laporan utama: melawan radikalisme dengan islam …ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca...

23
Info Ulama n Edisi 1 l 2017 3 Daftar Isi Laporan Utama: MELAWAN RADIKALISME DENGAN ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN Radikalisme atas nama Islam atau pun radikalisme sekuler harus dilawan. Keduanya dak boleh dibiarkan tumbuh berkembang karena jelas berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, berbang- sa dan bernegara. Halaman 5 OPINI: Prof. DR. KH. Ahmad Syafi’i Mufid: Membincang Gerakan Islam Moderat untuk Kemanusiaan dan Perdamaian Mungkinkah Aswaja mampu menempatkan diri pada posisi moderat (washayah) di tengah-tengah gempuran radikalisme, liberalisme dan sesat pikir (aliran sesat) lainnya? Halaman 30 FATWA: Hukum Sumbangan Non-Muslim untuk Pembangunan Masjid “Pania pembangunan masjid diperbolehkan menerima sumbangan atau bantuan dari orang- orang non Muslim; baik berupa uang, bahan bangunan maupun tenaga yang dimanfaatkan untuk pembangunan masjid. Sumbangan atau bantuan tersebut diperbolehkan dengan syarat dak mengikat dan dak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dharar) atau fitnah, baik bagi umat Islam maupun bagi masjid itu sendiri.” Halaman 39 TOKOH: Dua Tokoh Betawi Berjuang di Jalan Kooperaf Profil dan kiprah ulama yang kooperaf nyaris dak populer dan dak diliput media massa secara luas. Namun, ketahuilah, peran mereka sama besarnya, sama penngnya, seper kedua tokoh Betawi ini. Halaman 42 HIKMAH: Dzauq “Ilmu tasawuf dak bisa dipahami dengan sekadar membaca atau mengarang kitab. Bahkan mereka yang pakar tasawuf dan menelaah kitab-kitab tasawuf baik yang klasik maupun yang modern belum tentu mampu membedakan mana yang palsu mana yang benar...” Halaman 45 Sambutan Ketua Umum MUI DKI Jakarta Halaman 2 Pengantar Redaksi Halaman 4 OPINI: KH Zulfa Mustofa MY: Menakar Posisi HTI dalam Kehidupan Bernegara “Menurut saya, HTI dak masuk dalam posisi kelompok sesat dalam masalah akidah dan aliran keagamaan, tapi masuk dalam kelompok sesat dalam masalah berbangsa dan bernegara...” Halaman 14 KOLOM: Prof. Dr. KH Ma’ruf Amin: Mencegah Upaya Sekularisasi Pancasila “Mengapa kita masih mempersoalkan kontribusi Islam? Apakah kita dak pernah memahami keagungan ajaran Islam? Ataukah kita memang selalu menutup mata, atau mungkin berniat dak baik terhadap Islam?” Halaman 17 OPINI: KH. Risman Muchtar, S.Sos.I, M.Si: Ramadhan, Lebaran dan Rekonsiliasi “Membiarkan permusuhan adalah berdosa apalagi menciptakan permusuhan, dan lebih besar lagi dosanya adalah mengambil keuntungan dan manfaat dari permusuhan.” Halaman 22 GALERI: JAIIC dan Kawasan Halal MUI DKI Jakarta Halaman 23

Upload: others

Post on 28-Dec-2019

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info Ulama n Edisi 1 l 2017 3

Daftar Isi

Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMedengan isLaMRahmatan LiL aLaminRadikalisme atas nama Islam atau pun radikalisme sekuler harus dilawan. Keduanya tidak boleh dibiarkan tumbuh berkembang karena jelas berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, berbang­sa dan bernegara.

Halaman 5

Opini:Prof. DR. KH. Ahmad Syafi’i Mufid:Membincang Gerakan Islam Moderat untuk Kemanusiaan dan PerdamaianMungkinkah Aswaja mampu menempatkan diri pada posisi moderat (washatiyah) di tengah-tengah gempuran radikalisme, liberalisme dan sesat pikir (aliran sesat) lainnya?Halaman 30

Fatwa:Hukum Sumbangan Non-Muslimuntuk Pembangunan Masjid“Panitia pembangunan masjid diperbolehkan menerima sumbangan atau bantuan dari orang-orang non Muslim; baik berupa uang, bahan bangunan maupun tenaga yang dimanfaatkan untuk pembangunan masjid. Sumbangan atau bantuan tersebut diperbolehkan dengan syarat tidak mengikat dan tidak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dharar) atau fitnah, baik bagi umat Islam maupun bagi masjid itu sendiri.”Halaman 39

tOkOh:Dua Tokoh Betawi Berjuang di Jalan KooperatifProfil dan kiprah ulama yang kooperatif nyaris tidak populer dan tidak diliput media massa secara luas. Namun, ketahuilah, peran mereka sama besarnya, sama pentingnya, seperti kedua tokoh Betawi ini.Halaman 42

hikMah:Dzauq“Ilmu tasawuf tidak bisa dipahami dengan sekadar membaca atau mengarang kitab. Bahkan mereka yang pakar tasawuf dan menelaah kitab-kitab tasawuf baik yang klasik maupun yang modern belum tentu mampu membedakan mana yang palsu mana yang benar...”Halaman 45

SambutanKetua Umum MUI DKI JakartaHalaman 2

Pengantar RedaksiHalaman 4

Opini:KH Zulfa Mustofa MY:Menakar Posisi HTIdalam Kehidupan Bernegara“Menurut saya, HTI tidak masuk dalam posisi kelompok sesat dalam masalah akidah dan aliran keagamaan, tapi masuk dalam kelompok sesat dalam masalah berbangsa dan bernegara...”Halaman 14

kOLOM:Prof. Dr. KH Ma’ruf Amin:Mencegah Upaya Sekularisasi Pancasila“Mengapa kita masih mempersoalkan kontribusi Islam? Apakah kita tidak pernah memahami keagungan ajaran Islam? Ataukah kita memang selalu menutup mata, atau mungkin berniat tidak baik terhadap Islam?”Halaman 17

Opini:KH. Risman Muchtar, S.Sos.I, M.Si:Ramadhan, Lebaran dan Rekonsiliasi“Membiarkan permusuhan adalah berdosa apalagi menciptakan permusuhan, dan lebih besar lagi dosanya adalah mengambil keuntungan dan manfaat dari permusuhan.”Halaman 22

gaLeRi:JAIIC dan Kawasan Halal MUI DKI JakartaHalaman 23

Page 2: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 4 5

Pengantar Redaksi

alam hormat kami untuk para pembaca budiman. Tim Redaksi majalah Info Ulama dan pengelola web site MUI DKI Jakarta

www.muidkijakarta.or.id kembali menyapa para pembacanya dalam edisi perdana majalah Info Ulama di tahun 2017 ini. Sebuah kebanggaan bagi kami, Tim Redaksi, karena edisi kali ini bertepatan penerbitannya dalam bulan Ramadhan. Tentunya tersirat banyak makna dan hikmah dengan hadirnya kembali Info Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia.

Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan Ibadah di Bu lan Suci Ramadhan 1438 H. Se­moga segala amal ibadah yang kita lakukan, mulai dari puasa, tarawih, tartil al quran, qiyamu al lail, zakat, dan deretan ibadah lainnya di bulan suci ini dimudahkan Allah untuk ki­ta laksanakan hingga diterima baik oleh Allah SWT dan kita semua me raih predikat al- Muttaqqien dan pantas masuk dalam golongan Minal aidhin (al fitri) wa al Faidzien (bi al jannah).

Ramadhan adalah Syahru al-tarbiyah (bulan pendidikan). Bu­

“RAMADHAn DAn KeInDAHAnISlAM RAHMATAN LIL ALAMIN”

lan ini akan memiliki makna se­jati bila sejumlah tarbiyah yang ki ta lakukan dan kita ditempa di dalamnya yaitu tarbiyah al ja-sa diyah (pendidikan jasmani), tar­biyah­al­ fikriyah­ (pendidikan ter hadap pemikiran), dan tarbiyah al qalbiyah (pendidikan hati) dapat terus dilanjutkan, dipelihara, dan te rus dapat ditingkatkan. Tentunya ajaran Islam yang dipenuhi dengan ajaran kasih sayang (Islam Rahmat lil alamin) yang terimplimentasi de ngan jelas dalam ibadah Rama­dhan akan terus kita bawa di luar Ramadhan. Puasa telah me ng ­ajarkan kita “mengekang” ber­ba gai keegoan kita, hawa nafsu kita, pemikiran sektarian kita, ke angkuhan kita dalam sebuah ta tanan ruhani yang terarah da­lam dimensi rabbaniyah. Spirit Ra madhan tentu menjauhkan ki ta dari sejumlah pemikiran ra­dikal yang sifatnya sangat in di­vi dualistik, demikian pula pola pe nalaran yang menafikan ajaran su ci keagamaan. Ramadan juga mem berikan pembelajaran kepada ki ta bagaimana menjalin beragam ukhuwah, tidak hanya ukhuwah Islamiyah, tetapi juga ukhuwah wa taniyah, bahkan ukhuwah

Insaniyah.Pembaca, dalam edisi perdana

Info Ulama tahun 2017 ini, redaksi menyajikan beberapa tulisan terkait konsep dan gagasan Islam Rahmatan li al Alamin, warna warni JAIIC, dan Kawasan Halal Fair 2017 yang diselenggarakan Komisi ekonomi, lPPOM dan Kominfo MUI DKI Jakarta . Selain itu, edisi ini juga memuat beberapa tulisan terkait pandangan tentang radikalisme dalam beragam perspektif. Hal ini demi menegaskan bahwa nasionalisme dan komitmen Hubbul Wathon minal Iman (cinta Tanah Air) yang sejak lama diajarkan para ulama kita sejak dulu.

Para Pembaca berbahagia, da­lam edisi kali ini juga ditampilkan berbagai program yang dise leng­ga rakan oleh beberapa Komisi MUI DKI yang dilakukan untuk mem berikan pencerahan bagi ma syarakat muslim di DKI Jakarta, se kaligus pula menjadi forum si­la turrahiem dengan sejumlah pe­ngurus wilayah MUI se­DKI Jakarta. Akhirnya, Tim Redaksi Majalah Info Ulama menyampaikan Selamat mem baca...

Wallahu alam bi al shawab.

S

Dr. H. Amar Ahmad, M.Si PenanggungJawab

Laporan Utama

Radikalisme atas nama Islam atau pun radikalisme sekuler harus dilawan. Keduanya tidak boleh dibiarkan tumbuh berkembang karena jelas berbahaya bagi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

MelawanRadikalisMe

dengan islaM RahmatanLiL aLamin

www.pixabay.com

Page 3: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 6 7

Laporan Utama Laporan Utama

asca Pilkada DKI Ja karta di tahun 2017 ini tidak serta merta mendin­ginkan kehidupan sosial

warga DKI Jakarta, terutama bagi umat Islam. Terminologi ra­dikalisme atas nama Islam yang kerap dilontarkan oleh pemer­intah dalam beberapa kesempa­tan telah mengundang protes sebagian ulama dan tokoh Islam karena dianggap memperburuk citra Islam tanpa fakta dan data yang akurat.

namun, pemerintah bergem­ing. Beberapa fakta memang menunjukan adanya radikalisme di beberapa kelompok dengan mengatasnamakan Islam yang telah cukup lama menyusup ke lembaga­lembaga pendidikan,

menyusup ke kantor­kantor swasta dan pemerinah, juga menyusup pada aksi­aksi se­lama proses pilkada DKI Jakarta yang berlangsung di tahun 2017 ini. Kelompok­kelompok radika­lisme yang mengatasnamakan Islam jika dibiarkan akan terus berkembang dan menjadi anca­man bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak terlalu lama untuk menunjukkan buktinya. Pemer­intah, misalnya, melalui Men­kopolhukam, pada hari Senin, 8 Mei 2017 lalu mengumumkan akan mengajukan permohonan pembubaran organisasi ma­syarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke pengadilan. Ada tiga alasan pembubaran HTI ini,

yaitu: Pertama, HTI dinilai tidak mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional; Kedua, kegiatan HTI dinilai bertentangan dengan tujuan, asas dan ciri yang ber­dasar pada Pancasila dan UUD 1945. Alasan kedua ini sesuai dengan Undang­Undang nomor 17 Tahun 2013 tentang Organ­isasi Kemasyarakatan; dan Ke­tiga, aktivitas yang dilakukan HTI dinilai menimbulkan ancaman keamanan dan ketertiban ma­syarakat serta membahayakan nKRI. Selain HTI, pemerintah juga tengah mempertimbang­kan untuk membubarkan ormas lainnya yang juga masuk dalam tiga alasan tersebut. HTI sendiri dikategorikan sebagai ormas

P

yang menganut radikalisme karena radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan sebuah perubahan atau pem­baruan dengan cara drastis hingga ke titik paling akar.

Selain HTI, kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam lain yang paling berbahaya adalah Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). ISIS atau IS (Islamic State) merupakan gerakan neo Khawarij yang merupakan anak gerakan dari Al­Qaeda yang telah bermetamorfosis dan lebih berbahaya dari Al­Qaeda.

namun beda dari HTI yang menggunakan jalan damai tan­pa kekerasan dalam berjuang, ISIS merupakan kelompok ra­dikal yang menggunakan teror dan kekerasan fisik dalam men­jalankan aksinya. Kekalahan bertubi­tubi yang dialami ISIS di wilayah kekuasannya di seba­gian Irak dan Suriah, membuat mereka harus memindahkan ladang jihadnya ke wilayah lain, salah satu pilihannya adalah wilayah Asia Tenggara. ISIS su­

kondisi sosial­politik maupun ekonomi yang sedang berlang­sung dalam bentuk penolakan dan perlawanan. Terutama aspek ide dan kelembagaan yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya. HTI kerap melakukan aksi­aksi penolakan terhadap sistem, peraturan dan kebijakan pemerintah yang menurutnya bertentangan syar­iat Islam; Kedua, dari penolakan berlanjut kepada pemaksaan kehendak untuk mengubah ke­adaan secara mendasar ke arah tatanan lain yang sesuai dengan cara pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi kepada nilai­nilai tertentu, semisal agama maupun ideologi lainnya; dan Ketiga, menguatkan sendi­sendi keyakinan tentang kebena­ran ideologi yang diyakininya lebih unggul daripada yang lain. Menurut HTI, sistem khilafah lebih baik daripada sistem de­mokrasi. Pada gilirannya, sikap truth claim (klaim merasa paling benar) ini memuncak pada sikap penafian dan penegasian sistem

dah menancapkan kukunya di Marawi, Filipina Selatan dan sudah melakukan kekerasan fisik melawan pemerintah. Di Indonesia, ISIS didukung oleh kelompok­kelompok radikal, seperti negara Islam Indonesia (nII). Beberapa kali kelompok­kelompok kecil yang berafi­liasi dengan ISIS melakukan ke­kerasan fisik di beberapa tempat di Indonesia, seperti melakukan bom bunuh diri dengan bom panci di Kampung Melayu, Jakarta Timur; dan melukai be­berapa polisi dengan aksi ”lone wolf” di beberapa daerah.

