laporan p3
DESCRIPTION
pemicu 3 modul saraf jiwaTRANSCRIPT
LAPORAN PEMICU 3MODUL SARAF DAN JIWA
Kelompok Diskusi 4
Ryan Arifin (I11110011)
Minar Nur Cahyani (I11110014)
Yudo Prabowo (I11110017)
Agus Hendra Rao T. (I11110018)
Grace Sheila Lames (I11110021)
Esteria Roslina H. (I11110033)
Desti Eryani (I11110044)
Neneng Wulandari (I11110049)
Novianus Erik Gibson (I11110063)
Mulyadi (I11110069)
Rosalinda (I11109093)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
PONTIANAK
2013
Pemicu 3 (Strategy problem)
Seorang laki-laki berusia 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan kedua tungkai tidak dapat
digerakkan, berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Kadang-kadang
disertai keringat malam.
Keluhan diawali dengan rasa nyeri di daerah punggung 6 bulan yang lalu. Nyeri terkadang
dirasakan menjalar ke paha kanan. Sejak 4 bulan yang lalu kedua tungkai sering kesemutan
dan mulai baal. Baal dirasakan dari daerah perut sampai ke bawah Dua bulan yang lalu pasien
mulai merasakan kedua tungkainya lemah. Makin lama makin berat sampai akhirya tidak
dapat digerakkan. Dua minggu terakhir pasien mulai sulit buang air besar dan buang air kecil.
Satu tahun sebelum pasien mengalami gejala ini, ia dipecat dari tempat kerjanya. Sejak saat
itu pasien dilaporkan bahwa ia mudah tersinggung dan menjadi marah. Dengan adanya gejala
di atas, reaksi emosi pasien menjadi lebih labil dan membuat keluarganya menjadi resah.
Pada pemeriksaan fisik di sekitar vertebra torakal tampak benjolan yang teraba keras, terfiksir
dan tidak ada nyeri tekan.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan hipestesi terhadap rasa raba dan nyeri setinggi
dermatom T10 ke bawah. Prorioseptif dan rasa vibrasi kedua tungkai terganggu. Kekuatan
motorik kedua tungkai 0. Klonus patela dan akiles +/+. Rossolimo dan MendelBechtrew +/+.
Pemeriksaan status mental didapatkan mood yang iritabel, afek gelisah dan serasi. Tidak
dijumpai adanya gangguan persepsi dan isi pikir pasien lebih banyak didominasi oleh
kekecewaan pasien akan kondisi dirinya yang mengalami sakit seperti itu.
Klarifikasi dan Definisi
a. Hipestesi adalah penurunan sensitivitas atau kepekaan secara abnormal.
b. Klonus adalah tanda fisik yang terjadi pada pergelangan kaki ketika pemeriksa
melakukan dorsofleksi dipertahankan beberapa saat yaitu lutut pasien sedikit ekstensi
sehingga terjadi plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian dan ritmis.
c. Prorioseptif adalah sensasi yang berasal dari dalam tubuh yaitu terdapat pada otot,
ligamen, sendi dan reseptor yang berhubungan dengan tulang.
d. Terfiksir yaitu melekat pada jaringan di atas atau di bawahnya sehingga sulit
digerakkan.
e. Afek adalah ekspresi emosi sementara yang teramati.
f. Serasi adalah penggambaran keadaan normal dari ekspresi emosi yang terlihat yaitu
keserasian antara ekspresi emosi dan suasana yang dihayatinya.
Keyword
Parastesi tungkai, hiperhidrosis nokturnal, paraplegi
Analisis Masalah
Laki-laki 28 tahun dengan keluhan paraplegia, kehilangan nafsu makan sejak 2 bulan disertai
hiperhidrosis nokturnal, memiliki riwayat nyeri pada daerah punggung yang menjalar ke
daerah paha kanan, tampak benjolan yang tidak nyeri pada vertebra torakal serta sulit buang
air besar dan kecil.
Hipotesis
Laki-laki 28 tahun memiliki gejalan yang mengarah pada Guillain Barre Sindrom et causa
spondilitis TB yang dipicu oleh faktor psikogenik.
