laporan kasus penatalaksaan syok
TRANSCRIPT
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
1/33
Laporan Kasus
PENATALAKSANAAN SYOK
PEMBIMBING : dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp.An, KAKV
PENYUSUN :
Benny Sihombing 110100057
Sri Wulandari 110100104
Shinta Pedia Dinanti 110100324
KEPANITERAAN KLINIK RSUP. HAJI ADAM MALIK
DEPARTEMEN ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
2/33
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yangberjudul Penatalaksanaan Syok.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Anastesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp.An, KAKV yang telah meluangkan
waktunya dan memberi banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini
sehingga penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat. Akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, April 2016
Penulis
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
3/33
ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1. Definisi .......................................................................................... 3
2.2. Klasifikasi ...................................................................................... 3
2.3. Patofisiologi .................................................................................. 4
2.4. Penatalaksanaan ............................................................................ 7
BAB 3 LAPORAN KASUS ........................................................................... 20
BAB 4 DISKUSI DAN PEMBAHASAN ...................................................... 25
BAB 5 KESIMPULAN .................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
4/33
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik
dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul
akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan masif,
trauma dan luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau
emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok
sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon
imun (syok anafilaktik).1
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi
yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan
darah yang cepat (syok hemoragik).1
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hipovolemik. Syok hipovolemik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan
darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.2
Resusitasi awal pasien trauma membutuhkan survei primer (Primary Survey),
resusitasi yang dilakukan bersamaan, dan identifikasi cedera-cedera yang
membutuhkan tindakan operasi dengan segera. Tujuan dari survei primer ini
adalah untuk dapat bertindak secara sistematik dimulai dari keadaan-keadaan yang
paling mengancam nyawa pasien. Jika terdapat suatu masalah yang mengancam
nyawa sudah terdeteksi, masalah tersebut diatasi terlebih dahulu sebelum
melakukan langkah selanjutnya dalam survei primer. Pemeriksaan dari kepala
hingga kaki tidak mendesak untuk dilakukan sebelum tanda-tanda vital stabil.3
Hal-hal yang dilakukan pada survei primer biasa disingkat sebagai ABCDE,
yaitu airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang dilakukan
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
5/33
2
selama 2-5 menit saja.Secondary surveyadalah pemeriksaan yang dilakukan dari
kepala hingga kaki (head-to-toe examination). Secondary surveydilakukan setelah
primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC pasien dipastikan
membaik.3
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
6/33
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik
dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.1
2.2 Klasifikasi
Secara umum, syok dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab,
yaitu:
1. Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)
Syok hipovolemik terjadi karena volume intravaskuler berkurang akibat
perdarahan, kehilangan cairan akibat diare, luka bakar, muntah, dan third space
loss, sehingga menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel tidak adekuat.4
Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik
adalah CO (cardiac output) , BP (blood pressure) , SVR (systemic vascular
resistance) , dan CVP (central venous pressure) . 4
Terapi syok hipovolemik bertujuan untuk restorasi volume intravaskuler,
dengan target utama mengembalikan tekanan darah, nadi, dan perfusi organ secara
optimal. Bila kondisi hipovolemia telah teratasi dengan baik, selanjutnya pasien
dapat diberi agen vasoaktif, seperti dopamine, dobutamine.4
2. Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
Syok kardiogenik terjadi apabila terdapat gangguan kontraktilitas miokardium,
sehingga jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah
jantung yang adekuat. Disfungsi ini dapat terjadi pada saat sistolik atau diastolik
atau dapat terjadi akibat obstruksi pada sirkulasi jantung. Terapi syok kardiogenik
bertujuan untuk mem perbaiki fungsi miokardium dan sirkulasi. Beberapa
perubahan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok kardiogenik adalah CO,
BP, SVR, dan CVP.4
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
7/33
4
3. Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)
Syok obstruktif terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac tamponade.
Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok obstruktif adalah CO,
BP, dan SVR.4
4. Distributif (vasomotor terganggu)
Syok distributif apabila terdapat gangguan vasomotor akibat maldistribusi
aliran darah karena vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang bersirkulasi
tidak adekuat menunjang perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer dapat
menyebabkan hipovolemia. Beberapa syok yang termasuk dalam golongan syok
distributif ini antara lain:
1. Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan reaksi antigen-antibodi (antigen
IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi endogen, seperti
histamin, serotonin, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelial
vaskuler disertai bronkospasme. Gejala klinis dapat berupa pruritus, urtikaria,
angioedema, palpitasi, dyspnea, dan syok.4
2. Syok Neurogenik
Syok Neurogenik Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic
spinal cord injury. Gejala klinis meliputi hipotensi disertai bradikardia. Gangguan
neurologis akibat syok neurogenik dapat meliputi paralisis fl asid, refl eks
ekstremitas hilang dan priapismus.4
3. Syok Septik
Syok septik adalah sepsis yang disertai hipotensi (tekanan sistolik
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
8/33
5
kurangnya O2 untuk metabolisme aerob, akibatnya sel berpindah menjadi
metabolisme anaerob dengan peningkatan produksi CO2 dan akumulasi asam
laktat. Fungsi sel menurun, dan jika syok berlangsung terus-menerus, kerusakan
dan kematian sel yang irreversibel akan terjadi.5
Respon awal sistem sirkulasi terhadap kehilangan darah bersifat
kompensatori, yaitu terjadi vasokontriksi pembuluh darah untuk mempertahankan
aliran darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap penurunan
volume sirkulasi akut adalah peningkatan denyut jantung sebagai usaha untuk
mempertahankan cardiac output. Pada kebanyakan kasus, takikardia merupakan
tanda awal syok. Pelepasan katekolamin endogen meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer. Hal ini kemudian akan meningkatkan tekanan diastolik
dan menurunkan pulse pressure. Hormon vasoaktif lainnya akan dilepaskan ke
sirkulasi pada saat terjadi syok, seperti histamin, bradikinin, -endorphins,
kaskade protanoid, dan sitokin lainnya. Hormon tersebut mempunyai efek yang
sangat jelas terhadap peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga air akan
keluar dari intravaskular dan masuk ke ruang interstisial.5,6
Aliran darah balik vena pada syok hemoragik mampu dipertahankan oleh
mekanisme kompensatori berupa kontraksi volume darah di sistem vena. Akan
tetapi, mekanisme kompensatori ini terbatas. Metode yang paling efektif untuk
mengembalikan cardiac output dan end-organ perfusion yang adekuat adalah
dengan mengembalikan jumlah normal aliran darah balik vena (volume
repletion).6
Pada tingkat seluler, sel yang tidak mendapatkan perfusi dan oksigenasi
yang adekuat mengalami kekurangan substrat untuk metabolisme aerobik dan
produksi energi yang normal. Awalnya, kompensasi yang terjadi adalah
metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Jika hal tersebut
berlangsung terus-menerus, asidosis metabolik bisa terjadi.6
Syok yang berkepanjangan akan menyebakan hilangnya kemampuan
membran sel dalam mempertahankan integritas dan gradien elektrik sel.
Pembengkakan retikulum endoplasma merupakan hal pertama yang menunjukkan
bahwa telah terjadi hipoksia sel. Kerusakan mitokondria kemudian akan terjadi.
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
9/33
6
Lisosom akan pecah dan melepaskan enzim yang mencerna elemen struktural
intrasel. Natrium dan air masuk ke dalam sel, dan terjadilah pembengkakan sel.
Deposisi kalsium intraseluler juga terjadi. Jika proses ini tidak dikembalikan ke
normal, kerusakan sel secara progresif, pembengkakan jaringan, dan kematian sel
akan terjadi. Proses ini melipatgandakan dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi.6
Tekanan darah tidak selalu rendah pada stadium awal syok, dan tidak
semua pasien dengan tekanan darah rendah mengalami syok. Hal ini bergantung
pada adekuatnya kompensasi fisiologis dan penyakit dasar pasien.5
Perbaikan kondisi syok dan outcome klinis dipengaruhi oleh stadium syok.
Secara umum stadium syok dibagi menjadi 3 kategori, yaitu stadium kompensasi,
stadium dekompensasi, dan stadium irreversible. Setiap stadium syok memiliki
mekanisme dan patofisiologi yang berbeda, sebagai berikut:4
1. Stadium Kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga
resistensi sistemik meningkat, meningkatkan denyut jantung sehingga cardiac
output meningkat; dan meningkatkan sekresi vasopresin, RAAS (renin-
angiotensinaldosteronesystem) menyebabkan ginjal menahan air dan sodium di
dalam sirkulasi. Gejala klinis pada syok dengan stadium kompensasi ini adalah
takikardi, gelisah, kulit pucat dan dingin, dan pengisian kapiler lambat.
2.
Stadium Dekompensasi
Beberapa mekanisme terjadi pada fase dekompensasi, seperti
memburuknya perfusi jaringan yang menyebabkan penurunan O2 bermakna,
mengakibatkan metabolism anaerob sehingga produksi laktat meningkat
menyebabkan asidosis laktat. Kondisi ini diperberat oleh penumpukan CO2yang
menjadi asam karbonat. Asidemia akan menghambat kontraktilitas miokardium
dan respons terhadap katekolamin. Selain itu, terdapat gangguan metabolisme
energy dependent Na+
/K+
pump di tingkat seluler, menyebabkan integritas
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
10/33
7
membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria memburuk yang dapat
berdampak pada kerusakan sel. Pada stadium dekompensasi ini aliran darah
lambat, rantai kinin serta sistem koagulasi rusak, akan diperburuk dengan
agregrasi trombosit dan pembentukan trombus yang disertai risiko perdarahan.
Pelepasan mediator vaskuler, seperti histamin, serotonin, dan sitokin,
menyebabkan terbentuknya oksigen radikal serta platelet aggregating factor.
Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan
permeabilitas kapiler meningkat, sehingga menurunkan venous return danpreload
yang berdampak pada penurunan cardiac output. Gejala pada stadium
dekompensasi ini antara lain takikardi, tekanan darah sangat rendah, perfusi
perifer buruk, asidosis, oligouria, dan kesadaran menurun.
