makna eksploitasi dibalik konservasi satwa langka...

124
MAKNA EKSPLOITASI DIBALIK KONSERVASI SATWA LANGKA ANALISIS SEMIOTIKA FOTO JURNALISTIK KARYA RAMA SURYA “YANG KUAT YANG KALAH” SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Oleh : ATIKA FAUZIYYAH NIM: 1113051000101 JURUSAN JURNALISTIK FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440H / 2019 M  

Upload: others

Post on 29-Nov-2019

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKNA EKSPLOITASI DIBALIK KONSERVASI

SATWA LANGKA

ANALISIS SEMIOTIKA FOTO JURNALISTIK

KARYA RAMA SURYA

“YANG KUAT YANG KALAH”

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Oleh :

ATIKA FAUZIYYAH

NIM: 1113051000101

JURUSAN JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440H / 2019 M

 

 

 

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Atika Fauziyyah

NIM : 111305100010

Fakultas : Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Jurusan : Jurnalistik

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Makna Eksploitasi

Dibalik Konservasi Satwa Langka Analisis Semiotika Foto Jurnalistik Karya

Rama Surya Yang Kuat Yang Kalah‖ : adalah benar merupakan karya saya

sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun

kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber

kutipannya dalam sktipsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini

sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dan karya orang lain.

Demikian Pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta 5 Juli 2019.

Atika Fauziyyah

 

i

ABSTRAK

Nama : Atika Fauziyyah

NIM : 1113051000101

Judul Skripsi : MAKNA EKSPLOITASI DIBALIK KONSERVASI SATWA

LANGKA Analisis Semiotika Foto Jurnalistik Karya Rama Surya“YANG

KUAT YANG KALAH”.

Fotografi hadir sebagai media rekam dua dimensi beku yang paling akurat

untuk merepresentasikan realita. Sedangkan Foto dokumenter telah menjadi

medium relevan untuk menyampaikan sebuah realita sosial. Di antaranya adalah

foto-foto di alam semesta ini seperti hutan. Fungsi hutan sendiri ialah sebagai

rumah untuk satwa liar dan kesimbangan ekosistem yang berupa hamparan lahan

berisi sumber daya alam hayati seperti hewan dan pepohonan.

Rama Surya adalah seorang fotografer yang berlatar belakang pemuka

agama sekaligus fotografer dokumenter telah merekam kehidupan gajah-gajah di

Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Waykambas, Lampung. Berangkat dari tragedi

pembunuhan Gajah secara liar dan besar-besaran, Rama Surya membuat catatan

visual yang terekam dalam media buku foto yang diberi judul ―Yang Kuat Yang

Kalah‖. Dengan latar belakang di atas, studi ini berangkat dari pertanyaan:

―Bagaimana kehidupan gajah-gajah di PLG dalam menjalankan keseharian

melalui foto Rama Surya? Apa kandungan pesan denotasi dan konotasi yang ingin

Rama Surya sampaikan dalam foto-fotonya? Adakah kandungan pesan mitos

dalam foto-foto tersebut?‖

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan

kualitatif. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah semiotika yang

dikembangkan oleh Roland Barthes. Metode analisis ini menekan pada

pemaknaan tanda-tanda yang timbul dari suatu karya (dalam hal ini karya

fotografi) dengan tiga tahap, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos yang ditafsirkan

atau dimaknai sendiri oleh peneliti yang tentu dengan latar belakang

kemampuannya, tanpa mencari suatu kebenaran yang mutlak.

Dari penelitian ini dapat dilihat secara pesan denotasi tentang kehidupan

para Gajah Sumatera, tergambarkan dari pada ‗keluh kesah‘ kumpulan gajah di

PLG Sumatera dan terlihat pula pengorbanan dan penderitaan yang harus mereka

hadapi di ruang publik. Jika menurut Barthes, pembuat dalam hal ini fotografer

telah tiada setelah karyanya jadi, maka jelas bahwa makna konotasi akan muncul

jika orang yang melihat foto melibatkan pikiran dan perasaannya ke dalam foto-

foto tersebut. Pesan konotasi yang terkandung dalam foto-foto Rama Surya jelas

sangat muram jika dilihat secara keseluruhan, salah satunya terlihat dari pemilihan

warna hitam putih dengan grain yang banyak, membuat foto terlihat begitu kasar.

Selanjutnya dalam tahap mitos foto-foto Rama Surya menunjukkan berbagai

mitos, salah satunya mitos lokal mengenai gambaran gajah dari pandangan

masyarakat Sumatera dan luar Sumatera terhadap punahnya gajah di Indonesia

Kata Kunci : Semiotika, Gajah Sumatera, Pembunuhan Liar, Fotografi, Pesan

Mitos

 

ii

KATA PENGATAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena atas

nikmat dan karuniaNya penelitian skripsi ini dapat berjalan dengan baik tanpa

halangan yang berarti. Shalawat dan serta salam juga tidak lupa di junjukan

kepada Nabi besar Muhamad SAW.

Begitu banyak kesan dan manfaat yang dirasakan oleh peneliti saat

menyelesaikan skripsi ini. Peneliti tidak hanya mendapatkan itu tetapi juga

mendapatkan pelajaran bahwa tidak ada kesuksesan tanpa usaha dan kerja keras.

Selain itu, peneliti menjadi lebih terbuka dalam berpikir bahwa Islam adalah

agama yang begitu menjunjung tinggi perbedaan serta penuh cinta kepada seluruh

manusia.

Peneliti skripsi ini tentu memiliki beragam tantangan dalam pengerjannya.

Namun, dengan adanya dukungan dan semangat dari berbagai pihak, peneliti

dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Karena itu, dalam

kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga

kepada:

1. Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Dr. Suparto, M.Ed. Ph.D., Wakil Dekan 1 Bidang

Akademik , Dr. Suparto, M.Ed. Ph.D., Wakil Dekan II Bidang

Administrasi Umum, Dr.Roudhonah, M.Ag, Wakil Dekan III Bidang

Kemahasiswaan Dr. Suhaimi, M.Si.

2. Ketua Jurusan Jurnalistik Kholis Ridho, M.Si, Serketaris Jurusan

Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A yang telah meluangkan

waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal

perkulihan.

3. Dr. Tantan Hermansah, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing yang telah

begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada peneliti di tengah

 

iii

kesibukan yang padat, serta membimbing peneliti dengan sabar agar

skripsi ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.

4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah

mengajari dan memberi ilmu kepada peneliti. Mohon maaf apabila ada

kesalahan kata atau sikap yang menyinggung selama perkulihan.

5. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah berbaik hati

dalam memberikan buku-buku yang dibutuhkan oleh peneliti.

6. Orangtua tercinta, Ayahnda Yasman dan Ibunda Nur Beta yang sangat

luar biasa memperjuangkan dan mendukung peneliti untuk bisa meraih

pendidikan setinggi-tingganya, memberikan kasih sayang do‘a yang tak

terhingga sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik

7. Kepada Rama Surya yang karya fotonya telah di teliti pada skripsi ini.

8. Teruntuk adik tersayang, Fitri Ramadhania yang selalu memberi

motivasi dan semangat setiap harinya.

9. Teman hidup peneliti, Indra Gunawan yang selalu memberikan

motivasi dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini dari awal

masuk kuliah hingga saat ini.

10. Sahabat DPR (dibawah Pohon Rindang) Denny Aprianto. Rheza Alfian,

Arief Petot, Agung Suryono, Fakhri, Fadillah, Alboja, Singgih, Fatra,

Dollah, yang telah berbagi ilmu, motivasi, inspirasi serta canda tawa

kepada peneliti.

11. Sahabat perjalanan Laras Sekar Seruni, Chyntia A, Eva Agustina, Devi

Andita, Anisatul Kamaliyah, Fatimah, Aldyansyah, Aminatus, Imam

Budiman dan Salman Alparidji dan ka Elisha (elz).

12. Guru, dan sahabat peneliti Pak Vadin yang telah membuka mata saya

lebar-lebar tentang fotografi dan pengalaman menjadi wartawan.

13. Teman-teman ―INFINTI‖ Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)

Angkatan XXII yang sudah banyak membantu memecahkan masalah

dalam pengerjaan skripsi oleh peneliti.

 

iv

14. Kakak-kakak senior yang berteman baik dengan peneliti, Dwinda Nur

Ocean, Eva Fauziah, Lukman Hakim yang selalu membantu dan

memberikan semangat kepada peneliti.

15. Abang-abang senior wartawan Bang Oscar Matollah, Mas Rahmad

Gunawan (tole), Adi Cumi, Widodo S, Mas Wahyu, Gempur M Surya,

Renato Yoppy, Didik Setiawan, Dhani, Moses, dan Mba Okky yang

banyak memberi masukan mengenai fotografi.

16. Temen-Temen Kontrakan Wayame, Ambon yang selalu memberi

dorongan agar segera menyelesaikan skripsi ini Mas Budi, Mas Zul,

Mas Indra, dan Mas Firo.

17. Seluruh teman-teman Jurnalistik 2013 yang selalu menjadi tepat berbagi

dan belajar banyak hal di dalam kelas, semoga silaturahmi di antara

kami tidak terputus sampai di sini.

18. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi yang tidak dapat

disebutan stau persatu. Semoga amal dan kebaikan kalian selalu

diijabah oleh Allah SWT.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan peneliti dalam menyelesaikan

skripsi ini, semoga apa yang telah peneliti lakukan dapat bermanfaat untuk para

pembaca, memberikan nilai kebaikan khususnya bagi peneliti maupun pembaca

sekalian dan semoga dapat menjadi kebaikan dalam bidang dakwah dan

komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Aamiin Ya Rabbal Alamiiin

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Jakarta, 04 April 2019

Atika Fauziyyah

 

v

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

ABSTRAK .............................................................................................................. i

KATA PENGATAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 7

1. Batasan Masalah...................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8

1. Tujuan Penelitian .................................................................... 8

2. Manfaat Penelitian .................................................................. 8

D. Metedologi Penelitian ................................................................... 9

1. Metode Penelitian.................................................................... 9

2. Jenis Data ................................................................................ 9

3. Subjek dan Objek Penelitian ................................................. 10

4. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 10

5. Teknik Analisis Data ............................................................. 11

6. Pedoman Penelitian ............................................................... 12

7. Tinjauan Pustaka ................................................................... 12

E. Sistematika Penulisan ................................................................. 13

 

vi

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjuan Umum Tentang Fotografi .............................................. 15

1. Pengertian Fotografi .............................................................. 15

2. Sejarah Fotografi ................................................................... 15

3. Aliran-aliran Fotografi .......................................................... 17

B. Fotografi Jurnalistik .................................................................... 21

1. Pengertian Fotografi Jurnalistik ............................................ 21

2. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik ............................................ 25

3. Foto Tunggal ......................................................................... 27

4. Foto Seri ................................................................................ 27

C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ........................................... 28

1. Tokoh-tokoh Semiotika ......................................................... 31

a. Semiotika Ferdinand de Saussure ..................................... 31

b. Semiotika Charles Sanders Peirce .................................... 32

c. Semiotika Roland Barthes ................................................. 33

D. Konsep Ekologi Alam ................................................................. 42

E. Jurnalisme Lingkungan ............................................................... 47

BAB III GAMBARAN UMUM

A. Gambaran Umum Sumatera ........................................................ 51

1. Sejarah Sumatera ................................................................... 51

B. Sejarah Daerah Lampung ............................................................ 56

C. Sejarah Way Kambas .................................................................. 58

D. Gajah Sumatera ........................................................................... 62

E. Profil Shamow‘el Rama Surya .................................................... 68

F. Gambaran Umum Buku ― Yang Kuat Yang Kalah‖ ................... 69

 

vii

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA

A. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto I ............................ 74

1. Tahap Denotasi...................................................................... 74

2. Tahap Konotasi ..................................................................... 75

3. Tahap Mitos ......................................................................... 78

B. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto II ........................... 79

1. Tahap Denotasi...................................................................... 80

2. Tahap Konotasi ..................................................................... 80

3. Tahap Mitos ......................................................................... 83

C. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto III ........................ 84

1. Tahap Denotasi..................................................................... 84

2. Tahap Konotasi ..................................................................... 85

3. Tahap Mitos .......................................................................... 88

D. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto IV ......................... 88

1. Tahap Denotasi...................................................................... 89

2. Tahap Konotasi ..................................................................... 89

3. Tahap Mitos .......................................................................... 93

E. Analisis Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto V............. 93

1. Tahap Denotasi...................................................................... 94

2. Tahap Konotasi ..................................................................... 94

3. Tahap Mitos .......................................................................... 98

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 99

B. Saran .......................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 104

LAMPIRAN ....................................................................................................... 107

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang terletak pada daerah tropis, oleh

sebab itu negara ini memiliki struktur tanah yang prima. Salah satu fungsi

hutan adalah rumah berbagai macam satwa liar yang merupakan bagian

dari sumber daya hayati.1

Tingginya tingkat sumber daya hayati di Indonesia ditunjukkan dengan

adanya 10% dari tanaman berbunga, 12% dari mamalia, 16% dari hewan

reptil, 17% dari burung, 18% dari jenis terumbu karang, dan 25% dari hewan

laut. Daerah perairan di Indonesia kaya akan sumber makanan bagi berbagai

jenis tanaman dan hewan laut, serta mengandung berbagai jenis sumber

mineral.2 Dengan keberadaan kekayaan sumber daya hayati yang cukup

tinggi tesebut maka Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk

melindungi seluruh sumber daya hayatinya, dan seharusnya menjadikan

Indonesia berada diposisi yang cukup tinggi dalam upaya pengelolaan

pemanfaatan potensi satwa dan tumbuhan demi kepentingan perekonomian

seluruh rakyat Indonesia. Tetapi kenyataannya, kekayaan flora dan fauna di

Indonesia malah semakin menurun drastis di setiap tahunnya akibat orang-

orang yang mencari keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kelestariannya,

1 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2011) h.166. 2 https://www.dw.com/en/the-diversity-of-natural-resources/g-17195024 diakses pada

tanggal 09 April 2019.

 

2

dengan menyalah gunakan pemanfaatan berupa eksploitasi sumber daya

hayati tersebut.

Salah satu yang menjadi perhatian dunia Internasional terhadap kondisi

krisis di Indonesia adalah tingginya angka kepunahan satwa langka di

Indonesia. Diperkirakan terdapat 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17%

satwa di dunia terdapat di Indonesia.3 Menurut data yang terdapat di

International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2011,

jumlah jenis satwa liar Indonesia yang tercatat akan terancam punah adalah

184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis ampibi.

Dengan kategori kritis (critically endangered) 69 spesies, kategori punah

(endangered) 197 spesies, dan kategori rentan (vulnerable) 539 spesies.4

Apabila masih belum ada yang peduli atau menindaklanjuti permasalahan ini

dengan menyelamatkan satwa-satwa tersebut, maka besar kemungkinan

satwa-satwa tersebut akan punah dari jenis-jenisnya.

Sejarah kejahatan manusia terhadap hewan liar menciptkan gagasan

baru mengenai hak hewan (animals right). Hal ini dipengaruhi oleh

pandangan manusia yang melihat satwa liar sebagai objek buruan dan barang

buruan yang ekostik untuk dipelihara atau dijadikan keperluan pribadi.5

Munculnya kritikan dan ketidak pedulian masyarakat terhadap satwa liar,

didasari pada pandangan bawa satwa liar sangat tidak masuk akal. Kertikan

3 http://profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XKwq-OgzY2w diakses pada tanggal

09 April 2019. 4 http://profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XKwq-OgzY2w diakses pada tanggal

09 April 2019 5 Kean , H. “Animal Right Political and Social Change in Britain Since 1800”, (London:

Reaktion Books Ltd, 1998), hal 11.

 

3

tersebut diperkuat oleh argument Sunstein yang melihat bahwa manusia

menilai satwa liar sebagai mahluk yang tidak rasional. Faktor lainnya terlihat

pada konflik antara satwa dengan pemukiman manusia. Sebagai contoh,

perburuan dilakukan dengan tujuan membebaskan pemukiman manusia dari

predator dan hama yang dapat menganggu dan mengancam manusia.

Pandangan yang berbeda mengenai hubungan manusia dengan satwa liar,

terlihat pada kebutuhan manusia yang melihat satwa liar sebagai barang yang

memiliki nilai ekonomi.6

Menurut WWF satwa memiliki nilai ekonomi yang dimanfaatkan oleh

manusia. Kasus eksploitasi yang masuk kedalam wildlife crime telah

dijadikan bisnis menguntungkan bagi para pelaku.7 Misalnya keuntungan dari

satwa liar, mecapai angka ratusan juta dolar dari kategori gading Gajah dan

kulit Harimau. Harga gading Gajah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Diperkirakan $ 100 per kilogram di akhir tahun 1990, menjadi US $ 200 per

kilogram pada tahun 2004, dan $ 900 perkilogram pada tahun 2009.

Salah satu aturan mengenai perlindungan terhadap satwa berdasarkan

hukum nasional adalah Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).8 Pasal ini berisikan adanya perlindungan terhadap satwa berupa

jaminan pangan yang terpenuhi secara layak, dan bebas dari penyiksaan yang

dilakukan oleh manusia.

6 Boomgard, P. Frontiers of Fear. (New.Haven, ProQuest Ebook Central, 2001) hal. 107.

7 https://www.worldwildlife.org/threats/illegal-wildlife-trade diakses pada tanggal 09 Juni

2019. 8 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5181e7cb577f6/jerat-hukum-

penganiaya-binatang diakses pada tanggal 09 April 2019.

 

4

Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan peraturan dalam upaya

perlindungan terhadap satwa yang dimanfaatkan untuk kepentingan

perekonomian manusia pun tidak berdampak banyak terhadap kesejahteraan

satwa, karena pada kenyataannya, pemeliharaan terhadap satwa ini sering kali

tidak memperhatikan kesejahteraan hewan tersebut. Satwa memiliki hak asasi

yang terdiri atas 5 kebebasan, yaitu terbebas dari rasa haus dan lapar, rasa

tidak nyaman, dapat mengekspresikan tingkah laku alaminya, terbebas dari

stress dan ketakutan, serta dilukai dan kesakitan.9

Penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia setidaknya ada dua

hal yaitu Berkurang dan rusaknya habitat lalu Perdagangan satwa liar. Setelah

masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas,

perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar

Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan

dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di

pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa

dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di

Indonesia. Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula

harganya.10

Dengan memelihara saja sudah termasuk dalam penyiksaan terhadap

hewan, karena mereka harus tinggal di tempat yang bukan habitat aslinya.

Fenomena seperti ini diperparah dengan mempekerjakan satwa liar maupun

9 https://www.mongabay.co.id/tag/sirkus-lumba-lumba/ diakses pada tanggal 09 April

2019. 10

http://profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XKwq-OgzY2w diakses pada

tanggal 09 April 2019

 

5

tidak liar yang dipaksa agar melakukan atraksi-atraksi. Satwa yang sering

mendapatkan paksaan untuk melakukan aksi-aksi akrobatik di antaranya

gajah, singa, harimau, lumba-lumba, dan anjing laut. Salah satu hewan yang

menyita banyak perhatian dari masyarakat adalah satwa jenis Gajah. Spesies

yang sering digunakan dalam pertunjukkan merupakan spesies Elephas

maximus sumatranus atau yang kita kenal dengan Gajah Sumatra.

Selama 2012-2014 Indonesia telah kehilangan 90 individu gajah

sumatera (Elephas maximus sumatranus) karena mati di Aceh, Riau dan

Lampung.11

Sebagian besar kematian gajah diduga terkait perburuan

gading. WWF-Indonesia mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk

segera menuntaskan penyelidikan atas semua kasus kematian satwa ini hingga

ke meja hijau.

Pelatihan yang diberikan pada gajah sangat kejam, mereka dilatih

dengan sistem reward dan punishment. Seperti Gajah sirkus yang kakinya

ditarik hingga gajah bisa dalam posisi lentur berbaring di permukaan tanah.

Prosedur penyiksaan kejam dan mengerikan ini semata-mata untuk mencari

keuntungan dan hiburan. Beberapa alat pendukungnya yang kerap digunakan

untuk melatih gajah yakni cambuk atau ankus. Sedangkan pada bagian kepala

gajah digunakan alat berbentuk tongkat untuk menjinakkan gajah. Pada

bagian ujung tongkat terdapat dua mata pisai yang ditusukkan langsung ke

kulit bagian kepala gajah yang sensitive. Dalam proses latihian gajah

mengalami penyiksaan mental dan juga fisik dnegan menggunakan beberapa

11

https://www.mongabay.co.id/2014/09/09/wwf-indonesia-kehilangan-90-individu-gajah-

sumatera-dalam-3-tahun/ diakses pada tanggal 09 April 2019.

 

6

alat yang berbahaya. Sementara, di Thailand menerapkan cara yang jauh lebih

kejam terhadap gajah. Gajah di eksploitasi besar-besaran dengan cara

penyiksaan dipukul, kurang tidur bahkan dibiarkan kelaparan dan banyak

yang tewas karna stress.

Menurut Pak Suharto pengertian eksploitasi adalah suatu sikap

diskriminatif atau perlakuan yang dilakukan dengan sewenang-wenang.12

Sedangkan, Definisi eksploitasi hewan sendiri ialah tindakan memanfaatkan

hewan untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan

dampaknya terhadap hewan tersebut. Misal pada karya fotografer Rama

Surya mengenai Gajah di Sumatra.

Foto-foto Rama Surya adalah sebuah portrait dari perjalanan gajah di

Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Way Kambas, Taman Nasional, Lampung. Ia

adalah Shamow‘el Rama Surya lelaki kelahiran Sumatera 1970 yang

menceritakan kehidupan hewan betubuh besar dengan masalah yang sedang

dihadapi dalam beberapa tahun belakangan.