Pertanyaan Diskusi
1. Sindrom Guillain Barre
2. Spondilitis TB
3. Hubungan SGB dan spondilitis TB
4. Mekanisme kelumpuhan ekstremitas
5. Perbedaan lesi UMN dan LMN
6. Diagnosis banding untuk paraplegia
7. Hubungan faktor psikogenik dengan penyakit pasien
8. Kemungkinan tumor pada pasien
9. Interpretasi pemeriksaan neurologis dan mental pada pasien
10. Patofisiologi sulit BAB dan BAK
Pembahasan
1. Sindrom Guillain Barre
a. Definisi SGB
Sindrom Guillain Barre ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat
berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah terjadi infeksi.
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan
pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang. Periode laten antara
infeksi dan gejala polyneuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelaianan yang
terdapat disebabkan oleh suatu respone terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada
banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan. Kadang-kadang kecuali saraf
perifer dan serabut saraf spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medulla
spinalis dan medulla oblongata. Secara patologis ditemukan degenerasi myelin
dengan edema yang terdapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Sindroma Guillain-
Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada
usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
b. Etiologi SGB
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan atau penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
i. Infeksi (Chlamydia, Campylobacter jejuni, Hepatitis B, Micoplasma
pneumoniae, Cytomegalovirus, Epstei-barr virus, Human immunodeficiency
virus)
ii. Vaksinasi (Group A streptococc, Rabies, Infuenza)
iii. Pembedahan
iv. Penyakit sistematik (keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis,
penyakit Addison)
v. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas infeksi gastrointestinal.
Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan SGB.
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih
diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia dimana demam tifoid masih merupakan
penyakit menular yang besar.
c. Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan
pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui
ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan
menyebabkan suatu penyakit yang disebut
sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel
imunitas ini menyerang benda asing dan
organisme pengganggu; namun pada GBS,
sistem imun mulai menghancurkan selubung
myelin yang mengelilingi akson saraf perifer,
atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat
sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme
tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag,
untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B
akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan
menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat
suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini
merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi
sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf.
Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi
sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,
myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau
terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan
kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,
termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem
imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali
pulih.
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.
Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer.
Pada tipe aksonal, akson
saraf itu sendiri akan rusak dalam
proses demyelinasi sekunder; hal ini
terjadi pada pasien dengan fase
inflamasi yang berat. Apabila akson
ini putus, sinyal saraf akan diblok,
dan tidak dapat ditransmisikan lebih
lanjut, sehingga timbul kelemahan
dan paralisis pada area tubuh yang
dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe
ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis
yang kurang baik, karena regenerasi
akson membutuhkan waktu yang
panjang dibandingkan selubung
myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang
pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung
saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi,
namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
d. Gejala Klinis
i. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama
pada tungkai (tipe asenden) kemudian meluas ke lengan serta mengenai nervus
fasialis dalam 24-72 jam akibat terganggunya transmisi impuls melalui radiks
saraf anterior
ii. Kelemahan otot yang pertama terasa pada lengan (tipe desenden) atau terjadi
sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya transmisi impuls melalui
radiks saraf anterior
iii. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada
bentuk yang ringan)
iv. Parastesia yang kadang kadang mendahului kelemahan oto, tapi menghilang
dengan cepat, karena gangguan transmisi impuls lewat radiks saraf dorsalis
v. Diplegia mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) karena terganggunya
transmisi impuls lewat radiks saraf motorik dan terkenanya nervus kranialis III,
IV, dan VI
vi. Disfagia atau disartria karena kelemahan nervus XI
vii. Hipotonia dan areflexia akibat terganggunya lengkung refleks
e. Diagnosis
Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnostik
SGB menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and
Stroke ( NINCDS)
Gejala utama :
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan :
1. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90%
dalam 4 minggu.
2. Relatif simetris.
3. Gejala gangguan sensibilitas ringan.
4. Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain
dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang
< 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
5. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang
sampai beberapa bulan.
6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala
vasomotor.
7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
Pemeriksaan LCS :
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik : terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi
impuls saraf
f. Tata laksana
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama
secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala,
mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya.
Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di
rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
1. Fisioterapi. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan
kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk
melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
2. Plasma exchange therapy (PE). Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan
untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada
SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek.
Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah
munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg
dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
3. Imunoglobulin IV. Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi autoantibodi
tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian
IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB
/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg.
