mp 03 - sistem informasi...

33

Upload: lykiet

Post on 08-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

PENDAHULUAN ........................................................................................ iii

A. Pengertian Sistem Informasi Geografis ................................................... 1

B. Data Pada Sistem Informasi Geografis ..................................................... 2

1. Data Spasial .......................................................................................... 2

2. Bentuk Data Spasial ............................................................................. 4

3. Input Data Spasial ................................................................................ 8

C. Operasi Spasial dalam Sistem Informasi Geografis ................................. 11

1. Operasi Layer Tunggal ......................................................................... 11

a. Pengubahan Fitur .................................................................................. 11

b. Pemilihan Fitur ..................................................................................... 13

c. Klasifikasi Fitur .................................................................................... 14

2. Operasi Layer Ganda ............................................................................ 14

a. Tumpang Susun (Overlay) .................................................................... 15

b. Kedekatan Jarak (Proximity) ................................................................. 17

c. Korelasi Spasial ..................................................................................... 18

3. Transformasi Spasial ............................................................................. 19

D. Pemodelan Spasial .................................................................................... 20

RANGKUMAN ............................................................................................ 27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 28

iii

BIDANG KAJIAN :Perpetaan, Penginderaan Jauh, dan Sistem Informasi Geografis

MODUL 3 : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PENDAHULUAN

1. Bacalah modul ini sebaik-baiknya dengan cermat

2. Jika diperlukan saudara boleh mencari informasi tambahan sesuai dengan

materi dalam modul ini

3. Setelah membaca kerjakan latihan soal pada bagian akhir modul ini. Saudara

harus mendapatkan skor minimal 70. (minimal 7 soal harus dijawab dengan

benar)

4. Jika belum tuntas dalam belajar modul ini, jangan beralih ke modul

berikutnya

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Dalam substansi keilmuan, setiap guru geografi wajib menguasai

pengetahuan geografi yang setara dengan pengetahuan geografi yang dikuasai

oleh Sarjana Geografi.

SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

Peserta memiliki pengetahuan tentang pengertian SIG, data spasial, operasi

spasial, dan pemodelan spasial dalam SIG.

Sistem Informasi Geografis merupakan satu metode pengolahan dan analisis

data spasial. SIG memiliki kekuatan yang handal dalam pengolahan data spasial.

Perkembangan teknologi spasial semakin menempatkan sistem geografis ini pada

posisi yang strategis. SIG berbasis aplikasi adalah salah satu bentuk sistem

informasi yang sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Modul ini

menjelaskan tentang materi terkait dengan bahasan SIG. Modul ini terdiri dari sub

bahasanpengertian SIG, data spasial, operasi spasial, dan pemodelan spasial dalam

SIG.

PETUNJUK BELAJAR

1

URAIAN MATERI : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

A. Pengertian Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan satu sistem yang banyak

dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Sistem ini telah berkembang menjadi satu

ilmu dan teknologi yang mapan sejalan dengan perkembangan bidang ilmu lain

khususnya teknologi informasi (Liu dan Mason, 2009). Perkembangan SIG ini

banyak diwarnai oleh latar belakang dari penggunanya yang tercermin dari

bervariasinya definisi dari SIG itu sendiri. Teknologi SIG digunakan untuk

mengatur dan memanfaatkan data geografis. Secara luas sistem ini dikenal sebagai

satu teknik analisis spasial dalam berbagai bidang seperti pengelolaan kehutanan,

perencanaan perkotaan, teknik sipil, pengelolaan permukiman, bisnis, dan studi

lingkungan hidup.

Sejalan dengan luasnya bidang aplikasi dari SIG ini, terdapat banyak

definisi dari SIG ini. Namun demikian, di antara keragaman definisi tersebut

dapat dilihat adanya kemiripan satu dengan yang lainnya. Kemiripan tersebut

dapat dilihat pada kemampuan SIG ini dalam mengelola, menganalisa dan

menampilkan data spasial. Definisi konseptual tentang SIG banyak ditemukan

pada referensi-referensi lama. Satu contoh dari definisi SIGseperti disebutkan oleh

Bernhardsen (1992) adalah bahwa SIG merupakan serangkaian sistem perangkat

keras dan lunak komputer yang memiliki fungsi-fungsi untuk perolehan dan

verifikasi, kompilasi, penyimpanan, pembaruan dan perubahan, pengelolaan dan

peralihan, manipulasi, perolehan ulang dan penampilan, analisis dan kombinasi

atas data geografis. Pernyataan lain oleh DeMers (1997) secara lebih sederhana

mendefisikan SIG sebagai serangkaian subsistem yang terdiri atas subsistem input

data, subsistem penyimpanan dan perolehan ulang data, subsistem manipulasi dan

analisis data, dan subsistem pelaporan data. Selanjutnya dinyatakan bahwa SIG

merupakan serangkaian peralatan yang berdaya guna untuk pengumpulan,

penyimpanan, dan menganalisis data spasial.

2

Berdasar definisi konseptual tersebut dapat dipahami bahwa SIG merupakan

satu sistem yang secara garis besar terdiri dari serangkaian perangkat keras dan

lunak serta data spasial sebagai sumber informasinya. Sebuah SIG

mengintegrasikan perangkat keras, perangkat lunak, dan data spasial untuk

perolehan, pengelolaan, analisa, dan menampilkan berbagai bentuk informasi

berreferensi geografis. SIG menurunkan berbagai informasi dari dunia nyata di

muka bumi yang bersifat kompleks dalam bentuk informasi digital. Informasi

yang dihasilkan merupakan informasi spasial yang dapat berupa peta digital

ataupun data atributal. Perolehan informasi spasial dapat dilakukan melalui proses

analisis spasial yang menjadi kekuatan utama dalam SIG ini dibandingkan dengan

sistem informasi lainnya.

B. Data pada Sistem Informasi Geografis

1. Data Spasial

Data yang dimaksud dalam definisi-definisi SIG di atas adalah data spasial

yang berasal dari berbagai sumber. Data spasial ini merupakan data pokok yang

diolah dalam SIG. O'Brien (1992) menjelaskan bahwa data spasial adalah data

yang memiliki referensi geografis. Data spasial ini merupakan penyederhanaan

dan representasi dari dunia nyata yang diwujudkan dalam objek-objek kartografis,

dimana objek ditunjukkan dalam bentuk, ukuran, warna, dan skala yang berbeda

sesuai dengan keperluan dan tujuannya (Bernhardsen, 1992; DeMers, 1997).

Dunia nyata (real world) adalah segala sesuatu yang terdapat di alam. Dunia

nyata memiliki kompleksitas baik dari ukuran, jenis, dan waktu peristiwa.

Kenyataan di lapangan berasal dari segala sesuatu yang berukuran atomik hingga

masalah benua atau yang lebih luas lagi, dari peristiwa yang terjadi ribuan tahun

yang lalu hingga detik ini, dari masalah perubahan bentuk molekular hingga

interaksi sosial. Kompleksitas ini mengakibatkan sulitnya manusia

menggambarkan dunia nyata tersebut. Penggambaran dunia nyata yang dilakukan

merupakan sebuah peristiwa penyederhanaan, klasifikasi, dan simbolisasi sesuai

dengan interpretasi masing-masing individu tersebut. Seluruh fenomena dunia

3

nyata ini tidaklah mungkin sekaligus digambarkan secara lengkap, detil, dan

sempurna.

DeBruin dan Moleenar (2002) menguraikan bahwa sebagai model dari

dunia nyata, maka data spasial dibedakan menjadi dua bentuk model, yaitu model

objek eksak (the exact object model) dan model medan berrangkaian (the

continous field model). Model objek eksak memandang data spasial tersusun atas

objek-objek yang dapat dengan jelas ditentukan dan dibatasi entitasnya. Contoh

dari model ini adalah data bangunan, jalan, lahan pertanian dan lain-lain. Model

medan berrangkaian memahami bahwa ruang geografis adalah suatu rangkaian

yang berkelanjutan. Contoh dari model ini adalah data ketinggian tempat, data

kemiringan lereng, data nilai indeks vegetasi, dan lain-lain. Data ini merupakan

data kontinum yang berkelanjutan dan saling berkaitan satu sama lain.