Di era yang sudah terbuka saat ini peran media dalam memberitakan

mengenai isu eksploitasi hewan masih sangat minim. Masih banyak yang

belum sadar dengan efek dari eksploitasi satwa langka karna kurangnya

informasi yang diterima. Hal ini mengundang tanda tanya kemana media

selama ini sebagai penyedia informasi? Apa peran media dalam isu

lingkungan saat ini?

12

https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-eksploitasi.html diakses pada

tanggal 08 April 2019.

 

7

Foto esai yang di gunakan oleh Rama Surya merupakan foto berseri

yang bertujuan untuk menerangkan cerita untuk memancing emosi dari yang

menilai. Foto esai disusun dari karya fotografi murni menjadi foto yang

memiliki tulisan atau catatan kecil sampai tulisan esai penuh yang disertai

beberapa atau banyak foto yang berhubungan dengan tulisan tersebut. Foto

esai selain harus mempunyai tulisan atau catatan kecil yang menjelaskan foto-

foto tersebut, juga harus menyampaikan suatu cerita yang kuat dan mampu

membawa emosi.13

Dari latar belakang masalah di atas, Penulis menguraikan ketertarikan

dan seberapa relevan serta pentingnya penelitian ini. Maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul “Makna Eksploitasi dibalik

Konservasi Satwa Langka: Studi Semiotika Buku Foto Karya Rama

Surya “YANG KUAT YANG KALAH”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada foto-foto esai Kisah Kesah Gajah

Sumatera oleh Shamow‘el Rama Surya yang telah dipublikasikan dalam

buku Yang Kuat Yang Kalah pada tahun 1996. Sebagai gambaran bahwa

buku ini terdiri dari Kisah Kesah Gajah Sumatra, Ulu Ketenong

Perkampungan Penambang Emas, Nelayan Kampung Pajagan, Sebuah

13

Sisca R kana, “Perancang Buku Foto Esai Perempuan dan Tenun Ikat Kabupaten Rote-

Ndao Nusa Tenggara Timur” Institusi Seni Indonesia, Yogyakarta (2015), h 241

 

8

Esai Tentang Kerja Keras, Tambang Belerang Kawah Ijen, Rumah

Pemotongan Hewan BukitTinggi, Sebuah Cara Untuk Berkomunikasi.

Untuk membatasi semakin meluas dan melebar nya pembatasan,

penelitian ini berfokus pada pesan tanda atau simbol yang mengandung

makna Eksploitasi yang ada pada ―Keluh Kesah Gajah Sumatera‖.

Menggunakan analisis semiotika Roland Barthes dengan membatasi

makna denotasi, Konotasi dan Mitos. Peneliti hanya menganalisa jumlah

foto yang akan diteliti yaitu lima foto, dari 15 foto yang ada di dalam foto

esai Kisah Kesah Gajah Sumatera.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemikiran dan permasalahan di atas, peneliti ini

bertujuan untuk mengetahui persoalan isu eksploitasi dibalik konservasi

hewan-hewan langka dalam dunia jurnalistik Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan mendapat kontribusi dalam perkembangan

kajian komunikasi dakwah dalam Fotografi, serta memberikan

persepktif semiotika pada foto mengenai satwa langka di Indonesia.

 

9

b. Manfaat praktis

Semoga menjadi informasi bagi ilmuwan dan praktisi komunikasi

dan dakwah serupa di masa mendatang dalam melakukaan telaah

fotografi terutama diliat dari analisis semiotik.

D. Metedologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode ini digali melalui kualitatif jenis deskriptif yaitu bertujuan

membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-

fakta dan sifat populasi atau objek tertentu.14

Sedangkan metode yang

digunakan adalah observasi nonpartisipan yaitu metode dimana periset

mengamati langsung objek yang diteliti dan tidak memposisikan dirinya

sebafai anggota kelompok yang diteliti.15

2. Jenis Data

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh berupa dokumen cetak, yaitu berupa buku

foto Yang Kuat Yang Kalah karya Rama Surya.

b. Data Skunder

Yaitu berupa data yang diperoleh melalui buku, film, media internet,

dan terbitan lain yang ada relevansinya dengan masalah peneliti.

14

Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public

Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran (Jakarta: Kencana, 2010),

h.69. 15

Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public

Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. H.64

 

10

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah Rama Surya sebagai Fotografer dalam

buku foto “Yang Kuat Yang Kalah”. Sedangkan Objeknya ialah Gajah

didalam buku “Yang Kuat Yang Kalah” karya Rama Surya.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Dokumentasi

Dokumen-dokumen foto yang diperoleh secara langsung dari

Shamow‘el Rama Surya, buku-buku, artikel yang didapat dari

internet, surat kabar, majalah, journal serta sumber bacaan lain yang

mendukung dalam penelitian ini. Dokumen adalah representasi dari

arsip. Yakni teknik pengumpulan data melalui kumpulan-kumpulan

dokumen-dokumen baik berupa otobiografi, catatan harian, buku,

foto, sebagai pelengkap dalam pengumpulan data yang dilakukan

oleh peneliti.16

b. Wawancara

Pengumpulan informasi dan informan, penulis menggunakan teknik

wawancara, yaitu percakapan yang dilakukan dua pihak, dimana

peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber.17

Wawancara dilakukan langsung dengan fotografer pembuat karya

yaitu Rama Surya.

16

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2010) h.195 17

Lexy.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2007) h.187

 

11

5. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

semiotika Roland Barthes. Menurut Roland Barthes peta bagaiman tanda

bekerja sebagai berikut:18

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri

atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda

denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut

merupakan unsur material.19

Melalui konsep Barthes, tanda konotatif

tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung

bahwa kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.

Dalam buku yang disunting oleh Howard Davis dan Paul Walton yang

berjudul Bahasa, Citra, dan Media, dikatakan bahwa, meskipun

fotografi adalah ―medium visual‖, ia tidak murni visual.20

18

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.69. 19

Paul Cobley dan Liza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem

Books,1999), h.51. 20

Howard davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2010)

cet-1.h.245.

1. Signifier 2. Signified

(penanda) (Petanda)

3. Denotative sign (tanda denotatif)

4. Connotativ signifier 5. Connotative signified

(penandaan konotatif) (petandaan konotatif)

6. Connotative sign (tanda konotatif)

 

12

6. Pedoman Penelitian

Penulis dala penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulis

karya Ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi). Hamid Nasuhi dkk, yang

diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and

Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti telah meninjau beberapa

skripsi yang telah menginspirasi peneliti dengan pembahasan yang cukup

relevan dan subjek yang berbeda, antara lain :

a. Sisca R kana, “Perancang Buku Foto Esai Perempuan dan Tenun

Ikat Kabupaten Rote-Ndao Nusa Tenggara Timur di Institusi Seni

Indonesia Yogjakarta. (2015)

b. Skripsi berjudul ―Penegakan Hukum Terhadap Satwa Langka Yang

Dilindungi Tindak Pidana Memilihara Lumba-lumba Untuk

Pertunjukan Dengan Asas Kepastian Hukum‖. Yang ditulis oleh

Bethara Madia Smarasanta pada tahun 2018 di Universitas Pasundan

Jawa Barat.

c. Skripsi berjudul ‖Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan

Seputar Eksploitasi Hutan di Indonesia ‖. Yang ditulis oleh Aninda

Haswari pada tahun 2010 di Universitas Atma Jaya Jogjakarta.

Skripsi ini menggunakan penjelasan peran Jurnalisme Lingkungan

dalam eksploitasi hutan untuk memaparkan peran seorang jurnalisme

lingkungan.

 

13

d. Skripsi berjudul ―Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan

Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01

September – 13 November 2015‖. Yang ditulis oleh Rizki

Ramadhani Nasution pada tahun 2016 di Universitas Sumatra Utara,

Medan. Peneliti bertujuan menerapkan ketentuan Jurnalisme

Lingkungan di dalam pemberitan kabut asap di Harian Waspada.

Ketiga skripsi dan satu jurnal diatas sama-sama meneliti mengenai

Jurnalisme Lingkungan dan Pemahaman mengenai foto esai. Tetapi foto

yang akan dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang

berbeda.

E. Sistematika Penelitian

Agar skripsi ini lebih terarah dalam penyusunannya, peneliti membuat

sistematika penulisan yang sesuai dengan masing-masing Bab. Peneliti

membaginya menjadi lima Bab tersebut. Sisteatika penulisan tersebut adalah:

BAB I : Pendahuluan, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang

latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan

sistematika penulisan.

BAB II : Kerangka teoritis, dalam bab ini penulis menguraikan tentang

teori-teori yang digunakan yang sesuai dengan permasalahan

seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang fotografi

jurnalistik, sejarah fotografi di Indonesia, tinjauan umum tentang

 

14

semiotik, pandangan Saussure dan Peirce, juga semiotik foto

Roland Barthes serta penjelasan mengenai eksploitasi hewan

langka dan jurnalisme lingkungan.

BAB III : Gambaran umum tentang sejarah Sumatera mulai dari geografi,

demografi dan budaya. Dilengkapi dengan sejarah Lampung dan

Sejarah Waykambas serta profil buku foto Yang Kuat Yang Kalah

di bab Kisah Kesah Gajah Sumatera karya Shamow‘el Rama

Surya dan profil Shamow‘el Rama Surya sebagai fotografer.

BAB IV : Analisis Semiotika terhadap foto Yang Kuat Yang Kalah di bab

Kisah Kesah Gajah Sumatera karya Shamow‘el Rama Surya,

dalam bab ini penulis akan membahas konsep semiotika Roland

Barthes mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos, pada foto-

foto yang terdapat dalam buku foto Yang Kuat Yang Kalah di bab

Kisah Kesah Gajah Sumetra karya Shamow‘el Rama Surya.

BAB V : Penutup, peneliti mengakhiri skripsi ini dengan memberikan

kesimpulan dari hasil peneliti serta saran untuk para pengiat

fotografi dan mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik

foto jurnalistik.

 

15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjuan Umum Tentang Fotografi

1. Pengertian Fotografi

Foto-foto bisa lebih mudah diingat dibandingkan dengan gambar

bergerak atau animasi karena ini berupa irisan tipis waktu, bukan waktu

yang berjalan.1 Dalam ―The Photographic Message‖ (1961) disebutkan

bahwa foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran

transmisi, dan titik resepsi. Struktrur sebuah foto bukanlah sebuah

struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan

struktur lain, yakni teks tertulis judul, keterangan. Dengan demikian,

pesan keseluruhannya dibentuk oleh kooperasi dua struktur yang

berbeda.2 Foto dapat dipercaya sebagai testimoni yang independen, agen

diskursus sosial, dan kini mudah dibagikan dalam waktu sekejap ke

banyak orang dan secara singkat. Untuk menjelaskan bagaimana rupa

seseorang atau betapa indahnya gunung, sebuah foto mampu

melakukannya.

2. Sejarah Fotografi

Pada 1558 ilmuan Italia, Giambasista Della Forta menyebut

camera obscura pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap

1 Susan Sontag, On Photography (London: Penguin, 1977)

2 Seno Gumirah, Kisah Mata, Fotografi antara Dua subjek (Yogajakarta: Galang Press,

2002) h.27.

 

16

bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya

menyempurnakan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera

yang disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah

mencapai taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari waktu ke

waktu semakin berhasil, tetap saja belum bisa disebut proses fotografi

karena media perekam gambarnya masih belum bisa membuat gambar

permanen.3

Sedangkan peralatan modern dalam bentuk Kodak dan gulungan

film seperti yang digunakan sekarang, baru mulai ditemukan oleh George

Eastman pada 1877, di New York. Ketika itu dia sedang bekerja sebagai

seorang karyawan bank di Rochester, New York. Eastman kemudian

mengembangkan temuannya itu, hingga pada 1889 ia membuka usaha

dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika itu ia memperkenalkan

film transparan dalam bentuk flexibel film. Bentuk kamera kecil mulai

populer di Amerika pada 1920-an.4

Fotografi yang berkembang saat ini jauh berbeda dengan fotografi

di awal era kemunculannya, hal ini terlihat dari pandangan secara teknis

kamera dan bentuk kamera. Bayangkan saja seseorang dapat duduk,

berbaring, bahkan berdiri selama 10 detik lebih untuk menghasilkan

sebuah foto diri atau selfie yang saat ini sedang menjadi trend di

Indonesia bahkan di dunia. Hal tersebut diperjelas Erik Prasetya dalam

bukunya yang berjudul On Street Photography, bahwa hingga abad ke-

3 Ray Bachtiar, Chip Foto Video Ritual Fotografi (Jakarta: Kompas Gramedia,2010) h.8.

4 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, (Jakarta: logos Wacana

Ilmu, 1999), h.100.

 

17

19 fotografi tidak bekerja dengan cepat, melainkan baru abad ke-20 lah

fotografi cepat yang lebih kecil, mudah dibawa dan mudah ditemukan.5

Dalam buku tersebut juga disisipkan hasil foto cetak pertama di dunia

yang dibuat oleh fotografer berkebangsaan Prancis, Joseph Nicephore

Niepce pada 1826.

Di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo dalam bukunya berjudul

IPPHOS mencatat, Mendur bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan

Frans Soemarto (1913-1971) adalah dua orang yang berpengaruh dalam

perkembangan fotografi di Indonesia, di mana mereka merekam

peristiwa sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.

3. Aliran-aliran Fotografi

Bagas Dharmawan dalam bukunya yang berjudul Belajar Fotografi

dengan Kamera DSLR membagi aliran-aliran fotografi ke dalam tiga

belas bagian, diantaranya:6

a. Journalism Photography atau biasa disebut foto jurnalistik adalah

foto yang terdapat niai berita dan unsur 5W+1H di dalamnya, sebuah

karya foto dapat disebut foto jurnalistik apabila dalam foto itu

terdapat nilai sebuah berita. Tidak hanya itu saja, dalam foto itu juga

harus mengandung keterangan apa, siapa, kapan, di mana, kenapa,

dan bagaimana.

5 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer Gramedia],

2014.), h.17 6 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka Baru

Press), h.80.

 

18

b. Potrait Photography adalah dimana sang fotografer menunjukan

penuh bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir

tanpa latar belakang, tujuan dari aliran foto ini adalah untuk atau dari

subjek yang difoto. Aliran ini juga menggambarkan kondisi perasaan

manusia dengan mengambil bagian besar raut wajah subjek, dengan

menghadap ke depan kamera.

c. Comercial Advertising photography ditujukan untuk promosi sebuah

produk atau iklan, peran komputer untuk mengolah foto cukup

penting dalam aliran ini, karena dalam prosesnya aliran ini

dibutuhkan banyak elemen guna keperluan iklan. Jadi bisa dikatakan

fotografer yang berkecimpung di dunia commercial advertising ini

tidak hanya mahir dalam bidang fotografi, namun juga mahir dalam

olah digital di dalam komputer.

d. Wedding Photography adalah aliran yang dilakukan oleh fotografer

yang sudah ahli atau professional karena dalam aliran ini dibutuhkan

kecepatan dan ketepatan disetiap momen-momennya yang penting

serta bersejarah. Seperti namanya aliran ini ada disegala macam

aktifitas pernikahan, tantangan dalam aliran ini yaitu mampu

mendapatkan momen-momen sakral saat proses pernikahan terjadi

karena momen tersebut tidak dapat diulang kembali.

e. Fashion photography hampir mirip dengan aliran commercial

advertising photography yaitu untuk mempromosikan produk atau

perlengkapan-perlengkapan berbusana. Yang membedakan dalam

 

19

aliran ini adalah barang yang ditampilkan adalah barang-barang

fasion seperti pakaian dan barang-barang perlengkapan yang

dikenakan oleh model. Fasion photography menggunakan model

sebagai pemanis dan penunjang produk tersebut.

f. Food photography adalah aliran fotografi yang dibutuhkan untuk

iklan sebuah makanan atau minuman serta pengemasannya. Dalam

pengambilan foto food photography dibutuhkan alat dan

keterampilan yang lebih karena tujuan dari aliran ini membuat siapa

saja yang melihat tertarik dan ingin mencoba hidangan tersebut,

selain berfungsi sebagai promosi sebuah hidangan, foto aliran ini

juga sering dijumpai di dalam menu-menu untuk memudahkan

konsumen dalam memilih hidangan.

g. Landscape photography adalah aliran fotografi yang menunjukan

keindahan-keindahan alam, aliran ini dikategorikan menjadi empat

bagian, yaitu foto landscape yang menampilkan pemandangan alam

di daratan, foto seascape yang menampilkan pemandangan lautan,

skyscape yang menampilkan pemandangan langit, dan terakhir

cityscape yang menampilkan foto pemandangan di kota atau di desa.

Kategori ini banyak diminati oleh beberapa fotografer dan penikmat

foto itu sendiri, karena dalam foto ini pembaca bisa menikmati

keindahan alam tanpa harus berpergian jauh ke suatu tempat.

h. Cinemagraph photograpy adalah aliran yang menampilkan foto yang

mampu bergerak. Dalam aliran ini perlu keahlian khusus dalam

 

20

pengambilan serta mengolah fotonya, dalam pengolahannya foto

diolah menjadi file GIF yang membuat gambar mampu bergerak

seperti layaknya video.

i. Wildlife photography merupakan aliran yang menampilkan foto-foto

aktivitas hewan dalam keseharian baik pagi maupun malam, aliran

ini tergolong berbahaya karena objek fotonya adalah binatang-

binatang yang menarik di alam bebas. Lensa tele (zoom) menjadi

lensa yang sering dipakai dalam aliran ini, karena memudahkan

fotografer mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh untuk

alasan keamanan.

j. Street photography biasanya aliran ini mengambil gambar secara

diam-diam atau biasa dikenal dengan snapshoot. Lokasi

pengambilan gambar bisa dimana saja, tentunya di luar ruangan.

Foto aliran ini biasanya berisi mengenai kehidupan di jalanan dan

sekitarnya, untuk mendapatkan hasil yang baik seorang fotografer

dalam aliran ini harus mampu mengambil gambar tanpa diketahui

oleh objek, agar gambar dihasilkan natural.

k. Underwater photography menampilkan foto-foto di bawah laut.

Aliran ini memiliki dua golongan yaitu macro photography yang

menggambarkan keadaan laut secara dekat dan detail seperti ikan,

siput, rumput laut, dan biota laut lainnya. Sedangkan wide angle

photography yang menampilkan keindahan pemandangan bawah

laut secara luas. Fotografi aliran ini terbilang cukup menguras biaya

 

21

jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal, karena untuk

kameranya harus menggunakan pelapis anti air, serta perangkat

lainnya seperti lampu sebagai penerangan di bawah laut yang juga

harus memakai lampu pelindung anti air, dimana kedua aksesoris

tersebut tergolong cukup mahal.

l. Infra red photography agak sulit dilakukan karena tidak semua

kamera bisa melakukannya dan harus ada perubahan-perubahan

pengaturan di dalam kamera yang memiliki sensitif pada cahaya

inframerah. Foto yang dihasilkan akan berbeda dengan warna aslinya

karena yang tampil dari hasil foto tersebut akan palsu warna atau

hitam putih.

m. Macro photography yaitu aliran yang menampilkan foto-foto dengan

jarak sangat dekat serta sangat detail pada bagian tertentu dari

sebuah objek. Dalam aliran ini diperlukan lensa khusus yang biasa

disebut dengan lensa makro.

B. Fotografi Jurnalistik

1. Pengertian Fotografi Jurnalistik

Awal mula fotografi masuk dalam halaman surat kabar adalah sejak

Mathew Brady membuat gambar realis yang melukiskan suasana perang,

gambar tersebut ternyata menarik perhatian para pembaca suratkabar

sekaligus membangun kesan tentang suatu peristiwa, Ini adalah awalan

penggunaan gambar dalam jurnalistik dan berawal dari pemakaian

 

22

lukisan dalam media. Kemudian pada 16 April 1877, The Daily Grplic

adalah suratkabar pertama yang memuat gambar (foto) sebagai berita

foto tentang sebuah peristiwa kebakaran. 7

Pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat,

Majalah yang menyajikan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada

tulisan dalam penyajian beritanya.Wilson Hicks merupakan seorang

pelopor fotojurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut

membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita dalam

pemberitaannya, yang berkembang semakin pesat. Pada tahap ini foto

jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena

kehadirannya telah menjadi elemen yang penting diberita itu sendiri,

bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata.

Setelah foto memenuhi setiap halaman pada surat kabar, kehadiran

foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak pakar Ilmu

Komunikasi. Sifatnya yang statis dan mampu membekukan suatu

peristiwa, bahkan yang terjadi dalam durasi hanya sekejap membuat foto

dapat dilihat berulang-ulang, beda halnya dengan seperti video yang

dinamis dan hanya sepintas-lalu, sehingga sebuah foto dapat

menampilkan gambar dengan lebih detail dari sebuah peristiwa yang

ditangkap oleh kamera. Oleh karenanya foto dapat dengan mudah

dipahami dari berbagai kalangan dan menyebabkan efek psikologis

secara langsung terhadap pembaca surat kabar.

7 Artikel ―Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey‖, dari

http://www.berilmu.com/photography1.php.Artikel diakses pada 02 Januari 2018

 

23

Ada sebuah kalimat yang selalu berada di ruang lingkup jurnalisme

yang mengatakan "bad news is a good news". Tak pelak pemberitaan pun

terjebak dalam peristiwa- peristiwa yang merupakan bencana, baik

adalah bencana alam yang memakan banyak korban seperti: gempa bumi

dan tsunami di Aceh Darusallam pada akhir tahun 2004 yang memakan

korban banyak dan kerusakaan hampir seluruh wilayah Aceh atau Lonsor

di Kawasan Puncak Pass, Bogor pada awal tahun 2018 yang memakan

korban banyak.