4. Kortikosteroid. Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
g. Komplikasi
Paralysis yang persisten, kegagalan pernafasan, ventilasi mekanik, hipotensi
atau hipertensi, tromboembolisme, pneumonia, kulit yang pecah, aritmia kardial,
ieus, aspirasi, retensi urinae, problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
2. Spondilitis TB
a. Definisi
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang. Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan
melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui
hematogen. Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB
ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.
b. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat acid-fastnon-motile (tahanterhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering
disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA))dan tidak dapat diwarnai
dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakanteknik Ziehl-Nielson
untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-
enriched dengan periode 6-8 minggu.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal
bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu
tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena
paravertebralis. Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah
tertular flu.
c. Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius.
Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat
terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di
paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons
imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian
menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat
yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang
corpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial corpus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan corpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini
akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan
infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis
akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri
atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar
ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah
vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah cervical, eksudat
terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang
muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan
menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan
ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau cavum pleura. Abses pada
vertebra thoracalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati
daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada
daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada
daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di
bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar
ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada
trigonum scarpei atau regio glutea.
Menurut Gilroy dan Meyer, abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah
vertebra thoracalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook paling sering pada
vertebra thoracalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan
nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedang yang non
paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut :
arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen thoracal paling sering
terdapat pada vertebra thoracal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini
akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah
diameter relatif antara medulla spinalis dengan canalis vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra thoracalis 10, sedang canalis
vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, canalis
vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila
ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa
paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra thoracal 10.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4
faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :
1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan
tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah
paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal, Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi
corpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini
berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps
vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses
(abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya
dapat terbentuk sequestrum serta kerusakan discus intervertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat
kerusakan corpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan
beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke
kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberkulosa. Vertebra thoracalis mempunyai canalis spinalis yang
lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan
saraf sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit
yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh
adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak
aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis
atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah
timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh
karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.
d. Gambaran Klinis
1) Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun
2) Suhu subferbil terutama pada malam hari dan sakit/kaku pada punggung
3) Dijumpai nyeri interkostal yang menjalar dari tulang belakang kegaris atas tengah
atas dada melalui ruang interkostal, hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks
dorsalis ditingkat torakal
4) Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
5) Deformitas pada punggung (gibbus)
6) Pembengkakan setempat (abses)
7) Adanya proses TB
8) Kelainan neurologis berupa paraplegia, paparesis atau nyeri radiks saraf akibat
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan
dan nyeri
9) Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
deficit sensorik setempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal
e. Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara
lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan
pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan, MRI dan
ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan
laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan
diagnosis pasti.
f. Tata laksana
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera
untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi
paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a. Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg,
dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
b. Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu
selama 4 bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderita yang kambuh.
1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, danEtambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin
injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan
(90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250
mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
2. Terapi operatif
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita
diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka,
debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI
ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
3. Hubungan Spondilitis dan SGB
GBS dan spondilitis adalah 2 penyakit yang berbeda. Antara keduanya tidak
mempunyai hubungan langsung. GBS memang dapat dipicu oleh infeksi termasuk
infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang adalah penyebab Spondilitis tuberkulosa
tapi hal ini sangatlah jarang. Dari sumber yang ada, mengatakan bahwa penyebab
infeksi tersering yang dapat memicu GBS yaitu virus (CMV, EBV) dan dari golongan
bakterinya yang tersering yaitu Campylobacter jejeni, Mycoplasma penumonia.
Berikut hubungan tidak langsung antara Spondilitis dengan SGB:
Lesi di segmen lumbal paling bawah dan sacral merusak motoneuron-motoneuron berikut dengan terminalia serabut-serabut kortikospinal, sehingga kelumpuhan kedua
tungkai akibat lesi itu bersifat LMN.
Kelumpuhan misalnya disebabkan oleh infeksi (mielitis transversa) yang dapat merusak 1-2 segmen medulla spinalis sekaligus.
Infeksi langsung emboli septic, luka terbuka pada tulang belakang, penjalaran osteomielitis
Reaksi imunologik dapat timbul di medulla spinalis
Setelah beberapa minggu sembuh dari penyakit viral
Dalam masa itu, sarang imunologik dapat timbul di medulla spinalis sehingga dijuluki mielitis diseminata difusa.