Gejala RadikalismeAtas Nama Islam

Secara sosiologis, setidaknya ada tiga gejala radikalisme yang melekat di HTI dan ormas atau kelompok sejenisnya, juga ISIS, merujuk kepada pendapat en­dang Turmudi di dalam buku­nya yang berjudul Islam dan Radikalisme di Indonesia, yaitu: Pertama, merespon terhadap

www.pixabay.com www.pixabay.com

www.pixabay.com

Page 4: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 8 9

lain. Untuk mendorong upaya ini, ada pelibatan massa yang dilabelisasi atas nama rakyat atau umat yang diekspresikan secara emosional­agresif me­lalui aksi­aksi massa. Bahkan yang dilakukan ISIS lebih keras lagi, yaitu dengan teror dan pembunuhan dengan berbagai bentuk dan cara.

Keberadaan kelompok­ke­lompok radikalisme atas nama Islam di Indonesia bukan hal yang baru. Mereka eksis tidak lama setelah Indonesia mer­

deka, yaitu sejak kemunculan gerakan nII (negara Islam Indo­nesia) yang embrionya sudah ada sejak tahun 1926 dan diproklamirkan pada tanggal 7 Agustus 1949 dalam bentuk sebuah negara (nKA nII/negara Karunia Allah nII) dengan or­ganisasinya Darul Islam (DI) dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII) dan dengan tokohnya yang terkenal, Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Mereka terkenal dengan

pem berontakannya kepada pe merintah Indonesia yang di­anggap sebagai pemerintahan kafir yang wajib diperangi. Me­reka tidak akan pernah berhenti berperang atau melakukan cara­cara kekerasan sampai negara Islam Indonesia berdiri, walau pemimpin mereka, SM. Karto­soewirjo, wafat.

Ketika peperangan dengan kontak senjata dirasakan belum memungkinkan lagi, para aktivis nII ini kemudian menempuh cara­cara lain agar tujuan me­

reka tetap tercapai, termasuk bergabung dengan kelompok Al­Qaeda pimpinan noordin M. Top di Indonesia (Tandzim Al­Qaidah Asia Tenggara) yang katanya telah menyempal dari Jamaah Islamiyah (JI). Berga­bungnya kelompok nII dengan kelompok Al­Qaeda pimpinan noordin M. Top ini diketahui dengan munculnya nama Jaja sebagai salah seorang teroris paling diburu di Indonesia pasca tewasnya Syaifudin Zuhri dan Syahrir (Indopos, 10 Oktober

Laporan Utama Laporan Utama

aum Muslimin yang tersebar di seluruh dunia, kini telah menunjukan eksisten­sinya melalui berbagai aktivitas dan capaian­capaian prestasi yang mereka

tunjukkan, khususnya di beberapa kota besar dunia. Seperti Sadiq Khan, Walikota london, Inggris; Jilani Chowdhury, Walikota Islington, Inggris; Mohammed Hameeduddin, Walikota Teaneck, Bergen County, new Jersey, Amerika Serikat; Ahmed Aboutaleb, Walikota Rotter­dam, Belanda; dan naheed Kurban nenshi, Walikota Caglary,Alberta,Kanada.

namun, prestasi kaum Muslimin di berbagai kota­kota besar di dunia ini bukan tanpa tan­tangan. Minimal, ada empat tantangan utama yang kini sedang dihadapi oleh kaum Musli­

JAIIC DAN PRAKARSA JAKARTAUnTUK DAKWAH ISlAM

RAHMATAN LIL ALAMIN

min, yaitu: Pertama, meningkatnya Islamophobia (ketakutan terhadap Islam) bahkan sudah dalam bentuk serangan fisik dan upaya genosida kepada kaum Muslimin di sebuah negara. Seperti yang mendera kaum Muslimin Rohingya di Myanmar.

Kedua, radikalisme dan tindakan kekerasan juga masih terus terjadi di tubuh sebagian kaum Muslimin dalam memperjuangkan cita­cita dan tujuan politiknya yang sebagian menimbulkan kri­sis kemanusiaan. Sasaran mereka tidak pandang bulu, bahkan kepada sesama Muslim. Seperti kelompok ISIS di Suriah dan Irak serta kelompok­kelompok yang berafiliasi kepada ISIS di berbaga negara; kelompok militan Ansar Bayt al­Maqdis, Mesir; dan kelompok Abu Sayyaf, Filipina.

lahirnya kelompok­kelompok radikal ekstri­

mis dan teroris pada dasarnya diawali oleh adanya orang­orang yang berlebihan dalam me­mahami ajaran agama. Dalam berdakwah, mereka mengesampingkan cara bil hikmah dan metode gradual, “step by step”, sebagaimana yang digu­nakan oleh nabi Muhammad SAW dan para alim ulama sebagai penerusnya dalam menyampaikan agama Islam. Sehingga dalam menyampaikan aja­ran Islam, mereka cenderung kasar, keras dalam berbicara dan emosional dalam menyampaikan pendapatnya. Mereka menganggap sikap itu adalah sebagai wujud ketegasan, konsisten dalam berdakwah, dan melaksanakan misi amar makaruf nahi munkar. Sungguh, suatu sikap yang kontra produktif dengan metode dakwah Rasulullah SAW dan bisa membahayakan eksistensi Islam ke depannya.

Selain metoda dakwah yang keras, kelompok­kelompok tersebut juga sangat mudah mengkaf­irkan orang lain yang berbeda pendapat. Mereka mudah berburuk sangka kepada orang lain yang tak sepaham dengan pemikiran serta tindakan­nya. Mereka cenderung memandang dunia ini

hanya dengan dua warna saja, yaitu hitam dan putih. Sehingga muncullah cara­cara yang berbahaya akaibat dari mengkafirkan orang lain yaitu melakukan pengeboman, penculikan, penyanderaan, pembajakan dan sebagainya. Itulah tantangan terbesar yang dihadapi um­mat Islam saat ini.

Ketiga, keberadaan media sosial yang meru­pakan aplikasi berbasis internet. Media sosial telah banyak disalahgunakan untuk merusak moral kalangan muda Islam dengan konten­konten porno, transaksi narkoba dan menjadi media yang efektif untuk menyebarkan pa­ham radikalisme dan mengkampanyekan aksi terorisme. Media sosial juga menjadi sarana perekrutan anggota oleh kelompok­kelompok radikal dan teroris lintas negara.

Keempat, peredaran narkoba yang telah banyak merusak generasi muda Islam di ber­bagai kota besar di dunia. Seperti Jakarta, se­bagai Ibu Kota negara yang merupakan pintu gerbang masuknya berbagai kalangan interna­sional di negeri ini, dihadapkan pada tantangan

K

www.pixabay.com

Page 5: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 10 11

Laporan Utama Laporan Utama

2009). Jaja adalah aktivis nII dari kelompok Banten yang diduga kuat memiliki hubungan baik dengan Rois, dalang bom di Ho­tel Marriot 2003 (JW. Marriot I) yang tidak memiliki background JI melainkan nII. Dengan demi­kian, persentuhan kelompok noordin M. Top dengan nII sudah dimulai sejak bom JW. Marriot I tersebut. Indikasi kuat lainnya, pelaku bom bunuh diri, Heri Golun, adalah orang nII. Begitu pula dengan Syaifudin Zuhri dan Syahrir yang merupa­

kan pentolan nII Banten. BnPT melalui Densus 88

terus aktif menggempur ger­akan neo­Khawarij di Indonesia ini. Gerakan neo­Khawarij pun sempat redup dari tahun 2009 ­ 2014 awal, walau ada beberapa kali teror kecil dilakukan oleh kelompok neo­Kkhawarij ini dan para pengikut mereka beberapa kali operasi berhasil ditangkap. namun, dengan munculnya ISIS, para penganut paham neo Khawarij ini muncul kembali ke permukaan. Mereka adalah

para aktivis nII dan kelompok radikal lainnya yang telah ber­baiat dan bergabung di ISIS.

Gejala RadikalismeSekuler

namun demikian, radika­lisme yang juga berbahaya dan faktanya juga ada di Indonesia bukan hanya radikalisme aga­ma, dalam hal ini radikalisme atas nama Islam, tetapi juga radikalisme sekuler. Radika­lisme sekuler adalah paham yang ingin memisahan bahkan

menghilangkan pengaruh dan peran agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Merujuk kepada pendapat Harvey Cox, pakar teologi pem­bebasan dari Harvard, ada tiga gejala dari radikalisme sekuler ini, yaitu: Pertama, Dischan-ment of Nature. Kehidupan dunia disterilkan dari pengaruh ruhani dan agama. Sekuler lib­eral ini membatasi peran agama hanya di wilayah personal. Agama cukup di dinding masjid,

besar peredaran narkoba yang begitu deras dan masif. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa sebelum perederan narkoba merasuk ke semua

wilayah Indonesia, terlebih dahulu pihak­pihak yang terlibat dalam peredaran narkoba akan menjadikan Jakarta sebagai sasaran pertama.

Tantangan dakwah di Ibu Kota Indonesia saat ini tidak hanya sekedar memberikan ceramah, tausiah dan dakwah di majelis taklim, masjid dan musala, tetapi harus dibuatkan strategi dakwah yang efektif dalam mengatasi persoalan umat yang terancam dengan pengaruh buruk narkoba.

Berdasarkan empat tantangan di atas, Ma jelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta telah menyelenggarakan Jakarta International Islamic Conference (JAIIC) dengan tema perkembangan dakwah Islam di berbagai kota besar di dunia dari tanggal 29 november sampai 1 Desember 2016 lalu di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara. JAIIC dihadiri oleh narasumber dan peserta dari 16 negara, termasuk Indonesia, yaitu: Syaikh Ghiyats Abdul Baqi(Arab Saudi);Syaikh Sulaiman al­Khatib (Suriah);Dr. Samir al­Khaouli (libanon);Habib Muhammad al­Junaid(Yaman);Dr. Abdul Ilah Muhamamad Ahmad Abdullah (Sudan); Prof. Dr. Zekeriya Guler (Turki);Dr. Syekh Abu Bakar (Cina),Prof. Yahya Michot(Amerika Serikat),Mr. Jurjen Aan de Wiel ( Belanda); Dr. Sheikh Salim Alwan Al­Husainiyy dan nadirsyah Hosen, llA,

MA. PhD (Australia); Mr. Mohd Daud bin Kasim, BA(Kamboja);Prof. Dr. Hadji latif Sahraman (Philipina);H. Abdul Halim lateh, lc. MA (Thai­land); Dr. Daing Mohamed Fuad (Singapura);Dr. Yusri bin Mohamad, Dr. nasharudin Mat Isa dan Isfadiah Mohd Dasuki (Malaysia).

JAIIC diadakan sebagai wahana berbagi informasi mengenai tantangan dan peluang dakwah terkini dari kota­kota besar masing­ma­sing negara peserta yang melahirkan Prakarsa Jakarta. Di konferensi ini, para narasumber memaparkan permasalahan dan tantangan dakwah di kota­kota besar dari negaranya serta mencari solusi yang tepat untuk menanganinya; membangun kebersamaan langkah melalui fo­rum bersama negara­negara peserta lonferensi untuk terus mengembangan pilihan dakwah yang positif bagi kemajuan umat manusia di dunia, yaitu dakwah Islam Rahmatan Lil Alamin yang berkelanjutan melalui pertemuan secara berkala; dan menyebarluaskan gagasan dakwah yang positif dalam pembangunan peradaban manusia, yang dimulai dari kota­kota besar

www.pixabay.com

www.pixabay.com

Page 6: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 12 13

Laporan Utama Laporan Utama

gereja,vihara, dan seterusnya. Di luar itu, akal manusia jadi Tu han. Radikalisme sekuler menghendaki agama menying­kir dari kehidupan; Kedua, de-sacralization of Politics. Politik harus dikosongkan dari penga­ruh agama dan nilai spiritual. Se­bab, politik semata urusan akal manusia. Agama dengan segala simbolnya dilarang terlibat poli­tik. Agama merupakan wilayah khusus, harus dipisah alias tidak boleh disatukan dengan politik; dan Ketiga, deconsentration of

negara peserta konferensi.Berikut ini Prakarsa Jakarta yang dihasilkan

dalam JAIIC tersebut:

PRAKARSA JAKARTA

Bertolak dari berbagai problem peradaban yang dihadapi umat Islam akibat kelalaian dan kesalahan mereka dalam melaksanakan tugas dakwah, ditambah dengan pengaruh negatif peradaban Barat terhadap pemahaman dan sikap keberagamaan umat, Majelis Ulama Indo­nesia Provinsi DKI Jakarta telah melaksanakan Konferensi Internasional dengan tema “Dakwah Islam di Berbagai Kota Besar Dunia: Tantangan dan Solusinya” pada 29 november­1 Desember 2016. Konferensi tersebut dihadiri oleh para ulama dan dai dari Indonesia, Cina, Filipina, libanon, Kamboja, Malaysia, Suriah, Singapura, Sudan, Thailand, Turki, Australia, Belanda, dan Yaman. Dalam pertemuan ilmiah tersebut disajikan dan didiskusikan berbagai masukan

dan pemikiran ilmiah syar’iyyah yang berharga seputar tema­tema dakwah dan problematika peradaban, maka pada kesempatan ini kami me­nyepakati beberapa hal sebagai berikut ini:

1. Dakwah perlu diarahkan untuk memberikan pemahaman Islam yang benar dan berbasis kesadaran moderatisme, dalam upaya untuk memperkuat persatuan umat Islam dalam satu negara ataupun antar umat Islam dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia.