Data spasial mencakup dua komponen yaitu komponen spasial dan

komponen tematik. Kedua komponen tersebut saling terkait dan saling

memperkuat informasi yang dikandung dalam data tersebut. SIG mendasarkan

pada kedua komponen tersebut dalam berbagai analisis spasial yang dilakukan.

Komponen spasial dan komponen tematik dapat dianalisis secara bersama ataupun

terpisah dari masing-masing komponen tersebut. Komponen spasial dan tematik

dapat diwujudkan menjadi sebuah informasi spasial seperti peta-peta digital yang

pada saat ini banyak digunakan pada berbagai aplikasi online.

Komponen spasial memberikan keterangan tentang lokasi dari keberadaan

data tersebut. Terdapat dua bentuk dari aspek komponen spasial ini yaitu lokasi

absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut merupakan lokasi yang mendasarkan

pada posisi koordinat tertentu dalam sebuah sistem proyeksi. Koordinat

menunjukkan lokasi data secara pasti yang tidak akan diterjemahkan berbeda

antara satu pengguna dengan pengguna lainnya. Sebagai contoh, terdapat

informasi bahwa sebuah obyek gedung terletak pada koordinat 43000 mT,

9156500 mU. Informasi ini menunjukkan secara pasti lokasi gedung tersebut. Para

pengguna informasi dapat mencarinya dengan menggunakan peralatan bantu

navigasi menuju pada titik tersebut. Lokasi relatif menunjuk suatu lokasi

4

berbanding pada suatu lokasi data lainnya. Misal, kampus Unesa Ketitang terletak

di sebelah barat dari jalan Ahmad Yani Surabaya. Informasi ini menunjuk pada

arah tertentu yang dibandingkan dengan posisi fitur tertentu yang lain pada sebuah

data. Komponen tematik merujuk pada jenis informasi yang terkandung pada data

spasial. Data ini dapat berbentuk simbolik, kuantitatif ataupun sebagai data

deskribtif dan terrekam sebagai data atribut. Komponen tematik memunculkan

informasi tematik yang dimunculkan atas sebuah peta dasar.

Penjelasan lain tentang data spasial diperoleh dari Liu dan Mason (2009).

Data spasial dicirikan oleh empat hal yaitu :

1. dibentuk oleh keterkaitan yang nyata antara objek geometris dengan atribut

yang menjelaskan objek tersebut;

2. data spasial memiliki georeferensi yang nyata di muka bumi;

3. data spasial terkategori dan direpresentasikan sebagai objek titik, garis atau

area, sesuai dengan karakter dasar dari objek tersebut dalam dunia nyata;

4. data dikelola menjadi peta-peta tematik sesuai dengan jenis fiturnya dalam

dunia nyata. Sejalan dengan karakteristik terakhir tersebut, data spasial yang

memuat informasi tertentu yang sering disebut sebagai peta tematik.

2. Bentuk Data Spasial

Data spasial sering diwujudkan dalam dua bentuk yaitu data digital dan data

analog. Data digital dihasilkan atas suatu proses digital menggunakan perangkat

komputer, sedangkan data analog dihasilkan dari proses manual ataupun cetak

dari data digital. Data digital dan analog memiliki karakteristik yang berbeda.

Perbedaan karakteristik ini mencakup bentuk dan ukuran data. Karakteristik data

ini memberikan pengaruh terhadap cara pengelolaan dan pengolahannya dalam

aplikasi. Data analog pada umumnya memerlukan metode-metode manual,

sementara data digital memerlukan metode terotomasi berbantuan komputer. Data

digital pada saat ini lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi. Berikut

karakteristik dari dua bentuk data tersebut.

5

Tabel 1. Karakteristik data spasial

Data Digital Data Analog

Mudah diperbarui Perbaikan harus meliputi seluruh peta

Mudah dan cepat dipindahkan Sulit untuk proses pemindahan data

Ruang penyimpan kecil Diperlukan ruang luas untuk

penyimpanan

Mudah di kelola Diperlukan kertas cetak yang terpisah

Data dilakukan analisis

terotomasi

Sulit dan kurang akuran dalam proses

analisis

Sumber : Bernhardsen, 1992

SIG menggunakan data spasial dalam bentuk data digital. SIG akan

mengolah dan memvisualisasikan data spasial dalam bentuk struktur data raster

atau vektor. Struktur data ini memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda.

Bentuk struktur data ini juga memerlukan metode pengolahan dan teknis analisis

yang berbeda.Kedua tipe ini dapat digunakan secara bersamaan ataupun terpisah.

Data vektor merupakan data yang lebih umum digunakan dalam berbagai fungsi

SIG ini. Sebagian besar operasi spasial dilakukan terhadap data dengan struktur

data yang sejenis, namun demikian beberapa operasi dalam SIG dapat digunakan

untuk analisis terhadap dua data dengan tipe data yang berbeda (Fotheringham

dkk, 2000).

Struktur data raster adalah satu bentuk data diskrit. Informasi yang

tersimpan pada data tipe raster ini akan menjadi data yang bersifat diskret. Setiap

piksel mengandung informasi kuantitatif yang terpisah dengan piksel di

sekitarnya. Data diskret tersebut dapat diklasifikasi sehingga dapat dihasilkan data

kualitatif yang bersifat kontiyu. Analisis terhadap data raster dapat dilakukan

melalui berbagai algoritma terotomasi sehingga dapat dilakukan dengan cepat dan

obyektif. Rangkaian angka digital yang dimuat dalam data raster tersebut

merepresentasikan satu jenis informasi. Struktur data raster tidak memiliki tabel

keterangan atau atribut yang menyimpan informasi dari data raster tersebut.

SIGmemanfaatkan data raster yang merepresentasikan kondisi muka bumi, seperti

data-data penginderaan jauh. Format penyimpanan data raster penginderaan jauh

ini berupa band interleaved by li

sequential (.bsq). Perkembangan teknik kompresi data raster selanjutnya yang

digunakan adalah JPEG, TIFF, MrSID, ECW dan lain

2009). Angka digital piksel pada citra satelit dapat mengga

gelombang yang dapat digunakan sebagai penciri obyek di muka bumi.

Gambar

Gambar 1. merupakan contoh dari data spasial jenis raster yang dapat

digunakan dalam analisis spasial dalam

data citra penginderaan jauh. Data raster tersebut apabila diurai terdiri dari banyak

piksel. Masing-masing piksel memiliki informasi numeris yang bersifat diskrit

sesuai dengan obyek yang diwakilinya di lapangan.

Data vektor menyimpan bentuk geometris dan lokasi objek dalam bentuk

vektor dan tabel atribut. Terdapat keterkaitan yang unik antara masing

fitur obyek data vektor dengan identitas yang tersimpan pada tabel atributnya.

Keterkaitan fitur objek dengan a

data georelasional. Bentuk keterkaitan lain dalam data vektor adalah keterkaitan

logikal antar fitur objek tersebut yang dinamakan dengan topologi. Keterkaitan

logikal antar fitur objek ini memungkinkan

masing-masing fitur vektor tersebut. Pengubahan

memanfaatkan data raster yang merepresentasikan kondisi muka bumi, seperti

data penginderaan jauh. Format penyimpanan data raster penginderaan jauh

band interleaved by line (.bil), band interleaved by pixel (.bip), band

. Perkembangan teknik kompresi data raster selanjutnya yang

digunakan adalah JPEG, TIFF, MrSID, ECW dan lain-lain (Liu dan Mason,

2009). Angka digital piksel pada citra satelit dapat menggambarkan nilai panjang

gelombang yang dapat digunakan sebagai penciri obyek di muka bumi.

