jurnal ilmiah kepemilikan hak atas tanah akibat … ilmiah fix final.pdf · 2018. 11. 13. · hak...
TRANSCRIPT
i
JURNAL ILMIAH
KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH AKIBAT PERKAWINAN
CAMPURAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
(STUDI DI LOMBOK BARAT)
OLEH :
MUHMMAD RIZQI
(D1A 010 011)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH AKIBAT PERKAWINAN
CAMPURAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
(STUDI DI LOMBOK BARAT)
OLEH :
MUHAMMAD RIZQI
(D1A 010 011)
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Arief Rahman, SH., M.Hum
NIP: 196108161988031004
ABSTRAK
iii
KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
MUHAMMAD RIZQI
D1A 010 011
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan ketentuan yang berlaku
dengan fakta yang terjadi di masyarakat terkait kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI
dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Metode pendektan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris (sosiologi hukum) adalah pendekatan
dengan melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisa status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan
campuran berdasarkan peraturan-perundang yang berlaku dan memberikan kepastian hukum
bagi suami atau isteri WNI terkait status kepemilikan tanah dalam harta bersama akibat
perkawinan campuran. berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan, bahwa
kepemilikan tanah bagi WNI akibat perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan
adalah dipersamakan dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas
hak pakai. kepastian hukum bagi WNI saat ini agar berhak atas tanah dengan status hak
milik, yaitu dengan mengajukan perjanjian pisah harta pasca pernikahan.
Kata Kunci : Perkawinan Campuran, Perjanjian Perkawinan, Hak Milik Atas Tanah hakim
ABSTRACT
OWNERSHIP OF LAND RIGHTS DUE TO MIXED MARRIAGE IN VIEW OF THE LAW
NUMBER 5 OF 1960 ON THE BASIC RULES OF AGRARIAN
This thesis is the result of research that describes the provisions that apply to the facts
that occur in the community related land ownership for husband or wife Citizens in a mixed
marriage without a marriage agreement. The pendrotan method used in this study is empirical
juridical (legal sociology) is approach by looking at a legal reality in society. This study aims
to analyze the status of ownership of Indonesian citizens in joint property due to mixed
marriage based on applicable laws and provide legal certainty for the husband or wife of
Indonesian citizens related to the status of land ownership in joint property due to mixed
marriage. based on the result of the research, it is concluded that the land ownership for
Indonesian citizens due to mixed marriage without the marriage agreement is equal to the
right of the land for their foreign spouse, which is limited to the right of use. the legal
certainty for the current Citizens to be entitled to the land with the status of property rights,
namely by applying for the separation of property after the marriage.
Keywords: Mixed Marriage, Marriage Agreement, Land Ownership
iv
I. PENDAHULUAN
Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya
melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan
yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang
disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang
dipeluk.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), bukan hanya merupakan
suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan
keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya
sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang
dianutnya.1
Di samping itu, manusia memiliki cita rasa yang universal, tidak mengenal
perbedaan warna kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga bukanlah hal yang
mustahil bila terjadi perkawinan antar manusia dengan kewarganegaraan yang
berbeda, yaitu antara warga negara Indonesia (selajutnya disebut WNI) dengan warga
negara asing (selanjutnya disebut WNA). Perkawinan seperti ini di Indonesia dikenal
dengan perkawinan campuran.2
Perkawinan campuran dalam Undang-Undang Perkawinan diatur didalam
pasal 57, yang bunyinya “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
undang-undang ini ialah ;
Perkawinan antar dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”.
1Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung, 1978, hlm. 9. 2 Lawskripsi, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran Ditinjau dari
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”, artikel diakses pada 16 Oktober 2013 dari
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com content&view=article&id=92&Itemid=92.
v
Dikarenakan aturan tersebut diatas yang menyatakan kebolehan perkawinan
campuran, seiring berjalannya waktu semakin banyak perkawinan campuran yang
terjadi di Indonesia. Selanjutnya, dengan terjadinya perkawinan campuran akan
timbul beberapa permasalahan akibat terjadinya perkakwinan tersebut. Salah satu
masalah krusial yang sekarang ini sering dibicarakan, yakni terkait kepemilikan tanah
bagi WNI dalam harta bersama akibat terjadinya perkawinan campuran.
Dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria dinyatakan, bahwa :
Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula WNI yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu di dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya
hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika dalam jangka tersebut
lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum
dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang asing
terhadap hak atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran harta dalam
perkawinan (pasal 21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya tetap berlaku aturan
yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yakni :
hanya warga Indonesia yang berhak atas hak milik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sekarang ini di Pulau Lombok dengan
kekayaan wisatanya banyak Wisatawan-wisatawan asing yang tertarik dan tidak
menutup kemungkinan banyak WNA yang menetap dan melakukan pernikahan
campuran. Rumusan masalah : 1. Bagaimana pengaturan kepemilikan hak atas tanah
sebagai harta perkawinan dalam perkawinan campuran di Indonesia menurut UUPA;
2. Bagaimana Status Kepemilikan Tanah WNI Dalam Harta Bersama Akibat
Perkawinan Campuran Berdasarkan Pengalaman Langsung Pelaku Perkawinan
Campuran di Lombok Barat dan Apakah Ada Kesesuaian Dengan Peraturan
Perundang-undangan Yang Berlaku. Adapun tujuan penelitian adalah: a. Untuk
menemukan bentuk yang tepat terhadap kepemilikan hak atas tanah sebagai harta
vi
perkawinan dalam perkawinan campuran menurut UUPA dan UU Perkawinan; b.
Untuk mengetahui apakah Status Kepemilikan Tanah WNI Dalam Harta Bersama
Akibat Perkawinan Campuran Berdasarkan Pengalaman Langsung Pelaku
Perkawinan Campuran di Lombok Barat dan Apakah Ada Kesesuaian Dengan
Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku. Manfaat Penelitian : a. Manfaat
Akademik yaitu dapat memberikan sumbangsih kepada bidang Hukum Peredata
dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai kepemilikan harta berupa hak atas
tanah akibat perkawinan campuran ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; b. Secara Teoritis yaitu
memberikan manfaat dalam bentuk sumbangan saran untuk perkembangan ilmu
hukum pada umumnya dan untuk bidang hak atas tanah akibat perkawinan campuran
pada khususnya; c.Menambah khasanah perpustakaan. Secara Praktis Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut : 1) Sebagai bahan
referensi serta tambahan informasi bagi masyarakat tentang hak atas tanah akibat
perkawinan campuran; 2) Masukan bagi Pelaku Perkawinan Campuran agar selalu
memperhatikan aturan mengenai harta yang timbul dalam perkawinan campuran yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif-empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), Pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan
sociological approach. Sumber dan jenis data adalah primer, skunder dan tersier.
Teknik alat pengumpulan data adalah data lapangan, kepustakaan. Analisis data
menggunakan kualitatif-deduktif.
vii
II. PEMBAHASAN
Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA
Hak Milik merupkan hak terkuat atas suatu tanah, dalam arti hak ini bersifat
mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat oleh pihak lainnya. Menurut ketentuan pasal
20 UUPA, (1) hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. (2) Hak Milik
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan
kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas
bidang tanah Hak Milik yang dimilikanya tersebut (dapat berupa Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai, dengan pengecualian Hak Guna Usaha), yang hampir
sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas
kepada warganya. Hak ini, meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip
dengan eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
memberikan kewenangan yang (paling) luas pada pemiliknya,3 dengan ketentuan
harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan : “Semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial” Dari ketentuan selanjutnya mengenai Hak Milik
yang diatur dalam UUPA Pasal 21 yang menyatakan bahwa : (1) Hanya warga negara
Indonesia dapat mempunyai hak milik; (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan
hukum yang dapat mempunyai Hak Miliki dan syarat-syarat; (3) Orang asing yang
sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara
Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini
kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu
tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak
tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) selama
seseorang disamping kewarganegaraan indonesianya mempunyai kewarganegaraan
3 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak-Hak Atas Tanah,
Cet. 5, Ed. 1, Kencana Prenada Media Group, hlm. 30.
