kebijaksanaan hakim dalam melindungi korban kejahatan pencabulan anak di pengadilan negeri...

50
1 KEBIJAKSANAAN HAKIM DALAM MELINDUNGI KORBAN KEJAHATAN PENCABULAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI MEDAN Oleh : Agung Yuriandi Medan 2011 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaaan anak ditinjau dari sisi agama selain merupakan amanah juga sebagai karunia Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Dari sudut pandang kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang anak merupakan masa depan dan generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak mendapatkan perlindungan baik itu dari kejahatan, kekerasan, diskriminasi, dan bentuk apa pun lainnya yang dapat dianggap merusak masa depan anak

Upload: agung-yuriandi

Post on 28-Jul-2015

830 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Anak adalah anugerah dari Tuhan yang harus dijaga dan dibimbing. Namun, jika tidak sedikit kejadian pencabulan anak di masyarakat. Bagaimana kebijaksanaan hakim dalam memutus perkara ini.

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

1

KEBIJAKSANAAN HAKIM DALAM MELINDUNGI KORBAN

KEJAHATAN PENCABULAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

Oleh :

Agung Yuriandi

Medan

2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaaan anak ditinjau dari sisi agama selain merupakan amanah juga

sebagai karunia Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Dari sudut pandang

kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang anak merupakan masa depan dan

generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak mendapatkan perlindungan

baik itu dari kejahatan, kekerasan, diskriminasi, dan bentuk apa pun lainnya yang

dapat dianggap merusak masa depan anak sebagai penerus cita-cita perjuangan

bangsa sekaligus modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.

Perlindungan terhadap anak di Indonesia telah dijamin keberadaannya oleh

konstitusi yang telah mengamanahkan bahwa anak berhak untuk dilindungi dari

segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam bentuk seksual. Sebagaimana

tercantum pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap anak

Page 2: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

2

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dengan adanya jaminan dalam

konstitusi UUD 1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki

kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Dengan

demikian, berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, negara dalam hal ini

pemerintah berkewajiban untuk melindungi anak sebagai bagian warganegara yang

harus terus dipelihara masa depannya.

Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari

Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal

Declaration of Human Right tahun 1958. Bertitik tolak dari itu, kemudian pada

tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The

Rights of The Child (Deklarasi Hak-hak Anak). Sementara itu masalah anak terus

dibicarakan dalam kongres-kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The

Treatment of Offenders.

Kongres pertama di Jenewa pada tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of

Juvenile Delinquency. Kemudian pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali

mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi internasional

kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional,

Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang

meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan

mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan Konvensi Hak Anak. Tahun 1989,

rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir

tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November.

Page 3: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

3

Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan

Amerika Serikat.

Dalam Pasal 16 Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa tidak ada seorangpun

anak akan dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan

pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak

sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa anak

berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan atau serangan

semacam itu. Berdasarkan pada ketentuan tersebut itu, dapat ditarik pengertian bahwa

anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan

pribadi, keluarga, rumah dan surat menyurat serta dari fitnah.

Di Indonesia secara yuridis perhatian terhadap anak-anak telah mulai ada

sejak adanya berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah

maupun badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma Permadi Siwi

yang pada akhirnya telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang secara khusus mengatur

tentang hak-hak anak.

Sebagai hak asasi, kesejahteraan anak di Indonesia diatur juga dalam Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun demikian

melihat arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap

memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan

perlindungan anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan

peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan

anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Page 4: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

4

Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Seiring dengan perkembangan jaman, perlindungan terhadap anak semakin

dituntut pelaksanaannya. Perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi dewasa

ini telah memunculkan beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Efek atau dampak positif dari perkembangan teknologi dan budaya adalah

semakin canggihnya teknologi yang ada pada saat ini, sedangkan efek negatifnya

adalah adanya pergaulan bebas dan semakin meningkatnya kejahatan seks yang

terjadi, khususnya yang menimpa anak-anak.

Kewajiban negara dalam melindungi hak-hak anak merupakan kewajiban

dasar dalam perspektif HAN/HAM yang harus dilakukan oleh negara. Kewajiban itu

meliputi kewajiban menghormati (respect), kewajiban melindungi (protect) dan

kewajiban memenuhi (fulfill).1 Kewajiban menghormati berarti bahwa negara tidak

boleh merusak standart hak sebagaimana yang diakui dalam konvensi. Kewajiban ini

disebut juga sebagai kewajiban negatif. Kewajiban melindungi menghendaki negara

harus melakukan sesuatu guna melindungi agar anak tidak terlanggar hak-haknya.

