jihad pada masa nabi dan sahabat -...
TRANSCRIPT
23
JIHAD PADA MASA NABI DAN SAHABAT
Azkia Muharom Albantani
Mukadimah
Islam agama mulia yang damai dan mendamaikan.
Kemuliaan lslam disebarkan ke seluruh penjuru dunia dengan
semangat cinta dan kasih sayang kepada sesama. Akhir-akhir ini
kata-kata jihad sering diperbincangkan di berbagai kalangan. Jihad
merupakan bagian dari ajaran Islam yang sering kali disalah-artikan
oleh orang-orang di luar Islam bahkan di dalam agama Islam
sendiri. Jihad dalam Islam pada intinya adalah menegakan
kebenaran dan mencegah kemungkaran. Banyak pihak di luar Islam
yang memberi label kepada Islam sebagai ‘agama teror’ karena
menganggap jihad merupakan pembenaran dari tuhannya dalam
berbuat kerusakan. Bahkan dari muslim sendiri juga muncul
kelompok-kelompok internal menjadikan jihad sebagai alasan
untuk bertindak ekstrim.
Makna jihad sendiri secara harfiah berasal dari bahasa Arab
yang berarti tenaga, usaha, atau kekuatan. Al-Asymawi
berpendapat bahwa jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk
mencapai tujuan dengan mengerahkan segala kemampuan, serta
bersabar dalam keletihan ketika menjalankan satu perbuatan atau
merealisasikan suatu misi. Sedangkan menurut Ibnu Mandzur
dikatakan bahwa yang dimaksud jihad ialah memerangi musuh
|24
dengan mencurahkan segala kemampuan dan tenaga baik berupa
kata-kata, perbuatan, atau segala sesuatu yang disanggupi.
Jihad merupakan perkara mulia yang disyariatkan oleh Allah
dan dapat terwujud dalam berbagai bentuk perbuatan. Oleh karena
itu jihad memiliki pengertian yang sangat luas, jihad mempunyai
substansi yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi serta
perkembangan zaman yang terjadi.
Jihad Masa Nabi
Jihad ‘perang’ yang terjadi pada masa Rasulullah Muhammad
Saw adalah peperangan untuk mempertahankan hak kehidupan
masyarakat muslim yang diserang lebih dahulu. Selain itu perang
juga dilakukan untuk membela kaum yang lemah.
Ini berbeda pada zaman sekarang di mana soal keamanan
dunia sudah diatur oleh PBB sehingga tidak mungkin lagi terjadi
penyerangan terhadap umat muslim seperti pada masa dahulu.
Hal yang perlu ditunjukkan umat Islam adalah
mempertahankan esksistensi diri umat Islam, namun bukan untuk
menyerang kaum non-muslim. Tentang jihad, banyak ayat yang
membicarakan dalam perspektif hukum Islam. Salah satunya pada
Al-Quran surat At-Taubah ayat 9.
Sayangnya, beberapa penafsir melakukan hal yang mereka
anggap sebagai aksi jihad melihat ayat ini hanya secara sepotong-
sepotong. Padahal dalam menafsirkan suatu ayat, seseorang harus
paham tata aturan bahasa Arab dan aturan penafsiran lainnya. Itu
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Suatu hukum harus menyesuaikan waktu (masa) dan tempat.
Aturan tentang perang juga perlu mengaitkan dengan disiplin ilmu
lainnya. Aturan hukum tentang perang menjadi hal yang penting
dalam hubungan umat Islam baik dengan sesama umat Islam, umat
25|
Islam dan non-Muslim, umat Islam dalam suatu negara, dan antar-
negara.
Rasulullah Saw telah memperingatkan akan bermunculan
orang-orang yang pandai membaca Al-Qur’an namun tidak
melewati kerongkongannya (tidak mempengaruhi hatinya) yakni
orang-orang setelah membaca Al-Qur’an namun berakhlak buruk
seperti sombong, merendahkan, mencela, membenci, menyerang,
memerangi bahkan membunuh kaum muslim lainnya yang dituduh
musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah atau
dituduh telah halal darahnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku di atas
kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang
menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal)
ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami Al-Qur’an
dan hadis bersandarkan muthala’ah (menelaah kitab) secara
otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri, bermazhab
dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqad)
selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir).
Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa menguraikan Al-Qur’an dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat
kesalahan”. (HR. Ahmad)
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan tentang ini:
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa
memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam
majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para
ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya
shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang
semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang
|26
diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari
para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran”.
Jihad Masa Sahabat
Pada masa Rasulullah Saw, mayoritas orang yang pertama-
tama masuk Islam adalah pemuda. Secara sosio-kultural, fenomena
ini berkaitan dengan karakter agama Islam yang revolusioner.
Layaknya setiap gagasan besar, ia selalu disambut oleh kaum muda,
bukan kaum muda tua yang sudah mapan dengan tradisi.
Pemuda memiliki energi dan semangat untuk menyambut
gagasan-gagasan baru. Maka, tidak aneh apabila kaum muda yang
pertama-tama meyakini Islam dan menjadi ujung tombak gerakan
dakwah di Mekah.
Islam memandang pemuda bukan sebagai makhluk setengah
dewasa yang labil atau gemar membuang waktu, sebaliknya Islam
menaruh harapan besar kepada para pemuda untuk menjadi
pelopor.
Rasulullah memetakan potensi tiap-tiap sahabat dengan
cermat. Al-Qur’an surat At Taubah ayat 122 menyebutkan, tidak
sepatutnya mukminin terjun semua ke medan perang. Harus ada
sebagian dari mereka yang tinggal untuk memperdalam ilmu
pengetahuan keagamaan dan memberi peringatan pada kaumnya.