3. Stadium Irreversibel
Stadium ini merupakan stadium lanjut syok yang tidak mendapatkan
penanganan tepat dan berkelanjutan. Pada stadium ini akan terjadi kerusakan dan
kematian sel yang dapat berdampak pada terjadinya MOF (multiple organ
failure). Pada stadium ini, tubuh akan kehabisan energy akibat habisnya cadangan
ATP (adenosine triphosphate) di dalam sel. Gejala klinis stadium ini meliputi
nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur, anuria, dan tanda-tanda kegagalan
organ (MODSmultiple organ dysfunctions).
2.4. Tatalaksana
Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal
gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan
segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya perfusi
organ dan oksigenasi jaringan.
Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui
kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan
langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi
pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena
perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
11/33
8
mengalami trauma di atas diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh
trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk
mendapatkan pertolongan.
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan
mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok
sertaefektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama
penderitamengalami syok.
Tabel 1. Perkiraan Kehilangan Darah Berdasarkan Gambaran Klinis Pasien
Class I Class II Class III Class IV
Blood Loss (mL) 750 750-1500 1500-2000 >2000
Blood Loss (%
Blood Volume)
15% 15-30% 30-40% >40%
Pulse Rate 140
Blood Pressure Normal Normal Decreased Decreased
Pulse Pressure Normal or
increased
Decreased Decreased Decreased
Respiratory
Rate
14-20 20-30 30-40 >35
Urine Output
(ml/h)
>30 20-30 5-15 Negligible
Mental Status Slightly
anxious
Mildly
anxious
Anxious,
confused
Confused,
lethargic
Fluid
Replacement
Crystalloid Crystalloid Crystalloid
and blood
Crystalloid
and blood
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
12/33
9
EBV : 70 ml/kg BBcontoh BB 60 kg , maka EBV = 50 x 70 = 4200 mL
Perdarahan 25 % EBV = 25 % x 4200 = 1000 mL
Penggantian Cairan Pada Perdarahan:
Konsensus :
o Kristaloid 3 : 1
o Kolloid (HES) 1 : 1
o Kolloid (gelatin) 1.5 : 1
Sampai dengan perdarahan 25 % EBV Kristaloid
Contoh :
o Pasien dengan BB 60 kg, perdarahan s/d 25% EBV ( 1000 ml) diganti
dengan 3000 ml RL.
o Selebihnya ( diatas 25% EBV), diganti dengan koloid (1:1) 500 m
perdarahan diganti dengan 500 ml HES-6% , atau darah (WB) 500 ml
TRANSFUSI DARAH
Mengikuti Rule of 5
o Jumlah ml WB = BB (kg) x 5 x delta Hb ( selisih Hb target dengan Hb
saat ini)
o Target Hb = 7-9 gr %
o PRC dari WB.
2.4.1 Primary Survey
Resusitasi awal pasien trauma membutuhkan survei primer (Primary
Survey), resusitasi yang dilakukan bersamaan, dan identifikasi cedera-cedera yang
membutuhkan tindakan operasi dengan segera. Tujuan dari survei primer ini
adalah untuk dapat bertindak secara sistematik dimulai dari keadaan-keadaan yang
paling mengancam nyawa pasien. Jika terdapat suatu masalah yang mengancam
nyawa sudah terdeteksi, masalah tersebut diatasi terlebih dahulu sebelum
melakukan langkah selanjutnya dalam survei primer. Pemeriksaan dari kepala
hingga kaki tidak mendesak untuk dilakukan sebelum tanda-tanda vital stabil.7
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
13/33
10
Hal-hal yang dilakukan pada survei primer biasa disingkat sebagai ABCDE,
yaitu airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang dilakukan
selama 2-5 menit saja. Airway dilakukan untuk memastikan jalan nafas pasien
bebas. Pada breathing, kita memastikan bahwa pasien bernafas dengan adekuat
dan memberikan oksigen yang cukup. Menilai sirkulasi (circulation) dimana kita
menilai perfusi oksigen ke jaringan dan mencegah syok. Pada penilaian disability
kita menilai kesadaran pasien dengan cepat, yang biasanya dilakukan dengan
pendekatan AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unresponsive). Langkah terakhir pada
survei primer adalah exposure, dimana seluruh pakaian pasien ditanggalkan untuk
menilai cedera pada seluruh bagian tubuh.8
1. Airway (A)
Pada tahap ini, kita memastikan patensi jalan nafas dan bahwa pasien dapan
melindungi jalan nafasnya sendiri. Hal ini dicapai dengan cara:
Apakah pasien sadar atau tidak, jika pasien dapat bicara dengan
lancar menandakan bahwa jalan nafasnya bebas
Look, listen, feel(lihat, dengar, rasakan)
Memperhatikan gerak dada
Memperhatikan penggunaan otot nafas tambahan
Pada pasien yang tidak sadar, tonus otot jalan nafas atas dan otot
genioglossus hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan
menyebabkan obstruksi jalan nafas baik total atau parsial. Keadaan ini sering
terjadi dan harus cepat diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara, pertama-
tama dengan menstabilisasi tulang servikal, lalu dapat dilakukan manuver tripel
jalan nafas (triple airway maneuver), pemasangan alat jalan nafas faring (naso-
atau oro- pharyngeal airway), pemasangan alat jalan nafas sungkup laring
(laryngeal mask airway), atau pemasangan pipa trakea (endotracheal tube).10
Adapun tanda-tanda obstruksi jalan nafas dapat berupa:
1. Stridor (mendengkur,snoring)
2. Nafas cuping hidung (flaring of the nostrils)
3.
