laporan p3

37
LAPORAN PEMICU 3 MODUL SARAF DAN JIWA Kelompok Diskusi 4 Ryan Arifin (I11110011) Minar Nur Cahyani (I11110014) Yudo Prabowo (I11110017) Agus Hendra Rao T. (I11110018) Grace Sheila Lames (I11110021) Esteria Roslina H. (I11110033) Desti Eryani (I11110044) Neneng Wulandari (I11110049) Novianus Erik Gibson (I11110063) Mulyadi (I11110069) Rosalinda (I11109093) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

Upload: neneng-wulandari

Post on 07-Dec-2014

143 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

pemicu 3 modul saraf jiwa

TRANSCRIPT

Page 1: laporan P3

LAPORAN PEMICU 3MODUL SARAF DAN JIWA

Kelompok Diskusi 4

Ryan Arifin (I11110011)

Minar Nur Cahyani (I11110014)

Yudo Prabowo (I11110017)

Agus Hendra Rao T. (I11110018)

Grace Sheila Lames (I11110021)

Esteria Roslina H. (I11110033)

Desti Eryani (I11110044)

Neneng Wulandari (I11110049)

Novianus Erik Gibson (I11110063)

Mulyadi (I11110069)

Rosalinda (I11109093)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

TANJUNGPURA

PONTIANAK

2013

Page 2: laporan P3

Pemicu 3 (Strategy problem)

Seorang laki-laki berusia 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan kedua tungkai tidak dapat

digerakkan, berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Kadang-kadang

disertai keringat malam.

Keluhan diawali dengan rasa nyeri di daerah punggung 6 bulan yang lalu. Nyeri terkadang

dirasakan menjalar ke paha kanan. Sejak 4 bulan yang lalu kedua tungkai sering kesemutan

dan mulai baal. Baal dirasakan dari daerah perut sampai ke bawah Dua bulan yang lalu pasien

mulai merasakan kedua tungkainya lemah. Makin lama makin berat sampai akhirya tidak

dapat digerakkan. Dua minggu terakhir pasien mulai sulit buang air besar dan buang air kecil.

Satu tahun sebelum pasien mengalami gejala ini, ia dipecat dari tempat kerjanya. Sejak saat

itu pasien dilaporkan bahwa ia mudah tersinggung dan menjadi marah. Dengan adanya gejala

di atas, reaksi emosi pasien menjadi lebih labil dan membuat keluarganya menjadi resah.

Pada pemeriksaan fisik di sekitar vertebra torakal tampak benjolan yang teraba keras, terfiksir

dan tidak ada nyeri tekan.

Pada pemeriksaan neurologis didapatkan hipestesi terhadap rasa raba dan nyeri setinggi

dermatom T10 ke bawah. Prorioseptif dan rasa vibrasi kedua tungkai terganggu. Kekuatan

motorik kedua tungkai 0. Klonus patela dan akiles +/+. Rossolimo dan MendelBechtrew +/+.

Pemeriksaan status mental didapatkan mood yang iritabel, afek gelisah dan serasi. Tidak

dijumpai adanya gangguan persepsi dan isi pikir pasien lebih banyak didominasi oleh

kekecewaan pasien akan kondisi dirinya yang mengalami sakit seperti itu.

Klarifikasi dan Definisi

a. Hipestesi adalah penurunan sensitivitas atau kepekaan secara abnormal.

b. Klonus adalah tanda fisik yang terjadi pada pergelangan kaki ketika pemeriksa

melakukan dorsofleksi dipertahankan beberapa saat yaitu lutut pasien sedikit ekstensi

sehingga terjadi plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian dan ritmis.

c. Prorioseptif adalah sensasi yang berasal dari dalam tubuh yaitu terdapat pada otot,

ligamen, sendi dan reseptor yang berhubungan dengan tulang.

d. Terfiksir yaitu melekat pada jaringan di atas atau di bawahnya sehingga sulit

digerakkan.

e. Afek adalah ekspresi emosi sementara yang teramati.

Page 3: laporan P3

f. Serasi adalah penggambaran keadaan normal dari ekspresi emosi yang terlihat yaitu

keserasian antara ekspresi emosi dan suasana yang dihayatinya.