Foto jurnalistik adalah bagian dari komunikasi massa, adapun yang

membedakan sebuah foto sehingga dapat dikategorikan sebagai foto

jurnalistik, yaitu foto jurnalistik di dalamnya mengandung unsur-unsur

berita, serta mencantumkan keterangan foto yang mengandung informasi

5W+1H, selain itu juga dapat dilihat dari karakter fotonya yang berbeda

dengan foto lainnya yang mempunyai makna berbeda-beda.

Menurut Frank P.Hoy menjelaskan delapan hal yang termasuk dalam

karakteristik sebuah foto jurnalistik, yaitu :8

a. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi yang

dilakukan akan mengekspresikan pandangan jurnalis foto terhadap

suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupkan

ekspresi pribadi.

8 Rita Gani, Ratri Rizki Kusualestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar (Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2013), h.48-49.

 

24

b. Medium foto jurnalistik adalah suatu adalah media cetak koran atau

majalah, dan media kabel atau satelit juga internet seperti kantor

berita (wire services).

c. Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita.

d. Foto jurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto.

e. Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek,

sekaligus pembaca foto jurnalistik.

f. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass

audiences). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan

harus segera diterima orang yang beraneka ragam.

g. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.

h. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak

penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amendemen

kebebasan berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and

freedom of press).

Foto Jurnalistik setidaknya harus mempunyai sifat-sifat yang sama

seperti halnya berita tulis yaitu memuat unsur-unsur apa (what), siapa

(who), di mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya

dalam bentuk visual, foto berita mempunyai kelebihan dalam

menyampaikan unsur (how), yaitu bagaimana kejadian itu berlangsung.

Meskipun dalam suatu peristiwa itu unsur (how) bisa terjawab dalam

 

25

tulisan (berita tulis) tetapi dalam sebuah foto, unsur how lebih dapat

menguraikan secara lebih baik lagi.9

Audy Mirza Alwi menjelaskan bahwa foto jurnalistik terbagi

menjadi dua kategori yaitu foto berita dan foto feature.10

Foto berita

adalah foto yang harus sesegera mungkin disampaikan kepada pembaca.

Tema foto berita umumnya meliputi informasi yang selalu ingin

diketahui perkembangannya dari waktu ke waktu oleh pembaca, seperti

berita politik, kriminal, olahraga, dan ekonomi. Sementara itu foto

feature adalah foto yang dalam penyiarannya dapat ditunda kapan saja.

Tema berita yang terdapat dalam foto feature pada umumnya lebih

kepada masalah ringan yang menghibur dan tidak membutuhkan

pemikiran yang mendalam bagi pembacanya serta mudah dicerna.11

2. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik

World Press Photo, Organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi

acuan para fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara

lain:12

9 Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki (Jakarta, Elex Media Komputindo,2014) h. 23.

10 Wilson Hicks Editor majalah Life mengatakan bahwa unit dasar dari foto jurnalistik

adalah foto tunggal dengan teks yang menyertainya yang disebut single picture. Foto tunggal bisa

berdiri sendiri serta dapat menyertai suatu berita atau feature. Selain foto tunggal terdapat pula

foto seri atau foto essay. Foto seri atau esai adalah foto-foto yang terdiri atas lebih dari satu foto

tetapi masih dalam satu tema pemberitaan. Baik foto seri atau esai pembuatanya memakan waktu

yang cukup lama. Namun, keduanya memudahkan fotografer dalam menjelaskan suatu peristiwa

ke dalam beberapa foto. Baik foto berita maupun foto feature bisa disiarkan dalam bentuk satu

foto tunggal disertai teks yang disebut foto tunggal (single picture), dan foto seri/foto esai (photo

story/photo essay). (Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke

Media Massa ( Jakarta, PT Bumi Aksara,2008) h.6. 11

Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

Massa (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008) h.5. 12

Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

Massa (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008).h.8-9

 

26

a. Spot Photo

Foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal. Misalnya

foto kebakaran, gempa bumi, tsunami, banjir. Foto jenis ini harus

segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.

b. General News Photo

Adalah foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal,

rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu: politik,

ekonomi dan humor.

c. Daily Life Photo

Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia

dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).

d. People in The News Photo

Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita,

yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi

berita itu seperti Presiden yang sedang blusukan ke daerah terpencil.

e. Potrait

Adalah foto yang menampilakn wajah seseorang secara close up

dan ―mejeng‖. Ditampilkan Karena adanya kekhasan pada wajah

yang dimiliki atau kekhasan lainnya seperti wajah seorang tahanan

65 yang masih hidup hingga saat ini.

f. Sport Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.

 

27

g. Science and Technology Photo

Adalah foto yang diabil dari peristiwa-peristiwa yang ada

kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

h. Art and Culture Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya seperti

teater dan konser musik.

i. Social and Environent

Adalah sebuah foto tentang kehidupan social masyaraat serta

lingkungan hidupnya.

Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajian, foto berita

terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single photo), dan foto seri

(storie photo).

3. Foto Tunggal

Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas

secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh

kehadiran foto lainnya. Foto tunggal mempunyai peran sangat kuat di

dalam pemberitaan yang biasanya menjadi cover depan di Koran untuk

foto-foto yang lugas seperti foto tunggal.

4. Foto Seri

Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita.

Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh

dan lengkap tentang suatu peristiwa. Dalam foto seri terdapat tiga bagian

foto, yaitu : pembukaan, isi dan penutup.

 

28

a. Foto Pembukaan, berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki suatu

cerita. Biasanya menampilkan foto yang unik dan menarik.

b. foto isi, adalah foto yang mengandung konten utama dari peristiwa

yang hendak diceitakan.

c. foto penutup, yaitu foto yang menutup cerita tersebut. Bisa berupa

konklusi, klimaks dari peristiwa tersebut.

C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata semeion yang

berarti ―tanda‖. Secara terminologis, semiotika didefinisikan sebagai ilmu

yang mempelajari objek-objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh kebudayaan

sebagai tanda. Van Zoest mengartikan semiotika sebagai ―Ilmu tanda‖ dan

segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya

dengan kata lain, pengerimannya dan penerimaannya oleh mereka yang

mempergunakannya.

Pengamatan mengenai semiotika sudah sejak tahun 330-264 SM, yaitu

melalui kajian Zeno. Ia berasal dari Kition di Pulau Cyprus. Ia melakukan

penelitian tentang tanda-tanda dengan melihat tangis dan tertawa. Dari

pengamatannya didapatkan bahwa tangis sesorang yang terlihat dalam bentuk

penampilannya sebagai penandanya.

Hal itu disebabkan ekspresi tangis dapat diamati melalui gerak,

penampilan, suara dan nada tangisnya. Makna atau maksud dan tujuan

menangis merupakan petandanya. Bentuk tangis dan tawa secara semiotika

 

29

mengandung dwimakna. Sesorang yang menangis itu belum tentu bersedih,

melainkan bisa saja menangis karena mendaptkan kegebiraan dengan luapan

emosi atau perasaannya yang meledak-ledak tak tertahankan. Semiotika

adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. 13

Tanda yang

merupakan perangkat yang di pakai dalam mencari jalan di dunia ini, di

tengah-tengah manusida dan bersama-sama manusia.

Dalam sejarah linguistik, selain istilah semiotika dan semiologi terdapat

pula istilah semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang

studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.

Sesungguhnya kedua istilah semiotika dan semiologi mengandung pengertian

yang sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut

biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang bergabung

dengan Pierce menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka yang

tergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun ada

kecendrungan, istilah semiotika lebih popular daripada istilah semiologi

sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya. Baik

semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling

menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu

tentang tanda. Satu-satunya perbedaan antara keduannya, adalah bahwa

istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika

cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Dengan kata lain,

13

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.15.

 

30

penggunaan kata semiologi menunjukan pengaruh kubu Saussure, sedangkan

semiotika lebih tertuju pada kubu Pierce.14

Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda

pada dasarnya merupakan suatu studi atas kode-kode yakini sistem apapun

yang memungkinkan kita memandang sesuatu yang memiliki keberadaan

yang unik dan berbeda, walaupun tidak harus dalam bentuk fisik sebagai

tanda atau sesuatu yang bermakna.15

Pada dasarnya, analisis semiotika memang merupakan sebuh iktiar untuk

merasakan sesuatu yang aneh atau mengganjal, sesuatu yang perlu

dipertanyakan lebih lanjut ketika membaca teks atau narasi/wacana tertentu.

Berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik

sebuah teks.16

Maka banyak orang menyimpulkan semiotika adalah upaya

menemukan makna ‗berita di balik berita‘.

Mengacu kepada penjelasan di atas, pada penelitan ini penulis akan

menggunakan kata semiotika dalam penulisan selanjutnya, karena selain

memiliki arti yang sama, istilah semiotika juga lebih populer ketimbang

semiologi, sehingga penelitian ini akan mudah dicerna oleh para pembaca.

Terdapat tiga tokoh besar dalam ilmu Semiotika, yaitu: (1) Ferdinand de

Saussure; (2) Charles Sanders Pierce; (3) Roland Barthes.

14

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.11-12. 15

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Mitra Wacana Media,

2013) h.4. 16

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Mitra Wacana Media,

2013) h.8

 

31

1. Tokoh-tokoh Semiotika

a. Semiotika Ferdinand de Saussure

Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857 dala sebuah

keluara yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan ereka

dalam bidang ilmu. Saussure hidup sezaman dengan Sigmund Freud

dan Emile Durkhei meski tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah

berhubungan dengan mereka. Selain sebagai sesorang linguistik, ia

juga seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Sansekerta

yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu

sosial dan kemanusiaan.17

Menurut Stanley J. Grenz, kehebatan Saussure adalah ia berhasil

menerang pemahaman ―historis‖ terhadap bahasa yang

dikembangkan pada abad ke-19. Saussure menggunakan pendekatan

anti-historis yang melihat bahasa sebagai siste yang untuh dan

harmonis secara internal (langue). Ia mengusulkan teori bahasa yang

disebut ―Strukturalisme‖ untuk menggatikan pendekatan ―historis‖

dari para pendahulunya.18

Dalam desfinisi Saussure, semiotika merupakan sabuah ilmu

yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat serta

menjadi bagian dari disiplin psikologi social. Tujuannya adalah

17

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.45. 18

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.44.

 

32

untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta

kaidah-kaidah yang mengaturnya.19

Menurutnya bahasa merupakan suatu tanda dan setiap tanda itu

tersusun dari dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified

(petanda). Bahasa itu merupakan suatu tanda sistem tanda (sign).

Suara-suara, baik suara dari manusia, binatang, atau bunyi-bunyian,

hanya bisa dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa

bilamana suaru atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan,

atau menyampaikan ide-ide, dan pengertian-pengertian tertentu.20

Tanda adalah kesatuan dari bentuk penanda dengan sebuah ide

atau petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan

yang bermakna. Dengak kata lain, penanda adalah aspek material

dari bahasa, apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis

atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran,

atau konsep. Dengan kata lain, petanda adalah aspek mental dari

bahasa.21

b. Semiotika Charles Sanders Peirce

Peirce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1839.

Pada tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut ia menerima

gelar B.A., M.A., dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selaa lebih

dari tiga puluh tahun (1859-1860, 1861-1891) Peirce banyak

melaksanakan tugas astronomi dan geodesi untuk Survei Pantai

19

Alex Sobur, Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.12. 20

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.46. 21

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.46.

 

33

Amerika Serikat (United States Coast Survey). Dari tahun 1879

sampai tahun 1884, ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidang

logika di Universitas Johns Hopkins. 22

Peirce lebih banyak memilih menulis permasalahan yang tidak

saling berkaitan dikarnakan bidang yang tekuninya sangat banyak.

Mulai dari ilmu pasti dan alam, peirce banyak menyumbangkan ide-

ide kedalam semiotika yang terkenal karena teori tandanya.

Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks), dan symbol (symbol). Ikon adalah tanda yang

hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk

alaiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan

objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah

antara tanda dan petanda yang bersifat kausal pada kenyataan. Tanda

dapat pula mengacu pada denotatum melalui konvensi. Tanda sepert

itu adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara

penanda dengan petandannya. Hubungan di antaranya bersifat

arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian)

masyarakat.23

c. Semiotika Roland Barthes

Barthes lahir tahin 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan

di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai

22

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h. 40. 23

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h. 42.

 

34

Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya, seorang pewira

angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara

sebelum usia Barthes genap mencapai satu tahun. Sepeninggalan

ayahnya, ia kemudia diasuh oleh ibu, kakek dan neneknya. Di usia

Sembilan tahun ia pindah ke Paris bersama ibunya yang bergaji kecil

sebagai penjilid buku. Menginjak dewasa, Barthes menderita

penyakit tuberkulosa (TBC). Di tengah-tengah masa pemulihannya,

Barhes menghabiskan waktu untuk membaca banyak hal, dan

menerbitkan beberapa artikel. Dari masa itulah karir Barthes terus

berkembang hingga nanya menjadi popular bersaa karya-karyanya.24

Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode

analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang

kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di

tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Roland barthes

menjabarkan bahwa foto itu memuat tanda yang berupa pesan

tertunjukkan/denotatif dan pesan terartikan/konotatif.

Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya

berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi).

Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of

signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang

juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.25

24

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.64. 25

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.69.

 

35

Tabel 2.1

Peta Tanda Roland Barthes26

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3)

terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat

bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4).

Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material.27

Melalui

konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna

tambahan namun juga mengandung bahwa kedua bagian tanda

denotatif yang melandasi keberadaanya. Dalam buku yang disunting

oleh Howard Davis dan Paul Walton yang berjudul Bahasa, Citra,

dan Media, dikatakan bahwa, meskipun fotografi adalah ―medium

visual‖, ia tidak murni visual.28

Menurut Seno Gumirah Ajidarma dalam “Kisah Mata”, foto adalah

suatu pesan yang dibentuk oleh suber emisi, saluran transmisi dn

titik resepsi. “Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang

terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur

lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan ,artikel, yang selalu

26

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.69. 27

Paul Cobley dan Liza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem

Books,1999), h.51. 28

Howard davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2010)

cet-1.h.245.

1. Signifier 2. Signified

(penanda) (Petanda)

3. Denotative sign (tanda denotatif)

4. Connotativ signifier 5. Connotative signified

(penandaan konotatif) (petandaan konotatif)

6. Connotative sign (tanda konotatif)

 

36

mengiringi foto. Dengan demikian keseluruhannya dibentuk oleh ko-

operasi dua struktur yang berbeda‖.29

Selanjutnya di mata Barthes sendiri, suatu karya atau teks

merupakan sebentuk kontruksi belaka. Bila hendak menemukan

maknanya, maka yang dilakukan adalah rekontruksi dari bahan-

bahan yang tersedia, yang tak lain adalah karya atau teks itu

sendiri.30

Merujuk pada penjelasan di atas, dapat dilihat bahwasannya

karya fotografi tidak bisa dilihat sebatas sebuah kenampakan secara

objektif, melainkan fotografi memiliki makna yang lebih dari

sekedar yang dipaparkan. Sebab menilik dari proses terciptanya foto

yang melibatkan sepenuhnya fotografer, maka tidak dapat dipungkiri

akan adanya keterlibatan unsur subjektifitas di dalamnya. Sehinga,

apabila foto itu merupakan media untuk menyampaikan gagasan

foto, maka gagasan dan upaya untuk bercerita itu sendiri adalah

bentuk subjektivitas.

Barthes secara khusus membahas semiotika dalam fotografi. Inti

dari pemikirannya adalah Barthes membagi signifikasi dalam karya

fotografi pada dua tingkatan. Tingkatan pertama (First order

signification) adalah tahap denotasi, yatu relasi antara penanda dan

petanda yang berbentuk tanda. Selanjutnya signifikasi tingkat kedua

29

Ajidarma, Seno Gumirah, Kisah Mata, Fotografi, (Yogjakarta: Galang Press, 2002), h.27. 30

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001), h.93.

 

37

(second order signification) adalah konotasi, yakni pemaknaan lain

yang muncul dari tanda hasil signifikasi pada tingkatan pertama.31

1. Teori Roland Barthes

Denotasi adalah apa yang disebut Barthes sebagai signifikasi

tingkatan pertama. ini adalah tingkatan paling jelas Dimana tanda

berkomunikasi dan mengacu pada makna akal sehat dari tanda.

Makna denotatif dapat dinyatakan dengan menggambarkan tanda

sesederhana mungkin.

Di hadapan sebuah foto, suatu denotasi akan memberikan

kepunahan analogis sehingga sebuah deskripsi secara harafiah tak

mungkin. Sebuah penggembaran tentang foto itu haruslah

menggambungkan pesan tertunjukkan itu ke suatu saluran atau pesan

tataran kedua yang diambil dari kode, yang terhubungkan kepada

suatu analogi fotografis, artinya sebuah konotasi: menggambarkan

berarti mengubah struktur, memahami sesuatu yang berbda dari apa

yang ditunjukkan. Dengan kata lain, status murni denotative, atau

objektiitasnnya, berpeluang menjadi mistis. Dalam kenyataan actual,

besar kemungkinan-ini yang harus dibuktikan-bahwa pesan

fotografis pun terkonotasi.32

31

ST Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogjakarta: Kanal, 2002), h.160.

32

Seno Gumirah, Kisah Mata (Yogjakarta: Galang Press, 2002), h.27

 

38

Barthes menjelaskan untuk memaknai konotasi yang terkandung

dalam sebuah foto, harus melewati prosedur-prosedur sebagai

berikut, diantaranya:33

a. Trick effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang

berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.

b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam

mengambil foto berita, seorang wartawan foto akan memilih

objek yang sedang diambil.

c. Object, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap

dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan

point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto.

d. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan

gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman

foto), bluring (keburaman), Panning (efek kecepatan), moving

(efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang

pengambilan objek), dan sebagainya.

Tabel 2.2

Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto34

TANDA MAKNA KONOTASI

Photogenia Teknis Fotografi

Pemilihan

Lensa

Normal Normalitas keseharian

Lebar Dramatis

Tele Tidak personal, voyeuritis

33

Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 7. 34

M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 43.

 

39

Shot size Close up Intimate, dekat

Medium up Hubungan personal dengan

subjek

Full shot Hubungan tidak personal

Long shot Menghubungkan subjek dengan

konteks, tidak personal

Sudut pandang High angle Membuat subjek tampak tidak

berdaya didominasi, dikuasai,

kurang otoritas

Eye level Khalayak tampil sejajar dengan

subjek, memberi kesan sejajar,

kesamaan, sederajat

Low angle Menambah kesan subjek

berkuasa, mendominasi, dan

memperlihatkan otoritas

Pencahayaan High key Kebahagiaan, cerah

Low key Suram, muram

Datar Keseharian, realistis

Penempatan

subjek/objek

pada bidang

foto

Atas Memberi kesan subjek berkuasa

Tengah Subjek penting

Bawah Subjek tidak penting

Pinggir Subjek tidak penting

e. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi

gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna

konotasi.

f. Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya

berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan

dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Adapun

fungsi caption itu sendiri selain untuk membatasi pokok pikiran

pesan yang ingin disampaikan, juga berfungsi supaya maksud

dari pesan itu cepat tersampaikan.

 

40

Konotasi beroperasi pada urutan penandaan tingkat kedua,

konotasi mengacu pada emosi, nilai-nilai, dan asosiasi yang

menimbulkan tanda dalam pembaca, pemirsa, atau pendengar.

Makna konotatif tanda adapat diekspresikan dengan cepat mencatat

apa yang mengingatkan anda atau membuat anda merasa atau

membayangkan,35

Tekanan teori tanda Barhes adalah konotasi dan mitos. Mitos

berada pada tataran signifikan tahap kedua, di dalam tataran mitos,

tanda-tanda pada signifikasi tahapan pertama menjadi penanda-

penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda.36

Secara

sederhana dapat dipahami bahwa mitos terjadi ketika konotasi

menjadi tetap dan terus-menerus, selanjutnya ketika mitos menjadi

mantap, maka ia menjadi ideologi.37

Terdapat tiga tahapan dalam membaca foto yang diajukan oleh

Barthes yang tertuang dalam The Photographic Message, yaitu

perseptif, kognitif dan etis ideologis.38

a. Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori

verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif. Konotasi

perspektif tidak lain adalah imajinasi sigmantik yang pada

dasarnya bersifat perspektif.

35

Michael O‘Shaugnessy dan Jane Stadler, Media and Society: An Introduction third

edition,(USA: Oxford University Press, 2005), h. 115-116 36

Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogjakarta: Jalasutra,2011), h.64 37

Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta : Komunitas Bambu,

2014) , h.17 38

ST Sunardi, Semiotika Negativa (Yogjakarta: Kanal, 2002), h.187

 

41

b. Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya

menghubungkan unsur-unsur ―historis‖ dari analogon (denotasi)

ke dalam imajinasi paradigmatic. Dengan demikian pengetahuan

kultural sangat menentukan.

c. Tahap Etis-Ideologis adalah tahapan pengumpulan berbagai

penanda yang siap ―dikalimatkan‖ sehingga motifnya dapat

ditentukan.

Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas

membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes

menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos

dan signified dengan sebutan ideology. Ini dibangun denan imajinasi

simbolik. Ketiga tahap ini tidak menentukan wacana suatu foto dan

ideology atau oralitas yang berkaitan. Ini murni semiotika-

positivistik. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui

prosedur yan dapat diamati dan diukur.39

Menurut Barthes, terdapat tiga aspek dalam fotografi: Operator,

yakni sang fotografer; Pemandangan (spectator), yakni yang melihat

fotonya; dan Spektrum, yakni apa pun yang dipotret. Dari tiga aspek

ini, terlihat persilangan antara Operator dan Pemandangan ; bahwa

sementara spectrum di hadapan fotografer hanya terhubungkan

dalam pembingakian (framed) kamera maksa Spektru yang

disaksikan pemandangan terendahkan dalam pencahayaan kimiawi.

39

ST Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogjakarta: Kanal, 2002), h.188.

 

42

Dalam konstelasi semacam ini, Barthes memposisikan diri sebagai

pemandang, yang mengajukan sebuah terori untuk mengamati foto.40

Dalam sebuah foto terdapat stadium dan punctum. Adapun

stadium adalah suatu kesan keseluruhan secara umum, yang akan

mendorong seorang Pemandangan segera memutuskan sebuah foto

bersifat politis atau historis, indh dan tak indah, yang sekaligus juga

mengakibatkan rekasi suka atau tidak suka. Semua itu terletak dala

aspek stadium sebuah foto-aspek yang membungkus sebuah foto

secara menyeluruh.

Sebaliknya adalah punctum, yakni fakta terinci dalam sebuah

foto yang menarik dan menuntut perhatian Pemandang, ketika

memandangnya secara kritis, tanpa mempedulikan studium, selain

memang karena punctum ini akan menyeruak stadium. Dalam

punctum itulah terjelaskan mengapa sesorang terus-menerus

memandang atau mengingat sebuah foto. Relasi stadium dan

punctum ini menurut Barthes sendiri memang tidak jelas, namun bisa

dihadirkan dalam proses penafsiran sebuah foto.

D. Konsep Ekologi Alam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ekologi adalah

ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam

40

Seno Gumirah, Kisah Mata, (Yogjakarta: Galang Press, 2002), h.28.

 

43

sekitarnya (lingkungannya).41

Dewasa ini telah mulai disadari bahwa masalah

lingkungan hidup bukan hanya masalah lingkungan fisik bukan hanya

menimbulkan kecemasan bagi nasib hidup manusia, tetapi menimbulkan

keprihatinan betapa perilaku manusia telah melampaui khittah-nya42

sebagai

manusia yang seharusnya mengelola alam ini dengan bijak.

Masalah sumber daya alam dan lingkungan hidup telah berkembang

menjadi krisis lingkungan global yang berdampak serius bagi keberlanjutan

kehidupan manusia dan pembangunan. Sebagai reaksi terhadap krisis ini,

sejak memasuki abad ke-20 telah tumbuh dan berkembang pergerakan

lingkungan yang dilandasi dengan pendekatan ecosophy dimana filosofi

penyelamatan bumi memasukkan dimensi ekologi dan dimensi spritual.

Filsafat ecosophy atau deep ecology ini diperkenalkan pertama kalinya pada

tahun 1972 oleh Arne Naess, filsuf dari Norwegia.43

Arne Naess menyatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya dapat

diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia

terhadap alam secara fundamental dan radikal.44

Krisis lingkungan global

dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis

dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan

tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan

cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia

41

http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Patriotisme (di akses pada tanggal 13 februari 2018) 42

Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup: dari Homo Ethic ke Homo Ethic,

(Bekasi: Gramata Publishing, 2014), h. 3 43

Hadi S. Alikodra, Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup: Pendekatan

Ecosophy bagi Penyelamatan Bumi, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2012). 44

Arne Naess dalam Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: PT. Kompas Media

Nusantara, 2006), h. 16

 

44

keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam

semesta seluruhnya. Inilah awal dari seluruh bencana lingkungan hidup yang

kita alami sekarang.

Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup, kekeliruan cara pandang

manusia yang menganggap dirinya bukan merupakan bagian dari alam atau

bagian dari keseluruhan ekosistem menyebabkan manusia tidak menyadari

bahwa kerusakan ekologi akibat pengelolaan lingkungan hidup yang terlalu

bertumpu pada kepentingan manusia (antroposentris) pada akhirnya

berhadapan dengan diri manusia itu sendiri.45

Ekosentrisme adalah suatu teori etika lingkungan yang memusatkan etika

pada seluruh komunitas ekologi, baik yang hidup maupun yang tidak hidup.

Secara ekologis, makluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait

satu sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak

hanya dibatasi pada makluk hidup tetapi juga berlaku terhadap semua realitas

ekologis.46

Krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang

dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Pola perilaku yang eksploitatif,

destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara

pandang yang hanya mementingkan kepentingan manusia. Apa saja boleh

dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan

manusia, sejauh tidak mempunyai dampak yang merugikan kepentingan

manusia (dalam arti kepentingan jangka pendek). Kewajiban dan tanggung

45

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cetakan Kesembilan

Belas, (Yogjakarta : Gadjah Mada University Press, 2006), h. 4 46

Ibid., h. 75-76

 

45

jawab moral manusia terhadap lingkungan - kalaupun itu ada semata-mata

demi memenuhi kepentingan sesama manusia.

Manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos) dalam sistem

tatanan lingkungan bumi yang dinamis. Gangguan manusia terhadap

ekosistem dengan pola hidup yang tidak bermartabat, egois, dan tamak telah

menyebabkan alam lestari semakin langka dan semakin sulit ditemukan

sehingga untuk memperolehnya sangat mahal.

Ditinjau dari perspektif ajaran Islam, yang tertuang dalam Al-Qur‘an

Surah Al- Baqarah ayat 30 yang berbunyi :

ر ض ف جاعل إن لل ملئكة ربك قال وإذ فيها ي ف سد من فيها أت عل قالوا خليفة ال فك دك نسبح ون ن الدماء ويس ت ع لمون ل ما أع لم إن قال لك ون قدس بم

Yang artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi

itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,

padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan

Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak

kamu ketahui".

Paradigma antroposentris bertentangan dengan tugas manusia sebagai

khalifah fil ardhi dimana Allah SWT mengamanahkan tugas kepada manusia

sebagai khalifah untuk mengelola atau mengatur bumi. Konsep khalifah akan

bermakna jika manusia mampu mengelola dan melindungi bumi sehingga

seluruh peribadatan dan amal- amal sosialnya dapat dengan tenang

ditunaikan.47

47

Mudhofir Abdullah, Al- Quran & Konservasi Lingkungan (Argumen Konservasi

Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syariah, Dian Rakyat, Jakarta, 2010, h. 13-14 dan

Fachruddin M. Mangunjaya dkk, Menanam Sebelum Kiamat, Islam, Ekologi, dan Gerakan

Lingkungan Hidup, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, h. 5.

 

46

Filsafat pokok DE disebut Naess sebagai ecosophy yang berarti kearifan

mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti

luas. Dalam arti ini, lingkungan hidup tidak sekadar sebuah ilmu (science)

melainkan sebuah kearifan (wisdom), sebuah cara hidup, sebuah pola hidup

selaras dengan alam. Ini menyangkut sebuah gerakan, gerakan dari semua

penghuni rumah tangga, penghuni alam semesta untuk menjaga secara arif

lingkungannya sebagai rumah tangga.48

Filsafat ecosophy ini menurut Naess harus dapat berfungsi sebagai

landasan filosofis dalam rangka penerimaan prinsip-prinsip Deep Ecology, di

antaranya: (a) sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di

alam semesta (biospheric egalitarianism—in principle); (b) manusia hanya

salah satu spesies di tengah begitu banyak spesies lain. Semua spesies ini

mempunyai nilai yang sama (prinsip non-antroposentrisme); (c) prinsip

realisasi diri yang memandang manusia tidak hanya sebatas sebagai makhluk

sosial (social animal), tetapi juga makhluk ekologis (ecological animal); dan

(d) Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas

ekologis dalam suatu hubungan simbiosis.49

48

Ibid., h. 78. 49

Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle, (United Kingdom: Cambridge University

Press, 1989) h.38.

 

47

E. Jurnalisme Lingkungan

Jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi data.50

Menurut

KBBI Jurnalisme sendiri memiliki arti pekerjaan mengumpulkan data dan

menulis berita di media massa cetak dan elektronik.51

Hampir tidak setiap

wartawan tahu standar minimal verifikasi, susahnya karena tidak

dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan

pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme sering terkait dengan apa

yang biasa disebut objektifitas.52

Objektifitas adalah disiplin dalam

melakukan verifikasi, seperti Jurnalisme Lingkungan.

Tidak banyak yang tahu kapan praktek Jurnalisme lingkungan mulai

muncul di Indonesia. Istilah jurnalisme lingkungan diperkenalkan oleh John

Palen, tokoh dari Department of Journalism dari Universitas Michigan.

Pengertian harifah jurnalisme adalah catatan, tulisan, laporan mengenai

peristiwa yang disaksikan dala sehari-hari, sebagian orang menyebutnya

catatan harian atau jurnal.53

Menurut John Palen Jurnalisme Lingkungan

muncul ketika para jurnalis harus mengemukakan permasalahan-

permasalahan berkaitan dengan lingkungan seperti dioxin, kabut asap, satwa

terancam punah serta pemanasan bumi. 54

50

Andreas Harsono, Agama Saya adalah Jurnalisme, (Yogjakarta: Penerbit Kanisius,

2010), h.20. 51

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/jurnalisme diakses pada tanggal 10 Juni 2019. 52

Andreas Harsono, Agama Saya adalah Jurnalisme, (Yogjakarta: Penerbit Kanisius,

2010), h.21. 53

http://www.bimbingan.org/jurnalisme-lingkungan.htm diakses pada tanggal 18 April

2018. 54

https://greenpressnetwork.wordpress.com/2008/11/20/jurnalisme-lingkungan-sebuah-

pengenalan-singkat/ diakses pada tanggal 08 April 2019.

 

48

Jurnalisme lingkungan berangkat dari komunikasi lingkungan yang

menjadi dasar. Peran komunikasi lingkungan adalah mencoba untuk

merancang strategi antara makhluk hidup demi lingkungan yang lebih baik

dari saat ini. Adapun beberapa hal yang harus ditunjukan oleh jurnalis

lingkungan seperti, menunjukkan interaksi saling memengaruhi antar-

komponen lingkungan dan dampak-dampak atau sebab akibat yang timbul

dari kerusakan lingkungan. Hal ini menjadi acuan jurnalisme lingkungan

yang dipegang oleh jurnalis lingkungan dalam pewartaannya. Hanya melalui

kedua hal tersebutlah, tingkat kesadaran dan kepedulian khalayak muncul

akan lingkungan yang perlahan tapi pasti mulai rusak.

Menurut Anderson, dalam makalah Jurnalisme Lingkungan yang Sadar

Lingkungan, Jurnalisme lingkungan merupakan jurnalisme konvensional

lainnya yang harus taat etika dan menyampaikan fakta tetapi bertitik tkan

pada kasus lingkungan hidup dan sadar etika lingkungan yaitu; (1) informasi

yang relevan dengan latar belakang kasus lingkungan, (2) materi berita yang

sering menjernihkan situasi atau menjadi mediasi (dalam istilah McLuhan

sebafai extension of man) dan (3) memperhatikan resiko pemberitaan dari

kasus lingkungan hidup. Selain itu, menurut Anderson materi jurnalisme

lingkungan baik berita dan jurnalis wajib memiliki ateri pengetahuan tentang

lingkungan dan nilai budaya dari masyarakat atau kasus lingkungan

tersebut.55

55

https://www.academia.edu/5783073/Media_Kita_dan_Lingkungan_Hidup diakses pada

tanggal 18 April 2018.

 

49

Tetapi, Masalah Jurnalisme Lingkungan hidup di Indonesia adalah

sulitnya mencari narasumber yang bersedia dan bisa dipercaya untuk

mengungkap realitas lingkungan hidup yang sebenarnya. Beberapa

dapartemen, seperti Dapartemen Pertanian, Dapartemen Pertambangan dan

Energi, serta Dapartemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan,

memiliki pedoman sendiri tentang berita yang ditulis wartawan. Ada dugaan

kriteria yang dijadikan pedoman serting bertentangan dengan kriterian berita

versi wartawan. Kalau ini benar, maka tidak banyak berita yang berasal dari

dapartemen ini bisa mengungkapkan realitas lingkungan hidup yang

sebenernya.56

Selain itu ada beberapa hal yang menjadi pegangan untuk jurnalis

lingkungan seperti, pengertian dan pemahaman bahasa-bahasa lingkungan,

pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa lingkungan di masa lalu,

pengetahuan akan kebijakan mengenai lingkungan, penegtahuan dan

mengikuti informasi tentang organisasi lingkungan, pemahaman umum

tentang persitwa-peristiwa lingkungan muktahir, mengakui kesetaraan

spesies, dan yang paling penting berpihak kepada lingkungan dan kehidupan

lingkungan berkelanjutan. Tanpa adanya pegangan seperti itu jurnalis akan

berjalan dengan hampa dalam pemberitaannya. Jurnalisme Lingkungan harus

bisa menempatkan diri mereka dan benar-benar fokus terhadap lingkungan

semata.

56

Ana Nadya Abrar, Mengurai Permasalahan Jurnalisme (Jakarta: Pustaka SInar Harapan,

1995), h.34

 

50

Para responden percaya bahwa setiap pihak yang terlibat dalam sebuah

kasus lingkungan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi

narasumber. Namun, pada praktiknya beberapa jurnalis memberikan prioritas

pada orang-orang yang menjadi korban secara langsung dari kasus

lingkungan yang terjadi, terutama untuk isu-isu yang menyangkut masalah

kesehatan dan kelestarian. Para jurnalis tersebut percaya bahwa untuk korban

itulah area ada di sana. Namun, jurnalis hanya berfokus pada jejak hidup

korban, daripada fakta-fakta yang akan memicu kontroversi secara pilitis. Hal

ini semakin menguatkan ide bahwa masyarakat awam tidak emiliki otoritas

untuk memaparkan bukti-bukti. Sebagai konsekuensi, jurnalis masih

bergantung pada pemerintah, ilmuwan, dan korporasi sebagai sumber yang

telah lebih penting, karena mereka adalah kelompok ―decision maker‖ dan

―policy maker‖.57

Jurnalisme lingkungan itu penting bagi semua penduduk Bumi. hal ini

seperti telah jatuh tempo artinya kita sudah terlalu lama membiarkan

lingkungan tak terurus dan kurangnya kesadaraan kita dalam merawat

lingkungan. Pentingnya krisis iklim adalah tantangan bagi gagasan kita

tentang netralitas. Isu-isu lingkungan menjadi kepentingan umum dan jurnalis

dituntut untuk mencari kebenaran tanpa rasa takut terhadap apapun adalah

garis dasar jurnalisme yang baik.

57

.http://www.stikosa-aws.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/Artikel-5-Jurnalisme-

Lingkungan-di-Amerika.pdf diakses pada tanggal 18 April 2018.

 

51

BAB III

GAMBARAN UMUM

A. Gambaran Umum Sumatera

1. Sejarah Sumatera

Pulau Sumatera adalah pulau besar yang berada di kawasan Hindia

Timur yang membetuk batas wilayah paling barat di Kepulauan

Nusantara. Sumatera merupakan pulau terluas urutan keempat di dunia,

dengan demikian pulau Sumatera empat kali besar pulau Jawa, hampir

besar dengan Negara Spanyol dan tiga belas kali pulau Belanda.1 Nama

Sumatera sendiri tidak diketahui asal mulanya namun dalam narasi

Odoricus yang seorang pendeta dari Gereja Katolik Roma yang

menyusuri sejumlah wilayah bagaian Timur pada tahun 1328 hingga ke

bagian Selatan.2

Di selatan pulau, terdapat kerajaan yang bernama Sumoltra dan tidak

jauh dari pulau besar yang bernama Jawa. Setelah nama Sumoltra di

temukan, orang-orang setelah itu menulisnya dengan berbagai variasi,

baik Sumotra, Samotra, Zamatra, maupun Sumatera.3

Seorang cendikiawan Asia yang mempelajari bahasa pulau-pulau di

Timur, menjelaskan bahwa Sumatera memperoleh namanya dari sebuah

dataran tinggi yang disebut Samadra, dalam bahasa local berarti ‗Semut

Besar‘. Namun, faktanya, tidak ada lokasi yang dinamai demikian dan

1 Edwin M.Loeb, Sumatera its History and People, (Wein: Verlag des Institutes fur

Volkerkunde der Unive Rama Suryaitat Wien, 1935), h5. 2 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 9.

3 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 12.

 

52

walaupun ada kemeripan antara Sumatera dan Semut. Akan tetapi,

terdapat bukti bahwa asal-muasal derivasi tersebut berkebalikan dari

pendapat yang sebenarnya diambil dari nama-nama pulau di

sekelilingnya senantiasa dilanda badai.

Jika dibawa ke serapan dari Bahasa Sanskerta, Kata Sumatera dapat

berasal dari kata Samuder, nama ibukota Carnatik (kemudian disebut

Bider) pada zaman dulu. Samudera-duta, yang muncul dalam Hepotasa,

berarti ‗utusan laut‘. Amalgamsi dari kata su yang berarti ‗baik‘ dan

matra yang berarti ‗langkah‘ serta yang paling mungkin kata ―samantara‖

yang berarti ‗batasan‘ atau ‗sesuatu di antara‘. Kata tersebut

kemungkinan benar dikarenakan kedudukan di pulau ini di antara dua

samudera dan dua selat.

a. Geografi

Garis Khatulistiwa membagi Pulau Sumatera secara tidak sejajar

dari arah barat laut ke tenggara menjadi dua bagian yang nyaris sama

besarnya. Satu ujungnya berada pada titik 5,33 Derajat Lintang

Utara, sedangkan ujung satunya lagi pada titik 5,56 Derajat Lintang

Selatan.4 Sebalah utara berbatasan dengan Teluk Bengal sedangkan

sebelah Pantai barat daya berbatasan dengan Samudera Hindia.

Sebelah selatan berbatasan dengan delat senda yang memisahkan

antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Sebelah timur berbatasan

langsung dengan laut Cina Selatan yang memisahkan Pulau

Sumatera dengan Borneo. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat

4 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 2.

 

53

Malacca yang memisahkan dengan Semenanjung Malaya (yang

konon kabarnya menurut peneliti Portugis, dipercaya telah menyatu

sejak zaman dulu).5

Dari segi ukuran, Sumatera termasuk salah satu pulau paling

besar di dunia. Namun, lebar pastinya tidak dapat diukur sehingga

tidak ada hasil pengukuran yang akurat sejauh ini. Sumatera hampir

menyerupai Kepulauan Britania yang melebar di bagian ujung

selatanya dan menyempit di bagian utara sehingga kedua pulai ini

memiliki ukuran yang sebanding walaupun bentuknya tidak mirip.6

Terdapat rangkaian pegunungan di sepanjang pulau Sumatera

dan di beberapa tempat terdapat dua sampai tiga barisan sekaligus.

Rangkaian lebih mendekati kawasan pantai barat, yang jarang

terdapat pegunungan yang berada lebih dari 20 mil kearah laut pada

umumnya. Sementara di bagian timur terdapat daratan yang lebih

luas dan dialiri sungai besar yang melewati Siak, Indra-giri, Jambi

dan Palembang.

Tanah di bagian barat Sumatera secara umum dapat

dideskripsikan memiliki tekstur yang keras dan liat, berwarna

kemerah-merahan dan ditutupi lapisan hitam dengan kedalaman

yang tidak dapat diperhitungkan. Dataran rendah, atau wilayah

dataran yang terbentang dari tepi laut hingga kaki pegunungan, di

sepanjang pantai barat Sumatera saling berpotongan dan dibuat

sangat tidak rata dengan keberadaan rawa-rawa dengan posisi

5 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 2.

6 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 14.

 

54

sporadic serta panjang yang tidak tetntu sepanjang bebrapa mil

sebelum berakhir ke laut dan danau. 7

Tanah Sumatera kaya dengan mineral dan produksi fosil lainnya

yaitu Emas, Tembaga, Besi, Timah, Sulfur, Potasiu Nitrat, Batu

Bara, Mata Air Panas, dan Minyak Bumi. Di Sumatera nyaris tidak

ditemukan batu kasar di dekat tepi laut. Selain pagar kolar, napal

yang membentuk dasar tebing berwarna merah dan tidak jarang

dasar sungai dengan tekstur yang mulus dan licin dalam bentuk batu

hampir menyerupai batu kapur halus (atau batu sabun).

Di Sumatera dapat ditemukan berbagai jenis spesies tanah yang

dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti bahan pewarna untuk

lukisan.8 Warna yang paling umum adalah kuning, merah dan putih.

b. Demografi

Penduduk Sumatera secara umum dapat dideskripsikan lewat

karakteristiknya sebagai berikut: Postur mereka di bawah rata-rata

orang Indonesia modern, khususnya dalam proporsi tubuh. Tangan

dan kaki mereka kecil, khususnya di bagian pergelangan dan engkel

tetapi masih dalam bentuk yang normal. Selain orang Sumatera asli

seperti yang sudah dideskripsikan.

Mata orang Sumatera umumnya berwarna gelap dan tajam.

Khususnya di kalangan wanita di daerah selatan, mata mereka sangat

mirip dengan mata orang Cina dalam aspek bentuk dan jarak antara

keduanya. Rambut yang warna gelap mengkilat hal tersebut

7 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 28 .

8 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 32.

 

55

dikarenakan keseringan memakai minyak kelapa yang melembabkan

rambut. Para lelaki di Sumatera tidak banyak yang memiliki jenggot

serta mempunyai dagu yang mulus tanpa berbulu.