Retraksi trakea
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
14/33
11
4. Retraksi toraks
5. Tidak terasa ada udara ekspirasi
6. Sianosis
Manuver tripel jalan nafas terdiri dari: kepala ekstensi pada sendi atlanto-
oksipital (head-tilt), mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
(dapat dilakukan dengan chin lift atau jaw thrust), dan mulut dibuka. Dengan
manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas, sehingga udara
lancar masuk trakea lewat hidung atau mulut.12
Pada pasien yang tidak sadar, atau adanya perdarahan dari maxillofacial
injury, pilihan cara untuk membebaskan jalan nafas adalah dengan memasang
pipa ke dalam trakea. Alasan lain untuk intubasi trakea pada pasien trauma adalah
utuk memperbaiki oksigenasi dan kontrol ventilasi. Terdapat banyak penelitian
yang menunjukkan hasil bahwa, jika dilakukan dengan hati-hati, intubasi trakea
pada pasien dengan cedera servikal memiliki risiko yang relatif rendah. Namun,
intubasi yang tidak terkontrol pada pasien dengan tulang servikal tidak stabil
dapat mengakibatkan kerusakan serius pada serabut spinal. Karena hal ini, dalam
melakukan pembebasan jalan nafas pada pasien trauma, adalah dengan selalu
menganggap bahwa pasien memiliki cedera servikal.7
Pilihan teknik untuk melakukan intubasi trakea emergensi pada pasien
yang mungkin mengalami cedera servikal adalah dengan laringoskopi langsun dan
intubasi oral dengan manual in-line stabilization (MILS), setelah periode
preoksigenasi. Menempatkan kepala dan leher pasien pada posisi netral cenderung
membuat visualisasi laringoskopi buruk, tetapi hal ini dapat diatasi dengan
penggunaan gum bougie. Jika intubasi trakea tidak memungkinkan, maka dapat
menggunakan sungkup laring untuk memperbaiki oksigenasi dan ventilasi secara
sementara sebelum dilakukannyasurgical cricothyroidotomy.7
2. Breathing (B)
Pernafasan dinilai secara bersamaan saat menilai jalan nafas dengan cara
look, listen, and feel. Look (melihat) adalah menilai apakah adanya sianosis,
menilai laju pernafasan, kedalaman dan usaha bernafas, serta melihat apakah ada
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
15/33
12
cedera pada dada, misalnya luka terbuka atau flail segments. Penilaian pernafasan
juga dilakukan dengan mendengar (listen) suara nafas tambahan dan menilai
keluar masuknya udara pada kedua paru dengan metode auskultasi. Selain itu, kita
juga dapat merasakan (feel) udara pernapasan dengan mendekatkan pipi ke lubang
hidung pasien. Palpasi rongga dada juga dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya cedera pada tulang rusuk, luka pada rongga dada, dan udara subkutan pada
dada serta leher.13
Jika pernafasan pasien sepertinya tidak adekuat, maka pertimbangkan6:
1. Dekompresi dan drainase dari tension pneumothorax/hematothorax
2. Menutup luka terbuka pada dada
3. Ventilasi artifisial
4. Memberikan oksigenasi
Pasien harus diberikan ventilasi oksigen 100% sampai hasil analisa gas
darah diperoleh. Dengan menambah hanya 1 liter oksigen per menit dapat
meningatkan konsentrasi oksigen pada udara inspirasi sebanyak 35-40%. Pulse
oximetry dapat digunakan untuk mengukur saturasi, dengan saturasi yang
diharapkan adalah lebih dari 98%. 9
3. Circulation (C)
Pada sirkulasi, terdapat beberapa elemen yang memberikan informasi penting
mengenai status hemodinamik pasien dan dapat dinilai dalam hitungan detik,
yaitu tingkat kesadaran, warna kulit, dan denyut nadi: 9
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, maka perfusi otak akan terganggu yang akan
menyebabkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Warna kulit sangat membantu dalam mengevaluasi pasien trauma dengan
hipovolemia. Pasien dengan hipovolemia menunjukkan wajah yang keabu-
abuan dan kulit ekstremitas yang pucat.