2. Perlunya mengembangkan prinsip­prinsip dakwah rahmatan lil alaman yang mengan­tarkan umat pada pemahamanIslam yang komprehensip holistik dengan memadukan antara universalitas ajaran Islam dan lokalitas ekspresi, memadukan khazanah turats dan berbagai perkembangan saintek mo dern.

3. Perlunya mendakwahkan Islam rahmatan lil alamin dengan berbagai pendekatan dan pemanfaatan berbagai pendekaran ilmiah khususnya melalui dunia maya.

values. Tidak ada kebenaran mutlak, nilai­nilai adalah relatif. Doktrin ini menisbikan kebena­ran kitab suci. Kitab suci diangap produk budaya, tidak lebih dari buatan manusia.

Melawan dengan Islam Rahmatan Lil alamin

Radikalisme atas nama Islam ataupun radikalisme sekuler ha­rus dilawan, tidak boleh dibiar­kan tumbuh berkembang kare­na jelas keduanya berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, bah­kan sangat berbahaya bagi umat Islam dan Islam sendiri serta umat beragama lainnya dengan agamanya. Bagi umat Islam, pa­ham Islam Rahmatan Lil Alamin merupakan solusi untuk meng­hadang, mengeliminasi dan lebih jauh lagi: menghapuskan kedua paham ini.

Istilah Islam Rahmatan Lil Alamin diambil dari Istilah rah-matan lil ‘alamin yang ter­maktub dalam QS. Al­Anbiya, ayat 107 yang berbunyi: “Dan

tiadalah Kami mengutus engkau (hai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin)”

Dalam konteks kekin-ian, khususnya di Negara Kesatuan Republik Indo-nesia ini, yang dimaksud dengan Islam Rahmatan Lil Alamin adalah agama yang membawa rahmat dan kes­ejahteraan bagi semua selu­ruh makhluk, mengharamkan radikalisme, terorisme dan

4. Perlunya memberdayakan umat dan me­ningkatkan kapasitas mereka agar mampu mengemban tugas dakwah dan berkontribusi secara aktif dalam pengayaan dakwah tersebut melalui aspek ekonomi, sosial, dan politik, untuk pembangunan di tingkat lokal, regional, dan global.

5. Perlunya menjalin kerjasama antar ibukota dan kota­kota besar negara­negara peserta konferensi di bidang dakwah Islam untuk mem­berikan solusi terhadap berbagai problema­tika yang dihadapi umat Islam, dalam upaya mereka untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketenangan lahir batin yang pada akhirnya bermuara pada terciptanya perdamaian dunia secara menyeluruh.

6. Menyelenggarakan pertemuan­pertemuan bersama secara rutin dan berkesinambungan, yang diselenggarakan secara bergantian oleh negara­negara peserta seminar dengan tu­juan untuk memperluas jejaring dakwah dan mencari model dakwah ideal, serta solusi atas

permasalahan­permasalah dakwah untuk menciptakan kemajuan peradaban.

7. Menyerukan kepada seluruh umat Islam di dunia, baik secara perorangan maupun kolektif untuk mengutuk setiap bentuk diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan terhadap umat manusia, dan secara khusus memberikan dukungan dan advokasi ter­hadap umat Islam Rohingiya dan Palestina untuk memperjuangkan keadilan dan hak hidupnya.

Untuk mewujudkan hal­hal di atas, kami menyepakati pembentukan forum bersama ulama­ulama ibukota dan kota­kota besar negara­negara peserta seminar, sebagai ajang bagi para ulama penggerak dakwah. Forum tersebut berfungsi menjadi jembatan komu­nikasi antar mereka dalam rangka memajukan peradaban umat manusia, forum tersebut kami beri nama: Forum Dunia untuk Dakwah yang Moderat. ***

sejenisnya, serta praktek bunuh membunuh lainnya. Dengan demikian, seorang yang berpaham Islam Rah-matan Lil Alamin tidak akan menyetujui radikalisme atas nama Islam maupun radika­lisme sekuler. Dia berada di tengah­tengah, taat hukum, menjadi juru damai, penjaga persatuan bangsa dan keutu­han nKRI yang telah susah payah diperjuangkan oleh para pendahulunya sebagai rahmat dari Allah SWT. ***

www.pixabay.com

Page 7: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 14 15

Laporan Utama Laporan Utama

kajian MUI Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2011 tersebut, dengan pertanyaan: Pasca per­nyataan pemerintah yang akan membubarkan HTI, maka posisi HTI sekarang bukan lagi pada posisi oposisi atau pro pemer­intah, tetapi apakah HTI tetap berada di posisi yang benar atau sudah berada di posisi yang sesat?

Menurut beberapa ulama, posisi Hizbut Tahrir (yang HTI adalah bagian darinya) telah dimasukkan sebagai kelom­pok sesat. Di antaranya adalah Syaikh Al­Abani dengan alasan bahwa golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Is­lamiyah, selama mereka semua

tidak berdiri di atas Kitabullah (Alquran) dan Sunnah Rasu­lullah SAW serta di atas man-haj (jalan/cara) Salafusshalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! Tidak diragukan lagi bahwa golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Alquran, Sunnah SAW dan Manhaj Shalafusshalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian, pada akhirnya wa­laupun mereka itu (dalam da­kwahnya) ikhlas. Dan Hizbut Tahrir merupakan kelompok yang sesat karena dalam melak­sanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya, bukan berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasulullah

SAW dan Manhaj Salafusshalih. namun, berbeda dengan

MUI. MUI sangat berhati­hati untuk memposisikan sebuah kelompok, ormas, dalam po­sisi sesat, termasuk kepada HTI. MUI sendiri telah menetapkan sepuluh indikator kriteria ajaran atau aliran yang sesat, yang diru­muskan di dalam Rakernas­nya di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta Tahun 2007, yaitu: Pertama, mengingkari salah satu rukun Iman yang enam dan rukun Is­lam yang lima; Kedua, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan Sunnah; Ketiga, meyakini turun­nya wahyu setelah Alquran; Ke-empat, mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Alquran;

encana pemerintah untuk membubarkan HTI (Hizbut Tahrir In­donesia) telah men­

jadi perhatian publik akhir­akhir ini. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Provinsi DKI Jakarta sendiri pada tahun 2011 telah melakukan kajian terhadap HTI dan ormas­ormas Islam lainnya yang telah diterbitkan dalam buku yang berjudul Posisi dan Peran Ormas Islam Dalam Pem-

bangunan Masyarakat Jakarta. Pada hasil kajian tersebut, MUI Provinsi DKI Jakarta memasuk­kan HTI dalam kelompok ormas Islam yang beroposisi terhadap pemerintah.

Hasil kajian yang terdapat di buku tersebut memang bersifat deskriptif, hanya memberikan gambaran mengenai ormas HTI berupa sejarah singkat, landasan pemikiran, metode dakwah, dan keanggotaan. Ki­

ranya, sejak tahun 2011 sampai sekarang atau sudah 6 tahun sejak kajian tersebut dilakukan dan dipublikasikan, tentu ban­yak perkembangan yang terjadi di HTI yang luput dari kajian sehingga harus dilakukan kajian kembali, terlebih pemerintah sudah akan membubarkan HTI. Maka, di kolom ini, saya pribadi memberikan pendapat men­genai posisi HTI sekarang ini sebagai bagian dari kelanjutan

MenakaR Posisi HTi dalaM keHiduPan

BeRnegaRa“Menurut saya, HTI tidak masuk dalam posisi kelompok sesat dalam masalah akidah dan aliran keagamaan, tapi masuk dalam kelompok sesat dalam masalah berbangsa

dan bernegara...”

R

www.pixabay.com

Oleh: KH Zulfa Mustofa MYSekretaris Umum MUI Provinsi DKI Jakarta

Page 8: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 16 17

Laporan Utama Kolom

MencegahUpaya SekUlariSaSi

Pancasila“Mengapa kita masih mempersoalkan kontribusi Islam? Apakah kita tidak pernah memahami keagungan ajaran Islam? Ataukah kita memang selalu menutup mata,

atau mungkin berniat tidak baik terhadap Islam?”

Oleh: Dr. KH Ma’ruf AminKetua Umum MUI Pusat

aklumat ke­Indonesia­an yang digagas oleh sejumlah orang dalam simposium nasional di Fisip UI yang lalu, dengan tema Restorasi Pan-

casila, sebelum peringatan hari lahirnya Pancasila, dan dibacakan oleh Todung Mulya lubis dalam Peringatan Hari lahir Pancasila menarik untuk dicermati. Inti dari maklumat tersebut adalah penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama,

dan tidak boleh ada satu agama pun yang berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasar­kan Pancasila. Di sisi lain, maklumat tersebut juga menegaskan keluhuran sosialisme, dan keberhasi­lan material yang diraih oleh kapitalisme.

Kita memang tidak tahu ada apa di balik pen­egasan ini. Di satu sisi, Pancasila dinyatakan bukan agama, dan agama juga tidak boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila,

M

Kelima, melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah­kaidah tafsir; Keenam, mengingkari kedudukan hadis nabi SAW sebagai sumber aja­ran Islam; Ketujuh, menghina, melecehkan dan atau meren­dahkan para nabi dan rasul; Kedelapan, mengingkari nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir; Kesembilan, mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok­pokok iba dah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah dan shalat wajib tidak lima waktu; Kesepuluh, mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Atas dasar sepuluh kriteria di atas, maka MUI akan mem­fatwakan sebagai kelompok aliran sesat atau kelompok di luar Islam apabila ada kelompok umat yang memiliki salah satu di antara kriteria tersebut. Apalagi terdapat beberapa kriteria di suatu kelompok tertentu. Ke­lompok ini, sesudah diadakan penelitian atau pengkajian men­dalam dan pembahasan sesuai prosedur penetapan di MUI, tentulah akan divonis sesat atau akan dinyatakan telah keluar dari Islam. Orang atau kelompok yang dinyatakan telah keluar dari Islam ini berarti dia orang

murtad dan murtad berarti kafir atau, lebih dikenal dengan isti­lah, kafir murtad.Hal itu berarti, takfir atau fatwa ‘sesat’ MUI hanya berkaitan dengan bidang akidah dan aliran keagamaan, tidak mencakup bidang­bidang yang lain, seperti di bidang so­sial politik, meski tidak semua fatwa yang dikelompokkan da­lam bidang akidah dan aliran keagamaan itu bernada penye­satan atau pengkafiran.

Maka, menurut saya, HTI tidak masuk dalam posisi ke­lompok sesat dalam masalah akidah dan aliran keagamaan, tapi masuk dalam kelompok sesat dalam masalah berbangsa dan bernegara. Itu pun jika HTI melakukan gerakan untuk men­dirikan negara Islam dengan kon sep khilafah karena berten­

tangan dengan konsep nKRI dan melawan konstitusi. Jika telah terbukti sesat dalam kon­teks berbangsa dan bernegara, maka HTI harus diajak kembali kepada yang hak, sehubungan para pendiri bangsa ini sepakat bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang mengakui adanya agama, bukan negara agama. Masalahnya adalah apakah HTI telah melakukan gerakan pendirian negara Islam dalam konsep khilafah atau hanya se­batas wacana saja? Inilah yang harus disikapi secara hati­hati oleh pemerintah.

Akhir kalam, sekali lagi, jika HTI berupaya menelikung komitmen bersama yang telah disepakati oleh pendiri bangsa ini, maka anggota HTI adalah saudara kita dalam konteks beragama, tapi dalam kon­teks berbangsa dan bernegara mereka telah sesat. lagi pula kon sep khilafah yang selama ini disuarakan oleh HTI adalah bukan satu­satunya konsep dan bentuk kepemimpinan (nasbul imam) dalam bernegara yang ada di dalam Islam. Bahkan ne­gara­negara Islam pun memiliki konsep kepemimpinan negara yang berbeda­beda, seperti Arab Saudi dengan konsep kera­jaan, Indonesia dengan konsep de mokrasi, dan Iran dengan kon sep imamah serta lainnya.

“Menurut saya,HTI tidak masuk

dalam posisi kelompok sesat dalam masalah

akidah dan aliran keagamaan, tapi masuk dalam kelompok sesat dalam masalah berbangsa dan

bernegara...”

Page 9: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 18 19

Kolom Kolom

sementara sosialisme —yang dibangun berdasar­kan ideologi materialisme, dan anti agama, dan karenanya bertentangan dengan nilai Pancasila— justru diagungkan. Demikian juga dengan kapital­isme —yang dibangun berdasarkan sekularisme, dan setengah anti agama karena tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya menerima agama, dan nyata­nyata melahirkan ketidakadilan global, yang justru bertentangan dengan nilai Pancasila— malah dipuja­puja. Maka, dengan membaca seki­las inti maklumat tersebut, kita dengan mudah bisa membaca adanya sejumlah inkonsistensi dan keganjilan di dalamnya.

Vision of StatePancasila memang bukan agama, karena ia

merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi). Tepatnya, lima nilai dan visi yang hendak diraih dan diwujudkan oleh bangsa Indonesia ketika berihtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila itu anti

agama, atau agama harus disingkirkan dari rahim Pancasila. Karena keberadaan agama itu diakui dan dilindungi, serta dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing­masing agama juga berhak hidup, dan pemeluknya pun bebas menjalankan syariat agamanya. Tentu tidak terkecuali dengan Islam dan umatnya. Sebab, dengan value dan visi ketuhanannya, justru arah negara Indonesia kelak bukanlah negara sekular, juga bukan negara sosialis­komunis, maupun kapitalis­liberal. Tetapi, sebuah negara yang dibangun berdasarkan nilai dan visi Ketuhanan yang Maha esa.