Itulah yang dilakukan Rasulullah. Sahabat yang memiliki
kapasitas memimpin dan bersiasat ditunjuk menjadi panglima
perang, sedangkan sahabat yang memiliki minat mendalami ilmu
diberi tempat di masjid.
Dalam bidang kemiliteran, tercatat nama Sa’ad bin Abi
Waqqash yang masuk Islam ketika berumur 17 tahun. Sa’ad adalah
orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah. Ia
27|
ditunjuk menjadi panglima kaum muslim di Irak dalam perang
melawan Persia pada masa amirul mukminin Umar bin Khattab.
Pemuda lainnya, Usamah bin Zaid pada usia 18 tahun
dipercaya Rasulullah Saw untuk memimpin pasukan yang di
dalamnya ada sahabat-sahabat ternama, seperti Abu Bakar dan
Umar bin Khattab. Pasukannya berhasil dengan gemilang
mengalahkan tentara Romawi.
Atab bin Usaid diangkat menjadi gubernur Mekah pada usia
18 tahun. Dua ksatria yang membunuh Abu Jahal dalam perang
Badar, Mu’adz bin Amr bin Jamuh dan Mu’awwidz bin ‘Afra, juga
masih berusia belasan tahun.
Di bidang keilmuan, ada Zaid bin Tsabit, pemuda Anshar yang
masuk Islam pada usia sebelas tahun. Pada masa Perang Badar dan
Uhud, dengan semangatnya Zaid pernah memohon diizinkan
berperang, namun ditolak oleh Rasulullah karena masih terlalu
kecil. Ia baru dizinkan berperang pada masa Perang Khandaq tahun
5 Hijriyah.
Kecerdasan Zaid membuat pemuda ini dipercaya menjadi
penulis wahyu oleh Rasulullah. Ia mampu menguasai berbagai
bahasa dalam tempo singkat. Pada masa kodifikasi Al-Qur’an ,
Khalifah Abu Bakar pertama kali menunjuk Zaid untuk
menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an .
Ada pula Abdullah bin Mas’ud, salah satu assabiqunal awwalun
yang dikaruniai kepandaian dalam membaca Al-Qur’an . Dengan
berani, berulang kali Ibnu Mas’ud membacakan ayat-ayat Al-
Qur’an di hadapan pemuka Quraisy yang tengah berkumpul di
Ka’bah.
Kaum Quraisy langsung berang dan menghajarnya, namun
tidak membuat Ibnu Mas’ud surut. Dia merupakan satu dari empat
orang yang kepadanya umat diwasiatkan untuk mempelajari Al-
Qur’an .
|28
Mu’adz bin Jabal juga masih berusia muda saat memeluk Islam
di tangan Mus’ab bin Umair. Rasulullah memujinya sebagai orang
yang paling mengetahui tentang halal dan haram. Anas bin Malik
juga masih berusia 10 tahun saat menjadi pelayan Rasululah. Ia
termasuk salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dari
Rasululah.
Kemudian sepupu Rasulullah, Ibnu Abbas, masih berusia
sangat muda saat menjadi rujukan para sahabat dalam memahami
Al-Qur’an . Ibnu Abbas mendapat pendidikan langsung dari
Rasulullah.
Oleh Umar bin Khattab, Ibnu Abbas sejak awal telah diikutkan
dalam musyawarah para pembesar Madinah. Ketika para sahabat
senior protes dan bertanya mengapa anak kecil itu diikutkan, Umar
menunjukkan bahwa kapasitas keilmuan Ibnu Abbas memang
pantas ada di sana.
Duta pertama yang dikirim Rasulullah juga berasal dari
golongan pemuda yaitu Mus’ab bin Umair, seorang pemuda kaya,
rupawan, dan terpandang di Mekah. Ia rela meninggalkan keluarga,
kemewahan, dan kehormatan di tengah kaumnya demi Islam.
Mus’ab adalah duta pertama dalam sejarah Islam. Ia diminta
Rasulullah mengajar Al-Qur’an kepada penduduk Madinah. Ketika
itu, diantara sahabat Rasulullah sebenarnya masih ada beberapa
sahabat yang lebih tua dan lebih berkedudukan, tetapi Rasulullah
punya pertimbangan sendiri mengutus Mus’ab.
“Mus’ab menyadari bahwa dirinya hendak menangani
persoalan yang paling besar saat itu. Ia bertanggung jawab
dalam menentukan masa depan Islam di Madinah yang tak
lama kemudian menjadi Darul Hijrah, titik pusat dakwah dan
para dai,” tulis Khalid Muhammad Khalid.
Selain itu, Rasulullah Saw telah melarang untuk memerangi
atau membunuh orang yang baru saja mengucapkan la ilaha illallah.
29|
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah
menceritakan kepada kami Laits. (dalam riwayat lain disebutkan)
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh dan
lafazh tersebut saling berdekatan kemiripannya. Telah mengabarkan
kepada kami Laits dari Ibnu Syihab dari Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari
Ubaidullah bin Adi bin al-Khiyar dari al-Miqdad bin al-Aswad
bahwa dia mengabarkan kepadanya, bahwa dia berkata, Wahai
Rasulullah, apa pendapatmu seandainya aku berjumpa dengan
seorang lelaki dari golongan orang-orang kafir, lalu mereka
menyerangku dan memotong salah satu dari tanganku dengan
pedangnya. Kemudian dia lari dariku dan berlindung di balik
sepohon kayu’, lalu orang yang melakukan itu berkata: “Aku
menyerahkan diri karena Allah. Wahai Rasulullah, apakah aku boleh
membunuhnya setelah dia mengucapkan ungkapan itu (tauhid)?”
Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu membunuhnya”. Miqdad
membantah: “Wahai Rasulullah! Lelaki itu telah memotong
tanganku, dan setelah memotongnya ia (sengaja) mengucapkannya.
Apakah aku boleh membunuhnya?”. Rasulullah Saw menjawab:
“Janganlah kamu membunuhnya, seandainya kamu membunuh
lelaki itu, maka sungguh dia seperti kamu sebelum kamu
membunuhnya, sedangkan kamu berkedudukan sepertinya sebelum
dia mengucapkan perkataan tersebut (maksudnya kafir)”. (HR
Muslim)
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Abu Khalid al-Ahmar. (dalam riwayat
lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib
dan Ishaq bin Ibrahim dari Abu Mu’awiyah keduanya dari al-A’masy
dari Abu Dlibyan dari Usamah bin Zaid dan ini Hadis Ibnu Abu
Syaibah, dia berkata, Rasulullah SAW mengutuskan kami dalam
suatu pasukan. Suatu pagi kami sampai di al-Huruqat, yakni suatu
tempat di daerah Juhainah. Kemudian aku berjumpa seorang lelaki,
lelaki tersebut lalu mengucakan La Ilaha Illallahu (Tidak ada tuhan
|30
yang berhak disembah selain Allah), namun aku tetap menikamnya.
Lalu aku merasa ada ganjalan dalam diriku karena hal tersebut,
sehingga kejadian tersebut aku ceritakan kepada Rasulullah.
Rasulullah lalu bertanya: “Kenapa kamu membunuh orang yang
telah mengucapkan La Ilaha Illaahu?” Aku menjawab: “Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya lelaki itu mengucap demikian karena
takutkan ayunan pedang”. Rasulullah bertanya lagi: “Sudahkah
kamu membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar
mengucapkan kalimah syahadat atau tidak?”. Rasulullah terus
mengulangi pertanyaan itu kepadaku hingga menyebabkan aku
berandai-andai bahwa aku baru masuk Islam saat itu. Usamah
menceritakan lagi, Sa’d telah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan
membunuh seorang muslim, hingga dia telah dibunuh oleh orang
yang mempunyai perut yang kecil, yaitu Usamah”. Usamah berkata
lagi: “Seorang lelaki telah bertanya, Tidakkah Allah telah berfirman,
‘(Dan perangilah mereka, sehingga tiada lagi fitnah, dan jadikanlah
agama itu semata-mata karena Allah) (QS Al-Anfal: 38)”. Maka Sa’d
menjawab: “Sesungguhnya kami memerangi mereka supaya tidak
berlaku fitnah, tetapi kamu dan para Sahabat kamu memerangi
mereka, untuk menimbulkan fitnah”. (HR Muslim)
Lalu bagaimana nasib mereka di akhirat kelak bagi mereka
yang merasa berjihad di jalan Allah memerangi dan bahkan
membunuh orang-orang yang mengucapkan la ilaha illallah,
mendirikan salat lima waktu, menjalankan puasa di bulan
Ramadhan, membayar zakat dan telah menunaikan ibadah haji?
Rasulullah Saw bertanya lagi: “Apakah kamu yang telah
membunuhnya?“. Dia menjawabnya: “Ya”. Beliau bertanya lagi: “Lalu
apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat ‘tidak ada tuhan (yang
berhak disembah) kecuali Allah? jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk
minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti?” (HR Muslim)
Dari Ummu Salamah RA berkata, telah bersabda Rasulullah Saw:
“akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya
dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya
31|
maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha
dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa).” Maka para sahabat
berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?”
Beliau menjawab: “Jangan, selama mereka menegakan salat bersama
kalian.” (HR. Muslim)
Jihad Masa Kini
Berbicara masalah jihad pada zaman sekarang, kita bisa
kedepankan ayat al-quran surat Al-Furqan ayat 52:
“Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah
terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an ) dengan (semangat)
perjuangan yang besar”.
Pada ayat ini terdapat kata Jihad. Jihad dalam ayat ini tidak
bisa diartikan dengan berperang karena ayat ini termasuk dalam
kelompok ayat makiyyah, yang mana Nabi belum diperintahkan
berperang. Baru pada permulaan hijrah nabi diizinkan berperang.
Melalui ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk
menyampaikan risalahnya dengan sungguh-sungguh,
melaksanakan jihad dan perjuangan dengan penuh kebijaksanaan,
kesabaran, ketabahan, dan tidak takut atau gentar terhadap musuh.
Jihad di sini lebih ditekankan pada kesungguhan
melaksanakan dakwah, pendidikan, maupun usaha-usaha
pengembangan sosial. Jihad dalam ayat ini disebut dengan jihad
besar diantaranya adalah karena untuk melakukan jihad ini tidak
bisa diri kita tercampur sikap lemah, karena berjihad melawan
orang jahil dengan argumen jauh lebih berat daripada jihad
melawan musuh dengan pedang.
Ayat ini menjadi bukti bahwa jihad tidak selalu berkaitan
dengan mengangkat senjata. Tuntutan pada ayat ini sangat relevan
sekali untuk dewasa ini karena pada masa sekarang senjata yang
paling ampuh dan sangat kuat untuk meraih kemenangan adalah
|32
dengan pengetahuan atau informasi. Berbagai macam tuduhan dan
kesalah-pahaman terhadap Islam pada masa kini harus dibendung
melalui informasi yang benar serta keteladanan yang baik. Untuk
menghadapi lawan-lawan yang bermaksud memutar balikkan fakta
atau yang tidak memiliki pengetahuan tentu lebih berat dari
pertempuran dengan senjata.
