laporan pendidikan agama katolik - copy

47

Click here to load reader

Upload: thomas-santosa

Post on 26-Nov-2015

246 views

Category:

Documents


37 download

DESCRIPTION

agama

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

LAPORAN

EKSPOSURE SEPUTAR KEHIDUPAN PEDAGANG

KAKI LIMA

Kelas : L

Nama anggota kelompok :

Himawan Pamungkas / 2008 910 002

Clarissa Thursina / 2010 130 032

Dwi Kurnia Pradiptasari / 2010 130 057

Ferdinand Willfin Audyanto / 2010 320 040

Jonardi / 2010 320 124

Vidia Ayu Tofany / 2010 330 066

Ruthmaya Napitupulu / 2010 330 271

1 | E k s p o s u r e

Page 2: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

PENGANTAR

I. Mengapa Eksposure Dilaksanakan?

Pertama-tama kami ingin mengungkapkan alasan mengapa kami melakukan kegiatan

eksposure ini. Ada beberapa alasan, yaitu bahwa dengan melakukan eksposure ini kami ingin

mengetahui kehidupan di sekeliling kami yang biasanya tidak disentuh, tidak dihiraukan, dan

tidak terpikirkan oleh kami sebelumnya, bagaimana cara mereka hidup dan keseharian

mereka. Karena sebelum melakukan hal ini yang kami ketahui dari mereka hanyalah kami

tahu bahwa hidup mereka tidak semudah orang-orang lainnya.

Bagaimana mereka melibatkan iman dan kepercayaan mereka terhadap eksistensi dan

karya Tuhan dalam hidup mereka. Apakah mereka selama ini dapat bertahan meskipun dalam

kondisi yang kurang menguntungkan karena mereka percaya akan Tuhan. Seberapa besar

iman berkontribusi bagi mereka untuk bertahan dalam sulitnya kehidupan. Kami juga ingin

merasakan dan ikut terlibat dalam pengalaman iman mereka. Kami ingin mengetahui

seberapa besar iman yang mereka punyai memberikan inspirasi dan dorongan dalam hidup

mereka.

Selama ini yang kita ketahui hanyalah bahwa mereka, kaum marginal mengalami

kesusahan dalam hidupnya, tapi kita tidak pernah bertindak untuk membantu, atau setidaknya

menunjukkan simpati dan empati pada mereka. Kita tidak pernah mengetahui bagaimana

mereka harus berjuang untuk bertahan dalam hidup, melawan aspek ekonomi, sosial, dan

budaya yang terus menghimpit dan mengucilkan mereka. Tetapi dengan mengadakan

kegiatan eksposure ini, kelompok kami mencari sesuatu yang dapat kami anut dan teladani

dari mereka para kaum marginal. Iman tidak hanya ada bagi orang yang enak dalam hidup,

tapi orang yang mengalami kesusahan pun, bila sudah percaya akan kebesaran Tuhan, akan

memiliki iman dalam hidupnya, kami ingin mengetahui bagaimana mereka melibatkan iman

dalam setiap aspek kehidupan mereka, terutama saat mereka mengahadapi kenyataan yang

sulit seperti saat sekarang mereka menjadi kaum marjinal.

Selain hal di atas, alasan lain kami melakukan eksposure ini adalah karena kami ingin

melatih kepekaan dan kepedulian sosial kelompok kami. Mungkin kami biasanya hanya

bersikap acuh tak acuh, tidak peduli dengan keadaan sekitar, hanya sekedar tahu bahwa

2 | E k s p o s u r e

Page 3: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

mereka adalah kaum marginal, bahwa mereka ada di sekitar kami, tetapi kami tidak berbuat

apapun. Dengan ekposure ini, kami berharap kami bisa lebih lagi berkontribusi untuk mereka,

agar kami juga sadar bahwa kami tidak hidup sendiri saja, kami akan selalu membutuhkan

orang lain. Dengan mendalami kehidupan mereka, dan mendengar cerita-cerita mereka, serta

sedikit melakukan apa yang biasanya mereka lakukan untuk bertahan hidup, kepekaan dan

kepedulian kami dapat dilatih, karena kami jadi mengetahui keadaan mereka yang

sebenarnya.

Dengan adanya kegiatan eksposure ini, kami menjadi tahu bahwa mencari uang dan

penghasilan itu tidak semudah yang dibayangkan. Kami ingin dengan adanya eksposure yang

kami lakukan ini, kami bisa lebih merasakan dan menyadari bahwa berkat dari Tuhan tidak

akan berkesudahan, tapi kita juga harus menggunakan berkat tersebut dengan baik dan tidak

menghambur-hamburkannya. Dengan ini juga kami berharap agar kami bisa lebih hidup

seperti mereka, memanfaatkan dan mengaplikasikan talenta yang kami punya secara

maksimal dan total, dan agar kami bisa seperti mereka, hidup berkecukupan tanpa menjadi

boros tanpa alasan, karena kami telah mengetahui ada orang-orang yang tidak seberuntung

kami, dan betapa sulitnya orang berjuang dalam hidup di jaman sekarang, bagi orang mampu

maupun tidak mampu.

Alasan terakhir adalah dengan melakukan kegiatan eksposure ini kami bisa mencapai

final dalam mata kuliah pengembangan kepribadian, yaitu Pendidikan Agama Katolik.

II. Mengapa Kami Memilih Pedagang Kaki Lima Sebagai Objek Pengamatan?

Alasan kelompok kami adalah karena di sekitar kita ini sudah terlalu banyak

pedangang-pedagang yang berjualan, dan lagi-lagi seperti alasan di atas, selama ini yang kita

ketahui hanyalah barang dagangannya yang kita beli, kita hanya mengenal mereka sebagai

pedagang yang menjual makanan yang kita sukai, tapi kita tidak mengetahui mengapa

sebenarnya mereka berjualan, mengapa jumlah pedagang kaki lima terus bertambahn banyak.

Menjadi dekat dengan mereka secara emosional bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Bagaimana mereka mengimplementasikan iman dan apakah mereka masih menganggap

Tuhan itu adil pada mereka dalam hidup mereka yang berkesusahan dan berprofesi sebagai

pedagang kaki lima. Kami juga ingin mengetahui seberapa besar iman mereka pada Tuhan

menjadi inspirasi dan kekuatan dalam hidup mereka.

3 | E k s p o s u r e

Page 4: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Selain itu, alasan non-religius juga mendasari mengapa kami memilih pedagang kaki

lima sebagai objek pengamatan adalah agar kami bisa lebih menghargai apa yang kami

punyai, apa yang telah kami dapatkan. Bukan dengan maksud ingin membandingkan, tapi

ternyata masih banyak orang di luar sana yang hidupnya tidak seperti kami, yang tidak harus

menghadapi kegetiran hidup bila tidak mendapat uang saku. Dengan mendalami hidup

pedagang kaki lima, kami menjadi tahu bahwa mencari uang itu tidak semudah yang

dibayangkan, kita harus benar-benar berhati-hati dalam mengalokasikannya. Selain itu,

mereka seringkali terdiskriminasi di kalangan-kalangan masyarakat, terutama pemerintah,

karena mereka seringkali mengganggu ketertiban jalan atau lalu lintas.

Kebanyakan dari kami sebagai anak remaja tidak dapat mengontrol diri dalam

menggunakan dan memakai apa yang telah kami punya, dan terus-menerus meminta dan sulit

untuk merasa cukup. Dengan melakukan eksposure ini, kami berharap, sudut pandang dan

cara berpikir kami dapat diubah, bahwa Tuhan selalu memberi anak-anak-Nya rejeki dan

berkat yang cukup dan sesuai untuk kami, jangan pernah merasa bahwa Tuhan itu egois dan

tidak memberi apa yang kita inginkan. Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan itu jahat karena

membiarkan orang bersusah payah menjadi pedagang kaki lima untuk mendapatkan uang.

Ingat bahwa Tuhan selalu memberikan apa yang terbaik bagi kita, bukan apa yang kita minta.

Kita harus berusaha untuk mendapatkannya, dan mempergunakannya dengan baik setelah apa

yang diinginkan Tuhan menjadi milik kita benar-benar telah menjadi milik kita.

Dengan melakukan eksposure ini kami berharap agar kami bisa menjadi lebih peka

terhadap lingkungan sosial kami dan membantu bila mampu kepada mereka yang

membutuhkan.

