jurnal ilmiah tinjauan yuridis perjanjian kredit bank ... filehukum dari perjanjian kredit bank yang...

17
JURNAL ILMIAH TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM BENTUK PERJANJIAN BAKU MENURUT HUKUM DI INDONESIA Program StudiIlmuHukum Oleh : DIAH JUNIAR SAFITRI DIA014072 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2018

Upload: others

Post on 30-Oct-2019

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JURNAL ILMIAH

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM

BENTUK PERJANJIAN BAKU MENURUT HUKUM DI

INDONESIA

Program StudiIlmuHukum

Oleh :

DIAH JUNIAR SAFITRI

DIA014072

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2018

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM BENTUK

PERJANJIAN BAKU MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Oleh :

Diah Juniar Safitri

NIM. D1A014072

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) akibat hukum perjanjian kredit

bank dalam bentuk kontrak baku menurut peraturan perundang-undangan di

Indonesia (2) bentuk perlindungan hukum bagi nasabah debitur pada perjanjian kredit

bank dalam bentuk kontrak baku.Penelitian ini menggunakan metode normatif, yang

menggunakan metode pendekatakan peundang-undangan dan konseptual.Akibat

hukum dari perjanjian kredit bank yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan

di indonesia adalah dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Perlindungan hukum

bagi nasabah debitur dalam perjanjian kredit bank dapat didasarkan pada perjanjian

yang para pihak buat dan sepakati, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kata kunci : Perjanjian Kredit, Kontrak Baku

JURIDICAL REVIEW OFCREDIT CONTRACT IN STANDARDIZED

CONTRACT ACCORDING TO LAW OF INDONESIA

ABSTRACT

This research aimed to find out (1) legal consequences of standardized

contract in credit transaction according to in law of Indonesia (2) Legal protection

for debtor on standardized contract in credit transaction. This thesis is focused on

normative method, using the method of statute approach, and conceptual. Legal

consequences of standard contract which is not in accordance withthe terms of the

validity of the agreement, law of Indonesia will Void ab initioandVoidable. Legal

protection for debtorstandardized clausul in credit transaction is in accordance with

the agreements made by the parties and should follow law of Indonesia.

Keyword: Loan Agreement, Standard Contract

i

I. PENDAHULUAN

Lembaga keuangan bank (selanjutnya dalam tulisan ini disebut bank),

fungsi utamanya adalah menghimpun dana dan menyalurkan dana (kredit) kepada

masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 tentang Perbankan.

Kegiatan bank sebagai penghimpun dana dari masyarakat dapat dilihat dari aktivitas

bank dalam bentuk simpanan. Sedangkan kegiatan bank dalam penyaluran dana

kepada masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk pemberian kredit kepada

masyarakat.

Dalam praktik perbankan, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam

bentuk kontrak baku (standardcontract). Kontrak baku (standardcontract) itu

berprinsip take it or leave it, dalam arti hanya ada dua pilihan yaitu sepakat membuat

kontrak atau tidak sepakat membuat kontrak.1 Kontrak yang dibuat secara sepihak

dalam format tertentu dan massal (banyak) oleh pihak yang mempunyai kedudukan

dan posisi tawar-menawar yang lebih kuat, yang didalamnya memuat klausula-

klausula yang tidak dapat atau tidak mungkin dirundingkan atau diubah oleh pihak

lainnya yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar-menawar yang lebih lemah

selain menyetujui (take it) atau menolaknya (leave it).

1 Muhammad Syarifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,

Teori, Dogmatik dan Prekatik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju,

Bandung, 2012, hlm. 216.

ii

Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh

pihak bank untuk membuat klausula yang memberatkan debitur. Pihak debitur akan

dibebani dengan sejumlah kewajiban yang merupakan hak-hak bank yang mesti

dipenuhinya, dengan lebih banyak membuat perjanjian dalam bentuk baku yang di

dalamnya memuat klausula eksonerasi (exoneratie clausule, exemption clausule).

Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengadung kondisi membatasi, atau

bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada

pihak produsen/penyalur produk (penjual).2

Penerapan klausula baku telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Larangan

pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dapat ditemui dalam Pasal

18 UUPK. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang bank untuk

memberlakukan perjanjian baku yang memberatkan nasabah dan bank wajib

memenuhi keseimbangan, keadilan dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian

dengan konsumen.

Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, telah mengatur larangan

pencantuman klausulabaku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang berisi

2Ibid., hlm. 228.

iii

mengenai pengalihan tanggung jawab pelaku usaha atau bank, namun dalam

kenyataannya masih sering dijumpai adanya pencantuman klausula baku yang

memuat klausula eksonerasi pada perjanjian kredit bank.

Sehingga rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah akibat hukum

perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak bakuyang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan di Indonesia dan apakah bentuk perlindungan hukum bagi

nasabah debitur pada perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak baku. Tujuan dari

penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perjanjian kredit

bank dalam bentuk kontrak bakuyang tidak sesuai dengan peraturan perundang-

undangan di Indonesia dan untuk mengetahuidan menganalisis bentuk perlindungan

hukum bagi nasabah debitur pada perjanjian kredit bank dalam bentuk kotrak baku.

Selanjutnya manfaat dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan

dapatmemberikan sumbanganpemikiranbagi pengembangan Ilmu Hukum pada

umumnya dan khususnya mengenai Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Perjanjian

Baku dan diharapkan dapat memberikan pemikiran dan solusi yang tepat bagi

pengambilan kebijakan dalam membuat regulasi yang terkait dengan Perjanjian

Kredit Bank dalam Bentuk Perjanjian Baku.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan

sebagai norma atau kaidah yang berlaku di masyarakat. Dengan menggunakan

metode Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual

(Conceptual Approach).

iv

II. PEMBAHASAN

Akibat Hukum Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Kontrak Baku Menurut

Hukum di Indonesia

Hubunganantara bankdannasabah debitur yang diaturdalamhukumperjanjian

melahirkan akibat hukum bagi para pihak, dalam hal ini bank sebagai suatu badan

usaha dan nasabah debitur perorangan atau badan usaha mempunyai hakdan

kewajiban yang bersifat timbal balik.Dalam penelitian ini penulis menggunakan

contoh Perjanjian Kredit Modal Kerja.Akibat hukum Perjanjian Kredit Modal Kerja

sebagai salah satu contoh perjanjian kredit bank yang berbentuk kontrak baku, dapat

ditinjau menurut KUHPerdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor Nomor 01/POJK. 07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak baku seperti Perjanjian Kredit

Modal Kerja, agar mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak

yang membuanya harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti ditentukan

dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Syarat-syarat sahnya perjanjian berkaitan dengan subjek dan objek

perjanjian. Syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua berkaitan dengan subjek

perjanjian, yang disebut dengan syarat subjektif.Syarat sahnya perjanjian yang ketiga

dan keempat berkaitan dengan objek perjanjian, yang disebut dengan syarat

objektif.Syarat subjektif mencakup kesepakatan secara bebas dari para pihak yang

v

berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan

syarat objektif meliputi segala hal yang menjadi unsur esensialia dari perjanjian yang

menjadi objek perjanjian berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut

haruslah sesuatu yang tidak dilarang, diperkenankan menurut hukum, dan

dimungkinkan untuk dilaksanakan.

Perbedaan posisipara pihakketikaperjanjiankredit bank dalam bentuk

bakudiadakantidakmemberikesempatanpada nasabah debitur untuk mengadakan

negosiasi (realbargaining)dengan pelaku usaha atau bank sebagai kreditur. Nasabah

debiturtidak mempunyai kekuasaan mengutarakan kehendak dan kebebasannya

dalammenentukanisiperjanjian, artinya ada keterbatasan pihak nasabah debitur untuk

turut serta berperan dalam menentukan isi atau syarat perjanjian kredit bank yang

bersangkutan, sehingga tidak jarang terjadi pihak nasabah debitur sebagai konsumen

berada pada posisi yang riskan.Karena ituperjanjiankredit bank dalam bentuk

bakutidakmemenuhielemenyang dikehendaki Pasal 1320 jo. Pasal1338KUH Perdata,

karena disatu sisi syarat-syarat dalam perjanjian kredit bank sangat berat bagi nasabah

debitur, tetapi di sisi lain misalnya nasabah debitur sangat membutuhkan dana

sebagai modal kerja.

Dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak yang membuat dan

mengadakanperjanjian diperbolehkan menyusun dan membuat kesepakatan atau

perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja dilakukan, bukanlah sesuatu yang

vi

terlarang sebagaimana yang termaksud dalam pasal 1320 jo. Pasal1338 KUH Perdata.

Ketentuan Pasal 1337 KUH perdata menyatakan, bahwa :

“Suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan

dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Hal ini memberikan gambaran umum bagi kita semua, bahwa pada dasarnya

semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya saja

perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang

melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.