Jihad yang ada pada masa sekarang hanyalah jihad melawan
hawa nafsu untuk dapat menjalankan syariat Islam, yakni
bersemangat menjalankan perintah_Nya dan menjauhi larangan_
Nya.
Allah berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah/60:
8)
Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya
untuk mentaati Allah”. Syaikh Ibnu Athaillah mengingatkan
“Janganlah kamu merasa bahwa tanpamu Syariat Islam tak kan
tegak. Syariat Islam telah tegak bahkan sebelum kamu ada. Syariat
Islam tak membutuhkanmu, kaulah yg butuh pada Syariat Islam”.
Tidak boleh ada fatwa jihad untuk membunuh muslim lainnya
walaupun mereka berbeda pemahaman.
Diriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw
bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga
kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian
saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah SAW bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang
mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi
bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang
33|
sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut
merasakan sakitnya).” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW bersabda, “mencela seorang muslim adalah
kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Orang yang fasik adalah orang yang secara sadar melanggar
larangan Rasulullah atau larangan agama sebagaimana firman-Nya
yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya
dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang
yang rugi.” (QS Al-Baqarah/2: 27)
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka
jahannam. Allah berfirman yang artinya, “Dan adapun orang-orang
yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam”. (QS
Sajdah/32:20)
Imam al-Nawawi mencantumkan hadis keutamaan jihad
sebanyak 67 hadis dalam kitabnya Riyâdh al-Shâlihîn. Diantaranya
diriwayatkan dari Abi Hurairah RA, bahwa suatu ketika Rasulullah
Saw ditanya oleh seseorang: “Wahai Rasulallah, perbuatan apa yang
paling mulia?”. Kemudian Nabi menjawab: “Percaya kepada Allah
dan Rasul-Nya.” Sahabat itu bertanya lagi “Kemudian apa?” Nabi
menjawab “Jihad di jalan Allah.” Lantas bertanya lagi “Kemudian
apa?” Nabi menjawab “Haji mabrur.”
Senada dengan Hadis di atas, Ibnu Mas’ud RA bertanya
kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulallah, amal apa yang paling
dicintai Allah?”. Nabi bersabda: “Salat tepat waktu”. “Kemudian
apa?” tanya Ibnu Mas’ud selanjutnya. “Berbakti kepada kedua
orang tua.” “Kemudian apa?”. “Jihad di jalan Allah,” jawab nabi
mengakhiri.
Dari kedua hadis di atas dapat diketahui bahwa jihad adalah
memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam konteks amal yang
|34
mulia (al-a’mâl al-afdhâl) jihad menempati urutan kedua setelah
iman. Sedangkan dalam konteks amal yang dicintai Allah (ahabb al-
a’mâl) jihad menempati urutan ketiga setelah salat tepat waktu dan
berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat Abi Yahya bahwa Nabi bersabda
“Barang siapa yang menyumbangkan dananya untuk jalan Allah
maka akan ditulis baginya pahala sebanyak 700 kali lipat.”
Penutup
Jihad di zaman Rasulullah SAW adalah bentuk amalan yang
tertinggi. Jihad berfungsi mempertahankan eksitensi Islam yang
saat itu baru mekar. Perlawanan kaum yang tidak menyukai
kehadiran Islam juga dilakukan dengan fisik. Rasulullah pun
menyeru para sahabatnya untuk menegakan jihad.
Pelajaran dari kisah-kisah di atas, yaitu: kuatnya keimanan dan
kepercayaan para sahabat terhadap janji-janji Allah ta’ala; sangat
cintanya mereka untuk mati syahid; besarnya keberanian mereka
dalam jihad; dan bersegeranya mereka menuju kebaikan tanpa
mengulur-ulur waktu walaupun itu hanya untuk memakan
beberapa butir kurma.
35
JIHAD PADA MASA DAULAH ‘ABBASIYAH DI BAGHDAD
Asep Usman Ismail
Mukadimah
Rasulullah Saw di Madinah (622-632 M/1-11 H) bukan hanya
seorang Nabi dan Rasul, tetapi juga kepala negara dan
pemerintahan. Ketika Rasulullah Saw wafat, tidak ada yang
menggantikan beliau sebagai Nabi dan Rasul, karena beliau Nabi
dan Rasul terakhir. Nabi Muhammad Saw, menurut Al-Qur`an,
adalah khatam al-nabiyyîn, penutup nabi-nabi. (QS Al-Ahzab/33: 40)
Bagaimana kedudukan beliau sebagai kepala negara dan
pemerintahan?. Khalifah adalah pengganti Rasulullah Saw sebagai
kepala negara dan pemerintahan. Secara bahasa khalîfah berarti yang
datang belakangan atau yang kemudian, sehingga khalîfah berarti
yang menggantikan. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Khalîfatur
Rasulillah Saw yang berarti orang yang menggantikan Rasulullah
Saw dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan
pemerintahan. Keempat orang khalifah setelah Rasulullah Saw
yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib disebut Khulafâ` al-Râsyidûn, para pengganti
Rasulullah Saw yang terbimbing. Mereka menjadi kepala Negara
dan kepala pemerintahan selama kurang lebih tiga puluh tahun
(632-661M./11-40 H); kemudian diteruskan oleh Daulah Bani
Umayah di Damaskus (661-750 M/40-132 H) dan Daulah Abbasiyah
di Baghdad (750 M-1258 M./132-656 H).