4 | E k s p o s u r e

Page 5: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

BAB I

PENGENALAN OBJEK PENGAMATAN

Dalam eksposure ini,yang diamati sebagai objek adalah pedagang kaki lima.Yang

diamati dari pedagang kaki lima tersebut adalah bagaimana kehidupan sehari-hari yang

dijalani oleh mereka mengingat mereka adalah kaum marjinal. Berdasarkan pemikiran para

dosen-dosen di beberapa universitas Indonesia dan aktivis LSM, mereka mendefinisikan

kaum marjinal sebagai “mereka yang datang dari sektor informal, yang sering tidak punya

akses ke kekuasaan, dan yang memiliki pengaruh kecil dalam pembangunan”. Meskipun

demikian, kelompok kerja ini tetap menggunakan istilah “kaum marjinal” dan “kaum miskin

kota” secara bertukaran. Delapan kelompok marjinal dimasukkan dalam penyusunan CDS

terakhir : pedagang kaki lima, komunitas pasar tradisional, pengemudi becak, pemukim liar,

penata parkir, penyandang cacat, pemulung, dan musisi jalanan (pengamen).

(Sumber : http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/kemiskinan/112-kelompok-marjinal-di-perkotaan-dinamika-tuntunan-dan-organisasi )

Sebagai negara yang berasakan kerja sama dan gotong royong, kaum marjinal saat ini

juga semakin tidak merasakan hal tersebut berguna bagi kehidupan mereka. Semakin

majunya perkembangan zaman dan intelektual manusia menyebabkan penurunan sifat gotong

royong yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia dahulunya. Saat ini, kebanyakan dari kaum

mampu bangsa Indonesia lebih condong untuk bersikap individualisme. Sikap individualism

ini sering berakibat buruk bagi keadaan kaum marjinal di berbagai tempat. Penguasa-

penguasa pemerintahan, ekonomi, dan berbagai aspek lainnya tidak lagi memperdulikan

kaum marjinal yang juga memiliki masa depan yang lebih baik bagi kehidupan mereka.

Pada bagian ini, akan disajikan laporan penelitan dari berbagai subjek berbeda namun

memiliki profesi yang sama, yaitu sebagai pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima yang

berhasil kami wawancarai adalah pedagang pisang keju, pedagang gorengan, pedagang

cendol, pedagang bubur, pedagang pisang aroma, dan pedagang bajigur. Lokasi yang

dijadikan tempat eksposure adalah daerah sekitar UNPAR, daerah simpang Dago, daerah

Leuwi Panjang, dan Jalan Buah Batu.

5 | E k s p o s u r e

Page 6: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

1. Pedagang Pisang Keju (31 Maret dan 6 April 2011)

Eksposure terhadap pedagang pisang keju dilakukan pada tanggal 31 Maret dan 6

April. Pedagang pisang keju ini bernama Bapak Atep. Saat ini usia beliau sudah 71 tahun,

beliau lahir 2 Januari 1940. Beliau memiliki 1 saudara kandung. Bapak Atep biasa berjualan

di depan STUPA.

Pak Atep mulai tinggal di Bandung sejak tahun 1962, dan memulai usahanya

berjualan pisang keju ini sejak tahun 2000, bersamaan dengan dibukanya gedung FE Unpar.

Beliau diajarkan cara membuat pisang ini oleh orang Jerman dan Amerika. Beliau pernah

merasakan jaman penjajahan Jepang. Pada jaman itu, hampir seluruh anggota keluarganya

meninggal dunia, beliau hanya tinggal dengan saudaranya dibantu dari tetangga-tetangga

sekitarnya. Beliau tidak pernah menginjak bangku sekolah. Beliau juga tidak memiliki cita-

cita.

Penghasilan kotor yang di dapat kira-kira Rp.700.000,- per bulan.Pisang yang

diproduksi : 35-40 kg. Hasil jualan yang di peroleh Pak Atep biasanya dibagi dua dengan

pemilik. Selain berjualan, beliau juga bekerja sebagai penjaga kos-kosan di daerah

Cimbeleuit sejak tahun 1970.

Pak Atep orangnya ramah ke siapa saja, walaupun kita tidak mengenal beliau, beliau

sering menyapa orang yang lewat. Namun yang membuat kami prihatin yaitu beliau

mengalami gangguan pendengaran sehingga membuat beliau suka salah dalam melayani

pesanan pelanggan.

Beliau tidak mempunyai rumah, beliau hanya tinggal di kos-kosan yang beliau urus

bersama dengan keluarganya. Beliau sudah memiliki 4 anak dan 4 cucu, namun yang tinggal

bersama beliau hanya anaknya yang paling kecil, yang masih duduk di bangku sekolah dasar

kelas 5, yang lainnya sudah berkeluarga dan ada yang tinggal dengan saudaranya di Garut.

Kelanjutan hidup beliau tergantung dari penjualan pisang sehari-hari.

Bapak Atep seorang muslim yang taat. Beliau selalu ingat sholat walaupun sibuk

berjualan. Pa Atep percaya akan keberadaan Allah. Menurut beliau, Allah itu adil dan sangat

baik. Beliau merasakan kehadiran Allah yang dilihat dari kehidupan keluarganya yang rukun

dan tentram, serta rejeki yang telah dihasilkannya untuk kehidupannya bersama keluarga.

6 | E k s p o s u r e

Page 7: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

2. Pedagang Gorengan (2 dan 3 April 2011)

Eksposure terhadap pedagang gorengan ini dilakukan pada tanggal 2 dan 3 April

2011. Bapak ini bernama Bapak Agus Salimudin.Bapak ini sudah berusia 34 tahun. Beliau

lahir di Cilacap Jawa Tengah. Pak Agus merupakan anak kedua dari empat bersaudara,

ayahnya berprofesi sebagai petani, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga

namun sesekali menjadi buruh cuci pakaian tetangga di sekitarnya, hal ini dilakukan karena

penghasilan yang diperoleh ayahnya sebagai petani tidak mencukupi kehidupan sehari-hari

keluarga.

Pak Agus hanya mengenyam pendidikan dasar, karena alasan ekonomi ia tidak bisa

meneruskan pendidikan ke tingkat selanjutnya, begitupun dengan kakak sulung serta adik

pertamanya, mereka masing-masing hanya menempuh pendidikan sampai sekolah tingkat

menengah dan sekolah dasar

Pak Agus telah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang berusia 10 tahun dan kini

duduk di kelas 5 sekolah dasar negeri. Anak dan istrinya tinggal di Bandung. Pak Agus

sering mengeluhkan mahalnya biaya sekolah saat ini dan banyak dari kebutuhan sekolah

anaknya yang belum mampu ia penuhi.

Pak Agus tinggal di sebuah kamar kontrakan di daerah sapan, kabupaten Bandung.

Pak Agus telah tinggal di kontrakan ini selama 3 tahun berserta istri dan anaknya. Sehari-hari

Pak Agus berjualan di depan perumahan Bahagia Permai mulai pukul 14.00, istri Pak Agus,

Ibu Salimah, membantu berbelanja bahan untuk berjualan ke pasar pada pagi harinya. Setelah

itu mereka berdua mempersiapkan dagangannya dan kemudian Pak Agus pergi dari

rumahnya sekitar pukul 13.00.

Pak Agus menilai setiap tahunnya hasil dari penjualan gorengan yang ia terima selalu

menurun, hal ini menurutnya dikarenakan oleh harga bahan-bahan pokok yang terus

melambung tinggi sehingga ia terpaksa memangkas jumlah bahan yang ia beli, selain itu

semakin maraknya pedagang yang menjual dagangan serupa merupakan salah satu penyebab

mengapa penghasilan yang ia peroleh tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya. Kini keluaga Pak Agus sering kekurangan pangan karena ketidakmampuan

untuk membeli bahan-bahan pangan. Selain itu, Pak Agus juga tengah mengalami kesulitan

untuk memenuhi kebutuhan baju seragam sekolah anaknya.

