.

d) Geguritan Muksa

o, kita tansah ginubet padudon-padudon winit (Muksa, 1, 4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

121

Terjemahan:

„o, kita selalu terjerat pertengkaran-pertengkaran meruncing‟

Terdapat tanda (,) setelah vokal o. Tanda baca ini dapat dimakai sebagai

jeda antara bunyi o dengan kalimat sesudahnya. Tanda koma ini juga berfungsi

untuk memperpanjang nafas ketika mengucapkan bunyi o. selain itu, terdapat

tanda sambung (-) pada kalimat kembang-kembang. Tanda ini biasa dipakai untuk

memberikan sambungan bagi kalimat yang berulang.

e) Geguritan Chatetan Wengkoning Pandulu

kaweningan, (Chatetan Wengkoning Pandulu, 2, 5)

eling, (2, 6)

Terjemahan:

„keheningan‟

„ingat‟

Baris di atas terdapat tanda baca (,) pada akhir kata kaweningan dan eling.

Pemakaian tanda baca (,) tersebut dapat dimaknai sebagi bentuk penekanan betapa

pentingnya makna dari kedua kata tersebut. Hal ini dapat disimpulkan demikian

karena koma memberikan jeda yang agak panjang dari pembacaan biasanya.

kepara suwe ati jumerit ; kanggo ngundang sliramu (Chatetan

Wengkoning Pandulu, 3, 1)

Terjemahan:

„telah lama hati menjerit ; untuk mengundang dirimu‟

Tanda baca (;) setelah kata kepara suwe ati jumerit. Pemakaian tanda baca

inidapat menggantikan kata „bahwa‟. Selain itu pemakaian tanda baca ini brfungsi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

122

sebagai penekanan. Penyair ingin menyampaikan bahwa betapa hatinya menjerit

begitu keras untuk mengundang keindahan.

wusana ati-jiwa-jangka (Chatetan Wengkoning Pandulu, 3, 4)

Terjemahan:

„akhirnya hati-jiwa-tujuan‟

Pemakaian tanda baca (-) pada kata ati-jiwa-jangka berbeda dengan tanda

baca sebelumnya. Jika sebelumnya pemakaian tanda baca (-) untuk kata berulang,

pada kalimat di atas tanda baca untuk menunjukkan proses. Pencapaian yang bisa

digapai penyair bermula dari hati kemudian jiwa, dengan demikian ia dapat

menggapai tujuan yang ia harapkan.

f) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

ngirih kamenepan sejati, tan kocap wisa sing nyawatake (Amasuh Jejer

Kasejaten, 1, 2

Terjemahan:

„memberi ketenangan sejati, tak terucap bisa (racun) yang melempar‟

Terdapat pemakaian tanda baca (,) setelah kata sejati. Tanda baca tersebut

berfungsi sebagai jeda dalam sebuah kalimat.

g) Geguritan Kendhi Pertala

pepeg mring sela-selaning peplayon napas (Kendhi Pertala, 1, 1)

Terjemahan:

„hadir di sela-sela nafas yang berlarian‟

Pemakaian tanda sambung (-) terdapat pada kalimat sela-selaning. Tanda

ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang berulang.

kendhi pertala, e kendhi pertala (Kendhi Pertala, 2, 1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

123

Terjemahan:

„kendhi pertala, e kendhi pertala‟

Pemakaian tanda baca (,) terdapat setelah kata sejati. Tanda baca tersebut

berfungsi sebagai jeda dalam sebuah kalimat. Pemakaian tanda ini juga berfungsi

untuk meperpanjang nafas dalam pembacaannya. Pada bagian tersebut, pembaca

boleh menghela nafas.

among panuruhmu, (Kendhi Pertala, 2, 1)

Terjemahan:

„hanya tetesanmu‟

Tanda baca koma (,) nampak pada akhir kata among panuruhmu.

Pemakaian tanda baca koma (,) tersebut dapat dimaknai sebagi bentuk penekanan

betapa pentingnya makna dari kata tersebut. Hal ini dapat disimpulkan demikian

karena koma memberikan jeda yang agak panjang dari pembacaan biasanya.

h) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

ngosak-asik katentreman kang lagi tetembangan (Mburu Suwunging Jiwa,

1, 2)

Terjemahan:

„mengobrak-abrik kedamaian yang sedang besenandung‟

Tanda sambung (-) pada kalimat ngosak-asik menjadi penandaan dalam

baris di atas. Tanda ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat

yang berulang.

i) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

ana larap-laraping tembung (Nyuluh Wewerdine Wengi, 2, 1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

124

Terjemahan:

„ada kata sayup-sayup‟

Baris di atas tedapat tanda sambung (-) pada kalimat larap-laraping.

Tanda ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang

berulang.

kanthi sangu agunging-firman-Mu (Nyuluh Wewerdine Wengi, 2, 4)

Terjemahan:

dengan bekal besarnya firman-Mu‟

pemakaian tanda sambung (-) juga nampak pada baris di atas untuk

menyambung kata agunging, firman dan Mu yang ditujukan untuk kata Tuhan.

Kata sambung ini dapat dimaknai untuk menghormati Tuhan yang dalam

penulisan namanya tidak bisa sembarangan. Selain itu, tanda baca (-) juga dapat

dimaknai untuk memberikan penekanan pada kata agunging.

j) Geguritan Tan Kapetung

rikala jiwa during tumungkul : sumujud (Tan Kapetung, 1, 2)

Terjemahan:

„ketika jiwa salah dalam menunduk:bersujud‟

Tanda baca (:) terdapat pada baris di atas antara kata tumungkul dan

sumujud. Tanda baca ini dapat dimaknai untuk menyatakan kata lain dari

menunduk, yaitu bersujud.

kang mrambul kabeh frman-firman-Mu (Tan Kapetung, 3, 3)

„yang melayarkan semua firman-firman-Mu‟

Pemakaian tanda baca pada baris di atas juga terdapat pada tanda sambung

(-) untuk menyambung kata firman dan Mu yang ditujukan untuk kata Tuhan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

125

Kata sambung ini dapat dimaknai untuk menghormati Tuhan yang dalam

penulisan namanya tidak bisa sembarangan.

k) Geguritan Ing Salembar Iki

ing salembar iki, donga pinuji (Ing Salembar Iki, 1, 1)

Terjemahan:

„di selembar ini, doa dihaturkan‟

Terdapat tanda baca (,) setelah kata sejati. Tanda baca tersebut berfungsi

sebagai jeda dalam sebuah kalimat.

l) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

amrih sabda-Mu kuwawa dakcekethem (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 4)

Terjemahan:

supaya sabda-Mu sanggup kugenggam‟

Tanda sambung (-) untuk menyambung kata sabda dan Mu pada baris di

atas ditujukan untuk kata Tuhan. Kata sambung ini dapat dimaknai untuk

menghormati Tuhan yang dalam penulisan namanya tidak bisa sembarangan.

temah dadi mitra mulur-mungkreting napas (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 5)

Terjemahan:

„agar menjadi teman panjang pendeknya nafas‟

Tanda sambung (-) dapat dilihat pada kalimat mulur-mungkreting. Tanda

ini biasa dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang berulang.

ngelur dawa: nyimpen mantra aji-aji (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 1)

Terjemahan:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

126

„mengukur panjang: menyimpan mantra aji-aji‟

Tanda baca (:) diantara kata ngelur dawa dan nyimpen mantra aji-aji.

Tanda baca ini dapat menggantikan kata yaitu.

wadhag: isi kasekten yektine titah (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 3)

Terjemahan:

„raga: berisi kesaktian sejati manusia‟

Ditemukan tanda baca (:) diantara kata wadhag dan isi kasekten yektine

titah. Tanda baca ini dapat menggantikan kata yaitu.

roh: isi getering kemudhining urip (Laku Tumuju Sih-Mu, 1, 4)

Terjemahan:

„roh : berisi getaran pengendali hidup‟

Ada tanda baca (:) diantara kata roh dan isi getering kemudhining urip.

Tanda baca ini dapat menggantikan kata yaitu.

----sujudku-ngadegku-laku lan lumayuku (Laku Tumuju Sih-Mu, 2, 1)

Terjemahan:

„---sujudku-pendirianku-langkahku-lariku‟

Pemakaian tanda baca (-) pada kata sujudku-ngadegku-laku berbeda

dengan tanda baca lainnya. Jika sebelumnya pemakaian tanda baca (-) untuk kata

berulang, pada kalimat di atas tanda baca untuk menunjukkan akumulasi. Sujud

dalam hal ini disandingkan dengan pendirian, langkah bahkan larinya. Dalam hal

apapun ia selalu bersujud.

---- saeba urip wus kepasang pajar (Laku Tumuju Sih-Mu, 3, 1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

127

Terjemahan:

„betapa hidup sudah terpasang cahaya‟

Penggunaan tanda baca (-) pada baris di atas tidak memiliki makna yang

penting. Tanda baca hanya dipakai untuk memperindah tataran visual geguritan.

marga mateg kemat = miwir-miwir werdi (Laku Tumuju Sih-Mu, 3, 3)

Terjemahan:

„karena membaca mantra = menguasai banyak arti‟

Terdapat pemakaian tanda (=). Tanda (=) dapat dimaknai sebagai

pengganti kata itu. Dengan mengganti tanda (=) enjadi itu makan kalimat akan

menjadi „karena membaca mantra itu menguasai banyak arti‟

Urip………… panguripan (Laku Tumuju Sih-Mu, 3, 4)

Terjemahan:

„hidup…… penghidupan‟

Baris di atas terdapat pemakaian (.) yang panjang. Hal ini dapat dimaknai

sebagi bentuk proses yang amat panjang dari hidup itu untuk terus

mempertahankan kehidupan itu sendiri.

m) Geguritan Mateg Kemat

o.. kamangka sangu during kawadhah ing kalbu. (Mateg Kemat, 1, 5)

Terjemahan:

„o.. padahal bekal belum sempat tertampung dihati‟

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

128

Terdapat pemakaian tanda (.) setelah vokal o. Tanda baca ini dapat

dimakai sebagai jeda antara bunyi o dengan kalimat sesudahnya. Tanda titik ini

juga berfungsi untuk memperpanjang nafas ketika mengucapkan bunyi o.

n) Geguritan Miyak Isining Kitir

nlasak ing sela-selaning gegodhongan lan (Miyak Isining Kitir, 1, 2)

Terjemahan:

„menelusup disela-sela dedaunan dan‟

Ditemukan tanda sambung (-) pada kalimat sela-selaning. Tanda ini biasa

dipakai untuk memberikan sambungan bagi kalimat yang berulang.

gremeting walang-walang ataga, iki apa (Miyak Isining Kitir, 1, 3)

Terjemahan:

„rayapan belalang-belalang, ini apa‟

Ada tanda sambung (-) pada kalimat walang-walang. Meskipun kata

walang-walang bukan bentuk perulangan, tetapi sebuah nama penggunaan (-) ini

tetap dikatakan menggunakan kaidah kebahasaan.

Dari pembahasan tanda baca di atasyang terdapat dalam geguritan Yan

Tohari dapat disimpulkan bahwa meskipun tata cara penulisan geguritan tidak

mengikuti kaidah penulisan yang baku, namun tetap mempertahankan tanda baca.

Penggunaan tanda baca ini untuk mempertahankan kenyamanan dalam

pembacaan. Kenyamanan ini nampak pada beberapa kalimat pengulanan yang

tetap menggunakan tanda baca (-). Bila tanda baca ini dihilangkan, maka

visualisasi dan pembacaan geguritan tidak lagi indah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

129

Selain itu, beberapa tanda baca digunakan untuk memberikan penekanan

pada beberapa kata yang dianggap penting. Penekakan ini dapat dilihat pada kata

Ning! Di geguritan Ing Pusering Ning. Tanda (!) setelah kata ning seolah ingin

memberikan penekanan, betapa pentingnya kata ning sehingga penyair ingin kata

tersebut benar-benar diperhatikan.

4. Pembacaan Semiotik

Untuk konkretisaisi makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan

heuritik dan retroaktif atau hermeneutik. Pada mulanya sajak dibaca secara

heuristik, kemudian dibaca ulang (retroaktif) secara hermeneutik .

a. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap ketujuh belas geguritan

Yan Tohari sebagai berikut:

a) Geguritan Ing Pusering Ning

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Embun yang jatuh di dedauan menandakan doa (yang) rahasia,

menggambarkan tentang Pencipta Jagad raya. (Doa yang rahasia itu) menyatukan

tentang keindahan dan rahaisa sebuah tindakan. “e, sebenarnya hidup hanya

sekedar menulis jejak-jejak janji”, ini bukan logika bahasa yang biasa, ini

merupakan deotomatisasi atau defamiliarisasi. Oleh karena itu, dapat

dinaturalisasikan mejadi: sebenarnya kehidupan ini hanya menjalani takdir yang

telah ditentukan Tuhan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

130

Bait Kedua

“Ketika suasana jagad sudah terkurung keheningan” bukan kalimat yang

natural karena terdapat metafora yang menunjukkan kegelapan, maka

dinaturalisasi menjadi: ketika suasana sudah menjadi malam. Rasa(dalam hati)ku

tercipta menjadi wujud (pe)mikiran, (setelah itu) maka aku menyatu pada (dalam)

keheningan malam. (Menyatu kedalam) kesejatian yang benar-benar dikandung

pada (dalam) keheningan malam yang lebih hening.

Bait Ketiga

Di pusat ksejatian hati (terasa) bergetar, (ingin) menjerit sekeras-kerasnya.

Betapa remeh tujuan manusia yang belum paham akan arti pengabdian terhadap

Tuhan. di keheningan (dan) dipusat kesejatian, aku hanya bisa menangisi catatan

(yang pernah kuperbuat). Hati(ku) hanya yang penuh kehinaan dan segala wujud

larangan (yang kulakukan).

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Pada musim hujan, seringkali embun bertaburan di dedaunan. Embun-

embun sisa hujan pada malam harinya seolah menjadi sebuah tanda tentang doa

yang rahasia. Embun dapat diibaratkan sebagai cahaya Tuhan yang bersih dan

suci. Kesucian inilah yang seakan-akan memberikan isyarat kepada manusia,

namun seringkali manusia tidak menyadarinya, tidak heran bila penulis

menyebutnya sebagai sesuatu yang rahasia.

Pertanda yang dihadirkan embun tidak lain untuk mengisyaratkan kepada

manusia, dibalik kesucian dan kebersihan embun tersebut tentunya ada sang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

131

Pencipta. Embun, pagi dan semua yang ada di alam semesta ini tak lain untuk

menciptakan mozaik keindahan. Melalui segala penciptaan keindahan semesta,

Tuhan memberi isyarat bahwa manusa harus bisa menyeimbangkan diri dengan

perilaku-perlikau yang sesuai dengan aturan yang ada. Pada hakikatnya, manusia

hanya makhluk yang menjalani takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Bait Kedua

Ketika embun tidak lagi tersisa pada malam yang hening, si aku mulai

merenung. Perasaan yang tengah ia rasakan terus menghantui batinnya, sampai

pada perenungannya si aku benar-benar merasa hening. Usaha untuk mendalami

perasaanya sendiri menimbulkan perasaan yang tenanga dan damai karena dia

menemukan kesejatian yang hanya terdapat pada kedalaman sesuatu yang hening.

Dalam geguritan ini penulis menangkap adanya kerinduan penyair terhadap

Tuhan yang sangat dalam. Keinginan untuk menemukan ketenangan batin di sisi

Tuhan begitu kuat.

Bait Ketiga

Di pusat keheningan dalam hal ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang

maha hening, yaitu kebahagiaan di sisi Tuhan. Kebahagiaan di sisi Tuhan yang

amat luar biasa hening (Ning) ini merupakan sebuah keindahan jika kita mau terus

bersujud, bersimpuh di hadapanNya. Namun, si aku dengan segenap penyesalan

mengakui dan menangisi kesalahannya yang terlampau banyak.