Gambar 1. Citra satelit sebagai data spasial dalam SIG

Gambar 1. merupakan contoh dari data spasial jenis raster yang dapat

digunakan dalam analisis spasial dalam SIG. Data spasial tersebut berasal dari

data citra penginderaan jauh. Data raster tersebut apabila diurai terdiri dari banyak

masing piksel memiliki informasi numeris yang bersifat diskrit

sesuai dengan obyek yang diwakilinya di lapangan.

ta vektor menyimpan bentuk geometris dan lokasi objek dalam bentuk

vektor dan tabel atribut. Terdapat keterkaitan yang unik antara masing

fitur obyek data vektor dengan identitas yang tersimpan pada tabel atributnya.

Keterkaitan fitur objek dengan atributnya tersebut dinamakan sebagai struktur

data georelasional. Bentuk keterkaitan lain dalam data vektor adalah keterkaitan

logikal antar fitur objek tersebut yang dinamakan dengan topologi. Keterkaitan

logikal antar fitur objek ini memungkinkan SIG mengetahui posisi relatif dari

masing fitur vektor tersebut. Pengubahan-pengubahan pada fitur obyek

6

memanfaatkan data raster yang merepresentasikan kondisi muka bumi, seperti

data penginderaan jauh. Format penyimpanan data raster penginderaan jauh

ne (.bil), band interleaved by pixel (.bip), band

. Perkembangan teknik kompresi data raster selanjutnya yang

lain (Liu dan Mason,

mbarkan nilai panjang

gelombang yang dapat digunakan sebagai penciri obyek di muka bumi.

SIG

Gambar 1. merupakan contoh dari data spasial jenis raster yang dapat

SIG. Data spasial tersebut berasal dari

data citra penginderaan jauh. Data raster tersebut apabila diurai terdiri dari banyak

masing piksel memiliki informasi numeris yang bersifat diskrit

ta vektor menyimpan bentuk geometris dan lokasi objek dalam bentuk

vektor dan tabel atribut. Terdapat keterkaitan yang unik antara masing-masing

fitur obyek data vektor dengan identitas yang tersimpan pada tabel atributnya.

tributnya tersebut dinamakan sebagai struktur

data georelasional. Bentuk keterkaitan lain dalam data vektor adalah keterkaitan

logikal antar fitur objek tersebut yang dinamakan dengan topologi. Keterkaitan

getahui posisi relatif dari

pengubahan pada fitur obyek

7

data vektor akan memberikan efek pada identitas atributnya. Demikian pula

sebaliknya, pengubahan pada identitas atribut akan memberikan efek pada

pengubahan data vektor.

Data tipe vektor terdiri dari titik dan garis atau lengkungan (arc) yang dalam

penggambarannya, fitur objek data vektor diwujudkan dalam bentuk titik (point),

garis (line) dan poligon (polygon). Perwujudan bentuk ini terkait dengan

karakteristik objek atau fenomena yang digambarkan dan skala penggambarannya.

Sebuah wilayah kota dapat digambarkan dengan poligon jika wilayah kota

tersebut secara nyata tergambarkan pada suatu skala tersebut. Jika pada skala

tertentu, wilayah kota tidak tergambarkan maka dapat digunakan simbol titik.

Gambar 2. Start node, vertex, dan end node sebagai penyusun obyek garis

Gambar 2. merupakan ilustrasi dari bentuk data vektor titik dan garis.

Obyek titik tidak memiliki dimensi panjang. Vektor garis memiliki titik awal dan

titik akhir dan pada polyline terdapat vertex.

Titik adalah fitur objek paling sederhana. Titik atau point adalah sebuah

abstraksi data tak berdimensi yang dibentuk dari sebuah koordinat x dan y. Titik

biasanya digunakan untuk merepresentasikan fitur yang terlalu kecil dalam

konteks skala untuk ditampilkan sebagai sebuah poligon atau garis, misal lokasi

dari sebuah gedung, atau juga sebuah kota pada peta skala kecil. Contoh dari fitur

(start node) (End node)

(Vertex)

(start node) (End node)

(Point)

8

objek titik adalah lokasi rumah, pohon, jembatan, dan lain-lain yang tidak

memerlukan informasi terkait ukuran panjang dan luas geometrinya.

Objek titik yang saling terrangkai akan membentuk fitur garis. Sebuah data

vektor garis dibentuk oleh sebuah start node dan diakhiri dengan sebuah end

node. Pada garis lengkung, terdapat beberapa node diantara start node dan end

node tersebut. Node di antara start node dan end node disebut sebagai vertex.

Garis digunakan untuk merepresentasikan fitur memanjang yang terlalu kecil

untuk ditampilkan sebagai poligon pada skala tertentu seperti jalan dan sungai.

Garis juga digunakan untuk merepresentasikan fitur yang tak memiliki informasi

ruang seperti batas administratif desa, kota, atau negara. Contoh dari fitur objek

garis ini adalah jalan, sungai, jalur listrik dan objek lain yang hanya memerlukan

informasi tekait ukuran panjang geometri.

Apabila nilai koordinat dari titik awal dan titik akhir adalah sama maka

terbentuk sebuah fitur objek poligon. Fitur objek poligon ini adalah fitur yang

memiliki atribut luas geometri. Pada sebuah poligon, start node dan end node

berada pada satu koordinat yang sama. Start node dan end node haruslah bertemu

pada koordinat yang sama tersebut, karena jika tidak bertemu, maka hanya akan

membentuk sebuah arc. Poligon dapat berbentuk sebuah lingkaran, segi empat

atau bentuk yang tidak beraturan. Poligon digunakan untuk merepresentasikan

sebuah area. Contoh dari fitur objek ini adalah peta-peta tematik yang memiliki

informasi luas seperti peta persil, peta tanah, peta penggunaan lahan, dan lain-lain.

3. Input Data Spasial

Seperti telah diuraikan dimuka, SIG menggunakan banyak jenis data.

Masing-masing jenis data tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.

Perbedaan ini pada akhirnya menentukan cara proses input dan proses

pengolahannya. Berapa jenis data yang dapat digunakan dalam SIG secara umum

menurut Bernhardsen (1992) adalah :

a. data digital dalam berbagai bentuk seperti data vektor, raster, basisdata,

tabel spreadsheet, data satelit dan lain-lain

9

b. gambar non digital seperti peta tercetak, foto udara, sketsa dan lain-lain

c. dokumen konvensional dan file

d. laporan ilmiah dan kompilasinya

e. hasil pengukuran survey seperti tabel koordinat atau unit lainnya.

Jenis data tersebut merupakan sumber informasi yang dapat digunakan

dalam analisis spasial untuk menghasilkan satu kesimpulan melalui SIG. Data-

data tersebut memerlukan cara yang tepat dalam proses masukannya mengingat

tidak semua metode input adalah tepat untuk setiap jenis data tersebut.

Secara umum terdapat beberapa metode input data dalam SIG. Pada bagian

ini akan sedikit diuraikan metode input data untuk beberapa jenis data yang

banyak digunakan dalam kajian berbasis SIG. Beberapa metode input data dalam

SIG adalah :

a. digitasi peta eksisting melalui digitizer atau onscreen digitizing.

b. penyiaman atau scanning

c. entri manual dari tabel hasil pengukuran dan tabel koordinat

d. transfer data digital

Proses digitasi merupakan proses yang umum dilakukan dalam proses input

data spasial. Proses ini dilakukan menggunakan media digitizer atau

menggunakan perangkat komputer melalui proses digitasi layar. Proses digitasi

secara umum terdiri dari beberapa tahapan yaitu persiapan, proses digitasi, dan

editing data hasil digitasi.

