keterkaitan agenda 21 terhadap persoalan gender_agung yuriandi
DESCRIPTION
Bagaimana kaitan Agenda 21 / Konvensi RIO terhadap persoalan gender dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Wanita adalah populasi yang lebih banyak dibanding laki-laki, wanita adalah ujung tombak keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Jika dikaitkan dengan lingkungan bagaimana, temukan jawabannya disini...!!!TRANSCRIPT
KETERKAITAN AGENDA 21 TERHADAP PERSOALAN GENDER DAN
LINGKUNGAN HIDUP
Oleh : Agung Yuriandi
Medan2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan prikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.1 Lingkungan hidup atau disebut juga environment
adalah lingkungan hidup di atas bola bumi sebagai wadah makhluk hidup itu berada.2
Sementara itu, definisi masalah lingkungan cenderung sangat luas, apalagi
jika diposisikan dalam limbah dan perizinannya. Pendefinisian masalah lingkungan
1 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
2 Denny L. Sihombing, “Penerapan Code of Conducts Dalam Mengatasi Masalah Lingkungan Hidup : Enhancing Sustainability Development Based on Comprehensive Holistic Framework Level Analysis in Handling Environmental Problems in Contemporary World”, http://dennyprincess.wordpress.com/2010/06/26/penerapan-code-of-conducts-dalam-mengatasi-masalah-lingkungan-hidup-enhancing-sustainability-development-based-on-comprehensive-holistic-framework-level-analysis-in-handling-environmental-problems-i/., diakses pada 24 januari 2011.
hidup dalam tataran hubungan internasional memiliki definisi tersendiri.3 Setiap
negara di dunia saat ini membicarakan masalah pemanasan global yang dapat
menipiskan lapisan ozon di angkasa. Oleh karena itu, dikenal dengan adanya Agenda
21. Agenda 21 ini seperti kesepakatan antara negara-negara di dunia bahwa setiap
negara bertanggung jawab terhadap lingkungannya agar dapat berkelanjutan dan
dapat dinikmati oleh setiap warga negara.
Terlihat dalam 2 (dua) dekade terakhir ini kesadaran global akan perlunya
kebersamaan masyarakat dunia untuk bersatu padu menyelamatkan planet bumi dan
makhluk hidup yang berada di dalamnya semakin menguat dan konkrit dalam
impelementasinya. Karena kerusakan bumi didasari betul penyebab utamanya
ternyata karena kecerobohan dan tidak arifnya manusia di bumi dalam merencanakan
dan mengendalikan pemanfaatan lingkungan hidup dan SDA-nya bagi kepentingan
yang mengatasnamakan “pengembangan wilayah” dan “peningkatan kesejahteraan
rakyat”. Berkurangnya cakupan hutan, diversifikasi penggunaan lahan, meningkatnya
hujan asam, meningkatnya kadar karbon dioksida, penggunaan CFC, penipisan ozon
di lapisan atmosfer, sering terjadi erosi dan banjir yang merugikan, pemanasan
global, kemiskinan yang makin naik, muncul berbagai epidemi penyakit seperti
AIDS/HIV, SARS, flu burung, flu babi, malaria, dan sebagainya. Ternyata
merupakan jalinan yang sangat terkait yang ujung-ujungnya menyebabkan bencana
kronis dan yang menyengsarakan manusia di planet bumi.4
3 Ibid. 4 Tyokronisilicus, “Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Untuk Mengatasi
Perubahan Iklim Global”, Bagian I, http://tyokronisilicus.wordpress.com/2010/05/11/perkembangan-hukum-lingkungan-internasional-untuk-mengatasi-perubahan-iklim-global-bag-1/., diakses pada 24 Januari 2011.
2
Seluruh manusia di bumi ini bertanggung jawab atas lingkungan sekitarnya.
Tidak hanya laki-laki, perempuan juga memegang peranan yang sangat penting dalam
mendukung lingkungannya karena jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Artinya, lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan.5
Perlu ditelaah bahwa jasa perempuan tidak hanya sebagai seorang ibu atau
istri, tetapi juga sebagai abdi negara, anggota masyarakat, SDM, dan sebagai abdi
Tuhan Yang Maha Esa. Sehubungan denganitu tidak dapat disangkal perempuan
adalah salah satu aset bangsa.6
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas dan mengacu kepada judul “Keterkaitan
Agenda 21 Terhadap Persoalan Gender dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, maka masalah yang kami
teliti, yaitu :
1. Bagaimana kaitan Agenda 21, Persoalan Gender, dan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian Pengelolaan Lingkungan
Hidup?