Jihad merupakan ruh ajaran Islam yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Saw bersama para sahabat Muhajirin dan Anshar,
|36
kemudian diteruskan oleh Khulafâ` al-Râsyidûn, Abu Bakar Ash-
Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib;
kemudian diteruskan oleh para Khalifah Bani Umayah dan para
Khalifah Bani Abbas. Mereka melanjutkan jihâd fi sabîillâh, baik
dalam arti perang pada jalan Allah maupun jihâd fi sabîillâh dalam
pengertian melakukan gerakan da’wah dan pendidikan sehingga
Islam pada masa Bani Abbas telah mencapai puncak kemajuan
dalam pengembangan sains, teknologi, kedokteran, sastra dan
kebudayaan. Jihad yang mereka lakukan telah mengantarkan Islam
dan umat Islam menjadi agama yang ya’lû wa lâ yu’lâ alayhi (agama
yang unggul dan tidak ada yang mengunggulinya) dalam
perkembangan peradaban, sains dan teknologi.
Jihad pada masa Daulah Abbasiyah secara singkat dapat
dipaparkan sebagai berikut:
Pertama, jihad dalam arti perang melawan kekuatan kafir yang
ingin memadamkan cahaya Allah dan syi’ar Islam yang
menyebabkan Islam dan kaum Muslimin harum. Kedua, jihad
dalam arti perang dalam menumpas gerakan bughat, yaitu gerakan
oposisi yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Ketiga,
jihad dalam arti perang dalam menumpas aliran sesat yang
mengangkat senjata dan/atau melakukan tindakan subversive yang
mengancam kedaulatan negara. Keempat, jihad dalam arti
mengerahkan segala kemampuan para ulama untuk menjelaskan
Islam yang lurus guna menangkal paham bathil dan aliran yang
sesat dan menyesatkan umat.
Kelima, jihad dalam arti mengerahkan kemampuan para
ulama ahli sains dan teknologi untuk melakukan penelitian dalam
berbagai bidang keilmuwan guna melahirkan paradigma sains yang
terintegrasi dengan Islam. Keenam, jihad dalam arti melakukan
gerakan da’wah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada
manusia dan mengajak manusia memeluk Islam dengan kuat dan
kokoh. Demikian juga berjihad dengan melakukan gerakan
pendidikan untuk memastikan bahwa program regenerasi ulama,
umara, mujahid dan para ahli sains dan teknologi berjalan dengan
baik dan benar sesuai pesan dasar Al-Qur`an dan Sunnah Nabi
Muhammad Saw.
37|
Khalifah Abu Ja’fat Al-Manshur (136-158 H/754-775 M) adalah
khalifah kedua Dinasti Bani Abbas. Beliau merupakan satu dari tiga
khalifah besar pengukir sejarah. Dua khalifah lainnya adalah
Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/786-809 M) dan Khalifah Al-
Ma`mun (198-218 H/813-833 M) Khalifah Al-Manshur terkenal
sebagai arsitek, pembangun dan pengembang Daulah Abbasiyah.
Kebijakan pemerintahannya banyak dikonsentrasikan pada
penguatan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Beberapa
kerusuhan dan pemberontakan dapat diatasi seperti
pemberontakan Sindbadz di Khurasan yang dipimpin Abu Muslim
al-Khurasani. Di Asia Kecil, pasukan Khalifah Al-Manshur dapat
mengalahkan pasukan Romawi yang berkekuatan 100.000 personel
di bawah komando Kaisar Konstantine V (740-775 M). Pada tahun
758 M pasukan Al-Manshur berhasil merebut kembali kota Benteng
Malatia, wilayah Cappadocia dan Sicilia, dari tangan kekuasaaan
Kaisar Konstantine V. Untuk menghindari kekalahan lebih fatal dan
memalukan, Kaisar Konstantine V mengajukan genjetan senjata
selama tujuh tahun (758-765 M) kepada Khalifah Al-Manshur.
Gencatan senjata itu disetujui dengan ketentuan Kaisar Konstantine
V membayar upeti tahunan kepada Khalifah Al-Manshur.
Al-Manshur, Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun merupakan tiga
Khalifah Daulah Abbasiyah yang telah memainkan peran yang
strategis dalam membangun, mengembangkan dan memajukan
Daulah Abbasiyah. Di bawah pemerintahan tiga khalifah inilah,
sastra, sains, kebudayaan dan peradaban muslim maju dan
berkembang pesat. Tiga khalifah besar tersebut mempunyai
reputasi, prestasi, kontribusi, dan jasa besar bagi kemajuan dan
kebesaran Daulah Abbasiyah. Tanpa menapikan prestasi dan
kontribusi khalifah-khalifah yang lain, tak dapat diragukan lagi
bahwa Khalifah Al-Manshur, Khalifah Harun Al-Rasyid dan
Khalifah Al-Ma’mun merupakan tiga khalifah besar Daulah
Abbasiyah yang paling banyak berkiprah dan berjasa signifikan
dalam membangun pilar-pilar kebudayaan dan mengantarkan
peradaban Muslim ke puncak The Golden Age of Islam (Masa
Keemasan Islam). Semua ini merupakan buah manis dari ajaran
jihad dalam Islam yang dilakukan dengan baik dan benar; lengkap
|38
dan menyeluruh. Bukan jihad yang terkoyak, tetapi jihad yang
terpadu secara simponi antara jihad dalam arti perang dengan jihad
dalam arti gerakan da’wah dan pendidikan dengan
mengoptimalkan seluruh potensi umat untuk mengharumkan Islam
dan kaum muslimin sehingga Islam dan kaum muslimin menjadi
agama yang ya’lû wa lâ yu’lâ alayhi (agama yang unggul dan tidak
ada agama lain yang dapat mengungguli Islam dan kaum muslimin)
dalam ajaran dan peradaban.