Bila dimaknai secara keseluruhan, geguritan ini menyampaikan sebuah

pesan tentang pencarian Tuhan. Kodrat manusi hanyalah maenjalani apa yang

telah digariskan oleh Tuhan, maka Susah dan senang harus dijalani dengan iklas.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

132

Si aku dalam geguritan ini mengharapkan kebahagian yang hakiki, kebahagiaan di

sisi Tuhan yang amat luar biasa hening (Ning).

Manusia Jawa seringkali memanfaatkan simbol untuk memudahkan

pemahaman. Sesuatu yang dicari Yan Tohari dalam geguritan ini adalah sesuatu

yang tidak tergambarkan, salam geguritan ini diwakilkan kata keheningan.

Dengan sesuatu yang tidak tergambarkan itu, penyair ingn menyampaikan bahwa

hakikat Tuhan adalah sebuah kekosongan, suwung atau hening (ning).

Menurut Yana Mh (2010:26) kekosongan adalah sesuatu yang ada tapi tak

tergambarkan. Semua yang dicari dalam geguritan Yan Tohari tersebut adalah

keheningan „kekosongan‟. Jadi hakikat Tuhan adalah kekosongan abadi yang

padat energi, seperi areal hampa yang meliputi jagad raya, yang menyelimuti

segalanya secara immanen sekaligus transeden, tak terbayangkan namun

mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda diangkasa berjalan

sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan.

b) Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

(Aku) menggiring (membaca) pertanda (melalui) didahan muda. (Seperti)

pohon (yang) berdiri sendiri didalam sepi, ku (coba) (me)raih (sesuatu) dengan

dasar rasa yang tenang, siapa tahu masih ada kasih sayang dari Jagad raya yang

turun dipangkuan kering (ketidakmengertianku ).

Bait Kedua

Bintang-bintang (mulai meredup, seolah) bercahayakan kekalahan.

(Sinarnya seperti mewakili) tetap menjadi jeritan hati, jeritan (yang) teraniaya. O,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

133

kapan(kah) doaku bertemu dengan arti yang suci (menjadi nyata?). Apa(kah)

karena (aku) ini (hanya seorang) hamba biasa?

Bait Ketiga

(pada suatu) malam yang dipenuh rahasia, tetes embun (seolah) mengurai

isi kebatinan. Selarik kata sukma (yang ada didalam hati) kujabarkan menjadi

permohonan (keada Tuhan). (Aku terus) mengejar kekuasaan-Mu yang terus

berlarian kesana-kemari. (Aku tak bias mengikuti kekuasaan-Mu, karena

kekuasaan-Mu berlari) dan cepat bagai kilat.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Si aku sedang merenungkan simbol-simbol di alam sekitar, seperti melalui

dedaunan yang muda. Daun yang muda ia ibaratkan seperti usianya yang masih

muda. Dalam kehidupan, ia selalu sendiri. Lahir sendiri, hidup dengan satu jiwa

yang dirasa juga sendiri dan kematian akan ia jalani sendiri pula. Dalam

kesendirian itu, ia merasakan kesepian yang menusuk. Ia tetap berusaha tegar

dengan terus mencoba melakukan pendalaman hati agar selalu tenang dan terus

berharap agar Tuhan selalu memberikan limpahan rahmat-Nya. Limpahan rahmat

Tuha sangat ia harapkan mengingat ia hanyalah manusia biasa yang memiliki

keterbatasan pengetahuan dan kemampuan.

Bait Kedua

Dalam bait ini, si aku menggunakan suasana semesta untuk mewakili perasaan

batinnya. Biasanya, suasana semesta akan dituliskan sesuai dengan suasaa hati.

Bintang yang selalu bersinar terang tia-tiba terasa bersinar redup, sinar kekalahan.

Kekalahan ini seolah seperti yang dirasakan penyair. Penyair merasakan tekanan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

134

batin sehingga hatinya menjerit merasa teraniaya. Ia kadang merasa lelah karena

terus berdoa dan tidak pernah menjadi kenyataan. Si penyair menyesalkan dirinya,

berfikir doanya tidak pernah dikabulkan karena ia hanyalah hamba biasa, hamba

yang tidak patuh pada Tuhan dan tidak bias mengabdi dengan pengabdian yang

tinggi.

Bait Ketiga

Malam yang oenuh dengan rahasia erupakan malam yang membuat si penyair

untuk terus merenungkan hakikat kehidupannya. Embun seolah mengurai ejolak

batinnya. Si penyair merasa perasaannya yang gundah dapat dimanifestasikan

dalam embun yang jernih.

Dengan kesederhanaan, penyair memohon doa untuk menyampaikan

semua harapan dan hasrat dalam hatinya. Si aku berusaha mengikuti kekuasaan

Tuhan, namun usahanya Nampak sia-sia karena kekuasaan Tuhan terlampau

cepat. Bagaikan kilat.

c) Geguritan Kembang-kembang

Pembacaan Heuristik

Di tengah (keadaan) malam yang sepi, bunga-bunga-Mu (mulai) mekar,

(menimbulkan aroma) harum (dan) wangi. (Bunga-bunga-Mu seakan) penuh

kehendak (untuk) mengabarkan semangat bergejolaknya langkah. (Untuk

menyambut kabar gembira itu), bulan bersujud, bintang-bintang bersujud, , cahaya

dari segala cahaya bersujud. Kilat(pun ikut) mencinpatak aroma gaib yang

menyebar. Hari ini hati ini (menjadi) rindu pada bayang-bayang kembang (yang

melambangkan keindahan). Cahaya-Mu menyebar (seolah sedang) menurunkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

135

berkah (untuk) menyingkirkan semua derita dan nestapa. Bunga-bunga (yang)

beraneka ragam (itu) membalut mantra (untuk) berbicara pada umatmu. (Maka)

terkumpul(lah) bunga-bunga suci membentuk hati yang sejuk.

Pembacaan Hermeneutik

Di tengah malam yang gelap dan sepi, si penyair sedang menyaksikan

bunga yang mulai bermekarand an menimbulkan aroma yang wangi. Penyair

menyadari betul bunga itu merupakan milik Tuhan dan menganggapnya sebagai

simbolisme kekuasaa Tuhan, maka hati penyair menjadi bergairah untuk terus

melangkah. Penyair merasakan energi positif dari alam sekitar.

Melalui geguritan ini, nampak penyair menemukan keindahan yang tak

terkira. Apabila manusia telah menemukan ruh atau keindahan sebuah

peribadatan, maka manusia itu tatkala ibadah bak kata berenang dalam lautan

bunga (kembang-kembang). Ketika ia bersujud, esungguhnya ia tak sendiri, alam

ikut mendampinginya bersujud. Rembulan, bintang dan cahaya dari segal cahaya

ikut bersujud.

Penyair tak henti berbicara dengan Tuhan melalui alam sekitar. Melalui

kilat ia mendapat eneri gaib yang menyebar di seluruh alam raya. Melalui

simbolis-simbolis semesta itulah si penyair merasakan rindu pada keindahan yang

sejati, keindahan di sisi Tuhan. Itulah, bila kita telah menemukan apa tentang

„manunggaling kawula Gusti‟, kita senantiasa lepas dari segenap derita durgama

rinuwatan. Akhirnya kita mampu berbicara dengan Tuhan melalui atas

ciptaanNya, mbunteli mantra kojah marang titah-titahMu. Akhirnya kehidupan

dengan hati yang damai bisa dirasakan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

136

d) Geguritan Muksa

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Pertanyaanmu terselip di(antara) tumpulnya (pemahaman) sejarah. Jiwa

raga (ini) sudah (mulai tua), termangsa cepatnya waktu. (Jiwa raga inipun)

terpenjara kesetiaan yang mahal harganya. O, (mengapa) kita selalu terjerat

pertengkaran-pertengkaran meruncing.

Bait Kedua

Hidup (ini) diatur oleh (berdasarkan) rasa (baik dan buruk). Pandangan

(dalam melihat sesuatu) selalu diatur atas kepentingan. (Bila demikian) lantas

kemana sujud akan menuju, jika hati tinggal sebesar bici kecik yang penuh

kehendak sederhana.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Banyak tanda tanya yang muncul ketika manusia menjalani sebuah

kehidupan, yang dapat diartikan merangkai sejarah. Banyak hal yang terjadi

dalam kehidupan ini. Tidak ada yang abadi di alam ini, jiwa mulai tua, raga mulai

rapuh seiring berjalannya waktu. Dalam kehidupan ini, banyak yang harus

diperjuangkan. Harus terus setia, meski banyak manusia yang tak lagi setia,

sehingga kesetiaan itu harganya menjadi sangat mahal. Di dalam kehidupan

inipun, meski kesetiaan sudah dijaga betul masih banyak terjadi pertengkaran-

pertengkaran yang klimaks.

Bait Kedua

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

137

Pertimbangan baik buruknya perlaku dalam masyarakat ditimbang

berdasarkan rasa. Ketika sebuah perbuatan dinilai bisa merugikan orang lain atau

menyakiti orang lain maka tidakan tersebut tidak baik. Dari pertimbangan inilh

lahir norma dan aturan dalam masyarakat, untuk menjaga keharmonisan

kehidupan bersama. Sayangnya, beberapa tindakan seringkali memanfaatkan

norma dan aturan yang berlaku, misalnya korupsi yang memanfaatkan wewenang

dan jabatan.

Pada akhirnya semua manusia akan mati, tapi kemana kita berjalan tak

banyak yang menyadari atau pura-pura lupa. Ibarat hati selalu dalam kekerdilan,

ati kari sakecik gluprat agantha cuplik.

e) Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

Pembacaan Heuristik

Aku (merasa) melayang menjadi awan di (dalam) dunia penuh kata.

(Rasanya) jagad besar ini memberi suasana kosong melompong, (karena) ada

pertanyaan (yang) muncul menusuk (sedalam-)dalamnya kesadaran(ku). Tetapi

siapa bisa menjawab (pertanyaan itu) jika semua sudah menjadi penghalang,

semua menjadi bisu tanpa ada suara yang menyapa, terbungkam oleh peraturan di

dunia (yang) hampa.

Pembacaan Hermeneutik

Si aku sedang merasa terbang dalam dunia yag penuh kata. Si aku sedang

menggambarkan dunia seisinya, banyak ilmu, banyak teori tentang kehidupan dan

asal usul manusia. Namun si aku justru merasa suasana menjadi kosong

melompong, tidak ada apa-apa. Semua pertanyaan dalam benaknya tidak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

138

terjawab, tidak ada jawaban yang benar-benar pasti, semua jawaban justru

menjadi penghalang baginya. Semua bisu, hampa, tidak ada suara. Dunia menjadi

semacam ruang hampa, tak beruang dan waktu, jagad sunyaruri.

f) Geguritan Ana Cahya

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Ada cahaya (yang) mengiringi bersinarnya cahaya, (cahaya itu) membelah

sunyinya malam. (Cahaya) yang terselimuti tebalnya kabut. Dan cahaya (itu) naik

mengejar hilangnya cahaya.

Bait Kedua

Ada cahaya mengiringi terapungnya cahaya, membelahi gelombang di

laut, yang telah patah karang-karangnya, dan cahaya menyelam mencari asal

cahaya.

Bait Ketiga

Dalam ilmu tersimpan ilmu, mencari ilmu membutuhkan ilmu, dan setiap

ilmu akan melahirkan ilmu. Jaman berjalan menuju jaman, melahirkan ilmu. Dan

mempelajari ilmu, seperti halnya kita memelihara ilmu itu sendiri, pangudine

marang cahya sejatine ngemuli cahya.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

139

Cahaya dalam geguritan ini melambangkan ilmu yang selalu menerangi

manusia. Cahaya mengiringi cahaya, tidak ada ilmu yangd dapat berdiri sendiri,

semua ilmu saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Tidak ada ilmu

yang kedudukannya lebih tinggi dari ilmu lain. Ilmu-ilmu itu mampu memberi

penerangan, menunjukkan jalan kepada manusia kemana harus berjalan. Ilmu

ibarat lentera ditengah malam, hadir dalam diwaktu yang tepat.

Ilmu dapat memberi petunjuk dari ketidaktahuan yang mampu

menyesatkan manusia. Ketika banyak ilmu yang dipelajari, banyak pula ilmu yang

terlupakan karena manusia memiliki daya ingat yang terbatas. Namun, dengan

adanya ilmu yang lain akan mampu mengingatkan manusia pad ailmu yang lain

pula karena seperti yang telah dijelaskan tadi, ilmu yang satu berkaitan dengan

ilmu yang lain.

Bait Kedua

Ilmu akan selalu mengiringi ilmu yang lain, saling mendukung dan salig

membutuhkan. Ketika ilmu terapung maka aka ada ilmu lain yang

mendampinginya pula. Ilmu ang terapung tersebut ibarat layar yang siap memecah

ombak, membelah lautan, berlayar dari ujung pulau ke pulau yang lain. Perjalana

luar biasa ini tidak mungkin dapat ditempuh tampa adanya ilmu. Ilmu dapat pula

terus berpendar, terus mengalir dari otak satu ke otak yang lain seolah mencari

dari mana sumber ilmu berasal.

Bait Ketiga

Dalam ilmu tersimpan ilmu, mencari ilmu membutuhkan ilmu, dan setiap

ilmu akan melahirkan ilmu. Jaman berjalan menuju jaman, melahirkan ilmu. Dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

140

mempelajari ilmu, seperti halnya kita memelihara ilmu itu sendiri, pangudine

marang cahya sejatine ngemuli cahya.

g) Geguritan Cathetan Wengkoning Pandulu

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Bersarang dimana(kah) kau, he wajah keindahan. (Keindahan) yang

pandai memberi kesejukan pada kesusahan hati dan jiwa dan memberikan cahaya

untuk segera melangkah. (Cahaya yang mampu) memberi pesan agar jalannya

hidup tidak luka.

Bait Kedua

Di sini aku penglihatanku mulai lelah untuk terus bertahan mengejar

dimana sebenarnya tempatmu. (Aku ingin) merangkai belahan-belahan rasa

asmara, meneliti dimana sekian banyak keberadaan keheningan. (Dalam

keheningan itu aku bisa selalu) ingat (pada) dan ketentuannya sabda.

Bait Ketiga

Telah lama hati(ku) menjerit ; untuk mengundang dirimu, datang dengan

membawa segenggam rangkaian bunga cahaya, agar (aku) mampu melihat

pengertian pandangan hidup. (Pandangan hidup yang proses ) akhirnya (melalui)

hati-jiwa (untuk sampai) tujuan. (Agar hidup) cerdas (untuk) melangkahkan niat

yang dikelilingi doa.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

141

Si aku dalam geguritan ini mempertanyakan keindahan yang dapat

diartikan sebagai harapan yang sejati, harapan yang mampu memberi kesejukan

bagi hati dan jiwa yang susah. Harapa itu pula yang mampu memberikan petunjuk

dalam setiap perbuatan agar kehidupan dapat dijalani dengan baik, damai tanpa

derita.

Bait Kedua

Ditempat si aku berada, ia mengharapkan cita-cita dan harapannya

menjadi kenyataan. Terasa sangat memelahkan terus berharap untuk dapat

mewujudkan semua mimpi dan harapannya. Untuk menggapai cita-citanya, ia

mempersungguh dengan keheningan, selalu ingat dan terus berusaha. Selain tiga

hal tersebut, untuk mewujudkan semua harapan harus menyerahkan semuanya

kepada Tuhan.

Bait Ketiga

Meski sangat sudah dan melelahkan untuk mewujudkan semua mimpi dan

harapan yang mampu membawakan segenggam keindahan tak terperi, si aku tetap

menggunakan keusngguhan hati dan jiwa untuk menggapai tujuan. Si aku

berharap selalu melangkah dengan tepat dan terus berdoa kepad Tuhan yang Maha

Esa.

h) Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

142

Angin yang menggenggam isyarat dari langit datang dengan tenang,

memberi ketenangan sejati. (Dalam ketenangan itu) tak terucap bisa (racun) yang

melempar kesulitan. Dan (sebaliknya) di sini hati (merasa) kesepian merangkai

lusuhnya jiwa. Dengan seribu doa kuikat perasaan (kuharap bisa) menggapai

kesempurnaan. Sekilas hamba terkurung (dalam) ombak persembahan.