Tahap persiapan sebelum digitasi ditujukan untuk menyiapkan berbagai data

terkait yang diperlukan dalam proses digitasi tersebut. Data pokok yang akan

didigitasi harus diperiksa ketersediaan kontrol lapangannya. Kontrol lapangan ini

dapat diabaikan jika telah terdapat grid koordinat pada sebuah peta dasar awal

yang akan di digitasi. Data terkait dengan data pokok tersebut yang harus

diperhatikan adalah tabel-tabel informasi dari obyek akan didigitasi. Sebagai

contoh adalah keterangan data kelas jalan, lebar jalan, nama jalan dan lain-lain

dalam persiapan pembuatan peta jalan.

10

Proses digitasi adalah proses pengubahan bentuk data dari bentuk analog ke

dalam bentuk digital atau data raster ke dalam bentuk vektor (Bernhardsen, 1992).

Data vektor merupakan data pokok yang diolah dalam SIG. Oleh karena itu

berbagai bentuk data masukan pada umumnya diubah menjadi data vektor dalam

bentuk titik, garis, ataupun poligon. Proses masukan dapat dilakukan dengan

menggunakan perangkat keras digitizer atau menggunakan layar komputer

berbantuan perangkat lunak SIG. Perangkat lunak SIG pada saat ini memiliki fitur

digitasi yang lengkap. Proses input juga dilakukan pada data atributnya. Data

atribut ini merupakan data-data tabular yang terhubung secara topologi dengan

fitur spasial.

Proses editing dilakukan setelah proses digitasi selesai. Editing meliputi

koreksi kesalahan, input data yang hilang, dan pembangunan topologi. Data hasil

digitasi diverifikasi melalui layar ataupun melalui data peta tercetak. Perbaikan

dilakukan terhadap kesalahan geometris ataupun posisi fitur. Kesalahan geometris

akan lebih mudah dilakukan melalui layan komputer dengan cara memperbesar

tampilan fitur. Kesalahan-kesalahan undershoot dan overshoot sering terjadi jika

proses digitasi dilakukan dengan menggunakan perangkat keras digitizer atau

perangkat lunak CAD. Perbaikan geometri juga dilakukan dengan proses

penggeseran vertek untuk memperhalus bentuk fitur dan sesuai dengan data asli.

Proses editing juga dilakukan terhadap data atribut fitur. Proses ini dilakukan jika

masih terdapat kesalahan atau tidak kesesuaian dengan yang seharusnya.

Pada perangkat lunak versi lama pembentukan topologi dilakukan setelah

proses digitasi dan editing selesai. Perkembangan teknologi perangkat lunak SIG

saat ini, memberikan langkah yang lebih sederhana terhadap proses ini. Topologi

secara terotomasi telah terbentuk bersamaan dengan proses input data data.

Penyiaman atau scanning adalah bentuk lain dari proses input data dalam

SIG. Proses ini mengubah data dalam bentuk raster menjadi data dalam bentuk

vektor. Proses pengubahan vektor secara terotomasi dapat dilakukan dengan

menggunakan modul raster to vector pada berbagai perangkat lunak SIG. Metode

ini sering menimbulkan kesalahan apabila kualitas data raster awal kurang baik,

11

atau terdapat fitur yang kompleks dan saling berdekatan. Proses pengubahan

raster ke vektor adalah dilakukan dalam proses pemetaan yang berasal dari data

peta dasar analog yang tersiam.

Perkembangan teknologi perangkat lunak SIG saat ini telah mendukung

proses pengolahan data spasial raster seperti data citra satelit penginderaan jauh.

Kemampuan ini mendukung analisis spasial dan pemodelan berbasis data raster

tersebut.

C. Operasi spasial dalam Sistem Informasi Geografis

Pengolahan data spasial dalam SIG oleh Gao (2008) dijelaskan dengan

istilah operasi spasial. Operasi spasial merupakan satu kekuatan yang dimiliki

oleh SIG. Pengambilan kesimpulan atas suatu analisis spasial didasarkan pada

operasi-operasi spasial ini. Operasi spasial mencakup proses-proses spasial

sederhana hingga yang bersifat kompleks dengan melibatkan lebih dari satu data

spasial. Operasi spasial secara umum dibagi menjadi tiga yaitu operasi layer

tunggal, operasi layer ganda, dan transformasi spasial. Operasi layer tunggal

adalah operasi yang dilakukan hanya pada satu layer, sedangkan operasi layer

ganda adalah operasi yang dilakukan dengan melibatkan dua layer atau lebih.

1. Operasi layer tunggal

Operasi layer tunggal dilakukan pada satu layer data spasial. Operasi spasial

yang termasuk pada kategori operasi layer tunggal adalah pengubahan, pemilihan,

dan klasifikasi fitur.

a. Pengubahan fitur

Pengubahan fitur meliputi proses penambahan, penghapusan,

penggeseran, pemecahan dan penggabungan, eliminasi, penyatuan objek,

dan buffer. Operasi-operasi tersebut menghasilkan perubahan geometri pada data

spasial yang diolah atau menghasilkan data spasial baru dari hasil proses tersebut.

Operasi pengubahan fitur dilakukan untuk mengubah bentuk fitur pada satu data

spasial yang telah ada. Pengubahan dilakukan dengan proses digitasi ataupun

12

penyalinan dari obyek lain pada data tersebut. Operasi ini dapat dilakukan

terhadap fitur data bertipe titik, garis ataupun poligon.

Gambar 3. Operasi penggabungan fitur

Gambar 3. menunjukkan ilustrasi proses penggabungan fitur. Fitur yang

terpilih ditunjukkan dengan warna kuning. Hasil penggabungan fitur nampak

seperti pada Gambar 3. bagian kanan.

Buffering adalah satu bentuk proses pengubahan fitur yang terotomasi.

Operasi ini menghasilkan satu data baru yaitu bentuk area penyangga (buffer) dari

fitur yang telah ada. Area penyangga dihitung dari posisi obyek fitur yang telah

ada dalam satuan metrik tertentu. Gambar 4. adalah contoh operasi buffer.

Gambar 4. Buffer fitur garis dari peta jalan

13

Gambar 4. menunjukkan satu bentuk poligon penyangga (buffer) sebagai

contoh hasil dari proses buffering. Fitur garis dijadikan sebagai dasar perhitungan

area buffer tersebut.Area penyangga dari satu buah fitur titik akan menghasilkan

bentuk lingkaran. Jika jarak antar fitur titik tersebut lebih kecil dari pada jarak

buffer yang ditentukan, maka area penyangga akan membentuk area yang meliput

seluruh titik tersebut. Pada fitur garis dan poligon, area penyangga akan berbentuk

menyerupai bentuk garis tersebut.

b. Pemilihan fitur

Operasi pemilihan merupakan satu operasi yang sering dilakukan dalam

SIG. Operasi ini menjadi satu kekuatan yang sangat bermanfaat bagi SIG. Semua

perangkat lunak SIG memiliki kemampuan operasi ini. Fitur pada operasi ini pada

umumnya mudah dioperasikan dan sering dilakukan terutama pada baris data

spasial dengan jumlah yang besar. Operasi pemilihan dengan cara terotomasi akan

menghemat waktu yang signifikan dalam proses analisis spasial. Modul operasi

pemilihan menjadi satu modul standar pada semua perangkat lunak SIG.

Operasi pemilihan fitur sering pula disebut sebagai operasi pencarian.

Operasi ini sangat membantu apabila data spasial yang diolah memiliki jumlah

rekord yang besar. Proses ini juga akan sangat membantu apabila pencarian

didasarkan pada proses multi kondisi. Kecepatan proses pada beberapa perangkat

lunak SIG sangat dipengaruhi oleh besarnya data dan tipe data spasial tersebut.

Operasi pemilihan fitur dilakukan melalui ekspresi logikal pada tabel atribut

ataupun menggunakan perangkat graphical user interface (GUI). Operasi logikal

dilakukan dengan memberikan input dalam bentuk perintah logikal pada

perangkat lunak. Operasi pemilihan dengan menggunakan ekspresi logikal pada

umumnya dilakukan terhadap perangkat database atau tabel atribut data spasial.

Hasil pemilihan fitur akan memberikan luaran dengan penandaan warna tertentu

pada baris basis data dan fitur GUI.