Dengan kedudukan atau posisi bank yang lebih tinggi dibanding posisi

nasabah debitur, berpeluang besar terjadinya penyalah-gunaan keadaan (misbruik van

omstandigheden) dalam perjanjian kredit bank dalam bentuk baku. Minimnya

pengetahuan para nasabah terkait dengan hukum perjanjian atau perbankan dan

lemahnya posisi nasabah selaku debitur dalam perjanjian kredit, memberikan peluang

terjadinya penyalahgunaan keadaan.

Kemudian Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Kontrak Baku Menurut

Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang bertujuan , yaitu agar konsumen

dapat memperjuangkan hak-haknya. Hak-hak konsumen yang tertuang dalam UUPK,

antara lain : Hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk mendapatkan informasi,

hak untuk memilih, dan hak untuk didengar. Pasal 18 UUPK mengatur beberapa

larangan terkait pencatuman klausula baku, larangan tersebut bertujuan untuk

menyeimbangkan atau menyetarakan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha.

vii

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPK tersebut, larangan penggunaan

standar kontrak dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya. Dari

segi isinya, dilarang menggunakan standar kontrak yang memual klausula-klausula

yang tidak adil, sedangkan dari segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus

dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti

dengan baik oleh konsumen.3

Konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal 18 UUPK adalah batal demi hukum

terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of

provisions, maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang bertentangan

dengan Pasal 18 saja. Sedangkan terhadap perjanjian lain diluar hubungan pelaku

usaha dan konsumen, pencantuman klausula baku adalah sah-sah saja.4

Sedangkan Perjanjian Kredit Bank Dalam Bentuk Baku Menurut POJK

Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

diatur dalam Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,

berdasarkan uraian pada pasal tersebut penulis berkesimpulan bahwa perjanjian kredit

bank dalam bentuk kontrak baku, berakibat hukum dapat dibatalkan dan batal demi

hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, hukum

karena bertentangan dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, Undang-

3 Janus SidabalokHukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2006, hlm. 27. 4 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Sandard) Perkembangannya di Indonesia,

dalam Salim H.S., (I), Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata Buku Satu, PT.

RajaGrafindo, Persada, Jakarta, 2006,.hlm. 55.

viii

Undang Perlindingan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Terdapat perbedaan antara UUPK dengan KUHPerdata, terkait dengan

akibat hukum perjanjian yang mengandung klausula baku. Dalam UUPK apabila

melanggar Pasal 18 Ayat (1) perjanjian tersebut dapat berakibat batal demi hukum,

sedangkan dalam KUHPerdata akibat hukum apabila tidak memenuhi syarat sah

perjanjian akibat hukumnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu batal demi hukum

dan dapat dibatalkan.

Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Debitur Pada Perjanjian Kredit

Bank Dalam Bentuk Kontrak Baku

Perlindungan hukum merupakan suatu pemberian jaminan atau kepastian

bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya,

sehingga yang bersangkutan merasa aman. Hukum tidak lain adalah perlindungan

kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaidah. Hukum sebagai kumpulan

peraturan dan kaedah mengandung isi yang bersifat umum atau normatif, umum

karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan

tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan

kepada faedah.5

Bentuk perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam perjanjian kredit

bank dalam bentuk baku, mencakup dua bentuk perlindungan hukum yaitu bentuk

5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal HukumSuatu Pengantar,Liberty, Yogyakarta, 2003,hlm.

39.

ix

perlindungan hukum berdasarkan perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para

pihak, dalam hal ini antara pelaku usaha jasa keuangan yaitu bank dengan

konsumen atau nasabah debitur, dan bentuk perlindungan konsumen yang

diberikan oleh Negara melalui ketentuan perundang-undangan.

Bentuk perlindungan hukum bagi Nasabah Debitur berdasarkan

perjanjian yang dibuat dan disepakati para pihak dapat dilihat pada apa yang

dimaksud dengan perjanjian secara normatif seperti yang ditentukan dalam Pasal

1313 KUHPerdata yaitu :

“Perjanjian suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang

atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua

pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk

melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang

berlaku, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku

dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif).

Sedangkan bentuk perlindungan hukum bagi Nasabah Debitur

berdasarkan Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam Undang-Undang No.

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Secara keseluruhan perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang

No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dibentuk oleh

pemerintah dengan tujuan agar hak-hak yang dimiliki konsumen tidak dirugikan.