Warna kulit mereka kuning kemerah-merahan. Secara umum,

kulit penduduk Sumatera lebih terang dibandingkan orang-orang

Mestees, atau berdarah campuran, di daerah Hindia lainnya.

Penduduk berkasta lebih tinggi, khususnya wanita, biasanya tidak

banyak terekspos sinar matahari dan memiliki kulit yang indah dan

cantik.

Berbeda dengan orang Sumatera di pedalaman yang memiliki

karakteristik yang khas, cenderung kearah negative daripada positif.

Mereka bersifat tenang dan santai, kecuali bila diprovokasi secara

kasar. 9 Sifat pada diri mereka banyak menahan diri dan berpantang

juga terlihat dari pola makan dan minumnya dalam sehari-hari.

Mereka lebih banyak makan sayuran dan minum air putih berbeda

dengan Sumatera yang modern atau mengikuti zaman yang terbiasa

makan junk food.

c. Budaya

Kebudayaan adalah jati dari suatu bangsa. Suatu bangsa

dibedakan dari yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. Untuk

Indonesia, satuan-satuan kemasyarakatan yang ditandai oleh

kekuasaan budaya itu disebut ―suku bangsa‖, dan istilah lain untuk

9 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h

243.

 

56

itu adalah ―satuan etnik‖.10

Contoh yaitu Kebudayaan Melayu yang

amat luas jelajahnya bahkan meliputi beberapa Negara yaitu

Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang mempunyai

varian-varian lokal yang berbeda tetapi hampir menyerupai atau satu

sumber.

Perbedaan perkembangan budaya, meski berasal dari satu sumber, dapat

disebabkan oleh dua macam pendorong, yaitu : (a) migrasi komuniti yang

cukup besar ke suatu lingkungan lain, baik yang berbeda secara alamiah

maupun secara sosial; dan (b) komunikasi intensif antarbangsa yang terjadi

tanpa migrasi menetap.11

B. Sejarah Daerah Lampung

Orang biasa menyebut Lampung dengan Negeri Lampong. Negeri

Lampong berada di ujung selatan pulau Sumatera. Dimulai dari pesisir barat

di Sungai Padang-guchi yang memisahkannya dengan Passummah dan

memanjang melewati daratan hingga ke Palembang di sisi timur laut.12

Secara

demografi, Lampung saat ini lebih banyak dihuni oleh orang Jawa yang

bertransmigrasi.

Lampung paling banyak dihuni di bagian tengah dan di bagian

pegunungan, tempat penduduknya hidup merdeka. Dari semua orang

Sumatera, penduduk Lampung asli paling mirip dengan orang Cina, terutama

10

Edi Sedyawati, ―Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya”

(Jakarta : Komunitas Bambu, 2014), h 3. 11

Edi Sedyawati, ―Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya”

(Jakarta : Komunitas Bambu, 2014), h 3-4 12

William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h

347.

 

57

dari bulatnya muka dan bentuk mata. Mereka mempunyai kulit terang,

wanitanya paling tinggi dan dianggap paling cantik.

Provinsi Lampung terletak pada 105°45‘--103°48‘BT dan 3°45‘--6°45‘

LS dengan lintang selatan 3° dan 45‘, serta 6° dan 45‘ (dalam

Hadikusma,1979:2). Luas provinsi ini adalah 35.376.50 km2. Di Lampung

yang memahami bahasa Lampung asli lebih kurang 1.000.000 orang.

Selebihnya adalah pemakai bahasa Jawa, Bali, Sunda dan lain-lain.13

Oleh

karena itu provinsi tersebut bersemboyangkan Sang Bhumi Ruwa Jurai, yang

berarti ‗Lampung didiami oleh dua jenis penduduk‘, yaitu penduduk asli dan

penduduk datang.

Adapun daerah yang menggunakan bahasa Lampung, meliputi daerah

Lampung—tidak termasuk daerah Masuji, kemudian menyusur sungai

Komering dari Kayu Agung sampai Danau Ranau, dan selanjutnya menyusur

kaki Bukit Barisan daerah Bengkulu.14

Perilaku orang lampung tergolong bebas dan relatif lebih tidak bermoral

daripada penduduk Pribumi Sumatera lainnya. Kebebasan yang melampaui

batas usianya, seperti hubungan seks bebas yang sudah tidak asing lagi serta

kehilangan keperawanan yang sering terjadi. Walaupun hal tersebut dianggap

pelanggaran, namun menurut mereka itu bukan hal yang penting. Bukan

menghukum kedua belah pihak, seperti di Passummah dan tempat lainnya,

13

Ni Nyoman Wetty, Struktur Bahasa Lampung Dialek Abung (UniveRama Suryaity of

California: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Dapertemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1992), h 1. 14

Ni Nyoman Wetty, Struktur Bahasa Lampung Dialek Abung (UniveRama Suryaity of

California: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Dapertemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1992), h 1.

 

58

melainkan mereka secara bijaksana berupaya menikahkan keduanya secara

sah.

C. Sejarah Way Kambas

Taman Nasional Way Kambas (TNWK) adalah satu dari dua kawasan

konservasi yang berbentuk TN di Propinsi Lampung selain TN Bukit Barisan

Selatan (TNBBS). Kawasan TNWK mempunyai luas lebih kurang

125,631.31 ha.15

Secara geografis TNWK terletak antara 40°37‘ – 50°16‘

Lintang Selatan dan antara 105°33‘ – 105°54‘ Bujur Timur. Berada di bagian

tenggara Pulau Sumatera di wilayah Propinsi Lampung. Pada tahun 1924

kawasan hutan Way Kambas dan Cabang disisihkan sebagai daerah hutan

lindung, bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung

didalamnya.

Berdasarkan sejarah, pendidikan kawasan pelastarian alam Way Kambas

dimulai sejak tahun 1936 oleh Resident Lampung, Mr. Rookmaker. Pada

tahun 1978 Suaka Margasatwa Way Kambas diubah menjadi Kawasan

Pelestarian Alam (KPA) oleh Menteri Pertanian dan dikelola oleh Sub Balai

Kawasan Pelestarian Alam (SBKPA).

Pada tahun 1991 atas dasar Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor

144/Kpts/II/1991 tanggal 13 Maret 1991 dinyatakan sebagai TNWK, di mana

pengelolaannya oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Way Kambas

yang bertanggungjawab langsung kepada Balai Konsevasi Sumber Daya

Alam II Tanjung Karang. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

 

59

Nomor 185/Kpts-II/1997 tanggal 13 maret 1997 dimana Sub Balai Konsevasi

Sumber Daya Alam Way Kambas dinyatakan sebagai Balai TN Way

Kambas.

Alasan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan pelestarian alam

adalah untuk melindungi kawasan yang kaya akan berbagai satwa liar, di

antaranya adalah tapir (Tapirus indicus), Gajah Sumatera (Elephas maximus

Sumateranus), enam jenis primata, rusa sambar (Cervus unicolor), kijang

(Muntiacus muntjak), harimau Sumatera (Panthera tigris), beruang madu.

Badak Sumatera pada saat itu belum ditemukan sehingga bukan sebagai salah

satu pertimbangan yang dipergunakan sebagai dasar penetapannya.

Namun demikian, setelah ditetapkannya sebagai kawasan suaka

margasatwa hampir selama dua puluh tahun, terutama pada periode 1968 –

1974, kawasan ini mengalami kerusakan habitat cukup berat, yaitu ketika

kawasan ini dibuka untuk Hak Pengusahaan Hutan, kawasan ini beserta

segala isinya termasuk satwa, banyak mengalami kerusakan. Dari jenis satwa

tersebut, sampai dengan saat ini keberadaannya masih terjaga dengan baik,

antara lain yang dikenal dengan ―The Big Five mammals‖ yaitu tapir (Tapirus

indicus), Gajah Sumatera (Elephant maximus Sumateranus), Barimau

Sumatera (Panthera tigris), Badak Sumatera (Diserohinus Sumateranus) dan

beruang madu (Helarctos malayanus).16

1. Ekosistem Way Kambas

TNWK berada pada ketinggian antara 0—50 m dpl. dengan

topografi datar sampai dengan landai, kawasan ini mempunyai 4 (empat)

16

Artikel ― http://Way Kambas.org/sejarah-taman-nasional-way-kambas/‖ diakses pada

tanggal 03 April 2018 pukul 08:45 WIB.

 

60

tipe ekosistem utama yaitu, ekosistem hutan hujan dataran rendah,

ekosistem hutan rawa, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai.

Penciri utama dari keberadaan ekosistem tersebut ditandai dengan

formasi vegetasinya. Selain itu terdapat juga tipe-tipe ekosistem

peralihan seperti ekosistem riparian. Ekosistem tersebut terbentuk

dikarenakan terjadinya perubahan dari satu ekosistem ke ekosistem

lainnya. Sebagai contoh adalah formasi vegetasi dari daerah darat ke air.

Ekosistem hutan hujan dataran rendah mendominasi di daerah

sebelah barat kawasan. Daerah ini terletak pada daerah yang paling tinggi

dibandingkan dengan lain. Jenis yang mendominasi adalah meranti

(Shorea sp), rengas (Gluta renghas), keruing (Dipterocarpus sp), puspa

(Schima walichii) dan banyak jenis lain. Ekosistem tersebut rata-rata

mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan

stratum tajuk yang lengkap, sehingga jenis flora dan faunanya cukup

beragam.

Ekosistem hutan hujan dataran rendah mendominasi di daerah

sebelah barat kawasan. Daerah ini terletak pada daerah yang paling tinggi

dibandingkan dengan lain. Jenis yang mendominasi adalah meranti

(Shorea sp), rengas (Gluta renghas), keruing (Dipterocarpus sp), puspa

(Schima walichii) dan banyak jenis lain. Ekosistem tersebut rata-rata

mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan

stratum tajuk yang lengkap, sehingga jenis flora dan faunanya cukup

beragam.

 

61

Ekosistem di Way Kambas bukan ekosistem lazim yang telah

dikenal selama ini. Ekosistem ini berada pada zona peralihan antara air

dan darat, sehingga belum dikategorikan kedalam ekosistem yang ada.

Dengan semakin luasnya wilayah atau badan air persatuan tempat, maka

kemungkinan semakin besar ekosistem tersebut. Beberapa jenis yang

biasa terdapat pada zona peralihan antara lain putat, dan beberapa jenis

tanaman merambat/liana.

Ekosistem hutan pantai di Way Kambas atau lebih dikenal pantai

saja, ini dicirikan dengan kondisi lingkungan yang terletak di dekat laut

namun tidak mendapat genangan baik air laut dan tawar. Dengan jenis

tanah biasanya didominasi oleh pasir. Ekosistem hutan pantai ini

khususnya terletak di sepanjang pantai timur TN Way Kambas. Salah

satu penciri hutan pantai antara lain ketapang (Terminalia cattapa),

cemara laut (Casuarina equisetifolia).

Ekosistem hutan mangrove/payau di Way Kambas terletak disekitar

pantai dimana terdapat pergantian/salinasi antara air asin dan tawar

secara teratur. Umumnya terletak disepanjang pantai timur kawasan TN

Way Kambas. Ekosistem ini mempunyai peran atau manfaat nyata dalam

mendukung sumber kehidupan manusia. Sebagai tempat hidup dan

berkembang biak bagi jenis-jenis ikan dan udang laut. Sehingga menjaga

tingkat ketersediaan suplai ikan dan biota lainnya. Di sekitar Pantai TN

Way Kambas telah berdiri ratusan bagan yang dipergunakan untuk

menangkap cumi, pemasangan jaring untuk menangkap ikan sekitar

pantai, dengan demikian h. tersebut merupakan tanda bahwa dengan

 

62

adanya TN Way Kambas memberikan lingkungan laut yang baik

sehingga biota laut dapat hidup dengan baik.

Ekosistem hutan rawa di Way Kambas terutama menempati pada

daerah sekitar sungai terutama terletak di wilayah timur kawasan.

Ekosistem tersebut terbentuk karena adanya daerah atau wilayah yang

tergenang air tawar relatif lama yang dikarenakan wilayah tersebut lebih

rendah dari wilayah sekitarnya. Jenis tanah tersebut mempunyai tingkat

keasaman yang cukup tinggi, proses dekomposisi relatif lama. Tingkat

keanekaragaman hayati cukup tinggi. Satwa jenis burung lebih suka pada

ekosistem hutan rawa. Jenis dominan untuk hutan rawa antara lain

Nephenthes atau kantung semar, Pa merah, pandan dan nibung. Salah

satu ciri utama vegetasi rawa mempunyai akar lutut dan tunggang.17

D. Gajah Sumatera

Spesies Gajah Asia (Elephas maximus) memiliki telinga yang lebih kecil,

dahi rata, dan dua bonggol di kepala merupakan puncak tertinggi Gajah.

Selain itu Gajah Asia mempunyai satu bibir dan Gajah Asia yang jantan akan

mempunyai gading. Gajah Asia di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera

(Elephas Maximus Sumateranus) dan Kalimantan bagian Timur (Elephas

Maximus Borneensis).

Di Indonesia berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar tahun

1931, Gajah telah dinyatakan sebagai satwa dilindungi. Saat ini populasi terus

menurun sehingga keberadaan Gajah perlu diperhatikan dan dilestarikan.

17

Artikel http://Way Kambas.org/ekosistem-hutan-way-kambas/ Diakses pada tanggal 03

April 2018, pukul 09:07 WIB.

 

63

Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Convervation

Union) dengan status terancam punah, sementara itu CITES (Convention on

International Trade of Endangered Fauna and Flora) telah memasukkan

dalam katagori Appendix I.18

Di Indonesia, Gajah Sumatera juga masuk

dalam satwa dilindungi menurut Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam

peraturan pemerintah yaitu PP7/1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan

satwa.19

Populasi Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumateranus) tersebar di

tujuh provinsi di seluruh Indonesia yaitu Nanggroe Aceh Darussalam,

Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung

(Soeharto dkk. 2007).

Gajah diklasifikasikan ke dalam keluarga Elephantidae. Terdapat dua

genus hewan yang termasuk dalam keluarga Elephantidae yang masih hidup

di muka bumi yaitu genus Elephas dan Loxodonta.20

Genus Elephas terdiri

dari satu spesies yaitu Elephas maximus atau gajah asia.

Sedangkan Loxodontaterdiri dari dua spesies yakni Loxodonta

africana dan Loxodonta cyclotis yang keduanya digolongkan sebagai gajah

afrika.

Gajah Asia atau Elephas maximus memiliki tiga spesies yaitu Elephas

maximus indicus, Elephas maximus maximus dan Elephas maximus

18

Ibid 19

http://www.wwf.or.id/program/spesies/Gajah_sumatera/ yang diakses pada tanggal 13

Februari 2018 20

https://jurnalbumi.com/knol/gajah-sumatera/#note-257-1 diakses pada tanggal 14

November 2018

 

64

sumatranus. Salah satunya ialah Gajah sumatera. Di Indonesia Gajah juga

terdapat pada daerah Kalimantan atau Borneo.

Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumateranus) bukanlah ―raja di raja‖

bagi segala makhluk hutan Sumatera. Berkulit tebal dengan bibir berbelalai

dan hidup berkelompok, Gajah sebetulnya satwa ramah dan bukan

penggangu, kalau tak diganggu. Berabad lamanya, hutan habitatnya masih

sunyi dan lebat. Hanya sejak beberapa tahun, kawasan satwa mulai terusik

perilaku manusia.21

Gajah Sumatera merupakan ‗spesies payung‘22

bagi habitatnya dan

mewakili keragaman hayati di dalam ekosistemnya yang kompleks tempat

hidup. Artinya konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan

keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga

akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya yang ada di

lingkungan.

Gajah sumatera memiliki ciri khas tertentu, terutama bila diamati dari

bentuk fisiknya. Ciri-ciri gajah sumatera secara umum adalah sebagai

berikut:23

a. Bobot gajah sumatera sekitar 3-5 ton dengan tinggi mencapai 2-3 meter.

b. Gajah Sumatera memiliki jumlah tulang rusuk sebanyak 20 pasang

berbeda dengan gajah lainnya yang memiliki tulang rusuk sebanyak 19

pasang.

21

Rama Surya, Yang Kuat Yang Kalah, h15. 22

https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 12

Februari 2018 23

https://jurnalbumi.com/knol/gajah-sumatera/#note-257-1 diakses pada tanggal 14

November 2018

 

65

c. Memiliki Kulit yang terlihat lebih terang dibanding gajah Asia lain dan

dibagian kupingnya sering terlihat depigmentasi atau hilangnya pigman,

terlihat seperti flek putih kemerahan.

d. Hanya gajah jantan yang memiliki gading yang panjang. Pada betina,

kalaupun memiliki gading itu hanya pendek dan hampir tidak terlihat.

Hal ini berbeda dengan gajah Afrika dimana jantan dan betina sama-

sama punya gading.

e. Ciri mencolok lainnya ada pada bagian atas kepala. Gajah sumatera

memiliki dua tonjolan sedangkan gajah Afrika cenderung datar.

f. Kuping gajah sumatera lebih kecil dan berbentuk segitiga sedangkan

gajah Afrika kupingnya besar dan berbentuk kotak.

g. Gajah Sumatera memiliki 5 kuku di kaki bagian depan dan 4 kuku di kaki

belakang.

Gajah termasuk ke dalam binatang nokturnal yang aktif di malam hari.

Hewan ini hanya membutuhkan waktu tidur selama 4 jam per hari dan terus

bergerak selama 16 jam untuk menjelajah dan mencari makan. Sisanya

digunakan untuk berkubang dan bermain. Pergerakan gajah dalam sehari bisa

mencapai areal seluas 20 km2.24

Pada dasarnya kebutuhan luas areal untuk

habitat gajah liar minimal 250 km2 berupa hamparan hutan yang tidak

terputus.25

Biasanya gajah Sumatera mendiami habitan berupa hutan dataran rendah

dengan ketinggian di bawah 300 m (IUCN 2012:1). Meskipun demikian,

24

https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 14

November 2018 25

https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 14

November 2018

 

66

gajah juga berada di area pegunungan yang memiliki kemiringan yang curam.

Berdasarkan penelitian Rood dkk.(2010:981), gajah juga ditemukan pada

ketinggihan 1600-220 di atas permukaan laut. Hal ini berindikasi bahwa gajah

juga mampu berada di lingkungan yang bergunung-gunung dan berpindah-

pindah. Selain itu, kawasan hutan yang bergunung-gunung juga menjadikan

tempat menghindari kebisingan bagi gajah. Kinnaird dkk. (2003) (lihat Rood

2010; 976) menyatakan bahwa gajah menhindari jawasan tepi hutan sejauh 3

km ke bagian dalam untuk menghindari resiko perburuan atau persinggungan

dengan manusia.

Gajah sumatera memakan rumput-rumputan, daun, ranting, umbi-

umbian dan kadang buah-buahan. Sistem pencernaan gajah sangat buruk,

gajah bisa membuang fesesnya setiap satu jam sekali. Maka dari itu dalam

sehari gajah sumatera memerlukan makanan hingga 230 kg atau setara

dengan 5-10% dari bobot tubuhnya.26

Sedangkan untuk minum

dibutuhkan 160 liter air setiap hari. Di musim kemarau gajah sumatera bisa

menggali air di dasar sungai yang mengering hingga kedalaman satu meter.

Pengembangan industri kayu dan kertas serta industri kelapa sawit yang

menjadi salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera, mendorong

terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak. Pohon-

pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang

ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya

dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati atau hilang di

26

https://jurnalbumi.com/knol/gajah-sumatera/#return-note-257-14 diakses pada tanggal 14

November 2018

 

67

seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan

satwa besar yang sering dianggap ‗hama‘ ini.27

Masuknya Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrensis) dalam daftar

tersebut disebabkan oleh aktivitas pembakalan liar, penyusutan dan

fragmentasi habitat, pembunuhan akibat konflik dan perburuan, dan degradasi

habitat akibat konversi hutan untuk pertanian/perkebunan. Perburuan

biasanya hanya diambil gadingnya saja untuk kepentingan tertentu sedangkan

sisa dari tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi. Selain itu banyak populasi

Gajah terjebak dalam kantung-kantung kecil yang tidak cukup untuk

mendukung kehidupan Gajah jangka panjang. Kondisi ini memicu konflik

antara manusia dengan Gajah yang merupakan ancaman terbesar bagi Gajah

Sumatera.

Kajian WWF-Indonesia menunjukkan bahwa populasi Gajah Sumatera

kian hari makin memprihatinkan, dalam 25 tahun, Gajah Sumatera telah

kehilangan sekitar 70% habitatnya, serta populasi tahun 2007 adalah antara

2400-2800 Gajah, namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka

tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terjadi.28

Khususnya untuk di wilayah Riau dan sekitarnya menurun sebesar 84%

hingga tersisa sekitar 210 ekor pada tahun 2007. Lebih dari 100 ekor Gajah

yang mati sejak 2004.29

27

https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 12

November 2018 28

http://www.wwf.or.id/program/spesies/Gajah_sumatera/ yang diakses pada tanggal 13

Februari 2018 29

.http://regional.kompas.com/read/2017/03/06/16093391/setelah.15.tahun.wcs.dan.tnbbs.su

rvei.populasi.Gajah diakses pada tanggal 13 Februari 2018

 

68

Ancaman utama bagi Gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka

akibat aktivitas penebangan hutan yang berkelanjutan pemburuan dan

perdagangan liar, juga konservasi hutan alam untuk perkebunan skala besar.

