mrkh
DESCRIPTION
MRKHTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu tanda dari kelainan kongenital yang mengenai genitalia
perempuan adalah Amenore primer. Kelainan kongenital yang paling sering
dijumpai diantaranya adalah gangguan pembentukan vagina yaitu Sindrom
Mayer Rokitansky Kuster Hauser (Sindrom MRKH). MRKH merupakan
sindrom tidak terbentuknya vagina, uterus dan saluran telur (tuba) yang
berasal dari ductus Muller. Genitalia eksterna, ciri kelamin sekunder dan
sitogenetik wanita normal.
Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH) adalah gangguan
yang terjadi pada wanita yang menyerang sistem reproduksi. Keadaan ini
menyebabkan uterus dan vagina tidak berkembang atau sama sekali tidak
ada. Pengaruh pada wanita biasanya adalah hilangnya siklus menstruasi
yang berkaitan dengan tidak adanya uterus. Seringkali, tanda nyata utama
pada Sindrom MRKH adalah menstruasi tidak dimulai sejak usia 16 tahun
(amenore primer). Wanita dengan Sindrom MRKH memiliki pola
kromosom (46,XX) dan fungsi ovarium yang normal, begitu pula dengan
genitalia eksterna, payudara dan pertumbuhan rambut pubis. Walaupun
wanita dengan keadaan seperti ini biasanya tidak dapat hamil, mereka masih
mungkin dapat memiliki anak melalui teknologi reproduksi berbantu.
Wanita dengan Sindrom MRKH bisa juga memiliki kelainan bagian
tubuh lain. Ginjal dapat memiliki kelainan dari segi bentuk dan posisi, atau
11
satu ginjal gagal untuk berkembang (agenesis renal unilateral). Pada
beberapa individu seringkali terdapat kelainan pembentukan tulang,
terutama pada tulang spina (vertebra). Wanita dengan Sindrom MRKH
dapat juga memliki gangguan pendengaran atau cacat jantung.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan tugas ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami serta menjelaskan salah satu kelainan diferensiasi duktus
muller pada tahap embriologi genetalia wanita yaitu Sindrom Mayer
Rokitansky Kuster Hauser (MRKH).
1.2.2 Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan tugas ini, mahasiswa diharapkan
mampu memahami dan menjelaskan mengenai:
1. Definisi Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH)
2. Epidemiologi Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser
(MRKH)
3. Anatomi Embriologi Organ Reproduksi Wanita
4. Etiologi Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH)
5. Patofisiologi Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser
(MRKH)
6. Gambaran Klinis Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser
(MRKH)
7. Diagnosis Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH)
2
8. Diagnosis Banding Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser
(MRKH)
9. Penatalaksanaan Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser
(MRKH)
1.3 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah: BAB 1
Pendahuluan, yang berisi latar belakang, tujuan umum dan khusus,
sistematika penulisan, dan manfaat. BAB 2 Pembahasan, yang berisi
definisi, anatomi embriologi organ reproduksi wanita, etiologi, patofisiologi,
gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, BAB 3
Penutup, yang berisi simpulan dan saran.
1.4 Manfaat
Sebagai dasar pengetahuan mengenai embriologi pada tahap
pembentukan dan perkembangan alat reproduksi untuk dapat mengetahui
sebab terjadinya kelainan pada alat reproduksi yang terjadi sejak embrional
salah satunya adalah Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH).
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Mayer Rokitansky Kuster Hauser Syndrome (MRKH) adalah
kelainan bawaan lahir yang ditandai dengan tidak adanya Vagina, Serviks,
dan Uterus ( Rahim ) yang dapat menyerang 1 dari 5.000 wanita, hal ini
juga terkait dengan ginjal, tulang dan kesulitan pendengaran.
2.2 Epidemiologi
Kejadian Sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH) jarang
terjadi, namun tak jarang kelainan kongenital dari traktus genitalia wanita
ini diperkirakan terjadi pada sekitar 1 diantara 5000 wanita.
Ini adalah penyebab paling umum kedua pada amenorea primer,
kedua setelah sindrom Turner. Karakteristik sekunder seksual adalah
normal seperti yang diharapkan seperti tidak terpengaruhnya fungsi
ovarium. Pemeriksaan daerah genital memperlihatkan genitalia eksterna
wanita yang normal, tapi terdapat pula vagina yang buntu yang biasanya
tidak lebih dari 1,5 cm pada pemeriksaan dalam.
Seringkali daerah kecil dari uterus ditemukan pada lateral dinding
samping panggul. Penting untuk diingat bahwa 40% dari pasien memiliki
kelainan ginjal, 15% dari yang yang utama, misalnya, absent kidney, dan
ada juga kelainan tulang yang dihubungkan dengan sindrom ini.
44
2.3 Anatomi Embriologi Wanita
2.3.1 Embriologi Uterus Dan Ovum
Uterus dan tuba berawal dari saluran mullerian, yang pertama kali
ada didekat kutub atas punggungan urogenital di minggu kelima
perkembangan embrio (Gambar 1). Punggungan ini terdiri dari
mesonefros, gonad, dan saluran yang terkait. Indikasi pertama
perkembangan saluran mullerian adalah penebalan epitel coelomic kira-
kira pada segmen keempat rongga thoraks. Ini menjadi bagian-bagian
tekecil dari tuba fallopi, yang berinvaginasi dan tumbuh secara kaudal
untuk membentuk tuba kecil di tepi lateral punggungan urogenital. Pada
minggu keenam, dua saluran mullerian mendekati satu sama lain di garis
tengah. Satu minggu kemudian mencapai sinus urogenital. Pada saat itu,
dua saluran mullerian bergabung membentuk sebuah kanal tunggal pada
tingkat puncak inguinalis. Puncak ini bertumbuh ke Gubernakulum, yang
merupakan primordial dari ligamen sekitarnya.
