jenis, rukun, dan syarat sah sholat

20
JENIS-JENIS SHALAT: Shalat Fardhu (Shalat Wajib): Shalat Subuh: 2 rakaat, sekitar jam 04.15 s/d 06.00. Shalat Zuhur: 4 rakaat, sekitar jam 12.00 s/d 15.15. Shalat Ashar: 4 rakaat, sekitar jam 15.15 s/d 18.00. Shalat Maghrib: 3 rakaat, sekitar jam 18.00 s/d 19.15. Shalat Isya: 4 rakaat, sekitar jam 19.15 s/d 04.15. Salat Fardu[1] adalah salat dengan status hukum Fardu, yakni wajib dilaksanakan. Salat Fardhu sendiri menurut hukumnya terdiri atas dua golongan yakni : Fardhu 'Ain yakni yang diwajibkan kepada individu. Termasuk dalam salat ini adalah salat lima waktu dan salat Jumat untuk pria. Fardhu Kifayah yakni yang diwajibkan atas seluruh muslim namun akan gugur dan menjadi sunnat bila telah dilaksanakan oleh sebagian muslim yang lain. Yang termasuk dalam kategori ini adalah salat jenazah. Shalat Sunnah (Shalat Sunnah): Salat sunah Salat sunah atau salat nawafil (jamak: nafilah) adalah salat yang dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan sehingga tidak berdosa bila ditinggalkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar serta penuh ke ikhlasan akan tampak hikmah dan rahmat dari Allah SWT yang begitu indah. Salat sunah menurut hukumnya terdiri atas dua golongan yakni:

Upload: shoffamaliya

Post on 08-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Agama

TRANSCRIPT

JENIS-JENIS SHALAT:

Shalat Fardhu (Shalat Wajib):

Shalat Subuh: 2 rakaat, sekitar jam 04.15 s/d 06.00.

Shalat Zuhur: 4 rakaat, sekitar jam 12.00 s/d 15.15.

Shalat Ashar: 4 rakaat, sekitar jam 15.15 s/d 18.00.

Shalat Maghrib: 3 rakaat, sekitar jam 18.00 s/d 19.15.

Shalat Isya: 4 rakaat, sekitar jam 19.15 s/d 04.15.

Salat Fardu[1] adalah salat dengan status hukum Fardu, yakni wajib dilaksanakan. Salat Fardhu sendiri menurut hukumnya terdiri atas dua golongan yakni :

Fardhu 'Ain yakni yang diwajibkan kepada individu. Termasuk dalam salat ini adalah salat lima waktu dan salat Jumat untuk pria.

Fardhu Kifayah yakni yang diwajibkan atas seluruh muslim namun akan gugur dan menjadi sunnat bila telah dilaksanakan oleh sebagian muslim yang lain. Yang termasuk dalam kategori ini adalah salat jenazah.

Shalat Sunnah (Shalat Sunnah):

Salat sunah

Salat sunah atau salat nawafil (jamak: nafilah) adalah salat yang dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan sehingga tidak berdosa bila ditinggalkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar serta penuh ke ikhlasan akan tampak hikmah dan rahmat dari Allah SWT yang begitu indah. Salat sunah menurut hukumnya terdiri atas dua golongan yakni:

Muakad, adalah salat sunah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti salat dua hari raya, salat sunah witr dan salat sunah thawaf.

Ghairu Muakad, adalah salat sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti salat sunah Rawatib dan salat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

Pembagian Menurut Pelaksanaan

Salat sunah ada yang dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) diantaranya:

Salat Rawatib

Salat Tahiyatul Wudhu

Salat Istikharah

Salat Mutlaq

Salat Dhuha

Salat Tahiyatul Masjid

Salat Tahajud

Salat Hajat

Salat Awwabin

Salat Tasbih

Salat Taubat

Sedangkan yang dapat dilakukan secara berjamaah antara lain:

Salat Tarawih

Salat Ied

Salat Gerhana

Salat Istisqa'

Waktu terlarang untuk salat sunah

Beberapa salat sunah dilakukan terkait dengan waktu tertentu namun bagi salat yang dapat dilakukan pada waktu yang bebas (misal:salat mutlaq) maka harus memperhatikan bahwa terdapat beberapa waktu yang padanya haram dilakukan salat:

Matahari terbit hingga ia naik setinggi lembing

Matahari tepat dipuncaknya (zenith), hingga ia mulai condong

Sesudah ashar sampai matahari terbenam

Sesudah subuh

Ketika matahari terbenam hingga sempurna terbenamnya

Shalat Rawatib:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu. Ada juga yang mengerjakan 4 rakaat dengan dua kali salam:

Sebelum shalat Subuh: 2 rakaat.