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
16/33
13
c. Denyut Nadi
Pemeriksaan denyut nadi dapat dilakukan pada sentral yaitu arteri femoral
atau arteri karotid dan dinilai kekuatan, kecepatan, dan irama nadi. Tidak
terabanya nadi sentral menunjukkan perlunya tindakan resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat diindetifikasi dan dikontrol pada survei
primer. Dapat dilakukan penekanan langsung pada sumber perdarahan baik secara
manual maupun dengan perban elastis. Lokasi yang dapat menyebabkan
perdarahan hebat adalah dada, retroperitoneum, abdomen, pelvis, dan tulang
panjang. 9
Pada pasien dengan trauma yang cukup berat, diperlukan setidaknya 2
jalur akses IV. Jika pemasangan jalur akses IV pada vena perifer tidak mungkin
untuk dilakukan secara perkutaneus, maka dapat dilakukan cut down pada vena
perifer, kanulasi perkutaneous pada femoral, kanulasi vena sentral, atau
intraosseus. Akses jugular interna atau subclavia lebih banyak dipilih oleh
anestetis, tetapi akses vena sentral sulit dilakukan pada pasien denga hipovolemi
dan dapat menimbulkan risiko terjadinya pneumothoraks. 7
Prinsip dari manajemen cairan adalah mengembalikan volume
intravaskular secara cepat dan efisien. Cairan resusitasi terdiri dari beberapa
pilihan yaitu: kristaloid isotonik, salin hipertonik dengan atau tanpa komponen
koloid, gelatin, dextrans, dan darah. 7
The American College of Surgeons ATLS merekomendasikan pemberian
kristaloid isotonik pada resusitasi awal pada pasien trauma.1 Jenis cairan ini dapat
mengekspansi volume intravaskular secara sementara dan menstabilisasi lebih
jauh volume vaskular dengan mengganti cairan yang hilang ke ruang intraselular
dan interstitial. 9
Pada resusitasi awal, bolus cairan hangat diberikan secepat mungkin.
Dosis yang biasa digunakan adalah 1-2L untuk dewasa dan 20ml/kg untuk anak-
anak. Jumlah kristaloid yang diberikan adalah sesuai dengan volume kehilangan
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
17/33
14
darah yang telah tertera pada tabel diatas, dimana setiap 1 ml darah hilang diganti
dengan 3 ml cairan kristaloid (3-for-1-rule).9
Sangat penting untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan awal
yang telah diberikan dan menilai perfusi yang adekuat dan oksigenasi melalui
urine output, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer. Pasien dengan respon yang
cepat terhadap pemberian resusitasi awal cairan akan menunjukkan status
hemodinamik yang kembali normal setelah diberikan resusitasi awal. 9
4. Disability (Neurologic Evaluation)
Evaluasi neurologis secara cepat dilakukan pada akhir survei primer. Pada
pemeriksaan neurologis, kita dapat menilai tingkat kesadaran pasien, ukuran pupil
dan refleks cahaya, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkatspinal cord injury.9
Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale) adalah pemeriksaan yang cepat
dan mudah untuk menentukan tingkat kesadaran pasien sebagai prediksi outcome
dari pasien.14
a. Menilai eye openingpenderita (range skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita:
- Buka mata spontan
- Buka mata jika dipanggil, disuruh atau dibangunkan
- Buka mata jika diberi rangsang nyeri (dengan menekan ujung kuku jari
tangan)
- Tidak ada respon
b. Menilai verbal response penderita (range skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
- Orientasi baik
- Bingung (dijumpai disorientasi)
- Dapat mengucapkan kata2 namun tidak berupa kalimat
- Mengerang (mengucapkan kata yang tidak jelas artinya).
- Tidak ada reaksi
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
18/33
15
c. Menilai motor response penderita(range skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
- Melakukan gerakan sesuai perintah
- Dapat mengetahui lokasi rangsang nyeri
- Menghindar terhadap rangsang nyeri
- Fleksi Abnormal (decorticated)
- Ekstensi abnormal (decerebrated)
- Tidak ada reaksi
5. Exposure (E)
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung
dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita
dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak
hipotermi.
2.4.2. Secondary Survey
Secondary surveyadalah pemeriksaan yang dilakukan dari kepala hingga
kaki (head-to-toe examination).Secondary survey dilakukan setelah primary
surveyselesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC pasien dipastikan membaik.
Pada pemeriksaan survei sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologi
lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam survei
primer.Pada survey sekunder ini juga dilakukan foto ronsen, dan pemeriksaan lab.
Evaluasi lengkap dari pasien memerlukan pemeriksaan fisik berulang-ulang.7
A.Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat trauma.Seringkali data ini tidak dapat diperoleh dari pasien sendiri, oleh
karena itu kita dapat menanyakan keluarga ataupun petugas lapangan. Selain
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
19/33
16
riwayat trauma, riwayat AMPLE (Allergy, Medication, Past Illness, Last Meal,
Event/Environment) juga harus ditanyakan.6
Pasien trauma dibagi menjadi 2, yaitu : trauma tumpul dan trauma tajam.
Trauma tumpul sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (KLL), terjatuh,
kegiatan rekreasi atau pekerjaan, pola perlukaan pada pasien dapat diramalkan
dari mekanisme trauma-nya, sedangkan trauma tajam bisa disebabkan banyak hal,
seperti trauma akibat benda tajam, pisau, senjata api, dll. Faktor yang menentukan
jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena,
dan velositas (kecepatan). Selain trauma tumpul, dan tajam, cedera lain dimana
riwayatnya penting adalah cedera termal (suhu panas/dingin), dan benda
berbahaya (hazardous material).7
Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas anamnesis yang perlu
ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayat dyspepsia, riwayat
mengkonsumsi NSAID, obat-obatan, alkohol, dan jamu-jamuan. Kemudian
ditanyakan riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru, dan adanya perdarahan
ditempat lain. Riwayat muntah sebelumnya sebelum terjadinya hematemesis
sangat mendukung kemungkinan adanya sindrom Mallory Weiss.