viii
asing, maka iya tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku
ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Dapat diketahui bahwa pada dasarnya hak milik atas tanah hanya dapat
dimiliki oleh warga negara indonesia tunggal saja, dan tidak dapat dimiliki oleh
warga negara asing dan badan hukum, baik yang didirkan di Indonesia maupun yang
didirikakn di luar negeri dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu yaitu
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963. Ini berarti selain warga
negara indonesia tunggal, dan badan-bdan yang ditunjuk dalam PP No. 63 Tahun
1963 yang terdiri dari Bank-Bank yang didirikan oleh negara, Perkumpulan-
perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-undang
Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139), Badan-badan
keagamaan, Badan-badan social. Tidak ada pihak lain yang dapat menjadi pemegang
hak milik atas tanah di Indonesia. Dengan ketentuan yang demikian berarti setiap
orang tidaklah dapat dengan begitu saja melakukan pengalihan Hak Milik atas tanah.
Ini berarti UUPA memberikan pembatasan peralihan Hak Milik Atas Tanah. Agar hak
milik atas tanah dapat dialihkan, maka pihak-pihak terhadap siapa Hak Milik atas
Tanah tersebut hendak dialihkan haruslah merupakan orang perorangan warga negara
indonesia tunggal, atau badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tersebut.4
Hak milik sifat terkuat dan terpenuh, tidak berarti bahwa hak itu merupakan
hak yang mutlak, tak terbatas, dan tidak dapat diganggugugat sebagai hak eigendom
menurut pengertiannya dahulu. Hak Milik mempunyai fungsi sosoial sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6 UUPA. Kata-kata “Terkuat dan Terpenuh” itu dimaksud
untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan
hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang
dapat dimiliki orang, hak miliklah yang mempunyai kekuatan hukum paling kuat dan
penuh.
Undang-Undang Pokok Agraria memandang bahwa seseorang yang
mempunyai dua kewarganegaraan (kewarganegaraan ganda/bipatride) sebagai orang
asing seperti dalam Pasal 21 ayat (4) UUPA. Peristiwa hukum yang menyebabkan
4 Ibid, hlm. 32.
ix
beralihnya hak milik kepada pihak-pihak yang tidak berwenang sebagai pemegang
Hak Milik seperti warga negara asing, masih diakui/diperbolehkan oleh UUPA
dengan syarat orang asing tersebut tidak boleh memegang Hak Milik itu lebih dari
satu tahun dan harus mengalihkannya kepada pihak yang memenuhi syarat.
Sementara itu, orang-orang yang wajib melepaskan hak milik atas tanah menurut
Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA adalah sebagai berikut : a.Warganegara Asing
yang sesudah berlakunya UUPA memperoleh hak milik, karena pewarisan tanpa
wasiat atau percampuran harta karena perkawinan; b.Warganegara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarga-
negaraannya; c. Seseorang yang disampingkan kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing. Ketentuan atas pasal ini merupakan pelaksanaan
dari pemutihan atas hak milik dari warga negara Belanda dan Timur Asing yang
berdiam di Indonesia sejak masa penjajahan. Pada saat itu, segala hal berkaitan
dengan pertanahan tunduk kepada hukum yang diberlakukan oleh pemerintahan
Hindia Belanda di Indonesia, serta pada masa itu diberlakukan pembagian golongan
pendudukan menjadi golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.5 Orang-orang
disebutkan dalalm Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA tersebut wajib melepaskan
hak miliknya dalam jangka waktu setahun sejenak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarganegaraan itu. Dengan demikian, hak tersebut hapus karena hukum
dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentutan bahwa hak-hak pihak lain
membebaninya tetap berlangsung.6
Bagi warga negara Indonesia, hak milik atas sebidang tanah dapat terjadi
berdasarkan hukum adat atau peraturan pemerintah. Selain itu, hak milik atas suatu
tanah dapat juga diperoleh berdasarkan transaksi jual-beli, penukaran, pengibahan,
pemberian wasiat, pemberian menurut adat, dan perbautan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik. Transaksi-transaksi tersebut hanya
dapat dilakukan antar warga negara indonesia sehingga jika dilakukan dengan warga
negara asing, transaksi tersebut batal demi hukum.7
5 Jimmy Joses Sembiring, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Cet. 1, Visimedia, 2010, hlm.
8. 6 Ibid.