Keyword

Parastesi tungkai, hiperhidrosis nokturnal, paraplegi

Analisis Masalah

Laki-laki 28 tahun dengan keluhan paraplegia, kehilangan nafsu makan sejak 2 bulan disertai

hiperhidrosis nokturnal, memiliki riwayat nyeri pada daerah punggung yang menjalar ke

daerah paha kanan, tampak benjolan yang tidak nyeri pada vertebra torakal serta sulit buang

air besar dan kecil.

Hipotesis

Laki-laki 28 tahun memiliki gejalan yang mengarah pada Guillain Barre Sindrom et causa

spondilitis TB yang dipicu oleh faktor psikogenik.

Pertanyaan Diskusi

1. Sindrom Guillain Barre

2. Spondilitis TB

3. Hubungan SGB dan spondilitis TB

4. Mekanisme kelumpuhan ekstremitas

5. Perbedaan lesi UMN dan LMN

6. Diagnosis banding untuk paraplegia

7. Hubungan faktor psikogenik dengan penyakit pasien

8. Kemungkinan tumor pada pasien

9. Interpretasi pemeriksaan neurologis dan mental pada pasien

10. Patofisiologi sulit BAB dan BAK

Page 4: laporan P3

Pembahasan

1. Sindrom Guillain Barre

a. Definisi SGB

Sindrom Guillain Barre ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat

berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah terjadi infeksi.

Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan

pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang. Periode laten antara

infeksi dan gejala polyneuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelaianan yang

terdapat disebabkan oleh suatu respone terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada

banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan. Kadang-kadang kecuali saraf

perifer dan serabut saraf spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medulla

spinalis dan medulla oblongata. Secara patologis ditemukan degenerasi myelin

dengan edema yang terdapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Sindroma Guillain-

Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada

usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya

karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat

menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.

b. Etiologi SGB

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan atau penyakit

yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara

lain:

i. Infeksi (Chlamydia, Campylobacter jejuni, Hepatitis B, Micoplasma

pneumoniae, Cytomegalovirus, Epstei-barr virus, Human immunodeficiency

virus)

ii. Vaksinasi (Group A streptococc, Rabies, Infuenza)

iii. Pembedahan

iv. Penyakit sistematik (keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis,

penyakit Addison)

v. Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi

kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1

Page 5: laporan P3

sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan

atas infeksi gastrointestinal.

Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan SGB.

Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih

diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia dimana demam tifoid masih merupakan

penyakit menular yang besar.

c. Patofisiologi

Tidak ada yang mengetahui dengan

pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat

menyerang sejumlah orang. Yang diketahui

ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem

imun menyerang tubuhnya sendiri, dan

menyebabkan suatu penyakit yang disebut

sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel

imunitas ini menyerang benda asing dan

organisme pengganggu; namun pada GBS,

sistem imun mulai menghancurkan selubung

myelin yang mengelilingi akson saraf perifer,

atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat

sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,

namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme

(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel

sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme

tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag,

untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B

Page 6: laporan P3

akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan

menyebabkan destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;

berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu

selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang

terbungkus plastik. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat

suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini

merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan

diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi

sinyal akan semakin lambat.

Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi

terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun

virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta

merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf.

Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi

sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan

merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,

myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang

berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,

sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau

terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan

kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,

termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem

imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali

pulih.

Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul

kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,

kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS

dikenal sebagai neuropati perifer.

GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.

Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal

saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi

abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri

dinamai demyelinasi primer.

Page 7: laporan P3

Pada tipe aksonal, akson

saraf itu sendiri akan rusak dalam

proses demyelinasi sekunder; hal ini

terjadi pada pasien dengan fase

inflamasi yang berat. Apabila akson

ini putus, sinyal saraf akan diblok,

dan tidak dapat ditransmisikan lebih

lanjut, sehingga timbul kelemahan

dan paralisis pada area tubuh yang

dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe

ini terjadi paling sering setelah

gejala diare, dan memiliki prognosis

yang kurang baik, karena regenerasi

akson membutuhkan waktu yang

panjang dibandingkan selubung

myelin, yang sembuh lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang

pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung

saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi,

namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

d. Gejala Klinis

i. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama

pada tungkai (tipe asenden) kemudian meluas ke lengan serta mengenai nervus

fasialis dalam 24-72 jam akibat terganggunya transmisi impuls melalui radiks

saraf anterior

ii. Kelemahan otot yang pertama terasa pada lengan (tipe desenden) atau terjadi

sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya transmisi impuls melalui