7 | E k s p o s u r e

Page 8: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Pak Agus pertama kali berprofesi sebagai tukang gorengan sekitar tahun 2004 setelah

pabrik tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan dan melakukan pemberhentian terhadap

semua pekerjanya.Alasan utama Pak Agus memilih berprofesi sebagai pedangang gorengan

karena Pak Agus menilai bahwa pembuatan gorengan sangat sederhana, tidak memerlukan

modal yang besar dan hampir seluruh lapisan masyarakat menyukai gorengan

Pada awalnya Pak Agus melihat temannya yang telah lebih dahulu menjadi pedagang

gorengan dan melihat keuntungan dari usaha ini cukup menjanjikan sehingga ia memutuskan

untuk berdagang gorengan. Pak Agus biasa memulai usahanya pada pukul 14.00, bila

dagangannya sedang ramai maka ia akan pulang sekitar pukul 19.00 namun jika sedang sepi

Pak Agus biasa berdagang hingga pukul 22.00.Dalam sehari rata-rata pendapatan yang di

peroleh Pak Agus adalah Rp 150.000,- hingga Rp 200.000,-. Namun ini bukanlah

penghasilan bersih Pak Agus karena masih akan dipotong untuk pembelian bahan dagangan

berikutnya.

Kendala utama yang dikemukakan oleh Pak Agus adalah masalah modal yang terbatas

sehingga ia belum mampu mengembangkan usahanya. Saat ini penghasilan yang diperoleh

Pak Agus sudah tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, hal ini dapat dilihat

dari seringnya keluarga Pak Agus tidak memperoleh pangan yang layak karena rata-rata

jumlah penghasilan yang fluktuatif, begitu juga harga barang-barang modal yang ada di

pasaran.

Pak Agus beragama islam, dan alasannya memilih agama ini karena agama inilah

yang diajarkan oleh orang tuanya sedari ia kecil, dan menurutnya kebenaran dari agama yang

ia anut cukup dapat dipertanggung jawabkan merujuk pada adanya kitab suci. Selama

berdagang Pak Agus tetep menjalankan kegiatan beragama yaitu shalat lima waktu, Pak Agus

menjalankannya di masjid dekat perumahan tempat ia berjualan. Pak Agus menilai pekerjaan

bukan sebuah hambatan dalam menjalankan kegiatan beragama, Pak Agus meyakini adanya

Allah karena beliau telah mengalami pengalaman iman tertentu yang membuat ia yakin

bahwa Allah itu ada dan selalu memperhatikan manusia tanpa terlewat.Pak Agus menilai

Allah sebagai zat yang agung dan ada dalam diri subjek sendiri sehingga saat Pak Agus

mengalami kesulitan, ia merasa bisa membaginya dan menceritakannya pada Allah pada saat

kegiatan beragamanya dan setelah itu Pak Agus merasakan keringanan dalam masalah yang

ia hadapi.

8 | E k s p o s u r e

Page 9: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Pak Agus merasa selama ini Allah sangat adil terhadapnya meskipun ia berada dalam

kehidupan yang serba tidak kecukupan, karena bagi Pak Agus sesuatu yang lebih penting dari

harta adalah Allah yang selalu melindungi dan sangat baik terhadap keluarganya karena

masih memberikan hidup sedangkan harta akan datang seiring usaha dan niat ia dalam

bekerja.

Pak Agus tidak merasakan sesuatu yang signifikan dalam usaha-usaha yang dilakukan

pemerintah karena pada kenyataanya kehidupannya secara rill tidak menunjukan perubahan

yang brarti atas dampak adanya program-program pemerintah. Pak Agus merasa usaha

pemerintah belum maksimal karena belum mampu menyentuh semua masyarakat marjinal

dan cenderung terpusat di sebuah titik. Seharusnya pemerintah melakukan pendataan yang

lebih efektif selain itu program pemerintah seharusnya tidak hanya membegikan dana Rp

100.000,- namun lebih kepada pembukaan lapangan kerja baru, penyuluhan dan pelatihan

kerja bagi masyarakat marjinal juga pemberian modal usaha, karena menurut Pak Agus

dengan cara ini masyarakat dapat lebih mandiri juga memiliki keterampilan. Pak Agus juga

tidak memiliki kartu keterangan tidak mampu, meskipun subjek telah mengajukan pada

pemerintah setempat namun belum membuahkan hasil.

Pak Agus menilai keadaan ekonomi saat kabinet bersatu jilid pertama ataupun jilid

kedua tidak memiliki dampak positif yang signifikan selain hanya masalah-masalah yang

berpusat pada masalah politik. Pak Agus juga menilai pemerintah kurang konsisten dalam

mengatasi masalah ekonomi masyarakat karena bantuan / program pemerintah tersebut

cenderung tidak merata. Pak Agus sendiri mengharapkan pemerintah bisa membuka peluang

usaha kerja sehingga ia bisa memperoleh penghasilan lebih baik untuk keluarganya.

3. Pedagang Cendol (2 dan 4 April 2011)

Objek yang kami amati pada tanggal 2 dan 4 April 2011 adalah Bapak Nonong,

seorang penjual es cendol dan cingcau. Bapak Nonong berjualan es cendol dan cingcau di

sekitar pasar tradisional simpang Dago. Saat ini, beliau telah berusia 45 tahun. Bapak Nonong

berasal dari Tasikmalaya. Bapak Nonong memiliki empat saudara perempuan. Pak Nonong

merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Kehidupan waktu kecilnya tidak jauh berbeda

dengan kehidupannya sekarang yang hidup dengan keadaan ekonomi pas-pasan. Orangtua

laki-lakinya mulai sakit-sakitan semenjak ia berumur 10 tahun sehingga tidak bisa bekerja

banyak untuk mencari penghasilan. Semasa kecilnya, pak nonong hidup bersama keluarganya

9 | E k s p o s u r e

Page 10: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

dengan makanan pas-pasan juga. Mereka makan hanya dengan satu buah ikan asin dan satu

piring nasi untuk dibagi bersama. Akhirnya, setelah Pak Nonong lulus SD, ia tidak mau lagi

melanjutkan sekolahnya hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Pak Nonong beranggapan bahwa

lebih baik ia mencari kerja dibandingkan bersekolah melihat kondisi fisik ayahnya yang tidak

bisa lagi bekerja. Pak Nonong terjun ke lapangan diawali dengan bekerja sebagai pengamen.

Melalui hasil mengamen, ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa harus

menyusahkan orangtuanya.

Bapak Nonong memiliki tiga orang anak berjenis kelamin perempuan dan memiliki

istri yang sudah dinikahi selama 25 tahun. Anak pertama sudah menikah dan sudah

memberikannya dua orang cucu.Anak pertama ini menikah di usia 18 tahun dan sekarang

berumur 24 tahun. Suami dari anak pertama ini bekerja sebagai penjaga keamanan di

perpustakaan UNPAD. Namun, kehidupan anak dan cucu pak nonong sebagian masih

ditanggung olehnya.Anak ke-2 pak nonong saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP dan tidak

tahu harus melanjut kemana setelah lulus SMP.Anak ke-3 pak nonong saat ini juga masih

kecil dan duduk di kelas 5 SD. Istri pak nonong juga tidak bekerja.Istrinya hanya bertugas

untuk membantu mengurus anak dan keluarganya.

Pak Nonong tinggal terpisah dengan istrinya.Istri dan anaknya tinggal di tasik.

Sedangkan pak nonong tinggal di bandung, yaitu di daerah sekitar simpang dago. Kata Pak

Nonong, rumahnya di Tasik dulu pernah terkena gempa dan hancur. Namun, hal ini dapat

tertatasi ketika pemerintah memberi bantuan kepada mereka. Di Bandung, Pak Nonong

tinggal sendiri dengan mengontrak sebuah kamar. Kamar tersebut disewa dengan biaya

Rp.800.000,- per tahun. Pak nonong pulang ke Tasik hanya satu bulan sekali. Di sana ia

menetap dalam waktu seminggu.

Pertama kali Pak Nonong bekerja sebagai penjual es cendol semenjak tahun 1986,

yaitu semenjak ia mulai menikah. Motivasi pak Nonong menggeluti pekerjaan ini adalah

untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang saat itu dia sudah menikah dengan istrinya. Rata-

rata pendapatan perminggu pak nonong adalah Rp 350.000. Pendapatan yang didapatkan Pak

Nonong saat ini dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka walaupun ada beberapa hal yang

harus dikorbankan seperti sekolah anak-anaknya. Dalam menjalani pekerjaan, ada beberapa

hambatan yang harus dihadapi oleh Pak Nonong. Pertama, saat bahan-bahan dasar pembuat

es cendol yang harganya semakin naik. Ketika harga bahan mengalami kenaikan harga, Pak

Nonong tidak bisa berbuat apa-apa selain menurunkan keuntungan yang diperolehnya.