2. Bagaimana peran perempuan dalam membantu masalah global
terhadap lingkungan apabila dikaitkan dengan Agenda 21 dan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian
Pengelolaan Lingkungan Hidup?5 Zoer’aini Djamal Irwan, Besarnya Eksploitasi Perempuan & Lingkungan, (Jakarta : Elex
Media Komputindo, 2009), hal. 32-33. 6 Ibid.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaitan Agenda 21, Persoalan Gender, dan Undang-Undang Lingkungan
Hidup
1. Agenda 21
Mengenai latar belakang Agenda 21 atau disebut Local Agenda 21 adalah
karena untuk menyeimbangkan alam dan pembangunan yang ada di sekitar kita.
Maksudnya disini adalah setiap pembangunan sudah pasti memakan banyak sekali
tempat atau lahan yang tersedia. Sementara lahan yang ada sangat terbatas. Maka dari
itu dibuatlah suatu program yang berasal dari pertemuan negara-negara di dunia,
yaitu persidangan Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Angka 21
menandakan abad ke-21 adalah awal mulanya harus diberdayakan pembangunan
yang mengutamakan alam sekitar.7 Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebut sebagai
“Pembangunan Berkelanjutan”.
7 “Local Agenda 21 (LA21)”, http://www.jpbdjohor.gov.my/ pautan_info/LocalAgenda21.pdf., diakses pada 26 Januari 2011.
4
Agenda 21 adalah suatu program untuk masyarakat, sektor swasta dan
pemerintah bekerjasama untuk merancang dan menguruskan kawasan persekitaran
mereka ke arah pembangunan yang baik.8
Tujuan dari Agenda 21, yaitu : membentuk prosedur secara hukum dan
administrasi di tingkat nasional untuk kompensasi, pemulihan lingkungan, dan lain-
lain; dan adanya akses bagi individu, kelompok, dan organisasi untuk mengecek atau
mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan pihak terkait untuk itu.9
Setelah lama berlalu KTT Rio, Indonesia barulah membuat Agenda 21 secara
nasional, yang disebut Agenda 21 Indonesia, yang disusun berdasarkan
perkembangan, perubahan kebijakan, dan program-program mengenai lingkungan.
Agenda 21 Indonesia bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan,
dengan mengintegrasikan konsep-konsep pembangunan ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Agenda 21 nasional ini menyangkut berbagai isu, pengentasan
kemiskinan, perubahan pola konsumsi, kependudukan, sumberdaya hayati kehutanan,
dan sebagainya. Direncanakan supaya selain Agenda 21 Indonesia yang bersifat
nasional, akan disusun pula Agenda 21 untuk daerah-daerah.10
Agenda 21 Indonesia terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu11 :
“Bagian I : Pelayanan Masyarakat1. Pengentasan Kemiskinan; 2. Perubahan Pola Konsumsi; 3. Dinamika Kependudukan; 4. Pengelolaan dan Peningkatan Kesehatan;
8 Ibid. 9 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, (Jakarta :
Erlangga, 2004), hal. 146.10 Ibid.11 Endarwati, “Agenda 21 Indonesia”, http://endarwati.blogspot.com/2005/09/agenda-21-
indonesia.html., diakses pada 26 Januari 2011.
5
5. Pengembangan Perumahan dan Pemukiman; 6. Sistem Perdagangan Global, Instrumen Ekonomi, serta Neraca
Eknomi dan Lingkungan Terpadu. Bagian II : Pengelolaan Limbah
1. Perlindungan Atmosfir; 2. Pengelolaan Bahan Kimia Beracun; 3. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; 4. Pengelolaan Limbah Radioaktif; 5. Pengelolaan limbah Padat dan Cair.
Bagian III : Pengelolaan Sumber Daya Tanah1. Perencanaan Sumber Daya Tanah; 2. Pengelolaan hutan; 3. Pengembangan Pertanian dan Pedesaan; 4. Pengelolaan Sumber Daya Air.
Bagian IV : Pengelolaan Sumber Daya Alam 1. Konservasi Keanekaragaman Hayati; 2. Pengembangan Teknologi; 3. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Lautan”.