7 Ibid.
x
Hak milik atas suatu tanah dapat juga hapus karena sebab-sebab tertentu
sebagaimana ditentukan dalam pasal 27 UUPA yang mengatur bahwa, Tanah jatuh
kepada negara disebabkan karena:8 a.Pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA,
yaitu untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang; b.
Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; c. Ditelantarkan; d. Ketentuan Pasal 21
ayat (3) UUPA yang menyebabkan bahwa orang yang berkewarganegaraan asing atau
memiliki kewarganegaraan lain selain kewarganegaraan indonesia tidak berhak atas
hak milik; e. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa setiap jual
beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan
lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2) UUPA, adalah
batal demi hukum, dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-
hak pihak lain yang membebaninya tetep berlangsung serta semua pembayaran yang
telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali; dan tanah musnah.
Pengaturan Hak Milik Atas Tanah Akibat Perkawinan Campuran
Penegertian Perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah :
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
Harta bersama dalam perkawinan campuran WNA dan WNI yang membuat
perjanjian pranikah biasanya mengatur tentang penegasan kepemilikan harta benda
walaupun diatas namakan salah satu tetap merupakan harta bersama ( selalu dengan
persetujuan walaupun atas nama sendiri), yang sebenarnya tidak perlu diperjanjikan
namun hukum Indonesia sendiri lemah dalam pelaksanaan yang menganggap bila
8 Ibid, hlm. 9.
xi
tanah hak atas nama sendiri boleh dijual tanpa persetujuan suami/istri dan/atau anak
(dewasa atau belum dewasa) dan badan pertanahan juga tidak mengurusi keabsahan
izin yang dianggap sudah diteliti oleh PPAT. Perjanjian pranikah itu juga lebih
melindungi kepentingan WNA yang umumnya sebagai pemilik uang.
Secara umum pernikahan yang dilakukan di Indonesia akan mengikuti hukum
waris Indonesia atau bila pernikahan dilakukan di luar negeri dan dicatatkan di
Indonesia serta tinggal di Indonesia, dan keduanya atau salah satu adalah WNI.
Hukum waris secara umum di banyak negara mengakui adanya harta bersama
dalam perkawinan dan wasiat, serta cara penguasaannya oleh WNA diatur sesuai
kepentingan perlindungan hukum negara masing masing.
Status Kepemilikan Tanah bagi Isteri WNI dalam Harta Bersama Akibat
Perkawinan Campuran
Yang dihadapi dalam kepemilikan rumah di atas tanah Notaris-PPAT
mengatakan, bahwa kalau terjadi perkawinan campuran (perkawinan antara WNI
dengan WNA) tanpa perjanjian perkawinan tidak memungkinkan bagi mereka untuk
kepemilikan rumah di atas tanah. Hal tersebut dikarenakan, Pasal 21 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan, bahwa WNA tidak berhak atas hak
milik. Akan tetapi, karena pembelian dilakukan oleh WNI Notaris-PPAT mengajukan
begitu dibeli sebidang rumah di atas tanah tersebut, maka status kepemilikannya
diturunkan menjadi hak pakai karena kepemilikan rumah di atas tanah tersebut terjadi
dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.
Apabila tidak ingin melakukan hal yang demikian, biasanya notaris itu akan
memberikan kiat-kiat atau alternatif, seperti; KTP single, Nominee agreement atau
yang lebih unik lagi melakukan perceraian terlebih dahulu – membuat prenup
(perjanjian perkawinan) – kemudian menikah kembali. Salah satu alternatif lainnya
yaitu hibah, yakni pembelian rumah di atas sebidang tanah tersebut dilakukan dengan
atas nama orang tua WNI – kemudian orang tua WNI tersebut membuat akta hibah
yang di dalamnya menyatakan, bahwa ketika orang tua WNI meninggal tanah
tersebut bukanlah termasuk ke dalam harta ahli warisnya, melainkan sudah
dihibahkan kepada seseorang yakni salah satu anaknya (WNI yang melakukan kawin
xii
campur). Ada pula alternatif lainnya, yaitu penetapan pengadilan „pisah harta‟.