10 | E k s p o s u r e

Page 11: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Hambatan yang lain adalah ketika musim hujan, banyak orang yang tidak mau membeli es

cendol. Perasaan dominan yang di rasakan Pak Nonong saat menjalani pekerjaan lebih

banyak sukanya daripada duka. Ia menjalani setiap pekerjaannya dengan ikhlas walaupun

banyak keinginan yang belum tercapai jika hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan

es.

Agama yang dianut Pak Nonong adalah muslim. Pak Nonong sangat percaya akan

keberadaan Tuhan. Menurutnya apa yang dirasakannya saat ini adalah sesuai dengan

rancangan Tuhan. Dia percaya bahwa semuanya itu baik bagi kehidupannya. Sebagai orang

yang memiliki hati nurani, Pak Nonong juga masih memiliki rasa peduli terhadap sesamanya,

ia mau menyisihkan keuntungannya untuk kaum duafa yang hidupnya tidak lebih baik dari

kehidupa. Cara Pak Nonong merespon kehadiran Tuhan adalah dengan sholat.Walaupun Pak

Nonong tidak bisa menjalankan ibadah sholatnya penuh 5 waktu karena kendala harus

bekerja.

Saat ditanya mengenai pandangan terhadap pemerintahan SBY, menurut pak Nonong,

pemerintahan SBY tidak memikirkan rakyat. Mereka lebih mementingkan kepentingan yang

diatas dan tidak memikirkan keadaan mereka. Pak Nonong lebih memilih untuk hidup di

zaman Soeharto. Walaupun otoriter, namun Pak Nonong percaya dengan tindakan otoriter,

masyarakat hidup lebih nyaman dan aman. Pak Nonong mengungkapkan kepada kami, dia

tidak akan memilih SBY lagi sebagai presiden di Pemilu berikutnya. Namun, sebagai warga

negara yang baik, Pak Nonong tetap akan mengikuti Pemilu sebagai bentuk partisipasinya

terhadap negara ini.

Pada hari terakhir saat akan berpamitan dengan Pak Nonong, kami membantu Pak

Nonong untuk mendorong gerobak yang ia gunakan sebagai alat untuk bekerja. Selain itu

kami juga membantu membersihkan gelas dan sendok yang digunakan sebagai wadah untuk

cendol dan cingcau yang dijual oleh Pak Nonong. Tidak lupa kami bertanya kepadanya apa

pesan yang ingin disampaikan kepada kami sebagai mahasiswa yang notabene akan menjadi

generasi penerus bangsa ini. Pak Nonong berkata demikian, ”Saya mah gak tau harus bilang

apa, tapi yang pasti ya kuliah yang benar. Karena kalian dikasih kesempatan untuk kuliah,

tidak seperti keluarga saya yang susah untuk kuliah. Jangan lupa juga, kalau sudah sukses,

ingat orang kecil,bantulah mereka dengan apa yang kalian bisa. Karena kita ini hidup

bersama, jangan egoislah.”

11 | E k s p o s u r e

Page 12: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

4. Pedagang Bubur (5 dan 9 April 2011)

Pada tanggal 5 dan 9 April, kami mengadakan eksposure kepada pedagang bubur

bernama Ujang Sumantri. Pak Ujang saat ini berusia 50 tahun. Beliau lahir di Bandung dan

kehidupan masa kecilnya tidak berkecukupan. Tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA.

Pak Ujang sudah berkeluarga dan dikaruniai 2 orang anak. Anak pertama sudah lulus kuliah

D-3, anak kedua hanya tamat SMA. Keduanya bekerja di hotel. Pak Ujang sangat bangga

memiliki anak seperti mereka. Walaupun berasal dari keluarga kurang mampu, namun kedua

anaknya sekarang bisa bekerja lebih baik dari dirinya.

Pak Ujang memulai pekerjaannya tahun 1985. Ia mulai berjualan bubur karena dulu

di-PHK dari pekerjaan sebelumnya karena pabrik bangkrut. Pak Ujang biasanya bekerja dari

pagi hingga sore. Rata-rata pendapatan yang dicapainya bisa mencapai Rp.50.000,-.

Hambatan saat menjalani pekerjaan sehingga masih berada dalam keadaan marjinal adalah

saat sepinya pengunjung yang membeli dagangannya. Dari penghasilannya tersebut, Pak

Ujang bisa menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anaknya. Saat ditanya mengenai

agama, Pak Ujang mengatakan bahwa dia adalah penganut agama Islam. Sebagai umat Islam

yang taat, ia melakukan ritual ibadah dengan melaksanakan sholat lima waktu. Beliau

percaya akan adanya Tuhan karena Tuhan hanya satu. Menurutnya, ia takut untuk melakukan

dosa karena hidup ada yang mengatur dan Tuhan ada setiap saat.

Saat ditanyai mengenai pemerintahan, Pa Ujang menjawab bahwa bagi yang sangat

membutuhkan, usaha pemerintah sudah cukup baik walaupun masih banyak yang perlu

diperbaiki. Bagi Pak Ujang, keadaan ekonomi yang baik adalah ekonomi stabil, sistem kerja

dikembalikan seperti dulu bukan memakai sistem kontrak seperti sekarang. Menurutnya, hasil

kerja SBY itu sangat jelek dan harus dibenahi.

5. Pedagang Pisang Aroma ( 6 dan 9 April)

Bapak Yana adalah seorang penjual pisang yang dibalut dengan tepung, yaitu pisang

Aroma. Pisang ini sudah terkenal dari angkatan demi angkatan mahasiswa di unpar, karena

pisang ini sudah dijual semenjak 20 tahun yang lalu. Semenjak kecil, Bapak Yana selalu

membantu ayahnya untuk berjualan. Lokasi penjualan pisang Aroma ini bertempat di jalan

Menjangan, di depan sebuah rumah, di mana biasanya Bapak Yana menitipkan gerobak

pisangnya bila ia sedang tidak berjualan.

12 | E k s p o s u r e

Page 13: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Karena terkenalnya pisang ini, pemilik-pemilik rumah yang biasanya tidak begitu

menyukai bila ada yang berjualan di depan rumahnya, malah memanggil Bapak Yana untuk

berjualan di depan rumahnya, sehingga Bapak Yana tidak usah membayar biaya sewa untuk

tempat di mna ia berjualan.

Bapak Yana yang sekarang berusia 30 tahun, dulunya sempat bekerja di salah satu

provider di Indonesia yaitu Telkomsel, namun karena omsetnya yang tidak mencukupi,

akhirnya Bapak Yana memutuskan untuk melanjutkan usaha keluarga turun-temurun yaitu

berjualan pisang Aroma. Di Bandung, beliau bertempat tinggal di Jalan Jurang, selain itu ia

juga mempunyai rumah untuk dikontrakkan di Jalan Ranca Bentang nomor 3.

Bapak Yana menjadi sangat ahli dan terampil dalam membuat pisang Aroma karena

semenjak kecil ia sudah membantu ayahnya berjualan, tepatnya semenjak usia 10 tahun.

Sepulang sekolah ia langsung membantu untuk berjualan, setelah jualan hari itu selesai,

Bapak Yana baru mendapat uang saku untuk sekolah untuk besok. Bila bapak Yana tidak

membantu berjualan, maka ia tidak mendapat uang saku.

Dari dulu keluarga bapak Yana mempunyai kemampuan dalam berjualan. Ibu dari

Bapak Yana sudah menjual nasi kuning di daerah atas Unpar semenjak Bapak Yana masih

kecil, dari subuh beliau sudah berjualan, sehingga pada pukul 9 pagi, nasi kuning sudah

habis. Sore hari, ibu dari Bapak Yana mengunjungi gerobak pisang Aroma dan mengobrol

dengan anaknya, hampir semua pelanggan pisang aroma mengenal Ibu Aroma, begitu lah

julukan untuk beliau.

Bapak Yana mempunyai 3 saudara, yaitu saudara perempuan dan saudara laki-laki

yang baru saja lulus SMA. Saudara-saudara Bapak Yana membantu bapak yana untul

berjualan pisang. Karena sebentar lagi rencana nya, beliau akan membuka cabang di jalan

Burangrang. Sebelumnya beliau sudah mempunyai cabang di Jalan Taman Sari, namun tidak

berjalan begitu baik karena orang-orang yang bekerja untuk menjaga jualan Bapak Yana

tidak jujur pada akhirnya.