Pada tahun 1997 UNDP telah mendukung pengembangan dan peluncuran
Agenda 21 Indonesia – Versi Lokal dari Agenda 21 Global yang diluncurkan dalam
KTT Rio. Agenda 21 mendiskusikan ketergantungan pembangunan sosial dan
eknomi pada kelestarian lingkungan dan meletakkan dasar untuk pengesahan
perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim. Setelah KTT
Johanesburg yang mengkaji ulang Agenda 21 Global, Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup, dengan bantuan UNDP telah melakukan tinjauan terhadap
pelaksanaan Agenda 21 Indonesia untuk meneliti konteks “Pembangunan
Berkelanjutan”12 setelah krisis ekonomi.13 Mengenai pembangunan berkelanjutan
akan dibahas pada sub-judul dibawah ini.
12 Pembangunan Berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development yang artinya adalah pembangunan yang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Alvi Syahrin, “Modul Perkuliahan Hukum Tata Lingkungan : Pembangunan Berkelanjutan”, (Medan : Universitas Sumatera Utara Program Magister Ilmu Hukum, 2009), hal. 1.
13 United Nations Development Programme, “Menuju Agenda 21 : Mengkaji Kapasitas Nasional”, http://www.undp.or.id/factsheets/Indonesia/fs_eu_ncsa.pdf., diakses pada 27 Januari 2011.
6
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup kini meletakkan dasar untuk
merancang strategi jangka panjang untuk menuju pencapaian tujuan-tujuan Agenda
21, terutama komitmen menurut Perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati dan
Perubahan Iklim. Proses NCSA akan mendukung pengembangan strategi baru ini,
dengan fokus khusus pada penguatan kapasitas yang dibutuhkan untuk menghentikan
laju kerusakan lingkungan.14
2. Persoalan Gender
Mengenai persoalan gender biasanya berbicara mengenai perbandingan antara
perempuan dan laki-laki. Namun, dalam konteks hukum lingkungan yang dikaitkan
dengan Agenda 21 adalah bahwa jumlah wanita lebih banyak dibanding dengan laki-
laki. Jadi, yang dapat menjalankan Agenda 21 Indonesia adalah perempuan lebih
dominan. Jika ditanya kenapa, sudah pasti jawabnya karena perempuan lebih banyak.
Menurut data Central Intelligence Agency (CIA), jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2006 adalah 245 juta jiwa, atau tepatnya 245.449.739 jiwa, dengan
komposisi 122,5 juta jiwa pria (tepatnya 122.527.186 pria) dan 122,9 juta jiwa wanita
(122.922.553 wanita). Berarti ada kelebihan jumlah wanita sebanyak hampir 400 ribu
orang (tepatnya 395.367 jiwa).15
Keterlibatan Indonesia dalam kesepakatan-kesepakatan internasional
mengenai lingkungan hidup dan pembangunan sosial, sesungguhnya menunjukkan
bahwa Indonesia telah mempunyai komitmen untuk melaksanakan pembangunan
14 Ibid.15 “Benarkah Jumlah Pria Lebih Banyak Dibanding Wanita di Indonesia?????”,
http://ariekaonly.multiply.com/journal/item/30/Benarkah_jumlah_pria_lebih_banyak_dibanding_wanita_di_Indonesia_., diakses pada 27 Januari 2011.
7
berkelanjutan. Dalam pembangunan berkelanjutan, manusia ditempatkan sebagai
psuat perhatian, beserta hak-hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang sehat
dan produktif serta serasi dan selaras dengan alam (azas kesatu Agenda 21);
menekankan hak membangun yang disertai kewajiban memenuhi kebutuhan akan
pembangunan dan lingkungan untuk generasi sekarang dan yang akan datang secara
seimbang (azas ketiga Agenda 21); menekankan keharusan menghapus kemiskinan
agar pembangunan dapat berkelanjutan (azas kelima Agenda 21); meningkatkan
kebijakan penduduk yang tepat dan mencegah pola konsumsi dan produksi yang tidak
menjamin keberlanjutan pembangunan (azas kesembilan Agenda 21); mementingkan
perempuan, pemuda dan komunitas lokal (azas 20, 21, 22 dari Agenda 21).16
Pertanyaan timbul kenapa perempuan dibutuhkan dalam pembangunan yang
dibahas sebelumnya belum menjawab dengan rinci permasalahan perempuan apabila
dikaitkan dengan Agenda 21 dan lingkungan hidup. Perempuan adalah individu yang
mempunyai peran serta yang sangat penting dalam proses pembangunan
berkelanjutan seperti yang diagendakan oleh Agenda 21.