Bait Kedua

Yang dikehendaki oleh pikiran yang dihiasi niat suci (adalah) penglihatan

terbasuh menjadi tajam diajaran (dalam pembelajaran), pendengaran terbasuh

menjadi jernihnya pertimbangan, perasaan terbasuh menjadi tulusnya pegangan,

dan segala perilaku terbasuh menjadi manusia sejati yang mulia. (Setelah itu) lahir

manusia cekatan (yang mampu) memahami kondisi (sekitar).

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Melalui geguritan ini, penyair kembali menggunakan alam sekitar sebagai

simbol untuk menyampaikan sesuatu. Angin dianggap sebagai sebentuk ciptaan

Tuhan yang mampu memberikan pertanda. Angin yang datang dengan tenang

memberikan isyarat ketenangan hati si penyair.

Ketenangan membuatnya melupakan kesulitan yang pernah ada, meski si

penyair sebenarnya hantinya sangat lusuh, penuh dengan perilaku yang buruk dan

merasa tidak pantas menghadap Tuhannya. Akan tetapi dengan mengingat semua

itu, si penyair benar-benar ingin beribadat dengan khusyuk, disamping sebagi rasa

syukurnya juga sebagai permohonan ampun atas segala dosa yang pernah ia

lakukan.

Bait Kedua

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

143

Kehidupan harus selalu bertautan dengan upaya memaksimalkan kualitas

reputasi (jejer kasejaten) dalam segala hal, lahir maupun batin. Kulitas reputasi

akan mempermudah hidup itu sendiri, sebab hidup selalu bermesaraan dengan

kesulitan.

Reputasi diri yang selalu dibangun maksimal akan menghadiahkan

pengalaman (pamulat winasuh dadi awas ing warah), mampu membuat keputusan

(pangrungu winasuh dadi weninging panimbang) dan kuat jati dirinya (pangrasa

winasuh dadi tulusing pamengku). Kemampuan semua itu menjadikan manusia

yang paripurna, ibarat jalma limpat seprapat wis tamat (paham).

i) Geguritan Kendhi Pertala

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Hadir di sela-sela nafas yang berlarian, dada (yang) sudah lama hangus,

(karena) terjamah ribuan matahari. (Selan itu, dada ini) juga kering mengiris

tebing nasihat.

Bait Kedua

Jika dirimu merelakan berjodoh (denganku), (maka) bawalah jiwaku

menetap di tempat tidurmu, berselimut air yang menyisakan pandangan kering.

(kitalah nanti) yang ribuan waktu berbincang di dunia abu-abu.

Bait Ketiga

Kendhi pertala, e kendhi pertala, siapa(kah) yang menyeret perjalananku

menuruti perilaku (ini). Padahal hujan (tak juga datang), masih menjadi teka-teki

waktu (tanpa bisa dipastikan kapan akan benar-benar datang). hanya (dari)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

144

tetesanmu (kendhi pertala) aku menemukan jimat untuk meruwat segala

keburukan (yang akan datang) dan musuh (yang kemungkinan akan menyerang

manusia).

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Masalah hidup amat kerap bersinggungan tentang kesulitan. Manusia

sering terbakar kesulitan itu, ibarat dhadha gosong katerak ewon bagaskara.

Manusia sudah melewati ribuan matahari yang bisa diartikan sebagai cobaan yang

membuat hati menjadi sakit. Namun, cobaan dan kesulitan itulah yang mampu

menjadi pengingat, untuk mengingatkan manusia agar berbuat lebih baik.

Bait Kedua

Dalam bait ini, si aku ingin berdamai dengan semua kesulitan yang ada.

Dia memposisikan hatinya agar selalu sabar dalam menghadapi semua hal.

Dengan berdamai dengan semua kesulitan yang ada, si aku dapat merasaka dunia

berbeda dengan dunia yang telah ada.

Bait Ketiga

Si aku membicarakan tentang kendhi pertala, sebuah alat untuk

menampung air minum yang terbuat dari tanah. Tiap kesulitan bias berubah fungsi

untuk menjadikan kita dewasa. Dengan melihat simbolisme kendhi pertala

penyair ingin menyampaikan bahwa kesulitan bias berubah mejadi proses

pendewasaan dengan memposisikan diri pada hal-hal yang alamiah, tak mengada-

ada yang sebenarnya tak harus ada, seperti kendhi pertala.

Kendhi pertala merupakan tempat air, tempat yang terbuat dari tanah yang

sangat alami. Kendhi yang berisi air yang selalu tepat untuk menghilangkan rupa-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

145

rupa dahaga. Kembali, ya kembalilah kepada apa adanya, maka akan membuat

apa yang sulit menjadi biasa.

j) Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Tiba-tiba kesepian (datang) menjerat jiwa, mengobrak-abrik kedamaian

yang sedang besenandung. (Kesepian itu) menyeret hiasan hidup, yang bertahun-

tahun (telah) terkuasai (oleh) usaha(ku).

Bait Kedua

Akhirnya diawal hati melanggkah (untuk) mengejar heningnya jiwa (dan)

berburu keinginan sepi agar tegaknya perjalanan hati, kuangkat tegaknya untuk

melakukan sesuatu.

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Penyair merasakan kesepian yang tiba-tiba saja ada. Kesepian itu merusak

suasana hati yang tadinya sedang berbahagia, merusak semua kebahagiaan yang

selama bertahun-tahun ia bangun.

Bait Kedua

Inilah yang dalam kehidupan jawa apa yang disebut “nrimah mawi

pasrah”. Hidup biarlah sesuai dengan kodrat. Inilah puncak bahagia, jika setiap

manusia mampu membuat suwung jiwa, mencari apa yang dibutuhkan, bukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

146

memburu apa yang diinginkan. Karena pada hakekatnya setiap keinginan ibarat

penjara jiwa.

Manusia jawa percaya, dalam diri manusia ada Atman, yang tak lain

adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga

kekosongan yang padat energi itu. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya

ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan maka

energi Atman itu akan berhubungan atau emnyatu dengan sang sumber energi.

k) Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Jika kembali melihat bergulirnya waktu yang berbicara, (ingin) kugapai

kesanggupan yang telah tergaris. Ada bayangan (yang menghantui) dari sekujur

tubuh (ini). Dhuh, panggilanMu memaksa dada untuk bergetar (bergidik hebat).

Bait Kedua

(Aku mendengar) ada kata sayup-sayup (yang) menyentuh pengendali

sekat (jiwa). Ini(lah) waktunya kubuka lembaran pembicaraan dengan bekal

besarnya firman-Mu. Aku (me)nyuluh rahasia tengah malam.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

147

Dalam geguritan ini, penyair sedang merenungkan kehidupannya yang

terus berjalan, lama kelamaan penyair menjadi tua. Penyair kembali meninga

semua garis takdir yang telah ia lewati, ada sesuatu yang membayangi hatinya.

Sore atau malam, banyak diibaratkan akan purnanya kehidupan dunia.

Nyuluh Werdining Wengi, merupakan upaya untuk mengerti apa yang

dinamakan tentang mati itu? Upaya-upaya ini dilakukan agar dalam melihat

kematian mampu melihatnya dari sisi yang lain dan menghadapinya dengan

kesiapan. Mati pada umumnya merupakan mati yang banyak ditakuti (anjawil

tetawunging driya), mati yang datang begitu tiba-tiba (nyengka kumitiring jaja),

dan mati yang masih mengandung beribu misteri.

Bait Kedua

Penyair mencoba melakukan pendalaman hati, hatinya berusaha

memahami semua ajaran agama dan Firman Tuhan. Dengan firman dan ajaran

agama penyair berusaha memahami apa arti kematian itu.

l) Geguritan Tan Kapetung

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Banyak (ke)rugi(an) yang (akan) terungkap ketika jiwa salah dalam

menunduk:bersujud.

Bait Kedua

Banyak dan tak terhitun (ruginya) ketika nafsu berkumpul ditengah-tengah

kemurkaan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

148

Bait Ketiga

Banyak dan tak terhitung (kerugian yang didapat). (Tuhan), seberapa

kelancanganku yang melayarkan semua firman-firman-Mu.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Beribadah tidak bisa sembarangan, harus dengan tuntunan yang ada.

Banyak kerugian yang akan terungkap ketika jiwa salah dalam menunduk atau

bersujud.

Bait Kedua

Banyak dan tak terhitung ruginya ketika nafsu berkumpul ditengah-tengah

kemurkaan. Ketika manusia tidak bias mengandalika diri, nafsu yang berkuasa

maka akan ada sesuatu yang buruk sebagai balsan atas tindakan manusia.

Bait Ketiga

Banyak dan tak terhitung kerugian yang didapat. Dalam geguritan ini, si

penyair menyesalkan semua kelancangannya karena melanggar firman-firman-

Nya.

m) Geguritan Ing Salembar Iki

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Diselembar (kertas) ini, doa dihaturkan, utuh menyentuh lembutnya pesan.

(Aku berdoa) agar langkah menjadi indah, (menjadi) bersih (dan) suci (seperti)

awal (semula).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

149

Bait Kedua

Diselembar (kertas) ini, (aku) mencari doa (untuk) memenuhi rasa sesal

karena banyak waktu (bahkan sangat) banyak (waktu) bercampur (menjadi)

bentuk kesombongan manusia. o, gusti dihari ini aku (memilih) pasrah.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Melalui selembar kertas, penyair menuliskan doa-doa dan harapan untuk ia

sampaikan pada Tuhan. Melalui geguritan ini nampak bahwa penyair percaya

bahwa berdoa tidak harus menengadahkan tangan, berdoa bisa melalui media apa

saja. Doa melalui perantara apapun harus dilandasi sikap tulus dan penyerahan

diri sepenuhnya [ada Tuhan. Dengan doa yang ia haturkan, ia berharap setiap

langkah yang ia ambil menjadi keputusan yang tepat, menndapat hati yang bersih,

suci dan selalu bisa menjadi yang pertama.

Bait Kedua

Melalui selembar kertas itu pula ia mengahdirkan kesadaran akan banyak

salah, rasa menyesal, rasa ringkih. Penyair pasrah, dengan demikian akan

terbentuk dalam jiwa hakiki kesadaran dalam ujud, sumarah.

n) Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Pangeran Yang Luas melingkupi semua yang luas, (melalui doa ini)

kuturut (kebesaranmu) lewat indahnya kilat yang tercipta. Jagad (ini) dipenuhi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

150

awan-awan dan mendung anekawarna. (Ingin) sabda-Mu sanggup kugenggam,

agar menjadi teman panjang pendeknya nafas.

Bait Kedua

Pangeran yang tegak, melampaui semua yang tegak. (Engkau yang)

merancang waktu aku (mem) bangun kekuatan (untuk) menyembah. (Aku)

mencari pengertian dimana tersimpan cahaya, agar setiap langkah selalu benar.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Dalam geguritan ini, penyair menuju kebesaran Tuhan yang maha Luas.

Penyair kembali menghadirkan keindahan alam semesta untuk mengungkapkan

perasaan yang ada dalam jiwanya. Penyair melihat keindahan kilat, awan yang

beraneka warna yang merupakan ciptaaan Tuhan. Melalui ciptaan Tuhan inilah,

penyair membaca simbol bahwa semua ini mengisyaratkan keberadaan Tuhan dan

semua sabda-sabda-Nya. Pegangan kehidupan yang tertulis salam firman-firman

Tuhan ini diharap penyair dapat menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan di

dunia.

Bait Kedua

Si penyair merasa sangat beruntung karena dalam diri manusia mampu

menemukan kesadaran akan Maha Asih Tuhan. Hidup menjadi lurus, karena

Tuhan Maha Lurus.

Keberuntungan itu akan terlihat atas hidup yang mengalir seperti air,

dimana berada, disana merengguk kenyamanan. Penyair menemukan pengertian

dimana tersimpan kenikmatan hidup. Dari berkah yang ia dapatkan langkah yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

151

ia ambil hamper selalu benar karena dibawah lindungan kuasa dan ridho Tuhan

yang Maha Esa.

o) Geguritan Mateg Kemat

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Mengukur (seberapa) panjang, (kemudian) menyimpan mantra aji-aji. Aku

berniat memilih roh dan raga. (Memilih) raga (yang) berisi kesaktian sejati

manusia (dan) roh (yang) berisi getaran pengendali hidup.

Bait Kedua

Sujudku, pendirianku, langkahku dan lariku mengejar rahasia, (terus)

mengejar yang terselip (dalam) suasana.

Bait Ketiga

Betapa (Tuhan sudah menganugrahi) hidup yang terpasang cahaya.

(Selalu) hati melihat-lihat kebenaran pesan rahasia karena membaca mantra itu

menguasai banyak arti. (Memiliki arti) hidup, penghidupan dan ajaran Gusti.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Geguritan ini mengadopsi bunyi mantra di Jawa. Disini penyair ingin

mampu memposisikan hidup dengan mantra ini dalam dua dimensi lahir dan batin

(wadhag dan ruh). Bahwa wadhag harus melahirkan kesadaran bahwa kita ini

adalah makhluk, dan ruh kesadaran bahwa kita ini adalah hidup.

Bait Kedua

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

152

Semua yang ada dalam diri penyair, sujudnya, pendirianya, langkahnya

dan larinya mengejar sesuatu yang sulit dicapai tanpa kesungguhan hati, kindahan

disisi Tuhan. Penyair tidak pernah berhenti berusaha mengejar yang terselip dalam

kehidupan.

Bait Ketiga

Dalam rakitan dua dimensi itu ada kekuatan yang Maha Dahsyat, ialah

Tuhan. Betapa Tuhan sudah menganugrahi hidup yang penuh dengan penerangan.

Penyair berusaha berhati-hati dalam mengartikan sesuatu, agar tidak salah

langkah. Ia sadar betul, membaca mantra itu menguasai banyak arti. Ketika ia

sudah mampu memahami kandungan makna yang ada dalam mantra yang ia baca,

maka ia mengerti mantra memiliki arti hidup, penghidupan dan ajaran Gusti.

p) Geguritan Miyak Isining Kitir

Pembacaan Heuristik

(Aku) membuka isi undangan yang terkirim sore ini. (Undangan ini)

menyalakan getar di nurani ketika mengetahui terbukanya aksara-aksara-Mu.

Apa(kah) ini panggilan yang sudah datang waktunya. o.. padahal bekal belum

sempat tertampung dihati.

Pembacaan Hermeneutik

Mati, sebenarnya tak selalu datang dengan serta merta, semuanya ada

tanda. Maka bagaimana kita mampu memahami itu semua, miyak isining kitir.

Dalam geguritan ini, penyair membaca pertanda tentang kematian. Hatinya

menjadi bergetar.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

153

Penyair tidak berani meremehkan tanda-tanda yang ia baca, sebab apabila

meremehkan tanda-tanda, semua terasa amat cepat. Hingga anusia selalu merasa

belum sempat mempersiapkannya.

q) Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

Pembacaan Heuristik

Bait Pertama

Sepertinya malam ini isyarat rahasia datang, menelusup disela-sela

dedaunan dan rayapan belalang-belalang, ini (sebenarnya) apa?

Bait Kedua

Rumah ini memang terbangun dari tetesan waktu, dari hati suci dan

dikitari doa yang mengalir. Siapa tahu sampai pada waktunya nanti ada hasil

terisyarat dari balik langit.

Bait Ketiga

Bersama hati pasrah digelar sajadah, rumah ini dikuasai kekuatan lahir

dan batin. Lalu (rumah ini) kupegang dengan adanya bekal jiwa yang ikhlas,

(memberitahukan) warna isyarat sudah tiba dikepastian waktu.