Bapak Yana menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SMA. Dulu saat beliau

masih bersekolah, ia tidak begitu merasakan sulitnya mencari uang, karena beliau bisa

mendapatkan uang saku dengan membantu berjualan. Namun sekarang setelah beliau

menjadi dewasa dan mempunyai keluarga, beliau mulai merasakan susahnya mencari uang.

Beliau sekarang menjadi mandiri.

13 | E k s p o s u r e

Page 14: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Beliau sudah datang ke Jalan Menjangan dari jam 5 subuh untuk menyiapkan barang

dagangannya, jam 7 jualan pun dibuka hingga jam 5 sore. Bila dagangan dalam gerobak tidak

habis dalam sehari, maka dititipkan di warung dengaan harga 600 rupiah. Harga sebuah

pisang Aroma di gerobak adalah 700rupiah. Bapak Yana sangat menjaga kepuasan

konsumennya, ia menitipkan dagangannya di warung, karena pisang tersebut masih dapat

disimpan minimal 3 hari, masih terasa enaknya. Seminggu bila disimpan di dalam kulkas.

Pelanggan Pak Yana tidak hanya berasal dari orang bandung, tapi ada juga orang

Jakarta yang datang untuk membeli pisang aroma. Mereka membeli dalam jumlah yang

banyak, begitu pula orang bandung, mereka suka memesan dari bapak yana untuk acara

arisan, ulang tahun, dan rapat. Bapak Yana mempunyai seorang istri dan 2 orang anak yang

masih kecil-kecil, keduanya laki-laki berusia 1 tahun dan 3 tahun. Sebelum mereka

mempunyai anak, dulu istrinya bekerja di farmasi, namun setelah mereka mempunyai anak,

istrinya berhenti bekerja untuk mengurus anak-anak mereka.

Penghasilan Bapak Yana dari berjualan pisang aroma cukup untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Seandainya pisang tidak habis dijual, Bapak Yana masih bisa membeli

kebutuhan pangan untuk keluarganya. Tapi menurut Bapak Yana berjualan di kota Bandung

pasti laku. Pisang yang ia jual ia dapatkan dari Pasar Sederhana. Dalam sehari ia dapat

menjual 30-40kg pisang. Bila hari itu sedang sepi penjualan, penjualan tersepi yang pernah

dialami pak yana adalah 800 pisang dalam sehari.

Omset yang didapatkan pun tidak menentu untuk setiap harinya, jumlah yang ia buat

pun tidak dapat ditentukan. Pak Yana menggoreng banyak bila saat mulai berjualan, terlihat

ramai pembeli. Hari Minggu Pak Yana tidak berjualan pisang, ia libur, kecuali bila ada

pesanan tertentu, ia akan datang ke tempat berjualan untuk menggoreng pisang sesuai

pesanan, lalu kembali pulang.

Selama Bapak Yana berjualan, hambatan yang ia dapatkan adalah habisnya pisang

sebagai bahan baku dagangannya. Atau seandainya bila pisang tidak habis, pisang yang ada

di pasar masih mentah, bila hal seperti itu terjadi, beliau memilih untuk tidak berjualan dulu

hari itu, karena takut mengecewakan pembeli yang selama ini percaya akan kualitas pisang

aroma Pak Yana. Bapak Yana paling merasakan hambatan-hambatan ini yaitu pada saat hari

raya agung, karena pisang sangat sulit ditemukan. Pisang yang Pak Yana gunakan adalah

pisang ambon.

14 | E k s p o s u r e

Page 15: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Bapak Yana adalah seorang muslim. Ia menyadari keberadaan Tuhan dalam

hidupnya, dan ia berkomunikasi dengan Tuhan dengan menjalankan sholat, meskipun di saat

ia berjualan. Bila waktu sholat telah tiba, ia menitipkan jualannya pada adiknya. Atau dulu,

bila adiknya masih bersekolah, ia menitipkan dagangannya pada orang-orang di sekitar,

tukang parkir, karena mereka sudah terpercaya. Bapak Yana sudah mengenal mereka dari

dulu. Gerobak untuk berjualan pun dari jaman ayahnya terus berada di tempat yang sama

seperti sekarang, tidak pernah dipindah.

Pemerintahan Presiden SBY yang dirasakannya, tidak membantu para pedagang

karena harga-harga semuanya naik menjadi mahal, periode sebelum SBY memimpin tidak

seperti ini. Harga gula sebagai bahan untuk berjualan naik menjadi Rp 11.000,- per kilo, dari

sebelumnya hanya Rp 4.500,- . Selain naiknya harga, janji pemerintah juga dirasakan tidak

berguna karena tidak ditepati. Beliau pernah dijanjikan Rp 5.000.000,- untuk pedagang saat

waktu kampanye sebelum pemilu dilaksanakan, tapi hingga sekarang, beliau belum

mendapatkan itu. Rapat di kelurahan sudah dilakukan, beliau sendiri juga sudah mengajukan

permintaan bantuan, tapi tidak juga mendapatkan. Meskipun dirasakan demikian saat

pemerintahan periode pertama SBY, Bapak Yana masih tetap memilih dan mengikuti pemilu.

6. Pedagang Bajigur (10 April 2011)

Bapak Ana penjual bajigur di depan Unpar sudah mulai berjualan semenjak tahun

1981. Beliau memlih untuk berjualan bajigur karena Beliau tidak memiliki pilihan lain yang

ia pandang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Selama di Bandung, beliau tinggal di daerah Geger Manah di rumah yang dikontrak

100rb setiap bulannya. Beliau hanya tinggal sendiri di sana. Bapak Ana tidak dapat

meneruskan pendidikannya, beliau hanya mencapai tingkat SD, itupun tidak sampai selesai.

Hal ini dikarenakan, dulu beliau tinggal di kampung, ia mengatakan bahwa, segala sesuatu

sulit di sana.

Beliau mempunyai seorang istri dan 4 orang anak. Semua anaknya sudah

menyelesaikan SMA, meskipun dalam perjalanan mencapai kelulusan, Bapak Ana kesulitan

dalam memberikan uang saku bagi keempat anaknya. Namun dari hasil berjualan bajigur,

Bapak Ana dapat membelikan seragam dan buku-buku pelajaran bagi anak-anaknya.

15 | E k s p o s u r e

Page 16: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Selain di depan unpar, beliau juga berjualan di sekitar Jalan Ciumbuleuit, termasuk di

belakang unpar, di RS Paru. Beliau bercerita bahwa di sana ia bisa mendapatkan banyak

pembeli di malam hari. Beliau berjualan dari jam 11 siang hingga jam 9 malam. Beliau

menganut agama Islam, ia percaya akan keberadaan Tuhan di dalam hidupnya.

Untuk soal pemerintahan, Bapak Ana sepertinya kurang mengapresiasi sistem politik

yang dijalankan sekarang. Pemerintahan pun spertinya kurang berpihak kepada para

pedagang kaki lima, mereka tidak diberi keringanan dalam membeli bahan-bahan, mereka

pun tidak mendapat BLT (Bantuan Langsung Tunai) seperti yang dijanjikan pemerintah. Baik

di Bandung ataupun di Garut, Bapak Ana tidak mendapat bantuan apapun dari pemerintah.

Sebaliknya, harga-harga melambung naik, semua kebutuhan menjadi mahal saat

pemerintahan Presiden SBY. Bagi Bapak Ana, berjualan bajigur tidak sulit, namun harga

minyak tanah yang mahal membuat ia sulit untuk mendapat keuntungan.

Waktu beliau masih kecil, beliau tidak terpikir akan cita-cita, tidak terpikir akan

menjadi apa dirinya waktu dewasa, hal ini dikarenakan beliau dulunya tinggal di kampung

dan pekerjaannya adalah menemani dan menjaga kambing-kambing.