Gambar 1. Embriologi Uterus
5
A. Potongan melintang embrio pada usia 4-6 minggu, B. Sel germ primordial ameboid
besar bermigrasi (panah) dari yolk sak ke area epitel germinativum, didalam genitalia. C.
Perpindahan sel simpatikdari ganglia spinalis ke bagian bawah area pertumbuhan ginjal.
Dengan demikian, ujung atas dari saluran mullerian menghasilkan
oviduk (saluran telur), dan bagian-bagian tersebut menyatu membentuk
uterus. Saluran vagina tidak paten secara keseluruhan hingga menjelang
bulan keenam.
2.3.2 Embriologi Ovarium
Pada sekitar minggu keempat, gonad terbentuk pada permukaan
ventral embrio ginjal di sebuah daerah antara segmen kedelapan rongga
thoraks dan segmen lumbal keempat. Sel epitel coelomic menebal, dan
gumpalan sel tunas berhenti ke mesenkim yang mendasarinya. Daerah
yang dibatasi ini disebut epitel germinal. Dari minggu keempat sampai
keenam, bagaimanapun ada banyak sel ameboid besar di daerah ini yang
telah bermigrasi ke dalam tubuh embrio dari yolk sac (lihat Gambar 1).
Sel-sel germinal primordial dibedakan oleh ukurannya yang besar,
morfologis tertentu dan gambaran cytochemical.
Ketika sel-sel germinal primordial mencapai area genital, beberapa
memasuki epitel germinal dan lainnya bergabung dengan kelompok sel
yang sedang berproliferasi atau di mesenkim. Pada akhir minggu kelima,
terjadi pembagian sel secara cepat yang menghasilkan perkembangan
punggung genitalia.. Bagian punggung genitalia sampai ke rongga tubuh
medial terdapat lipatan di dalamnya yang menghasilkan saluran
mesonefrik-Wolffian dan paramesonefrik-mullerian (Gambar 2). Pada
minggu ketujuh, bagian tersebut terpisah dari mesonefros kecuali di zona
6
sentralis, hilus dan salurannya, di mana pembuluh darah masuk. Pada saat
ini, jenis kelamin dapat dibedakan, karena testis dikenal oleh alur
memancar yang ditentukan dengan baik pada sel yang disebut korda seks.
Korda ini dipisahkan dari epitel germinal dengan mesenkim yang menjadi
tunika albuginea. Korda seks, yang terdiri dari sel-sel germinal besar dan
sel epithelioid kecil berasal dari epitel germinal, berkembang menjadi
tubulus seminiferus dan tubuli rete. Bagian ini membangun koneksi
dengan tubulus mesonefrik yang berkembang menjadi epididimis. Saluran
mesonefrik menjadi vas deferens.
Dalam embrio perempuan, epitel germinal berproliferasi untuk
waktu yang lama. Kelompok-kelompok sel yang terbentuk terletak pada
awalnya di wilayah hilus. Jaringan ikat berkembang di antaranya tumbuh
sebagai korda seks. Korda ini mengembangkan korda medulla dan
bertahan untuk waktu yang bervariasi. Pada bulan ketiga, medula dan
korteks sudah terlihat (lihat Gambar. 2). Sebagian besar ovarium terdiri
dari korteks, massa benih yang padat dan sel epithelioid yang
menunjukkan beberapa tanda-tanda pengelompokan, tetapi tidak ada
korda yang berbeda seperti pada testis. Untaian sel yang memanjang dari
epitel germinal menjadi massa kortikal, dan banyak sekali mitosis.
Keberhasilan mitosis dengan cepat akan segera mengurangi ukuran sel-sel
germinal yang sejauh ini tidak lagi dibedakan dengan jelas dari sel
sekitarnya. Sel-sel germinal saat ini disebut oogonium.
7
Gambar 2. Tahap lanjutan diferensiasi seksual pada embrio, TDF=Testis Determining
Factor
Pada bulan keempat, beberapa sel benih di daerah medula mulai
membesar. Ini disebut oosit primer pada awal fase pertumbuhan yang
berlanjut sampai tercapai kematangan. Selama periode ini pertumbuhan
sel, banyak oosit mengalami degenerasi, baik sebelum dan sesudah
8
kelahiran. Sebuah lapisan tunggal dari sel folikel pipih yang berasal
berasal dari epitel germinal segera mengelilingi oosit primer. Struktur ini
sekarang disebut folikel primordial dan dapat pertama kali dilihat di
medula dan kemudian di korteks. Beberapa folikel mulai tumbuh bahkan
sebelum kelahiran, dan beberapa diyakini bertahan di korteks dengan
struktur yang hampir tidak berubah sampai menopause.
Pada bulan kedelapan, ovarium telah menjadi panjang, sempit,
struktur lobulated yang melekat pada dinding tubuh sepanjang garis hilus
oleh mesovarium, yang terletak adalah epoöphoron. Sel epitel germinal
sebagian besar telah dipisahkan dari korteks oleh ikatan jaringan ikat
tunica albuginea. Ikatan ini tidak ada di banyak daerah kecil dimana helai
sel, biasanya disebut sebagai tali Pfluger, yang berhubungan dengan epitel
germinal. Di antara korda ini terdapat sel-sel yang diyakini oleh banyak
orang sebagai oogonium yang menyerupai sel-sel epitel lainnya yang
merupakan hasil dari mitosis berulang. Pada korteks yang mendasari, ada
dua zona yang berbeda. Dibagian superfisial, ada sarang sel germinal pada
sinapsis miosis, diselingi dengan tali Pfluger dan helai jaringan ikat.