E. Profil Shamow’el Rama Surya

Shamow‘el Rama Sarya adalah salah satu fotografer documenter. Lelaki

yang akrab dikenal dengan ―RS‖ ini lahir di Sumatera. RS yang sangat

tertarik dengan dunia fotografi semanjak SMA. Selesai mengenyam bangku

SMA, RS langsung pergi ke Bandung untuk mengikuti ujian ke jenjang

selanjutnya, namun dengan tidak lolosnya masuk ke Universitas Negeri, RS

berinisiatif untuk mengulang tahun selanjutnya. Untuk mengisi waktu RS

mengikuti kursus foto di Institut Seni Fotografi dan Desain Bandung.

Selesainya kursus, RS bekerja sebagai assisten foto pernikahan di Bandung

yang bertujuan untuk praktek sekaligus menimba iu fotografi lebih dalam.

Tahun 1991 RS bekerja menjadi Freelance fotografi di Bandung, Dari

tahun 1993 sampai 1998 ia bekerja sebagai fotografer untuk majalah pemuda

HAI dan juga untuk majalah Fotomedia, Jakarta. Selama kerja di Fotomedia

ia mengeluarkan buku foto ―Yang Kuat Yang Kalah‖. Masa krismon 1998, ia

memutuskan merantau ke Yogjakarta sampai tahun 2000. Saat itu ia

mengajar dan membimbing tugas akhir di ISI mata kuliah foto jurnalistik.

Setelah kepulangannya dari Yogjakarta RS menjadi editor foto untuk

majalah Latitudes akhir di Bali. Sejak 2004 hingga 2010 bergabung dengan

JiwaFoto Agency. Dalam perjalanan hidupnya di bidang fotografi RS lebih

fokus ke lingkungan, beberapa kali mendapat kesempatan untuk merekam

 

69

kejadian-kejadian yang sedang di alami di Indonesia contohnya pada buku ―

Yang Kuat Yang Kalah‖, RS bercerita bahwa kesempatannya datang ke Way

Kambas bersama dengan World Wide Fund for Nature (WWF ) adalah untuk

memberitakan kejadian yang dialami oleh Gajah-Gajah Sumatera.30

Rama Surya menghasilkan karya foto Pembakaran hutan di Kalimantan

Timur dengan buku foto ―Borneo: Air Mata Api‖ dan "Mythology Street

Yogyakarta" dipamerkan di Nikon Image House Gallery di Kusnacht,

Switzerland pada tahun 2000. Diperingkat "Photographer of the Year 1997"

oleh foto JAGAZIN dari Jerman. "Bali Living in Two Worlds" di Museum

der Kulturen, Basel, Swiss pada bulan April 2002 dan di Museum untuk

Budaya Dunia, Frankfurt, Jerman pada bulan Januari 2004. "Hot Plate"

bersama Hanafi di Galeri Taksu Jakarta, Agustus 2004, "Kemurnian /

Kemurnian "di Galeri Budaya Richard Meyer, Petitenget, Bali pada tahun

2006.

F. Gambaran Umum Buku “ Yang Kuat Yang Kalah”

30

Wawancara langsung dengan Rama Surya pada tanggal 18 Januari 2018 di Rumah

Makan TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat

 

70

Buku foto yang kuat yang kalah adalah karya dari fotografer dokumenter

yang bernama Shamow‘el Rama Surya. Buku foto yang pernah diterbitkan

pada tahun 1996 ini bercerita tentang kehidupan Gajah-gajah Sumatera di

Way Kambas. Buku foto ini dimentori oleh Erik Prasetya. Serta tak lupa

Mochtar Lubis dan Yudhi Soerjoatmodjo selaku kurator foto jurnalistik

Antara yang membubuhi tulisan tangannya pada kolom kata pengantar.

Terdapat lima subbab pada buku Yang Kuat Yang Kalah, keseluruhannya

adalah mencerminkan keseharian di lingkungan yang mulai rusak dan

kebiasaan sehari-hari pada penduduk Indonesia. Manusia-manusia dalam

potret Rama Surya seperti dibalut oleh kegelapan. Dari balik hitamnya

lumpur, keringat, darah, senyum dan tatapan mereka berjuang untuk meraih

perhatian pembaca. 31

Lima Subbab yang terdapat dalam buku foto ―Yang

Kuat Yang Kalah‖ ini adalah Kisah Kesah Gajah Sumatera, Ulu Ketenong

Perkampungan Penambang Emas, Nelayan Kampung Pajagan, Tambang

Belerang Kawah Ijen dan Rumah Pemotong Hewan Bukittinggi.

Alasan utama Rama Surya membuat foto tentang lingkungan adalah

menggambarkan siapa yang kuat bertahan hidup, maka akan kalah juga oleh

perkembangan zaman. Mereka yang lemah dan yang kalah, menjalani hidup

dengan sepasang mata yang selalu tertuju ke tanah, atau sebaliknya

menerawang jauh ke depan. Gajah-gajah yang direkam Rama Surya di

Sumatera, Para penambang belerang di Kawah Ijen, juga Jagal di Rumah

Pemotongan Hewan Bukittinggi memiliki tatapan yang serupa. Dengan cara

ini mereka menghindar dari angkara murka dan cemooh pihak yang kuat,

31

Yudhi Soerjoatmodjo, Introduksi, Dalam Rama Surya, Yang Kuat Yang Kalah, h9

 

71

yang menang. Dan bila sesekali mereka melempar senyum dan menatap kita

di mata (melalui mata lensa Rama surya), itu jalan terakhir menunda

kekalahan dari suatu pertarungan yang memang berat sebalah dengan

mengaku kalah, dengan mengecilkan diri, dan dengan begitu hidup untuk satu

hari lagi. 32

Dari buku Yang Kuat Yang Kalah ini, selain tergambar foto keseharian

di lingkungan, Rama Surya juga menangkap beberapa foto detail barang-

barang yang digunakan untuk kesehariannya berupa peluru bius, ganco,

rantai, dan masih banyak lagi. Adapula foto yang menggambarkan emosi

yang ada di dalam komunikasi antar Gajah, serta tidak ketinggalan foto

portrait beberapa tokoh yang menjadi objek dalam buku foto ini.

Buku foto yang memiliki 93 halaman ini adalah merupakan karya foto

esai Rama Surya dalam tema lingkungan. Foto ini berhasil mengantarkan

nama Rama Surya sebagai fotografer muda yang berpengaruh di dunia foto

jurnalistik. Karya RS juga di pamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara,

CCF Bandung, Bentara Budaya Yogyakarta, Surabaya Post, Surabaya dan ISI

Denpasar pada tahun 1996.

Seraya dengan prestasi yang dicapai oleh Rama Surya melalui foto

dokumenteri. Ia juga mempunyai harapan besar, bahwa lewat foto esai

tentang lingkungan dan perjalanan dari daerah ke daerah memberikan

informasi yang berguna bagi publik serta membuka mata genarasi muda atas

32

Yudhi Soerjoatmodjo, Introduksi, Dalam Rama Surya, Yang Kuat Yang Kalah, h9

 

72

keadaan di Indonesia saat ini dan lebih tergugah hatinya untuk mengenal

lebih jauh kehidupan di Indonesia bahkan dunia.33

33

Wawancara langsung dengan Rama Surya pada tanggal 18 Januari 2018 di Rumah

Makan TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat

 

73

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Pada bab ini peneliti menjelaskan data serta hasil penelitian dari judul

―Konservasi Satwa Langka Gajah di Lampung Studi Semiotika Buku Foto Karya

Rama Surya “Yang Kuat Yang Kalah”. Peneliti menggunakan pisau analisis

semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan

mitos yang terkandung dalam buku foto yang diteliti.

Ada jargon dari fotografer Robert Capa, ―if your photo aren’t good enough,

then you’re not close enough”.1 yang artinya bila fotomu tidak bagus berarti kamu

belum dekat dengan objek. Ungkapan yang menjadi pendoman tiap fotografer

setiap kali akan mengerjakan foto cerita dan foto esai. Dalam peristiwa, foto esai

dibuat berseri. Menggambungkan antara estetika dan etika dengan bentuk cerita

dalam gambar-gambar yang dramatis saat mengangkat suatu isu-peristiwa.

Foto esai adalah foto-foto yang terdiri dari lebih satu foto tetapi temanya satu.

Berdasarkan asumsi tersebut, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah foto

esai adalah sebuah koleksi foto yang ditepatkan atau disusun secara spesifik untuk

menjelaskan atau memberitahukan tentang progres atau pencapaian dari sebuah

kejafian atau peristiwa, emosi, dan konsep.2 Foto esai bersifat setelah kejadian

belangsung sehingga mempunyai nilai berita sendiri di setiap fotonya.

Pada tahap selanjutnya dari pembahasan skripsi ―Konservasi Satwa Langka

Gajah di Lampung Studi Semiotika Buku Foto Karya Rama Surya “Yang Kuat

1http://www.magnumphotos.com/C.aspx?VP3=CMS3&VF=MAGO31_10_VForm&ERID

=24KLlima3lima3lima3 (dilihat tanggal 3 Maret 2018). 2 Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestar, ―Jurnalistik Foto Sebagai Pengantar,(Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2013), hlm 114.

 

74

Yang Kalah” adalah analisis data. Jumlah foto yang akan dibahas ada lima foto

yang menurut peneliti dapat mewakali dari foto esai berjumlah sembilan.

A. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto I

Foto yang dibahas berikut ini adalah dua orang pria yang sedang

menduduki punggung gajah, di Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebangga, Riau.

Berikut foto yang dianalisa:

Gambar 1

Foto Pertama

Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya

1. Tahap Denotasi

Makna denotasi yang tervisualisasikan dalam foto yang ada di atas

adalah penggambaran dua orang lelaki dan dua ekor Gajah yang sedang

digiring. Dalam gambar ini leher gajah diikat dengan tambang dan kayu,

 

75

sedangkan belalai kedua ekor Gajah dirantai hampir seluruh badan

Gajah. Terlihat dalam raut wajahnya yang sedih dan tersiksa karna

merasakan ketidakbebasan. Hakikat hewan dan manusia terlihat jelas,

bahwa manusia memiliki kekuasaan lebih tinggi terhadap hewan.

Tergambar dari posisi foto manusia yang berada diatas gajah. Pada

gading salah satu gajah terdapat patahan yang kemungkinan sengaja

dihilangkan untuk menghindari pertengkaran antar gajah.

2. Tahap Konotasi

Makna konotasi dipecah pada sub-indikator berikut :

a. Trick Effect

Di lihat dari bentuk kejadiannya, dalam gambar satu tidak

terlihat ada manipulasi foto dan tidak ada elemen yang dihilangkan

apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto tersebut.

Hal demikian sangat jelas alasannya, karena foto ini adalah foto

dokumenter yang menempatkan keaslian pada tahap utama sebuah

foto. Namun, bila dilihat secara detail terdapat grain, hal tersebut

diakibatkan pemakaian film saat pengambilan gambar.

Retouch yang dilakukan oleh fotografer hanya pada bagian

bawah foto yang digelapkan sedikit untuk memfokuskan pembaca

pada satu titik saja yaitu bagian wajah Gajah dan dua orang difoto.

Tidak ada cropping pada foto dikarnakan fotografer memakai lensa

fix dan diatur jarak pengambilan pada subjek. Penulis mendapat

penjelasan dari fotografer saat wawancara.

 

76

b. Pose

Gesture tubuh dalam subjek di foto satu yaitu dua orang lelaki

yang membawa dua ekor Gajah dengan pose yang tidak terlalu

beragam, karna wajah subjek sedikit mendunduk dan terlihat kabur

namun bisa dikatakan dua orang lelaki itu ialah pawang yang sedang

menggiring Gajah liar, dengan bibirnya yang sedikit maju

membentuk seperti siulan. Karena pada umumnya seorang pawang

akan berada di belakang tangkapannya saat menggiring ke suatu

tempat dengan menggunakan suatu alat atau gerak gerik tubuh untuk

menggiringnya.

c. Objek

Point of interest dalam foto ini tentunya adalah Gajah yang

dirantai sekujur tubuhnya. Hewan adalah point of interest atau biasa

di singkat POI utama. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya foto

di dalam ini menunjukkan jelas dua ekor Gajah sebagai subjek.

Selain itu subjek di belakangnya sebagai pawang sedikit kabur dan

tidak terlalu jelas namun masih bisa tergambarkan. Maka bisa

dikatakan Gajah tersebut menjadi POI pertama.

Di wilayah Sumatra banyak gajah yang ditemukan sudah banyak

menjadi bangkai, terutama yang diambil oleh pemburu ialah

gadingnya. Kurangnya informasi yang sampai ke masyarakat

menjadikan minimnya pengetahuan tentang gajah-gajah liar yang

tersisa.

 

77

d. Photogenia (teknik foto)

Terdapat beberapa teknik foto yang digunakan oleh Rama

Surya. Jelas terlihat dalam foto ini, fotografer memakai DOF sempit.

Dengan membesarkan bukaan diafragma dan menyempitkan titik

fokus yang menjadikan titik fokus hanya berpusat pada objek utama.

Kedua orang yang menggiring gajah, dibuat seolah-olah blur.

Sedangkan sudut pandang yang digunakan oleh fotografer yaitu

eye level karena foto yang dihasilkan sejajar lurus dengan mata. Bisa

dikatakan juga fotografer berada dalam kedudukan yang sama tinggi

dengan orang yang menunggangi sehingga terlihat sejajar. Apabila

fotografer berada dipermukaan tanah bisa jadi fotografer memakai

frog level dalam pengambilan gambarnya, agar wajah Gajah

terlihat.3 Cahaya yang digunakan oleh fotografer terlihat low light

karena hasil gambar yang dihasilkan terbilang gelap ditambah

dengan penggunaan gambar hitam putih oleh fotografernya sendiri.

e. Estetisisme

Pembuatan foto ini secara jelas menaruh penuh wajah Gajah

yang tertangkap untuk memberi tahu kepada pembaca apa yang ingin

disampaikan oleh subjek. Rantai yang berada disekujur tubuh Gajah

menambah kekuatan dalam foto ini yaitu Gajah terlihat lemas dan

pasrah saat penangkapan berlangsung. Tak luput dari pandangan kita

fotografer mengambil detail tekstur kerutan Gajah dan kesedihan

3 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.

43

 

78

yang tergambar dalam mata Gajah untuk memperkuat makna yang

ingin disampaikan.

f. Sintaksis

Sintaksis yang merupakan pengamatan keseluruhan elemen

dalam penyajian suatu karya, yang biasanya terdapat foto dan teks.

Namun, dalam foto pertama ini teks hanya sebatas memberikan

keterangan Gajah yang akan di bawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG)

Sebangga, Riau. Oleh karena itu peneliti lebih melihat dari susunan

elemen yang terkandung dalam foto kedua yang dapat disimpulkan,

bahwa seolah-olah foto ini menggambarkan berbagai emosi

ketakutan, kesedihan dan kebingungan. Hal tersebut seperti memberi

tekanan emosional pada sang Gajah, pada dasarnya Gajah bisa bebas

di alam tanpa harus merasa ketakutan pada pemburu liar.

3. Tahap Mitos

Makna Mitos pada hewan Gajah ialah melambangkan kekuataan dan

tenaga libido.4 Pada abad pertengahan Gajah melambangkan

kebijaksanaan, moderasi, keabadian, dan belas kasihan.5 Namun, dalam

foto ini terlihat Gajah yang tidak berdaya. Dua orang yang menduduki

Gajah terlihat manusialah yang berkuasa dan kuat di alam, sehingga

Gajah yang begitu kuat bisa diduduki.

Hubungan antara Gajah dan manusia terbilang dekat terutama

semenjak ada penembangan hutan secara berantai dan pembunuhan liar

4 http://www.norisanto.com/uncategorized/arti-dan-makna-simbol-hewan/ diakses pada

tanggal 11 January 2019, pukul 16:45. 5 http://www.norisanto.com/uncategorized/arti-dan-makna-simbol-hewan/ diakses pada

tanggal 11 January 2019, pukul 16:45.

 

79

dari tahun ke tahun. Banyaknya Gajah yang memasuki lingkungan warga

dan diburu bersama-sama menjadikan Gajah-gajah semakin takut dan

tidak terkendali atau stress.

Gajah bagi warga lampung yang berdekatan dengan hutan adalah

sebagai hama terbesar bagi ladang atau pemukimannya. Dan tak banyak

yang membunuh untuk diambil gading untuk diperjual belikan, lalu di

tinggalkan begitu saja sampai menjadi bangkai. Sehingga angka populasi

Gajah semakin tahun semakin turun.

B. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto II

Foto yang dibahas berikut ini adalah seorang pria yang sedang

menunjukka peluru bius untuk gajah, di Pusat Latihan Gajah (PLG) Way

Kambas. Berikut foto yang dianalisa :

Gambar 2

Foto Kedua

Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya

 

80

1. Tahap Denotasi

Dalam foto ini terlihat seseorang yang menunjukkan sebuah tabung

panjang berujung runcing seperti peluru. Mengenggam dengan ibu jari

dengan telunjuknya. Fotografer dengan sengaja memotret detail dari

peluru tersebut dan memblurkan sosok di belakangnya. Kuku tangan

pada sosoknya terlihat kotor, bisa diartikan bahwa pekerjaan sehari-

harinya berada di lapangan atau luar ruangan. Tatapan yang terlemparkan

saat difoto terlihat fokus kepada peluru tersebut.

2. Tahap Konotasi

a. Trik Effect

Dilihat dari bentuk kejadiannya dalam gambar kedua tidak

terlihat ada manipulasi foto dan tidak ada elemen yang dihilangkan

apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto tersebut.

Hal demikian sangat jelas alasannya, karena foto ini adalah foto

dokumenter yang menempatkan keaslian pada tahap utama sebuah

foto. Rama Surya mengatakan bahwa dalam foto ini secara tidak

sengaja bertemu dengan seseorang yang disebut pawang saat hendak

membius Gajah liar yang akan masuk dalam pemukiman penduduk.6

Namun jelas juga, bahwa keaslian dari foto ini juga tidak seasli

dengan realita yang ditangkap oleh mata manusia normal jika pelihat

berada langsung di lokasi.

6 Wawancara langsung dengan Rama Surya pada tanggal 18 Januari 2018 di Rumah Makan

TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat

 

81

b. Pose

Gesture atau sikap tubuh dalam foto kedua terlihat lelaki yang

berpose dengan menunjukkan tangan yang sedang memegang peluru

bius. Layaknya orang yang sedang memberitahu atau menjelaskan

bentuk detail dari peluru bius tersebut. Setengah badannya di

blurkan oleh fotografer yang bertujuan untuk menyembunyikan

profile lelaki tersebut.

c. Objek

Yang dijadikan POI oleh fotografer dalam foto ini adalah lelaki

yang postur tubuhnya hampir memenuhi seluruh bagian frame dan

bentuk peluru bius yang paling dominan. Membicarakan soal objek

inti yaitu peluru bius bertujuan memperlihatkan perlengkapan saat

pemburuan.

d. Fotogenia

Teknis pada pengambilan foto kedua ini menggunakan lensa

dengan diameter tidak terlalu lebar atau lensa sekitar 50mm untuk

dapat menangkap kedekatan fotografer dengan subjek. Pemilihan

lensa 50mm membuat figure atau point of interest foto terlihat jelas

tanpa distorsi. Dalam foto ini fotografer terlihat memiliki kedekatan

dengan subjek, yang terlihat dari suasana pemotretan yang berada di

outdoor atau di luar ruangan. Berarti saat penangkapan berlangsung

fotografer meminta subjek untuk menunjukkan peluru bius yang

sedang atau sudah digunakan. Dalam kategori foto dokumeter atau

 

82

jurnalistik, foto ini masuk pada kategori foto detail atau bagian

khusus suatu subjek.

e. Estetisisme

Dalam foto kedua terdapat komposisi dengan subjek utama di

tengah frame. Latar belakang blur namun masih terlihat seorang

lelaki. Hal tersebut menciptakan pandangan bahwa seolah-olah

sudah banyak orang yang bekerja dan paham untuk membius Gajah

dengan peluru bius yang ditunjukan. Dalam foto sangat jelas bentuk

dari peluru bius yang sengaja ditonjolkan oleh fotografer untuk

menambahkan kesan keganasan dalam penangkapan Gajah.

f. Sintaksis

Sintaksis yang merupakan pengamatan keseluruhan elemen

dalam penyajian suatu karya, yang biasanya dalam foto dokumenter

terdapat foto dan teks. Namun, dalam foto ini teks hanya sebatas

memberikan keterangan yaitu seorang pawang Gajah dari PLG Way

Kambas yang mencabut peluru bius dari pantat Gajah. Tidak ada

foto yang menunjukkan atau menggambarkan pencabutan peluru

bius dari badan Gajah. Oleh karena ini peneliti lebih melihat dari

susunan elemen yang terkandung dalam foto kedua yang dapat

disiimpulkan. Bahwa seolah-olah foto ini menggambarkan tentang

seorang lelaki yang menunjukkan peluru bius dengan tatapan ke

kamera yang menggambarkan kegagahan atau ketegasan.

 

83

3. Tahap Mitos

Mitos yang berada di foto kedua tidak luput dari pemahaman orang

lain yang membacanya, dengan kata lain tanda-tanda yang ada di foto ini

dan mitos yang ada di dalam foto, sama-sama memiliki kesamaan paham

dengan orang lain yang membacanya. Dalam tahapan mitos dibutuhkan

pemikiran yang sama dengan orang lain, yaitu sebuah tanda yang sudah

disepakti oleh orang lain dalam satu artian. Terdapat dua tanda yang bisa

mengandung mitos dalam foto ini yaitu peluru bius dan seorang lelaki

yang diblur kan wajahnya. Peluru yang berada di tangan lelaki ini

melambangkan pemikiran yang sedang ada dikepalanya yaitu sesuatu

kekerasan, kekejaman dan pembunuhan, karena peluru bius dalam mitos

dimaknai oleh sesuatu benda tajam yang dapat melumpuhkan lawan.