16 | E k s p o s u r e

Page 17: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

BAB II

ANALISA MASALAH

I. Gejala Umum (Akar Masalah)

Dari berbagai pengalaman hidup yang telah kami wawancarai dan jumpai dari

beberapa objek penelitian, kami dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar dari mereka

berada dalam kaum marjinal. Mereka seringkali tersisih di antara masyarakat,

mendapatkan sikap yang kurang wajar dalam menjalankan hidup. Dari pengalaman yang

kami dapatkan, kami seringkali melihat bahwa para pedagang kaki lima seringkali

diremehkan dan dianggap tidak penting keberadaannya. Kita mungkin jarang

menggunakan mata dan pikiran kita mengamati; bagaimana mereka mencari nafkah.  Di

sekeliling kita, bahkan di tengah kehidupan masyarakat ilmiah pun menyodorkan realitas

itu. Kita bangga bahkan orgasme bergelut di masyarakat ilmiah, namun kita jarang

berpikir tentang mereka, tentang yang terpojok dalam kehidupan marginal sana;

sumbangsi apa yang tepat untuk meringankan beban hidup mereka. Mereka telah terbiasa

hidup pahit. (http://id.shvoong.com/humanities/1885071-kaum-marginal/)

Umumnya yang menjadikan mereka kaum marjinal karena keterbatasan kemampuan

mereka, yang membuat mereka disisihkan, baik kemampuan finansial maupun yang non-

finansial. Kemampuan finansial tersebut biasa dilihat dari kesanggupan seseorang untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya. Kekurangan kemampuan non-finansial umumnya berupa

kekurangan atau gangguan fisik. Orang yang tidak mampu memenuhi kemampuan

finansial atau non-finansial seringkali disebut miskin, atau berada dalam tingkat

kemiskinan. Dari beberapa sumber, kami memperoleh beberapa pengertian tentang

kemiskinan. Menurut Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk

mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal

produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan

(pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai

kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk

memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f)

informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).

17 | E k s p o s u r e

Page 18: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang

ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang.

Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan

kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat

(SMERU dalam Suharto dkk, 2004). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada

di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,

yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold).

Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk

dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan

kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan,

transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).

II. Mengapa Mereka Hidup secara Demikian?

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjadi subjek wawancara kami memiliki beberapa

kesamaan pemikiran tentang kehidupan yang mereka jalani serta harapan selanjutkan untuk

kehidupan yang mereka miliki, dari analisis yang kami lakukan ekspektasi subjek hanya

terorganisasi untuk hal-hal jangka pendek dan alasan pemenuhan kecukupan primer dan jelas

mereka tidak memiliki ekspektasi lebih lanjut menuju arah sebuah investasi baik dalam

bentuk apapun, yang mana kita ketahui investasi adalah salah satu modal utama untuk

melakukan peningkatan dalam segala aspek.

Lebih lanjut, kami melakukan kajian pada masalah ini melalui beberapa aspek yaitu

aspek individual subjek, aspek pemerintah, aspek minimnya pemanfaatan ICT dan aspek

dampak globalisasi, yang mana masing-masing dari aspek ini kami nilai memiliki keterkaitan

yang erat dengan masalah :

1. Aspek Individual Subjek

Dalam aspek ini kami mencoba mengkaji alas an mengapa subjek tidak dapat

meningkatkan taraf hidupnya berdasarkan personal subjek, dari data yang kami peroleh

melalui wawancara dengan 6 subjek PKL, maka kami dapat menarik beberapa point

utama dan universal mengapa mereka masih terjebak dalam taraf kehidupan yang sama :

Kurangnya edukasi, karena seluruh subjek yang kami wawancarai tidak sempat

menempuh pendidikan dengan maksimal atau dapat dikatakan mereka tidak

mendapatkan edukasi dasar 9 tahun yang dicangkan pemerintah dimana pendidikan

18 | E k s p o s u r e

Page 19: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

adalah modal dasar seseorang untuk berfikir maju dan mempelajari banyak

informasi yang pada akhirnya membuka pemikiran, menumbuhkan intelektual serta

memacu tumbuhnya kreativitas.

Perlakuan turun-temurun dari keluarga serta proses sosialisasi yang mereka terima

mengenai pendidikan merupakan hal sekunder yang bisa diesampingkan, serta

tentunya kesadaran yang rendah dari keluarga yang terjadi sejak lama mengenai

pentingnya sebuah edukasi yang memadai serta edukasi dapat meningkatkan taraf

kehidupan.

Pemikiran subjek yang telah terfokus pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek

sehingga mempengaruhi kegiatan konsumsi subjek sehari-hari dan membuat

kemungkinan untuk melakukan saving terbatas.

Pemikiran subjek yang telah merasa terpuaskan dengan keadaannya saat ini dan

merasa tidak perlu untuk meningkatkan kehidupan yang mereka miliki.

Tidak memiliki sikap berani untuk mengambil resiko baru,tidak memiliki sikap

kompetitif dan memiliki rasa percaya diri yang rendah menjadikan mereka tidak

dapat beranjak dari taraf kehidupan mereka.

2. Aspek Pemerintah

Dalam aspek ini kami menekankan kajian kepada pemerintah yang menjadi salah

satu alasan mengapa subjek yang kami analisis tidak dapat beranjak dari taraf hidup

mereka.Berdasar data yang kami peroleh, akar masalah ini adalah program pemerintah

yang kurang mengena pada kaum marjinal khususnya kelima subjek kami, Aksi

pemerintah cenderung lebih besar dalam perihal kampanye program dibandingkan

implementasi dari program yang dicanangkan sehingga tidak mampu meningkatkan taraf

hidup masyarakat marjinal, berikut adalah beberapa hal yang kami kaji :

Program pemerintah yang kurang spesifik dan merata sehingga program tidak

terimplementasikan secara maksimal dan tidak mampu menggangkat taraf hidup

kaum marjinal, hal ini dapat dibuktikan dengan masih tertinggalnya pembangunan di

desa-desa disbanding pembangunan di kota-kota besar sehingga mendorong

urbanisasi seperti yang subjek kami lakukan.

Program pemerintah hanya menyelesasikan masalah jangka pendek dan sama sekali

tidak menuntaskan permasalahan masyarakat marjinal, dibuktikan dengan progam

dana BLT (Bantuan Tunai Langsung) yang diberikan pemerintah sebesar

19 | E k s p o s u r e

Page 20: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Rp.100.000 setiap bulannya sama sekali tidak meningkatkan taraf hidup kaum

marjinal dan hanya memenuhi kebutuhan mereka sesaat.

Pemerintah tidak memberikan akses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat

marjinal, hal ini dibuktikan dengan minimnya program pemerintah yang berbentuk

pelatihan, penyuluhan usaha atau modal konkrit untuk usaha.

Pemerintah mendidik masyarakat marjinal kearah tidak berkemandirian dan

berkemauan untuk usaha

Pemerintah tidak menyediakan fasilitas serta iklim yang mendukung bagi kaum

marjinal agar mampu meningkatkan taraf hidupnya, contohnya saja harga barang-

barang pokok serta kebutuhan dasar yang terus merangkak naik dan tentu

mempersulit kaum marjinal.

Perhatian pemerintah yang masih minim dan kurang serius terhadap dunia

pendidikan, dibuktikan dengan masih tingginya jumlah anak usia sekolah yang tidak

bersekolah serta masih maraknya fasilitas pendidikan yang kurang memadai.

3. Aspek Minimnya Pemanfaatan ICT

Alasan mendasar kami mengkaji masalah ini melalui aspek ICT adalah

berdasarkan definisi masyarakat marjinal menurut PBB yaitu masyarakat yang terisolir

dari informasi dan akses adalah kaum marjinal, karena menurut PBB dengan terbukanya

akses serta informasi masalah kemiskinan dan kaum marjinal dapat teratasi. Begitupun

dengan subjek analisis kami, mereka mendapat minim akses informasi ICT sehingga

tentu taraf hidup mereka tidak dapat beranjak. Akses ICT yang kami maksud adalah

sebuah akses dimana tidak memerlukan infrastuktur formal untu melakukan kegiatan

khususnya kegiatan usaha, ICT tentu mempermudah baik secara langsung maupun tidak

langsung dari kehidupan subjek, berikut kami uraikan:

Secara tidak langsung, ICT dapat memeberikan akses informasi yang tidak terbatas

juga secara mungkin dapat mengedukasi subjek yang menggunakannya, sehingga

subjek dapat memperoleh input yang memajukan taraf berfikir juga menstimulasi

agar mampu meningkatkan taraf hidup.