Dalam zona yang lebih dalam, ada banyak kelompok sel germinal pada
sinapsis, serta oosit primer, sel pre folikel, dan beberapa folikel primordial.
2.4 Etiologi
Etiologi dari Sindrom MRKH belum jelas. Secara embriologi
diketahui, bahwa terjadinya gangguan perkembangan fusi ductus Muller
pada kehamilan minggu ke sembilan.
9
Sindrom MRKH merupakan bagian dari kelainan agenesis vagina
atau ductus Muller, yang dapat disertai kelainan organ tubuh lain seperti,
tulang belakang, ekstremitas dan traktus urinarius.
2.5 Patofisiologi
Sindrom MRKH awalnya dianggap kejadian sporadis, menunjukkan
keterlibatan faktor-faktor non-genetik atau lingkungan seperti diabetes
gestasional atau thalidomide-seperti teratogen. Namun, studi analisis
riwayat kehamilan yang tersedia gagal untuk mengidentifikasi hubungan
dengan penggunaan narkoba, penyakit, atau paparan teratogen. Penjelasan
lain dari terjadinya sindrom sporadis adalah Hipotetis dalam mewarisi
poligenik/ multifaktorial, ditandai dengan rendahnya risiko kekambuhan
untuk anggota keluarga tingkat pertama. Penjelasan yang paling masuk
akal sebenarnya bergantung pada deskripsi jumlah yang signifikan dan
meningkatnya agregat kekeluargaan berdasarkan keakuratan dari sindrom
MRKH dalam ikatan keluarga mereka. Biasanya Aplasia utero-vaginal
sering ditemukan berhubungan dengan kelainan lain, terutama ginjal dan
tulang, kedua yang terakhir yang kadang-kadang diamati dalam kombinasi
dengan yang pertama dan menarik adalah terjadi pada kerabat yang lebih
jauh dari ibu pasien MRKH. Aplasia Utero-vagina hanya dapat mewakili
satu manifestasi dari defek genetik bervariasi yang berhasil diungkapkan.
Yang terakhir ini tampaknya ditularkan sebagai sifat dominan autosomal
dengan penetrasi yang tidak lengkap ditambah dengan variasi ekspresivitas
10
dari gen mutan tunggal, seperti sebelumnya dihipotesiskan, atau
ketidakseimbangan kromosom terbatas terdeteksi dalam kariotipe standar.
Penyebab sindrom MRKH tidak cukup jelas sampai sekarang,
meskipun spektrum kelainan ditemui menunjukkan cacat bidang
perkembangan, yang melibatkan sistem organ yang terkait erat selama
embriogenesis. Lebih tepatnya, sindrom MRKH dapat dikaitkan dengan
pembelahan awal dari mesoderm intermediate, konsekuensi awal (pada
akhir minggu keempat kehidupan janin) terjadi perubahan protoplasma
dari cabang cervicothoracic dan saluran pronephric. Yang terakhir ini
kemudian menginduksi diferensiasi dari mesonephroi dan kemudian
saluran Wolffian dan Müllerian.
Adanya informasi hubungan keluarga dengan informasi riwayat
genetik awalnya menyebabkan pendekatan gen sebagai kandidat untuk
penentuan etiologi yang mendasari sindrom MRKH baik pada hubungan
dengan penyakit genetik lain atau pada keterlibatan selama embriogenesis.
Akibatnya, MRKH diasosiasikan dengan galaktosemia atau fibrosis kistik,
tetapi tidak untuk gen galaktosa-1-fosfat uridyl transferase (GALT)
maupun pengkodean gen cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR)
saluran klorida menunjukkan setiap mutasi atau polimorfisme terkait
dengan gangguan tersebut. Ekspresi menyimpang hormon anti-Mullerian
(AMH) atau reseptornya, keduanya terlibat dalam saluran regresi
Müllerian adalah hipotesis sebagai penyebab sindrom MRKH, namun teori
ini kemudian disingkirkan sebagai hasil dari temuan yang bertentangan
dari penelitian terhadap 32 pasien. Selain itu, aplasia lengkap struktur
11
Müllerian sering diamati dalam sindrom MRKH, menunjukkan bahwa
diferensiasi Müllerian memang terjadi tetapi tidak lengkap.
Gen dengan spektrum yang luas dari kegiatan selama pengembangan
awal (seperti WT1, PAX2 , HOXA7 untuk HOXA13 dan PBX1) juga
telah diusulkan sebagai penyebab, berdasarkan fenotipe yang diamati pada
tikus mutan. Namun, peran mereka dalam sindrom MRKH belum
selanjutnya menunjukkan adanya keterlibatan secara lanjut. WNT4 adalah
gen perkembangan lain, milik famili gen WNT yang mengatur sel dan
jaringan pertumbuhan dan diferensiasi selama embriogenesis: inaktivasi
homozygotic dalam model tikus menyebabkan kegagalan pembentukan
saluran Müllerian dan berbagai cacat saat lahir yang mematikan. Selain itu,
WNT4 dikenal menjadi penting untuk keberhasilan nephrogenesis. Sebuah
fungsi mutasi yang gagal pada gen WNT4 baru-baru ini dijelaskan dalam
seorang wanita 18 tahun, berkaitan dengan tidak adanya struktur Müllerian
yang diturunkan, agenesis ginjal unilateral, dan tanda-tanda klinis
kelebihan androgen. Malformasi kongenital diamati pada pasien ini
mengarahkan fenotipe MRKH seperti dan serupa dengan yang diamati
dalam WNT4-/-tikus tersebut menunjukkan adanya efek dominan. Dalam
hal ini patologis serta dalam model tikus, tampaknya bahwa fungsi mutasi
WNT4 yang gagal penting untuk diferensiasi ovarium yang normal,
menyebabkan maskulinisasi gonad janin sehingga memproduksi androgen.