Jika seorang ibu tidak bisa mendidik anak-anaknya untuk mencintai dan
melestarikan lingkungannya maka yang terjadi adalah masa depan yang suram bagi
lingkungan tempat tinggal mereka. Hal inilah yang harus dihindarkan dari
ketidakpedulian perempuan menjadi mengutamakan perempuan untuk mendidik
anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Sebagian besar keluarga di dunia, yang
bekerja untuk mencari nafkah adalah laki-laki atau disebut suami. Dengan begitu
16 Jonny Purba, Pengelolaan Lingkungan Sosial, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 11.
8
kedudukan perempuan adalah yang lebih dekat dengan anak sebagai generasi penerus
tadi.
Generasi penerus haruslah dapat mencintai lingkungan tempat tinggal dan
sekitarnya. Cara yang dapat ditempuh dapat dengan menanamkan dari dalam diri agar
tidak membuang sampah pada tempatnya. Contoh : seorang anak memakan permen
yang ada bungkusnya, jika diajarkan dengan baik oleh keluarganya terutama ibunya
maka si anak tadi akan membuang bungkusnya di tempat sampah. Hal-hal seperti
yang dicontohkan tadi sudah ditanamkan sejak kecil di Jepang salah satu negara maju
di dunia. Anak-anak Jepang yang memakan permen di dalam bus sekolah mereka,
sampah bungkus plastiknya dikantongi oleh mereka agar bus tidak jorok dan kotor.
Sesampainya mereka di rumah langsung bungkus tadi dibuang pada tempat sampah.
Disinilah peran penting wanita untuk mendidik dan mendukung anak-anak dalam
proses belajar.
3. Undang-Undang Lingkungan Hidup
Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengenai
Pembangunan Berkelanjutan disebutkan dan ditafsirkan di dalam Pasal 1 Angka 3,
yaitu17 :
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.17 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
9
Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT
Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Pengertian dari Sustainable Development adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhannya. Definisi ini diberikan oleh World
Commission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan) sebagaimana tersaji dalam laporan Komisi yang terkenal dengan
Komisi Brundtland18 yang terumuskan berupa :
“if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.
Pembangunan yang dijalankan di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga
sekarang masih cenderung fokus pada pembangunan ekonomi, bahkan pada
pertumbuhan ekonomi yang cenderung jangka pendek. Sehingga masalah
keberlanjutan belum menjadi prioritas utama. Oleh karena itu tidak mengherankan
jika pertumbuhan ekonomi pun kualitasnya semakin memburuk. Apalagi dengan
keterbatasan APBN dan sumber daya yang kita miliki, sehingga tidak mengherankan
18 Sejarah lahirnya prinsip pembangunan berkelanjutan ditandai dengan terbentuknya World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan) pada tahun 1984, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnya komisi ini lazim pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis dan memberi saran bagi protes pembangunan berkelanjutan, yang laporannya terangkum dalam buku Our Common Future, yang di dalam Bahasa Indonesia adalah “Hari Depan Kita Bersama”. Komisi ini terdiri dari 9 orang yang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara berkembang. Salah seorang anggotanya adalah Emil Salim dari Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal. 147.
10
apabila pengambil kebijakan lebih memilih jalan pintas, yang cepat kelihatan
hasilnya, kurang memperhatikan keberlanjutannya.19
Padahal pembangunan berkelanjutan sudah menjadi tuntutan bagi pengambil
kebijakan pembangunan dalam bumi yang semakin rusak ini. Namun demikian
lingkungan hidup tidak mendapatkan banyak perhatian sejak lama baik pada skala
global, regional ataupun negara. Apalagi negara sedang berkembang yang tengah
banyak menghadapi permasalahan ekonomi seperti Indonesia. Sehingga degadrasi
lingkungan telah banyak menurunkan kualitas hidup masyarakat, khususnya di negara
sedang berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itulah masyarakat dunia sejak
tahun 1970-an mulai memberikan perhatian yang besar pada masalah lingkungan,
dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Hal itu dapat dilihat diantaranya dari
Stockholm Conference (1972), Agenda 21 di Rio Earth Summit (1992), dan
Johannesburg Declaration (2002). Meski komitmen dan perhatian besar telah
diberikan pada tingkat internasional, namun kondisi lingkungan hidup masih saja
memburuk. Kita sekarang masih hidup dalam kondisi yang dapat merusak lingkungan
hidup semakin parah, sehingga akan membahayakan kehidupan umat manusia pada
masa mendatang. Oleh karena itulah usaha untuk menjaga lingkungan hidup agar
pembangunan dapat berkelanjutan sehingga kepentingan kehidupan generasi yang
akan datang terproteksi, menjadi semakin penting untuk diperjuangkan. Dengan
demikian perlu adanya jaminan agar supaya dalam memenuhi kebutuhan sekarang
19 Sri Adiningsih, “Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ekonomi”, http://www.perwaku.org/index.php?option=com_content&view=article&id=64:pembangunan-berkelanjutan-di-indonesia-ditinjau-dari-aspek-ekonomi&catid=40:artikel-dan-opini&Itemid=77., diakses pada 27 Januari 2011.