Pemilihan dengan menggunakan GUI dapat dilakukan secara interaktif pada

perangkat visual. Proses pemilihan fitur akan saling berkaitan antara GUI dengan

14

tabel atributnya. Pemilihan fitur melalui GUI akan memberikan pemilihan pada

tabel atribut, demikian sebaliknya, pemilihan pada tabel atribut akan memberikan

pemilihan pada fitur GUI. Gambar 5. merupakan contoh dari hasil proses

pemilihan fitur melalui perangkat GUI.

Gambar 5. Operasi pemilihan fitur

Gambar 5. menunjukkan contoh operasi hasil pemilihan fitur. Fitur terpilih

akan ditampilkan dengan warna yang berbeda. Baris rekod pada tabel atribut yang

memiliki keterkaitan topologis dengan fitur yang terpilih juga akan disorot dengan

warna yang berbeda. Hal sebaliknya, jika satu baris rekord pada tabel dipilih maka

fitur pada visualisasi peta akan nampak terpilih dengan simbol warna yang

berbeda.

c. Klasifikasi fitur

Operasi klasifikasi pada umumnya didasarkan pada kesamaan atau kelas

interval dari suatu nilai atribut. Operasi klasifikasi banyak dimanfaatkan untuk

menghasilkan peta-peta tematik tertentu. Operasi klasifikasi dapat dilakukan

dengan proses logikal ataupun kategori sederhana menggunakan modul yang telah

tersedia pada perangkat lunak. Operasi klasifikasi aritmetik dapat dilakukan pada

fitur yang memiliki data numeris, sedangkan operasi klasifikasi kategorikal dapat

dilakukan terhadap fitur yang memiliki data baik numeris ataupun karakter.

2. Operasi layer ganda

Operasi layer ganda dilakukan dengan menggunakan minimal dua layer data

spasial. Operasi ini dapat menghasilkan data spasial baru dengan nilai data yang

berasal dari data-data spasial yang dikenai operasi tersebut. Operasi layer ganda

15

dibagi menjadi operasi tumpang susun (overlay), analisis kedekatan jarak

(proximity), dan analisis korelasi spasial.

a. Tumpang Susun (overlay)

Operasi tumpang susun secara umum dilakukan pada data bertipe vektor.

Operasi tumpang susun dapat dilakukan pada data bertipe titik dengan poligon,

garis dengan poligon, atau poligon dengan poligon (Bernhardsen, 1992). Operasi

tumpang susun menghasilkan data spasial baru yang memiliki bentuk geometri

baru dan data atributal penggabungan kedua data spasial masukan. Gao (2008)

menggambarkan struktur operasi overlay ini sebagai berikut :

input theme + overlay theme = output theme

Struktur tersebut menunjukkan perlu adanya lebih dari dua layer data spasial

dalam operasi tumpang susun ini. Pada beberapa perangkat lunak SIG, operasi

tumpang susun hanya dapat dilakukan pada dua layer data spasial. Pada kasus

seperti ini, proses tumpang susun dapat dilakukan secara bertahap apabila data

spasial yang digunakan adalah lebih dari dua. Gambar berikut adalah contoh

diagram yang menggambarkan proses tumpang susun dari beberapa data spasial.

Gambar 6. Diagram proses operasi tumpang susun

16

Diagram dalam Gambar 6. menunjukkan operasi tumpang susun dilakukan

secara bertahap. Dua layer data spasial dilakukan pada putaran pertama yang akan

menghasilkan data spasial baru dengan nama overlay 1. Proses selanjutnya

melakukan operasi tumpang susun kedua pada dua data spasial yang lain yang

akan menghasilkan data spasial bernama overlay 2. Tahap terakhir adalah

melakukan proses tumpang susun data spasial overlay 1 dan overlay 2 yang akan

menghasilkan data spasial baru bernama overlay akhir.

Operasi tumpang susun juga dapat dilakukan pada data raster dengan

menggunakan operasi matematis. DeMers (1997) menyebut operasi tersebut

sebagai operasi mathematically based overlay. Contoh operasi ini adalah proses

matematis yang dilakukan dalam pemrosesan data penginderaan jauh seperti pada

gambar berikut.

Gambar 7. Proses operasi matematis pada data raster

Gambar 7. merupakan proses operasi matematis pada data raster yang

berasal dari data penginderaan jauh dengan menggunakan salah satu perangkat

lunak SIG. Operasi matematis ditunjukkan seperti pada baris formula. Operasi ini

menghasilkan satu data spasial baru bertipe raster dengan nilai dari masing-

masing piksel sebesar hasil perhitungan formula tersebut.

17

b. Kedekatan Jarak (proximity)

Analisis kedekatan jarak (proximity) merupakan analisis yang didasarkan

pada jarak geometrik untuk menentukan kedekatan jarak dari satu atau lebih objek

target. Gambar berikut adalah contoh identifikasi fitur yang didasarkan pada fitur

pada layer yang lain. Operasi identifikasi pada peta persil didasarkan pada fitur

poligon dan fitur titik yang berada diluar dari peta persil tersebut.

Fitur lain hanya digunakan sebagai dasar identifikasi secara spasial. Obyek

yang berada sepenuhnya di dalam poligon akan teridentifikasi, atau obyek yang

sepenuhnya bertepatan dengan fitur titik akan teridentifikasi. Gambar di atas

sebelah kiri, nampak seluruh persil yang berada dalam lingkaran teridentifikasi

dan disimbolkan dengan warna yang berbeda. Gambar sebelah kanan nampak,

persil yang bertepatan dengan lokasi titik akan teridentifikasi dan disimbolkan

dengan warna yang berbeda.

Gambar 8. Operasi pemilihan berbasis layer

Gambar 8. merupakan contoh hasil proses operasi pemilihan berbasis layer.

Fitur yang terpilih didasarkan pada bentuk fitur pada layer lain. Layer poligon

memberikan luaran pilihan terhadap seluruh fitur yang benar-benar berada dalam

poligon. Layer titik memberikan luaran berupa fitur terpilih yang tepat

bertumpang susun dengan titik.

18

c. Korelasi Spasial

Analisis korelasi spasial banyak digunakan dalam proses pemodelan.

Analisis regresi menggunakan modul scatterplot pada SAGA adalah contoh

proses korelasi spasial. Fotheringham dkk (2000) menyebut operasi ini dengan

istilah spatial regression models. Selain itu, proses formulasi model dapat juga

dilakukan melalui analisis statistik multivariat yang kemudian diaplikasikan

dengan operasi matematis pada perangkat lunak SIG. Beberapa perangkat lunak

SIG telah menyediakan modul-modul untuk operasi korelasi spasial ini. Pengguna

dapat menggunakannya untuk analisis tertentu yang sesuai.

Proses ini dapat dilakukan pada data vektor dengan vektor, vektor dengan

raster atau raster dengan raster. Operasi korelasi spasial vektor dengan vektor atau

vektor dengan raster dapat dilakukan apabila pada data spasial vektor terdapat

data yang bertipe numeris. Sedangkan pada data spasial dengan tipe raster, operasi

akan dapat dilakukan dengan baik. Operasi korelasi spasial ini juga mensyaratkan

sebaran data dari kedua data spasial tersebut adalah sama baik lokasi ataupun

sistem proyeksi yang digunakannya. Ketidaksamaan lokasi akan mengakibatkan

kegagalan proses operasi korelasi spasial ini.

Operasi scatterplot dapat dengan mudah diaplikasikan pada data-data

spasial seperti disebutkan di atas. Gambar berikut adalah contoh hasil proses

analisis korelasi spasial yang dilakukan menggunakan scatterplot.

Gambar 9. Operasi korelasi spasial menggunakan scatterplot

19

Gambar 9. menunjukkan nilai korelasi dari sebagai data kerapatan tutupan

lahan dengan nilai indeks vegetasi. Nilai korelasi ditunjukkan pada formulasi

yang tertulis di atas grafik tersebut. Formula regresi yang dihasilkan dari proses

ini selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dan analisis terkait

fenomena yang dikorelasikan tersebut.