Protein WNT4 yang dikenal untuk menekan gen khusus laki-laki seperti
encoding enzim steroidogenik CYP17A1 dan HSB3B2, yang penting
untuk sintesis testosteron. WNT4 mungkin tidak mampu bermutasi
12
menekan ekspresi enzim androgen-sintesis dalam sel ovarium, sehingga
mengarah ke fenotipe hiperandrogenik. Selanjutnya, WNT4 tampaknya
menjadi penting untuk diferensiasi awal saluran Müllerian. Mutasi
dominan-negatif WNT4 kemudian dapat menghasilkan dua efek yang
berbeda, hiperandrogenisme dan aplasia uterus. Urutan gen WNT4 di 19
pasien MRKH telah mengkonfirmasi bahwa gen ini tidak terlibat dalam
sindrom MRKH. Akhirnya, laporan sangat baru pada pasien kedua mutasi
WNT4 lain telah menyebabkan kesimpulan bahwa kekurangan WNT4
bertanggung jawab untuk fenotipe klinis yang berbeda dari sindrom
MRKH klasik. Sindrom ini baru karena WNT4 bermutasi pada wanita XX
dan ditandai dengan tidak adanya derivatif saluran Müllerian,
hiperandrogenisme dan ginjal opsional adysplasia, mirip tetapi berbeda
dari sindrom MRKH, karena itu, harus disebut sebagai nama yang tepat,
seperti "sindrom WNT4" atau "defek WNT4" dan akan dicatat sebagai
akibat jumlah OMIM yang tepat. Yang terakhir ini bisa jadi 277000 jika
diubah, OMIM 601.076 akan dibatasi untuk MRKH tipe I dan II atau
MURCS.
Gen TCF2 (sebelumnya v-HNF1 atau HNF-1β) awalnya ditemukan
terkait dengan diabetes tipe-Mody dan dengan diabetes mellitus, kista
ginjal dan gangguan perkembangan lain ginjal. Menariknya, malformasi
genital seperti uterus bikornuata, uterus Didelphys dan Müllerian aplasia
(OMIM 158.330) yang kadang-kadang ditemukan terkait dengan anomali
ginjal dalam beberapa agregat keluarga menunjukkan mutasi dalam gen
TCF2. Cacat gen ini nanti dapat menjelaskan beberapa kasus yang jarang
13
dalam malformasi Müllerian, termasuk aplasia, membuat gen ini menjadi
salah satu kandidat untuk MRKH, tapi dibatasi untuk kasus keluarga
dengan penyakit ginjal dan/atau riwayat diabetes. Akhirnya hipotesis
penyebab poligenik/multifaktorial untuk sindrom MRKH telah diperkuat
oleh temuan terbaru, pada orang dewasa, dari penghapusan interstisial dan
terminal yang melibatkan masing-masing kromosom 22 dan 4. Namun,
sejumlah besar gen yang termasuk dalam masing-masing penghapusan ini
tidak mengizinkan setiap gen tertentu yang bertanggung jawab untuk
sindrom MRKH. Hanya analisis kohort besar pasien MRKH pasti akan
membantu untuk menggambarkan gen kandidat baru dan membangun
fenotipe/genotipe korelasi yang diperlukan untuk diagnosis genetik
sindrom MRKH.
Gambar 3. Sindrom MRKH
14
2.6 Gambaran Klinis
2.6.1 Gambaran Klinik Utama Sindrom MRKH
Tanda klinis pertama umumnya amenore primer pada pasien dengan
fenotipe wanita normal, yang normal 46, XX kariotipe, dengan fungsi
ovarium normal dengan adanya tanda-tanda kelebihan androgen.
Pemeriksaan luar mengungkapkan pubertas yang normal dilengkapi
dengan karakteristik seksual sekunder perempuan (rambut kemaluan dan
pengembangan payudara stadium Tanner 5) dan genitalia eksterna yang
normal. Pada saat yang sama, ukuran vagina berkurang untuk lebih atau
kurang dalam (2-7 cm) dimple vagina.
Tabel 1. Stadium Tanner
a. b.
Gambar 4. Stadium Tanner, a. Perkembangan Payudara, b. Perkembangan Rambut pubis
15
Pemeriksaan Anatomi diperlukan untuk mendiagnosis dari kedua
jenis sindrom MRKH. Aplasia uterus di hadapan dua tanduk dasar
dihubungkan oleh lipatan peritoneal dan saluran telur normal sesuai
dengan MRKH terisolasi atau sindrom MRKH tipe I. Tipe II adalah
MRKH ditandai dengan simetris atau asimetris uterus hipoplasia, disertai
dengan aplasia dari salah satu dari dua tanduk atau oleh perbedaan ukuran
antara dua dasar tanduk, ditambah dengan malformasi tuba seperti
hipoplasia atau aplasia dari satu atau dua tuba. Malformasi lain yang sering
dikaitkan dengan MRKH Tipe II adalah terlibatnnya saluran kemih atas,
kerangka dan lingkup otologi, malformasi jantung lebih jarang dilaporkan.
Dalam hal ini, MURCS akronim adalah umumnya digunakan sebagai
pengganti. Kasus ovarium polikistik dan tumor ovarium telah dijelaskan
pada wanita yang dinyatakan dengan kromosom 46, XX kariotipe normaL.