B.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada secondary survey dilakukan berurutan mulai dari
kepala, maksilo-fasial, vertebra servikal, dan leher, dada, abdomen,
perineum/rectum/vagina, musculoskeletal sampai pemeriksaan neurologis.6,7,8
1. Kepala& maksilo-fasial
Seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan adanya luka,
kontusio, atau fraktur. Pada mata lakukan pemeriksaan pupil, ada tidaknya
raccoon eyes, kemudian periksa apakah ada darah yang keluar dari telinga /
battles sign, deformitas hidung, epistaksis, hilangnya gigi, fraktur mandibular,
fraktur lamina cribosa, dll.6
2. Vertebra servikalis dan leher
Pasien dengan trauma kapitis/maksilofasial dianggap ada fraktur servikal
atau kerusakan ligamen servikal, pada leher kemudian dilakukan imobilisasi
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
20/33
17
sampai vertebra servikal diperiksa dengan teliti.Pada inspeksi periksa apakah ada
laserasi, deformitas, meningkatnya TVJ, pada palpasi kita dapat meraba pols
carotid, ada tidaknya deviasi trakea, emfisema subkutan, limfadenopati.7,8
3. Dada
Evaluasi dada/toraks dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi. Inspeksi dilakukan pada dada depan dan belakang, yang akan
menunjukkan ada tidaknya flail chest atau open pneumotoraks. Palpasi harus
dilakukan pada setiap iga dan klavikula.Penekanan pada sternum dapat
menimbulkan nyeri apabila ada fraktur sternum atau ada costochondral
separation.Setelah pemeriksaan fisik dilakukan evaluasi toraks disusul dengan
foto toraks.Foto toraks dapat menunjukkan adanya hemo/pneumotoraks.Faktur iga
tidak selalu terlihat pada foto. Selain itu dapat pula kita lakukan pemeriksaan
EKG7
4. Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani secara agresif.Diagnosis terlalu tepat
tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi.Pada
saat pasien baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak menyingkirkan
diagnosis perlukaan intraabdomen, karena gejala mungkin timbul agak
lambat.Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat. Pasien dengan
hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan neurologis, gangguan kesadaran
karena alcohol dan atau obat dan penemuan pemeriksaan fisik abdomen yang
merugikan, harus dipertimbangkan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), USG
abdomen, atau bila keadaan memungkinkan, CT-Scan kontras dilakukan.7,9
5.
Perineum / rectum / vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi, dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra.
Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak
tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rectum dan tonus m. sphincter
ani. Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam
vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua usia
subur.6,7,8
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
21/33
18
6. Muskuloskeletal
Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas.Fraktur yang
kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi, atau
gerakan abnormal.7
Fraktur pada pelvis dikenal dengan adanya jejas pada ala ossis ilii, pubis,
labia, skrotum.Nyeri kompresi pada kedua SIAS, atau adanya mobilitas pelvis dan
simfisis osis pubis membantu diagnosis. Penilaian pulsasi dapat menentukan
adanya gangguan vaskular.6,7
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur baik
pada pemeriksaan klinis maupun xray. Kerusakan ligamen dapat menyebabkan
sendi menjadi tidak stabil, kerusakan otot dan tendon akan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan atau hilangnya kemampuan kontraksi otot
dapat disebabkan kerusakan saraf atau iskemia.6,7
7.Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.Perubahan
dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan skor GCS.Bila ada
cedera kepala, harus segera dilakukan konsul ke bedah saraf. Bila terjadi
penurunan status neurologis harus diteliti ulang perfusi, oksigenasi, dan ventilasi
(ABCDE).7,9
Pada pemeriksaan fisik untuk kasus PSMBA yang pertama harus
dilakukan adalah penilaian ABC, pasien-pasien dengan hematemesis yang masif
dapat mengalami aspirasi atau sumbatan jalan nafas, hal ini sering dijumpai pada
pasien usia tua dan pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Khususnya
untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)perlu dilakukan evaluasi jumlah
perdarahan.
Pemeriksaan fisik lainya yang penting adalah mencari sytigma penyakit
hati kronis seperti ikterus, spidernevi, asites, splenomegali, eritema Palmaris,
edema tungkai. Massa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum,
penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik. Kemudian pemeriksaan colok
dubur. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari NGT. Aspirat
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
22/33
19
bewarna putih menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat bewarna merah marun
menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya
warna feses maka warna aspiratpun dapat memprediksi mortalitas pasien.