Dalam Undang-Undang N o. 8 tahun 1999 diatur mengenai hak dan kewajiban baik

x

bagi konsumen maupun pelaku usaha yang terdapat dalam Bab III Pasal 4

sampai dengan 7, dengan tujuan agar pihak konsumen dan pelaku usaha dapat

mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan haknya.

Selain itu juga terdapat pengaturan tentang perbuatan yang dilarang bagi

pelaku usaha dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No.8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan di aturnya mengenai perbuatan

yang dilarang dilakukan pelaku usaha bisa mengantisipasi pelaku usaha agar tidak

melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai

ketentuan pencantuman klausula baku yang terdapat dalam Pasal 18. Dari segi

isinya, dilarang menggunakan standar kontrak yang memual klausula-klausula yang

tidak adil, sedangkan dari segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus

dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti

dengan baik oleh konsumen.6

Kemudia terdapat dalam Peraturan OJK Nomor 01/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Ruang lingkup perlindungan

konsumen dalam peraturan tersebut meliputi tiga hal pokok. Pertama, pengaturan

hak konsumen atas informasi. Hal ini dibuat sebagai upaya mencegah kerugian

konsumen sebelum transaksi. Ini menjadi sistem pengawasan preventif terhadap pelaku

jasa keuangan. Kedua, berisi perlindungan hak atas fair agreement. Ketiga, berisi

tentang kompensasi dan kerugian konsumen.

6 Janus Sidabalok. Op., Cit, hlm. 27.

xi

Pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai pengawasan yang

dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat

mencegah terjadinya penyimpangan. Oleh karena itu pemerintah membentuk sebuah

badan/lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan klausula

baku, untuk mencegah terjadinya kerugian yang dialami konsumen karena

keberadaan klausula baku, yaitu Badan Pennyelesaian Sengketa Keuangan (disingkat

dengan BPSK) dan Otoritas Jasa Keuangan (disingkat dengan OJK).

Pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku dengan letak atau bentuk

seperti yang diuraikan sebagai larangan dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, seperti dijelaskan di atas maka dikenakan sanksi perdata, pidana dalam

Pasal 62 ayat (1) UUPK atau beberapa hukuman tambahan yang di atur dalam Pasal

63 UUPK. Kemudian sanksi dalam POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan mengatur tentang sanksi administratif sebagaimana

di atur dalam Pasal 53 ayat (1).

xii

III. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan secara sistematis, maka

dapat diambil kesimpulan yang sesuai dengan rumusan masalah, yaitu akibat hukum

dari perjanjian kredit bank yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti

ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 asas kebebasan berkontrak,

dan melangggar ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen serta Pasal 22 Peraturan OJK (POJK) No. 1/POJK.07/2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan adalah dapat dibatalkan dan

batal demi hukum. Mengenai Perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam

perjanjian kredit bank dapat didasarkan pada perjanjian yang para pihak buat dan

sepakati, berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu : Undang-undang Nomor

8 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011, dan Peraturan OJK (POJK)

No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Saran

Saran dalam penelitian ini yaitu sebaiknya Bank dalam membuatperjanjian

kredit dalam bentuk kontrak baku, harus memperhatikan dan mengindahkan

ketentuan larangan klausula-klausula seperti yang ditentukan Pasal 18 Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, larangan klausla

seperti yang diatur dalam Pasal 22 POJK No. 1/POJK.07/2013 serta SEOJK Nomor

13/SEOJK.07/2014, sehingga perjanjian kredit bank yang dibuat tidak bisa

dimintakan pembatalan ke pengadilan oleh nasabah debitur. Kemudian Untuk

xiii

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat khusus nasabah debitur

terhadap perjanjian kredit bank dalam bentuk kontrak baku, Pelaku Usaha Jasa

Keuangan (PUJK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hendaknya lebih meningkatkan

program edukasi kepada masyarakat, walaupun saat ini sudah berjalan, namun masih

belum optimal.

x

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU :

JanusSidabalok, HukumPerlindungan KonsumendiIndonesia, PT.Citra AdityaBakti,

Bandung,2006.

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Sandard) Perkembangannya di

Indonesia, Alumni, Bandung, 1980.

Muhammad Syarifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif

Filsafat, Teori, Dogmatik dan Prekatik Hukum (Seri Pengayaan Hukum

Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal HukumSuatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

2003.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Indonesia, Undang-UndangNomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

Indonesia Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan .

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014, Tentang Kontrak

Baku.