11
kita tidak akan mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya.20
Dalam perkembangannya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak
hanya terkait dengan aspek lingkungan hidup, namun juga pembangunan ekonomi
dan sosial yang dikenal dengan the living triangle. Tidaklah mungkin lingkungan
dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat buruk. Oleh
karena itulah dalam rangka melestarikan lingkungan hidup kita secara berkelanjutan,
pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan juga perlu dilakukan. Tidaklah
mungkin masyarakat yang untuk hidup saja sulit akan dapat menjaga lingkungannya
dengan baik. Perhatian dan komitmen yang besar masyarakat internasional pada
pembangunan berkelanjutan khususnya dari negera maju dalam beberapa conference
adalah cukup besar. Namun demikian dalam implementasinya ternyata jauh dari
harapan. Dapat dilihat bahwa Official Development Assistance (ODA) yang
diberikan negara maju rata-rata hanya sebesar 0,27% dari PDB mereka pada tahun
1995, turun dari 0,34% pada tahun 1992. Pada tahun 2000 didapati hanya 4 negara
yang menandatangi komitmen ODA memenuhi komitmennya. Hal ini mencerminkan
bahwa pembangunan berkelanjutan pada tingkat globalpun seringkali hanya menjadi
retorika politik belaka. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa upaya pembangunan
berkelanjutan tidak mudah diimplementasikan.21
Rendahnya komitmen negara maju dalam memenuhi komitmennya dalam
kerangka pembangunan yang berkelanjutan tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan
20 Ibid.21 Phillip J. Cooper dan Claudia M. Vargas, Implementing Sustainable Development from
Global Policy to Local Action, (Inggris : Rowman & Littlefield Publisher Inc., 2004) sebagaimana dikutip Sri Adiningsih, Loc.cit.
12
rendahnya kepentingan negara maju untuk mendukung pembangunan berkelanjuitan
global. Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan kalahnya prioritas menjaga
lingkungan dengan masalah aktual seperti meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
taupun menjaga agar dunia usaha dari negaranya yang banyak diwakili oleh TNCs
terus berkembang dalam pasar global. Tingginya nilai politis dari kepentingan
ekonomi jangka pendek tersebut memang akan mudah membuat politisi baik dari
negara maju ataupun sedang berkembang akan mengedepankan kepentingan jangka
pendek. Selain itu jangan lupa bahwa bargaining power dari bisnis raksasa di negara
maju tentu saja juga besar sekali, sehingga akan mampu mendistorsi keputusan yang
diambil oleh pejabat publik, dapat mengalahkan kepentingan publik dalam jangka
panjang. Hal yang sama juga terjadi di negara kita, dimana seringkali pengambilan
keputusan dibengkokan oleh kepentingan pemodal yang memiliki kedekatan dengan
kekuasaan. Sehingga tidaklah mengherankan jika World Trade Organization (WTO)
yang menawarkan liberalisasi serta akses pasar yang lebih luas, serta kadang
menawarkan solusi yang lebih menarik/menguntungkan terhadap berbagai isu yang
sama (terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan) dapat menjadi salah satu outlet