Pembacaan Hermeneutik

Bait Pertama

Pada suatu malam, penyair kembali mendapat isyarat yang ia tangkap

sebagai sesuatu yang tidak semua orang pahami. Isyarat itu hadir dari alam

sekitar, melalui dedaunan dan rayapan belalang. Cirri khas dari penyair ini

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

154

nampaknya selalu menangkap atau membaca sesuatu dari alam semesta yang

merupakan simbol kebesaran Tuhan.

Bait Kedua

Rumah yang ia diami, merupakan rumah yang ia bangun dalam waktu

yang lama. Sedikit demi sedikit dengan perjuangan dan tekad bulat, penyair

mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membangun sebuah rumah. Tidak

hanya dengan usaha untuk mengumpulkan uang, tetapi juga dengan hati yang

suci dan doa.

Dalam geguritan ini, rumah tidak serta merta diartikan sebgai sebuah

bangunan untuk berteduh. Rumah dapat diartikan sebagai sebuah cita-cita. Maka

untuk mewujudkan sebuah cita-cita harus dengan usaha keras, hati yang suci dan

doa yang tulus. Dengan demikian, Tuhan pasti memberikan ganjaran sesuai

dengan usaha manusia.

Bait Ketiga

Kata-kata orang bijak, banyak orang mencapai sukses apabila dalam

dirinya mampu mengerti saat hal belum jelas banyak dimengerti. Untuk orang

Jawa hal ini dinamakan ngerti sadurunge winarah. Demikian juga dalam

kehidupan ini harusnya kita selalu berupaya untuk cepat mengerti terhadap semua

hal, termasuk arti kehidupan.

Pemahaman terhadap hidup selalu dimaknai dengan sebanding rasa sujud

dan patuh kita atas perintah Tuhan. Puncak dari pemahaman itu adalah perasaan

ikhlas kita yang paripurna, nuli dakcandhak mawa adeging karilaning jiwa.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

155

b. Matriks dan Model

Untuk membuka sajak supaya dapat mudah dipahami, dalam konkretisasi

puisi haruslah dicari matriks atau kata-matriksnya. Kata-kata kunci adalah kata

yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan. Matriks-matriks

yang terdapat dalam ketujuh belas geguritan Yan Tohari sebagai berikut:

a. Geguritan Ing Pusering Ning

bun sing niba ing gegodhongan nyandhi sesanti

gegambaran manengkuku marang Pamurba Jagad

ing weca, marang edi lan wewadining pakarti

: e yekti urip saderma nulisi tapaking janji

rikala swasana jagad wus kawekung ning

rasaku cinipta dadi ujuding BUDI

lamun jatiku jatining wengi

jati mulyaning jati sing

ginarba ing puser wening

kang kaluwih:

Ning!

ing puser Ning

ati kumitir jumerit agala-gala

mendah cekak cupeting ancas titah kang during

wanuh, paran papan cumondhoking teges panembah

ing Ning

ing puser jati

aku mung bisa nangisi cathetaning

ati sing kebak kecandhalan

sarta ujuding pepali

Dalam Geguritan Ing Pusering Ning, matriks ditandai kata ning

(keheningan). Matriks pada geguritan ini sinkron dengan judulnya yang

menggunakan kata ning pula. Keheningan dalam geguritan ini berkaitan dengan

semua wacana yang dilontarkan penyair. Model dalam geguritan ini ditandai

dalam keningan yang bertumpu pada judul Ing Pusering Ning. Varian-variannya

adalah (1) ning (keheningan) (2) kerinduan terhadap Tuhan yang sangat dalam (3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

156

kebahagian yang hakiki, kebahagiaan di sisi Tuhan yang amat luar biasa hening

(Ning).

Keheningan mejadi tanda yang tampak monumental dalam geguritan Ing

Pusering Ning. Penggambaran suasana pada bait kedua menggunakan kata hening

untuk merujuk kepada malam yang sepi tanpa suara. Si akupun ikut terhanyut

dalam keadaan hening, ia menyelami jiwanya sendiri, merasa tenang dengan

keheningan yang ia rasakan.

Si aku dalam geguritan mengharapkan ikut lebur dalam keheningan yang

sejati, yaitu keindahan di sisi Tuhan. Di pusat keheningan, keadaan di mana

keberadaan Tuhan benar-benar dirasakan oleh penyair, hati dan perasaannya ingin

menjerit menangisi ketidak mengertiannya tentang pengabdian terhadap Tuhan.

b. Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

ngirid pasemon nglurug ing pang enom

wit nglenjer ijen-ijenan kabuntel samun

dakranggeh mawa lambaran menebing rasa

mbokmenawa

ana isih wilasaning jagad kang tumiba

ing pangkon asat

lintang-lintang acahya kecundhang

panggah kutah jerit nala, jerit sinangsaya

o, kapan pangranggehku natab sucining werdi

apa jalaran iki titah cekethi?

wengi kang lelungidan wadi

tetes bun ngore-ore pabarating batin

sagatra tembung suksma dakbabar dadi panuwun

nguber papas-Mu kang sru sesilihan

sarta kesit pindha thathit

Dalam geguritan ini terbangun hubungan tiga pihak yaitu, manusia, alam

semesta dan Tuhan adalah tiga pihak yang selalu berhubungan secara terus

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

157

menerus. Manusia adalah ciptaan Tuhan, hidup di alam semesta ciptaan Tuhan

pula. Tuhan menguasai dan mengetahui apapun atas ciptaanNya.

Alam semesta yang diciptakan Tuhan ini bisa menjadi berbagai tanda

komunikasi hubungan manusia dan Tuhan. Model dalam geguritan terdapat pada

baris berikut:

nguber papas-Mu kang sru sesilihan (3, 4)

sarta kesit pindha thathit (3, 5)

„mengejar kekuasaan-Mu yang terus berlarian kesana kemari‟

„dan cepat bagai kilat‟

Tanda yang bersifat hipogramatik dan monumental dalam baris di atas

berupa usaha manusia untuk mengetahui misteri/kekuasaan Tuhan. Sayangnya,

bentuk pencarian tersebut selalu susah patah dilakukan namun tidak pernah

mendapatkan hasil. Kekuasaan Tuhan bagaikan kilat yang sangat cepat, tidak

dapat diikuti oleh akal manusia. Tuhan mampu membuat galaksi bergerak sendiri,

sesuatu yang tidak mampu dimengerti manusia.

Varian-varian yang muncul dalam model di atas berupa (1) manusia harus

berusaha untuk meraih dasar rasa yang tenang (2) rasa itu dapat dicpai dengan

membaca tanda dari semesta (3) kepasrahan diri dalam doa dan permohonan

lepada Tuhan. Varian-varian ini merupakan bentuk yang berurutan yang

ditentukan oleh model. Keterkaitan dengan model dapat dilihat dari bentuk kuasa

Tuhan yang berusaha di mengerti manusia.

c. Geguritan Kembang-kembang

penering ing tengah samun wengi

kembang iku kembangMu mekrok arumwangi

kebaking esthi, ngabarake greget gyaking tindak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

158

rembulan sujud

lintang-lintang sujud

cahya sakathahing cahya sumujud

ngedhap manembrama ambar-ambar ganda gaib

dina iki ati ngaru-ara ngua kapang-kapang kembang

sunarMu anjrah nibakake berkah

ngayahi sakehing durgama lan ribuwatan

kembang-kembang mancawarna mbunteli mantra

kojah marang titah-titahMu

linumpukan kembang-kembang suci

nyithak sumiliring ati

Dalam geguritan ini model terdapat pada kalimat :

dina iki ati ngaru-ara ngua kapang-kapang kembang (1, 8)

„hari ini hati rindu akan bayang-bayang kembang‟

Penyair ingin menyampaikan betapa ia merindukan kehidupan yang kekal

abadi di samping Tuhan, pesan itu ia sampaikan dengan kata. Kembang

diibaratkan sebagai manusia telah menemukan ruh atau keindahan sebuah

peribadatan, maka manusia itu tatkala ibadah bak kata berenang dalam lautan

bunga (kembang-kembang).

Sebab ia tak sendiri dalam bersujud, semua bersujud (rembulan, lintang

bahkan semua cahaya). Itulah, bila manusia telah menemukan tentang

‘manunggaling kawula Gusti’, kita senantiasa lepas dari segenap derita durgama

rinuwatan.

Kata kembang seringkali diulang-ulang. Ketika menggambarkan suasana

malam, penyair menuliskan kembang pula yang menghadirkan nuansa keindahan

pada malam hari. Kembang-kembang yang dihadirkan penyairpun menimbulkan

nuansa keindahan dalam sebuah peribadatan ketika penyair memadu kata

kembang dengan sujud.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

159

Dari model di atas, varian-varian yang muncul adalah (1) sujud, sebuah

peribadatan yang khusyuk. (2) Dari sujud muncul kerinduan yang mendalam

kepada Tuhan (3) Dari sujud dan rasa syukur itu pula, Tuhan berkenan

menurunkan berkah yang melimpah (4) akhirnya hati menjadi sejuk dan damai.

d. Geguritan Muksa

pitakonmu sumlempit ing kethuling sejarah

jiwa raga wus kapagut plesating wayah

kinunjara kasatyan sing larang pangajine

o, kita tansah ginubet padudon-padudon winit

urip kapupuh ing grahita

pamulat kalangan anteping gati

tumuli paran ngendi jiwa muksa

lamun ati kari sakecik gluprat gantha cuplik

Melalui Geguritan ini penyair menceritakan tentang perjalanan hidup yang

pada akhirnya semuanya akan mati. Namun, dalam perjalanan itu banyak yang tak

menyadari atau bahkan pura-pura tidak tahu tentang tujuan yang sebenarnya.

Ibarat hati selalu dalam kekerdilan, ati kari sakecik gluprat agantha cuplik,

banyak terjadi keributan antar manusia. Model pada geguritan Muksa terdapat

pada kalimat:

tumuli paran ngendi jiwa muksa (2, 3)

lantas kemana sujud akan menuju

Sujud yang dalam arti luas dapat diartikan sebagai peribadatan menjadi

titik tolak manusia untuk melakukan sesuatu. Dari model ini, mucul varian-varian

yang memiliki keterikatan satu sama lain, yaitu: (1) kehidupan ini melahirkan

banyak pertanyaan (2) Semakin tua semakin muncul kesadaran datangnya

kematian (3) Agar menjadi tenang menghadapi kematian, hati mulai menentukan

kemana akan bersujud.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

160

e. Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

Aku kabur dadi mega ing tlapukaning wicara

jagad agung iki paweh swasana suwung uwung-uwung

ana gawening pitakon njojoh riciking pamulat

nanging sapa bisa wangsulan lamun kabeh

wus dadi wewaler

kabeh dadi bisu data nana sabawaning alok-alok

binungkem dening pranatan ing jagad sunyaruri

Penyair mengisahkan dunia hampa, Dunia dan keberadaannya ini adalah

pertanyaan besar bagi manusia. Dari mana asal-usulnya, dan bagaimana nanti

akhirnya. Semua adalah misteri. Penyair memainkan kata dengan menggunakan

kesimpulan tentang dunia hampa pada akhir geguritan.

Dalam kehampaan dunia, tak satu orangpun yang bisa menjawab semua

misteri dan kegelisahan hatinya. Maka, model dalam geguritan ini terdapat pada

kalimat kabeh dadi bisu data ana sabawaning alok-alok (1, 6) yang dapat

diterjemahkan menjadi „semua menjadi bisu tanpa ada suara yang menyapa‟.

Kalimat tersebut menjadi tanda yang bersifat hipogramatik dan karenanya

monumental. Dari model tersebut, varian-varian muncul berupa : (1) dunia ini

hampa yang menimbulkan banyak pertanyaan (2) tidak ada yang bisa menjawab

semua pertanyaan tersebut. (3) Semua bisu karena terbungkam peraturan di dunia.

f. Geguritan Ana Cahya

ana cahya ngiringake cumloroting cahya

nyigrag keteging wengi

sing kabuntel pepeging pedhut

lan cahya ndeder amburu ilange cahya

ana cahya ngiringake kumambanging cahya

melahi lumembaking jalanidhi

sing wus gempal karang-karange

lan cahya nyilem ngudi dhasaring cahya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

161

lair cahya lan terus kalair cahayane

gelaring jaman tinepung cahya-cahya

kacahyan binudi mawa cahya

pangudine marang cahya sejatine ngemuli cahya

Dalam Geguritan Ana Cahya, modelnya terdapat pada kata lair cahya lan

terus kalair cahayane, lahir cahaya dan terus melahirkan cahayanya. Kata cahaya

berhubungan dengan kata-kata yang lainnya dan menjadi pusatnya. Cahaya yang

dalam hal ini menggantikan pemaknaan ilmu. Semua dalam kehidupan ini

memerlukan ilmu sebagai cahaya. Dalam ilmu tersimpan ilmu, mencari ilmu

membutuhkan ilmu, dan setiap ilmu akan melahirkan ilmu. Jaman berjalan

menuju jaman, melahirkan ilmu. Mempelajari ilmu, seperti halnya kita

memelihara ilmu itu sendiri

g. Geguritan Cathetan Wengkoning Pandulu

sumusuh ana ngendi kowe, he gegatraning kaendahan

sing wasis paweh edhum mring kumbaraning ati lan jiwa

lang ngulungake cahya kanggo gage-gage jumangkah

asung piweling amrih laku urip datan kajuwing

ing kene aku kanthi acluming pandulu

mbujung sayektine sumusuhing pawengkonmu

nganap irat-irating rasa gegandrungan

ninting marang ngendi tibaning kridha cacahing

kaweningan,

eling,

lan pepaugeraning angling

kepara suwe ati jumerit ; kanggo ngundang sliramu

prapta kanthi sagegem rerangkening puspa cahya

murih pandulu sembada agegulang ulat

wusana ati-jiwa-jangka

lantip jumangkahake niyat sing winengku puji

Dalam geguritan ini kalimat yang paling monumental terdapat pada kata

prapta kanthi sagegem rerangkening puspa cahya, datang dengan membawa

segenggam rangkaian bunga cahaya. Kedatangan yang diharapkan dalam konteks

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

162

ini adalah kedatangan keindahan yang mampu memberikan penenarangan, yaitu

wengkoning pandulu (cita-cita). Kata cita-cita dijabarkan sepanjang geguritan

mengisahkan peran cita-cita dalam kehidupan manusia. Cita-cita (wengkoning

pandulu) adalah peta setiap manusia hidup.

Keberadaan manusia akan bermakna jauh dari sia-sia apabila memiliki

cita-cita. Namun, memang tidak mudah manusia meraih apa yang menjadi cita-

citanya, butuh sesuatu yang total. Dengan kaweningan, eling dan pepaugeraning

angling (bertindak). Selain tiga hal tersebut untuk menemukan apa yang menjadi

harapan, manusia haruslah memohon kepada Sang Khalik.

Dari geguritan Cathetan Wengkoning Pandulu, praktiknya, matriks yang

dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan.