radiks saraf anterior

iii. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada

bentuk yang ringan)

iv. Parastesia yang kadang kadang mendahului kelemahan oto, tapi menghilang

dengan cepat, karena gangguan transmisi impuls lewat radiks saraf dorsalis

Page 8: laporan P3

v. Diplegia mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) karena terganggunya

transmisi impuls lewat radiks saraf motorik dan terkenanya nervus kranialis III,

IV, dan VI

vi. Disfagia atau disartria karena kelemahan nervus XI

vii. Hipotonia dan areflexia akibat terganggunya lengkung refleks

e. Diagnosis

Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan

timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan

didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi

sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnostik

SGB menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and

Stroke ( NINCDS)

Gejala utama :

1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas

2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan :

1. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4

minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90%

dalam 4 minggu.

2. Relatif simetris.

3. Gejala gangguan sensibilitas ringan.

4. Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain

dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang

< 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.

5. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang

sampai beberapa bulan.

6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala

vasomotor.

7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

Pemeriksaan LCS :

1. Peningkatan protein

2. Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik : terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi

impuls saraf

Page 9: laporan P3

f. Tata laksana

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama

secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala,

mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya.

Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan

observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di

rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.

Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :

1. Fisioterapi. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan

kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera

setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk

melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

2. Plasma exchange therapy (PE). Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan

untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada

SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,

penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek.

Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah

munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg

dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.

3. Imunoglobulin IV. Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat

menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi autoantibodi

tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir

antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.

Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian

IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB

/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil

yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg.

4. Kortikosteroid. Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat

steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

g. Komplikasi

Paralysis yang persisten, kegagalan pernafasan, ventilasi mekanik, hipotensi

atau hipertensi, tromboembolisme, pneumonia, kulit yang pecah, aritmia kardial,

ieus, aspirasi, retensi urinae, problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).

Page 10: laporan P3

2. Spondilitis TB

a. Definisi

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang

belakang. Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan

melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui

hematogen. Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB

ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.

b. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang

bersifat acid-fastnon-motile (tahanterhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering

disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA))dan tidak dapat diwarnai

dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakanteknik Ziehl-Nielson

untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-

enriched dengan periode 6-8 minggu.

Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal

bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu

tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena

paravertebralis. Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah

tertular flu.

c. Patofisiologi

Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius.

Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat

terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di

paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons

imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian

menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat

yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang

corpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.

Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial corpus

vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis

dan perlunakan corpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus

intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini

akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan

Page 11: laporan P3

infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis

akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri

atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar

ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah

vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke

berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah cervical, eksudat

terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang

muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan

menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan

ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau cavum pleura. Abses pada

vertebra thoracalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati

daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada

daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada

daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di

bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar

ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada

trigonum scarpei atau regio glutea.

Menurut Gilroy dan Meyer, abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah

vertebra thoracalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook paling sering pada

vertebra thoracalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan

nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedang yang non

paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut :

arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen thoracal paling sering

terdapat pada vertebra thoracal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini

akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah

diameter relatif antara medulla spinalis dengan canalis vertebralisnya. Intumesensia

lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra thoracalis 10, sedang canalis

vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, canalis

vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila

ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa

paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra thoracal 10.

Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4

faktor yaitu :

1. Penekanan oleh abses dingin

Page 12: laporan P3

2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis

3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya

4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :

1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan

tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang

berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah

paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal, Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi

corpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini

berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps

vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses

(abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya

dapat terbentuk sequestrum serta kerusakan discus intervertebralis. Pada saat ini

terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat

kerusakan corpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan

beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke

kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi

spondilitis tuberkulosa. Vertebra thoracalis mempunyai canalis spinalis yang

lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan

paraplegia, yaitu :

Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan

aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan

saraf sensoris.

Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita

masih dapat melakukan pekerjaannya.

Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi

gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan

defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi

secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit

Page 13: laporan P3

yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses

paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh

adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak

aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis

atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi

tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi

destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah

timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh

karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.

d. Gambaran Klinis

1) Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun

2) Suhu subferbil terutama pada malam hari dan sakit/kaku pada punggung

3) Dijumpai nyeri interkostal yang menjalar dari tulang belakang kegaris atas tengah

atas dada melalui ruang interkostal, hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks

dorsalis ditingkat torakal

4) Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal

5) Deformitas pada punggung (gibbus)

6) Pembengkakan setempat (abses)

7) Adanya proses TB

8) Kelainan neurologis berupa paraplegia, paparesis atau nyeri radiks saraf akibat

penekanan medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan

dan nyeri

9) Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas

deficit sensorik setempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal

e. Diagnosis

Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara

lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan

pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan, MRI dan

ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan

laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan

diagnosis pasti.

Page 14: laporan P3

f. Tata laksana

Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera

untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi

paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:

1. Pemberian obat antituberkulosis.

2. Dekompresi medula spinalis.

3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.

4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).

Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:

1. Terapi konservatif

a. Tirah baring (bed rest).

b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.

c. Memperbaiki keadaan umum penderita.

d. Pengobatan antituberkulosa.

Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:

i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).

a. Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg,

dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).

b. Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu

selama 4 bulan (54 kali).

ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama

sebulan, termasuk penderita yang kambuh.

1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,

Pirazinamid 1500 mg, danEtambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin

injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan

(90 kali).

2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250

mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita

bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan

spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada

vertebra.

Page 15: laporan P3

2. Terapi operatif

a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau

malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita

diberikan obat tuberkulostatik.

b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka,

debrideman, dan bone graft.

c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI

ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita

spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam

beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi

tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.

3. Hubungan Spondilitis dan SGB

GBS dan spondilitis adalah 2 penyakit yang berbeda. Antara keduanya tidak

mempunyai hubungan langsung. GBS memang dapat dipicu oleh infeksi termasuk

infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang adalah penyebab Spondilitis tuberkulosa

tapi hal ini sangatlah jarang. Dari sumber yang ada, mengatakan bahwa penyebab

infeksi tersering yang dapat memicu GBS yaitu virus (CMV, EBV) dan dari golongan

bakterinya yang tersering yaitu Campylobacter jejeni, Mycoplasma penumonia.

Page 16: laporan P3

Berikut hubungan tidak langsung antara Spondilitis dengan SGB:

Page 17: laporan P3

Lesi di segmen lumbal paling bawah dan sacral merusak motoneuron-motoneuron berikut dengan terminalia serabut-serabut kortikospinal, sehingga kelumpuhan kedua

tungkai akibat lesi itu bersifat LMN.

Kelumpuhan misalnya disebabkan oleh infeksi (mielitis transversa) yang dapat merusak 1-2 segmen medulla spinalis sekaligus.

Infeksi langsung emboli septic, luka terbuka pada tulang belakang, penjalaran osteomielitis

Reaksi imunologik dapat timbul di medulla spinalis

Setelah beberapa minggu sembuh dari penyakit viral

Dalam masa itu, sarang imunologik dapat timbul di medulla spinalis sehingga dijuluki mielitis diseminata difusa.

Serabut-serabut asendens dan desendens panjang dapat terputuss oleh salah satu lesi yang tersebar luas tersebut

Timbul kelumpuhan parsial dan defisit sensori yang tidak massif di sekujur badan atau di bagian bawah saja (paralisi)

4. Mekanisme kelumpuhan ekstremitas

Distribusi paralisis memberikan syarat yang penting untuk bagian saraf yang

rusak. Hemiplegia disebabkan kerusakan otak pada sisi berlawanan dengan paralysis,

biasanya dari stroke. Paraplegia terjadi setelah injuri pada bagian bawah batang otak ,

dan quadriplegia terjadi setelah kerusakan bagian atas batang otak pada tingkat bahu

Page 18: laporan P3

atau lebih tinggi ( saraf yang mengontrol lengan sejajar tulang belakang ). Diplegia

biasanya mengindikasikan kerusakan otak, lebih sering karena serebral palsy.