Secara langsung, ICT dapat digunakan sebagai lahan untuk menjalankan

bisnis/usaha secara konkrit, dapat kita katakan sebagai bisnis online yang mulai

menjamur dewasa ini, bisnis ini diklaim lebih efektif dan efisien tanpa

membutuhkan banyak rangkaian ekonomi juga infrastruktur.

20 | E k s p o s u r e

Page 21: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Alasan utama mengapa askes diatas belum mampu disentuh oleh subjek adalah

sosialisasi dan pemberdayaan dari pemerintah juga masih minimnya perhatian

pemerintah terhadap bidang ICT yang mampu meningkatkan taraf kehidupan, meskipun

sudah banyak contoh konkrit di dunia bahwa ICT mampu meningkatkan taraf kehidupan

seperti yang terjadi di India beberapa tahun belakangan.

4. Aspek Dampak Globalisasi

Globalisasi yang pada akhirnya menghasilkan iklim global survival of the fittes

juga berdampak bagi kehidupan masyarakat marjinal, selain menghasilkan kesenjangan

social yang semakin memburuk, akses bagi kaum marjinal juga semakin terkekang

dengan munculnya dominasi korporasi multinasional yang memaksa beberapa

perusahaan nasional yang tidak kuat bersaing untuk gulung tikar dan berdampak pada

pemecatan buruh besar-besaran oleh beberapa perusahaan, hal inilah yang mendasari

beberapa subjek kami menjalani profesi sebagai PKL.

Namun di sisi lain globalisasi serta revolusi industry seharusnya mampu membawa

kaum marjinal naik dari taraf mereka saat ini jika diimbangi dengan fair situation and

fair trade,pada dasarnya globalisasi membuka banyak akses namun pemanfaatan terbatas

dari akses ini utamanya oleh pemerintah juga menjadikan kaum marjinal tetap bertahan

di tempatnya.

21 | E k s p o s u r e

Page 22: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

BAB III

SOLUSI

Berikut beberapa saran dan solusi kami terhadap masalah PKL yang timbul di

berbagai kota. Dengan mewujudkan nilai positif terhadap keadilan para rakyat kecil ini maka

diharapkan bahwa tujuan negara berupa pembentukan masyarakat Indonesia yang damai,

bersatu dan maju dapat segera terwujud.

1. Aspek Individual Soaial

Secara tertulis kami telah menerangkan diatas bagaimana aspek ini berpengaruh pada

taraf hidup para PKL tersebut. Dan sekarang kami akan mencoba membahas sisi lain dan

solusi dari aspek ini untuk mengurangi semakin menjamurnya SDM kita yang terikat dengan

profesi PKL ini. Dimana aspek individual sosial ini kiranya berasal dari dalam diri subjek

sendiri lah yang menjadi awal permasalahan seseorang menjadi PKL. Dapat kita lihat

berbagai point dalam aspek ini seperti ,kurangnya pendidikan, subjek yang hanya terfokus

pada kebutuhan jangka pendek, maupun sikap yang tidak berani untuk mengambil resiko

baru dalam terobosan hidupnya. Itu merupakan permasalahan-permasalahan dasar yang

kiranya harus diberantas dari pola pikir tiap-tiap individu itu.

Penanaman moral bangsa yang baik kiranya dimulai dari pemikiran tiap-tiap pribadi

yang hidup dalam suatu negara. Penting disini peran kepala negara untuk memberikan

suatu pandangan yang positif, pengaruh yang kuat ,dan ideologi untuk kehidupan yang

lebih baik. Pasalnya para penduduk ‘kelas bawah’ ini yang kerap masih mempunyai pola

pikir yang terkotak-kotak, pola pikir yang sederhana, perlu diberikan suntikan motivasi

untuk mengetahui pentingnya suatu perubahan pola pikir yang baru yang ternyata dapat

menghasilkan kehidupan baru yang lebih layak bagi mereka.

Berbagai penyuluhan dan pusat pusat pemberdayaan pun kiranya dapat menjadi solusi

konkret yang membantu mereka keluar dari paradigma lama yang masih tertinggal.

Mereka yang mengalami perlakuan turun temurun dan lingkungan sosialisasi tidak

sempurna pun kiranya harus kita ‘selamatkan’ ,mereka pun bukan mahkluk yang tidak

berakal budi yang tidak dapat merancang masa depannya. Namun hanya kesempatan lah

yang mereka butuhkan.

22 | E k s p o s u r e

Page 23: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Pendidikan pun menjadi wajib hukumnya dalam memperbaharui aspek individual subjek

dalam membangun pribadi para PKL. Dimana Pasal 31 UUD 45 kita telah dengan jelas

menyebutkan :

(1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional,

yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari

anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja

daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi

nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan

umat manusia.

Evaluasi panjang pemerintah yang tak pernah usai dalam bidang ini. Untuk

pembangunan dalam bidang pendidikan pemerintah kiranya harus dapat mengalokasikan

dana APBN dan APBD dengan tepat dan tersentuh oleh masyarakat marjinal ini.

2. Aspek Pemerintah

Pemerintah yang menggalakan keberadaan PKL selama ini kiranya juga telah menjadi

faktor bertumbuhnya angka PKL dari tahun ke tahun. Berbagai program pemerintah yang

kurang spesifik dan merata, program pemerintah hanya menyelesasikan masalah jangka

pendek, hingga pemerintah yang tidak memberikan akses untuk meningkatkan kemampuan

masyarakat marjinal, dan pemerintah mendidik masyarakat marjinal kearah tidak

berkemandirian dan berkemauan untuk usaha, adalah kesalahn kesalahan pemerintah yang

kiranya dapat dan harus diperbaiki. Beberapa pandangan kami terhadap hal-hal yang

seharusnya dilakukan pemerintah dalam pemecahan masalah PKL ini secara konkret:

23 | E k s p o s u r e

Page 24: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Pertama, pemerintah jangan hanya menggusur ,namun juga membangun. Penggusuran

yang kerap dilakukan Satpol PP telah menjadi tontonan rakyat kita sehari-hari.

Penggusuran paksa, penghancuran tanpa belas kasihan, dan perusakan adalah 3 hal

yang pasti terlihat dalam aksi pemerintah memberantas para PKL. Padahal ketentuan

hukum tentang hak milik ini telah dijamin oleh UUD 45 dan Undang-Undang nomor

39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Diantaranya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 28 G ayat (1) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak atas perlindungan

diri pribadi; keluarga; kehormatan; martabat; dan harta benda yang dibawah

kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28 H ayat (4) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak mempunyai hak

milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-

wenang.”

Pasal 28 I ayat (4) UUD 45, berbunyi “ perlindungan; pemajuan; penegakan; dan

pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama

pemerintah.”

Pasal 36 ayat (2) berbunyi “ tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya

dengan sewenang-wenang.”

Pasal 37 ayat (1) berbunyi “ pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi

kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang

wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta

pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Pasal 37 ayat (2) berbunyi “ apabila ada sesuatu benda berdasarkan ketentuan

hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik

itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal itu

dilakuakan dengan mengganti kerugian.

Pasal 40 berbunyi “ setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta

berkehidupan yang layak.”

Namun disini kami merasa menggusur tanpa membangun adalah suatu solusi yang

sekunder. Pasalnya penggusuran itu kerap tidak membuat jera para PKL, mereka

hanya akan berpindah posisi dan bukan beralih profesi. Seyogyanya pemerintah

memikirkan hal ini, bangun lah terlebih dahulu raga nya untuk membangun badannya.

24 | E k s p o s u r e

Page 25: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Bangun lah para PKL ini yang sekiranya adlah aset SDM kita yang berguna terlebih

dahulu dibanding pembangunan gedung gedung elit di negri ini. Bangun lah para PKL

ini dengan berbagai cara.

Kedua, pendampingan dan pemberdayaan terhadap pedagang khususnya pedagang

kecil ini. Pendampingan yang intensif bagi masyarakat yang minoritas ini juga

merupakan cara mengasah mereka menjadi SDM yang dapat bersaing nantinya. Intern

dalam pendekatan yang bukan berarti hanya mengetahui permasalahannya tanpe suatu

kepastian maupun tindakan yang berarti. M,emberdayakan mereka dalam sektor

sektor yang berskala kecil dulu misalnya seperti dalam koperasi. Berikan mereka

suatu skill yang dapat bersaing dengan orang lain diluar sana. Menjadi tugas

pemerintah kiranya membekali warga negara mereka dengan suatu keahlian khusus

yang nantinya akan berdampak posititf juga untuk negara ini.