bagi mereka. Oleh karena itulah dapat dipahami jika WTO berkembang pesat akhir-
akhir ini. Sementara pembangunan berkelanjutan semakin tenggelam ditengah-tengah
berbagai kemelut ekonomi yang dihadapi oleh banyak negara, khususnya negara
Selatan.22
Prinsip-prinsip ekonomi yang menekankan pada efisiensi ekonomi dengan
maximizing benefit dan minimizing cost dari sudut pandang teori ekonomi memang
22 Ibid.
13
sangat rasional. Sehingga dengan ekonomi yang semakin liberal ekonomi pada
akhirnya banyak dikuasai oleh perusahaan transnational (TNCs) yang banyak
beroperasi di negara sedang berkembang, baik untuk mendapatkan input khususnya
sumber daya alam, maupun tenaga kerja murah, ataupun untuk memperluas pasar
produk mereka. Sedangkan bagi negara sedang berkembang, globalisasi yang
menjadikan masyarakatnya menjadi konsumen dari TNCs, juga menggunakan
globalisasi untuk memperluas pasarnya, meskipun biasanya untuk produk primer
ataupun sekunder dengan tingkat teknologi yang rendah. Sehingga banyak negara
sedang berkembang yang terjerat utang ataupun masih harus berkubang dengan
kemiskinan yang kronis. Bahkan Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its
Discontent (2002) mengatakan bahwa manfaat dari globalisasi lebih rendah dari
klaim yang selama ini diyakininya, sebab harga yang harus dibayar juga mahal,
karena lingkungan yang semakin rusak, demikian juga proses politik korup
berkembang, dan cepatnya perubahan yang terjadi membuat masyarakat tidak dapat
menyesuaikan budayanya.23
Liberalisasi pasar yang semakin melibas perekonomian di banyak Negara juga
telah menghambat pembangunan berkelanjutan. Martin Khor direktur dari Third
World Network melihat bahwa lieberalisasi dan globalisasi yang menekankan pada
"daya saing" telah menghambat pembangunan berkelanjutan sehingga merusak
lingkungan. Liberalisasi dan globalisasi telah memperburuk lingkungan global karena
tidak adanya aturan dan pengawasan pada TNCs di pasar global sehingga
meningkatnya volume bisnis mereka meningkatkan kerusakan lingkungan. Padahal
23 Ibid.
14
aktivitas TNCs telah banyak merusak lingkungan hidup (penghasil lebih dari 50%
greenhouse gases). Demikian juga kebijakan yang liberal dan integrasi pasar telah
mendorong peningkatan eksploitasi dari sumber daya alam seperti hutan dan kelautan
sehingga mendorong kerusakkan lingkungan yang serius. Selain itu globalisasi
mendorong ekplorasi sumber daya alam yang melampau batas keberlangsungannya
seperti air, tanah, dan mineral, telah banyak merusak lingkungan hidup.24
Bagi negara seperti Indonesia, yang baru saja keluar dari krisis ekonomi, serta
masih menghadapi banyak masalah ekonomi dan sosial yang berat, sehingga
menghadapi proses globalisasi baik dalam kerangka ASEAN Free Trade Area
(AFTA) tahun 2010, ASEAN Economic Community tahun 2015, Asia Pacific
Economic Cooperation (APEC), dan WTO adalah tidak mudah. Oleh karena itu
membangun kembali Indonesia tidaklah mudah pada saat ini. Apalagi membangun
secara berkelanjutan ditengah-tengah pasar yang semakin liberal.25
B. Peran Perempuan Dalam Membantu Masalah Global Terhadap
Lingkungan Apabila Dikaitkan Dengan Agenda 21 Dan Undang-Undang
Lingkungan Hidup
Masyarakat mengandalkan air, lahan, energi, keanekaragaman hayati dan
ekosistem yang sehat untuk menjamin kelangsungan penghidupan mereka dan asset
alam sangat penting untuk keluar dari kondisi pemiskinan. Banyak isu lingkungan
yang tadinya berdiri sendiri sebagai isu lingkungan seperti perubahan iklim dan
24 Ibid.25 Ibid.
15
bencana, sekarang bergeser menjadi isu pembangunan secara umum dan politik
karena luasnya dampak yang ditimbulkan. Salah satu kelompok penerima dampak
terbesar, jika kita bicara tentang lingkungan dan menurunnya fungsi layanan aset
alam adalah perempuan. Perempuan dan pembedaan peran perempuan dalam
masyarakat di Indonesia membuat beban yang lebih bagi perempuan. Perempuan
sering mengalami ketidakadilan akibat pembedaan gender tersebut.26
Karena pembedaan peran ini erat kaitannya dengan budaya patriarki baik
dalam artian sederhana, maupun oleh perimpitan budaya patriarki dengan
kapitalisme, arus modal, neo-kolonialisme, neo-liberalisme dan berbagai bentuk
kekerasan. Upaya mengatasi masalah ketidakadilan gender harus dilihat sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dengan perlawanan terhadap penghancuran kehidupan
manusia. Selama satu dasawarsa, pemerintah Indonesia melakukan eksploitasi
sumber daya alam demi alasan pertumbuhan perekonomian. Sayangnya, paradigma
ekonomi sentries dalam pembangunan ini, telah menghancurkan sumber-sumber
kehidupan rakyat, khususnya perempuan.27
Aktor dan sistem yang mendorong kapitalisme turut melanggengkan
marjinalisasi terhadap rakyat dan perempuan. Berbagai kebijakan dan peraturan juga
mendukung kerangka ini, misalnya Undang-Undang Otonomi Daerah yang
melahirkan berbagai Peraturan Daerah yang bias gender dan memisahkan SDA dari
rakyat. Instrumentasi hukum oleh kekuatan ekonomi telah menjadikan rakyat
terutama perempuan sebagai kelompok rentan, tetapi juga menjadi kelas yang paling
26 Walhi Kaltim, “Gender dan Lingkungan Hidup”, http://www.satuportal.net/content/peran-perempuan-dalam-penyelamatan-lingkungan-hidup., diakses pada 27 Januari 2011.