Monoplegia mungkin disebabkan pemisahan kerusakan diantara system saraf pusat atau

saraf perifer. Kelemahan atau paralysis hanya dapat terjadi pada lengan dan kaki dapat

mengindikasikan penyakit diemelinisasi.

5. Perbedaan lesi UMN dan LMN

UMN LMN

Pola kelemahan Kelemahan ekstremitas

biasanya tidak sempurna,

mempengaruhi gerakan

motorik kasar. Paling jelas

pada ekstensor ekstremitas atas

dan fleksor ekstremitas bawah.

Biasanya jelas, mengenai

sekelompok otot spesifik,

kecuali pada polineuropati

difus.

Makin ke distal makin berat.

Distribusi

kelemahan/kelumpuhan

otot

Ekstremitas superior :

abductor, eksternal rotator dan

ekstensor

Ekstremitas inferior : fleksor,

internal rotator dan dorsofleksi,

akibatnya terjadi “spasticity

posture” (tangan dan

pergelangan tangan fleksi, kaki

ekstensi).

Lesi di atas dekusasio

pyramidal : efek pada sisi

kontralateral

Lesi di bawah dekusasio

pyramidal : efek pada sisi

ipsilateral.

Otot midline/aksial : tidak

berefek melainkan lesi

bilateral.

Distribusi segmental yang

tipikal

Lokasi lesi dapat diketahui

dari insformasi distribusi

kelemahan/kelumpuhan otot.

Tonus Spastisitas : resistensi terhadap

gerak yang tergantng

Menurun

Page 19: laporan P3

kecepatan. Refleks pisau lipat,

klonus.

Refleks Meningkat

Lesi kronik : hiperrefleksi pada

deep tendon refleks (refleks arc

masih ada), juga terjadi refleks

patologis babinski dan klonus.

Lesi akut : tidak atau lemahnya

deep tendon refleks.

Menurun/tidak ada

Tidak ada deep tendon

refleks (bagian eferen refleks

arc berkurang)

Refleks abnormal tidak

bernah ada.

Tampilan otot Atrofi karena tidak dipakai

setelah mengalami kelemahan

yang lama, namun tidak

betul0betul lumpuh.

Kelumpuhan segmental,

fasikulasi bila lesi setinggi sel

kornu anterior.

Fasciculation (tanda-

tanda diinervasi)

Tidak ada Ada

6. Diagnosis banding untuk paraplegia

Paraplegia nunjukkan kondisi kelemahan/paralisis dari kedua ekstremitas bawah

dengan ekstremitas atas tetap baik. Paling sering terjadi penyakit pada medulla spinalis,

radiks spinalis dan saraf perifer, di antara sebab-sebab serebral, tumor parasagitas dan

hidrosefalus menyebabkan kelemahan tungkai bawah.

Jika timbulnya akut, mungkin sulit untuk membedakan paralisis yang disebabkan

spinalis dari saraf perifer/radiks karena kerusakan salah satu dari ini menyebabkan

flasdisitas dan hilangnya refleks.

Pada penyakit medulla spinalis akut paralisis mengenai seluruh otot di bawah

tingkat yang ditentukan, seringkali jika substansia grisea rusak secara luas, hilangnya

sensoris di bawah tingkat tertentu digabungkan (hilangnya rasa nyeri dan temeratur

akibat terkena traktus spinotalamikus dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi akibat

kerusakan kolumna posterior).

Juga pada penyakit bilateral dari medulla spinalis, sfingter kandung kemih dan

usus mengalami paralisis atau hanya perubahan fungsi yang singkat.

Page 20: laporan P3

Hilangnya sensori, jika ada lebih mungkin terdiri dari kerusakan distal pada rasa

sentuhan, vibrasi, posisi, dengan rasa nyeri dan temperature tetap baik pada beberapa

keadaan.

Paraplegia akut paling sering terjadi dalam hubungannya dengan setelah terjadinya

trauma, atau dalam hubungan dengan neoplasia metastatic.