Jihad pada masa pemerintahan Abbasiyah tidak hanya
dilakukan dengan pedang para syuhada, tetapi juga dengan pena
dan tinta para ulama. Hasilnya pijar-pijar pesona kebesaran dan
gemerlap keagungan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
peradaban Arab Muslim memikat ketakjuban dan kekaguman
banyak pihak sepanjang zaman sebagaimana diabadikan dalam
goresan tinta para sejarawan, baik sejarawan Muslim maupun
sejarawan Barat yang bukan Muslim. Salah satunya H.G. Well
secara jujur dan obyektif menorehkan catatannya yang sangat
mengesankan. Untaian catatan H.G. Well yang penuh decak kagum
dan imperasif ini sudah pasti dibaca dan didengar oleh masyarakat
internasional terutama para ilmuwan, budayawan dan sarjana:
“The Arab intelligence had been flung across the world even more
swiftly and dramatically than had the Greek a thousand years before.
Very great advances were made in mathematical, medical and
physical science. The clumsy Roman numerals were ousted by the
Arabic figures we use to this day, and zero sign was first employed.
The very names algebra is Arabic. So is the word chemistry. The
names of such stars as Algol, Aldebaran and Bootes preserve the
traces of Arab conquest in the sky. Their philosophy was destined
reanimate the medieval philosophy of France and Italy and the whole
Christian world”. (Hasil-hasil pemikiran cerdas ilmuwan Arab
itu menyebar ke seluruh pelosok dunia bahkan lebih cepat dan
lebih dramatis daripada bangsa Yunani seribu tahun
sebelumnya. Perkembangan yang sangat besar terjadi di
lapangan ilmu matematika, kedokteran dan ilmu-ilmu alam.
Angka-angka Romawi yang kaku telah digantikan dengan
angka-angka Arab yang kita gunakan sampai hari ini; dan
39|
untuk pertama kalinya angka nol dipergunakan. Nama asli
Algebra (aljabar) adalah juga berasal dari bahasa Arab. Begitu
juga chemistery adalah dari kata Arab. Nama-nama bintang
seperti Agol, Aldebaran dan Bootes [adalah berasal dari bahasa
Arab] menjadi bukti nyata jejak-jejak penaklukkan sarjana
Arab di angkasa. Filsafat mereka telah ditakdirkan untuk
menghidupkan kembali filsafat Abad Pertengahan di Prancis,
Italia dan seluruh dunia Kristen).
Jihad pada masa Daulah Abbasiyah, seperti sudah disebutkan,
dilakukan dengan memadukan pedang para syuhada, pena dan
tinta para ulama, serta tongkat komando para umara (pemerintah)
bukan hanya dalam menumpas musuh yang mengganggu
keamanan dan kedaulatan Negara, tetapi juga dalam menumpas
aliran sesat yang berkembang di masyarakat. Begitu memegang
tongkat komando, para Khalifah Abbasiyah segera mengidentifikasi
diri mereka sebagai pembela ajaran Islam dan menjauhkan diri dari
segala bentuk kemurtadan. Para khalifah berpegang kepada prinsip
bahwa kekuasaan politik atau tongkat komando yang berada di
tangan mereka harus digunakan untuk menata kehidupan dunia
agar sejalan dengan ajaran agama dan melindungi agama dari ulah
manusia yang mencintai dunia dengan mengorbankan ajaran
agama. Singkatnya, tongkat komando para umara yang dipandu
pena dan tinta para ulama mengarahkan jihad dalam menumpas
berbagai aliran sesat dan penyimpangan agama. Jihad ini menjadi
sangat penting untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, terutama
untuk menjaga kemurnian pokok-pokok agama (ushûl al-dîn), yakni
îmân, aqîdah dan tawhîd dari berbagai pencemaran.
Demikianlah, Khalifah Abu Ja’fat al-Manshur menghukum
mati pemimpin kelompok aliran agama yang mengklaim dirinya
titisan Tuhan. Al-Manshur juga memerintahkan hukuman mati
terhadap Ibnu al-Muqaffa (720-756 M), seorang sastrawan dan
budayawan yang menganut ajaran sesat dan menyebarkan ajaran
sesat tersebut kepada masyarakat sehingga ia termasuk orang yang
sesat dan menyesatkan masyarakat. Penggantinya Khalifah al-
Mahdi berkuasa (775-785 M) bahkan melembagakan semacam
pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai menganut
|40
paham zandaqah (pelakunya disebut zindiq), semacam paham
filosofis atau aliran pemikiran yang mengantarkan para
penganutnya menjadi ateisme, menolak adanya Tuhan. Orang-
orang yang terbukti zindiq, penganut paham zandaqah, dinyatakan
sebagai musuh negara dan agama, dan karena itu bisa dijatuhi
hukuman mati.
Jihad para ulama yang berkolaborasi dengan umara pada masa
Daulah Abbasiyah mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi
kedua belah pihak. Ulama memberikan legitimasi dan keabsahan
umara sebagai pemegang tongkat komando dalam menata
kehidupan dunia agar sejalan dengan ajaran agama; sedangkan
umara memberikan berbagai kemudahan, fasilitas dan dukungan
kepada para ulama dalam mengembangkan ilmu agama dan
bimbingan agama kepada masyarakat. Patronase dan perlindungan
umara terhadap para ulama pada gilirannya turut mendorong
kemajuan ilmu agama. Maka tidak mengherankan kalau pada masa
Abbasiyah ini syari’ah agama atau hukum fiqih berhasil
dikodifikasikan atau dibukukan secara teratur atau sistematis. Pada
masa Abbasiyah ini terwujud pembukuan hampir seluruh kitab
hadis standar yang terpenting seperti kutub al-sittah (kitab hadis
yang enam), yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan Al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai dan Sunan Ibnu Majah.