Serabut-serabut asendens dan desendens panjang dapat terputuss oleh salah satu lesi yang tersebar luas tersebut
Timbul kelumpuhan parsial dan defisit sensori yang tidak massif di sekujur badan atau di bagian bawah saja (paralisi)
4. Mekanisme kelumpuhan ekstremitas
Distribusi paralisis memberikan syarat yang penting untuk bagian saraf yang
rusak. Hemiplegia disebabkan kerusakan otak pada sisi berlawanan dengan paralysis,
biasanya dari stroke. Paraplegia terjadi setelah injuri pada bagian bawah batang otak ,
dan quadriplegia terjadi setelah kerusakan bagian atas batang otak pada tingkat bahu
atau lebih tinggi ( saraf yang mengontrol lengan sejajar tulang belakang ). Diplegia
biasanya mengindikasikan kerusakan otak, lebih sering karena serebral palsy.
Monoplegia mungkin disebabkan pemisahan kerusakan diantara system saraf pusat atau
saraf perifer. Kelemahan atau paralysis hanya dapat terjadi pada lengan dan kaki dapat
mengindikasikan penyakit diemelinisasi.
5. Perbedaan lesi UMN dan LMN
UMN LMN
Pola kelemahan Kelemahan ekstremitas
biasanya tidak sempurna,
mempengaruhi gerakan
motorik kasar. Paling jelas
pada ekstensor ekstremitas atas
dan fleksor ekstremitas bawah.
Biasanya jelas, mengenai
sekelompok otot spesifik,
kecuali pada polineuropati
difus.
Makin ke distal makin berat.
Distribusi
kelemahan/kelumpuhan
otot
Ekstremitas superior :
abductor, eksternal rotator dan
ekstensor
Ekstremitas inferior : fleksor,
internal rotator dan dorsofleksi,
akibatnya terjadi “spasticity
posture” (tangan dan
pergelangan tangan fleksi, kaki
ekstensi).
Lesi di atas dekusasio
pyramidal : efek pada sisi
kontralateral
Lesi di bawah dekusasio
pyramidal : efek pada sisi
ipsilateral.
Otot midline/aksial : tidak
berefek melainkan lesi
bilateral.
Distribusi segmental yang
tipikal
Lokasi lesi dapat diketahui
dari insformasi distribusi
kelemahan/kelumpuhan otot.
Tonus Spastisitas : resistensi terhadap
gerak yang tergantng
Menurun
kecepatan. Refleks pisau lipat,
klonus.
Refleks Meningkat
Lesi kronik : hiperrefleksi pada
deep tendon refleks (refleks arc
masih ada), juga terjadi refleks
patologis babinski dan klonus.
Lesi akut : tidak atau lemahnya
deep tendon refleks.
Menurun/tidak ada
Tidak ada deep tendon
refleks (bagian eferen refleks
arc berkurang)
Refleks abnormal tidak
bernah ada.
Tampilan otot Atrofi karena tidak dipakai
setelah mengalami kelemahan
yang lama, namun tidak
betul0betul lumpuh.
Kelumpuhan segmental,
fasikulasi bila lesi setinggi sel
kornu anterior.
Fasciculation (tanda-
tanda diinervasi)
Tidak ada Ada
6. Diagnosis banding untuk paraplegia
Paraplegia nunjukkan kondisi kelemahan/paralisis dari kedua ekstremitas bawah
dengan ekstremitas atas tetap baik. Paling sering terjadi penyakit pada medulla spinalis,
radiks spinalis dan saraf perifer, di antara sebab-sebab serebral, tumor parasagitas dan
hidrosefalus menyebabkan kelemahan tungkai bawah.
Jika timbulnya akut, mungkin sulit untuk membedakan paralisis yang disebabkan
spinalis dari saraf perifer/radiks karena kerusakan salah satu dari ini menyebabkan
flasdisitas dan hilangnya refleks.
Pada penyakit medulla spinalis akut paralisis mengenai seluruh otot di bawah
tingkat yang ditentukan, seringkali jika substansia grisea rusak secara luas, hilangnya
sensoris di bawah tingkat tertentu digabungkan (hilangnya rasa nyeri dan temeratur
akibat terkena traktus spinotalamikus dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi akibat
kerusakan kolumna posterior).
Juga pada penyakit bilateral dari medulla spinalis, sfingter kandung kemih dan
usus mengalami paralisis atau hanya perubahan fungsi yang singkat.