Kedua adalah latar belakang yang buram atau kabur, sesuatu yang

buram biasa dimaknai oleh hal yang kelam, gelap, dan kesedihan dalam

suatu peristiwa atau sosok. Dengan kedua tanda tersebut maka dapat

diartikan dalam mitos yaitu masih banyak pelaku yang menyalahgunakan

peluru bius untuk pemburuan liar terutama pada Gajah. Hal ini sama

dengan konotasi yaitu kekerasan dan keganasan.

 

84

C. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto III

Foto yang dibahas berikut ini adalah seorang pria yang sedang memberi

susu kepada Gajah kecil di Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebangga Duri.

Berikut foto yang dianalisa :

Gambar 3

Foto Ketiga

Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya

1. Tahap Denotasi

Dalam foto ketiga ini terlihat seseorang yang sedang memberi

minum dari sebuah jeriken dan sedotan kedalam mulut Gajah kecil di

lapangan terbuka. Gajah tersebut terlihat sangat senang ketika diberi air

oleh seorang lelaki. Terlihat dari mata sang Gajah yang berbinar jelas dan

tekukan senyum yang terlihat dari bibirnya. Kebanyakan Gajah yang

diberi susu atau air oleh manusia, induk dari sang Gajah sudah tidak

ingin menyusui anaknya dikarnakan pernah tersentuh oleh manusia,

seperti halnya Kucing.

 

85

2. Tahap Konotasi

a. Trick Effect

Secara keseluruhan foto Rama Surya dalam buku “Yang Kuat

Yang Kalah” adalah foto yang menggambarkan peristiwa nyata yang

sedang berlangsung saat itu dan keterbatasan waktu untuk memotret

pada saat kejadiaan. Dapat disimpulkan untuk foto ini tidak

ditemukan pemalsuan foto dengan cara menambahkan elemen

kedalamnya atau pemalsuan gaya dari objek.

b. Pose

Gesture atau sikap tubuh dalam foto ketiga terlihat seseorang

lelaki yang sedang memberi minum ke Gajah kecil melalui wadah

air dan sedotan. Gestur wajah pada seorang lelaki terlihat berhati-

hati namun sedikit ketakutan yang terpancar dari wajahnya. Gesture

pada sang Gajahpun terlihat sikap menerima dengan baik pemberian

seorang lelaki itu. Matanya yang terpancar berbinar-binar terlihat

dengan jelas dan lekukan senyum pada sang Gajah kecil ini.

c. Objek

Jika berbicara mengenai objek yang berada di dalam foto ini

secara keseluruhan adalah objek, namun objek yang dimaksud

adalah bagian yang paling mencolok atau penting yang biasa disebut

point of interest (POI). Sedangkan POI dalam objek foto ini berpusat

oleh Gajah kecil dan seseorang yang sedang memberi minum Gajah

yang minum dengan menggunakan wadah air. Jika dilihat secara

 

86

jelas pembaca bisa melihat latar belakang atau background yang

kurang padat pepohonan melainkan lapangan terbuka.

d. Photogenia (teknik foto)

Pada foto ketiga fotografer memakai lensa zoom 80-200, lensa

zoom digunakan untuk membidik foto dengan jarak jauh dan lebih

terfokus ke subjeknya yang akan menghasilkan latar belakang atau

backgroundnya blur sehingga terlihat seolah-olah menggunakan

lensa bukaan lebar atau diafragma lebar. Dalam fotografi fotografer

menggunakan teknik freezing atau beku, terlihat dalam fotonya tidak

ada shacking atau goyangan saat pengambilan foto, biasanya teknik

tersebut menggunakan speed 1/125 – keatas. Namun dalam foto ini

fotografer terlihat memiliki jarak dengan subjek seperti tidak ada

interaksi atau kedekatan personal. Apabila fotografer mempunyai

kedekatan yang lebih intim kepada subjek, fotografer tidak akan

memakai lensa zoom melaikan lensa fix 35mm atau 50mm, karna

kedekatan bisa terlihat dalam pemakaian lensanya.

e. Estetisisme

Rama surya menonjolkan sisi human interest dalam foto dengan

cara menunggu momen saat seorang lelaki memberi air dengan

menggunakan wadah air ke dalam mulut Gajah yang menimbulkan

kesan patriotisme dalam foto ini. Karena POI yang diinginkan

fotografer adalah seorang lelaki yang memberi minum ke seekor

Gajah kecil dengan menggunakan eyes view untuk mendapatkan

posisi yang sejajar dengan mata pembaca dan mata sang Gajah.

 

87

Selain itu penyampaian pesan yang timbulkan fotografer

terlihat, karena diafragma yang digunakan tidak terlalu besar

sehingga pusat fokus foto jelas. ISO atau asa pada foto ini mengikuti

asa bawaan dari film yang digunakan oleh fotografer, pada dasarnya

klise film pada kamera analog menimbulkan bintik-bintik kasar atau

biasa yang disebut Grain.

f. Sintaksis

Dalam sebuah buku foto caption atau keterangan yang

memperkuat foto itu memang dibutuhkan. Tetapi terkadang caption

hanya memperjelas keterangan foto tersebut tanpa mengangkat

makna dari foto itu dan membawa pembaca setuju dengan pendapat

atau penjelasan fotografer. Namun, dengan menelitinya dan

memahami makna-makna yang terkandung dalam foto ini dengan

memperhatikan elemen-elemen yang terdapat dalam foto ini maka

akan muncul makna lain atau makna sesesungguhnya dari foto itu.

Dalam foto ketiga terdapat caption yang hanya menjelaskan keadaan

singkat dari foto tersebut, bila dilihat dari foto di bagian kiri foto ada

sesorang lelaki yang memberi minum ke seekor Gajah kecil. Dalam

captionnya menjelaskan pengasuh memberi susu ke Gajah kecil. Di

sebalah kanan foto seekor Gajah kecil yang sedang minum yang

diberikan oleh seorang lelaki. Dalam keseluruhan foto ini terlihat ada

keterikatan secara emosional antara Gajah dan seorang lelaki yang dalam

caption disebut pengasuhnya.

 

88

3. Tahap Mitos

Mitos yang terkandung pada foto ketiga yang dianalisis dengan teori

semiotika model Roland Barthes dan teori representasi media yang

berlandaskan pada penggabungan makna denotasi dan konotasi yang

dapat dimaknai dari foto dengan berjudul ―si unyil‖ adalah cerita tentang

kebersamaan. Antara manusia dengan Gajah.

Kebersaman antar sesama itu dapat dibangun dengan adanya

hubungan yang baik antar lingkungan internal dan eksternal. Namun

untuk menimbulkan rasa itu perlu adanya pendekatan diri yang dilakukan

sejak dini yang tumbuh bersamaan dengan lingkungan. Di saat

banyaknya Gajah yang di bunuh karena kebutuhan pasar yang

meningkat, masih ada segelintir orang yang peduli terhadap tumbuh

kembangnya Gajah-Gajah di Sumatera.

Sehingga foto ini memberikan makna bahwa manusia yang ada pada

foto tersebut masih menjaga dan melestarikan satwa yang terancam

punah dengan populasi yang semakin menurun tiap tahunnya di

Indonesia.

D. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto IV

Foto yang dibahas berikut ini adalah seekor Gajah yang sedang berada di

pertunjukkan untuk memainkan sirkus, di Parkir Timur Senayan, Jakarta.

Berikut foto yang dianalisa :

 

89

Gambar 4

Foto keempat

Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya

1. Tahap Denotasi

Dalam foto terlihat sekumpulan orang yang sedang menonton

pertunjukan sirkus Gajah di sebuah hall. Sejumlah penonton di bangku

depan yang memasang wajah ketakutan saat melihat Gajah melambaikan

belalainya ke bangku penonton. Tak banyak juga yang terlihat sejumlah

penonton di bangku belakang terlihat terkagum-kagum tanpa memasang

wajah ketakutan melainkan kebahagiaan.

2. Tahap Konotasi

a. Trick Effect

Manipulasi foto dalam foto yang terjadi ketika fotografer atau

subjek dari foto tersebut ingin mencapai sebuah hasil dari yang

diinginkan oleh salah satu dari mereka hingga mendapatkan kesan

yang diinginkan itu timbul dari si pembacanya. Dalam foto ini tidak

terlihat ada manipulasi foto, karena pada dasarnya Rama Surya saat

 

90

itu adalah seorang fotografer yang berkontribusi di World Wide

Fund for Nature (WWF) yang sedang meneliti kegiatan Gajah-gajah

di Way Kambas. Akan susah apabila fotografer memanipulasi foto

yang diinginkan karena situasi yang harus menggambarkan kejadian

nyata aktivitas Gajah di Way Kambas.

Seperti yang dikatakan Rama Surya sang pemilik foto dalam

wawancara dengan peneliti. Mengatakan bahwa untuk mendapatkan

foto harus menunggu waktu yang cukup lama agar mendapatkan

aktivitas Gajah di alam bebas atau penakaran sekalipun.

b. Pose

Gaya, ekspresi dan posisi dalam foto ini beragam. Dimulai dari

penonton yang memasang wajah ketakutan, tenang, dan tersenyum.

Di barisan bangku pertama terlihat seorang ibu dan anak yang

berteriak karna berhadapan langsung oleh Gajah yang mengulurkan

belalainya ke penonton ketika beratraksi. Gajah yang beratraksi

terlihat dari posisi Gajah yang berada di atas panggung dan dibatasi

antara penonton dan panggung. Pada barisan bangku kedua dan

seterusnya terlihat wajah penonton yang tenang bahkan tersenyum

melihat atraksi Gajah.

c. Objek

Beragam objek yang terdapat pada foto keempat ini, yaitu

seekor Gajah yang sedang beratraksi di atas panggung dan sejumlah

penonton yang melihat pertunjukan dengan ekspresi bermacam-

macam. Figure atau point of interest foto terdapat pada sejumlah

 

91

penonton bagian bangku depan yang memasang wajah ketakutan.

Namun, bukan berarti objek-objek di sekelilingnya menjadi tidak

penting, karena semuanya saling berhubungan. Jika dilihat dari

keseluruhan foto ini,tentu saja penonton menjadi objek utama yang

menggambarkan bahwa Gajah masih menjadi hewan yang

menakutkan walaupun sudah dibina menjadi hewan penghibu

d. Photogenia

Dalam buku Rama Surya yang menampilkan foto keseluruhan

menggunakan efek hitam putih pada foto-fotonya. Foto hitam putih

pada dasarnya mempermudah untuk menonjolkan suatu ekspresi dari

subjek yang difoto. Rama Surya menonjolakn Human Interest dalam

foto dengan cara menunggu momen penonton yang terlihat

ketakutan hingga menimbulkan kesan yang dalam di foto ini.

Teknis pada pengambilan foto keempat ini menggunakan lensa

dengan diameter lebar atau lensa wide yaitu 24mm untuk dapat

menangkap keseluruhan atau entire di dalam acara atau atraksi Gajah

sebagai topic utama di dalam foto ini. Pemilihan lensa 24mm

membuat figure atau point of interest foto terlihat jelas distorsi,

dengan masih menunjukkan lingkungan di sekeliling figure. Dalam

foto ini fotografer menggunakan Low Angle, karena POI yang

diambil oleh Rama memiliki tinggi yang tidak setera dengan mata

yaitu kamera berada di posisi bawah, hal tersebut dilakukan untuk

mendapatkan posisi yang pas dengan pandangan mata yang lurus ke

kamera.

 

92

e. Estetisme

Segala hal yang berada di dalam foto adalah komposisi yang

mempunyai makna masing-masing. Komposisi dalam foto ini terdiri

dari Gajah dengan porsi lebih besar dan tinggi dalam frame dan

sejumlah penonton yang sedang menonton atraksi sirkus Gajah

dalam seluruh bagian foto. Dalam foto keempat terdapat komposisi

2/3 lebih banyak penonton, Gajah dengan 1/3 bagian menjadi

frontground.

Kepadatan dalam foto ini menjadi hal yang menarik karena

kepadatan ini mendukung peristiwa yang sedang berlangsung,

Beberapa wajah penonton difoto ini tentu menjadi sebuah pusat

perhatian foto.

f. Sintaksis

Sintaksis yang merupakan pengamatan keseluruhan elemen

dalam penyajian suatu karya, yang biasanya dalam foto dokumenter

terdapat foto dan teks. Namun, dalam foto keempat ini teks hanya

sebatas memberikan keterangan lokasi yaitu di Parkiran Timur

Senayan, Jakarta. Oleh karena ini peneliti lebih melihat dari susunan

elemen yang terkandung dalam foto keempat ini yang dapat

disiimpulkan. Bahwa foto ini menggambarkan berbagai emosi yang

menyenangkan dan menakutkan. Bahkan dapat diartikan bahwa

hewan Gajah yang bertubuh besar dan biasanya berada di alam liar,

sekarang berada di atraksi Gajah yang ditonton oleh banyak orang.

 

93

3. Tahap Mitos

Mitos yang berada difoto keempat tidak luput dari satu kepahaman

pada orang lain yang membacanya, dengan kata lain tanda-tanda yang

ada di foto ini dan mitos yang ada di dalam foto ini sama-sama memiliki

kesamaan paham dengan orang lain yang membacanya. Seperti halnya

apada raut wajah ketakutan pada penonton di bangku barisan pertama,

terlihat pada teriakan dan pose badan yang berusaha menghindari

kedekatan dengan Gajah yang sedang beratraksi. Seperti halnya orang

ketakutan atau cemas, biasanya berusaha menjauhkan diri dari lawannya.

Hal ini jelas terlihat ganjil bagi orang-orang yang sebelumnya

berfikir Gajah itu perusak ladang dan pemukiman warga. Banyaknya

penonton yang hadir dalam atraksi sirkus ini menjadikan kita berfikir

bahwa Gajah bukanlah lagi hewan yang bertubuh besar menakutkan

melainkan seperti badut yang bisa menghibur penonton dari berbagai

kalangan umur seperti yang terlihat difoto ini.

Foto yang direkam oleh Rama Surya pada tahun 1996 menjelaskan

bahwa Gajah sudah menjadi hewan penghibur dari tahun ke tahun. Di

mana Gajah yang dapat mereprentasikan hewan bertubuh besar dengan

berat hampir 100kg pada Gajah dewasa, saat dididik bisa menjadi hewan

yang patuh saat pertunjukan.

E. Analisis Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto V

Foto yang dibahas berikut ini adalah dua ekor Gajah yang sedang

antraksi sandiawara, di Taman Safari Indonesia. Berikut foto yang dianalisa :

 

94

Gambar 5

Foto 5

Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya

1. Tahap Denotasi

Dalam foto ini terlihat dua ekor Gajah yang sedang bersandiawara

pada pertunjukkan di muka umum. Terlihat sekumpulan orang mulai dari

anak kecil sampai dewasa yang menyaksikan adegan sandiwara dua ekor

Gajah. Dua ekor Gajah yang berperan sebagai dokter dan pasien, terlihat

dari kain yang bersimbolkan Palang Merah Indonesia (PMI) pada

punggung salah satu Gajah dan Gajah satunya memerankan adegan

tertidur tak berdaya.

2. Tahap Konotasi

a. Trick Effect

Dalam foto kelima tidak menggunakan trick effect. Tidak

merubah sama sekali keaslian foto saat diambil dnegan kamera. Satu

 

95

elemen pun tidak ada yang dihilangkan atau ditambahkan.

Rangkaian narasi visual yang berada dalam buku foto Yang Kuat

Yang Kalah Karya Rama Surya ini menggunakan pendekatan

documenter. Dengan pendekatan tersebut diketahui bahwa setiap

karya foto dokumenter yang diciptkan tidak melalui proses

manipulasi. Kejadian sebenar-benarnya dan tidak dibuat-buat

menripkan pedoman foto dokumenter.

b. Pose

Gaya, ekspresi dan posisi dalam foto ini beragam, dimulai dari

penonton yang memasang wajah ketakutan, tenang, dan tersenyum.

Ekspresi yang ditunjukkan saat menonton sirkus merupakan hasild

ari penggambaran hati atau kondisi tubuh.

Pose pada Gajah jika diperhatikan maka terlihat jelas bahwa

tergambar wajah yang lemas, dan mata yang sayu menggambarkan

kesedihan yang sedang dijalani Gajah. Pada foto ini seolah Gajah

berbaring dengan pasrah tidak berdaya dihadapan manusia. Seolah

ingin menunjukkan kepenonton apa yang sedang dirasakan oleh

Gajah-gajah ini.

c. Objeck

Beragam objek yang terdapat pada foto kelima ini, yaitu dua

ekor Gajah, sejumlah penonton yang mengelilingi arena

pertunjukkan, dan keadaan lingkungan pekat yang seluruhnya

berwarna hitam putih. Dari keseluruhan objek, figure atau point of

interest foto terdapat pada Gajah. Namun, bukan berarti objek-objek

 

96

di sekelilingnya menjadi tidak penting, karena semuanya saling

berhubungan. Membicarakan soal objek inti yang menjadi POI,

Gajah ingin menunjukkan peran asli mereka sebagai hewan bertubuh

besar dan kuat bisa ditahlukan oleh manusia yang ukuran tubuhnya

tidak seberapa dengan Gajah.

d. Photogenia

Teknis pada pengambilan foto kelima ini menggunakan lensa

dengan diameter tidak terlalu lebar atau lensa sekitar 35mm untuk

dapat menangkap kedekatan fotografer dengan peristiwa utama

atraksi sandiwara Gajah. Fotografer menggunakan angel eye view

dan vertical pada pengambilan foto atraksi ini, hal tersebut guna

menjelaskan fokus penggambaran yang ingin ditunjukkan ke

pembaca agar tidak melebar.

Pemilihan lensa 35mm membuat figure atau point of interest

foto terlihat jelas tanpa distorsi, dengan masih menunjukan

lingkungan di sekeliling figure. Namun, dalam foto ini fotografer

terlihat memiliki jarak dengan subjek atau Gajah yang beratraksi,

seperti menunjukan belum adanya interaksi atau kedekatan secara

personal. Saat pengambilan gambar fotografer melakukan under satu

stop dari normal yang tidak disengaja sehingga fotografer melakukan

burning dodging saat finishing. Terlihat warna putih yang sengaja di

naiki kontrasnya sedangkan untuk warna sekitarnya terlihat lebih

gelap.

 

97

e. Estetisme

Format yang digunakan pada foto kelima ialah vertikal.

Komposisi foto ditunjukkan secara full pada dua ekor Gajah yang

sedang bersandiwara didepan penonton. Komposisi vertikal

menampilkan portrait yang focus pada subjek yang ingin kita

tampilkan.

Penulis melihat Rama Surya menggunakan garis dan bentuk

lainnya dengan mengkomposisikan lapisan pada scane untuk

menciptkan kedalaman visual. Kedalaman visual dapat disampaikan

secara berbeda-beda tergantung dengan diafragma saat pengambilan

gambar. Semakin sempit semakin jelas dan dalam sebuah subjek.

f. Sintaksis

Dalam foto jurnalistik dan dokumenter biasanya dapat kita lihat

lewat teks yang ada pada judul atau keterangan foto, namun ketika

sebuah foto berdiri sendiri tanpa teks seperti pada foto kelima ini,

bukan berarti tidak memiliki unsur sintaksis. Sebuah foto, terlebih

pada foto jurnalistik dan documenter. Pada hakikatnya adalah

medium penyampaian pesan, dengan atau tanpa teks. Disini peneliti

menjelaskan unsur sintaksis pada data foto lima dengan melihat

elemen-elemen dala foto yang dapat memberikakn sebuah cerita

dalam satu bingkai foto.

Dari berbagai aspek teramati yang dijabarkan di konotasi,

didapati makna dari foto tersebut adalah dua ekor Gajah yang

memerankan sandiawara penolongan pada Gajah yang terluka atau

 

98

terbunuh. Seekor Gajah yang memakai kain Palang Merah Indonesia

(PMI) yang menggambarkan Gajah siaga pada pertolongan Gajah

yang lain.

3. Tahap Mitos

Mitos yang terkandung pada foto kelima yang dianalisis dengan

teori semiotika model Roland Barthes dan teori representasi media yang

berlandaskan pada penggabungan makna denotasi dan konotasi yang

dapat dimaknai dari foto dengan berjudul ―Tolonglah Aku‖ adalah cerita

tentang atraksi sandiwara gajah di tempat umum.

Hal ini jelas terlihat ganjil bagi orang-orang yang sebelumnya

berfikir Gajah itu perusak ladang dan pemukiman warga. Banyaknya

penonton yang hadir dalam atraksi sirkus ini menjadikan kita berfikir

bahwa Gajah bukanlah lagi hewan yang bertubuh besar menakutkan

melainkan seperti badut yang bisa menghibur penonton dari berbagai

kalangan umur seperti yang terlihat difoto ini.

Foto ini lebih menjelaskan bahwa Gajah sudah menjadi hewan

penghibur dari tahun ke tahun. Di mana Gajah yang dapat

mereprentasikan hewan bertubuh besar dengan berat hampir 100kg pada

Gajah dewasa, saat dididik bisa menjadi hewan yang patuh saat

pertunjukan.