Kewajiban ini disebut juga sebagai kewajiban positif. Sedangkan kewajiban

1 Odi Shalahuddin, Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual, http://odishalahuddin. wordpress.com/2010/06/04/perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual/.

Page 5: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

5

memenuhi yang juga merupakan kewajiban positif menghendaki negara agar

melakukan intervensi.2

Sebenarnya pengaturan hukum perlindungan anak meliputi berbagai bidang

hukum, di antaranya bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum Islam, hukum

acara perdata dan acara pidana, dan sebagainya. Akan tetapi perbedaan masalah yang

dihadapi dalam melakukan perlindungan anak, dapat mengakibatkan berbedanya

bidang hukum yang dihadapi. Menghadapi kekerasan, penganiayaan, pencabulan dan

sebagainya, penanganannya berada pada bidang hukum pidana. Prosesnya melalui

jalur penyelidikan dan penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh penuntut umum/jaksa,

kemudian dilanjutkan dalam sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Sementara

penentuan pengasuhan anak bagi orang tua yang bercerai diputuskan melalui

Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan di Pengadilan Negeri bagi yang

beragama non Islam.3 Walau banyak sekali regulasi yang mengatur tentang

pentingnya perhatian dan pemenuhan terhadap ahak anak-anak namun ternyata kasus

kekerasan terhadap anak masih sering terjadi, bahkan diantara bentuk kekerasan yang

paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam bentuk pencabulan.4

2 Ibid.3 Nur Hasyim, Perlindungan Anak Ditinjau dari Perspektif Hukum, (makalah: KPAID

Provinsi Riau). 4 Tentang tingginya kasus kejahatan pencabulan terhadap anak ini, Odi Shalahaddin seorang

Koordinator Eksekutif Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), memaparkannya sebagai berikut: ”...Pusat Pariwisata UGM (1999) yang melakukan penelitian di lima kota mengenai “Child Abused“ menemukan adanya kekerasan seksual terhadap anak. Di Semarang yang menjadi salah satu lokasi penelitian, ditemukan hampir 60 % anak pernah mengalami kekerasan seksual. Pada kelompok anak yang lebih spesifik yaitu anak jalanan perempuan di Semarang, Yayasan Setara berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 1999 menyatakan hampir seluruh anak jalanan pernah mengalami pelecehan seksual. Perkosaan terhadap anak, dalam banyak kasus juga sering tidak dilaporkan oleh korban. Purnianti Mungunsong (Suara Merdeka, 12 Juli 1993) memperkirakan jumlah keseluruhan kasus perkosaan mencapai 1500-2000 per tahun. Mohammad Farid (1998) yang melakukan penghitungan atas berita-berita perkosaan tahun 1994-1996 yang dihimpun Kalyanamitra menemukan bahwa setiap tahunnya rata-rata 60% korban perkosaan adalah anak-anak. Mengacu kepada jumlah kasus perkosaan yang dinyatakan oleh Mangunsong, Farid memperkirakan jumlah

Page 6: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

6

Perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual harus

menjadi prioritas pemerintah dan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak.

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung

jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban untuk melindungi anak

melekat terus dalam situasi dan kondisi apapun, baik itu kondisi darurat maupun non darurat,

baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, baik korban tindak pidana maupun

pelaku tindak pidana.

Dalam hal perlindungan terhadap anak ini, pasal 59 dan pasal 64 UU No. 22

tahun 2003 menyatakan sebagai berikut:

Pasal 59:Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 64:

perkosaan terhadap anak di Indonesia tak kurang dari 900-1200 kasus. Kasus perkosaan diyakini meningkat tajam setiap tahunnya dan terjadi kecenderungan korbannya lebih mengarah kepada anak–anak. Hasil monitoring di Jawa Tengah yang di lakukan oleh K3JHAM (sekarang berganti nama menjadi LRC KJHAM) pada tahun 2000 mencatat 65% korban perkosaan adalah anak-anak. Sedangkan hasil monitoring Yayasan KAKAK pada periode Januari-September 2001 di wilayah yang sama mencatat 80% korban perkosaan adalah anak-anak. (lihat: Odi Shalahuddin, “Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual”, dalam http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/06/ 04/perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual/), diakses 10 Juli 2010. Selain data yang dikemukakan oleh Odi tersebut diberbagai daerah juga ditemukan angka tindak kejahatan pencabulan terhadap anak yang relatif tinggi, sebagai gambaran di Sumatera Utara misalnya sebagaimana laporan KPAID Sumut menyatakan bahwa “kasus pencabulan mendominasi kasus anak di Sumut” (baca: http://www.detiknews.com/read/2010/02/26/040540/1307185/10/kasus-pencabulan-dominasi-kasus-anak-di-sumut), demikian juga di Riau (lihat: Pencabulan, Kasus Tertinggi 2009, http://www.sumutcyber.com/?open=view&newsid=6671). Di Jabodetabek juga kasus yang paling dominan adalah kekerasan seksual, (lihat: Kasus Kekerasan Anak Di Jabodetabek Meningkat, http://bataviase.co.id/detailberita-10391410.html. 11 Dec 2009). di Kalimantan selatan juga demikan (baca: Kasus Anak di Kalsel Meningkat 100 persen, http://www.kalselprov.go.id/berita/kasus-anak-dikalsel-meningkat-100-persen, Rabu, 20 Januari 2010 09:34), Kalimantan Timur (lihat: 55 Kasus KDRT di Balikpapan, http://kaltim.antaranews.com/berita/2546/55-kasus-kdrt-di-balikpapan, Senin, 14 Desember 2009 20:35 WITA).

Page 7: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

7

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-

hak anak;b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak

yang berhadapan dengan hukum;f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua

atau keluarga; dang. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk

menghindari labelisasi.(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi;c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik

fisik, mental,maupun sosial; dand. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.

Berdasarkan pasal 59 dan 64 UU No. 22 tahun 2003 sebagaimana tersebut di

atas, maka anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun

sebagai korban wajib dilindungi hak-haknya oleh pemerintah. Seorang anak yang

menjadi korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik

secara phisik maupun secara mental spritual dan sosial, selain itu privasinya wajib

untuk dilindungi, nama baiknya wajib dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga

sebagai saksi korban menjadi tanggungjawab pemerintah, dan anak yang jadi korban

tersebut berhak untuk senantiasa mengetahui perkembangan perkara yang

dihadapinya.

Page 8: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

8

Salah satu institusi pemerintah/negara yang relatif banyak berhadapan

langsung dengan anak-anak korban tindak pidana adalah institusi pengadilan, hal ini

karena kasus-kasus pidana yang dihadapi anak muaranya akan diselesaikan di

pengadilan. Ketika penyelesaian kasus-kasus di pengadilan inilah, anak yang menjadi

korban tindak pidana berinteraksi dengan hakim baik secara langsung maupun tidak

langsung. Selama proses peradilan tersebut hakim di pengadilan mempunyai

kewajiban untuk melindungi anak yang menjadi korban kejahatan (tindak pidana).

Berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID)

Sumatera Utara, di Kota Medan sering terjadi kejahatan pencabulan terhadap anak, bahkan

untuk tingkat Sumatera Utara, kota Medan adalah daerah yang paling angka kejahatan

pencabulannya.5 Secara logika, jika pada suatu daerah banyak terjadi tingkat kejahatan

pencabulan terhadap anak maka pengadilan negeri setempat akan banyak menangani kasus-

kasus pencabulan anak tersebut. Namun di lapangan masih banyak ditemui adanya korban

yang enggan melaporkan kasus yang menimpanya ke pengadilan. Padahal kesaksian korban

di pengadilan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk membuktikan terjadinya

suatu tindak pidana.

Sebagaimana diungkapkan oleh Muchamad Iksan,6 bahwa dalam penegakan

hukum pidana Indonesia pembuktiannya menganut sistem negatif wettelijke (Pasal

183 KUHAP) yang harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah (dari lima alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP) dan adanya keyakinan

hakim tentang kesalahan terdakwa. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses

5 Baca “Pencabulan Mendominasi Kasus Anak di Sumut” dalam http://www.detiknews.com/ read/ 2010/02/26/ 040540/1307185/10/kasus-pencabulan-dominasi-kasus-anak-di-sumut, diakses 20 Juli 2010.

6 Muchamad Iksan, Hukum Perlindungan Saksi: Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Surakarta: Fakultas Hukum UMS, 2008), hal. 82.

Page 9: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

9

peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat,

atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan

menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak

pidana.

Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan

oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena

mendapat ancaman dari pihak tertentu. Selain itu barangkali ada juga faktor

kurangnya kepercayaan untuk memperoleh keadilan lewat persidangan di pengadilan.

Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak

memberikan kesaksian dipersidangan.7 Pelapor dapat juga sebagai korban dari tindak

pidana itu sendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 ayat (1) ”Saksi adalah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” dan ayat (2)

“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Pelapor yang

demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas

laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun

jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan

tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk

7 Ibid., hal. 76.

Page 10: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

10

melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena

khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

Selain itu dalam rangka untuk lebih memberi rasa keadilan bagi para korban,

para hakim seyogianya mempertimbangkan pemberian ganti kerugian terhadap si

korban dalam tuntutannya, karena merupakan suatu hal yang wajar apabila

penderitaan atau kepedihan yang menimpa si korban itu diringankan dengan diberi

kemungkinan mendapat penggantian kerugian.8

Sehubungan dengan pentingnya perlindungan dan perlakuan yang baik

terhadap korban tindak kejahatan, Arif Gosita berkomentar sebagai berikut:

Adalah wajar apabila kita sebagai bangsa yang mempunyai Pancasila dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang juga memperhatikan kepentingan para korban berbagai macam tindakan yang merugikan, benar-benar mencurahkan perhatian dan melaksanakan pelayanan kepada para korban kejahatan tertentu sesuai dengan kemampuan dan dengan berbagai cara. Apabila para pelaku dan para residivies yang pernah melakukan kejahatan mendapat pelayanan demi peri kemanusiaan, maka para korban kejahatan yang bukan penjahat, jelas patut mendapatkan pelayanan juga.9

Masalahnya adalah bahwa sampai dewasa ini pengaturan hukum pidana

terhadap korban kejahatan pencabulan belum menampakkan pola yang jelas.10

Selanjutnya, bagaimanakah hakim melakukan perlindungan terhadap korban tindak

kejahatan. Barangkali di sinilah perlunya kebijaksanaan seorang hakim.

Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti

bagaimana perlindungan hakim terhadap korban kejahatan pencabulan anak di

Pengadilan Negeri Medan, yang mana nantinya penelitian ini akan dituangkan dalam

8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal 194.9 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1983), hal. 155.10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP,

1995), hal. 72.

Page 11: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

11

bentuk tesis dengan judul “Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban

Kejahatan Pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka ada beberapa

masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yang mana masalah-masalah tersebut

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk perlakuan korban kejahatan pencabulan anak di Kota

Medan?

2. Bagaimana perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban kejahatan

pencabulan anak di Kota Medan?

3. Bagaimana kebijaksanaan hakim dalam melindungi korban kejahatan

pencabulan anak di Pengadilan Negeri Medan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlakuan korban kejahatan

pencabulan anak di Kota Medan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum kepada anak yang

menjadi korban kejahatan pencabulan anak di Kota Medan

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijaksanaan hakim dalam melindungi

korban kejahatan pencabulan anak di Pengadilan Negeri Medan.

D. Manfaat Penelitian

Page 12: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

12

1. Secara Teoritis,

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran bagi upaya peningkatan perlindungan hukum terhadap anak yang

menjadi korban kejahatan tindak pidana, serta dapat menjadi bahan rujukan

dan atau perbandingan untuk kepentigan penelitian ilmiah selanjutnya.

2. Secara praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membarikan masukan dan

manfaat bagi aktivis lembaga-lembaga perlindungan anak serta masukan bagi

para hakim pidana dalam mengambil kebijakan terhadap perlindungan anak di

dalam pengadilan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan telaah pustaka yang telah dilakukan di kepustakaan USU

penelitian mengenai masalah “Kebijaksanaan Hakim dalam Melindungi Korban

Kejahatan pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan” belum pernah dilakukan

dalam topik dan permasalahan yang sama, walaupun ada topik penelitian tentang

perlindungan anak yang ditulis oleh Syawal Aswad Siregar dengan judul

Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Peroses Peradilan Pidana Sesuai

dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang peradilan Anak: Studi Kasus di

Wilayah Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli akan tetapi topik dan permasalahan

yang akan dibahas ini berbeda dengan apa yang telah dibahas oleh Syawal tersebut,

karena Syawal dengan topiknya tersebut diatas meneliti masalah sebagai berikut:

Page 13: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

13

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana

di wilayah hukum Tebing Tinggi Deli?

2. Hambatan-Hambatan apa saja yang terjadi dalam peroses peradilan pidana

anak yang merintangi perlindungan hukum terhadap anak?

3. Program apakah untuk membina anak-anak selama mereka berada di Rutan

Tebing Tinggi?