3. Transformasi Spasial

Operasi lain yang termasuk kategori transformasi spasial adalah digitasi dan

generalisasi peta, proyeksi dan transformasi berbasis pada grid. Proses dalam

operasi ini pada umumnya menghasilkan data baru dengan satu kondisi yang baru.

Beberapa proses membangun data spasial baru seperti pada proses digitasi,

sementara proses lain hanya mengubah atribut intrinsiknya seperti proses

transformasi dan proyeksi.

Pembentukan data vektor dapat dilakukan dengan menggunakan teknik

ploting dari suatu data koordinat. Proses ini menghasilkan satu data spasial digital

baru yang selanjutnya digunakan dalam berbagai analisis pada SIG. Generalisasi

merupakan proses pengubahan geometri data dengan pengurangan vertek

sehingga diperoleh bentuk yang lebih sederhana. Proses ini dapat dilakukan secara

terotomasi melalui modul yang telah tersedia pada perangkat lunak SIG.

Data digital hasil digitasi ini perlu memiliki titik ikat sebagai acuan

georeferensi dalam satu sistem proyeksi tertentu. Proses pemasangan titik ikat ini

adalah satu contoh dari proses transformasi dan proyeksi. Proses proyeksi dapat

pula dilakukan dengan mengubah sistem proyeksi pada data spasial menjadi satu

sistem proyeksi yang lain. DeBruin dan Moleenar (2002) menyebutkan bahwa

terdapat tiga metode transformasi yang banyak digunakan untuk rektifikasi data

raster dalam SIG yaitu nearest neighbor, bilinear interpolation, dan cubic

convolution.

20

D. Pemodelan Spasial

Bentang lahan dengan berbagai prosesnya adalah fenomena yang sangat

kompleks. Satu bentang lahan akan memiliki variabilitas pada penyusun bentang

lahan tersebut. Kompleksitas bentang lahan tersebut meliputi keragaman

komponen biologi dan fisik yang saling berinteraksi antar ruang dan waktu

(Watkins dan Freeman, 2008). Interaksi tersebut membentuk sebuah sistem yang

sering disebut sebagai suatu sistem lingkungan. Masing-masing dari unsur

pembentuk lingkungan akan saling memberikan pengaruh satu sama lain dalam

perputaran sistem lingkungan tersebut.

Kompleksitas sistem lingkungan dapat dilihat dari karakteristiknya seperti

dijelaskan oleh Letcher dan Jakeman (2009).Karakteristik sistem lingkungan

dicirikan oleh beberapa hal yaitu :

a. ketergantungannya terhadap interaksi tidak linear yang kompleks dengan

sistem-sistem yang lain, variabel penyusun sistem lingkungan pada umumnya

adalah sangat heterogen,

b. karakteristik dari komponen sistem lingkungan sering tidak selaras dalam

skala spasial dan temporal, dan

c. terdapatnya beberapa sistem lingkungan yang tidak dapat atau sulit diakses,

sebagai contoh adalah sistem sungai bawah tanah.

Penyederhanaan-penyederhanaan dalam pengkajian terhadap bentang lahan

tersebut perlu dilakukan, berkaitan dengan kompleksitas

tersebut.Penyederhanaan-penyederhanaan tersebut terkait dengan pengurangan

dimensionalitas sistem, pembatasan atau pengurangan proses-proses yang

dianggap tidak penting, dan penyederhanaan makna definisi yang digunakan

dalam penjelasan suatu sistem (Aral, 2010). Penyederhanaan fenomena dunia

nyata dengan berbagai prosesnya dalam kajian geografi disebut sebagai

pemodelan spasial (deBruin dan Molenaar, 2002; Brown dkk, 2005; Griffith dan

Peres-Netto, 2006).

21

Teknik geostatistik adalah salah satu bentuk pemodelan spasial yang banyak

dilakukan dalam pemodelan spasial menggunakan SIG (Liebhold dkk, 1993;

Thonon dan Pose, 2001; Gharbia dkk, 2016). Metode lain adalah dengan

memadukan SIGdan teknik statistik multivariat.. Geostatistik adalah statistik

terapan yang ditujukan untuk memperkirakan nilai-nilai pada seluruh wilayah dan

menjelaskan berbagai pola spasial dengan mendasarkan pada nilai sampel yang

ada (Liebhold dkk. 1993; Hengl, 1997). Perkiraan nilai pada seluruh wilayah ini

disebut sebagai perkiraan spasial (spatial prediction). Variogram dan krigging

adalahmetode yang banyak digunakan dalam geostatistik ini.

Metode-metode lain adalah dengan membangun model melalui analisis

multivariat. Sebagai contoh adalah dengan menggunakan teknik regresi logistik

dan selanjutnya mengaplikasikan model tersebut pada SIG. Satu contoh bentuk

pemodelan spasial adalah bentuk formulasi matematis yang digunakan untuk

aplikasi spasial tertentu seperti perhitungan erosi, area terdampak bencana, dan

lain-lain. Formula berikut adalah satu contoh pemodelan spasial yang dihasilkan

melalui analisis statistik multivariat untuk perhitungan analisis kerentanan

wilayah karst terhadap pencemaran air bawah tanah (Budiyanto, 2017).

=ݕ)ܲ 1) =ℯೋ

ଵା∑ ℯೕ

......................................................(1)

di mana :

P(yi) : nilai logit pada kategori ke-i

zi : nilai regresi logistik untuk kategori ke-i

e : angka log alami = 2.718

pada formulasi tersebut, nilai Z ditentukan sebagai berikut :

z1 = -2,735 + 104,670(B2) + 6,797(B5) -0,672(IB) - 0,177(IK).....................(2)

z2 = -3,078 + 86,004(B2) + 17,366(B5) - 4,268(IB) - 0,337(IK).....................(3)

Keterangan

z1, z2 : nilai model regresi logistik

22

B2, B5 : nilai spektral band 2 dan band 5

IB : nilai spektral indeks batuan

IK : nilai spektral indeks kekasaran permukaan

Formulasi tersebut adalah contoh pemodelan spasial untuk perhitungan

tingkat kerentanan wilayah karst terhadap pencemaran air bawah tanah karst.

Perhitungan didasarkan dari data-data spasial yang bersumber dari data

penginderaan jauh.

Tujuan dari pembangunan model spasial dijelaskan oleh beberapa ahli.

Taylor dan Karlin (1998) menjelaskan beberapa komponen penting dalam

pemodelan. Komponen pemodelan spasial tersebut terdiri atas

a. fenomena alamiah yang dikaji,

b. sistem logika untuk deduksi fenomena tersebut,

c. alur keterkaitan antara fenomena alamiah yang dikaji dengan sistem logika

yang dibangun dalam model.

Berdasar penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa sebuah model adalah

representasi dari fenomena alamiah yang dibangun dengan suatu sistem penalaran

tertentu. Hal ini sejalan dengan Skidmore (2002) yang menguraikan tentang

model spasial sebagai suatu simplifikasi dari suatu fakta dan diaplikasikan pada

suatu lingkungan tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebuah model ditujukan

untuk memahami dan mengelola sistem secara berkelanjutan. Bliss dkk (2014)

menyatakan bahwa model adalah suatu abstraksi dari realitas sehingga hal

tersebut dapat digunakan untuk pengembangan keilmuan, memberikan dasar bagi

suatu penemuan baru, dan membantu seorang pemimpin dalam pengambilan

keputusan. Sementara itu Aral (2010) menyebutkan tujuan lain dari pembangunan

model secara umum adalah untuk mensimulasi karakter lingkungan yang

dimodelkan tersebut. Uraian lebih lanjut menjelaskan tentang tujuan yang lebih

detil dari pembangunan model, yaitu :

a. sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terkait pemodelan itu sendiri;

23

b. digunakan untuk mengkarakterisasi area yang diteliti seperti dalam kajian

kebumian;

c. digunakan untuk merekonstruksi fenomena masa lalu dan untuk

memperkirakan kondisi yang akan datang;

d. digunakan sebagai satu prediktor dalam sebuah perencanaan induk yang lebih

besar;

e. digunakan untuk membantu pengambilan keputusan secara teknis.