Selain itu, terwujud pula pembukuan Musnad Ahmad bin Hanbal,
Sunan Ibnu Hibban dan Sunnan Daruquthni.
Jihad para ulama dan para umara pada masa Daulah
Abbasiyah ini terlihat pula pada kesungguhan dan perjuangan
mereka untuk melaksanakan syari’at Islam dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat di seluruh wilayah kekuasaan
mereka. Untuk menopang terlaksananya syari’at Islam di seluruh
wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah, mereka mengatur
kekuasaan kehakiman dalam struktur badan peradilan tertinggi
(Mahkamah Agung) yang dipimpin oleh seorang Qâdhî al-Qudhât,
hakim agung yang memiliki wewenang mengawasi pelaksanaan
syari’at Islam, mengangkat dan memberhentikan qâdhî- qâdhî (para
hakim) dan memberikan saran dan nasihat kepada khalifah dalam
masalah hukum. Tokoh paling terkenal yang pernah menduduki
41|
jabatan Qâdhî al-Qudhât ini adalah Qâdhî Abu Yusuf (731-798 M),
seorang ulama yang berperan besar dalam kajian dan penerapan
fiqh dan ushul fiqh.
Qâdhî Abu Yusuf selain dikenal sebagai seorang ulama fiqh
bermadzhab Maliki yang ilmunya luas dan dalam, juga dikenal
sebagai perumus konsep al-kharâj, pajak bumi dan aneka
pertambangan sebagai salah satu pendapatan negara; namun, yang
menjadikan namanya harum adalah intergritas dan keberanian
beliau dalam menetapkan hukum secara adil, meskipun terhadap
warga negara biasa yang berbeda agama. Beliau menjadi pahlawan
dalam menegakan supermasi hukum atas kekuasaan; sekaligus
menunjukkan kepada dunia internasional sepanjang zaman bahwa
para hakim yang beragama Islam bisa memberikan rasa keadilan
hukum bagi warga negara biasa yang berbeda agama dan penganut
agama minoritas.
Dalam menangani kasus sengketa tanah antara seorang warga
negara yang beragama Yahudi dengan negara, khususnya dengan
Khalifah Harun al-Rasyid sebagai Kepala Negara, terlihat keadilan
dan integritas beliau sebagai hakim agung yang menjunjung tinggi
etika. Ketika Khalifah Harun al-Rasyid memasuki gedung
Mahkamah Agung, para petugas mengizinkan beliau menaiki
kendaran dengan menunggang kuda hingga di depan pintu masuk
ruang pengadilan; sementara pada waktu yang sama para petugas
melarang orang Yahudi, warga negara biasa, untuk berkendaraan
hingga berada di depan pintu ruang pengadilan. Para petugas
menyuruh orang Yahudi mengikatkan kendali kudanya di depan
pintu gerbang gedung Mahkamah Agung dan memintanya berjalan
kaki menuju pintuk masuk ruang pengadilan.
Sikap para petugas yang membedakan perlakuan kepada dua
pihak yang berperkara di Mahkamah Agung hanya karena
perbedaan status dan kedudukan tersebut ditolak oleh Qâdhî Abu
Yusuf. Beliau memerintahkan kepada para petugas untuk
memperlakukan para pihak yang berperkara di Mahkamah Agung
dengan perlakuan yang sama. Jika Khalifah Harun al-Rasyid
diizinkan memasuki gedung Mahkamah Agung dengan
menunggang kuda hingga di depan pintu masuk ruang pengadilan,
|42
maka seorang Yahudi yang sama-sama sedang berperkara itu harus
diizinkan pula memasuki gedung Mahkamah Agung dengan
menunggang kuda hingga di depan pintu masuk ruang pengadilan.
Ketika kedua pihak yang berperkara di Mahkamah Agung
sudah berada di ruang sidang, para petugas mempersilahkan
Khalifah Harun al-Rasyid untuk duduk di atas kursi; sedangkan
mereka mempersilahkan orang Yahudi untuk duduk di lantai.
Perlakuan yang berbeda hanya karena perbedaan kedudukan ini
pun ditolak oleh Qâdhî Abu Yusuf. Beliau sebagai hakim
mempersilahkan kedua pihak yang berperkara untuk duduk di atas
kursi atau keduanya duduk di lantai. Beliau menerapkan prinsip
bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum. Beliau tidak hanya menerapkan kaidah ini secara
yuridis formal, tetapi juga secara total sejak memasuki gedung
Mahkamah Agung hingga para pihak yang berperkara berada di
ruang sidang. Beliau dengan mantap memutuskan bahwa negara
telah berbukti bersalah secara sah dan meyakinkan dalam sengketa
tanah ini. Kepala Negara, menurut Qâdhî Abu Yusuf, telah
mengambil dan menguasai tanah milik seorang Yahudi dengan
merampas secara paksa.
Dengan demikian, Qâdhî Abu Yusuf telah berani menegakan
hukum secara adil. Beliau menjadi pahlawan dalam menegakan
supermasi hukum atas kekuasaan. Seorang Kepala Negara seperti
Khalifah Harun al-Rasyid bisa dikalahkan dalam sengketa tanah
dengan seorang warga Negara biasa yang berbeda agama dengan
Hakim Agung dan Kepala Negara. Singkatnya, melalui seorang
hakim yang berintegritas, keadilan bisa dirasakan oleh rakyat kecil
yang non muslim sekalipun dan penganut agama minoritas.