Jadi dilihat dari topik dan permasalahan yang dikaji oleh Syawal serta topik

dan permasalahan yang akan penulis kaji jelas-jelas sangat berbeda, oleh karena itu

penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional,

objektif, dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan

kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

a. Teori Keadilan Hukum

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan

(rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum

(rechtszekerheid).11 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790),

Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow

University pada tahun 1750,12 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice).

11 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk., Jakarta, 2002, hlm. 85.

12 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar USU – Medan, 17 April 2004, hlm. 4-5. Sebagaimana

Page 14: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

14

Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari

kerugian” (the end of justice is to secure from injury).13

Menurut Aristoteles Keadilan itu ada dua macam, yaitu; keadilan distributif

(distributief) dan keadilan komutatif (commutatief), namun pakar hukum lain

membedakan keadilan atas enam macam, yaitu :

1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap orang

jatah menurut jasanya;

2. Keadilan komutatif, ialah keadilan yang memebrikan jatah kepada setiap

orang sama banyaknya tanpa harus menginagt jasa-jasa perseorangan.

3. Keadilan vindikatif, yaitu keadilan yang memberikan ganjaran atau

hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang

dilakukannya.

4. Keadilan kreatif, yaitu keadilan yang memberikan perlindungan kepada

seseorang yang dianggap kreatif dalam mengahsilkan karya ciptanya.

5. Keadilan protektif, yaitu keadilan yang memberikan bantuan dan

perlindungan kepada setiap manusia, sehingga tidak seorang pun dapat

diperlakukan sewenang-wenang.

6. Keadilan legalis, adalah keadilan yang ingin diciptakan oleh Undang-

Undang.14

Aspek keadilan adalah aspek terpenting dalam penegakan hukum. Hukum tanpa

dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law” dalam Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981, hlm. 244.

13 Ibid., hlm. 247, sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, ed. Lecture of Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hlm. 9.

14 Lihat Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru bekerjasama dengan UIN Jakarta, 2004), hal. 64-65.

Page 15: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

15

keadilan bukanlah hukum. Keadilan itu sesungguhnya merupakan esensi dari hukum,

hukum adalah keadilan, dan keadilan adalah hukum “ius quia iustum.”

Dalam hal perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana

pencabulan sesuai dengan jenis-jenis keadilan sebagaimana tersebut diatas, berarti

seorang anak yang dalam hal ini merupakan korban tindak pidana pencabulan berhak

untuk memperoleh keadilan protektif, yaitu keadilan yang memberikan bantuan dan

perlindungan kepada setiap manusia, dalam hal ini anak yang menjadi korban

pencabulan.

Seorang anak korban kejahatan pencabulan jikalau tidak dilindungi baik

secara pisik, mental, sosial maupun spritual berpotensi untuk mengalami

ketidakadilan yang lebih besar disebabkan berbagai hal, misalnya tekanan dari pelaku

untuk tidak memaparkan kejadian yang dialaminya di muka persidangan,

pemeberitaan media massa yang bisa jadi akan membuat dirinya merasa tidak senang

dan tidak nyaman akibat pemberitaan tersebut, maupun perasaan malu karena dirinya

telah pernah dicabuli, hal-hal seperti itu bisa menyebabkan dirinya merasa dirugikan

secara mental. Oleh sebab itu seorang anak yang menjadi korban kejahatan

pencabulan berhak untuk dilindungi baik secara fisik, mental maupun sosial, baik itu

dilembaga pengadilan maupun di luar lembaga pengadilan, dan pemerintah serta

masyarakat wajib memenuhi hak anak tersebut.

b. Teori Kebijakan Hukum

Untuk mewujudkan tercapainya tujuan negara yaitu negara yang makmur

serta adil dan sejahtera maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek

Page 16: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

16

termasuk aspek hukum. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi

masyarakatnya tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social

policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare

policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).15

Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy)

salah satunya dengan upaya-upaya memberikan perlindungan terhadap anak,

pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun

potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak

pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal policy).16

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal

(hukum pidana) ialah masalah penentuan:17

1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada sipelanggar.

Masalah menentukan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan

tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat

dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari

kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana

15 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 73.

16 Ibid, hal. 73.17 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2002), hal. 32.

Page 17: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

17

(penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal

policy).18

Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus

diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan

langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan

tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual

terus meningkat. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi

masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan

masalah politik kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Dalam

kehidupan tata pemerintahan hal ini merupakan suatu kebijakan aparatur negara.

Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah policy (Inggris) atau

politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah‚ kebijakan

hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam

kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai

istilah antara lain penal policy.

Menurut Barda Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanggulangan

kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka

kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social

policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social

welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social

18 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 240.

Page 18: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

18

defence policy).19 Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan

utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan. Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi

masalah sosial (kejahatan) termasuk dalam bidang penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy).20 Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal

pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan sebagai berikut :

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social Defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dan oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup didalamnya “social welfarepolicy”dan “social defence policy.21

Muladi mengemukakan, penggunaan upaya hukum (termasuk hukum pidana)

sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang

kebijakan penegakan hukum.22 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto

berpendapat bahwa dalam kebijakan penegakan hukum dalam rangka

19 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73-74.

20 Barda Nawawi Arief, loc.cit., hal 26.21 Ibid.22 Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana” (Semarang: Penerbit UNDIP, 1995),

hal. 35.

Page 19: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

19

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana harus diperhatikan

hal-hal sebagai berikut:23

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata

materiel spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka

(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi

kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum

pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan

yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga

masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan

hasil.

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan

sampai ada kelampauan beban tugas (overvelasting).

Jadi, kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law enforcement

policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan

legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan

eksekutif/administratif). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi merupakan tahap

yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui

23 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,( Bandung: Alumni, 1997), hal. 44-48.

Page 20: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

20

kebijakan hukum pidana. Kesalahan/ kelemahan kebijakan legislatif merupakan

kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

c. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat

abstrak menjadi kenyataan, jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk

mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang dalam hal ini tidak lain merupakan

pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-

peraturan hukum itu.24

Hukum yang telah dipilih sebagai sarana untuk mengatur kehidupan

bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yang berwujud peraturan perundang-

undangan melalui aparatur negara, maka perlu ditindaklanjuti usaha pelaksanaan

hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Disini kita telah

masuk ke dalam bidang penegakan hukum. Dalam hal ini perlu diperhatikan

komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan

kultur.25

Menurut Satjipto Rahardjo,26 Penegakan hukum merupakan suatu usaha

mewujudkan ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan, jadi penegakan hukum

24 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 24.

25 Lihat Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan” dalam Jurnal Keadilan Vol. 3, No. 6 Tahun 2003/2004.

26 Satjipto Rahardjo, op.cit.

Page 21: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

21

adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang dalam hal

ini tidak lain merupakan pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang

dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.

Kalau penegakan hukum diartikan sebagai proses perwujudan ide-ide, nilai-

nilai, yang terkandung didalam hukum maka sebenarnya telah masuk pada bidang

manajemen. Kebutuhan untuk pengelolaan hukum ini memerlukan wadah yang

disebut organisasi beserta birokrasinya. Dalam masyarakat yang semakin kompleks

kehadiran suatu organisasi untuk mengelola segala kebutuhan hidup sangat menonjol.

Untuk bisa menjalankan tugasnya, organisasi itu dituntut untuk mewujudkan tujuan-

tujuan hukum itu mempunyai suatu tingkat otonomi tertentu.

Otonomi ini dibutuhkan untuk bisa mengelola sumber daya yang tersedia

dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sumber-sumber daya ini berupa:

1. Sumber daya manusia seperti hakim, polisi, jaksa, panitera.

2. Sumber daya fisik seperti gedung, perlengkapan, kendaraan.

3. Sumber daya keuangan, seperti belanja negara dan sumber lain.

4. Sumber-sumber daya yang selebihnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan

organisasi dalam usahanya mencapai tujuannya.27

Secara konsepsional maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai

27 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Departemen Kehakiman, Tanpa Tahun, hal. 18.

Page 22: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

22

tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.28

Lebih lanjut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa “Penegakan hukum

sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang

menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum,

akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.” Roscoe Pound menyatakan, bahwa

pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti

sempit).29

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian

yaitu:

1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana

sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law

of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan

sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana

yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu

mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan.

Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada

delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut

sebagai area of no enforcement.

28 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hal. 47.

29 Ibid, hal. 4

Page 23: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

23

2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang

bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan

hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara

maksimal.

3. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap

not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasanketerbatasan dalam

bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang

kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya

inilah yang disebut dengan actual enforcement.30

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana

menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang

melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat

hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu

penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial

yang didukung oleh sanksi pidana.