Dimana suami isteri pelaku perkawinan campuran (tanpa perjanjian perkawinan)
mengajukan permohonan kepada pengadilan (yang berwenang mengadili hal tersebut
di atas), untuk mengeluarkan penetapan pengadilan pemisahan harta kekayaan dalam
perkawinan.
Namun ada alternatif terbaik solusi pisah harta dengan dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015. Dengan
adanya Putusan MK 69/2015, maka ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan berubah
menjadi sebagai berikut : (1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam
ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut; (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan; (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan; (4)
Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta
perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan
atau pencabutan itu tidak merugikan orang lain.
Jadi, seorang yang melakukan perkawinan campuran (WNI ataupun pasangan
WNA-nya) hanya berhak atas hak pakai. Ataupun pembelian dilakukan dengan hak
milik kemudian dalam jangka waktu setahun dilepaskan hak milik atas tanahnya
kemudian diturunkan menjadi hak pakai.
Status Kepemilikan Tanah bagi Suami WNI dalam Harta Bersama Akibat
Perkawinan Campuran
Pada dasarnya kepemilikan itu berada di tangan suami. Kepemilikan tanah
atas nama suami WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran tetap
terjadi.9 Hal tersebut dikarenakan hukum di indonesia menyatakan, bahwa perempuan
yang telah kawin pada umumnya tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum,
9 Wawancara Pribadi dengan Sadar, Senggigi, 26 januari 2017.
xiii
tetapi harus dibantu oleh suaminya. Ia termasuk dalam golongan orang yang oleh
hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri.10
Akan tetapi, hal tersebut
tidak berlaku sebaliknya terhadap suami. Suami diperbolehkan bertindak sendiri
dalam hukum tanpa harus dibantu oleh isterinya.
Dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, status kepemilikan atas
tanah dalam perkawinan tersebut semua atas nama suami WNI. Suami WNI dalam
perkawinan campuran tidak mengetahui adanya aturan yang mengatur tentang
kepemilikan dalam percampuran harta akibat perkawinan campuran.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan/isteri WNI turut
terkena imbas aturan tersebut diatas. Lain halnya dengan laki-laki/suami WNI,
mereka tidak turut terkena imbas aturan tersebut. Yang berdasarkan aturan di atas
tidak hanya WNA saja yang harus melepaskan hak miliknya dalam percampuran
harta akibat perkawinan campuran. Akan tetapi, pasangan WNI-nya (isteri/suami)
juga harus melepaskan hak miliknya.
Tanpa adanya perjanjian perkawinan (terjadi percampuran harta) ternyata, jika
itu suami WNI walaupun dalam perkawinan campuran tetap bisa memiliki rumah di
Indonesia dengan sertifikat hak milik. Ketika melakukan pembelian rumah di
Indonesia dengan sertifikat hak milik. Ketika melakukan pembelian rumah tidak
dipertanyakan warga Negara pasangannya, apakah warga Negara Indonesia atau
asing. Dikarenakan yang melakukan transaksi tersebut adalah suami WNI, yang mana
kedudukan laki-laki atau suami itu kuat berdasarkan hukum Indonesia yang bersifat
patriarkat (kedudukan laki-laki lebih kuat dari perempuan).
Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah bagi Isteri atau WNI Akibat Perkawinan
Campuran
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, bahwa sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, WNI yang
melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dipersamakan status
hak atas tanahnya dengan pasangan WNA-nya yakni hanya sebatas hak pakai.
10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm.20.
xiv
Dikarenakan tanah dengan status hak milik tersebut turut dimiliki pula oleh pasangan
WNA-nya karena percampuran harta akibat perkawinan campuran.11
Lain halnya, dengan pendapat salah satu Dosen Hukum, yakni Israfi.