Hilangnya sensori, jika ada lebih mungkin terdiri dari kerusakan distal pada rasa
sentuhan, vibrasi, posisi, dengan rasa nyeri dan temperature tetap baik pada beberapa
keadaan.
Paraplegia akut paling sering terjadi dalam hubungannya dengan setelah terjadinya
trauma, atau dalam hubungan dengan neoplasia metastatic.
Paraplegia subakut atau kronik pada orang dewasa akibat penyakit umum seperti
spondilitis cervical dan multipel sklerosis. Sebab-sebab lain : degenerasi gabungan
subakut, tumor medulla spinalis, diskus servikalis yang rupture, meningomielitis sifilis,
infeksi epidural kronik (penyakit fungus dan granulomatosa lainnya), penyakit system
motorik dab siringomielia.
Beberapa polyneuritis, termasuk Guliian Bare sindrom harus dipertimbangkan pada
paraplegia. Paraplegia juga mugkin disebabkan oleh lesi pada area tungkai bawah dari
koteks motoik.
Paraplegia dapat disebabkan:
a. Lesi Piramidal (UMN) yang menyebabkan paraplegi spastik
b. Lesi Lower Motor Neuron (LMN) yang menyebabkan flaccid paraplegi
Spastic Paraplegi
Spastic Paraplegi merupakan paralisis / kerusakan pada 2 tungkai karena adanya lesi
traktus piramidal bilateral. Biasanya pada medulla spinalis (spinal paraplegia) dan
jarang terjadi lesi di brain stem (cerebral paraplegia)
Penyebab Paraplegia Spinal
a. Fokal
1) Vertebral. Fraktur /dislokasi vertebra, spondylosis, Pott’s Disease, penyakit
tumor/neoplastic, deformitas columna vertebra
2) Meningeal
- Deposit leukosit ekstradural
- Meningioma
- Neurofibroma
3) Intramedullar (syringomyelial)
4) Inflamasi
- Transverse myelitis, Myelomeningitis, Myeloradiculitis
5) Vaskular
- Oklusi arteri spinal anterior
b. Sistemik
Penyakit sistemik di neurologi merupakan penyakit yang dapat berefek satu / lebih
sistem selektif dan biasanya bilateral dan simetris. Ketika penyakit sistemik
menyebabkan lesi pada traktus pyramidal, maka paraplegia dapat terjadi.
Penyebab Paraplegi Cerebral
a. Penyebab di regio parasagital
1) Trauma Hematoma Subdural
2) Vaskular Trombosis sinus sagitalis superior
3) Inflamasi Enchepalitis
4) Neoplastik parasagital meningioma
5) Degenaratif Cerebral Palsy
b. Penyebab di Brain Stem Syringiobulbia dan tumor midline
7. Hubungan faktor psikogenik dengan penyakit pasien
Responsivitas sistem imun terhadap stres menjadi konsep dasar psikoneuro-
imunologi. Mekanisme hubungan tersebut diperantarai oleh mediator kimiawi seperti
glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai polipeptida melalui aksis limbik
hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat menurunkan respon imun seperti aktifitas sel
natural killer (NK), interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN
- γ).
Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi
yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui
saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah
perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan
fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah
menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti
HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid
Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori
mekanisme yang paling banyak diteliti.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman kita tentang interaksi antara
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis, dan reaksi inflamasi yang dimediasi imun dan
sistem stress telah berkembang luas.
Timbul impuls ke arah refleks miksi di medula spinalis (S2-4) Impuls diteruskan ke pusat yang tinggi yaitu inti talamus sebagai relay gyrus
postcentralis Impuls juga ditteruskan ke ganglia basal, serebelum, pons, dan hipotalamus
Dari pemicu dikatakan bahwa pasien mudah tersinggung dan menjadi marah serta
emosi lebih labil sejak dipecat dari tempat kerjanya setahun yang lalu. Tidak terdapat
hubungan langsung antara faktor psikogenik dengan spondilitis tuberkulosa yang dialami
laki laki 28 tahun ini. Kemungkinan faktor psikogeniknya hanya memperberat rasa nyeri
punggung yang dirasakan. Punggung adalah bagian yang sangat sensitive terhadap
ketegangan otot akibat stress sehari-hari. Dalam keadaan lemah dan kaku, otot punggung
mengalami spasme (kejang). Kondisi ini menyebabkan aliran darah yang mengangkut
oksigen menjadi terhambat, sehingga otot kekurangan oksigen. Akibatnya, penderita
mengalami nyeri yang semakin parah.