Selain itu, aplasia atau tidak adanya derivatif Müllerian sugestif
sindrom MRKH telah dijelaskan dalam kasus disgenesis gonad atau
agenesis di XY atau X0 pasien dengan fenotipe perempuan. Saat ini, jenis
patologi ovarium tidak dianggap untuk menjadi bagian dari spektrum
klinis MRKH atau MURCS, karena tidak ada satu kelompok pasien
menunjukkan acak hubungan antara salah satu patologi ini dan
uterovaginal aplasia telah dilaporkan sejauh ini. Namun, seperti Penelitian
harus dilakukan pada kohort besar perempuan dengan MRKH, untuk
mengkonfirmasi asumsi ini.
Gambar 5. Agenesis vagina pada wanita usia 16 tahun
16
2.6.2 Hubungan terkait dalam MRKH sindrom tipe II (asosiasi MURCS)
1. Hubungan Malformasi Traktus urinarius bagian atas
Hubungan malformasi saluran kemih secara keseluruhan, terkait
kelainan saluran kemih bagian atas ditemukan pada sekitar 40% kasus
dengan sindrom MRKH. Terutama, termasuk agenesis ginjal unilateral
(23-28%), ectopia dari satu atau kedua ginjal (17%), hipoplasia ginjal
(4%), horseshoe kidney dan hidronefrosis. Selain itu, kasus agenesis ginjal
bilateral (urutan Potter) terkait dengan adanya uterus dan saluran telur
telah dilaporkan pada janin aborsi medisinalis, memperkuat gagasan
bahwa aplasia Müllerian, prinsip fitur sindrom MRKH, bisa menjadi
manifestasi ekstra herediter adysplasia ginjal (HRA) di beberapa
kasus. Saat ini, sedang diselidiki sebuah keluarga di mana ini
Jenis asosiasi telah ditemukan: proband adalah 46, XX janin tanpa anomali
kromosom; ayah dan putri pertamanya (sekarang berusia 5 tahun)
disajikan dengan agenesis ginjal unilateral. Sepupu ayahnya, menunjukkan
hemi-uterus, sebuah fitur yang sudah dijelaskan di HRA.
Mempertimbangkan hal ini, adysplasia ginjal tampaknya baik karakteristik
utama HRA dimana Malformasi Müllerian pada berbagai jenis kadang-
kadang ditemui atau bermanifestasi sekunder sindrom MRKH. Meski
mirip, sindrom ini mungkin bisa dibedakan dari satu sama lain ketika
riwayat keluarga yang tersedia: HRA ditularkan sebagai autosomal yang
ketat dominan sifat, sedangkan MRKH menunjukkan lengkap penetrasi
ditambah dengan ekspresivitas sangat bervariasi ketika dijelaskan dalam
anggota keluarga. Oleh karena itu penting bahwa evaluasi ginjal tidak
17
hanya diperlukan ketika mendiagnosis sindrom MRKH, tetapi juga
sepenuhnya dibenarkan di probands anggota keluarga.
2. Hubungan kelainan tulang
Kelainan ini terutama melibatkan tulang belakang (30 sampai 40%)
dan, lebih jarang, wajah dan ekstremitas. Malformasi Rachidial ditemui
dalam MURCS asosiasi adalah scoliosis (20%), kelainan vertebra
(asimetris, menyatu atau terjepit vertebra), Klippel-Feil asosiasi (fusi
setidaknya dua segmen serviks, leher pendek, garis rambut rendah,
pembatasan gerak leher) dan/atau Sprengel yang cacat, malformasi tulang
rusuk atau agenesis, dan spina bifida. Malformasi wajah dan tungkai
terutama brachimesophalang, ectrodactyli, jempol ganda , tidak adanya
radius, displasia atrio-digital (Holt-Oram like syndrome) dan asimetris
wajah.
3. Hubungan Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran atau tuli berhubungan dengan 10 sampai
25% pasien MURCS, mereka sering terkena tuli konduktif akibat kelainan
telinga tengah, seperti ankilosis stapedial, atau defek sensorineural dengan
berbagai keparahan. Pasien dengan gangguan pendengaran terkait dengan
adysplasia dari meatus auditorius dan/atau malformasi telinga juga telah
dilaporkan.
4. Hubungan Malformasi jantung
Hubungan MRKH dengan malformasi jantung kurang umum. Semua
laporan yang terlibat menyebabkan kematian atau kelainan jantung berat
mengevokasi Holt-Oram atau sindrom velocardiofacial seperti
18
membutuhkan pembedahan bila memungkinkan. Seperti dilaporkan
malformasi katup aorta-pulmonal, defek septum atrium dan defek
conotruncal seperti stenosis katup pulmonal atau Tetralogi Fallot.
2.7 Diagnosis
Sindrom MRKH ditandai dengan aplasia bawaan dari uterus dan
bagian atas (2/3) dari vagina wanita menunjukkan perkembangan seksual
sekunder yang normal disertai karakteristik 46, XX kariotipe normal.
Malformasi terkait lainnya (tipe II atau asosiasi MURCS):
- Ginjal (agenesis unilateral, ginjal ginjal atau horseshoe kidney)
- Rangka dan khususnya tulang belakang (Anomali Klippel-Feil; vertebra
menyatu, terutama cervical; scoliosis)
- Disfungsi pendengaran
- Lebih jarang, anomali jantung dan digital (sindaktili, polidactili)
Aplasia utero-vaginal disebut sebagai Rokitansky urutan atau
sindrom MRKH tipe I (terisolasi). Aplasia inkomplit dan/atau
berhubungan dengan kelainan lain, umumnya disebut sebagai asosiasi
MURCS (atau tipe II Sindrom MRKH). Dalam hal ini, istilah GRES
(Genital Renal Ear Syndrome) juga dapat digunakan.