Konsep pemodelan spasial oleh Brown (2005) dibagi menjadi dua yaitu

model data spasial (spatial data model) dan model proses spasial (spatial process

model). Model tersebut didasarkan pada karakter fitur alamiah dan proses-proses

yang terjadi dalam sistem lingkungan. Model data dan proses spasial ini

memfasilitasi kebutuhan proses analisis spasio-temporal dalam kasus-kasus

tertentu.

Terdapat dua sudut padang pada model data spasial, yaitu berdasar sudut

pandang lapangan (field view) dan sudut pandang objek (object view). Sudut

pandang lapangan melihat data spasial sebagai variabel-variabel geografis yang

yang tersebar bervariasi secara kontinyu. Model membagi fitur alamiah secara

diskret dan merentangkannya dalam satu interval tertentu. Model data spasial ini

memiliki bentuk raster. Contoh dari model data spasial ini adalah data

penginderaan jauh seperti citra satelit dan foto udara digital. Data spasial dalam

bentuk tiga dimensional dapat dibangun dengan mendasarkan informasi

ketinggian yang terskala pada satu interval tertentu. Contoh data dalam hal ini

adalah digital elevation model (DEM).

Sudut pandang obyek berfokus pada entitas diskret yang memiliki informasi

lokasi yang diwujudkan dalam fitur spasial seperti titik, garis, dan poligon.

Perwujudan dari model data spasial ini adalah dalam bentuk data vektor. Fitur

alamiah diwujudkan sebagai satu simbol titik, garis atau poligon tergantung pada

karakter fitur serta skala visualisasi data tersebut.

24

Tabel 2. Taksonomi model dalam SIG

Model berbasis lojik

Deduktif Induktif

Model

berbasis

proses dan

metode

Deterministik Model Empiris model induktif

termodifikasi

model statistik,

geostatistik,

algoritma

genetis

Model berbasis

pengetahuan

sistem pakar sistem pakar

bayesian, sistem

fuzzy

Model Proses model hidrologi,

model ekologi

modifikasi

model berbasis

data lokal

Stokastik simulasi klasifikasi

neural network

Sumber : Skidmore (2002)

Model proses spasial berfokus pada perubahan karakter obyek dan

perpindahannya secara spasial. Skidmore (2002) menguraikan klasifikasi model

berdasar pada cara karakteristik penalaran dan metode prosesnya. Klasifikasi

model berdasar pada karakteristik penalarannya dikenal adanya model induktif

dan model deduktif. Model induktif dan deduktif ditunjukkan dalam logika

pengambilan kesimpulannya. Model induktif mengacu pada data-data parsial yang

selanjutnya diaplikasikan kepada seluruh populasi yang ada, sementara itu model

deduktif mengacu dari kebenaran-kebenaran umum yang selanjutnya

diaplikasikan kepada satu fenomena yang spesifik.

Klasifikasi model berdasar pada metode proses dikenal adanya model

deterministik dan stokastik. Model deterministik dan stokastik dalam aplikasinya

dapat menggunakan pendekatan induktif, deduktif, ataupun campuran dari kedua

pendekatan tersebut. Taylor dan Karlin (1998) menyatakan bahwa model

deterministik memperkirakan hasil outcome dari serangkaian variabel tertentu,

sedangkan model stokastik memperkirakan beberapa kemungkinan hasil outcome

dari nilai kemungkinannya atas suatu nilai variabel.

25

Model deterministik oleh Essink (2000) disebut sebagai model yang

dihasilkan oleh keterkaitan sebab-akibat. Model deterministik memiliki hasil yang

pasti atas variabel input tertentu. Model ini sebagian besar disusun atas

pengukuran lapangan secara empiris dengan mendasarkan atas hukum-hukum

yang disusun untuk pembangunan model tersebut. Model deterministik terbagi

menjadi model empiris, model berbasis pengetahuan (knowledge driven model),

dan model berbasis proses (process driven models).

Model empiris dikenal sebagai model berbasis data-data numeris dan

statistik (Skidmore, 2002). Model didasarkan atas data dan dianalisis melalui

perangkat statistik, yang selanjutnya akan membawa sifat lokalitas yang kuat pada

model tersebut. Hal ini sejalan dengan karakteristik sistem lingkungan seperti

disampaikan oleh Letcher dan Jakeman (2009) terkait dengan heterogenitas

komponen penyusun sistem lingkungan. Penjelasan lain oleh Essink (2000) adalah

bahwa model empiris dibentuk dengan mendasarkan pada hasil pengamatan dan

eksperimen. Contoh dari model ini adalah Residual krigging model (Holdaway,

1996), Ordinary Least Square (OLS) model (Lichstein dkk, 2002) dan

eigenfunction spatial analysis (Griffith dan Peres-Neto, 2006). Tiga model spasial

tersebut dibentuk dengan mendasarkan analisis spasial statistik regresi multi

variabel.

Model berbasis pengetahuan menggunakan berbagai hukum untuk

membentuk model keterkaitan antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas

dalam sistem lingkungan. Bousquet dkk (1999) menyebut model ini sebagai

cognitive model dan mendesain sebuah model untuk merepresentasikan dinamika

ekologis dan sosial yang dinamakan dengan multi-agent modelling. Desain model

ini terdiri atas tahap konstruksi, restitusi, dan simulasi. Tahap pertama bertujuan

menyusun pengetahuan awal tentang pokok permasalahan yang akan dimodelkan

hingga alternatif penyelesaiannya melalui berbagai kajian dan literatur. Tahap

kedua merupakan tahap pengujian dan validasi. Pengujian dilakukan dengan

membandingkan hasil proses dari model dengan berbagai fakta dan hukum yang

26

ada dan diyakini kebenarannya. Tahap simulasi dilakukan dengan mencobakan

model dengan beberapa skenario yang telah dirancangkan dalam model tersebut.

Model berbasis proses dibentuk melalui penyusunan rangkaian proses

dengan mendasarkan pada konsep-konsep yang telah mapan. Model berbasis

proses ini juga dikenal sebagai model konsepual. Madhok dan Landgrebe (2001)

mendesain model proses untuk analisis data penginderaan jauh menjadi delapan

langkah yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase definisi permasalahan, fase definisi

penyelesaian masalah, dan fase implementasi penyelesaian masalah.

Model matematis adalah satu bentuk model empiris yang banyak digunakan

dalam pemodelan sistem air tanah melalui SIG seperti dilakukan oleh Leblanc dkk

(2003), Marinov dan Moldoveanu (2005) dan Slesicki (2009). Model matematis

dalam pemodelan sistem air tanah pada umumnya terkait dengan masalah

pengaliran air tanah dan masalah pengangkutan bahan terlarut dalam air tanah

tersebut. Secara ringkas Taylor dan Karlin (1998) menyebut model matematis

adalah sebuah deskribsi kuatitatif dari suatu fenomena alamiah. Sejalan dengan

hal tersebut, Aral (2010) mendefinisikan model matematis sebagai suatu abstraksi

dari sistem lingkungan yang didasarkan atas pemahaman prinsip-prinsip fisik

yang menyusun sistem tersebut. Kompleksitas sistem yang dimodelkan dapat

secara signifikan disederhanakan dan diaplikasikan analisis secara berulang

dengan menggunakan model matematis ini (Madhok dan Landgrebe,

2002).Tahapan dalam pembentukan model matematis diuraikan oleh Essink

(2000), Holzbecker dan Sorek (2005), Slesicki (2009), dan Aral (2010). Tahapan

pembentukan model matematis tersebut secara umum terdiri dari langkah-

langkah:

a. Persiapan

Tahap persiapan terdiri atas penetapan tujuan pembentukan model,

pemahaman permasalahan yang akan dimodelkan, dan evaluasi terhadap

model-model sejenis yang telah ada.