Jihad untuk melaksanakan syari’at Islam dalam seluruh
wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah tidak cukup dengan hanya
membentuk Negara khilafah, tetapi juga perlu ditopang sedemikian
rupa oleh sumber daya manusia muslim yang memiliki kapasitas,
kualitas dan integritas seperti Qâdhî Abû Yûsuf. Beliau berhasil
membuktikan bahwa badan peradilan merupakan rumah tempat
mencari keadilan bagi semua warga Negara, baik yang Muslim
maupun yang bukan Muslim.
43|
“Jihad untuk melaksanakan syari’at Islam dalam seluruh wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah tidak cukup dengan
hanya membentuk Negara Khilafah, tetapi juga perlu ditopang sedemikian rupa oleh sumber daya manusia muslim yang
memiliki kapasitas, kualitas dan integritas”
|44
Dapat pula ditambahkan bahwa jihad untuk melaksanakan
syari’at Islam pada masa Daulah Abbasiyah dengan baik dan benar,
serta memberi rasa keadilan kepada semua warga Negara selain
membutuhkan badan kekuasaan kehakiman yang independent
serta sumber daya manusia seperti Qâdhî Abû Yûsuf; perlu juga para
pejabat badan kekuasaan kehakiman yang mempunyai kemampuan
mengawasi para praktisi hukum yang nakal.
Pada masa pemerintahan Ar-Radhi Billah (322-329 H./934-940
M) ada seorang kaya raya yang memiliki ribuan domba yang
dipelihara dalam sebuah peternakan meminta fatwa hukum kepada
seorang faqîh (ahli fiqh), bagaimana caranya agar ia tidak terkena
kewajiban zakat ternak, tetapi benar hukum fiqh? Seorang ahli fiqh
yang tidak memiliki integritas, kejujuran, keikhlasan dan
commitment untuk memadukan hukum fiqh dengan akhlak atau
etika menjawab pertanyaan tersebut dengan dua langkah yang
berikut: Pertama, pecah atas nama kepemilikan ribuan domba-
domba itu menjadi beberapa orang dengan catatan bahwa masing-
masing orang hanya memiliki 40 ekor domba. Kedua, apabila masa
kepemilikannya sudah hampir genap satu tahun, maka masing-
masing pemilik 40 ekor domba tersebut wajib menyembelih atau
menjual satu ekor domba sehingga masa kepemilikan 40 ekor
tersebut tidak sampai genap satu tahun.
Jawaban ahli fiqh tersebut jika dilaksanakan, maka orang kaya
pemilik ribuan domba tersebut tidak kena kewajiban zakat ternak.
Pertama, menurut fiqh batas minimal kepemilikan domba yang
kena kewajiban zakat itu 40 ekor. Kedua, seorang yang memiliki 40
ekor domba itu baru kena kewajiban zakat ternak apabila masa
kepemilikannya mencapai haul, genap satu tahun. Dengan
demikian jawaban ahli fiqh tersebut cemerlang. Sebuah jawaban
cerdas yang bisa membantu orang kaya, pemilik ribuan ekor domba,
menghindar dari kewajiban mengeluarkan zakat ternak dengan
pendekatan fiqh sehingga tidak bertentangan dengan hukum fiqh.
Para ulama fiqh bersepakat bahwa mengikuti dan
melaksanakan saran ahli fiqh tersebut hukumnya haram. Pertama,
ia memiliki niat yang buruk, ingin bebas dari kewajiban membayar
zakat ternak. Jadi arah, orientasi dan spiritnya menghindari
45|
kewajiban membayar zakat, bukan menguatkan niat dan tanggung
jawab untuk membayar zakat. Kedua, pandangan hukum fiqh yang
dikemukakan oleh ahli fiqh tersebut bersifat hîlah, mencari celah
untuk keluar dari kewajiban membayar zakat; sedangkan mencari
hîlah dari kewajiban agama itu, menurut kesepakatan jumhur
ulama, hukumnya haram. Istilah hîlah yang berasal dari bahasa
Arab itu kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu yang sekarang
menjadi bahasa Indonesia menjadi kilah. Oleh sebab itu, spirit
pandangan hukum yang dikemukakan oleh ahli fiqh tersebut hanya
berkilah dari kewajiban membayar zakat.
Penutup
Dengan demikian jihad pada masa Abbasiyah dapat
diringkaskan sebagai berikut:
Pertama, jihâd dalam arti al-qitâl, yakni perang menghadapi
pasukan kafir yang ingin memadamkan syi’ar Islam. Khalifah Abu
Ja’far al-Manshur berhasil mengalahkan serangan pasukan Romawi
di Asia Kecil yang berkekuatan 100.000 personel di bawah komando
Kaisar Konstantine V (740-775 M). Pada tahun 758 M pasukan Al-
Manshur berhasil merebut kembali kota Benteng Malatia di
Cappadocia dan Sicilia dari tangan kekuasaaan Kaisar Konstantine
V. Kedua, perang dalam menumpas gerakan bughat, yaitu gerakan
oposisi yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat seperti
perang dalam menumpas pemberontakan Sindbadz di Khurasan
yang dipimpin Abu Muslim al-Khurasani. Dengan menumpas
gerakan bughat ini, Pemerintahan Khalifah Al-Manshur berhasil
menguatkan kembali stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.
Jihad dalam menghadapi pasukan kafir dan jihad dalam
menghadapi gerakan bughat, menurut kesepakatan jumhur ulama,
merupakan tanggung jawab pemerintah. Kelompok-kelompok
sosial masyarakat tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
perang, baik menghadapi pasukan kafir maupun menghadapi
pasukan bughat. Kewenangan untuk menyatakan perang,
melakukan gencatan senjata dan melakukan perjanjian damai
sepenuhnya merupakan wewenang khalifah sebagai Kepala Negara
dan kepala pemerintahan. Jika pemerintah mengundang seluruh