Pemeriksaan fisik menunjukkan pengembangan sekunder seksual yang
normal, perineum normal, dan saluran vagina kecil. Pinggiran himen
biasanya tampak bersama dengan saluran vagina yang kecil, karena
embriologis keduanya berasal dari sinus urogenital. Pemeriksaan
19
rectoabdominal sangat membantu untuk menentukan apakah struktur garis
tengah (bagian atas vagina, leher uterus, dan / atau uterus) ada atau tidak.
Ultrasonografi, harus dilakukan untuk menilai status ginjal, juga dapat
mengkonfirmasi ovarium dan uterus. Struktur kecil sekitar uterus dapat
tampak dan dapat menyebabkan sakit perut / panggul siklik atau kronis dan
memerlukan eksisi bedah jika endometrium tampak dalam puncak
rudimenter noncommunicating.
Gambar 6. a) USG Abdomen pot. axial menunjukkan uterus kiri dan kanan yang normal. b) USG
Abdomen pot. sagittal menunjukkan cavum endometrium didaerah uterus kanan (RH) berhubungan
dengan lesi hipoechoic (M). c) Gambar USG sagital mengarahkan lebih lanjut di arah kaudal
menunjukkan lesi hypoechoic dimana terjadi pengumpulan cairan dengan gema internal terletak di
posterior vesika urinaria. Tampaknya berakhir sedikit di atas introitus.
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi agenesis vagina, terutama untuk
menentukan apakah endometrium fungsional hadir secara normal
serta apakah uterus memiliki kelainan atau tidak. Ada kemungkinan bahwa
MRI mungkin tidak dapat mengidentifikasi bagian uterus lateral yang
tersembunyi pada otot psoas.
20
Gambar 7. MRI: Menunjukkan agenesis vagina.
Laparoskopi hampir tidak pernah ditunjukkan dalam evaluasi diagnostik,
laparoskopi dan untuk kasus-kasus agenesis vagina tanpa nyeri panggul
tidak diperlukan kecuali bentuk anatomi tidak dapat didefinisikan oleh
modalitas lain. Atau, jika nyeri panggul siklik atau kronis berkembang,
maka penilaian dan pengobatan panggul untuk kelainan uterus dan
kemungkinan endometriosis ditunjukkan.
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding aplasia Müllerian meliputi pasien dengan
amenore primer dan dengan karakteristik seksual yang normal sekunder
(Tabel 1). Ini pertama-tama harus mengarah ke eksklusi disgenesis gonad.
Diagnosis banding meliputi adanya kelainan uterus dan vagina kongenital
(aplasia atau agenesis), atresia vagina dan ketidakpekaan androgen.
Septum vagina transversal dan hymen imperforata, yang awalnya dapat
mempersulit dianosis tidak termasuk. Pasien dengan kondisi terakhir
memiliki leher uterus dan uterus yang normal, yang keduanya teraba pada
pemeriksaan rektal. Ultrasonografi dapat digunakan untuk menentukan
21
struktur Müllerian dalam kasus-kasus di mana pemeriksaan palpasi tidak
memberikan hasil.
1. Atresia Vagina
Pada umumnya akan mengungkapkan nyeri panggul dalam
hubungan dengan cryptomenorrhea pada pemeriksaan fisik. Atresia vagina
ditemukan dalam berbagai sindrom, terutama Sindrom Winter (ditandai
dengan kelainan ginjal, genital, dan telinga tengah), dan Sindrom
McKusick-Kaufman, yang berhubungan dengan hidrometrocolpos,
polidactili postaxial dan malformasi jantung bawaan dan karena mutasi
pada gen MKKS yang terletak pada kromosom 20p12. Perlu dicatat bahwa
sementara ini aplasia Müllerian sebagian atau total di Sindrom MRKH
memperlihatkan adanya kemandulan ireversibel, atresia vagina dapat
dikoreksi melalui pembedahan untuk memungkinkan kehamilan.
2. Defek WNT4
Sampai saat ini, hanya dua kasus defek WNT4 telah dikabarkan.
Kondisi ini mirip tetapi berbeda dari Sindrom MRKH sehingga dapat
membingungkan. Tampaknya cukup jelas bahwa kasus-kasus lain akan
segera dilaporkan dalam literatur, sehingga penting untuk memasukkan
sindrom ini ke dalam diagnosis banding MRKH/MURCS. Bukti
hiperandrogenisme pada perempuan dengan fenotip wanita normal
awalnya mengarahkan dokter untuk mencurigai WNT4 sebagai penyebab
utama.
3. Androgen insensitivity syndrome (AIS)
22
AIS, juga disebut sindrom feminisasi testis (TFM), adalah gangguan
pseuhermaphroditism laki-laki yang disebabkan oleh mutasi pada gen
untuk reseptor androgen. AIS adalah gangguan resesif X-linked pada laki-
laki yang memiliki genitalia eksterna wanita, perkembangan payudara
wanita, blind vagina,, uterus yang tidak ada dan adneksa wanita, serta test
abdominalis atau inguinalis. Sebagian Hasil insensitivitas androgen pada
hipospadia dan mikropenis dengan ginekomastia, sehingga sindrom ini
jelas berbeda dengan sindrom MRKH.