Bentuk varian itu ditentukan oleh model. Varian yang mucul dari model geguritan

ini adalah (1) sebuah pencarian keindahan yang mampu memberikan penerangan,

hanya mampu digapai jika mampu melewati (2) kaweningan, eling dan

pepaugeraning angling (bertindak) dan terus memohon kepada Tuhan (3) Dengan

demikian, akhirnya hati-jiwa-tujuan tercapai, menjadi manusia yang cerdas

melangkahkan niat yang dikelilingi doa.

h. Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

angin sing nggegem sasmita sakalangit teka anteng

ngirih kamenepan sejati, tan kocap wisa sing nyawatake

durgama, lan ing kene ati kijenan nganam lecuning jiwa

mawa sewu donga dakcancang panggrahita ngirup kasampurnan

sakeplasan titah kinurung ombak panembah

sing sinedya parah wengku pambudi rinengga ing wadhah suci

pamulat winasuh dadi awas ing warah

pangrungu winasuh dadi weninging panimbang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

163

pangrasa winasuh dadi tulusing pamengku

lan saparilaku winasuh dadi mulyaning jati jalma

; lair jalma limpad seprapat wis tamat

Judul Amasuh Jejer Kasejaten diartikan sebagai membasuh tegaknya

kesejatian. Judul geguritan ini menjadi model geguritan dimana geguritan ini

menyampaikan cara-cara memaksimalkan kualitas reputasi. Reputasi diri yang

selalu dibangun maksimal akan menghadiahkan pengalaman, yang kemudian bisa

disebut sebagai varian (1) pamulat winasuh dadi awas ing warah, mampu

membuat keputusan (2) pangrungu winasuh dadi weninging panimbang (3) dan

kuat jati dirinya, pangrasa winasuh dadi tulusing pamengku. Kemampuan semua

itu menjadikan manusia yang paripurna.

i. Geguritan Kendhi Pertala

pepeg mring sela-selaning peplayon napas

dhadha wus suwe gosong

katerak ewon bagaskara

nuli aking anjejuwingpereng pepeling

lamun sliramu rila anjatukrama

kanthinen jiwaku mapan linud ing tilam sarimu

kemul warih kang anenuruh pandeleng garing

sing ewonan wektu ceclathu bab jagad klawu

kendhi pertala, e kendhi pertala

sapa sing nyeret pasha lakuku nurut paripolah

mangka udan isih dadi cangkrimanng mangsa

among panuruhmu,

aku nemu jimat kangongruwat sakalir kala-satru

Kata kendhi pertala menjadi model dalam geguritan ini. Kata tersebut

memiliki kaitan yang erat dengan setiap baris dalam sajak. Manusia seringkali

bersinggungan dengan kesulitan. Terkadang semua kesulitan dalam hidup

membuat jiwa menjadi lelah, namun keulitan itu bila diposisikan dengan baik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

164

justru bisa menjadi media pendewasaan. Kendhi pertala dalam hal ini ditempatkan

penyair sebagai sumber pelepas dahaga.

j. Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

dumandakan kasamunan njiret geter jiwa

ngosak-asik katentreman kang lagi tetembangan

ngglandhang pepasren urip

sing mataun-taun kinukup pambudi

temahan ni papancaning tonggak

daksangga jenggerenge kanggo cecandhi

mamrih jejeg lumaksitaning ati

mbru suwunging jiwa mbebedhag sesulaning gegantha

Model dalam geguritan ini adalah mburu suwunging jiwa seperti yang

tertulis dalam judul. Penyair menuliskan geguritan dengan judul yang sangat

mewakili isi geguritan. Kata mburu suwunging jiwa mewakili isi geguritan yang

memohon kepada Tuhan agar dibebaskan dari semua keinginan. Penyair ingin

seperti sufi yang telah lepas dari segala keinginan, sehingga jiwanya kosong dan

bisa lebih dekat dengan Tuhan.

Kata mburu suwunging jiwa juga ditulis kembali dalam akhir geguritan,

seolah penyair ingin memberi penekanan pada pesan yang ingin ia sampaikan.

Dapat dikatakan mburu suwunging jiwa yang dilekatkan dibaris terakhir

merupakan gong dari geguritan. Varian-varian yang muncul dari model mburu

suwunging jiwa berawal dari (1) kesepian jiwa (2) yang kemudian berusaha

melakukan sesuatu dengan menyingkirkan segala keinginan (3) agar mencapai

tegaknya perjalanan hati.

k. Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

yen mangulat kekandhane paripolah wayah

daksandhak sesanggeman kang ginarit, ana

wewayanganing tlusure raga

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

165

dhuh, tetimbalanMu nyengka kumitire jaja

ana larap-laraping tembung

anjawil kemudhine tetawung driya

iki wayah dakbiyak lembaran pawicaran

kanthi sangu agunging-firman-Mu

aku nyuluh werdining tampuk dalu

Dalam Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi, modelnya aku nyuluh

werdining tampuk dalu (2, 5), „aku nyuluh rahasia tengah malam. Kata wengi

dalam geguritan ini menjadi objek utama yang dibicarakan dala keseluruhan

geguritan. Malam seringkali diibaratkan dengan akhir dari sebuah kehidupan.

Dalam geguritan ini penyair merasakan Nyuluh Werdining Wengi,

merupakan upaya untuk mengerti apa yang dinamakan tentang mati itu? Maka

dari model ini, muncul varian-varian tentang kematian (1) Mati yang banyak

ditakuti (anjawil tetawunging driya) (2) mati yang datang begitu tiba-tiba

(nyengka kumitiring jaja) (3) dan mati yang masih mengandung beribu misteri.

l. Geguritan Tan Kapetung

akeh tuna dungkape

rikala jiwa during tumungkul : sumujud

akeh lan tan kapetung

rikala nepsu worsuh ing manghalading geni

akeh lan tan kapetung

sepira kumalancangku

kang mrambul kabeh frman-firman-Mu

Model dalam geguritan ini terdapat pada kata rikala jiwa during

tumungkul : sumujud (1, 2), ketika jiwa salah dalam menunduk:bersujud. Kalimat

tersebut merupakan tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.

Dalam geguritan ini penyair ingin menekankan betapa banyaknya kerugian yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

166

didapat bila dalam peribadatan tidak dibarengi dengan pemahaman yang

mendalam. Ketidakpahaman ini bisa menimbulkan perlaku keliru.

m. Geguritan Ing Salembar Iki

ing salembar iki, donga pinuji

wutuh njamah alusing wewanti

murih angkah binesut

resik

suci

gasik

ing salembar iki, larahan panuwun

ngebengi kaduwunging rasa

awi akeh mangsa

mblasah

kaprah

mowor adigang adigunging titah

o, gusti dina iki aku sumarah

Dalam geguritan di atas, tanda yang tampak monumental dalam geguritan

ini yaitu o, gusti dina iki aku sumarah (2, 7), o, gusti dihari ini aku pasrah. Pada

selembar kertas tersebut, penulis memohon doa agar hatinya selalu bersih, suci

dan selalu awal dalam melangkah. Selain itu, dalam selembar kertas itu pula si

penyair memohon ampun atas segala dosa yang pernah ia perbuat. Ia memutuskan

pasrah atas segala kehendak Tuhan.

Dari model geguritan ini, varian yang muncul adalah (1) penghaturan

permohonan agar langkah selalu indah, bersih, suci seperti awal semula diciptakan

(2) dalam selembar itu juga memohon ampunan atas segala dosa.

n. Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

Pangeran Kang Jembar Ngukung sakalir jembar

dakurut liwat sahya thathit sing kinanggit

jagad kapasren mega-mega lan mendhung mancawarna

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

167

amrih sabda-Mu kuwawa dakcekethem

temah dadi mitra mulur-mungkreting napas

Pangeran kang jejeg,

ngukuli sakalir kang jejeg

ngrantam wektu dakcandhi kedal panembah

ngudi pepajar marang ngendi sumempen nur

tumuli jangkah saben jangkah gancar

Dalam geguritan ini, penyair ingin menyampaikan tentang perjalanan

menuju kasih Tuhan. Dalam geguritan ia tuliskan sebuah keberuntungan apabila

dalam perjalanan manusia dapat menemukan menemukan kesadaran akan Maha

Asih Tuhan. Dalam lindungan Tuhan, hidup menjadi luas karena Tuhan Maha

Luas. Hidup menjadi lurus, karena Tuhan Maha Lurus. Maka, model yang

monumental dalam geguritan ini ditunjukkan oleh kata laku tumuju sih-Mu, jalan

menuju kasih-Mu. Varian-varian yang muncul ialah (1) usaha untuk

menggenggam sabda-Mu agar menjadi teman panjang pendeknya nafas. (2)

merancang waktu untuk membangun kekuatan menyembah, agar menemukan

pengertian dimana tersimpan cahaya.

o. Geguritan Mateg Kemat

ngelur dawa: nyimpen mantra aji-aji

ingsun wateg memilah roh lan wadhag

wadhag: isi kasekten yektine titah

roh: isi getering kemudhining urip

---- sujudku-ngadegku-laku lan lumayuku

nguber wewadi

nguber sing sinlempit kakempit

swasana

---- saeba urip wuns kepasang pajar

nala inguk-inguk jatining wangsit

marg mateg kemat = miwir-miwir werdi

Urip………… panguripan

sarta warahing GUSTI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

168

Geguritan ini mengadopsi bunyi mantra di Jawa. Mateg kemat berarti

membaca mantra. Model dalam geguritan terletak pada tanda yang monumental

yaitu ingsun wateg memilah roh lan wadhag (1, 2), aku berniat memilih roh dan

raga. Dalam geguritan ini, penyair ingin memiliki wadhag yang bisa melahirkan

kesadaran bahwa manusia adalah makhluk dan memiliki ruh kesadaran bahwa ia

hidup.

Tuhan Maha Pencipta Dan Maha Pengatur, menciptakan manusia dengan

memberinya dua macam kekuatan. Yaitu kekuatan jasmani dan kekuatan rohani,

atau kemampuan yang bersifat lahiriyah dan kemampuan yang bersifat batiniyah.

Manusia terdiri dari dua macam badan; badan jasmani atau badan wadhag dan

badan rohani atau roh atau jiwa. Masing-masing badan itu oleh Tuhan diberikan

kekuatan atau kemampuan yang berbeda-beda sifat dan dayanya. Hanya manusia

saja yang diberi kekuatan seperti itu.

Dari model geguritan ini, muncul varian-varian yang terwujud melalui

martriks yaitu (1) raga: berisi kesaktian sejati manusia (2) roh : berisi getaran

pengendali hidup (3) dengan dua hal tersebut manusia dapat mengejar sesuatu

seperti cahaya yang dapat menerangi hidupnya.

p. Geguritan Miyak Isining Kitir

miyak isining kitir kang kakirim sore iki

ngurupake geter ing nurani

rikala manerteni tetaning aksara-aksaraMu

apa iki tetimbalan kang wus winanci

o,. kamangka sangu during kawadhah ing kalbu.

Dalam geguritan ini, model nampak pada kalimat miyak isining kitir kang

kakirim sore iki (1, 1). Undangan menjadi objek penceritaan penyair. Melalui

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

169

undangan ini, penyair menyadari kematian yang bisa hadir sewaktu-waktu. Secara

naluriah manusia selalu merasa tidak siap menghadapi kematian.

Mati, sebenarnya tak selalu datang dengan serta merta, semuanya ada

tanda. Maka bagaimana kita mampu memahami itu semua, miyak isining kitir.

Sebab apabila kita meremehkan tanda-tanda, itulah yang terasa, semua amat cepat,

hingga kita belum sempat mempersiapkannya, o, kamangka sangu durung

kawadhahan ing kalbu.

q. Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

wangue wengi iki sasmita wingit tumeka

nlasak ing sela-selaning gegodhongan lan

gremeting walang-walang ataga, iki apa

omah iki pancen kawangun saka rembesing jangka]

kasangka ati suci lan kawengku ilining pepuji

mbokmanawa mancik titimangsa kesampiran gatra

kasasmitan saka walikining langit

barengi ati sumarah salumahe sajadah

omah iki kakuwung kekuwatan lair lan batin

sulaking sasmita wus tumurun ing pesthi titiwanci

nuli dakchandak mawa adeging karilane jiwa.

Dalam geguritan ini, tanda yang tanda bersifat hipogramatik adalah kata

dakcandhak lakune sasmita, kugapai jalannya rahasia. Pada judul penyair

menyampaikan ia ingin menggapai jalan yang rahasia, jalan yang tidak semua

orang tahu. Dalam geguritan, Yan Tohari menyampaikan bahwa dalam

kehidupan ini harus selalu berupaya untuk cepat mengerti terhadap semua hal,

termasuk arti kehidupan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

170

B. Nilai Mistik dan religius

1. Mistik

a. Geguritan Muksa

Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya, geguritan ini memiliki matriks

muksa. Floryda (1995: 94) in Modern Javanesse usage, the verb muksa means to

ascend to heaven body and soul, often by vanishing in blaze if light. Menurut

kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk

ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa.

Sedangkan hal-hal yang termasuk ikatan adalah :

1) pengaruh panca indria,

2) pikiran yang sempit,

3) ke-akuan,

4) ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman,

5) cinta kasih selain kepada Hyang Widhi,

6) rasa benci,

7) keinginan,

8) kegembiraan,

9) kesedihan,

10) kekhawatiran/ketakutan, dan

11) khayalan.

Moksa dapat dicapai oleh seseorang baik selama ia masih hidup (disebut :

Jivam Mukta), maupun setelah meninggal dunia (disebut : Videha Mukta). Jika

selama masih hidup seseorang itu mencapai moksa maka ia telah mencapai tingkat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

171

moral yang tertinggi, kehidupannya sempurna (krtakrtya), penuh dengan

kesenangan (atmarati) karena terbebas dari 11 jenis ikatan yang disebutkan diatas,

memandang dirinya ada pada semua mahluk (eka-atma-darsana), memandang

dirinya ada pada alam semesta (sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga

tercapai karena pengetahuan dan kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada

didirinya (brahmanbhavana). Jika moksa dicapai setelah meninggal dunia maka

terjadilah proses menyatunya atman dengan brahman sehingga atman tidak lahir

kembali sebagai mahluk apapun atau bebas dari samsara, disebut juga sebagai

kedamaian abadi (sasvatisanti). Namun, dalam geguritan ini, kata muksa sudah

tidak lagi dimaknai seperti di atas. Kata muksa mengalami perluasan makna

menjadi kematian yang biasa terjadi dalam kehidupan ini.

Konsep kematian yang diyakini masyarakat memiliki banyak versi, ajaran

para wali mengatakan kehidupan adalah kehidupan di dunia ini, setelah manusia

mati semua amal di dunia yang akan menentukan seseorang masuk surga atau

neraka. Berbeda dengan konsep mistik tentang kematian yang diajukan Syekh Siti

Jenar, menurutnya bahwa hidup selalu sedih, sengsara, kebingungan dan

sejenisnya adalah penjara (Suwardi, 2006: 17).

Ini bukan hidup di alam kehidupan melainkan hidup di alam

kematian. Manusia yang demikian sedang terpuruk dalam kematian hidup.

Manusia yang tergradasi nilai, yang curang, yang keras, yang korup dan

sebagainya adalah manusia yang telah mati menurut Siti Jenar. Jika

demikian, berarti dunia ini telah dipenuhi berjuta-juta mayat yang kotor,

bangkai yang amis, dan struktur kehidupan yang mati tak karuan pula. Tak

sedikit mayat yang berkejar-kejaran mengais rejeki yang haram. Tak

sedikit pula mayat berebut kedudukan […]

Dia berpendapat bahwa di era kematian ini, manusia terikat oleh

pancaindra. Kondisi ini bukan eksistensi yang sesungguhnya. Hidup nyata

baru akan ditemukan setelah mti. Disana keadaan terang benderang, dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

172

semua hal mengandung kebaruan. Manusia tak lagi harus didampingi

siapa-siapa. Manusiakan hidup mandiri. Siti Jenar berpandangan bahwa

hidup setelah mati lebih indah dari segalanya. Karena itu, ia rindu

kematian. Dia sangat rindu terhadap alam real ketika belum jatuh ke

kematian. Dia ingin kembali dalam keadaan suci atau semula, ketika

belum kotor.

Untuk itu, Siti Jenar mengajarkan hidup manusia akan mengalami

proses mistis. Ajaran dia, tersimpulkan dalam lima pokok wejangan, yaitu:

(1) ajaran asal-usul kehidupan atau sangkan paraning dumadi, (2) ajaran

tentang pintu kehidupan, (3) ajaran tentang tempat manusia esok hari yang

kekal abadi, (4) ajaran alam kematian yang sedang dijalani manusia

sekarang, (5) ajaran tentang Yang Maha Luhur yang menajdikan bumi dan

angkasa […] (Suwardi, 2006: 117).

Menurut Suyono (2008:12) jiwa manusia diselimuli oleh empat lapisan, yaitu:

1. Roh kerohanian dan badan kejiwaan (Budhi)

2. Jiwa kemanusiaan atau kebinantangan yang disebut juga badan halus

3. Badan kasar (jasmani)

4. Selaput halus yang enyelimutinya yang disebut juga kulit halus atau

pancaran magnet.