27 Ibid.
16
dimiskinkan. Di sektor industri ekstraktif seperti kehutanan, perkebunan dan
pertambangan, kepemilikan dikuasai oleh modal dan industri skala besar, sementara
disisi yang lain rakyat, terutama perempuan, semakin dijauhkan dari hutan dan aset
alam tempat mereka menggantungkan penghidupan.28
Paradigma daratan dengan mengabaikan kekhasan Indonesia sebagai negara
kepulauan, juga semakin mengeksploitasi sumber daya laut dan pesisir yang
menggusur ribuan nelayan, terutama perempuan nelayan, dari ruang hidupnya.
Kehancuran sumber daya laut semakin diperparah dengan pencemaran limbah
industri dan kerusakan hutan mangrove, sehingga menjadi kelumrahan kemudian juga
angka pemiskinan begitu tinggi di wilayah pesisir Indonesia.29
Kelangkaan air terus menerus menjadi krisis rutin di Indonesia, bencana
kekeringan dan tingkat pencemaran industri yang tinggi, mengakibatkan perempuan
semakin sulit untuk bisa mengakses air bersih dan menjaga ketahanan pangan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di kota, perempuan semakin ditekan
dengan menjamurnya budaya konsumtif yang didorong oleh industrialisasi pusat
perbelanjaan. Budaya ini kemudian menghasilkan timbunan sampah, pencemaran air
tanah dan menciutnya ruang terbuka publik. Ditambah lagi dengan ancamana solusi
teknologi yang justru berdampak buruk bagi kesehatan, seperti teknologi
incenerator.30
Ironisnya, ketika bencana ekologis terus menerus terjadi karena kesalahan
pendekatan pembangunan, pemerintah pun tidak mampu memberikan perlindungan
28 Ibid.29 Ibid.30 Ibid.
17
yang layak kepada jutaan perempuan yang tinggal di berbagai wilayah yang rentan
terhadap bencana. Pemerintah melakukan pengabaian hak rakyat, khususnya
perempuan, dalam pemenuhan hak-hak dasarnya pada pasca bencana terutama pada
tahap tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.31
Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset alam belum merefleksikan sisi
pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser kedaulatan perempuan
dalam mengelola dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan
tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-laki, bahkan oleh
perempuan sendiri. Perempuan juga masih ditinggalkan dalam proses pengambilan
kebijakan. Jika melihat bahwa persoalan lingkungan hidup dan aset alam sebagai
sebuah proses politik, perempuan banyak ditinggalkan dalam proses pengambilan
keputusan politik untuk dapat mengakses sumber-sumber kehidupannya. Padahal,
perempuan menjadi garda terdepan dalam upaya pelestarian lingkungan hidup
dimulai dari tingkatan keluarganya, hingga mengambil peran penting dalam
mengelola aset alam.32
Bagi perempuan, the personal is political. Sesungguhnya persoalan
perempuan adalah persoalan politik yang berkaitan dengan relasi kekuasaan, dan
perempuan selalu menjadi kelompok yang dirugikan.
31 Ibid.32 Ibid.
18
BAB III
PENUTUP
Masa depan dan kehidupan bangsa dan negara akan banyak sekali ditentukan
oleh berbagai pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada saat ini. Apalagi
pemerintah juga cenderung semakin liberal dalam melaksanakan kebijakan
ekonominya. Sementara itu tuntutan untuk membangun secara berkelanjutan juga
semakin meningkat selaras dengan semakin besarnya ongkos yang harus kita pikul
dengan semakin rusaknya lingkungan hidup, yang dapat dilihat dengan semakin
banyaknya bencana alam yang merenggut banyak nyawa dan material akhir-akhir ini.
Oleh karena itu Indonesia tidak lagi dapat mengabaikan pelestarian lingkungan
hidupnya.