4. Aplasia derivatif Müllerian
Aplasia derivatif Müllerian, yang mungkin mirip Sindrom MRKH,
telah dijelaskan dalam hubungan dengan disgenesis gonad. Dalam kasus
ini, pasien menunjukkan kariotipe normal, selalu melibatkan kromosom X,
seperti mosaicisms 45, X/46, X, dic (X), 46, XX/45, X0 , 46, XX/47, XXX
atau penyusunan ulang / penghapusan seperti 46, X, del (X) (pter-q22), 46,
X, i(Xq) atau kariotipe kompleks. Namun, sindrom MRKH tampaknya
tidak menjadi sifat terkait-X dan karena itu tampak bahwa kromosom X
membawa satu atau beberapa gen yang terlibat dalam diferensiasi minimal
sangat awal baik gonad maupun saluran Müllerian.
23
Tabel 2. Kesimpulan Diagnosis banding antara Sindrom MRKH dengan atresia vagina
terisolasi, defek WNT4, dan Sindrom insensitivitas androgen.
2.9 Penatalaksanaan
Terapi melibatkan pembuatan vagina ketika pasien ingin aktif secara
seksual. Ada beberapa terapi pilihan. Yang pertama, yang memakan waktu
tapi tanpa pembedahan, memerlukan penggunaan dilator vagina secara
progresif. Hal ini dapat tercapai dengan baik bila diiringi dengan motivasi
kepada pasien dewasa selama beberapa bulan. Vagina berfungsi secara
baik telah dicapai pada banyak pasien dengan cara ini.
Menggunakan konsep dilator vagina, Ingram menemukan teknik
yang berguna. Dia menggunakan tiga set Lucite dilator. Set pertama berisi
10 dilator dengan panjang 1,5 cm dan bahwa peningkatan panjang 1,5-10
cm; set kedua berisi 5 dilator dengan panjang 2,5 cm dan peningkatan
panjang 3 sampai 10 cm, dan set ketiga memiliki 8 dilator, panjang 3,5 cm
dan diameter 3 sampai panjang 10 cm. Sebuah kursi dipasang di bangku
dan digunakan untuk menjaga tekanan dilator pada dimple introital vagina
bagian posterior uretra. Pasien memegang dilator di tempat dengan pad
atau korset dan bekerja melalui tiga set dalam mode progresif, panjang
dan lebar dapat diatur dan disesuaikan. Kursi tersebut memungkinkan
tekanan terus untuk melawan dilator, tekanan dilanjutkan selama 15
sampai 30 menit pada waktu total minimal 2 jam sehari. Pasien mungkin
membaca atau melakukan kegiatan lain sambil duduk. Hal ini biasanya
24
membutuhkan waktu 4 sampai 6 bulan untuk mengembangkan neovagina
yang memadai dengan teknik ini.
a. b.
Gambar 8. a. Alat dilatator vagina, b. Teknik pemasangan dilatator vagina
Bedah rekonstruksi vagina memiliki banyak variasi teknik. Operasi,
untuk sebagian besar, mengembangkan ruang potensial antara kandung
kemih dan rektum dan mengembalikan ruang ini dengan jaringan
menggunakan stent, paling sering cangkok kulit split-ketebalan atau bahan
sintetis. Pada prosedur akhir, dikembangkan oleh Abbe-McIndoe, mudah
untuk melakukan tapi harus dilakukan hanya bila pasien akan
menggunakan vagina secara sering. Jika ia gagal untuk meninggalkan
cangkok di tempat tersebut, neovagina sering akan mengerut,
meninggalkan bekas luka, dan menjadi tidak berfungsi. Möbus dan rekan
melaporkan bahwa pada 24 pasien yang telah menjalani operasi
pengembangan dari suatu neovagina, 20 dari 24 yang ditemukan untuk
menjalani kehidupan seksual yang sehat dengan respon emosional seksual
yang baik. Mereka menekankan bahwa coitus awal dan teratur pasca
operasi sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang dan lebih unggul
25
pada pemakaian stent. Dengan demikian, waktu pengoperasian bertepatan
dengan kesempatan untuk coitus sangat penting.
Prosedur alternatif ditemukan oleh Williams. Prosedur ini
menggunakan kulit labia dan hasil dalam kantong vagina dengan sumbu
langsung posterior. Meskipun secara anatomi tidak mirip vagina normal
dimana hasil dari prosedur McIndoe itu tidak menghasilkan kantong
vagina yang berfungsi dan diterima dengan baik oleh pasien. Akhirnya,
sumbu vagina normal dilaporkan untuk dapat dikembangkan.
Gambar 9. Teknik Laparoskopi pada prosedur vaginoplasti Sindrom MRKH.
Vecchietti mengembangkan prosedur laparoskopi untuk
memproduksi neovagina. Jahitan laparoskopi ditempatkan di lipatan
Peritoneal antara kandung kemih dan uterus belum sempurna. Sebuah
jarum canggih kemudian menghancurkan pseudohymen dan zaitun
melekatkan jahitan dan menarik erat perineum. Jahitan (dua) tersebut
kemudian diperbaiki ke perangkat traksi pada dinding anterior abdomen
dan lulus traksi diterapkan selama 6 sampai 8 hari. Zaitun tersebut
26
kemudian dilepas dan pasien menggunakan dilator vagina sampai
hubungan seksual dimulai 10 sampai 15 hari kemudian. Beberapa penulis
telah melaporkan keberhasilan dengan prosedur ini.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH) adalah
kelainan bawaan yang ditandai dengan tidak adanya vagina terkait dengan
kelainan uterus yang bervariasi dan saluran kemih tetapi ovarium bersifat
27
fungsional. Salah satu penyebab sindrom MRKH adalah gangguan
perkembangan fusi ductus Muller pada kehamilan minggu ke sembilan. Di
mana akibat dari sindrom ini adalah terganggunya sistem reproduksi
wanita yang mengalaminya.