2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative

system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum

yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

30 Muladi, op.cit.

Page 24: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

24

3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti

bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan

pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat diakatakan bahwa

sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil

interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.31

d. Teori Perjanjian Masyarakat

Teori perjanjian masyarakat merupakan teori asal usul negara yang paling tua

yang pernah dikemukakan dalam catatan sejarah manusia.32 Selain itu, teori perjanjian

masyarakat juga dikenal sebagai teori mengenai asal usul negara yang paling bersifat

universal karena teori ini dapat dijumpai baik dalam budaya barat maupun budaya

timur, serta dapat juga ditemui dalam hukum Islam maupun hukum Nasrani.

Universalitas dari teori ini disebabkan karena kesederhanaannya, karena secara

logika, pemerintahan dan hukum lahir dari sebuah kelompok individu (masyarakat)

seperti yang dikatakan dalam adagium ubi societas ibi ius. Dari adagium tersebut

dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum lahir dari masyarakat (ataupun bagian dari

masyarakat yang berwenang mengenainya) dan ditetapkan atas persetujuan anggota-

anggotanya. Persetujuan itu dapat diberikan secara tegas (expressed) atau dianggap

telah diberikan secara diam-diam (tacitly assumed).33

31 Ibid, hal. 41.32 Naskah tertua yang dapat ditemui dalam peradaban barat yang membahas mengenai teori

perjanjian masyarakat ini ditemukan di Yunani yaitu merupakan naskah Plato yang ditulis antara tahun 428 – 347 Sebelum Masehi, sedangkan naskah tertua di budaya timur ditemukan di India yang ditulis oleh Kautilya yang ditulis antara tahun 321 – 300 Sebelum Masehi.

33 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesembilan, (Bandung: Putra A Bardin, 1999), hal. 136.

Page 25: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

25

Persetujuan diberikan oleh masyarakat dalam rangka mendapatkan

perlindungan terhadap hak-hak individu dan personal mereka pula. Hal tersebut

membawa pada fungsi dan tujuan negara pada umumnya, yaitu menjalankan

pemerintahan atau kepemimpinan dengan baik serta melindungi kesejahteraan dan

ketertiban masyarakatnya. Terhadap fungsi dan tujuan negara pun, banyak ahli yang

mengemukakan pendapatnya. Terdapat beberapa kelompok ahli yang mengemukakan

bahwa sesungguhnya fungsi negara adalah untuk memberikan kesejahteraan materiil

dan kebahagiaan bagi setiap individunya. Aliran ini didukung oleh pemikiran dari

James Wilford Garner.34

2. Konsepsional

Konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang akan diteliti dan konsep itu sendiri merupakan salah satu

unsur konkrit dari teori. Namun demikian masih diperlukan penjabaran lebih lanjut

dari konsep itu dengan jalan memberikan defenisi operasionalnya. Berikut ini akan

dikemukakan depenisi operasional dari konsep-konsep yang akan diteliti.

1. Kebijaksanaan hakim

Secara etimologis kata kebijaksanaan berasal dari kata bijaksana yang

kemudian mendapat imbuhan gabung ke--an. Kata ini mengandung makna

“kepandaian menggunakan akal budi. (wisdom).” Pada kata bijaksana

34 Garner mengatakan bahwa negara memiliki tiga tujuan yakni: Tujuan Negara yang Asli dimana fungsi negara adalah mengutamakan kebahagiaan individu, Tujuan Negara Sekunder yang mengatakan bahwa fungsi negara adalah mensejahterakan warganegara secara kolektif, dan Tujuan Peradaban yang bertujuan memajukan peradaban negara. Ibid., hal. 174. Lihat juga J.W. Garner, Politicxal Science and Government, hal. 69-73.

Page 26: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

26

terkandung makna bijak, yakni akal budi, arif atau tajam pikiran, sehingga

kata bijaksana dapat berarti “ pandai dan cermat serta teliti ketika menghadapi

kesulitan dan sebagainya.

Makna kata kebijaksanaan lebih luas daripada makna kata bijaksana.35

Adapun defenisi hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan

adalah (1) orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah); (2)

pengadilan; atau (3) juri penilai.36

Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut, maka kebijaksanaan hakim dalam

hal ini dimaksudkan sebagai kepandaian, kecermatan serta ketelitian hakim

menggunakan akal budinya dalam mengadili suatu perkara.

2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.37

3. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.38

4. Korban kejahatan diartikan sebagai “mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

35 http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa24.html . diakses tanggal 20 Juli 2010.36 Pengertian sebagaimana tersebut dikutip oleh http://www.lexregis.com/ ?

menu=news&idn=434. Diakses tanggal 20 Juli 2010.37 UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 1 butir 1.38 UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 1 butir 2.