Sebelum dan sesudah shalat Zuhur: 2 rakaat.

Sebelum shalat Ashar: 2 rakaat.

Sesudah shalat Maghrib: 2 rakaat.

Sebelum dan sesudah shalat Isya: 2 rakaat.

Shalat Dhuha:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat atau lebih (bisa 4, 6, 8 rakaat; tiap 2 rakaat ditutup dengan salam) yang dikerjakan ketika matahari naik sepenggal (sekitar jam 08.00 s/d sebelum Zuhur). Pada rakaat pertama disunnahkan membaca surat Asy-Syamsu dan pada rakaat kedua surat Ad-Dhuha.

Shalat Tahiyyatul Masjid:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum masuk masjid. Shalat ini dilakukan untuk menghormati masjid.

Shalat Tahajjud:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan pada waktu malam hari (setelah shalat Isya hingga terbit fajar). Bisa juga dikerjakan 4 rakaat atau sebanyak-banyaknya (tidak terbatas; setiap 2 rakaat diakhiri dengan salam). Disyaratkan harus tidur terlebih dahulu walaupun sebentar. Sebaiknya dilanjutkan dengan shalat sunnah witir 1 rakaat.

Shalat Mutlak:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat (minimal) yang dapat dikerjakan kapan saja (kecuali waktu yang diharamkan).

Shalat Fajar:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum Shalat subuh.

Shalat Wudhu:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan beberapa saat sesudah berwudhu, ketika sisa-sisa air wudhu yang ada di anggota wudhu masih kelihatan basah, jadi jangan sampai sudah kering baru melakukan shalat sunnah wudhu.

Shalat Tasbih:

Merupakan shalat sunnah 4 rakaat yang di dalamnya terdapat 300 tasbih. Bila dikerjakan siang hari: 4 rakaat dengan 1 salam dan bila dikerjakan malam hari: 4 rakaat dengan 2 salam.

Shalat Tobat:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat (bisa 4 dan 6 rakaat) yang dianjurkan Rasulullah apabila kita telah melakukan dosa dan lalu bertobat. Waktu mengerjakannya bisa kapan saja, tetapi alangkah baiknya dikerjakan pada malam hari.

Shalat Hajat:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan karena mempunyai hajat dan memohon agar Allah mengabulkannya.

Shalat Tarawih:

Merupakan shalat sunnah yang dikerjakan setelah shalat Isya pada bulan Ramadhan. Shalat ini bisa dikerjakan sendiri-sendiri, afdhalnya berjamaah. Bilangan rakaatnya 20 (tiap 2 rakaat diakhiri dengan salam). Sebaiknya dilanjutkan dengan shalat sunnah witir 3 rakaat (2 roka'at salam, lalu 1 roka'at salam [infishal]), bila dilaksanakan ittishal 3 rakaat dengan satu salam maka tanpa tasyahhud awal.

Shalat Witir:

Merupakan shalat sunnah penutup shalat malam yang dikerjakan di awal (jika khawatir tidak bangun pada malam harinya), pertengahan atau di akhir malam (jika percaya bisa bangun malam). Bilangan rakaatnya ganjil, minimal 1 rakaat dan maksimal 11 rakaat (tanpa tasyahud awal). Lazimnya shalat witir ini 1 atau 3 rakaat.

Shalat Istisqa:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang biasanya dilakukan secara berjamaah dilapangan untuk meminta hujan, apabila mengalami kekeringan (disertai dengan 2 khutbah).

Shalat Hari Raya:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat dipagi hari (dimulai dari terbitnya matahari sampai waktu zuhur) secara berjamaah di lapangan maupun di masjid yang dikerjakan pada waktu Hari Raya Idul Fitri, tanggal 1 Syawal dan Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah. Pada rakaat pertama disunnahkan membaca takbir sebanyak 7 kali dan pada rakaat kedua sebanyak 5 kali. Pada tiap-tiap takbir membaca:

Subhaanallaah,

wal hamdu lillaah,

wa laa ilaaha illallaah,

wallaahu akbar.

Artinya: Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan yang Maha Besar.

Shalat Gerhana:

Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dilaksanakan karena ada gerhana, baik gerhana matahari atau gerhana bulan. Kalau gerhana matahari disebut shalat kusuuf, dan kalau gerhana bulan disebut shalat khusuuf. Waktu melaksanakan shalat gerhana matahari, yaitu mulai awal gerhana hingga matahari kembali seperti semula, begitu juga dengan gerhana bulan. Apabila dilaksanakan berjama'ah maka ada 2 khutbah setelahnya shalat.

http://www.ulilalbab.wen.ru/menu/jenisslt.html 17.18

Rukun-Rukun Shalat

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syari dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,

Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa rakaat yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.

Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.

Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.[1]

Rukun kedua: Takbiratul ihram

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. [2]

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir Allahu Akbar. Ucapan takbir ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.

Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Rakaat

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.[3]

Rukun keempat dan kelima: Ruku dan thumaninah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),

Kemudian rukulah dan thumaninahlah ketika ruku.[4]

Keadaan minimal dalam ruku adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.

Sedangkan yang dimaksudkan thumaninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,

Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada dalam keadaan thumaninah dan tenang.[5]

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thumaninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib dalam ruku.

Rukun keenam dan ketujuh: Itidal setelah ruku dan thumaninah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,

Kemudian tegakkanlah badan (itidal) dan thumaninalah.[6]

Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thumaninah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,

Kemudian sujudlah dan thumaninalah ketika sujud.[7]

Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan hidung.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri.

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thumaninah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Kemudian sujudlah dan thumaninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thumaninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thumaninalah ketika sujud.[8]

Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah at tahiyatu lillah .[9]

Bacaan tasyahud:

At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu alaina wa ala ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan abduhu wa rosuluh. (Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [10]

Apakah bacaan tasyahud assalamu alaika ayyuhan nabi perlu diganti dengan bacaan assalaamu alan nabi?

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,

Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan assalamu alaika ayyuhan nabi atau bacaan assalamu alan nabi? Abdullah bin Masud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan assalamu alaika ayyuhan nabi. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan assalamu alan nabi.

Jawab:

Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan assalamu alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Masud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat jika memang itu benar riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Masud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh Abdur Rozaq Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh Abdullah bin Quud dan Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota)[11]

Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]

Dalilnya adalah hadits Fudholah bin Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berdoa dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, Begitu cepatnya ini. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendoakan orang tadi, lalu berkata padanya dan lainnya,

Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu berdoa setelah itu semau kalian.[13]

Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.

Allahumma sholli ala Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa shollaita ala Ibroohim wa ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ala Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa barrokta ala Ibrohim wa ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.[14]

Rukun kelimabelas: Salam

Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,

Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. [15]

Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafiiyah, Malikiyah dan mayoritas ulama.

Model salam ada empat:

Salam ke kanan Assalamu alaikum wa rohmatullah, salam ke kiri Assalamu alaikum wa rahmatullah.

Salam ke kanan Assalamu alaikum wa rohmatullah wa barokatuh, salam ke kiri Assalamu alaikum wa rahmatullah.

Salam ke kanan Assalamu alaikum wa rohmatullah, salam ke kiri Assalamu alaikum.

Salam sekali ke kanan Assalamulaikum.[16]

Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada

Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata tsumma dalam setiap rukun. Dan tsumma bermakna urutan

http://m.muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/rukun-rukun-shalat.html 17.24

Syarat dalam istilah ahli ushul adalah apa yang kalau dia tidak ada, maka sebuah perbuatan (ibadah) tidak dapat ada (terlaksana), dan kalau dia ada perbuatan tersebut tidak harus ada.

Maka syarat sah shalat adalah apa yang menentukan sahnya shalat. Dimana kalau tidak ada syarat-syarat berikut ini, maka shalatnya tidak sah, yaitu:

Syarat pertama: Masuk waktu (shalat)Ini adalah syarat yang paling penting-.

Tidak sah shalat sebelum masuk waktu menurut ijma (konsensus) para ulama. Berdasarkan firman Allah taala :

( ) /103

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS.An-Nisa: 103).

Waktu shalat, telah Allah sebutkan secara global dalam Kitab-Nya:

( ) /78

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat) (QS. Al-Isra: 78).

Firman Allah ( ) adalah tergelincirnya matahari, sedangkan firman-Nya ( ) adalah pertengahan malam. Waktu ini adalah pertengahan siang sampai pertengahan malam, mencakup waktu empat shalat, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Dan Nabi sallallahualaihi wasallam telah menjelaskan (dengan rinci) dalam sunnahnya. Telah dijelaskan pada soal jawab no. 9940.

Syarat kedua: Menutup aurat.

Siapa menunaikan shalat dalam keadaan auratnya terbuka maka shalatnya tidak sah, berdasarkan firman Allah:

( ) /31

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid (QS. Al-Araf: 31).

Ibnu Abdul Bar rahimahullah berkata: (Para Ulama) telah sepakat (ijma) akan rusaknya shalat orang yang menanggalkan bajunya sementara dia mampu menutupinya dan dia shalat (dalam kondisi) telanjang. Untuk menambah faedah, silahkan merujuk soal jawab no. 81281.