Sindrom MRKH merupakan bagian dari kelainan agenesis vagina
atau ductus Muller, yang dapat disertai kelainan organ tubuh lain seperti,
tulang belakang, ekstremitas dan traktus urinarius. Sehingga, hal ini perlu
dipelajari tidak hanya bermanfaat untuk mewaspadai kelainan saluran
kemih pada pasien dengan sindrom MRKH, tetapi juga untuk mempelajari
sistem rangka dan pendengaran pada pasien. Pertimbangan psikologis
pasien dengan agenesis uterovaginal mungkin menginginkan kebutuhan
Vaginoplasty secara awal, yang sampai sekarang telah ditunda sampai
sebelum menikah.
Bedah koreksi banyak memerlukan pembentukan sebuah saluran
neovaginal oleh kinerja neovaginoplasty yang dapat dilakukan dengan
teknik bedah terbuka atau laparoskopi. Teknologi fertilisasi in vitro dan
transfer embrio, yang memungkinkan untuk koleksi oosit dari gen ibu,
fertilisasi oleh gen ayah, dan penempatan keduanya akan menghasilkan
kehamilan, sehingga memungkinkan seorang wanita tanpa uterus untuk
memiliki anak dari gennya sendiri.
3.2 Saran
Dengan mengetahui penyebab dari Sindrom MRKH yaitu gangguan
perkembangan fusi ductus Muller pada kehamilan minggu ke Sembilan
28
28
oleh karena berbagai sebab. Perlu dilakukan informasi oleh petugas
kesehatan sejak awal usia reproduksi wanita untuk memperbaiki gizi dan
menghindari pola hidup tidak sehat sehingga dapat menghindari adanya
kelainan embriologi pada saat kehamilannya. Bila dapat dideteksi lebih
dini, maka dapat ditentukan langkah penatalaksanaan secara dini oleh
petugas kesehatan yang berwenang.
Masih banyak lagi kelainan yang terjadi pada masa embriologi
khususnya kelainan pembentukan organ reproduksi baik pada wanita
maupun pria, oleh karena itu perlu dipelajari dan disampaikan untuk
menambah wawasan mengenai hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arsana Wiyasa IW, Aisyatul Mukminah. 2004. Penatalaksanaan Sindroma Mayer Rokitansky Kuster Hauser (Sindroma Mrkh) Dengan Sindroma Klippel Feil. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XX, No.2. Sub Bagian Fetomaternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unibraw.
Rohen, Johanes W, Drecoll, Elke Lutjen. 2003. Embriologi Fungsional, Perkembangan Sistem Fungsi Organ Manusia. Edisi 2. Jakarta: EGC.
29
Langman, Sadler T. W. 2009. Embriologi kedokteran. Edisi 10. Jakarta: EGC
KELAINAN DIFERENSIASI DUKTUS MULLER PADA EMBRIOLOGI GENETALIA WANITA
SINDROM MAYER ROKITANSKY KUSTER HAUSER (MRKH)
Tugas Akhir Mata Kuliah EmbriologiDosen Pengampu: Dr. H. Bambang Poernomo Soenardirahardjo, drh, MS.
30
30
Oleh:Hartini Sri Utami(011314653010)
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN REPRODUKSI
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2014KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan penyusunan Makalah Embriologi yang berjudul “Kelainan
Diferensiasi Duktus Muller Pada Embriologi Genetalia Wanita, Sindrom
Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH)” sebagai tugas akhir Mata Kuliah
Embriologi semester II Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Reproduksi.
31
i
Makalah ini disusun untuk memperluas pengetahuan dalam bidang
Embriologi khususnya mengenai kelainan perkembangan alat reproduksi masa
embrional yang dapat memberikan dampak pada masa dewasa serta pengaruhnya
terhadap organ yang lainnya.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah
Dr. H. Bambang Poernomo Soenardirahardjo, drh, MS. yang telah memberikan
kuliah mengenai embriologi serta menjadi fasilitator dalam diskusi pada mata
kuliah embriologi.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dari segi isi maupun kesalahan dalam penulisannya. Oleh
karena itu saya memohon maaf serta mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penyusun maupun pembaca
untuk menambah wawasan serta pengetahuan khususnya dalam mata kuliah
biomolekuler.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surabaya, 01 Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
32
ii
1.2 Tujuan.................................................................................................2
1.2.1 Tujuan Umum.........................................................................2
1.2.2 Tujuan Khusus........................................................................2
1.3 Sistematika Penulisan.........................................................................3
1.4 Manfaat...............................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................4
2.1 Definisi................................................................................................4
2.2 Epidemiologi.......................................................................................4
2.3 Anatomi Embriologi Organ Reproduksi Wanita................................5
2.3 Embriologi Uterus dan Ovum.......................................................5
2.4 Embriologi Ovarium.....................................................................6
2.4 Etiologi................................................................................................9
2.5 Patofisiologi......................................................................................10
2.6 Gambaran Klinis...............................................................................15
2.6.1 Gambaran Klinik Utama Sindrom MRKH..............................15
2.6.2 Hubungan Terkait Dalam MRKH Sindrom Tipe II (MURCS)
17
2.7 Diagnosis...........................................................................................19
2.8 Diagnosis Banding............................................................................21
2.9 Penatalaksanaan................................................................................24
BAB 3 PENUTUP..................................................................................................28
3.1 Kesimpulan.......................................................................................28
3.2 Saran.................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30
33
iii