Paraplegia subakut atau kronik pada orang dewasa akibat penyakit umum seperti

spondilitis cervical dan multipel sklerosis. Sebab-sebab lain : degenerasi gabungan

subakut, tumor medulla spinalis, diskus servikalis yang rupture, meningomielitis sifilis,

infeksi epidural kronik (penyakit fungus dan granulomatosa lainnya), penyakit system

motorik dab siringomielia.

Beberapa polyneuritis, termasuk Guliian Bare sindrom harus dipertimbangkan pada

paraplegia. Paraplegia juga mugkin disebabkan oleh lesi pada area tungkai bawah dari

koteks motoik.

Paraplegia dapat disebabkan:

a. Lesi Piramidal (UMN) yang menyebabkan paraplegi spastik

b. Lesi Lower Motor Neuron (LMN) yang menyebabkan flaccid paraplegi

Spastic Paraplegi

Spastic Paraplegi merupakan paralisis / kerusakan pada 2 tungkai karena adanya lesi

traktus piramidal bilateral. Biasanya pada medulla spinalis (spinal paraplegia) dan

jarang terjadi lesi di brain stem (cerebral paraplegia)

Penyebab Paraplegia Spinal

a. Fokal

1) Vertebral. Fraktur /dislokasi vertebra, spondylosis, Pott’s Disease, penyakit

tumor/neoplastic, deformitas columna vertebra

2) Meningeal

- Deposit leukosit ekstradural

- Meningioma

- Neurofibroma

3) Intramedullar (syringomyelial)

4) Inflamasi

- Transverse myelitis, Myelomeningitis, Myeloradiculitis

5) Vaskular

- Oklusi arteri spinal anterior

Page 21: laporan P3

b. Sistemik

Penyakit sistemik di neurologi merupakan penyakit yang dapat berefek satu / lebih

sistem selektif dan biasanya bilateral dan simetris. Ketika penyakit sistemik

menyebabkan lesi pada traktus pyramidal, maka paraplegia dapat terjadi.

Penyebab Paraplegi Cerebral

a. Penyebab di regio parasagital

1) Trauma Hematoma Subdural

2) Vaskular Trombosis sinus sagitalis superior

3) Inflamasi Enchepalitis

4) Neoplastik parasagital meningioma

5) Degenaratif Cerebral Palsy

b. Penyebab di Brain Stem Syringiobulbia dan tumor midline

7. Hubungan faktor psikogenik dengan penyakit pasien

Responsivitas sistem imun terhadap stres menjadi konsep dasar psikoneuro-

imunologi. Mekanisme hubungan tersebut diperantarai oleh mediator kimiawi seperti

glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai polipeptida melalui aksis limbik

hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat menurunkan respon imun seperti aktifitas sel

natural killer (NK), interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN

- γ).

Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi

yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui

saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah

perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan

fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah

menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti

HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid

Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori

mekanisme yang paling banyak diteliti.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman kita tentang interaksi antara

hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis, dan reaksi inflamasi yang dimediasi imun dan

sistem stress telah berkembang luas.

Page 22: laporan P3

Timbul impuls ke arah refleks miksi di medula spinalis (S2-4) Impuls diteruskan ke pusat yang tinggi yaitu inti talamus sebagai relay gyrus

postcentralis Impuls juga ditteruskan ke ganglia basal, serebelum, pons, dan hipotalamus

Dari pemicu dikatakan bahwa pasien mudah tersinggung dan menjadi marah serta

emosi lebih labil sejak dipecat dari tempat kerjanya setahun yang lalu. Tidak terdapat

hubungan langsung antara faktor psikogenik dengan spondilitis tuberkulosa yang dialami

laki laki 28 tahun ini. Kemungkinan faktor psikogeniknya hanya memperberat rasa nyeri

punggung yang dirasakan. Punggung adalah bagian yang sangat sensitive terhadap

ketegangan otot akibat stress sehari-hari. Dalam keadaan lemah dan kaku, otot punggung

mengalami spasme (kejang). Kondisi ini menyebabkan aliran darah yang mengangkut

oksigen menjadi terhambat, sehingga otot kekurangan oksigen. Akibatnya, penderita

mengalami nyeri yang semakin parah.