8. Kemungkinan tumor pada pasien
Kemungkinan tumor pada penderita dapat kita hilangkan, karena pada palpasi masa
keras tidak terasa nyeri, massa keras merupakan gibbus.
9. Patofisiologi sulit BAB dan BAK
10. Interpretasi pemeriksaan neurologis dan mental pada pasien
Pemeriksaan Neurologi Pada Pemicu Interpretasi Pemeriksaan Neurologi
Hipestesi rasa raba dan nyeri setinggi
dermatom T10 ke bawah
Terdapat gangguan pada saraf sensorik.
Kemungkinan lesi di vertebra torakal.
Proses Miksi dimulai dari tekanan intramural m. detrusor
Keadaan tekanan intramural bergantung dengan keadaan fisik kandung kemih (penuh/tidak)
Bila Vesica urinaria, maka tekanan intramural akan meningkatkan strecth reseptor
Pada lesi di sumsum tulang belakang akibat spondylitis, impuls tidak dapat diteruskan dari strecth receptor menuju pusat refleks miksi pada pusat persarafan yang lebih tinggi (talamus, gyrus
postcentralis, ke ganglia basal, serebelum, pons, dan hipotalamus
Sehingga m. detrusor tidak mendapat impuls dari n. Vesikalis superior dan n. Vesikalis inferior sehingga tidak terjadi kontraksi vesica urinaria dan menyebabkan manifestasi
klinis kesulitan BAK
Torakal 10 berada di regio umbilikalis. Jika
lesi di T10 sampai ke bawah, maka, hipestesi
terjadi pada daerah umbilikalis kebawah.
Kekuatan Motorik dua tungkai adalah 0 Menunjukkan tidak ada sedikitpun kontraksi
otot, lumpuh total
Klonus Patella/akiles (+/+) Klonus adalah rentetan refleks regang otot
yang disebabkan adanya lesi UMN (refleks
patologis)
Rossolimo Merupakan refleks patologis yang
ditimbulkan saat diberikan rangsang
pengetukan pada telapak kaki dan terdapat
respon fleksi sendi interfalangeal
Mendel – Beckthtrew Merupakan refleks patologis yang
ditimbulkan saat diberikan rangsang
pengetukan pada dorsum pedis os kuboideum
dan terdapat respon fleksi sendi
interfalangeal
Pemeriksaan Status
Mental Pada Pemicu
Interpretasi Status Mental
Mood yang iritabel Ekspresi perasaan akibat mudah diganggu / dibuat marah
Afek Gelisah Merupakan gangguan ekspresi emosi yang terlihat, namun
tidak konsisten, gelisah dalam teori afek menunjukkan
penanda afek negatif tinggi. Negatif menunjukkan bahwa
pasien kecenderungan memiliki perasaan marah dan perasaan
bersalah akibat tidak mampu menafkahi keluarga karena
dipecat
Afek Serasi Serasi (appropriate afect) memilki arti ekspesi yang
disampaikan pada pasien sesuai dengan pikirannya. Misalnya :
Keadaan memiliki perasaan bersalah (gampang marah)
Kesimpulan
Laki-laki 28 tahun suspect spondilitis TB.
Referensi:
Adams RD, Victor M, Ropper AH. 2005. Principles of Neurology 8th Ed. USA :McGraw
Hill.
Davey, Patrick. 2002. At a Glance Medicine. Jakarta : EGC
Harrison. 2007. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam: (Harrison's Principles of Internal
Medicine); Volume 1. Yogyakarta: EGC.
Harsono. 2009. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Surabaya. Available from:
http://www.fisiosby.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7. Last update ; 2008.
Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. Last update ;
2009.
Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Mayo Clinic Staff. Guillain Barre Syndrome. Available from:
http://www.mayoclinic.com/health/guillainbarresyndrome/DS004/. Last update :
2009.
Sylvia A. Price, Latraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit.
Ed: 6. Jakarta: EGC.
Wilkinson I, Lennox G. 2005. Essential Neurology 4th Ed. UK : Blackwell Publising.