Dalam prosedur diagnostik ini perlu dilakuakan pemeriksaan penunjang
yaitu lanboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula
darah, elektrolit, golongan darah, foto thorax dan EKG. Pada prosedur diagnosis
ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
23/33
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
24/33
21
B (breathing)
Inspeksi
Nafas spontan
Thorax simetris tidak
ada bagian yang
ketinggalan
Jejas (-)
Perkusi:
Sonor kedua lapangan
paru
Palpasi:Stem fremitus kanan =
kiri
Auskultasi
SP/ST: vesikuler/(-)
SaO2: 86-99%
RR: 40 kali/menit
Spontaneous - Pemasangan
ETT no 8
SaO2: 86-99%
C (circulation)
Capillary Refill Time >2detik
Akral D/P/B
T/V: lemah
TD: 60/40mmHg
HR = 103x/i, regular
UOP = setelah dipasang
kateter, 30cc/6 jam
kesan ; oligouria
Inadequate
perfusion
-IV line 18G, ambil
sampel darah, ceklaboratorium
-IVFD Ringer Laktat
30cc/kgBB/30 menit
-IVFD HES 30
cc/kgBB/30 menit
-Transfusi PRC 3 bag
-Dopamine 3,9cc/jam
via syringe pump
-Levosol 0,78 cc/jam
-Capillary
Refill Time>2 detik
-Akral D/P/B
-T/V: lemah
-TD:
70/50mmHg
-HR =
96kali/menit,
regular
-UOP tidak
bertambah
dalampemantauan 1
jam
D (disabil ity)
Kesadaran: unresponsive
GCS : 3 (E:1 V:1 M: 1)
Pupil isokor, D 2, S
2 mm, RC +/+
Pasien
dengan
penurunan
kesadaran
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
25/33
22
E (exposure)
Jejas (-)
Temperature 35,10 C
Naikkan
temperature
tubuh
menjadi
normal
Menyelimuti pasien Temperatur :
36,3 0C
1.4. Status Perdarahan
Class I Class II Class III Class IV
Blood Loss (mL) 750 750-1500 1500-2000 2000
% Blood Loss 15% 15-30% 30-40% 40%
Pulse Rate 100 >120 >140
Blood Pressure Normal Normal Decreased Decreased
Pulse PressureN or
IncreasedDecreased Decreased Decreased
Respiratory Rate 14-20 20-30 30-35 >35
Urine Output
(mL/h)>30 20-30 5-15 Negligible
Mental StatusSlightly
anxious
Mildly
anxious
Anxious and
confused
Confused
and lethargic
Derajat perdarahan: Kelas IV(40%)
Resusitasi Perdarahan:
PBW Pria : 50 + 0,91 ( PB dalam cm152,4 )
: 50 + 0,91 ( 168152,4 )
: 64,19 kg
EBV : 70cc x PBW
: 70cc x 65
: 4550 cc
Blood Loss : EBL x EBV
: 40% x 4550
: 1820cc
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
26/33
23
Cairan : Kristaloid
: 20% x EBV
: 20% x 4550
: 910 cc (910 x 3 = 2730 cc = 6 fls)
:Koloid
: Blood loss910
: 1820910
: 910 (2 fls)
Transfusi Darah (Whole Blood ): (Hb target-Hb saat ini) x BB x 5
: (7-3) x 65 x 5
:1300 cc
PRC: x Whole Blood = x1300
: 650 cc (3 bag)
3.4. Penanganan IGD
Pemberian O210 l/i
Pemasangan IV line 18G, threeway, transfusion set, pastikan lancar
IVFD Ringer Laktat 6 flash
IVFD HES 2 flash
Transfusi darah (PRC) 3 bag
Dopamine 3,9cc/jam via syringe pump
Levosol 0,78 cc/jam via syringe pump
Inj. Omeprazol bolus 40 mg, 20mg/ 12 jam
Transamin 1 amp/ 8 jam
Vit. K 1 amp
Somatostatin 250 g/jam
Ambil sampel darahpemeriksaan laboratorium darah rutin, crossmatch
Pasang foley catheteruntuk memantauurine output
Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
Rencana rawat ICU
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
27/33
24
Rencana rawat gastroscopy
Informed consent tindakan
3.5. Pemeriksaan Penunjang
3.5.1. Laboratorium IGD
Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 3.0 g% 1318
Leukosit (WBC) 9,1x 10 /mm 411,x10
Hematokrit 10 % 3844%
Trombosit (PLT) 256 x10 150450x10
FAAL HEMOSTASIS
PT 25.2(14.2) detik
APTT 58.6 (33,5) detik
TT 26.3 (17,5) detik
INR 1.73
GINJAL
Ureum 77 mg/dL 19-44 mg/dL
Kreatinin 1.88 mg/dL 0.7-1.3 mg/dL
HATI
Albumin 1 g/dL 3,5-5 g/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 139 mEq/L 135155 mEq/L
Kalium (K) 4.7 mEq/L 3,65,5 mEq/L
Klorida (Cl) 110 mEq/L 96106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 142 mg/dL
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
28/33
25
3.6. Diagnosis
Syok hipovolemik ec PSMBA masif ec susp.ulkus peptikum
3.7. Rencana tindakan selanjutnya
- Konsul rawatan di ICU
- Gastroskopi
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
29/33
26
BAB 4
DISKUSI
TEORI KASUS
Etiologi
Kehilangan darah eksternal akut akibat
trauma benda tajam dan perdarahan
saluran cerna yang parah merupakan 2
penyebab utama syok hemoragik.
Pasien mengalami syok hipovolemik ec
PSMBA masif ec susp. ulkus peptikum
Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien trauma dan syok
meliputi primary survey, secondary
survey, terapi farmakologi.
PRIMARY SURVEY :
AIRWAY
-Memastikan jalan napas bebas
-Melindungi tulang leher
BREATHING
-Memberikan oksigen melalui ETT
CIRCULATION
-Memasang IV line 18 G
-Melakukan resusitasi cairan segera
-Mengukur tekanan darah
-Memasang kateter urine
DISABILITY
-Menilai kesadaran dengan A-V-P-U.