Proses kematian menurut Suyono (208: 12-13) melalui beberapa proses. Secara

berturut-turut lapisan-lapisan tersebut akan mengalami kematian dan proses

perubahan:

1. Badan kasar (mati fisik, biologis)

2. Selaput halus (kulit halus) setelah keluar dari badan menjadi kulit dan

lenyap.

3. Badan halus pada kematiannya yang kedua dan dalam peralihan ke

kelangitan yang pertama

4. Roh setelah peralihan ke kelangitan yang kelima.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

173

Dijelaskan Suyono (2008:13) melalui proses inilah, roh atau jiwa

mengalami pemurnian, meninggalkan semua cacat atau roh yang murni akhirnya

setelah melalui kelangitan yang kelima, keenam dan ketujuh kembali kepada

Tuhan.

Melalui geguritan ini, penyair menceritakan tentang perjalanan hidup yang

pada akhirnya semuanya akan mati. Namun, dalam perjalanan itu banyak yang tak

menyadari atau bahkan pura-pura tidak tahu tentang tujuan yang sebenarnya.

Ibarat hati selalu dalam kekerdilan, ati kari sakecik gluprat agantha cuplik,

banyak terjadi keributan antar manusia.

Pesan yang disampaikan penyair melalui geguritan ini bahwa dalam

berkehidupan tentunya manusia tidak dapat lepas dari kesalahan, namun ketika

masih hidup harus bisa menjalani kehidupan yang baik, selalu ingat pada hari

kematian. Kematian tidak menjadi sesuatu yang ditakuti, tetapi sebuah peringatan

agar senantiasa berbuat kebaikan.

Melalui kata urip kapupuh ing grahita, pamulat kalangan anteping gati

(hidup diatur oleh rasa, selalu pandanganya di atur atas kepentingan) penyair

menuturkan, manusia hidup di atas bangunan opini atau pendapat orang lain. Pada

umumnya manusia tidak mengetahui hakikat hidupnya sendiri, dan tidak

mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi pada dirinya.

Pikiran sebagian besar orang merupakan pendapat orang lain, sehingga

kita berbicara menggunakan bahasa orang lain. Mereka yang berpengaruhlah yang

telah menanamkan pengaruhnya yang berupa bahasa, perilaku, pendapat, dan

sebagainya untuk membangun identitas tunggal.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

174

b. Geguritan Manjing Jagad Sunyaruri

Matriks dalam geguritan ini adalah kata jagad sunyaruri „ruang hampa‟.

Ruang hampa merupakan objek utama dalam geguritan. Menurut Endraswara

(2006: 268) dalam pandangan kejawen, alam kehidupan manusia dibagi menjadi

tiga, yaitu (1) alam gaib, (2) alam rame atau alam mudita, (3) alam sunyaruri.

Alam gaib adalah alam ketika manusia Jawa belum ada. Manusia masih berada

dalam alam yang sulit dijangkau oeleh pancaindra. Yakni alam ketika manusia

belum ada wadhag (ujud). Alam rame atau alam mudita, adalah alam makhluk

perempuan dan laki-laki. Kedua makhluk ini adalah penghias dunia. Sedangkan

alam sunyaruri adalah suasana gelap gulita.

Alam sunyaruri adalah alam yang ingin dicapai kaum mistik ketika

menjalankan semedi. Yakni alam yang suwung, tanpa batas, yang ada

tetapi tidak ada. Alam sunyaruri sebagai witing rame saka sepi, witing

gumelar seka sonya, artinya alam ramai berasal dari sepi dan mulainya ada

berasal dari sepi. Orang yang berhasil mencapai alam sepi itu akan sampai

kasunyatan. Alam kasunyatan ibarat dambaan orang Jawa ketika semedi

(nutupi baahan hawa sanga) seperti sedang mencari tapake kontul

nglayang, nggoleki galiheing kangkung. Logikanya, tapak kaki kuntul atau

bangau yang sedang terbang tentu tidak ada, meskipun hakikatnya ada.

Begitu pula kalau manusia mencari galih batang kangkung yang tengahnya

berlubang tentu tidak ada.

Kasunyatan berasal dari bahasa sansekerta sunya (kosong) atau 0

(pusat). Ia serba hampa. Kehampaan itu akan ditemukan melalui

konsentrasi. Kasunyatan merupakan kenyataan tertinggi kebijaksanaan.

Pada saat komunitas kejawen mampu encapai kasunyatan berarti tahu pula

jati dirinya. Mereka mampu berada pada sebuah titik kulminasi hidup.

Kasunyatan adalh inti ajaran mistik kejawen. Untuk mencapai suwung

pelaku mistik harus mampu menghayatisuasana batin yang disebut liyep

layap ing ngaluyup. Yakni suasana seperti orang tertidur, batin dlaam

keadaan bebas mengembara. Pada saat itu mereka merasa tenang rasanya.

Orang dapat menemukan liyep, yaitu mampu mengatur nafas dada dan

perut sepenuh hati. Pada waktu itu pelaku mistik akan merasakan sari-sari

angin. Tempat layap adalah kerenggangan rasa, berupa sari-sari api atau

panas badan. Sedangkan luyup , akan dirasakan ketika aliran darah sebagai

sari-sari air (Suwardi, 2006:269).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

175

Dalam geguritan ini, penyair mengisahkan dunia hampa. Dunia dan

keberadaannya ini adalah pertanyaan besar bagi manusia. Dari mana asal-usulnya,

dan bagaimana nanti akhirnya. Semua adalah misteri. Penyair memainkan kata

dengan menggunakan kesimpulan tentang dunia hampa pada akhir geguritan.

c. Geguritan Ana Cahya

Dalam Geguritan Ana Cahya, matriksnya adalah kata cahaya itu sendiri.

Dalam geguritan ini, penyair berusaa menunjukkan bentuk-bentuk manusia yang

disinari oleh keagungan cahaya Tuhan. Menurut Suwardi (2006:106) cahaya itu

terpencar karena hebatnya cinta kasih ilahi. Cahaya itu dapat dipandang sebagai

satu-satunya cermin yang memantulkan rupa(Illahi) yang sejati.

Di dalam pewayangan pada waktu pertunjukan belum dimulai, suasana

masih kosong. Yang ada hanya kelir, sebagai gambaran alam semesta, gedebog

(simbol bumi) dan blencong (simbol matahari) (Suwardi, 2006:96). Proses

pertunjukan wayang seringkali dianalogikan sebagai proses penciptaan manusia.

Ketika pertunjukan belum dimulai, manusia ada dalam ketiadaan, masih berada

dalam angan-angan.

Tentang struktur wayang, Suwardi menjelaskan:

Struktur dramatik wayang kulit, dari tetalu (gending awal) sampai

tancep kayon ternyata memuat perjalanan mistik manusia Jawa. Gending

wayang kulit yang paling awal adalah tetalu yang memuat 7 macam

gending, yaitu: Cucur Bawuk, Srikaton, Pareanom, Suksma Ilang, Ayak-

ayakan, Slepegan dan Sampak. Tujuh macam gending ini merupakan

gambaran dari perjalanan manusia yang harus melewati 7 martabat hidup.

Ketujuh martabat tersebut meliputi: pohon dunia (kayun), nur (cahaya,

cermin, roh ilafi (nyawa), dian (qandil), permata (darah) dan dinding jalal

(penjelmaan alam insan kamil). Martabat tujuh tersebut telah dilukiskan

dalam Serat Wirit Hidayat Jati karya R. Ng. Ranggawarsita (2006:96).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

176

Dalam pewayangan cahaya diwakili blencong yang dalam kehidpan

manusia saat ini diibaratkan sebagai wakyu kehidupan atau atma sejati. Cahaya

blencong adalah cahaya sejati yang menerangi seluruh jagad raya. Dalam

geguritan ini, cahaya diibaratkan ilmu. Semua dalam kehidupan ini memerlukan

ilmu sebagai cahaya. Dalam ilmu tersimpan ilmu, mencari ilmu membutuhkan

ilmu, dan setiap ilmu akan melahirkan ilmu. Jaman berjalan menuju jaman,

melahirkan ilmu. Dan mempelajari ilmu, seperti halnya kita memelihara ilmu itu

sendiri.

Cahaya yang menjadi lambang kesadaran, cahaya berjalan lurus

menyibakkan kegelapan. Di dalam diri manusia, ada nurani, yaitu hati yang

mengandung nur, mengandung cahaya. Dengan selalu dalam keadaan sadar dan

sabar, manusia akan benar-benar paham akan baik dan buruk, taat dan ingkar,

setia dan khianat, berkata benar dan dusta, adil dan sewenang-wenang, jujur dan

curang, ikhlas dan culas. Bersama cahaya, manusia bisa memiilih kebaikan,

ketaatan, kesetiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, ketulusan hati. Dalam

limpahan cahaya, manusia bisa menyemai niat yang tulus. Dengan cahaya,

manusia bisa menempuh jalan yang lurus.

d. Geguritan Amasuh Jejer Kasejaten

Pemahaman tentang ilmu sejati dikisahkan dalam Serat Siti Jenar yang

ditulis oleh Aryawijaya: Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining

pangèstinira, gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan

eneng ening. Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

177

tujuannya disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan

jernih.

Menurut Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif karena manusia telah

diberi anugerah oleh Yang Mahakuasa untuk dapat mengaktualisasikan ilmunya

yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Jadi, ilmu sejati bukanlah ilmu yang kita

terima dari orang lain. Yang kita dapatkan melalui indra, pengajaran dari orang

lain, itu hanyalah refleksi ilmu. Dan, ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa

ilmu lahir dari kedalaman batin telah menjadi pemahaman yang universal. Itulah

sebabnya orang-orang Barat tekun dalam melakukan perenungan dan pengkajian

terhadap tanda-tanda di alam semesta.

Jadi, harus ada suasana kondusif bagi orang-orang yang mendalami ilmu

pengetahuan. Suasana kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja yang membuat

ilmuwan tersebut dapat bekerja dengan tenang, nyaman, dan bebas dari berbagai

penyebab kekalutan dan kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk dapat menjadi

ilmuwan sejati haruslah dipenuhi. Setiap orang telah diberi potensi dan talenta

yang disebut kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki kodrat untuk menjadi

ilmuwan harus disediakan iklim kerja yang kondusif sehingga bisa menghasilkan

hal-hal yang dibutuhkan manusia.

Dalam geguritan ini, penyair meyampaikan bahwa kehidupan harus selalu

bertautan dengan upaya memaksimalkan kualitas reputasi (jejer kasejaten) dalam

segala hal, lahir maupun batin. Kulitas reputasi akan mempermudah hidup itu

sendiri, sebab hidup selalu bermesaraan dengan kesulitan, tan kocap wisa sing

nyawatake durgama.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

178

Reputasi diri yang selalu dibangun maksimal akan menghadiahkan

pengalaman (pamulat winasuh dadi awas ing warah), mampu membuat keputusan

(pangrungu winasuh dadi weninging panimbang) dan kuat jati dirinya (pangrasa

winasuh dadi tulusing pamengku). Kemampuan semua itu menjadikan manusia

yang paripurna, ibarat jalma limpat seprapat wis tamat (paham).

e. Geguritan Kendhi Pertala

Dalam geguritan ini menulis mengisahkan kehidupan yang amat rumit

didunia ini. Hidup seringkali bersinggungan dengan kesulitan. Ketika kesulitan

hidup itu datang, hati berubah gundah, kesana-kemari seolah mencari sesuatu

yang hilang. Tekanan darah naik, darah pun mengalir tak beraturan, menekan

keras ke otak hingga membuatnya panas, lalu mengendap di dada menekan paru-

paru hingga nafas terasa berat, detak jantung tidak menentu, dada berdebar-debar

menekan balik darah. Sementara itu keringat dingin pun membeku, dan sekujur

tubuh terasa pegal. Emosi kian memuncak, dengan sorotan mata yang tajam dan

pikiran berputar-putar mengitari tumpukan segala kegundahan.

Setiap orang pasti pernah mengalami saat-saat sulit dalam menjalani

kehidupannya. Kadang kesulitan itu memang membuat seseorang frustasi,

bingung, stres, panik, putus asa dan sikap negatif lainnya. Namun kesulitan harus

diletakkan dalam tempat yang tepat sehingga kesulitan dapat berubah menjadi

hikmah yang menjadikan dewasa.

Menjadikan kesulitan menjadi media pendewasaan bisa beragam caranya.

Dari geguritan ini, penyair memberikan satu cara agar kesulitan bisa menjadi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

179

media pendewasaan. Manusia harus memiliki sesuatu yang bisa memberi

penyegaran, yaitu air. Kendhi pertala sebagai sumber air dipercaya penyair dapat

mengobati dahaga manusia, tempat yang terbuat dari tanah yang sangat alami.

Kendhi yang berisi air yang selalu tepat untuk menghilangkan rupa-rupa dahaga.

Meminjam teori Turita Indah Setyani tentang air yang menggunakan

kepercayaan manusia Jawa tentang makrokosmos dan mikrokosmos :

Selain itu, dalam kehidupan masyarakat Jawa dikenal konsep

makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep tersebut mempengaruhi sikap

hidup manusia secara individu untuk menjaga keseimbangan agar tetap

selaras dan harmonis dalam kehidupan di dunia ini, sehingga air berperan

penting sebagai sumber hidupnya untuk sarana menjaga keseimbangan itu.

Makrokosmos merupakan gambaran dan atau tentang segala sesutau yang

terdapat di luar diri manusia, sedangkan mikrokosmos adalah gambaran

dan atau tentang segala sesuatu yang terdapat di dalam diri manusia.

Antara yang di luar dan di dalam diri itu sendiri memiliki kesamaan-

kesamaan dalam kehidupan ini. Menurut Mulder (1983) sikap dan

pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada

kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam

masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang

nampak oleh mata (yang berada di luar dirinya). Dalam menghadapi

kehidupan yang baik dan benar (bener lan pener) di dunia ini tergantung

pada kekuatan batin dan jiwa masing-masing (yang berada di dalam

dirinya). Ia pun mengungkapkan bahwa tindakan bagi orang Jawa adalah

sebagai laku-nya. Oleh karena itu, untuk memaknai air yang berada di

dalam tubuh manusia (mikrokosmos) dengan keadaannya yang 70 % itu,

dapat dipahami dari tanda-tanda atau gambaran air yang berada di luar

tubuh manusia itu sendiri (makrokosmos) (Turita, 2009:3).

Melihat pentingnya peran air daam kehidupan, tidak heran bila penyair

menekankan air dan kendi peratala sebagai sumber air sebagai penyegaran. Air

dalam hal ini tidak serta merta diartikan sebagai benda yang konkrit, melainkan

bisa berupa sesuatu yang lain.

f. Geguritan Mburu Suwunging Jiwa

Matriks dalam geguritan ini adalah mburu suwunging jiwa seperti yang

tertulis dalam judul. Melalui konsep sesuatu yang tak tergambarkan manusia Jawa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

180

menyatakan bahwa hakikat Tuhan adalah kekosongan atau suwung. Kekosongan

adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yan dicari dalam

geguritan ini adalah kekosongan. Seperti sebuah doa yang selalu dipanjatkan para

sufi, “Ya Allah, hamba ingin sirnakan dalam hati ini atas bertumpuknya keinginan

dan keinginan.”

Jadi hakikat Tuhan adalah kekosongan abadi yang padat energi, seperti

areal hampa udara yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden,

tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua

benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang

„kosong‟ atau suwung itu meliputi segalanya. Ia seperti udara yang tanpa batas

dan keberadaanya menyelimuti semua yang ada, baik dari luar maupun di

dalamnya.

Menurut Yana (2010: 27) dalam diri kita ada Atman, yang tak lain adalah

cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekt Atman adalah juga „kekosongan

yang padat energi itu‟. Dengan demikian, apabila dalam diri kita hanya ada

Atman, tanpa ada muatan yang lain misalnya nafsu dan keinginan, maka energi

Atman itu akan berhubungan dan menyatu dengan sang sumber energi.