Aurat bagi orang-orang yang shalat (ada) beberapa bagian,

1. Aurat ringan (mukhaffafah) yaitu aurat laki-laki dari umur tujuh sampai sepuluh tahun. Maka auratnya adalah dua kemaluan saja: (kemaluan) depan dan belakang.

2. Aurat pertengahan (mutawasithoh), yaitu aurat orang yang berumur sepuluh tahun keatas, antara pusar dan betis.

3. Aurat berat (mugholazah), yaitu aurat wanita merdeka yang sudah baligh, semua badannya adalah aurat dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Adapun dibolehkannya menampakkan kedua telapak kaki diperselisihkan para ulama.

Syarat ketiga dan keempat: bersuci.

Bersuci ada dua macam; Bersuci dari hadats dan bersuci dari najis.

1. Bersuci dari hadats besar dan kecil (akbar dan asghar). Barangsiapa menunaikan shalat (padahal dia dalam kondisi) hadats, maka shalatnya tidak sah menurut ijma (konsensus) para ulama. Sebagaiamana diriwayatkan oleh Bukhari, no. 6954, dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dari Nabi sallallahualaihi wasallam, beliau bersabda:

( )

Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kalian, apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.

2. Bersuci dari najis. Barangsiapa menunaikan shalat sementara dia tahu dan ingat ada najis, maka shalatnya tidak sah.

Maha seharusnya bagi orang yang shalat menjauhi najis dalam tiga tempat.

Tempat pertama: Badan, tidak dibolehkan ada sedikitpun najis di badannya. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 292, dari Ibnu Abbas radhiallahuanhuma, dia berkata: Rasulullah sallallahualaihi wasallam melewati dua kuburan, kemudian beliau berkomentar: Bahwa sesungguhnya keduanya (sedang) disiksa. Dan tidaklah keduanya disiksa dikarenakan dosa besar. Salah satunya karena dia biasa menyebarkan namimah (fitnah) dan yang lain karena tidak membersihkan (najis) dari kencing... Al-hadits.

Tempat kedua: Pakaian. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 227, dari Asma binti Abu Bakar radhiallahuanhuma, dia berkata: Seorang wanita datang (menemui) Nabi sallallahualaihi wasallam dan bertanya: Bagaiamana pendapat anda, salah seorang di antara kami sedang haid, lalu mengenai baju. Apa yang dia perbuat? (beliau) menjawab: Hendaknya dia garuk, kemudian dibersihkan dan disiram dengan air, lalu dia boleh shalat (dengan memakai baju tersebut).

Tempat ketiga: Tempat dimana dia shalat. Yang menunjukkan akan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahuanhu, dia berkata: Ada orang badui datang dan kencing di pojok masjid, orang-orang menghardiknya (sementara) Nabi sallallahualaihi wasallam melarang (menghardiknya), ketika dia selesai kencing, Nabi sallallahualaihi wasallam menyuruh (mengambil) satu timba air dan disiramkan (ke tempat dia kencingi).

Syarat yang kelima: menghadap kiblat.

Barangsiapa shalat wajib tanpa menghadap kiblat (sementara) dia mampu untuk menghadapnya, maka shalatnya batal menurut ijma( konsensus) para ulama. Berdasarkan firman Allh taala:

( ) /144

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya (QS. Al-Baqarah: 144).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah sallallahualaihi wasallam dalam hadits orang yang keliru shalatnya, "Kemudian menghadaplah kiblat dan bertakbirlah. (HR. Bukhari, no. 6667). Sebagai tambahan, silahkan merujuk soal jawab no. 65853.

Syarat keenam: Niat.

Barangsiapa menunaikan shalat tanpa niat, maka shalatnya batal. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar bin Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah sallallahualaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya amal (ibadah) itu dengan niat. Dan sesungghnya setiap orang itu (tergantung) apa yang dia niatkan. Maka Allah tidak akan menerima amal (ibadah) tanpa niat.

Keenam syarat tadi adalah syarat khusus dalam shalat. Ditambah lagi syarat-syarat umum pada semua ibadah, yaitu: Islam, berakal, tamyiz (usia anak-anak sebelum baligh yang sudah mampu membedakan yang baik dan buruk). Kesimpulannya, syarat sah shalat secara umum ada sembilan: Islam, berakal, tamyiz, menghilangkan hadats, menghilangkan nasjis, menutup aurat, masuk waktu (shalat), menghadap kiblat dan niat.

http://islamqa.info/id/107701 17.29