Justru karena itulah, maka sangat ganjil dan aneh, jika agama —khususnya Islam— yang ada di dalamnya hendak disingkirkan, dan dibuang jauh­jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendominasi. Di sisi lain, hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945, padahal kewajiban men­jalankan syariat Islam tetap dijamin oleh sistem

hukum di negeri ini. Karena itu, kemudian maklu­mat atau logika­logika seperti ini, tidak lebih hany­alah tafsiran yang juga nisbi, bahkan maaf sangat absurd, yang pada akhirnya selalu dipaksakan oleh segelintir orang kepada mayoritas rakyat di negeri ini dengan menggunakan kekuatan sebuah rezim. Memang aneh, di sisi lain, tafsir orang lain atas kebenaran tidak boleh dipaksakan, tetapi mereka sendiri memaksakan tafsirannya atas kebenaran dan bahkan memonopoli tafsiran itu untuk dipaksakan kepada orang lain. Inilah bentuk inkonsistensi cara berfikir. Tetapi, bagi mereka justru ini merupakan bentuk konsistensi, tepat­nya konsisten menolak Islam. Meski cara berfikir mereka sendiri inkonsisten.

Justru, karena itulah, maka hubungan antara agama, khususnya Islam, dengan negara tidak pernah solid. Ketidaksolidan ini justru terjadi karena adanya pihak yang terus­menerus beru­paya membenturkan antara agama dan negara. Padahal, ketika bangsa yang mayoritas Muslim ini berhasil menyelenggarakan pemilu, orang­orang itu berteriak dengan lantang, bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam. Tapi, giliran umat Is­lam menuntut syariatnya diterapkan, segera saja mereka menolak dengan menggunakan tafsir kebenaran mereka sendiri, yang maaf sudah klise; bertentangan dengan Pancasila­lah, bertentangan UUD 1945, mengancam keutuhan bangsa, dan tafsir­tafsir teror yang lainnya.

Cara berfikir seperti ini tentu sangat picik dan tidak jujur. Picik, karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi sebagai pelarian. Tidak jujur, karena orang­orang itu tidak mau mener­ima kenyataan, bahwa demokrasi yang mereka agung­agungkan itu sendiri mengajarkan vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). Arti­nya, jika rakyat yang mayoritas itu menginginkan kehidupan mereka diatur oleh syariat, mengapa

mereka harus menolak? Inilah logika demokrasi yang sehat. Kalau kepicikan dan ketidakjujuran ini terus dipraktikkan, maka kalangan Muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak dengan demokrasi, apalagi kalangan Muslim yang jelas­jelas menolak sama sekali. Pada akhirnya, umat Islam akan membuktikan sendiri, bahwa demokrasi itu hanyalah jargon kaum kapitalis­sekular, untuk mempertahankan kepentingan mereka.

Sekularisasi PancasilaPengamat Politik lIPI, Dr. Mochtar Pabottinggi,

juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state (visi negara), yang mendahului berdirinya Republik In­donesia. Visi itu kemudian dituangkan dalam UUD 1945, pasal 29, yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Artinya, dengan visi itu para pendiri negara ini justru ingin menegaskan, bahwa negara yang dibangunnya itu bukanlah negara sekuler.

Karena itu, tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama untuk dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan, bahwa Islam merupakan salah satu sumber hu­kum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama, dan agama tidak boleh memo­nopoli kebenaran, jelas merupakan upaya untuk menistakan agama, dan memisahkan Pancasila dari agama. Sebagai open idea (ide terbuka) atau open value (nilai terbuka), sebagaimana yang dis­ampaikan oleh Presiden SBY, seharusnya kontri­busi agama, sebut saja Islam, dalam membimbing visi yang dicita­citakan itu tidak boleh dibendung. Apalagi dengan membenturkan keduanya. Justru inilah yang harus segera diakhiri. Karena agama adalah keyakinan, sementara Pancasila yang no­

www.pixabay.com

Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi).

Page 10: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 20 21

tabene bukan agama tidak akan bisa menggeser posisi agama.

nah, masalahnya kemudian adalah, apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam akan mengancam keharmonisan? Mari kita jujur melihat fakta.

Pertama, selain Islam, agama­agama lain tidak memiliki syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama­agama itu hanya mengatur urusan ibadah, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai.

Kedua, bagi Islam, urusan ibadah, cara ber­pakaian, makan, minum, kawin dan cerai para pemeluk agama lain diserahkan kepada agama mereka masing­masing. Islam justru memberikan kebebasan mereka untuk menjalankan syariat agamanya, pada wilayah yang memang menjadi wilayah agama mereka. Di sisi lain, mereka juga tidak dipaksa untuk menjalankan syariat agama lain, yang diatur oleh syariat agama mereka.

Ketiga, bagi non­Islam, Islam hanya mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hu­kum dan politik luar negeri, yang notabene tidak diatur oleh syariat mereka. Sementara bagi kaum Muslim, Islam mengatur semua aspek kehidupan mereka, mulai dari urusan ibadah, cara berpak­aian, makan, minum, kawin dan cerai, sampai urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hu­kum dan politik luar negeri.

Dengan demikian, secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non­Muslim. Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdamp­ingan. Masing­masing pemeluknya bebas men­jalankan syariat agamanya, dijamin oleh negara.

Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejar­awan Barat, dalam Spain in the Three Religion. Untuk kasus Indonesia, kita tidak mungkin me­nyingkirkan fakta bahwa: Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun. Islam dianut mayoritas, sekitar 87 persen.

Hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga hukum Islam sudah menjadi law of life (hukum yang hidup). Wajar kalau syariah Islam menjadi sumber hukum peraturan perundangan di Indonesia. Aneh kalau ada yang menentangnya.

Di samping itu, secara substansi, ajaran Islam adalah ajaran yang universal, rahmatan lil ‘ala-min, bukan hanya rahmatan lil Muslimin. Kalimat rahmatan lil ‘alamin selalu diucapkan oleh semua pihak, termasuk kalangan pejabat, mulai dari presiden hingga kepala desa. Bila semua warga negara tanpa pandang bulu mendapatkan rahmat dari penerapan hukum tersebut, maka harmon­isasi pasti tercipta. Adopsi hukum syariah pasti menjamin rahmat bagi semua? Sebab hukum sya­riah dan ajaran Islam sangat jelas bersumber dari Alquran dan Hadits nabi SAW yang merupakan wahyu Allah SWT, Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, Dzat Yang Maha luas rahmat­nya.

Mewujudkan cita-citaKalau syariat Islam diterapkan, bukan hanya

kesatuan dan persatuan Indonesia, tetapi kema­nusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, serta hikmah dan kebijaksa­naan dalam permusyaratan atau perwakilan juga diterapkan. Dalam Islam, umat lain mendapatkan perlindungan penuh dari negara. Juga jaminan kebutuhan hidup yang sama, baik sandang, pa­pan, dan pangan, serta kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

nabi SAW pernah mengatakan, “Man adza dza-

Kolom Kolom

miiyan faqad adzani (Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sama dengan menganiaya diriku).” Ketika rumah seorang Yahudi hendak digusur oleh Amr bin al­Ash untuk pembangunan masjid, yang berarti menasionalisasi hak milik pribadi, Umar bin Khatab marah dan meminta gubenurnya mengembalikan hak milik pribadi Yahudi tersebut.

Juga kisah Ali bin Abi Thalib, yang bersengketa dengan orang Yahudi soal baju besi. Kasus itu dimenangkan oleh orang Yahudi, yang notabene rakyat jelata. Inilah jaminan yang diberikan Islam, lebih baik dibanding konsep keadilan sosial yang diadopsi dari sosialisme dan kapitalisme.

Demikian halnya dengan hikmah dan kebijak­sanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Islam memberikan ruang yang cukup dan pro­porsional kepada publik untuk menyampaikan pandangannya. Inilah yang dikenal dengan syura wa akhdz ar-ra’y (permusyawaratan dan pengam­

bilan pendapat). Ada wilayah di mana pendapat tersebut harus diambil dari syariat, ada yang diambil dari pendapat mayoritas, dan ada juga yang diambil berdasarkan pandangan ahli/pakar, atau yang paling benar. Masing­masing diduduk­kan secara proporsional. Dengan demikian, kebebasan berpendapat tidak akan keluar dari pakemnya. Islam bukan memberangus kebebasan berpendapat, tapi mengarahkan dan membimb­ingnya.

Dalam Islam, ada Majelis Ummah dan ada juga partai politik yang berfungsi mengontrol pemerin­tah. Bahkan, kalau pemerintah menyimpang dari haluan negara, ada Mahkamah Madzalim yang bisa memberhentikannya. lalu, mengapa kita masih mempersoalkan kontribusi Islam? Apakah kita tidak pernah memahami keagungan ajaran Islam? Ataukah kita memang selalu menutup mata, atau mungkin berniat tidak baik terhadap Islam? Wallahu a’lam.

www.pixabay.com

Page 11: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 22 23

GaleriOpini

raMadhan, lebaran dan Rekonsiliasi

“Membiarkan permusuhan adalah berdosa apalagi menciptakan permusuhan, dan lebih besar lagi dosanya adalah mengambil keuntungan dan manfaat dari

permusuhan.”

Oleh: KH. Risman Muchtar, S.Sos.I, M.SiKetua Komisi Ukhuwah dan KUB MUI Provinsi DKI Jakarta

www.pixabay.com

Page 12: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 24 25

Galeri Galeri

Page 13: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 26 27

Galeri Opini

amadhan datang, hingar bingar pun hilang. Semua tanpa terasa menyatu dalam suasana ibadah, yang pro dan yang kontra semua sama, siang hari berpuasa,

saat Maghrib buka bersama, malam hari shalat berjamaah, selesai shalat mendengar ceramah, dengan topik akidah dan ibadah, akhlak dan mua­malah, tidak ada permusuhan dan pertengkaran, tidak ada perbedaan dan perdebatan, itulah rekonsiliasi, pertengkaran dan perbedaan diakhiri, hubungan persahabatan dipulihkan kembali; satu sama lain saling menghormati; itulah keindahan syariat Islam, tidak boleh saling mendendam, bila salah saling memaafkan, kepada Allah memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan.

tidak ada saling mencaci dan memaki, apalagi saling menghina dan membenci, karena semua merasa bersaudara dalam satu aqidah, tidak ada ilah kecuali Allah, nabi Muhammad SAW adalah Rasulullah, telah tersimpul dalam dua kalimah syahadah, terbuhul dengan kuat dalam hati orang yang beriman, selalu berpihak kepada kebenaran dan keadilan, menjauhi segala bentuk permusu­han dan kezaliman, mencintai perdamaian dan persahabatan.

Islam mengajarkan bahwa sesama orang­orang beriman adalah bersaudara, satu sama lain berke­wajiban untuk saling mendamaikan, tidak boleh membiarkan saudaranya saling bermusuhan, apalagi menciptakan permusuhan dan mengam­

R

Dengan mengamalkan satu kewajiban dalam Islam yaitu berpuasa di bulan Ramadhan memi­liki dampak yang luarbiasa dalam membangun kerukunan dan perdamaian antar sesama umat dan warga bangsa. Itulah kehebatan Islam dan mukjizat Alquran, bila diamalkan dalam ke­hidupan, tidak ada kusut yang tak selesai, tidak ada keruh yang tak akan jernih, yang jauh akan menjadi dekat, yang berat akan menjadi ringan, yang sulit akan menjadi mudah, karena semua dilakukan dengan ikhlas semata­mata mencari ridha Allah SWT.

Tidak ada kepentingan pribadi dan golongan, semua melebur dalam sebuah kebersamaan penuh persahabatan dan persaudaraan. Hi­langlah ego pribadi, rasa dengki dan sakit hati,

bil keuntungan dari permusuhan itu (baca QS Al Hujurat:10). Membiarkan permusuhan adalah berdosa apalagi menciptakan permusuhan, dan lebih besar lagi dosanya adalah mengambil keun­tungan dan manfaat dari permusuhan.

Itulah sebabnya ajaran Islam melarang prak­tek adu domba sesama Muslim, karena hal yang demikian adalah pekerjaan setan yang selalu berusaha menciptakan permusuhan dan keben­cian, adakalanya melalui minuman keras dan perjudian serta cara­cara lain yang bertujuan untuk menghalangi orang­orang beriman untuk mengingat Allah dan beribadah kepadanya (baca QS Al­Maidah:91). Siapapun orangnya, apapun pangkat dan jabatannya, jika mereka berusaha untuk mengadu domba sesama Muslim agar

“Jika berbicara Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, kehancuran umat Islam sekaligus adalah

kehancuran bangsa, karena jika umat Islamnya sudah lemah, terpecah-pecah dan saling bermusuhan satu sama lain, artinya negara

dan bangsa Indonesia berada dalam keadaan bahaya...”

Page 14: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 28 29

Opini

mereka berpecah belah dengan maksud untuk melemahkan dan menguasainya, dan mereka itu­lah adalah setan­setan yang berbentuk manusia.

Allah SWT melarang tindakan dan perbuatan yang berpotensi merusak persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah); saling menghina satu kaum dengan kaum yang lain, mencela diri sendiri (maksudnya mencela saudara sesama mukmin) dan memberikan julukan atau gelar­gelar yang tidak disukai oleh saudaranya, dan seburuk­buruk gelar sesuadah beriman adalah fasik atau sejenisnya. Perbuatan menghina, mencela dan memberikan gelar­gelar yang buruk dapat merusak perasaan saudara sendiri dan pada

gilirannya dapat merusak persaudaraan sesama Muslim. Jika para pelakunya tidak bertobat atau tidak meninggalkan perbuatan tercela tersebut, mereka dicap Allah sebagai orang­orang yang zalim (baca QS Al Hujurat 11)

Begitu juga Allah melarang keras sikap berbu­ruk sangka terhadap saudara seiman, mencari­cari kesalahan mereka (tajassus) dan membuat gosip menyebar fitnah atau bergunjing (ghibah). Para penyebar gosip dan penggunjing dikecam Allah dengan sebutan makhluk pemakan bangkai (baca QS. Al­Hujurat 12). Berburuk sangka, men­cari­cari kesalahan dan menyebar fitnah adalah perbuatan yang dapat merusak persaudaraan

Opini

sesama Muslim, yang pada gilirannya dapat meru­sak persatuan dan kesatuan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kelemahan, dan kelemahan itu adalah salah satu penyebab kehancuran dan kekalahan.

