jangan lelah pada kebenaran - gelora45gelora45.com/news/munir_janganlelahpadakebenaran.pdf ·...

16
1 Jangan Lelah pada Kebenaran Tanius Sebastian 15 September 2016 Harian Indoprogress http://indoprogress.com/2016/09/jangan-lelah-pada-kebenaran/ Untuk Cak Munir (1965-2004) yang dibunuh, tapi tak pernah mati dan tak akan berhenti dan diingat dari September ke September Pendahuluan Dalam sebuah edisi khususnya tahun 2014, majalah Tempo menerbitkan laporan mengenai temuan fakta dan bukti terbaru kasus pembunuhan aktivis perjuangan hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib.[1] Dalam opininya, majalah tersebut menyatakan bahwa atas nama keadilan dan kemanusiaan pemerintah Indonesia harus meneruskan pengungkapan pembunuhan aktivis tersebut. Akan tetapi seperti kita ketahui, sejumlah proses hukum lewat pengadilan telah dijalani dan terdakwa pembunuh Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, juga telah dijatuhi hukuman pidana penjara. Tempo memandang pengungkapan kembali kasus ini akan menunjukkan aktor-aktor lain pembunuh Munir, khususnya aktor intelektual. Yang menarik, dalam

Upload: buitu

Post on 12-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

1

Jangan Lelah pada Kebenaran Tanius Sebastian

15 September 2016

Harian Indoprogress

http://indoprogress.com/2016/09/jangan-lelah-pada-kebenaran/

Untuk Cak Munir (1965-2004)

yang dibunuh,

tapi tak pernah mati dan tak akan berhenti

dan diingat

dari September ke September

Pendahuluan

Dalam sebuah edisi khususnya tahun 2014, majalah Tempo menerbitkan laporan

mengenai temuan fakta dan bukti terbaru kasus pembunuhan aktivis perjuangan hak

asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib.[1] Dalam opininya, majalah tersebut

menyatakan bahwa atas nama keadilan dan kemanusiaan pemerintah Indonesia harus

meneruskan pengungkapan pembunuhan aktivis tersebut. Akan tetapi seperti kita

ketahui, sejumlah proses hukum lewat pengadilan telah dijalani dan terdakwa pembunuh

Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, juga telah dijatuhi hukuman pidana

penjara. Tempo memandang pengungkapan kembali kasus ini akan menunjukkan

aktor-aktor lain pembunuh Munir, khususnya aktor intelektual. Yang menarik, dalam

Page 2: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

2

salah satu wawancara Tempo, Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan jenderal yang

senantiasa dikaitkan dengan pembunuhan Munir, berkata bahwa kasus ini sudah selesai

karena hukum sudah memutuskan. “Kalau tak percaya kepada hukum, lalu kita berpegang

pada apa lagi?”.[2] Majalah Tempo bahkan mendesak supaya kasus pembunuhan Munir ini

dibuka oleh pengadilan HAM. Padahal keadilan dan hukum sudah ditegakkan secara

prosedural, seperti yang ditegaskan oleh Hendropriyono. Apa alasan yang dapat

mendasari pengungkapan kasus Munir, selain nama keadilan yang kerap diusung oleh para

aktivis, lawyer, jurnalis, dan juga politikus kita?

Bahasa Latin punya adagium yang sangat pas untuk menggambarkan semangat dari usaha

penelusuran ulang kasus Munir di atas, yakni “Fiat iustitia, et pereat mundus”.

Terjemahan adagium itu dalam bahasa Indonesia kira-kira begini: tegakkan keadilan

meskipun dunia ini hancur. Mula-mula kita akan bertolak dari adagium ini merenungkan

apakah sesungguhnya hakikat dasar dari goyangan timbangan keadilan dan ayunan pedang

hukum sehingga keduanya menjadi harga mati? Kasus Munir yang diulas oleh Majalah

Tempo edisi khusus di atas akan menjadi studi kasus pada refleksi ini karena kasus ini

memunculkan perdebatan soal manakah yang benar. Siapakah yang sesungguhnya

membunuh Munir? Apa motif pembunuhannya yang sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan

ini merupakan pertanyaan tentang kebenaran. Maka, di samping keadilan dan

kemanusiaan, satu hal yang juga penting untuk dikaji di sini adalah kebenaran.

Namun yang akan dibahas di sini bukanlah perihal pencarian fakta empiris, melainkan

refleksi tentang arti kebenaran secara filosofis. 10 tahun setelah meninggalnya Munir,

misteri masih bertebaran dan kita gelisah akan apa yang sebenarnya ada di balik kasus

ini. Konspirasi politik? Dendam pribadi? Tulisan ini tidak akan mengupas hal-hal seperti

itu. Tulisan ini akan mencoba menemukan tempat kebenaran di tengah pusaran politik

yang penuh tabrakan kepentingan. Laporan majalah Tempo memperlihatkan betapa

kepentingan negara, persepakatan politik praktis, dan maksud-maksud pribadi seseorang

saling bercampur aduk sedemikian sehingga kebenaran kasus ini sendiri menjadi kabur.