 

99

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari data yang telah dikaji melalui tawaran membaca foto yang diajukan

oleh Roland Barthes, akan didapati kesimpulan, yaitu:

1. Makna denotasi yang didapati dari hasil analisis semiotika buku foto

yang berjudul Yang Kuat Yang Kalah karya Rama Surya, memberikan

gambaran tentang hewan melalui cerita foto yang dilakukan fotografer

Rama Surya terkait pesan tentang kehidupan Gajah di penangkaran Way

Kambas. Lewat konstruksi foto yang tidak lazim, pemilihan format

warna dan objek yang dipilih membuat foto-foto yang ada menjadi di

luar kebiasaan foto jurnalistik pada umumnya.

Meski dalam rangkaian kisah Yang Kuat Yang Kalah bab Kisah

Kesah Gajah Sumatra terdapat 15 foto, namun lima foto yang pilih

peneliti mempunyai kekuatan yang membuat para khalayak atau pelihat

foto mengerti atau setidaknya dapat merasakan kisah Gajah di Way

Kambas . Yang tergambarkan dengan begitu mendalam oleh Rama

Surya. Mendalam yang dimaksud terlihat dari kedekatan Rama Surya

dengan subjek yang ia potret, suatu pendekatan antar manusia dengan

hewan, bukan fotografer dan objek foto. Kedekatan itu jelas terlihat

dalam 3 dari 5 foto yang diteliti. Selain itu, kelima foto tersebut juga

dapat dengan mudah diterima atau dimengerti oleh para pelihat foto

termasuk peneliti.

 

100

Oleh karna itu tahap denotasi dalam lima foto yang dipilih dapat

dijabarkan dengan baik dalam penelitian ini.

2. Hasil analisis makna konotasi yang terdapat dalam analisis foto ini

memberikan sebuah ungkapan bahwasannya untuk memahami foto

Jurnalistik tidak cukup sebatas dengan melihat apa yang tampak.

Terlebih melihat foto-foto yang ditampilkan dengan format hitam putih.

Pada tahap ini peneliti menyadari foto bahwa foto-foto yang terkandung

tidak hanya dimaknai sebatas penglihatan mata saja, melainkan

melibatkan pikiran dan perasaan. Keterlibatan pikiran dan perasaan inilah

yang membuat foto mempunyai makna bagi para pelihatnya. Makna yang

juga sudah disusun atau minimal sudah terpikirkan oleh fotografer

sebelum Rama Surya memotret.

Dari kelima foto tersebut terdapat beragam makna yang muncul,

seperti tentang warna hitam putih yang jelas tidak menggambarkan

kebahagiaan atau kebebasan dalam hidup, pemilihan film black and

white pada pemotretaan sehingga menimbulkan banyak grain yang

membuat foto terlihat kasar memicu pesan konotasi tentang kerasnya

kehidupan Gajah Sumatra. Juga portrait sang pawang yang menunjukkan

peluru bius guna melumpuhkan Gajah buruan untuk di bawa ke PLG

Way Kambas yang menimbulkan kekejaman dan eksploitasi hewan dan

pesan lainnya yang juga dapat diartikan berbeda-beda pada setiap pelihat

foto. Pesan konotasi ini jelas melibatkan latar belakang para pelihat foto,

semakin banyak pengalaman dan hal-hal yang dipelajari, makin luas pula

makna konotasi suatu foto.

 

101

3. Kesimpulan pada tahap mitos ini merupakan kelanjutan dari tahap

denotasi dan konotasi sebelumnya. Mitos yang terkandung dalam lima

foto ―Yang Kuat Yang kalah” bab ―Keluh Kesah Gajah Sumatra” karya

Rama Surya ini sangat beragam. Mitos lahir karena adanya pesan

konotasi yang lalu dipercaya oleh orang banyak dalam suatu budaya dan

kejadian ditiap wilayah. Oleh karena itu, keberadaan mitos sangat

beragam, ada mitos yang diyakini secara universal dalam hal ini banyak

negara atau wilayah, ada pula mitos yang diyakini secara lokal atau

hanya di kawasan tertentu saja.

Dari kelima foto yang diteliti menunjukkan berbagai mitos yang

terkandung, seperti kekuatan atau ketangguhan gajah yang diyakini

secara universal dan ada pula mitos lokal yang menganggap gajah

menjadi suatu hewan yang tidak hanya sebagai hama bagi penduduk,

namun juga sebagai ladang uang untuk orang-orang yang hendak

mengambil gadingnya pada masyarakat Lampung atau Indonesia.

Tentang mitos gajah yang mengerikan sering terdengar bahwa banyak

terluka atau terenggut nyawanya karena gajah yang masuk kedalam

rumah penduduk.

Mitos tidak hadir begitu saja tanpa sebab atau maksud, melainkan

dapat diciptakan dan bahkan memiliki maksud atau tujuan yang ingin

dicapai. Sebagai contoh sederhana dalam penelitian ini saja, bahwa mitos

tentang Gajah Sumatra yang pada akhirnya menyerah ditangan manusia

karena populasi gajah yang semakin menurun. Gajah yang

menggambarkan kekuatan menyerah pada keadaan akibat ulah manusia.

 

102

B. Saran

Jika dalam penelitian ini dapat terlihat bahwa fotografi tidak hanya hadir

sebagai suatu pesan yang apa adanya (denotasi), melainkan mempunyai

punyai pesan yang terkandung di dalamnya (konotasi) tergantung dari latar

belakang pelihat foto, dan lalu hal tersebut akan menjadi suatu mitos jika

telah dipercayai oleh banyak orang atau sekumpulan masyarakat, seperti yang

ungkapkan oleh Roland Barthes dalam teori analisis Semiotika. Dari

penelitian telah disimpulkan pada bab ini, maka adapun saran agar penelitian

ini tidak berhenti di pada analisis ini saja dan dapat terus berkembang di

kalangan mahasiswa progam studi jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khalayak umum yang menyukai dunia fotografi khususnya fotografi

esai dan jurnalistik, sebagai berikut:

1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang didapati dari kelima foto

yang diteliti, memberikan suatu refrensi tentang tampilan foto-foto

dengan mengusung tema atas fenomena satwa langkah seperti gajah yang

tengah terjadi di Indonesia. Refrensi tampilan-tampilan foto dalam isu

yang diteliti dapat menjadi suatu acuan bagi para fotografer pemula

khususnya.

2. Analisis menggunakan metode semiotika menjadi hal banyak diminati

oleh para mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

Syarif Hidayatullah, hal ini dilihat dari banyaknya mahasiswa yang

membuat skripsi dengan metode analisis tersebut, oleh karena itu peneliti

memberi saran atau masukan agar diadakan mata kuliah semiotika di

fakultas ini, minimal dua semester.

 

103

3. Adapun masukan untuk buku Yang Kuat Yang Kalah bab Keluh Kesah

Gajah Sumatra karya Rama Surya, meskipun fotografi memiliki

kekuatannya sendiri untuk bercerita atau menyampaikan pesan, ada

baiknya bila dalam membuat buku fotografi esai seperti ini dituliskan

sumber dan keterangan lebih jelas mengenai subjek-subjek pada foto.

Namun, ini buku yang jelas luar biasa menarik dan sangat bermanfaat

bagi perkembangan fotografi di Indonesia bahkan Dunia dengan karya

yang luar biasa.

4. Dalam penelitian ini tergambarkan dengan jelas fungsi fotografi yang

dapat menceritakan suatu kelangkaan pada hewan yang dilindungi secara

mendalam atau bahkan utuh. Rama Surya begitu sabar membuat cerita

foto dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mendapatkan foto yang

berbeda-beda, tidak seperti kebanyak fotografer Indonesia yang membuat

cerita singkat atau bahkan masih terjebak hanya pada estetika fotografi.

Oleh karena itu, diharapkan bagi pembaca penelitian ini, nantinya dapat

membuat foto yang bercerita dan esai dengan waktu panjang, tempat

yang berbeda-beda namun masih dalam satu topic, dan dapat membuat

foto yang tidak hanya estetis melainkan memiliki pesan yang terkandung

di dalamnya.

Dengan itu, diharapkan penelitian-penelitian semiotika dan fotografi

yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi dapat terus berkembang dan diikuti dengan pengkembangan

pemahaman fotografi sebagai suatu bahasa visual atau bahasa

komunikasi di masyarakat Indonesia.

 

104

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Abdullah, Mudhofir. Al- Quran & Konservasi Lingkungan (Argumen Konservasi

Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syariah, Jakarta: Dian Rakyat,

2010.

Abrar, Ana Nadya. Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1995.

Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Fotografi antara Dua subjek, Yogjakarta:

Galang Press, 2002.

Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke

Media Massa, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Barthes, Roland. Imaji Musik Teks (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Benny H.Hoed. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: Komunitas

Bambu, 2014

Bram, Deni. Hukum Lingkungan Hidup: dari Homo Ethic ke Homo Ethic, Bekasi:

Gramata Publishing, 2014.

Budiman, Kris. Semiotika Visual, Yogjakarta: Jalasutra, 2011

Boomgard, P. Frontiers of Fear. New.Haven, ProQuest Ebook Central, 2001

Dharmawan, Bagas. Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR, Yogyakarta:

Pustaka Baru Press, 2016.

Erwin, Muhamad. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan

Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama, 2008.

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cetakan

Kesembilan Belas, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Harsno Andreas, Agama Saya adalah Jurnalisme, Yogjakarta: Penerbitan

Kanisius, 2010.

Howard davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media, Yogyakarta: Jalasutra,

2010, cet-1.

Kurniawan. Semiologi Roland Barthes, Magelang: Yayasan Indonesiatera,2001

Loeb, Edwin M. Sumatra its History and People, Wein : Verlag des Institutes fur

Volkerkunde der Universitat Wien, 1935.

 

105

M. Budyatna. Jurnalistik, Teori dan Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006

Mangunjaya, Fachruddin M., dkk. Menanam Sebelum Kiamat, Islam, Ekologi,

dan Gerakan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Marsden, William. Sejarah Sumatera, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013

Moleong, Lexy.J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2007

Muhtadi, Asep Saeful., Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, Jakarta: logos

Wacana Ilmu, 1999.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2010.

Naess, Arne & Sonny Keraf. Etika Lingkungan, Jakarta: PT. Kompas Media

Nusantara, 2006.

Naess, Arne. Ecology, Community and Lifestyle, United Kingdom, Cambridge

University Press, 1989.

Noth, Winfried. Hand Book Of Semiotikas, Bloomington: Indiana University

Press, 1990.

Paul Cobley dan Liza Jansz, Introducing Semiotikas, New York: Icon Books-

Totem Books,1999.

Prasetya, Erik. On Street Photography, Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer

Gramedia], 2014.

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2011.

Bachtiar, Ray. Chip Foto Video Ritual Fotografi, Jakarta: Kompas Gramedia,

2010.

Rita Gani, Ratri Rizki Kusualestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2013.

Sedyawati, Edi. Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri

Budaya Jakarta : Komunitas Bambu, 2014.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2003.

Sugiarto, Atok. Jurnalisme Pejalan Kaki, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014.

Sunardi, ST. Semiotika Negativa, Yogjakarta: Kanal, 2002

 

106

Wetty, Ni Nyoman. Struktur Bahasa Lampung Dialek Abung (University of

California : Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Dapertemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi, Jakarta: Mitra Wacana

Media, 2013.

Karya Ilmiah

Kana, Sisca R. Proposal ―Perancang Buku Foto Esai Perempuan dan Tenun Ikat

Kabupaten Rote-Ndao Nusa Tenggara Timur‖ di Institusi Seni Indonesia

Yogjakarta 2015

Website

―Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey‖, dari

http://www.berilmu.com/photography1.php.Artikel diakses pada 02

Januari 2018

http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Patriotisme (di akses pada tanggal 13 februari

2018).

http://www.wwf.or.id/?26300/WWF (di akses pada tanggal 15 Februari 2018).

http://waykambas.org/sejarah-taman-nasional-way-kambas/‖ (diakses pada

tanggal 03 April 2018) pukul 08:45 WIB.

http://waykambas.org/ekosistem-hutan-way-kambas/ Diakses pada tanggal 03

April 2018, pukul 09:07 WIB.

http://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ yang diakses pada tanggal

13 Februari 2018

http://www.stikosa-aws.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/Artikel-5-Jurnalisme-

Lingkungan-di-Amerika.pdf yang diakses pada tanggal 18 April 2018

https://www.academia.edu/5783073/Media_Kita_dan_Lingkungan_Hidup diakses

pada tanggal 18 April 2018.

http://www.bimbingan.org/jurnalisme-lingkungan.htm diakses pada tanggal 18

April 2018

 

107

LAMPIRAN

1. Surat Permohonan Bimbingan Skripsi

2. Surat Permohonan Penelitian/Wawancara

3. Surat Keterangan Wawancara

4. Hasil Wawancara

5. Dokumen Foto

 

108

Hasil Wawancara

Hari/ tanggal/ pukul : 18 Januari 2018

Lokasi : Rumah Makan TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat

Narasumber : Rama Surya

1. Mas Rama didalam buku ini yang mengenai gajah, butuh waktu

berapa lama observasi nya mas?

Jawab: awal mulanya saya ada kenalan orang WWF, meraka ngasih info

untuk jurnalis yang mau ikut operasi meraka mengenai krisis gajah, bisa ikut

bersama WWF. Melalui jalur WWF saya ketemu dengan pawang2 gajah dan

yang lainnya ada di Riau lagi ada penangkapan gajah liar masuk dalam

pemukiman dan ditangkapi lalu digiring ke Waykambas. Setelah itu ada

yang dipakai di sirkus. Kebetlan di Jakarta sedang ada sirkus dan juga ada di

taman safari. Sedangkan gajah-gajah yang berada di Riau kebanyakan

dipakai untuk menarik kayu-kayu gelondongan dari hutan tanaman industri.

Nah.. WWF memiliki izin untuk masuk dalam wilayah gajah-gajah.

2. Berapa lama masuk ikut perjalanan dari Waykambas lalu ke riau?

Jawab: ya ituuuu… kira-kira saya kejar 2 bulan tapi gak terus-terusan tiap

hari. Tapi kalau ada kesempatan kemana saya ikut, contoh ke Waykambas

beberapa kali, 2 sampai 3 kali. Trus ke Riaunya dan ke taman safari

ketempat sirkus. Yang lebih banyak ke Waykambas nya. Ini foto yang di

riau ini dan ini yang di Waykambas. Nah ini lagi penangkapan riau yang

gajah belum ketangkep yang ini sudah dilatih ini dulunya gajah liarnya.

 

109

Setelah ditangkep ditembak sama peluru bius baru dirantai seperti ini,

makanya matanya pada ngantuk-ngantuk gini.

3. Selama perjalanan, mas Rama pakai kamera apa?

Jawab: Saya pakai Nikon FM2, film Hitam Putih.

4. Mas boleh ceritain dulu gak sih awal mulanya terjun ke dunia

fotografi?

Jawab: Jadi saya tamat SMA tahun 1990 di bukittinggi, terus saya ke

Bandung ikut UMPTN seperti SMPTN. Trus karna niatnya saya mau di

negeri ternyata gak dapet, akhirnya saya mencoba tahun depan lagi. Selama

setahun ini saya ngisi kesibukan saya dengan kursus foto di bandung. Yang

namanya ISFD (Seni fotografi dan desain Bandung). Kemudian saya ikut

forografer wedding sebagai asistennya setelah saya kursus karna saya mau

prakteknya juga. Disuruh megang lightingnya kemana-mana sesuai perintah

sang fotografer, jadi itu buat belajar saya. Kemudian, saya setelah itu saya

menjadi freelance. Tahun 1991 saya foto mengenai anak kecil bawa paying

inih yang ada dihalaman pertama. Tahun 93-94 saya daftar di majalah Hai,

dari 95-98 di Majalah Fotomedia karna satu-satunya itu punyanya Kompas

Group terbitnya bulanan. Selama saya di sana terbitlah buku foto Yang Kuat

Yang Kalah.

5. Ada cerita tentang mas Rama Surya bekerja di ISI Yogjakarta?

Jawab: waktu itu karna lagi krismon, jadi saya ikut test untuk di sastra

inggrisnya. Trus saya keterima dan pindah ke yogjakarta tahun 98-2000.

Disitu saya minta mengajar Foto Jurnalistik di ISI karna pengalaman-

pengalaman saya.

 

110

6. Kegiatan selain mengajar di Yogjakarta, Mas Rama ada kegiatan lain

gak?

Jawab: selama saya di Yogjakarta, saya juga mengarap Yogjakarta Street

Mitology selama dua tahun saya di sana. Hasil foto ini sudah di pamerkan di

Nikon Image Gallery, swiss dan kemarin akhir 2017 dipamerin juga di

Bandung. Karya yang penting 98 ialah pas saya ke Kalimantan mengenai

kebakaran hutan. Itu keluar seri Borneo: Air Mata Api.

7. Mas Rama sendiri ada keterkaitan khusus gak sih ke Foto lingkungan?

Karna selama ini foto mas Rama lebih ke Lingkungan contohnya

Gajah, Ijen, Borneo dll ?

Jawab: saya masuk ke dalam aliran foto documentary. Itu saya garap

macem-macem seperti kemarin di borneo yang kebakaran hutan karna ada

kesempatan makanya saya garap saja. Saya bekerjasama dengan WWF

untuk nebeng dan masuk ke belusukan2 hutan. Karna ada mendanai masalah

lingkungan, jadi saya jadikan saja foto-foto yang sedang berlangsung.

8. Sejauh ini ada harapan untuk recovery foto-foto Gajah gak sih? Kan ini

buku foto 1996 ada gak sih mau buat yang barunya?

Jawab: sejauh ini sih mau terbitin ulang lagi tapi digabung dengan foto-foto

saat di Kalimantan tentang kebakaran hutan.

9. Menurut mas foto gajah-gajah yang paling menyentuh mas Rama ?

Jawab: yang paling nyesek itu saat di Waykambas mereka di rantai-rantai

kaki dan matanya ditutup.

10. Mas ada maksud tersendiri gak sih dari judul buku “Yang Kuat Yang

Kalah” ini?

 

111

Jawab: kalau kita liatkan subjek yang saya sorot di sinikan lebih ke

orangnya, penambang emas, buru pembawa belerang kawah ijen, nelayan.

Itukan ereka orang yang kuat secara fisik tapi di system dia kalah. Seperti

gajah diakan hewan yang kuat tapi nyata dia kalah juga oleh sisem mereka

akan kalah pada akhirnya dapet judul ―yang kuat yang kalh‖. Kita ga bisa

liat tongkrongannya.

11. Ada kepikiran lain ga sih mas selain judul ini?

Jawab: Ada, pergulatan hidup tapi agak terlalu umum. Kalau inikan spesifik

yang kuat yang kalah, katanya kuat tapi kalah. Nah itu menimbulkan

kontradiksi akhirnya editor fotonya mas Erick Prestya setuju juga sama

judul ini.

12. Buku “Yang Kuat Yang Kalah” pernah dipamerkan di Jakarta ya

mas?

Jawab: Di Galeri Foto Jurnalistik Antara tahun 1996 bulan September.

13. Ada fotografer panutan gak sih mas?

Jawab: Ada, saya buat ini terpengaruh oleh Sebastio Salgdo buku Walker.

Saya liat cara membuat komposisi yang pakai film hitam putih. Jadi saya

belajar foto 90 tahun 91 saya sudah tertarik foto hitam putih karna salgado.

14. Jadi Buku Yang Kuat Yang Kalah ini memang kesengajaan dari mas

Rama Surya nya sendiri ya? Secara mas Rama bukan dari kalangan

aktivis lingkungan.

Jawab: Saya memang bukan seoarang aktivis lingkungan namun saya

khawatir, prihatin dan saya mau untuk menyelusuri tentang gajah ini salah

 

112

satu informasinya ya dari WWF. Saya meminta WWF mengajak jurnalis

untuk meliput itu.

15. Tapi kalau diliat gajah yang sekarang semakin hari semakin berkurang

bahkan jauh berkurang, itu ada pesan khusus gak sih buat kejadiian

saat ini sedangkan mas mengangkat kejadian ini dari 1996 dan masih

sampai saat ini 2018 masih sama?

Jawab: Yakan sebetulnya, jelas inikan sedih, mengkhawatirkan tapi ya

gimana hutan-hutan di Indonesia ga di Sumatra, ga di manapun terutama ini

gajahkan di Sumatra itu hutannya semakin habis dan digantikan oleh kelapa

sawit. Jadi tuh susah masuk kekelapa sawit penduduk ya marah sedangkan

tadinya itu wilayah gajah inikan terjadi karna konflik kepentingan dan

terpenuhi yang artinya wilayah-wilayah hutan yang tadinya dirusak atau alih

fungsi dengan bahasa halusnya.

16. Yang saya lihat dari narasi mas Rama Surya ada kata alih fungsi oleh

pabrik kayu setempat, mulai saat itulah gajah-gajah dibantai ke

wilayah warga. Banyak juga yang dijadikan pengangkut kayu-kayu

tanggapan mas saat melihat itu gimana?

Jawab: Gajah-gajah tersebut tidak diperjual belikan melainkan dipelihara

dan diberi makan untuk mengangkut kayu-kayu di pabrik-pabrik. Sedangkan

makanan gajah sendiri banyak, jadi diberi upah nya melalui makanan-

makanan.

17. Project kedepannya lagi untuk lingkungan ada lagi gak mas?

Jawab: Kalau saya sekarang projectnya buku Home tentang rumah-rumah

Tiong Hoa atau Chines yang bertema tentang RAS. Pertama saya

 

113

menemukan foto rumah Tiong Hoa di singkawang dan menjadikan ini

project panjang. Dari situ saya mencoba mengumpulkan dokumentasi

tentang budaya Tiong Hoa supaya tumbuh pengertian bahwa ada suatu

identitas yang sudah melembur di Indonesia.