Lebih jelasnya, Yana menjelaskan:

Untuk itu maka yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah

mempelajari proses penyatuan antara Atman dengan Brahman. Jadi,

apabila hakikat Tuhan adalah kekosongan maka untuk menyatukan diri,

maka diri kita pun harus kosong. Sebab, hanya yang kosonglah yang dapat

menyatu dengan sang maha kosong. Caranya dengan berusaha

menghilangkan muatan-muata yang membebani Atman yang berupa

berbagai nafsu dan keinginan.

Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar

tersambung dengan energi Brahman. Dengan kata uraian diatas maka cara

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

181

yang harus ditempuh adalah melaksanakan yoga samadi, yang intinya

adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan

keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak

akan pernah menjadikan diri kosong. Karena itu slaah satu caranya dengan

Amati Karya, menghentikan segala aktifitas kerja.

Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran Katon atau Orang tua (leluhur)

Tuhan yang Nampak adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah

sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana tetapi lingga yoni (2010:

27).

b. Religius

a. Geguritan Ing Pusering Ning

Dalam Geguritan Ing Pusering Ning, matriksnya adalah ning

(keheningan). Keheningan dalam hal ini adalah kebahagiaan di sisi Tuhan yang

sangat hening. Baginya kehidupan ini hanya sekedar menjalani jejak-jejak janji

yang pernah disepakati manusia dan Tuhan.

Perjanjian merupakan suatu ikatan antara dua pihak atau lebih yang

harus dipatuhi oleh masing-masing pihak yang biasanya bertujuan untuk mencapai

suatu kepentingan bersama yang menguntungkan. Dalam perjanjian tersebut

biasanya dicantumkan hak dan kewajiban serta syarat dan sanksi yang harus

dipatuhi oleh masing-masing pihak. Apabila perjanjian ini dilaksanakan dengan

baik tanpa ada salah satu pihak yang mengkhianati maka akan dapat diharapkan

akan mendatangkan hasilyang memuaskan. Sebaliknya akan mendatangkan

kerugian apabila tidak dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Demikian pula terdapat suatu perjanjian antara manusia dengan Tuhan.

Namun perjanjian tersebut tidaklah sama dengan perjanjian yang selama ini

manusia kenal. Dalam hal ini Tuhan adalah pihak yang benar secara mutlak dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

182

penjamin yang pasti terhadap hasil perjanjian tersebut, sedang manusia di pihak

yang harus menerima dan melaksanakan perjanjian yang dibuat oleh Tuhan Yang

Maha Kuasa. Apabila manusia mematuhi perjanjian, maka manusia akan selamat,

sedangkan kalau mengkhianatinya akan celaka dunia akherat. Tuhan tidak

berkepentingan atas hak dan hasil dari perjanjian tersebut, manusialah yang

berkepentingan. Oleh karena itu manusia terikat sama sekali dengan perjanjian itu.

Baik buruknya perjanjian itu tergantung dari manusia itu sendiri dalam

melaksanakan ketentuan-Nya. Dalam agama Islam, bentuk perjanjian itu terdapat

pada Firman:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak

Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa

mereka (seraya berfirman) :“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka

menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kamimenjadi saksi.” (Kami

lakukan yang demikian itu) Agar dihari kiamat kamu tidakmengatakan

“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah

terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).” QS. Al A‟raaf 7:172.

Itulah bentuk perjanjian itu. Di satu pihak adalah Tuhan sedangkan di

pihak lain adalah tiap-tiap diri manusia. Tuhan menanyakan kepada tiap-tiap diri

manusia, benarkah Dia Tuhannya? Tiap-tiap diri manusia mengakui dan

menyaksikan bahwa benar bahwa Allah adalah Tuhannya. Yang dimaksud

manusia di sini adalah manusia yang masih berupa ruh, yaitu ruh sebelum

ditiupkan ke jasmani (jas-mani) manusia, seperti diketahui, manusia terdiri dari

jasmani dan ruhani dan ruh adanya lebih dulu dari jasmani.

Jika manusia mau sadar bahwa hidup ini hanyalah mengikuti takdir (nulisi

tapaking janji). Susah dan senang harus dijalani dengan segenap budi-daya.

Namun sering manusia tergoda oleh keindahan semu, banyak tak menghiraukan

kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan di sisi Tuhan yang amat luar biasa hening

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

183

(Ning). Keindahan jika manusia mau terus bersujud, bersimpuh di hadapanNya,

dengan terus menyadari atas banyak salah, nangisi cathetaning ati sing kebak

kacandhalan.

b. Geguritan Sing Kesit Pindha Thatit

Dalam hubungan tiga pihak yaitu, manusia, alam semesta dan Tuhan

adalah tiga pihak yang selalu berhubungan secara terusmenerus. Manusia adalah

ciptaan Tuhan, hidup di alam semesta ciptaan Tuhan pula. Dan Tuhan menguasai

dan mengetahui apapun atas ciptaanNya. Kehidupan yang dijalani manusia

melewati jalan waktu kehidupan dunia untuk menuju Tuhan. Perjalanan ini

melalui beberapa pintu. Pintu pertama adalah ketika melewati jalan keluar bayi

dari rahim seorang ibu. Semenjak itu maka manusia disebut sebagai hidup di

dunia. Pintu kedua adalah ketika kita melewati pintu kematian dunia, yaitu pintu

liang kubur. Pintu itu akan memberi jalan kepada kita untuk masuk ke alam

selanjutnya

Manusia seringkali berusaha menelusuri dunia gaib, tentang keberadaan

alam sisinya, termasuk dirinya. Tetapi upaya ini memang tak gampang, justru

kebanyakan orang tak mempedulikan akan semua itu. Untuk menguak tabir gaib

kita memang jauh dari daya, kita miskin ilmu (tumiba ing pangkon asat), kita

miskin kekuatan ( kuthah jerit nala, jerit sinangsayan) dan kita terlalu kotor untuk

banyak tahu ttg gaib (titah cekethi).

Padahal berhadapan yang gaib itu selalu berkutat hal rumit, apalagi tentang

Tuhan dan ciptaanNya. Kesulitan itu, ibarat kita mengikuti perjalanan kilat, yang

kesit pindha thathit.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

184

c. Geguritan Kembang-kembang

Matriks dalam geguritan ini adalah kembang. Kembang dalam geguritan

ini diartikan sebagai keindahan. apabila manusia telah menemukan ruh atau

keindahan sebuah peribadatan, maka manusia itu tatkala ibadah bak kata berenang

dalam lautan bunga (kembang-kembang).

Sebab ia tak sendiri dalam bersujud, semua bersujud (rembulan, lintang

bahkan semua cahaya). Itulah, bila manusia telah menemukan tentang

‘manunggaling kawula Gusti’, kita senantiasa lepas dari segenap derita durgama

rinuwatan. Mengenai pencapaian manunggaling kawula Gusti ini, Suwardi

menjelaskan:

Manunggaling Kawula Gusti merupakan sebuah pengalaman,

bukan ajaran. Sesuatu pengalaman yang benar-benar nyata, tak terbatas

(infinite) bagi yang mengalaminya. Pengalaman ini, dapat terjadi secara

subyektif maupun dalam bentuk kolektif. Pengalaman yang bernuansa

religious ini daam mistik kejawen sering dperumpamakan sebagai curiga

manjing warangka, warangka manjing curiga, ombak mungging jaladri,

tapake kontul nglayang, kodhok ngemuli lenge dan sebagainya.

Perumpamaan (isbat) ini merupakan gambaran perpaduan (pamoring

kawula-Gusti, loro-loroning atungal, jumbuhing kawula-Gusti) yang

keduanya sulit dipisahkan.

Manunggaling kawula-Gusti dapat diraih dengan jalan laku

konsentrasi, pengendalian diri, pemudharan (kebebasan batin dari dunia

indrawi), menguasai ngelu sejati dan tahu hakikat hidup […] (2006:48).

Dengan demikian, akhirnya kita mampu berbicara dengan Tuhan melalui

atas ciptaanNya, mbunteli mantra kojah marang titah-titahMu.

d. Geguritan Cathetan Wengkoning Pandulu

Dalam geguritan ini matriksnya ada dalam judul, yaitu wengkoning

pandulu (cita-cita). Kata cita-cita dijabarkan sepanjang geguritan mengisahkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

185

peran cita-cita dalam kehidupan manusia. Dalam geguritan tersebut, penyair

merindukan keindahan yang selalu ia idam-idamkan.

Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah “Akal dan Budi” atau

lazimnya disebut pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan

perasaan tersebut telah memungkinkan munculnya tuntutan-tuntutan hidup

manusia yang lebih daripada tuntutan hidup makhluk lain. Dalam pikiran dan

perasaan manusia, ada beberapa faktor penting yang harus menjadikan manusia

sebagai makhluk yang berakal, yakni :

1. Pandangan Hidup

Pandangan Hidup merupakan suatu dasar atau landasan untuk

membimbing kehidupan jasmani dan rohani. Pandangan hidup ini sangat

bermanfaat bagi kehidupan individu, masyarakat, atau negara. Semua perbuatan,

tingkah laku dan aturan serta undang-undang harus merupakan pancaran dari

pandangan hidup yang telah dirumuskan.

Pandangan hidup sering disebut filsafat hidup. Filsafat berarti cinta akan

kebenaran, sedangkan kebenaran dapat dicapai oleh siapa saja. Hal inilah yang

mengakibatkan pandangan hidup itu perlu dimiliki oleh semua orang dan semua

golongan. Setiap orang, baik dari tingkatan yang paling rendah sampai dengan

tingkatan yang paling tinggi, mempunyai cita-cita hidup. Hanya kadar cita-citanya

sajalah yang berbeda. Bagi orang yang kurang kuat imannya ataupun kurang luas

wawasannya, apabila gagal mencapai cita-cita, tindakannya biasanya mengarah

pada hal-hal yang bersifat negatif.

2. Cita-Cita

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

186

Pandangan hidup terdiri atas cita-cita, kebajikan dan sikap hidup. Cita-cita,

kebajikan dan sikap hidup itu tak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.

Dalam kehidupannya manusia tidak dapat melepas diri dari cita-cita, kebajikan

dan sikap hidup itu.

Orang tua selalu menimang-nimang anaknya sejak masih bayi agar

menjadi dokter, insinyur, dan sebagainya. Ini berarti bahwa sejak anaknya lahir,

bahkan sejak dalam kandungan, orang tua telah berangan-angan agar anaknya itu

mempunyai jabatan atau profesi yang biasanya tak tercapai oleh orang tuanya.

Karena itu wajarlah apabila cita-cita, kebajikan, dan pandangan hidup

merupakan bagian hidup manusia. Tidak ada orang hidup tanpa cita-cita, tanpa

berbuat kebajikan, dan tanpa sikap hidup. Sudah tentu kadar atau tingkat cita-cita,

kebajikan, dan sikap hidup itu berbeda-beda bergantung kepada pendidikan,

pergaulan, dan lingkungan masing-masing.

Cita-cita itu perasaan hati yang merupakan suatu keinginan yang ada

dalam hati. Cita-cita sering kali diartikan sebagai angan-angan, keinginan,

kemauan, niat atau harapan. Cita-cita itu penting bagi manusia, karena adanya

cita-cita menandakan kedinamikan manusia.

Cita-cita (wengkoning pandulu) dalam geguritan ini adalah peta setiap

manusia hidup. Keberadaan manusia akan bermakna jauh dari sia-sia apabila

memiliki cita-cita, amrih laku urip datan kajuwing. Namun memang takmudah

manusia meraih apa yang menjadi cita-citanya, butuh sesuatu yang total baik itu

kaweningan, eling lan pepaugeraning angling (bertindak).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

187

Selain tiga hal tersebut untuk menemukan apa yang menjadi harapan,

manusia haruslah memohon atau berdoa kepada Sang Khalik. Dengan demikian

ati, jiwa, jangka, lantip jumangkae niyat sing winengku puji.

e. Geguritan Nyuluh Wewerdine Wengi

Sore atau malam, banyak diibaratkan akan purnanya kehidupan dunia.

Nyuluh Werdining Wengi, merupakan upaya untuk mengerti apa yang dinamakan

tentang mati itu?

Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam

organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara

permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab

tidak alami sepertikecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup

mengalami pembusukan. Kematian adalah suatu misteri kehidupan yang telah

menyelimuti umat manusia sejak dahulu kala. Namun, bukti nyata atas asal-mula

kehadirannya hingga kini masih belum tersingkap. Tidak ada seorang pun yang

tahu secara pasti sejak kapan manusia mengalami kematian, dan mengapa harus

mati. Mati yang banyak ditakuti (anjawil tetawunging driya), mati yang datang

begitu tiba-tiba (nyengka kumitiring jaja), dan mati yang masih mengandung

beribu misteri.

Dalam geguritan ini, penyair menyampaikan dengan firman dan ajaran

agamalah manusia sedikit bisa memahami apa arti kematian itu, kanthi sangu

agunging firmanMu, aku nyuluh werdining tampuk dalu.

f. Geguritan Tan Kapetung

Agama butuh pemahaman, setiap ketidakpahaman akan menimbulkan

perilaku keliru. Karena banyak hal yang kurang dipertimbangkan, tan kapetung.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

188

Kedangkalan pemahaman agama tidak hanya berdampak buruk bagi hubungan

manusia dengan Tuhan, tidak hanya bekecimpung dalam permasalahan dosa dan

humuman namun dapat melebar dalam permasalahan yang lebih luas.

Kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku,

budaya, adat dan agama menjadi lebih super-majemuk manakala dilihat dari

tingkat pemahaman agamanya. Karena pemahaman agama melibatkan latar

belakang dan intelektual. Masyarakat Indonesia hampir memiliki seluruh lapisan

latar belakang dan intelektual. Mulai sebutan awam dan cendikiawan, ,pinggiran

dan penguasa, kaum alit dan elit, serta sebuatan-sebutan lain yang

menggambarkan strata sekaligus status mereka. Dengan pluralitas semacam ini

meniscayakan adanya tingkatan-tingkatan pemahaman terhadap agama mereka.

Pada skala tertentu heterogenitas ini dapat menjadi persoalan yang komplek

namun produktif tetapi juga stabil namun kontra produktif. Kompleksitasnya

mampu menggerakkan secara dinamis perubahan-perubahan dalam pemahaman

keagamaan. Kontraproduktifnya tercipta dari penekanan-penekanan terhadap

maasyarakat yang kadar intelektualnya rendah, sehingga pemahaman mereka

terpola dan stabil namun tidak menguntungkan, karena adanya dominasi. Tidak

terjadi dinamisasi pemahaman, sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan

untuk mengaktualisasikan nya.

Pemahaman agama memiliki implikasi yang sangat luas terhadap

kehidupan masyarakat penganutnya. Agama sebagai motivator relagius, Weber

menyebutnya innerworldly asceticism, yakni merupakan dasar bagi

semangatenterpreuneurship dikalangan masyarakat protestan Sebagaimana

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

189

fungsi Imandalam Islam, kepercayaan (belief/iman) dalam hati (bil

qolbi) menuntut pengejawantahan dalam kehidupan, baik ucapan (bil lisan) dan

perbuatan (taqrir). Bagaimana ia memahami konsep agamana dapat diindikasikan

dari interaksi pemeluknya terhadap prilaku sosialnya. Demikian juga pemaknaan

terhadap perubahan sosial yang mungkin selalu terjadi benturan terhadap

pemaknaan simbol-simbol agama – sebagai bentuk responsibility – yang ia fahami

menjadi cerminan tingkat pemahaman agamanya.