27

b. Penyusunan model dan kalibrasi

Tahap penyusunan model terdiri atas penetapan cakupan model, penetapan

batasan model, penetapan area yang dimodelkan, dan penetapan parameter

model. Tahap kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan tetapan nilai dari

parameter yang digunakan dalam model.

c. Validasi

Validasi adalah tahap pembandingan hasil model dengan hasil amatan

independen atau dari lapangan (Holzbecker dan Sorek, 2005). Validasi ini

dimakudkan untuk mendapatkan keyakinan bahwa model yang dibangun

dapat menggambarkan proses atau sistem yang dimodelkan.

d. Aplikasi model

Model diaplikasikan apabila model memiliki tingkat validasi yang dapat

diterima dan dianggap dapat mewakili proses dan sistem yang dimodelkan

tersebut.

RANGKUMAN

Banyak pengertian tentang SIG. Satu pengertian tentang SIG tersebut adalah

sistem yang secara garis besar terdiri dari serangkaian perangkat keras dan lunak

serta data spasial sebagai sumber informasinya. Sistem ini mengintegrasikan

perangkat keras, perangkat lunak, dan data spasial untuk perolehan, pengelolaan,

analisa, dan menampilkan berbagai bentuk informasi berreferensi geografis.Data

spasial ini merupakan data pokok yang diolah dalam SIG. Data spasial ini

merupakan penyederhanaan dan representasi dari dunia nyata yang diwujudkan

dalam objek-objek kartografis, dimana objek ditunjukkan dalam bentuk, ukuran,

warna, dan skala yang berbeda sesuai dengan keperluan dan tujuannya. Data

spasial memiliki bentuk digital dan analog. Data spasial digital ada dalam bentuk

vektor dan raster. Pengolahan data spasial dilakukan melalui operasi-operasi

spasial. Operasi spasial terdiri dari operasi layer tunggal dan operasi layer ganda.

Operas layer tunggal berupa pengubahan fitur, pemilihan fitur, dan klasifikasi

28

fitur. Operasi layer ganda terdiri dari tumpang susun, kedekatan jarak, dan

korelasi spasial. Operasi spasial lainnya adalah transformasi spasial yang terdiri

dari proses digitasi, generalisasi, dan proyeksi. Selain analisis spasial, SIG

digunakan untuk pemodelan spasial. Pemodelan spasial dalam SIG dapat dibentuk

dengan menggunakan teknik geostatistik, analisis statistik multivariat, atau model

matematis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aral, M.A., 2010. Environmental modeling and health risk analysis, Springer,Hal. 37-61.

Bernhardsen, T. 1992. Geographic information system, Viak IT, Arendall,Norway.

Bliss, K.M., Fowler, K.R., Galluzzo, B.J., 2014. Math modeling, getting started &getting sollutions, Society for Industrial and Applied Mathematics (SIAM),Philadelia.

Bousquet, F., Barreteau, O., Page, C.L., Mullon, C., Weber, J., 1999. Anenvironmental modelling approach. The use of multi agent simulation,Advances in Environmental and Ecological Modeling, Hal. 113-122.

Brown, D.G., Riolo, R., Robinson, D.T., North, M., Rand, W., 2005. Spatialprocess and data models: toward integration of agent-based models and GIS,J.Geograph. Syst., Vol. 7, hal. 25-47.

Budiyanto, E., 2017. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untukPenilaian Kerentanan dan Risiko Pencemaran Air Tanah Karst Gunungsewudi Kabupaten Gunungkidul. Disertasi. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta

de Bruin, S., Molenaar, M., 1999. Remote sensing and geographical informationsystems, dalam : Stein, A., 1999. Spatial statistics for remote sensing,Kluwer academic publishers, Netherland, Hal. 41-45.

de Mers, M.N., 1997, Fundamentals of geographic information system, JohnWilley & Sons, New York.

Essink, G.H.P.O., 2000. Groundwater modelling, Department of Geophisic,Interfaculty Center of Hydrologu Utrecht Institute of Earth Sciences,Utrecht University.

Fotheringham, A.S., Brunsdon, C., Charlton, M., 2000. Quantitative Geography.Perspective on Spatial Data Analysis, SAGE Publication, London.

Gao, Y., 2007. Spatial operation in a GIS-based karst feature database, Environ.Geol., Vol. 54, Hal. 1017-1027.

29

Gharbia, A.S., Gharbia, S.S., Abushak, T., Wafi, H., Aish, A., Zelenakova, M.,Pilla, F., 2016. Groundwater quality evaluation using GIS basedgeostatistical algorithm, Journal of geoscience and environment protection.Vol. 4, Hal. 89 - 103.

Griffith, D., Peres-Neto, P.R., 2006. Spatial modeling in ecology: the flexibility ofeigenfunction spatial analysis, Ecology, Vol. 87, No. 10, hal. 2603-2613.

Hengl, T., 2007. A practical guide to geostatistical mapping of environmentalvariables, Institute for the Environment and Sustainability, Italy.

Holdaway, M.R., 1996. Spatial modeling and interpolation of monthly temperaturusing kriging, Climate Research, Vol. 6, hal. 215-225.

Holzbecher, E., Sorek, S., 2005. Numerical models of groundwater flow andtransport, Encyclopedia of Hydrological Sciences, Hal. 2401 - 2414.

Leblanc, M., Leduc, C., Razack, M., Lemoalle, J., Dagorne, D., Mofor, L., 2003.Application of remote sensing and GIS for groundwater modelling of largesemiarid areas : example of the Lake Chad Basin Africa, Hydrology ofMediterranean and Semiarid Region, Proceeding, IAHS Publication, No.278, Hal. 186-192.

Letcher, R.A., Jakeman, A.J., 2009. Types of environmental models. dalam :Marquette, C.M., 2009. Water and DevelopmentVolume 2, Encyclopedia oflife support system, EOLSS Publisher, United Kingdom.

Liu, J.G., Mason, P.J., 2009. Essential image processing and GIS for remotesensing, John Willey & Sons, Hoboken, USA.

Lichstein, J.W., Simon, T.R., Shriner, S.A., Franzreb, K.E., 2002. Spatialautocorrelation and autoregressive models in ecology, EcologicalMonographs, Vol. 2, Nomor 3, hal. 445-463.

Liebhold, A.M., Rossi, R.E., Kemp, W.P., 1993. Geostatistics and geographicinformation systems in applied insect ecology, Annual review ofEntomology, Vol. 38, No. 1, Hal. 303-327.

Madhok, V., Landgrebe, D.A., 2002. A processing model for remote sensing dataanalysis, IEEE Life Fellow.

Marinov, A.M., Moldoveanu, V., 2005. A mathematical model describingvulnerability to pollution of groundwater in the proximity of Slatina Town,Mathematical modelling of environmental and life science problems,Proceeding, Hal. 123-134.

O'Brien, L., 1992. Introducting quantitative geography, Routledge, New York.

Skidmore A., 2002. Environmental Modelling with GIS and Remote Sensing,Taylor & Francis, London.

30

Slesicki, M., 2009. Aplication of mathematical modelling methods in theprotection of groundwater environment, Journal of water and landdevelopment, No. 13b, Hal. 31-39.

Thonon, I., dan Pose, C.M., 2001. Geostatistical interpolation of topographicalfield data in order to obtain a DEM of small forest catchment in NorstwestSpain, Coruna, Vol. 26, Hal. 179-190.

Taylor, H.M., dan Karlin, S., 1998. An Introduction to Stochastic Modeling, ThirdEdition, Academic Press, New York.

Watkins, N.W., Freeman, M.P., 2008. Natural Complexity, Science, Vol. 320. hal.323-324.