8. Kemungkinan tumor pada pasien

Kemungkinan tumor pada penderita dapat kita hilangkan, karena pada palpasi masa

keras tidak terasa nyeri, massa keras merupakan gibbus.

9. Patofisiologi sulit BAB dan BAK

10. Interpretasi pemeriksaan neurologis dan mental pada pasien

Pemeriksaan Neurologi Pada Pemicu Interpretasi Pemeriksaan Neurologi

Hipestesi rasa raba dan nyeri setinggi

dermatom T10 ke bawah

Terdapat gangguan pada saraf sensorik.

Kemungkinan lesi di vertebra torakal.

Proses Miksi dimulai dari tekanan intramural m. detrusor

Keadaan tekanan intramural bergantung dengan keadaan fisik kandung kemih (penuh/tidak)

Bila Vesica urinaria, maka tekanan intramural akan meningkatkan strecth reseptor

Pada lesi di sumsum tulang belakang akibat spondylitis, impuls tidak dapat diteruskan dari strecth receptor menuju pusat refleks miksi pada pusat persarafan yang lebih tinggi (talamus, gyrus

postcentralis, ke ganglia basal, serebelum, pons, dan hipotalamus

Sehingga m. detrusor tidak mendapat impuls dari n. Vesikalis superior dan n. Vesikalis inferior sehingga tidak terjadi kontraksi vesica urinaria dan menyebabkan manifestasi

klinis kesulitan BAK

Page 23: laporan P3

Torakal 10 berada di regio umbilikalis. Jika

lesi di T10 sampai ke bawah, maka, hipestesi

terjadi pada daerah umbilikalis kebawah.

Kekuatan Motorik dua tungkai adalah 0 Menunjukkan tidak ada sedikitpun kontraksi

otot, lumpuh total

Klonus Patella/akiles (+/+) Klonus adalah rentetan refleks regang otot

yang disebabkan adanya lesi UMN (refleks

patologis)

Rossolimo Merupakan refleks patologis yang

ditimbulkan saat diberikan rangsang

pengetukan pada telapak kaki dan terdapat

respon fleksi sendi interfalangeal

Mendel – Beckthtrew Merupakan refleks patologis yang

ditimbulkan saat diberikan rangsang

pengetukan pada dorsum pedis os kuboideum

dan terdapat respon fleksi sendi

interfalangeal

Pemeriksaan Status

Mental Pada Pemicu

Interpretasi Status Mental

Mood yang iritabel Ekspresi perasaan akibat mudah diganggu / dibuat marah

Afek Gelisah Merupakan gangguan ekspresi emosi yang terlihat, namun

tidak konsisten, gelisah dalam teori afek menunjukkan

penanda afek negatif tinggi. Negatif menunjukkan bahwa

pasien kecenderungan memiliki perasaan marah dan perasaan

bersalah akibat tidak mampu menafkahi keluarga karena

dipecat

Afek Serasi Serasi (appropriate afect) memilki arti ekspesi yang

disampaikan pada pasien sesuai dengan pikirannya. Misalnya :

Keadaan memiliki perasaan bersalah (gampang marah)

Kesimpulan

Laki-laki 28 tahun suspect spondilitis TB.

Page 24: laporan P3

Referensi:

Adams RD, Victor M, Ropper AH. 2005. Principles of Neurology 8th Ed. USA :McGraw

Hill.

Davey, Patrick. 2002. At a Glance Medicine. Jakarta : EGC

Harrison. 2007. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam: (Harrison's Principles of Internal

Medicine); Volume 1. Yogyakarta: EGC.

Harsono. 2009. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Surabaya. Available from:

http://www.fisiosby.com/index.php?

option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7. Last update ; 2008.

Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available

from: http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. Last update ;

2009.

Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Mayo Clinic Staff. Guillain Barre Syndrome. Available from:

http://www.mayoclinic.com/health/guillainbarresyndrome/DS004/. Last update :

2009.

Sylvia A. Price, Latraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit.

Ed: 6. Jakarta: EGC.

Wilkinson I, Lennox G. 2005. Essential Neurology 4th Ed. UK : Blackwell Publising.