Jika berbicara Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, kehancuran umat Islam sekaligus adalah kehancuran bangsa, karena jika umat Islamnya sudah lemah, terpecah­pecah dan saling bermusuhan satu sama lain, arti­nya negara dan bangsa Indonesia berada dalam keadaan bahaya. Oleh karena itu, sebagai umat dan sebagai bangsa kita wajib memelihara dan menjaga ukhuwah Islamiyah dengan menjauhi segala bentuk tindakan dan perbuatan yang dapat merusaknya. Umat Islam sangat berkepentingan dengan keutuhan bangsa ini, karena bangsa ini diperjuangkan dengan teriakan Allahu Akbar dan tetesan darah dan nyawa para mujahid Islam, para ulama dan kaum muslimin yang mencintai agamanya dan negaranya.

Oleh sebab itu semua elemen dan komponen bangsa, mulai dari penguasa, aparat dan pejabat negara, tentara, polisi, hakim dan jaksa, para penegak hukum lainnya, politisi, pengusaha, para intelektual dan ulama, dosen dan mahasiswa, buruh tani nelayan, dan rakyat jelata berkewa­jiban untuk menciptakan suasana yang aman dan nyaman berdasarkan prinsip­prinsip keadilan dan kebenaran, menjauhi segala tindakan yang berpotensi menimbulkan kekisruhan, kerusuhan dan permusuhan.

Berhari raya Idul Fitri haruslah dijadikan mo­mentum yang tepat untuk membangun silaturra­him dengan menebar kepedulian terhadap kaum dhuafa dan orang­orang miskin melalui zakat fitrah, saling bermaafan dengan tetangga dan saudara, silatturrahim antara ulama dan umara, penguasa dan rakyat jelata, dan sillaturrahim

antar seluruh komponen bangsa.Jika bulan Ramadhan kita sikapi sebagai bulan

rekonsiliasi, maka bulan syawal kita isi dengan sillaturrahim, tidak hanya sebatas seremonial minus substansi. Berhalal bilhalal mempersatu­kan hati, bertatap muka dan saling memaafkan, menghabiskan dendam dan menghentikan per­musuhan, menciptakan kasih sayang menjauhi perseteruan. Jangan berlaku munafik, lain di luar lain di dalam, lain perkataan dan lain kenyataan, bertanam tebu di bibir, pandai bermulut manis, tetapi tidak sejalan kata dengan perbuatan.

Di hari raya, ketika bertemu seorang Muslim dengan Muslim lainnya yang terdengar hanyalah ucapan saling mendoakan “taqabbalallahu minna waminkum” semoga Allah menerima ibadah kita termasuk anda, itulah doa dan harapan bersama sesama Muslim, dan itulah semestinya yang harus menjadi akhlak dan pola hubungan yang harus dibangun di antara sesama Muslim yang beri­man, yaitu saling mendoakan untuk kebaikan dan keselamatan bersama, bukan sebaliknya, saling menjelekkan, mencari­cari kesalahan dan saling memfitnah.

Terakhir, di bulan Syawwal yang berarti bulan peningkatan, kita rawat dan kita jaga prestasi ibadah yang telah berhasil kita raih selama Ra­madhan, kita pelihara shillaturrahim, hubungan kasih sayang sesama muslim, kita bangun komu­nikasi sesama warga bangsa apapun suku dan agamanya, jangan saling mengeksploitasi, jangan hanya ingin senang dan menang sendiri, jangan ada tirani mayoritas, apalagi tirani minoritas, yang mayoritas melindungi hak­hak minoritas dan yang minoritas menghormati hak­hak yang mayoritas, itulah toleransi dan itulah demokrasi yang hakiki. Semoga Ramadhan dan Idul Fithri membawa berkah tersendiri untuk negeri yang kita cintai ini. Amin. Nashrun Minallahi Wafathun Qarib. ***

Page 15: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 30 31

Opini

MeMbincang gerakan iSlaM Moderat UntUk

kemanusiaan dan PeRdamaian

Mungkinkah Aswaja mampu menempatkan diri pada posisi moderat (washatiyah) di tengah­tengah gempuran radikalisme, liberalisme dan sesat

pikir (aliran sesat) lainnya?

Oleh Prof. DR. KH. Ahmad Syafi’i MufidKetua Komisi Kajian dan litbang MUI DKI Jakarta

Indonesia dan Gerakan Islam Moderataat ini, Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Islam masuk ke wilayah nusantara ter­golong paling akhir dibandingkan den­

gan kawasan lainnya seperti Persia, Asia Tengah

dan eropa. Paham keagamaan yang diajarkan dan kemudian dianut oleh mayoritas penduduk adalah ahlus sunnah waljamaah, sebuah pa­ham moderat. Secara harfiyah, ahlu sunnah wal jama’ah adalah penganut sunnah, tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh nabi Muhammad

S

Opini

SAW dan kesepakatan para ulama. Watak mod­erasi (washatiyah) yang dimiliki oleh faham ini baik dalam sistem keyakinan (aqidah), syari’ah maupun praktik akhlak/tasawuf sesuai dengan corak kebudayaan masyarakat Indonesia. Din­amika perkembangan Ahlu sunnah wal jamaah (Aswaja), awalnya dinilai akomodatif terhadap tradisi lama (local tradition), kemudian berkem­bang mengikuti trend pemurnian (puritanisme) sehingga corak Islam terlihat semakin murni dari unsur­unsur lokal. Pemurnian ajaran Aswaja dari anasir lokal dan tradisi lama dimulai dengan apa yang disebut organisasi dan gerakan modernis, yang tetap bersandar pada kaidah berfikir mazhab Ahlu sunnah wal jamaah. Kelangsungan dan perubahan pemahaman dan perubahan paham Aswaja berjalan damai, kecuali dalam beberapa kasus seperti pertentangan antara “kaum tua” versus “kaum muda” di awal abad ke XX dan ra­dikalisme serta terorisme di awal abad XXI.

Sejarah Indonesia dimulai sejaknya tumbuhnya kesadaran sebagai bangsa terjajah dan berke­inginan untuk merdeka, bebas dari dominasi bangsa lain. Kesadaran tersebut dimulai sejak kehadiran bangsa­bangsa Barat pada abad 16 yang kemudian mendapat perlawaan dari Kesul­tanan Samudra Pasai dan Demak di Malaka pada tahun 1511. Perlawanan terhadap Barat terus berlangsung sampai tercapainya kemerdekaan. Sejumlah tokoh perlawanan muncul dari Aceh sampai Sulawesi. Sultan Hasanudin (Sulawesi), Sultan Agung (Mataram), Sultan Ageng Tirtoyoso (Banten), Sultan Badarudin (Palembang), Pan­geran Diponegoro (Jawa), Imam Bonjol (Suma­tera) Teuku Umar, Cut nyak Dien, Teuku Cik Di Tiro (Aceh). Penderitaan sebagai bangsa terjajah inilah yang melahirkan semangat nasonalisme bagi bangsa Indonesia.

Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan

mengalami perubahan strategi, dari perlawanan fisik ke politik. lagi­lagi umat Islam menjadi pelo­pornya, perang digantikan dengan gerakan sosial, ekonomi dan politik. Dimulai dengan gerakan Sari­kat Dagang Islam pada tahun 1905 yang kemudian berubah menjadi gerakan politik, Syarikat Islam (1912). Gerakan sosial pendidikan dimulai oleh Muhammadiyah (1912), dan pada tahun 1926 lahir nahdhatul Ulama. Organisasi Islam lainnya juga bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan tersebar di berbagai wilayah. Mathla’ul Anwar (Banten,1916), Perikatan Umat Islam (PUI) se­belumnya bernama Persyarikatan Oelama pada tahun 1916. Persatuan Islam (Bandung, 1923), Persatuan Tarbiyah Islamiyah ( Sumatera Barat, 1930), Al Khairat (Palu, Sulawesi, 1930) dan Al Jamaatul Wasliyah ( Medan, 1930) dan nahdhatul Wathan (nusa Tenggara Barat, 1937). Organisasi Islam yang berdiri pada era kolonial tersebut sam­pai sekarang masih berkembang adalah penganut paham washatiyah (moderat) atau yang disebut Ahlu sunnah wal jamaah. Organisasi politik satu­satunya, Syarikat Islam, memiliki corak radikal, terutama setelah diinfiltrasi oleh kelompok sosi­alis demokrat yang kemudian berkembang men­jadi Partai Komunis Indonesia. Setelah diterapkan disiplin partai, kaum komunis dikeluarkan dari Syarikat Islam, gerakan politik umat kembali ke jalan moderat.

Peran Gerakan Islam Moderat dalam Kemerdekaan Indonesia

Gerakan Islam moderat inilah yang berhasil membangun kesepakatan dengan eksponen bangsa Indonesia lainnya dalam hal merumuskan dan penetapkan Dasar negara Republik Indone­sia. Tokoh utama yang terlibat dalam persiapan kemerdekaan dan penetapan dasar negara adalah; (1). Agus Salim (Syarikat Islam), (2). Abi­

Page 16: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 32 33

kusno Tjokrosuyoso (Syarikat Islam), (3). Abddul Wahid Hasyim (nahdhatul Ulama), (4). Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), (5). Soekarno (Ketua), (6). Muhammad Hatta, (7). Muhammad Yamin, (8). Ahmad Subarjo, dan (9) Alex Andries Maramis. Disamping itu Tokoh nomor satu sampai dengan empat adalah pemimpin organisasi nasio­nalis Islam, no 5 sampai 8 adalah Muslim nasio­nalis sekuler dan no 9 adalah tokoh Kristen dari Indonesia Timur. Peran Muslim moderat dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia juga sangat besar. Ketika tentara be­lum lahir, laskar Hisbullah dan Sabililah berjuang mempetahankan kemerdekaan. KH. Hasyim Asy’ari, pemimpin tertinggi nU, mengeluarkan fatwa wajib berjihad bagi semua umat Islam un­tuk mempertahankan kemerdekaan. Perlawanan rakyat Surabaya terhadap tentara sekutu yang ingin melucuti tentara Jepang mengakibatkan pertempuran besar yang kemudian diperingati sebagai hari pahlawan, setiap 10 november. Bong Tomo memberikan komando perlawanan dengan meneriakkan semangat jihad dan suara takbir. Ke­tika Belanda kembali membentuk pemerintahan sipil di Indonesia (The netherlands Indie Civil Administration) rakyat menyambutnya dengan perang kemerdekaan dipimpin oleh jenderal Soedirman, pendiri pandu Hisbul Wathan (Mu­hammadiyah).

Sekali lagi, Islam moderat kembali meneguhkan komitmenya dalam penguatan ideologi bangsa. Melalui muktamar 1983, nU menerima Pancasila sebagai satu­satunya asas dalam berbangsa dan bernegara. Begitu juga Muhammadiyah pada muktamar 1984 memutuskan menerima Pancas­ila sebagai asas dalam berbangsa dan bernegara. Singkat kata, perjalanan sejarah bangsa ini selalu mendapat dukungan dan peran dari gerakan Islam moderat. Oleh karena itu ketika gerakan Islam

transnasional mulai menanamkan pengaruhnya di Indonesia, kelompok moderat inilah yang memberikan respon baik melalui wacana maupun aksi. Runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi membawa perubahan bagi diskursus keagamaan. Masyarakat Muslim Indonesia digegerkan oleh munculnya paham dan gerakan seperti laskar Jihad, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Jama’ah Ansharut Tauhid, Salafi radikal, Hizbut Tahrir Indonesia dan banyak lagi yang lain. Gerakan Islam yang muncul pasca reformasi mengaku ahlus sunnah, meskipun dalam berwacana dan aksi berbeda dengan kelompok Ahlus sunah wal jamaah yang telah eksis jauh sebelum paham baru tersebut muncul. Perkembangan Syiah juga memperoleh momentum pada era Reformasi. Muncul organ­isasi Ikatan Jama’ah Al Bait Indonesia (IJABI) dan Ahlul Bait Indonesia (ABI). Di samping melalui organisisi gerakan, Syiah juga berkembang melalui lembaga­lembaga pendidikan yang didirikan di berbagai wilayah. Hubungan antarumat agama, pada akhir masa orde baru sudah tegang menjadi semakin panas, ketika presiden Soeharto jatuh. Konflik suku, ras, agama dan golongan (SARA) terjadi di mana­mana. Ada konflik Ketapang Ja­karta, konflik nTT, konflik Ambon, konflik Maluku, Sambas, Sampit dan seterusnya. Ketegangan semakin menjadi, ketika dibentuk laskar Jihad yang kemudian dikirim ke Ambon dan Maluku. Benturan terjadi benturan antar penganut agama, utamanya antara Islam dan Kristen. Belakangan konflik internal juga terjadi antara penganut Ahlu sunnah berhadap­hadapan dengan komunitas Syiah, sebagaimana terjadi di Sampang, Madura, Bondowoso dan Jember, Jawa Timur. Jamaah Ahmadiyah Indonesia, yang dating ke Indonesia sejak sebelum kemerdekaan juga mendapat tan­tangan. Jika pada masa sebelum kemerdekaan

Opini

tantangannya berupa perdebatan dan penolakan, kini pertentangan sudah sampai konflik fisik sep­erti di Ceukesik, Banten dan Mataram nTB.