Agama praktis menjadi kontrol dari perjalanan hidup pemeluknya, bahkan

terhadap setiap perubahan sosial yang ada. Nilai tersebut secara simultan memberi

kontribusi aktif terhadap prilaku masyarakat. Perbedaan pemahaman agama antara

Kaum Katolik dan Protestan membawa dampak hidup yang berbeda pula. Kaum

protestan lebih bersemangat menjalankan kehidupan duniawinya akibat pemaham

aktivitas social in majorem gloriam dei (semua demi kemuliaan Tuhan) ( Max

Weber, 2000). Sebenarnya bertolak dari sini, pemahaman keagamaan harus selalu

berpacu dengan perubahan sosial, karena juga tidak ada batasan bagaimana

konsep agama itu harus difahamkan secara stagnan. Justru agama harus menjadi

motor perubahan (spirit of change) yang mendahului segala perubahan. Bukan

sebaliknya, agama menjadi justifikasi dan legistimasi perubahan, agama hanya

datang belakangan. Tentu saja ini tergantung pada tingkat pemahaman

pemeluknya terhadap agamanya masing-masing.

Perubahan pemahaman agama dapat pula dilihat dari pemaknaan simbol-

simbol agama dalam suatu komunitas terhadap makna universal simbol-simbol

tersebut. Dimana setiap agama memilki sistem credo dan sistem ritus yang harus

difahami oleh pemeluknya bukan sekedar keyakinan dan gerakan formalitas,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

190

tetapi memiliki konsep religius dari bentuk komunikasi antara hamba dengan

Tuhannya. Pemahaman yang demikian di Indonesia telah “berubah” – jika tidak

dapat dikatakan dirubah secara tersetruktur dan sengaja – pada takaran tertentu

sistem credo dan ritus hanya sebagai simbolisasi dari kerukunan umat beragama.

Pendirian berbagai rumah ibadat dalam satu lokasi bukan lagi simbol

fungsionalisasi meningkatkan penghayatan sistem akidah dan ritual, melainkan

simbol kebersamaan dan keharmonisan – bahkan kebersamaan dan keharmonisan

itu sendiri juga hanya sebatas simbol – dari pluralitas keagamaan di Indonesia

agar terlihat senyatanya suatu kerukunan umat beragama.

g. Geguritan Ing Salembar Iki

Manusia yang hidup di zaman manapun, begitu juga diperingkat mana

pun mereka, samada mereka terdiri dari golongan tua mahupun muda, kaya

ataupun miskin, berpangkat atau tidak dan dari bangsa mana sekalipun samada

Melayu, Arab, Cina, India, Inggeris dan sebagainya, tetap menghadapi masalah

dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka perlukan bantuan dan

sokongan bantuan berbentuk fisik maupun sokongan berbentuk emosional, moral

dan spritual. Dengan kata lain, manusia hidup dalam keadaan sering

mengharapkan perlindungan dan pertolongan Yang Maha Kuasa, apalagi

kedudukannya sebagai makhluk di hadapan Khaliqnya (PenciptaNya). Karena

tabiat manusia itu adalah lemah dan tidak berdaya dari semua aspek. Kelemahan

dan ketidak upayaan ini boleh diatasi jika manusia mendekat dan menyandarkan

dirinya serta berlindung kepada Yang Maha Kuasa.

Oleh karena itu, manusia tidak boleh terpisah dari Tuhannya, maka

manusia perlu mendekatkan diri kepadaNya dengan menyembah dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

191

mengingatiNya di setiap waktu dan tempat. Sedangkan cara untuk mendekatkan

diri tersebut adalah melalui perantaraan doa.

Melalui lembaran doa, manusia dapat selalu berharap akan kebersihan hati,

resik, suci, gasik. Dalam doa selalu harus menghadirkan kesadaran akan banyak

salah, rasa menyesal, rasa ringkih. Jumawa manusia, yang bangga akan dosa dan

salah. Dengan demikian akan terbentuk dalam jiwa hakiki kesadaran dalam ujud,

sumarah.

h. Geguritan Laku Tumuju Sih-Mu

Dalam geguritan ini terdapat unsur religi, nampak dalam awal geguritan

sebelum bercerita terlebih dahulu dihantar dengan kalimat-kalimat yang berupa

pujian atau sanjungan kepada Tuhan. Kalimat tersebut adalah Pangeran Kang

Jembar Ngukung sakalir jembar, Pangeran kang jejeg, ngukuli sakalir kang jejeg.

Sebuah keberuntungann apabila dalam manusia mampu menemukan

kesadaran akan Maha Asih Tuhan. Dalam lindungan Tuhan, hidup menjadi luas

karena Tuhan Maha Luas. Hidup menjadi lurus, karena Tuhan Maha Lurus.

Keberuntungan itu akan terlihat atas hidup yang mengalir seperti air, dimana

berada, disana merengguk kenyamanan, tumuli jangkah saben jangkah gancar.

i. Geguritan Mateg Kemat

Tuhan Maha Pencipta Dan Maha Pengatur, menciptakan manusia dengan

memberinya dua macam kekuatan. Yaitu kekuatan jasmani dan kekuatan rohani,

atau kemampuan yang bersifat lahiriyah dan kemampuan yang bersifat batiniyah.

Manusia terdiri dari dua macam badan; badan jasmani atau badan wadhag dan

badan rohani atau roh atau jiwa. Masing-masing badan itu oleh Tuhan diberikan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

192

kekuatan atau kemampuan yang berbeda-beda sifat dan dayanya. Hanya manusia

saja yang diberi kekuatan seperti itu.

Dengan kelebihan yang diberikan pada manusia, manusia seharusnya

memiliki kesadaran untuk terus mendekatkan diri pada Tuhan sebaga wujud rasa

syukurnya. Menurut (Yewango, 2009: 54 ) ajaran ketuhanan selalu mengingatkan

supaya selalu berpaling kedalam siri karena kualitas kemuliaan diri mansia

terdapat dalam : Sthula sharira (badan kasa), sukma sharira (mental, emosional,

pikiran) dan karana sharira (badan penyebab, sebab dari segala kesadaran) . Pada

akhirnya ajaran Tuhan akan menjadi pedoman dalam kehidupan untuk menggapai

penghidupan dan kehidupan yang damai.

j. Geguritan Miyak Isining Kitir

Pengertian mati lazimnya sebagaimana diketahui adalah lepasnya roh dari

raga atau tubuh manusia. Setiap makhluk hidup cepat atau lambat pasti akan

mengalami mati. Tidak ada satu pun makhluk hidup, termasuk manusia yang

berani menjamin dirinya tidak akan mengalami kematian, walaupun dia seorang

yang sehat dan perkasa sekalipun.

Jadi, suka atau tidak suka, manusia semua pasti akan mengalami yang

namanya kematian. Ibaratnya, manusia saat ini, sedang mengantri menunggu

malaikat maut datang untuk mencabut nyawa. Semuanya hanya menunggu waktu,

tanpa diketahui kapan, bagaimana, dan dimana itu akan terjadi. Begitu absolut dan

misteriusnya kematian itu, semua yang ada ini tiba-tiba terasa begitu rapuh dan

kecil tak berdaya di hadapannya.

Secara naluriah manusia selalu merasa tidak siap menghadapi kematian.

Mati, sebenarnya tak selalu datang dengan serta merta, semuanya ada tanda. Maka

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

193

bagaimana kita mampu memahami itu semua, miyak isining kitir. Sebab apabila

kita meremehkan tanda-tanda, itulah yang terasa, semua amat cepat, hingga kita

belum sempat mempersiapkannya, o, kamangka sangu durung kawadhahan ing

kalbu.

k. Geguritan Dakcandhak Lakune Sasmita

Kata-kata orang bijak, banyak orang mencapai sukses apabila dalam

dirinya mampu mengerti saat hal belum jelas banyak dimengerti. Untuk orang

Jawa hal ini dinamakan ngerti sadurunge winarah. Demikian juga dalam

kehidupan ini harusnya kita selalu berupaya untuk cepat mengerti terhadap semua

hal, termasuk arti kehidupan. Walau harus nlasak ing sela-selaning gegodhongan,

lan gremeting walang-walang ataga.

Pemahaman terhadap hidup selalu dimaknai dengan sebanding rasa sujud

dan patuh kita atas perintah Tuhan. Puncak dari pemahaman itu adalah perasaan

ikhlas kita yang paripurna, nuli dakcandhak mawa adeging karilaning jiwa.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

194

BAB IV

PENUTUP

1. Simpulan

Dari analisis semiotika Michael Riffatere terhadap ketujuhbelas geguritan

Yan Tohari yang berjudul Ing Pusering Ning, Sing Kesit Pindha Thatit, Kembang-

kembang, Muksa, Manjing Jagad Sunyaruri, Ana Cahya, Cathetan Wengkoning

Pandulu, Amasuh Jejer Kasejaten, Kendhi Pertala, Mburu Suwunging Jiwa, Nyuluh

Wewerdine Wengi, Tan Kapetung, Ing Salembar iki, Laku Tumuju Sih-Mu, Mateg

Kemat, Dakcandhak Lakune Sasmita dan Miyak Isining Kitir dapat ditemukan

beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Dalam menganalisis geguritan Yan Tohari yang mengaplikasikan teori semiotika

Michael Riffatere dalam ketidaklangsungan ekspresi puisi, penulis menemukan:

a) Pada penggantian arti (displacing of meaning) ditemukan personifikasi yang

menggunakan memanusiakan benda mati. Dari ketujuh belas geguritan,

nampak penggunaan pohon, bulan, bintang-bintang, cahaya, kilat, angin, nafas

sebagai sesuatu yang bisa melakukan kegiatan seperti manusia. Pemanfaatan

benda-benda alam sekitar ini menandakan penyair ingin melebur dengan alam

sekitar yang merupakan ciptaan Tuhan. Contoh personifikasi dapat dilihat

pada geguritan Ing Pusering Ning pada kalimat ‘dikandung pada keheningan

malam’. Pada kalimat tersebut, keheningan seolah dapat mengadung.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

195

Metonimi yang lain dapat dilihat pada penggunaan sebuah atribut, sebuah

objek atau penggunaan sesuatu sangat dekat berhubungan dengannya untuk

menggantikan objek tersebut. Penyair menggunakan kata Pencipta Jagad raya,

jejak-jejak janji, dibatang muda, pangkuan kering, bunga, tumpulnya sejarah,

dunia penuh kata, cahaya, langit, undangan untuk menggatikan pemaknaan

lain. Pencipta Jagad raya menggantikan nama Tuhan, jejak-jejak janji

menggantikan makna takdir, dibatang muda menggantikan makna usia yang

masih muda, pangkuan kering menggantikan pemaknaan dari sebsuatu yang

belum paham, bunga menggantikan bentuk keindahan, dunia penuh kata

menggantikan banyaknya pertanyaan, cahaya menggantikan pemaknaan dari

ilmu, langit dapat menggantikan makna Tuhan dan undangan menggantikan

makna dari kematian yang selalu dianggap panggilan Tuhan.

b) Penyimpangan arti (distorting of meaning) yang meliputi ambiguitas dan

kontradiksi dan nonsense. Ambiguitas yang mendominasi ketujuh belas

geguritan Yan Tohari berupa ambiguitas yang menggunakan kiasan metafora,

contohnya geguritan Kembang-kembang yang terdapat pada kalimat

‘kembang’. Kembang bisa diartikan bunga yang sesungguhnya, namun bisa

juga diartikan sebuah keindahan. Kontradiksi didominasi kontradiksi yang

berlawanan makna. Perlawanan makna ini dapat dilihat pada geguritan

Kembang-kembang dalam kalimat sinarMu anjrah nibakake berkah yang

berlawanan dengan kalimat ngayahi sakehing durgama lan ribuwatan.

Nonsense didominasi kalimat-kalimat yang kadang tidak logis karena

menggunakan kalimat perumpamaan. Nonsense dengan model ini dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

196

dilihat pada geguritan Sing Kesit Pindha Thatit nonsense ditunjukkan kalimat

‘tetes embun mengurai kebatinan’ embun yang merupakan benda mati di

ibaratkan seperti manusia yang mampu mengurai sesuatu.

c) Penciptaan arti (creating of meaning), meliputi simetri, rima, homologues,

enjambemen dan tipografi, pembacaan heuristic dan hermeneutik. Dari rima

simetri, rima, homologues, enjabemen, tipografi, pembacaan heuristik dan

hermeneutik ditemukan bebagai macam kemungkinan pembacaan dan makna

baru.

2. Matriks dan model yang terdapat pada setiap geguritan Yan Tohari merupakan

inti dari makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, penentuan

matriks dan model pada setiap geguritan melaut menjadi penting untuk dilakukan

demi memperoleh makna yang utuh. Matriks tidak hadir secara langsung dalam

bentuk teks, namun model tampil sebagai aktualisasi pertama dari matriks.

Melalui penentuan model, pemaknaan terhadap geguritan melaut menjadi lebih

terfokus.

Model untuk tematik mistik diwujudkan pada kata kemana sujud akan menuju

(Muksa), semua bisu tanpa ada suara meyapa (Manjing Jagad Sunyaruri), lahir

cahaya dan terus melahirkan cahayanya (Ana Cahya), membasuh tegaknya

kesejatian (Amasuh Jejer Kasejaten), kendhi pertala (Kendhi Pertala), mengejar

kekosongan jiwa (Mburu Suwunging Jiwa).

Model untuk tematik religius diwujudkan pada kata keheningan (Ing Pusering

Ning), kekuasaan yang bagai kilat (Sing Kethit Pindha Thatit), rindu bayang-

bayang kembang (Kembang-kembang), datang dengan membawa segenggam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

197

rangkaian bunga cahaya (Cathetan Wengkoning Pandulu), aku nyuluh rahasia

tengah malam (Nyuluh Wewerdine Wengi), ketika jiwa salah dalam

menunduk:bersujud (Tan Kapetung), o, gusti dihari ini aku pasrah (Ing Salembar

Iki), , jalan menuju kasih-Mu (Laku Tumuju Sih-Mu). Aku berniat memilih roh

dan raga (Mateg Kemat), undangan (Miyak Isining Kitir) dan kugapai jalannya

rahasia (Dakcandhak Lakune Sasmita).

3. Berdasarkan analisis dan tanda yang dikuak menggunakan Semiotika Michael

Riffatere ditemukan nilai-nilai mistik dan religius dalam geguritan karya Yan

Tohari. Sisi mistik ditandai aktifitas spiritualitas penyair dan cara pandang.

Aktifitas spiritual penyair ditandai dengan adanya tindakan untuk meniadakan

keinginan dan berburu keheningan. Cara pandang dapat dilihat melalui pendapat

penyair tentang kematian, bahwa kematian harus disikapi dengan sikap yang

tepat. Sisi religius dapat dilihat sebagai bentuk kepercayaan dan ikatan manusia

dengan Tuhannya. Perilaku religius ini nampak pada keinginan mendekatkan diri

pada Tuhan dengan memposisikan diri pada keheningan, memahami kuasa-Nya,

bersyukur dan bahagia dengan peribadatan yang dilakukan, merasa rindu berada

di sisi Tuhan, selalu berdoa dan sadar kematian yang datang sewaktu-waktu.

2. Saran

1. Hasil penelitian ini dapat dimanafaatkan secara praktis untuk mendekatkan

kembali keberadaan geguritan saat ini kepada masyarakat. Disamping itu setelah

dikupas makna yang terkandung dalam geguritan-geguritan ini, maka diharapkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

198

pembaca dapat membuka wawasan serta pandangan yang luas tentang ehidupan,

sehingga dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Setiap orang memiliki perbedaan persepsi dalam mengartikan semua simbol. Oleh

sebab itu peneliti terhadap teks yang diteliti sifatnya subyektif, sehingga terjadi

perbedaan interpretasi antara satu dengan yang yang lainnya. Oleh karena itu,

peneliti mengharapkan adanya penelitian lain yang senada dengan tema penelitian

ini untuk mereduksi subyektifitas yang mungkin saja terjadi atau adanya

penelitian lain dengan tujuan mengembangkan tema yang sudah dilakukan

peneliti sehingga banyaknya interpretasi tersebut akan menambah cakrawala

semiotika dan dunia sastra.