Menurutnya, WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian
perkawinan seharusnya tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, selama ia
tidak melepaskan kewarganegaraannya (tetap menjadi warga Negara Indonesia).
Walaupun terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak milik dalam
perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan
status hak atas tanahnya. Warga Negara Indonesia tetap berhak atas tanah dengan
status hak milik, sedangkan pasangan warga Negara asingnya hanya berhak atas
tanah dengan status hak pakai.12
Menurut Notaris PPAT, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya,
mengenai kepemilikan atas tanah dengan hak milik bagi WNI dalam harta bersama
akibat perkawinan campuran masih dapat diusahakan. Namun, dengan cara-cara
illegal, seperti; menggunakan KTP belum kawin atau memanfaatkan perjanjian
bawah tangan (nominee agreement) yang beresiko tinggi.
Pakar hukum Tata Negara Jimly Asshidique menyayangkan “kebiasaan” ini.
Menurutnya, masalah yang nyata di tengah-tengah masyarakat ini seharusnya tidak
ada lagi di era globalisasi. “Harus ada kebijakan, perhatian, insentif, dan disentif
mengenai pernikahan campur. Di balik ini ada masalah yang lebih serius, yaitu
intercultural. Ini merupakan hal penting, kita perlu merinci apa saja yang mau
disampaikan. Penyamaan persepsi di antara pelaku, yaitu Notaris-PPAT, Bankir,
Pejabat Pertanahan, dan Ahli Hukum. Mungkin saja masih ada kesulitan karena tidak
tertulis dengan jelas di undang-undang”.
Ia mendorng adanya usaha perbaikan dan penyesuaian hukum dengan
dinamika yang terjadi di lapangan. Menurutnya, kini sudah waktunya untuk berpikir
dengan lebih jernih atas penafsiran undang-undang.13
11
Wawancara Pribadi dengan Darmawan, Lombok Barat, 13 Maret 2017. 12
Wawancara Pribadi dengan Israfil, Mataram, 1 Mei 2017. 13
Tabita Diela, “Keliru Tafsir Turunkan Status Hak Milik”, Artikel di akses pada 21 Oktober
2013 dari, http://properti.kompas.com/read/2013/04/13/20271526/keliru.Turunkan.Status.Hak.Milik.
xv
Solusi ini yang juga merupakan dasar hukum yang kuat agar dapat digunakan
untuk kepemilikan tanah dengan status hak milik, yakni „penetapan pengadilan pisah
harta‟.14
penetapan pengadilan pisah harta adalah penetapan pengadilan tentang
pemisahan harta bersama suami isteri setelah dikabulkannya permohonan pisah harta
atau dikeluarkannya penetapan pengadilan ini. Yang tadinya dalam perkawinan
campuran tersebut terjadi percampuran harta/harta bersama, setelah berlakunya
penetapan ini menjadi terpisah. Apa yang dihasilkan oleh suami setelah penetapan ini
adalah hanya menjadi milik suami dan begitu juga sebaliknya, apa yang dihasilkan
isteri adalah hanya menjadi milik isteri seutuhnya. Namun, suami yang
berkewarganegaraan asing sebagai kepala keluarga akan dan harus tetap bertanggung
jawab sepenuhnya untuk biaya hidup keluarga dan juga pendidikan anak-anak yang
telah dan akan dilahirkan oleh isterinya yang berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015 Tahun 2015. Dengan adanya Putusan MK 69/2015, maka ketentuan Pasal
29 UU Perkawinan berubah menjadi sebagai berikut : (1) Pada waktu, sebelum
dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut; (2) Perjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan; (3)
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan; (4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian
perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat
diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan orang
lain. Dengan adanya perubahan undang-undang ini perjanjian perkawinan dapat
dibuat setelah perkawinan, maka WNI yang menikah dengan WNA untuk dapat
memiliki hak atas tanah bisa melakuakan pisah harta setelah pernikahan berlangsung.