Perubahan sosial akibat modernisasi dan perjumpaan dengan berbagai pemikiran global, penganut Aswaja menghadapi tantangan internal maupun eksternal. Tantangan internal, menguat­nya pengaruh Wahabisme (Salafi) dalam tiga pulih tahun terakhir. Kehadiran faham Wahabi mem­buat gaduh wacara keagamaan karena kritik­kritik dan praktik keagaaam mereka yang tidak hanya berbeda dengan kaum Aswaja tetapi penghaki­man kemusyrikan, pembid’ahan terhadap praktik keyakinan dan peribadatan yang berbeda. Tidak hanya dalam bidang agama, kelompok Salafi Jihadis (Sururi) juga mengembangkan faham fun­damentalisme radikal yang mendorong terjadinya teror di Indonesia. Islam kemudian identik dengan kekerasan dan teror. Reaksipun muncul dari ka­langan kaum muda pendukung Aswaja, dengan mendeklarasikan terbentuknya Jaringan Islam liberal (JIl). Kebebasan berfikir membuat kaum tua dari kalangan Aswaja khawatir dan gelisah ter­hadap gerakan Islam liberal. Mungkinkah Aswaja mampu menempatkan diri pada posisi moderat (washatiyah) di tengah­tengah gempuran radi­kalisme, liberalisme dan sesat pikir (aliran sesat) lainnya? Tantangan eksternal, Aswaja berhadapan dengan globalisasi seperti demokrasi, hak asasi manusia dan ekonomi pasa, juga merupakan ten­tangan tersendiri.

Sesungguhnya, kehadiran berbagai macam paham transnasional ke Indonesia merupakan ujian bagi mayoritas umat Islam yang menganut paham Aswaja. Apakah Aswaja akan tetap eksis bahkan menjadi semakin menguat atau semakin kecil peranannya dalam kancah berbangsa dan bernegara. Perbincangan dengan topik Peta Kontestasi Gerakan Radikal dan liberal dapat

dijadikan bahan renungan dan pemikiran dalam menetapkan strategi pemeliharaan kerukunan internal umat beragama maupun antarumat be­ragama, sebagaimana yang sedang dikembangkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan saat ini.

Kerukunan HidupAntarumat Beragamadi Indonesa

Belajar dari pengalaman sejarah panjang “perang dan damai” antar anak Adam di muka bumi, Indonesia berhasil membangun kesepaka­tan bersama para pemuka agama dan tokoh bangsa lainnya dalam menentukan dasar negara sebagaimana diuaraikan di atas. Indonesia juga mebrehasil membangun dan memelihara keruku­nan inter umat beragama, kerukunan antarumat beragama dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Saat ini di seluruh wilayah provinsi, kabupaten, dan kota telah berdiri Fo­rum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Forum Kerukunan Umat Beragama, adalah sebuah lem­baga yang dibentuk oleh majelis­majelis agama mengemban tugas memelihara kerukunan dan mengembangkan bina­damai dalam masyarakat. Anggota dan pimpian FKUB adalah tokoh­tokoh yang berasal dari semua komunitas agama yang telah ada di Indonesia. Dari kalangan Islam, ang­gota FKUB berasal dari oranisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), nahdhatul Ulama (nU), Muham­madiyah, Persatuan Islam, Syarikat Islam, Per­satuan Tarbiyah Islamiyah dan juga ormas Islam local. Awalnya banyak pihak yang belum paham eksistensi FKUB. Mereka mengira FKUB hanya sebagai lembaga yang berwenang memberikan rekomendasi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Tidak banyak yang paham kalau FKUB harus membangun dan mengembangkan

Opini

Page 17: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 34 35

Opini

dialog lintas agama, menampung aspirasi umat beragama, menyalurkan aspirasi pemuka agama dan tokoh masyarakat, melakukan sosialisasi keru­kunan dan perdamaian serta mengembangkan program­program pemberdayaan kerukunan dan perdamaian. lebih dari itu harapan masa depan perdamaian melalui internalisasi nilai­nilai Pan­casila juga menjadi garapan FKUB. Kini, peranan FKUB sangat dominan dalam penanganan dan penyelesaian konflik social, sebagaimana diatur dalam Undang­Undang no 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Bahkan dalam proses demokrasi di Indonesia, peranan FKUB dalam mengawal penyelenggraan pemilihan umum yang damai dan tidak mengeksploitasi isu­isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan sebagaimana diatur dalam undang­undang Pemilihan Umam juga sangat besar.

Pengalaman Indonesia dalam membangun dan memelihara kerukunan dengan melibatkan peran gerakan Islam moderat dapat mengoreksi pandangan bahwa Islam itu intoleran dan cend­erung menggunakan politik kekerasan. Beberapa kritik terhadap agama, seperti disampaikan Jack nelson­Pallmeyer bahwa semua agama monoistik secara inhern mengandung kekerasan. Yahudi, Kristen dan Islam akan secara terus menerus me­nyumbang pada kekerasan hingga tidak ada lagi tantangan keras terhadap “teks suci” dan hingga tidak ada lagi kekuatan yang menentang Tuhan ( nelson­Pallmeyer, Jack (2005). Is religion killing us? Violence in the Bible and the Quran, Contin­uum International Publishing Group. P.136). nyat­anya, sebagaimanan dicatat oleh Tanner bahwa pada abad XX lebih dari 25 juta orang beriman di negara­negara ateis, menderita kekerasan anti agama (The Harmful Secular Ideologies. Ames Tri­bune, 2011). Perang dunia adalah perang sekular yang tidak didorong oleh agama tetapi oleh ide­

ologi non agama (PD I, PD II, civil wars (American, el Salvador, Russia, Sri langka, dan China), Perang Vietnam, Korea dan perang melawan teroris (nel­son, James M, 2009. Psychology, Religion, and Spirituality. Springer. P. 427). Talal Asad, menilai pandangan yang menyamakan antara institusi agama dengan kekerasan dan fanatisme tidaklah benar. Kekejaman institusi non agama di abad 20 sangat luar biasa dahsyat. Dia juga mencatat bahwa nasionalisme juga telah dipandang sebagai agama sekuler ( Asad, Talal (2003). Formations of Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford University Press, p. 100, 187­190).

Ada tiga tesis tentang peran agama dan bina­damai. “Peace through religion alone” , perda­maian hanya melalui agama saja. Artinya, tesis ini mengusulkan bahwa untuk mencapai perdamaian dunia hanya melalui pengabdian terhadap agama tertentu. “Peace without religion”, perdamaian tanpa agama. Perdamaian hanya dapat dicapai bila tanpa agama. “Peace with religion” , pendeka­tan ini fokus pada pentingnya koeksistensi dan dialog antariman. FKUB pada hakikatnya adalah nGO yang sangat potensial untuk membangun bina damai dan pengembangannya seperti pe­nyelenggaraan Sekolah Agama dan Bina­Damai yang digagas dan dikembangkan ole FKUB Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ( bandingkan Douglas Johnston, “Faith­Based Organization: The Religious Dimension of Peacebulding.” in People Building Peace II: Succesful Stories of Civil Soci-ety, Paul van Tongeren, et al (Boulder, CO: lynne Reiner, 2005), p.209­218.

Sekolah Agama dan Bina­Damai memilik visi awal menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan anggota dan calong anggota FKUB. Sekarang, sekolah ini telah diterima sebagai lembaga pen­didikan bina damai secara lebih luas, yakni meny­iapkan kader perdamaian untuk bangsa. Misinya,

Opini

memberikan pengetahuan tentang agama dan ajaran bina­damai. Memberikan pendidikan & pelatihan penanganan perselisihan disebabkan oleh faktor sosial keagamaan. Memberikan fasilitas pengalaman hidup bersama dalam per­bedaan. Pendidikan dan Pelatihan Agama dan Bina­Damai ini mencakup bidang­bidang sebagai berikut: (1). Kajian tentang ajaran perdamaian dalam agama­agama, (2). Pemahaman terhadap tugas­tugas Forum Kerukunan Umat Beragama. (3). Keterampilan penanganan masalah keruku­nan umat beragama (manajemen konflik dan resolusi konflik). (4). Hidup bersama dalam kelu­arga dan masyarakat berbeda keyakinan agama.(5). Pengembangan dan pelatihan analisis konflik sosial, dan perencanaan sosial.

Pandangan optimisme pengelolaan keruku­nan umat beragama juga muncul dari berbagai kajian ilmiah dan opini yang berkembang dalam pertemuan lintas agama. Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2012 telah melakukan survey nasional kerukunan umat beragama di Indonesia. Survey ini menjangkau responden di 33 provinsi dengan responden berjumlah 3.300 den­gan margin of error 1,7 %. Hasil survey menun­jukkan bahwa tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia mencapai di atas angka 3 dari skala 5. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi kerukunan di Indonesia pada saat itu sudah cu­kup harmonis. Pada tahun ini Appeal of Conscien Foundation (ACF) di new York, memberikan penghargaan “World Statesman Award” kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Meskipun awalnya banyak aktifis yang menentang, akhirnya penghargaan tersebut diterima karena sebagai penghargaan kepada seluruh umat beragama yang bekerja keras dalam menjaga keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara.

Kemanusiaan, Perdamaian dan Masa Depan

IndonesiaMemuliakan kemanusian adalah sebuah kes­

epakatan dasar dalam berbangsa dan bernegara bahkan dalam percaturan kehidupan global. Sejak awal, perjuangan kemerdekaan, revolusi Indo­nesia dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Soekarno, bapak bangsa mengatakan bahwa revolusi Indonesia adalah revolution of man-kind (Yudi latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta, Penerbit Gramedia, 2011: 237). Prinsip kesamaan kemanusiaan antarbangsa juga disampaikan oleh proklamotor Muhammad Hatta di depan sidang pengadilan di Den Haag, 9 Maret 1928. Pandangan Bung Hatta maupun Soekarna ber­corak kritis dan menggugat. Hal ini disebabkan oleh cara pandang antagonisme antara eropa dan Asia, atau antara kulit putih dan kulit berwarna ( lothrop Stoddard, Pasang Naik Kulit Berwarna (The Rising Tide of Color), Jakarta, Balai Pustaka, 1966). Spirit humanitarianisme bagi bangsa Indo­neia tidak bersifat liberal tetapi dengan batasan keadilan dan keadaban. Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila berarti kedudukan manusia adalah sebagai hamba Allah, yang satu dengan yang harus saling menghormati layaknya saudara. Keadilan berarti kesamaan dan kes­edarajatan dalam hubungan antarmanusia dan antarsuku, antarbangsa. Diskriminasi dan pembe­daan didasarkan atas primordialisme tidak sesuai dengan falsafah Pancasila.

Indonesia dan juga bangsa­bangsa lain men­galami tantangan disintegrasi bukan disebabkan oleh kurangnya persaudaraan tetapi disebabkan oleh tidak terpenuhinya rasa keadilan. Berbagai pemberontakan yang terjadi seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, adalah kerena keadilan yang tidak tercapai. Begitu juga pergolakan dae­rah seperti PRRI/Permesta dan RMS juga berakar

Page 18: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 36 37

Opini

pada masalah keadilan. Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka juga berpangkal pada tuntutan keadilan. Aksi Umat Islam tanggal 14 Oktober dan 4 november 2016 terjadi juga karena terganggunya rasa keadilan yakni peni­staan agama oleh seorang Gubernur DKI Jakarta dan oleh aparat keamanan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Semua kasus penodaan agama, pelakunya ditahan tetapi kali ini dibiarkan bebas. Rasa keadialan terganggu dan protes social dalam jumlah massif terjadi di Jakarta dan banyak kota di seluruh Indonesia. Perlawanan terhadap dominasi asing adalah naluri dasar dari semua kebudayaan. Oleh karena itu wajar jika agama digunakan sebagai garis yang membedakan antara mana yang suci dan jahat. Agama dapat menjadi kekuatan pemersatu yang lebih efektif dari sekedar etnisitas, karena agama tergantung pada kuasa yang lebih tinggi. Oleh karena itu perlawanan yang didasarkan atas agama tidak pernah dapat dipadamkan ( Fuller, A World Without Islam, new York. Back Bay Books, 2010: 243). Jihad Afganistan hingga persag saudara di dunia Arab, merupakan bukti perlawanan abadi yang dibangun berdasarkan tafsir terhadap kitab suci. Jihad atau perlawanan secara tradisional adalah perang yang dilakukan oleh khalifah yang berkuasa dalam kapasitas sebagai imam dari semua umat Islam. Jihad atau perang yang dilaku­kan oleh khalifah tunduk pada aturan dan taktik dan sasaran yang sah. Berbeda dengan fenomena kontemporer, jihadisme adalah reinterpretasi jihad yang dibangun melalui rekonstruksi politis atas Islam (Islamisme). Peperangan atau jihad baru ini tidak dilakukan oleh negara tetapi oleh actor­aktor tanpa pengakuan akan aturan atau batasan target yang telah diterima sebelumnya. Jihadisme adalah ideology yang diagamaisasikan yang melegitimasi bentuk peperangan irregular

yang dibingkai dengan istilah perang pemikiran (ghazwu al fikru). Perlawanan atau perang yang dilakukan oleh kelompok jihadis ini ditampilkan sebagai perang yang adil dari kaum tertindas melawan sang penindasnya. Perang melawan hegemoni Barat dan para pendukungnya (Bassam Tibi, Islam da Islamisme (Ismanism and Islam), Bandung, Mizan, 2016: 185­187).

Di tengah­tengan gerakan Islam moderat, di Indonesia juga berkembang gerakan radial dan liberal. Gerakan radikal Islam di Indnesia sudah ada sejak era colonial dan terus dipelihara sebagai ideology perlawanan pasca kemerdekaan hingga era reformasi. Gerakan ini lebih dikenal sebagai “garis keras”. Bagian dari gerakan ini yang radikal adalah organisasi rahasia (tandhim sirri) yang sering melakukan terror. Pada awal reformasi, kelompok ini dikenal dengan nama Al Jama’ah al Islamiyah dan saat ini sudah tidak aktif lagi. Pemikiran radikal dan kegiatan terorisme dilanjj­utkan oleh organisasi rahasia yang disebut Anshor al Khalifah (Anshar al Daulah) yang berafiliasi den­gan ISIS di Irak dan Syam. Di kalangan anak muda, penganut dan pendukung faham ASWAJA, pada akhir dekade 1990­an mengembangkan faham Islam liberal. Mereka memproklamirkan lahirnya Jaringan Islam liberal (JIl) pada tanggal 8 Maret 2001 dalam sebuah diskusi untuk pencerahan dan kebebasan pemikiran Islam Indonesia ( nuh, 2007: xvi). Mungkin banyak yang bertanya, ketika koordinator Jaringan Islam liberal, Ulil Abshar Abdalla, menyatakan bahwa akar­akar liberalisme pemikiran keislamannya justru dari ilmu­ilmu tradisional seperti ushul fiqh dan qawaidul fiqh yang dahulu diajarkan oleh para kyai pesantren. Pemikiran yang dilontarkan oleh cendekiawan nU meliputi banyak hal yang berpotensi menimbul­kan pandangan kontroversial menyangkut bidang akidah, fikih maupun tasawuf. Ber­Islam tidak

Opini

berarti sama dengan menjadi ekstrim. Atau sikap benar dalam Islam itu sama dengan berlaku hitam putih? Bukankah al­Qur’an berpesan: ya ahlal kitab la taghlu fi dinikum, hai orang­orang yang menerima Kitab Suci dari Tuhan, janganlah terlalu “ekstrem” dalam beragama. nabi pun bersabda: yassiru wa la tu’assiru, mudahkanlah dan jangan dipersulit ( Abdalla, 2005: 43­46).

Mujamil Qomar dalam disertasinya menyim­pulkan bahwa diantara pemikiran­pemikiran para cendekiawan nU, ternyata telah banyak gagasan yang jauh keluar dari dari batas­batas tradisi pemikiran nU. Pemikiran para cendekiawan nU seperti Abdurrahman Wahid, Sahal Mahfudz, Masdar Masudi, Said Agil Sirat, Ali Yafi, Thalhah Hasan telah memberi implikasi iklim intelektual di kalangan angkatan muda nU, baik mahasiswa, pelajar maupun santri pesantren. Bahkan diantara memerka ada yang memiliki pemikiran lebih lib­eral dibanding pada ulama cendekiawan mereka. Anehnya, pemikiran yang mencoba menentang tradisi pesantren itu ternyata mendapat dukun­gan deari kyai­kyai tua ( Qomar, 2002: 273; Feil­lard, 2008: 388). lengkap sudah, sejak akhir tahun 1990­an Indonesia menjadi tempat persemaian faham radikal dan liberal. Pemikiran liberal sudah berkembang menjadi gerakan. Diskusi digelar diberbagai kampus. Artikel dalam jurnal dapat dijumpai, seperti “indahnya kawin sesama jenis” yang diterbitkan oleh jurnal di IAIn Walisongo, Semarang. Beberapa kampus IAIn dalam orientasi studi mahasiswa baru, berani memasang spanduk yang sangat liberal, menghujat dan cenderung melecehkan. Beberapa tahun yang lalu di Band­ung muncul spandul “ Daerah Bebas Tuhan” dan di UIn Sunan Ampel juga muncul spanduk “ Tuhan Telah Membusuk”. Kasus­kasus tersebut adalah beberapa contoh tentang perkembangan paham liberal. Ironis memang, kalau di kalangan pen­

didikan tinggi Islam berkembang paham liberal, di kampus perguruan tinggi umum dan bahkan sekolah­sekolah menengah berkembang paham Islam radikal.

PenutupGerakan Islam moderat yang mengusung fa­

ham Aswaja yang telah menjadi bagian dari sistem keberagamaan masyarakat Muslim Indonesia terus menerus mengalami penilaian dan kritik secara internal, dikoreksi dan disesuaikan dengan perkembangan. Pengertian Aswaja secara sempit sudah ditinggalkan, dan pengertian secara inklusif diterima dan dikembangkan. namun watak dan corak khas faham Aswaja; moderasi (tawashut), keseimbangan (tawazun), dan berkeadilan (adalah) tetap dijaga dan dipelihara.

Meskipun orientasi keagamaan sebagian penganut Aswaja telah berubah ke arah funda­mental­radikal, atau progresif liberal, tradisi yang selama ini berkembang dalam masyarakat tetap terpelihara dengan baik. Bahkan beberapa dekade terakhir telah terjadi konvergensi pemahaman di kalangan umat. Tantangan yang paling mengkha­watirkan adalah berkembangannya faham dan si­kap hidup materialistik, yang juga sudah disinyalir dalam al­Qur’an (bal tu’sirunal hayata al-dunya, wa al-akhiratu khairun wa abqa). Pembacaan ter­hadap kecenderungan duniawi berbanding den­gan kesiapan menghadapi masa depan (ukhrawi) meniscayakan pemahaman kebergamaan yang moderat, toleran dan kesediaan berdialog serta bekerjasama lintas madzhab dan lintas keyakinan agama. (Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam acara Jakarta International Islamic Conference (JAIIC) yang bertemakan “Tantangan dan Solusi Dakwah Islam di Berbagai Ibukota negara” pada 29 november – 1 Desember 2016)

Page 19: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 38 39

Opini

Daftar Pustaka

Abdalla, Ulil Abhar2005 Menjadi Muslim Liberal, Penerbit nalar kerjasama

dengan Jaringan Islam liberal, Freedom Institute.

Alatas, Ismail Fajrie2010 “ Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengeta­

huan Kolonial & etnisitas, Dalam lWC. Van den Berg, Orang Arab Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu.

Ali, As’ad Said2012 Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Jakarta, lP3eS.

Atho Mudzhar2012 Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat, Jakarta, Pus­

litbang Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Berg, lWC. Van den2010 Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Penerbit Komunitas

Bambu (terj. Rahayu H)

Dhofier, Zamakhsyari1982 Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai, Jakarta, lP3eS.

Fuller, Graham e2010 A World Without Islam, new York, Back Bay Books.

Feillard, Andree 2008 NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna,

Yogyakarta, lKIS.

Hasan, noorhaidi2008 Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas

di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta Penerbit lP3eS dan KITlV Jakarta.

Ismail, Faisal2001 Islam and Pancasila: Indonesia Politics 1945-1995,

Jakarta, Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI.2004 Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Ja­

karta, Badan litbang dan Diklat Departemen Agama RI.

Jamhari, Jajang Jahrani (peny)2004 Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta, Raja

Grafindo Persada

Jaiz, Hartono Ahmad2002 Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta, Pustaka

Al­Kautsar.

Kurzman, Charles2003 Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer

Tentang Isu-Isu Global. Jakarta, Paramadina.

Mbai, Ansyaad2014 Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia. AS Produc­

tion Indonesia

Mufid, Ahmad Syafi’i 2006 Tangklukan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan

Agama di Jawa. Jakarta, Penerbit Obor.2011 Al-Zaytun The Untold Stories: Investigasi terhadap

Pesantren Paling Kontrover Sial di Indonesia, Jakarta, Penerbit alvabet.

2011 Perkembangan Paham Keagamaan Transnasionql di Indonesia, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

2012 Motivation and Root Causes of Terrorism, Jakarta, InSeP.

2012 “ Setelah Jihad dan Bom: Diskursus Dakwah Pada Masyarakat Plural” dalam Harmoni, Vol. 11 no.2 Januari­Maret.

2013 “ Radikalisasi dan Terorisme Agama, Sebab dan Upaya Pencegahan” dalam Harmoni, Vol. 12 no.1 Januari­April.

nuh, nuhrison M (ed)2007 Faham-Faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat

Perkotaan, Jakarta Badan litbang dan Diklat Departemen Agama RI.

Pijper, G.F1984 Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia

1900-1950, Jakarta Universitas Indonesia­Press. (terj. Tujiman dan Yessy

Augusdin).

Qomar, Mujamil2002 NU “Liberal” Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke

Universalisme Islam, Bandung, Penerbit Mizan.

Samudra, Imam2004 Aku Melawan Teroris, Solo, Penerbit Jazera.

Schwartz, Stehen Sulaiman,2007 Dua Wajah Islam: Modetaisme vs Fundamentalisme

Dalam Wacana Global, Jakarta, Penerbit Blantika bekerjasama dengan The Wahid Institute dan Center for Islamic Pluralism

Shiraishi, Takashi2005 Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-

1926. Jakarta Grafiti.

Tanjung, M. Alfian2006 Mengganyang Komunis: Langkah&Strategi Mengha-

dapi Kebangkitan PKI, Jakarta, Taruna Muslim Press.

Tibi, Bassam2016 Islam dan Islamisme, Bandung, Penerbit Mizan

Thoha, Anis Malik2005 Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta, Pener­

bit Prespektif.

Tim Peneliti2006 Faham-Faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat

Perkotaan, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Turmudi, endang dan Riza Sihbudi (ed)2005 Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta, lIPI Press.

Fatwa

FATWA MUI DKI JAKARTAtentang

HUKUM SUMBANGAN NoN-MUSLIMUNTUK PeMBANGUNAN MASJID

pengantaR RedaksiRubrik ini berisi seputar fatwa-fatwa MUI DKI JAKARTA, baik fatwa yang sudah lawas maupun yang terbaru. Kami berharap setiap informasi fatwa yang kami muat dapat memberikan pencera-han kepada pembaca sekalian. Berikut ini kami turunkan fatwa MUI DKI Jakarta ihwal Hukum Sumbangan Non-Muslim untuk Pembangunan Masjid yang dikeluarkan pada tahun 2001 dan kami nukil dari buku Kumpulan Fatwa MUI DKI 1975-2012. Salam.

Bismillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang ber­langsung pada tanggal 20 Rabi’ ats­Tsani 1422 H, bertepatan dengan tanggal 12 Juli 2001, yang membahas tentang Hukum Sumbangan non Mus­

lim Untuk Pembangunan Masjid, Musala, Pondok Pesantren, dan sebagainya, setelah:

Menimbang:1. Bahwa masyarakat Indonesia yang memegang

teguh dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sangat toleran terhadap pemeluk agama lain.

www.pixabay.com

Page 20: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 40 41

Fatwa

Bahkan, mereka saling bantu membantu dan tolong menolong, bukan hanya dalam ke­hidupan kemasyarakatan, tetapi juga dalam kehidupan agama.

2. Bahwa salah satu bentuk nyata dari sikap saling bantu membantu dan tolong menolong bangsa Indonesia adalah kesediaan kaum muslimin Indonesia memberikan bantuan untuk pem­bangunan rumah ibadah agama lain. Demikian juga sebaliknya, kesediaan orang­orang non muslim memberikan bantuan untuk pemban­gunan masjid, mushala, pondok pesantren dan sebagainya.

3. Bahwa sebagian umat Islam mempertanyakan tentang boleh atau tidaknya bantuan non muslim untuk pembangunan masjid, mushala, pondok pesantren dan sebagainya.

4. Bahwa untuk memberikan pemahaman ke­pada masyarakat tentang hukum bantuan non muslim untuk pembangunan masjid, mushala, pondok pesantren dan sebagainya, maka MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk segera mengeluarkan Fatwa tentang Hukum Bantuan non Muslim Untuk Pembangunan Masjid, Mushala, Pondok Pesantren dan seb­againya.

Mengingat:1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga

Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)

2. Pokok­Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – 2005

3. Pedoman Penetapan Fatwa MUI

Memperhatikan:Saran dan pendapat para ulama peserta rapat

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 20 Rabi’ ats­Tsani 1422 H bertepatan dengan tanggal 12 Juli 2001M, yang membahas tentang hukum bantuan non muslim untuk pembangunan masjid yang diajukan oleh Pengurus Yayasan Wakaf Baitus Salam Komplek Billy& Moon, Pondok Kelapa Jakarta Timur 13450 melalui suratnya no. 05/Ya Salam/2001 tanggal 1 Juli 2001.

Memutuskan:Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan

memohon ridla­nya, sesudah mengkaji perma­salahan tersebut dari al­Qur’an, as­Sunnah, dan kitab­kitab yang mu’tabar, menyampaikan fatwa sebagai berikut:

1. Panitia pembangunan masjid diperbolehkan menerima sumbangan atau bantuan dari orang­orang non muslim; baik berupa uang, bahan bangunan maupun tenaga yang di­manfaatkan untuk pembangunan masjid. Sumbangan atau bantuan tersebut diperbole­hkan, dengan syarat tidak mengikat dan tidak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dlarar) atau fitnah, baik bagi umat Islam mau­pun bagi masjid itu sendiri. Hal ini didasarkan pada dalil dan argumentasi yang disampaikan Prof. Dr. Wahbah az­Zuhaili dalam kitabnya At-Tafsir al-Munier, Juz X halaman 140­141 sebagai berikut1:

“Menurut pendapat yang paling shahih (valid) bahwa orang kafir diperbolehkan membantu pembangunan masjid dan melakukan peker-

1 Wahbah al­Zuhaili, At-Tafsir al-Munir,(Beirut: Dar al­Fikr, 1997), juz ke­10, hal. 140­141.

Fatwa

Jakarta, 15 Februari 2001 M.21 Dzulqo’dah 1421 H.

kOMisi FatwaMAJeLIS ULAMA INDoNeSIA DKI JAKARTA

Ketua, Sekretaris, ttd ttd Prof. KH. Irfan Zidny, MA KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA

Mengetahui,

Ketua Umum, Sekretaris Umum, ttd ttd KH. Achmad Mursyidi Drs. H. Moh. Zainuddin

jaan-pekerjaan yang terkait dengan pemban-gunan masjid seperti menjadi tukang batu dan tukang kayu. Karena hal ini tidak termasuk larangan yang termaktub pada ayat di atas (Surat at-Taubat, ayat 17-18). Akan tetapi, orang kafir tidak boleh menjadi pengurus masjid (takmir masjid) atau pengurus yayasan wakaf masjid….. demikian juga, orang kafir diperbolehkan membangun masjid atau mem-berikan bantuan dana pembangunan masjid dengan syarat hal itu tidak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dlarar). Jika di-jadikan sarana untuk menimbulkan bahaya atau fitnah, maka hal itu dilarang karena sama dengan masjid dlirar (masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik di Madinah pada masa Rasulullah untuk memecah belah umat Islam)”.

2. Sungguh pun orang­orang kafir (non­muslim) telah membantu pembangunan masjid, mer­

eka tidak diperbolehkan menjadi pengurus takmir masjid, pengurus yayasan wakaf mas­jid, atau pengurus di sector lain yang terkait dengan usaha­usaha memakmurkan masjid. Karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh orang­orang yang beriman. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat at­Taubah, ayat 17­18:

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat menunaikan zakat dan tidak takut kepada (sia-papun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golon-gan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. At-Taubah, 9:17-18)

Page 21: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 42 43

Tokoh

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

dua Tokoh BeTawi berjUang di jalan kooperatif

Profil dan kiprah ulama yang kooperatif nyaris tidak populer dan tidak diliput media massa secara luas. namun, ketahuilah, peran mereka sama besarnya, sama

pentingnya, seperti kedua tokoh Betawi ini.

da dua tokoh Betawi yang wafat sebelum Indonesia merdeka yang berjuang di jalan

kooperatif, yaitu Mohammad Husni Thamrin (MH Thamrin) dan Habib Utsman bin Yahya.

AMH Thamrin, tokoh pergerakan dan pahlawan nasional, wafat pada tanggal 11 Januari 1941 sedangkan Habib Utsman bin Yahya, Mufti Betawi, wafat pada hari Ahad, 19 Januari 1914.

Menurut Asv i Warman

Adam, Sejarawan lIPI, Selama ini kata “kooperatif “ memiliki konotasi kurang positif. Orang lebih menghargai tokoh yang berjuang secara non­kooperatif. namun, kedua jalur itu saling melengkapi perjuangan bangsa

Tokoh

dalam mencapai kemerdekaan. Jika Ir. Soekarno (Bung Karno) dikenal sebagai tokoh non ko­operatif, maka MH Thamrin dikenal sebagai tokoh kooperatif di dalam berjuang. Bila Bung Karno berpidato soal makro, seperti falsafah dan ideologi negara, MH Thamrin menukik kepada persoalan mikro, seperti kampung yang becek tanpa pen­erangan dan masalah banjir. Ia memprotes mengapa peruma­han elite Menteng yang dipri­oritaskan pembangunannya, sedangkan kampung kumuh diabaikan. Ia mempersoalkan harga kedelai, gula, beras, karet rakyat, kapuk, kopra, dan semua komoditas yang dihasilkan raky­at. Sikap MH Thamrin bukanlah kooperatif tanpa reserve. Dia memiliki prinsip, sebagaimana tercermin dalam pernyataannya “nasionalis kooperatif dan non­kooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama­sama yakin pada Indonesia Merdeka! Jika kami kaum kooperator merasa bahwa pendekatan kami tidak efektif, maka kami akan menjadi yang pertama mengambil arah kebijakan politik yang diperlu­kan. “ (Handelingen Volkraad, 1931­1932).

Sedangkan Habib Utsman bin Yahya dikenal sebagai ulama yang kooperatif dengan pemer­intah Hindia Belanda dalam

Hadhrami, penulis kitab Safina-tun An Najah, dikenal sangat te­gas di dalam mempertahankan kebenaran, apa pun resiko yang harus dihadapinya. Beliau juga tidak menyukai jika para ulama mendekat, bergaul, apalagi menjadi budak para pejabat. Seringkali beliau memberi na­sihat dan kritikan tajam kepada para ulama dan para kiai yang gemar mondar­mandir kepada para pejabat pemerintah Be­landa.

Martin van Bruinessen da­

lam bukunya yang berjudul “‘Pe santren and Kitab Kuning: Continuity and Change in a Tradition of Religious Learn-ing” menceritakan perbedaan pandangan dan pendirian yang terjadi antara Habib Utsman bin Yahya dan Syekh Salim bin Su­mair yang telah menjadi perde­batan di kalangan umum. Pada saat itu, tampaknya, Syekh Salim bin Sumair kurang setuju den­gan pendirian Habib Utsman bin Yahya yang loyal kepada Pemerintah Hindia Belanda.

melakukan dakwah Islam dan memperjuangan kepentingan umat. Kesediaannya menjadi Mufti Betawi dan diangkat oleh Belanda sebagai Honorair Ad-viseur (Penasehat Kehormatan) untuk urusan Arab, adalah bentuk dari sifat kooperatifnya. Jika MHT Thamrin memiliki tokoh pembanding dari sikap

kooperatifnya yang menempuh perjuangan non kooperatif, yaitu Bung Karno, maka Habib Utsman bin Yahya juga memiliki tokoh pembanding dari sikap kooperatifnya yang menempuh jalan dakwah non kooperatif, yaitu Syekh Salim bin Sumair Al Hadhrami.

Syekh Salim bin Sumair Al

Makam MH. Thamrin dan Habib Utsman bib Yahya

Page 22: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaInfo UlamaEdisi 1 l 2017 n n Edisi 1 l 2017 44 45

Tokoh

Habib Utsman bin Yahya sendiri yang pada waktu itu, sebagai Mufti Betawi yang diangkat dan disetujui oleh Pemerintah Hin­dia Belanda, sedang berusaha menjernbatani jurang pemisah antara `Alawiyyin (Habaib) den­gan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga dia merasa perlu untuk mengambil hati para pejabatnya.

Dalam rangka mengambil hari para pejabat Pemerintah Hindia Belanda, Habib Utsman bin Yahya, sebagai Mufti Betawi, memberikan beberapa fatwa yang seakan­akan mendukung program dan rencana mereka. Hal itulah yang kemudian me­nyebabkan Syekh Salim bin Sumair terlibat dalam polemik panjang dengan Habib Utsman bin Yahya yang dianggap tidak konsisten di dalam mempertah­ankan kebenaran. Syekh Salim bin Sumair memang ulama yang dikenal sangat anti dengan pemerintahan yang dholim, apalagi para penjajah kafir.

Tuduhan­tuduhan kepada Habib Utsman bin Yahya sebagai antek Belanda dari pihak­pihak yang tidak menyukainya sema­kin kuat ketika dia bersahabat dengan Snouck Hurgronje. Per­sahabatannya dengan Snouck Hurgronje memang mengun­dang kontroversi dan polemik di kalangan ulama dan cendiki­awan sampai hari ini. namun,

persahabatan tersebut terjalin karena menurut Habib Ismail bin Yahya bahwa Habib Utsman bin Yahya meyakini Snouck Hur­gronje adalah seorang Muslim yang keyakinan ini dibawanya sampai wafat. Sedangkan ketika Habib Ustman bin Yahya sudah wafat, Snocuk Hurgonje masih aktif melakukan misinya.

namun, seperti MH Thamrin, sikap kooperatif Habib Utsman bin Yahya juga bukanlah tanpa reserve. Dikisahkan oleh Habib Ali Yahya, mantan Wapemred Majalah Alkisah, bahwa pada suatu hari, Habib Utsman bin Ya­hya datang menghadap ke Gu­bernur Jenderal Hindia Belanda di Istana Buitenzorg (Istana Bogor). Kedatangannya kali ini dengan menempatkan lencana Bintang Oranye, maaf, di bagian pantatnya, bukan lagi di dada sebelah kiri. lencana Bintang Oranye (Orde van Oranye Nas-sau) diberikan oleh Ratu Be­landa, Ratu Wilhelmina, kepada Habib Utsman bin Yahya sebagai penghormatan karena peran dan jasanya kepada Pemerintah Hindia Belanda. Penempatan lencana Bintang Oranye di ba­gian pantat ini sebagai bentuk protes dan ketidaksukaan Habib Utsman bin Yahya kepada sikap Pemerintah Hindia Belanda yang terus membiarkan keberadaan peternakan babi yang berada di

pinggir sungai. Padahal Habib Utsman Bin Yahya sudah me­minta kepada Pemerintah Hin­dia Belanda agar peternakan babi itu ditutup sebab sungai di peternakan babi itu digunakan umat Islam untuk mandi dan bersuci. Habib Utsman bin Ya­hya bermaksud mengembalikan lencana Bintang Oranye kepada Ratu Belanda melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda jika peternakan babi tersebut tidak ditutup. Gubernur Jenderal Hin­dia Belanda pun mengabulkan permintaan Habib Utsman Bin Yahya dengan menutup peter­nakan babi tersebut karena tahu jika Habib Utsman Bin Yahya merupakan salah satu tokoh yang sangat disegani dan di­hormati oleh Ratu Wilhelmina.

Akhir kalam, di era sekarang ini, banyak tokoh dan ulama kita berjuang di jalan kooperatif dalam memperjuangan nasib umat dan bangsa ini. Kiprah mereka memang tidak seheroik tokoh dan ulama yang melaku­kan perjuangan di jalan non kooparatif atau cenderung kon­frontatif, bahkan profil dan kip­rah mereka nyaris tidak populer dan tidak diliput media massa secara luas. namun, ketahuilah, peran mereka sama besarnya, sama pentingnya, seperti kedua tokoh dari Betawi ini.***

Hikmah

dzaUq“Ilmu tasawuf tidak bisa dipahami dengan sekadar membaca atau mengarang kitab.

Bahkan mereka yang pakar tasawuf dan menelaah kitab­kitab tasawuf baik yang klasik maupun yang modern belum tentu mampu membedakan mana yang palsu

mana yang benar”.(Prof. Dr. Sayyed Mohamed Fadil Al­Jailani Al­Hasani)

Oleh : A. Muaz

www.pixabay.com

Page 23: Laporan Utama: MeLawan RadikaLisMe dengan isLaM …Ulama di tengah kesibukan anda, para pembaca setia. Tak lupa pula kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan Selamat Menunaikan

Info UlamaEdisi 1 l 2017 n46

Hikmah

osen saya, suatu kali, pernah memberikan tugas yang tidak laz­im: bukan paper, tidak ada urusan merujuk

buku­buku berbahasa Arab dan Inggris, tidak ada bau­baunya dengan dunia presentasi, tiada terkait aktivitas tulis­menulis sedikit pun.

Ia, Prof. K (mari kita sebut saja demikian), mengajar Kajian Tasawuf di kelas pascasarjana yang saya ikuti tiga tahun lalu. “Saya minta masing­masing anda merekam suara doa yang dibaca imam sehabis shalat berjamaah di musala atau mas­jid,” demikian pintanya. Hal ini, tegasnya, untuk menge­tahui seberapa khusyuk dan hikmat seorang imam meng­hayati doanya. Ini berarti kami mesti bawa gawai ke masjid dan diam­diam merekamnya. Semacam misi klandestin para intel. Ah, baiklah. Seminggu kemudian, kami bertemu lagi di kelas. Ada yang menyerahkan. Ada yang tidak. Saya termasuk yang sami’na wa atha’na pada perintahnya. lagipula, menarik melalukan riset­riset partisi­patif kecil­kecilan seperti ini; langsung turun ke lapangan, menukik ke jantung masyarakat yang memang rata­rata (men­gaku) Muslim.

Dan hasilnya? Ternyata ham­pir 99% pembaca doa, para imam, terdengar buru­buru melafalkanya, serupa orang

yang kebelet pipis. “Bagaimana menurut anda? Bisakah para imam tersebut menghayati doa­doa yang dibacanya? Mung­kinkah Yang Maha Kudus dan Rahman bisa dirasakan kehadi­ran­nya di dalam kalbu bila per­mohonan kepada­nya dilafalkan sebegitu cepat seperti itu,” tanyanya. Kami terdiam. Kami mafhum. Benar. Pertanyaan dan pernyataan Prof. K boleh jadi keliru, namun bila diukur proba­bilitasnya: kemungkinan marjin error­nya tipis sekali. Artinya, bisa saja pendoa yang bacanya cepat dan khusyuk dan lalu mak­bul doanya sedikit sekali. Para waliyullah atau ulama­ulama wara’, misalnya.

Uji lapangan kecil­kecilan tersebut kian meyakinkan kami bahwa banyak orang berzikir dan berdoa sejatinya memang sekadar di bibir. Tidak mere­sapinya. Tidak menikmatinya. Sekadar pengguguran ritual dan kewajiban. Saya, anda dan kita semua agaknya pernah mengal­ami situasi seperti ini. Prof K lalu menegaskan, begitulah yang terjadi pada ilmu tasawuf. Ban­yak yang mengkajinya, banyak pula yang gagal menjalaninya.

Saya teringat petuah Prof. Dr. Sayyed Mohamed Fadil Al­Jailani Al­Hasani: “Ilmu tasawuf tidak bisa dipahami dengan sekadar membaca atau menga­rang kitab. Bahkan mereka yang pakar tasawuf dan menelaah kitab­kitab tasawuf baik yang

klasik maupun yang modern belum tentu mampu membe­dakan mana yang palsu mana yang benar”.

Ya, sebagian kita agaknya memang lebih sibuk mengkaji dan memperbincangkan ilmu­nya, bersibuk­sibuk membe­dahnya, berbantahan­bantahan dengan diskursusnya ketimbang menjalani dan mengalaminya. Sejumlah ajaran dan ujaran dalam tasawuf adalah panduan ibadah kepada­nya, panduan memperbaiki diri dan hati, panduan untuk memperbagus dan memperindah perilaku sang hamba kepada Ilahi dan ciptaan­nya. namun, yang terjadi, ilmu ini lebih banyak mengendap fissutur (di lembar­lembar kertas) semata, tidak membekas fissudhur, meresap di kalbu­kalbu yang basah. Walhasil, ibadah adalah sibuk menghitung, adalah kalkulasi ritual yang melelahkan. Tidak ada dzauq di sana, tidak ada rasa yang lezat yang membuat kita merasa candu ingin menik­matinya pada tiap momennya. Saya jadi teringat jawaban Syekh Bayazid Bistami saat ditanya muridnya ihwal kenapa ia tak kunjung mendapati lezatnya beribadah. Sang waliyullah hanya berkata: “Sejatinya eng­kau (hanya) menyembah ibadah (itu sendiri). Kalau saja engkau menyembah Allah, niscaya yang kau dapati lezatnya beribadah.” Wallahu’alam bilshawab.

D