Trade off antara mengedepankan kepentingan jangka pendek (kepentingan
generasi sekarang) dengan kepentingan jangka panjang (kepentingan anak cucu kita)
harus segera diambil keputusannya. Sudah saatnya kita hidup bukan hanya untuk
kepentingan jangka pendek, namun harus memperhatikan kepentingan generasi
mendatang yang akan hidup di Indonesia. Oleh karena itu harus ada perubahan
paradigma dalam pengelolaan ekonomi agar supaya keputusan apapun yang diambil
akan menggunakan perspektif jangka panjang, mengedepankan pembangunan yang
berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pembuatan kebijakan ekonomi harus menjaga
lingkungan hidup serta mempertimbangan aspek sosial masyarakat. Untuk itulah
Indonesia sudah saatnya menyusun program pembangunan berkelanjutan secara
19
terintegral agar supaya lebih efektif dalam menjaga lingkungan hidup kita. Namun
demikian kebijakan dengan program yang baguspun tidaklah dapat menjamin
keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa
tantangan utama dalam pembangunan berkelanjutan adalah implementasi dari
kebijakan yang diambil. Oleh karena itulah perlu disiapkan suatu environment agar
tujuan pembangunan berkelanjutan berhasil. Dalam hal ini kebijakan ataupun
program tersebut mesti mempertimbangkan baik dari sisi teknis, legal, fiskal,
administrasi, politik, etik dan budaya agar mudah diimplementasikan.
Intinya adalah pemerintah sebaiknya mengeluarkan peraturan-peraturan yang
mengedepankan perempuan agar tidak termarginalkan karena perempuan sangat
berperan aktif sebagai garda terdepan untuk menciptakan dan mendidik penerus
bangsa yang cinta akan tanah air dan melindungi kekayaan alam yang ada di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
20
BUKU
Irwan, Zoer’aini Djamal., Besarnya Eksploitasi Perempuan & Lingkungan, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009.
Purba, Jonny., Pengelolaan Lingkungan Sosial, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Jakarta : Erlangga, 2004.
Syahrin, Alvi., “Modul Perkuliahan Hukum Tata Lingkungan : Pembangunan Berkelanjutan”, Medan : Universitas Sumatera Utara Program Magister Ilmu Hukum, 2009.
ARTIKEL & INTERNET
Adiningsih, Sri., “Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ekonomi”, http://www.perwaku.org/index.php?option=com_content&view=article&id=64:pembangunan-berkelanjutan-di-indonesia-ditinjau-dari-aspek-ekonomi&catid=40:artikel-dan-opini&Itemid=77., diakses pada 27 Januari 2011.
“Benarkah Jumlah Pria Lebih Banyak Dibanding Wanita di Indonesia?????”, http://ariekaonly.multiply.com/journal/item/30/Benarkah_jumlah_pria_lebih_banyak_dibanding_wanita_di_Indonesia_., diakses pada 27 Januari 2011.
Endarwati, “Agenda 21 Indonesia”, http://endarwati.blogspot.com/2005/09/agenda-21-indonesia.html., diakses pada 26 Januari 2011.
“Local Agenda 21 (LA21)”, http://www.jpbdjohor.gov.my/ pautan_info/LocalAgenda21.pdf., diakses pada 26 Januari 2011.
Sihombing, Denny L., “Penerapan Code of Conducts Dalam Mengatasi Masalah Lingkungan Hidup : Enhancing Sustainability Development Based on
21
Comprehensive Holistic Framework Level Analysis in Handling Environmental Problems in Contemporary World”, http://dennyprincess.wordpress.com/2010/06/26/penerapan-code-of-conducts-dalam-mengatasi-masalah-lingkungan-hidup-enhancing-sustainability-development-based-on-comprehensive-holistic-framework-level-analysis-in-handling-environmental-problems-i/., diakses pada 24 januari 2011.
Tyokronisilicus, “Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Untuk Mengatasi Perubahan Iklim Global”, Bagian I, http://tyokronisilicus.wordpress.com/2010/05/11/perkembangan-hukum-lingkungan-internasional-untuk-mengatasi-perubahan-iklim-global-bag-1/., diakses pada 24 Januari 2011.
United Nations Development Programme, “Menuju Agenda 21 : Mengkaji Kapasitas Nasional”, http://www.undp.or.id/factsheets/Indonesia/fs_eu_ncsa.pdf., diakses pada 27 Januari 2011.
Walhi Kaltim, “Gender dan Lingkungan Hidup”, http://www.satuportal.net/content/peran-perempuan-dalam-penyelamatan-lingkungan-hidup., diakses pada 27 Januari 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
22