Pasien dalam keadaan unresponsive.
EXPOSURE
-Melepas pakaian
-Memeriksa jejas
-Mencegah hipotermia
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
30/33
27
Derajat Perdarahan
Klasifikasi perdarahan dibagi menjadi 4
kelas berdasarkan jumlah perdarahan dan
kondisi klinis pasien.
Berdasarkan pemeriksaan klinis dan
tanda-tanda vital, pasien digolongkan
dalam kelas perdarahan IV (40%).
Resusitasi
Resusitasi cairan pada pasien disesuaikan
dengan derajat perdarahannya.
Pasien dengan perdarahan kelas IV
diresusitasi segera dengan lebih dahulu
menghitung kebutuhan cairan pasien
berdasarkan PBW, EBV, EBL.
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
31/33
28
BAB 5
KESIMPULAN
Laki-laki, JP, usia 35 tahun, datang ke IGD RSUP HAM pada tanggal
07/04/2016 pukul 18.10 WIB dengan keluhan utama penurunan kesadaran dialami
OS sejak kurang lebih 1 minggu ini secara perlahan-lahan. Sebelumnya, OS
mengalami muntah darah + 1 minggu yang lalu sebanyak kurang lebih 600 cc.
Muntah darah dialami setiap hari selama 4 hari sebanyak 2 kali sehari. BAB
berwarna hitam (+). BAK (+) jumlah sedikit. Riwayat transfusi darah (+) di rumah
sakit luar sebanyak 3 bag. OS merupakan pasien rujukan dari rumah sakit luar
dengan diagnosis perdarahan saluran cerna bagian atas masif.Di IGD, pasien
dilakukan primarysurvey, dan diberi tatalaksana resusitasi sesuai dengan kelas
perdarahan IV. . Pada akhirnya, pasien dinyatakan meninggal dunia pada tanggal
08/04/2016 pukul 03.20 WIB.
-
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
32/33
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Wijaya,IK. 2014. Syok Hipovolemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi VI. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 4122-4124
2. Irianti,TS.2014.Syok Hipovolemik et causa Perdarahan Intraabdomen.
Available from:
https://www.academia.edu/9826665/SYOK_HIPOVOLEMIK_et_causa_P
ERDARAHAN_INTRAABDOMEN [Accessed 9 April 2016]
3. Nollan JP, Parr MJA. Aspects of Rescucitaion in Trauma.British Journal
of Anesthesia, 1997; 79: 226240
4. Leksana E. 2015. Dehidrasi dan syok. Available from:
http://www.kalbemed.com [Accessed 6 April 2016].
5. Moya MA. 2011. Shock. In: Porter RS, Kaplan JL. The Merck Manual of
Diagnosis and Therapy 19thEdition. West Point: Merck Sharp and Dohme
Corp.
6.
American College of Surgeons. 2004. Advanced Trauma Life Support for
Doctors 8thEdition. Chicago: Heartside Publishing, pp. 56-7.
7. Nollan JP, Parr MJA. Aspects of Rescucitaion in Trauma.British Journal
of Anesthesia, 1997; 79: 226240
8. Wilkinson DA, Skinner MW. Secondary Survey. Primary Trauma Care.
2000 : 12-14.
9. American College of Surgeons Committee on Trauma. Penilaian Awal dan
Penanganannya.ATLS Student Course Manual 8thEdition. 2008 : 1-18.
10.Queensland Ambulance Service. Primary and Secondary Survey. Clinical
Practice Procedures : Assesment/Primary and Secondary Survey. 2015 :
432-436.
11.Auckland District Health Board. Secondary Survey For Trauma. 2011.
Available at :
http://www.adhb.govt.nz/trauma/T_guidelines/secondary_survey.htm
[Accesed : 25/02/2016]
https://www.academia.edu/9826665/SYOK_HIPOVOLEMIK_et_causa_PERDARAHAN_INTRAABDOMENhttps://www.academia.edu/9826665/SYOK_HIPOVOLEMIK_et_causa_PERDARAHAN_INTRAABDOMENhttp://www.kalbemed.com/http://www.adhb.govt.nz/trauma/T_guidelines/secondary_survey.htmhttp://www.adhb.govt.nz/trauma/T_guidelines/secondary_survey.htmhttp://www.kalbemed.com/https://www.academia.edu/9826665/SYOK_HIPOVOLEMIK_et_causa_PERDARAHAN_INTRAABDOMENhttps://www.academia.edu/9826665/SYOK_HIPOVOLEMIK_et_causa_PERDARAHAN_INTRAABDOMEN -
7/25/2019 Laporan Kasus Penatalaksaan Syok
33/33
30
12.Latief SA, Kartini AS, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2001.
Hal 36-44
13.Mills TJ. Trauma Resuscitation. Elsevier Health. 2008. Available from:
http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/97814160287
27/Chapter%2007.pdf [Accessed: feb 24 2016]
14.Centers for Disease Control and Prevention. Guideline for Field Triage of
Injured Patients. MMWR, 2012; 61: 1-17
http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9781416028727/Chapter%2007.pdfhttp://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9781416028727/Chapter%2007.pdfhttp://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9781416028727/Chapter%2007.pdfhttp://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9781416028727/Chapter%2007.pdf