Page 27: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

27

kepentingan dan hak asasi yang menderita”.39 Sedangkan kejahatan menurut

diartikan sebagai perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-

undang pada suatu waktu tertentu dan yang dilakukan dengan sengaja,

merugikan ketertiban umum dan yang dapat dihukum oleh negara40 Adapun

korban kejahatan dapat diartikan sebagai orang-orang yang menderita atau

merasa dirugikan baik secara badaniyah maupun secara rohaniyah akibat

perbuatan jahat yang dilakukan seseorang.

5. Pencabulan adalah semua segala perbuatan yang dimaksudkan untuk

mendapatkan kenikmatan seksual yang mana perbuatan dimaksud

mengganggu kesusilaan dan diancam dengan pidana.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah

penelitian yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis empiris artinya

adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial

yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. Dalam penelitian

ini, selain mendasarkan pada penelitian lapangan, penulis juga melakukan penelaahan

secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.

2. Sumber Bahan Penelitian

39 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak: Kumpulan Karangan, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004), hal. 97.

40 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan, (Bandung: Refika Aditama, 2000), hal. 200.

Page 28: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

28

a. Bahan hukum primer:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

b. Bahan hukum sekunder

1) Referensi berupa buku-buku perpustakaan yang berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan;

2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi.

c. Bahan hukum tertier:

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia

2) Kamus Hukum.

3. Metode Pengumpulan Bahan Penelitian

Setelah mendapatkan sumberr bahan hukum primer dan sekunder, metode

pengumpulan bahan penelitian dilakukan dengan menelaah putusan-putusan hakim

yang berkaitan dengan korban kejahatan pencabulan anak. Untuk selanjutnya

pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (library

research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen

maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin

atau pendapat para sarjana.

4. Metode Analisis

Page 29: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

29

Sumber bahan penelitian yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan

tersebut selanjutnya dianalisis dengan landasan berpikir nalar induktif-deduktif.

Dipilihnya metode tersebut adalah agar gejala-gejala normatif yang diperhatikan

dapat dianalisis dari berbagai aspek secara mendalam dan terintegral antara aspek

yang satu dengan yang lainnya. Setelah bahan penelitian dikumpulkan, kemudian

diabstraksi untuk menentukan konsep-konsep yang lebih umum. Konsep yang lebih

umum sebagai hasil abstraksi merupakan jawaban-jawaban dari permasalahan yang

didukung oleh argumentasi-argumentasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum

yang sudah ada. Dengan demikian dari hasil analisis yang dilakukan diharapkan akan

diperoleh temuan-temuan dan kesimpulan yang bersifat deskriptif-analitis sehingga

pokok permasalahan yang dijawab dalam permasalahan ini dapat dijawab.41

DAFTAR PUSTAKA

41 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 196.

Page 30: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

30

A. BUKU

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001).

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002).

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. (Jakarta: Gunung Agung, 2002).

F. Isjwara. Pengantar Ilmu Politik. Cetakan Kesembilan. (Bandung: Putra A Bardin, 1999).

Hasanuddin A.F., dkk. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004).

Iksan, Muchamad. Hukum Perlindungan Saksi: Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. (Surakarta: Fakultas Hukum UMS, 2008).

Kapita Selekta Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003).

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995).

Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi. (Bandung: Sinar Baru, 1983).

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Rajawali Press, 1983).

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. (Bandung: Alumni, 1997).

Page 31: Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban Kejahatan Pencabulan Anak Di Pengadilan Negeri Medan_Agung Yuriandi

31

B. INTERNET

“Pencabulan Mendominasi Kasus Anak di Sumut,” dalam http://www.detiknews.com/read/2010/02/26/040540/1307185/10/kasus-pencabulan-dominasi-kasus-anak-di-sumut

Shalahuddin, Odi. “Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual”, dalam http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/06/04/perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual/, diakses 10 Juli 2010.

C. JURNAL DAN MAKALAH

Harkrisnowo, Harkristuti. “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Jurnal Keadilan Vol. 3, No. 6 Tahun 2003/2004.

Hasyim, Nur. “Perlindungan Anak Ditinjau dari Perspektif Hukum”, dalam Makalah KPAID Provinsi Riau.

Nasution, Bismar. “Mengkaji Ulang Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar USU – Medan, 17 April 2004.

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.