Ketiga, bantuan modal dan subsidi tempat berjualan atau lapak bagi pedagang kecil

ini. Banyak juga mungkin diantara mereka yang memiliki kemampuan kualitatif

maupun kuantitatif yang baik namun tersandung masalah mendasar, yaitu biaya.

Modal, sesuatu yang diperlukan para pedagang tentunya baik skala besar, menengah,

maupun kecil layaknya PKL. Kiranya berbagai kredit peminjaman kerakyatan

menjadi sutu penolong mungkin nampaknya bagi para pengusaha kecil ini yang ini

‘banting setir’ ,namun prosedur lah yang sering kali berbenturan dengan keperluan

mereka ini. Disamping pemerintah memberikan pinjaman maupun bantuan secara

langsung, kiranya lakukan lah dengan sepenuh nya, dalam arti mereka sudah dalam

keadaan sulit, jangan dipersulit lagi. Permudah prosedur, perbanyak bantuan, dengan

begitu masyarakat yang berkompetitif akan muncul dalam negeri ini.

Keempat, pelatihan kepada pedagang mengenai manajemen kewirausahaan, dan lain

sebagainya. Pelatihan yang lebih spesifik dari sekedar pendampingan belaka rasanya

perlu ditanamkan untuk para PKL ini. Pemberdayaan dan pembimbingan yang cukup

telah menjadi modal dasar, bantuan dana yang bisa diberikan pemerintah pun telah

menjadi aset berharga, selanjutnya langkah akhir yang kiranya penyempurnaan bagi

PKL ini, yaitu pelatihan. Pelatihan untuk bidang kewirausahaan misalnya, dengan

pembekalan yang telah diberikan, kita percaya wirausaha maupun bidang lain dapat

dikuasai oleh para PKL ini.

3. Aspek Minimnya Pemanfaatan ICT (Information Communication Technology).

25 | E k s p o s u r e

Page 26: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Teknologi yang semakin canggih saat ini menuntut tiap tiap individu menyetarai

kemampuan teknologi tersebut. Kualifikasi kemampuan dalam hal teknologi ini kiranya harus

muali didlirik pemerintah dan digalakan. Berdasarkan masalah ICT ini dapat kita cari

beberapa solusi pendekatannya sebagai berikut:

Membekali tiap tiap pusat pemberdayaan PKL dengan ICT. Mengajarkan,

mengenalkan, dan membekali mereka dengan ICT bukanlah suatu kerugian dalam masa

sekarang ini.

Memperluas jaringan ICT ini sehingga tidak menjadi tabuh dalam masyarakat golongan

bawah layaknya PKL sekali pun. Pusat pembelajaran ICT dengan cuma-Cuma dari

pemerintah akan menimbulkan feedback yang positif dalam dunia bisnis Indonesia

nantinya. Seperti “internet masuk desa” pun merupakan cara tepat untuk masalah ini.

4. Aspek Dampak Globalisasi

Manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja yang sempit di era globalisasi

ini juga menjadi masalah yang perlu kita kaji solusi nya untuk pembenahan para PKL di

berbagai wilayah perkotaan. Strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan di Indonesia

dengan pola industrialisasi yang mana hanya terpusat di daerah perkotaan, sementara

kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di daerah pedesaan merupakan kesalahan

yang tidak terlihat dalam agenda pemerintah nampaknya. Kiranya untuk memerangi

globalisasi ini dan menurunkan tingkat marjinal PKL ,kita butuh beberapa langkah seperti:

Mulai memasuki kegiatan usaha berskala kecil di desa, bertujuan memperluas

kesempatan kerja dan pendapatan perkapita tiap daerah.

Mengorganisir kegiatan usaha baik per wilayah, ibukota, maupun daerah sekalipun agar

dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meminimkan profesi PKL ini.

Membangun fasilitas maupun lembaga-lembaga perbisnisan dan pemberdayaan tenaga

kerja yang didalamnya dapat mendidik dan memberikan lapangan kerja untuk

masyarakat marjinal yang minoritas ini.

Perluasan pasar yang diciptakan oleh kegiatan perdagangan antara satu pihak dan pihak

lain yang dapat memperlancar kondisi ekonomi lokal dan menyediakan lebih banyak

lapangan untuk para pencari kerja.

Dalam membangun kembali maupun menata suatu individu baru memang bukanlah

hal yang mudah, namun inilah tugas kita sebagai bangsa yang merdeka untuk terus membawa

26 | E k s p o s u r e

Page 27: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

bangsa ini ke jenjang kehidupan yang lebih baik. Kaum marjinal pun patut merasakan

kemerdekaan ini, mereka patut merasakan kehidupan yang lebih baik.

PENUTUP

I. Refleksi Iman

Dengan adanya kegiatan eksposure ini, kami mendapat banyak pelajaran hidup,

terutama tentang religiusitas iman kami. Fakta yang kami peroleh mengajarkan kepada

27 | E k s p o s u r e

Page 28: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

kami bahwa bagaimanapun keadaan kita saat ini, baik sedang beruntung atau malang, kita

harus tetap ingat dan setia kepada Tuhan. Kita harus tetap bersyukur atas segala yang kita

miliki. Janganlah kita menyalahkan Tuhan atas kejadian buruk yang menimpa diri kita.

Kita harus yakin dan percaya, sesuatu yang buruk di mata kita, bukan berarti buruk juga di

mata Tuhan.

Selain itu, seperti kita tahu bahwa iman tanpa perbuatan itu pun merupakan hal yang

sia-sia. Maka dari itu, tidak hanya dengan mengucap syukur kepada Tuhan, kita pun harus

membantu sesama kita yang membutuhkan, tanpa melakukan sikap diskriminasi atau

penyisihan terhadap mereka.

II. Suka-duka dalam Menjalani Eksposure

Banyak kejadian yang menyenangkan kami dalam melakukan kegiatan eksposure

ini. Dengan adanya kegiatan ini, kami menjadi saling mengenal satu sama lain, baik

dengan para objek penelitian maupun dengan anggota kelompok, karena awalnya kami itu

hanya asal kenal dan tahu saja. Kami pun senang dapat membantu para pedagang kaki

lima dalam menjual barang dagangan mereka. Kami banyakmendapatkan pengalaman

hidup yang berharga dengan adanya kegiatan ini.

Adapun hal yang kurang menggembirakan bagi kami dalam menjalankan kegiatan

eksposure ini. Beberapa objek yang kami teliti agak bersifat tertutup dan sulit untuk

diminta dokumentasi, padahal kami sudah dekat secara emosional dengan mereka. kami

pun mengalami kendala waktu dalam mengerjakan kegiatan eksposure ini, karena jadwal

kuliah kami yang berbeda-beda, serta banyaknya tugas yang diberikan oleh fakultas

menjelang Ujian Akhir Semester ini.

Namun, kami lebih banyak merasakan kegembiraannya dalam menjalankan kegiatan

ini, karena kami merasa senang dapat membantu orang lain yang membutuhkan, serta

kami mendapatkan pengalaman hidup yang berharga yang dapat menjadi pelajaran bagi

kami semua.

III. Manfaat bagi Perkembangan Hidup Religiusitas

Manfaat dari kegiatan eksposure ini bagi kehidupan religiusitas kami yaitu kami

menjadi semakin mengimani agama yang kami jalankan masing-masing. Di balik

kesibukan kami yang terkadang membuat kami lupa akan Tuhan, ternyata masih banyak

orang lain yang lebih sibuk dari kami tetap ingat untuk mengucap syukur kepada Tuhan.

28 | E k s p o s u r e

Page 29: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Kami menjadi sadar akan pentingnya mengucap syukur kepada Tuhan dalam segala situasi

yang ada, bukan hanya saat kondisi dimana kami senang atau gembira. Semoga pelajaran

hidup yang kami peroleh dari kegiatan eksposure ini, dapat menjadi bekal bagi kehidupan

kami seterusnya.

LAMPIRAN

Pisang Aroma :

29 | E k s p o s u r e

Page 30: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Beberapa anggota kelompok kami membantu untuk memenuhi pesanan :

Tukang gorengan :

Tukang bajigur :

30 | E k s p o s u r e

Page 31: Laporan Pendidikan Agama Katolik - Copy

Tukang cendol :

Tukang bubur :

31 | E k s p o s u r e