Pisau analisis yang akan dipakai di sini bersumber dari teks seorang pemikir filsafat

politik, Hannah Arendt (1906-1975). Teks tersebut berjudul “Truth and Politics”.[3]

Sebagai pisau analisis, gagasan Arendt di sini bukan berarti menjadi instrumen belaka

dan tak berharga pada dirinya sendiri. Sedari awal Arendt sudah mengungkapkan bahwa

apa yang ia hadirkan dalam teks tersebut adalah refleksi atas hal yang sudah biasa dan

tidak spesial.[4] Kebenaran dalam konteks politik yang direfleksikan oleh Arendt

merupakan hal yang sudah diterima begitu saja. Orang mungkin lebih tertarik dengan

persoalan administrasi keadilan dan penegakkan hukum formal daripada merenungkan

arti kebenaran dalam politik. Arendt menyebut kecenderungan itu kelihatannya masuk

Page 3: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

3

akal, sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan biarpun langit runtuh

menimpa kita. Tapi, Arendt mengubah sedikit saja ungkapan tersebut dengan meletakkan

kosa kata kebenaran sehingga menciptakan adagium “Fiat veritas, et pereat

mundus”.[5] Dari yang tampak biasa, refleksi Arendt ini menjadi tak biasa.

Dengan menggeser sedikit saja kecenderungan kita, penegakkan kebenaran rupanya

lebih masuk akal dalam rangka menjernihkan kekeruhan politik, kendati kita mesti

musnah. Berdasarkan gagasan Arendt ini, pengungkapan kasus Munir seharusnya tidak

hanya bersandar pada administrasi keadilan dan penyelesaian secara yuridis, melainkan

bergerak menembus tabir gelap politik yang menutupi kebenarannya. Tulisan ini

berpendapat bahwa kebenaran merupakan hakikat dasar dari keadilan dan hukum yang

berada pada suatu tatanan politik. Berhadapan dengan pernyataan dari Hendropriyono di

atas, tulisan ini memandang bahwa kita mesti berpegang pada kebenaran dan kebenaran

sendiri tidak tereduksi habis di dalam hukum. Lantas, siapa yang mesti mengejar

kebenaran tersebut dan apa dasarnya? Berdasarkan gagasan Arendt, tulisan ini akan

menekankan peran institusi pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan.

Untuk mendukung pendapat di atas, kita dihadapkan pada pertanyaan: apa yang membuat

kebenaran menjadi bernilai dalam politik? Dari Arendt kita akan belajar bahwa

keutamaan politik juga membutuhkan kejujuran (truthfulness). Dengan kata lain,

kebenaran itu penting dalam politik karena mendorong politik yang lebih terbuka dan

representatif. Namun sejauh apa kebenaran menjadi penting dalam politik? Pemikir etika

asal Inggris, Bernard Williams (1929-2003), menjawab pertanyaan ini dalam kaitannya

dengan situasi masyarakat di mana batas yang benar dan yang salah sudah sedemikian

kabur akibat pendustaan diri (self-deception), terutama yang direproduksi oleh media

pada sistem masyarakat itu sendiri.[6] Di sinilah letak urgensi sikap

ketakberkepentingan (disinterested) dan program pendidikan tinggi sebagai, meminjam

istilah Williams, “metode penelusuran serta pentransmisian” kebenaran dalam politik.

Maka tulisan ini akan mendiskusikan pula masalah kejujuran dalam politik dengan

bertolak pada pertanyaan mengapa kebenaran itu penting dalam politik. Di bagian akhir,

tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa dalam gerakan perjuangan mengungkap kasus

Munir, di samping kejujuran, dibutuhkan pula keberanian sebagai pangkal kebenaran kita.

Sebab dalam hal ini, dengan mengadaptasi pernyataan Cak Munir, janganlah kita lelah

pada kebenaran.[7]

Hubungan Konfliktual Kebenaran dengan Politik

Arendt memulai analisisnya terhadap hubungan kebenaran dan politik dengan dua pokok

penegasan.[8] Pokok pertama yakni bahwa hubungan kebenaran dengan politik merupakan

Page 4: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

4

hubungan yang buruk. Arendt melontarkan serangkaian pertanyaan tentang mengapa

hubungan keduanya tidaklah selaras. Kebenaran berdiri di satu sisi dan politik di sisi lain

lantas keduanya saling menjatuhkan dan melemahkan arti dan nilai masing-masing.

Keduanya bagai air dan minyak yang tertuang sekaligus di dalam gelas kehidupan manusia.

Pokok kedua, bahwa kejujuran tidak dianggap sebagai keutamaan politis. Politik sedari

awal sudah terkait erat dengan kebohongan, senantiasa memperkosa kebenaran, dan

tidak ada urusannya sama sekali dengan kejujuran. Bukankah demikian pula kita

mempersepsi praktik politik di sekitar kita? Arendt menunjukkan bahwa hubungan

kebenaran dengan politik merupakan hubungan yang konfliktual.

Kisah tak mengenakan ini ternyata terlacak jauh ke belakang masa peradaban manusia.

Sebuah kisah yang berusia tua dan penuh komplikasi di mana arti kebenaran itu sendiri

berevolusi, mulai dari kebenaran sebagai standar perilaku manusia menurut Plato sampai

kebenaran sebagai aksioma matematis menurut Thomas Hobbes.[9] Meski berbeda,

kedua arti kebenaran tersebut bentrok dengan kekuasaan politik. Baik kebenaran ideal

Plato maupun kebenaran aksiomatis Hobbes merupakan hasil pikiran manusia yang

berupaya melewati batas-batas pengetahuan pada umumnya. Kebenaran dalam arti

tersebut sulit diterima oleh kebanyakan orang biasa dan bahkan bergesekan dengan

kekuasaan. Pada versi kebenaran Plato, si pengungkap kebenaran berada dalam ancaman

untuk dihabisi nyawanya ketika ia berusaha membebaskan rekan-rekannya dari ilusi dan

tipuan, sedangkan pada versi Hobbes, kebenaran sangat rentan untuk ditindas oleh

dominasi apabila suatu aksioma bertentangan dengan hak atau kepentingan yang

dominan.[10] Hubungan konfliktual itu makin kompleks ketika di masa modern berlaku

pembedaan antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual. Analisis Arendt dalam

teks “Truth and Politics” bertolak dari pembedaan ini untuk kemudian menunjukkan

betapa rentannya kebenaran faktual, dibandingkan kebenaran rasional, terhadap

pengaruh kekuasaan politik.

Arendt menyatakan bahwa “kendati kebenaran-kebenaran yang paling relevan secara

politis adalah faktual, konflik antara kebenaran dan politik pertama kali ditemukan dan

diartikulasikan dalam kaitannya dengan kebenaran rasional.”[11] Berdasarkan pandangan

Arendt, oposisi kebenaran dengan politik dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 5: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

5

Arendt berangkat dari pembedaan antara kebenaran rasional dan faktual. Baginya,

konflik kebenaran dengan politik pada mulanya adalah konflik antara bidang kebenaran

rasional dan bidang kekuasaan politik, atau yang Arendt sebut sebagai “dua jalan

kehidupan yang saling bertentangan secara diametris”.[12] Ini adalah konflik asali dari

kebenaran versus politik, sebagaimana terlihat pada oposisi A (Alfa) pada skema 1 di

atas. Secara historis, konflik asali sudah dimulai sejak Parmenides dan Plato di mana

kebenaran (rasional) yang dinyatakan oleh filsuf berlawanan dengan opini dari para warga

masyarakat, dan opinilah yang membangun kekuasaan politik. Pelacakan Arendt terhadap

asal-usul konflik ini juga memperlihatkan bahwa ciri pertentangan diametris kebenaran

dengan politik masih ditemukan pada masa awal modernitas hingga abad ke-19.

Perhatikan, antara lain, Hobbes yang mempertentangkan dua fakultas pikiran, yakni

penalaran ketat yang didasarkan pada prinsip kebenaran dan kefasihan bersilat lidah

yang didasarkan pada opini, hasrat, dan kepentingan.[13] Di masa modern, orang seperti

James Madison kurang lebih juga menyatakan hal sama. Kebenaran rasional merujuk pada

singularitas sebuah pikiran sedangkan opini ditentukan oleh ketergantungan dengan

banyaknya jumlah yang sama-sama mencetuskannya.[14]

Akan tetapi dalam pandangan Arendt, bila kita bicara situasi kehidupan saat ini, yang

lebih panas membara bukanlah konflik kebenaran rasional menurut oposisi A pada skema

di atas, melainkan konflik kebenaran faktual dengan politik berdasarkan oposisi Ω

(Omega). Alasannya, pertama, karena terhapusnya oposisi A pada skema 1 di

atas.[15] Kedua, karena kebenaran faktual mengkait secara langsung dengan politik

daripada kebenaran rasional. “Apa yang dipertaruhkan di sini adalah realitas faktual itu

sendiri, dan memang ini adalah masalah politis yang pertama-tama.”[16] Di sini, Arendt

justru bermaksud memperlihatkan betapa malangnya nasib kebenaran faktual apabila

dibandingkan dengan kebenaran filosofis-rasional, terutama dalam keadaan di mana

pasar mereproduksi opini secara massal. Baik kebenaran faktual maupun kebenaran

filosofis terancam jatuh menjadi kebenaran pasar. Namun saat kebenaran filosofis

dapat mengubah kodratnya menjadi opini di dalam pasar, kebenaran faktual tetaplah

merupakan kebenaran faktual, kendati berhimpitan erat dengan opini. Sebab, demikian

Arendt, kebenaran faktual selalu terkait dengan orang lain dan berbagai peristiwa yang

melibatkan banyak orang. Ia pun bergantung pada testimoni dan kesaksian.[17] Dengan

kata lain, bicara kebenaran faktual berarti bicara tentang fakta telanjang yang

bagaimanapun juga berbeda dari opini, termasuk dari data mentah yang terberi, yang

sudah diterima begitu saja (given), dan yang dibentuk seturut perjalanan sejarah. Fakta

telanjang adalah fakta yang bersifat umum, diketahui publik tapi kerap ditutupi

seolah-olah itu bukanlah fakta.[18]

Page 6: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

6

Dari kemalangan nasib kebenaran faktual tersebut, Arendt memperlihatkan kekuasaan

politik yang menekan kebenaran faktual. Maka kita dapat belajar bahwa kebenaran

faktual memiliki kualitas yang lebih politis dari pada kebenaran rasional karena ia

bersentuhan langsung dengan realitas beserta berbagai sikap penolakan terhadap fakta

di dalamnya. Apabila kita kembali ke kasus Munir, keadilan dan kemanusiaan yang

seringkali digembar-gemborkan untuk mengungkap kebenaran lebih bersifat anti-politis

karena keduanya mudah sekali jatuh menjadi opini yang direproduksi dan dimanipulasi

secara massal, terutama lewat media. Singkatnya, keadilan dan kemanusiaan itu menjadi

jargon belaka. Pengungkapan kasus Munir mesti melalui saluran pencarian kebenaran

faktual, yakni kebenaran yang nyata-nyata terjadi alias fakta umum tapi yang lepas dari

hiruk-pikuk opini pasar dan data mentah. “Rumus” pengungkapan kebenaran tersebut

kira-kira begini:

Namun rumus di atas tidak menuntaskan masalah hubungan konfliktual kebenaran dengan

politik. Skema 1 menunjukkan bahwa kebenaran faktual beroposisi dengan kebohongan

berencana. Persis pada oposisi Ω inilah Arendt ingin menunjukkan bahwa kebenaran

faktual perlu ditempatkan di dalam bingkai kekuasaan politik; sebuah bingkai di mana

lawan sejati dari kebenaran faktual adalah kebohongan yang diorganisir oleh aktor-aktor

penguasa tertentu. Artinya, kita perlu memakai sudut pandang politik untuk lebih

memahami kebenaran faktual. Pertanyaan Arendt di sini adalah: apakah kekuasaan politik

dapat dan harus diperiksa tidak hanya oleh sebuah konstitusi, atau sebuah deklarasi hak,

atau pembagian kekuasaan, melainkan oleh sesuatu yang berada di luar wilayah politik itu

sendiri?[19]

Elaborasi atas hubungan konfliktual kebenaran dengan politik menurut Arendt memberi

kita wawasan berharga, yakni tentang kebenaran seperti apa yang mesti diungkap dalam

kasus di mana kekuasaan politik bersifat represif. Jawabannya adalah kebenaran faktual.

Dan kebenaran faktual inilah yang mesti menjadi pegangan dalam pengungkapan kasus

Munir. Lantas, politik seperti apa yang dapat mendukung pengungkapan kebenaran

faktual tersebut? Bukankah politik itu sedemikian kotor, sempit, dan penuh kepentingan

penguasa sehingga justru melihat kebenaran sebagai sesuatu yang berkarakter despotik,

yakni kebenaran sebagai sesuatu yang mendominasi?[20]

Page 7: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

7

Ada dan berlipat ganda. Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

“A Test of Our Truth”

Pertanyaan terakhir di atas merupakan semacam titik balik dari telaah atas kebenaran

menjadi telaah atas politik di dalam hubungan konfliktual kebenaran dengan politik.

Sebelumnya kita sudah melihat bahwa kebenaran yang mesti diungkap adalah kebenaran

faktual. Tapi kebenaran faktual itu jelas tidak berada di ruang yang hampa udara. Ia

bergelut di dalam pertarungan opini pasar dan di tengah distrubusi data mentah. Ia

mesti berhadapan dengan kekuasaan. Maka menjadi penting untuk memaknai politik

seperti apa yang kiranya mendukung kebenaran faktual. Pada kasus Munir, kita melihat

betapa politik sejumlah elit dan alat negara menampilkan wajahnya yang sangat beraneka,

dari wajah empati sampai wajah kecurigaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada

waktu itu menyebut kasus ini sebagai “a test of our history”; sebuah ujian yang dinilai

gagal dilewati oleh pemerintahannya.[21] Pada konteks bahasan di sini, upaya pemaknaan

politik seperti apa yang mendukung kebenaran faktual tak kurang merupakan “a test of

our truth”.

Arendt sendiri menjelaskan pemaknaan politik di atas dalam rangka menegaskan betapa

kebenaran faktual sangat mudah dilemahkan. Bagi Arendt politik yang tepat bagi

pengungkapan kebenaran faktual adalah politik representatif, yakni politik yang mampu

memperluas pikiran kita sehingga kita dapat melihat dunia dari sejumlah perspektif yang

berbeda.[22] Namun proses representasi tersebut tidak begitu saja diterapkan seperti

pada sikap empati atau dalam menghitung suara-suara individu, melainkan dengan cara:

Page 8: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

8

“Menghadirkan lebih banyak posisi orang-orang lain dalam pikiranku sementara aku

mempertimbangkan isu yang ada, dan dengan lebih baik aku dapat mengimajinasikan

bagaimana aku akan merasa dan berpikir jika aku berada dalam kedudukan mereka, akan

lebih kuat kapasitasku untuk pemikiran representatif dan lebih valid-lah

kesimpulan-kesimpulanku, opiniku.” [23]

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Arendt membela kedudukan opini yang proses

pembentukannya membutuhkan imajinasi, sikap ketidakberkepentingan, dan bebas dari

kepentingan diri sendiri.[24] Tetapi hal ini tidak perlu diartikan sebagai pernyataan

Arendt yang menolak kebenaran. Sebab, Arendt menyatakan bahwa fakta pada

kebenaran faktual dan opini itu sebenarnya saling berhimpitan. “Jika opini-opini tidak

didasarkan pada informasi yang tepat dan akses yang bebas kepada semua fakta-fakta

yang relevan, maka opini-opini tersebut hampir tidak dapat mengklaim validitas apa

pun.”[25] Yang penting di sini adalah fakta pada kebenaran faktual dan opini tersebut

dapat diperdebatkan dan didialogkan dalam ruang publik secara argumentatif. Di

samping itu, nilai-nilai dari opini seperti imajinasi, sikap ketakberkepentingan, dan bebas

dari kepentingan diri sendiri dibutuhkan untuk mewujudkan politik representatif yang

mendukung kebenaran faktual.

Kendati telah didukung dengan pemaknaan politik representatif, masih terdapat

rintangan sulit bagi kebenaran faktual untuk mengekspresikan dirinya dalam kehidupan

publik. Hal ini dikarenakan oleh nasib pengungkapan kebenaran faktual yang sedemikian

mudahnya disingkirkan. Berkebalikan dengan pengungkap kebenaran filosofis,

pengungkap kebenaran faktual tidak mungkin untuk melakukan semacam persuasi. Ia mau

tidak mau akan melanggar aturan atau kaidah tertentu yang berlaku dalam kehidupan

politik. Konsekuensi praktis ini terjadi karena apa yang dapat dilihat dengan mata dari

upaya pengungkapan kebenaran faktual bukannya kebenaran akan apa yang diungkapkan,

bukan pula kejujuran, melainkan keberanian dan kekukuhan yang sulit

disangkal.[26] Maka ujian bagi kebenaran kita tidak cukup berhenti sampai di pemaknaan

politik representatif. Arendt menunjukkan aspek lain yang mesti dipenuhi untuk

melewati ujian tersebut, yakni kejujuran.

Ketika politik representatif dirasa masih belum cukup untuk mengakomodasi kebenaran

faktual, kita mesti kembali kepada nilai kebenaran itu sendiri. Inilah yang ditawarkan

oleh Arendt saat ia menegaskan bahwa musuh bebuyutan kebenaran faktual yang

sesungguhnya adalah kebohongan berencana.[27] Maka perhatian perlu kita curahkan

kembali ke skema 1 di atas, tepatnya pada oposisi Ω. Lantas pertanyaannya kini: apa yang

membuat kebenaran faktual itu penting dalam politik?

Page 9: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

9

Arendt setidak-tidaknya menunjukkan dua hal yang membuat kebenaran itu penting

dalam politik. Yang pertama adalah kejujuran. Kebohongan berencana dilakukan sebagai

upaya memanipulasi fakta dan opini. Di sini, kejujuran menjadi sangat penting karena

dengan kejujuran pengungkapan kebenaran faktual dapat menciptakan suatu tindakan

yang kemudian akan menggonggongi politik yang manipulatif. Yang kedua adalah

fenomena maraknya upaya manipulasi yang dilakukan oleh media dan negara. Arendt

mengatakan bahwa manipulasi fakta dan opini tampak jelas dalam pencitraan, penulisan

ulang sejarah, dan kebijakan pemerintah.[28]

Kalau begitu, mengapa kejujuran itu penting dalam politik? Arendt tampaknya tak

mengantisipasi pertanyaan ini. Ia hanya menekankan bahwa kejujuran itu penting demi

politik representatif. 29 tahun setelah teks “Truth and Politics” terbit, Bernard

Williams dalam teksnya “Truth, Politics, and Self-Deception” memberikan penjelasan

atas pertanyaan tersebut. Salah satu gagasan pokok Williams adalah tiga atau empat

macam argumen bagi kejujuran di dalam politik.[29] Dari telaah Williams, kita melihat

bagaimana politik membutuhkan kejujuran karena dalam sistem administrasi modern,

yang didukung berbagai institusi komunikasi dan edukasi, bidang politik hampir tak bisa

dibedakan dari bidang hiburan (entertainment).[30] Lebih parah lagi, politik tersebut

dibangun oleh konspirasi antara pendusta dan yang didustai sehingga terjadilah

pendustaan diri kolektif. Akibatnya, politik yang ditampilkan oleh media menjadi ambigu

antara hiburan atau penelusuran kebenaran.[31] Maka, kejujuran menjadi penting untuk

menjernihkan kekacauan seperti itu.

Ujian kebenaran di sini ternyata membutuhkan kejujuran, di samping politik

representatif. Lebih lanjut, Arendt mengemukakan keberadaan dua aspek penting

lainnya bagi kelulusan ujian kebenaran kita. Aspek pertama adalah peran institusi

pendidikan tinggi sebagai lembaga yang memprogram pencarian kebenaran dengan

berasaskan pada kejujuran dan keterbukaan pada publik. Arendt mengambil Akademi

yang didirikan Plato sebagai figur lembaga pendidikan tinggi yang berdiri di luar

kekuasaan politik. “Tingkat kesempatan bagi kebenaran untuk muncul di publik sangat

besar dengan eksistensi tempat semacam itu dan dengan organisasi cendikiawan yang

independen, dan semesetinya tak berkepentingan, yang terkait dengan tempat

itu.”[32] Aspek kedua adalah suatu prasyarat supaya kebenaran faktual dapat

memunculkan dirinya, khususnya lewat program penelitian dan pengajaran di pendidikan

tinggi, yakni sikap mengambil jarak dari wilayah politik. Sikap ketakberkepentingan ini

sendiri mensyaratkan imparsialitas serta kebebasan dari kepentingan diri dalam pikiran

maupun pembuatan keputusan.[33]

Page 10: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

10

Perealisasian dua aspek ini menjadi urgen di tengah kondisi yang digambarkan Williams,

yakni saat kodrat media tidaklah cocok dengan penemuan dan penyaluran

kebenaran.[34] Hal ini muncul dari melorotnya metode penemuan dan penyaluran

tersebut menjadi sekadar reproduksi penampilan-penampilan di dalam media massa.

Ilustrasi tentang masyarakat Orwellian dari Michael Lynch kiranya dapat

menggambarkan konsekuensi dari kondisi ketiadaan nilai kebenaran dalam kehidupan

sosial tersebut. Masyarakat Orwellian dapat dibayangkan sebagai sejumlah orang yang

masing-masingnya meyakini bahwa apa yang benar adalah apa yang ditentukan oleh yang

berkuasa, atau yang disebut “Otoritas”.[35] Apa yang tidak dimiliki oleh masyarakat

Orwellian adalah sikap kritis terhadap Otoritas yang kemudian dapat memunculkan

ketidaksepakatan bahwa ada yang salah dengan perkataan atau kebijakan Otoritas.

Dengan ilustrasi ini, Lynch memperlihatkan dimensi sosial dari nilai normatif kebenaran,

yakni membuka kemungkinan untuk memberi koreksi meski hal tersebut berlawanan

dengan kekuasaan politik.[36]Program pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan

merupakan dua contoh konkret dari tindakan kritis dan korektif tersebut. Titik pijak hal

ini jelas berada di luar status quo politik.

Keberadaan aspek kejujuran dan ketakberkepentingan ini jangan dimengerti sebagai

ketidakmandirian kebenaran faktual untuk memunculkan diri dalam politik. Aspek-aspek

tersebut adalah bagian dari kebenaran faktual. Sesungguhnya kebenaran faktual itu

lebih superior daripada kekuasaan berkat kekukuhannya yang tak dapat disangkal

(stubbornness). Oleh sebab itu, kebenaran faktual lebih kurang bersifat temporer

daripada sifat kekuasaan yang senantiasa berubah-ubah tergantung pada tujuan-tujuan

tertentu.[37]

Dengan sedikit saja mengubah paradigma kasus Munir dari “a test of our history”

menjadi “a test of our truth”, pengungkapan kasus Munir dituntut untuk mengakomodasi

kebenaran faktual berdasarkan politik “perluasan pikiran”. Maka, perdebatan secara

argumentatif dalam ruang diskursus yang terbuka mesti tetap dipelihara. Kejujuran

menjadi dasar dalam proses tersebut. Ada pun perwujudannya secara konkret dalam

kehidupan sosial dinyalakan oleh kerja riset dan interpretasi para cendikiawan

pendidikan tinggi terhadap kebenaran faktual. Mereka ini bersikap kritis terhadap upaya

manipulasi fakta dengan berjarak dari kantong-kantong kekuasaan politik. Kekukuhan

kebenaran faktual juga menjadi modal berharga bagi kebernilaiannya dalam beradu

dengan kekuasaan politik. Paradigma seperti ini agaknya berguna untuk menerobos jalan

buntu pemunculan kebenaran faktual yang dikekang oleh manipulasi sejumlah elit politik.

Pada kasus Munir, hal ini menyuarakan nilai kebenaran sebagai pegangan dalam upaya

pengungkapannya.

Page 11: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

11

Penutup

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa mengatakan bahwa politik

membutuhkan kebenaran. Kebenaran faktual-r2lah yang menjadi pegangan bagi politik

dalam rangka memperluas sudut pandang pemahamannya. Politik yang representatif ini

menaruh perhatian serius pada peristiwa atau fakta yang partikular, lalu

mendiskusikannya secara kritis dan terbuka sehingga akhirnya dapat memunculkan

signifikansi peristiwa tersebut pada tataran yang universal.[38] Oleh sebab itu pula,

politik yang berlandaskan kebenaran akan mengacu pada nilai kejujuran, ketulusan, dan

akurasi. Politik yang demikian tentu merupakan politik yang paling tidak realistis bagi

kalangan para pendusta yang senang berkonspirasi satu sama lain. Kebenaran merupakan

tapal batas dari praktik perilaku politik seperti itu.[39]

Oleh karena itu, kebenaran pun membutuhkan politik. Kebenaran tersebut harus dapat

melakukan konstatasi di dalam kehidupan sosial dan menjadi aparatus pengkoreksi

kekuasaan yang tirani. Namun, secara paradoksal, upaya tersebut dilakukan dari luar

sistem politik. Imparsialitas ini merupakan syarat bagi pengungkapan kebenaran faktual.

Menurut Arendt, inilah akar dari objektivitas yang juga berlaku dalam dunia ilmu

pengetahuan.[40]Barangkali demikianlah sisi lain hubungan politik dengan kebenaran,

yakni hubungan yang saling membina. Titik seimbang keduanya terwujud berkat

kekukuhan kebenaran faktual. Dalam sosok Munir, sifat itu tampil dalam rupa

keberaniannya memperjuangkan HAM. Kebenaran memang sepaket dengan

keberanian.[41]

Repotnya, kasus Munir tampak masih dipahami melulu secara legal-yuridis. Padahal

sebagaimana posisi tulisan ini, kebenaran justru merupakan hakikat dasar dari hukum.

Kebenaran itu masih perlu digali lebih lanjut sambil mengerti perimbangan hubungan

antara politik dan kebenaran tadi. Usman Hamid, misalnya, sangat getol menderet sekian

nama elit politik yang dianggapnya dapat mengungkap kembali kasus Munir, tentunya

dengan nama Joko Widodo di urutan nomor satu.[42] Hal ini terkesan seperti memaksa

maling untuk mengakui bahwa dirinya adalah maling di wilayah kekuasaan para maling itu

sendiri. Dalam arti tertentu, pernyataan Hamid ini senapas dengan pernyataan

Hendropriyono yang melulu mengacu pada standar-standar universal dari hukum.

Keduanya seperti gambar yang berbeda dari satu mata koin yang sama, yang jatuh di

ruangan gelap, dan hanya meninggalkan bunyi teka-teki berdencing-dencing. Bahwa

pemrosesan hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan Munir

adalah keharusan untuk dijalani merupakan satu hal, tapi bahwa upaya pengungkapan

kasus tersebut memang menampilkan kebenaran secara benderang adalah hal yang lain.

Page 12: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

12

Arti kebenaran yang telah kita kaji mendesak bidang pendidikan tinggi sebagai agen

pengungkap kebenaran. Perguruan tinggi di Indonesia semestinya dapat memenuhi peran

ini untuk memunculkan kebenaran di ruang publik. Perguruan-perguruan antara lain dapat

melakukan riset secara ilmiah, kolektif, dan koordinatif terhadap fakta-fakta

pelanggaran HAM seperti kasus Munir sehingga nilai kebenaran itu terus-menerus

direfleksikan dan dirawat. Dengan tetap membuka perdebatan dan diskusi kritis kasus

Munir, perguruan tinggi justru menghidupi kehidupan politik. Hal ini bertolak belakang

dengan pernyataan Hendropriyono, dan juga pernyataan Hamid di atas, yang sama-sama

menunggalkan pengungkapan kasus Munir ke dalam jalur administrasi peradilan. Bila

halnya demikian, maka kebenaran, seperti kata Arendt, menjadi anti politis.***

Tanius Sebastian, kader dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,

Bandung.

Kepustakaan:

Arendt, Hannah. “Truth and Politics.” Dalam Truth. Engagements Across Philosophical

Traditions, edited by José Medina and David Wood. Malden, Oxford, Victoria: Blackwell

Publishing Ltd, 2005, hlm. 295-314.

d’Entreves, Maurizio Passerin. “Hannah Arendt.”

http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp. Diakses pada 6 Desember

2014.

Hidayat, Bagja., et al. “Bukti Baru Pembunuhan Munir. Liputan Khusus.” Majalah Tempo

Edisi Khusus (8-14 Desember 2014):42-119.

Lynch, Michael P. True to Life. Why Truth Matters. Cambridge, Massachusetts:

Massachusetts Institute of Technology, 2006.

Williams, Bernard. “Truth, Politics, and Self-Deception.” Social Research 63 (Fall 1996):

603-617.

—————–

[1] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Fakta Baru Pembunuhan Munir”, 8-14 Desember 2014.

[2] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Abdullah Makhmud Hendropriyono: Saya Bukan Intel

Kemarin Sore”, hlm. 68.

Page 13: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

13

[3][3] Hannah Arendt, “Truth and Politics” dalam José Medina and David Wood

(eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford,

Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 295-314.

[4] “The subject of these reflections is a commonplace.” Hannah Arendt, “Truth and

Politics”, hlm. 295.

[5] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.

[6] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception.”, Social Research 63 (Fall

1996): 603-617.

[7] Majalah Tempo mengutip pernyataan Munir yang memang getol memprotes kedegilan

penguasa yang suka menggunakan kekerasan bagi rakyatnya. Majalah Tempo

menyerukan supaya kejahatan pembunuhan Munir harus diungkap dan tidak boleh

terulang. “Sebab, kita, mengutip Munir pada suatu kesempatan, ‘Sudah lelah dengan

kekerasan’”. Majalah Tempo Edisi Khusus, “Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan”,

hlm.45.

[8] “No one has ever doubted that truth and politics are on rather bad terms with each

other, and no one, as far as I know, has ever counted truthfulness among the

political virtues.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.

[9] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.

[10] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.

[11] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 297.

[12] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.

[13] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.

[14] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299.

[15] “In the world we live in, the last traces of this ancient antagonism between the

philosopher’s truth and the opinions in the market place have disappeared. Neither

the truth of revealed religion, which the political thinkers of the seventeenth

century still treated as a major nuisance, nor the truth of the philosopher,

disclosed to man in solitude, interferes any longer with the affairs of the world.”

Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299-300.

Page 14: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

14

[16] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.

[17] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 301.

[18] “The facts I have in mind are publicly known, and yet the same public that knows

them can successfully, and often spontaneously, taboo their public discussion and

treat them as though they were what they are not – namely secrets.” Hannah

Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.

[19] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.

[20] Hal ini sejalan dengan apa yang digagas oleh Michel Foucault dalam pernyataannya

bahwa kebenaran sudah merupakan bentuk kekuasaan. Bdk. Michel Foucault, “The

Discourse on Language and ‘Truth and Power’”, dalam José Medina and David Wood

(eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford,

Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 334-335.

[21] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Bukti Baru Pembunuhan Munir”, hlm.31.

[22] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah

Arendt”, http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp, diakses pada

6 Desember 2014. Ini merupakan gagasan tentang “perluasan pikiran” (enlarged

mentality) yang diadaptasi oleh Arendt dari kritik ketiga Immanuel Kant dalam

karyanya Critique of Judgement. Arendt menyatakan kritik ketiga ini memuat

filsafat politik Kant meskipun Kant sendiri tak menyadari implikasi moral dan politik

dari ajarannya ini. d’Entreves mengomentari bahwa adaptasi Arendt atas kritik

ketiga Kant ini merupakan bagian dari teori Arendt tentang keputusan (judgement).

Menurut d’Entreves, Arendt meyakini kritik keputusan estetis Kant dari bagian

pertama dari Critique of Judgement telah mengkaitkan konsep keputusan dengan

kemampuan politis tertentu, yakni kemampuan untuk memperlakukan peristiwa yang

partikular menurut partikularitasnya, lalu memaknainya sebagai eksemplar sejarah.

[23] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303. Konsep “perluasan pikiran” yang

berkorelasi dengan dua fakultas keputusan politik (imajinasi dan akal sehat yang

berlaku umum (sensus communis) serta diukur menurut standar dapat tidaknya

keputusan dikomunikasikan) menjadi prinsip bagi keputusan dan tindakan manusia.

Hal ini memperlihatkan ide gambaran manusia yang terlibat (actor) sekaligus yang

menyaksikan (spectator). Lihat lebih lanjut: Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah

Arendt”.

Page 15: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

15

[24] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.

[25] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”.

[26] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.

[27] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.

[28] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 307.

[29] Williams menerangkan hubungan kejujuran dengan politik dan menyusun tiga

argumen tentang pentingnya kejujuran di dalam politik, yakni (1) argumen anti-tiran;

(2) argumen menurut demokrasi; (3) argumen liberal, yang dibagi menjadi dua(3a)

versi minimal dan (3b) versi pengembangan diri. Williams memandang argumen (3a)

menekankan “kebebasan dari” atau yang menurutnya bisa disebut dengan kebebasan

negatif, sedangkan argumen (3b) lebih kepada “kebebasan untuk”. Menurutnya,

argumen (3b) ini lebih mengarah pada nilai kebenaran yang sejati. Lebih lanjut lihat:

Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, Social Research 63 (Fall

1996), hlm. 603-617.

[30] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 613-614.

[31] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 615. Arendt

sebenarnya memiliki keprihatinan yang sama. Hal ini bisa kita lihat dari pendapatnya

bahwa penggantian total dan konsisten kebenaran faktual dengan kebohongan akan

menghancurkan kategori atau batas antara mana yang benar dan yang salah. Hannah

Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 309.

[32] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 311.

[33] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 312.

[34] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 614.

[35] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters (Cambridge, Massachusetts:

Massachusetts Institute of Technology, 2006), hlm. 161-162.

[36] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters, hlm. 162.

Page 16: Jangan Lelah pada Kebenaran - Gelora45gelora45.com/news/Munir_JanganLelahPadaKebenaran.pdf · Kebenaran dalam konteks ... sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan

16

[37] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 310. Hal ini menegaskan bahwa sifat

kukuh yang tak dapat disangkal erat berdampingan, bahkan saru dengan sifat berani

dari pengungkapan kebenaran faktual. Lihat catatan kaki nomor 26.

[38] Hal ini dimungkinkan oleh keputusan reflektif yang berasal ajaran kritik ketiga Kant.

Menurut teori keputusan reflektif, prinsip, aturan, atau hukum yang universal tidak

mendeterminasi peristiwa yang partikular. Artinya, peristiwa tersebut tetap

terbuka untuk diperdebatkan dan didiskusikan menurut kapasitas “perluasan

pikiran”. Maka, kebenaran faktual pun bersifat politis.

[39] “Conceptually, we may call truth what we cannot change; metaphorically, it is the

ground on which we stand and the sky that stretches above us.” Hannah Arendt,

“Truth and Politics”, hlm. 313.

[40] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 313.

[41] Fitri Nganthi Wani, “Buat Suci dan Kedua Anaknya”, dalam Majalah Tempo Edisi

Khusus, hlm. 119.

[42] Usman Hamid, “Jokowi dan Kasus Munir”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus, hlm.

118.