14
Wawancara pribadi dengan Hariati, Senggigi, 21 Januari 2017.
xvi
Analisa Penulis
Mengenai hak milik WNI yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang sudah berumur kurang lebih 57 tahun
ini dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan, dikarenakan sudah tidak lagi
sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul
Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika subyeknya
WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai
subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.15
WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan
seharusnya tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, selama ia tidak
melepaskan kewarganegaraanya (tetap menjadi warga Negara Indonesia). Walaupun
terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak milik dalam perkawinan
campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan status hak atas
tanahnya. Warga Negara Indonesia tetap berhak atas tanah dengan status hak milik,
sedangkan pasangan warga Negara asingnya hanya berhak atas tanah dengan status
hak pakai.
Memang ada kesulitan dalam memahami Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960. Jalan keluarnya, diharapkan ke depannya masyarakat kita
diberikan pengarahan (sosialisasi) atas undang-undang yang sedang berlaku di
Indonesia sehingga sebagai warga Negara Indonesia tidak lagi terlanggar hak-haknya
dan masyarakat kita lebih cerdas lagi tentang hukum.16
15
Perca Indonesia, “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah
Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia: Tinjauan Hukum
Terhadap Status Kepemilikan Properti”, Artikel diakses pada 21 Februrari 2017 dari
http://percaindonesia.com/test2/. 16
Wawancara Pribadi dengan Israfil, Mataram, 1 Mei 2017.
xvii
III. PENUTUP
Kesimpulan status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat
perkawinan campuran, berdasarkan undang-undang adalah dipersamakan haknya
dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas hak pakai. Hal
tersebut, tidaklah sesuai dengan semangat sesungguhnya yang terkandung dalam
Undangan-Undangan Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Yang
diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang asing terhadap hak
atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran harta dalam perkawinan (Pasal
21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya tetap berlaku aturan yang terdapat dalam
Pasal 21 ayat (1), yakni “hanya warga Negara Indonesia yang berhak atas hak milik”.
Dalam Pasal 21 ayat (1) undang-undang tersebut di atas, jelas bahwa setiap warga
Negara Indonesia tanpa terkecuali berhak atas tanah dengan status hak milik. Namun,
pada kenyataannya mengenai kepemilikan tanah bagi WNI dalam harta bersama
akibat perkawinan campuran, hanya di titik beratkan pada Pasal 21 ayat (3).
Mengenai hak milik WNI yang di dasarkan pada undang-undang tersebut di atas itu,
dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan. Menurut Penasehat Forum Kajian
dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri, hak kepemilikan atas tanah
melekat pada pemegang haknya atau subyek pemiliknya. Jika subyeknya WNI, maka
ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek
orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai. Sebagaimana telah diuraikan
pada bab sebelumnya, hak milik masih dapat diusahakan oleh WNI pelaku
perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, tetapi dengan cara-cara illegal,
seperti; menggunakan KTP belum kawin atau manfaatkan perjanjian bawah tangan
(nominee agreement) yang beresiko tinggi dan membuat perjanjian pisah harta pasca
pernikahan. Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidique menyayangkan “kebiasaan”
ini. Ia mendorong adanya usaha perbaikan dan penyesuaian hukum dengan dinamika
yang terjadi di lapangan. Menurutnya, kini sudah waktunya untuk berpikir dengan
lebih jernih atas penafsiran undang-undang. Kepastian hukum/solusi terbaik saat ini
untuk memperoleh hak atas tanah dengan status hak milik, yakni dengan mengajukan
perjanjian pisah harta pasca pernikahan.
xviii
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Penerbit Alumni,
Jakarta, 1978
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak-Hak Atas
Tanah, Cet. 5, Ed. 1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UU
1/1974 dan PP 9/1975, Cet.1, CV.Zahir, Medan, 1975
Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, Sinar Gravika, 2012
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cet.4, Ed. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 2007
Ridwan Khairandy, dkk, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Cet.1,
Gama Media, Yogyakarta, 1999
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia
Urip Santoso, Hukum Agraria ‘Kajian Komprehensif ’, Cet. 1, Ed. 1. Rajawali Pers,
Jakarta, 2012
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cet.1, Ed.1, Rajawali Pers, Jakarta,
2012
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Cet.I, Ed. I Jakarta, 2009
I. Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan