isbn: 978-602-439-740-1himateta.ftip.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2020/02/pro...susunan...
TRANSCRIPT
ISBN: 978-602-439-740-1
ISBN: 978-602-439-740-1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SEMAR BERDASI - 2019
”Inovasi Teknologi Tepat Guna dalam Kewirausahaan Sosial di Era Interner Of Things”
Sumedang, Kamis, 20 Juni 2019, Bale Sawala, Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor.
KETUA PELAKSANA:
Kania Altiasari
SUSUNAN KEPANITIAAN:
Penanggung Jawab : Dr. Sophia Dwiratna Nur P., STP., MT
Sekretaris Umum : Adellya Azahari Rahma
Bendahara Umum : Bella Nabila Febriani
TIM REVIEWER:
Dr. Sophia Dwiratna Nur P., STP., MT
Asri Widyasanti, STP., M.Eng.
TIM EDITOR:
Dr. Dwi Rustam Kendarto,S.Si., M.T.
Wahyu Kristian Sugandi, STP., M.Si.
Desain Cover:
Dimas Suryo Bintoro
Tia Putri Budiarti
ISBN:978-602-439-740-1
Penerbit : Unpad Press
Redaksi:
Unpad Press
Direktorat Sumber Daya Akademik dan Perpustakaan (DSDAP)
Grha Kandaga Lt. 4 Jl, Raya Bandung-Sumedang KM 21, Jatinangor
Sumedang 45363
Website : http://press.unpad.ac.id
E-mail : [email protected]
ii
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadlirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
hidayah yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional
Inovasi Teknologi dalam Kewirausahaan Sosial di Era Internet of Things dapat terwujud.
Buku prosiding tersebut memuat sejumlah artikel hasil penelitian mengenai teknik
tanah dan air, aplikasi industri pertanian, sistem mekanisasi pertanian, teknologi pasca panen
dan biproses, inovasi tepat guna teknologi industri pertanian, agroteknologi, serta bangunan
dan lingkungan pertanian yang dilaksanakan oleh Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran. Atas dasar tersebut, Seminar Nasional ini menjadi salah satu ajang
bagi para Akademisi nasional untuk mempresentasikan penelitiannya, sekaligus bertukar
informasi dan memperdalam masalah penelitian, serta mengembangkan kerjasama yang
berkelanjutan. Rangkaian kegiatan telah dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2019.
Kami bersyujur bahwa gagasan kami ini mendapat respon yang sangat baik dengan
hadirnya peserta seminar yang berasal dari berbagai program studi. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Padjadjaran
2. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian
3. Bapak/Ibu Dosen selaku editor dan reviewer
4. Pembicara dan moderator
5. Jajaran Panitia
6. Para peserta seminar
Semoga buku prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk
kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi
referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara. Terakhir, tiada gading yang tak retak.
Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Saran dan kritik yang membangun tetap
kami tunggu demi kesempurnaan buku prosiding ini.
Jatinangor, 15 Oktober 2019
Ketua Pelaksana
Kania Altiasari
iii
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
DAFTAR ISI
Implementasi Sistem Informasi Enterprise Resource Planning (ERP) Berbasis Web
dengan Metode Pendekatan Pemrograman Berorientasi Objek (OOP) pada UKM Kadatuan
Koffie
Oleh: Abdurachman Ghifary, Irfan Ardiansah, Devi Maulida Rahmah ................................. 1
Perancangan Komunikasi Data untuk Monitoring Operasional Sasak Apung Padjadjaran
Lembang Menggunakan Modul Max RS485
Oleh: Agus Juliana, Muhammad Saukat, Mimin Muhaemin ................................................. 13
Sistem Informasi Berbasis Web untuk Ketersediaan Pisang Lokal Jawa Barat di Kampung
Cau Padjadjaran
Oleh: Amili Yohari, Irfan Ardiansah, Devi Maulida Rahmah ............................................... 27
Pengendalian Mutu Kadar Air Teh Hitam Orthodoks di PTPN VIII Menggunakan
Statistical Quality Control
Oleh: Ananda Iskandarsyah Putra, Chay Asdak, Boy Macklin P. Prawiranegara ............... 40
Perancangan Program Utama Pengelolaan Server Guna Mendukung Aplikasi Decision
Support System Tentang Produksi Padi
Oleh: Anggita Minar Furisca, Muhammad Saukat, Mimin Muhaemin ................................. 47
Kajian Penambahan Gelatin Tulang Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) terhadap
Karakteristik Es Krim
Oleh: Anisa Fadhila ............................................................................................................... 54
Pengendalian Mutu Air Minum dalam Kemasan Gelas Menggunakan Statistical Quality
Control (Studi Kasus di PT. Muawanah Al Ma’some, Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi,
Kabupaten Bandung)
Oleh: Bonie Pamungkas, M. Ade Moetangad K., Boy Macklin Pareira P. ........................... 65
Pengaruh Penambahan EM4 dan MG1 pada Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan
Tanaman Caisim Sistem Hidroponik DFT
Oleh: Connie Sidabutar, Boy Macklin Pareira P., Edy Suryadi ........................................... 76
Kadar Tanin dan Protein Nasi Sorgum Merah dengan Substitusi Kacang Komak (Lablab
Purpureus (L.) Sweet)
Oleh: Devi Nurul Fadillah, Endah Wulandari, Heni Radiani Arifin .................................... 85
Pengaruh Aplikasi Oligo Chitosan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Bayam
pada Sistem Hidroponik Rakit Apung
iv
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Oleh: Dinda Zarra Zenita Aulya, Edy Suryadi, Azri Kusuma Dewi ...................................... 93
Uji Efektivitas Antikapang Ekstrak Kulit Biji Kakao (Theobroma cacao, L.) terhadap
Pertumbuhan Berbagai Jenis Khamir
Oleh: Egi Muhammad Fahmi, Indira Lanti Kayaputri, Souvia Rahimah ........................... 105
Karakteristik Buah Nanas Kering (Ananas cosmosus L.) dengan Beberapa Perlakuan
Pendahuluan Menggunakan Metode Pengeringan Vakum
Oleh: Fena Rizky Aritya Putri, Bambang Nurhadi, Robi Andoyo, Nandi Sukri .................. 114
Pengendalian Mutu Produk Bij Kopi Arabika (Coffea Arabica) dengan Menggunakan
Statistical Quality Control
Oleh: Ghiffari Ghani Rizqullah, Chay Asdak, Boy Macklin Pareira Prawiranegara......... 125
Rancang Bangun Sistem Pengaman Pintu Rumah Kaca Berbasis Raspberry Pi
Oleh: Hibban Farhan Haibah, Muhammad Saukat, Mimin Muhaemin .............................. 135
Kajian Potensi Kerusakan Klappertaart Selama Proses Pembuatan dan Penyimpanan
Oleh: Indah Medani Kartika Ayu Putri, Indira Lanti Kayaputri, Tri Yuliana, Edy Subroto146
Pengaruh Suhu Pengeringan dan Kadar Air Gula Cetak terhadap Karakteristik Gula Semut
Oleh: Ira Apriliani, Bambang Nurhadi, Imas Siti Setiasih .................................................. 160
Modifikasi dan Uji Kinerja Mesin Pengiris dan Pemarut Ganyong
Oleh: Lambok Sinaga, Asep Yusuf, Wahyu Kristian Sugandi ............................................. 173
Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap
Bakteri Patogen pada Produk Pangan
Oleh: Laras Sari Banon, Indira Lanti Kayaputri, In-in Hanidah, Elazmanawati Lembong 185
Rancang Bangun Sistem Pemantauan Iklim Mikro Greenhouse Berbasis Raspberry Pi
dengan Akses Informasi Melalui Situs Web
Oleh: Luthfi Pratama, Wahyu Kristian Sugandi, Mimin Muhaemin, Muhammad Saukat .. 196
Evaluasi Kualitas Buah Nangka Kering dengan Beberapa Perlakuan Pendahuluan
Menggunakan Pengeringan Vakum
Oleh: Muhammad Farhan Hidayat ..................................................................................... 215
Rancang Bagun Prototype Unit Pengumpan Mesin Grading Biji Pala (Myristica Fragrans
Houtt)
Oleh: Muhammad Hafaz, Totok Herwanto, Muhammad Saukat ......................................... 226
Perancangan Sistem Berbasis Data untuk Mendukung Kesesuaian Pemupukan pada
v
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Aplikasi Decision Support System Produksi Tanaman Padi (Oryza Sativa L.)
Oleh: Muhammad Mas’ud, Mimin Muhaemin, Rizky Mulya ............................................... 235
Kajian Penggunaan Berbagai Jenis Pelarut Organik dengan Metode Maserasi terhadap
Karakteristik Ekstrak Oleoresin Lada Putih
Oleh: Muhammad Reza Dahlevi .......................................................................................... 246
Analisis Energi pada Proses Pembuatan Minuman Tradisional Khas Jawa Barat di CV.
Cihanjuang Inti Teknik
Oleh: Muhammad Rifky Putra, Ade Moetangad Kramadibrata, Boy Macklin Pareira P. . 256
Pengendalian Rem Secara Otomatis pada Sasak Apung Padjadjaran dengan Fuzzy Logic
Oleh: Muhammad Savero Ghafiruzzambi, Dedy Prijatna, Mimin Muhaemin .................... 267
Pengaruh Penambahan Biofertilizer dan Bioaktivator terhadap Larutan Nutrisi pada
Tanaman Kangkung dengan Sistem Hidroponik
Oleh: Muhammad Wibangga, Boy Macklin Pareira Prawiranegara, Kharistya Amaru .... 282
Kajian Penambahan Inulin sebagai Fat Replacer terhadap Karakteristik Fisik dan
Organoleptik Es Krim Susu Kambing Tanpa Lemak
Oleh: Nadhira Azka Afifa..................................................................................................... 296
Karakteristik Oleoresin Lada Putih Muntok (Piper nigrum L.) terhadap Penambahan
Berbagai Emulsifier
Oleh: Patar Sahat Martua Manurung ................................................................................. 308
Perbaikan Tata Letak Pabrik Studi Kasus Pabrik Beras CV Sabar Subur
Oleh: Ramadhoni Husnuzhan, Irfan Ardiansah, Totok Pujianto ........................................ 319
Uji Efektivitas Antikapang Ekstrak Kulit Biji Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap
Kapang Patogen Produk Pangan
Oleh: Reina Rizkiani, Indira Lanti Kayaputri, Zaida, Debby Sumanti Moody ................... 333
Kajian Karakteristik Cookies Sorgum (Sorghum bicolor L.) Tersubstitusi Kacang Tunggak
(Vigna unguiculata L.)
Oleh: Rifa Nabila, Endah Wulandari, Elazmanawati Lembong.......................................... 342
Pengaruh Daya Hambat Minyak Esensial Kayu Manis terhadap Kapang Perusak pada Kue
Brownies Kukus
Oleh: Riska Oktafiani, Tri Yuliana, Gilang Lara Utama .................................................... 354
Analisis Energi pada Proses Pengolahan Teh Hijau di Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung
Oleh: Shida Habsari, Wahyu Kristian Sugandi, Kralawi Sita............................................. 367
vi
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Pengaruh Ozonisasi terhadap Freeze-Thaw Stability Tepung Hanjeli (Coix lacyrma-jobi
L.)
Oleh: Syaidina Ramdhani .................................................................................................... 376
Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) terhadap
Escherichia coli dan Aspergillus niger
Oleh: Tri Yuliana, Violita Widyaningtyas, Tita Rialita ....................................................... 386
Scaleup Steamer untuk Pengolahan Teh Hijau Steaming di Pusat Penelitian Teh dan Kina
Gambung
Oleh: Vitaloka Feriansari, Dedy Prijatna, M. Iqbal Prawira-Atmaja, Mimin Muhaemin . 394
ISBN: 978-602-439-740-1
IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ENTERPRISE RESOURCE
PLANNING (ERP) BERBASIS WEB DENGAN METODE
PENDEKATAN PEMOGRAMAN BERORIENTASI OBJEK (OOP)
PADA UKM KADATUAN KOFFIE
Abdurachman Ghifary1, Irfan Ardiansah2, Devi Maulida Rahmah2
1Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
2Departemen Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 43563
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kadatuan Koffie adalah perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan hasil pertanian
kopi yang memiliki permasalahan dalam aktifitas perusahaan yang bersifat manual. Usaha
yang telah berkembang hampir 5 tahun ini masih melakukan aktivitasnya secara manual,
seperti pembuatan laporan keuangan, pencatatan riwayat transaksi, pergudangan, dan lain-lain.
Karyawan Kadatuan Koffie menyadari bahwa melakukan aktifitas perusahaan secara manual
sangat menyulitkan karyawannya karena seiring waktu berjalan data tersebut semakin banyak.
Enterprise Resource Planning (ERP) adalah sebuah sistem informasi yang menyatukan seluruh
unit dan fungsi yang ada pada sebuah organisasi ke dalam sebuah sistem komputer terintegrasi
yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan spesifik dari unit yang berbeda. Penelitian ini
bertujuan untuk membangun sistem informasi Enterprise Resource Planning (ERP) berbasis
web di Kadatuan Koffie. Penelitian ini menggunakan metode Object-Oriented Programming
(OOP). Hasil penelitian ini adalah terbentuknya aplikasi ERP berbasis web yang akan
digunakan oleh Kadatuan Koffie. Kesimpulan penelitian ini adalah Kadatuan Koffie memiliki
sistem informasi Enterprise Resource Planning (ERP) yang mampu memudahkan karyawan
untuk mengelola aktifitas perusahaan seperti data transaksi, laporan keuangan, dan
pergudangan.
Kata Kunci: Sistem Informasi, Enterprise Resource Planning, OOP
2
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor penting di Indonesia. Volume ekspor kopi
Indonesia di pasar International berada di peringkat ketiga setelah Brasil dan Kolombia.
Volume dan nilai ekspor kopi Indonesia pada tahun 2000 dan 2010 meningkat berturut-turut
sebesar 4,7% dan 14,7% (Kustiari, 2007).
Gambar 1. Produksi Kopi di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2017)
Gambar 1 menunjukan produksi kopi di Indonesia pada tahun 2010 mengalami
penurunan dengan jumlah produksi 22,217 ribu ton, namun mengalami peningkatan dari tahun
2011 hingga 2015 dengan jumlah produksi tertinggi sebanyak 36,984 ribu ton (Badan Pusat
Statistik, 2017).
AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia
sangat gemar mengkonsumsi kopi. Data tersebut dibuktikan dengan data survei konsumsi kopi
Indonesia yang dilakukan oleh AEKI sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. Dari Gambar
2 diketahui bahwa konsumsi kopi di Indonesia mengalami peningkatan dari 2010 sampai 2016
(Asosiasi Exportir dan Industri Kopi Indonesia, 2016).
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Produksi Kopi di Indonesia
Produksi Kopi (Ton)
3
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Survei Konsumsi Kopi Indonesia (Asosiasi Exportir dan Industri Kopi Indonesia, 2016)
Kadatuan Koffie adalah UKM yang bergerak dibidang perdagangan hasil pertanian, yaitu
kopi. Produk yang di pasarkan oleh Kadatuan Koffie berupa kopi-kopian, meliputi kopi
Robusta, Arabica, dan Luwak. Usaha yang telah berkembang hampir 5 tahun ini masih
melakukan aktivitasnya secara manual, seperti pembuatan laporan keuangan, pencatatan
riwayat transaksi, penrgudangan, dan lain-lain. Seiring berkembangnya perusahaan, karyawan
Kadatuan Koffie menyadari bahwa melakukan aktifitas perusahaan secara manual sangat
menyulitkan bagi karyawannya untuk mengatur dan mengendalikan data transaksi maupun
laporan keuangan dari usahanya karena data tersebut semakin banyak. Pemilik perusahaan
mulai mencoba menerapkan perangkat lunak sistem informasi seperti Microsoft excel di awal
tahun 2015. Tetapi penggunakan Microsoft excel masih memiliki beberapa kelemahan, seperti
kesalahan saat memasukan data, kesalahan saat menghitung data yang diakibatkan oleh
kurangnya pengetahuan formula di Microsoft excel, duplikasi data, dan sangat menyita waktu.
Solusi dari masalah pengelolaan sumber daya perusahaan seperti ini dapat diselesaikan
dengan penggunaan sistem informasi Enterprise Resource Planning (ERP). Implementasi
sistem ERP dapat meningkatkan produktifitas dan efesiensi bisnis organisasi. Meningkatnya
kinerja bisnis dapat dilihat dalam dua kategori, yaitu kinerja proses internal dan performa
finansial. Kinerja proses internal mengacu pada penyederhanaan proses kerja, peningkatan
validitas data, dan efisiensi komunikasi internal. Kinerja finansial mengacu pada peningkatan
output nilai penjualan, pengurangan omset persediaan, peningkatan pergantian piutang, dan
pertumbuhan margin keuntungan (Tsai et al, 2010). Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem
4
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
informasi ERP berbasis web yang mempunyai database pengelolah transaksi Kadatuan Koffie.
Sistem tersebut diharapkan dapat membantu proses bisnis Kadatuan Koffie, baik dalam
mengelolah data transaksi, laporan keuangan, maupun ketersediaan barang.
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode rekasaya dengan pendekatan analisis kuantitatif.
Pengembangan database dilakukan dengan metode rekayasa berbasis object-oriented, yaitu
dengan membangun sistem informasi ERP berbasis web di Kadatuan Koffie.
2. Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan
alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang
dicari (Sugiyono, 2008). Data primer dalam penelitian ini adalah hasil dari wawancara dan
observasi. Data sekunder yaitu sumber bahan kajian yang digambarkan oleh bukan yang ikut
mengalami atau yang hadir pada waktu kejadian (Sugiyono, 2008). Data sekunder dalam
penelitian ini adalah dokumen-dokumen terkait sistem informasi Kadatuan Koffie, berupa nota
penjualan, nota pembelian, surat jalan/memo atau dokumen lainnya yang berhubungan dengan
siklus pendapatan dan pembelian pada Kadatuan Koffie.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara.
Observasi dilakukan dengan mengamati proses dan prosedur yang berkaitan dengan siklus
pendapatan, pembelian, dan keluar masuknya barang di Kadatuan Koffie. Wawancara dalam
penelitian ini dimaksudkan yaitu wawancara tentang informasi mengenai proses bisnis yang
diperlukan dalam pembuatan database sistem informasi, serta kebutuhan pemakai atas sistem
yang akan dirancang (user requirement). Sehingga jenis data dalam penelitian ini adalah data
kualitatif.
3. Instrumen Penelitian
Perangkat Keras
5
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Perangkat laptop dengan spesifikasi Windows OS version 64bit, RAM 8 GB, disk space
1 TB, dan Smartphone untuk melakukan wawancara dan dokumentasi.
Perangkat Lunak
Microsoft Excel dan Microsoft Visio untuk membuat laporan penelitian dan sebagai
media pengumpulan data, Visual Studio Code untuk penulisan kode program, Adobe XD untuk
membuat desain user-interface website, XAMPP untuk mengelola basis data, PHP Hypertext
Preprocessor (PHP) dan MySQL untuk bahasa pemrograman yang digunakan, dan Apache
untuk server web.
4. Tahapan Penelitian
Gambar 3. Tahapan Penelitian
Tahap Awal
Observasi dilakukan dengan mengikuti kegiatan Kadatuan Koffie, baik di kantor pusat
maupun di kantor cabang Kadatuan Koffie. Setelah melakukan observasi, studi literatur
6
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dilakukan untuk mempelajari literatur yang terkait dengan sistem informasi dan
perancangannya.
Perancangan Sistem Informasi
Analisis kebutuhan dilakukan untuk menganalisis setiap kebutuhan sistem informasi.
Setelah menganalisis kebutuhan, design interface dirancang untuk kepentingan estetika dan
ergonomi dari sistem informasi. Terakhir, implementasi proses pemograman dilakukan untuk
merancang sistem informasi sesuai dengan fungsi dan antarmuka yang diinginkan.
Tahap Akhir
Pengujian sistem informasi yang telah dirancang akan diuji melalui black-box testing
untuk dianalisa fungsionalitasnya, kemudian hasil penelitian yang sudah diuji
fungsionalitasnya akan ditarik kesimpulannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melakukan perancangan sistem baik dari user sistem informasi ERP hingga
desain user interface, maka dibangunlah sistem informasi ERP berbasis web yang dapat di
install dan digunakan secara offline dalam perangkat laptop OS Windows. Sistem informasi
ERP ini dirancang untuk mempermudah pekerjaan yang diperuntukkan untuk Kadatuan Koffie
seperti mengelola barang, data pemasukan, data pengeluaran, dan laporan yang terautomasi.
Sistem informasi ERP ini dibangun menggunakan framework php Laravel versi 5.4 dan
XAMPP yang memiliki Apache HTTP Server sebagai server-side juga MySQL sebagai
database server. Penggunaan Laravel sebagai framework php memiliki beberapa benefit yang
dapat membantu sistem informasi ERP mudah untuk dibangun, diantaranya yaitu: Laravel
memiliki sistem build-in Authentication and Authorization yang berguna untuk mencegah
akses pengguna yang tidak berkepentingan, mempunyai sistem keamanan yang tinggi terhadap
serangan injeksi SQL, dan mendukung sistem Object-Relational Mapping (ORM) yang
mempermudah manipulasi data dalam database.
Tampilan Aplikasi
1. Halaman Dashboard
Halaman dashboard berisikan data keseluruhan Kadatuan Koffie seperti, total
pendapatan, total pengeluaran, total profit, cash flow, pendapatan dan pengeluaran berdasarkan
kategori, saldo, pendapatan terbaru, dan pengeluaran terbaru. Ada dua menu navigasi yang
terletak pada samping kiri dan atas halaman dashboard.
7
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Menu navigasi di samping kiri berisikan kolom pencarian, menu dashboard, barang,
pendapatan, pengeluaran, perbankan, laporan, dan pengaturan sistem ERP. Menu navigasi di
atas berisikan menu notifikasi, pemilihan bahasa, dan profil.
Gambar 4. Halaman Dashboard
2. Halaman Items
Halaman items berisikan daftar data barang yang ada pada Kadatuan Koffie. User dapat
mencari atau menyortir barang dengan menginput nama barang pada kolom pencarian atau
memilih vendor dan kategori barang untuk menyortir barang.
Gambar 5. Halaman Items
3. Halaman pada Menu Incomes
8
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Menu Incomes berisikan halaman Invoices, Revenues, dan Customers. Halaman invoices
dan revenues memiliki perbedaan fungsi, yaitu halaman invoice berfungsi sebagai halaman
yang menampilkan data penghasilan yang terencana dan rinci, sedangkan halaman revenues
berfungsi sebagai halaman yang menampilkan data penghasilan yang instan dan tidak
terencana.
Gambar 6. Halaman Invoices
Gambar 7. Halaman Revenues
4. Halaman pada Menu Expenses
Menu Expenese berisikan halaman Bills, Payments, dan Vendors. Halaman bills dan
payments memiliki perbedaan fungsi, yaitu halaman bills berfungsi sebagai halaman yang
menampilkan data tagihan biaya yang diterima dari vendor Kadatuan Koffie yang
menunjukkan barang (produk atau layanan) yang dibeli oleh Kadatuan Koffie, sedangkan
halaman payments berfungsi sebagai halaman yang menampilkan data biaya pengeluaran yang
tidak dapat ditagih dan dibayar.
9
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 8. Halaman Bills
Gambar 9. Halaman Payments
Gambar 5, 6, 7, 8, dan 9 diatas memiliki tombol add new yang berfungsi untuk input
data. User dapat menekan tombol tersebut maka akan muncul halaman form input data yang
terdapat beberapa pilihan yang perlu diisi. Pengisian form tersebut hanya perlu memasukan
data pada kolom yang tersedia atau dengan pilihan yang ditandai dengan tanda panah kebawah
disamping kanan kolom. Gambar 10 merupakan salah satu contoh tampilan halaman form add
new.
10
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 9. Halaman Add New pada Halaman Invoice
5. Halaman pada Menu Reports
Menu Reports berisikan halaman Income Summary, Expense Summary, Income vs
Expense, Tax Summary, dan Profit & Loss. Halaman Income Summary, Expense Summary, dan
Income vs Expense masing-masing memiliki tampilan serupa yang berisikan grafik dan tabel
ringkasan data total pendapatan, total pengeluaran, dan data perbandingan pendapatan dan
pengeluaran dari hasil jual beli di Kadatuan Koffie. Masing-masing grafik dan tabel tersebut
menampilkan total pendapatan, pengeluaran, perbandingan pendapatan dan pengeluaran
selama satu periode (satu tahun).
Gambar 11. Halaman Incomes Summary
11
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Halaman Tax Summary berisikan tabel ringkasan data total pajak pendapatan dan
pengeluaran dari hasil kegiatan jual beli di Kadatuan Koffie. Tabel tersebut menampilkan total
pajak pendapatan dan pengeluaran selama satu periode (satu tahun).
Gambar 12. Halaman Tax Summary
Halaman Profit & Loss berisikan tabel ringkasan laba dan rugi hasil kegiatan jual beli di
Kadatuan Koffie. Tabel tersebut menampilkan total laba dan rugi selama empat periode kuartal.
Gambar 13. Halaman Profit & Loss
KESIMPULAN DAN SARAN
Sistem informasi ERP dapat menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan performa
pada UKM Kadatuan Koffie. Pemanfaatan sistem informasi ERP sangat berperan penting
untuk perkembangan dan kemajuan sebuah usaha, selain itu sistem informasi ERP juga
memungkinkan untuk memperluas jaringan pasar UKM Kadatuan Koffie. Dengan adanya
12
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
sistem informasi ERP, UKM Kadatuan Koffie memiliki kelebihan untuk mengintegrasikan
semua proses pengelolaan data transaksi, laporan keuangan, maupun ketersediaan barang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Irfan Ardiansah, S.TP., M.T. dan Devi Maulida Rahmah, S.TP.,
M.T. karena telah memberikan ilmu, bimbingan, motivasi, serta bimbingan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Exportir dan Industri Kopi Indonesia. (2016). Konsumsi Kopi Indonesia. Retrieved
September 20, 2018, from http://www.aeki-
aice.org/tabel_konsumsi_kopi_indonesia_aeki.html
Badan Pusat Statistik. (2017). Statistik Perkebunan Kopi Indonesia. Statistik Perkebunan Kopi
Indonesia 2015-2017, (December 2014). Retrieved from http://ditjenbun.pertanian.go.id
Kustiari, R. (2007). Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya Bagi Indonesia.
Forum Penelitian Agroekonomi, 25(70), 43–55.
https://doi.org/10.21082/fae.v25n1.2007.43-55
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan:(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R &
D). Alfabeta.
Tsai, M., Li, E. Y., Lee, K., & Tung, W. (2010). Total Quality Management & Business
Excellence Beyond ERP Implementation : The Moderating Effect Of Knowledge
Management On Business Performance. (October 2014), 37–41.
https://doi.org/10.1080/14783363.2010.529638.
13
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PERANCANGAN KOMUNIKASI DATA UNTUK MONITORING
OPERASIONAL SASAK APUNG PADJADJARAN LEMBANG
MENGGUNAKAN MODUL MAX RS485
Agus Juliana1), Muhammad Saukat2), Mimin Muhaemin2)
1)Program Studi Teknik Pertanian , Universitas Padjadjaran 2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 43563
Email:[email protected]
ABSTRAK
Sistem komunikasi data merupakan salah satu sistem yang sedang dikembangkan pada
kereta gantung Sasak Apung Padjadjaran (SAP) untuk menunjang keamanan serta kendali jarak
jauh. Sebelumnya telah dilakukan penelitian tentang transmisi data secara nirkabel dengan
hasil pengiriman data sebesar 80% dan terjadi delay selama kurang lebih 164 ms. Hal tersebut
masih kurang memadai apabila diterapkan pada keamanan serta kendali jarak jauh kereta
gantung karena ada 20% data yang hilang serta ada keterlambatan data masuk yang dapat
berakibat telatnya waktu pengereman kereta gantung. Perancangan komunikasi data lanjutan
ini bertujuan untuk memperbaiki kekurangan tersebut supaya bisa melakukan transmisi data
lebih dari 95% dengan delay sekecil mungkin sehingga bisa menjamin keamanan kendali jarak
jauh SAP. Metode penelitian yang digunakan adalah metode rekayasa pada komponen
elektronika, pemrograman pada IDE Arduino untuk sistem komunikasi dan pemrograman pada
Visual Basic.Net untuk interface. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem komunikasi
yang dibuat dengan menggunakan modul MAX RS485 dan kabel UTP sebagai media transmisi
telah berhasil melakukan pengiriman data dan masing-masiing bisa diterima 100% dengan
delay hanya 2 ms serta diuji pada panjang kabel 1 m, 40 m, 300m dan 600m. Nilai data yang
transmisikan merupakan data untuk simulasi posisi kereta gantung yang akan ditampilkan pada
monitor, antara lain posisi atau jarak kereta dan animasi untuk simulasi kereta pada monitor
sehingga operator bisa melihat informasi operasional yang sedang berlangsung dengan mudah
dan meningkatkan keamanan SAP.
Kata Kunci : Komunikasi, Transmisi, SAP, MAX RS485, Keamanan
14
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Komunikasi data merupakan proses pengiriman serta penerimaan data antara 2 perangkat
atau lebih yang bertujuan untuk menukar informasi (Tanutama, 1990). Proses komunikasi
terjadi melalui media tertentu baik itu secara kabel ataupun nirkabel. Sejak tahun 80-an
komunikasi data menjadi teknologi yang terus dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan
yang bergerak di bidang teknologi dan mengkombinasikannya dengan komunikasi komputer
(Sukharidoto, 2014).
Penerapan komunikasi data terus mengalami perkembangan serta meluas ke berbagai
bidang seperti tranportasi, kesehatan, bisnis, teknologi pertanian, dan lain sebagainya. Salah
satu penerapan komunikasi data di bidang teknologi pertanian yaitu pada Sasak Apung
Padjadaran (SAP).
SAP merupakan sarana transportasi yang termasuk ke dalam teknologi pertanian karena
penerapannya untuk bidang pertanian. SAP ini berupa kereta gantung kabel yang digunakan
untuk mengangkut bahan hasil pertanian, bahan penunjang pertanian termasuk petaninya
sendiri. SAP ini dibuat karena daerah pertanian di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang
merupakan lahan pertanian berbukit yang cukup menguras waktu, tenaga serta uang dalam
proses pengangkutan bahan hasil pertanian. Dengan pembuatan SAP ini, proses pertanian
menjadi lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan cara manual (Muhaemin dkk, 2013).
Pengembangan terus dikakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi
salahsatunya pengembangan di bidang komunikasi data untuk kemanan kereta gantung.
Pengoperasian kereta yang manual membutuhkan pengalaman dan konsentrasi yang penuh
ketika mengoperasikan SAP dengan jarak yang cukup jauh yaitu kurang lebih sekitar 300 m,
komunikasi dan jarak pandang akan menyulitkan apakah kereta gantung sudah akan sampai
atau masih jauh. Apabila kurang pengalaman, maka akan sulit kapan melakukan pengereman.
Bisa terlalu cepat ataupun bisa telat pengereman yang menyebabkan kereta menabrak tiang.
Penerapan komunikasi data diharapkan bisa menangani masalah tersebut. Penerapan
komunikasi data pertama kali diterapkan menggunakan modul komunikasi nirkabel berbasis
frekuensi radio 2,4 GHz sebagai pengirim dan penerima data antar stasiun. Hasilnya
pengiriman data belum berfungsi dengan baik dikarenakan hasil dari pengukuran yang
dikirimkan tidak diterima secara utuh serta pada penerimaan data terdapat jeda waktu yang
cukup lama (Anugrah, 2017). Selanjutnya dilakukan penggantian perangkat pengirimnya
dengan menggunakan RF 433 MHz. Penelitian ini menghasilkan pengiriman data dengan jeda
15
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
waktu 135 ms serta penerimaan data sebanyak 80% (Mulkiyati, 2018). Jeda waktu penerimaan
data yang kurang lebih 0,2 detik cukup untuk menerima serta menampilkan data secara real
time, akan tetapi penggantian perangkat tersebut belum bisa memperbaiki presentase
penerimaan data dikarenakan masih ada data yang tidak diterima sekitar 20%.
Dengan demikian, sistem komunikasi data ini masih perlu dilakukan perbaikan supaya
bisa berjalan dengan baik, yaitu komunikasi data secara real time dengan presentase
penerimaan data bisa lebih dari 95%.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode rekayasa dengan melakukan kegiatan
rancang bangun (Engineering Design) pada komponen elektronika dan pemrograman dengan
alat dan bahan penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Alat Penelitian
No Nama Alat Spesifikasi Fungsi
1 Arduino IDE Arduino version
1.6.0 Pembuatan program
2 Breadboard - Untuk papan percobaan alat
3 Fritzing Version 0.9.2.0 Pembuatan sketsa rangkaian
4 Laptop AMD Dual-Core
processor C60
Untuk memasukkan perintah/program
5 Ms Visual Basic VB Net Pembuatan Interface
6 Multi mater - Untuk mengecek komponen elektronika
7 PSU 0-12 V DC Sebagai sumber listrik untuk Arduino
Kemudian bahan penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Bahan Penelitian
No Nama bahan Spesifikasi fungsi
16
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
1 Kabel Data USB to type B Untuk Upload Program ke
mikrokontroler
2 Kabel/jumper wire Male to male Penghubung antar perangkat
3 Kabel Twisted-Pair UTP Sebagai jalur atau media komunikasi
4 MAX RS485 - Modul untuk pengirim dan penerima
data
5 Mikrokontroler Arduino Arduino Uno Untuk menjalankan program/perintah
6 Papan PCB Matrik 5x5 Untuk menempatkan komponen
Alur atau prosedur penelitian disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut:
Mulai
Identifikasi Kebutuhan
Penetapan Kriteria Perancangan
Analisis Fungsional
Perancangan Struktural
Analisis Teknik
Perancangan Hardware dan software
Pengujian
Lulus Sesuai
Kriteria
Selesai
Tidak
Ya
17
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
a. Identifikasi Kebutuhan
Memperkirakan kebutuhan apa saja yang harus diketahui untuk menunjang dalam
penyelesaian masalah yang telah diidentifikasi berkenaan dengan pengiriman dataoperasional
SAP dengan media kabel.
b. Kriteria Perancangan
Sistem komunikasi data ini diharapkan dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan
komunikasi data sebelumnya dengan memenuhi kriteria perancangan sebagai berikut:
1. Komunikasi data bisa dilakukan dengan jarak minimal 300 m.
2. Proses komunikasi data bisa dilakukan dengan minimal 3 stasiun.
3. Presentase pengiriman dan penerimaan data lebih dari 95%.
4. Delay pengirman dan penerimaan data tidak melebihi 100 ms.
c. Analisis Fungsional
Fungsi utama dari sistem komunikasi data ini adalah mengumpulkan data operasional
yang telah diukur oleh tiap stasiun/Client lalu ditampilkan pada stasiun kontrol untuk
kebutuhan operator secara akurat dan real time. Setiap data yang telah diukur akan dikirimkan
oleh mikrokontroler dengan menggunakan modul komunikasi bus yaitu MAX RS485 lalu
stasiun kontrol akan menerima data dan ditampilkan pada Monitor secara real time. Berikut ini
adalah fungsi dari komponen-komponen yang akan digunakan:
1. Arduino Uno berfungsi sebagai mikrokontroler yang akan mengolah serta mengatur
proses pengiriman dan penerimaan data dari setiap modul komunikasi lalu
dimasukkan ke aplikasi yang ada di monitor supaya bisa menampilkan data.
2. Modul RS485, berfungsi sebagai modul transmisi data dengan menggunakan media
berupa kabel untuk proses pengiriman dan penerimaan data operasional hasil
pengukuran.
3. VB Net difungsikan untuk membuat aplikasi supaya bisa menampilkan data
operasional yang diterima oleh modul RS485 pada monitor .
18
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
4. Jumper, berfungsi untuk menghubungkan setiap kaki komponen satu dengan yang
lainnya.
5. Panel berfungsi untuk menempatkan rangkaian komunikasi data.
d. Perancangan Struktural
Perancangan alat komunikasi data ini terdiri dari 3 komponen utama yaitu;
mikrokontroler, modul RS485 dan Kabel UTP. Berikut adalah penjelasan tentang perancangan
struktural alat komunikasi data:
Rangkaian Multi Client RS485
Pada Rangkaian RS485 komunikasi dilakukan pada 2 buah kabel dimana modul ini bisa
melakukan komunikasi dengan 32 Client atau bisa melakukan komunikasi dengan 32 modul
lainnya. Pada perancangan komunikasi ini diharapkan apabila akan ada penambahan data maka
hanya perlu menambah modul sehingga tidak perlu dilakukan perancangan ulang. Rangkaian
Modul MAX RS485 terdapat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Rangkaian RS485 dengan Arduino
19
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 3. Diagram Komunikasi RS485
Pada gambar di atas mikrokontroler 1 ditetapkan sebagai Master, sehingga otomatis
mikrokontroler 2 dan mikrokontroler sebagai client. Client 2 dan 3 akan mengirim data secara
bergantian sesuai apa yang diperintahkan Master.
e. Analisis Teknik
Analisis teknik dalam perancangan sistem monitoring ini meliputi beberapa logika
dalam perhitungan yang berhubungan dengan setiap instrumentasi yang digunakan. Selain itu
analisis teknik ini dilakukan untuk menentukan kebutuhan kapasitas dari masing-masing
komponen elektronik dan mengetahui kesesuaian alat dengan kriteria yang diinginkan.
1. Kecepatan Pengiriman dan Penerimaan Data
Mengetahui kecepatan transfer data penting bagi penelitian ini, karena data yang dikirim
harus diterima secara real time. Kecepatan transfer data bisa di hitung dari selisih delay antar
data yang diterima. delay merupakan penghitung waktu pada proses serial mikrokontroler
dengan satuan mili sekon (ms) terhitung ketika mikrokontroler mulai dijalankan. Persamaan
untuk pengukuran kecepatan transfer adalah sebagai berikut:
D= t-JP................................................. (1)
Keterangan: D = Delay Pengiriman (ms)
JP = Jeda Pengiriman Data (ms)
t = waktu penerimaan data (ms)
2. Akurasi Penerimaan Data
Jalur komunikasi B
Jalur Komunikasi A
20
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Akurasi penerimaan data didapat dari presentase jumlah data pengirim terhadap penerima
dengan menentukan terlebih dahulu berapa jumlah data yang akan dikirim, seperti pada
Persamaan 2.
PD = n(RX)/n(TX) ................................................. (2)
Keterangan: PD= Presentase Data
RX= Penerima Data
TX= Pengirim Data
f. Perancangan Program
Perancangan program pada penelitian ini meliputi program transmisi data dan program
Interface. Program transmisi data terdiri dari program Master sebagai penerima dan program
client sebagai pengirim data.
1. Perancangan Program Master
Program pada Master terdiri dari 2 perintah yaitu perintah untuk request ke setiap client
secara berurutan dan perintah untuk menerima data.
2. Perancangan Program Client
Program pada client terdiri dari dua proses yaitu proses menerima request dari Master,
lalu ketika request sesuai dengan alamat client, maka client mengirim nilai data ke Master.
3. Perancangan Program Interface
Program pada Interface memiliki beberapa tahapan yaitu menghubungkan Interface ke
port Master, lalu jika sudah terhubung Interface menerima data dari port Master, setelah itu
data dipisahkan berdasarkan pemisah yang sudah diatur sebelumnya yaitu dipisahkan
berdasarkan karakter “#” kemudian nilai data ditampilkan pada menu utama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Perancangan Sistem Komunikasi Data SAP
Komunikasi data pada SAP berfungsi untuk memonitor keadaan operasional dari setiap
stasiun kereta gantung yang beroperasi sehingga operator mudah mengendalikan kereta
gantung. SAP ini yang sebelumnya memiliki hanya memiliki 2 stasiun, kini telah dipersiapkan
satu jalur tambahan sehingga menjadi 4 stasiun. Setiap stasiun akan dipasang perangkat
komunikasi data sehingga bisa digunakan untuk mengirim data operasional.
Hasil dari perancangan komunikasi data ini dalam satu perangkatnya hanya terdiri dari 1
mikrokontroler, 1 modul komunikasi data dan Media pengirim. Tiap perangkat dihubungkan
21
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dengan 2 kabel sebagai media komunikasi, lalu sebagai informasinya pada perangkat Master
data ditampilkan pada monitor. Hasil rangkaian komunikasi data terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rangkaian Komunikasi Data
Perangkat penerima data terangkai di dalam kotak panel yang terbuat dari material
plastik. Di dalam box tersebut berisi perangkat sebagai sumber tegangan utama untuk semua
komponen lain. Komponen berikutnya adalah mikrokontroler yang terhubung dengan modul
RS485 sebagai perangkat komunikasi yang meneruskan perintah dari mikrokontroler.
Program Komunikasi Data Pada Mikrokontroler Arduino
Program komunikasi data secara sederhana terdiri dari dua program yaitu program
pengirim, program penerima. Akan tetapi pada penelitian ini dilakukan pengiriman secara dua
arah, sehingga setiap perangkat baik itu pengirim maupun penerima memiliki program utama
yang sama karena keduanya melakukan pengiriman dan penerimaan secara bergantian.
Komunikasi data pada penelitian ini memiliki istilah lain pada peneriman dan pengirim yaitu
Master sebagai penerima dan Client sebagai pengirim. Selain dari dua program utama di atas,
untuk menampilkan data dalam tampilan Windows dilakukan pemrograman dengan program
Visual Basic.Net supaya lebih mudah dibaca oleh operator.
a. Program Master atau Penerima Data
1
2
3
Keterangan:
1. Mikrokontroler
2. Kabel UTP
3. MAX RS485
22
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Program Master berfungsi sebagai tempat pengumpulan data yang dikirim oleh Client
pada tiap stasiun SAP. Pada prinsip dasarnya program untuk menerima data adalah dengan
melakukan perintah Read. Akan tetapi pada penelitian ini Master harus memanggil atau request
terlebih dahulu stasiun mana yang harus mengirim data dengan cara mengirim data berupa
alamat dari tiap stasiun dengan perintah write. Contoh programnya sebagai berikut:
digitalWrite(Pin13LED, HIGH);
RS485Serial.write(i);
Penggunaan RS485 memiliki ciri khas dalam program pengiriman dan penerimaan
datanya yaitu harus ada trigger untuk sebelum melaksanakan perintah. Trigger yang dimaksud
adalah pada program digitalWrite (Pin13LED,HIGH). Ketika akan melakukan
pengiriman atau perintah request data, kondisi dari modul harus berada pada kondisi HIGH,
setelah setelah itu barulah diperintahkan untuk mengirim dengan perintah write. Perintah
untuk melakukan pengiriman data request dengan program RS485Serial.write(i), dari
satu baris tersebut terbagi menjadi 3 kerangka yang fungsinya berbeda yaitu RS485Serial
adalah nama daripada perangkatnya, lalu kemudian ada write untuk perintah mengirim data
berupa integer atau angka dan data yang dikirim adalah(i)yang merupakan bilangan yang
berulang dari angka 1 sampai 2 atau sesuai jumlah stasiun yang aktif yang kemudian akan
diterima oleh Client sabagai request atau panggilan.
Data yang masuk ke master tidak langsung di konversi di mikrokontroler tapi diprint
secara utuh dalam bentuk char kemudian dikonversi ke bentuk double pada VB.Net.
a. Program Client atau Pengirim Data
Client atau pengirim data memiliki ID atau identitas masing-masing dan berbeda dengan
Client lain. Pada penelitian ini untuk sementara yang melakukan pengiriman data hanya ada
dua Client sehingga untuk Client satu memiliki ID 1 dan untuk Client 2 memiliki ID 2. Fungsi
dari ID tersebut adalah untuk mensinkronkan kapan Client harus mengirim data. Jadi ketika
data serial yang dikirim oleh Master sama dengan ID Client, maka Client akan mengirim data
utama ke Master. Proses pengubahan bentuk data dari integer ke bentuk karakter dilakukan
dengan perintah sprintf(buff, "%d#%d#",i,ID) dimana i merupakan data untuk
posisi kereta dan ID adalah identitas pengirim. Dua data tersebut dipisahkan dengan simbol
pagar seperti pada program ini "%d#%d#" format tersebut berfungsi untuk menampilkan data
integer dengan pemisah tanda pagar yang kemudian diubah menjadi karakter dengan nama
23
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
variabel buff. Dengan mengubah tampilan data dari angka ke karakter akan memudahkan
pengiriman karena hanya perlu mengirim satu karakter variabel buff.
Pengujian Jumlah Stasiun
Pengujian jumlah stasiun bertujuan untuk mengetahui sebarapa banyak jumlah Client
bisa berkomunikasi dengan Master sehingga ketika suatu saat jumlah stasiunnya bertambah,
tidak perlu membuat perangkat baru, tetapi cukup dengan menambah Client pada stasiun
tambahan. Apabila dilihat dari datasheet modul RS485 ini, satu modul sebagai Master bisa
menrima data dari 32 Client lainnya. Hasil dari pengujian jumlah stasiun pada Tabel 3 adalah
sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pengujian Pengiriman Data Berdasarkan Jumlah Stasiun
ID Stasiun
Pengirim
Jarak
(m) Data Terkirim Data Diterima Presentase %
1 3 2000 2000 100
2 7 2000 2000 100
3 12 2000 2000 100
4 40 2000 2000 100
Pengujian jumlah stasiun dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah stasiun yang bisa
berkomunikasi dengan stasiun Master. Pengujian dilakukan dengan menyambungkan 4 stasiun
yang tersusun seri ke satu Master. Pengujian tersebut dilakukan pada satu proses pengiriman.
Pengujian Pengiriman Data Berdasarkan Panjang Kabel
Pengujian panjang kabel dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perangkat bisa
melakukan pengiriman data. Pengujian ini dilakukan secara bertahap mulai dari jarak jarak 1
m, 40 m, 300 m, dan 600 m. Dengan pengujian jarak tersebut bisa diketahui berapakah jeda
waktu dari mulai dikirim hingga mulai diterima lalu bisa diketahui juga apakah datanya
terkirim semua atau tidak, bisa dilihat pada Tabel 4.
24
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 4. Hasil Pengiriman Percobaan Pertama Berdasarkan Panjang Kabel.
3 Kali Percobaan Pengiriman
Panjang
Kabel (m)
Jumlah
Data
Terkirim
Jumlah
Data
Diterima
Presentase
Penerimaan
(%)
Rata-rata delay (ms)
1 100 100 100 1,4
40 100 100 100 1,5
300 100 100 100 1,5
600 100 100 100 1,5
Berdasarkan hasil pengujian di atas apabila kecepatan kereta gantung 1 m/detik, maka
data akan diterima operator dalam kecepatan 1,001 detik sehingga operator bisa menerima nilai
data operasional secara langsung. Selain itu dengan terkirimnya data secara langsung, maka
peringatan untuk melakukan pengereman bisa ditetapkan pada jarak tertentu sehingga operator
tidak akan kelebihan dalam mengerem atau mengerem terlalu dini. Sebagai contoh apabila
ditetapkan jarak pengereman pada jarak 4 meter sebelum sampai tujuan, maka operator akan
menerima data ketika posisi kereta berada pada jarak 4,001 meter sebelum mencapai tujuan.
Perbandingan hasil penelitian dengan 2 penelitian sebelumnya Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Hasil Perbandingan dengan 2 Penelitian Sebelumnya
No Media Komunikasi Modul Komunikasi Presentase
Transmisi data
Rata-rata Delay
Penerimaan
1 Nirkabel Radio 2,4 GHz - 50,0 ms
2 Nirkabel (RF 433
MHz)
HC-12 80% 164,0 ms
3 Kabel MAX RS485 100% 1,4 ms
Berdasarkan Tabel 5 di atas, hasil penelitian ini bisa memperbaiki kekurangan pada
penelitian sebelumnya karena data diterima secara utuh dan langsung.
Tampilan Data Pada Master
Tampilan utama Interface ini memiliki komponen-komponen untuk menampilkan
informasi yang didapat dari setiap stasiun dalam bentuk angka dan diterapkan dalam bentuk
animasi sederhana seperti Gambar 5 di bawah ini:
25
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 5. Tampilan Utama Interface
Pada tampilan ini ada beberapa Textbox utama yang menampilkan informasi dari tiap
stasiun dimana data yang ditampilkan adalah data posisi kereta. Data tersebut ditampilkan pada
textbox dengan label x sebagai jarak dan y sebagai ketinggian kereta. Lalu secara bersamaan
data x dan y tersebut akan ditampilkan dalam animasi sederhana yang bisa menggerakan kereta
pada gambar tersebut sesuai angka yang ditampilkan. Textbox lainnya menampilkan tanggal
dan waktu setempat sebagai informasi waktu. Lalu ada tombol keluar yang fungsinya untuk
kembali ke tampilan masuk.
KESIMPULAN
Berdasarakan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perangkat Master dan Client terdiri dari 1 Mikrokontroler, Catu daya dan modul
komunikasi.
2. Modul Komunikasi MAX RS485 dengan Media transmisi berupa kabel mampu
meningkatkan presentase penerimaan data dari 80% menjadi 100%.
3. Persentase penerimaan data lapangan dan juga data skala lab yaitu 100% dengan delay
penerimaan data rata-rata 1,44 ms-1,5 ms.
4. Pengiriman data berhasil dikirim dan diterima 100% oleh Master pada jarak 1 m, 40 m,
300 m, dan 600 m
26
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
5. Jumlah stasiun yang diuji yaitu sebanyak 4 stasiun yang akan mengirim data ke Master
dan Master menerima data dari keempat stasiun tersebut dalam proses yang berlangsung
terus-menerus
6. Data yang dikirim untuk sementara yaitu nilai data simulasi posisi kereta dan ditampilkan
dalam interface display dengan aplikasi VB.Net.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih saya ucapkan kepada tim peneliti kereta gantung “Sasak Apung
Padjadjaran”,yaitu Bapak Mimin Muhaemin, Ph.D., Bapak Totok Herwanto, M.Eng., Bapak
Dedy Prijatna, MP., Bapak Muhammad Saukat, MT., Bapak Wahyu Kristian Sugandhi, M.Si.,
Bapak Asep Yusuf, MT., dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat kepada
Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran yang telah membiayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah, M Akbar. 2017. Rancang Bangun Sistem Pembatas Gerak Pada Kereta Gantung
“SAP” Desa Sunten Jaya Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Sumedang:
Universitas Padjadjaran.
Muhaemin, M. Dkk. 2013. Rancang Bangun dan Penerapan Teknologi Transportasi Kabel
Untuk Peningkatan Kinerja Gapoktan Wargi Panggupay di Desa Sunten Jaya,
Kecamatan Lembang, Bandung Barat. Program Prioritas Universitas Padjadjaran.
LPPM Universitas Padjadjaran: Bandung.
Mulkiyati, Zakiyah. 2018. Modifikasi Komunikasi Data Pengukuran Jarak Menggunakan
Telemetri Berbasis RF 433 MHz Untuk Pengendalian Kereta Gantung Sasak Apung
Padjadjaran. Sumedang: Universitas Padjadjaran.
Sritrusta, Sukharidoto. 2014. Jaringan Komputer. Surabaya: Politeknik Elektro Negeri
Surabaya.
Tanutama, Lukas. 1990. Pengantar Komunikasi Data. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
27
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
SISTEM INFORMASI BERBASIS WEB UNTUK KETERSEDIAN
PISANG LOKAL JAWA BARAT
DI KAMPUNG CAU PADJADJARAN
Amili Yohari1, Irfan Ardiansah1, Devi Maulida Rahmah1
1 Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 43563
ABSTRAK
Kampung Cau Padjadjaran (KCP) adalah sebuah start-up distributor pisang yang bekerja
sama dengan para petani pisang di desa-desa yang berada di Kabupaten Sumedang, Sukabumi,
Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur. Hingga saat ini, KCP perlu memenuhi permintaan konsumen
sebanyak 10 ton per minggu. Jumlah tersebut masih dianggap rendah, salah satunya akibat dari
tidak tersedianya akses informasi yang baik dan terjangkau oleh khalayak ramai. Selain itu,
proses pengumpulan data pisang masih dilakukan secara manual dan offline tanpa adanya
sistem yang dapat diperbaharui secara
real-time setiap saat sehingga sering terjadi kekeliruan data antara pihak KCP dan petani
pisang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang sistem informasi berbasis web guna
meningkatkan efektivitas pengumpulan data pisang dari 5 kabupaten serta meningkatkan akses
informasi dan penjualan pisang secara online. Perancangan sistem informasi dilakukan melalui
beberapa tahap, meliputi tahap awal (pengamatan lapangan), tahap perancangan (analisis
kebutuhan, desain web antarmuka pengguna, implementasi pemrograman) dan tahap akhir
(pengujian sistem informasi menggunakan metode pengujian black-box, hasil penelitian dan
kesimpulan). Hasil dari perancangan ini adalah terbentuknya sistem informasi yang mampu
memudahkan KCP dalam mengelola informasi data pisang dan memudahkan konsumen untuk
membeli dan mengetahui jenis-jenis pisang yang akan dibeli.
Kata Kunci: Efektivitas, Kampung Cau Padjadjaran, Pengujian Black-Box, Pisang, Sistem
Informasi.
28
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Indonesia terkenal dengan keanekaragaman hayatinya di dunia, salah satunya adalah
buah pisang. Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 2016, buah pisang menempati
urutan pertama dari 10 besar produksi buah terbanyak di Indonesia.
Gambar 4. 10 Besar Produksi Buah di Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Gambar 1 di atas menunjukan buah pisang menempati peringkat pertama pada 10 besar
produksi buah dengan jumlah sebanyak 7 juta ton pada tahun 2016, diikuti oleh buah jeruk,
mangga, nenas, papaya, durian, salak, nangka, rambutan, dan semangka (BPS, 2016).
Tingginya produksi pisang tersebut menjadi potensi atau peluang untuk meningkatkan kegiatan
ekonomi perdagangan pisang (Hidayati & Suhartini, 2018).
Gambar 5. Produksi Pisang di Indonesia
Sumber: Food and Agriculture Organization of the United Nation, 2016
Gambar 2 menunjukkan produksi buah pisang dari tahun 2012 hingga 2015 mengalami
kenaikan dengan jumlah produksi tertinggi sebanyak 9,49 juta ton di tahun 2015, namun pada
tahun 2016 jumlah tersebut menurun menjadi 7 juta ton (FAO, 2016).
6,189,052 6,279,2906,862,568
9,496,058
7,007,125
6000000
6500000
7000000
7500000
8000000
8500000
9000000
9500000
10000000
2012 2013 2014 2015 2016
Satuan Ton
Tahun Produksi
Produksi Pisang di Indonesia
29
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kampung Cau Padjadjaran (KCP) merupakan sebuah lembaga yang ada di Fakultas
Pertanian, Universitas Padjadjaran, yang mempunyai kegiatan terkait pengembangan dan
pemanfaatan sumber daya pisang lokal Jawa Barat. KCP juga berperan sebagai distributor
pisang, dimulai dari Pisang Kapas, Pisang Nangka, Pisang Ambon, dan lain-lain. KCP
menyalurkan pisang-pisang tersebut ke berbagai industri olahan pangan yang membutuhkan
atau menggunakan pisang sebagai bahan baku produksinya. Pisang-pisang tersebut bersumber
dari beberapa desa petani pisang yang ada di beberapa kabupaten di Jawa Barat, yaitu
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Cianjur, dan Sukabumi (Ismail dkk, 2016).
KCP masih mengumpulkannya dengan mendatangi langsung tiap desa mitra per minggu
dalam proses pengumpulan data stock atau ketersediaan pisang tiap desa. Jarak rata-rata yang
harus ditempuh untuk mengumpukan data dari kantor KCP hingga tiap desa mitra kelima
kabupaten adalah sejauh ±107,5 km dengan waktu selama ±4 jam untuk sekali jalan, dan jarak
rata-rata sejauh ±215 km dengan waktu selama ±8 jam untuk pulang-pergi. Hal tersebut dinilai
tidak efisien untuk dilakukan karena membuang waktu dan tenaga yang digunakan hanya untuk
perjalanan pengumpulan data. Selain itu, KCP juga belum memiliki sistem pengelolaan data
stock pisang dari tiap desa mitranya yang mana KCP perlu mengelola data pisang dengan total
sebanyak 10 ton per minggu. Jumlah data pisang tersebut dianggap sangat banyak untuk
dikelola.
Apăvăloaie (2014) menyatakan bahwa suatu organisasi perlu mengadopsi inovasi atau
teknologi baru agar dapat tetap bersaing dan mengembangkan bisnisnya, salah satunya adalah
internet. Internet merupakan teknologi yang dapat memudahkan organisasi tersebut dalam
mencari suatu informasi dengan cepat, efisien. Situmorang (2013) juga menyatakan bahwa
internet bermanfaat bagi seseorang untuk melakukan transaksi secara online. Keberhasilan
sistem informasi berbasis web guna membantu bisnis pada sektor pertanian juga dibuktikan
oleh Pujianto, Prayudha, dan Ardiansah (2017) dalam merancang sebuah sistem informasi
berbasis web untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi arus informasi pada PT X – yaitu
sebuah perusahaan produsen selada – agar informasi atau data penting perusahaan mulai dari
data produksi, pemasaran, hingga pengemasan dapat teratur dengan cepat dan akurat. Oleh
karena itu, perlu adanya sistem baru yang diadopsi oleh KCP guna mendukung pengumpulan
dan pengelolaan data pisang KCP secara online, yaitu sistem informasi berbasis web yang
dapat diakses dan diperbaharui di mana saja dan kapan saja dengan cepat dan akurat tanpa
memakan banyak waktu serta tenaga untuk digunakan.
30
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
METODE PENELITIAN
Perancangan sistem informasi ini dilakukan dengan metode rekayasa object-oriented,
yaitu dengan membangun sistem informasi berbasis web untuk pengelolaan data pisang di
Kampung Cau Padjadjaran dengan menjadikan obyek sebagai kelas-kelas yang berbeda tanpa
adanya pengulangan penulisan kode lalu dihubungkan oleh setiap fungsi untuk ditampilkan
menjadi suatu user-interface atau halaman web. Berikut tahapan perancangan yang dilakukan:
Begin
Observation
Literature Study
Information System
Testing
Results and Conclusion
Done
1. Village Partner Location
2. Banana that are cultivated
Designing
User-Interface
Implementation
Adobe XD
- Visual Studio Code
- XAMPP
- MySQL
- PHP & SQL
Black Box
Testing
Need fixing?
[No]
[Yes]
Gambar 6. Alur Perancangan
Tahap Awal
1. Observasi
Observasi atau pengamatan dilakukan secara langsung dengan mengikuti kegiatan KCP,
baik di sekretariat maupun di lokasi desa mitra KCP, untuk mengetahui semua lokasi desa mitra
dan berbagai macam pisang lokal yang dibudidayakan oleh KCP.
2. Studi Literatur
Setelah melakukan observasi, studi literatur dilakukan untuk mempelajari literatur yang
terkait dengan sistem informasi dan perancangannya.
31
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Perancangan Sistem Informasi
1. Analisis Kebutuhan
Tahap ini dilakukan untuk menganalisis setiap kebutuhan sistem informasi.
2. Design User-Interface
Antarmuka dirancang untuk kepentingan estetika dan ergonomi dari sistem informasi.
3. Implementasi
Proses coding dilakukan untuk merancang sistem informasi sesuai dengan fungsi dan
antarmuka yang diinginkan.
Tahap Akhir
1. Pengujian Sistem Informasi
Sistem infomarsi yang telah dirancang akan diuji menggunakan black-box testing untuk
dianalisa fungsionalitasnya.
2. Hasil Penelitian dan Kesimpulan
Hasil penelitian yang dianalisa dengan black-box testing akan ditarik kesimpulannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
User-Interface
User-Interface (disingkat UI) merupakan salah output perancangan sistem informasi
yang dihasilkan untuk menyelesaikan penelitian ini. Terdapat dua UI yang berbeda yaitu untuk
user umum/konsumen dan untuk administrator.
Administrator
Data stok pisang akan selalu diperbaharui setiap minggu, maka diperlukan administrator
yang mengelola atau memerbaharui database pisang KCP. Terdapat dua jenis administrator:
1. Super admin
Super admin adalah administrator yang berperan sebagai penanggungjawab atas semua
pengelolaan sistem informasi. Hirarki super admin lebih tinggi dari admin.
2. Admin
Admin adalah administrator yang berperan sebagai penginput data stok pisang setiap
minggu. Tiap kabupaten memiliki 1 admin yang berbeda, sehingga jumlah admin keseluruhan
sebanyak 5 orang. 1 admin hanya bertanggung jawab atas data stok pisang 1 kabupaten dan
32
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
tidak bisa mengakses kabupaten lainnya, maka kelima admin memiliki username dan password
yang berbeda satu sama lain.
User-Interface Sistem Informasi untuk User/Konsumen
Gambar 7. Tampilan Slider Greeting dan Tentang Kami
Slider greeting merupakan tampilan pertama yang dapat dilihat oleh pengguna saat
mengakses sistem informasi KCP. Terdapat header yang button navigasi mulai dari Home,
Tentang Kami, Produk, Stok, Kegiatan, dan Hubungi Kami seperti ada di Gambar 4 di atas.
Kemudian terdapat kolom Tentang Kami yang menjelaskan bentuk, kegiatan, dan tujuan dari
adanya Kampung Cau Padjadjaran.
33
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 8. Tampilan Produk Pisang
Tampilan produk pisang menunjukkan gambar dari 12 pisang yang tersedia di KCP,
meliputi pisang ambon kuning, ambon lumut, kapas, kepok, manggala, manggala hitam, muli,
nangka, raja bulu, raja cerai, roid, dan tanduk.
34
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 9. Tampilan Stok Pisang di 5 Kabupaten Jawa Barat
Tampilan Stok Pisang menunjukkan ketersediaan pisang di 5 kabupaten yang masing-
masing memiliki 5 desa mitra berikut dengan harga per kilogram dari tiap pisangnya sesuai
ketentuan masing-masing koodinator KCP tiap kabupaten.
35
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 10. Tampilan Team, Kegiatan, dan Kontak KCP
Gambar 7 di atas menunjukkan tampilan kolom team, artikel kegiatan yang masih dalam
perancangan, dan kolom kontak dari KCP.
User-Interface Sistem Informasi untuk Super Admin dan Admin
36
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 11. Log In Administrator
Tampilan gambar 8 di atas menunjukkan log in dari tiap admin yang dapat memerbaharui
tabel stok pisang 5 kabupaten. Setelah memasukan username dan password, administrator
dapat login untuk memperbaharui tiap harga dan stok pisang yang tersedia di KCP.
Gambar 12. Tampilan Database Admin Kabupaten Cianjur
Gambar 9 di atas merupakan tampilan database pisang KCP Kabupaten Cianjur, mulai
dari pisang ambon kuning, ambon lumut, kapas, kepok, manggala, manggala hitam, muli,
nangka, raja bulu, raja cerai, roid, dan tanduk. Admin dapat merubah dan menghapus data harga
dan stok pisang yang tersedia.
37
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 13. Tampilan Database Super Admin KCP
Gambar 10 di atas merupakan tampilan data semua administrator yang aktif. Super admin
dapat merubah semua data yang ada di dalam sistem informasi, termasuk data stok pisang di
kelima kabupaten.
Gambar 14. Tampilan Data Pembeli Pisang
Gambar 11 di atas merupakan tampilan data pembeli yang telah membeli pisang sebagai
rekapitulasi data yang hanya dapat diakses oleh super admin.
KESIMPULAN
Borosnya biaya dan waktu yang digunakan hanya untuk mengumpulkan data dari desa-
desa petani mitra KCP yang tersebar di beberapa kabupaten yang ada di Jawa Barat
menyebabkan biaya operasional tidak efisien. Selain itu, pengelolaan data secara manual atau
38
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
tanpa adanya sistem informasi juga menyebabkan management data pisang kurang efisien pula.
Sistem informasi berbasis web yang dirancang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
pengelolaan data pisang, memotong biaya operasional, serta meningkatkan kinerja KCP
menjadi lebih dinamis dan fleksibel, karena keberhasilan suatu sistem informasi salah satunya
telah dibuktikan oleh Pujianto dkk (2017) yang meningkatkan efisiensi arus informasi secara
cepat dan akurat pada pengelolaan data di perusahaan produsen selada. Perancangan sistem
informasi berbasis web ini baru sampai tahap implementasi penulisan kode pemrograman.
Setelah proses hosting website selesai, sistem informasi akan diuji dengan pengujian black-
box. Pengujian black-box adalah sebuah pengujian sistem dan operasi yang berjalan pada
fungsi yang ada untuk mengetahui apakah rancangan sistem sesuai dengan yang diharapkan.
Terdapat beberapa perubahan dari user-interface yang mungkin akan dilakukan di masa
depan, karena perancangan sistem informasi ini juga bermaksud untuk memudahkan konsumen
dalam pemesanan seperti kejelasan lokasi ketersediaan pisang, hal tersebut akan berhubungan
dengan ongkos kirim dari pisang-pisang yang dipesan. Kemudian, adanya sistem informasi
juga akan berpengaruh kepada penambahan sumber daya manusia yang berperan dalam
mengelola sistem informasi tersebut, yaitu admin dan super admin. Admin bertugas untuk
mengumpulkan data stock pisang di masing-masing desa mitra KCP. Data-data yang telah
terkumpul akan dilaporkan oleh admin tiap desa kepada super admin yang bertanggungjawab
langsung atas sistem informasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Ade Ismail, S.P, M.P. selaku
Founder dan CEO dari Kampung Cau Padjadjaran yang telah menyetujui dan mendanai seluruh
biaya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Apăvăloaie, E.-I. (2014). The Impact of the Internet on the Business Environment. Procedia
Economics and Finance, 15(14), 951–958. https://doi.org/10.1016/S2212-
5671(14)00654-6
BPS. (2016). Pisang, Buah Paling Banyak Diproduksi di Indonesia. BPS. Retrieved from
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/17/pisang-buah-paling-banyak-
diproduksi-di-indonesia
39
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
FAO. (2016). Produksi Pisang di Indonesia. FAO.
Hidayati, T. N., & Suhartini, S. (2018). Analisis Daya Saing Ekspor Pisang (Musa Paradiaca
L.) Indonesia di Pasar Asean dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Jurnal Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 2(4), 267–278.
https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2018.002.04.2
Ismail, A., Hesya, A., Cau, K., & Kcp, P. (2016). Profil bisnis, 2016, 1–33.
Pujianto, T., Prayudha, A., & Ardiansah, I. (2017). Application Development To Manage Data
And Information On Lettuce Production Companies, 1(1), 9–16.
Situmorang, J. R. (2013). Pemanfaatan Internet Sebagai New Media Dalam Bidang Politik ,
Bisnis , Pendidikan Dan Sosial Budaya. Jurnal Administrasi Bisnis, 8(2), 77–91.
40
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGENDALIAN MUTU KADAR AIR TEH HITAM ORTHODOKS DI
PTPN VIII MENGGUNAKAN STATISTICAL QUALITY CONTROL
Ananda Iskandarsyah Putra1, Chay Asdak2, Boy Macklin P Prawiranegara2
1)Program Studi Teknik Pertanian , Universitas Padjadjaran 2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 43563
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Indonesia menjadi salah satu negara penghasil teh terbesar di dunia yaitu menempati
peringkat tujuh di dunia (International Tea Committee, 2017). PTPN VIII merupakan
perusahaan pengolahan teh hitam terbesar di Indonesia. Kadar air teh merupakan salah satu
bagian yang cukup penting karena berpengaruh terhadap citarasa teh itu sendiri. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan
kadar air teh di kebun teh ciater dan memberikan solusi dalam memperbaiki kinerja perusahaan
dalam proses sortasi kering teh hitam orthodoks. Metode penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif dengan pendekatan Statistical Quality
Control”, survey dan wawancara dilakukan untuk mendapatkan data primer mengenai keadaan
usaha. Keadaan usaha tersebut dapat mengenai permasalahan yang dihadapi maupun peluang
usaha yang tidak dimanfaatkan secara optimal. Metode ini menggunakan analisis data yang
dihasilkan dari melihat keadaan lapangan secara langsung untuk mengetahui hasil
permasalahan yang ada di lapangan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan
Kadar air teh hitam jenis Fanning II pada penelitian ini seluruhnya diluar batas kendali dari
yang telah ditentukan dalam SOP PT. Perkebunan Nusantara VIII. Cara mengendalikan kadar
air teh hitam orthodoks dengan mengganti mesin-mesin tua yang sering mengalami kerusakan
dengan mesin yang baru agar proses produksi dapat dimaksimalkan.
Kata kunci: Pengendalian Mutu, Statistical Quality Control, Pengendalian Mutu Kadar Air
Teh Hitam
PENDAHULUAN
Indonesia menjadi salah satu negara penghasil teh terbesar di dunia yaitu menempati
peringkat tujuh di dunia (International Tea Committee, 2017). PT. Perkebunan Nusantara VIII
atau lebih banyak dikenal dengan sebutan PTPN VIII dulunya merupakan Badan Usaha Milik
Negara Indonesia yang bergerak di bidang perkebunan teh, kina, karet, kakao, getah perca dan
kelapa sawit. PTPN VIII merupakan perusahaan pengolahan teh hitam terbesar di Indonesia.
41
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Teh merupakan salah satu komoditas pangan yang penting dikonsumsi oleh masyarakat karena
teh memiliki banyak manfaat khususnya bagi kesehatan manusia.
Lebih dari 85% produksi teh di Indonesia berupa teh hitam orthodoks. Kualitas pucuk
sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kualitas teh kering dan penanganannya mulai dari
pemetikan penampungan di loss pucuk, pewadahan dan pengangkutan sampai di pabrik. Jenis
pemetikan yang baik adalah medium murni dengan analisa pucuk minimal 60% halus. Standar
petik yang kasar terkait dengan perolehan serat yang tinggi dan menyebabkan kualitas teh yang
rendah (Mahanta, 1990).
Teh memiliki peluang yang semakin terbuka dengan diikuti peningkatan mutu teh
tersebut serta perluasan jangkauan pemasaran ke daerah-daerah yang memiliki peran penting.
Setiap perkebunan teh membutuhkan majemen mutu, salah satunya adalah pengecekan kadar
air setelah proses sortasi kering. Kadar air pada teh setelah proses sortasi kering dapat dengan
mudah terpengaruh oleh lingkungan. Terdapat beberapa metode untuk menjalankan
manajemen mutu, salah satunya adalah dengan menggunakan metode Statistical Quality
Control (SQC). Statistical Quality Control (SQC) dapat berguna untuk menentukan sebuah
standar serta mengecek kesesuaian produk demi mencapai operasi manufaktur yang
masksimum.
Identifikasi masalh dalam peneletian kali ini adalah apakah mutu kadar air teh hitam
orthodoks pada proses sortasi kering di PTPN VIII Kebun Teh Ciater dapat terkendali dengan
menggunakan Statistical Quality Control dan bagaimana cara mengendalikan mutu kadar air
teh hitam orthodoks pada proses sortasi kering di PTPN VIII Kebun Teh Ciater dengan metode
Statistical Quality Control. Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab perubahan kadar air pada proses sortasi kering di PTPN VIII Kebun Teh Ciater Jawa
Barat dan untuk memberikan solusi dalam memperbaiki kinerja perusahaan pada proses sortasi
kering teh hitam orthodoks.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini digunakan satu perkebunan teh sebagai objek penelitian guna
mempermudah proses identifikasi perkebunan teh secara umum. Perkebunan teh tersebut
termasuk kedalam PT. Perkebunan Nusantara (PT. PERKEBUNAN NUSANTARA) VIII yang
terletak di Ciater, Jawa Barat dan analisis kinerja dilakukan di Laboratorium Sistem
42
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Manajemen Mekanisasi Pertanian FTIP Universitas Padjadjaran terhitung pada bulan April
2019 hingga Juni 2019.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif
dengan pendekatan survey dan wawancara demi mendapatkan data primer mengenai keadaan
usaha. Keadaan usaha tersebut dapat mengenai permasalahan yang dihadapi maupun peluang
usaha yang tidak dimanfaatkan secara optimal. Metode ini menggunakan analisis data yang
dihasilkan dari melihat keadaan lapangan secara langsung untuk mengetahui hasil
permasalahan yang ada di lapangan.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang meneliti status sekelompok manusia, objek,
atau suatu set kondisi, dalam suatu sistem pemikiran atau peristiwa pada masa sekarang.
Penelitian deskriptif ini memiliki tujuan yaitu untuk membuat deskripsi atau gambaran secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki (Nazir, 1988).
Penelitian ini juga dilakukan secara eksploratif yaitu dengan melakukan kegiatan
wawancara serta obsevasi ke lapangan yang bertujuan untuk melihat gambaran kondisi kebun
teh ciater saat melakukan produksi teh hitam orthodoks. Pendekatan Statistical quality control
(SQC) dilakukan untuk pengendalian mutu saat produksi teh di perusahaan sesuai dengan
berpatok kepada SNI yang telah ditetapkan.
Tahapan penelitian ini dimulai dari penentuan parameter mutu teh hitam orthodoks, yaitu
berdasarkan SOP PTPN VIII, kadar air jenis Fanning II maksimal sebesar 5%. Selanjutnya
adalah proses engambilan sampel kadar air teh hitam orthodoks jenis Fanning II sebanyak 1000
sampel. Sampel ini diambil selama 20 hari dengan pengambilan 50 jumlah sampel per harinya.
Setelah data sudah mencukupi, selanjutnya data diolah menggunakan peta kendali. Setelah data
diolah menggunakan peta kendali, hasil data dapat tergambarkan melalui diagram dan saat
dibandingkan dengan kadar air teh hitam orthodoks jenis Fanning II sesuai dengan SOP PTPN
VIII. Dari sampel data yang dihasilkan dapat dilihat Upper Control Line, Center Line dan
Lower Control Line nya. Dari hasil data yang didapatkan juga dapat dilakukan pengelasan
sesuai dengan besarnya data kadar air. Lalu dari hasil pengelasan, data tersebut dapat dibuat
diagram pareto. Tahapan yang terakhir yaitu membuat Fisbone diagram untuk mengetahui
sebab akibat dari data kadar air yang diasilkan.
43
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dapat terlihat dengan jelas jarak antara UCL, CL dan LCL pada data kadar air yang
didapat selama penelitian cukup jauh dengan kadar air yang sesuai dengan SOP. Dari hasil
perhitungan sesuai rumus untuk mencari UCL, CL dan LCL didapatkan nilai UCL sebesar
8,43%, nilai CL sebesar 7,98% dan LCL sebesar 7,53%. Sedangkan dalam SOP tertulis untuk
kadar air teh hitam orthodoks yaitu sebesar 5%.
Gambar 1. Deskripsi Produk Teh Hitam Orthodoks Fanning II
Gambar 2. Peta Kendali Kadar Air Teh Hitam Orthodoks Kebun Teh Ciater
Perbandingan data kadar air yang telah didapatkan oleh peneliti dengan kadar air yang
telah ditentukan di dalam SOP memiliki jarak yang cukup jauh. Hal tersebut dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti tenaga kerja, mesin yang digunakan, prosedur kerja, bahan baku
yang digunakan serta media atau tempat dan keadaan di sana. Apabila dilihat dari hasil peta
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49
CONTROL CHART
DATA UCL CL UCL UCL SOP CL SOP LCL SOP
44
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
kendali yang didapatkan, hasil sampel data kadar air teh hitam orthodoks jenis Fanning II yang
didapatkan sangat jauh untuk masuk kedalam SOP yang telah ditentukan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perbaikan dalam seluluh aspek mulai dari awal awal produksi sampai ke proses
pengepakan.
Dari hasil perhitungan yang didapat, untuk kadar air teh hitam ini terbagi menjadi 11
kelas dengan range sebesar 0,45% kadar air di setiap kelasnya. Dari 1000 data kadar air yang
didapat saat penelitian, untuk kadar air minimum yaitu sebesar 5,05%. Oleh karena itu, kelas
dimulai dari kadar air teh sebesar 5,05% dan berakhir pada kadar air teh sebesar 10,1%. Dan
dari 11 kelas tersebut, tidak ada satupun kelas yang masuk ke dalam batas toleransi kadar air
teh hitam pada proses sortasi kering jenis Fanning II.
Gambar 3. Pareto Chart (Perbandingan Data dan Presentase)
Tenaga kerja yang bekerja PTPN VIII kebun teh Ciater rata-rata sudah tidak muda lagi.
Dengan umur yang sudah tidak muda lagi, kecepatan dalam roses produksi teh dapat dikatan
cukup lambat. Lalu mesin-mesin untuk proses produksi yang digunakan di perkebunan teh ini
sudah terbilang cukup tua dan sering mengalami kerusakan. Kerusakan yang dialami oleh
mesin-mesin tersebut mengganggu kedalam proses produksi karena proses produksi menjadi
berhenti sesaat. Prosedur kerja yang dilakukan di Kebun teh Ciater ini juga tidak sesuai SOP.
Teh hasil pelayuan seharusnya langsung masuk ke OTR setelah itu masuk ke PCR melalui
mesin DIBN. Akan tetapi pada kenyataannya dikarenakan mesin OTR hanya berfungsi tiga
dari lima, maka teh hasil pelayuan sebagian dimasukan terlebih dahulu ke mesin PCR dan
selanjutnya dimasukan kembali ke mesin OTR. Hal tersebut dikarenakan banyaknya hasil
0.00%
20.00%
40.00%
60.00%
80.00%
100.00%
120.00%
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
5,05 -5,5
5,51 -5,96
5,97 -6,42
6,43 -6,86
6,87 -7,34
7,35 -7,8
7,81 -8,26
8,27 -8,72
8,73 -9,18
9,19 -9,64
9,45 -10,1
PARETO CHART
Data Persentase
45
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
pelayuan teh akan tetapi mesin OTR terbatas, sehingga untuk mempersingkat waktu, SOP tidak
dilakukan sesuai prosedur.
Gambar 4. Diagram Alir Tahapan Proses Pengolahan Teh Hitam Orthodoks
Kondisi suhu ruang di pabrik juga terpengaruh oleh suhu di luar pabrik karena terdapat
ventilasi yang cukup besar di dinding-dinding pabrik. Apabila suhu pabrik terlalu panas, maka
dapat dikontrol dengan menyalakan beberapa kipas angin yang terpasang di pabrik itu sendiri.
Akan tetapi apabila suhu pabrik terlalu dingin, pabrik belum memiliki solusi untuk menaikan
suhu sehingga hal tersebut perpengaruh terhadap kadar air hasil produksi teh hitam orthodoks
di PTPN VIII Perkebunan teh Ciater.
Gambar 5 Fishbone Diagram Perkebunan Teh Ciater
KESIMPULAN
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah kadar air teh hitam jenis Fanning II pada
penelitian ini seluruhnya diluar batas kendali dari yang telah ditentukan dalam SOP PT.
Perkebunan Teh Ciater
Tidak Ada PelatihanTidak Sesuai SOP
Suhu Pabrik Lembab
46
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Perkebunan Nusantara VIII dan cara mengendalikan kadar air teh hitam orthodoks dengan
mengganti mesin-mesin tua yang sering mengalami kerusakan dengan mesin yang baru agar
proses produksi dapat dimaksimalkan. Adapun saran pada penelitian ini yaitu membuat sesuatu
revitalisai sumber daya manusia dalam manajemen perusahaan serta memperbaharui mesin-
mesin tua yang sering mengalami kerusakan dengan mesin-mesin yang baru.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan, dan
bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini akhirnya dapat
diselesaikan. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati yang paling dalam, penuls
mengucapkan terima kasih yang begitu besar kepada Bapak Ir. Chay Asdak M.Sc., Ph.D. dan
Bapak Dr. Boy Macklin Pareira Prawiranegara S.T., M.Si. yang senantiasa membimbing dalam
penelitian ini, kepada Bapak Rizky Mulya Sampurna S.TP., M.Sc. selaku dosen penguji pada
penelitian ini, serta kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
sebagai pembimbing lapangan pada saat penelitian di PTPN VIII Kebun Teh Ciater.
DAFTAR PUSTAKA
International Tea Committee. 2017. Annual Bulletin of Statitics 2017. London. International
Tea Committee
Mahanta, P.K. Hazarika, M. Baruah, S. 1990. Influence of Plucking and Processing on Cell
Wall and Soluble Component in Black Tea.Two and a bud 37 (1) P:17-19.
Moh. Nazir. 1998. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta.
47
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PERANCANGAN PROGRAM UTAMA PENGELOLAAN SERVER
GUNA MENDUKUNG APLIKASI DECISION SUPPORT SYSTEM
TENTANG PRODUKSI PADI
Anggita Minar Furisca1), Muhammad Saukat2), Mimin Muhaemin3)
1)Program Studi Teknik Pertanian Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 45363
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kebutuhan akan adanya komputer dengan peran sebagai server untuk menyediakan ruang yang
memiliki jaringan terhubung guna menyimpan dan memproses data serta informasi semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan produksi tanaman padi seringkali
memerlukan pengetahuan luas dan analisis mendalam. Guna mempermudah proses dalam mengambil
keputusan, digunakan alat bantu sistem yang dikenal dengan istilah Decision Support System (DSS)
dengan fasilitas internet serta server. Layanan dalam server dibutuhkan untuk pengelolaan file, hasil,
foto dan lain – lain, dimana resource ini harus dikelola secara optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengelolaan dari sisi server. Program utama pengelolaan server dirancang dengan tujuan dapat
mengelola data, melakukan proses pencadangan basis data secara berkala dan menjadwalkan jalannya
beberapa program. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode rekayasa perangkat lunak,
dimana proses didalamnya disebut Software Development Life Cycle (SDLC). Program dibuat dengan
Bahasa Basic menggunakan Visual Basic .NET dan basis data yang digunakan adalah Microsoft SQL
Server. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah telah berhasil dibuat program validasi basis data
mengenai permintaan dari aplikasi DSS. Program yang dibuat mampu memproses permintaan yang
masuk ke server sebagai pencakup (support) berlangsungnya proses DSS tentang produksi padi melalui
aplikasi.
Kata Kunci: Server, Visual Basic .NET, Microsoft SQL Server
PENDAHULUAN
Keberadaan teknologi kini menjadi hal yang wajib dalam berbagai bidang pekerjaan. Salah satu
penerapan teknologi adalah pada bidang informasi. Menurut Gordon B Davis (1999), informasi dari
sudut pandang sistem informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi
penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang. Teknologi informasi
mengalami kemajuan yang sangat pesat dari tahun ke tahun. Hal tersebut mengakibatkan kebutuhan
akan adanya komputer dengan peran sebagai server semakin meningkat. Server tersebut berperan dalam
menyediakan ruang yang memiliki jaringan terhubung guna menyimpan dan memproses data serta
informasi, baik itu bagi individu, organisasi, maupun perusahaan.
48
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Keberadaan padi sebagai komoditas tanaman pangan utama di Indonesia membuat proses
produksinya perlu dimaksimalkan. Beberapa faktor penentu tingkat produksi padi, diantaranya adalah
luas lahan yang digunakan untuk budidaya padi, cuaca atau kondisi alam yang tidak menentu serta
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
produksi tanaman padi memerlukan pengetahuan luas dan analisis yang mendalam. Guna
mempermudah proses pengambilan keputusan, digunakan alat bantu sistem yang dikenal dengan istilah
Decision Support System (DSS). Aplikasi DSS mengenai produksi padi dirancang oleh Program Studi
Teknik Pertanian, Universitas Padjadjaran dengan fasilitas internet dan layanan server. Layanan dalam
server dibutuhkan dalam proses pengelolaan file, hasil rekomendasi dari aplikasi DSS, foto dan lain –
lain. Aplikasi DSS ini dapat diakses dengan dua cara, yaitu menggunakan teknologi telepon pintar
(smartphone) dan melalui web.
Data yang terkait dengan aplikasi DSS tentang produksi padi akan dikirimkan ke server. Data
tersebut meliputi data permintaan, baik itu berupa foto, text file, dan lain – lain. Permintaan berkaitan
dengan aplikasi DSS, akan dimuat pada basis data dan folder dari server itu sendiri, yang kemudian
akan diproses untuk kebutuhan pengambilan keputusan pada aplikasi DSS. Data yang tersimpan dalam
suatu server perlu dikelola dengan baik, agar server dapat bekerja dengan efisien tanpa terganggu
kinerjanya. Pada server, belum terdapat program yang dapat memproses data dari aplikasi DSS.
Pengelolaan pada sisi server bertujuan untuk mendukung aplikasi DSS dengan cara mengelola data,
melakukan proses pencadangan basis data secara berkala, menjamin keamanan basis data dan
menjadwalkan jalannya beberapa program. Layanan dalam server harus dikelola secara optimal,
mengingat server adalah pusat dari lalu lintas data. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan dari sisi
server. Program utama ini dibuat dengan Bahasa Basic menggunakan Microsoft Visual Basic .NET
serta Microsoft SQL Server sebagai basis datanya.
Data adalah deskripsi tentang benda, kejadian, aktivitas dan transaksi yang tidak mempunyai
makna atau tidak berpengaruh secara langsung kepada pengguna (user) (Kadir, 2014). Data merupakan
bentuk dalam komponen dasar (baik berupa benda, angka, nomor, kejadian, catatan dan lain - lain) yang
perlu diolah lebih lanjut menjadi suatu model untuk menghasilkan informasi. Kegunaan data adalah
untuk memperoleh gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan dan membuat keputusan atau
memecahkan persoalan. Data diorganisasikan dalam suatu hirarki yang terdiri dari entity, atribut atau
elemen data, isi (data value), rekaman (record) dan berkas (file). Informasi merupakan hal yang sangat
penting bagi manajemen di dalam pengambilan keputusan. Informasi merupakan salah satu bentuk
sumber daya utama dalam suatu organisasi yang digunakan oleh manager untuk mengendalikan
perusahaan dalam mencapai tujuan (Jogiyanto, 2005).
Visual Basic .NET adalah Visual Basic yang direkayasa kembali untuk digunakan pada platform
.NET, sehingga aplikasi yang dibuat menggunakan Visual Basic .NET dapat berjalan dengan sistem
49
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
komputer apa pun, serta dapat mengambil data dari server dengan tipe apa pun, dengan syarat .NET
Framework sudah dipasang (install). Umumnya, Visual Basic .NET terpaket dalam Visual Studio .NET.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode rekayasa perangkat lunak, dimana prosesnya disebut dengan
rekayasa sistem yang menerapkan Software Development Life Cycle (SDLC) WaterFall. Metode ini
merupakan pola yang diambil untuk mengembangkan sistem perangkat lunak, yang terdiri dari tahap
rencana (planning), desain (design), implementasi (implementation), uji coba (testing) dan pengelolaan
(maintenance).
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari Bulan Maret hingga Juni 2019, bertempat di Laboratorium Sistem
dan Manajemen Mekanisasi Pertanian dan Laboratorium Alat dan Mesin Pertanian, Fakultas Teknologi
Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran.
B. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian terbagi dari perangkat keras dan perangkat lunak.
Perangkat keras terdiri dari komputer server dan laptop. Sedangkan perangkat lunak terdiri dari Visual
Studio dan Microsoft SQL Server.
C. Tahapan Penelitian
Gambar 1. Tahapan Penelitian
Prosedur penelitian yang akan dilakukan terdiri dari beberapa tahap, dimulai dari identifikasi
masalah, studi literatur, perancangan kriteria program, perancangan program dan pengujian. Identifikasi
masalah dalam penelitian yakni belum adanya program utama pada sisi server yang dapat mengolah
data dari aplikasi DSS. Dalam tahapan ini ditentukan pula tujuan penelitian yang dimaksudkan untuk
menjawab permasalahan yang telah teridentifikasi. Tujuan dilaksanakannya penelitian adalah untuk
50
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
merancang program utama pengelolaan server yang berguna untuk memproses data permintaan dari
aplikasi DSS.
Selanjutnya masuk ke tahap studi literatur, studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan data
dan informasi dari sumber literatur yang terpercaya dan penelitian-penelitian lain yang terkait. Hal
tersebut bermanfaat untuk memperkuat konsep dalam menciptakan solusi untuk masalah yang telah
teridentifikasi. Studi literatur yang didapat, mencakup Aplikasi Decision Support System (DSS)
produksi padi, data dan informasi, basis data, Visual Basic .NET serta Microsoft SQL Server.
Setelah tahap studi literatur selesai, dilanjut ke tahap perancangan kriteria program dilakukan
untuk mencari kriteria-kriteria apa saja yang diperlukan sehingga program sesuai dengan kebutuhan
pengguna dan nanti bisa menjalankan fungsi yang sesuai sebagaimana mestinya. Berikut disajikan
kriteria perancangan dari program:
1. Program mampu mengelola permintaan yang masuk dan menyajikan hasil rekomendasi dalam
bentuk teks file, mampu memilah data gambar yang masuk serta mampu menampung gambar
yang sudah diolah dalam satu folder khusus.
2. Program dapat memanggil program pengelolaan citra untuk mengelola data gambar yang masuk.
3. Program dapat mengoperasikan database, seperti create, retrieve, update dan delete. Selain itu,
dapat juga melakukan backup)database.
4. Program dapat membuat catatan proses (log) dari aktivitas server.
5. Program dieksekusi dengan memanfaatkan task scheduler dan/atau program startup pada sistem
operasi Windows.
Setelah kriteria perancangan tersusun, masuk ke tahap perancangan program. Tahap ini dilakukan
untuk menerjemahkan kriteria-kriteria program yang telah diperoleh menjadi baris-baris kode sehingga
dapat di-compile menjadi file yang bisa dieksekusi oleh sistem operasi windows.
Tahap yang terakhir adalah tahap pengujian. Tahap ini dilakukan untuk menguji apakah program
yang telah dibuat sesuai dengan kriteria perancangan dan berfungsi sesuai dengan dikehendaki. Jika
masih belum sesuai, maka kembali pada tahap perancangan program dan jika sudah selesai maka
penelitian telah selesai dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rancangan Program
Penelitian mengenai perancangan program utama pengelolaan server ini dirancang untuk mampu
memproses data yang masuk pada server dengan menggunakan Bahasa Basic dan Microsoft SQL
Server sebagai database storage engine. Program dimulai dari validasi tabel permintaan, melakukan
proses update tabel pemrosesan, melakukan manajemen folder dan file, melakukan pencadangan basis
51
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
data SQL Server, memanggil dan menjalankan program lain untuk mengolah foto serta mengirim hasil
rekomendasi.
Adapun pseudocode dari program validasi tabel permintaan yang dirancang adalah sebagai
berikut:
Koneksi ke database
Baca teks file yang berisi nomor rekord
Isi teks file dijadikan variabel
Pilih nomor rekord terakhir dari tabel permintaan
Melakukan pengulangan dari variabel hingga rekord terakhir di tabel permintaan
Melakukan validasi permintaan
- Update lokasi_OK pada tabel pemrosesan
Pilih nama_folder dari tabel permintaan
Membuka file lokasi.txt dari dalam folder
Jika file tidak kosong, maka update lokasi_OK menjadi 1
Jika file kosong, maka lokasi_OK tetap 0
- Update koordinat_ada pada tabel pemrosesan
Pilih latitude dari tabel permintaan
Jika latitude tidak kosong, maka update koordinat_ada menjadi 1
Jika latitude kosong, maka koordinat_ada tetap 0
- Update foto_ada pada tabel pemrosesan
Membuat fungsi cek_foto
Pilih nama_folder dari tabel permintaan
Jika terdapat file .jpg, maka fungsi bernilai true
Jika tidak terdapat file .jpg, maka fungsi bernilai false
Jika kondisi true, maka update foto_ada menjadi 1
Jika kondisi false, maka foto_ada tetap 0
- Update foto_sudah_diproses pada tabel pemrosesan
- Update foto_proses_OK pada tabel pemrosesan
- Update pupuk_rekomendasi_sudah pada tabel pemrosesan
- Update notifikasi_sudah_dikirim pada tabel pemrosesan
- Update jawab_sudah_dikirim pada tabel pemrosesan
Membuat fungsi ubah Hasil_jawaban
Pilih nama_folder dari tabel permintaan
Buka Hasil_jawaban.txt
Ubah isi Hasil_jawaban
Panggil fungsi ubah Hasil_jawaban jika parameter sudah true
Pengulangan proses validasi ke no rekord setelahnya
52
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Hasil Validasi Tabel Permintaan
Program validasi permintaan ditujukan untuk melihat kelengkapan data permintaan masing –
masing rekordnya. Hasil dari program ini terlihat pada tabel pemrosesan pada basis data. Hal yang
pertama untuk memulai proses update adalah membaca isi teks file yang berisi nomor rekord, yang
kemudian dijadikan variabel untuk memulai proses looping (pengulangan). Pada Gambar 2 disajikan
isi dari teks file yang dijadikan acuan untuk memulai proses pengulangan.
Gambar 2. Teks file yang berisi no.rekord
Berikut disajikan tabel pemrosesan dengan sepuluh rekord yang belum dilakukan proses
validasinya.
Gambar 3. Sebelum dilakukan proses update
Setelah dilakukan proses validasi, maka berikut disajikan hasil dari program yang sudah dibuat.
Gambar 4. Setelah dilakukan proses update
53
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telah berhasil
dibuat program validasi basis data mengenai permintaan dari aplikasi DSS tentang produksi padi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada tim peneliti “DSS Yanmar” Universitas
Padjadjaran yang telah memberikan bantuan tempat dan dana untuk penelitian dan kepada seluruh pihak
yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Davis, Gordon B. 1999. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian I: Pengantar.
Diterjemahkan Oleh Andreas S. Adiwardana. Cetakan kesebelas, PT Ikrar Mandiriabadi.
Hidayatullah, Priyanto. 2015. Visual Basic NET (Membuat Aplikasi Database dan Program
Kreatif), Revisi Kedua. Bandung: Informatika.
Jogiyanto, H.M., 2005, Analisa dan Desain Sistem Informasi: Pendekatan Terstruktur Teori
dan Praktik Aplikasi Bisnis. Yogyakarta: Andi.
Kadir, Abdul. 2014. Pengenalan Sistem Informasi Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi.
54
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KAJIAN PENAMBAHAN GELATIN TULANG IKAN TENGGIRI
(Scomberomorus commerson) TERHADAP KARAKTERISTIK ES KRIM
Anisa Fadhila1
1)Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjajaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor, Sumedang 43563
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Es krim merupakan salah satu hasil olahan yang berbasis susu yang menyediakan asupan
gizi yang cukup tinggi. Proses pembuatan es krim dibutuhkan bahan penstabil atau stabilizer.
Bahan penstabil yang digunakan pada penelitian kali ini yaitu gelatin. Penelitian kali ini
menggunakan tulang ikan tenggiri sebagai bahan dasar pembuatan gelatin, dimana kandungan
protein tulang ikan yang cukup tinggi dapat dijadikan sebagai gelatin. Maka dari itu, tujuan
penelitian kali untuk menentukan bagaimana hubungan konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri
yang tepat dalam pembuatan es krim agar menghasilkan karakteristik es krim yang baik.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan Uji
ranking pada pengujian organoleptik warna, flavor, kelembutan, dan after taste. Percobaan
terdiri dari 4 perlakuan dengan penambahan konsentarasi gelatin tulang ikan tenggiri yang
berbeda-beda yaitu 0%;0,1%;0,3% dan 0,5% serta menggunakan 15 panelis yang dianggap
sebagai ulangan. Hasil penelitian kali ini terhadap warna dan flavor es krim memiliki hasil
yang sama yaitu semakin sedikit penambahan konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri maka
akan semakin disukai dan tidak berbeda nyata. Sedangkan hasil kelembutan dan after taste es
krim berbeda nyata, tetapi pada kelembutan es krim semakin banyak penambahan konsentrasi
gelatin tulang ikan maka akan semakin disukai sedangkan after taste es krim semakin sedikit
penambahan konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri maka akan semakin disukai. Kesimpulan
dari penelitian kali ini warna dan flavor es krim tidak berbeda nyata sedangkan kelembutan
dan after taste es krim berbeda nyata tetapi hanya kelembutan es krim yang semakin tinggi
konsentrasi yang tambahkan maka semakin disukai panelis.
Kata Kunci : es krim, tulang ikan, organoleptic
PENDAHULUAN
Es krim merupakan salah satu hasil olahan yang berbasis susu yang menyediakan asupan
gizi yang cukup tinggi. Komposisi es krim paling baik mengandung 15% sukrosa, 0,3% bahan
penstabil dan pengemulsi, 12% lemak, 11% padatan susu tanpa lemak, dan 38,3% total padatan
(Mc Sweeney & Fox, 2009). Berdasarkan BSN (1995), syarat mutu es krim yaitu memiliki
55
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
penampakan, bau, dan rasa yang normal, lemak minimum 5%, protein minimum 2,7%, gula
(sukrosa) minimum 8%, total padatan minimum 34%, dan kualitas pelelehan 15 – 25 menit.
Proses pembuatan es krim dibutuhkan bahan penstabil atau stabilizer.
Penggunaan bahan penstabil pada es krim berfungsi untuk mencegah terbentuknya kristal
es yang besar, mempertahankan stabilitas emulsi, memperbaiki tekstur, memperlambat
pelelehan, dan dengan adanya penstabil maka akan menghasilkan es krim yang lebih lembut
dan halus (Sursrini, 2003). Bahan penstabil yang biasanya digunakan dalam pembuatan es krim
yaitu Na-alginat, karagenan, gum arab, pektin, CMC (Carboxymethill Cullulose), dan gelatin
dengan konsentrasi 0,1% - 0,5% (Padaga dan sawitri, 2006). Dari banyaknya jenis bahan
penstabil yang digunakan, bahan penstabil yang akan digunakan dalam penelitian kali ini yaitu
gelatin.
Gelatin dalam industri pangan berfungsi sebagai pengemulsi, perekat, pengental,
pembentuk gel, pembentuk busa, pengatur elastisitas, penstabil, serta memiliki daya cerna yang
tinggi dan dapat diatur (Yenti et al., 2016; Kumala, 2017). Penggunaan bahan penstabil gelatin
dalam pembuatan es krim akan menghasilkan kualitas es krim yang lebih baik jika
dibandingkan dengan bahan penstabil lainnya (Hartatie, 2011). Sumber gelatin yang utama
berasal dari tulang dan kulit mamalia seperti tulang sapi, kulit sapi, dan kulit babi (Harianto,
2008). Sumber gelatin juga dapat diperoleh dari hewan lainnya, salah satunya ikan.
Ikan dipilih sebagai alternatif sumber dari bahan baku pembuatan gelatin didasarkan pada
produksi perikanan di indonesia yang cukup tinggi. Salah satu sumber protein juga dapat
dihasilkan dari tulang ikan, dimana kandungan protein tulang ikan yang cukup tinggi dapat
dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan gelatin. Maka dari itu, penelitian kali inni
menggunakan bahan dasar tulang ikan tenggiri dalam pembutan gelatin, yang mana hasil
gelatin nantinya akan ditambahkan dalam pembuatan es krim. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menentukan bagaimana hubungan konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri yang tepat
dalam pembuatan es krim agar menghasilkan karakteristik es krim yang baik.
METODE PENELITIAN
Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan April 2019 hingga Mei 2019,
bertempat di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan untuk produksi es krim, pengujian
overrun dan kecepatan leleh, Laboratorium Uji untuk pengujian viskositas, Laboratorium
56
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kimia Pangan untuk produksi gelatin, dan Laboratorium Pendidikan Departemen Teknologi
Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian pembuatan gelatin tulang ikan tenggiri yaitu
pisau, beaker glass, loyang alumunium, alumunium foil, plastik zip-lock, grinder, oven,
nampan, kain saring, trash bag, kertas label, neraca analitik, tissue. Peralatan yang digunakan
dalam penelitian pembuatan es krim yaitu mixer, freezer, lemari es, ice cream maker, kompor,
wadah (plastik dan stainless steel), neraca analitik, gelas ukur 500 ml, sendok kayu, sendok
logam, thermometer, spatula, panci, dan beaker glass 1 L.
Bahan yang digunakan dalam penelitian pembuatan gelatin tulang ikan tenggiri yaitu
ikan tenggiri dengan ukuran konsumsi yakni 20-30 cm yang diperoleh dari pasar Gede Bage,
HCl pro analis (2%), dan aquades. Bahan yang digunakan dalam penelitian pembuatan es krim
yaitu susu sapi segar, susu skim, sukrosa, whipping cream (anchor), gelatin tulang ikan
tenggiri, perisa vanilla.
Tahap Penelitian
1. Pembuatan Gelatin tulang ikan tenggiri
Pembuatan gelatin tulang ikan tenggiri dimulai dari penyiapkan tulang ikan tenggiri
sebanyak 300 gram, lakukan degreasing dengan perebusan menggunakan aquades secukupnya
dengan suhu kurang lebih 80°C selama 30 menit. Setelah selesai proses perebusan dilanjutkan
dengan pembersihan tulang ikan dengan cara pemisahan sisa daging pada tulang ikan. Tulang
ikan yang sudah bersih selanjutnya dilakukan proses hidrolisis atau perendaman dengan
tambahan HCl 2% dengan bandingan bahan : HCl = 1 : 4 yang dilakukan selama 24 jam.
Setelah dilakukan perendaman selama 24 jam, selanjutnya dilakukan pencucian tulang ikan
sebanyak 3 kali hingga tulang ikan bersih tanpa sisa daging yang menempel. Selanjutnya
dilakukan proses ekstraksi tulang ikan yang sudah bersih dengan tambahan aquades dengan
perbandingan aquades : bahan = 3 : 1 dilakukan dengan suhu 80°C selama 5 jam. Tulang ikan
yang sudah di ekstraksi kemudian dilakukan filtrasi menggunakan kain saring untuk
memisahkan residu dan filtratnya. Hasil dari penyaringan langsung dilakukan pengeringan
menggunakan oven vacum dengan suhu 50°C selama 24 jam. Setelah selesai dilanjutkan
57
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dengan penggilingan menggunakan grinder yang nantinya akan langsung menghasilkan tepung
gelatin.
2. Pembuatan Es krim
Pembuatan es krim dimulai dari penyiapan susu sapi segar sebanyak 500 gram, lakukan
pasteurisasi dengan suhu 90°C selama 25 detik. Lalu lakukan pencampuran pertama dengan
gula pasir sebanyak 40 gram dan whipping krim sebanyak 20 gram, aduk campuran dalam
beberapa detik kemudian dilakukan campuran ke dua dengan tambahan gelatin tulang ikan
tenggiri sebanyak 0%;0,1%;0,3%;0,5% dan susu skim sebanyak 50 gram. Adonan yang sudah
tercampur dengan baik selanjutnya dilakukan homogenisasi menggunakan mixer dengan suhu
70°C selama 5 menit. Adonan yang sudah dilakukan homogenisasi kemudian di aging dengan
suhu 4°C selama 24 jam. Setelah dilakukan proses aging adonan selanjutnya dilakukan proses
pengembangan (Whipping) dengan tambahan perisa vanila sebanyak 2 gram dilakukan selama
15 menit. Selanjutnya dilakukan pengadukan menggunakan ice cream maker selama 30 menit,
lalu setelah selesai langsung dilakukan pembekuan dalam freezer dengan suhu -18°C selama
24 jam.
Rancangan Percobaan
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) lalu
dianalisis menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan,
serta menggunakan metode uji ranking. Percobaan terdiri dari 4 perlakuan dengan penambahan
konsentarasi gelatin tulang ikan tenggiri yang berbeda-beda yaitu 0%;0,1%;0,3% dan 0,5%
serta menggunakan 15 panelis yang dianggap sebagai ulangan.
Metode Analisis
Uji Penilaian Organoleptik (Setyaningsih et al., 2010)
Uji organoleptik dilakuakan dengan dua metode, yaitu uji kesukaan dan uji ranking yang
menggunakan 15 orang panelis agak terlatih. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi warna,
flavor, kelembutan, dan after taste. Uji organoleptik kesukaan dilakukan untuk mengetahui
tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap sampel es krim yang diberikan, skala
numerik yang diberikan 1 = Sangat tidak suka, 2 = Tidak suka, 3 = Biasa, 4 = Suka, 5 = Sangat
suka. Sedangkan uji ranking dilakukan untuk mengetahui urutan sampel menurut perbedaan
tingkat mutu sensori. Nilai/rank yang diberikan tidak boleh sama dengan yang lainnya, semakin
58
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
kecil nilai/rank, maka mutu es krim akan semakin baik. Begitu pula sebaliknya, jika semakin
tinggi nilai/rank, maka mutu es krim akan semakin tidak baik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji organoleptik dilakuakan dengan dua metode, yaitu uji kesukaan dan uji ranking yang
menggunakan 15 orang panelis agak terlatih. Uji organoleptik kesukaan dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap sampel es krim yang diberikan.
Sedangkan uji ranking dilakukan untuk mengetahui urutan sampel menurut perbedaan tingkat
mutu sensori. Nilai/rank yang diberikan tidak boleh sama dengan yang lainnya, semakin kecil
nilai/rank, maka mutu es krim akan semakin baik. Begitu pula sebaliknya, jika semakin tinggi
nilai/rank, maka mutu es krim akan semakin tidak baik.
Tabel 1. Kode dan Sampel Es Krim yang Digunakan Uji Ranking
Kode Sampel
301 Es Krim dengan Penambahan Gelatin 0%
312 Es Krim dengan Penambahan Gelatin 0,1%
333 Es Krim dengan Penambahan Gelatin 0,3%
354 Es Krim dengan Penambahan Gelatin 0,5%
Warna
Salah satu aspek yang penting dalam penerimaan konsumen terhadap suatu produk
pangan yaitu warna. Warna suatu produk dapat menjadi ukuran terhadap mutu dari produk
tersebut.
Tabel 2. Hasil Kesukaan Terhadap Warna Es Krim
Perlakuan Konsentrasi Gelatin Tulang Ikan Tenggiri Rata-rata
A (0%) 2,13
B (0,1%) 2,13
C (0,3%) 2,02
D (0,5%) 1,99
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan tidak ditandai dengan huruf kecil menunjukan hasil yang
tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5%.
59
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 3. Hasil Ranking Warna Es Krim
Berdasarkan tabel 2 bahwa tidak ada perbedaan nyata dari setiap perlakuan sehingga
warna dari setiap perlakuan memiliki sifat yang sama. Nilai rata-rata hasil dikesukaan terhadap
warna es krim dapat dilihat bahwa nilai berkisar 1,99 – 2,13. Hasil nilai rata-rata menunjukan
bahwa panelis menyukai warna es krim walaupun tidak terlalu berbeda nyata. Berdasarkan
tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri yang
ditambahkan maka ranking yang didapatkan akan semakin tinggi. Semakin tinggi ranking yang
didapat menunjukan bahwa panelis semakin kurang menyukai warna dari es krim tersebut.
Uji kesukaan dan uji ranking pada warna dapat dilihat bahwa uji kesukaan dan uji ranking
memberikan hasil yang sama, semakin banyaknya penambahan konsentrasi gelatin tulang ikan
tenggiri maka warna yang dihasilkan akan semakin kuning dan warna akan semakin kurang
disukai panelis. Semakin tinggi jumlah nilai kesukaan pada warna yang didapatkan maka
semakin baik kualitas produk. Sedangkan semakin rendah ranking yang diberikan, maka
semakin baik pula kualitas produk.
Warna kekuningan pada es krim disebabkan oleh banyaknya penambahan gelatin tulang
ikan tenggiri. Sifat fisik gelatin sendiri memiliki warna transparan atau warna kuning cerah.
Warna gelatin sendiri dipengaruhi oleh bahan baku gelatin, metode pembuatan gelatin, dan
jumlah ekstraksi gelatin (Parker, 1982). Berdasarkan BSN 06.3735-1995 (1995), warna dari
gelatin tidak berwarna atau kekukingan, sedangkan berdasarkan British Standard : 757 (1975),
warna gelatin kuning pucat. Hal ini yang mempengaruhi warna dari hasil akhir es krim, dimana
semakin tinggi konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri yang ditambahkan maka akan semakin
kuning pula warna es krim yang dihasilkan.
Flavor
Flavor merupakan keseluruhan kesan atau sensasi yang diterima indra manusia
terutama oleh bau dan rasa pada saat minuman atau makanan dikonsumsi (Fardiaz, 2006).
Kode 301 312 333 354
Jumlah 21 25 46 58
Rank 1 2 3
60
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 4. Hasil Kesukaan Terhadap Flavor Es Krim
Perlakuan Konsentrasi Gelatin Tulang Ikan Tenggiri Rata-rata
A (0%) 2,07
B (0,1%) 1,95
C (0,3%) 1,92
D (0,5%) 1,88
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan tidak ditandai dengan huruf kecil menunjukan hasil yang
tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5%.
Tabel 5. Hasil Ranking Flavor Es Krim
Kode 301 312 333 354
Jumlah 23 30 41 54
Rank 1 2 3
Berdasarkan tabel 4 bahwa tidak ada perbedaan nyata dari setiap perlakuan sehingga
flavor dari setiap perlakuan memiliki sifat yang sama. Nilai rata-rata hasil dikesukaan terhadap
flavor es krim dapat dilihat bahwa nilai berkisar 1,88 – 2,07. Hasil nilai rata-rata menunjukan
bahwa panelis menyukai flavor es krim walaupun tidak terlalu berbeda nyata. Berdasarkan
tabel 5 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri yang
ditambahkan maka ranking yang didapatkan akan semakin tinggi. Semakin tinggi ranking yang
didapat menunjukan bahwa panelis semakin kurang menyukai flavor dari es krim tersebut.
Uji kesukaan dan uji ranking pada flavor dapat dilihat bahwa uji kesukaan dan uji ranking
memberikan hasil yang sama, semakin banyaknya penambahan konsentrasi gelatin tulang ikan
tenggiri maka flavor yang dihasilkan akan semakin terasa aroma dan rasa ikannya yang
menyebabkan semakin kurang disukai panelis. Semakin tinggi jumlah nilai kesukaan pada
flavor yang didapatkan maka semakin baik kualitas produk. Sedangkan semakin rendah
ranking yang diberikan, maka semakin baik pula kualitas produk. Flavor juga dapat
dipengaruhi dari kandungan lemak yang ada pada es krim, lemak dalam es krim selain dapat
meningkatkan flavor juga dapat membantu menghasilkan tekstur yang lembut serta dapat
mempengaruhi sifat pelelehan es krim (Violisa dkk., 2012).
61
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kelembutan
Es krim yang bermutu tinggi apabila es krim yang dihasilkan memiliki tekstur yang
lembut akibat kecilnya kristal es yang dihasilkan, kristal es yang kecil dapat disebabkan oleh
tingginya kandungan lemak dalam es krim (Hartatie, 2011).
Tabel 6. Hasil Kesukaan Terhadap Kelembutan Es Krim
Perlakuan Konsentrasi Gelatin Tulang Ikan Tenggiri Rata-rata
A (0%) 1,86 c
B (0,1%) 2,16 bc
C (0,3%) 2,16 b
D (0,5%) 2,24 a
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama menunjukan
hasil yang berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Tabel 7. Hasil Ranking Terhadap Kelembutan Es Krim
Kode 354 333 312 301
Jumlah 23 30 46 51
Rank 1 2 3
Berdasarkan tabel 6 bahwa ada perbedaan nyata dari setiap perlakuan sehingga
kelembutan dari setiap perlakuan memiliki sifat yang berbeda. Nilai rata-rata hasil dikesukaan
terhadap kelembutan es krim dapat dilihat bahwa nilai berkisar 1,86 – 2,24. Hasil nilai rata-
rata menunjukan bahwa panelis menyukai kelembutan es krim yang berbeda nyata.
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri
yang ditambahkan maka ranking yang didapatkan akan semakin rendah. Semakin rendah
ranking yang didapat menunjukan bahwa panelis semakin menyukai kelembutan dari es krim
tersebut.
Uji kesukaan dan uji ranking pada kelembutan dapat dilihat bahwa uji kesukaan dan uji
ranking memberikan hasil yang sama, semakin banyaknya penambahan konsentrasi gelatin
tulang ikan tenggiri maka kelembutan yang dihasilkan akan semakin lembut dan semakin
disukai panelis. Semakin tinggi jumlah nilai kesukaan pada kelembutan yang didapatkan maka
semakin baik kualitas produk. Sedangkan semakin rendah ranking yang diberikan, maka
semakin baik pula kualitas produk.
62
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tekstur es krim sangat dipengaruhi dari bahan penstabil yang digunakan, serta dari
kandungan lemak yang ada dalam es krim. Penggunaan bahan penstabil dalam es krim dapat
membantu mengontrol pembentukan tekstur es krim yang kasar akibat adanya pertumbuhan
kristal es atau dapat menghambat pertumbuhan kristal (Marshall et al., 2000). Tingginya
kandungan lemak dalam es krim dapat membantu menghasilkan kristal es yang lebih kecil
sehingga tekstur yang dihasilkan akan semakin lembut (Hartatie, 2011). Penambahan gula juga
dapat mempegaruhi tekstur es krim, yang mana gula dapat menghalangi pembentukan kristal
es yang besar selama proses pembekuan berlangsung dan akan menghasilkan tesktur es krim
yang lembut (Muse, 2004). Menurut Isna (2008), tekstur halus pada es krim dibentuk oleh
kristal-kristal es yang terdispersi dalam kristal udara sehingga memiliki rasa dan konsistensi
yang khas.
After Taste
After taste merupakan kesan yang masih dapat dirasakan atau ditimbulkan kemudian
setelah rangsangan diberikan, karena beberapa jenis makanan masih menyisakan kesan
walaupun makanan itu sudah ditelan. After taste ini menggambarkan kesan yang lama dapat
dirasakan, walaupun rangsangan sudah tidak diberikan.
Tabel 8. Hasil Kesukaan Terhadap After Taste Es Krim
Perlakuan Konsentrasi Gelatin Tulang Ikan Tenggiri Rata-rata
A (0%) 1,74 b
B (0,1%) 1,85 b
C (0,3%) 1,92 a
D (0,5%) 2,01 a
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama menunjukan
hasil yang berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Tabel 9. Hasil Ranking After Taste Es Krim
Kode 301 312 333 354
Jumlah 22 31 42 55
Rank 1 2 3
Berdasarkan tabel 8 bahwa ada perbedaan nyata dari setiap perlakuan sehingga after taste
dari setiap perlakuan memiliki sifat yang berbeda. Nilai rata-rata hasil dikesukaan terhadap
63
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
after taste es krim dapat dilihat bahwa nilai berkisar 1,74 – 2,01. Hasil nilai rata-rata
menunjukan bahwa panelis menyukai after taste es krim yang berbeda nyata. Berdasarkan tabel
9 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri yang ditambahkan
maka ranking yang didapatkan akan semakin tinggi. Semakin tinggi ranking yang didapat
menunjukan bahwa panelis semakin tidak menyukai after taste dari es krim tersebut.
Uji kesukaan dan uji ranking pada after taste dapat dilihat bahwa uji kesukaan dan uji
ranking memberikan hasil yang berbeda, dimana pada uji kesukaan semakin banyaknya
penambahan konsentrasi gelatin tulang ikan tenggiri maka after taste yang dihasilkan akan
semakin terasa ikan yang teringgal dan semakin disukai panelis. Sedangkan pada uji ranking
dengan semakin banyaknya penambahan gelatin tulang ikan tenggiri akan menghasilkan nilai
atau ranking yang diberikan rendah, semakin rendah ranking maka semakin baik pula kualitas
produk.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian kali ini warna dan flavor es krim tidak berbeda nyata
sedangkan kelembutan dan after taste es krim berbeda nyata tetapi hanya kelembutan es krim
yang semakin tinggi konsentrasi yang tambahkan maka semakin disukai panelis.
DAFTAR PUSTAKA
British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin.
Fardiaz. 2006. Kimia Flavour I. Jurusan Kimia, Fakultas Teknik. Medan. Universitas Sumatera
Utara.
Hartatie, Endang Sri. 2011. “Kajian Formulasi (Bahan Baku, Bahan Pemantap) dan Metode
Pembuatan Terhadap Kualitas Es Krim”. Gamma 7(1): 20-26.
Isna, M. 2008. Pengaruh Jenis Bahan Penstabil dan Konsentrasi Putih Telur Terhadap Karakteristik Es
Krim Jagung Manis (Zea mays saccharata). Tugas Akhir. Program Studi Teknologi Pangan.
Fakultas Teknik. Universitas Pasundan. Bandung.
Marshall, R.T. dan W.S. Arbuckle. 2000. Ice cream. 5 th Edition. Aspen Publisher, Inc.,
Gaithersburg, Maryland.
Mc Sweeney, P.L.H and P.F. Fox. 2009. Advanced Dairy Chemistry Volume 3. Springer. USA.
Hal 100
64
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Muse, M. R. and R. W. Hartel. 2004. Ice Cream Structural Elements that Affect Melting Rate
and Hardness”. Journal of Dairy Science 87(1): 1-10.
Padaga, Masdiana dan Sawitri 2005. Membuat Es Krim Yang Sehat. Trubus Agrisarana,
Surabaya.
Parker AL. 1982. Principle of Biochemicstry. Sparkas: Worth Publisher. Inc. Pelu H, Harwati
S, Chasanah EE. 1998. Ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna melalui proses asam. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. Vol IV(2): 66-74. Jakarta: BPTP.
Setyaningsih, D., Apriyantono, A., Sari, M. P. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan
dan Agro. IPB Press, Bogor.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06.3735, 1995, Mutu dan Cara Uji Gelatin, 1-4, Dewan
Standarnisasi Nasional, Jakarta.
Susrini. 2003. Pengantar Teknologi Pengolahan Susu. Fakultas Peternakan UB. Malang.
Violisa, A., Amat Nyoto, dan Nunung Nurjanah. 2012. “Penggunaan Rumput laut Sebagai
Stabilizer Es Krim Susu Sari Kedelai”. Jurnal Teknologi dan Kejuruan 35(1): 103-114.
Yenti R, Nofiandi D, Fithriyah R. 2016. Pengaruh variasi konsentrasi asam asetat terhadap
kuantitas gelatin dari kulit ikan sepat rawa (trichogaster trichopterus) kering dan
karakterisasinya. J Scientia. 6 (1).
65
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGENDALIAN MUTU AIR MINUM DALAM KEMASAN GELAS
MENGGUNAKAN STATISTICAL QUALITY CONTROL
(Studi Kasus di PT. Muawanah Al Ma’soem, Desa Cimekar, Kecamatan
Cileunyi, Kabupaten Bandung)
Bonie Pamungkas1, M. Ade Moetangad K.2, dan Boy Macklin Pareira P.2
1)Program Studi Teknik Pertanian Universitas Padjadjaran 2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 45363
Email: [email protected]
ABSTRAK
Perkembangan dunia industri bergerak sangat pesat, sehingga persaingan antar
perusahaan yang semakin ketat. Oleh karena itu perusahaan perlu melakukan pengendalian
kualitas untuk mempertahankan kualitas dari produk yang dihasilkan, agar sesuai dengan
spesifikasi produk yang telah ditetapkan sehingga akan menciptakan kepuasan konsumen. PT.
Muawanah Al Ma’soem merupakan perusahaan yang bergerak di industri Air Minum Dalam
Kemasan (AMDK). Perusahaan belum melakukan pengendalian mutu berat produknya, maka
dari itu perlu dilakukan pengendalian mutu untuk menganalisis data produk tidak sesuai yang
dihasilkan dan mengevaluasi hasilnya menggunakan statistical quality control. Tujuan
penelitian ini yaitu mengetahui mutu produk air minum dalam kemasan gelas untuk melakukan
perbaikan pengendalian mutu dari yang sudah ada dan memberikan rekomendasi saran
perbaikan. Metode analisis statistik deskriptif digunakan untuk pengukuran, pengamatan, dan
perhitungan. Peta kendali digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis jumlah produk
yang cacat, hasil menunjukkan bahwa dari 183 pengamatan, 26 data masuk kedalam batas
kontrol dan 157 data diluar batas kontrol. Trend mengalami penurunan kontinu, menunjukan
bahwa berat produk secara perlahan semakin berkurang, hal ini pun menunjukan bahwa mutu
kurang terkendali. Diagram sebab akibat digunakan untuk menganalisis penyebab
ketidaksesuaian produk, didapatkan bahwa faktor manusia, mesin, material, dan lingkungan
merupakan penyebab ketidaksesuaian produk air minum kemasan gelas 210ml merek Al
Ma’soem. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahaan untuk meningkatkan
kualitas produk dan kepuasan konsumen.
Kata Kunci: Pengendalian Mutu, Air Minum Dalam Kemasan, Statistical Quality Control,
Peta Kendali, Diagram Sebab Akibat.
66
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Perkembangan industri di Indonesia sangat pesat, sehingga persaingan antar industri
semakin ketat. Industri air minum dalam kemasan (AMDK) merupakan salah satu industri yang
berkembang pesat di Indonesia salah satu alasannya karena air sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Menurut ketua umum asosiasi perusahaan air minum dalam kemasan Indonesia ada
lebih dari 600 industri AMDK di Indonesia hingga tahun 2016 (Aspadin, 2016).
Diantara produsen air minum dalam kemasan adalah PT. Muawanah Al Ma’soem, yang
terletak di Jalan Raya Cikalang No. 168, Desa Cimekar Kecamatan Cileunyi Kabupaten
Bandung yang memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK). Perusahaan ini
memproduksi air minum kemasan yang berbeda, yaitu Al Masoem, QuaZam, dan Asri. Merk
Al Masoem dan QuaZam memiliki kemasan galon, botol, dan gelas plasik (cup), sedangkan
merk Asri hanya dibuat dalam kemasan gelas plastik (cup) (PT. Muawanah Al Ma’soem,
2015).
Industri manufaktur dituntut untuk menjaga dan memperbaiki kualitas atau mutu air
minum kemasan, agar memenuhi permintaan konsumen. Mutu merupakan faktor performa
yang merepresentasikan seberapa baik produk dalam memenuhi ekspektasi konsumen.
Penerapan pengendalian mutu sangat diperlukan oleh suatu perusahaan untuk menjamin
produk dan jasa yang dihasilkannya selalu memuaskan konsumen secara konsisten, dibutuhkan
peningkatan mutu produk dan efisiensi produksi dengan penerapan pengendalian mutu, untuk
menjamin itu semua, produk AMDK perlu diuji kulaitasnya, salah satu cara pengujiannya
adalah dengan Statistic Quality Control (SQC) atau pengendalian mutu secara statistik untuk
memonitor, mengendalikan, menganalisis, mengelola dan memperbaiki produk serta proses
menggunakan metode-metode statistik (Cawley dan Harrold, 1999).
Manajemen mutu di PT. Muawanah Al’Masoem mengacu pada kaidah-kaidah Islam,
bahwa penakaran sudah jelas diatur dalam agama Islam, namun perusahaan ini belum adanya
pengendalian mutu berat produk. Maka dari itu, peneliti berinsiatif untuk mengangkat hal
tersebut menjadi suatu objek penelitian tugas akhir dengan judul “ Pengendalian Mutu Air
Minum dalam Kemasan Gelas Menggunakan Statistical Quality Control (Studi Kasus di PT.
Muawanah Al Ma’soem, Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung)”
diharapkan dengan penelitian ini dapat meningkatkan mutu produk di PT. Muawanah Al
Ma’soem.
67
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April – Mei 2019. Studi kasus penelitian dilaksanakan
di PT. Muawanah Al Ma’soem, Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung dan
Laboratorium Sistem Manajemen dan Mekanisasi Pertanian Departemen Teknik Pertanian dan
Biosistem Universitas Padjadjaran.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, kamera digital, laptop, microsoft
excel, microsoft viso, dan timbangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
produk akhir air minum dalam kemasan gelas di PT. Muawanah Al Ma’soem.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
statistik, yaitu analisis menggunakan metode statistik dan hasil analisis dijelaskan secara
deskriptif.
Tahap Penelitian
Adapun penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
68
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Tahapan Penelitian
Pengukuran dan Pengambilan Sampel
Pengukuran berat pada AMDK gelas dilakukan dengan cara mengukur berat AMDK
gelas menggunakan timbangan sedangkan penentuan pengambilan sampel menggunakan work
sampling dan teorema normal yaitu minimal sampel sebanyak 30 data. Lembar periksa
digunakan untuk pencatatan saat pengambilan data.
Analisis Data
Analisis menggunakan alat-alat pengendalian mutu yaitu diagram sebar, grafik kendali,
histogram, dan diagram sebab akibat. Langkah-langkah yang dilakukan pada analisis data
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Diagram Sebar (Scatter)
Langkah-langkah membuat diagram sebar yaitu (Poerwanto, 2014):
1. Mengumpulkan data (x,y) serta menyusun data dalam tabel.
69
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
2. Mentukan nilai-nilai maksimum dan minimum untuk kedua variabel x dan y.
Membuat skala pada sumbu horizontal dan vertikal dengan ukuran yang sesuai agar
diagram akan menjadi lebih mudah untuk dibaca.
3. Menebarkan (plotting) data.
b. Grafik Kendali
Langkah-langkah membuat grafik kendali �̅� dan �̅� (Gaspersz, 2001) adalah:
1. Menentukan ukuran contoh (n= 4,5,6,....). Pada penelitian ini digunakan n = 10.
2. Mengumpulkan sampel.
3. Menghitung nilai X dan Range (R) dari tiap sampel.
�̅�ni = ∑𝑋𝑖
𝑛𝑖 (1)
Ri = Xi maks - Xi min (2)
Menghitung nilai rata-rata dari semua X̅ yaitu X̿ yang akan digunakan sebagai
garis tengah grafik (CL), serta nilai rata-rata dari semua R.
�̿� = ∑�̅�
𝑁 (3)
�̅� = ∑𝑅
𝑁 (4)
4. Mengitung batas-batas kendali dari grafik kendali �̿�. Grafik kendali �̿� (batas-
batas kendali 3-sigma):
UCL (Batas pengendalian atas) = �̿� + A2�̅� (5)
CL (Garis pusat) = �̿� (6)
LCL (Batas pengendali bawah) = �̿� – A2�̅� (7)
5. Membuat grafik kendali �̿� serta mengamati apakah data dalam kontrol atau diluar
kontrol.
c. Histogram
Langkah langkah membuat histogram yaitu (Kho, 2016):
1. Mengumpulkan data pengukuran.
2. Menentukan besarnya range.
R = Rmaks - Rmin (8)
3. Menentukan banyak kelas.
k = 1 + 3,3 log (N) (9)
4. Menentukan panjang kelas.
70
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
p = 𝑅
𝑘 (10)
5. Menentukan batas untuk setiap kelas interval.
6. Menentukan nilai tengah setiap kelas interval.
7. Menentukan frekuensi dari setiap kelas interval.
8. Membuat grafik histogram, dengan garis vertikal menggunakan frekuensi dan garis
horizontal menggunakan range.
d. Diagram Sebab Akibat
Diagram sebab akibat digunakan untuk menganalisis persoalan dan faktor-faktor yang
menimbulkan persoalan tersebut. Dalam penelitian ini diagram sebab akibat digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi mutu dari air minum dalam kemasan (AMDK),
yang dianalisis dari hasil brainstorming dengan pihak perusahaan. Penggunaan diagram sebab
akibat dapat mengikuti langkah-langkah berikut (Grant dan Richard, 1994):
1. Mendefinisikan permasalahannya. Langkah ini dapat menggunakan hasil-hasil
histogram, bagan kendali, diagram pareto, dan sebagainya.
2. Menyeleksi metode analisis.
3. Menggambarkan kotak masalah dan panah utama (pusat).
4. Menspesifikasikan kategori utama sumber-sumber yang mungkin menyumbang
terhadap masalah.
5. Mengidentifikasi kemungkinan sebab-sebab masalah.
6. Menganalisis sebab-sebab dan mengambil tindakan korektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mutu Berat Produk Air Minum Dalam Kemasan Gelas di PT. Muawanah Al’Masoem
Lembar Periksa
Lembar periksa atau cheeksheet yaitu formulir yang dirancang untuk mencatat data.
Pencatatan dilakukan saat data diambil, sehingga polanya dapat dilihat dengan mudah. Lembar
periksa membantu analisis menentukan fakta atau pola yang mungkin dapat membantu analisis
selanjutnya. Penelitian dilakukan selama 6 hari dari tanggal 8 April 2019 sampai 13 April 2019,
mulai pukul 08.00 WIB sampai 17.00 WIB. Peneliti mengambil sampel setiap hari, jumlah
total keseluruhan data yaitu sebanyak 1830 data, jumlah pengamatan 183 dengan subgrup 10.
Diagram Sebar
71
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Diagram Sebar
Dapat dilihat pada Gambar 2, bawa trend mengalami penurunan kontinu. Hal tersebut
menunjukan bahwa berat produk kurang terkendali.
Grafik Kendali
Grafik kendali untuk berat pada produk air minum dalam kemasan gelas di PT.
Muawanah Al Ma’soem disajikan pada Gambar 3. Pada grafik kendali dari 1830 data dalam
subgrub 10 sehingga diplotkan 183 data. Sebanyak 1426 data diluar acuan dan sebanyak 404
data didalam acuan
Standar berat produk air minum dalam kemasan gelas di PT. Muawanah Al Ma’soem
yaitu 212,73 gr (210 ml air dan 2,83 gr dari kemasan), sehingga CL acuan yaitu sebesar
212,73, UCL acuan sebesar 214,83 dan LCL acuan sebesar 210,63, dengan standar deviasi
2,097154. Sedangkan dari hasil pengambilan data, UCL yang didapatkan sebesar 217,54,
CL sebesar 215,96, dan LCL yaitu 214,39.
210.00
212.00
214.00
216.00
218.00
220.00
222.00
0 50 100 150 200
Data
Data Linear (Data)
72
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 3. Grafik Kendali X-Bar
Grafik diatas adalah tabulasi keterkendalian produk air minum dalam kemasan gelas di
PT. Muawanah Al Ma’soem. Dari grafik diatas, data banyak diluar batas acuan yaitu sebanyak
157 data dan didalam acuan sebanyak 26 data. Persentase data yang berada dalam batas kontrol
acuan hanya 14,207%, sedangkan persentase data yang diluar kontrol acuan sebesar 85,792%.
Histogram
Histogram dapat dilihat pada Gambar 4, cakupan nilai sebuah perhitungan dan frekuensi
dari setiap nilai yang muncul dapat dilihat. Histogram menunjukkan peristiwa yang paling
sering terjadi dan juga variasi dalam pengukurannya. Rata-rata berat produk AMDK gelas yaitu
sebesar 215,966 dan standar deviasi sebesar 2,09 untuk mengetahui distribusinya. Bentuk
distribusinya dapat terlihat dari data yang telah dipetakan.
210.00
212.00
214.00
216.00
218.00
220.00
222.00
0 50 100 150 200
Data
UCL
CL
LCL
UCL Acuan
CL Acuan
LCL Acuan
73
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 4. Histogram
Distribusi frekuensi dibuat untuk membagi menjadi beberapa kelas, didapatkan nilai
banyak kelas (k) sebanyak 11,76 dibulatkan menjadi 12 kelas, dan panjang kelas (p) sebesar
3,7 dibulatkan menjadi 4. Data terbanyak yaitu pada rentang nilai 217-220 dengan jumlah 938
data, dan rentang 213-216 sebanyak 822 data, rentang 209-212 sebanyak 47 data, rentang 205-
208 sebanyak 8 data, rentang 201-204 sebanyak 1 data, rentang 225-240 tidak ada data, dan
rentang 241-247 sebenyak 2 data.
Rekomendasi Perbaikan Mutu Produk Air Minum Dalam Kemasan Gelas Di PT.
Muawanah Al’Masoem dengan Statistical Quality Control
Diagram Sebab Akibat
Berat Produk AMDK Gelas
Di PT. Muawanah Al Ma’soem
Kurang terkendali
Mesin/Alat
Material
Manusia
Metode
Mesin Filling
Pergrakan mesn kurang halus
Perawatan Mesin
Kurang pengecekan mesinKurangnya kompetensi
Kurang menjalankan SOP
Kurangnya pengawasan
Kualitas bahan baku
cup tidak sesuai
dengan spesifikasi
yang diberikan suplier
Tidak memakai APD
Yang telah disediakan
Lingkungan
Ruang kerja
Kurang luas
Bising
Kurang KonsentrasiPelatihan
Pengalaman
Mesin bekerja tidak optinal
Setingam mesin tidak sempurna
Berat kemasan berbeda
Suplier cup sudah
memiliki standar sendiri
Kurang disiplin
Gambar 5. Diagram Sebab Akibat
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Data
Data
74
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan diagram sebab akibat diatas diketahui bahwa penyebab dari kurang
terkendalinya produk air minum kemasan gelas 210 ml merek Al Ma’soem yaitu karena faktor
manusia, mesin/alat, metode, material, dan lingkungan.
KESIMPULAN
Berat produk air minum dalam kemasan gelas di PT. Muawanah Al Ma’soem kurang
terkendali. Persentase data yang berada dalam batas kontrol acuan hanya 14,207%, sedangkan
persentase data yang diluar kontrol acuan sebesar 85,792%, namun hanya sedikit data yang
berada di bawah lower control limit (LCL), karena perusahaan lebih memilih berat produk
berlebih dari pada kurang. Terdapat beberapa faktor penyebab yang menyebabkan terjadinya
ketidaksesuaian berat produk air minum dalam kemasan gelas 210 ml merek Al Ma’soem yang
dianalisis dengan menggunakan diagram sebab akibat (fishbone), yaitu faktor manusia
(pekerja), mesin/alat, metode, material yang digunakan, dan lingkungan kerja.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya
kepada Bapak Prof. Dr. H. M. Ade Moetangad Kramadibrata., Dipl.-ing., M. Res., Eng. Sc.,
Bapak Dr. Boy Macklin Pareira P., S.T., M.Si., dan pihak PT. Muawanah Al Ma’soem yang
telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aspadin. 2016. Pertumbuhan Industri AMDK. Terdapat pada:
http://www.kemenperin.go.id/artikel/11233/Pertumbuhan-Industri-AMDK-Sulit-
Tercapai (Diakses pada tanggal 23 Maret 2019 pukul 21.42 WIB).
Cawley, dan Harrold. 1999. Statistical Quality Control (SQC). Terdapat pada:
http://esaunggul.ac.id (Diakses pada tanggal 15 Januari 2019 pukul 11.02 WIB).
Gaspersz, V. 2001. ISO 9001 : 2000 Continual Quality Improvement. ISO 9001: 2000
Interpretation, Documentation, Improvement, Self Internal Audit. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Grant, Eugene L., and Richard S. Leavenworth. 1994. Pengendalian Mutu Statistis. Edisi
keenam, Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga.
75
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kho, Budi. 2016. Pengertian Histogram dan Cara Membuatnya. Terdapat pada:
https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-histogram-dan-cara-membuatnya/
(Diakses pada tanggal 23 Maret 2019 pukul 21.54 WIB).
Poerwanto, Hendra. 2014. Referensi Manajemen Kualitas. Terdapat pada:
https://sites.google.com/site/kelolakualitas/ (Diakses pada tanggal 23 Maret 2019
pukul 22.05 WIB).
PT. Muawanah Al’Masoem. 2015. PT. Muawanah Al’Masoem Terdapat pada:
https://www.masoem.com/muawanah/ (Diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 09.45
WIB).
76
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGARUH PENAMBAHAN EM4 DAN MG1 PADA PUPUK ORGANIK
CAIR TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN CAISIM SISTEM
HIDROPONIK DFT
Connie Sidabutar1, Boy Macklin Pareira P 2, Edy Suryadi 2
1Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Padjadjaran 2Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21, Jatinangor, Sumedang 43563
e-Mail: *[email protected]
ABSTRAK
Limbah organik adalah zat sisa yang berasal dari mahkluk hidup dan memiliki kandungan
unsur Karbon yang tinggi seperti limbah sayuran dan kotoran ayam. Limbah organik yang tidak
mengalami pengolahan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan seperti eutrofikasi,
wabah penyakit, dan bau tidak sedap. Pengolahan limbah organik dapat dilakukan dengan cara
pembuatan pupuk organik cair menggunakan mikroorganisme EM4 dan MG1 yang berfungsi
untuk menguraikan bahan organik dan meningkatkan unsur hara pupuk organik. Pupuk organik
cair dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi tanaman Sawi (Brassica juncea L.) pada budidaya
sistem hidroponik DFT (Deep Float Technique). Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui
kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk organik cair dengan penambahan EM4
dan MG1 serta mengetahui pengaruh pertumbuhan tanaman sawi dengan menggunakan pupuk
organik cair. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan
percobaan acak lengkap. Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan dan 3 ulangan. Uji lanjutan pada
penelitian ini menggunakan uji dunnet. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan EM4
menghasilkan unsur Nitrogen, Posfor dan Kalium lebih tinggi dibandingkan dengan MG1
sedangkan hasil pertumbuhan tanaman caisim dengan menggunakan sistem hidroponik DFT
pada perlakuan pemberian nutrisi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan
setiap perlakuan atau tidak berbeda nyata.
Kata Kunci: Limbah Organik, Bioaktivator, Biofertilizer, Hidroponik
PENDAHULUAN
Limbah adalah zat sisa atau buangan yang tidak digunakan lagi dari bagian utama
produksi atau kegiatan manusia dalam skala rumah tangga maupun industri. Limbah dapat
berasal dari bahan organik dan anorganik. Limbah organik adalah limbah yang berasal dari
mahkluk hidup dan dapat diuraikan oleh mikroorganisme (Sunarsi, 2014) sedangkan limbah
anorganik adalah limbah yang sulit dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai.
Jumlah limbah organik lebih besar dibandingkan dengan limbah anorganik. Jumlah limbah
77
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
organik yaitu 65,05% sedangkan limbah anorganik yaitu 43,95% (BPPT dalam Nurjazuli et al.,
2016).
Limbah organik dapat mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan jika tidak
dilakukan pengolahan yang tepat. Limbah organik dapat mengakibatkan eutrofikasi,
menghasilkan bau tidak sedap dan sumber penyakit (Sunarsi, 2014). Salah satu pengolahan
yang dapat dilakukan yaitu dengan pembuatan pupuk organik cair. Pupuk organik adalah pupuk
organik berbentuk cairan yang diolah dari bahan – bahan organik seperti limbah sayuran, buah
– buahan dan kotoran ternak. Kelebihan pupuk organik cair yaitu mengatasi kekurangan unsur
hara bagi tanaman, mudah diserap oleh tanaman, dan penyedia unsur hara yang cepat bagi
tanaman (Nur et al, 2016).
Proses pembuatan pupuk organik cair dapat berasal dari limbah sayuran dan kotoran
ayam. Pembuatan pupuk organik cair dengan menggunakan limbah sayuran saja hanya
menghasilkan kandungan unsur hara yang sedikit (Nurjazuli et al., 2016) maka pembuatan
pupuk organik cair bisa dari limbah sayuran dapat dapat menambahkan limbah kotoran ayam
yang dapat mempercepat proses pengomposan dan meningkatkan kandungan unsur hara yang
terkandung dalam pupuk organik (Rahmah dalam Nurdini et al, 2016). Proses pembuatan
pupuk organik cair juga membutuhkan mikroorganisme pengurai.
Mikroorganisme pengurai berperan untuk menguraikan, meningkatkan kandungan unsur
hara serta mempercepat proses fermentasi pupuk organik. Mikroorganisme yang dapat
dimanfaatkan tergolong ke dalam bioaktivator dan biofertilizer. Contoh bioaktivator yaitu EM4
dan contoh biofertilizer yaitu MG1. Proses fermentasi pupuk organik cair dapat dilakukan
secara anaerob atau tidak ada udara yang masuk selama proses fermentasi berlangsung.
Fermentasi dapat dilakukan selama 7 sampai 30 hari sampai pupuk organik cair yang dibuat
mencapai standar kematangan pupuk organik cair. Standar kematangan pupuk organik cair
yaitu memiliki bau menyengat (busuk atau asam), berbuih, bergelembung, memiliki pH
berkisar antara 5–7,5 dan suhu sekitar 27℃.
Hidroponik adalah budidaya tanaman atau sayuran tanpa menggunakan tanah sebagai
media tanam tetapi dapat memanfaatkan air sebagai media tanam. Pemanfaatan pupuk organik
cair sebagai nutrisi tanaman hidroponik berguna untuk mengurangi pemakaian nutrisi
anorganik. Salah satu tanaman hidroponik yang dapat dimanfaatkan dan banyak dikonsumsi
oleh masyarakat Indonesia adalah tanaman caisim (Brassica juncea L.). Tanaman caisim dapat
tumbuh pada suhu siang hari 21,1℃ dan malam hari yaitu 15,5℃ dan terdapat beberapa jenis
78
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
caisim yang dapat tumbuh pada suhu tinggi dengan suhu 27 ℃ sampai 32℃ serta derajat
keasamaan (pH) yang optimum terhadap pertumbuhan tanaman caisim berkisar antara 6–7 atau
pH netral (Haryanto, E, & T, 2007).
Salah satu sistem hidroponik yang dapat dimanfaatkan yaitu sistem hidroponik DFT
(Deep Float Technique). Keuntungan menggunakan sistem hidroponik DFT yaitu mampu
menyediakan air dan oksigen bagi tanaman dan sangat ideal untuk menanam sayuran (Marhaba
dalam Mansyur dkk, 2014) serta mampu menyedia nutrisi bagi tanaman apabila listrik padam
(Suryanto dkk,2017). Sistem budidaya hidroponik DFT memiliki ciri–ciri yaitu adanya
genangan air pada pipa penanaman dengan ketinggian 4–6 cm (Suryanto dkk, 2017).
ABMix merupakan nutrisi yang biasanya digunakan sebagai nutrisi tanaman pada
budidaya hidroponik. ABMix merupakan pupuk anorganik yang tidak mangandung unsur
kimia yang berbahaya. Untuk mengurangi penggunaan ABMix, maka dapat menggunakan
pupuk organik cair. Hasil fermentasi limbah organik menjadi pupuk organik cair dapat
dimanfaatkan sebagai nutrisi tanaman hidroponik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh pemberian nutrisi pupuk organik cair dengan berbagai mikroorganisme terhadap
pertumbuhan tanaman caisim (Brassica juncea L.) pada sistem hidroponik DFT (Deep Float
Technique). Pengamatan pertumbuhan tanaman caisim terdiri dari tinggi tanaman dan jumlah
daun.
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari limbah sayuran, limbah kotoran
ayam, bioaktivator EM4, biofertilizer MG1, gula, benih caisim, rockwool, dan air. Alat pada
penelitian ini terdiri dari alat kontruksi dan alat ukur. Alat kontruksi yang digunakan pada
penelitian ini adalah drum plastik, plastik hitam, pisau, instalasi hidroponik, pompa air, pipa
PVC, box container, dan UV protect. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari
TDS meter, pH meter, thermometer, penggaris dan alat tulis.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan percobaan yaitu
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Metode eksperimen adalah metode yang digunakan untuk
mencari pengaruh akibat perlakuan yang diberikan oleh objek tertentu terhadap objek lain
dalam kondisi terkendali. Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah rancangan percobaan yang
digunakan pada perlakuan yang homogen dan faktor lain tidak mempengaruhi penelitian yang
dilakukan. Rancangan percobaan RAL pada penelitian ini merupakan rancangan acak lengkap
79
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
non-faktorial dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 4 sampel tanaman.
Adapun perlakuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
P0 = Nutrisi ABMix
P1 = Pupuk Organik Cair + 100mL EM4
P2 = Pupuk Organik Cair + 50mL MG1
P3 = Pupuk Organik Cair + 100mL MG1
P4 = Pupuk Organik Cair + 200mL MG1
Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini yaitu persiapan alat dan bahan,
pembuatan pupuk organik cair, pengujian kandungan unsur hara di laboratorium, pembuatan
instalasi hidroponik, persemaian benih caisim, penanaman bibit tanaman caisim, pengukuran
fisiologis tanaman, dan analisis data. Parameter pengamatan pada pembuatan pupuk organik
cair yaitu suhu dan pH pupuk selama proses fermentasi sedangkan parameter pengukuran untuk
pertumbuhan tanaman terdiri dari tinggi tanaman (cm) dan jumlah daun (helai) yang diukur
setiap hari.
Uji lanjutan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah uji Dunnet. Menurut
Hanafiah (2002), uji Dunnet digunakan untuk percobaan pengujian mutu seperti mutu varietas
mutu pupuk, mutu pestisida, mutu benih, mutu pengolahan tanah, mutu pupuk, dan lain-lain.
Uji Dunnet juga digunakan untuk menguji perlakuan terhadap kontrol sehingga dapat dilihat
perbedaan nyata perlakuan terhadap kontrol (Hanafiah, 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan pupuk organik cair yang berasal dari limbah sayuran dan kotoran ayam
dilakukan dengan cara fermentasi. Fermentasi pupuk organik cair dilakukan selama 30 hari.
Perlakuan yang diberikan pada pembuatan pupuk organik cair terdiri dari pemberian
mikroorganisme bioaktivator EM4 sebanyak 100mL, biofertilizer MG1 sebanyak 50mL,
biofertilizer MG1 sebanyak 100mL, dan biofertilizer MG1 sebanyak 200mL. Fermentasi pupuk
organik cair pada penelitian ini membutuhkan 2kg limbah sayuran dan 600gr limbah kotoran
ayam setiap perlakuan. Pengamatan yang dilakukan untuk pembuatan pupuk organik cair pada
penelitian ini terdiri dari suhu dan pH. Hasil pengamatan proses fermentasi yang telah
dilakukan yaitu:
80
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 1.Hasil Pengamatan Proses Fermentasi
Hasil pengamatan menunjukkan proses fermentasi berhasil dilakukan. Indikator
kematangan pupuk organik cair yaitu pH kemtangan berkisar antara 5 – 7,5 sedangkan kisaran
suhu kematangan pupuk organik cair yaitu 24℃ – 27℃. Setelah proses fermentasi, selanjutnya
dilakukan pengujian laboratorium pada kandungan unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium.
Hasil Uji laboratorium pupuk organik cair setiap perlakuan yaitu:
Tabel 2. Kandungan Unsur Hara Pupuk Organik Cair
No Perlakuan Nitrogen Posfor Kalium
1 Pupuk Organik Cair EM4 (P1) 0,15% 0,54% 0,93%
2 Pupuk Organik Cair MG1 50mL(P2) 0,10% 0,17% 0,78%
3 Pupuk Organik Cair MG1 100mL(P3) 0,11% 0,16% 0,69%
4 Pupuk Oganik Cair MG1 200mL (P4) 0,11% 0,50% 0,75%
Sumber : Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Kandungan unsur hara pupuk organik cair pada setiap perlakuan masih tergolong sedikit
jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/SR.140/10/2011,
kandungan unsur Nitrogen, Posfor dan Kalium berkisar antara 3-6%. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk organik cair yaitu ukuran
bahan, kandungan mikroorganisme pengurai, komposisi bahan, dan nilai C/N bahan (Nur et
al., 2016). Selanjutnya, pupuk organik cair digunakan dan diuji coba sebagai nutrisi untuk
tanaman hidroponik. Adapun perlakuan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pemberian
nutrisi ABMix (P0), pupuk organik cair dengan 100mL EM4 (P1), pupuk organik cair dengan
50mL MG1 (P2), pupuk organik cair dengan 100mL MG1 (P3), dan pupuk organik cair dengan
200mL MG1 (P4) untuk pertumbuhan tanaman caisim dengan sistem hidroponik DFT. Nilai
EC merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman sayuran pada
sistem hidroponik. EC merupakan gambaran banyaknya unsur hara yang terkandung di dalam
nutrisi tanaman. Nilai EC yang dibutuhkan untuk tanaman caisim yaitu berkisar antara 2,2 –
2,5 mS/cm. Namun, untuk mendapatkan nilai EC berkisar antara 2,2 – 2,5 mS/cm pada
Tanggal pH Suhu(℃)
P1 P2 P3 P4 P1 P2 P3 P4
21 Desember 2018 5,7 6,6 6,1 5,4 22,3 20,3 20 19,2
31 Januari 2019 7,1 7 7,2 7,3 24,7 24,1 23,9 24,6
81
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
perlakuan pupuk organik cair membutuhkan POC sebanyak 1L per 20L air atau 50mL/L air
sedangkan perbandingan nutrisi ABMix yang digunakan yaitu 5mL/L A dan 5mL/L B.
Berdasarkan hasil pengukuran tinggi tanaman selama 14 HST, ABMix menghasilkan
tinggi tanaman tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 14,9cm. Hasil
pengamatan tinggi tanaman 14 hari setelah masa pindah tanam dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pengamatan Tinggi Tanaman 14 HST
Perlakuan Rata rata (cm)
P3 13,2
P4 13,5
P2 13,7
P1 14,1
P0 14,9
Pada penelitian ini, pupuk organik cair dengan menggunakan EM4 menghasilkan tinggi
tanaman caisim yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk organik cair menggunakan MG1.
Gambar 15.Grafik Rata-Rata Tinggi Tanaman 14 HST
Grafik 1 menunjukkan tinggi rata – rata tinggi tanaman caisim selama 14 HST. ABMix
menghasilkan tinggi tanaman caisim yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang
lain. Hal ini disebabkan karena ABMix mengandung kandungan unsur hara yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pupuk organik cair. Hasil analisis data sidik ragam tinggi tanaman caisim
selama 14 HST menunjukkan pemberian pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tanaman caisim dengan menggunakan sistem hidroponik..
12
12.5
13
13.5
14
14.5
15
15.5
P0 P1 P2 P3 P4
82
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Jumlah daun terbanyak yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 6 helai pada perlakuan
pupuk organik cair dengan penambahan EM4. Hasil pengamatan jumlah daun tanaman caisim
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengamatan Jumlah Daun Tanaman 14 HST
Perlakuan Rata-rata
P3 5
P2 5
P4 5
P0 5
P1 6
Gambar 16. Grafik Rata Rata Jumlah Daun Tanaman Caisim
Gambar 2 menunjukkan grafik rata-rata jumlah daun tanaman caisim salama 14 HST.
Pertumbuhan jumlah daun tertinggi yaitu pada perlakuan pupuk organik cair dengan
menggunakan EM4 sedangkan pertumbuhan jumlah daun terendah yaitu pada perlakuan pupuk
organik cair dengan menggunakan 100mL MG1. Hasil analisis sidik ragam yang dilakukan
pada jumlah daun tanaman caisim menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara
masing-masing perlakuan atau tidak berbeda nyata.
Secara umum, penggunaan ABMix menghasilkan pertumbuhan dan hasil terbaik
dibandingkan dengan penggunaan pupuk organik cair sebagai nutrisi untuk tanaman
hidroponik. Namun demikian, penggunaan pupuk organik cair dapat dimanfaatkan sebagai
5
5
5
5
5
5
5
5
5
6
6
P3 P2 P4 P0 P1
83
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
nutrisi tanaman hidroponik yang bertujuan untuk mengurangi limbah organik dan mengurangi
pencemaran lingkungan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kandungan unsur hara pada
pupuk organik cair masih tergolong sedikit danpenggunaan pupuk organik cair sebagai
nutrisi hidroponik dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman caisim tetapi tidak
berbeda nyata atau tidak signifikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
memberi tuntunan selama pelaksanaan penelitian ini. Saya mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Boy Macklin dan Bapak Edy Suryadi selaku dosen pembimbing selama
penelitian ini dilaksanakan. Saya mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan
keluarga yang selalu mendukung penulis dalam melakukan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mansyur, A. N., Triyono, S., & Tusi, A. (2014). Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan
Sawi (Brassica Juncea L.) Pada Sistem Hidroponik Dft (Deep Flow Technique). Teknik
Pertanian Lampung, 3(2), 103–110.
Nur, T., Noor, A. R., & Elma, M. (2016). Pembuatan pupuk organik cair dari sampah organik
rumah tangga dengan penambahan bioaktivator em4 (effective microorganisms).
Konversi, 5(2), 5–12. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20527/k.v5i2.1868
Nurdini, L., Amanah, R. D., & Utami, A. N. (2016). Pengolahan Limbah Sayur Kol menjadi
Pupuk Kompos dengan Metode Takakura. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan,” (2014), 1–6.
Nurjazuli, Awiyatul, A., Juliana, C., Pertiwi, K. D., Samosir, K., Prasetyawati, P., & Pertiwi,
S. (2016). Teknologi Pengolahan Sampah Organik menjadi Kompos Cair (Organic Waste
Treatment Technology Toward Liqouid Compost). In Sains dan Teknologi Lingkungan
(pp. 4–7).
Sunarsi, E. (2014). Konsep pengolahan limbah rumah tangga dalam upaya concept of
household waste in environmental pollution. Ilmu Kesehatan Masyarakat, 5(November),
162–167. Retrieved from file:///C:/Users/PENA/Documents/57961-ID-concept-of-
84
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
household-waste-in-environmen.pdf
Suryanto, A., Irawan, B., Setianingsih, C., & Elektro, F. T. (2017). Pengembangan Sistem
Otomatisasi Pengendalian Nutrisi Pada Hidroponik Berbasis Android Development of
Automation System, 4(2), 2213–2219.
85
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KADAR TANIN DAN PROTEIN NASI SORGUM MERAH DENGAN
SUBSTITUSI KACANG KOMAK (Lablab Purpureus (L.) Sweet)
Devi Nurul Fadillah1, Endah Wulandari2, Heni Radiani Arifin2
1)Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
Korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Nasi sorgum memiliki nutrisi yang setara dan dapat dijadikan sebagai makanan pokok
masyarakat Indonesia. Namun permasalahan yang terdapat dalam sorgum yaitu mengandung
zat antinutrisi seperti tanin yang cukup tinggi dan memiliki kualitas protein rendah karena
kurangnya kandungan lisin. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kadar tanin dan kadar
protein nasi sorgum merah dengan penambahan kacang komak. Metode penelitian yang
digunakan yaitu deskriptif dengan 6 perlakuan dua tahapan yaitu dengan penambahan kacang
komak sampai dengan 50% pada beras sorgum dan beras kecambah sorgum. Hasil penelitian
ini menunjukkan kadar tanin nasi sorgum merah yaitu sebesar 0,041% - 0,184% dan kadar
proteinnya sebesar 3,52% - 6,88%, sedangkan kadar tanin nasi kecambah sorgum merah yaitu
sebesar 0,001% - 0,080% dan kadar proteinnya yaitu sebesar 4,33% - 8,03%. Kesimpulan yang
didapatkan yaitu dengan penambahan kacang komak sampai dengan 50% menyebabkan
peningkatan kadar tanin sebesar 3,09% - 76,24% dan protein sebesar 6,96% - 46,98% serta
dengan dilakukannya perkecambahan dapat mengurangi kadar tanin sebesar 49,88% - 98,57%
dan meningkatkan kandungan protein sebesar 1,41% - 19,10% pada nasi sorgum merah.
Kata kunci: nasi sorgum merah, kacang komak, protein, tanin
PENDAHULUAN
Nasi merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Impor beras
di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Untuk mengatasi ketergantungan
terhadap beras salah satu solusi dalam pemenuhan kebutuhan selain beras tersebut yakni
dilakukannya diversifikasi pangan. Tanaman alternatif yang dapat dimanfaatkan seperti
serealia lain yaitu jagung, oat, barley, sorgum, dan yang lainnya (Wariyah et al. 2014). Sorgum
merupakan serealia yang mulai banyak ditanam dan dimanfaatkan di Indonesia khususnya di
Kabupaten Flores yang termasuk wilayah tanah timur dengan kondisi kering. Sorgum termasuk
kedalam tanaman ekonomis yang dapat tubuh pada daerah kering dengan produksi yang tinggi
86
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
(Narsih et al, 2008). Biji sorgum mengandung nilai gizi yang cukup memadai sebagai bahan
pangan dengan kandungan karbohidrat sebesar 83%, lemak 3,5% dan protein 10% (basis
kering) (Mardawati et al, 2010).
Sorgum sebagai bahan pangan dengan kualitas nutrisi yang rendah karena asam amino
lisin yang rendah (Palembe, 2002). Selain itu, kandungan zat antinutrisi yang berupa tanin
dalam sorgum dapat merugikan dimana tanin yang termasuk senyawa polifenolik dapat
membentuk kompleks dengan protein yang sulit untuk diurai menjadi asam amino sehingga
menurunkan mutu dan daya cerna protein (Suarni, 2012). Oleh karena itu, dilakukan cara untuk
mrningkatkan kualitas dari nasi sorgum tersebut yaitu dengan substitusi kacang komak dan
dilakukan proses perkecambahan.
Penambahan kacang komak bertujuan untuk meningkatkan kadar lisin dan protein dari
nasi sorgum merah dimana kandungan lisinnya yaitu 360 mg/ g N (Kay, 1979). Sehingga lisin
dari kacang komak tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas protein dari nasi sorgum
tersebut. Sedangkan proses perkecambahan dilakukan untuk menurunkan kadar tanin yang
terkandung dalam nasi sorgum. Hal yang dapat dilakukan dalam menurunkan kandungan tanin
yang terkandung dalam biji sorgum yaitu dengan cara penyosohan, perendaman,
perkecambahan, fermentasi dan perebusan (Suarni, 2016). Proses perkecambahan pada sorgum
efektif mengurangi kadar tanin dan meningkatkan daya cerna proteinnya (Wijayanti, 2015).
Penelitian ini dilakukan pengujian pada dua parameter yaitu pengujian kadar tanin dan
kadar protein, karena keduanya merupakan parameter yang saling berkaitan dan berpengaruh
terhadap kualitas nasi sorgum merah. Keberadaan tanin tersebut akan mempengaruhi kadar
protein dalam nasi sorgum merah.
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah beras sorgum merah jenis
Kultivar Lokal Bandung, kacang komak, follin denis, akuades, natrium karbonat jenuh, K2SO4
(merck), HgO (merck), H2SO4 (merck), NaOH-Na2S2O3, asam borat 3% (merck), indikator
metil merah dan metil biru, HCL 0,02 N.
87
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu labu ukur (pyrex), rangkaian alat
destilasi, spektrofotometer, batu didih, labu ukur, breaker glass (pyrex), gelas ukur, wadah atau
keranjang, kain hitam, kompor, labu erlenmayer, labu Kjeldahl, buret.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dan dianalisis secara deskriptif. perlakuan
sebanyak enam perlakuan dengan 2 tahapan yaitu beras sorgum merah tanpa kecambah dan
dikecambahkan dan dilakukan ulangan sebanyak dua kali. Beras sorgum merah dilakukan
perlakuan tanpa dan dengan dikecambahkan dengan perbandingan sebagai berikut:
I. Beras Sorgum
A : beras sorgum merah 100% (b/b)
B : beras sorgum merah : kacang komak = 90% : 10% (b/b)
C : beras sorgum merah : kacang komak = 80% : 20% (b/b)
D : beras sorgum merah : kacang komak = 70% : 30% (b/b)
E : beras sorgum merah : kacang komak = 60% : 40% (b/b)
F : beras sorgum merah : kacang komak = 50% : 50% (b/b)
II. Beras Kecambah Sorgum
G : beras kecambah sorgum merah 100% (b/b)
H : beras kecambah sorgum merah : kacang komak = 90% : 10% (b/b)
I : beras kecambah sorgum merah : kacang komak = 80% : 20% (b/b)
J : beras kecambah sorgum merah : kacang komak = 70% : 30% (b/b)
K : beras kecambah sorgum merah : kacang komak = 60% : 40% (b/b)
L : beras kecambah sorgum merah : kacang komak = 50% : 50% (b/b)
Pembuatan Nasi Sorgum Merah Tersubstitusi Kacang Tunggak
Pada prosedur awal yakni persiapan biji sorgum dan kacang komak sesuai dengan
perbandingan jumlah dan menghasilkan campuran sebanyak 10 gram. Sorgum merah dan
kacang komak dicuci selanjutnya dilakukan perendaman selama 12 jam. Setelah itu, penirisan
dan dilakukan proses pengaronan dengan perbandingan air dan beras adalah 1:10 selama 6-15
menit dan waktu pengukusan 20 menit.
Pembuatan Nasi Kecambah Sorgum Merah Tersubstitusi Kacang Komak
Sorgum dicuci dan dilakukan sortasi dengan merendam beras sorgum. Selanjutnya
merendam biji dengan air selama 72 jam dengan suhu kamar. Setelah perendaman selesai
88
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
kemudian ditiriskan. Proses perkecambahan dilakukan dengan menempatkan biji sorgum
diatas keranjang yang dilapisi kain dan ditutup kain hitam selama 12 jam. Setelah itu dilakukan
pencucian dan ditiriskan. Selanjutnya, dilakukan pengeringan dengan suhu 50˚C selama 6 jam.
Kemudian dilakukan penyosohan untuk menghilangkan lapisan luar biji. Selanjutnya
pembuatan nasi sorgum merah kacang komak dilakukan dengan metode aron kukus yaitu
dengan perbandingan air dan beras adalah 1:10 untuk pengaronan selama 6-15 menit dengan
waktu pengukusan 20 menit.
Analisis Kadar Tanin (AOAC, 2006)
Memasukkan sampel sebanyak 2 gram ke erlenmeyer didih, kemudian ditambahkan
akuades sebanyak 50 ml. Sampel yang telah ditambahkan akuades direfluks selama 30 menit
dihitung sejak campuran akuades mendidih. Hasil refluks dipindahkan ke labu ukur 100 ml dan
ditepakan menggunkan akuades. Setelah itu sampel disaring menggunakan ketas saring.
Mengambil filtrat hasil penyaringan sebanyak 1 ml dan memasukkan ke dalam labu ukur 25
ml, lalu ditambahkan follin denis sebanyak 1,25 ml, kemudian inkubasi sampel ditempat yang
gelap selama 3 sampai 5 menit. Kemudian menambahkan natrium karbonat jenuh sebanyak 2,5
ml, lalu tepatkan dengan akuades, sampel dihomogenkan dan menginkubasi ditempat yang
gelap selama 30 menit. Setelah itu, memindahkan hasil inkubasi kedalam kuvet untuk
mengukur absorbansi menggunakan spektrofotometer.
Analisis Kadar Protein (AOAC, 2006)
Sampel dimasukkan sebanyak 0,1 gram, 0,04 gm HgO, 0,9 K2SO4 dan 2 ml asam sulfat
ke dalam labu kjeldahl, kemudian mendesktruksi selama 3 jam. Setelah itu, memasukkan hasil
destruksi, menambahkan NaOH:N2S2O3 dan akuades ke dalam rangkaian alat destilasi,
menyiapkan erlenmeyer yang diisi dengan 15 ml asam borat 3% dan 3 tetes indikator metil biru
yang digunakan untuk menampung hasil destilasi sampai volume mencapai 100 ml.
Selanjutnya, dilakukan proses titrasi hasil destilasi menggunakan HCl 0,02 N sampai warna
berubah dari hijau menjadi keunguan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Tanin
Kadar tanin dalam nasi sorgum mengalami peningkatan setiap substitusi 10% kacang
komak namun mengalami penurunan akibat proses perkecambahan yang digunakan dalam
89
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
pembuatan nasi sorgum, berikut merupakan hasil perhitungan kadar tanin yan terdapat dalam
Gambar 1.
Gambar 1. Kadar Tanin Nasi Sorgum Substitusi Kacang Komak
Keterangan : A, B, C, D, E, F = Nasi Sorgum Kacang Komak
G, H, I, J, K, L = Nasi Kecambah Sorgum Kacang Komak
Berdasarkan Gambar 1 bahwa setiap penambahan kacang komak pada nasi sorgum,
kadar tanin semakin meningkat. Peningkatan kadar tanin pada nasi sorgum dikarenakan berasal
dari bahan baku yaitu sorgum merah dan selain itu tanin dapat berasal dari kacang komak yang
digunakan. Kacang komak menandung tanin sebanyak 0,42% (Osman, 2007). Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashok Kumar et al. (2016) dimana tanin dalam
kacang komak sebanyak 391 mg/100 g. Tanin ini lebih rendah dibandingkan dengan beras
sorgum merah sebesar 0,5% (Mardawati et al, 2010).
Gambar 1 menunjukkan kadar tanin nasi kecambah sorgum lebih rendah dibandingkan
dengan nasi sorgum kacang komak. Kadar tanin nasi sorgum merah yaitu sebesar 0,041% -
0,184% sedangkan kadar tanin nasi kecambah sorgum merah yaitu dapat sebesar 0,001% -
0,080%. Perkecambahan dapat mengurangi kadar tanin sebesar 49,88% - 98,57%. Sesuai
dengan penelitian Nasih (2008) dimana proses perkecambahan dengan perendaman 72 jam dan
perkecambahan 36 jam dapat menurunkan tanin hingga 88%. Selain itu, menurut penelitian
Ojha et al. (2017) kadar tanin pada tepung sorgum dapat direduksi dari 3,1 mg/gram menjadi
2,6 mg/gram setelah sebelumnya dilakukan proses perkecambahan. Hal ini disebabkan karena
tanin larut air akibat adanya proses perendaman sebelum proses perkecambahan. Tanin tersebut
0.0410.045
0.096
0.1680.1780.184
0.0010.008
0.048
0.0810.0860.080
0.000
0.020
0.040
0.060
0.080
0.100
0.120
0.140
0.160
0.180
0.200
A B C D E F G H I J K L
Ka
da
r T
an
in (
%)
Perlakuan
90
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
merupakan golongan senyawa fenol yang akan mengalami penurunan pada biji yang
berkecambah dan dapat sekaligus digunakan sebagai sumber energi untuk perkecambahan
sedangkan garamnya sebagai sumber kation proses perkecambahan (Suarni, 2012).
Kadar Protein
Kadar protein mengalami peningkatan dengan adanya penambahan kacang komak pada
pembuatan nasi sorgum dan dengan adanya proses perkecambahan pun dapat meningkatkan
protein pada nasi sorgum sesuai dengan Gambar 2.
Gambar 2. Kadar Protein Nasi Sorgum Substitusi Kacang Komak
Keterangan : A, B, C, D, E, F = Nasi Sorgum Kacang Komak
G, H, I, J, K, L = Nasi Kecambah Sorgum Kacang Komak
Berdasarkan Gambar 2 bahwa setiap penambahan kacang komak pada nasi sorgum,
kadar protein semakin meningkat. Peningkatan kadar protein pada nasi sorgum dikarenakan
adanya substitusi yang berasal dari kacang komak yang digunakan. Nasi sorgum kacang komak
memiliki kadar proteinnya sebesar 3,52% - 6,88% dan nasi kecambah sorgum kacang komak
kadar proteinnya yaitu sebesar 4,33% - 8,03%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin
tinggi substitusi kacang komak maka kadar protein semakin meningkat, dimana kadar protein
kacang komak sebesar 24,9% (Nafi et al, 2013) sedangkan sorgum sebesar 14,04% (Mardawati
et al, 2010).
Proses perkecambahan akan meningkatkan kadar protein sebesar 1,41% - 19,10% pada
nasi sorgum merah substitusi kacang komak. Peningkatan protein akibat proses
perkecambahan dapat disebabkan karena proses tersebut dapat menghidrolisis enzim protease
3.52
5.174.88
5.836.29
6.88
4.33
5.24
6.03
6.947.42
8.03
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
A B C D E F G H I J K L
Ka
da
r P
rote
in (
%)
Perlakuan
91
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
yang akan memecahkan ikatan peptida protein sehingga menyederhanakan struktur protein
menjadi asam-asam amino (Dewar, 2015). Hal tersebut sesuai dengan penelitian (Saputro et
al, 2015) dalam pembuatan minuman fungsional berbahan dasar kacang komak dimana kadar
protein dari sampel minuman tepung kecambah kacang komak sekitar 23,93% meningkat dari
kandungan awalnya yaitu 21,5%.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan yaitu dengan penambahan kacang komak sampai dengan
50% menyebabkan peningkatan kadar tanin sebesar 3,09% - 76,24% dan protein sebesar 6,96%
- 46,98% serta dengan dilakukannya proses perkecambahan dapat mengurangi kadar tanin
sebesar 49,88% - 98,57% dan makin meningkatkan kandungan protein sebesar 1,41% - 19,10%
pada nasi sorgum merah substitusi kacang komak.
DAFTAR PUSTAKA
Dewar, J., J. R. N. Taylor, dan P. Berjak. Effect of Germination Conditions, with Optimised
Steeping on Sorghum Malt Quality-with Particular Reference to Free Amino Acid. J.
Inst. Brew, Vol. 103, Tahun 1997: 171 – 175.
Kay, E. K. 1979. Food Legumes. Tropical Products Institute. London.
Mardawati, E., E. Sukarminah, T. M. Onggo, Carmencita T. dan R. Indiarto. 2010. Pengolahan
Biji Sorgum menjadi Aneka Produk Pangan. Penerbit Pustaka Giratuna, Bandung.
Nafi Ahmad., Windrati W S., Pamungkas A., Subagio A. 2013. Tepung Kaya Protein dari Koro
Komak Sebagai Bahan Fungsional Berindeks Glisemik Rendah. Jurnal Teknologi dan
Indutri Pangan. Vol. 24. No. 1.
Narsih. Y., dan Harijono. 2008. Studi Lama Perendaman dan Lama Perkecambahan Sorgum
(Sorghum bicolour L. Moench) untuk Menghasilkan Tepung Rendah Tanin dan Fitat.
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 9 No. 3: 173 – 180.
Ojha, P., Adhikari R., Karki, R., Mishra, A., Subedi, U., dan Karki, T.B. 2017. Malting and
Fermentation Effects On Antinutrional Components and Functional Characteristics of
Sorghum Flour. Food Science an Nutrition 6 (1) : 47-53.
Osman M.A. 2007. Change In Nutrient Composition, Trypsin Inhibitor, Phytate, Tannins, and
Protein Digestibility of Dolichos Lablab Seeds [Lablab Putrpuresus (L) Sweet]
Occuring During Germination. Department of Food Science. King Saud University.
Saudi Arabia.
Pelembe, L.A.M., Erasmus, C. dan Taylor, J.R.N. 2002. Development of a Protein Rice
Composite Sorgum-Cowpea Instant Porridge By Extrusion Cooking Process.
Lebensm.-Wiss. U.-Technol 35 (2) : 120-127.
92
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Saputro et al,. 2015. Karakteristik Sifat Fisika dan Kimia Tepung Kecambah Kacang-kacangan
Sebagai Bahan Minuman Fungsional, 4(1). Avaliable online at:
www.ilmupangan.fp.uns.ac.id.
Suarni. 2012. Potensi Sorgum Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Litbang. 7(1).
Suarni. 2016. Peranan Sifat Fisikokimia Sorgum dalam Disversifikasi Pangan dan Industri
Serta Prospek Perkembangannya. Jurnal Litbang. 35(3) : 99-110.
Wariyah Chatarina, Yulianto W., Nugroho B., Santosa A., Slamet A., Astuti K., Dewi Sri H.
2014. Seminar Nasional Ketahanan Pangan 2014. Universitas Mercu Buana
Yogyakarta.
Wijayanti et al.,. 2015. Evaluasi Daya Cerna In vitro Sereal Flake Berbasis Ubi Jalar Oranye
Tersuplementasi Kecambah Kacang Tunggak. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 16 No
1 (31-40).
93
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGARUH APLIKASI OLIGO CHITOSAN TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN BAYAM PADA
SISTEM HIDROPONIK RAKIT APUNG
Dinda Zarra Zenitta Aulya1, Edy Suryadi2, Azri Kusuma Dewi3
1 Program Studi Teknik PertanianUniversitas Padjadjaran
2Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl Raya Bandung-Jatinangor Km.21, Jatinangor, Sumedang, 43563
3Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Lebak Bulus, Jakarta
Selatan.
E-Mail : [email protected]
ABSTRAK
Oligo chitosan adalah chitosan dengan berat molekul rendah yang berasal dari hasil
ekstraksi cangkang kulit udang yang diradiasi dengan menggunakan radiasi gamma.
Kandungan hormon pertumbuhan pada oligo chitosan mampu meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman yang dibudidayakan pada pertanian konvensional. Aplikasi oligo chitosan
pada umumnya dilakukan dengan cara disemprotkan pada tanaman khususnya pada bagian
daun dan batang tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara aplikasi oligo
chitosan yang paling berpengaruh jika diterapkan pada budidaya sistem hidroponik rakit apung
serta dapat menjelaskan pengaruh pengaplikasian oligo chitosan pada pertumbuhan dan
produksi tanaman bayam pada budidaya sistem hidroponik tersebut. Perlakuan pada penelitian
ini yaitu terdapat tiga cara aplikasi oligo chitosan yang berbeda pada sistem hidroponik rakit
apung, diantaranya yaitu disemprotkan pada tanaman (P1), dilarutkan pada larutan nutrisi
hidoponik (P2), kombinasi antara keduanya (P3), dan disertai dengan kontrol (P0). Konsentrasi
oligo chitosan yang diberikan yaitu 100 ppm pada setiap perlakuan. Metode yang digunakan
pada peneltian ini yaitu metode deskriptif komparatif dengan menggunakan data primer yang
selanjutnya dilakukan analisis data secara kuantitatif seperti grafik dan Uji T. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara umum pengaplikasian oligo chitosan memberikan pengaruh pada
pertumbuhan dan produksi tanaman bayam pada sistem hidroponik rakit apung. Perlakuan
pelarutan oligo chitosan ke dalam larutan nutrisi hidroponik (P2) merupakan perlakuan yang
memberikan pengaruh terbaik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot hasil panen
tanaman bayam dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Lebar daun tidak memberikan
pengaruh yang nyata pada setiap perlakuan yang diberikan.
Kata Kunci : Oligo chitosan, pertumbuhan, produksi, hidroponik
94
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk
yang relatif besar. Menurut data Badan Pusat Statistik (2018), jumlah penduduk di Indonesia
setiap tahun bertambah, misalnya pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia sebanyak
255.461.686 jiwa, pada tahun 2016 menjadi 258.704.986 jiwa, dan pada tahun berikutnya yaitu
2017 bertambah kembali menjadi 261.890.872 jiwa. Berdasarkan data peningkatan penduduk
Indonesia tersebut maka kebutuhan akan pangan pun semakin meningkat setiap tahunnya.
Akan tetapi, meningkatnya jumlah penduduk tersebut mengakibatkan lahan pertanian terus
mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan menjadi lahan pemukiman. Hal tersebut harus
dapat diatasi dengan cara terus mengembangkan teknologi-teknologi dibidang pangan
khususnya pada pertanian agar hasil produksi pertanian dapat terus ditingkatkan sehingga dapat
mengimbangi terjadinya peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya.
Salah satu teknologi dibidang pertanian dalam rangka untuk meningkatkan hasil produksi
yaitu dengan cara menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman. ZPT merupakan
suatu senyawa organik non hara (nutrisi) yang aktif dalam konsentrasi rendah untuk dapat
merangsang, menghambat atau merubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara
kuantitatif maupun kualitatif (Wiraatmaja, 2017). Salah satu produk ZPT yang dapat
dimanfaatkan yaitu chitosan.
Chitosan atau biasa dikenal juga dengan nama kitosan merupakan turunan kitin yang
berasal bahan organik hasil ekstraksi cangkang udang. Proses yang dilakukan untuk ekstraksi
cangkang udang menjadi chitosan yaitu dengan melakukan deproteinasi (proses penghilangan
kandungan protein) dan demineralisasi (proses penghilangan kandungan mineral) sehingga
menghasilkan senyawa kitin terlebih dahulu. Chitosan memiliki banyak manfaat diberbagai
bidang yang salah satu diantaranya yaitu bidang pertanian dan pangan. Bidang pertanian dan
pangan manfaat chitosan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikrob,
antijamur, pestisida, herbisida, virusida tanaman, deasidifikasi buah dan sayur, zat percepat
pertumbuhan tanaman, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, dan
lain sebagainya. (Sugita dkk., 2009). Selain itu pemanfaatan chitosan pada pertanian yaitu
dapat meningkatkan hasil yang efektif untuk pertumbuhan dan produktvitas tanaman. Hal
tersebut karena chitosan mengandung hormon-hormon yang dibutuhkan oleh tanaman.
Hormon tersebut diantaranya yaitu Indol Acetic Acid (IAA), kinetin, zeatin, giberelin. (Rekso,
2011).
95
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Salah satu produk chitosan yang telah dikembangkan untuk meningkatkan hasil
pertanian yaitu produk chitosan yang diproduksi oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
Produk tersebut yaitu oligo chitosan atau chitosan iradiasi. Oligo chitosan adalah kandungan
chitosan yang didapatkan dari hasil ekstraksi cangkang kulit udang yang pada proses
pembuatannya melewati tahap radiasi dengan menggunakan radiasi gamma dengan tujuan
untuk mengurangi berat molekul sehingga mempermudah penyerapan chitosan tersebut pada
tanaman. Pengembangan dan uji lapangan terhadap penggunaan oligo chitosan sebagai
promotor pertumbuhan tanaman telah dilakukan pada beberapa tanaman. Misalnya yang
dilakukan oleh Sultana, et al (2015) pada tanaman bayam yang menunjukkan bahwa penerapan
oligo chitosan dengan perendaman benih dan tiga kali penyemprotan daun secara signifikan
meningkatkan hasil bayam dibandingkan dengan kontrol
Aplikasi oligo chitosan pada umumnya dilakukan pada pertanian konvensional dan cara
pemberian oligo chitosan tersebut yaitu dengan menyemprotkannya pada tanaman khususnya
pada bagian daun dan batang tanaman. Berdasarkan keberhasilan penggunaan chitosan dalam
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman pada sistem pertanian konvensional, maka
perlu dilakukannya pengembangan informasi dan inovasi teknologi penggunaan oligo chitosan
pada sistem hidroponik dengan melakukan penelitian mengenai pengaruh pengaplikasian
chitosan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman yang dibudidayakan melalui sistem
hidroponik rakit apung.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2019 sampai dengan Mei 2019. Tempat
dilaksanakannya penelitian ini di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir
Nasional (PAIR BATAN), Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tanaman yang diamati pada
penelitian ini yaitu tanaman bayam dengan beberapa parameter pengukuran pertumbuhan
tanaman yaitu seperti tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, dan bobot basah.
Chitosan yang digunakan yaitu oligo chitosan atau chitosan iradiasi yang dinamakan Fitosan
diproduksi oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode deskriptif analitis
melalui observasi lapangan. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas 4 perlakuan yaitu
diantaranya kontrol (Po) tidak ada pemberian oligo chitosan, perlakuan 1 (P1) yaitu
penyemprotan oligo chitosan 100 ppm pada daun dan batan tanaman bayam, perlakuan 2 (P2)
96
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
yaitu pelarutan oligo chitosan 100 ppm ke dalam larutan nutrisi AB Mix, perlakuan 3 (P3) yaitu
kombinasi penyemprotan oligo chitosan 100 ppm pada daun dan batan tanaman bayam dan
pelarutan oligo chitosan 100 ppm ke dalam larutan nutrisi AB Mix. Pemberian oligo chitosan
dengan melarutkan pada larutan nutrisi diberikan hanya satu kali yaitu bersamaan pada saat
pembuatan larutan nutrisi hidroponik, sedangkan pemberian oligo chitosan dengan
penyemprotan dilakukan seminggu sekali dimulai pada saat tanaman bayam mulai pindah
tanam ke instalasi hidroponik rakit apung selama masa pertumbuhan sampai dengan panen.
Pengukuran parameter tinggi tanaman dan jumlah daun dilakukan setiap tiga hari sekali
sedangkan pada panjang daun, lebar daun, dan bobot basah hanya dilakukan pada saat panen.
Data pengukuran dari beberapa parameter pertumbuhan tanaman bayam yang diamati
akan digambarkan melalui grafik dan dilakukan analisis secara statistik menggunakan program
SPSS. Analisis data tersebut yaitu dengan menggunakan analisi uji T. Sampel pada penelitian
ini yaitu 75 tanaman bayam setiap perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tananaman
Tinggi tanaman pada penelitian ini yang paling rendah dengan rata-rata 20,397 cm
diperoleh dari perlakuan P0 (kontrol) dan tanaman yang paling tinggi dengan rata-rata 23,152
cm yan diperole dari perlakuan P2 (pelarutan oligo chitosan 100 ppm ke dalam larutan nutrisi
AB Mix). pengukuran tinggi pada masa pertumbuhan tanaman bayam mulai dari 15 HST
sampai dengan 27 HST juga menunjukkan bahwa P2 memiliki tinggi tanaman yang lebih
unggul, lalu selanjutnya diikuti oleh tinggi tanaman pada P3.
Gambar 1. Grafik Rata-rata Pertumbuhan Tinggi Tanaman
0
5
10
15
20
25
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Tin
ggi T
anam
an (c
m)
Hari ke-
P0
P1
P2
P3
97
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Keterangan : Po = kontrol/tidak ada pemberian oligo chitosan, P1 = penyemprotan oligo
chitosan 100 ppm pada daun dan batan tanaman bayam, P2 = pelarutan oligo chitosan 100 ppm
ke dalam larutan nutrisi AB Mix, P3 = kombinasi penyemprotan oligo chitosan 100 ppm pada
daun dan batan tanaman bayam dan pelarutan oligo chitosan 100 ppm ke dalam larutan nutrisi
AB Mix.
Berdasarkan tabel hasil analisis uji T menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan pada parameter tinggi tanaman antara perlakuan P0 dengan P2 dan P3, namun tidak
signifikan pada perlakuan P0 dengan perlakuan P1. Indol Acetic Acid (IAA) atau auksin dan
giberalin (GA) merupakan hormon pertumbuhan yang ada di dalam kandungan oligo chitosan.
Menurut Dewi (2008) dalam Anggara dkk. (2016) mengatakan bahwa hormon IAA dapat
memacu pertumbuhan panjang batang tanaman dan dominansi apikal serta hormon GA yang
dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman.
Tabel 1. Hasil Analisis Uji T Tinggi Tanaman
Perbandingan
Antar Perlakuan t hitung t tabel p value α Keterangan
P0 dan P1 -0,057 1,993 0,955 0,05 Tidak Signifikan
P0 dan P2 -5,328 1,993 0 0,05 Signifikan
P0 dan P3 -2,184 1,993 0,031 0,05 Signifikan
P1 dan P2 -5,4 1,993 0 0,05 Signifikan
P1 dan P3 -2,185 1,993 0,03 0,05 Signifikan
P2 dan P3 2,884 1,993 0,005 0,05 Signifikan
Jumlah Daun
Jumlah daun terbanyak pada saat panen (30 HST) yaitu pada perlakuan P2 sedangkan
jumlah daun paling sedikit yaitu pada perlakuan P0 dan P1. Rata-rata jumlah daun pada saat
panen pada perlakuan P2 yaitu sebanyak 15 helai, sedangkan pada perlakuan P0, P1, dan P3
memiliki rata-rata jumlah daun berturut-turut yaitu 13, 13, dan 14 helai daun. Perbedaan jumlah
daun dapat terlihat dengan jelas pada saat usia tanaman bayam 21 HST sampai dengan masa
panen.
98
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Grafik Rata-rata Jumlah Daun
Berdasarkan Tabel 2 di bawah ini yang merupakan hasil analisis uji T untuk pengaruh
aplikasi oligo chitosan terhadap jumlah daun pada tanaman bayam menunjukkan bahwa setiap
perlakuan memberikan hasil yang signifikan. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai t hitung yang
lebih besar dibandingkan dengan t tabel. Hasil analisis uji T pada setiap antar perlakuan
memiliki hasil yang sama-sama signifikan, sehingga dapat disimpulkan pada penelitian ini
pengaplikasian oligo chitosan terhadap pertumbuhan jumlah daun pada tanaman bayam yang
dibudidayakan dengan sistem hidroponik rakit apung memiliki pengaruh yang nyata atau
signifikan. Menurut Tekei et al. (2001) dalam Pratomo dkk. (2016) hormon sitokinin akan
meransang pembelahan sel pada tanaman dan sel-sel tersebut akan berkembang menjadi tunas,
cabang, dan daun.
Tabel 2. Hasil Analisis Uji T Jumlah Daun
Perbandinan
Antar Perlakuan t hitung t tabel p value α Keterangan
P0 dan P1 5,125 1,993 0 0,05 Signifikan
P0 dan P2 -12,036 1,993 0 0,05 Signifikan
P0 dan P3 -5,763 1,993 0 0,05 Signifikan
P1 dan P2 -17,745 1,993 0 0,05 Signifikan
P1 dan P3 -12,089 1,993 0 0,05 Signifikan
P2 dan P3 7,439 1,993 0 0,05 Signifikan
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Jum
lah
Dau
n
Hari ke-
P0
P1
P2
P3
99
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Panjang Daun
Hasil pengukuran pada panjang daun pada tanaman bayam ini menunjukkan bahwa
perlakuan P1 memiliki rata-rata panjang daun paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Hasil rata-rata panjang daun pada perlakuan P1 yaitu sebesar 8,097 cm, sedangkan
pada perlakuan P0, P2, dan P3 memiliki rata-rata jumlah daun berturut-turut yaitu 7,802 cm,
7,811 cm, dan 7,83 cm.
Gambar 3. Grafik Rata-rata Panjang Daun
Tabel 3 di bawah ini menunjukkan bahwa hanya antara perlakuan P1 dengan P0 saja
yang memiliki hasil yang signifiikan, sedangkan pada perlakuan lainnya tidak signifikan. Hasil
signifikan pada analisis uji T antara perlakuan P1 dengan P0 tersebut dilihat dari nilai t hitung
lebih besar dibandingkan dengan nilai t tabel yaitu nilai pada t hitung sebesar 2,207 sedangkan
t tabel sebesar 1,993.
Tabel 3. Hasil Analisis Uji T Panjang Daun
Perbandinan
Antar Perlakuan t hitung t tabel p value α Keterangan
P0 dan P1 -2,207 1,993 0,029 0,05 Signifikan
P0 dan P2 -0,046 1,993 0,963 0,05 Tidak Signifikan
P0 dan P3 -0,203 1,993 0,84 0,05 Tidak Signifikan
P1 dan P2 1,531 1,993 0,128 0,05 Tidak Signifikan
7.650
7.700
7.750
7.800
7.850
7.900
7.950
8.000
8.050
8.100
8.150
P0 P1 P2 P3
Pan
jan
g D
aun
(cm
)
Perlakuan
Panjang Daun
100
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Perbandinan
Antar Perlakuan t hitung t tabel p value α Keterangan
P1 dan P3 1,408 1,993 0,161 0,05 Tidak Signifikan
P2 dan P3 -0,127 1,993 0,899 0,05 Tidak Signifikan
Berdasarkan grafik dan tabel tersebut menunjukkan bahwa aplikasi oligo chitosan yang
paling berpengaruh nyata untuk panjang daun tanaman bayam yang dibudidayakan dengan
sistem hidroponik rakit apung pada penelitian ini yaitu pada perlakuan P1 atau aplikasi oligo
chitosan dengan cara disemprotkan pada tanaman bayam tersebut.
Lebar Daun
Hasil pengukuran lebar daun pada tanaman bayam menunjukkan bahwa perlakuan P1
merupakan perlakuan dengan rata-rata nilai lebar daun paling tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Rata-rata lebar daun pada perlakuan P1 tersebut yaitu sebesar 6,901 cm,
sedangkan pada perlakuan P0, P2, dan P3 memiliki rata-rata jumlah daun berturut-turut yaitu
6,805 cm, 6,813 cm, dan 6,799 cm.
Gambar 4. Grafik Rata-rata Lebar Daun
6.740
6.760
6.780
6.800
6.820
6.840
6.860
6.880
6.900
6.920
P0 P1 P2 P3
Leb
ar D
aun
(cm
)
Perlakuan
Lebar Daun
101
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 4. Hasil Analisis Uji T Lebar Daun
Perbandinan
Antar Perlakuan t hitung t tabel p value α Keterangan
P0 dan P1 -0,992 1,993 0,323 0,05 Tidak Signifikan
P0 dan P2 -0,058 1,993 0,954 0,05 Tidak Signifikan
P0 dan P3 0,47 1,993 0,963 0,05 Tidak Signifikan
P1 dan P2 0,687 1,993 0,493 0,05 Tidak Signifikan
P1 dan P3 0,785 1,993 0,434 0,05 Tidak Signifikan
P2 dan P3 0,087 1,993 0,931 0,05 Tidak Signifikan
Tabel 4 menunjukkan bahwa aplikasi oligo chitosan terhadap lebar daun pada penelitian
ini tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan pada setiap perlakuannya. Hal tersebut dapat
dilihat pada nilai p value pada setiap perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan nilai α atau
nilai t hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai t tabel sehingga hasil uji T tersebut tidak
signifikan. Menurut Salibury dan Ross (1992) dalam Suptijah dkk. (2010) panjang dan lebar
daun dipengaruhi oleh aktifitas hormon sitokinin. Aktifitas hormon sitokinin yang meningkat
akan memperbesar luas bidang permukaan daun atau panjang dan lebar daun.
Bobot Basah
Hasil pengukuran bobot basah menunjukkan bahwa perlakuan P2 merupakan perlakuan
yang menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Rata-rata bobot basah
tanaman bayam pada perlakuan P2 yaitu sebesar 31,8373 gr. Bobot basah tanaman bayam
setelah perlakuan P2 yaitu pada perlakuan P3 dengan rata-rata bobot basah tanaman bayam
sebesar 29,9 gr. Bobot selanjutnya yaitu pada perlakuan P1 dan P0 berturut-turut yaitu 22,12 gr
dan 21,73 gr.
102
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 5. Grafik Rata-rata Bobot Basah Tanaman
Tabel 5 dibawah ini merupakan hasil analisis uji T yang menunjukkan bahwa hasil yang
signifikan yaitu antara perlakuan P0 dengan P2, P0 dengan P3, P1 dengan P2, P1 dengan P3 serta
P2 dengan P3. Hasil analisis uji T yang menunjukkan tidak signifikan terjadi antara perlakuan
P0 dengan P1 begitu juga sebaliknya dengan nilai t hitung yang lebih kecil dibandingkan dengan
t tabel yaitu nilai t hitung sebesar 0,561 sedangkan nilai t tabel sebesar 1,933. Pengaruh tersebut
dapat terjadi karena kandungan hormon giberalin yang terkandung di dalam oligo chitosan.
Menurut Syamsia dan Maritna (2016), giberalin dalam tumbuhan mempengaruhi pembesaran
sel (peningkatan ukuran) dan pembelahan sel (peningkatan jumlah). Adanya pembesaran sel
tersebut mengakibatkan sel baru akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan sel induk.
Pertambahan ukuran sel ini menghasilkan pertambahan ukuran jaringan, organ, dan akhirnya
meningkatkan bagian-bagian tanaman secara keseluruhan maupun pada berat atau bobot
tanaman tersebut.
0
5
10
15
20
25
30
35
P0 P1 P2 P3
Ber
at T
anam
an (
gr)
Perlakuan
Berat Tanaman
103
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 5. Hasil Analisis Uji T Bobot Basah Tanaman
Perbandinan
Antar Perlakuan t hitung p value α Keterangan
P0 dan P1 -0,561 0,575 0,05 Tidak Signifikan
P0 dan P2 -11,401 0 0,05 Signifikan
P0 dan P3 -11,915 0 0,05 Signifikan
P1 dan P2 -11,137 0 0,05 Signifikan
P1 dan P3 -11,651 0 0,05 Signifikan
P2 dan P3 2,104 0,037 0,05 Signifikan
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa aplikasi oligo citosan
berpengaruh pada pertumbuan tanaman bayam yang dibudidayakan dengan sistem hidroponik
rakit apung pada setiap perlakuan dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Perlakuan P2 atau
perlakuan pelarutan oligo chitosan ke dalam larutan nutrisi hidroponik memberikan pengaruh
yang lebih optimal dibandingkan perlakuan lainnya dan memberkan hasil analisis statistika
yang signifikan pada tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot basah tanaman. Perlakuan P1 atau
perlakuan penyemprotan oligo chitosan pada daun dan batang tanaman bayam memberikan
pengaruh yang lebih optimal pada parameter panjang dan lebar daun, namun hasil analisis
statistik pada lebar daun tidak memberikan pengaruh yang nyata pada setiap perlakuan yang
diberikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan
Tenaga Nuklir Nasional (PAIR BATAN) yang telah memfasilitasi, mendanai, dan membantu
pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, R., Sularno, dan Junaidi. 2016. Pengaruh Pemberian Oligo Kitosan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Srikandi Putih-1. Jurnal Agrosains dan
Teknologi 1 (2).
104
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Statistika Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia
2018. BPS Jakarta. Jakarta.
Pratomo, B., C. Hanum, dan L.A.P. Putri. 2016. Pertumbuhan Okulasi Tanaman Karet (Havea
brassiliensis Muell arg.) dengan tinggi penyerongan batang bawah dan
Benzilaminopurin (BAP) pada pembibitan polibe. Jurnal Pertanian Tropik 3 (2) : 119
– 123.
Rekso, G.T. 2011. The Development and Field Test of Radiation Degraded Chitosan as Plant
Growth Promoter. Centre for Research and Development of Isotopes and Radiation
Technology. National Nuclear Energy Agency. Jakarta.
Sultana, S., N.C. Dafader, Md.H. Kabir, F. Khatun, M. Rahman, dan J. Alam. 2015.
Application of Oligo-Chitosan in Leaf Vegetable (Spinach) Production. Journal
Nuclear Science and Applications 24 ( 1 dan 2).
Sugita, P., T. Wukisari, A. Sjahriza, dan D. Wahyono. (2009). Kitosan : Sumber Biomaterial
Masa Depan. IPB Press. Bogor.
Suptijahh, P., A.M. Jacob, dan S. Mursid. 2010. Teknik Peranan Kitosan dalam Peningkatan
Pertumbuhan Tomat (Lycopersicum esculentum) Selama Fase Vegetatif. Jurnal
Sumberdaya Perairan 4 (1) : 24-29.
Syamsiah, M. dan G. Marlina. 2016. Respon Pertumbuhan Tanaman Selada (Lactuca sativa
L.) Varietas kriebo terhadap Konsentrasi Asam Giberalin. Journal of Agroscience 6
(2) : 55-60.
Wiraatmaja, W. 2017. Zat Pengatur Tumbuh Auksin dan Cara Penggunaannya Dalam Bidang
Pertanian. Universitas Undayana. Bali
105
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
UJI EFEKTIVITAS ANTIKAPANG EKSTRAK KULIT BIJI KAKAO
(Theobroma cacao, L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BERBAGAI
JENIS KHAMIR
Egi Muhammad Fahmi1, Indira Lanti Kayaputri2, Souvia Rahimah2
1)Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran 2)Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
Email : [email protected]
ABSTRAK
Kulit biji kakao merupakan hasil limbah dari pengolahan biji kakao yang
pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Kulit biji kakao mengandung komponen
polifenol yang berpotensi sebagai antimikroba untuk menghambat pertumbuhan berbagai jenis
mikroorganisme diantaranya khamir patogen. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
konsentrasi ekstrak kulit biji kakao yang efektif menghambat terhadap pertumbuhan Candida
albicans, Saccharomyces cerevisiae dan Candida krusei. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode eksperimen yang dilanjutkan dengan analisis deskriptif dengan 7 perlakuan
yang diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan terdiri konsentrasi ekstrak kulit biji kakao yaitu 10%,
20%, 30%, 40%, 50%, 60%, dan 70% untuk metode difusi. Sementara itu metode dilusi
menggunakan konsentrasi 100%, 50%, 25%, 12.50%, 6.25%, 3.13%, 1.56%, 0.78%, dan
0.39% didapatkan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan nilai Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM). Hasil penelitian menunjukan efektivitas ekstrak kulit biji kakao metode
difusi dengan diameter zona hambat terhadap Candida albicans rata - rata sebesar 6.92 mm
(zona sedang) pada konsentrasi 60%, Saccharomyces cerevisiae rata - rata sebesar 6.75 mm
(zona sedang) pada konsentrasi 70%, dan Candida krusei rata - rata sebesar 4.44 mm (zona
lemah) pada konsentrasi 70%. Sedangkan pada nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
adalah 25% dan nilai Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) adalah 50%.
Kata Kunci : antimikroba, difusi, dilusi, kulit biji kakao
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu komoditas ekspor terpenting di
Indonesia dengan nilai jual yang cukup tinggi dan mudah dipasarkan (Kuswinanti, 2005). Pada
umumnya industri mengolah kakao menjadi cokelat, menghasilkan limbah kulit biji kakao
yang cukup banyak mencapai sekitar 10% dari berat kakao (Harsini & Susilowati, 2010).
Sejauh ini limbah kulit biji kakao hanya sebagai pakan ternak dan kompos (Alemawor et al.,
2009).
106
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Oleh karena itu perlu dikembangkan upaya untuk memanfaatkan limbah kulit biji kakao,
mengingat kulit biji kakao mengandung komponen antimikroba yaitu theobromin, katekin dan
polifenol dengan total fenolik sebesar 5,78% (Felita, 2012; Lecumberri et al., 2007). Senyawa
polifenol mengandung flavonoid dan tannin yang dapat berfungsi sebagai antimikroba (Jawetz,
2007).
Khamir merupakan jenis fungi uniseluler yang sering digunakan manusia dalam
industri pangan dan bersifat membantu proses pengolahan pangan (Ni Ketut, 2010). Khamir
mempunyai kegiatan yang penting pada metabolisme asam sehingga menaikkan pH, dan
mempunyai aktivitas biokimia yang menghasilkan efek terhadap produk makanan tersebut
(Heard & Fleet, 1999). Namun disisi lain, hasil aktivitas biokimia dari khamir dapat
menimbulkan efek negatif bagi kesehatan konsumen bila ditinjau dari segi keamanan salah
satunya Candida albicans, Candida krusei dan Saccharomyces cerevisiae
Candida albicans merupakan spesies jamur patogen dari golongan Deuteromycota,
penyebab utama infeksi atau peradangan pada manusia (Fridayanti et al, 2014). C. albicans
dapat tumbuh baik pada biji-bijian yang mengandung karbohidrat (Atlas, 2004). Salah satunya
biji kluwih merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai sayuran mengandung
karbohidrat yang tinggi sebanyak 52,7 gr dan C. albicans dapat tumbuh sebanyak 24 koloni
pada biji kluwih (Jiwintarum, 2017; Pitojo, 2005).
Candida krusei merupakan salah satu fungi yang memiliki genus sama dengan C.
albicans. Menurut Nisa (2016) bahwa C. krusei terindektifikasi dapat tumbuh pada proses
fermentasi tempe yang disebabkan penanganan proses fermentasi tempe tersebut tidak higienis.
Hal ini dapat membahayakan bagi konsumen karena dapat mengakibatkan infeksi C. krusei.
Terkait infeksi dari C. krusei telah menjadi perhatian utama tingginya angka kematian hingga
60% karena tingkat ketahanan terhadap obat fluconazole (FLC) dan kurang rentan terhadap
amphotericin B (AMB) serta flucytosine (Kang, et al, 2010; Munoz, et al, 2005).
Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme penghasil amilase yang cukup
berpotensi, selain bakteri dan kapang. Namun beberapa produk pangan dapat mengalami
kerusakan oleh S. cerevisiae yaitu gula aren yang mengakibatkan gula aren menjadi asam,
berbuih berwarna putih dan berlendir (Lubis dkk, 2013; Rahman dkk, 2004). Selain itu,
kolonisasi S. cerevisiae bisa berada pada saluran pernafasan, usus dan saluran kandung kemih
pada pasien yang terkena penyakit menahun, manula dan kelompok risk-factor lainnya. Infeksi
107
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
S. cerevisiae ini bisa mengakibatkan kematian karena invasi jamur ( hingga ke peredaran darah,
jantung, paru-paru, hati dan selaput usus (Aucott et al, 1990; Bassetti et al, 1998).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui efektivitas antikapang
ekstrak kulit biji kakao terhadap pertumbuhan koloni C. albicans, S. cerevisiae dan C. krusei
sehingga kulit biji kakao tidak hanya sebagai limbah.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen yang dilanjutkan dengan
analisis deskriptif untuk mengetahui konsentrasi mana yang paling efektif untuk menghambat
pertumbuhan khamir patogen yaitu Candida albicans, Candida krusei dan Saccharomyces
cerevisiae. Metode ini dilakukan mulai dari ekstrak kulit biji kakao etanol 70% dari berbagai
konsentrasi. Konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, dan 70% untuk metode difusi.
Sementara itu metode dilusi menggunakan konsentrasi 100%, 50%, 25%, 12.50%, 6.25%,
3.13%, 1.56%, 0.78%, dan 0.39% didapatkan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan
nilai Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah grinder, pengayak 80 mesh, rotary
evaporator, filter vacuum, cawan petri, spatula, jarum ose, bunsen, tabung reaksi, rak tabung,
labu ukur, labu erlenmeyer, gelas kimia, alumunium foil, mikropipet, kassa, kapas, kertas
saring, oven, inkubator, corong pipet.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah kulit biji kakao kering
(Theobroma cacao L.) tipe Forestero yang diperoleh dari perkebunan swasta PP Bajabang
Indonesia, Cipendeuy, Jawa Barat, kultur murni C. albicans diperoleh dari koleksi
Laboratorium Mikrobiologi Farmasi, ITB., kultur murni S. cerevisiae dan C.krusei diperoleh
dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi Universitas Padjadjaran., aquades, etanol 70%,
spirtus, alkohol, kasa, kapas, NaCl fis 0,85%, media PDA (Potatoes Dextrose Agar) dan media
PDB (Potatoes Dextrose Broth).
108
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pembuatan Ekstrak Kulit Biji Kakao
Kulit biji kakao dihaluskan menggunakan grinder hingga terbentuk serbuk dan diayak
menggunakan ayakan 80 mesh. Serbuk tersebut kemudian ditimbang 200 g lalu dimasukkan
ke dalam jar yang ditutupi alumunium foil. Pelarut yaitu etanol 70% ditambahkan sebanyak
800 ml, sehingga rasio antara serbuk dan pelarut 1:5, kemudian dilakukan maserasi selama 24
jam pada suhu ruang dalam keadaan tertutup dan terhindari dari cahaya langsung. Filtrat
dipisahkan dari residunya menggunakan vakum filter, lalu dipekatkan dengan menggunakan
rotary evaporator pada suhu 45oC.
Pengujian Aktivitas Antikapang Ekstrak Kulit Biji kakao Metode Difusi Sumuran
Metode difusi dengan menggunakan lubang atau sumuran dilakukan dengan cara dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan setiap lubang sumur
tersebut diberi konsentrasi ekstrak yang akan diuji.
Pengujian Aktivitas Antikapang Ekstrak Kulit Biji kakao Metode Dilusi
Metode dilusi atau uji seri pengenceran dilakukan dengan cara sejumlah zat antimikroba
dimasukkan ke dalam medium padat dan cair. Medium akhirnya diinokulasikan dengan bakteri
yang diuji dan diinkubasi. Tujian akhir dari metode dilusi adalah untuk mengetahui seberapa
banyak jumlah zat antimikroba yang diperoleh untuk menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri yang diuji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Antikapang Ekstrak Kulit Biji kakao Metode Difusi
Tabel 1. Data Rata-rata Zona Bening Khamir Menggunakan Metode Difusi Sumuran
Konsentrasi C. albicans S. cerevisiae C. krusei
R (mm) R (mm) R (mm)
10% 3.03 ± 0.26 4.58 ± 0.21 2.26 ± 0.42
20% 4.69 ± 1.02 4.64 ± 0.58 2.37 ± 0.2
30% 5.01 ± 0.75 4.91 ± 0.92 2.62 ± 1.01
40% 5.41 ± 1.05 4.96 ± 0.92 2.86 ± 0.19
109
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
50% 5.63 ± 0.35 5.14 ± 1.05 3.8 ± 0.46
60% 6.11 ± 1.32 6.75 ± 0.69 4.37 ± 0.95
70% 6.92 ± 1.02 6.75 ± 0.85 4.44 ± 0.34
Keterangan R : Rata – rata zona bening dari tiap perlakuan
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1. menunjukkan daya hambat dari kulit biji
kakao terhadap pertumbuhan C. albicans menghasilkan areal bening dengan range 3.03 - 6.92
mm (lemah - sedang), S. cerevisiae dengan range 4.58 - 6.75 mm (lemah - sedang), dan C.
krusei dengan range 2.26 – 4.44 mm (lemah - sedang). Nilai tersebut menurut Davis dan Stout
(1971) bahwa areal bening pada range <5 mm dikategorikan lemah dan 6 - 10 mm
dikategorikan sedang. Faktor – faktor yang mempengaruhi timbulnya zona hambat
diantaranya, yaitu kemampuan difusi bahan antimikroba ke dalam media dan interaksinya
dengan mikroba diuji, jumlah mikroba yang diujikan, kecepatan tumbuh mikroba uji, dan
tingkat sensitivitas mikroba terhadap zat antimikroba (Cappucino dan Sherman, 1996).
Gambar 1. Uji Efektivitas Antikapang Ekstrak Kulit Biji Kakao Metode Difusi
(a : C. albicans, b : C. krusei, c : S. cerevisiae)
Gambar 1 (a) menunjukkan konsentrasi 70% dengan zona hambat rata-rata sebesar 6.92
mm yang termasuk zona hambat sedang. Gambar 1 (b) menunjukkan konsentrasi 70% dengan
zona hambat rata-rata sebesar 4.44 mm yang termasuk zona hambat lemah. Gambar 1 (c)
menunjukkan konsentrasi 60% dengan zona hambat rata-rata sebesar 6.75 mm yang termasuk
zona hambat sedang.
Ekstrak kulit biji kakao memiliki kemampuan daya hambat yang lebih rendah terhadap
khamir C. krusei dibandingkan dengan C. albicans dan S. Cerevisiae. Perbedaan penghambatan
yang dihasilkan disebabkan beberapa faktor, diantaranya mekanisme kerja daya hambat
pertumbuhan khamir berbeda salah satunya C. krusei memiliki kitin yang lebih besar yaitu
8.2% dibandingkan dengan C. albicans sebesar 2% dan S. cerevisiae sebesar 1-2% (Navarro et
a b c
110
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
al., 2019; Yiannikouris et al., 2006). Kandungan kitin dari C. krusei diduga dapat menahan
penetrasi senyawa antimikroba dibandingkan dengan C. albicans dan S. cerevisiae. Menurut
Setiabudy (2007) bahwa suatu bahan antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat
apabila kadar antimikroba ditingkatkan melebihi kadar hambat minimumnya. Sehingga ekstrak
kulit biji kakao dapat menghasilkan zona hambat yang lebih besar apabila kadarnya
ditingkatkan melebihi kadar hambat minimumnya (Setiabudy, 2007).
Uji Antikapang Ekstrak Kulit Biji kakao Metode Dilusi
Tabel 2. Data Rata-rata Zona Bening Khamir Menggunakan Metode Dilusi
Konsentra
si
C. albicans S. cerevisiae C. krusei
KHM KBM KHM KBM KHM KBM
U
1
U
2
U
3 U1 U2 U3
U
1
U
2
U
3 U1 U2 U3
U
1
U
2
U
3 U1 U2 U3
Kontrol (-) - - - - - - - - - - - - - - - - - -
100% - - - - - - - - - - - - - - - - - -
50% - - - - + - - - - - - - - - - - - -
25% - - - + + + - - - + + + - - - + + +
12.50% - + + + + + - + + + + + - + + + + +
6.25% + + + + + + + + + + + + + + + + + +
3.13% + + + + + + + + + + + + + + + + + +
1.56% + + + + + + + + + + + + + + + + + +
0.78% + + + + + + + + + + + + + + + + + +
0.39% + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Kontrol(+) + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Keterangan U : Ulangan dari tiap perlakuan
Tabel 2. menunjukkan kemampuan ekstrak kulit biji kakao dapat bersifat bakteriostatik
(kemampuan menghambat) dan bakterisidal (kemampuan membunuh). Nilai KHM adalah
konsentrasi terendah dari larutan uji antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan
jamur dengan tidak adanya kekeruhan (Fatisa, 2013). Sedangkan konsentrasi terendah yang
mampu membunuh jamur ditunjukkan dengan tidak adanya koloni jamur yang tumbuh setelah
(Pratiwi, 2008).
111
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Nilai KHM untuk C. albicans, S.cerevisieae dan C. krusei pada konsentrasi 25%, jika
dibandingkan dengan konsentrasi 0.39% - 12.50% yang kekeruhannya mendekati tabung
kontrol positif yang berisi suspensi khamir uji yang setara dengan kekeruhan McFarland 0.5.
Hasil pengamatan secara visual menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit biji
kakao, maka semakin jernih larutan atau tidak adanya kekeruhan di dalam tabung. Selanjutnya,
semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin pekat juga warna dari larutan yang terdapat
dalam tabung. Sedangkan nilai KBM untuk S.cerevisieae konsentrasi 25%, sedangkan untuk
C. albicans dan C. krusei konsetrasi 50%.
Aktivitas antimikroba pada ekstrak kulit biji disebabkan adanya kandungan flavonoid,
katekin dan tannin. Flavonoid dapat membunuh fungi dengan cara menurunkan tegangan
permukaan sel fungi yang mengakibatkan meningkatnya permeabilitas sel membrane sehingga
dapat mengakibatkan kerusakan sel fungi (Angelia, 2012). Katekin adalah senyawa polifenol
alami yang merupakan metabolit sekunder dan termasuk dalam penyusun golongan tannin
(Hastuti, 2010). Katekin merupakan senyawa fenol yang dapat berikatan dengan protein
melalui ikatan hydrogen sehingga dapat mengakibatkan struktur dinding sel dan membrane
sitoplasma bakteri yang mengandung protein dan lemak menjadi ketidakstabilan dinding sel
dan protein dari sel bakteri menjadi terganggu.
KESIMPULAN
Jenis khamir uji yang digunakan berpengaruh pada diameter zona hambat yang
dihasilkan. Pengujian dengan metode difusi sumuran didapatkan aktivitas penghambatan
paling efektif terhadap Candida albicans rata - rata 6.92 mm (sensitifitas sedang),
Saccharomycess cerevisiae rata - rata 6.75 mm (sesnitifitas sedang) dan Candida krusei rata -
rata 4.44 mm (sensitifitas lemah). Pengujian dengan metode dilusi cair didapatkan nilai KHM
dari Candida albicans, Saccharomycess dan Candida krusei pada konsentrasi 25%. Sedangkan
nilai KBM dari Candida albicans, Saccharomycess dan Candida krusei pada konsentrasi 50%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada PP Bajabang Indonesia serta Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini.
112
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
DAFTAR PUSTAKA
Alemawor, F., Victoria, F., Dzogbegfial, P., Oddoye, E.O.K. & Oldham, J.H. 2009. Effect of
Pleurotus Ostrectus Fermentation on Cocoa Pod Husk Composition Influence of
Fermentation Period & Mn2+ Supplementation on The Fermentation Process. African
Journal of Biotechnology,8 (9), 1950-1956.
Angelia, R. 2012. Ekstrak Biji Kakao Sebagai Pembersih Gigi Tiruan Akrilik Terhadap Jumlah
Koloni Candida Albicans. Universitas Airlangga.
Atlas, R.M. 2004. Handbook of MicrobiologicalMedia Fourth Edition Volume 1. RCRPress.
United States of America.
Aucott, J. N., Fayen, J., Grossnicklas, H., Morrissey, A., Lederman, M. M., & Salata, R. A.
1990. Invasive Infection with Saccharomyces cerevisiae: Report of Three Cases and
Review. Clinical Infectious Diseases, 12(3), 406-411.
Bassetti, S., Frei, R., & Zimmerli, W. 1998. Fungemia with Saccharomyces cerevisiae After
Treatment with Saccharomyces boulardii. The American journal of medicine, 105(1),
71-72.
Cappuccino, J.G. and Sherman, N., 1996. Microbiology: a laboratory manual.
Davis, W. W. dan T. R. Stout. 1971.Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic Assay.
Microbiology 22: 659-665.
Fatisa, Y., 2013. Daya Antibakteri Estrak Kulit Dan Biji Buah Pulasan (Nephelium Mutabile)
Terhadap Staphylococcus Aureus Dan Escherichia Coli Secara in Vitro. Jurnal
Peternakan, 10(1).
Felita. 2012. Changes in total polyphenols, o-diphenols and anthocyaninconcentrations during
fermentation of pulp preconditioned Cocoa(Theobroma cacao) beans. International
Food Research Journal, 19(3):1071-1077.
Fridayanti, CMA., Djoko, P., Bambang, I. 2014. Pengaruh Pajanan Asap Terhadap Jumlah
Candida Pada Rongga Mulut (Studi pada Pekerja Pengasapan Ikan di Desa
Bandarharjo, Kota Semarang, Jawa Tengah). Jurnal Kedokteran Diponegoro: Vol 3: No
1.
Harsini T. & Susilowati. 2010. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao dari Limbah Perkebunan Kakao
Sebagai Bahan Baku Pulp dengan Proses Organosol V. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan.2(2):80-89.
Hastuti, N. 2010. Pemanfaatan Ekstrak Polifenol Kulit Buah Dan Kulit Biji Kakao Sebagai
Senyawa Penghambat Pertumbuhan Bakteri (Bacillus subtilis dan Escherichia coli).
Skripsi Jember: Jurusan Teknik Hasil Pertanian Fakultas. Teknologi Pertanian
Universitas Jember.
Heard, G.M. and Fleet, G.H., 1999. CANDIDA| Yarrowia (Candida) lipolytica.
113
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Jawetz, M. 2007. Adelberg’s Medical microbiology. Antibacterial & Antifungal chemotherapy
(Prentice-Hall International Inc).
Kang, K., Fong, W. P., & Tsang, P. W. K. 2010. Antifungal Activity of Baicalein Against
Candida Krusei Does Not Involve Apoptosis. Mycopathologia, 170(6), 391-396.
Kuswinanti, T. 2005. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Keberadaan Cendawan dan
Bakteri Pasca Panen pada Biji Kakao. J. Sains &Technology, 5(3), 154-158.
Lecumberri, E., Mateos, R., Izquierdo-Pulido, M., Rupérez, P., Goya, L. and Bravo, L., 2007.
Dietary fibre composition, antioxidant capacity and physico-chemical properties of a
fibre-rich product from cocoa (Theobroma cacao L.). Food Chemistry, 104(3), pp.948-
954.
Lubis, R.F., Nainggolan, R.J., & Numinah, M., 2013. Pengaruh Penambahan Konsentrasi
Bahan Pengawet Alami Pada Nira Aren Selama Penyimpanan Terhadap Mutu Gula
Aren Cair. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.I No.4.
Munoz P, Sanchez-Somolinos M, Alcala L, Rodriguez-Creixems M, Pelaez T, Bouza E 2005.
Candida krusei Fungaemia: Antifungal Susceptibility & Clinical Presentation of An
Uncommon Entity During 15 Years In a Single General Hospital. J Antimicrob
Chemother 55: 188–193
Navarro-Arias, M.J., Hernández-Chávez, M.J., Garcia-Carnero, L.C., Amezcua-Hernández,
D.G., Lozoya-Pérez, N.E., Martínez-Duncker, I., Franco, B. and Mora-Montes, H.M.,
2019. Differential recognition of Candida tropicalis, Candida guilliermondii, Candida
krusei, and Candida auris by human innate immune cells. Infection and drug resistance,
12, p.783.
Ni Ketut, S. 2010. Pemanfaatan Biosolid. Teknik Kimia, Universitas Pembangunan Nasional
Veteran, Jawa Timur, 10 – 12.
Nisa AK. 2016. Isolasi dan identifikasi khamir asal tempe serta uji aktivitas enzim β-
glukosidasenya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pratiwi, S. T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 154, 158, Jakarta, Erlangga Medikal Series.
Rahman, M. S, M. M., P, Kumar Sen, & Hasan, M. F., 2004. Purification and Characterization
of Invertase Enzyme From Sugarcane. Journal Bio Science Pakistan. 7(3): 340-345
Setiabudy R. 2007. Antimikroba. In: Tanu I. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta:
EGC..h.585.
Yiannikouris, A., André, G., Poughon, L., François, J., Dussap, C.G., Jeminet, G., Bertin, G.
& Jouany, J.P., 2006. Chemical and conformational study of the interactions involved
in mycotoxin complexation with β-D-glucans. Biomacromolecules, 7(4), pp.1147-
1155.
114
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KARAKTERISTIK BUAH NANAS KERING (Ananas comosus
L.) DENGAN BEBERAPA PERLAKUAN PENDAHULUAN
MENGGUNAKAN METODE PENGERINGAN VAKUM
Fena Rizky Aritya Putri1, Bambang Nurhadi2, Robi Andoyo2, Nandi Sukri2
1)Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pengeringan buah nanas menjadi nanas kering dapat dilakukan dengan berbagai metode
Pengeringan beku (freeze drying) adalah metode yang mempunyai keunggulan namun jarang
dilakukan karena biaya pengeringan relatif mahal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan perlakuan pendahuluan yang harus dilakukan dalam pembuatan nanas kering
menggunakan metode pengeringan vakum. Karakterisktik nanas kering metode pengeringan
vakum diinginkan untuk menyerupai nanas kering metode pengeringan beku, maka dilakukan
beberapa perlakuan pendahuluan sebelum pengeringan. Penelitian dilakukan dengan kontrol
produk buah nanas kering metode pengeringan beku (freeze drying) dan nanas kering metode
vakum dengan perlakuan pendahuluan osmodehidrasi larutan maltodekstrin 50% (b/v), larutan
maltodekstrin 60% (b/v), dan larutan maltodekstrin 70% (b/v). Pengamatan yang dilakukan
adalah kadar air, tekstur, dan rasio penyusutan volume. Perlakuan pendahuluan yang harus
dilakukan untuk nanas kering metode vakum adalah osmodehidrasi dengan maltodekstrin 70%.
Kadar air nanas kering dengan osmodehidrasi maltodekstrin 70% sebesar 5,63% merupakan
hasil paling mendekati dengan kontrol produk yang memiliki kadar air 5,34%. Nanas kering
dengan pendahuluan osmodehidrasi maltodekstrin 70% memiliki rasio penyusutan volume
terkecil yaitu 17,15%. Kekerasan nanas kering dengan osmodehidrasi 70% memiliki nilai
kekerasan terdekat dengan kontrol produk sebesar 1613,57 gF.
Kata Kunci: pengeringan vakum, pengeringan beku, nanas, osmodehidrasi
115
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Nanas (Ananas comosus) adalah salah satu buah yang banyak dikonsumsi di
masyarakat dan dapat ditemukan dengan mudah di pasaran. Produksi nanas di Indonesia cukup
besar. Berdasarkan Angka Tetap (ATAP) tahun 2014 produksi nenas mencapai 1,84 juta ton.
Berdasarkan data ekspor holtikura tahun 2004, volume ekspor terbesar untuk komoditas
hortikultura adalah nanas olahan yaitu sebesar 49,32%. Buah nanas dapat dikonsumsi dalam
bentuk segar, maupun diolah menjadi berbagai jenis produk seperti jus, selai, sirup, dan
keripik. Namun demikian pengembangan nenas belum mendapat perhatian serius karena
belum berkembangnya penggunaan varietas unggul dan belum optimalnya teknik budidaya
(Hadiati & Indriyani, 2008). Buah nanas segar mempunyai daya simpan yang relatif pendek
karena memiliki kadar air yang tinggi. Umur simpan buah segar hanya berkisar 1 sampai 7 hari
sedangkan untuk buah-buahan kering dapat mencapai 1 tahun atau lebih (Muchtadi, 1997).
Pengolahan buah nanas segar menjadi produk olahan dapat memperpanjang umur simpan buah
nanas segar.
Proses pengolahan buah nanas segar menjadi produk nanas kering memerlukan proses
pengeringan. Pengeringan buah nanas menjadi nanas kering dapat dilakukan dengan berbagai
macam metode diantaranya pengeringan menggunakan teknik oven konvensional, pengeringan
beku dan pengeringan oven vakum. Pengeringan menggunakan oven konvensional memiliki
nilai ekonomis yang tinggi, akan tetapi produk yang dihasilkan memiliki kenampakan
pengkerutan pada permukaan bahan (case hardening). Pengeringan beku (freeze drying) adalah
salah satu metode pengeringan yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu
hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas namun
pengeringan ini masih jarang dilakukan karena biaya pengeringan yang relatif mahal.
Pengeringan nanas dapat diganti menggunakan metode pengeringan vakum.
Pengeringan vakum merupakan salah satu cara pengeringan bahan dalam suatu ruangan yang
tekanannya lebih rendah dibanding tekanan udara atmosfir. Pengeringan dapat berlangsung
dalam waktu relatif cepat walaupun pada suhu yang lebih rendah daripada pengeringan
atmosfir. Dengan tekanan uap air dalam udara yang lebih rendah, air pada bahan akan menguap
pada suhu rendah (Aman et al., 1992). Karakterisktik nanas kering menggunakan pengeringan
vakum diinginkan untuk menyerupai karakteristik mutu nanas kering menggunakan
pengeringan beku, maka perlu dilakukan beberapa perlakuan pendahuluan pada buah nanas
seperti infusi kalsium, osmodehidrasi larutan sukrosa, dan osmodehidrasi larutan maltodekstrin
116
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
sebelum dikeringkan dengan pengeringan vakum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan konsentrasi larutan osmodehidrasi yang harus dilakukan pada perlakuan
pendahuluan dalam pembuatan nanas kering menggunakan metode pengeringan vakum.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, cawan alumunium,
desikator, freeze dryer, gelas kimia, krustang, oven vakum, pompa vakum, kromameter
CIELab, aw meter, texture analyzer, hand refraktometer, dan termometer. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian antara lain buah nanas varietas Cayene yang didapatkan dari petani
daerah Subang dengan berat sekitar 1-2 kg per buah dan warna hijau kekuningan dengan tahap
pematangan yang optimum tanpa cacat fisik dan total padatan sekitar 10oBrix - 12oBrix yang
telah diukur menggunakan refraktometer. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah
akuades, larutan maltodekstrin, kemasan plastik (acapack), dan silica gel.
Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menggunakan analisis
deskriptif. Data hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk visual berupa grafik ataupun
histrogram yang akan menjelasakan hubungan antara satu variabel bebas (y) dan variabel
terikat (x). Variabel bebas pada penelitian kali ini ialah konsentrasi larutan osmodehidrasi.
Variabel terikatnya ialah kadar air, tekstur, dan rasio penyusutan volume.
Penelitian ini terdiri 3 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Pada penelitian ini ditentukan
kontrol produk berupa buah nanas kering hasil pengeringan beku (freeze drying). Adapun
penelitian ini dilakukan dengan membedakan jenis konsentrasi larutan osmodehidrasi yaitu
larutan maltodekstrin dengan perbandingan larutan dengan bahan sebesar 1: 2 yang
diformulasikan sebagai berikut:
A = Osmodehidrasi dengan konsentrasi larutan maltodekstrin 50% (b/v)
B = Osmodehidrasi dengan konsentrasi larutan maltodekstrin 60% (b/v)
C = Osmodehidrasi dengan konsentrasi larutan maltodekstrin 70% (b/v)
Kontrol = Buah nanas kering metode pengeringan beku
1. Preparasi Sampel
117
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Buah nanas dengan tingkat kematangan optimum dipilih dan distandarisasi dengan
melihat total padatan terlarut sekitar 10oBrix – 12oBrix. Penentuan total padatan terlarut
mengacu pada, Satuhu (1993) yang mengatakan buah nanas dikatakan matang apabila
kandungan total padatan terlarut sekitar 10,8oBrix – 17,5oBrix dan biasanya dipanen sekitar
12oBrix. . Standarisasi sampel dilakukan dengan pengujian kadar gula total dan gula pereduksi.
Pengujian kadar gula total dan gula pereduksi mengacu pada AOAC tahun 1995. Standar gula
total buah nanas segar adalah 32,76% dan gula pereduksi 5,76%. Buah nanas kemudian
dikupas, dihilangkan mata buahnya dan bagian tengah buah lalu dilakukan pencucian untuk
menghilangkan sisa kotoran. Pengecilan ukuran buah nanas dilakukan dengan dimensi panjang
3 cm, lebar 3 cm, dan tebal 1 cm.
2. Perlakuan Pendahuluan Buah Nanas
Perlakuan pendahuluan dilakukan dengan merendam nanas kedalam larutan sukrosa dan
maltodekstrin yang divariasikan konsentrasinya selama 3 jam pada suhu kamar. Buah nanas
yang direndam dengan larutan maltodekstrin kemudian ditiriskan.
3. Pembuatan Buah Nanas Kering Metode Pengeringan Vakum dan Metode
Pengeringan Beku
a. Metode Pengeringan Vakum
Sampel irisan nanas seberat 100 gram/perlakuan dimasukkan ke dalam oven vakum
dengan suhu pemanasan 60 °C dengan tekanan absolut 5 In Hg selama 6-7 jam. Sampel buah
nanas kering yang sudah jadi dimasukkan dalam plastik (akapack) lalu di seal, kemudian
disimpan di dalam desikator yang didalamnya sudah ditaruh silica gel. Peyimpanan dilakukan
pada suhu ruang dengan kondisi vakum (Saxena et al., 2015).
b. Metode Pengeringan Beku
Sampel irisan buah nanas segar seberat 100 gram tanpa perlakuan diberi pembekuan awal
dalam deep freezer pada -50 °C selama 24 jam. Pengeringan dilakukan dengan
mempertahankan suhu pelat freeze dryer pada -50 °C dalam waktu 48 jam. Sampel buah nanas
kering yang sudah jadi dimasukkan dalam plastik lalu di seal, kemudian disimpan di dalam
desikator yang didalamnya sudah ditaruh silica gel. Peyimpanan dilakukan pada suhu ruang
dengan kondisi vakum (Saxena et al., 2015).
4. Analisis
a. Kadar Air (AOAC, 2006)
118
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Perhitungan kadar air menggunakan metode gravimetri. Cawan kosong dikeringkan pada
suhu 105oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu
ditimbang. Sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui berat
konstannya. Cawan berisi sampel dikeringkan pada suhu 105oC selama 3-5 jam kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi hingga tercapai berat
setimbang.
Kadar air (%) = (c-a)
b× 100% …. (1)
dimana, a = berat cawan kosong (g); b = berat sampel awal (g); dan c = berat cawan dengan
sampel setelah pemanasan (g).
b. Rasio Penyusutan Volume (Yamsaenhsung et al., 2011)
Prosedur penentuan volume penyusutan dari keripik nanas adalah membandingkan
volume awal irisan buah nanas yang digunakan dan volume keripik nanas yang dihasilkan
dengan cara merendamnya di biji wijen. Setelah itu, rasio penyusutan dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut :
Volume Penyusutan= (V-V0)
V0× ×100% ….. (2)
b. Tekstur (Bourne, 2002)
Pengukuran kekerasan dilakukan dengan alat Texture Analyzer. Probe yang digunakan
pada pengujian ini yaitu P/6 dengan menggunakan project stick pretzel dengan measurement
speed 2 mm/s dan distance 3 mm. Alat menunjukan nilai hardness dalam satuan gF.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Perbedaan konsentrasi larutan osmodehidrasi memberikan pengaruh terhadap hasil
analisis kadar air nanas kering. Hasil analisis disajikan pada gambar 1.
119
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Grafik Kadar Air Nanas Kering
Nanas kering metode pengeringan beku memiliki kadar air yang lebih rendah. Hal ini
terjadi karena suhu, kelembapan udara, dan kecepatan aliran berbeda dengan metode
pengeringan vakum. Menurut (Brooker et al., 1974), laju pengeringan akan cepat berlangsung
jika suhu udara pengering tinggi dan kelembapan udara pengering rendah. Untuk proses
pengeringan beku (freeze dryer), menurut Muchtadi (1997), bahan yang dikeringkan terlebih
dahulu dibekukan kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan tekanan rendah
sehingga kandungan air yang sudah menjadi es akan langsung menjadi uap, dikenal dengan
istilah sublimasi. Sublimasi pada metode pengeringan beku terjadi pada suhu rendah, maka uap
air bisa berdifusi dengan baik dari bagian basah ke udara lingkungan, sehingga bisa dihasilkan
produk yang kering dengan baik (Hariyadi, 2013).
Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin yang
digunakan makan semakin rendah kadar air produk. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi
konsentrasi maltodekstrin maka akan semakin banyak air yang keluar di dalam jaringan buah
dan menyebabkan kandungan air dalam jaringan menjadi lebih sedikit. Osmodehidrasi
maltodekstrin pada bahan dapat mengurangi kadar air hingga 10-70% tergantung dengan
kondisi proses dan sifat bahan (Matuska et al., 2006). Pada saat osmodehidrasi maltodekstrin
dilakukan terhadap buah, maltodekstrin akan masuk dan merubah jaringan struktur buah.
Kandungan air pada jaringan buah akan keluar dan maltodekstrin akan masuk dan mengganti
air yang terdapat dalam jaringan buah (Nunes & Moreira, 2009).
Buah nanas mengalami penyusutan seiring berjalannya pengeringan. Osmodehidrasi
sebelum pengeringan membantu menurunkan rasio penyusutan volume. Osmodehidrasi
120
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
menyebabkan air pada nanas segar berdifusi dan larutan osmodehidrasi masuk kedalam
jaringan buah, sehingga kadar air dalam bahan menurun dan padatan terlarut pada bahan
meningkat (Raoult-Wack et al., 1991). Rasio penyusutan nanas kering dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Rasio Penyusutan Volume Nanas Kering
Berdasarkan hasil penelitan nanas kering dengan osmodehidrasi larutan maltodekstrin
70% memiliki rasio penyusutan volume sebesar 17,15% merupakan hasil yang paling
mendekati dengan kontrol produk yang memiliki rasio penyusutan 4,34%. Semakin tinggi
konsentrasi larutan osmodehidrasi maka rasio penyusutan akan semakin rendah. Pergerakan air
dari bagian dalam bahan ke permukaan menyebabkan migrasi zat terlarut pada larutan
osmodehidrasi dan konsentrasi lapisan luar bahan meningkat. Lapisan permukaan buah yang
diresapi oleh larutan osmodehidrasi mencegah penyusutan yang berlebihan dari jaringan
selama pengeringan. Penyusutan bergantung kepada jenis dan konsentrasi larutan
osmodehidrasi yang digunakan (Nowak et al., 2016). Peningkatan konsentrasi pada lapisan
permukaan dan hilangnya air menyebabkan kerusakan pada dinding sel bahan dan kekakuan
dinding sel selama pengeringan (Pendlington & Ward, 1965). Permukaan luar bahan menjadi
kaku dan lebih keras sehingga rasio penyusutan menurun selama pengeringan. Menurut
Neumann (1972), semakin tinggi konsentrasi larutan osmodehidrasi maka semakin banyak
ikatan polihidroksi terbentuk dan akan meminimalisasi ikatan hidrogen dengan polisakarida di
dinding sel sehingga deformasi sel berkurang selama pengeringan. Lapisan permukaan yang
diresapi oleh larutan osmodehidrasi mencegah penyusutan yang berlebihan dari jaringan
selama pengeringan.
121
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tekstur
Tekstur menjadi parameter penting dalam menentukan kualitas produk pangan yang
mempengaruhi penerimaan konsumen. Perlakuan pendahuluan osmodehidrasi pada
pengeringan vakum nanas mampu memperbaiki tekstur produk akhir nanas kering.
Pengukuran nilai nanas kering dapat dilihat pada Gambar 3
Gambar 3. Grafik Nilai Kekerasan Nanas Kering
Hasil analisis menujukkan nanas kering dengan perlakuan osmodehidrasi 70% malto
memiliki nilai kekerasan yang paling mendekati dengan kontrol produk yaitu sebesar 1613,57
gF. Berdasarkan hasil ini, maka semakin tinggi konsentrasi larutan osmodehidrasi yang
digunakan maka nilai kekerasan nanas kering semakin kecil. Nanas kering metode pengeringan
beku memiliki nilai kekerasan paling kecil karena proses pengeringan beku terjadi melalui
mekanisme sublimasi yang terjadi pada suhu dingin. Karena itu, proses gelatinisasi,
karamelisasi, dan denaturasi tidak terjadi, sehingga pada bagian pangan yang kering tidak
terjadi perubahan pembentukan kerak. Dengan demikian, uap air bisa berdifusi dengan baik
dari bagian basah ke udara lingkungan, sehingga bisa dihasilkan produk kering dengan struktur
berpori (Wang et al., 2010).
Semakin tinggi konsentrasi larutan maltodekstrin yang digunakan maka nilai kekerasan
produk nanas kering semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi larutan
osmodehidrasi maka semakin besar air yang keluar dari dalam bahan. Kekerasan pada dinding
bahan di tentukan oleh tekanan turgor di dalam sel. Hilangnya air dalam bahan mengakibatkan
tekanan turgor di dalam sel berkurang sehingga menyebabkan kekerasan pada produk semakin
menurun (Khin et al., 2007). Buah nanas memiliki kandungan gula seperti sukrosa, fruktosa,
dan glukosa. Gula yang banyak terdapat pada buah-buahan adalah fruktosa. Berdasarkan
122
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
standarisasi bahan baku buah nanas memiliki nilai gula pereduksi 5,76%. Gula yang terdapat
pada nanas memiliki suhu transisi gelas (Tg) yang kecil sehingga perubahan fase gelas
(solid/glassy) menjadi fase karet (rubbery) terjadi sangat cepat karena penyerapan air.
Perubahan fase glassy menjadi rubbery menyebabkan karakteristik yang tidak diinginkan
seperti kelengketan, kealotan, dan kristalisasi gula (Zou et al., 2013). Maltodekstrin memiliki
nilai Tg dengan rentang 100-243°C (Goula & Adamopoulos, 2008), sedangkan gula seperti
sukrosa, fruktosa, dan glukosa memiliki nilai Tg 62 °C, 5 °C, and 31 °C, (Jaya & Das, 2003).
Penambahan maltodekstrin menyebabkan kenaikan nilai Tg pada kandungan gula-gula yang
terdapat di dalam nanas sehingga kandungan gula di dalam nanas mencapai fase glassy pada
saat dilakukan pengeringan. Semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin yang digunakan maka
nilai Tg pada gula nanas akan memiliki nilai semakin besar menyebabkan produk akhir
memiliki nilai kekerasan semakin kecil dan tekstur berpori (Fongin et al., 2019).
KESIMPULAN
Pembuatan nanas kering menggunakan metode pengeringan vakum sebagai alternatif
dari metode pengeringan beku dapat dilakukan dengan perlakuan pendahuluan osmodehidrasi
menggunakan larutan maltodekstrin 70% (b/v). Kadar air nanas kering dengan osmodehidrasi
maltodekstrin 70% sebesar 5,63%. Nanas kering dengan pendahuluan osmodehidrasi
maltodekstrin 70% memiliki rasio penyusutan volume terkecil yaitu 17,15% dan nilai
kekerasan sebesar 1613,57 gF.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Teknologi Industri Pangan,
Universitas Padjadjaran tempat dimana dilaksanakannya penelitian. Terima kasih kepada
Bapak Bambang Nurhadi, S.TP., MSc., Ph.D, Robi Andoyo, S.TP., MSc., Ph.D., dan Nandi
Sukri, S.Pi., M.Si atas ilmu serta arahan selama penelitian berjalan serta kepada teman-teman
yang terlibat di dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aman, W., Subarna, M. A., Syah, D., & Budiwati, A. I. 1992. Pengeringan dalam Petunjuk
Laboratorium Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Bourne, M. . 2002. Food Texture and Viscosity : Concept and Measurement, 2nd Ed. Academic
Press, United Kingdom.
123
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Brooker, D. B., Bakker, F. W., & Arkema, C. W. 1974. Drying Cereal Grains. The A VI
Publishing Co.Inc, West Port, USA.
Fongin, S., Eduardo, A., Granados, A., Harnkarnsujarit, N., Hagura, Y., & Kawai, K. 2019.
Effects of maltodextrin and pulp on the water sorption , glass transition , and caking
properties of freeze-dried mango powder. Journal of Food Engineering, 247, 95–103.
Goula, A. M., & Adamopoulos, K. G. 2008. Effect of maltodextrin addition during spray drying
of tomato pulp in dehumidified air: I. Drying kinetics and product recovery. Drying
Technology, 26(6), 714–725.
Hadiati, S., & Indriyani. 2008. Petunjuk Teknis Budidaya Nenas. Balai Penelitian Buah
Tropika, Solok.
Hariyadi, P. 2013. Freeze Drying Techology: for Better Quality & Flavor of Dried Products.
Food Review Indonesia, 8(2), 52–57.
Jaya, S., & Das, H. 2003. A vacuum drying model dor mango pulp. J. Dryingtech, 21(7),
1215–1234.
Khin, M., Zhou, W., & Yeo, S. 2007. Mass transfer in the osmotic dehydration of coated apple
cubes by using maltodextrin as the coating material and their textural properties. J Food
Eng, 81, 514– 522.
Matuska, A, L., & Lazarides, H. N. 2006. On the use of edible coatings to monitor osmotic
dehydration kinetics for minimal solid uptakes. J. Food Engg, 72, 85–91.
Muchtadi. 1997. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB,
Bogor.
Neumann., H. 1972. Dehydrated Celery : Rehydration Effects Of Predrying Treatments
Procedures On Reconstitution. J. Food Science, 37, 437-441.
Nowak, D., Piechucka, P., Witrowa-Rajchet, D., & Wiktor, A. 2016. Impact of material
structure on the course of freezing and freeze- drying and on the properties of dried
substance, as exemplified by celery vol. 180, pp. 22–28, 2016. J. Food Engg, 180, 22–28.
Nunes, Y., & Moreira, R. 2009. Effect of osmotic dehydration and vacuum frying parameters
to produce high-quality mango chips. J Food Sci, 74, 355–362.
Pendlington, S., & Ward, J. P. 1965. Histological examination of some air dried and freeze
dried vegetables. Proceedings of the First Interna- tional Congress of Food Science and
Technology, 4, 55–64.
Raoult-Wack, A. L., Guilbert, S., Mauger, M. Le, & G. Rios. 1991. Simultaneous water and
solute transport in shrinking media. Part 1. Application to de-watering and impregnation
soaking process analysis (osmotic dehydration). Drying Technology 9, 3, 589–612.
Satuhu, S. 1993. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.
124
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Saxena, A., Maity, T., Raju, P. S., & Bawa, A. S. 2015. Food and Bioproducts Processing
Optimization of pretreatment and evaluation of quality of jackfruit ( Artocarpus
heterophyllus ) bulb crisps developed using combination drying. Food and Bioproducts
Processing, 95, 106–117.
Wang, R., Zhang, M., & Mujumdar, A. S. 2010. Effects of vacuum and microwave freeze
drying on microstructure and quality of potato slices. Journal of Food Engineering,
101(2), 131–139.
Yamsaenhsung, R., Ariyapuchai, T., & Prasertsit, K. 2011. Effects of vacuum frying on
structural changes of bananas. Journal of Food Engineering, 106, 298–305.
Zou, K., Teng, J., Huang, L., Dai, X., & Wei, B. 2013. Effect of Osmotic Pretreatment on
Quality of Mango Chips by Explosion Puffingdrying. LWT, 51(1), 253–25.
125
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGENDALIAN MUTU PRODUK BIJI KOPI ARABIKA (COFFEA
ARABICA) DENGAN MENGGUNAKAN STATISTICAL QUALITY
CONTROL
Ghiffari Ghani Rizqullah1, Chay Asdak2, Boy Macklin Pareira Prawiranegara2
1)Program Studi Teknik Pertanian , Universitas Padjadjaran 2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 43563
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Menurut AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) ekspor biji kopi Indonesia lebih
didominasi oleh grade V dan VI (mutu rendah) sehingga tidak mendapatkan premi harga seperti
kopi biji dari Vietnam. Salah satu kopi Indonesia dari Jawa Barat yang berhasil menembus
pasar Internasional adalah Kopi Manglayang. Standar mutu yang dimiliki Kopi Manglayang
mengacu pada SNI 01-2907-2008, tetapi dalam proses produksinya tidak jarang terjadinya
cacat sehingga mendapat harga jual yang rendah atau penolakan dari konsumen. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pengendalian mutu untuk minimalisir produk biji kopi cacat dan
meningkatkan produktivitas. Penelitian ini menggunakan metode statistical quality control
untuk mengetahui tekendali atau tidaknya proses pada pengolahan biji Kopi Manglayang. Data
yang digunakan berupa sampel biji kopi Manglayang dengan parameter kecacatan berdasarkan
pada sistem nilai cacat SNI 01-2907-2008. Mutu Produk biji kopi Manglayang berdasarkan
peta kendali diketahui tidak terkendali karena, terdapat 3 data yang terdapat diluar batas kendali
statistik, terdapat 7 data berurutan yang berada diatas garis Center Line, dan terdapat 11 data
berurutan yang berada dibawah garis Center Line. Kondisi tersebut menunjukan adanya
perubahan pada proses seperti kondisi, pengaturan pada peralatan dan perubahan metode atau
proses kerja. Berdasarkan Fishbone Diagram diketahui faktor-faktor dan penyebab yang
mempengatuhi mutu produk biji kopi Manglayang yaitu, mesin (tidak berfungsi dengan baik,
tidak ada perawatan rutin, dan pengadaan mesin baru), metode (pengadaan SOP), sumber daya
manusia (konsentrasi,ketelitian,kedisiplinan, dan pengetahuan) dan bahan baku (penyeleksian
hasil panen dari berbagai blok perkebunan kopi Manglayang.
Kata kunci: Pengendalian Mutu, Statistical Quality Control, Pengendalian Mutu Biji Kopi
PENDAHULUAN
Ekspor kopi Indonesia saat ini terdiri dari 75% jenis kopi robusta dan sekitar 25% jenis
kopi arabika (Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI, 2015). Menurut AEKI
126
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
ekspor biji kopi Indonesia lebih didominasi oleh grade V dan VI (mutu rendah) sehingga tidak
mendapatkan premi harga seperti kopi biji dari Vietnam. Selain itu penyesuaian jenis kopi
dengan permintaan pasar sangat diperlukan. Pengembangan industri kopi Indonesia hendaknya
tidak hanya tertumpu pada pengembangan kopi jenis robusta. Tingginya harga kopi arabika di
pasar dunia serta luasnya lahan yang sesuai sebagai syarat tumbuhnya kopi arabika di Indonesia
mestinya menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah untuk merangsang perkembangan industri
kopi arabika di masa yang akan datang (Kemendag, 2017).
Salah satu kopi Indonesia dari Jawa Barat yang berhasil menembus pasar Internasional
adalah Kopi Manglayang yang mulai dikenalkan kepada publik sejak 2014. Kopi asal Jawa
Barat yang ditanam dari ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut ini sudah menembus
pasar Internasional mulai Maroko, Jepang hingga Australia. Kualitas produk yang dihasilkan
Kopi Manglayang tentu harus memiliki kualitas yang baik agar dapat diterima pasar dan
memiliki standar mutu yang salah satunya bertujuan untuk mencapai keseragaman, baik
keseragaman pada warna, tekstur, rasa, dan lain sebagainya (Intan, 2016). Standar mutu yang
dimiliki Kopi Manglayang mengacu pada SNI 01-2907-2008, tetapi dalam proses produksinya
tidak jarang terjadinya cacat sehingga mendapat harga jual yang rendah atau penolakan dari
konsumen. Usaha pengendalian mutu oleh perusahaan yang diabaikan merupakan salah satu
faktor dari terjadinya kecacatan produk. Perusahaan akan mengalami kerugian karena harga
produknya menurun atau bahkan mendapat penolakan dari konsumen jika mutu produk yang
dihasilkan dibawah standar. Berdasarkan hasil observasi diketahui belum diterapkan
pengendalian mutu secara statistik. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian mutu untuk
minimalisir produk biji kopi cacat dan meningkatkan produktivitas.
Identifikasi jumlah dan faktor penyebab kecacatan perlu diketahui untuk menetapkan
langkah-langkah yang tepat guna meminimalisir produk cacat. Mutu produk biji kopi yang
dihasilkan dipengaruhi oleh kondisi lahan dan juga proses pengolahannya (Pascawijaya dkk,
2015). Sehingga untuk identifikasi dilakukan pengendalian mutu dengan menggunakan alat
dari Statistiqal Quality Control (SQC) untuk mengevaluasi mutu biji kopi Manglayang dan
mengetahui perbaikan apa yang perlu dilakukan pada proses pengolahan biji kopi Manglayang.
Tujuan dari penelitian ini, adalah menentukan tingkat kecacatan biji kopi Manglayang
untuk mengetahui apakah masih dalam batas kontrol yang sesuai dengan SNI 01-2907-2008
dengan menggunakan peta kendali.dan menentukan faktor penyebab yang dapat menurunkan
127
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
mutu produk biji kopi Manglayang dan perbaikan apa yang perlu dilakukan dengan
menggunakan fishbone diagram.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama tiga bulan, dari April sampai Juni 2019 yang berlokasi di
Shelter Kelompok Tani Kopi Manglayang. Jalan Palintang, kampung Cilalareun, Desa
Cipanjalu, Cilengkrang, Bandung, Jawa Barat 40618. Metode yang digunakan pada penelitian
ini, yaitu metode analisis statistik deksriptif dimana analisis menggunakan metode statistik dan
hasil analisis digambarkan secara deskriptif.
1. Alat dan Bahan
1.1 Alat
Alat yang digunakan, yaitu :
1. Cawan Platina sebgai wadah sample biji kopi yang akan diukur.
2. Laptop Asus A455L sebagai alat pengolah data.
3. Microsoft Excel untuk analisis dan pengolahan data.
4. Timbangan digital untuk mengukur berat sample biji kopi.
1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu Produk Biji Kopi Manglayang
2. Pengumpulan Data
Pengambilan sampel biji kopi menggunakan metode work sampling dimana sampel biji
kopi diambil secara acak pada waktu yang telah ditentukan dengan menggunakan bilangan
acak. Penentuan besarnya nilai cacat biji kopi dilakukan dari contoh/sampel yang telah diambil
untuk menggolongkan mutu biji kopi sesuai dengan SNI 19-0428-1998.
3. Pengolahan dan Analisis Data
3.1 Peta Kendali
Langkah-langkah membuat grafik kendali Xbar dan Rbar adalah :
1. Tentukan ukuran contoh (n= 4,5,6,....). Untuk keperluan praktik biasanya ditentukan
lima unit pengukuran dari setiap contoh (n = 5).
2. Kumpulkan 20 – 25 sampel.
3. Hitung nilai X dan Range (R) dari tiap sampel.
128
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Xbar= 𝑥1+𝑥2+⋯𝑥𝑛
𝑛 ..................... (1)
R = Xmaks – Xmin ..................... (2)
Hitung nilai rata-rata dari semua Xbar, yaitu Xdouble bar yang akan digunakan sebagai
garis tengah grafik Xbar tersebut, serta nilai rata-rata dari semua R, yaitu Rbar yang
merupakan garis tengah dari grafik R.
Misalkan tersedia m sampel, masing-masing memuat n observasi pada karakteristik
kualitas itu. Misalkan Xbar1, Xbar2, ..., Xbar m adalah rata-rata tiap sampel. Maka penaksir
terbaik untuk rata-rata proses adalah mean keseluruhan yakni :
Xdouble bar = 𝑋𝑏𝑎𝑟1+𝑋𝑏𝑎𝑟2+⋯+𝑋𝑏𝑎𝑟 𝑚
𝑚 ................. (3)
Rbar = 𝑅1+𝑅2+⋯+𝑅𝑚
𝑚 .................. (4)
4. Hitung batas-batas kendali 3-sigma dari grafik kendali Xbar dan R. Grafik kendali
Xbar (batas-batas kendali 3-sigma):
UCL (Batas Pengendali Atas) = Xbar+ A2Rbar ....................... (5)
CL (Garis Pusat) = Xbar ....................... (6)
LCL (Batas Pengendali Bawah) = Xdouble bar - A2Rba r ..…................. (7)
Grafik kendali R (batas-batas kendali 3-sigma):
UCL = D4Rbar .................................................... (8)
CL = Rbar .................................................. (9)
LCL = D3Rbar ................................................... (10)
5. Buatkan grafik kendali X bar dan R bar.
6. Plot data X bar pada peta kendali X bar serta amati apakah data tersebut berada dalam
pengendalian atau tidak.
7. Plot data R pada peta kendali R serta amati apakah data tersebut berada dalam
pengendalian atau tidak.
3.2 Diagram Pareto
Penyusunan diagram pareto dapat menggunakan tujuh langkah berikut ini :
1. Menentukan metode atau arti dari pengklasifikasian data, misalnya berdasarkan masalah,
penyebab jenis ketidaksesuaian, dan sebagainya.
2. Menentukan satuan yang digunakan untuk membuat urutan karakteristik karakteristik
tersebut, misalnya rupiah, frekuensi, unit, dan sebagainya.
129
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
3. Mengumpulkan data sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan.
4. Merangkum data dan membuat rangking kategori data tersebut dari yaang terbesar
hingga yang terkecil.
5. Menghitung frekuensi kumulatif atau persentase kumulatif yang digunakan.
6. Menggambar diagram batang, menunjukkan tingkat kepentingan relatif masing- masing
masalah.
7. Mengidentifikasi beberapa hal yang penting untuk mendapat perhatian.
3.3 Diagram Sebab Akibat
Diagram sebab akibat akan mengidentifikasi berbagai sebab potensial dari satu efek atau
masalah, dan menganalisis masalah tersebut melalui sesi brainstorming. Masalah akan dipecah
menjadi sejumlah kategori yang berkaitan, mencakup manusia, material, mesin, prosedur,
kebijakan, dan sebagainya. Setiap kategori mempunyai sebab-sebab yang perlu diuraikan
melalui sesi brainstorming (DitjenNak, 2000).
Langkah pembuatan Diagram sebab akibat adalah sebagai berikut :
1. Menyepakati pernyataan masalah serta dibuat sebagai pengaruh tulang.
2. Mengidentifasi kategori-kategori penyebab umum yang sering terjadi.
3. Menemukan sebab-sebab potensial dengan cara brainstorming.
4. Mengkaji dan menyepakati sebab-sebab yang paling mungkin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisis Peta Kendali
Setelah dilakukan pengambilan data selama 5 minggu pada proses sortasi biji kopi
Manglayang, kemudian dilakukan analisis proses untuk mengetahui sejauh mana kegagalan
terjadi hingga batas kendali statistik. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan peta
kendali dengan tujuan membuat plotting data sehingga dapat mengdentifikasi ada atau tidaknya
kasus Special Cause (kejanggalan) yang terjadi dalam proses dan mengetahui kapan dan
dimana perbaikan mutu produk yang perlu dilakukan perusahaan. Peta kendali pada proses
sortasi biji kopi Manglayang disajikan pada Gambar 1.
130
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Peta Kendali X bar Mutu Produk Biji Kopi Manglayang
(Sumber : Hasil Penelitian)
Berdasarkan peta kendali X bar pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa proses tidak
terkendali karena terdapat tiga titik yang tidak memenuhi kriteria terkendali. Tiga titik tersebut
dua diantaranya berada diatas zona 3 sigma/ Batas Kendali Atas tepatnya pada titik ke-11 dan
ke-33, kemudian satu titik lainnya berada dibawah zona 3 sigma/Batas Kendali Bawah tepatnya
pada titik ke -97.
Pola keragaman pada peta kendali X bar tersebut yaitu terjadinya lompatan dalam
tingkatan proses sehingga beberapa sebab yang mempengatuhi peta kendali X bar tersebut
yaitu, perubahan dalam proporsi bahan-bahan atau subperakitan yang berasal dari sumber-
sumber yang berbeda, pergantian pekerja atau mesin baru, adanya modifikasi dari metode atau
proses produksi, dan terjadinya perubahan dalam peralatan atau metode pemeriksaan (Grant &
Richard, 1988).
Gambar 1 memperlihatkan terdapat beberapa titik yang berurutan berada diatas dan
dibawah garis nilai tengah (CL). Tampubolon (2004) mengatakan bahwa bila terdapat titik
membentuk tren baik naik atau turun, proses peroduksi harus diselidiki karena telah terjadi
suatu perubahan pada peralatan yang digunakan sehingga mengakibatkan pergeseran kualitas
produk yang dihasilkan. Secara keseluruhan proses dalam keadaan tidak terkendali karena
menunjukkan beberapa titik yang secara berurutan berada diluar garis CL, hal tersebut
55.00
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
95.00
11/4/2019
15/4/2019
20/4/2019
24/4/2019
27/4/2019
29/4/2019
7/5/2019
9/5/2019
13/5/2019
16/5/2019
Peta Kendali Mutu Produk Biji Kopi Manglayang
Jumlah Nilai Cacat Batas Kendali AtasBatas Kendali Bawah Nilai Tengah
131
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
menunjukkan ketidakstabilan proses yang berarti kondisi mesin yang digunakan kondisinya
kurang baik karena pengaturan mesin yang tidak sesuai.
2. Analisis Diagram Sebab Akibat
Gambar 2. Diagram Sebab Akibat
(Sumber : Hasil Penelitian)
2.1 Mesin
Mesin berperan penting dalam proses produksi biji kopi Manglayang untuk
menghasilkan produk biji kopi yang bermutu. Poktan Kopi Manglayang pada proses
produksinya menggunakan mesin pulper untuk proses penggilingan buah kopi dan mesin huler
untuk penggilingan biji kopi yang sudah kering. Hasil pengamatan mengenai mesin pulper
yang digunakan poktan kopi manglayang menunjukan bahwa kinerja mesin yang kurang
efisien dan efektif dikarenakan pada saat penggilingan diperlukan karung untuk menghindari
output yang terlempar/tidak langsung masuk ke ember/wadah penampung output dari proses
penggilingan. Pengecekan rutin mesin dan perawatan mesin pada poktan kopi Manglayang
tidak dilakukan secara rutin sehingga hanya dilakukan pengecekan jika telah terjadi kerusakan
yang fatal.
MACHINE METHOD
MAN MATERIALS
BIJI KOPI CACAT
Tidak berfungsi
dengan baik
Tidak ada perbaikan
dan pengecekan
rutin
Perlu pengadaan
mesin baru Pengadaan SOP
Seleksi Bahan Baku
Konsentrasi
Ketelitian
Kedisiplinan
Pengetahuan
132
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Metode pengeringan dan pencucian pada poktan kopi manglayang dilakukan secara
manual sehingga belum menggunakan mekanisasi, Metode yang masih manual tersebut
memiliki kekurangan yaitu, keadaan lingkungan pada proses pengeringan harus baik yaitu pada
suhu sekitar 45-50oC dan juga waktu pengeringan harus tepat karena proses ini akan
mempengaruhi cita rasa kopi.
2.2 Metode
Pada proses produksi poktan kopi Manglayang belum menerapkan Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang baku/dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan
tentang proses-proses atau urutan langkah-langkah (pelaksanaan-pelaksanaan pekerjaan), di
mana pekerjaan tersebut dilakukan, bagaimana melakukannya, bilamana melakukannya, di
mana melakukannya, dan siapa yang melakukannya. Fungsi adanya SOP ini yaitu, menjaga
konsistensi kinerja atau kondisi tertentu yang pastinya berpengaruh pada mutu produk yang
akan dihasilkan dan efektifitas serta efisiensi tenaga dan biaya kerja.
2.3 Sumber Daya Manusia
Pekerja berperan penting terhadap mutu produk yang dihasilkan. Konsentrasi,
kedisiplinan, ketelitian, dan pengetahuan perlu diterapkan pekerja pada saat proses produksi.
Operator yang bertugas mengendalikan mesin perlu mengetahui cara penggunaan mesin
tersebut agar mesin yang digunakan berfungsi maksimal sebagaimana mestinya. Pada proses
sortasi konsentrasi dan ketelitian pekerja sangat penting untuk menghasilkan produk dengan
mutu baik yang siap dijual. Kedisiplinan juga berpengaruh terhadap mutu produk serta
efektifitas dan efisiensi waktu produksi yang berpengaruh terhadap biaya produksi itu sendiri.
Konsentrasi, kedisiplinan, ketelitian, dan pengetahuan pekerja dapat ditingkatkan dengan
adanya pelatihan pekerja seperti pelatihan pekerja, penignkatan fasilitas kerja, dan reward
kerja. On the Job Training (OJT) atau istilah umumnya magang yang merupakan alternatif
transfer knowledge dalam meningkatkan kualitas pegawai dalam suatu organisasi. Dalam
OJT akan diajarkan tentang kemampuan (skills), pengetahuan (knowledge), dan kompetensi
(competency) yang dibutuhkan pegawai untuk suatu pekerjaan langsung dari lapangan kerja.
Fasilitas kerja yang nyaman juga dapat mempengaruhi konsentrasi sehingga pekerjan yang
dilakukan akan lebih fokus. Penerapan reward seperti bonus upah tambahan akan memacu
semangat serta mempengaruhi kedisiplinan dan ketelitian pekerja.
2.4 Bahan Baku
133
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Hasil panen yang baik tentunya sangat mempengaruhi bii kopi yang dihasilkan. Poktan
kopi Manglayang menampung buah kopi yang dihasilkan berbagai blok perkebunan kopi yang
ada di kaki gunung Manglayang dengan luas sekitar 360 Ha. Luasnya lahan tersebut tentu
menghasilkan buah kopi yang sangat banyak sehingga poktan kopi Manglayang tidak dapat
menampung hasil panen keseluruhan blok perkebunan kopi.
Biaya modal/biaya proses pengolahan yang tinggi merupakan salah satu masalah adanya
alasan tersebut. Hasil panen dari berbagai blok perkebunan kopi tersebut tentunya memiliki
kualitas yang berbeda-beda karena pengaruh faktor tumbuh seperti ketinggian lahan, suhu,
kondisi tanah, dll. Oleh karena hal tersebut untuk memaksimalkan biaya modal dan cash flow
yang ada sehingga menghasilkan produk biji kopi yang maksimal penyeleksian penampungan
hasil panen dari blok perkebunan kopi Manglayang berdasarkan kualitas buah kopi yang baik
perlu dilakukan.
KESIMPULAN
Mutu Produk biji kopi Manglayang berdasarkan peta kendali diketahui tidak terkendali
karena terdapat data-data mutu biji kopi pada proses sortasi yang terdapat diluar batas kendali
statistik dan terdapat beberapa titik yang berurutan berada diatas dan dibawah garis Center Line
yang menunjukan adanya perubahan pada proses seperti kondisi, pengaturan pada peralatan
dan perubahan metode atau proses kerja. Faktor-faktor penyebab tidak terkendalinya mutu
produk biji kopi Manglayang berdasarkan diagram sebab akibat, yaitu mesin (tidak berfungsi
dengan baik, tidak ada perawatan rutin, dan pengadaan mesin baru), metode (pengadaan SOP),
sumber daya manusia (konsentrasi,ketelitian,kedisiplinan, dan pengetahuan) dan bahan baku
(penyeleksian hasil panen dari berbagai blok perkebunan kopi Manglayang).
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-
besarnya kepada Bapak Ir. Chay Asdak, M. Sc., Ph.D., Bapak Dr.Boy Macklin Pareira P.,S
T.,M.Si., dan pihak Shelter Kelompok Tani Kopi Manglayang yang telah memberikan izin
untuk melaksanakan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia). 2016. Perkembangan Ekspor & Impor Kopi Tahun
2007-2013. Terdapat pada : www.aeki-aice.org (diakses pada tanggal 15 Januari 2019
pukul 09.20 WIB)
134
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
DitjenNak. (2000). Panduan pelatihan total quality management dan meningkatkan sistem-
sistem organisasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Grant, Eugene L., Richard S. Leavenworth. 1988. Pengendalian Mutu Statistik Edisi Kelima.
Jakarta : Erlangga.
Intan. 2016. “Pengendalian Mutu Produk Biji Kopi Robusta pada Bagaian Sortasi di PT.
Taman Delta Indonesia. Skripsi. D3 Agroindustri. Universitas Gadjah Mada.
Kemendag. 2017. Kopi Indonesia di Pasar Jerman : Fakta dan Strategi. Jakarta : Badan
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan.
Kemenperin. 2017. Naik 10 Persen, Ekspor Kopi Olahan Nasional Tembus USD 469 Juta.
Terdapat pada : www.kemenperin.go.id (diakses pada tanggal 14 Januari 2019 pukul
05.45 WIB)
R. Pascawijaya, Dariharjo, Jupri. 2015. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi
(Coffea Arabica) di Desa Sirnajaya. Antologi Geografi, Vol. 3, No. 2.
Tampubolon MP. 2004. Manajemen Operasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
135
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
RANCANG BANGUN SISTEM PENGAMAN PINTU RUMAH KACA
BERBASIS RASPBERRY PI
Hibban Farhan Haibah1, Muhammad Saukat2, Mimin Muhaemin2
1)Program Studi Teknik Pertanian , Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 43563
email: [email protected]
ABSTRAK
Rumah kaca merupakan konstruksi yang digunakan untuk melindungi tanaman dari
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan dan serangan hama juga penyakit. Kunci pintu
yaitu sistem keamanan yang digunakan pada rumah kaca untuk menjamin keamanan objek di
dalam rumah kaca, dengan memanfaatkan Raspberry Pi yang menggunakan bahasa program
Python sebagai pusat kontrol buka/tutup kunci pintu secara otomatis. Metode penelitian yang
digunakan yaitu metode rekayasa dengan melakukan kegiatan rancang bangun dengan keluaran
dari penelitian ini adalah sistem keamanan kunci pintu rumah kaca berbasis Raspberry Pi.
Sistem keamanan ini dirancang untuk dapat membuka kunci pintu secara otomatis bagi user
yang sudah terdaftar atau ditentukan, dan informasi mengenai rekam jejak keluar masuk rumah
kaca ditampilkan melalui sebuah website. Hasil dari perancangan sistem pengaman rumah kaca
ini yaitu penggunaan sensor RFID reader sebagai pendeteksi tanda pengenal atau kunci (kartu
RFID) dan rack and pinion sebagai pengunci pintu yang bergerak akibat putaran motor servo
melalui perintah Raspberry Pi.
Kata Kunci: Sistem Keamanan, Kunci Pintu, Raspberry Pi,
PENDAHULUAN
Keamanan merupakan kata sifat aman yang berasal dari kata security, dimana memiliki
arti bebas dari bahaya. Sistem keamanan pada suatu bangunan yang merupakan upaya
pencegahan dan penanggulangan tindak kriminal melalui desain dan perencanaan fisik yang
tepat. Bangunan rumah kaca/greenhouse yang dimana sebagai suatu bangunan untuk budidaya
yang memiliki struktur atap dan dinding bersifat tembus cahaya, sehingga dapat melindungi
objek/tanaman dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan dan melindungi tanaman
dari serangan hama juga penyakit (Nelson, 1981) memiliki biaya konstruksi terbilang besar,
mengakibatkan bangunan tersebut harus memiliki sistem keamanan yang baik. Permasalahan
pada sistem penguncian pintu yang sering dijumpai adalah identitas pengguna tidak dapat
136
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
diatur atau dimanipulasi, juga tidak adanya sistem pengawasan rekam jejak pengguna yang
masuk atau keluar pintu.
Sistem keamanan yang diterapkan pada penelitian ini terletak pada kunci pintu yang
berjalan secara otomatis melalui komputer mini Raspberry Pi. Sistem penguncian yang
mekanisme kendalinya berjalan secara otomatis dan memiliki sistem yang baik merupakan
solusi untuk menjamin keamanan dan mempermudah pengguna rumah kaca hendak masuk,
serta dilengkapi kemampuan untuk mengawasi rekam jejak pengguna yang masuk atau keluar.
Raspberry Pi merupakan komputer papan tunggal yang dirancang dan diproduksi di Inggris
dengan tujuan awal untuk menyediakan perangkat komputasi yang murah untuk pendidikan
(Fajar, 2018). Fungsi Raspberry Pi sebagai kontroler dan penyimpan database pengguna rumah
kaca dalam sistem penguncian. Sistem pengaman pintu ini dilengkapi dengan sensor RFID
(Radio Frequency Identification) reader untuk membaca identitas atau ID pengguna yang
terdapat pada kartu RFID, juga dilengkapi aktuator pengunci pintu yang menerapkan prinsip
roda gigi rack and pinion. Radio Frequency Identification (RFID) menurut Maryono (2015)
merupakan teknologi untuk mengidentifikasi suatu objek menggunakan transmisi radio khusus
yang memiliki rentang frekuensi 125 kHz – 900 MHz sesuai dengan jenisnya.
Sistem penguncian pun dilengkapi kemampuan menampilkan informasi rekam jejak
pengguna yang masuk dan keluar melalui website. Raspberry Pi disini berfungsi sebagai server
dari website, penyimpanan database pengguna rumah kaca dan rekam jejak aktifitas pengguna.
Tujuan dari ditampilkannya rekam jejak keluar atau masuk rumah kaca berkaitan dengan
bagaimana mendapatkan informasi yang lebih baik berkenan dengan akses pengguna ke dalam
rumah kaca. Pendaftaran serta pencabutan hak akses pengguna rumah kaca dilakukan melalui
Raspberry Pi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2019 sampai Mei 2019 yang bertempat di
Laboratorium Alat dan Mesin Pertanian Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran. Alat dan bahan yang digunakan untuk
penelitian yaitu:
1. Laptop
2. Multimeter
3. Obeng
4. Python
137
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
5. Raspberry Pi B Rev 3
6. USB RFID reader 13.56 MHz
7. Motor servo MG996R
8. Kartu RFID EM4100
9. Memory Micro SD VGEN 16 GB
10. LCD I2C 20x4
11. Rack and Pinion
12. Reed Switch Module
Metode yang digunakan penelitian ini yaitu metode rekayasa (engineering) dengan
melakukan kegiatan perancangan yang menghasilkan suatu produk, sehingga perancangan
sistem pengaman pintu rumah kaca terdiri dari perancangan secara software berupa program
dan algoritma, perancangan hardware berupa pembuatan set dan mekanisme kerja kunci pintu.
Prosedur yang dijalankan penelitian dapat digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 1.
Prosedur penelitian secara singkatnya dimulai dari identifikasi masalah yang dilanjutkan
dengan mengobservasi terkait kebutuhan keamanan yang dapat menunjang pada rumah kaca.
Selanjutnya penetapan kriteria perancangan sistem pengaman, perancangan mekanisme proses
penguncian yang ditentukan dengan mengevaluasi dari sistem penguncian pada umumnya dan
penelitian yang berkaitan dengan sistem pengunci pintu. Sistem pengaman pintu pada
penelitian ini menerapkan otomatisasi dengan menggunakan Raspberry Pi sebagai komponen
kontrol utamanya, juga digunakan sensor RFID sebagai pendeteksi tanda pengenal dari
pengguna rumah kaca sebelum pengguna dapat masuk, dan rekam jejak masuk atau keluar
pengunjung setiap harinya akan terdata oleh Raspberry Pi.
138
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Perancangan fungsional dilakukan untuk melakukan penentuan kebutuhan komponen-
komponen utama dan pendukung yang menunjang sistem pengaman dapat berjalan dengan
baik. Komponen utaman yang digunakan sistem pengamanan seacar fungsional terdiri dari
sensor, kontroler, dan akutator. Selain itu juga melakukan perancangan secara struktural untuk
menentukan fungsi dari setiap komponen yang digunakan pada sistem keamanan rumah kaca.
Selanjutnya yaitu dilakukan analisis teknik untuk mengetahui keterkaitan hubungan antar
komponen penyusun sistem keamanan pintu dengan mekanisme kerja alat. Tujuan
dilakukannya analisis teknik yaitu menganalisa mekanisme kerja dari sistem pengaman pintu
apakakh sudah sesuai dengan perancangannya. Analisis teknik juga untuk mengevaluasi
139
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
kinerja dari komponen penyusun sistem pengaman rumah kaca sebagai pertimbangan untuk
dilakukannya perbaikan atau pergantian komponen.
Pengujian yang dilakukan pada sistem pengaman pintu rumah kaca untuk memastikan
semua komponen berfungsi dengan baik. jika seluruh kartu RFID sebagai pengenal akses
masuk yang sudah terdaftar pada sistem mampu membuka pintu, dan pintu tidak terbuka saat
akses ditolak maka dapat dianggap lolos tahapan pengujian. Selanjutnya evaluasi dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana alat dapat bekerja sesuai dengan kriteria yang telah dirancang
dan menganalisis tingkat akurasi dari program dan algoritma penguncian otomatis yang dibuat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sistem
Gambar 2. Gambaran Sistem Penguncian
Sistem pengaman pintu rumah kaca secara umum terdiri dari kunci pintu, server dan
panel pengunjung. Sistem penguncian ini terhubung dalam jaringan nirkabel/LAN. Kunci pintu
sendiri terdiri dari dua buah komponen utama dalam membuka dan menutup pintu, yaitu pada
pembukaan pintu dengan menggunakan mekanisme RFID untuk masuk ke dalam rumah kaca,
juga menggunakan mekanisme RFID dan untuk keluar dengan sifatnya sementara cukup
menggunakan push button karena tidak akan terekam database. Saat pengguna rumah kaca
hendak masuk menggunakan kartu RFID, data akan divalidasi oleh sistem dan kemudian data
akan dicocokan ke database. Jika identitas kartu RFID sudah terdaftar pada database, maka
rekam masuk akan dimasukan ke database rekam jejak masuk keluar dan pintu akan terbuka.
140
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Sensor magnetik reed switch akan mendeteksi dan memberi masukan ke sistem bahwa pintu
sedang terbuka atau tertutup. Raspberry Pi dan RFID reader memiliki peran penting pada
sistem penguncian yang kemudian informasi aktifitas masuk keluar rumah kaca akan
ditampilkan melalui sebuah situs web. Diagram alur dari mekanisme kerja sistem terdapat
Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Alir Sistem Penguncian
Rancangan Perangkat Keras
Perangkat keras yang digunakan untuk menunjang sistem pengaman pintu rumah kaca
yaitu:
141
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
1. Kartu RFID, berfungsi sebagai kunci dari pintu rumah kaca. Jenis kartu RFID yang
digunakan yaitu kartu RFID pasif jenis MIFARE tipe EM4001 dengan frekuensi 13.56
MHz. Kode atau ID RFID tersimpan dalam microchip yang terdapat pada bagian kartu,
dan terdapat antena untuk mengirimkan sinyal ke RFID reader.
2. RFID reader, berfungsi untuk membaca kode unik atau ID dari kartu RFID. RFID reader
yang digunakan dengan jenis USB RFID reader dengan frekuensi 13.56 MHz yang
termasuk dalam kategori high frequency.
3. Raspberry Pi, berperan sebagai komponen utama dalam sistem pengaman. Raspberry Pi
3 Model B ini akan menerima dan mengolah informasi dari sensor, dan akan memberi
perintah untuk aktuator membuka pintu.
4. Roda gigi rack and pinion, berperan sebagai aktuator akan membuka kunci pintu saat
mendapat perintah dari Raspberry Pi. Roda gigi ini akan bergerak dengan bantuan motor
servo.
5. Motor servo, berfungsi untuk menggerakan roda gigi rack and pinion. Motor servo yang
digunakan yaitu tipe MG996R.
6. Sensor magnetik/reed switch module, berfungsi sebagai sensor yang memberikan input
ke Raspberry Pi untuk mendeteksi adanya gerakan atau perubahan kondisi pintu antara
terbuka dan tertutup.
Rancangan Perangkat Lunak
Perancangan program untuk sistem pengaman pintu rumah kaca dibuat kedalam 2 bagian,
yaitu saat masuk rumah kaca dan keluar. Keduanya memiliki perancangan program yang sama
dan diilustrasikan pada Gambar 4. Perancangan sistem lunak ini terdiri database yang
mengakomodir kebutuhan web dalam menampilkan riwayat akses masuk dan keluar, dan juga
database user pengguna rumah kaca. Selain itu, dirancang juga program untuk pendaftaran
pengguna rumah kaca agar dapat mengakses sistem pengamannya melalui web monitoring
akses masuk rumah kaca.
142
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 4. Diagram Alir Program
143
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pengujian Hak Akses
Pengujian ini dilakukan dengan hak akses yang telah terdaftar dan tidak terdaftar pada
database.
Tabel 1. Pengujian Hak Akses yang terdaftar
ID RFID Servo Status
3453775436 Aktif Diterima
3453758124 Aktif Diterima
3460136060 Aktif Diterima
3460090172 Aktif Diterima
3453790780 Aktif Diterima
Tabel 2. Pengujian Hak Akses yang tidak terdaftar
ID RFID Servo Status
3453775276 Tidak Aktif Ditolak
2820332992 Tidak Aktif Ditolak
3648048086 Tidak Aktif Ditolak
3460698108 Tidak Aktif Ditolak
3458785228 Tidak Aktif Ditolak
3453775356 Tidak Aktif Ditolak
Pengujian hak akses ini dilakukan untuk melihat fungsi dari aktuator sebagai indikator,
dan akurasi dari kinerja sensor RFID dan Raspberry Pi dalam mencocokan input dengan data
user yang terdaftar dan tidak terdaftar dalam database. Berdasarkan tabel tersebut, maka
pengujian hak akses dapat dinyatakan berhasil karena saat ID RFID terdaftar, tidak ada servo
yang tidak aktif dan berlaku sebaliknya.
144
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pengujian Jarak Baca RFID
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui performa jarak pembacaan dari RFID reader
terhadap kartu RFID yang ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengujian jarak baca RFID reader
No ID RFID Jarak Baca
(cm) Keterangan
1. 3453775436 6.0 Terbaca
2. 3453775436 5.5 Terbaca
3. 3453775436 5.0 Terbaca
4. 3453775436 4.5 Terbaca
5. 3453775436 4.0 Terbaca
6. 3453775436 3.5 Terbaca
7. 3453775436 3.0 Terbaca
8. 3453775436 2.5 Terbaca
9. 3453775436 2.0 Terbaca
10. 3453775436 1.5 Terbaca
11. 3453775436 1.0 Terbaca
12. 3453775436 0.5 Terbaca
Berdasarkan Tabel 3, didapatkan jarak maksimal dari bacaan RFID reader 13.56 MHz
ini sejauh 6 cm. Dalam pengujian, kondisi yang dialami tanpa penghalang diantara kartu RFID
dan RFID reader.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian rancang bangun sistem pengaman pintu
rumah kaca berbasis Raspberry Pi adalah ID kartu RFID digunakan sebagai autentikasi
pengguna rumah kaca dengan database yang terdapat pada Raspberry Pi. Raspberry Pi sebagai
pusat kendali sistem perlu terkoneksi dengan jaringan nirkabel atau LAN jika ingin informasi
145
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
aktifitas rekam jejak keluar masuk dapat diakses pada situs web. Selanjutnya, kartu RFID dapat
terbaca pada jarak maksimal 6 cm tanpa halangan dan jarak kartu RFID bergantung dengan
jenis dari reader dan kartu RFID yang digunakan.
Penelitian yang berkaitan dengan sistem pengamanan pada bangunan pertanian
khususnya rumah kaca yang menerapkan prinsip otomasi dan Internet of Things (IoT) sangat
perlu dikembangkan, karena dengan pengembangan dan pengimplementasian menggunakan
kedua prinsip tersebut dapat mempermudah pengguna dan menjamin keamanan dari bangunan
tersebut. Oleh karena itu penelitian ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan penggunaan
prinsip otomasi dan Internet of Things (IoT) dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Fajar, Muhammad, 2018, Mudah Belajar Raspberry Pi, Bandung: Penerbit Informatika.
Maryono, 2005, Dasar-dasar Radio Frequency Identification Device (RFID) Teknologi yang
Berpengaruh di Perpustakaan, Media Informasi (XIV): 15-22.
Nelson, P. B, 1981, Greenhouse Operational and Management, New Jersey: Prentice Hall Inc.
146
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KAJIAN POTENSI KERUSAKAN KLAPPERTAART SELAMA
PROSES PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN
Indah Medani Kartika Ayu Putri1, Indira Lanti Kayaputri2, Tri Yuliana2, Edy Subroto2
1)Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
*Penulis koresponden: [email protected]
ABSTRAK
Klappertaart merupakan kue khas dari Manado yang dibuat dari bahan dasar kelapa, susu, telur,
dan tepung terigu. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai produk klappertaart dan belum adanya
syarat mutu mengenai klappertart menyebabkan potensi kerusakan yang dapat terjadi pada produk
klappertaart belum diketahui. Tujuan dari penelitian ini untuk mendeteksi kerusakan fisik, kimia dan
mikrobiologi pada produk Klappertaart. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sampling
yang dilanjutkan analisis secara deskriptif. Sampling dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu
dengan mengambil sampel 30% dari total produksi. Kerusakan yang terjadi pada klappertaart sangat
diperngaruhi oleh kandungan nutrisi yang terkandung dalam klappertaart. Kerusakan fisik klappertart
ditandai dengan meningkatnya intensitas warna, aroma, dan rasa. Kerusakan kimia klappertaart ditandai
dengan penurunan kadar air, kadar lemak, peningkatan kadar gula total, dan terbentuknya asam lemak
bebas sebesar 6.7718%. Kerusakan mikrobiologis klappertaart ditandai dengan nilai ALT dan AKK
klappertaart melebihi syarat nilai ALT dan AKK SNI untuk kue lapis. Hasil identifikasi menunjukkan
kapang spesies Aspergillus niger yang tumbuh pada klappetaart. Nilai MPN menunjukkan angka yang
berada di atas standar untuk 15 dari 16 sampel dan hasil pengamatan E. coli menunjukkan hasil positif
pada 11 dari 16 sampel.
Kata Kunci: Klappertaart, Nutrisi, Kerusakan
PENDAHULUAN
Klappertaart merupakan kue khas dari Manado yang dibuat dari bahan dasar kelapa, susu,
telur, dan tepung terigu (Muharani, 2011). Syarat mutu klappertaart tidak terdapat dalam
Standar Nasional Indonesia, sehingga pengetahuan masyarakat masih minim mengenai produk
klappertaart dan potensi kerusakan yang dapat terjadi pada produk klappertaart belum
diketahui. Syarat mutu klappertaart digunakan syarat mutu yang memiliki karakteristik tidak
jauh berbeda yaitu syarat mutu kue lapis dalam SNI 01-4309 tahun 1996. Kandungan nutrisi
yang terdapat dalam klappertaart memberi pengaruh pada potensi kerusakan yang terjadi.
Klappertaart memiliki kadar air yang tinggi dimana hal tersebut dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme menjadi lebih cepat (Supardi, 1999). Kadar air yang tinggi dapat
147
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
menyebabkan E. coli tumbuh pada klappertaart (Widyaningsih, 2016). Ketengikan yang
disebabkan oleh reaksi hidrolisis juga dapat terjadi pada klappertaart (Ketaren, 2008). Selain
itu, ketengikan akibat reaksi autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak juga
dapat terjadi karena kandungan lemak yang terdapat didalam klappertaart itu sendiri.
Klappertaart termasuk ke dalam produk yang memiliki kadar gula yang cukup tinggi. Spesies
kapang Aspergillus repens dimana kapang tersebut sering menyebabkan kerusakan makanan
dan tumbuh baik pada substrat gula tingi (Fardiaz, 1992). Tingginya kandungan gula juga dapat
menyebabkan terjadinya fermentasi etanol dimana fermentasi etanol merupakan proses biologi
yang melibatkan mikroorganisme untuk mengubah bahan organik menjadi komponen
sederhana (Yan & Tanaka, 2005). Sehingga tujuan dari penelitian ini untuk mendeteksi
kerusakan fisik, kimia dan mikrobiologis pada produk Klappertaart.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode sampling yang dilanjutkan analisis
secara deskriptif. Sampling dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan
mengambil sampel 30% dari total produksi. Ketentuan yang diamati dalam pengambilan
sampel adalah produk merupakan adonan pencampuran, adonan klappertaart, dan klappertaart
basah yang diambil dari salah satu UKM di Kota Cimahi dan kemudian diamati parameter
kerusakan fisik yang dilihat dari warna, aroma, dan rasa selama penyimpanan dua hari.
Kerusakan kimia yang dilihat dari kadar air, lemak, gula total pada produk klappertaart segar
dan klappertaart rusak dan kadar asam lemak bebas yang terbentuk. Serta kerusakan
mikrobiologis yang dilihat dari total mikroba, kapang, dan E. coli pada adonan pencampuran,
adonan klappertaart, klappertaart segar, dan klappertaart rusak.
Alat yang digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah cawan petri, tabung reaksi,
erlenmeyer, gelas ukur, jarum ose, cool box, pipet (1 ml dan 0,1 ml), rak tabung reaksi,
inkubator dengan suhu 25°C, 35°C dan 37oC, autoklaf 121°C, mikropipet dan tipsnya, vorteks,
neraca analitik, pinset, kapas, pembakar bunsen, labu ukur, alat titrasi, beaker glass, bulb pipet,
buret, desikator, erlenmeyer,erlenmeyer asah, gelas ukur, hot plate, kertas saring, kondensor,
labu lemak, pipet tetes, soxhlet, spatula, volume pipet, cawan, tang krus, oven.
Bahan yang digunakan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah adonan pencampuran, adonan
148
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
klappertaart, dan klappertaart basah yang diambil dari salah satu UKM di Kota Cimahi. Media
dan reagen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nacl Fis 0,85%, Lactose Broth Double
Strength (LBDS), Lactose Broth Single Strength (LBSS), dan Eosin Methylene Blue (EMB),
Nacl Fis 0,85%, Potato Dextrose Agar (PDA), Plate Count Agar (PCA). Reagen yang
digunakan adalah HCl 25%, Aquades, Heksana, Pb-Asetat 5%, Na-phosphat 5%, Metil orange
1%, HCl 4N, NaOH 4N, Amilum 1%, Luff Schoorl, KI 30%, H2SO4 6N, dan Na2S2O3 0,1N.
Analisa Fisik
Sampel klappertaart yang telah diambil diamati bau, warna, dan rasa pada suhu ruang
dengan waktu 6 jam sekali selama 2 hari.
Analisa Kimia
Pengukuran Kadar Air Klappertaart (AOAC, 2006)
Sampel klappertaart ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukan ke dalam cawan yang
telah konstan, lalu disebar merata. Cawan yang berisi sampel dimasukan ke dalam oven yang
di set pada suhu 105o±2o C selama ±3 jam. Cawan yang berisi sampel dikeluarkan dari oven
lalu didinginkan di dalam desikator selama ±15 menit dan ditimbang beratnya. Setelah
ditimbang cawan yang berisi sampel dimasukkan kedalam oven selama 1 jam dan didinginkan
dalam desikator selama ±15 menit dan ditimbang beratnya. Pengeringan dilakukan sampai
diperoleh berat konstan dengan selisih 0,2% dari berat sampel kering sebelumnya.
Perhitungan kadar air dilakukan menggunakan rumus berikut:
Kadar air (%bb) = x 100%
Ket : a = berat awal sampel (g)
b = berat sampel setelah dikeringkan (g)
Pengukuran Kadar Lemak Klappertaart (AOAC, 2005)
Sampel dihancurkan dan ditimbang sebanyak ±2 gram. Sampel yang telah ditimbang
sebanyak 2 gram dimasukkan dalam gelas kimia dan tambahkan 30 ml HCL 25% dan 20ml
aquades serta beberapa butir batu didih. Tutup gelas kimia dengan kaca arloji dan didihkan
(t=15 menit setelah mendidih). Saring dalam keadaan panas dan cuci dengan air panas hingga
netral (sampai bening) dan keringkan kertas saring dan isinya (T= 100-105oC selama semalam).
Selanjutnya sampel kering dimasukkan dalam bungkus lemak (hull), masukkan hull kedalam
soxhlet, labu konstan, dan pasang kondensor diatasnya. Tambahkan 50 ml heksana dan
149
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
ekstraksi selama 3 jam. Keringkan lemak yang terekstrak ke dalam oven (T= 105oC,t= 60
menit), dinginkan dalam desikator (t=15 menit), dan timbang hingga konstan. Kadar lemak
dapat dikalkulasikan dengan rumus berikut:
Kadar Lemak (%) = Berat labu+isi−labu kosong
Berat sampel× 100%
Pengukuran Kadar Gula Total Klappertaart Metode Luff Schoorl (BSN, 1992)
Sampel klappertaart halus ditimbang sebanyak 10 gram dan dilarutkan dalam 100 ml
aquades dalam gelas kimia. Masukkan dalam labu ukur 250 ml dan tambahkan 5 ml Pb-Asetat
5%, kocok kuat-kuat selama 1 menit, lalu tambahkan 5 ml Na-phosphat 5% dan kocok kuat-
kuat kembali selama 1 menit. Menepatkan dengan akuades sampai tanda batas, homogenkan
dan saring menggunakan kertas saring. Selanjutnya filtrat diambil sebanyak 50 ml, evaporasi
sampai volume ½ dari volume awal (panaskan dalam penangas), dinginkan dan pindahkan ke
dalam labu ukur 100 ml. Menepatkan dengan akuades sampai tanda batas, kocok, larutan ini
merupakan larutan siap uji untuk gula reduksi (Larutan A).
Selanjutnya untuk mengetahui gula total larutan A dipipet sebanyak 25 ml dan
ditambahkan 6 tetes indikator metil orange 1% dan 20 ml HCl 4N. Panaskan dalam penangas
selama 30 menit, dinginkan dan netralkan dengan NaOH 4N sampai warna kuning. Pindahkan
ke dalam labu ukur 100 ml dan tepatkan dengan akuades sampai tanda batas. Larutan ini
merupakan sampel siap uji untuk penentuan kadar gula total (Larutan B).
Penentuan kadar gula total dilakukan dengan larutan B dipipet sebanyak 25 ml dan
ditambahkan 25 ml larutan Luff Schoorl. Refluks selama 15 menit, dinginkan dan tambahkan
10 ml KI 30% dan 25 ml H2SO4 6N. Titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1N sampai terbentuk
warna kuning jerami, tambahkan 1 ml indikator amilum 1%, lanjutkan titrasi dengan Na2S2O3
0,1N sampai terbentuk warna putih susu. Catat volume titrasi dan lakukan terhadap blanko.
Perhitungan kadar gula total dilakukan menggunakan rumus berikut:
a = 𝑉𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑉𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑎
0,1 𝑥 𝑁 (𝑁𝑎2𝑆2𝑂3)
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ 𝑎−𝑎
𝑎−𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑑𝑖𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑎 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑝𝑜𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ −𝑏
𝑏− 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑝𝑜𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑡𝑎𝑠
Gula total = 𝑏 𝑥 𝑓𝑝
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ (𝑚𝑔) 𝑥 100%
Ket: a = ml glukosa yang setara dengan ml tio
b = mg glukosa yang setara dengan ml tio
150
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
fp = faktor pengenceran
Pengukuran Kadar Asam Lemak Bebas (BSN, 1996)
Sampel klappertaart yang telah dilakukan penyimpanan selama dua hari selanjutnya
dilakukan pengujian kadar asam lemak bebas. Sampel klappertaart halus ditimbang sebanyak
5 g, tambahkan 50 ml alkohol 96% netral dan biarkan selama 1 jam sambil sekali-kali dikocok.
Kemudian saring dan tambahkan beberapa tetes indikator PP. Titrasi dengan KOH 0,1 N
hingga warna merah jambu (tidak berubah selama 15 detik). Perhitungan kadar asam lemak
bebas dilakukan menggunakan rumus berikut:
Asam lemak bebas = 𝑊1 𝑥 𝑉𝑥𝑁
𝑊
Ket : V = KOH yang diperlukan untuk pemitaran (ml)
N = Normalitas contoh (g)
W = Bobot contoh (g)
W1 = Bobot molekul asam lemak (dari minyak kelapa sebagai asam laurat = 200)
Analisa Mikrobiologis
Pengujian Total Mikroba (BSN, 2014)
Sampel ditimbang 1 g dan ditambahkan 9 ml larutan NaCl fis 0,85% , ini merupakan
larutan dengan pengenceran 10-1 buat hingga pengenceran 10-6 . Masukkan 1 ml suspense dari
setiap pengenceran ke dalam cawan petri secara duplo, tambahkan 15-20 ml PCA yang sudah
didinginkan hingga temperatur 45°C ± 1°C pada masing-masing cawan yang sudah berisi
suspense. Lakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka
delapan dan didiamkan sampai menjadi padat. Inkubasi cawan petri pada temperatur 37°C
selama 48 jam sampai dengan 48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik. Hitung
Jumlah Koloni pada setiap seri pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni menyebar
(spreader colonies). Pilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai 250.
Pengujian Escherichia coli metode MPN (BSN, 2008)
Sampel ditimbang sebanyak 5 g secara aseptik, tambahkan 45 ml larutan NaCl fis
0,85% dan homogenkan. Siapkan 2 seri tabung LBSS dan 1 seri tabung LBDS (sebelumnya
sudah ditetesi tetrared hingga berwarna kemerahan) yang berisi tabung Durham dan sudah
disterilkan. Pipet 1 ml ke 3 tabung berisi 10 ml LBSS dan 0,1 ml ke 3 tabung berisi 10 ml LBSS
151
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
serta 10 ml ke 3 tabung berisi 10 ml LBDS. Inkubasi pada temperatur 35 °C selama 24 jam
sampai dengan 48 jam. Perhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil
uji dinyatakan positif apabila terbentuk gas dan terjadi perubahan warna. Pipet 1 ml dari tabung
reaksi yang dinyatakan positif ke dalam cawan petri. Tambahkan 15-20 ml EMB dan
homogenkan. Media didiamkan hingga membeku, kemudian dilakukan inkubasi dalam
keadaan terbalik pada suhu 37oC selama 24 jam. Hasil positif E. coli ditunjukkan dengan koloni
berwarna hijau metalik.
Pengujian Kapang (BSN, 2015)
Sampel ditimbang secara aseptik sebanyak 1 g dan tambahkan NaCl fis 0,85%
sebanyak 9 ml dalam tabung reaksi, homogenkan. Homogenate yang dihasilkan merupakan
pengenceran 10-1, buat hingga pengenceran 10-6. Pipet 1 mL dari tiga pengeceran terbesar yang
dilakukan dan masukkan ke dalam cawan petri steril, lakukan secara duplo untuk setiap
pengenceran. Tambahkan 20-25 mL media agar PDA yang sudah didinginkan dalam waterbath
hingga suhu 45oC dalam waktu 1-2 menit ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi
sampel. Lakukan pemutaran cawan agar homogen, setelah agar memadat dilakukan inkubasi
secara terbalik dan disusun tidak lebih dari tiga cawan petri dalam inkubator pada suhu 25 oC
selama 5 hari. Hitung cawan setelah masa inkubasi 5 hari, jika 5 hari tidak ada pertumbuhan
inkubasi kembali selama 48 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerusakan Fisik
Gambar 17. Grafik Intensitas Perubahan Karakteristik Fisik Klappertaart
0
1
2
3
4
5
6
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Inte
nsi
tas
Jam Ke-
Warna Bagian Atas
Warna Bagian
Dalam (Fla)
Aroma tengik
Aroma Alkohol
Rasa tengik
Rasa Alkohol
152
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan Gambar 1, intensitas perubahan karakteristik klappertaart mulai dari warna,
aroma, dan rasa semakin lama waktu penyimpanan semakin meningkat. Peningkatan intensitas
warna pada klappertaart ini disebabkan oleh terjadinya perubahan parameter yang lain yaitu
pemisahan krim dan cairan pada susu yang terkadung dalam produk (Aminah & Isworo, 2006).
Pemisahan krim dan cairan mulai terjadi pada jam ke -24 dan semakin terlihat jelas hingga jam
ke- 48. Pemisahan krim dapat terjadi karena adanya perbedaan berat jenis. Krim mempunyai
berat jenis yang rendah karena banyak mengandung lemak. Terbentuknya warna kuning pada
krim semakin lama penyimpanan disebabkan oleh lemak yang terkandung pada krim tersebut
(Winarno, 2004). Ketengikan baik dari segi rasa dan aroma, semakin lama waktu penyimpanan
intensitasnya pun semakin meningkat. Hal ini disebabkan klappertaart merupakan produk
olahan yang mengandung lemak sehingga mudah rusak akibat mengalami oksidasi lemak
(Almatsier, 2004). Selain dapat disebabkan oleh oksidasi lemak, ketengikan pada produk
klappertaart selama penyimpanan dapat disebabkan oleh reaksi hidrolisis (Ketaren, 2008).
Begitu pula halnya dengan aroma dan rasa alkohol yang semakin terbentuk semakin lama
waktu penyimpanan klappertaart, dimana setelah 2 hari penyimpanan rasa dan aroma alkohol
yang paling dominan dari klappertaart. Hal ini disebabkan selama penyimpanan terjadinya
fermentasi etanol. Kandungan gula yang tinggi pada klappertaart dapat memicu terjadinya
fermentasi etanol (Yan & Tanaka, 2005).
Kerusakan Kimia
Kadar Air
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kadar Air
Sampel Kadar Air (%) Rata-rata (%)
C1 77.0077
74.9503 C2 73.9166
C3 73.9268
D 72.0716 72.0716
Ket : C = Klappertaart Segar
D = Klappertaart Rusak
153
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, klappertaart segar memiliki rata-rata kadar
air sebesar 74.9503 % dan klappertaart yang sudah rusak memiliki rata-rata kadar air sebesar
72.0716 %. Terjadinya penurunan kadar air kemungkinan disebabkan selama penyimpanan
terjadi proses evaporasi dari klappertaart ke lingkungan sekitar. Perubahan kadar air dalam
klappertaart dapat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban ruangan selama penyimpanan.
Latifah (2010) menjelaskan bahwa selama penyimpanan seharusnya terjadi peningkatan kadar
air, tetapi pada kondisi tertentu dapat mengalami penurunan. Hal itu bisa terjadi karena adanya
peningkatan suhu dan adanya penurunan kelembaban, sehingga menyebabkan perpindahan uap
air dari bahan ke lingkungan.
Kadar Lemak
Tabel 2. Hasil Pengamatan Kadar Lemak
Sampel Kadar Lemak
(%) Rata-rata (%)
C1 5.5445
5.5630 C2 5.9501
C3 5.1945
D 4.1232 4.1232
Ket : C = Klappertaart Segar
D = Klappertaart Rusak
Kadar lemak klappertaart segar berdasarkan Tabel 2 memiliki rata-rata sebesar
5.5630% sedangkan kadar lemak klappertaart rusak memiliki rata-rata sebesar 4.1232%.
Setelah klappertaart dilakukan penyimpanan selama 2 hari, kadar lemak yang terkandung
dalam klappertaart mengalami penurunan. Menurut Mazrouh (2015), hal ini dapat disebabkan
oleh hilangnya hilangnya fraksi trigliserida yang disebabkan oleh oksidasi lemak selama
penyimpanan. Selain itu dapat disebabkan oleh adanya reaksi hidrolisis, lemak dapat
terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas dengan adanya air (Winarno, 1992). Selain
itu, penurunan kadar lemak dapat disebabkan oleh sifat lemak itu sendiri yaitu mudah menguap
atau volatile (Fahmi, Ma’ruf & Surti, 2014).
154
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kadar Asam Lemak Bebas
Tabel 3. Hasil Pengamatan Asam Lemak Bebas
Sampel Berat Sampel
(W) V titrasi N KOH W1 % FFA
Rata – Rata
(%)
D 5.0091 2
0.087 200 6.9474
6.7718 5.0119 1.9 6.5963
Berdasarkan Tabel 3 didapatkan kadar asam lemak yang terbentuk pada klappertaart
yang telah dilakukan penyimpanan selama dua hari adalah sebesar 6.7718%. Asam lemak
bebas yang dihasilkan oleh proses hidrolisa dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak
netral dan pada konsentrasi sampai 15% belum terlalu menghasilkan flavor yang tidak
disenangi (Ketaren, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan karakteristik fisik pada
Lampiran 4 dimana rasa tengik tidak terlalu terasa pada jam ke- 48. Kandungan gula yang
tinggi pada klappertaart mengurangi kecepatan timbulnya ketengikan (Putri, Laila, Dwi, dan
Deni, 2017).
Kadar Gula Total
Tabel 4. Hasil Pengamatan Kadar Gula Total
Sampel Kadar Gula Total (%) Rata-rata (%)
C1 8.1519
8.4875 C2 8.1543
C3 9.1564
D 12.9035 12.9035
Ket: C = Klappertaart Segar
D = Klappertaart Rusak
Berdasarkan Tabel 4 klappertaart segar memiliki rata- rata kadar gula total sebesar
8.4875 %, sedangkan klappertaart rusak memiliki rata-rata kadar gula total sebesar 12.9035 %.
Total gula mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya konsentrasi gula dalam
larutan osmosis selama penyimpanan. Hal ini menyebabkan jumlah sukrosa yang dimiliki pada
produk semakin meningkat. Peningkatan jumlah sukrosa pada produk dikarenakan semakin
besarnya peristiwa difusi sehingga jumlah gula yang terukur akan semakin besar (Kartika dan
Nisa, 2015). Selain itu terjadinya penurunan pada kadar air juga mempengaruhi kadar gula
155
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
total, dimana menurut Heldman (2012) semakin tinggi hilangnya kadar air persentase total gula
semakin meningkat.
Kerusakan Mikrobiologis
Pertumbuhan Mikroorganisme
Gambar 18. Pertumbuhan Mikroorganisme Pada Klappertaart
Berdasarkan Gambar 2, jumlah mikroorganisme klappertaart rusak lebih besar
dibandingkan adonan pencampuran, adonan klappertaart dan klappertaart segar. Jumlah
mikroorganisme dari adonan pencampuran hingga klappertaart segar terus mengalami
penurunan dan naik kembali saat klappertaart rusak seperti pada Gambar 2. Pada hasil yang
didapatkan nilai ALT klappertaart tidak memenuni syarat nilai ALT SNI untuk kue lapis yaitu
kurang dari 106 koloni/g.
Pertumbuhan Kapang
Gambar 19. Angka Kapang/Khamir (AKK)
y = -6E+07x + 3E+08
R² = 0.9758
y = -4E+07x + 2E+08
R² = 0.7967
y = 8E+06x + 6E+06
R² = 0.5192
0
200000000
400000000
600000000
800000000
1E+09
1.2E+09
1.4E+09
1.6E+09
0 1 2 3
Ju
mla
h M
iik
roorgan
ism
e
Ulangan
A
B
C
X
y = -1E+06x + 2E+07
R² = 0.25
y = 1E+06x + 8E+06
R² = 0.039
y = 3E+06x + 5E+06
R² = 0.19420
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
35000000
0 1 2 3
An
gk
a K
ap
an
g/K
ha
mir
(A
KK
)
Ulangan Ke-
A
B
C
D
156
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan Gambar 3 angka Kapang/Khamir (AKK) klappertaart rusak lebih besar
dibandingkan adonan pencampuran, adonan klappertaart dan klappertaart segar. AKK dari
adonan pencampuran hingga klappertaart segar terus mengalami penurunan dan naik kembali
saat klappertaart mengalami kerusakan. Pada hasil yang didapatkan nilai AKK klappertaart
tidak memenuni syarat nilai AKK SNI untuk kue lapis yaitu melebihi dari 50 koloni/g.
Gambar 4. Koloni Aspergillus niger Yang Tumbuh Pada Klappertaart
Berdasarkan hasil identifikasi kapang yang tumbuh pada produk klappertaart adalah
genus Aspergillus spesies Aspergillus niger Hasil pengamatan secara makroskopis
menunjukkan bahwa A. niger memiliki ciri-ciri koloni yang berwana hitam. Hal ini sesuai
dengan Elmer et al.,(1978) yang mengatakan A. niger memiliki koloni berwarna hitam.
Hasil Deteksi Bakteri E. Coli
Tabel 5. Hasil Pengamatan Bakteri E. Coli
Sampel
Keberadaan Bakteri Patogen Batas Maksimal Bakteri Patogen*
Koliform
(APM/g) E. coli
Koliform
(APM/g) E. coli
A1 450 Positif < 10 Negatif
B1 240 Positif < 10 Negatif
C1 240 Positif < 10 Negatif
C2 21 Negatif < 10 Negatif
C3 4 Negatif < 10 Negatif
A2 1100 Positif < 10 Negatif
157
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Sampel
Keberadaan Bakteri Patogen Batas Maksimal Bakteri Patogen*
Koliform
(APM/g) E. coli
Koliform
(APM/g) E. coli
B2 450 Negatif < 10 Negatif
C4 21 Positif < 10 Negatif
C5 28 Positif < 10 Negatif
C6 20 Positif < 10 Negatif
A3 210 Positif < 10 Negatif
B3 93 Positif < 10 Negatif
C7 43 Negatif < 10 Negatif
C8 210 Positif < 10 Negatif
C9 1100 Negatif < 10 Negatif
D 15 Positif < 10 Negatif
Total 16 11
Ket : A = Adonan Pencampuran
B = Adonan Klappertaart
C = Klappertaart Segar
D = Klappertaart Rusak
Pos/Neg : Positif dugaan E. coli, negatif E. coli ketika diuji lebih lanjut
*Berdasarkan SNI 01-4309-1996 tentang Kue Lapis
Berdasarkan Tabel 5, nilai MPN menunjukkan angka yang berada di atas standar untuk
15 dari 16 sampel, dimana hanya sampel klappertaart segar (C3) telah sesuai standar dengan
nilai < 10 APM/g. Hasil pengamatan E. coli menunjukkan hasil positif pada 11 dari 16
sampel, yaitu sampel A1, B1, C1, A2, C4, C5, C6,A3, B3, dan C8. Hal positif ini ditunjukkan
dengan keberadaan koloni hijau metalik pada media EMB (Acharya, 2016).
KESIMPULAN
Kerusakan fisik klappertart ditandai dengan meningkatnya intensitas warna, aroma, dan
rasa. Kerusakan kimia klappertaart ditandai dengan penurunan kadar air, kadar lemak,
158
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
peningkatan kadar gula total, dan terbentuknya asam lemak bebas sebesar 6.7718%. Kerusakan
mikrobiologis klappertaart ditandai dengan nilai ALT dan AKK klappertaart melebihi syarat
nilai ALT dan AKK SNI untuk kue lapis. Hasil identifikasi menunjukkan kapang spesies
Aspergillus niger yang tumbuh pada klappetaart. Nilai MPN menunjukkan angka yang berada
di atas standar untuk 15 dari 16 sampel dan hasil pengamatan E. coli menunjukkan hasil positif
pada 11 dari 16 sampel.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada UKM serta Fakultas Teknologi Industri
Pertanian, Universitas Padjadjaran yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya
ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, T. 2016. Salmonella-Shigella (SS) Agar: Composition, Principle, Procedure and
Results. Available online at : microbeonline.com (Diakses 27 Mei 2019).
Almatsier, S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
Aminah, Siti dan Isworo, Joko Teguh. 2006. Pengaruh penyimpanan ASI pada suhu rendah
terhadap umur simpan dan total bakteri ASI. Available online at :
Http://Jurnal.unimus.ac.id
Badan Standarisasi Nasional (BSN). (19968). SNI 01-4309-1996. Syarat Mutu Kue Lapis.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Elmer, W.K., Glenn, D.R., and Sara, E.W. (1978). Practical Laboratory Mycologi 2 Edition.
The Williams and wilkins co. United States of Amerika. 7-96p
Fahmi, A. S., Ma’ruf, W. F., dan Surti, T. (2014). Laju oksidasi lemak dan mutu organoleptik
ikan teri nasi kering (stolephorus spp) selama penyimpanan dingin. Pena Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, 27 (1): 72.
Fardiaz. (1992). Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Heldman, Dennis. R. (2012). Food Procces Engineering Second Edition. The AVI Publishing
Company, Inc. Wesport
Kartika, P. N. dan Nisa, F. C. (2015). Studi pembuatan osmodehidrat buah nenas (Ananas
comosus L. Merr): kajian konsenntrasi gula dalam larutan osmosis dan lama perendaman.
Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(4):1345-1355.
Ketaren, S. (2008). Minyak dan Lemak (Vol. 1). Jakarta: UI-Press.
159
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Latifah N. H. (2010). Pemilihan Jenis Plastik dan Pembuatan Desain Kemasan untuk
Keripik Tette Madura. Skripsi. Bangkalan: Teknologi Industri Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Mazrouh MM. (2015). Effects of freezing storage on the biochemical composition in muscles
of Saurida undosquamis (Richardson 1848) comparing with imported frozen.
International Journal of Fisheries and Aquatic Studies. 3(2): 295- 299
Muharani. (2011). Analisisi Peramalan Penjualan Menggunakan Metode Kointegrasi Antara
Jenis Kue di Triple Combo Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Putri, D. I., Laila, I. N., Dwi, A., dan Deni. (2017). Makalah Biokimia “Lemak.”
Supardi, I. (1999). Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni, Jakarta :
184.
Widyaningsih, Wiwid., Supriharyono., Widyorini, Niniek. (2016). Analisis Total Bakteri
Coliform di Perairan Muara Kali Wiso Jepara. Diponegoro Journal Of Maquares, 5, 157-
164.
Winarno, F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Yan, L., & Tanaka. (2005). Ethanol Fermentation from Biomass Resoure: Current State and
Prospects. Appl Microbiol Biotechno, 69, 627–642.
160
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGARUH SUHU PENGERINGAN DAN KADAR AIR GULA CETAK
TERHADAP KARATERISTIK GULA SEMUT
Ira Aprilani1, Bambang Nurhadi2, Imas Siti Setiasih2
1)Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan kadar air gula cetak yang
tepat dalam menetapkan karakteristik gula semut yang dibuat dari gula cetak. Penelitian
dilakukan menggunakan metode deskriptif eksperimental dengan empat perlakuan (perbedaan
suhu pengeringan dan kadar air bahan baku yaitu suhu 50oC dengan kadar air gula cetak 9,44%,
suhu 80oC dengan kadar air gula cetak 9,44%, suhu 50oC dengan kadar air gula cetak 14%
dan suhu 80oC dengan kadar air gula cetak 14%). Hasil analisis gula semut dengan perbedaan
perlakuan suhu pengeringan dan kadar air gula cetak menunjukkan pengaruh terhadaap
parameter pengamatan seperti kadar air, warna, higroskopisitas, waktu larut, sudut curah, dan
morfologi partikel gula semut. Hasil penelitian menunjukkan semakin rendah suhu dan kadar
air bahan baku maka karakteristik gula semut yang didapatkan akan semakin baik, dimana gula
semut dengan perlakuan suhu 50oC dan kadar air gula cetak 9.44%.menghasilkan kadar air
sebesar 1,97%, nilai L* 60,42, a* 9,85, b* 28,43, laju higroskopis 5,5 x 10-3, waktu larut 32,45
detik, sudut curah 21,01o, dan pengujian SEM menunjukkan bahwa morfologi gula semut
berbentuk kristal seperti yang ditunjukkan oleh morfologi partikel pada sukrosa murni.
Kata Kunci: Gula Semut, Karakteristik fisik, Deskriptif eksperimental.
PENDAHULUAN
Gula kelapa merupakan gula yang dihasilkan dari pengolahan nira kelapa. Gula kelapa
memiliki warna coklat yang gelap, aroma khas kelapa, manis dan sedikit kotor sehingga perlu
disaring bila akan digunakan dalam bentuk cair (Kristianingrum, 2009). Gula kelapa dapat
dijadikan sebagai salah satu pengganti gula pasir karena memiliki kandungan gizi yang lebih
lengkap serta memiliki manfaat bagi penderita diabetes karena memiliki indeks glikemik yang
rendah. Menurut Pardi (2012), gula kelapa memiliki indeks glikemik yang setengah kali lebih
rendah dibandingkan dengan indeks glikemik gula pasir , di mana indeks glikemik pada gula
merah hanya sebesar 35 sedangkan indeks glikemik pada gula pasir yaitu sebesar 75.
161
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gula kelapa umumnya dijumpai dalam bentuk gula cetak, namun gula cetak memiliki
sifat fisik yang mudah meleleh dan lengket. Sifat leleh dan lengket ini berpengaruh tehadap
umur simpan gula cetak yang pendek sehingga menyebabkan kerugian bagi petani nira kelapa.
Kemudahan gula cetak untuk meleleh atau lengket disebabkan kandungan air gula cetak yang
cukup tinggi. Kadar air yang tinggi akan menurunkan suhu transisi gelas dan melting point
pada bahan pangan (Nurhadi dan Nurhasanah, 2010). Untuk mengurangi kadar air pada gula
cetak perlu dilakukan modifikasi terhadap luas permukaan bahan pangan, semakin kecil luar
permukaan maka proses pengeringan akan semakin optimal. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengubah gula cetak menjadi gula
semut
Gula semut merupakan hasil olahan nira tanaman familia palmae yang berbentuk
serbuk (Badan Standardisasi Nasional, 1995). Gula semut memiliki beberapa kelebihan antara
lain lebih mudah dalam penggunaan (praktis), memiliki kadar air yang rendah, daya simpan
yang lebih lama, bentuk lebih menarik, pengemasan dan pengangkutan lebih mudah, rasa dan
aromanya lebih khas serta memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula
cetak (Sudarmadji et al., 1997). Namun gula semut yang dibuat dari nira kelapa masih memiliki
beberapa masalah seperti warna gula semut yang dihasilkan tidak seragam dan terlalu gelap
(Putra, 2016). Pengeringan dengan suhu yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya reaksi
pencoklatan non-enzimaris yaitu reaksi karamelisasi dan reaksi maillard sehingga warna gula
semut yang dihasilkan menjadi gelap. Peningkatan mutu gula semut dapat dilakukan dengan
cara pemanasan menggunakan oven vakum.
Menurut Nurhadi et al. (2012), pengeringan vakum merupakan pengeringan yang
terjadi pada saat tekanan di bawah tekanan atsmofer, di mana tekanan di bawah atsmofer
menyebabkan penguapan air yang terjadi selama pengeringan dapat terjadi dengan cepat. Hasil
dari pengeringan menggunakan oven vakum memiliki kualitas yang lebih baik karena tekstur,
cita rasa dan kandungan gizi yang terkandung didalamnya tidak rusak akibat suhu tinggi
(Kutovoy et al, 2004). Metode pengeringan ini sesuai untuk bahan pangan yang memiliki
sensitivitas terhadap temperatur karena dapat mengurangi tingkat kerusakan nilai gizi pada
bahan pangan (Orikasa et al, 2014).
Pengeringan gula cetak dengan oven vakum menghasilkan gula semut yang memiliki
karakteristik partikel amorf. Hal ini terjadi karena laju penguapan yang terlalu cepat sehingga
menyebabkan partikel gula tidak sempat lagi membentuk kristal (Starzak dan Mathlouthi,
162
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
2010). Menurut Nurhadi dan Nurhasanah (2010), bahan pangan kering dapat terdiri atas 2
kondisi fisik. Pertama pada kondisi amourphous yang memiliki struktut molekul yang tidak
rapih, bersifat higroskopis dan melewati transisi gelas. Kondisi kedua yaitu kristalin, di mana
kondisi ini memiliki struktur yang rapih, tidak higroskopis, dan tidak melewati transisi gelas.
Permasalahan metode pengeringan tersebut dapat diatasi dengan cara mengontrol suhu
pengeringan yang tepat dalam pembuatan gula semut. Suhu pengeringan akan mempengaruhi
kelembaban udara di dalam alat pengering dan laju pengeringan untuk bahan tersebut. Pada
kelembaban udara yang tinggi, laju penguapan air bahan akan lebih lambat dibandingkan
dengan pengeringan pada kelembaban yang rendah (Ratnasari, 2014). Selain itu, pemberian
suhu harus memperhatikan suhu transisi gelas dan melting point gula semut, di mana suhu
pengeringan yang akan diberikan akan berpengaruh terhadap kondisi fisik gula semut.
Berdasarkan uraian diatas, maka untuk mengetahui pengaruh laju pengeringan terhadap
karakteristik gula semut perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perbedaan suhu dan kadar
air gula cetak terhadap karakteristik gula semut yang akan dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gula cetak, silica gel, dan aquaades.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah Oven vakum, pisau, talenan, grinder,
desikator, cawan karet, crustang, neraca analitik, spectrophotometer CM-5, magnetic stirrer,
cawan alumunium, beaker glass, hot plate, dan neraca analitik.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menggunakan
analisisdeskriptif. Penelitian ini terdiri 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Data hasil penelitian
ini akandisajikan dalam bentuk visual berupa grafik ataupun histrogram yang akan
menjelaskan hubungan antara satu variabel bebas (y) dan variabel terikat (x). variabel bebas
pada penelitian kali ini ialah suhu dan kadar air. Variabel terikatnya ialah laju hidroskopis,
sudut curah, intensitas warna, kadar air, dan kelarutan.
Pelaksanaan Percobaan
Penelitian kali ini diawali dengan percobaan perdahuluaan berupa pengujian karakteristik
gula cetak yaitu berupa pengujian kadar gula total, kadar gula pereduksi, kadar air, kadar abu,
163
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
partikel tidak larut dan pengujian DSC yang bertujuan untuk megetahui suhu transisi gelas
bahan baku. Pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui kuaitas dari bahan baku serta untuk
menetapkan perlakuan -perlakuan yang akan digunakan pada percobaan utama. Setelah
percobaan pedahuluan, bahan baku gula cetak disiapkan kemudian dilakukan pengecilan
ukuran. Gula cetak yang telah dipotong kemudian ditepatkan pada wadah karet dan ditimbang
untuk mengetahui berat awal bahan baku. Gula cetak yang ada dalam wadah kemudian
diberikan dua buah perlakuan yaitu gula cetak tanpa penambahan air dan gula cetak yang
ditambahkan air hingga kadar air 14%. Kemudian gula cetak yang telah siap dimasukkan
kedalam oven vakum dengan perlakuan dua buah suhu yaitu 50oC dan 80oC hingga kadar air
dibawah 3% dengan catatan diamati perubahan setiap jamnya. Setelah itu gula cetak yang telah
kering dihaluskan dengan menggunakan grinder hingga membentuk gula semut.
Kriteria Pengamatan
Warna dengan model CIELAB menggunakan Spectrophotometer CM-5 (Yam &
Papadakis, 2004), Higroskopis (GEA Niro Research Laboratory, 2005a), Waktu larut (GEA
Niro Research Laboratory, 2005b), Kadar air (GEA NiroReasearch Laboratory, 2005), Sudut
curah (Barbosa-Cánovas et al., 2005), dan Scanning Electron Microscopy (JEOL, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Hasil analisis kadar air gula semut berbagai perlakuan pada penelitian ini yaitu sebesar
0.56% - 2.46% (wb). Kadar air pada gula semut sengaja dikeringkan hingga kadar air maksimal
3%. Hal ini dikarenakan untuk memenuhi standar dari gula semut yang ditetapkan oleh SNI
01-3743-1995. Adapun pengaruh suhu pengeringan dan kadar air gula cetak terhadap kadar air
gula semut dapat dilihat pada gambar 1.
164
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Kadar Air Gula Cetak Terhadap Kadar Air Gula Semut
Berdasarkan hasil kadar air pada gambar 1 didapatkan bahwa suhu pengeringan dan
kadar air gula cetak berpengaruh terhadap kadar air gula semut, dimana hasil yang didapatkan
menunjukkan semakin tinggi suhu pengolahan dan semakin rendah kadar air gula cetak maka
kadar air gula semut yang dihasilkan semakin rendah. Menurut Fellow (2001), pengeringan
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor udara pengering dan sifat bahan. Faktor
yang berhubungan dengan udara pengering adalah suhu, kecepatan volumetrik aliran udara
pengering, dan kelembaban udara, sedangkan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan
yaitu ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial dalam bahan. Menurut Desrosier
(1988), semakin tinggi suhu pengeringan maka kemampuan bahan untuk melepaskan air dari
permukaannya juga akan semakin meningkat. Selain itu, suhu bahan selama proses
pengeringan tidak hanya dipengaruhi oleh kadar air awal dan kadar air akhir bahan namun suhu
udara pengering akan sangat mempengaruhi suhu bahan. Ketika suhu pengering lebih rendah
maka akan memperlambat proses pengeringan (Sitkey,1986 dalam Agus, 2012).
Warna
Pengujian warna penelitian ini dilakukan dengan mengukur perbedaan nilai L*a*b*.
Nilai L* menyatakan derajat kecerahan warna pada rentang 0 (hitam) hingga 100 (putih). Nilai
a menyatakan jenis warna hijau – merah (nilai -120 hingga +120) dan nilai b* menyatakan jenis
warna biru – kuning (nilai -120 hingga +120) (Yam dan Papadakis, 2004).
165
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Kadar Air Gula Cetak Terhadap Nilai L* Gula Semut
Berdasarkan hasil nilai L pada gambar 2 didapatkan bahwa suhu pengeringan
berpengaruh terhadap nilai kecerahan gula semut, dimana pada hasil didapatkan semakin tinggi
suhu maka semakin cerah gula semut yang didapatkan. Hal ini disebabkan karena suhu yang
semakin tinggi akan mempercepat pengeringan dan menurunkan kadar air pada bahan, dimana
kadar air ini berpengaruh terhadap nilai kecerahan pada bahan pangan. Air pada gula semut ini
dapat berpengaruh terhadap pemantulan sinar dari alat. Menurut Young, dkk (2003), benda
akan terlihat hitam jika benda tersebut menyerap cahaya dan akan berwarna putih jika benda
tersebut memantulkan cahaya. Air memiliki sifat menyerap cahaya sehingga semakin tinggi
kadar air maka cahaya yang terserap pun akan semakin tinggi sehingga dapat menurunkan
derajat kecerahan bahan. Sedangkan hasil analisis warna berdasarkan perbedaan kadar air
bahan pada suhu pengeringan yang sama juga menunjukan pengaruh nyata antar perlakuan
dimana hasil kecerahan menunjukan semakin tinggi kadar air gula cetak maka derajat
kecerahan bahan akan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi kadar air
bahan baku maka waktu pengeringan yang dibutuhkan juga akan semakin lama. Menurut
Winarno (2012), semakin lama waktu pengeringan maka warna yang dihasilkan akan semakin
gelap. Warna gula cetak yang semakin gelap ini disebabkan karena adanya reaksi maillard yang
terjadi akibat adanya reaksi antara gugus amino dengan gula pereduksi (Naknean et al. 2009).
Hasil analisis parameter kemerahan atau nilai a* pada gula semut menghasilkan nilai
yang positif yaitu pada rentang 9.40% - 10.85%. Nilai a* yang positif menunjukkan bahwa
166
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
semua sampel gula semut berbagai berlakuan berwarna kemerahan. Warna merah pada sampel
gula semut disebabkan karena reaksi maillard yang dapat menghasilkan pigmen coklat
kemerahan (Bemiller, 2007). Berdasarkan gambar 2 gula semut dengan suhu yang lebih rendah
dan kadar air yang tinggi menunjukkan nilai a* yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena
sampel dengan suhu rendah dan kadar air tinggi membutuhkan waktu pengeringan yang lebih
lama, dimana semakin lama waktu pengeringan, seperti yang telah dijelaskan waktu
pengeringan yang lama ini akan menyebabkan terjadi nya reaksi maillard pada sampel gula
semut.
Hasil analisis nilai b* gula semut semua perlakuan mendapatkan nilai yang positif, hal
ini menunjukkan gula semut yang dihasilkan memiliki warna kuning. Peningkatan nilai b*
menunjukan warna yang semakin kuning dibandingkan sampel lainnya. Berdasarkan gambar
2 nilai b* untuk sampel gula semut menyatakan adanya pengaruh suhu pengeringan terhadap
nilai b* gula semut, dimana semakin tinggi suhu pengolahan maka nilai b* yang didapatkan
semakin rendah. Namun kadar air awal gula cetak pada bahan tidak menunjukan pengaruh
nyata terhadap warna gula semut.
Warna kuning yang dihasilkan pada gula semut disebabkan karena peningkatan kadar
gula pereduksi, dimana gula pereduksi ini merupakan reaktan dari reaksi maillard yang
menghassilkan pigmen caramel, ketika gula pereduksi bereaksi dengan asam amino, sehingga
makanan menjadi kekuningan (Reis et al., 2012). Pembuatan gula semut dengan suhu 50oC
menghasilkan warna yang lebih kuning dibandingkan dengan pengeringan dengan suhu 80oC.
Hal ini disebabkan karena aktifitas enzim invertasi yang akan bekerja secara optimal pada suhu
50oC. Menurut Hafidiana (2006), aktivitas enzim invertasi akan mencapai puncaknya pada
suhu 50oC dan akan menurun pada suhu 70oC.
Higroskopisitas
Higroskopisitas adalah kemampuan makanan bubuk untuk menyerap air dari lingkungan
dalam kelembaban relative tinggi untuk mencapai keseimbangan (Carlos et. Al., 2005).
Menurut Callahan et al. (1982) dan Murikipudi et al. (2013), tingkat higroskopisitas suatu
bahan dipengaruhi oleh laju dan jumlah air yang terserap oleh bubuk dari udara dalam kondisi
kelembaban relative (RH) yang rendah. Secara umum partikel amorf memiliki higroskopisitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan partikel kristalin, dimana partikel amorf cenderung
menyerap air ketika disimpan pada aw yang rendah (Ghorab et al., 2014). Adapun Pengaruh
167
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Suhu pengeringan dan kadar air gula cetak terhadap kadar air gula semut dapat dilihat pada
gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Kadar Air Gula Cetak Terhadap Higroskopisitas Gula Semut
Berdasarkan hasil analisis pada gambar 3 laju higroskopisitas yang dihasilkan ialah
berkisar 0.0048 – 0.0062 g air/g berat kering x menit. Sampel gula semut yang dihasilkan
dipengaruhi oleh kadar air bahan baku dan suhu pengeringan, dimana semakin tinggi suhu
pengeringan dan semakin rendah kadar air awal bahan baku maka semakin tinggi tingkat
higroskopis gula semut. Hal ini disebabkan karena laju pengeringan yang meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu pengeringan (Koswara, 2013). Laju pengeringan yang tinggi ini
dapat menyebabkan partikel gula tidak sempat membentuk kristal sehingga partikel amorf lah
yang lebih banyak terbentuk (Starzak dan Mathlouthi, 2010). Menurut Bhandari et al., (1997),
produk amorphous memiliki sifat yang lebih higroskopis dibandingkan dengan produk kristal.
Hal ini disebabkan karena partikel kristal yang ada menyebabkan proses adsorbs air pada bahan
pangan akan sulit terjadi karena partikel krital ini memiliki sifat yang lebih kompak dan stabil
(Onluwata, 2005).
Waktu Larut
Waktu larut gula semut pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan oleh gula semut untuk larut sempurna dalam air. Kecepatan larut gula semut ini
berkaitan dengan nilai kepraktisan dari gula semut, dimana semakin gula untuk larut maka nilai
kepraktisannya pun akan meningkat. Hasil ananlisis menunjukkan bahwa setiap perlakuan
berupa suhu dan kadar air bahan baku memberikan pengaruh terhadap waktu larut gula semut.
Adapun hasil pengujian waktu larut gula semut dapat dilihat pada gambar 4.
168
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 4. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Kadar Air Gula Cetak Terhadap Waktu Larut Gula Semut
Berdasarkan hasil analisis waktu larut yang dihasilkan memberikan hasil berkisar 27.13
– 34.04 detik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah suhu pengolahan dan
semakin tinggi kadar air bahan baku waktu larut yang dihasilkan semakin lama. Hal ini
disebabkan kandungan partikel gula semut hasil berbagai perlakuan, dimana semakin banyak
kandungan partikel amorpous bahan pangan maka semakin cepat waktu larut bahan tersebut.
Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian (Cano-Chauca et al., 2005; Caparino et al., 2012)
yang menyatakan semakin tinggi kandungan partikel amourpous suatu bahan pangan maka
semakin cepat waktu larut bahan pangan tersebut.
Partikel kristal tidak mudah larut dalam air disebabkan karena sifat yang dimilikinya
yaitu susunan partikel kristal yang lebih rapat sehingga penyerapan air hanya terjadi mulai dari
permukaan luar lalu ke dalam sehingga perlu waktu untuk melarutkannya, berbeda dengan
partikel amourpous yang memiliki susunan pertikel yang tidak teratur dan berporos sehingga
menyebabkan air mudah terserap ( Onluwata, 2005). Selain karena bentuk partikel
penyusunnya, waktu larut gula semut juga dipengaruhi oleh kadar air gula semut, dimana
semakin tinggi kadar air maka semakin lama waktu larut yang dihasilkan. Air dalam bahan
pangan mempengaruhi ukuran partikelnya, dimana semakin besar kadar air maka ukuran
partikel juga akan semakin bertambah dan akan menyebabkan aglomerasi (Ramos et.al., 2016).
Peristiwa aglomerasi menyebabkan bahan sulit untuk turun dipermukaan air ke dasar sehingga
waktu larut yang dibutuhkan semakin tinggi.
Sudut Curah
Sudut curah didefinisikan sebagai sudut yang terbentuk pada saat suatu bahan bubuk akan
membentuk tumpukkan strasioner ketika bubuk tersebut dijatuhkan dari atas (Barbosa dan
169
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Juliano, 2005). Menurut Nurhadi dan Nurhasanah (2010), sudut curah adalah karakteristik
bahan berbentuk bubuk yang berkaitan dengan kemudahan bahan tersebut untuk mengalir.
Besar dari sudut curah ditunjukkan dengan besar sudut yang terbentuk ketika bahan serbuk
dijatuhkan pada ketingggian tertentu dan membentuk suatu tumpukan. Adapun hasil sudut
curah pada gula semut berbagai perlakuan ialah seperti pada gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Kadar Air Gula Cetak Terhadap Sudut Curah Gula Semut
Berdasarkan gambar 5 sudut curah gula semut yang dihasilkan ialah sebesat 21.01 –
33.84, dimana hasil sudut curah tertinggi ialah gula semut hasil pengeringan suhu 80oC dengan
kadar air 9.44% . Sedangkan hasil sudut terendah ialah sampel gula semut hasil pengeringan
suhu 50oC dengan kadar air 9.44%. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya pengaruh suhu
pengeringan terhadap sudut curah gula semut, dimana semakin tinggi suhu pengeringan maka
sudut curah akan semakin besar. Namun pada hasil tersebut tidak menunjukkan adanya
pengaruh kadar air gula cetak terhadap sudut curah gula semut, hal ini karena besarnya sudut
curah yang dihasilkan pada sampel dengan kadar air gula cetak yang sama dengan perlakuan
suhu yang berbeda menunjukkan besar sudut curah yang hampir sama.
Sudut curah yang tinggi menunjukkan bahwa gula semut bersifat higroskopis, dimana
pada saat bubuk dijatuhkann dari permukaan atas bubuk tidak menyebar secara rata, namu
mengalami penggumpalan atau agromerasi sehingga tumpukkan yang terbentuk akan semakin
tinggi dan diameter atau panjang segitiga akan semakin pendek. Hasil analisis ini juga
menunjukkan bahwa bentuk partikel penyusun gula semut berpengaruh terhadap kemampuan
alir bubuk. Menurut Barbosa dan Juliano (2005), kemudahan mengalir suatu bahan dipengaruhi
oleh susunan partikel yang membentuk lapisan bubuk dan dipengaruhi juga oleh gaya gesek
dan kohesif bahan. Hasil sudut curah yang didapatkan juga sesuai dengan syarat makanan
bubuk yaitu kurang dari 35 derajat (Nurhadi dan Nurhasanah, 2010).
170
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Analisis scanning electron microscopy pada penelitian ini bermaksud untuk melihat
morfologi partikel dan topografi permukaan pada gula semut. Pengamatan morfologi partikel
gula semut menggunakan sebuah alat Scanning Electronic Microscopic dengan tipe JEOL
JSM-T200. Pengujinan SEM pada dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pengujian dengan
perlakuan coating dan tanpa perlakuan coating (JEOL, 2004), dimana sampel dalam bentuk
padatan biasanya perlu perlakuan coating terlebih dahulu untuk memaksimalkan hasil
pengamatan. Coating dilakukan dengan pelapisan menggunakan emas kurang lebih setebal 15
mm. adapun hassil fotomikrograf dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 5. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Kadar Air Gula Cetak Terhadap Morfologi Partikel Gula Semut
Hasil fotomikrograf pada gula semut berbagai perlakuan suhu pengeringan dan kadar air
gula cetak dibandingkan dengan hasil fotomikrograf sukrosa. Sukrosa dijadikan sebagai acuan
bentuk partikel gula semut karena sukrosa merupakan kandungan gula utama yang ada pada
gula merah kelapa. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh suhu dan kadar air bahan
terhadap bentuk partikel gula semut, dimana hasil gula semut dengan perlakuan suhu
pengeringan 50oC dan kadar air gula cetak 9.44% menunjukkan bentuk partikel yang paling
serupa dengan bentuk partikel sukrosa.
Fotomikrograf gula semut dengan perlakuan suhu pengeringan 50oC dan kadar air gula
cetak 9.44% menunjukkan partikel gula yang lebih menyebar dan terdapat belahan antar
partikel. Hal ini menunjukkan bahwa gula semut dengan perlakuan suhu pengeringan 50oC dan
kadar air gula cetak 9.44% memiliki bentuk pertikel kristal. Sedangkan sampel gula semut
Suhu 80oC, kadar air
awal 9,44%
Suhu 50oC, kadar air
awal 14%
Suhu 50oC, kadar air
awal 9,44%
Suhu 80oC, kadar air
awal 14%
Sukrosa
171
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dengan perlakuan lainnya menunjukkan bentuk partikel amourpous karena partikel memiliki
ukuran yang lebih besar dan tidak terpisah antar satu partikel dengan partikel lainnya. Menurut
penelitian Cano et.al (2005), partikel kristal memiliki bentuk partikel yang lebih kecil, terdapat
belahan antar partikel, tidak berpori dan gaya tarik yang kecil antar partikel. Sedangkan partikel
amorf memiliki bentuk partikel yang lebih besar, tidak berbentuk, menumpuk dan daya tarik
yang kuat antar partikel. Menurut Bhandari, Data and Howes (1997), bahan pangan bubuk
dengan kadar gula tinggi selama proses pengeringan dapat menghasilkan bahan dengan
permukaan amorf ataupun kristal.
KESIMPULAN
Suhu pengeringan yang tinggi dan kadar air gula cetak yang rendah menghasilkan
karakteristik gula semut yang memiliki kadar air yang rendah, derajat kecerahan yang tinggi,
derajat kemerahan dan kekuningan yang rendah , sifat yang semakin higroskopis, waktu larut
yang cepat, sudut curah yang besar, dan bentuk partikel yang amourphous. Hasil pengeringan
gula semut terbaik ditunjuukkan pada sampel gula semut dengan perlakuan suhu 50oC dan
kadar air gula cetak 9.44%.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yaitu bapak Bambang
Nurhadi, S.TP., M.Sc.,Ph.D., ibu Prof. Dr. Ir. Imas Siti Setiasih, S.U. dan para laboran
teknologi pangan yang telah membimbing dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, M. H. 2012. Pengeringan lapisan tipis kentang (Solanum tuberosum. L) varietas granola.
Skripsi. Program Studi Teknik Pertanian. Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin. Makassar.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3743-1995 tentang Gula Palma. BSN, Jakarta.
Barbosa-Cánovas, E, G. V. O.-R., P, J., & Yan, H. 2005. Food Powders Physical Properties,
Processing, and Functionality. Plenum Publisher, New York.
Bemiller, J.N., 2007. Carbohydrate Chemistry for Food Scientists, 2nd Edition, 2 edition. ed.
Amer Assn of Cereal Chemists, St. Paul, Minn.
Bhandari, B.R., Datta, N., Howes, T., 1997. Problems Associated With Spray Drying Of Sugar-
Rich Foods. Dry. Technol. 15, 671–684.
172
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Cano-Chauca, M., Stringheta, P.C., Ramos, A.M., Cal-Vidal, J., 2005. Effect of the carriers on
the microstructure of mango powder obtained by spray drying and its functional
characterization. Innov. Food Sci. Emerg. Technol. 6, 420–428.
Caparino, O.A., Tang, J., Nindo, C.I., Sablani, S.S., Powers, J.R., Fellman, J.K., 2012. Effect
of drying methods on the physical properties and microstructures of mango (Philippine
‘Carabao’ var.) powder. J. Food Eng. 111, 135–148.
Carlos, L. de A.; Resende, J. V. de.; Cal-Vidal, J. 2005. Redução da higroscopicidade de pós
liofilizados pela indução da cristalização em soluções-modelo de açúcares constituintes
de frutas. Brazilian Journal of Food Technology, v.8, p.163-173.
Desrosier, Norman. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI Press.
Fellow, P.J. 2001. Food Processing Technology, Principles and Practices. CRC Press, Boca
Raton, Boston, New York, Washington.
Ghorab, M.K., S.J. Toth, G.J. Simpson, L.J. Mauer, L.S. Taylor. 2014. Water-solid Interactions
in Amorphous Maltodextrin-crystalline Sucroe Binary Mixtures.Pharmaeutical
Development and Technology. 19(2): 247-256.
GEA Niro Research Laboratory (2005a) A 14 a - Hygroscopicity, Analytical Method.
Available at: www.niro.dk (Accessed: 20 april 2018).
GEA Niro Research Laboratory (2005b) ‘A 6 a -Powder Dispersibility IDF Method GEA Niro
Method No. A 6 a’, (September). Available at: http://www.gea.com/ru/binaries/A 6 a -
Powder Dispersibility IDF Method_tcm27-30911.pdf
173
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
MODIFIKASI DAN UJI KINERJA MESIN PENGIRIS DAN PEMARUT
GANYONG
Lambok Sinaga1, Asep Yusuf2, Wahyu Kristian Sugandi2
1 Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 43563
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terungkap bahwa penggunaan mesin
pengiris dan pemarut ganyong masih memiliki beberapa kekurangan yaitu posisi saluran
pemasukan bahan pengiris yang belum tepat (tidak ergonomis), karena mesin ini merupakan
gabungan dari dua mesin yaitu mesin pengiris dan mesin pemarut yang digabung dalam satu
rangka serta hanya menggunakan satu motor penggerak sehingga perlu dilakukan modifikasi
pada sistem transmisi agar mesin dapat bekerja sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan
operator. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki mesin pengiris dan pemarut ganyong
melalui modifikasi beberapa bagian mesin. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu
metode rekayasa (engineering).Modifikasi dilakukan dengan memindahkan posisi saluran
pemasukan bahan pengiris dari samping kanan pemarut ke samping kiri pemarut,
menambahkan tensioner pada sistem transmisi mesin pengiris dan mesin pemarut ganyong agar
pengggunaan mesin lebih efektif dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Hasil
perancangan mesin pengiris dan pemarut ganyong memiliki kriteria teknis yaitu jika satu unit
beroperasi (pengiris atau pemarut) maka operatornya cukup satu orang saja, namun ketika
membutuhkan kedua unit beroperasi (pengiris dan pemarut) maka dibutuhkan dua orang
operator, kapasitas pengirisan 50 km/jam dengan hasil irisan seragam dengan ketebalan 1-3
mm, dan kapasitas pemarutan 150 kg/jam.
Kata Kunci : modifikasi mesin, mesin pengiris, mesin pemarut, ganyong
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan keanekaragaman hasil bahan
pertanian, termasuk umbi-umbian. Beberapa tanaman sumber karbohidrat sebenarnya juga
banyak terdapat di masyarakat namun belum banyak diperhatikan, salah satu diantaranya
adalah ganyong (Canna Discolor L.). Ganyong merupakan tanaman yang memiliki peluang
sebagai sumber pangan alternative. Selain mudah dalam budidayanya tanaman ini juga kaya
akan karbohidrat dan sumber nutrisi lain (Hidayat N, dkk. 2008). Ganyong juga merupakan
174
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
tanaman yang efesien dalam penggunaan nitrogen, toleran terhadap kekeringan dan
produktivitas yang tinggi (Herman et al, 1998).
Dalam bidang ketahanan pangan, ganyong merupakan sumber karbohidrat yang setara
dengan beras, ubi jalar, jagung, singkong dan sagu. Ganyong dapat dimanfaatkan sebagai pati
atau ganyong instan dan sohun sebagai makanan utama atau sebagai makanan pendamping
seperti kue, cendol dan sebagainya. Harga pati ganyong lebih tinggi daripada pati singkong dan
mudahnya pemasaran menjadikan ganyong sebagai komoditas yang menguntungkan bagi
petani (Hidayat N, dkk. 2008).
Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan rancang bangun mesin pengiris dan pemarut
ganyong. Namun mesin tersebut masih memiliki beberapa kekurangan sehingga perlu
dilakukan modifikasi. Adapun kekurangan dari mesin ini, yaitu posisi saluran pemasukan
bahan pengiris yang belum tepat (tidak ergonomis), karena mesin ini merupakan gabungan dari
dua mesin yaitu mesin pengiris dan mesin pemarut yang digabung dalam satu rangka dan
menggunakan satu motor penggerak sehingga perlu dilakukan modifikasi pada sistem transmisi
agar mesin dapat bekerja sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan operator dan dapat
menghemat kebutuhan bahan bakar. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan perbaikan pada
mesin tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk memodifikasi mesin pengiris dan pemarut
ganyong sekaligus melakukan uji kinerja untuk mendapatkan data kinerja mesin.
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi ganyong putih. Pada tahap
modifikasi mesin, peralatan yang digunakan adalah peralatan bengkel yaitu: las listrik, alat
potong plat, mesin gerinda. Pada tahap pengujian mesin peralatan yang digunakan adalah
timbangan digital, stopwatch, tachometer, jangka sorong, soundlevel meter, vibration meter,
Prony Brake. Penelitian dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
175
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
1. Identifikasi Masalah
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data-data dan informasi pendukung untuk
penelitian yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengamatan
langsung pada mesin dan mencari informasi kekurangan mesin dari skripsi sebelumnya. Data
informasi yang terkumpul dijadikan acuan untuk penetapan kriteria modifikasi yang akan
dilakukan.
2. Penetapan Kriteria Mesin
Tahapan ini dilakukan setelah data hasil identifikasi masalah selesai. Data yang diperoleh
akan menjadi acuan untuk melakukan modifikasi. Setelah dilakukan analisis permasalahan
yang ada dan penyempurnaan ide-ide pemecahan masalah yang mempertimbangkan beberapa
aspek yang terkait, dilakukan perumusan untuk menghasilkan beberapa konsep desain
fungsional maupun struktural yang dilengkapi dengan gambar sketsa dan analisis teknik.
3. Rancangan Fungsional
Tahapan ini merupakan proses dimana dilakukannya penentuan komponen-komponen
yang dimodifikasi. Komponen tersebut ditentukan berdasarkan fungsinya untuk memenuhi
kriteria modifikasi yang sudah ditentukan sebelumnya.
176
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
4. Rancangan Struktural
Rancangan struktural berfungsi untuk menentukan bentuk dari mesin, ukuran serta tata
letak dari setiap komponen agar saling terhubung dan sesuai dengan fungsinya masing-masing,
rancangan struktural ini nantinya akan menjadi dasar dalam analisis teknik.
5. Analisis Teknik
Analisis teknik dilakukan untuk mengetahui spesifikasi komponen yang aman untuk
digunakan pada mesin, menganalisis mekanisme mesin untuk dapat bekerja sesuai kriteria.,
dan mengetahui batasan-batasan aman pada pengoperasi mesin.
6. Pembuatan Gambar Mesin
Pada pembuatan gambar mesin ini harus berdasarkan acuan dari prosedur-prosedur yang
sebelumnya, seperti ukuran komponen yang telah ditentukan melalui analisis teknik dan
berdasarkan rancangan fungsional dan struktural, proses menggambar ini merupakan bentuk
visual sehingga dihasilkan gambar yang menggambarkan bentuk mesin sesungguhnya yang
bisa dipahami oleh yang melihat gambar tersebut.
1. Modifikasi
Pada tahap ini dilakukan fabrikasi dari komponen-komponen tambahan ataupun
melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian bagian yang sudah ada pada mesin.
Modifikasi dilakukan berdasarkan pada hasil tahapan perancangan sebelumnya.
2. Uji Kinerja
Uji kinerja dilakukan untuk mengetahui seberapa berpengaruhnya modifikasi yang
dilakukan terhadap kinerja mesin. Selain itu, pengujian mesin juga dapat menjadi acuan untuk
evaluasi dan perbaikan-perbaikan pada mesin ataupun menjadi acuan untuk pengembangan
mekanisme mesin yang lebih baik.
Untuk persamaan-persamaan yang digunakan dalam pengujian mesin yaitu sebagai
berikut :
a) Kapasitas Teoritis Mesin Pengiris dan Pemarut Ganyong
Mesin pengiris dan pemarut ganyong untuk bagian pengirisnya dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut (SNI 0838-1:2014) :
Kt = t A N s ρ 60 ............................................................................... (1)
Dimana :
177
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kt = kapasitas teoritis (kg/jam);
t = Ketebalan irisan (m);
N = kecepatan putar silinder pengiris (rpm);
s = jumlah pisau;
A = luas penampang pisau (m2)
ρ = densitas kamba ganyong (kg/m3)
Kapasitas teoritis mesin pengiris dan pemarut ganyong untuk bagian pemarut dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (SNI 8030:2014):
kt = 60 ρ ᴫ r2 L ................................................................................... (2)
Dimana :
Kt = kapasitas teoritis (kg/jam);
ρ = densitas kamba ganyong (kg/m3);
r = Jari-jari silinder pemarut (m);
L = panjang silinder pemarut (m) ;
Dimana densitas kamba dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini:
ρ = 𝑚
𝑣 ................................................................................................. (3)
Dimana :
ρ = densitas atau massa jenis ganyong (kg/m3);
m = massa ganyong (kg);
v = Volume wadah (m3);
b) Kapasitas Aktual Mesin Pengiris dan Pemarut Ganyong
Kapasitas aktual pengirisan ganyong dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (SNI 0838-1 2014):
kp =60 𝐵𝑖
𝑡𝑖 .......................................................................................... (4)
Dimana :
kp = kapasitas pengirisan (kg/jam);
Bi = bobot irisan ganyong yang ditampung keluar dari lubang pengeluaran dalam
waktu tertentu (kg);
ti = waktu mulai irisan ganyong yang keluar dari lubang pengeluaran sampai selesai
operasi (menit);
178
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kapasitas aktual pemarutan ganyong dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (SNI 8030:2014):
KPO =60 𝑊𝑗𝑜
𝑡 ................................................................................... (5)
Dimana :
KPO = kapasitas keluaran hasil parutan (kg/jam).
Wjo = berat total hasil parutan yang ditampung selama 1 menit (kg).
t = waktu pemarutan yang sudah ditentukan (jam).
c) Efisiensi Mesin pengiris dan Pemarut Ganyong
Efisiensi mesin pengiris dan pemarut ganyong dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut (SNI 0838-1:2014 dan SNI 8030:2014):
.............................................................................. (6)
Dimana :
= Efisiensi mesin (%)
= Kapasitas aktual (kg/jam)
= Kapasitas teoritis (kg/jam)
d) Nisbah dan Rendemen Mesin Pengiris dan Pemarut Ganyong
Nisbah dari mesin pengiris dan pemarut ganyong dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
Nb =𝑊2
𝑊1 x 100% ................................................................................ (7)
Dimana :
Nb = Nisbah (%);
W2 = bobot yang teriris/terparut (kg);
W1 = bobot yang tidak teriris/terparut (kg);
Perhitungan rendemen pengirisan dan pemarutan tersebut dapat dihitung menggunakan
persamaan. (SNI 8030:2014 dan SNI 0838-1:2014):
Rp =100% 𝑊𝑏2
𝑊𝑏1 ................................................................................. (8)
Dimana :
Rp = Rendemen pengirisan/pemarutan (%);
Wb2 = berat total bahan yang akan diiris/diparut (kg);
179
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Wb1 = berat total hasil irisan/parutan yang ditampung (kg);
e) Konsumsi Bahan Bakar
Konsumsi bahan bakar dihitung dengan menggunakan persamaan :
FC = 𝐹𝑉
𝑡2 ............................................................................................ (9)
Dimana :
FC = Konsumsi bahan bakar (liter/jam)
FV = Volume bahan bakar (liter);
t2 = Waktu beroperasi motor penggerak (jam)
f) Energi Spesifik
Energi spesifik pengirisan dan pemarutan dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut (SNI 8030:2014 dan SNI 0838-1:2014) :
W = 3600 𝑃
𝐾𝑎 ...................................................................................... (10)
Dimana :
W = energi spesifik pengirisan atau pemarutan (kj/kg);
P = kebutuhan daya aktual (kW);
Ka = kapasitas aktual mesin (kg/jam);
g) Ketebalan Rata-rata Irisan
Menghitung rata-rata ketebalan irisan dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut
(SNI 0838-1:2014):
........................................................................ (11)
Dimana :
Tr = Tebal rata-rata irisan ganyong (mm)
Ti = Tebal irisan pada pengukuran ke i (mm)
h) Keseragaman Ketebalan Irisan
Menghitung keragaman ketebalan irisan dapat dilakuakan dengan menggunakan
rumus (SNI 0838-1:2014):
....................................................................... (12)
.............................................................................. (13)
............................................................................... (14)
Dimana :
180
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
SD = Standar deviasi
Tr = Tebal rata-rata irisan (mm)
Ti = Tebal irisan pada pengukuran ke i (mm)
CV = Koefisien keragaman ketebalan irisan (%)
U = Keragaman ketebalan irisan (%)
i) Persentase Kerusakan
Menghitung persentase kerusakan irisan dengan menggunakan rumus (SNI 0838-
1:2014):
............................................................................. (15)
Dimana :
PR = presentase kerusakan (%)
Wr = berat rata-rata irisan rusak (g)
Ws = berat rata-rata sampel (g)
3. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil pengujian yang
didapatkan. Hasil evaluasi pada penelitian ini berupa perbaikan jika masalah yang ditemukan
tergolong ringan, sedangkan jika perbaikan masalahnya membutuhkan perombakan besar-
besaran maka hasil modifikasi hanya dituangkan dipembahasan dan saran penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan informasi dari skripsi sebelumnya dan hasil pengamatan langsung terhadap
mesin masih terdapat beberapa kekurangan pada mesin pengiris dan pemarut ganyong yang
ada di Bengkel Pedca, Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran. Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi pada mesin tersebut untuk
memenuhi kriteria mesin yang telah ditetapkan.
Rancangan modifikasi pada mesin pengiris dan pemarut ganyong dapat dilihat pada
Gambar 1 berikut ini:
181
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Hasil Modifikasi Mesin Pengiris dan Pemarut ganyong
Keterangan:
a) Mesin Pengiris dan Pemarut Ganyong sebelum dimodifikasi
b) Mesin Pengiris dan Pemarut Ganyong setelah dimodifikasi
Mekanisme kerja mesin Mesin pengolah ganyong ini pada prinsipnya hampir sama
dengan mesin pengiris dan pemarut yang sudah ada, yaitu dengan pengirisan yang
menggunakan prinsip berupa pisau iris yang berputar menggunakan poros dan mesin pemarut
berupa silinder parut yang berputar menggunakan poros. Mekanisme kerja dari mesin pengolah
ganyong ini yaitu dimulai dari pengaturan tensioner terlebih dahulu agar mesin dapat
beroperasi sesuai keinginan operator (apakah menggunakan kedua unit (pengiris dan pemarut)
atau hanya menggunakan satu unit saja (pengiris atau pemarut)). Langkah selanjutnya adalah
menghidupkan motor penggerak, motor penggerak dihubungkan dengan poros yang sudah
182
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
terpasang puli dan sabuk sebagai sistem transmisinya. Sistem transmisi pada mesin ini
berfungsi sebagai sistem penyalur daya untuk menggerakkan poros pengiris dan pemarut. Saat
mesin sudah beroperasi maka ganyong akan dimasukkan melalui saluran pemasukan bahan
(unit pengiris dan unit pemarut) untuk selanjutnya diteruskan ke pisau pengiris maupun roller
pemarut. Ganyong yang sudah teriris dan terparut akan keluar melalui saluran pengeluaran
bahan dari masing-masing proses. Untuk bagian pengiris diharapkan ukuran ketebalan bahan
yang dihasilkan 1-3 mm dan hasil pengirisan seragam. Untuk gambar mesin secara keseluruhan
(mesin pengiris dan pemarut) dapat dilihat di Gambar 2 berikut :
Gambar 2. Mesin Pengiris dan Pemarut Ganyong
Kebutuhan Daya Penggerak
Dari hasil perhitungan dapat diketahui besarnya daya untuk menggerakan 2 buah unit
(pisau pengiris dan silinder pemarut) maka kebutuhan daya teoritis adalah sebesar 1.304,03
Watt atau 1.75 HP. Motor penggerak yang digunakan yaitu motor bakar bensin dengan daya
maksimal 5,5 HP. Penggunaan motor bakar sebagai sumber daya utama dikarenakan jumlah
cakupan daya yang ditawarkan motor bakar lebih besar dibandingkan motor listrik.
Keterangan :
1. Unit Pengiris Ganyong
2. Unit Pemarut Ganyong
3. Saluran Outlet Pemarut
4. Tensioner Sebagai Penekan
Sabuk
5. Saluran Outlet Pengiris
6.Sistem Transmisi sebagai
Penyalur Daya
7. Motor penggerak
183
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Unit Transmisi
Unit transmisi pada mesin pengiris dan pemarut ganyong ini berupa sabuk dan puli yang
berfungsi untuk menyalurkan daya dari tenaga penggerak ke komponen-komponen mesin
lainnya. Sabuk yang digunakan pada mesin pengiris ganyong ini berupa sabuk V tipe A. Unit
transmisi berupa sabuk dan puli ini berfungsi untuk mentransmisikan kecepatan putar dari
motor penggerak sebesar 3500 rpm untuk memutarkan piringan pisau pengiris dan pemarut
pada mesin, kecepatan putar piringan dari hasil perhitungan secara teoritis diperoleh sebesar
600 rpm, sehingga untuk mendapatkan kecepatan putar piringan pisau pengiris sebesar 600
rpm dilakukan penambahan puli poros tambahan dengan kecepatan 1500 rpm. Untuk kecepatan
putaran rol pemarut dari hasil perhitungan secara teoritis diperoleh sebesar 1300 rpm.
Berdasarkan hasil perhitungan analisa teknik, diperoleh ukuran puli pada motor penggerak 4
inchi, puli tambahan 10 inchi, puli pengiris 10 inchi, dan puli pemarut 11 inchi.
Perhitungan unit transmisi dilakukan untuk mendapatkan putaran puli, panjang sabuk
transmisi, massa sabuk, kecepatan linear, sudut kontak sabuk, tegangan sisi kencang sabuk,
tegangan sisi kendur sabuk, jumlah sabuk dan tegangan tarik sabuk. Dari hasil perhitungan
secara teoritis panjang sabuk yang digunakan untuk puli poros tambahan sebesar 4 inchi, untuk
puli poros pengiris sebesar 57 inchi, dan puli poros pemarut sebesar 59 inchi.
Kinerja Mesin
Hasil uji kinerja mesin setelah dilakukan modifikasi menunjukkan bahwa kinerja mesin
pengiris dan pemarut ganyong semakin lebih baik dari mesin sebelumnya dengan parameter
sebagai berikut: kapasitas teoritis sebesar 44,19 kg/jam untuk pengirisan dan 185,10 kg/jam
untuk pemarutan; kapasitas aktual sebesar 39,91 kg/jam untuk pengirisan dan 171,2 kg/jam
untuk pemarutan; efisiensi mesin sebesar 90,60% untuk pengirisan dan 92,55% untuk
pemarutan; nisbah pengirisan sebesar 6,835% dan nisbah pemarutan sebesar 20,11%;
rendemen pengirisan sebesar 96,83% dan rendemen pemarutan sebesar 94,40%; konsumsi
bahan bakar untuk pengirisan sebesar 1,81 l/jam dan konsumsi bahan bakar untuk pemarutan
sebesar 2,29 l/jam; energi spesifik pengirisan yaitu 369,904 kJ/kg dan energi spesifik untuk
pemarutan sebesar 76,924 kJ/kg; tingkat kebisingan mesin pengiris 95,7 dB, tingkat kebisingan
pemarut sebesar 98,06 dB, dan tingkat kebisingan ketika keduanya beroperasi sebesar 96,08
dB; getaran mesin pengiris bagian depan, tengah dan belakang secara berurutan 32,65 mm/s,
184
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
17,67 mm/s, 33,44 mm/s dan mesin pemarut 35,17 mm/s, 24,31 mm/s, 28,27 mm/s. Dan secara
anthropometri, mesin sudah memenuhi dan layak digunakan.
KESIMPULAN
Mesin ini dirancang dengan dua mesin dalam satu rangka maka perlu daya yang besar,
sehingga motor yang digunakan adalah motor bensin 5.5 HP dengan kecepatan putar 3500 rpm.
Poros yang digunakan ukuran diameter 25 mm, dengan sabuk V belt-A yang membutuhkan
sabuk untuk menyalurkan daya dari poros tambahan ke unit pengiris sebesar 57 inchi dan dari
motor ke unit pemarut sebesar 59 inchi. Dengan bantalan jenis UCP 205. Berdasarkan hasil
kinerja mesin, maka mesin sudah layak digunakan, namun sebaiknya menggunakan motor
listrik agar mengurangi kebisingan dan getaran mesin.
DAFTAR PUSTAKA
BSN. 2014. Mesin pengolah ubi kayu bagian I: Mesin pengiris Ubi kayu. SNI 0838-1:2014.
Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
BSN. 2014. Mesin Pemarut Multi komoditi Hasil Pertanian Tipe Rol. SNI 8030:2014. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta.
Hermann, M., N.K, Quynh, and D. Peters. 1998. Reappraisal of Edible Canna as a High-Value
Starch Crop in Vietnam. CIP Program Report 1997-98. Lima
Hidayat, N., Nurika, I., dan Purwaningsih, I. 2008. Potensi Ganyong Sebagai Sumber
Karbohidrat Dalam Upaya Menunjang Ketahanan Pangan. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian FTP Universitas Brawijaya, Malang
Sularso dan Kiyokasu, Suga. 1997. Dasar Perencanaan dan Perancangan Elemen Mesin.
Cetakan Kesembilan.Pradnya Paramita, Jakarta.
185
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
UJI EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT BUAH KAKAO
(Theobroma cacao L.) TERHADAP BAKTERI PATOGEN PADA
PRODUK PANGAN
Laras Sari Banon1, Indira Lanti Kayaputri2, In-In Hanidah2, Elazmanawati Lembong2
1)Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
*Penulis koresponden : [email protected]
ABSTRAK
Kulit buah kakao merupakan limbah hasil pengolahan biji kakao yang pemanfaatannya
belum dilakukan secara optimal. Kulit buah kakao memiliki komponen fitokimia yang
berpotensi sebagai antimikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada produk
pangan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi ekstrak kulit buah kakao yang
paling efektif menghambat pertumbuhan Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan
Salmonella Sp. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan 7
perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan terdiri konsentrasi ekstrak kulit buah kakao
yaitu 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, dan 70% untuk metode difusi. Hasil penelitian
menunjukan efektivitas ekstrak kulit buah kakao dengan diameter zona hambat terhadap
Escherichia coli sebesar 15.35 mm (zona sensitif) pada konsentrasi 50%, Staphylococcus
aureus sebesar 11.49 mm (zona intermediet) pada konsentrasi 70%, dan Salmonella sp. sebesar
16.25 mm (zona sensitif) pada konsentrasi 60%. Metode dilusi didapatkan nilai Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) dari Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp.
berturut-turut adalah 6.25%, 12.5%, dan 12.5%. Sedangkan untuk nilai Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella sp berturut-
turut adalah 100%, 50%, dan 50%. Pengujian fitokimia menunjukan ekstrak kulit buah kakao
mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, dan fenolik.
Kata Kunci: antimikroba, fitokimia, kulit buah kakao
PENDAHULUAN
Kekhawatiran masyarakat akan penyakit yang berasal dari makanan cukup tinggi.
Adanya cemaran mikroorganisme menjadi salah satu penyebabnya. Bakteri patogen yang
sering mengontaminasi bahan pangan diantaranya adalah Escherichia coli, Staphylococcus
aureus dan Salmonella sp. Kontaminasi dapat terjadi melalui pangan yang mengalami kontak
dengan manusia selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian
(Sudershan et al., 2014). Adapula bakteri yang sudah ada pada bahan pangan itu sendiri, seperti
E.coli dan Salmonella yang terdapat pada daging mamalia, daging unggas, atau telur yang tidak
matang (Arifah et al., 2010).
186
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Escherichia coli (E.coli) adalah salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup
secara normal di dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa strain dari E. coli dapat menyebabkan wabah diare atau muntaber,
terutama pada anak-anak dengan adanya enterotoksin yang dihasilkan E.coli.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu flora normal manusia pada kulit dan selaput
mukosa. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu
tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus dalam pangan.
Intoksikasi merupakan salah satu gangguan yang diakibatkan karena mengonsumsi pangan
yang mengandung toksin dari bakteri patogen (Sudershan et al., 2014). Staphylococcus aureus
dapat menyebabkan terjadinya berbagai jenis infeksi mulai dari infeksi kulit ringan, keracunan
makanan, sampai dengan infeksi sistemik (Herlina, 2015).
Bakteri lain yang menyebabkan keracunan pada makanan adalah Salmonella sp yang
diketahui bersifat patogen, sehingga adanya bakteri ini dalam makanan dianggap
membahayakan kesehatan. Salmonella bisa terdapat di udara, air, tanah, sisa kotoran manusia
maupun hewan atau makanan hewan. Sedangkan kasus yang sering terjadi adalah keracunan
Salmonella dari makanan seperti daging mentah (terutama daging cincang), daging unggas,
ikan, telur, dan makanan yang mengandung telur mentah.
Salah satu tanaman di Indonesia yang berpotensi sebagai antimikroba alami adalah
tanaman kakao (Theobroma cacao L.). Kakao merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan
yang kaya akan senyawa bioaktif, terutama polifenol, flavonoid, tanin, theobromine, dan
alkaloid yang berperan sebagai antimikroba. Polifenol merupakan salah satu komponen
fitokimia pada kulit buah kakao yang bersifat antimikroba terhadap bakteri patogen. Kulit buah
kakao merupakan hasil samping dari pengolahan kakao yang tingkat produksinya tinggi di
Indonesia. Produksi limbah kulit buah kakao mencapai lebih dari 60% dari total produksi buah
(Harsini dan Susilowati, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah kakao
terhadap bakteri patogen pada produk pangan, sehingga berpotensi digunakan sebagai
pengawet bahan pangan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental yang dilanjutkan dengan
analisis deskriptif untuk mengetahui konsentrasi mana yang paling efektif untuk menghambat
187
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
pertumbuhan bakteri patogen produk pangan yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
dan Salmonella sp. Perlakuan dilakukan pada penelitian ini adalah ekstrak kulit buah kakao
dengan fraksi larut etanol 70% dengan beberapa konsentrasi dan pengulangan sebanyak 3 kali,
dengan perlakuan sebagai berikut.
A : Ekstrak kulit buah kakao konsentrasi 10%
B : Ekstrak kulit buah kakao konsentrasi 20%
C : Ekstrak kulit buah kakao konsentrasi 30%
D : Ekstrak kulit buah kakao konsentrasi 40%
E : Ekstrak kulit buah kakao konsentrasi 50%
F : Ekstrak kulit buah kakao konsentrasi 60%
G : Ekstrak kulit buah kakao konsentrasi 70%
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah grinder, ayakan 80 mesh, vacuum filter,
corong pisah, labu rotary dan rotary evaporator. Alat yang digunakan untuk analisis pada
penelitian ini adalah autoclave, ose, oven, waterbath, inkubator, cawan petri, tabung reaksi,
vortex, kapas, kassa, bunsen, bulb pipet, mikropipet, neraca analitik, spatula, pipet ukur, tip
mikropipet, kompor, refrigerator, erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, kuvet dan
spektrofotometer UV-Vis.
Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit buah kakao matang berusia
5-6 bulan dengan ciri-ciri kulitnya berwarna kuning oranye yang didapat dari perkebunan
swasta PP Bajabang Indonesia, Cipeundeuy, Jawa Barat, serta pelarut etanol 70% yang
digunakan untuk ekstraksi komponen bioaktif. Bahan yang digunakan pada proses yaitu,
aquades, natrium metabisulfit, spirtus, alumunium foil, cling wrap, spirtus, kasa, kapas, NaCl
Fis 0,85%, media pertumbuhan yaitu Nutrient Agar (NA), Mueller Hinton Agar (MHA), dan
Mueller Hinton Broth (MHB), kultur murni Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Salmonella sp, BaCl2, H2SO4, pereaksi Dragendroff, n-heksana, kertas saring Whatman No.4,
HCl pekat, Mg, FeCl3 1%, FeCl3 5%, etanol 95%, NaOH 10%, reagen Folin-Cioucalteu,
Na2CO3 15%, metanol, AlCl3 2%, H2SO4 6N, asetik anhidrit (C4H6O3), asam borat, asam
oksalat, eter, dan K2Cr2O7.
188
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pembuatan Ekstrak Kulit Buah Kakao
Kulit buah kakao dikeringkan dengan oven kemudian digiling menggunakan grinder
hingga terbentuk serbuk. serbuk kulit buah kakao diayak menggunakan ayakan 80 mesh.
Serbuk tersebut kemudian ditimbang masing-masing 60 g lalu dimasukkan ke dalam botol/jar
kaca berwarna gelap. Pelarut yaitu etanol 70% ditambahkan sebanyak masing-masing 300 mL,
sehingga rasio antara sampel dan pelarut adalah 1:5, lalu dilakukan maserasi selama 24 jam
pada suhu ruang dalam keadaan tertutup dan terhindar dari cahaya langsung. Filtrat dipisahkan
dari residunya, kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 45oC.
Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Kakao Metode Difusi Sumuran
Metode difusi dengan menggunakan lubang atau sumuran adalah metode yang digunakan
dalam pengujian aktivitas penghambatan bakteri pada penelitian ini, dengan cara dibuat sumur
pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi
agen antimikroba yang akan diuji (Pratiwi, 2008).
Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Kakao Metode Dilusi
Metode dilusi atau uji seri pengenceran dilakukan dengan cara sejumlah zat antimikroba
dimasukkan ke dalam medium bakteriologi padat dan cair. Medium akhirnya diinokulasikan
dengan bakteri yang diuji dan diinkubasi. Tujuan akhir dari metode dilusi adalah untuk
mengetahui seberapa banyak jumlah zat antimikroba yang diperoleh untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh bakteri yang diuji.
Pengujian Fitokimia Ekstrak Kulit Buah Kakao
a) Uji alkaloid (Raaman, 2006)
Ekstrak kulit buah kakao ditambahkan larutan HCl 2N sebanyak 1 ml dan dilakukan
pengadukan. Setelah itu disaring, filtrat yang didapat ditambahkan dengan 1-2 ml pereaksi
Dragendroff. Dilakukan pengamatan warna. Hasil uji positif alkaloid menggunakan pereaksi
Dragendroff akan menghasilkan warna jingga.
b) Uji Flavonoid ((Harborne, 1996 modifikasi Sumarlin et al. 2015)
Sampel sebanyak 1 ml ditambahkan 10 ml air panas (metode Harborne, 1996
menggunakan alkohol). Kemudian dilakukan pendidihan selama 5 menit, setelah itu disaring
dengan kertas saring Whattman No. 4). Filtrat yang didapat diambil sebanyak 5 ml dan
ditambah 5 tetes HCl pekat dan 0,2 gram serbuk Mg. Setelah itu dikocok dengan kuat dan
diamati perubahan warnanya. Hasil uji positif menunjukkan warna merah, kuning atau jingga.
189
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
c) Uji Saponin (Sumarlin et al. 2015)
Ekstrak sebanyak 0,5 g ditambah air panas sebanyak 5 ml dalam tabung reaksi dan
dikocok. Sampel dinyatakan positif mengandung saponin apabila terdapat gelembung udara.
Terbentuknya gelembung udara yang stabil dalam tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa
golongan saponin, , bila ditambahkan HCl 1% (encer) gelembung udara tetap stabil.
d) Uji Fenolik (Sumarlin et al. 2015)
Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambah 10 tetes FeCl3 1% (uji tanin) atau FeCl3 (uji
fenolik). Sampel positif mengandung tanin atau fenol apabila menghasilkan warna hijau,
merah, ungu, biru atau hitam pekat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Kakao Metode Difusi
Tabel 1. Data Rata-Rata Zona Bening Bakteri Menggunakan Metode Difusi Sumuran
Konsentrasi E.coli S.aureus Salmonella
R (mm) R (mm) R (mm)
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
9.55 ± 2.32
10.64 ± 0.49
13.00 ± 1.96
13.01 ± 1.42
15.35 ± 2.27
15.07 ± 2.72
15.11 ± 0.97
7.63 ± 1.13
8.29 ± 0.95
8.42 ± 0.95
11.04 ± 3.00
10.68 ± 0.92
11.14 ± 1.64
11.49 ± 0.56
8.55 ± 0.80
10.73 ± 1.43
13.34 ± 0.42
13.40 ± 1.70
14.56 ± 1.54
16.25 ± 1.48
15.17 ± 1.61
Keterangan: R : Rata-rata diameter zona bening dari tiap pengulangan
Berdasarkan Tabel 1, rata-rata diameter daya hambat kulit buah kakao terhadap
pertumbuhan E.coli berada pada kisaran 9.55–15.35 (Resisten–Sensitif), Salmonella berada
pada kisaran 8.55–16.25 (Resisten–Sensitif), dan S.aureus berada pada kisaran 7.63–11.49
(Resisten–Intermediet). Hal ini menunjukkan E.coli dan Salmonella yang merupakan bakteri
gram negatif memiliki kemampuan daya hambat lebih tinggi dibandingkan S.aureus yang
merupakan bakteri gram positif.
190
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Kakao Metode Difusi
(a : E.coli, b : S.aureus, c : Salmonella)
Gambar 1 (a) menunjukkan pada konsentrasi 50% ekstrak kulit buah kakao menghasilkan
diameter zona bening tertinggi yaitu 15.35 mm yang termasuk zona hambat sensitif. Gambar 1
(b) menunjukkan rata-rata nilai penghambatan tertinggi penggunaan ekstrak kulit buah kakao
terhadap pertumbuhan S.aureus yang berada pada konsentrasi 70% yaitu sebesar 11.49 mm
yang termasuk zona hambat intermediet. Sedangkan Gambar 1 (c) menunjukkan rata-rata nilai
penghambatan tertinggi penggunaan ekstrak kulit buah kakao terhadap pertumbuhan
Salmonella yang berada pada konsentrasi 60% yaitu sebesar 16.25 mm yang termasuk zona
hambat sensitif. Menurut Capuccino dan Sherman (2001), zona penghambatan dengan
diameter 9 mm atau kurang termasuk zona hambat resisten, diameter 10-11 mm termasuk zona
hambat intermediet dan diameter 12 mm atau lebih termasuk zona hambat sensitif.
Ekstrak kulit buah kakao yang diujikan memberikan efek penghambatan yang lebih
tinggi terhadap bakteri gram negatif seperti E.coli dibandingkan dengan bakteri gram positif.
Perbedaan respon penghambatan yang dihasilkan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya kandungan lipid yang tinggi pada membran luar yang mampu memperbesar
permeabilitas dinding sel. Hal ini dapat mengakibatkan semakin tingginya kemampuan
senyawa antimikroba untuk berpenetrasi ke dalam sel sehingga menyebabkan kerusakan sel
(Pelczar dan Chan, 1986).
Selain kandungan lipid, struktur dinding sel dari bakteri gram negatif lebih kompleks
tetapi memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tipis dibandingkan bakteri gram positif.
Dinding sel bakteri gram negatif terdiri dari 10% peptidoglikan, lipopolisakarida dan
kandungan lipid 11-12% sedangkan dinding sel bakteri gram positif terdiri dari 60-100%
peptidoglikan dan lipid 1-4% tebalnya lapisan peptidoglikan pada bakteri gram positif diduga
lebih mampu menghalangi penetrasi senyawa antimikroba dibandingkan bakteri gram negatif
(Pelczar & Chan, 1988). Bakteri gram negatif juga memiliki protein porin pada membran luar
dinding selnya. Protein porin tersebut berfungsi sebagai saluran keluar masuknya senyawa
a b c
191
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
aktif, sehingga senyawa-senyawa aktif pada campuran ekstrak yang diujikan akan lebih mudah
berpenetrasi ke dalam sel dan merusak enzim sel sehingga menyebabkan kerusakan sel
(Sunatmo, 2009).
Aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah kakao metode dilusi
Tabel 2. Data Kemampuan Penghambatan Bakteri Menggunakan Metode Dilusi Cair
Tabel 2 menunjukkan perbedaan nilai KHM dan KBM dari ketiga bakteri. Nilai KHM
dan KBM dapat menunjukkan kemampuan dari ekstrak kulit buah kakao yang dapat bersifat
bakteriostatik (kemampuan menghambat) dan bakterisidal (kemampuan membunuh). Nilai
KHM adalah konsentrasi dari larutan uji yang tidak menunjukkan adanya kekeruhan setelah
bakteri disuspensikan sedangkan konsentrasi paling rendah yang tidak menunjukkan adanya
pertumbuhan koloni bakteri pada media padat adalah nilai KBM (Dewi, 2018).
Nilai KHM ekstrak kulit buah kakao terhadap bakteri E.coli yaitu pada konsenrasi 6.25%,
S.aureus pada konsentrasi 12.5%, dan Salmonella pada konsentrasi 12.5%. Konsentrasi
tersebut secara visual terlihat mulai jernih pada jika dibandingkan tabung dengan konsentrasi
rendah lainnya yang kekeruhannya mendekati tabung kontrol positif yang berisi suspensi
bakteri. Nilai KBM terhadap bakteri E.coli berada pada konsentrasi 100%, S.aureus 50%, dan
Salmonella 50%. Sedangkan pada konsentrasi lainnya, belum mampu untuk menghambat
pertumbuhan bakteri karena jumlah senyawa aktif dalam ekstrak semakin sedikit sehingga
kemampuan ekstrak dalam menghambat bakteri berkurang (Ajizah, 2004).
Tingginya penghambatan aktivitas bakteri patogen terkait dengan kandungan lipidnya
juga dipengaruhi oleh senyawa aktif dalam ekstrak yang diujikan. Naiborhu (2002)
menambahkan bahwa senyawa alkaloid, flavonoid dan fenol menghambat pertumbuhan bakteri
dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri dengan melarutkan lemak
yang terdapat pada dinding sel bakteri. Aktivitas antimikroba yang disebabkan oleh senyawa
fenolik yaitu dengan merusak lipid pada membran plasma mikroorganisme sehingga
menyebabkan isi sel keluar (Pratiwi, 2008). Lipid pada bakteri patogen akan terekstraksi dari
dinding sel oleh senyawa fenolik sehingga pori-pori mengembang. Hal ini menyebabkan daya
KHM KBM
E.coli 6.25% 100%
S.aureus 12.5% 50%
Salmonella 12.5% 50%
192
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
rembes sel dan fungsi membran meningkat oleh penyerapan yang tidak terkontrol sehingga
merusak komponen dinding selnya (Pelczar dan Chan, 1988).
Komponen fitokimia
Uji kualitatif komponen fitokimia dilakukan untuk mengetahui keberadaan suatu
komponen fitokimia dalam ekstrak yang diujikan. Penentuan secara kualitatif dapat dilihat dari
perubahan warna atau terbentuknya buih dan endapan jika sampel direaksikan dengan bahan
kimia tertentu. Hasil pengujian kualitatif komponen fitokimia ekstrak kulit buah kakao
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Kualitatif Komponen Fitokimia Ekstrak Kulit Buah Kakao
Senyawa Fitokimia
Fenolik Flavonoid Saponin Alkaloid
+ + - +
Tabel 2 menunjukkan hasil kualitatif senyawa fitokimia pada sampel ekstrak kulit buah
kakao positif pada pengujian fenolik, flavonoid, dan alkaloid. Sedangkan pada pengujian
saponin menunjukan hasil negatif.
Uji fenolik/tanin
Hasil pengujian fenol menunjukan bahwa ekstrak kulit buah kakao positif mengandung
senyawa fenolik. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna menjadi kehitaman saat
sampel ekstrak ditambahkan dengan pereaksi FeCl3 5%. Menurut Harborne (1996), pereaksi
FeCl3 akan bereaksi dengan senyawa polifenol dalam ekstrak membentuk senyawa kompleks
dan menghasilkan warna biru kehitaman. Salah satu senyawa fenolik adalah tanin. Tanin
memiliki potensi sebagai antimikroba karena sifatnya yang dapat mengikat protein. Tanin
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus substilis, dan
Bacillus stearothermophilus melalui mekanisme pengubahan membran sitoplasma (Susilawati,
2007). Senyawa tanin dapat mengikat protein kemudian menghentikan aktivitas enzim
sehingga metabolisme sel terhenti dan sel menjadi mati.
Uji flavonoid
Hasil pengujian yang dilakukan terhadap sampel ekstrak menunjukan adanya perubahan
warna menjadi kuning dan jingga. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak yang diujikan positif
mengandung senyawa flavonoid. Fungsi flavonoid pada tumbuhan secara umum adalah
193
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis dan memiliki aktivitas antibakteri (Giorgio,
2000). Flavonoid yang terkandung dalam ekstrak kulit buah kakao digolongkan sebagai
senyawa fenolik yang memiliki ikatan glikosida dan berfungsi sebagai antibakteri. Senyawa
fenolik ini akan berinteraksi dengan protein membran sel bakteri melalui proses adsorbsi
dengan cara terikat pada bagian hidrofilik membran sel, sehingga dapat membuat bagian
membran sel menjadi lisis dan terjadi kerusakan sel bakteri (Yumas, 2017).
Uji alkaloid
Hasil pengujian alkaloid pada ekstrak kulit buah kakao menggunakan reagen
Dragendroff menunjukan hasil bahwa sampel ekstrak yang diuji positif mengandung senyawa
alkaloid. Hal ini ditandai dengan timbulnya perubahan warna saat ekstrak ditambahkan dengan
reagen Dragendroff. Senyawa alkaloid yang terdapat dalam kakao diantaranya adalah kafein
dan theobromin (Fowler, 2009). Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik yang memiliki
atom nitrogen dan bersifat basa (alkali) sebagai senyawa antibakteri dengan cara mengganggu
komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel dan menghambat replikasi DNA itu
sendiri, akibatnya terjadi gangguan replikasi DNA yang menyebabkan kematian sel. (Cushine
et al., 2014).
Uji saponin
Hasil pengujian saponin terhadap ekstrak kulit buah kakao menunjukan bahwa sampel
yang diujikan tidak menimbulkan buih, sehingga sampel yang diujikan negatif mengandung
saponin. Hasil pengujian saponin pada ekstrak kulit buah kakao juga tidak sesuai dengan
penelitian Tarwiyah et al., (2017) yang menyebutkan bahwa ekstrak kulit buah kakao yang
dihasilkan dari ekstraksi dengan menggunakan metanol masih memiliki komponen saponin di
dalamnya. Saponin juga merupakan salah satu komponen fitokimia yang dapat berfungsi
sebagai antimikroba. Beberapa saponin berfungsi dalam pertahanan tanaman terhadap
serangan mikroba atau fungi dan melawan virus serta memiliki sifat hemolitik dan beberapa
bersifat sitotoksik (Bruneton, 1999). Keberadaan saponin dalam suatu ekstrak dipengaruhi oleh
jenis pelarut yang digunakan. Menurut Allo (2016), Saponin merupakan senyawa non polar
sehingga tidak dapat larut dalam pelarut polar.
194
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KESIMPULAN
Komponen fitokimia yang terdapat dalam ekstrak kulit buah kakao adalah flavonoid,
alkaloid, dan senyawa fenolik. Pengujian dengan metode difusi sumuran didapatkan efek
penghambatan paling efektif terhadap Escherichia coli rata-rata sebesar 15.35 mm (zona
sensitif), Staphylococcus aureus rata-rata sebesar 11.49 mm (zona resisten), Salmonella sp
rata-rata sebesar 16.25 mm (zona sensitif). Pengujian dengan metode dilusi didapatkan nilai
KHM dari Escherichia coli pada konsentrasi 6.25%, Staphylococcus aureus 12.5%, dan
Salmonella sp. 12.5%. Sedangkan untuk nilai KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum)
Escherichia coli pada konsentrasi 100%, Staphylococcus aureus 50%, dan Salmonella sp. 50%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada PP Bajabang Indonesia serta Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava
L . Sensitivitas Salmonella typhimuriumterhadap Ekstrak Daun Psidiumguajava L, 1,
31–38. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP. Universitas Lambung Mangkura.
Allo, M.B.R. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri dari Ekstrak Air Kulit Pisang Ambon Lumut
(Musa acuminata Colla) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus. Program Studi
Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma. Yogyakarta.
Arifah, IN. 2010. Analisis Mikrobiologi pada Makanan [Skripsi]. Surakarta. Fakultas
Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Bruneton Jean. 1999. Alkaloids. In H.K. Caroline : Pharmacognosy : phytochemistry and
medicinal plants. 2nd ed. Paris : Lavoisier publishing. p. 217-220.
Cushine TP, Benjamart, Lamb JA. 2014. Alkaloids An Overview Of their Antibacterial
Antibiotic-enhaching and Antivirulance Activities. International Journal Of
Antimicrobial Agents. 381-383.
Dewi FI dan Manik RW. 2018. Aktivitas Daya Hambat Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinale
var rubrum) terhadap Pertumbuhan Kuman Staphylococcus aureus. Journal of
Vocational Health Studies 01 (2018): 113-116. Fakultas Pendidikan Vokasi. Universitas
195
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Airlangga. Surabaya.
Fowler MS. 2009. Cocoa Beans: From Tree to Factory. Wiley-Blackwell, Chichester.
Giorgio P. 2000. Flavonoid as Antioxidant. Journal National Product, 63: 1035- 1045.
Harbone JB. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. ITB
Press, Bandung.
Harsini T, Susilowati. 2010. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Dari Limbah Perkebunan Kakao
Sebagai Bahan Baku Pulp Dengan Proses Organosolv. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan,
2(2), 80–89.
Herlina N. 2015. Isolasi Dan Identifikasi Staphylococcus aureus Dari Susu Mastitis Subklinis
Di Tasikmalaya, Jawa Barat, 1(Winarso 2008), 413–417.
Naiborhu PE. 2002. Ekstraksi dan Manfaat Ekstrak Mangrove (Sonneratia alba dan Sonneratia
caseolaris) Sebagai Bahan Alami Antibakterial: Pada Patogen Udang Windu, Vibrio
harveyi. Institut Pertanian Bogor.
Pelczar and Chan. 2005. Dasar–Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Pratiwi S. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Jakarta.
Raaman N. 2006. Phytochemical Techniques. New India Publishing Agency. New York
Sudershan RV, Naveen Kumar R, Kashinath, L, Bhaskar, V, Polasa, K. 2014. Foodborne
Infections and Intoxications in Hyderabad India. Epidemiology Research International,
1–5.
Sumarlin LO, Agik S, Min R, Achmad T, Dede S. 2015. Bioaktivitas Ekstrak Metanol Daun
Namnam serta Kombinasinya dengan Madu Trigona. Jurnal Teknologi Pangan Vol.
26(2): 144-154
Sunatmo TI. 2009. Mikrobiologi Esensial. Ardy Agency. Jakarta.
Susilawati Y. 2007. Flavonoid Tanin-Polifenol. Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Tarwiyah F, Harlis., Retni. SB. 2017. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Kulit Buah
Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Strepcoccus mutans sebagai
Bahan Pengayaan Praktikum Mikrobiologi. Artikel Ilmiah. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jambi.
Yumas M. 2017. Pemanfaatan Limbah Kulit Ari Biji Kakao (Theobroma cacao L) Sebagai
Sumber Antibakteri Streptococcus mutans. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 12(2), 7–
20.
196
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
RANCANG BANGUN SISTEM PEMANTAUAN IKLIM MIKRO
GREENHOUSE BERBASIS RASPBERRY PI DENGAN AKSES
INFORMASI MELALUI SITUS WEB
Luthfi Pratama1, Wahyu Kristian Sugandi 2, Mimin Muhaemin 2, Muhammad Saukat 2
1 Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Padjadjaran 2 Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl, Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 43563
Email: [email protected]
ABSTRAK
Iklim mikro sebagai syarat tumbuh tanaman dapat menentukan tingkat produksi tanaman
dalam kualitas maupun kuantatitas. Salah satu upaya untuk memberikan lingkungan yang lebih
mendekati kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman adalah dengan penggunaan
greenhouse. Pengukuran kondisi iklim mikro di dalam greenhouse umumnya masih
menggunakan alat ukur konvensional dengan pencatatan data dalam suatu formulir. Namun
metode ini memiliki kekurangan karena hasil perekaman data berbentuk diskrit dan memakan
waktu. Solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan sensor elektronik.
Tujuan penggunaan sensor elektronik adalah untuk mempermudah pengukuran dan
penyimpanan data kondisi iklim mikro ke dalam komputer. Dengan demikian data tersebut
dapat ditampilkan dalam suatu situs web. Penelitian ini menggunakan metode rekayasa dengan
prinsip kerja internet of things dimana setiap komponen sistem saling terhubung dalam suatu
jaringan internet. Hasil dari penelitian ini adalah sistem dapat mengukur kondisi iklim mikro
seperti suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya menggunakan sensor elektronik
setiap jeda 1 menit. Sistem juga dapat mengambil gambar tanaman melalui kamera dan
menampilkan data hasil pengukuran ke dalam situs web yang aktif selama 24 jam. Berdasarkan
hasil pengukuran, dapat disimpulkan bahwa kondisi intensitas cahaya di dalam greenhouse
berbanding lurus terhadap kenaikan suhu udara, sedangkan kondisi suhu udara berbanding
terbalik terhadap kenaikan kelembaban udara. Perubahan suhu udara, kelembaban udara, dan
intensitas cahaya yang signifikan terjadi pada pukul 06.00 dan stabil di posisi puncak mulai
pukul 10.00. Pola tersebut cenderung sama untuk tiap harinya. Nilai kesalahan rerata
pengukuran oleh sensor sebesar -1,061% untuk pembacaan suhu dan -17,069% untuk
pembacaan kelembaban udara dengan kehilangan data rerata sebesar 2,039%.
Kata kunci: Greenhouse, raspberry pi, iklim mikro, sistem pemantauan, internet of things
197
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Greenhouse merupakan suatu bangunan handal yang terstruktur untuk menyediakan
lingkungan yang nyaman dan terkendali untuk budidaya tanaman. Menurut Suhardiyanto
(2009), penggunaan greenhouse dalam budidaya tanaman merupakan salah satu cara untuk
memberikan lingkungan yang lebih mendekati kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman.
Kondisi optimum tersebut dapat tercapai ketika kondisi parameter iklim mikro sudah sesuai
syarat tumbuh tanaman. Sebagai contoh, Tanaman padi secara umum membutuhkan suhu
minimum 11°C – 25°C untuk perkecambahan, 22°C – 23°C untuk pembungaan, 20°C –25°C
untuk pembentukan biji. Intensitas cahaya di lingkungan sekitar tanaman berkorelasi positif
dalam proses fotosintesis yang merupakan proses pemasakan oleh tanaman untuk pertumbuhan
tanaman dan produksi buah atau biji, sedangkan kelembaban udara yang sesuai dapat dilihat
dengan keadaan suhu di daerah penanaman padi. Sama halnya untuk tanaman lainnya,
parameter iklim mikro tersebut sangat penting untuk diamati agar kondisi optimal bagi
pertumbuhan tanaman dapat terpenuhi.
Kondisi iklim mikro di dalam greenhouse juga bertujuan untuk meningkatkan hasil
budidaya tanaman baik secara kualitas maupun kuantitas. Greenhouse di luar negeri pada
daerah subtropis umumnya dilengkapi dengan sistem pengukuran dan pengendali iklim mikro
yang lengkap agar sesuai dengan kondisi optimal tanaman yang dibudidaya. Di sisi lain,
menurut Klara (2010), greenhouse yang umum di Indonesia yang merupakan daerah tropis
biasanya hanya dimanfaatkan untuk melindungi tanaman dari guyuran hujan, tiupan angin, dan
intensitas cahaya berlebih saja, sehingga kondisi iklim mikro di dalamnya masih kurang
diperhatikan. Hal tersebut terbukti dengan minimnya instrumen pengukur kondisi iklim mikro
pada greenhouse di Indonesia.
Pengamatan kondisi iklim mikro penting di dalam greenhouse pada umumnya digunakan
alat ukur seperti termometer, higrometer, luxmeter, dan sebagainya. Namun metode tersebut
terdapat kekurangan dalam hal perekaman data karena masih dilakukan secara manual
sehingga hasil perekaman data berbentuk diskrit dan memakan waktu. Peneliti perlu
mendatangi greenhouse untuk mengamati kondisi tanaman dan data yang ditampilkan oleh alat
ukur.
Sistem instrumentasi greenhouse berbasis web yang dilengkapi dengan kamera dapat
digunakan sebagai solusi bagi para peneliti untuk mengamati kondisi fisik tanaman dan
198
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
merekam data kondisi iklim mikro. Dengan adanya kamera, potret kondisi tanaman dapat
diamati setiap saat. Sensor-sensor dari sistem instrumentasi akan membaca kondisi iklim mikro
di dalam greenhouse seperti intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara lalu menyimpan
data tersebut ke dalam memori. Selanjutnya, dengan sistem informasi berbasis web, data potret
tanaman dan kondisi iklim mikro yang telah diperoleh dapat diakses kapan saja baik dari dalam
maupun luar ruangan greenhouse melalui jaringan internet.
Prinsip kerja seperti ini merupakan prinsip kerja Internet of Thing (IoT) dimana setiap
benda saling berinteraksi dan terhubung satu sama lain secara otomatis tanpa mengenal jarak.
Raspberry Pi sebagai komponen utama sistem IoT ini dapat digunakan untuk mengolah data
mulai dari pembacaan sampai penampilan data. Sistem instrumentasi greenhouse berbasis web
menggunakan Raspberry Pi akan terus membaca kondisi iklim mikro penting di dalam
greenhouse melalui sensor kemudian menyimpan data ke dalam basis data dan menyajikannya
pada situs web dengan Raspberry Pi sebagai pusat pengolahan datanya. Dengan demikian, hal
ini dapat memudahkan peneliti untuk menentukan waktu dalam melaksanakan kegiatan
pengelolaan iklim mikro dan pemeliharaan tanaman di dalam greenhouse berdasarkan data
iklim mikro yang disajikan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diidentifikasi bahwa perlunya rancang bangun sistem
pengukuran lingkungan yang mampu mengamati kondisi tanaman dan kondisi iklim mikro di
dalam greenhouse dengan data potret tanaman dan data hasil pengukuran kondisi iklim mikro
seperti suhu dan kelembaban udara, serta intensitas cahaya yang tersaji secara kontinyu dan
dapat diakses kapan saja baik dari dalam maupun luar ruangan greenhouse melalui jaringan
internet untuk mempermudah dalam mengamati kondisi tanaman dan kondisi iklim mikro
penting di dalam greenhouse. Pada penelitian ini, greenhouse yang digunakan untuk penelitian
sedang digunakan untuk budidaya tanaman padi.
BAHAN DAN METODE
2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2019 sampai Juni 2019 di Laboratorium
Alat dan Mesin Pertanian Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi
Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran dan diterapkan di Greenhouse Ciparanje, Fakultas
Pertanian, Universitas Padjadjaran.
199
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
2.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah monitor, keyboard, solder listrik,
penyedot timah, laptop, termometer air raksa, higrometer, luxmeter, AVOmeter, mistar, dan
meteran rol. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Raspberry Pi 3 Model B, sensor suhu
dan kelembaban udara DHT11, sensor intensitas cahaya BH1750, multiplexer TCA9548A,
kamera CCTV, kabel listrik, kabel UTP, timah, PCB double-sided layer, panel box, energi
listrik, dan jaringan internet.
2.3 Prosedur Penelitian
Penelitian menggunakan metode rekayasa (engineering). Metode rekayasa yaitu
melakukan suatu kegiatan perancangan (design) yang tidak rutin sehingga di dalamnya terdapat
suatu konstribusi baru dalam bentuk proses maupun produk seperti yang disajikan pada
Gambar 1. Produk yang dihasilkan penelitian ini adalah sebuah sistem pemantauan iklim mikro
greenhouse berbasis Raspberry Pi denn akses informasi melalui situs web.
2.4 Kriteria Perancangan
Sistem Pemantauan Iklim Mikro Greenhouse Berbasis RaspberryPi dengan Akses
Informasi Melalui Internet ini diharapkan dapat:
1. Mengukur dan menyimpan data kondisi iklim mikro seperti intensitas cahaya, suhu dan
kelembaban udara, serta mengambil potret tanaman di dalam greenhouse secara kontinyu
setiap satu menit dengan kehilangan data maksimal 10%.
2. Menghasilkan kesalahan pengukuran oleh sensor yang tidak melebihi 5%.
3. Menyajikan data hasil pengukuran kondisi iklim mikro melalui situs web yang dapat
diakses kapan saja dari dalam maupun luar greenhouse.
4. Menampilkan data hasil pengukuran dalam bentuk tabel dan grafik, beserta ringkasan
data.
5. Menyediakan fitur pada situs web untuk mengunduh data hasil pemantauan.
200
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Prosedur Penelitian
2.5 Mekanisme Kerja
Pada perancangan sistem pemantauan iklim mikro greenhouse berbasis Raspberry Pi
dengan akses informasi melalui situs web ini terdapat sensor suhu, sensor kelembaban, dan
sensor intensitas cahaya untuk mengukur kondisi lingkungan mikro greenhouse. Selanjutnya
terdapat kamera CCTV untuk mengambil gambar tanaman. Lalu sebagai pusat pengolahan
201
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
datanya digunakan papan Raspberry Pi. Skema mekanisme kerja perpindahan data pada sistem
ini dapat diamati pada Gambar 2.
Gambar 2 Skema Mekanisme Kerja
2.6 Perancangan Perangkat Keras
Secara umum, perancangan perangkat keras dalam sistem ini terdiri dari perancangan
rangkaian sensor dan kamera CCTV. Sensor suhu dan kelembaban yang digunakan adalah
DHT 11. Sedangkan sensor cahaya yang digunakan adalah sensor BH1750. Kedua sensor ini
dipilih dengan pertimbangan resolusi dan akurasi bacaan yang cukup baik, serta harga yang
relatif murah. Selain itu, kedua sensor ini memiliki konverter analog ke digital built-in di dalam
rangkaiannya. Dengan demikian dapat dihubungkan langsung dengan papan Raspberry Pi.
Hasil pengukuran menggunakan sensor DHT11 dapat diperoleh secara langsung dengan
komunikasi single-wire. Oleh karena itu, dibutuhkan 1 pin GPIO papan Raspberry Pi untuk
menggunakan 1 sensor DHT11. Di sisi lain, hasil pengukuran oleh sensor BH1750 dapat
diperoleh dengan komunikasi I2C. Sensor BH1750 mengirim sinyal data menggunakan
komunikasi I2C hanya dengan dua alamat I2C yang fixed untuk setiap satu bus I2C. Kedua
alamat tersebut diantara lain 0x5C ketika pin Addr terhubung ke VCC, dan 0x23 ketika pin
Addr terhubung ke ground. Papan Raspberry Pi secara default hanya memiliki satu bus I2C
saja. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan 16 sensor BH1750 maka perlu dihubungkan
terlebih dahulu dengan multiplexer.
202
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Multiplexer yang digunakan adalah TCA9548A. Dalam sebuah multiplexer TCA9548A
memiliki 8 channel yang dapat digunakan. Hal ini berarti sebuah multiplexer TCA9548A dapat
menyediakan 8 bus I2C tambahan. Dengan demikian, kebutuhan komunikasi data untuk 16
sensor BH1750 dapat terpenuhi.
2.7 Perancangan Perangkat Lunak
Perangkat lunak pada sistem pemantauan iklim mikro greenhouse berbasis Raspberry
Pi dengan akses informasi melalui situs web ini dirancang untuk dapat mengukur kondisi iklim
mikro di dalam greenhouse dengan sensor DHT11 dan sensor BH1750 setiap satu menit sistem
berjalan dan memotret tanaman dengan kamera CCTV. Selain itu, pada penelitian ini dirancang
juga situs web untuk menampilkan data hasil instrumentasi yang telah tersimpan. Secara
keseluruhan, pada situs web ini dirancang 5 menu utama, yaitu Beranda, Data Iklim Mikro,
Rincian Data, Download, dan DSS Padi. Secara default, halaman yang dimunculkan saat situs
web pertama kali diakses adalah halaman Beranda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pola Perubahan Suhu Udara
Hasil pengukuran suhu greenhouse disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan grafik yang
disajikan pada Gambar 3, dapat diamati bahwa perubahan suhu yang signifikan terjadi pada
pukul 05.59 dan 14.00. Pada pukul 05.59, suhu mulai meningkat dari 18 oC hingga 38 oC pada
pukul 10.53. Suhu ruangan greenhouse bertahan pada kisaran 36 – 38 oC dari waktu tersebut
sampai pukul 14.00. Pada pukul 14.00, suhu mulai menurun drastis menuju 22 oC. Pola ini
berlaku samauntuk suhu di dalam ruangan dan di luar ruangan greenhouse.
203
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 3. Grafik perubahan suhu udara terhadap waktu
Pola perubahan suhu ini relatif sama dengan pola perubahan suhu pada hari lainnya. Suhu
ruangan greenhouse mulai meningkat pada pukul 05.40 – 06.10 dan mulai bertahan pada suhu
diatas 35 oC pada pukul 09.40 – 09.50 sampai pukul 14.00 – 14.10. Kemudian suhu mulai
menurun pada pukul 14.00 – 14.10.
3.2 Pola Perubahan Kelembaban Udara
Hasil pengukuran kelembaban udara greenhouse disajikan pada Gambar 4.
Berdasarkan grafik yang disajikan pada Gambar 4, dapat diamati bahwa perubahan
kelembaban udara yang signifikan terjadi pada pukul 07.00 dan 14.00. Pada pukul 07.00,
kelembaban udara mulai menurun dari 95% hingga 42% pada pukul 10.53. Kelembaban udara
ruangan greenhouse bertahan pada kisaran 40 – 50% dari pukul 09.47 sampai pukul 14.15.
Pada pukul 14.15, suhu mulai meningkat kembali menuju 95%. Pola ini berlaku serupauntuk
kelembaban udara di dalam ruangan dan di luar ruangan greenhouse.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0:00
:41
0:44
:43
1:28
:45
2:12
:47
2:56
:48
3:40
:50
4:24
:53
5:08
:53
5:52
:55
6:36
:55
7:20
:55
8:04
:57
8:49
:00
9:33
:00
10:1
7:0
0
11:0
1:0
1
11:4
5:0
1
12:2
9:0
1
13:1
3:0
3
13:5
7:0
4
14:4
1:0
6
15:2
5:0
6
16:0
9:0
6
16:5
3:0
8
17:3
7:1
1
18:2
1:1
1
19:0
5:1
1
19:4
9:1
3
20:3
3:1
3
21:1
7:1
4
22:0
1:1
5
22:4
5:1
6
23:2
9:1
7
Suh
u (
oC
)
Waktu
Suhu Ruangan GH Suhu Luar
204
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 4. Grafik perubahan kelembaban udara terhadap waktu
Pola perubahan kelembaban udara ini relatif sama dengan pola perubahan kelembaban
udara pada hari lainnya. Kelembaban udara ruangan greenhouse mulai menurun pada pukul
06.55 – 07.10 dan mulai bertahan pada kelembaban udara di bawah 50% pada pukul 09.50 –
10.00 sampai pukul 14.00 – 14.10. Kemudian kelembaban udara mulai meningkat kembali
pada pukul 14.00 – 14.10.
3.3 Kesesuaian Kondisi Iklim Mikro Greenhouse dengan Syarat Tumbuh Tanaman Padi
Tanaman padi secara umum membutuhkan suhu minimum 11°C – 25°C untuk
perkecambahan, 22°C – 23°C untuk pembungaan, 20°C –25°C untuk pembentukan biji, dan
suhu yang lebih panas dibutuhkan untuk semua pertumbuhan karena merupakan suhu yang
sesuai bagi tanaman padi khususnya di daerah tropika (Andoko, 2005). Kelembaban udara
yang sesuai dapat dilihat dengan keadaan suhu di daerah penanaman padi. Kesesuaian suhu
dan kelembaban udara untuk tanaman padi dapat diamati pada Tabel 1.
Tabel 1. Kesesuaian suhu dan kelembaban untuk tanaman padi
Suhu Kelembaban Kesesuaian
27oC – 32oC 60% - 80% Sangat sesuai
80% - 85% Sangat sesuai
>85% Sesuai
32oC – 35oC 60% - 80% Sesuai
80% - 85% Sedang
>85% Sedang
>35oC 60% - 80% Hampir sesuai
80% - 85% Tidak sesuai
0102030405060708090
100
0:00
:41
0:44
:43
1:28
:45
2:12
:47
2:56
:48
3:40
:50
4:24
:53
5:08
:53
5:52
:55
6:36
:55
7:20
:55
8:04
:57
8:49
:00
9:33
:00
10:1
7:0
011
:01
:01
11:4
5:0
112
:29
:01
13:1
3:0
313
:57
:04
14:4
1:0
615
:25
:06
16:0
9:0
616
:53
:08
17:3
7:1
118
:21
:11
19:0
5:1
119
:49
:13
20:3
3:1
321
:17
:14
22:0
1:1
522
:45
:16
23:2
9:1
7
Kel
emb
aban
(%
)
Waktu
RH Ruangan GH RH Luar
205
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Suhu Kelembaban Kesesuaian
>85% Tidak sesuai Sumber: Rathyanake, 2016
Rerata kondisi suhu dan kelembaban udara perhari secara berurutan adalah 27oC dan
79%. Sedangkan hubungan antara kondisi suhu dan intensitas cahaya di dalam greenhouse
adalah berbanding lurus. Dengan demikian, mengacu pada literatur yang telah disebutkan, data
kondisi suhu dan kelembaban udara, serta intensitas cahaya pada ruangan greenhouse dapat
dikategorikan sangat sesuai.
3.4 Pengujian Kesesuaian Pembacaan Sensor dengan Alat Ukur Standar
Bentuk evaluasi hasil pembacaan oleh sensor dilakukan dengan cara
membandingkannya dengan alat ukur standar yang sebelumnya telah digunakan pada langkah
kalibrasi. Pengujian kesesuaian hasil pembacaan sensor dengan alat ukur standar ini dilakukan
mulai pukul 06.00 – 18.00 dengan jeda waktu 30 menit. Hasil pengujian dapat diamati pada
Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Kesesuaian suhu dan kelembaban
Tanggal Suhu Rerata Kelembaban Rerata Kesesuaian
oC %
10-05-2019 27 84 Sangat sesuai
11-05-2019 27 84 Sangat sesuai
12-05-2019 27 82 Sangat sesuai
13-05-2019 28 80 Sangat sesuai
14-05-2019 27 83 Sangat sesuai
15-05-2019 26 86 Sangat sesuai
16-05-2019 27 86 Sangat sesuai
17-05-2019 27 76 Sangat sesuai
18-05-2019 25 79 Sangat sesuai
19-05-2019 27 82 Sangat sesuai
20-05-2019 27 82 Sangat sesuai
21-05-2019 26 82 Sangat sesuai
22-05-2019 27 83 Sangat sesuai
23-05-2019 26 79 Sangat sesuai
24-05-2019 26 80 Sangat sesuai
25-05-2019 26 78 Sangat sesuai
26-05-2019 26 80 Sangat sesuai
27-05-2019 26 84 Sangat sesuai
28-05-2019 26 85 Sangat sesuai
29-05-2019 26 86 Sangat sesuai
30-05-2019 25 86 Sangat sesuai
31-05-2019 26 79 Sangat sesuai
01-06-2019 26 83 Sangat sesuai
206
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pada Tabel 3, juga dapat disimpulkan bahwa data suhu hasil pembacaan oleh sensor
sudah cukup sesuai dengan presentase error sebesar -1,061%. Nilai error tersebut sudah sangat
baik dan hasil pembacaan oleh sensor dapat dikatakan sudah sesuai.
Tabel 3. Hasil pengujian kesesuaian data suhu udara hasil pembacaan sensor terhadap alat ukur
standar
No Tanggal Waktu
Suhu
Pembacaan
Sensor
Suhu
Pembacaan Alat
Ukur
Selisih Error
oC oC oC %
1 01/06/2019 6:00:13 19.083 20.1 1.017 5.060
2 01/06/2019 6:30:16 20 20.5 0.5 2.439
3 01/06/2019 7:00:16 23 22.6 -0.4 -1.770
4 01/06/2019 7:30:16 26.083 25.4 -0.683 -2.689
5 01/06/2019 8:00:19 29 29.3 0.3 1.024
6 01/06/2019 8:30:21 28.833 29.3 0.467 1.594
7 01/06/2019 9:00:21 30.167 30.5 0.333 1.092
8 01/06/2019 9:30:25 29.667 31.1 1.433 4.608
9 01/06/2019 10:00:2
5 31.417 32.3 0.883
2.734
10 01/06/2019 10:30:2
5 31.917 32.2 0.283
0.879
11 01/06/2019 11:00:2
6 33.417 33.4 -0.017
-0.051
12 01/06/2019 11:30:2
9 32.75 32.4 -0.35
-1.080
13 01/06/2019 12:00:3
0 34 32.9 -1.1
-3.343
14 01/06/2019 12:30:3
2 33.75 32.9 -0.85
-2.584
15 01/06/2019 13:00:3
6 33.583 32.9 -0.683
-2.076
02-06-2019 26 85 Sangat sesuai
03-06-2019 25 87 Sangat sesuai
04-06-2019 26 86 Sangat sesuai
05-06-2019 27 83 Sangat sesuai
06-06-2019 27 87 Sangat sesuai
07-06-2019 27 87 Sangat sesuai
08-06-2019 27 85 Sangat sesuai
09-06-2019 26 78 Sangat sesuai
10-06-2019 25 84 Sangat sesuai
11-06-2019 26 83 Sangat sesuai
12-06-2019 26 83 Sangat sesuai
13-06-2019 26 85 Sangat sesuai
207
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
No Tanggal Waktu
Suhu
Pembacaan
Sensor
Suhu
Pembacaan Alat
Ukur
Selisih Error
oC oC oC %
16 01/06/2019 13:30:3
6 33.667 32.9 -0.767
-2.331
17 01/06/2019 14:00:3
7 33 32.8 -0.2
-0.610
18 01/06/2019 14:30:3
7 32.75 32.1 -0.65
-2.025
19 01/06/2019 15:00:3
8 30.833 30.3 -0.533
-1.759
20 01/06/2019 15:30:3
9 30.167 29.3 -0.867
-2.959
21 01/06/2019 16:00:3
9 29.583 27 -2.583
-9.567
22 01/06/2019 16:30:4
0 27.5 26.5 -1
-3.774
23 01/06/2019 17:00:4
1 26.833 25.5 -1.333
-5.227
24 01/06/2019 17:30:4
1 26 25.3 -0.7
-2.767
25 01/06/2019 18:00:4
3 25.333 25 -0.333
-1.332
Error rerata -1,061
Di sisi lain, pada Tabel 4 dapat diamati bahwa data kelembaban udara hasil pembacaan
oleh sensor masih memiliki nilai error yang cukup besar yaitu -17,069%. N ilai error ini masih
cukup besar sehingga hasil pembacaan oleh sensor masih dikatan belum cukup sesuai dan
memerlukan perbaikan.
Tabel 4. Hasil pengujian kesesuaian data kelembaban udara hasil pembacaan sensor terhadap
alat ukur standar
No Tanggal Waktu
Kelembaba
n udara
Pembacaan
Sensor
Kelembaban
udara
Pembacaan Alat
Ukur
Selisih Error
% % % %
1 01/06/201
9 6:00:13
93.083 74 -19.083 -25.788
2 01/06/201
9 6:30:16
93.417 74 -19.417 -26.239
3 01/06/201
9 7:00:16
94.917 74 -20.917 -28.266
208
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
No Tanggal Waktu
Kelembaba
n udara
Pembacaan
Sensor
Kelembaban
udara
Pembacaan Alat
Ukur
Selisih Error
% % % %
4 01/06/201
9 7:30:16
88.417 68 -20.417 -30.025
5 01/06/201
9 8:00:19
75.75 55 -20.75 -37.727
6 01/06/201
9 8:30:21
71.417 68 -3.417 -5.025
7 01/06/201
9 9:00:21
67.333 64 -3.333 -5.208
8 01/06/201
9 9:30:25
68.083 64 -4.083 -6.380
9 01/06/201
9 10:00:25
64.333 63 -1.333 -2.116
10 01/06/201
9 10:30:25
59.667 60 0.333 0.555
11 01/06/201
9 11:00:26
58.167 59 0.833 1.412
12 01/06/201
9 11:30:29
60.833 60 -0.833 -1.388
13 01/06/201
9 12:00:30
57.917 59 1.083 1.836
14 01/06/201
9 12:30:32
55.833 57 1.167 2.047
15 01/06/201
9 13:00:36
57.417 58 0.583 1.005
16 01/06/201
9 13:30:36
58.333 58 -0.333 -0.574
17 01/06/201
9 14:00:37
61.75 58 -3.75 -6.466
18 01/06/201
9 14:30:37
63.333 60 -3.333 -5.555
19 01/06/201
9 15:00:38
70 53 -17 -32.075
20 01/06/201
9 15:30:39
73.333 52 -21.333 -41.025
21 01/06/201
9 16:00:39
77.333 55 -22.333 -40.605
22 01/06/201
9 16:30:40
81.417 58 -23.417 -40.374
23 01/06/201
9 17:00:41
83.417 61 -22.417 -36.749
24 01/06/201
9 17:30:41
88 65 -23 -35.385
209
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
No Tanggal Waktu
Kelembaba
n udara
Pembacaan
Sensor
Kelembaban
udara
Pembacaan Alat
Ukur
Selisih Error
% % % %
25 01/06/201
9 18:00:43
91.167 72 -19.167 -26.621
Error
rerata -17,069
3.5 Pengujian Kehilangan Data
Raspberry Pi 3 B+ menggunakan Linux sebagai sistem operasinya. Linux tidak
menjamin timing yang tepat dalam memanggil fungsi pembacaan sensor DHT11 sehingga
terkadang nilai yang dihasilkan oleh sensor adalah null. Oleh karena itu, terkadang sensor
DHT11 perlu mengulangi pembacaan yang cukup memerlukan waktu. Selain itu, terkadang
proses penyimpanan data ke dalam database maupun ke dalam file CSV memakan waktu yang
cukup lama. Sebab itulah terkadang terjadi kehilangan data. Persentase kehilangan data
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Persentase kehilangan data
Tanggal Data berhasil terbaca Data total seharusnya Kehilangan data(%)
10-05-2019 1434 1440 0,416
11-05-2019 1433 1440 0,486
12-05-2019 1386 1440 3,75
13-05-2019 1439 1440 0,069
14-05-2019 1438 1440 0,138
15-05-2019 1438 1440 0,138
16-05-2019 1440 1440 0
17-05-2019 1440 1440 0
18-05-2019 1323 1440 8,125
19-05-2019 1319 1440 8,403
20-05-2019 1439 1440 0,069
21-05-2019 1440 1440 0
22-05-2019 1440 1440 0
23-05-2019 1439 1440 0,069
24-05-2019 1440 1440 0
25-05-2019 1439 1440 0,069
26-05-2019 1439 1440 0,069
27-05-2019 1440 1440 0
28-05-2019 1439 1440 0,069
29-05-2019 1439 1440 0,069
30-05-2019 692 1440 48,056
210
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
3.6 Tampilan Situs Web Hasil Perancangan
Situs web pada penelitian ini digunakan sebagai media untuk mengakses data hasil
pemantauan oleh sensor dan kamera. Situs web ini memiliki menu Beranda, Data Iklim Mikro,
Rincian Data, Download, DSS Padi, dan CCTV. Menu Beranda sebagai halaman muka
dirancang untuk menampilkan ringkasan dari data suhu, kelembaban udara, dan intensitas
cahaya perhari dan perjam terakhir. Tampilan menu Beranda dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Tampilan menu Beranda
31-05-2019 1296 1440 0,9
01-06-2019 1440 1440 0
02-06-2019 1440 1440 0
03-06-2019 1439 1440 0,069
04-06-2019 1439 1440 0,069
05-06-2019 1439 1440 0,069
06-06-2019 1440 1440 0
07-06-2019 1439 1440 0,069
08-06-2019 1439 1440 0,069
09-06-2019 1440 1440 0
10-06-2019 1440 1440 0
11-06-2019 1440 1440 0
12-06-2019 1439 1440 0,069
13-06-2019 1439 1440 0,069
Kehilangan data rerata 2,039
211
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Menu Data Iklim Mikro dirancang untuk menampilkan data iklim mikro seperti suhu
udara rerata, kelembaban udara rerata, intensitas cahaya rerata, dan gambar potret tanaman.
Pada menu ini juga terdapat ringkasan data seperti pada halaman Beranda. Tampilan menu
Data Iklim Mikro dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Tampilan menu Data Iklim Mikro
Menu Rincian Data dirancang untuk menampilkan data hasil pemantauan lebih terperinci
dengan 5 submenu, yaitu Grafik, Ringkasan Data Tiap Jam, Data Suhu, Data Kelembaban, dan
Data Intensitas Cahaya. Submenu Grafik dirancang untuk menampilkan grafik perubahan suhu
udara, kelembaban udara, maupun intensitas cahaya terhadap waktu. Submenu Ringkasan Data
Tiap Jam dirancang untuk menampilkan ringkasan data hasil pemantauan seperti nilai terbesar,
terkecil, dan rerata dari tiap jamnya. Submenu Data Suhu, Data Kelembaban, dan Data
Intensitas Cahaya memiliki fungsi yang sama, yaitu menampilkan data suhu, kelembaban
udara, maupun intensitas cahaya pada setiap titik sensor beserta nilai reratanya. Tampilan menu
Rincian Data dapat dilihat pada Gambar 7.
212
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 7. Tampilan menu Rincian Data
Menu Download dirancang sebagai fitur untuk mengunduh data hasil pemantauan dalam
bentuk CSV dan ZIP. File CSV berisi data iklim mikro dan nama file gambar, sedangkan di
dalam file ZIP berisi file CSV dan file gambar hasil pemotretan tanaman. Pada situs web ini
dapat diunduh file CSVnya saja dengan cara memasukkan tanggal pilihan dan mengklik tombol
CSV, sedangkan untuk mengunduh file CSV beserta file gambar dalam format ZIP dapat
dilakukan dengan memasukkan tanggal pilihan dan mengklik tombol ZIP. Tampilan menu
Download Dapat dilihat Pada Gambar 8.
213
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 8. Tampilan menu Download
3.7 Pengujian Pengambilan Gambar Tanaman Menggunakan CCTV
Penelitian ini menggunakan 2 perangkat untuk mengambil gambar, yaitu picamera dan
CCTV. Picamera digunakan untuk mengambil gambar tanaman secara statik dimana fokus
kamera tidak dapat diubah dan hanya mengarah pada satu arah saja, sedangkan CCTV
digunakan untuk mengambil gambar tanaman pada lokasi tertentu. Penggunaan CCTV ini tidak
hanya didasari untuk mengambil gambar tanaman semata, melainkan digunakan sebagai
langkah awal untuk menerapkan hasil penelitian Perancangan Program Pengolahan Citra
Digital untuk Klasifikasi Kecukupan Nitrogen Pada Tanaman Padi (Ranati, Rakka P., 2019).
Hasil pengambilan gambar tanaman menggunakan CCTV dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Gambar tanaman menggunakan CCTV
Dari gambar tersebut dapat diamati bahwa pengambilan potret tanaman sudah berhasil.
Namun masih terdapat tanaman yang terhalan oleh tanaman lainnya sehingga tidak terpotret.
Hal ini dikarenakan penempatan CCTV yang cukup rendah. Oleh karena itu, CCTV perlu
diletakkan pada posisi yang cukup tinggi dan tidak saling berhadapan langsung dengan sinar
matahari.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Sistem Pemantauan
Iklim Mikro Greenhouse dengan Akses Melalui Sites Web ini berhasil mengukur dan
menyimpan data kondisi iklim mikro penting seperti intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban
214
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
udara secara kontinyu setiap satu menit dengan kehilangan data rerata hanya 2,039%.
Kesalahan pengukuran oleh sensor sebesar -1,061% untuk pembacaan suhu dan -17,069%
untuk pembacaan kelembaban udara. Selain itu, situs web yang dirancang telah berhasil
menampilkan data iklim mikro beserta potret tanaman dan fitur-fitur di dalamnya dapat diakses
tanpa hambatan. Melalui hasil dari sistem pemantauan ini pola perubahan, maupun pola
persebaran suhu udara, kelembaban udara, maupun intensitas cahaya dapat diamati dengan
mudah.
Saran yang dapat disampaikan untuk pengembangan lebih lanjut dari penelitian ini
adalah penambahan sensor seperti sensor kelembaban tanah dan total dissolve solid agar
dapat memperkaya dan melengkapi data pemantauan sehingga dapat dikembangkan menjadi
sistem kontrol.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan Laboran
Laboratorium Alat dan Mesin Pertanian, Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem,
Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran yang telah membimbing dan
membiayai kegiatan penelitian ini, yang terdiri dari Ir. Mimin Muhaemin, M.Eng., Ph.D,
Muhammad Saukat, STP., MT., Ir. Dedy Prijatna, M.P., Wahyu Kristian Sugandi, S.TP., M.Si.,
dan Iim Rohim, A.Md.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko, Agus. 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Jakarta: Penebar Swadaya.
M. U. K. Rathnayake, W & Premalal De Silva, Ranjith & Dayawansa, N.D.K.. 2016.
Assessment of the suitability of temperature and relative humidity for rice cultivation in
rainfed lowland paddy fields in Kurunegala district. Tropical Agricultural Research. 27.
370. 10.4038/tar.v27i4.8214.
Suhardiyanto, H. 2009. Teknologi Rumah Tanaman untuk Iklim Tropika Basah Pemodelan dan
Pengendalian Lingkungan. ISBN 978-879-493-1684. Institut Pertanian Bogor. Press
Bogor. Indonesia.
Klara, Theresya. 2010. Medan Hydroponic Research Center (Green Architecture). Medan.
Universitas Sumatera Utara.
215
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
EVALUASI KUALITAS BUAH NANGKA KERING DENGAN
BEBERAPA PERLAKUAN PENDAHULUAN MENGGUNAKAN
PENGERINGAN VAKUM
Muhammad Farhan Hidayat
Program Studi Teknologi Pangan Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pengeringan konvensional dengan aliran udara panas pada komoditas nangka
(Artocarpus heterophyllus. L) dapat menyebabkan kristalisasi kandungan fruktosa di dalam
bahan Kristalisasi kandungan fruktosa menyebabkan shrinkage (pengkerutan) serta case
hardening sehingga menurunkan kualitas fisik produk. Selain itu, teknik pengeringan lain
dengan penggorengan kini mulai ditinggalkan masyarakat akibat efek karsinogenik yang
ditimbulkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengaruh pemberian
praperlakuan osmoblansing dan pembekuan awal terhadap kualitas fisik nangka kering hasil
pengeringan vakum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif
eksperimental dengan 6 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Perlakuan penelitian terdiri dari
proses osmoblansing dengan konsentrasi larutan 0 °Brix, 15°Brix, dan 30 °Brix, proses
pembekuan awal pada suhu -50°C selama 24 jam serta infusi garam kalsium. Larutan
osmoblansing merupakan campuran heterogen antara larutan sukrosa, natrium metabisulfit
0,5%, dan asam sitrat 0,3%. Pada penelitian ini digunakan kontrol berupa nangka kering hasil
pengeringan beku tanpa ulangan. Kriteria pengamatan produk kering meliputi kadar air, tekstur
(hardness) dan rasio shrinkage volume. Hasil penelitian menunjukan penggunaan praperlakuan
osmoblansing dengan konsentrasi larutan 15°Brix dan dikombinasikan dengan pembekuan
awal menghasilkan karakteristik fisik produk yang paling menyerupai kontrol, dengan kadar
air 5,003%, rasio shrinkage volume 21,003% dan nilai hardness sebesar 3162,42 N.
Kata Kunci: Nangka kering, Karakteristik fisik, Osmoblansing, Pembekuan awal
216
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Buah nangka (Artocarpus heterophyllus L.) adalah salah satu dari buah tropis yang
memiliki warna kuning keemasan pada daging buahnya. Daging buah bagian depan lebih keras
dibandingkan pada bagian dalam. Kedua bagian tersebut memiliki aroma yang tajam. Pada
bagian dalam daging buah memiliki rasa yang lebih manis dibanding luarnya (Maia et al.,
2004). Buah nangka juga tidak terlepas dari tingkat kerusakan yang tinggi, seperti kematangan
mendadak dan mengalami berbagai jenis kebusukan. Produk buah nangka dengan nilai tambah
tertentu telah dikembangkan baik dalam bentuk produk kering atau semi basah, seperti, fruit
leather (Man dan Sin, 2005), snack bar (Manimegalai et al., 2001), dan nangka kering dengan
metode pengeringan beku (Saxena et al., 2015).
Pengeringan buah nangka dengan teknik konvensional memiliki nilai ekonomis yang
sangat tinggi. Namun, kualitas produk yang dihasilkan mengalami case hardening dan
pengkerutan. Mayor dan Sereno (2004), menyatakan bahwa pengerutan bahan akan
memberikan dampak negatif pada kualitas bahan kering meliputi tekstur, kenampakan, dan
daya rehidrasinya, sehingga diperlukan perlakuan pendahuluan yang tepat seperti infusi zat
penguat tekstur (Jayaraman et al., 1990). Hal ini disebabkan karena suhu transisi gelas pada
jaringan buah hortikultura sangat rendah. Suhu transisi gelas yang diperoleh untuk seluruh
jaringan buah-buahan hortikultura berkisar pada angka -45°C (Krokida et al., 1998) sehingga
diperlukan praperlakuan osmoblansing menggunakan sirup gula pekat yang ditambahkan
larutan antioksidan (Saxena et al., 2015) sebagai metode peningkatan suhu transisi gelas
sampel. Pada proses osmoblansing selain proses osmosis terjadi pula proses difusi padatan
sukrosa ke dalam bahan. Menurut Saxena et al. (2009), proses osmoblansing melibatkan
kehilangan air dan perolehan zat terlarut secara bersamaan. Selain itu osmoblansing juga
membantu melenturkan jaringan epitel buah agar proses osmosis (penghilangan air bahan)
berjalan maksimal.
Praperlakuan pembekuan awal sebelum bahan dikeringkan (Fahlovvi, 2018). Proses
pembekuan diketahui memiliki dampak positif terhadap karakteristik bahan hasil pengeringan.
Proses pembekuan pada sampel akan menimbulkan kerusakan sel yang berdampak pada
pembentukan celah yang tidak beraturan dan pembengkakan pada bagian dalam jaringan
bahan. Hal ini terjadi karena adanya penambahan volume akibat pembentukan kristal es pada
jaringan di dalam bahan tersebut (Wang et al., 2010 dalam Fahlovvi, 2018). Sel menjadi lebih
217
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
porous sehingga difusi air menuju permukaan bahan lebih mudah dan berakibat laju
pengeringan bahan menjadi lebih optimal. Infusi ion kalsium ke dalam jaringan tanaman telah
dilaporkan dapat memperbaiki karakteristik permukaan dari produk hasil pengeringan dan
memiliki tekstur yang lebih baik (Ahrné et al., 2003; Pani et al., 2008 dalam Saxena et al.,
2013). Tingkat kerenyahan produk hasil pengeringan akan berbanding lurus dengan
meningkatnya konsentrasi CaCl2 yang diinfusi. Praperlakuan lain, yakni osmoblansing
menggunakan sirup gula pekat yang ditambahkan larutan antioksidan dapat memperbaiki
karakteristik nangka (Saxena et al., 2015).
Ratti (2001), melaporkan bahwa metode pengeringan beku adalah metode yang sangat
ideal untuk mengeringkan buah nangka, namun demikian, metode pengeringan beku
membutuhkan dana yang besar karena preparasinya yang mahal serta energi dan waktu yang
dipakai cenderung intens. Teknik pengeringan yang dipakai adalah pengeringan vakum yang
dikombinasikan dengan beberapa perlakuan pendahuluan. Hal ini didasarkan kepada sifat
ekonomis proses, penggunaan suhu lebih rendah sehingga retensi nilai gizi dipertahankan,
mempertahakan karakteristik fisik produk yang optimal menyerupai buah nangka kering hasil
pengeringan beku, serta menghasilkan produk yang bebas dari kandungan minyak (oil free).
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan utama yang digunakan adalah nangka varietas kunir yang diperoleh dari pedagang
khusus nangka di pasar Dangdeur, Kec. Rancaekek, Kab. Bandung. Bahan tambahan yang
digunakan adalah aquades, larutan kapur CaCl2 1,5%, sirup sukrosa , larutan asam sitrat 0.3%
(b/v), dan larutan natrium metabisulfit 0,5% (b/v).
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat tahapan utama, yaitu preparasi sampel, proses
pengaplikasian praperlakuan, dan proses pengeringan buah nangka dengan pengering vakum
dan beku.
1. Preparasi Sampel
Preparasi sampel bertujuan guna menstandardisasikan seluruh sampel yang digunakan
dalam penelitian, meliputi varietas kunir, dimensi 4 cm x 3 cm x 0,9 cm, dan perlakuan lain
yang akan diterapkan selanjutnya.
218
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
2. Perlakuan Pendahuluan
Proses ini dilakukan dengan osmoblansing irisan sampel nangka yang telah dicuci pada
suhu 85°C selama 6 menit. Larutan blansing mengandung 0.3% (b/v) asam sitrat, 0,5 % natrium
metabisulfit (b/v), dan sirup sukrosa. Setelah diblansing sampel direndam kepada larutan kapur
CaCl2 1,5% selama 30 menit dengan rasio buah : larutan adalah 1 : 2 (b/v).
3. Pengeringan Nangka dengan Pengering Vakum
Sampel irisan nangka seberat 600 gram yang telah diberi perlakuan pendahuluan
dijejerkan diatas wadah dan dilakukan pembekuan awal dengan dimasukkan ke dalam deep
freeze pada T = -50°C selama 24 jam atau tanpa proses pembekuan. Kemudian sampel
dimasukkan ke dalam rak pengering dalam satu lapis, dan dilakukan pengeringan vakum
dengan suhu sebesar 60 °C dengan Pabsolut 5 In Hg selama 7 jam.
4. Pengeringan Nangka dengan Pengering Beku
Sampel irisan nangka seberat 200 gram yang telah diberi perlakuan osmoblansing 30
°Brix selama 6 menit dan perendaman dalam larutan kapur CaCl2 1,5% selama 30 menit
ditiriskan dan diberi pembekuan awal dalam deep freezer pada -50° C selama 24 jam. Dehidrasi
dilakukan dengan mempertahankan suhu pelat freeze dryer pada 50°C dalam waktu 48 jam.
Metode
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental
dengan menggunakan analisis deskriptif. Proses pembuatan nangka kering menggunakan
pengeringan vakum mengacu pada penelitian Saxena et al. (2015) yang dapat diamati pada
Gambar 1. Pada penelitian ini ditentukan kontrol berupa nangka kering hasil pengeringan beku
(freeze drying).. Penelitian dilakukan dengan mengkombinasikan proses osmoblansing pada
tekanan 1 atm dan suhu 85°C selama 6 menit dengan proses pembekuan pada suhu -50°C
selama 24 jam yang diformulasikan sebagai berikut:
A = Osmoblansing konsentrasi 0 °Brix dengan pembekuan
B = Osmoblansing konsentrasi 0 °Brix tanpa pembekuan
C = Osmoblansing konsentrasi 15 °Brix dengan pembekuan
D = Osmoblansing konsentrasi 15 °Brix tanpa pembekuan
E = Osmoblansing konsentrasi 30 °Brix dengan pembekuan
F = Osmoblansing konsentrasi 30 °Brix tanpa pembekuan
Kontrol = Nangka kering metode pengeringan beku
219
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pemilihan perlakuan tersebut didasarkan pada penelitian Saxena et al. (2015) dan
Fahlovvi (2018) yang menunjukan bahwa praperlakuan osmobansing dan pembekuan awal
pada produksi nangka kering dapat meningkatkan efisiensi proses pengeringan dan menjaga
karakteristik produk yang dihasilkan.
Analisis
a. Kadar air (AOAC, 2005)
Perhitungan kadar air menggunakan metode gravimetri. Cawan kosong dikeringkan pada
suhu 105oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu
ditimbang. Sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui berat
konstannya. Cawan berisi sampel dikeringkan pada suhu 105oC selama 3-5 jam kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi hingga tercapai berat
setimbang.
dimana, a = berat cawan kosong (g); b = berat sampel awal (g); dan c = berat cawan dengan
sampel setelah pemanasan (g).
b. Tekstur (C. Bourne, 2002)
Pengukuran kekerasan dilakukan dengan alat Texture Analyzer. Probe yang digunakan
pada pengujian ini yaitu P/6 dengan menggunakan project schnitzel snack dengan measurement
speed 2 mm/s dan distance 1 mm. Alat menunjukan nilai hardness dalam satuan gF.
c. Rasio Shrinkage Volume (Krokida et al., 1998)
Pengukuran shrinkage dilakukan menggunakan metode perendaman dalam biji wijen.
Metodenya ialah membandingkan volume awal irisan buah nangka yang digunakan dan
volume nangka kering yang dihasilkan. Setelah itu, rasio shrinkage dihitung berdasarkan rumus
sebagai berikut :
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efek tiap Variasi Perlakuan terhadap Kadar Air
Kadar air (%) = c−a
b× 100% ( 1 )
( 2 ) % Volume Shrinkage= V0-V
V0×100%
220
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Persamaan (1) menunjukan bahwa penurunan massa sampel berbanding lurus terhadap
penurunan kadar air sampel. Pulungan dan Sucipto (2016), menyatakan bahwa perubahan
kadar air disebabkan oleh interaksi antara lingkungan dan produk sehingga terjadinya hidratasi.
Persentase penurunan kadar air nangka kering dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kadar Air Nangka Kering (%)
Perlakuan Ulangan 0 °Brix 15°Brix 30°Brix
Dengan Pembekuan
1 6,1998 5,0240 6,0830
2 6,6601 5,0164 6,4299
3 6,3392 4,9692 6,1550
Rata-rata 6,3997 ± 0,2360 5,0032 ± 0,0296 6,2226 ± 0,1831
Tanpa Pembekuan
1 6,8960 6,5079 6,4996
2 6,3768 6,2080 6,5912
3 6,2549 6,6307 6,5103
Rata-rata 6,5093 ± 0,3404 6,4489 ± 0,2174 6,5337 ± 0,0501
Freeze Dry (kontrol)
1 - - 5,0040
2 - - 4,8085
Rata-rata - - 4,9062 ± 0,1383 (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan Tabel 1. menunjukan bahwa rata-rata kadar air akhir sampel terendah
dimiliki oleh variasi proses pengeringan dengan penambahan proses pembekuan, sedangkan
rata-rata kadar air tertinggi didapatkan oleh pengeringan tanpa proses pembekuan. Penambahan
proses pembekuan berdampak positif terhadap penurunan kadar air bahan setelah pengeringan.
Hal ini disebabkan karena dengan adanya proses pembekuan akan menimbulkan celah pada
bagian matriks jaringan buah, sehingga kandungan air yang terdapat pada sampel dapat lebih
mudah terdifusi menuju lingkungan.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (1996) batas maksimum kadar air keripik nangka
adalah sebesar 5%. Kedua perlakuan, baik dengan atau tanpa pembekuan menghasilkan kadar
air produk belum memenuhi syarat mutu SNI dan kontrol. Perlakuan terbaik untuk parameter
ini diraih oleh osmoblansing 15°Brix dengan pembekuan yang memiliki kadar air menyerupai
kontrol serta syarat mutu di SNI. Pada produk hasil freeze dry kadar air yang didapat tergolong
rendah karena proses penguapan berlangsung secara sublimasi. Air yang berada di matriks
bahan disublimasi melewati celah kristal es yang terbentuk dalam jaringan sampel sehingga
laju pengeringan berjalan sangat efektif serta tidak mengubah struktur alami bahan (Pei et al.,
2014).
221
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Perlakuan osmoblansing 15 °brix yang dikombinasikan dengan pembekuan awal menjadi
hasil terbaik. Hal ini dikarenakan perlakuan osmoblansing ditujukan sebagai metode
peningkatan suhu transisi gelas bahan sehingga ketika dikeringkan profil rapuh (glassy)
didapatkan oleh produk selain itu osmoblansing digunakan sebagai metode pencegahan
pencoklatan enzimatis. Menurut Kar dan Gupta (2001), beberapa padatan terlarut yang ada
dalam larutan osmoblansing dapat diambil dan masuk ke dalam rongga sel buah, sehingga
meningkatkan suhu transisi gelas bahan tersebut.
Bhandari et al., (1997) menyatakan suhu transisi gelas untuk sukrosa sebesar 62°C.
Apabila konsentrasi sukrosa yang diaplikasikan terlalu tinggi akan ada kemungkinan terjadinya
proses kristalisasi sukrosa di permukaan sampel dan menghambat laju penguapan air selama
proses pengeringan akibat jalannya keluar air terhalang oleh material kristal sukrosa. Suhu
transisi gelas sukrosa yang hampir sama dengan suhu pengeringan pada penelitian ini menjadi
penyebab konsentrasi osmoblansing 30°brix bukanlah hasil terbaik dikarenakan kemungkinan
terjadinya kristalisasi sukrosa dipermukaan produk menjadi lebih besar.
Efek tiap Variasi Perlakuan terhadap Rasio Shrinkage Volume
Tabel 2. menunjukan besar penyusutan (shrinkage) pada berbagai kondisi variasi
perlakuan. Pengamatan terhadap perubahan struktur fisik adalah yang paling mudah diamati
untuk mengevaluasi apakah teknik praperlakuan yang diaplikasikan berdampak signifikan.
Proses pembekuan awal dapat mempertahankan sifat berpori sampel, sehingga memberikan
tingkat shrinkage yang rendah pada berbagai konsentrasi larutan osmoblansing.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Tingkat Shrinkage Nangka Kering (%)
Perlakuan Ulangan 0 °Brix 15°Brix 30°Brix
Dengan Pembekuan
1 37,238 20,097 23,207
2 28,792 19,974 22,358
3 24,443 22,939 33,014
Rata-rata 30,158 ± 6,506 21,003 ± 1,67 26,193 ± 5,92
Tanpa Pembekuan
1 47 68,507 63,477
2 61,463 73,944 70,231
3 33,242 57,759 63,798
Rata-rata 47,235 ± 14,11 66,737 ± 8,23 65,835 ± 3,81
Freeze Dry (kontrol)
1 - - -79,182
2 - - -75,108
Rata-rata - - -77,145 ± 2,88
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
222
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tingkat penyusutan berkisar 21-30% untuk sampel dengan perlakuan pembekuan awal
dan 47-66% untuk sampel tanpa perlakuan pembekuan awal. Proses pembekuan menimbulkan
kristal es yang menyelimuti sampel sehingga dapat melindungi permukaan sampel dari
pancaran udara pemanas (Fahlovvi, 2018) . Ditinjau dari besarnya konsentrasi larutan
osmoblansing terlihat bahwa konsentrasi larutan osmoblansing sebesar 15°Brix dengan proses
pembekuan awal mendapati tingkat shrinkage terkecil. Hal ini disebabkan karena proses
osmoblansing berhasil menghilangkan sebagian air sebelum dikeringkan sehingga saat
dikeringkan laju pengeringan lebih cepat yang berdampak pada sifat permukaan sampel yang
amorf dan porositas sampel yang tinggi (Niamnuy et al., 2014). Pada sampel freeze dry
menampilkan nilai shrinkage yang minus hingga -77,145%. Hal ini mengindikasikan justru
sampel mengalami puffing 77,145% lebih mengembang dibanding sebelum dikeringkan.
Krokida et al. (1998), menyatakan bahwa dalam proses pengeringan beku sublimasi air dari
jaringan dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan pori-pori dan pembatasan terjadinya
shrinkage.
Efek tiap Variasi Perlakuan terhadap Tekstur
Tingkat kekerasan (hardness) dan kerenyahan (crispness) merupakan atribut tekstur
terpenting pada olahan buah kering (Marzec et al., 2010). Evaluasi kualitas nangka kering
terhadap tektur pada penelitian ini dianalisis berdasarkan satu parameter, yakni tingkat
kekerasan (hardness). Sampel yang dipakai pada pengujian tekstur adalah sampel yang
mendapatkan praperlakuan pembekuan awal saja. Hal ini dikarenakan tidak terdeteksinya nilai
hardness untuk sampel tanpa praperlakuan pembekuan.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Nilai Hardness Nangka Kering (gF)
Perlakuan Ulangan 0 °Brix 15°Brix 30°Brix
Dengan Pembekuan
1 2142,793 3618,78 2770,149
2 3424,398 4077,397 2156,056
3 4009,618 1791,075 3843,445
Rata-rata 3192,27 ±
954,81
3162,418 ±
1209,55
2923,217 ±
854,04
Freeze Dry (kontrol)
1 - - 4046,778
2 - - 4014,127
Rata-rata - - 4030,452 ±
23,08 (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
223
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan Tabel 3. nilai hardness untuk sampel hasil pengeringan beku (kontrol)
mendapati hardness terbesar dibanding seluruh sampel lain hasil pengeringan vakum.
Jagannath et al. (2001), melaporkan bahwa pengeringan beku memberikan tingkat hardness
yang rendah pada komoditas kentang kering. Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan
data yang didapatkan. Hal ini disebabkan karena hanya metode sublimasi yang digunakan
proses pengeringan bahan selama freeze drying , sehingga menyisakan komponen air yang
tidak menguap didalam bahan. Air yang tidak menguap pada metode sublimasi dapat diuapkan
dengan metode desorpsi pada secondary phase drying pada alat freeze dryer. Namun, pada
penelitian kali ini tidak dilakukan secondary phase drying akibat keterbatasan teknologi alat
yang dipakai.
Air yang tertinggal dalam matriks jaringan bahan tersebut akan menurunkan secara
keseluruhan nilai suhu transisi gelas sampel akibat nilai Tg air murni yang sangat kecil (-135
°C). Oleh karena itu, akan menjadi tidak mungkin produk memiliki karakteristik hardness yang
paling optimal, namun tetap mendapatkan tekstur getas ketika dimakan (Deng dan Zhao, 2008).
Praperlakuan osmoblansing 0°brix, 15°brix, dan 30°brix yang dikombinasikan dengan
pembekuan awal didapati hasil yang tak berbeda nyata untuk nilai hardness. Proses
osmoblansing memperngaruhi kerenyahan dan tingkat kekerasan dari buah nangka yang
mengalami dehidrasi (Saxena et al., 2015). Hal ini disebabkan struktur matriks sampel kering
yang amorf-glassy dan kompak pascapengeringan akibat peningkatan suhu Tg selama
praperlakuan osmoblansing. Selain itu, proses infusi ion garam kalsium sangat mempengaruhi
terbentuknya tekstur renyah-keras pada sampel nangka kering. Tingkat kerenyahan produk
hasil pengeringan akan berbanding lurus dengan meningkatnya konsentrasi CaCl2 yang diinfusi
akibat terbentuknya kompeks kalsium pektat (Saxena et al., 2013). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan nilai hardness pada penelitian ini dipengaruhi oleh infusi ion kalsium yang bukan
menjadi variabel bebas.
KESIMPULAN
Praperlakuan osmoblansing dengan konsentrasi larutan 15°brix yang dikombinasikan
dengan proses pembekuan awal mendapatkan hasil yang mendekati kepada kontrol pada tiga
parameter pengujian, yakni kadar air, rasio shrinkage volume, dan tingkat hardness.
Karakteristik fisik yang dimiliki sampel ialah nilai hardness 3162,42 N, kadar air 5,003%, dan
rasio shrinkage volume sebesar 21,003%.
224
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 2005. Of fi cial Methods of Anal y sis of AOAC IN TER NA TIONAL. Off. Methods
Ananlysis AOAC Int. 18th editi, 20877–2417.
Badan Standardisasi Nasional RI, 1996. SNI keripik nangka.
Bhandari, B.R., Datta, N., Howes, T., 1997. Problems Associated With Spray Drying Of Sugar-
Rich Foods. Dry. Technol. 15, 671–684. https://doi.org/10.1080/07373939708917253
C. Bourne, M., 2002. Food Texture and Viscosity : Concept and Measurement / M.C. Bourne.
Deng, Y., Zhao, Y., 2008. Effect of pulsed vacuum and ultrasound osmopretreatments on glass
transition temperature, texture, microstructure and calcium penetration of dried apples
(Fuji). LWT - Food Sci. Technol. 41, 1575–1585.
https://doi.org/10.1016/j.lwt.2007.10.018
Fahlovvi, O., 2018. Efek proses pembekuan terhadap karakteristik pengeringan dengan
menggunakan metode microwave vacuum drying 62.
Jagannath, J.H., Nanjappa, C., Das Gupta, D.K., Arya, S.S., 2001. Crystallization kinetics of
precooked potato starch under different drying conditions (methods). Food Chem. 75,
281–286. https://doi.org/10.1016/S0308-8146(00)00292-2
Jayaraman, k.s., gupta, d.k.d., rao, n.b., 1990. Effect of pretreatment with salt and sucrose on
the quality and stability of dehydrated cauliflower. Int. J. Food Sci. Technol. 25, 47–60.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.1990.tb01058.x
Kar, A., Gupta, D.K., 2001. Osmotic dehydration characteristics of button mushrooms, Journal
of Food Science and Technology.
Krokida, M.K., Karathanos, V.T., Maroulis, Z.B., 1998. Effect of freeze-drying conditions on
shrinkage and porosity of dehydrated agricultural products. J. Food Eng. 35, 369–380.
https://doi.org/10.1016/S0260-8774(98)00031-4
Maia, J.G.S., Andrade, E.H.A., Zoghbi, M.D.G.B., 2004. Aroma volatiles from two fruit
varieties of jackfruit (Artocarpus heterophyllus Lam.). Food Chem. 85, 195–197.
https://doi.org/10.1016/S0308-8146(03)00292-9
Man, Y.B.C., Sin, K.K., 2005. Processing and consumer acceptance of fruit leather from the
unfertilised floral parts of jackfruit. J. Sci. Food Agric. 75, 102–108.
https://doi.org/10.1002/(sici)1097-0010(199709)75:1<102::aid-jsfa845>3.0.co;2-g
Manimegalai, G., Krishnaveni, A., Kumar, R.S., 2001. Processing and preservation of jack fruit
(Artocarpus heterophyllus L.) Bar (Thandra), Journal of Food Science and Technology.
225
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Marzec, A., Kowalska, H., Zadrozna, M., 2010. Analysis of instrumental and sensory texture
attributes of microwave-convective dried apples. J. Texture Stud. 41, 417–439.
https://doi.org/10.1111/j.1745-4603.2010.00234.x
Mayor, L., Sereno, A.M., 2004. Modelling shrinkage during convective drying of food
materials: A review. J. Food Eng. 61, 373–386. https://doi.org/10.1016/S0260-
8774(03)00144-4
Niamnuy, C., Devahastin, S., Soponronnarit, S., 2014. Some recent advances in microstructural
modification and monitoring of foods during drying: A review. J. Food Eng. 123, 148–
156. https://doi.org/10.1016/j.jfoodeng.2013.08.026
Pei, F., Yang, W. jian, Shi, Y., Sun, Y., Mariga, A.M., Zhao, L. yan, Fang, Y., Ma, N., An, X.
xin, Hu, Q. hui, 2014. Comparison of Freeze-Drying with Three Different Combinations
of Drying Methods and Their Influence on Colour, Texture, Microstructure and Nutrient
Retention of Button Mushroom (Agaricus bisporus) Slices. Food Bioprocess Technol. 7,
702–710. https://doi.org/10.1007/s11947-013-1058-z
Pulungan, M.H., Sucipto, S., 2016. Penentuan Umur Simpan Pia Apel dengan Metode ASLT
(Studi Kasus Di UMKM Permata Agro Mandiri Kota Batu) Shelf Life Prediction of
Apple Pia using ASLT Method (Case Study In Smes (Small And Medium Enterprise)
Permata Agro Mandiri Batu Town). J. Teknol. dan Manaj. Agroindustri 5, 61–66.
Ratti, C., 2001. Hot air and freeze-drying of high-value foods: A review. J. Food Eng. 49, 311–
319. https://doi.org/10.1016/S0260-8774(00)00228-4
Saxena, A., Maity, T., Raju, P.S., Bawa, A.S., 2015. Optimization of pretreatment and
evaluation of quality of jackfruit (Artocarpus heterophyllus) bulb crisps developed using
combination drying. Food Bioprod. Process. 95, 106–117.
https://doi.org/10.1016/j.fbp.2015.04.005
Saxena, S., Mishra, B.B., Chander, R., Sharma, A., 2009. Shelf stable intermediate moisture
pineapple (Ananas comosus) slices using hurdle technology. LWT - Food Sci. Technol.
42, 1681–1687. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2009.05.009
Saxena, T.M., Organisation, D., Saxena, A., 2013. Development of value added products from
jackfruit for small and medium enterprises.
226
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
RANCANG BANGUN PROTOTYPE UNIT PENGUMPAN MESIN
GRADING BIJI PALA (MYRISTICA FRAGRANS HOUTT)
Muhammad Hafaz1, Totok Herwanto2, dan Muhammad Saukat3
Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, FTIP, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 43563
Email: [email protected]
ABSTRAK
Buah pala memiliki nilai ekonomi yang tinggi di pasar dunia serta setiap bagian dari buah pala
mampu dimanfaatkan di berbagai sektor bidang industri. Petani biji pala di Maluku masih
menggunakan tenaga manusia pada proses grading. Proses grading secara otomatis perlu
dilakukan yang dimana proses pengumpanan sebagai tahap awal dari rangkaian proses mesin
grading biji pala. Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun prototype unit pengumpan
agar memiliki tingkat efisiensi yang optimal untuk mencapai kapasitas produksi 62,5 kg/jam.
Penelitian ini menggunakan metode rekayasa. Hasil penelitian ini yaitu prototype unit
pengumpan mesin grading biji pala ini memiliki dimensi panjang 700 mm, lebar 600 mm dan
tinggi 1530 mm. Adapun komponen dari prototype unit pengumpan ini yaitu hopper,
penyaring, penggetar, penampung, metering device dan penyalur. Hasil pengujian prototype
unit pengumpan ini dengan kecepatan putar metering device sebesar 17 rpm dan kecepatan
putar dari penggetar sebesar 530 rpm memiliki kapasitas pengumpanan yang diintegrasikan
dengan conveyor sebesar 37,29 kg/jam dan kapasitas teoritis sebesar 56,16 kg/jam maka
menghasilkan efisiensi pengumpanan sebesar 66,39 kg/jam. Kapasitas aktual metering device
sebesar 38,73 kg/jam dan kapasitas teoritis metering device sebesar 48,96 kg/jam yang
menghasilkan efisiensi sebesar 79,20 %. Hasil uji biji pala rusak melalui komponen
penyaringan sebesar 80,6 %. Dan hasil uji keterisian metering device selama satu menit pada
jalur jalur pertama yaitu 77,9 2% , jalur kedua sebesar 91,17 % dan jalur ketiga sebesar 94,11
% dan menghasilkan efisiensi sebesar 87,73 %. Proses pengumpanan otomatis menggunakan
mesin dapat memenuhi kapasitas produksi 62,5 kg/jam dengan ketelitian pengumpanan setiap
biji pala lebih akurat dibandingkan dengan tenaga manusia.
Kata kunci: prototype, pengumpan, grading, biji pala
227
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Menurut Citanirmala (2016), terjadi penolakan ekspor pala Indonesia selama periode
2009-2014, Indonesia mengalami 41 kasus penolakan pala oleh UE. Penyebab penolakan pala
Indonesia oleh UE yang disebabkan oleh aflatoksin (90 %), sebanyak 37 kasus selanjutnya
disandingkan dengan standar aflatoksin Indonesia (kadar aflatoksin total 20 ppb dan B1 15
ppb).
Mesin grading biji pala yang akan dirancang terdapat beberapa rangkaian proses
tahapan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Tahap awal mesin grading biji pala yaitu
proses pengumpanan. Model prototype unit pengumpan mesin grading biji pala ini
memerlukan pertimbangan berdasarkan karakteristik fisik dari biji pala. Dilakukannya
penelitian ini untuk memudahkan dalam proses mengumpan biji pala dimana biji pala
dicurahkan ke dalam hopper hingga biji pala berada di atas conveyor. Berdasarkan
permasalahan tersebut perlunya dirancang dan dibangun prototype unit pengumpan mesin
grading biji pala secara otomatis agar proses pengumpanan menghasilkan tingkat efektivitas
dan efisiensi yang tinggi.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan pada Mei hingga November 2019 di Laboraturium Alat dan
Mesin Departemen Teknik Pertanian dan Biositem Universitas Padjadjaran Kecamatan
Jatinangor Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan koordinat 06°55’23,4” LS dan
107°46’19,3” BT dan elevasi 794 mdpl. Alat yang digunakaan pada penelitian ini adalah kunci
ring, gerinda tangan, gergaji. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah triplek, besi
siku bolong, plat alumunium, pillow block, control speed motor dc. Metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah metode rekayasa yaitu melakukan percobaan yang sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan.
Kriteria Rancangan
Berdasarkan permintaan ekspor biji pala yang cukup tinggi ke dari berbagai negara di
dunia maka perlu dirancang mesin grading biji pala dengan salah satu rangkaian proses awal
yaitu pengumpanan. Prototype unit pengumpan ini memiliki target kapasitas 62,5 kg/jam.
Adapun dasar prototype unit pengumpan ini adalah sebagai berikut:
228
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
1. Kapasitas aktual pengumpanan dapat mencapai 62,5 kg/jam dengan tiga jalur ( 500
kg/hari dengan jam kerja 8 jam/hari );
2. Biji pala dapat diarahkan ke unit proses selanjutnya yaitu conveyor dengan baik;
3. Jarak minimal antar biji pala yaitu 10 cm/butir pada tiap jalur melalui metering device;
4. Tingkat keterisian lubang pada metering device memiliki efisiensi lebih dari 80 %.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari prototype unit pengumpan mesin grading biji pala ini diperlukan
untuk mengetahui cara kerja prototype unit pengumpanan yang telah dirancang agar dapat
menghasilkan suatu rangkaian yang saling berhubungan untuk mencapai kriteria perancangan
yang telah dibuat. Adapun skema aliran bahan biji pala dapat dilihat pada Gambar 1.
Mekansime kerja dari prototype unit pengumpan mesin grading biji pala ini yaitu biji
pala dicurahkan dari hopper (nomor 1). Biji pala akan menuju penyaring berdasarkan ukuran
(nomor 2) yang terdiri dari penyaring dengan kemiringan acuan sudut repos biji pala. Rentang
penyaring berdasarkan ukuran biji pala yang kecil hingga batas minimal diameter intermediet
biji pala akan tersisihkan ke dalam outlet biji pala rusak (nomor 3) dan juga remah atau hancur
yang akibat dari gesekan ataupun faktor lain. Biji pala yang rusak akan masuk ke dalam
penampung secara curah ke dalam karung atau wadah apapun. Biji pala yang tidak termasuk
biji rusak akan masuk secara curah ke bak penampung (nomor 4). Biji pala tersebut akan
terbawa oleh metering device (nomor 5) yang terdapat 3 jalur lubang yang sejajar. Biji pala
tersebut disalurkan melalui penyalur (nomor 6) sampai biji pala berada di atas conveyor.
Gambar 1. Skema Aliran Bahan pada Rancangan Prototype Unit
Pengumpan Mesin Grading Biji Pala
1
3
6
2
4
5
229
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pabrikasi Prototype
Prototype unit pengumpan mesin grading biji pala dipabrikasi setelah gambar teknik dan
perhitungan analisis teknik dibuat. Komponen prototype unit pengumpan dengan penggerak
motor listrik DC yang terdiri beberapa bagian yaitu rangka, penyaring, hopper, penggetar,
metering device, bak penampung, penyalur. Adapun hasil pabrikasi prototype unit pengumpan
mesin grading biji pala dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengujian Metering Device
Kapasitas aktual metering device prototype unit pengumpan yang telah dipabrikasi,
memperoleh hasilnya dengan menghitung jumlah butir biji pala yang keluar dari metering
device menuju penyalur per satuan waktu. Berdasarkan pengujian sebelumnya kecepatan putar
metering device yang memiliki hasil efisiensi yang paling optimal untuk mencapai target
kapasitas produksi 62,5 kg/jam maka diambil sampel kecepatan putar metering device yaitu 17
rpm dan untuk pengambilan sampel kecepatan putar penggetar yaitu 530 rpm didapatkan dari
hasil percobaan yang telah dilakukan dengan berbagai parameter clearance menjadi 20 mm.
Pemilihan bentuk lubang alternatif metering device 3 didapatkan dari hasil percobaan dengan
parameter ketersangkutan biji pala, keterisian metering device, terkuncinya biji pala saat
Gambar 2. Prototype Unit Pengumpan Mesin Grading biji Pala
Penyarin
g
Penampun
g
Penyalur
Hopper
Rangka
Metering
Device
Penggetar
230
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
berputar di metering device. Kapasitas aktual metering device disajikan pada grade
AB, ABS/ABK, SS, kapasitas teoritis yaitu 204 butir/ menit atau 816 gram/menit dan
biji yang Masuk yaitu 220 butir (736 gram)
Tabel 1. Kapasitas Aktual Metering Device
No. Ulangan
Bahan Keluar Waktu
(detik)
Kapasitas Aktual Rendeman
(%)
Efisiensi
(%) (gram) (butir) (gram/
menit)
(butir /
menit)
1 657 202 60 657 202 91,81 99,00
2 637 197 60 637 197 89,54 96,56
3 652 201 60 652 201 91,36 98,52
4 637 198 60 637 198 90,00 97,05
5 645 199 60 645 199 90,45 97,54
Rata-Rata 645,6 199,4 60 645,6 199,4 90,63 97,53
Berdasarkan kapasitas metering device yang telah dilakukan sebanyak 5 kali
pengulangan dengan bahan yang masuk 205 butir atau 664 gram dalam waktu 1 menit maka
dihasilkan rata-rata efisiensi 97,53 %. Hal tersebut sudah memenuhi kriteria perancangan yang
telah ditentukan. Hal ini membuat prototype ini mendekati target produksi 62,5 kg/jam dengan
proses pengumpanan yang baik. Perhitungan tersebut merupakan estimasi hasil dari kapasitas
metering device jika dilakukan selama 8 jam , dikarenakan biji pala yang tersedia untuk
pengujian tidak mencukupi maka dilakukan selama 1 menit. Hal tersebut menyebabkan
perhitungan yang kurang akurat jika disetarakan dengan pengujian selama 1 jam. Berdasarkan
perhitungan jika dilakukan selama 1 jam maka menghasilkan 38,73 kg/jam dan kapasitas
teoritis yang telah dihitung yaitu 61,2 kg/jam. Perbedaan ini dikarenakan asumsi biji pala yang
digunakan untuk perhitungan teoritis yaitu biji pala dengan berat 5 gram. Tetapi pada pengujian
aktualnya menggunakan biji pala dengan semua grade yang memiliki berat biji pala 3-5 gram.
Jadi, hal tersebut yang menyebabkan selisih sebesar 22 kg.
Berdasarkan pengujian diatas bahwa rata-rata hasil yang terbuang 3,57 %. Hal tersebut
bisa disebabkan biji pala nyangkut, biji pala terlempar keluar metering device, terdapat biji pala
yang tidak terisi. Saran teknik yang diperlu dilakukan kedepannya yaitu memaksimalkan pada
komponen penggetarnya agar biji pala tetap terisi pada lubang metering device.
Tingkat keterisian metering device dilakukan untuk memastikan bahwa tiap satu biji
pala berada pada tiap lubang. Untuk menempatkan biji pala satu per satu pada setiap lubang
perlu ketepatan dalam pabrikasi dikarenakan pada setiap lubang jika memiliki perbedaan
bentuk maupun ukuran walaupun hanya 1 mm saja. Maka pengujian tingkat keterisian metering
231
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
device dengan kecepatan putar metering device 17 rpm dan kecepatan putar penggetar 530 rpm
didapatkan hasil efisiensi dari jalur 1 yaitu 77,92 %, jalur 2 sebesar 91,17 % dan jalur 3
efisiensinya sebesar 94,11 %. Jika dirata-ratakan maka dihasilkan efisiensi 87,73 %. Hal
tersebut sudah mencapai kriteria perancangan yang mengharapkan diatas 80 %. Pada jalur 1
kurang dari 90 % dikarenakan biji pala diam pada orientasi yang tidak sesuai untuk masuk ke
lubang maka dibutuhkan waktu beberapa detik untuk menggetarkan biji pala masuk ke lubang
penampung. Dan juga untuk biji pala grade SS juga menyulitkan penggetar karena terkunci
oleh sisi biji pala yang tidak membulat serta membuat biji pala tidak menggelinding saat
menunggu antrian untuk masuk ke lubang metering device.
Pengujian Pengumpanan yang diintegrasikan dengan Conveyor
Pengujian grade ABK/ABS bahwa rata-rata kapasitasnya menurun dikarenakan
terdapat biji pala yang tersaing oleh penyaring. Terdapat biji pala ABK/ABS yang berukuran
kurang dari 12 mm. Maka secara otomatis biji pala akan jatuh ke outlet biji rusak. Biji pala
dengan grade ini terdapat biji pala yang jauh ke metering device 2 buah dikarenakan biji pala
grade ini berukuran 2 kali lipat lebih kecil dari biji pala grade AB. Dan biji pala pun ada
beberapa yang tersangkut. Maka secara otomatis biji pala akan lebih cepat kapasitasnnya
dengan terdapat biji pala ABK/ABS yang terdapat pada satu bucket 2 buah. Maka rata-rata
efisiensi grade ABK/ABS pun lebih kecil daripada grade AB. Rata-rata waktu yang
dibutuhkan yaitu 48 detik, lebih lama dibandingkan grade AB . Hal tersebut dikarenakan biji
pala ABK/ABS memiliki ukuran lebih kecil dan berat lebih ringan. Maka untuk 333 gram
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menempatkan biji pala diatas bucket.
Pengujian grade SS bahwa biji pala grade SS lebih banyak yang jatuhannya 2 buah
dikarenakan biji pala yang berkerut dan ukurannya kecil maka lebih susah disesuaikan di
lubang penampung sehingga biji pala tersalurkan 2 buah menuju conveyor. Rata-rata efisiensi
dari pengumpanan grade SS sebesar 80,59 %. Serta banyak biji juga yang tersangkut di bawah
bucket dikarenakan biji pala grade SS mudah bergerak oleh gaya tarikan dari conveyor yang
berjalan. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat dari grade ABK/ABS dikarenakan biji yang
terbawa terdapat beberapa 2 biji pala tiap bucket, maka waktu yang dibutuhkan lebih cepat.
Bahan masuk :1000 gram atau 363 butir
Kapasitas teoritis : 936 gram/menit atau 234 butir/menit
Tabel 1. Pengujian Biji Pala Grade AB, ABK/ABS, dan SS (Gabungan)
232
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pengujian secara keseluruhan dengan biji pala yang bercampur yaitu grade AB,
ABK/ABS dan SS yang dilakukan bersamaan yang disesuaikan dengan kondisi awal
pengolahan pasca panen di Maluku. Pengujian grade AB, ABK/ABS, SS lebih banyak
didominasi 1 biji pala dalam satu bucket. Hal ini disebabkan oleh biji pala dengan berbagai
grade saling menutupi ruang di bak penampung serta dilubang penampung. Hal ini membuat
biji pala satu per satu menuju metering device dengan teratur. Hal ini dikarenakan lubang
penampung didesain untuk semua grade dapat masuk satu persatu dengan baik dan tidak
menimbulkan banyak masalah, mulai dari tersangkut hingga biji yang jatuh pada lubang
penampung lebih dari 1 biji pala.
Berdasarkan hasil pengujian diatas bahwa terdapat solusi untuk kedepannya agar
menghasilkan rancangan yang lebih optimal yaitu pada pengujian yang terpisah memiliki
efisiensi dibawah 60 % hal tersebut dikarenakan diameter lubang yang terdapat pada bak
penampung disesuaikan agar seluruh grade biji pala dapat masuk dengan baik tidak didesain
khusus untuk tiap grade. Maka pengujuan yang semua grade digabungkan akan menghasilkan
efisiensi yang lebih baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah prototype unit pengumpan
mesin grading biji pala telah berhasil dibuat untuk mengumpan biji pala satu persatu secara
konstan dari hopper ke conveyor dengan dimensi 1530 mm x 750 mm x 700 mm. Kombinasi
kecepatan putar yang paling baik terhadap kapasitas yang dihasilkan yaitu 17 rpm untuk
metering device dan 530 rpm untuk penggetar. Kapasitas aktual rata-rata pengumpanan yang
diintegrasikan dengan conveyor menghasilkan 37,29 kg/jam serta kapasitas teoritis
pengumpanan sebesar 56,16 kg/jam, maka menghasilkan efisiennsi pengumpanan sebesar 66,
39 %. Kapasitas aktual rata-rata metering device dari prototype unit pengumpan mesin grading
biji pala sebesar 38,73 kg/jam, sehingga efisiensi metering device dari prototype unit
Ulangan Bahan Keluar
Waktu Kapasitas Aktual Rendeman
(%)
Efisiensi
(%) gram butir gram butir/ menit
1 902 321 102 530,5 188,8 90,20 80,68
2 894 285 88 609,5 194,3 89,40 83,03
3 819 282 89 552,1 190,1 81,90 81,23
4 831 288 84 593,5 205,7 83,10 87,90
5 884 318 90 589,3 212 88,40 90,59
Rata-rata 866 298,8 90,6 574,9 198,1 86,60 84,68
233
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
pengumpan sebesar 79,20 %. Total kebutuhan daya rata-rata prototype unit pengumpan pada
kondisi tanpa beban sebesar 39,17 watt sedangkan dengan beban sebesar 40,45 watt. Rata-rata
tingkat keterisian metering device dengan kecepatan putar metering device 17 rpm dan
penggetar sebesar 530 rpm pada tiga jalur yaitu memiliki efisiensi sebesar 87,73 %.
Adapun saran dari penelitian ini untuk perbaikan kedepannya yaitu perlunya
mempertimbangkan untuk dilakukan proses sortasi berdasarkan ukuran tiap grade biji pala
terlebih dahulu agar mendapatkan hasil pengumpanan yang lebih optimal.
UCAPAN TERIMAKASIH
Saya ucapkan terimakasih kepada Tim Peneliti Rancang Bangun Mesin Grading Biji
Pala yaitu Bapak Ir. Totok Herwanto, M.Eng., Muhammad Saukat,STP., Wahyu Kristian
Sugandi, STP., Ir Mimin Muhaimin Ph.D., M.Si., dan Ibu Dr. Ir. Sarifah Nurjanah, M.App.,Sc.,
yang telah membiayai penelitian skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
[IARC] International Agency for Research on Cancer - World Health Organization.(2002). IARC
Monograph on the Evaluation of Carcinogenic Risk to Humans. 82:171.
Agusta, Iyandri. 2003. Desain Sistem Mekanik Unit Pengumpan dan Penampung pada Mesin Sortasi
Mangga Berbasis Pengolahan Citra. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Ahyani, Sakinah Dahlan, 2018. Metode Visual untuk Deteksi Cendawan dan Aflatoksin pada Biji Pala
Kering Menggunakan Citra Flouresens. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Alonge, Akindele Folarin. 2012. Some Physical Properties of African Nutmeg (Monodara Myristica)
Seed Relevant to its Processing. University Of Uyo.
Citanirmala, N. M. V. 2016. Kajian Penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 tahun 2012
untuk Pengendalian Aflatoksin pada Pala. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Dinar, Latifa, Atris Suyantohadi dan M. Affan Fajar F. 2013. Kajian Standar Nasional Indonesia Biji
Pala. Jurnal Standardisasi Volume 15 Nomor 2, Juli 2013: Hal 83 – 90. Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Gadjah Mada
Hadiansyah, Tantan. 2015. Modifikasi Unit Pengumpan untuk Mesin Gradinzg Tomat. Departemen
Teknik dan Manajemen Industri Pertanian. UNPAD
Hariyadi, Purwiyatno dan Ariyanti Hartari. 2012. Sistem Operasi Bahan Pangan. Jurnal
Pang4322/Modul 1.
234
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Hall, A.S., A. R. Holowenko dan H. g. Laughin. 1983. Schaum’s Outline Series Theory and Problem
of Machine Design. Mc Graw-Hill Book Co. Singapore
Herwanto, Totok. M. Saukat dan Wahyu K. S. 2013. Scale Up Mesin Grading Tomat Berdasarkan
Evaluasi Visual. Departemen Teknik dan Manajemen Industri Pertanian Univeristas Padjadjaran
Johanson, J, R. 1965. Method Of Calculating Rate Of Discharge From Hopper and Bins. Trans.
A.S.M.E., March, 69-67.
Maher, Martin. 2010. The Design/Development of Automated Programammable Orientation
Tools for Vibratory Bowl Feeders. Waterford Institute of Tecnology
Natawidjaya H, Ametung MU, Nurjannah N, Nuraini, Didu N. 2012. Pedoman Teknis
Penanganan Pascapanen Pala. Jakarta (ID). Direktorat Jenderal Perkebunan.
Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. IPB.
Bogor.
Nurjanah, Sarifah dan Asri Widyanti. 2015. Modul Praktikum Karakteristik Bahan Hasil
Pertanian. FTIP. Universitas Padjadjaran
Putri, Ayuditha Yudi. 2018. Rancang Bangun dan Uji Kinerja Mesin Pembersih dan Pengupas
Kentang. Departemen Teknik dan Manajemen Industri Pertanian. UNPAD
235
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PERANCANGAN SISTEM BASIS DATA UNTUK MENDUKUNG
KESESUAIAN PEMUPUKAN PADA APLIKASI DECISION SUPPORT
SYSTEM PRODUKSI TANAMAN PADI
(ORYZA SATIVA L.)
Muhamad Mas’ud 1), Mimin Muhaemin2), Rizky Mulya2)
1)Mahasiswa Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
2)Staff Pengajar Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21, Jatinangor 40600 1)Email: [email protected]
ABSTRAK
Beras merupakan bahan pangan utama penduduk indonesia yang berasal dari tanaman
padi. Produksi tanaman padi pada tahapan penanaman sampai dengan pamanenan memerlukan
pemupukan agar meningkatkan mutu dan hasil beras, sehingga petani membutuhkan informasi
tentang dosis pemupukan yang tepat pada tanaman padi. Aplikasi decision support system
(DSS) produksi tanaman padi memiliki kemanfaatan sebagai pemberi informasi untuk nilai
kecukupan pemupukan pada tanaman padi. Aplikasi yang dibangun membutuhkan pendukung
untuk menyimpan data. Berdasarkan hal tersebut, dibangun sistem basis data yang dapat
menyimpan data pemupukan, data masukan berupa foto tanaman padi dan geospatial agar
aplikasi tersebut dapat memberikan rekomendasi pemupukan yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman padi yang sedang ditanam. Metode yang dilakukan dalam perancangan sistem basis
data ini menggunakan metode Sofware Development Life Cycle yang merupakan metode
rekayasa perangkat lunak. Sistem database dibuat di server dengan menggunakan program
pada aplikasi SQL Server yang dapat terhubung secara langsung dengan aplikasi secara
realtime menggunakan jaringan internet. Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini
ialah program yang dibuat dapat menyinpan data yang dikirimkan oleh aplikasi, dapat diakses
secara langsung oleh aplikasi dan dapat memberikan data rekomendasi pemupukan tanaman
padi kepada aplikasi DSS produksi tanaman padi.
Kata Kunci : Pemupukan, Sistem Basis Data, SQL Server
PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan yang utama sebagian besar penduduk Indonesia yang
berasal dari tanaman padi. Produksi padi di Indonesia sebagian besar terdapat di Pulau Jawa
dan lainnya tersebar di seluruh wilayah Indonesia. luas panen padi dari tahun 1970-2015
konstan naik (Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementrian Pertanian 2015), ini
menunjukan bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap beras sangat besar. Hal ini
236
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
menjadi tantangan bagi para akademisi untuk melakukan penelitian yang dapat meningkatkan
hasil dan mutu beras pada tanaman padi.
Meningkatkan hasil dan mutu beras pada tanaman padi memerlukan unsur hara yang
dilakukan dengan pemupukan. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009), unsur
hara yang dibutuhkan oleh tanaman padi adalah unsur makro dan mikro, yaitu C, H, O, N, P,
K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B, Cl, Na, Si, dan Co. Unsur hara yang paling banyak
dibutuhkan adalah unsur nitrogen (N) yang merupakan salah satu unsur pokok dalam
pembentukan protein dan penyusun utama protoplasma, kloroplas, dan enzim yang akan
mempengaruhi pembentukan anakan, tinggi tanaman, lebar daun, dan jumlah gabah yang
dihasilkan, sehingga petani cenderung menggunakan memberikan unsur N dalam bentuk
pupuk secara berlebih untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik (Abdulrachman, Hasil, dan
Suyamto, 2009).
Keberadaan seorang ahli atau penyuluh di bidang pemupukan di lapangan dapat
mempermudah petani dalam menentukan takaran pupuk yang baik untuk daerah tersebut.
Namun karena keterbatasan jumlah penyuluh pertanian petani kesulitan untuk mendapatkan
informasi dalam menentukan takaran pupuk yang tepat. Hal inilah yang kemudian mendorong
Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Universitas Padjadjaran merencanakan membuat
aplikasi Decition Support System (DSS) atau pengambilan keputusan pemupukan tanaman padi
untuk daerah Provinsi Jawa Barat. DSS merupakan suatu pendekatan untuk mendukung
pengambilan keputusan. Sistem pendukung keputusan biasanya menggunakan data,
memberikan antarmuka pengguna yang mudah, dan dapat menggabungkan pemikiran
pengambil keputusan (Turban, 2005).
Aplikasi DSS tanaman padi ini bertujuan untuk membantu para petani di Jawa Barat
dalam memberikan rekomendasi pemupukan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman padi yang
sedang mereka tanam. Penelitian yang lain tentang DSS padi ini menggunakan teknologi
pengolahan citra dan GPS dalam menentukan takaran pemupukan yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman padi. Aplikasi DSS tanaman padi ini membutuhkan pendukung untuk
penyimpanan data. Berdasarkan hal tersebut, dibangun sistem basis data yang dapat
menyimpan data pemupukan, data masukan berupa foto tanaman padi dan geospatial agar
aplikasi tersebut dapat memberikan basis data untuk rekomendasi pemupukan yang sesuai
dengan kebutuhan tanaman padi yang sedang ditanam.
237
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
METODOLOGI
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam perangkat keras dan
perangkat lunak.Perangkat keras yang digunakan adalah:
1. Laptop Hawlet Packard model ProBook 5220m dengan spesifikasi Prosessor Intel core
i3 generasi pertama , kapasitas hard disk sebesar 250 GB, RAM 8,00 GB sebagai
perangkat untuk merancang aplikasi android.
2. Komputer Dell model Power Edge T430 dengan spesifikasi Prosesor Intel(R) Xeon (R)
RAM 32,00 GB yang digunakan sebagai database server.
3. Printer HP LaserJet 61102 yang digunakan untuk mencetak laporan
Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perangkat Lunak yang digunakan
No. Nama Perangkat Versi Kegunaan
1. Adobe Reader XI 11.0.18 Membuka dokumen pdf
2. Microsoft SQL Server 2012 Mengolah database
3. Microsoft Word ® 2016 Mengolah dokumen skripsi
4. Microsoft Exel ® 2016 Mengolah data
5. Microsoft Visio ® 2010 Mengolah diagram dan alur
informasi
6. Notepad++ 6.9.2 Melakukan koding teks editor
7. ArcGIS 2014 Mengolah data geografis
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rekayasa perangkat lunak dimana
prosesnya disebut dengan database life cycle (DBLC) Waterfall. Metode ini merupakan sebuah
perancangan basis data dilakukan berdasarkan urutan database planning, definisi sistem,
requirement collection analysis, perancangan basis data konseptual, perancangan basis data
logical, perancangan basis data phisical, dan implementasi (Indrajani, 2011).
Prosedur penelitian yang akan dilakukan terdiri dari beberapa tahap, dimulai dari
identifikasi masalah hingga evaluasi. Diagram alir mengenai prosedur penelitian disajikan pada
Gambar 1. berikut:
238
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Diagram alir proses penelitian
Bagian ini memberikan gambaran tentang metode penelitian yang dipakai, alat dan bahan
yang digunakan, dan prosedur penelitian (step by step). Prosedur penelitian perlu diuraikan
dengan ringkas tapi cukup detail agar pembaca lain dapat mengerti apa yang dikerjakan.
Paragraf. Paragraf diketik dengan alinyemen justified. Antara judul bab, subbab dengan
paragraf dibawahnya tidak diberi jarak. Antar paragraf diberi jarak 1 spasi baris.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme Aplikasi DSS Tanaman Padi
Mekanisme kerja dari program antarmuka untuk Decision Support System (DSS)
tentang produksi padi ini ditunjukkan pada Gambar 2.
239
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Mekanisme kerja
Keterangan gambar:
1. Proses pengguna mengaktifkan hp, membuka aplikasi dan melakukan login.
2. Proses pengguna mengambil citra tanaman, mengambil data koordinat GPS, input data
yang diperlukan.
3. Proses pengiriman data ke server.
4. Proses penyimpanan data dan pengolahan data.
5. Proses pengiriman feedback dan push notification ke telepon pintar pengguna
6. Proses penerimaan informasi oleh pengguna dan penerapan solusi dari hasil olahan data.
Kriteria Perancangan Sistem Database
Program basis data untuk menentukan dosis pemupukan nitrogen ideal pada tanaman
padi diharapkan mampu:
1. Program dapat menyediakan data yang dibutuhkan oleh pengguna aplikasi Decition
Support system (DSS) Produksi Tanaman Padi
2. Program dapat menyimpan data yang dikirimkan oleh pengguna aplikasi Decition
Support system (DSS) Produksi Tanaman Padi Program dapat mengelola data yang ada
di server
3. Program dapat menyediakan struktur data yang tersistematis dan mudah di mengerti oleh
pengguna aplikasi Decition Support system (DSS) Produksi Tanaman Padi
4. Program dapat mendukung kebutuhan pemrosesan dan sebagian objek kinerja dari sistem
basis data serta objek penampilan (response time, processing time, and storage space).
240
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Entity relationship diagram (ERD)
Entity relationship diagram (ERD) merupakan teknik yang digunakan untuk
memodelkan kebutuhan data. Berikut adalah ERD yang dirancang:
Gambar 3. ERD Aplikasi DSS Produksi Tanaman Padi
Rancangan Kode Program
Kode program ini merupakan penyusun dalam pembangunan sistem database untuk
membuat data-data yang dibutuhkan oleh aplikasi DSS Produksi Tanaman Padi. Program
database DSS Produksi Tanaman Padi ini dimulai dengan melakukan login, pembuatan
struktur database dalam bentuk tabel-tabel, pengisisan data-data yang dibutuhkan yang
mencakup data jenis tanaman padi, data varietas tanaman padi, data GIS dan data jenis tanah,
serta pembentukan trigger.
Adapun pseudocode dari program yang dirancang sebagai berikut:
1. Tahap awal dari program ini adalah melakukan koneksi ke sever.
Mulai
Input alamat server
Input nama database
Input username sql server
Input password sql server
241
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kirim data ke server
Dicocokan dengan data yang ada
Jika berhasil izinkan masuk ke server
Jika gagal kembali ke input
Selesai
2. Tahap selanjutnya pembuatan database di server.
Mulai
Membuat program di dalam query
Jika berhasil akan muncul tabel baru
Jika gagal kembali membuat program
Input data varietas tanaman padi
Input data jenis tanaman padi
Input data GIS
Input data jenis tanah
Input keterangan
Jika berhasil data akan tersimpan
Jika tidak berhasil, kembali ke menu input pada exel
Selesai
3. Tahap Selanjutnya membuat triger
Mulai
Membuat program triger di dalam query
Jika berhasil akan muncul data triger didalam tabel
Jika gagal kembali membuat program
Selesai
4. Tahap Selanjutnya membuat Stored Procedure
Mulai
Membuat program stored procedure di dalam query
Melakukan query pengujian apakah program yang dibuat berjalan
Jika berhasil akan muncul data triger didalam tabel
Jika gagal kembali membuat program
Selesai
242
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Hasil Sistem Basis Data
Sistem database yang di buat menggunakan query yang ada pada Microsoft SQL Server.
Aplikasi tersebut sudah ada di dalam komputer server, sehingga bisa terkoneksi dengan aplikasi
DSS produksi tanaman padi melalui jaringan internet. Sistem basis data yang di rancang
mampu menyimpan data dan stored procedure yang dibutuhkan oleh aplikasi dan saat
pemrosesan. Berikut adalah hasil peransangan sistem basis data untuk aplikasi DSS Tanaman
Padi.
a. Tabel penyimpanan data
Tabel yang dirancang pada SQL server bisa dilihat pada gambar dibawah, dan contoh
yang diperlihatkan adalah tabel jabar_adm_wgs84. Tabel tersebut berisi data tersimpan yang
terdiri dari ID, DESA, KECAMATAN, KABUPATEN, PROVINSI, LUAS_WILAYAH dan
Geom. Data tersimpan pada tabel jabar_adm_wgs84 digunakan oleh aplikasi DSS Produksi
Tanaman Padi sebagai basis data administrasi wilayah, sehingga aplikasi dapat memunculkan
data ini pada aplikasi tersebut sesuai program yang sudah dibuat.
Gambar 4. Tampilan Tabel pada Microsoft SQL Server
b. Fungsi triger
Fungsi triger yang dirancang salah satunya bisa dilihat pada gambar dibawah. Fungsi
triger tersebut terdapat pada tabel peta_adm_jabar, yang memiliki fungsi jika dlakukan
perubahan data terbaru maka akan secara otomatis user yang merubah data dan waktunya akan
tertera pada tabel di kolom diubah_oleh dan diubah_tgl seperti yang terlihat pada gambar 6.
243
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 5. Query trigger pada tabel peta_adm_jabar
Gambar 6. Kolom diubah_oleh dan diubah_tgl pada tabel peta_adm_jabar
c. Stored Procedure
Stored Procedure atau prosedur tersimpan yang telah dirancang bisa dilihat pada gambar
dibawah. Diperlihatkan query salah satu prosedur tersimpan yaitu spjenistanah. Prosedur yang
disimpan ialah mengetahui data jenis tanah dari data masukan latitude dan longitude secara
otomatis yang diperoleh dari data tersimpan pada tabel jabar_adm_wgs84 dan
jenis_tanah_wgs84.
244
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 7. Query stored procedure spjenistanah
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sistem basis data yang
dirancang mampu menyimpan data yang dibutuhkan oleh aplikasi DSS Produksi Tanaman Padi
dan mampu menjalankan prosedur serta fungsi secara otomatis sesuai yang dibutuhkan oleh
aplikasi DSS Produksi Tanaman Padi.
245
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman S, Hasil S, dan Suyamto. 2009. Pemupukan Tanaman Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Indrajani. 2011. Perencanaan Basis Data dalam All in 1. Jakarta : elex Media
Komputindo.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementrian Pertanian 2015.
Turban, E, 2005, Decision Support Systems and Intelligent Systems Edisi Bahasa Indonesia
Jilid 1, Andi, Yogyakarta
246
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KAJIAN PENGGUNAAN BERBAGAI JENIS PELARUT ORGANIK
DENGAN METODE MASERASI TERHADAP KARAKTERISTIK
EKSTRAK OLEORESIN LADA PUTIH
Muhammad Reza Dahlevi
Program Studi Teknologi Pangan Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600
Email: [email protected]
ABSTRAK
Tanaman lada merupakan rempah pedas yang memiliki permintaan yang banyak baik
dipasar domestik maupun mancanegara. Salah satu jenis lada yang dikenal dunia adalah lada
putih Muntok khas Bangka Belitung. Lada putih yang dijual umumnya hanya berupa biji lada
utuh, oleh sebab itu diperlukan peningkatan kualitas dan produk, salah satunya dengan
menjadikannya kedalam bentuk oleoresin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
jenis pelarut yang paling baik dalam proses ekstraksi lada secara maserasi sehingga dihasilkan
ekstrak oleoresin lada putih dengan karakteristik terbaik. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian eksperimental dengan analasis deskriptif, bahan baku penelitian ini
adalah lada putih Muntok khas Bangka dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan
penelitian terdiri dari penggunaan 3 jenis pelarut yang berbeda dengan rasio 1:5 yaitu: pelarut
etanol 96%, pelarut aseton, dan pelarut etil Asetat dengan metode maserasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan jenis pelarut pada saat ekstraksi menghasilkan karakteristik
ekstrak oleoresin lada putih yang berbeda-beda. Rendemen yang dihasilkan oleoresin lada
putih berkisar antara 6,70% - 7,68%. Kadar Piperine yang dihasilkan berkisar antara 41,03% -
49,19%. Warna meliputi nilai L*, a* dan b* untuk oleoresin lada putih adalah L*: 35,37 -
47,48, a*: 3,43 – 7,49 dan b*: 32,86 – 35,59. Hasil terbaik yang didapat adalah oleoresin lada
putih dengan menggunakan pelarut etanol untuk parameter rendemen dan warna sedangkan
untuk parameter kadar piperine adalah oleoresin lada putih dengan pelarut aseton
Kata Kunci: Aseton, Etanol, Etil Asetat, Maserasi, Oleoresin Lada Putih
PENDAHULUAN
Tanaman lada (Piper nigrum L.) atau sering disebut juga merica merupakan tanaman
rempah yang hidup pada iklim panas (Purseglove et al., 1987). lada putih diproses dari buah
lada yang hampir masak (berwarna kekuningan), direndam, lalu dikupas kulit yang sudah lunak
dan dikeringkan hingga berwarna putih cerah kekuningan (Rismunandar, 2007). Senyawa
utama yang terdapat pada lada adalah piperine, senyawa ini bertanggung jawab atas rasa pedas
yang sifatnya non-volatil selain itu senyawa ini juga memiliki manfaat sebagai penghangat
otot dan obat sakit kepala (Nagavekar dan Singhal, 2017).
247
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Salah satu produk turunan dari lada adalah dalam bentuk oleoresin (Syafi’i dkk., 2016).
Oleoresin adalah senyawa yang diperoleh dari hasil ekstraksi rempah menggunakan senyawa
hidrokarbon pelarut yang dapat diperoleh dari ekstraksi satu tahap, dua tahap atau multitahap
(Khasanah dkk., 2015). Penggunaan lada dalam bentuk oleoresin sudah banyak diminati
industri pangan terutama sebagai flavor. Hal ini dikarenakan oleoresin memiliki banyak
keunggulan, antara lain: memiliki rasa dan aroma yang kuat, memiliki nilai ekonomis yang
tinggi sebagai flavor, memudahkan pengolahan, mengurangi volume dan berat sehingga
mengurangi biaya transportasi (Yuliani dkk., 2007). Menurut Winarno dan Agustinah (2007)
oleoresin memiliki seluruh sifat organoleptik dari rempah-rempah alamiah yang mengandung
fixed oil, pigmen, citarasa pedas, dan antioksidan alamiah, sehingga lada putih dalam bentuk
oleoresin memiliki karakteristik organoleptik yang hampir sama dengan lada putih dalam
bentuk buah.
Harbone (1987) menjelaskan bahwa metode ekstraksi dapat dikelompokan menjadi dua,
yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus, yang tergolong kedalam ekstraksi sederhana
salah satunya adalah metode ekstraksi maserasi. Metode maserasi dipilih karena memiliki
keunggulan diantaranya prosedur dan peralatan yang digunakan tergolong sederhana, dapat
juga dilakukan tanpa adanya proses pengadukan, hanya saja jumlah pelarut yang digunakan
cukup banyak dan waktu pengekstraksian tergolong lama (Faressi, 2018). Metode maserasi
dilakukan dengan memasukan serbuk tanaman yang ingin diekstrak kedalam wadah inert yang
tertutp rapat berserta pelarut yang sesuai pada suhu kamar. Selama proses ekstraksi akan terjadi
ketidak keseimbangan konsentrasi antara diluar bahan dengan didalam sehingga menyebabkan
senyawa akan keluar berdifusi kedalam pelarut. Hal tersebut terjadi hingga tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel
tanaman (Sarker, et al., 2006).
Pemilihan pelarut sebagai pengikat senyawa sangat berpengaruh terhadap proses
ekstraksi. Salah satu dasar pemilihan jenis pelarut adalah berdasarkan tingkat kepolarannya,
pengaruh terhadap pH, stabilitas terhadap suhu, titik didih pelarut, toksisitas dan harga
(Houghton dan Amala, 1998). Beberapa jenis pelarut yang dapat mengekstrak alkaloid dalam
buah lada putih diantaranya adalah aseton, etanol dan etil asetat. Ketiga pelarut tersebut
merupakan golongan pelarut organik semi polar yang dapat mengekstrak senyawa alkaloid,
aglycones dan glycosides, namun ketiga pelarut tersebut memiliki nilai index polaritas yang
berbeda (Houghton dan Amala, 1998). Berdasarkan uraian tersebut penggunaan jenis pelarut
248
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dalam ekstraksi sangat penting, namun sampai saat ini masih sedikit penelitian yang
membandingkan tentang jenis pelarut terhadap ekstraksi oleoresin lada putih. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian mengenai kajian penggunaan pelarut organik terhadap karakteristik
ekstrak oleoresin lada putih.
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lada putih varietas Muntok
khas Bangka Belitung yang diperoleh dari PT. Cinquer Agro Nusantara (CAN) Bandung.
Bahan lain yang digunakan yaitu aquades, pelarut etanol 96% (teknis), aseton (teknis) dan etil
asetat (teknis). Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah timbangan analitik, grinder,
spektrofotometer UV-Vis, rotatory vacuum evaporator, chromameter, oven vakum, hot plate,
spatula, labu ukur, pipet tetes dan pipet ukur.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimental dengan
analasis deskriptif (explanatory research). Perlakuan yang akan dilakukan yaitu ekstraksi
oleoresin lada putih menggunakan 3 jenis pelarut yang berbeda dengan rasio 1:5 yaitu: pelarut
etanol 96%, pelarut aseton, dan pelarut etil Asetat dengan metode maserasi. Parameter
pengamatan utama yang dianalisis adalah rendemen bubuk oleoresin, warna (L*, a*, b*), dan
kadar piperine.
Pelaksanaan percobaan terdiri atas 3 tahapan yang terdiri dari penyiapan bahan, ekstraksi
dengan metode maserasi, dan pemisahan pelarut.
A. Penyiapan Bahan
Penyiapan terdiri dari pengecilan ukuran lada putih menggunakan grinder dan
pengayakan dengan menggunakan ayakan 40 mesh. Lada yang tidak lolos ayakan dilakukan
pengecilan ukuran kembali hingga semua lada lolos ayakan.
B. Ekstraksi dengan Metode Maserasi
249
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
C. Pemisahan Pelarut
Proses ekstraksi yang masih mengandung pelarut didalamnya dipisahkan dengan cara
pemekatan menggunakan alat rotary vacuum evaporator pada suhu 40°C dengan tekanan yang
berbeda bergantung kepada jenis pelarut yang digunakan. Proses pemisahan pelarut dilakukan
hingga sudah tidak ada pelarut yang menetes dari kondensor ke labu penampung pelarut.
Penghitungan kadar piperine mengacu kepada SNI 01-0025-1987 dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
𝐴
A1 cm1% 𝑥
100
10 𝑥
100
10 𝑥
100
𝑀
Keterangan :
M : Bobot contoh uji (g)
A : Absorban larutan contoh
A1 cm1% : Absorban pada 343 nm dari 1% larutan piperin dan cell 1 cm yaitu
1238
Gambar 20 Diagram Alir Ekstraksi Maserasi
(Sumber: Modifikasi dari Faressi, 2018 dan Fitriyana dkk., 2017)
250
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen
Rendemen oleoresin lada putih didapatkan dari persentase perbandingan hasil oleoresin
dengan bubuk lada yang digunakan. Data rendemen oleoresin lada disajikan dalam grafik
berikut ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rendemen oleoresin lada putih yang terbesar adalah
pada jenis pelarut etanol sebesar 7,68 ± 0,45% diikuti aseton 7,17 ± 1,29% dan etil asetat
sebesar 6,69 ± 0,65%. Jenis pelarut etanol memiliki hasil yang paling tinggi disebabkan
merupakan jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang paling tinggi dibandingkan dengan
pelarut lainnya sehingga jenis pelarut ini kurang spesifik dalam mengekstrak senyawa yang
diekstrak sehingga menyebabkan rendemen yang dihasilkan cenderung banyak. Index polaritas
dari pelarut yang digunakan yaitu etil asetat adalah 4,4, aseton 5,1, dan etanol sebesar 5,2
(Synder, 1978, Kier, 1980). Menurut Harbone (1987) di dalam tumbuh-tumbuhan terdapat
banyak senyawa fenolik, senyawa tersebut memiliki sifat yang cenderung larut dalam pelarut
polar. Hal ini menyebabkan pada pelarut etanol rendemen oleoresin lada putih yang didapat
lebih banyak dibandingkan dengan pelarut aseton dan etil asetat.
7.68
7.17
6.69
6.00
6.20
6.40
6.60
6.80
7.00
7.20
7.40
7.60
7.80
Etanol Aseton Etil Asetat
Ren
dem
en (
%)
Jenis pelarut
Rendemen Oleoresin Lada Putih
Gambar 21. Grafik Perbandingan Rendemen Oleoresin Lada Putih
251
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Warna
Pengujian warna dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerahan dari oleoresin lada putih,
pengujian warna meliputi nilai L*, a*, dan b* menggunakan chromameter, dan pengamatan
secara visual, data dari hasil pengujian warna disajikan dalam grafik sebagai berikut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai L* yang paling besar adalah oleoresin lada
putih dengan menggunakan pelarut etanol, etil asetat dan aseton. Nilai L* menunjukan tingkat
kecerahan oleoresin lada putih, sedangkan untuk nilai a* didapatkan nilai yang paling besar
pada oleoresin lada putih dengan menggunakan pelarut aseton diikuti etil asetat dan etanol.
Nilai b* yang paling tinggi terdapat pada oleoresin lada putih dengan menggunakan pelarut
etanol diikuti etil asetat dan aseton.
Nilai L (lightness) memiliki kisaran 0 (hitam) hingga 100 (putih), nilai a* (merah-hijau)
memiliki kisaran yaitu nilai positif berwarna merah, nilai negatif berwarna hijau dan nol netral;
serta nilai b* (biru-kuning) memiliki kisaran yaitu nilai positif berwarna kuning, nilai negatif
berwarna biru dan nol netral (Jha, 2010).
47.48
3.43
35.5935.37
7.49
32.86
41.90
6.44
33.84
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
L* a* b*
Warna Oleoresin Lada Putih
Etanol Aseton Etil Asetat
Gambar 22. Grafik Perbandingan Warna Oleoresin Lada Putih
252
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 4 menampilkan kenampakan oleoresin lada putih secara visual, dapat dilihat
bahwa secara visual oleoresin lada putih dengan pelarut etanol lebih cerah dibandingkan
dengan pelarut yang lain, kemudian diikuti oleh oleoresin lada putih dengan pelarut etil asetat.
Warna dari oleoresin yang dihasilkan dari pelarut etil asetat kuning kecoklatan yang seragam,
dan yang paling gelap adalah oleoresin lada putih dengan pelarut aseton. Warna oleoresin dari
pelarut aseton ialah kuning kecoklat-coklatan yang tidak seragam. Warna dari hasil penelitian
ini sesuai dengan pernyataan dari Budiman (2016) warna kuning dari oleoresin lada putih
merupakan warna dari senyawa piperine, senyawa ini memiliki bentuk berupa kristal jarum,
tidak berbau, tidak berasa namun lama kelamaan akan timbul sensasi pedas.
Kadar Piperine
Piperin termasuk golongan alkaloid yang merupakan senyawa amida basa lemah yang
dapat membentuk garam dengan asam mineral kuat. Piperin bila dihidrolisis dengan KOH-
etanolik yang berlebihan dan dalam keadaan panas menyebabkan piperin terhidrolisis dan
membentuk kalium piperinat dan piperidin (Budiman, 2016). Pengujian kadar piperine
dilakukan dengan menggunakan metode SNI 01-0025-1987 yaitu pengenceran dengan etanol
96% kemudian di lakukan pengecekan absorbansi pada panjang gelombang 343 nm dengan
spektrofotometer UV. Sampel oleoresin mula-mula harus dipanaskan selama 1 jam pada suhu
50°C dengan tujuan untuk mengencerkan karena berbentuk padatan pada suhu ruang. Hasil uji
kadar piperine disajikan dalam grafik berikut ini.
(a) (b) (c)
Gambar 23. Sampel Oleoresin Lada Putih Dengan Perlakuan Pelakuan (a) Pelarut Etanol (b) Pelarut Aseton (c)
Pelarut Etil Asetat
253
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kadar piperine oleoresin lada putih yang paling tinggi didapatkan pada oleoresin yang
diekstrak menggunakan pelarut aseton sebesar 41,03 ± 2.68% , kemudian diikuti oleh oleoresin
dengan pelarut etil asetat 55,19 ± 5.35% dan oleoresin dengan pelarut etanol 49,19 ± 5.95%.
Kadar piperine minimal berdasarkan SNI 01-0025-1987 untuk oleoresin lada hitam (sebagai
pembanding) adalah sebesar 35%, maka ketiga jenis pelarut ini pada dasarnya sudah dapat
mengekstraksi senyawa alkaloid piperine dengan baik hanya saja jenis pelarut aseton
merupakan pelarut yang paling optimal dalam mengekstrak senyawa piperine.
Hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan Parthasarathy dan Zachariah (2008) yang
mengatakan bahwa pada proses ekstraksi lada jenis pelarut aseton merupakan pelarut yang
paling efisien dibandingkan dengan pelarut lainnya, hal ini menunjukan bahwa senyawa
alkaloid piperine cenderung lebih larut terhadap pelarut yang bersifat semi polar. Index
polaritas pelarut yang digunakan adalah etil asetat 4,4, aseton 5,1, dan etanol sebesar 5,2
(Synder, 1978, Kier, 1980).
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rendemen dan warna oleoresin
lada putih yang paling baik pelarut etanol merupakan pelarut yang sesuai, akan tetapi apabila
ingin mendapatkan kadar piperine yang paling tinggi maka pelarut aseton merupakan pilihan
yang tepat untuk digunakan. Saran dari penelitian ini perlu dilakukan uji sensori terhadap
41.03
55.19
49.19
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Etanol Aseton Etil Asetat
Ka
da
r P
iperin
e (
%)
Jenis pelarut
Kadar Piperine Oleoresin Lada Putih
Gambar 24. Grafik Perbandingan Kadar Piperine Oleoresin Lada Putih
254
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
oleoresin lada putih untuk mengetahui apakah kadar piperine berbanding lurus dengan sensasi
panas yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional. 1987. SNI. 0025-1987. Oleoresin Lada Hitam. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta.
Budiman, H. 2016. Isolasi Dan Identifikasi Alkaloid Piperin Dari Buah Merica Putih (Albi
fructus. Surakarta: Jurnal Farmasindo Politeknik Indonusa.
Faressi, F. R.. 2018. Pengaruh Metode Ekstraksi Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Skripsi. Jatinangor. Unpad
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Bandung: ITB.
Houghton, P.J., Amala R. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural
Extracts. London: Springer-Science+Business Media.
Jha, S. N. 2010. Colour Measurements. Dalam : S. N. Jha. Nondestructive Evaluation of Food
Quality: Theory and Practice. Springer, Verlag Berlin Heidelberg.
Khasanah, L.U., Anandhito B.K., Rachmawaty T., Utami R., Manuhara G.J. 2015. Pengaruh
Rasio Bahan Penyalut Maltodekstrin, Gum Arab, Dan Susu Skim Terhadap Karakteristik
Fisik Dan Kimia Mikrokapsul Oleoresin Daun Kayu Manis (Cinnamomum burmannii).
Surakarta. Jurnal Agritech USM.
Nagavekar N., Singhal R.S. 2017. Enhanced Extraction Of Oleoresin From Piper Nigrum By
Supercritical Carbon Dioxide Using Ethanol As A Co-Solvent And Its Bioactivity
Profile. .India. Journal Of Food Process Engineering.Purseglove, J. W., E. G. Brown, C.
L. Green, and S. R. J. Robins. 1987. Spices Vol I. New York: Longman Inc. 10-99
Parthasarathy, V.A., Zachariah, T.J. 2008. Chemistry Of Spices. India: CAB International.
Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green, and S. R. J. Robins. 1987. Spices Vol I. New
York: Longman Inc. 10-99
Rismunandar. 2007. Lada, Budidaya dan Tantangannya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sarker, S. D., Z. Latif, dan A. I. Gray. 2006. Natural Products Isolation, 2nd ed. Humana Press
Inc., New Jersey.
Syafi’i, F., Wijaya C. H., Nurtama B. 2016. Optimasi Proses Pembuatan Bubuk Oleoresin Lada
(Piper Nigrum) Melalui Proses Emulsifikasi Dan Mikroenkapsulasi. Bogor. Jurnal
Agritech IPB.
255
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Synder, L.R. 1978. Classification of the Solvent Properties of Common Liquids. Journal of
Chromatographic Science Vol 16. New York.
Winarno, FG, Agustinah W. 2007. Pengantar Bioteknologi. Ed.rev. Bogor: Mbrio Press.
Yuliani, S., Desmawarni dan Harimurni, N. 2007. Pengaruh laju alir umpan dan suhu inlet
spray drying pada karakterisasi mikrokapsul oleoresin jahe. Jurnal Pascapanen 4(1): 18-
26.
256
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
ANALISIS ENERGI PADA PROSES PEMBUATAN MINUMAN
TRADISIONAL KHAS JAWA BARAT DI CV.CIHANJUANG INTI
TEKNIK
Muhammad Rifky Putra Pratama1, Ade Moetangad Kramadibrata2, Boy Macklin
Pareira Prawiranegara2
1 Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 43563
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Energi merupakan salah satu kebutuhan utama dalam menunjang berbagai kegiatan
manusia, perekonomian suatu negara dan industri. Persoalan tentang energi terutama dalam
sektor industri kini menjadi hal yang sedang di perhatikan dan dikembangkan oleh manusia
terutama kaitannya dengan konservasi energi. Proses produksi minuman tradisional bermerek
hanjuang belum diketahui jumlah penggunaan energinya dan diduga memiliki penggunaan
energi yang tinggi sehingga perlu dilakukan analisis energi pada setiap tahapan prosesnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis aliran energi pada setiap proses
pengolahan minuman tradisional untuk mengetahui kemungkinan penghematan dalam
penggunaan energi. Penelitian dilakukan dengan metode analisis deskriptif dengan mengukur
langsung dan menghitung penggunaan energi untuk setiap proses pengolahan hingga proses
pengemasan. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan total energi pada seluruh proses
pengolahan mencapai 25.877,1 MJ/ton. Penggunaan energi terbesar dalam seluruh proses
pengolahan adalah energi tak langsung dengan nilai sebesar 19.364,2 MJ/ton. Sementara itu,
penggunaan total energi langsung pada seluruh proses pengolahan adalah sebesar 5.891,7
MJ/ton dan penggunaan energi biologis hanya sebesar 626,2 MJ/ton. Penghematan energi dapat
dilakukan berdasarkan tingkat keperluan pada jenis pemborosan. Penghematan energi dapat
berupa penggunaan mesin pengupas kulit, penggunaan sumber energi listrik alternatif dan
penggantian konsep kemasan minuman tradisional. Nilai total upaya penghematan energi
dapat mencapai 32,6 % dari total penggunaan energi atau setara dengan 8.453,91 MJ/ton.
Kata Kunci: analisis energi, pengolahan minuman tradisional, penghematan energi,
CV.Cihanjuang Inti Teknik
PENDAHULUAN
Energi merupakan salah satu kebutuhan utama dalam menunjang berbagai kegiatan
manusia perekonomian suatu negara dan industri. Kebutuhan energi semakin meningkat
seiring dengan berkembangnya teknologi dalam berbagai bidang terutama bidang agroindustri
257
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
serta kebutuhan manusia yang semakin tinggi. Perkembangan teknologi yang membawa
dampak peningkatan kebutuhan energi yaitu penggunaan alat dan mesin dalam suatu proses
produksi dan bahan bakar yang digunakan.
Audit energi merupakan proses evaluasi pemanfaatan energi dan identifikasi peluang
penghematan energi serta rekomendasi peningkatan efisiensi pada penggunaan energi untuk
melaksanakan proses konservasi energi (Permana, 2017). Tujuan diadakannya audit energi
untuk mempelajari dan menganalisis penggunaan energi pada suatu proses produksi yang
meliputi jumlah, jenis dan sumber energi, aliran energi, dan biaya energi (Pimentel, 1990).
Persoalan tentang energi terutama dalam sektor industri ini kini menjadi hal yang sedang
di perhatikan dan dikembangkan oleh manusia terutama kaitannya dengan konservasi energi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa konservasi energi
adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam
negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya. energi nasional (Kemenperin, 2015).
CV. Cihanjuang Inti Teknik yang berlokasi di kota Cimahi Jawa Barat merupakan salah
satu perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri dalam pengolahan jahe menjadi
minuman tradisional yang berbentuk serbuk. Terdapat 11 produk yang diproduksi pada CV.
Cihanjuang Inti Teknik dengan jumlah produksi pertahun pada seluruh produk mencapai
404.721 kemasan pada tahun 2011, pada tahun 2012 mengalami peningkatan hingga mencapai
426.449 kemasan dan 476.743 kemasan di tahun 2013 (CV. Cihanjuang Inti Teknik, 2014).
Untuk dapat mencapai kapasitas produksi bandrek, setiap tahapan pada proses tersebut
membutuhkan konsumsi energi yang besar karena setiap proses nya menggunakan alat dan
mesin yang memiliki daya yang cukup tinggi serta tenaga kerja manusia yang cukup banyak.
Proses pembuatan minuman tradusional di CV. Cihanjuang Inti teknik ini meliputi proses
sortasi, pencucian dan pengupasan, pengukusan, pengeringan, penyangraian, penggilingan,
pengayakan, pencampuran, dan pengemasan produk.
Konsumsi energi pada proses pembuatan minuman tradisional di CV. Cihanjuang Inti
Teknik saat ini belum diketahui jumlahnya, terutama pada proses yang menggunakan mesin,
bahan bakar dan tenaga manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian mengenai analisis
energi untuk menunjukkan total konsumsi energi dalam perencanaan peningkatan efisiensi
penggunaan energi dan mengetahui sumber-sumber pemborosan energi dan peluang
penghematan energi pada proses pembuatan minuman tradisional di CV. Cihanjuang Inti
Teknik.
258
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif yaitu metode pemilihan yang menghimpun data, menyusun secara sistematis,
kemudian melukiskan variable-variabel, satu demi satu (Hasan, 2002). Variabel-variabel yang
diamati pada penilitian ini adalah energi biologis, energi langsung, dan energi tidak langsung
alsin dan bahan baku. Setiap jenis energi dalam setiap tahapan proses pembuatan minuman
tradisional dibuat atau digambarkan dalam bentuk tabel untuk mengetahui besar penggunaan
energi.
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2019 sampai dengan Juni 2019.
Penelitian ini dilaksanakan di CV. Cihanjuang Inti Teknik, Kecamatan Cimahi Utara , Kota
Cimahi, Jawa Barat.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan yaitu alat tulis, calculator, timbangan, meteran, stopwatch dan
laptop. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari penelitian secara langsung di tempat dengan proses pengamatan, pengukuran,
wawancara, mencatat dan menghitung. Data sekunder yang digunakan yaitu data kebutuhan
energi untuk proses pembuatan minuman tradisional berdasarkan jadwal kegiatan, waktu yang
diperlukan untuk setiap jenis kegiatan, jumlah tenaga kerja, jumlah dan jenis alat dan mesin,
dan semua sarana produksi yang digunakan maupun studi literatur.
259
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Mulai Mulai
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Konversi Data
Analisis Data
Penarikan Kesimpulan
Selesai
Tahapan Penelitian
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Diagram Alir Tahapan Penelitian
Pengumpulan Data
Pengamatan dan pengumpulan data penggunaan energi selama proses pembuatan
minuman tradisional berdasarkan jadwal kegiatan pekerja, waktu yang diperlukan pekerja,
Jumlah tenaga kerja pada setiap proses pembuatan minuman tradisional, Jumlah dan jenis alat
mesin yang digunakan, Semua faktor yang terdapat dalam proses (konsumsi listrik, bahan
bakar dan lain-lain), Data potensi penghematan energi dan data potensi alternatif sumber energi
yang ada di CV. Cihanjuang Inti Teknik.
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah proses pengumpulan data. Data yang telah terkumpul
akan diolah dan di evaluasi terlebih dahulu untuk melanjutkan ke proses selanjutnya.
Pengolahan data yang dilakukan untuk menjadikan data yang telah dikumpulkan menjadi data
yang dapat dikonversi menjadi satuan energi.
260
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Konversi Data
Pada tahap ini dilakukan perhitungan penggunaan energi menggunakan persamaan-
persamaan penggunaan energi. Perhitungan penggunaan energi pada proses pembuatan
kerupuk udang mengikuti persamaan berikut:
1. Energi Manusia
EBS= HOK×JK×cb×Rd
H ………………….. [1]
Keterangan:
EBS = Konsumsi Energi biologis proses produksi (MJ/ton)
HOK = jumlah hari orang kerja (hari)
JK = jumlah jam kerja per hari (jam/hari)
cb = nilai unit energi biologis (MJ/jam)
Rd = rendemen (%)
H = hasil proses (Ton)
2. Energi Langsung
a. Energi Bahan Bakar
ELT= KL × CL ×Rd
CH …..…………………… [2]
Keterangan:
ELP = energi terpakai bahan bakar proses pengolahan (MJ/ton)
KL = konsumsi bahan bakar (liter/jam)
CL = nilai unit energi bahan bakar (MJ/Liter)
Rd = rendemen hasil kegiatan yang berlangsung (%)
CH = kapasitas efektif mesin pertanian (ton/jam)
b. Energi Bahan Bakar
ELT= KL × NEL
H …..……………………[3]
EL = energi listrik proses pengolahan (MJ/ton)
KL = konsumsi listrik proses pengolahan (kWh)
NEL = nilai energy listrik (MJ/ kWh)
H = rata-rata hasil proses sebelumnya (ton)
3. Energi Tak Langsung Mesin
EAS = {m1×(cem+cef)×(0,82+0,33×TAR)×Rd}
CH × N …..…………………… [4]
261
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
EAS = energi tidak langsung terpakai dari alat/mesin pengolahan (MJ/ha)
m1 = massa total mesin (kg)
cem = nilai unit energi tidak langsung produksi bahan baku (MJ/kg)
cef = nilai unit energi tidak langsung fabrikasi (MJ/kg)
0.82 = nilai asumsi persentase total energi tidak langsung produksi bahan baku energi
fabrikasi dalam kenyataan sehari-hari
0.33 = nilai asumsi energi perbaikan dan pemeliharaan mesin pertanian (bagian dari nilai
TAR)
TAR =nilai persentase total akumulasi pemakaian perbaikan dan pemeliharaan (MJ/kg)
N = umur ekonomis alat atau mesin pertanian (jam)
Rd = rendemen hasil kegiatan yang berlansung (%)
CH = kapasitas kerja alat dan mesin (ton/jam)
4. Energi Tak Langsung Alat
EAP = EK × MA
H …..…………………… [5]
Keterangan :
EAP = energi pengunaan alat pertanian (MJ/ton)
EK = energi ekuivalen (MJ/kg)
MA = massa alat pertanian (kg)
H = rata-rata hasil proses (ton)
Analisis Data
Pada tahap ini dilakukan analisis dari hasil konversi data dengan menggunakan
metode SWOT untuk menentukan langkah menuju penghematan energi. Menurut Rangkuti
(2004) mengungkapkan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini berdasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity), namum secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pembuatan minuman tradisional di CV. Cihanjuang Inti Teknik memiliki 10
kegiatan yaitu dimulai dari proses sortasi, pencucian dan pengupasan, pengukusan, pengirisan,
262
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
pengeringan, penyangraian, penggilingan, pengayakan gula aren, pencampuran bahan baku,
dan pengemasan. Energi yang diperhitungkan meliputi penggunaan energi yang berasal
dari energi biologis atau energi manusia, energi langsung bahan bakar dan energi langsung
listrik, dan energi tidak langsung (embodied energy) dari alat dan mesin pertanian yang
digunakan selama proses pembuatan minuman tradisional.
Penggunaan energi total pada proses pembuatan minuman tradisional di CV.
Cihanjuang Inti Teknik sebesar 25.877,1 MJ/ton. Penggunaan energi tersebut dapat
dijelaskan menurut jenisnya dan dikelompokkan bedasarkan tahapan proses dari proses
sortasi hingga pengemasan. Rincian penggunaan energi total proses pembuatan minuman
tradisional disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Penggunaan Seluruh Energi pada setiap Proses
No Jenis Proses
Energi
Manusia
(MJ/ton)
Energi
Langsung
(MJ/ton)
Energi Tak
Langsung
(MJ/ton)
Nilai
Energi
(MJ/ton)
Persentase
(%)
1 Sortasi 201,7 - 1192 1393,7 5
2 Pencucian dan
Pengupasan 49,9 37 1730,1 1817 7
3 Pengukusan 43,8 814 24,7 882,5 3
4 Pengirisan 9,1 3,1 392,2 404,4 2
5 Pengeringan 148 4320 1,9 4469,9 17
6 Penyangraian 12,9 522,4 14,6 544,9 2
7 Penggilingan 16,2 26,1 1639 1681,3 6
8 Pengayakan 15,7 28,5 489,7 533,9 2
9 Pencampuran
Bahan 7,7 87,6 271 366,3 1
10 Pengemasan Bahan 121,2 53 13609 13783,2 55
Total 626,2 5891,7 19364,2 25877,1 100
Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa energi terbesar terdapat pada proses yang terakhir yaitu
pengemasan bahan hingga mencapai 13.783,2 MJ/ton. Hal tersebut dikarenakan energi tak
langsung alat dan bahan sebagai penyumbang energi terbesar pada proses pengemasan
bahan. Energi tak langsung bernilai sangat besar karena bahan yang digunakan pada proses
pengemasan memiliki energi yang digunakan secara tidak langsung atau energi ekuivalen
pada pabrikasi pembuatan alat dan bahan tinggi. Sedangkan untuk proses yang menghasilkan
energi terkecil adalah proses pencampuran bahan yaitu sebesar 366,3 MJ/ton.
263
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Penggunaan jenis energi terbesar terdapat pada energi tak langsung pada seluruh proses
dengan nilai 19.364,2. Sedangkan untuk jenis energi terkecil yang dihasilkan pada seluruh
proses adalah energi biologis manusia sebesar 626,2 MJ/ton. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar 2.
Gambar 2. Diagram Persentase Penggunaan Energi pada Setiap Proses
Pendekatan kuantitatif analisis SWOT bedasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan
di CV. Cihanjuang Inti Teknik. Setelah mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman yang ada di CV. Cihanjuang Inti Teknik maka selanjutnya melakukan analisis
terhadap faktor-faktor tersebut dimana didapat hasil pengurangan S-W sebagai sumbu X
dengan nilai positif sebesar 0,117 dan faktor O-T sebagai sumbu Y dengan nilai negatif
sebesar -0,187. Untuk menentukan strategi yang dapat digunakan agar proses pembuatan
minuman tradisional dapat berlangsung lebih efisien dapat digunakan kuadran SWOT yang
terdapat pada Gambar 3.
2%23%
75%
Energi Biologis Energi Langsung Energi Tidak Langsung
264
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 3. Kuadran SWOT
Hasil yang didapatkan pada kuadran SWOT sesuai dengan hasil pendekatan
kuantitatif analisis SWOT, maka dapat diketahui strategi yang digunakan untuk
meningkatkan nilai efisiensi energi yang digunakan dalam proses pembuatan minuman
tradisional. Dalam metode SWOT jika (X,Y) bernilai (0,117; -0,187) hal ini menandakan
bahwa CV. Cihanjuang Inti Teknik berada pada kuadran II, hal tersebut menandakan bahwa
CV. Cihanjuang Inti Teknik meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan masih
memiliki kekuatan dari segi internal, strategi yang harus diterapkan untuk kuadran II strategi
S-T yaitu strategi diversifikasi (produk/pasar) menggunakan kekuatan internal untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang .
Peluang penghematan energi didasarkan dengan tingkat urgensi yang dapat dilihat yaitu
penghematan energi yang belum digunakan, sehingga penghematan energi yang dapat
dilakukan bersifat dapat langsung dilakukan dan dapat ditunda. Penghematan energi yang dapat
langsung dilakukan adalah penghematan yang berkaitan dengan optimasi penggunaan mesin,
penggunaan bahan bakar, listrik, dan penambahan mesin. Berikut ini adalah langkah
penghematan energi yang dapat dilakukan pada proses pembuatan minuman tradisional :
1. Penggunaan mesin pengupas kulit, upaya penghematan energi pada proses ini pada
tahapan pengupasan kulit jahe dengan mengganti tahapan pengupasan kulit jahe yang
265
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
awalnya manual menjadi menggunakan mesin pengupas kulit jahe Penggunaan mesin
pengupas dapat menghemat energi sebesar 661.8 MJ/ton atau jika di persentasi kan besar
penghematannya adalah 36,42 % dari sebelum dilakukan upaya penghematan.
2. Optimasi pengunaan mesin pengering pada proses pengeringan, untuk menghemat
konsumsi gas lpg dan listrik serta mempercepat proses produksi maka dilakukan upaya
dengan cara menggabungkan jahe dan gula aren pada satu proses dan waktu yang sama
Maka, konsumsi bahan bakar gas lpg dan konsumsi listrik dapat di kurangi . Upaya
penghematan ini dapat mengurangi penggunaan energi langsung sebesar 875,01 MJ/ton
atau setara dengan 19,5 % dari penggunaan energi sebelumnya.
3. Penggantian bahan kemasan produk, dimana bahan pengemas yang semula
menggunakan kertas kraft diganti dengan menggunakan bahan plastik polypropylene
yang memiliki energi ekuivalen yang rendah sehingga dapat menekan konsumsi energi
tak langsung bahan. Upaya penghematan ini dapat mengurangi penggunaan energi pada
proses pengemasan sebesar 6.917,1 MJ/ton.
KESIMPULAN
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah penggunaan energi total pada proses pembuatan
minuman tradisional di CV. Cihanjuang Inti Teknik sebesar 25.877,1 MJ/ton dimana proses
yang menghasilkan energi paling banyak adalah proses pengemasan bahan yaitu sebesar
13.783,2 MJ/ton yang disebabkan oleh penggunaan bahan yang memiliki energi ekuivalen atau
energi pabrikasi yang besar. CV. Cihanjuang Inti Teknik sendiri berada pada kuadran II pada
kuadran SWOT, hal ini menandakan bahwa CV. Cihanjuang Inti Teknik meskipun menghadapi
berbagai ancaman, perusahaan masih memiliki kekuatan dari segi internal, strategi yang harus
diterapkan untuk kuadran II strategi S-T yaitu strategi diversifikasi (produk/pasar)
menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang jangka panjang. Upaya
penghematan yang dapat dilakukan berdasarkan tingkat urgensi adalah dengan menggunakan
mesin pengupas, optimasi mesin pengering dan pergantian bahan pengemas, sehingga dapat
melakukan total penghematan energi dapat mencapai 32,6 % dari total penggunaan energi atau
setara dengan 8.453,91 MJ/ton. Saran yang didapatkan pada penelitian kali ini adalah perlu
dilakukan penelitian serupa ketika strategi penghematan telah diterapkan dan perlu dilakukan
266
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
perencanaan penggunaan energi alternatif yaitu pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk
menghemat biaya produksi
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan, dan
bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini akhirnya dapat
diselesaikan. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati yang paling dalam, penuls
mengucapkan terima kasih yang begitu besar kepada Bapak Prof. Dr. H. M. Ade Moetangad
Kramadibrata, Dipl.-ing., M.Res.Eng.Sc dan Bapak Dr. Boy Macklin Pareira Prawiranegara
S.T., M.Si. yang senantiasa membimbing dalam penelitian ini, kepada Ibu Asri Widyasanti
S.TP ., M.Eng selaku dosen penguji pada penelitian ini, serta kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu sebagai pembimbing lapangan pada saat penelitian di
CV. Cihanjuang Inti Teknik Cimahi.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalian
Indonesia.
Moh. Nazir. 1998. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Pimentel, D. 1990. Handbook of Energy for World Agriculture. New York: Elsevier Science
Publishing Co., Inc.
Peraturan Pemerintah No. 70/2009 Tentang Konservasi Energi Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 14/2012. Tentang
Manajemen Energi.
Permana, R. A. 2017. Analisis Energi pada Proses Pembuatan Kerupuk Udang (Studi Kasus
di PD. Sri Tanjung Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat). Jatinangor: Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas
Padjadjaran
Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia.
267
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGENDALIAN REM SECARA OTOMATIS PADA SASAK APUNG
PADJADJARAN DENGAN FUZZY LOGIC
Muhammad Savero Ghafiruzzambi1, Dedy Prijatna2, Mimin Muhaemin2
1Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Padjadjaran
2Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 40600
Email: [email protected]
ABSTRAK
Rem merupakan bagian penting dalam sarana transportasi, tidak terkecuali pada Sasak
Apung Padjadjaran. Sarana transportasi kabel ini menggunakan sistem pengereman disc brake
untuk mendapatkan perlambatan kecepatan pada puli penarik. Puli penarik ini terhubung oleh
kawat seling sehingga berputar menggerakkan kabin yang berisikan sarana produksi dan hasil
panen. Pada pengendaliannya rem yang digunakan pada Sasak Apung Padjadjaran masih
dikendalikan secara manual dengan menginjak pedal rem. Kondisi ini membuat operator
mengeluarkan tenaga lebih besar untuk melakukan pengereman. Selain itu pengendalian rem
secara manual menghasilkan gaya pengereman yang berbeda-beda antar setiap
pengeremannya. Hal ini akibat operator belum terbiasa mengoperasikannya, sehingga
mengakibatkan kabin bergoncang saat pengereman dilakukan. Oleh karena itu dilakukan
rancang bangun pengendalian rem secara otomatis agar di dapat pengendalian rem secara
praktis. Metode yang digunakan adalah metode rekayasa dengan membuat program
pengendalian menggunakan fuzzy logic beserta membuat struktur pengendalian rem secara
otomatis. Hasil dari penelitian ini diperoleh grafik sudut terhadap waktu yang dikonversi
menjadi persamaan y = 2 × 10-10x4 – 2 × 10 -6x3 + 0,0057x2 - 2,2035x + 81,803 untuk
penginjakkan pedal rem dan persamaan y = -1 × 10-11x4 + 3 × 10-7x3 - 0,0019x2 + 2,3912x +
12691 untuk pelepasan pedal rem. Persamaan ini menjadi acuan motor DC untuk
menggerakkan pedal rem dengan kecepatan yang sesuai melalui proses pengendalian program
fuzzy logic.
Kata Kunci: rem, fuzzy logic, sudut, motor DC, gear
PENDAHULUAN
Sasak Apung Padjadjaran (SAP) merupakan sebuah sarana transportasi kabel untuk
pengangkutan sarana produksi dan hasil panen yang berada di Desa Sunten Jaya, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat (Satrianagara, 2016). Sejak diresmikan hingga saat ini,
SAP masih beroperasi untuk mengangkut sarana produksi, hasil panen, dan petani. Meskipun
268
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
telah beroperasi, kesulitan dalam pengoperasiannya pun tidak bisa dihindari. Penyebabnya
adalah operator harus standby untuk mengontrol pengereman secara manual.
Rem merupakan bagian penting dalam sarana transportasi. Penggunaan rem mampu
memberikan perlambatan kecepatan pada suatu transportasi. Penelitian ini rem digunakan
untuk memberikan perlambatan kecepatan pada puli penarik, sehingga menyebabkan kabin
pengangkut sarana produksi dan hasil panen dapat berhenti.
Jenis rem yang digunakan pada Sasak Apung Padjadjaran adalah disc brake yang
memanfaatkan gesekan antara kanvas dengan piringan sebagai media pengeremannya.
Kondisi pengereman secara manual ini membuat operator mengeluarkan tenaga lebih besar
untuk melakukan pengereman. Selain itu pengendalian rem secara manual menghasilkan
gaya pengereman yang berbeda-beda antar setiap pengeremannya. Hal ini akibat operator
belum terbiasa mengoperasikannya, sehingga mengakibatkan kabin bergoncang saat
pengereman dilakukan. Oleh karena itu dilakukan rancang bangun pengendalian rem secara
otomatis agar di dapat pengendalian rem secara praktis, perlahan, serta terukur.
Penelitian sebelumnya telah dilakukan perancangan struktural, perancangan program,
dan perancangan elektronika. Perancangan struktural dilakukan dengan merancang bangun
pengendalian rem otomatis ini yang meliputi pembuatan sistem transmisi, pembuatan
kopling untuk penyambung daya, dan pembuatan sistem pedal pengereman. Perancangan
program dilakukan dengan merancang bangun program fuzzy logic melalui softaware
Matlab. Sedangkan perancangan elektronika meliputi membuat rangakaian pembacaan sudut
melalui absolute rotary encoder, membuat rangkaian pengendalian motor DC melalui driver
motor, serta membuat rangkaian perekaman data melalui modul sd card.
Penelitian ini dibatasi pada hal otomatisasi penekanan pedal rem. Adapun sistem
lainnya tetap sama. Sehingga pengereman dapat dilakukan secara otomatis dengan menekan
tombol atau dilakukan secara manual dengan menginjak pedal rem.
METODE PENELITIAN
2.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode rekayasa yaitu
melakukan suatu kegiatan yang di dalamnya terdapat perencanaan, perancangan, serta
terapan, yang tidak memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya, sehingga di dapatkan
269
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
adanya modifikasi baik dalam bentuk proses maupun produk. Salah satunya dengan
merancang bangun pengendalian rem secara otomatis pada Sasak Apung Padjadjaran.
2.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Alat dan Bahan
No. Alat/Bahan Kegunaan
1. Motor DC Aktuator penggerak pedal rem
2. Driver Motor DC Mengendalikan kecepatan dan arah motor DC
3. Arduino Mega Pusat pengendalian pada sistem pengendalian rem
secara otomatis
4. Modul SD Card Modul pembacaan SD Card
5. SD Card Media penyimpanan data
6. Absolute Rotary Encoder Sensor sudut pada pedal rem
7. Incremental Absolute Encoder Sensor kecepatan pada puli penarik
8. Kopling Cakar Penyambung daya
9. Catu Daya Suplai tegangan kepada sistem
10. Switch Button Tombol pengendalian rem otomatis
11. Resistor Menjadi rangkaian pullup resistor
12. Lyquid Crystal Display (LCD) Media tampilan pada proses pengendalian
13. LED Indikator pengereman
14. Laptop Komunikasi serial dengan arduino mega
15. Avo Meter Mengukur arus, tegangan, dan hambatan pada
rangkaian
16. Tachometer Kalibrasi incremental rotary encoder
2.3 Tahapan Penelitian
Penelitian dengan menggunakan metode rekayasa ini terdiri dari beberapa
tahap.
Tahapan tersebut digambarkan pada Gambar 1.
270
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
271
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
a. Identifikasi Masalah
Tahap ini merupakan tahapan awal sebelum dimulainya penelitian. Pada kegiatan ini
dilakukan studi literatur dan mengidentifikasi masalah dari rancangan yang telah ada
sebelumnya. Sehingga di dapatkan konsep baru dengan harapan dapat memberikan solusi atas
permasalahan yang ada, serta hasil modifikasi dapat membuat penggunaan rem lebih praktis
daripada model sebelumnya.
b. Pengukuran Pengereman secara Manual
Pengukuran ini digunakan untuk mendapatkan data dari sistem pengereman secara
manual. Pengukuran dilakukan menggunakan absolute rotary encoder dan incremental rotary
encoder dengan bantuan modul sd card sebagai peranti untuk merekam data. Data yang
diperoleh berupa sudut pergerakan pedal rem serta kecepatan puli penarik. Dari data perekaman
sudut dihasilkan persamaan matematika yang akan digunakan sebagai acuan dalam
pengendalian rem secara otomatis yang ideal. Perekaman data kecepatan juga dijadikan data
kedua dalam pengendalian rem secara otomatis.
c. Kalibrasi Absolute Rotary Encoder dan Incremental Rotary Encoder
Kegiatan kalibrasi ini dilakukan untuk memastikan sensor yang digunakan memiliki
keakuratan dan tingkat presisi yang tinggi. Metode yang digunakan dengan cara
mengoperasikan kedua sensor tersebut, yang nantinya hasil dari pembacaan sensor tersebut
dibandingkan dengan hasil pembacaan menggunakan alat ukur yang memiliki kesamaan dalam
pembacaan satuan. Sehingga dapat dikomparasikan apakah hasil pembacaan dari sensor
memiliki kesamaan nilai dengan pembacaan menggunakan alat ukur atau tidak.
d. Penetapan Kriteria Rancangan
Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan spesifikasi hasil rancangan dan parameter dari
sistem pengendalian rem yang akan dirancang sehingga dapat menggantikan fungsi kaki untuk
menekan pedal rem. Adapun selain dilakukan secara otomatis, pengereman tetap dapat
dilakukan secara manual dengan menginjak pedal rem.
e. Perancangan Fungsional
Melakukan penentuan mekanisme dan kegunaan dari setiap komponen sistem
pengendalian rem yang akan dirancang. Adapun mekanisme kerja dan komponen dari
perancangan sistem pengendalian rem secara otomatis ditunjukkan pada Gambar 2.
272
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Mekanisme Kerja Sistem Pengendalian Rem Otomatis
Mekanisme kerja dari pengendalian rem secara otomatis ini di bagi ke dalam 2
mekanisme kerja, yaitu:
c. Mekanisme kerja penginjakkan pedal rem yang terdiri dari:
Ketika tombil switch button ditekan maka arduino mega menginstruksikan absolute rotary
encoder untuk membaca nilai sudut yang ada pada pedal rem dan incremental rotary encoder
untuk membaca nilai kecepatan yang ada pada puli penarik;
Apabila nilai sudut yang terbaca tidak sama dengan nilai target sudut yang sudah dibuat dari
hasil perekaman penginjakkan pedal rem, dan kecepatan puli penarik tidak sama dengan nol,
maka motor DC akan berputar dengan kecepatan yang telah ditentukan melalui program fuzzy
logic;
Pengendalian motor DC dilakukan oleh driver motor DC melalui pengaturan nilai Pulse
Width Module (PWM) yang diberikan pada motor DC;
Putaran motor DC diteruskan oleh sistem transmisi yang terdiri dari dua buah spur gear dan
worm gear untuk mendapatkan kecepatan rendah dan torsi yang besar;
Hasil putaran transmisi diteruskan melalui kopling putus-sambung yang kemudian
menggerakkan pedal rem untuk menekan master silinder;
Proses menekan master silinder ini disebut sebagai pengereman dengan indikator LED
menyala dengan warna merah; dan
273
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Display LCD juga memunculkan informasi bahwa proses pengereman sedang berlangsung;
dan
Pengereman akan berhenti ketika sudut yang terbaca oleh absolute rotary encoder mencapai
maksimal dan kecepatan yang terbaca oleh incremental rotary encoder sama dengan nol.
d. Mekanisme kerja pelepasan pedal rem yang terdiri dari:
Ketika tombil switch button ditekan maka arduino mega menginstruksikan absolute rotary
encoder untuk membaca nilai sudut yang ada pada pedal rem dan incremental rotary encoder
untuk membaca nilai kecepatan yang ada pada puli penarik;
Apabila nilai sudut yang terbaca tidak sama dengan nilai target sudut yang sudah dibuat dari
hasil perekaman penginjakkan pedal rem, dan kecepatan puli penarik tidak sama dengan
kecepatan maksimal, maka motor DC akan berputar dengan kecepatan yang telah ditentukan
melalui program fuzzy logic;
Pengendalian motor DC dilakukan oleh driver motor DC melalui pengaturan nilai Pulse
Width Module (PWM) yang diberikan pada motor DC;
Putaran motor DC diteruskan oleh sistem transmisi yang terdiri dari dua buah spur gear dan
worm gear untuk mendapatkan kecepatan rendah dan torsi yang besar;
Hasil putaran transmisi diteruskan melalui kopling putus-sambung yang kemudian
menggerakkan pedal rem untuk melepas penekanan pada master silinder;
Proses pelepasan ini disebut sebagai pelepasan pedal rem dengan indikator LED menyala
dengan warna hijau; dan
Display LCD juga memunculkan informasi bahwa proses pengereman sedang berlangsung;
dan
Pelepasan akan berhenti ketika sudut yang terbaca oleh absolute rotary encoder mencapai
minimal dan kecepatan yang terbaca oleh incremental rotary encoder sama dengan kecepatan
maksimal.
274
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
f. Perancangan Struktural
Tahapan ini dilakukan untuk menentukan bentuk struktural dari komponen yang akan
digunakan dalam penelitian ini, sehingga sistem dapat bekerja sesuai dengan fungsi yang
diharapkan dan akan menjadi dasar dalam melakukan analisis teknik seperti pada Gambar
3.
Gambar 3. Rancangan Struktural Sistem Pengendalian Rem Secara Otomatis
g. Analisis Teknik
Tahapan ini dilakukan dengan menentukan hubungan matematika dari setiap komponen
yang ada untuk keperluan perancangan yang diinginkan atau untuk keperluan lainnya. Mulai
dari penghitungan berapa gaya yang dibutuhkan untuk menggerakkan pedal, lalu berapa
kecepatan motor setiap waktunya, perhitungan gaya pada spur gear dan worm gear, serta
perhitungan untuk menentukas kapasitas motor DC dan profil dari spur gear maupun worm
gear.
h. Pembuatan Gambar Teknik
Membuat gambar teknik dari sistem pengendalian rem secara otomatis berdasarkan
rancangan fungsional, rancangan struktural, dan analisis teknik yang telah dilakukan. Sehingga
tahap ini merupakan wujud visual dari rancangan pengendalian rem secara otomatis.
i. Pembuatan Program Sistem Kendali Rem secara Otomatis
Pada tahapan ini dibuat logika program yang akan bekerja pada sistem pengendalian
rem secara otomatis dengan berbasis fuzzy logic, sehingga sistem rem dapat bekerja dan
dikendalikan secara otomatis sesuai dengan perintah yang telah ditentukan seperti pada
Gambar 4. dan Gambar 5.
275
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 4. Diagram Alir Sistem Gambar 5. Diagram Alir Sistem Pengendalian
Pengendalian Penginjakkan Pedal Rem Pelepasan Pedal Rem
j. Pembuatan Prototipe
Tahapan ini merupakan proses pembuatan model dari perancangan yang telah
dilakukan. Pembuatan prototipe sistem pengendalian rem ini dibuat dibeberapa tempat, seperti:
a. Laboratorium Sistem dan Instrumentasi, Alat dan Mesin Pertanian Departemen
Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas
Padjadjaran, untuk merancang program dan sistem mikrokontroler pada sistem
pengendalian rem secara otomatis; dan
b. Perbengkelan Pertanian, Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, untuk membuat struktur
rangka dan model dari sistem pengendalian rem.
k. Pengujian
Pengujian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah sistem pengendalian rem
telah bekerja sesuai dengan rancangan atau tidak. Setelah itu diuji coba apakah kerja komponen
yang satu dengan yang lainnya saling mendukung atau tidak. Hasil dari pengujian tersebut akan
diketahui apakah sistem pengendalian rem yang telah dibangun dapat menjawab permasalahan
yang ada pada identifikasi masalah.
l. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah sistem pengendalian rem yang dibuat telah
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Jika hasil dari evaluasi belum sesuai dengan
276
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
kriteria yang telah ditentukan maka dilakukan beberapa tahapan perbaikan, yang pertama
adalah melakukan perbaikan ringan. Jika tahap perbaikan ringan masih belum memberikan
hasil sesuai dengan kriteria yang ditetapkan maka dilanjutkan dengan perbaikan kapasitas
ataupun ukuran. Jika tahapan ini masih belum memberikan hasil sesuai dengan kriteria maka
dilakukan perbaikan yang terakhir, yaitu perubahan komponen. Dengan seluruh tahapan
perbaikan tesebut, diharapkan sistem pengendalian rem yang telah dirancang bangun dapat
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengujian Kalibrasi Sensor Sudut dan Kecepatan
Penelitian ini diawali dengan melakukan kalibrasi dari sensor yang digunakan. Pengujian
ini dilakukan untuk mengetahui akurasi dari pengukuran sudut absolute rotary encoder dan
pengukuran kecepatan dari incremental rotary encoder seperti yang terdapat pada Gambar 6.
dan Gambar 7.
Gambar 6. Hasil Kalibrasi Sensor Absolute Rotary Encoder
277
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 7. Hasil Kalibrasi Sensor Incremental Rotary Encoder
Berdasarkan hasil kalibrasi diperoleh bahwa absolute rotary encoder dan incremental
rotary encoder dapat digunakan pada penelitian ini. Hal ini disebabkan nilai R2 dari masing-
masing sensor mendekati 1, sehingga memiliki akurasi yang baik.
3.2 Perekaman Data Sudut terhadap Waktu
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sudut yang terbentuk pada saat
penginjakkan pedal rem dan pelepasan pedal rem, serta memperoleh persamaan atas grafik
sudut terhadap waktu. Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 8. Perekaman Data Saat Proses Penginjakkan Pedal Rem
278
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 9. Perekaman Data Saat Proses Pelepasan Pedal Rem
Berdasarkan data yang diperoleh sudut yang terbentuk saat penginjakkan pedal rem
sebesar 6,334o. Sementara sudut yang terbentuk saat pelepasan rem sebesar 4,927o. Perbedaan
nilai diakibatkan pada saat pelepasan, pedal rem belum berada pada posisi seperti sebelum
penginjakkan, oleh karena itu terbaca pada sudut terakhir sebesar 1,055o bukan sebesar 0 o.
Sementara dari kedua grafik diperoleh persamaan y = 2 × 10-10x4 – 2 × 10 -6x3 + 0,0057x2 -
2,2035x + 81,803 untuk penginjakkan pedal rem dan persamaan y = -1 × 10-11x4 + 3 × 10-7x3 -
0,0019x2 + 2,3912x + 12691 untuk pelepasan pedal rem. Persamaan ini digunakan untuk
menjadi acuan nilai target dari kecepatan motor DC. Sehingga kecepatan motor DC akan
mengikuti nilai target yang telah diprogram melalui fuzzy logic.
3.3 Pengujian Gaya Penekanan Pedal Rem
Pengujian ini dilakukan untuk memperoleh daya yang dibutuhkan untuk menekan pedal
rem serta untuk menentukan kapasitas dari motor DC. Data pengujian ditampilkan pada Tabel
1.
Tabel 1. Pengukuran Massa Penekanan Pedal Rem
Percobaan Ke Sudut (°) Massa (gram)
1 0 500
2 0 500
3 0 500
4 0 505
5 3,5161 500
6 0,352 505
279
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
7 0,7036 500
8 1,4067 502
9 2,1098 502
10 2,4614 500
11 2,813 500
12 3,1645 502
13 3,1645 504
14 3,5161 500
15 3,5161 500
16 3,8677 500
17 3,8677 500
Σ 8520
Berdasarkan pengujian diperoleh besarnya massa untuk menekan pedal rem sebesar 8520
gram atau sama dengan 8,520 kg dan besarnya sudut sebesar 3,8677o. Perbedaan sudut dengan
pengunjian sebelumnya diakibatkan pemasangan rangkaian pedal rem yang sedikit berbeda.
Setelah dilakukan perhitungan, daya yang dibutuhkan untuk menekal pedal rem sebesar
52,00173398 watt. Sehingga setelah melalui transmisi yang terdiri dari spur gear dengan rasio
1 : 6,75 dan worm gear dengan rasio 1 : 14 diperoleh kebutuhan motor DC dengan kapasitas
26,96797203 watt. Sementara dipasaran hanya tersedia 27 watt, maka motor DC dengan
kapasitas tersebutlah yang dipilih.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa perancangan
pengendalian rem secara otomatis melalui model yang telah dibuat dengan menggunakan satu
sensor yang terdiri dari absolute rotary encoder telah berjalan. Pengendalian yang baik terjadi
apabila nilai sudut yang terbaca oleh absolute rotary encoder mengikuti nilai target yang sudah
ditentukan. Perekaman data sudut menjadi bagian yang penting karena akan menghasilkan
persamaan matematika yang digunakan untuk pengereman seperti berikut, persamaan y = 2 ×
10-10x4 – 2 × 10 -6x3 + 0,0057x2 - 2,2035x + 81,803 untuk penginjakkan pedal rem dan
persamaan y = -1 × 10-11x4 + 3 × 10-7x3 - 0,0019x2 + 2,3912x + 12691 untuk pelepasan pedal
rem. Saran pengembangan lebih lanjut untuk menambah sensor incremental rotary encoder
agar dapat mengetahui kondisi puli penarik apakah sudah berhenti atau belum. Selanjutnya
juga agar dapat membuat alternatif penentuan motor DC atas analisis teknik yang telah
280
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dilakukan. Hal ini karena sulit untuk menemukan spesifikasi motor DC di pasaran yang sesuai
dengan hasil perhitungan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Dedy Prijatna, M.P dan Bapak Ir.
Mimin Muhaemin, M.Eng., Ph.D selaku Dosen Pembimbing 1 dan Dosen Pembimbing 2 yang
telah membimbing penulis dengan memberikan saran, nasehat, serta dana penelitian sehingga
penelitian ini dapat berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada
Muhammad Saukat, STP., MT selaku Dosen Penelaah yang telah memberikan masukan dan
perbaikannya sehingga penulis bisa memperbaiki kekeliruan yang terjadi selama penelitian.
Terakhir juga saya ucapkan kepada Bapak Iim dan Bapak Iffin yang telah membantu secara
langsung dalam penelitian ini, serta teman-teman laboratorium alat dan mesin pertanian yang
memberikan dukungan, semangat, dan bantuannya dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Zainun. 2006. Elemen Mesin I. Bandung: PT Refika Aditama.
Bagia, I Nyoman, I Made Parsa. 2018. Motor-Motor Listrik. Kupang: CV. Rasi Terbit.
Ermansyah, Septian Dwi. 2016. Implementasi System Voice Recognition Dan Rotary Encoder
Pada Mobile Robot Sebagai Sistem Navigasi Dan Perhitungan Posisi Robot. Jember:
Skripsi Jurusan Teknik Elektro, Universitas Jember.
Erinofiardi dkk. 2013. Perancangan Roda Gigi Lurus, Roda Gigi Miring dan Roda Gigi
Kerucut Lurus Berbasis Program Komputasi. Bengkulu: Jurnal Mechanical, Universitas
Bengkulu.
Firdausi, Arif. 2013. Mekanika dan Elemen Mesin. Jakarta: Kementerian Pendidikan &
Kebudayaan.
Khayal, Osama Mohammed Elmardi Suleiman. 2017. Worm Gears. Nile Valley University.
Khurmi, R. S., dan Gupta, J.K. 2005. A Textbook of Machine Design. New Delhi: Eurasia
Publishing House.
Padmanabhan, S. dkk. 2013. Design Optimization of Worm Gear Drive. International Journal
of Mining, Metallurgy & Mechanical Engineering.
Rawung, Arie Eric. 2013. Perekayasaan Sistem Control. Jakarta: Kementerian
Pendidikan & Kebudayaan.
281
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Santoso, Hari. 2015. Panduan Praktis Arduino untuk Pemula.
Satrianagara, Ari Muhammad. 2016. Rancang Bangun Sistem Pengendalian Rem Darurat
Secara Otomatis Pada Kereta Gantung Sasak Apung Padjadjaran Di Desa Sunten Jaya,
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Skripsi, Universitas Padjadjaran.
Sudrajat. 2008. Modul Kuliah: Dasar-Dasar Fuzzy Logic. Bandung: Jurusan Matematika,
Universitas Padjadjaran.
Syahwil, Muhammad. 2013. Panduan Mudah Simulasi dan Praktek Mikrokontroler
Arduino.Yogyakarta: Andi.
282
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGARUH PENAMBAHAN BIOFERTILIZER DAN BIOAKTIVATOR
TERHADAP LARUTAN NUTRISI PADA TANAMAN KANGKUNG
DENGAN SISTEM HIDROPONIK
Muhammad Wibangga1, Boy Macklin Pareira Prawiranegara2, Kharistiya Amaru2
1 Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 43563
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sistem hidroponik DFT (Deep Flow Technique) merupakan sistem budidaya tanaman
dengan media tanam air dan merendam pada akar tanaman. Penambahan nutrisi mutlak
dibutuhkan untuk budidaya tanaman sistem budidaya hidroponik, baik unsur hara esensial
mikro maupun makro. Penggunaan nutrisi hidroponik pada umumnya menggunakan nutrisi AB
mix. Selain itu, sistem hidroponik dapat memanfaatkan beberapa sumber hara untuk menambah
unsur hara bagi tanaman. Biofertilizer (MG1) merupakan pupuk yang berasal dari formulasi
konsarium mikroorganisme hidup yang mampu mengubah unsur hara dari bentuk yang belum
dapat digunakan menjadi bentuk tersedia bagi tanaman. Bioaktivator (EM4) adalah bahan aktif
biologi yang mengandung mikroorganisme efektif yang secara aktif dapat menyediakan nutrisi
bagi tanaman serta membantu proses penyerapan dan penyaluran hara dari akar kedaun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi panenen tanaman kangkung dan
kandungan unsur hara penambaha nutrisi pada sistem hidroponik DFT. Metode yang
digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental dengan analisis rancangan acak
lengkap (RAL). Nutrisi yang digunakan adalah AB Mix dengan penambahan EM4 dan MG1.
Perlakuan nutrisi yaitu 5 mL A + 5 mL B + 5 mL MG1 serta perlakuan nutrisi 5 mL A + 5 mL
B + 5 mL EM4 dan nutrisi kontrol yaitu 5 mL A + 5 mL B. Rata-rata tinggi tanaman nutrisi
AB Mix, AB Mix + MG1, dan AB Mix + EM4 pada hari ke 14 HST yaitu 25.2 cm; 25.3 cm;
dan 25.3 cm. Pada hari ke 21 HST tinggi tanaman nutrisi AB Mix, AB Mix + Biofertilizer
(MG1), dan AB Mix + EM4 yaitu 56.7 cm; 57,9 cm; dan 57,8 cm. Hasil yang diperoleh
menunjukan bahwa perlakuan nutrisi AB Mix + Biofertilizer (MG1) serta perlakuan nutrisi AB
Mix + EM4 tidak mengalami perbedaan yang signifikan terhadap hasil tanaman kangkung
(Ipomea Reaptans Poir) dan kandungan unsur hara tidak berbeda nyata dengan perlakuan AB
Mix.
Kata Kunci: Nutrisi; Kangkung Bioaktivator (EM4); Biofertilizer (MG1); AB
283
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Urban farming merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan di daerah perkotaan yang
biasanya memiliki lahan yang sempit dan kepadatan rumah yang tinggi dengan memanfaatkan
sumber daya yang minim. Kegiatan dalam ruang lingkup pertanian ini membutuhkan
keterampilan, keahlian, dan inovasi dalam budidaya dibidang pertanian. Daerah perkotaan
merupakan wilayah yang kerap terjadi masalah. Masalah yang muncul adalah kurangnya lahan
pekarangan atau tanaman yang ada di sekitar rumah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
tahun 2013, lahan pertanian nasional pada tahun 2002 seluas 11,5 juta ha berkurang menjadi
8,08 juta ha pada tahun 2012.
Berkurangnya lahan pertanian yang potensial akan berakibat pada ketersediaan pangan
di Indonesia dan dapat menurunkan angka produksi pangan Indonesia. Ketahanan pangan
terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi
mempunyai akses untuk pangan yang memadai, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan
pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Penerapan konsep
Urban Farming di sekitar perkotaan dapat memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan dan
keamanan pangan dalam dua cara: Urban Farming dapat meningkatkan jumlah ketersediaan
pangan untuk masyarakat yang tinggal di kota dan yang kedua dapat menyediakan sayur-
sayuran dan buah-buahan yang segar untuk dikonsumsi oleh masyarakat kota. Salah satu
masalah yang dialami petani adalah laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
(Anugerah, 2005).
Berdasarkan permasalahan tersebut maka munculah berbagai metode tanam yang hanya
membutuhkan lahan sempit, tetapi masih bisa memproduksi kebutuhan masyararakat,
khususnya memproduksi kebutuhan sayuran. Salah satu metodenya adalah budidaya tanaman
dengan sistem hidroponik. Hidroponik merupakan metode bercocok tanam tanpa media tanah
melainkan dengan menggunakan air bernutrisi sebagai unsur utamanya (Rosliani dan Sumarni,
2005). Sistem hidroponik memiliki kelemahan yaitu penggunaan nutrisi hanya menggunakan
pupuk anorganik yang meninggalkan efek residu bagi tanaman sehingga dalam penggunaannya
tidak ramah lingkungan dan berdampak pada kesehatan manusia.
284
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pupuk hayati (Biofertilizer) merupakan pupuk yang ramah lingkungan dengan
menyediakan nutrisi bagi tanaman secara terus-menerus serta dapat berperan ganda dengan
memproduksi fitohormon yang bermanfaat bagi tanaman. Penambahan pupuk hayati
diharapkan dapat mensubtitusi pupuk anorganik sehingga penggunaan pupuk anorganik dapat
dikurangi. Pupuk hayati mengandung inokulan mikroba (baik tunggal maupun konsorsium)
didalamnya seperti Azotobacter, Azospirillium, bakteri pelarut fosfat, dan bakteri endofitik.
Bakteri Azotobacter sp. mampu mengubah nitrogen dalam atmosfer menjadi amonia melalui
proses pengikatan nitrogen dimana amonia yang dihasilkan diubah menjadi protein yang
dibutuhkan oleh tanaman (Hamastuti, 2012).
Melalui kemampuannya memfiksasi N, Azotobacter sp. menyediakan hara bagi tanaman
sehingga kandungan N dalam tanaman dapat meningkat. Fungsi penambahan berbagai jenis
starter mikroba adalah untuk memperkaya populasi sehingga membantu dalam daur ulang
unsur hara, penyimpanan dan pelepasan untuk tanaman. Mikroba yang ditambahkan
diantaranya adalah azotobacter, bakteri pelarut fosfat, mikoriza. Kondisi nutrisi AB mix yang
memiliki kandungan Ca, Fe dan Al dapat mengikat unsur makronutrien, khususnya Phospat
(P), yang dapat menambat pertumbuhan dan produksi tanaman.
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis biofertilizer dan bioaktivator yang berbeda
yaitu MG1 dan EM4 dengan level dosis yang sama. Berdasarkan uraian di atas maka perlu
adanya kajian mengenai nutrisi AB mix dengan bioaktivator dan biofertilizer. Hasil dari
penelitian ini akan menunjukkan perbandingan antara unsur hara yang dihasilkan oleh
bioaktivator dan bifoertilizer terhadap nutrisi AB mix pada pertumbuhan tanaman kangkung
(Ipomoea reptans Poir.) dengan menggunakan sistem hidroponik DFT (Deep Flow Technique).
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Sumber Daya Air Departemen Teknik Pertanian
dan Biosistem, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Bahan yang digunakan yaitu benih
kangkung (Brassica Juncea L.), nutrisi AB Mix, Bioaktivator (EM4), Biofertilizer (MG1) dan
rockwool. Alat yang digunaka yaitu instalasi hidroponik DFT, EC meter, DO meter, pH meter,
penggaris dan timbangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
ekspeimental. Jenis eksperimental yang digunakan adalah rancangan percobaan. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini
mengamati hasil produksi panen dari hari setelah tanam.
285
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Variabel bebas (Independen variable) pada penelitian ini adalah hasil produksi panen
tanaman kangkung meliputi tinggi tanaman, panjang akar, berat basah tanaman dan variabel
terikat (Dependen variable) hari setelah tanam (HST). Jumlah kombinasi perlakuan pada
penelitian ini adalah 3 perlakuan. terdiri dari 3 perlakuan yaitu kontrol pupuk anorganik (D1) ,
kombinasi pupuk anorganik + Biofertilizer (D2) , dan kombinasi pupuk anorganik +
Bioaktivator (D3), setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan nutrisi yang digunakan
yaitu 1L Air + 5ml A + 5mL B + 5ml Biofertilizer (MG1) dan 1L Air + 5ml A + 5ml B + 5ml
Bioaktivator (EM4). Perlakuan AB Mix tanpa adanya penambahan nutrisi digunakan
sebagai pembanding pertumbuhan dengan perlakuan penambahan nutrisi Biofertilizer (MG1)
dan Bioaktivator (EM4) yaitu 1L Air + 5ml A + 5ml B. Sehingga total perlakuan unit percobaan
sebanyak 15 buah. Perlakuan pertama nutrisi anorganik yang berisi 100 mL larutan A
ditambahkan 100 mL larutan B pada 20 L air. Perlakuan kedua nutrisi anorganik berisi 100 mL
larutan A, 100 mL larutan B, dan 100 mL Biofertilizer (MG1) dilarutkan pada 20 L air.
Perlakuan ketiga nutrisi anorganik berisi 100 mL larutan A, 100 mL larutan B, dan 100 mL
Bioaktivator (EM4) dilarutkan pada 20 L air. Penyemaian tanaman dilakukan dengan
menggunakan media rockwool.
Penyemaian dilakukan kurang lebih 2 minggu dengan melakukan penyiraman air. Bibit
yang telah disemai dengan menggunakan rockwool kemudian dimasukan kedalam wadah
hidroponik (netpot). Akar bibit harus menjulur keluar lubang netpot agar akar tersebut dapat
menyentuh larutan nutrisi pada saat penanaman. Pemberian larutan hara pada sistem
hidroponik DFT diberikan setiap saat selama 24 jam. Pemanenan dilakukan pada 21 hari
setelah tanam. Pengamatan dilakukan pada masing-masing sampel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Nutrisi Terhadap Produksi Tanaman
Pemberian nutrisi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, berat tanaman, dan
panjang akar dengan perlakuan yang berbeda.
Tinggi Tanaman
Hasil pertumbuhan tinggi tanaman kangkung pada media nutrisi AB mix + Bioaktivator
(EM4) dan nutrisi AB mix + Biofertilizer (MG1) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman
kangkung dari awal penanaman sampai 21 hari setelah tanam.
286
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Grafik Tinggi Tanaman
Hasil pengukuran menunjukan bahwa pertumbuhan tanaman dengan menggunakan
nutrisi AB Mix dengan penambahan biofertilizer lebih baik daripada menggunakan nutrisi AB
Mix dengan penambahan Bioaktivator (EM4) dan tidak berbeda nyata dengan menggunakan
nutrisi AB Mix. Perlakuan AB Mix dengan penambahan Biofertilizer (MG1) memiliki hasil
yang berbeda dengan perlakuan AB Mix. Hal ini dikarenakan Biofertilizer (MG1) mengandung
mikroba penambah N yaitu Azotobacter sp. yang dapat membantu menyediakan unsur N bagi
tanaman. Tinggi tanaman kangkung pada media nutrisi AB Mix dengan penambahan
biofertilizer yaitu 61,5 cm, tinggi tanaman pada media nutrisi AB Mix yaitu 58,5 cm dan tinggi
tanaman pada media nutrisi AB Mix + Bioaktivator (EM4) yaitu 60,2 cm. Maka dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan tanaman kangkung pada nutrisi AB Mix dengan penambahan
biofertilizer lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi tanaman pada media AB Mix dengan
penambahan Bioaktivator (EM4).
Tabel 1. Pengaruh pemberian nutrisi terhadap tinggi tanaman
SK DB JK KT F Hitung F Tabel
0.5 0.1
Perlakuan 2 14,81 7,40 2,82 3,23 5,18
Galat 40 105,09 2,63
Total 42 119,90 2,85
Berdasarkan hasil analisis statistik rancangan acak lengkap (RAL) diperoleh angka f
hitung sebesar 2,82. Perbandingan antara f hitung dan f tabel didapatkan lebih besarnya f hitung
287
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
sehingga pengaruh penambahan nutrisi organik terhadap larutan nutrisi anorganik memiliki
hasil tidak berbeda nyata. Pertumbuhan tanaman holtikultura terjadi secara eksponensial
dengan pertumbuhan yang signifikan pada masa menjelan panen (Macmahon, Margaret J
Kofranek and Rubatzky, 2001). Penambahan pupuk organik ke dalam larutan nutrisi mampu
meningkatkan hasil tanaman kangkung. Hal ini terlihat pada gambar 1, tinggi tanaman pada
perlakuan kontrol tanpa pupuk sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan
biofertilizer.
Berat Basah Tanaman
Hasil pengamatan tanaman kangkung pada beberapa media nutrisi AB Mix +
Biofertilizer (MG1) dan AB Mix + Bioaktivator (EM4) terhadap pertumbuhan vegetatif
tanaman kangkung yaitu berat basah pada hasil panen (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh pemberian nutrisi terhadap berat basah tanaman
Pasokan hara dalam jumlah yang cukup khususnya N pada tanaman kangkung dapat
mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produktivitas hasil (Purnomo, 2016).
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Haryanto, et al., (2007) bahwa tanaman sayuran daun
membutuhkan unsur hara nitrogen yang cukup agar sayuran dapat tumbuh dengan baik. Hal ini
menunjukan bahwa hasil pemberian penambahan nutrisi tidak didapatkan perbedaan nyata.
Produktivitas kangkung berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebesar 47,8 ton/ha atau 4,78
kg/m2 yang artinya hasil produktivitas kangkung yang dihasilkan dengan sistem ini lebih besar
2 – 3 kali lipat di bandingkan dengan penanaman di lahan. Hal ini didukung dengan pernyataan
Bachri (2017) produksi kangkung dengan budi daya secara hidroponik ini berpotensi
menghasilkan bobot kangkung hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan penanaman secara
konvensional.
SK DB JK KT F F Tabel
Hitung 0.05 0.01
Perlakuan 2 36,13 18,07 3,10 3,23 5,18
Galat 40 233,07 5,83
Total 42 269,20 6,41
288
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Panjang Akar
Panjang akar ini dihitung pada saat panen yaitu setelah 21 hari setelah tanam dengan
mengukur seluruh sampel penelitian. Gambar 3 menunjukkan hasil panjang pengaruh
penambahan nutrisi. Tabel 3. Pengaruh pemberian nutrisi terhadap panjang akar tanaman
SK DB JK KT F F Tabel
Hitung 0.5 0.1
Perlakuan 2 1,88 0,94 0,22 3,23 5,18
Galat 40 174,92 4,37
Total 42 176,80 4,21 Berdasarkan hasil analisis, pada tabel 3 di dapatkan angka hasil f hitung lebih kecil dari f tabel,
sehingga hasil penambahan nutrisi tidak berbeda nyata. Pengukuran akar ini dilakukan dengan cara
meluruskan akar kemudian titik terpanjang akar diukur dengan mistar. Akar dari tanaman
kangkung yang ditanam dengan sistem DFT yang lebih melebar. Menurut Setyamidjaja (1986),
kekurangan N dan Fosfor dapat mempengaruhi pertumbuhan akar. Perakaran mengalami defisiensi
unsur pada tingkat konsentrasi hara yang rendah, selain itu juga dapat terjadi penghambatan
distribusi hara, serta penyerapan air yang terhambat sebagai akibat defisiensi hara yang terjadi.
Defisiensi unsur hara tersebut dapat diakibatkan oleh kondisi larutan nutrisi dengan pH yang
cenderung basa.
Kandungan Unsur Hara
Larutan unsur hara atau nutrisi sebagai sumber pasokan air dan mineral merupakan faktor
penting untuk pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman pada budidaya hidroponik. Unsur hara
yang diberikan harus mengandung unsur makro (N, P, K, S, Ca, dan Mg) dan mikro (B, Cl,
Cu, Fe, Mn, Mo, dan Zn). Nitrogen berguna dalam pembentukan sel, jaringan, dan organ
tanaman, dan sebagai penyusun protein. Fosfor (P) berfungsi dalam proses fotosintesis dan
fisiologi kimiawi tanaman untuk pembelahan sel. Sedangkan kalium berperan sebagai pengatur
proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, akumulasi, transfortasi karbohidrat dan mengatur
distribusi air dalam jaringan sel. Kandungan NPK pada perlakuan nutrisi dapat dilihat pada
tabel 4.
289
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 4. Hasil Uji Kandungan Unsur Hara Nutrisi
Hasil analisis nutrisi AB Mix dengan penambahan Biofertilizer (MG1) memiliki
kandungan unsur hara lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan unsur hara AB Mix dan
nutrisi AB Mix penambahan Bioaktivator (EM4). Menurut Suwahyono (2008) Biofertilizer
mengandung 9 konsarium mikroba yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman serta
terdapat bakteri yang dapat meningkatkan kandungan unsur hara bagi tanaman. Bioaktivator
digunakan sebagai bahan untuk membantu mendekomposisi dan memfermentasi sampah
organik dan limbah ternak, sehingga penggunaan Bioaktivator (EM4) sebagai nutrisi tanaman
hidroponik kurang efektif. Hal ini dapat dilihat dari analisis kandungan unsur hara nutrisi AB
Mix penambahan Bioaktivator (EM4).
Konduktivitas Elektrik
Konduktivitas Elektrik (EC) larutan masing-masing perlakuan tiap minggunya
mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh suhu lingkungan yang tidak menentu. Tabel 5
menunjukan nilai rata-rata EC tiap minggunya pada masing-masing perlakuan.
Minggu ke- N-Total (%) P2O5 Total K2O Total
(%) (%)
AB Mix + Biofertilizer 0,59 4,46 0,16
(MG1)
AB Mix 0,51 4,42 0,12
AB Mix + Bioaktivator 0,56 1,97 0,16
(EM4)
290
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Grafik Nilai EC
Nilai EC rata-rata pada setiap nutrisi yaitu 2,65 ms/cm. Menurut (Iqbal, 2016), nutrisi
yang ideal untuk tanaman kangkung berada pada rentan 1050 sampai dengan 1400 ppm atau
2,1 sampai 2,8 µS/cm. Hasil rata-rata pengukuran nilai EC pada penelitian ini adalah berada
pada rentang 2,16 sampai dengan 2,7 µS/cm. Nilai EC pada setiap perlakuan dipengaruhi
berbeda-beda (Mansyur, dkk., 2014). Konsentrasi larutan semakin tinggi (karena pekatnya
kandungan garam dan akumulasi ion mempengaruhi kemampuan untuk menghantarkan listrik
larutan nutrisi tersebut).
Terjadi perbedaan nilai EC yang tidak besar pada masing-masing perlakuan. Rata-rata
nilai EC untuk setiap perlakuan AB Mix+Biofertilizer (MG1), AB Mix, dan AB Mix+
Bioaktivator (EM4) adalah 2,41 µS/cm, 2,43 µS/cm, dan 2,41 µS/cm. Menurut (Sutiyoso,
2018), peningkatan nilai EC mempunyai sisi positif dan negatif. Nilai positifnya diantaranya
adalah agar lebih cepat masa penanaman, bobot tanaman meningkat dan umur simpan tanaman
yang lebih panjang. Namun, ada juga dampak negatif jika menggunakan nilai EC yang terlalu
tinggi yaitu dapat menyebabkan terjadinya fitotoksisitas atau keracunan tanaman.
291
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Derajat keasaman (pH)
Kadar pH mempengaruhi kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara. Kondisi
lingkungan nutrisi mengakibatkan nilai pH tidak seragam. Nilai pH dapat dilihat pada gambar
3.
Gambar 3. Nilai Ph Setiap Perlakuan
pH menunjukan reaksi asam atau basa yang bernilai 1-14. Ukuran pH normal untuk
sayuran berkisar 5,4-6,8. pH mempengaruhi daya larut unsur hara yang dapat diserap oleh akar.
Sebagian besar budidaya hidroponik, larutan dipertahankan konstan pada kisaran pH 5,5-6,5
dengan penambahan larutan asam atau basa (Diatloff, 1999). Menurut (Sutiyoso, 2018), pada
umumnya nilai pH untuk budidaya secara hidroponik idealnya berada pada rentang 5,5 – 6,5
dengan nilai optimum 6,0. Di bawah pH 5,5, beberapa unsur mulai mengendap, tidak dapat
diserap oleh akar, akhirnya pada beberapa jenis tanaman akan menunjukkan gejala defisiensi
unsur tertentu. Beberapa unsur mulai mengendap pada pH di atas 6,5 dan berakitbat tidak dapat
diserap oleh akar.
Konsumsi Air
Pengukuran konsumsi air yang dilakukan menunjukan bahwa perlakuan AB Mix paling
tinggi konsumsi airnya yaitu sebanyak 20 Liter selama 3 minggu. AB Mix + Biofertilizer
(MG1) menghabiskan air sebanyak 20 liter dan AB Mix + Bioaktivator (EM4) menghabiskan
20 liter. Pada hari ke 12 HST dilakukan penambahan air, hal ini dilakukan agar jumlah air tetap
konstan, sehingga tanaman bisa menyerap air secara terus menerus. Konsumsi air nutrisi paling
292
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
banyak yaitu pada 18 HST, karena pada hari tersebut pertumbuhan tanaman sudah cukup besar.
Konsumsi air juga dipengaruhi oleh pertumbuhan daun yang dialami oleh masing-masing
perlakuan, nutrisi AB Mix memiliki pertumbuhan paling subur sehingga jumlah daun yang
lebih banyak menyebabkan transpirasi yang lebih banyak mengambil air. Nutrisi AB Mix +
Biofertilizer (MG1) memiliki jumlah daun yang sama dengan nutrisi AB Mix dan nutrisi AB
Mix + Bioaktivator (EM4) memiliki jumlah daun paling sedikit serta mengalami pertumbuhan
yang paling rendah.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini yang pertama adalah hasil penelitian menunjukan bahwa
perlakuan penambahan pupuk Biofertilizer (MG1) dan Bioaktivator (EM4) tidak mengalami
perbedaan yang signifikan dengan perlakuan AB Mix sebagai kontrol terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman kangkung (Ipomea Reptans Poir), yang kedua adalah kandungan unsur hara
perlakuan nutrisi AB Mix dengan penambahan Biofertilizer (MG1) dan Bioaktivator (EM4)
tidak berbeda nyata dengan kandungan unsur hara perlakuan kontrol (AB Mix).
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, A.K., D. Strete, and M. J. Niles. 2003. Laboratory Exercises in microbiology.
McGraw-Hill Publishing, Amerika.
Anggara, R. 2009. Pengaruh Kangkung Darat (Iphomea reptans Poir.) Terhadap Efek Sedasi
Pada Mencit BALB/C. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran. Universitas
Diponegoro.
Anugerah, F. K. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke
Penggunaan Non Pertanian Kabupaten Tangerang. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Brock, T.D., Madigan, M.T., Martinko, J.M., & Parker, J. 1994. Riologi of microorganism. 7
Edition, Prentice hall. New Jersey.
Connel, D. W. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan Otoksikologi Pencemaran. Cetakan
Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia.
Departemen Pertanian. 2007. Rencana Strategis Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan
Air Tahun 2005-2009 (Review). Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air.
Jakarta.
293
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Elmerich, C. 1984. Molecular biology and ecology of diazotrophs associated with non-
leguminous plants. Biotechnology. 2:967-978.
FAO. 1999. The Living Marine Resources od Western Central Pasific. FAO Species
Identification Guide for Fishery Purpose. Department of Biological Sciences Old
Dominion University Norfolk, Virginia, USA.
Fauzi, Ahmad, Ichniarsyah, Anisa.. & Heny Agustin. Pertanian Perkotaan: Urgensi,
Peranan, dan Praktik Terbaik. Jurnal Agroteknologi, Vol. 10 No. 01 (2016). Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free-living bacteria.
Journal Microbiology. 4: 109-117. Haletky, N. and O. Taylor. 2006. Urban Agriculture as a Solution to Food Insecurity: West
Oakland and People’s Grocery. Urban Agriculture in West Oakland. Hamastuti, H., Dwi, E., Juliastuti, S. ., & Hendrianie, N. (2012). Peran Mikroorganisme
Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens, dan Aspergillus niger pada Pembuatan.
Hanan, JJ. 1998. Greenhouses: Advanced Technology for Protected Horticulture. Florida
(US): CRC Pr. James, E. and F.L. Olivares. 1997. Infection and colonization of sugarcane and other
graminaceous plants by endophytic diazotrophicus. Plant Sci. Bioeng. 110(4): 415 - 418.
Michael, A, M. 1978. Irrigation Theory and Practices Volume 2. Terjemahan Vikas
Publishing House PVT LTD: New Delhi. Michael, A. M. 2001. Theory and Practice. Vikas Publishing House PVT. LTD, London. Nazaruddin, 2003. Budidaya dan Pengantar Panen Sayuran Dataran Rendah. Jakarta:
Penebar Swadaya. Nazir, Moh. (2013). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.Okon, Y., and C.A.
Labandera-Gonzales. 1994. Agronomic applications of Azospirillum: An evaluation of 20 years worldwide field inoculation. Soil Biol. Biochem. 26:1591-1601.
Parks S dan Murray C. 2011. Leafy Asian Vegetables and Their Nutrition in Hydroponics.
New South Wales (AU): NSW Industry & Investment. Prabowo, Agung., Prabowo, Abi., dan Hendriadi, A. 2004. Pengelolaan Irigasi Hemat Air di
Lahan Kering Aplikasi Irigasi Tetes dan Curah, Banten. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman (Edisi Revisi seri Agriwawasan). Jakarta:
Penebar Swadaya.
294
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Rao, Subba, N.S (1994), Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan, UI Press, Jakarta. Resh, H.M. 2004. Hydroponic Food Production. Newconcept Press Inc. New Jarsey. 635
pages. Rincon L P, Perez A, Abadia A, Pellicer C. 2005. Yield, Water Use And Nutrient Uptake Of
A Tomato Crop Grown On Coconut Coir Dust. Acta Hort. 697(1):73-79. Rosliani R, dan Sumarni N. 2005. Budidaya Tanaman Sayuran dengan Sistem Hidroponik.
(monografi no.27) Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. Rukmana, Rahmat. 1994. Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta: Kanisius.
Rukmana, Rahmat. 2000. Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta: Kanisius. Salam, Nella Purnama. 2014. Pengaruh Berbagai Nilai EC (Electrical conductivity)
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bayam (Amaranthus sp.) pada Sistem Hidroponik Rakit Apung. [Skripsi]. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Santoso, EB dan RR Widya. 2014. Gerakan Pertanian Perkotaan dalam Mendukung
Kemandirian Masyarakat di Kota Surabaya. Makalah Seminar Nasional Cities 2014. 11 halaman.
Sapei, A. 2003. Uniformity dan Efisiensi Irigasi Sprinkler dan Drip. Pelatihan Aplikasi
Teknologi Irigasi Sprinkler dan Drip. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Saraswati. 2011. Perkecambahan Dan Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica Juncea L.) yang
Diberi Pupuk Cair Nutriflora dengan Sistem Hidroponik. Jurnal Agroteknos Juli 2011 Vol. 1 No. 2. Hal 82-88 ISSN: 2087-7706.
Siregar, J. (2006). Pengujian Beberapa Nutrisi Hidroponik Pada Selada (Lactuca sativa L.) Dengan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) Termodifikasi. 4(1): 65-72. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sundari, Raden dan Untung. 2016. Pengaruh Poc dan Ab Mix Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tanaman Pakchoy (Brassica Chinensis L.) Dengan Sistem Hidroponik. Magrobis Jurnal Volume. Volume 16 (No. 2) Oktober 2016.
Susila, A. D. 2013. Sistem Hidroponik. Departemen Agonomi dan Hortikultura. Fakultas
Pertanian. Modul. IPB. Bogor. 20 hal. Toharisman, A. 1991. Potensi dan pemanfaatan limbah industri gula sebagai bahan organik
tanah. Berita (4): 66-69. Waluyo, L,. 2007. Mikrobiologi Umum. UPT Penerbita UMM. Malang. WHO, 2003. Total Dissolved Solids in Drinking-water. Geneva Switzerland: World Health
Organization.
295
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Widawati, S. 2005. Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai Pemacu
Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis oed) di Tanah Marginal. Jurnal Biodiversitas. 7 (1): 10-14.
Widyati, E. (2013). Memahami interaksi tanaman – mikroba. Tekno Hutan Tanaman. Jurnal
Hutan Tanaman. 6(1): 13-20. Wu M, Kubota C. 2008. Effect Of Electrical Conductivity Of Hydroponic Nutrient Solution
On Leaf Gas Exchange Of Five Greenhouse Tomato Cultivars. Hor Technology. 8 (2): 271-277.
Yuwono, T. 2006. BioteknologiPertanian. Seri Pertanian. GadjahMadaUniversity Press. 66
hal.
296
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KAJIAN PENAMBAHAN INULIN SEBAGAI FAT REPLACER
TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK ES
KRIM SUSU KAMBING TANPA LEMAK
Nadhira Azka Afifa
Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21, Jatinangor, Sumedang 43563
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan inulin dalam
menggantikan fungsi lemak es krim susu kambing tanpa lemak ditinjau dari viskositas,
overrun, kecepatan meleleh, dan sifat organoleptik. Perlakuaan yang dicobakan yaitu es krim
dengan kandungan lemak susu 10% sebagai kontrol, es krim tanpa lemak dengan penambahan
inulin 0%;8%;10%; dan 12% dari bobot susu segar yang digunakan. Metode penelitian yang
digunakan adalah percobaan menggunakan analisis deskriptif dengan uji regresi korelasi
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan dan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pada pengujian sifat
organoleptik warna, kelembutan, creaminess, flavor, dan rasa dingin tanpa pengulangan.
Berdasarkan hasil koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa penurunan viskositas dan
penurunan kecepatan meleleh memberikan pengaruh yang sangat kuat (R2>0,799), sedangkan
pada karakteristik overrun memberikan pengaruh yang kuat (R2<0,799). Uji sifat organoleptik
menunjukkan, es krim tanpa lemak dengan penambahan inulin 12% disukai teksturnya
(kelembutan dan creaminess), penambahan inulin 10% disukai pada warna dan flavor, dan
penambahan inulin 8% disukai intensitas rasa dinginnya.
Kata kunci: inulin, viskositas, overrun, kecepatan meleleh dan organoleptik.
PENDAHULUAN
Es krim adalah jenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung
es krim atau dari campuran susu, lemak hewani maupun nabati, gula, dengan atau tanpa bahan
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (BSN, 1995). Produk es krim yang
beredar di pasaran didominasi oleh bahan baku utama yang berasal dari susu sapi. Salah satu
diversifikasi produk es krim yang dapat dilakukan adalah pembuatan es krim susu kambing.
Susu kambing memiliki kelebihan dibanding susu sapi, salah satunya kandungan laktosa yang
lebih rendah dari susu sapi (Setyawardani, 2017), butiran lemak susu kambing berukuran 1 –
10 milimikron dengan jumlah butiran lemak yang berdiameter kecil dan homogen lebih banyak
297
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
terdapat pada susu kambing sehingga susu kambing lebih mudah dicerna dalam pencernaan
manusia (Sodiq & Abidin, 2002).
Secara umum, es krim komersial mengandung lemak 10% hingga 16% dan gula
sebanyak 18% hingga 27% dengan nilai kalori es krim sekitar 207 kkal per 100 g sehingga
menjadikan produk es krim adalah produk berkalori tinggi (Zhang & Wang, 1999). Kebiasaan
konsumsi makanan yang berkalori menjadi salah satu faktor penyebab obesitas. Keterkaitan
konsumsi lemak dengan tingginya obesitas menyebabkan munculnya permintaan untuk
mengembangkan produk pangan lezat dengan kandungan lemak yang lebih rendah.
Permasalahan yang sering timbul dari pengurangan atau penghilangan kadar lemak pada
produk pangan akan merubah struktur dan interaksi antar komponen yang menyebabkan
berubahnya warna, rasa, dan tekstur (Meyer, et al., 2011). Lemak susu berperan dalam
pembentukan tekstur es krim seperti kekentalan, kelembutan, emulsi, kristalisasi es, sehingga
menentukan kualitas dalam pembuatan es krim (Marshall and Arbuckle, 1996). Menurut Goff
dan Hartel (2013), Pengurangan dan penghilangan lemak dapat mengakibatkan tekstur es krim
akan keras dan sangat dingin, pembentukan body es krim yang lemah, dan kualitas es krim
yang rendah sehingga diperlukan usaha untuk mencapai es krim dengan kualitas yang baik. Fat
replacer atau pengganti lemak banyak digunakan untuk memperbaiki tekstur makanan dengan
kandungan lemak yang rendah.
Fat replacer merupakan komponen yang memiliki kemampuan mengganti fungsi lemak,
tetapi memberikan jumlah kalori yang lebih sedikit dari lemak yang digantikan dalam suatu
produk (Tiwari et al., 2014). Fat replacer secara umum dapat menyerap sejumlah air dan
mampu menggantikan sebagian atau seluruh komponen lemak yang ada di dalam bahan pangan
dalam hal tekstur dan sensori (Napier, 1997).
Inulin merupakan oligosakarida alami yang dihasilkan oleh banyak tanaman dan
termasuk dalam serat pangan. Inulin mempunyai molekul yang lebih kecil dan memiliki
kemampuan mengikat air sehingga air tidak dapat bergerak secara bebas diantara komponen es
krim lainnya. Inulin mempunyai kemampuan untuk menrurunkan titik beku es krim,
membentuk gel atau krim dengan meningkatkan kekenyalan dan membentuk aliran
pseudoplastik (Meyer et al., 2011).
Penggunaan inulin sebagai fat replacer, diharapkan dapat mempengaruhi kualitas es
krim yang baik sesuai standar ditinjau dari beberapa sifat fisik es krim, seperti viskositas,
overrun dan kecepatan meleleh dan sifat organoleptik. Berdasarkan uraian tersebut, perlu
298
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan inulin pada es krim susu kambing tanpa
lemak.
METODE PENELITIAN
Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2019 hingga Mei 2019,
bertempat di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan untuk produksi es krim, pengujian
overrun dan kecepatan leleh, Laboratorium Uji untuk pengujian viskositas, Laboratorium
keteknikan Pangan untuk analisis bahan baku susu kambing, Laboratorium Kimia Pangan, dan
Laboratorium Pendidikan Departemen Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri
Pertanian, Universitas Padjadjaran.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain susu kambing peranakan
Ettawa yang didapatkan dari peternakan kambing di daerah Cibiru Bandung, susu skim bubuk,
gula pasir, sirup glukosa, CMC, perisa vanila, inulin orafti® GR dari akar chicory dengan
panjang rantai sedang. Bahan-bahan analisa berupa aquades, lactodaily, dan lactoweekly.
Formulasi es krim
Es krim tanpa lemak dengan 0%, 8%, 10%, dan 12% (w/w) penambahan inulin dalam
400 ml susu skim kambing segar ditambahkan dengan gula pasir, susu skim bubuk, sirup
glukosa, CMC, perisa vanila. Komposisi yang digunakan dalam produksi es krim dapat dilihat
pada Tabel 1. Bahan baku susu skim kambing segar yang digunakan didapatkan dari proses
pemisahan lemak dengan alat cream separator hingga skim dan lemaknya terpisah. Bahan-
bahan kering dan sirup glukosa dicampurkan dengan susu yang telah di pasteurisasi pada 720C.
Pada saat susu mencapai suhu 550C, adonan es krim di homogenisasi menggunakan mixer
dengan kecepatan 1026 rpm. Setelah itu, adonan es krim di aging pada suhu 40C selama 24 jam
agar proses hidrasi dalam adonan es krim tercapai. Adonan es krim lalu dimasukkan ke dalam
wadah plastik 650 ml dan dibekukan dalam freezer pada suhu 180C selama 24 jam dan
disimpan pada suhu yang sama saat analisis fisik dan organoleptik berlangsung.
Tabel 1. Formulasi Es Krim Susu Kambing yang Digunakan
Bahan Komposisi (%)
A (0%) B (8%) C (10%) D (12%)
Lemak susu (b/b) 0,0 0,0 0,0 0,0
Susu Skim 12,0 12,0 12,0 12,0
299
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gula pasir 12,0 12,0 12,0 12,0
Sirup Jagung 5,0 5,0 5,0 5,0
Inulin 0 8 10 12
Stabilizer/ emulsifier 0,3 0,3 0,3 0,3
Perisa Vanila 0,02 0,02 0,02 0,02
Total Padatan 30,32 38,32 40,32 42,32
Viskositas
Viskositas adonan es krim yang telah di aging diukur secara duplo pada suhu 60C
menggunakan viscometer digital. Pengukuran dilakukan menggunakan spindle L2 pada rpm
50.
Overrun
Pengukuran overrun dilakukan menggunakan perhitungan berikut ini:
Overrun = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑑𝑜𝑛𝑎𝑛 𝑒𝑠 𝑘𝑟𝑖𝑚−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑠 𝑘𝑟𝑖𝑚 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑠 𝑘𝑟𝑖𝑚 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎𝑥 100%
Kecepatan leleh
Pengukuran dilakukan dengan mengambil satu sendok es krim sebanyak 2 gram bersuhu
-20 0C yang telah dibekukan selama 24 jam dan menempatkannya pada piring. Es krim
dibiarkan mencair sempurna pada suhu ruang dan waktu lelehnya diukur dengan menggunakan
stopwatch. Tanda es krim telah meleleh sempurna adalah es krim dapat mengalir seperti cairan.
Satuan pelelehan adalah detik/ 2 gram.
Analisis sensori
Kualitas sensori dan penerimaan es krim oleh panelis dilakukan dengan penilaian skala
hedonik (Soekarto, 1985) dengan kriteria skala 1-5 dimana semakin besar angka yang diberikan
semakin disukai. Es krim di ujikan kepada 15 panelis agak terlatih untuk mengevaluasi warna,
flavor, rasa dingin, kelembutan, dan creaminess.
Analisis statistik
Data yang diperoleh dari pengujian viskositas, overrun, dan kecepatan leleh di analisis
menggunakan analisis regresi-korelasi dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Untuk data yang
diperoleh dari pengujian sensori menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5
perlakuan dan 1 ulangan di analisis menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji
jarak berganda Duncan.
300
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Viskositas
Viskositas merupakan salah satu faktor penting dalam penerimaan organoleptik produk
pangan (Glicksman, 1983). Viskositas adonan es krim dapat dilihat pada gambar 1.
Berdasarkan gambar 1, dapat diketahui bahwa antara penambahan inulin dan viskositas es krim
yang dihasilkan terdapat hubungan yang mendekati persamaan yang berbentuk kuadratik atau
model polinomial pangkat 2. Hasil analisis regresi-korelasi menunjukkan nilai R square (r2)
atau koefisien determinasi antara konsentrasi inulin dan viskositas yang dihasilkan
menunjukkan nilai sebesar 0.92. Hal ini menunjukkan bahwa viskositas es krim susu kambing
tanpa lemak dipengaruhi oleh penambahan inulin sebesar 92% sedangkan sisanya sebesar 8%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati seperti, jumlah padatan, kandungan lemak, serta
suhu dan waktu saat proses aging.
Terdapat kecenderungan penambahan inulin menghasilkan viskositas adonan es krim
yang lebih rendah dari es krim tanpa penambahan inulin. Menurut Meyer et al. (2011) inulin
memiliki jumlah gugus hidroksil yang tinggi sehingga akan berperan besar dalam mengikat
hidrogen dan akan mempengaruhi kelarutan bahan pengikat air dalam sistem pangan, seperti
hidrokoloid. Inulin berkompetisi untuk mengikat air sebagai pelarutnya walaupun molekul
inulin yang lebih kecil dan memiliki kemampuan mengikat air yang lebih kecil dan memiliki
kemampuan viskos yang lemah dibanding dengan hidrokoloid lainnya sehingga keberadaan
inulin yang dikombinasikan hidrokoloid akan mempengaruhi sifat reologi bahan pangan.
Sama halnya dengan penelitian Ismail et al. 2013 menunjukkan, es krim low-fat yang
mengkombinasikan cremodan® dan inulin pada konsentrasi 0%; 2.5%; dan 5% menghasilkan
nilai viskositas masing-masing sebesar 800,6 mPa s; 928,0 mPa s; dan 720,0 mPa s. Menurut
Meyer et al., 2011, menambahkan inulin dalam pengental akan mempengaruhi viskositas
(menurunkan atau menaikkan) karakteristik aliran suatu cairan. Maka penurunan viskositas es
krim dalam penelitian ini, disebabkan oleh inulin yang ditambahkan berkompetisi dengan
CMC sebagai bahan penstabil es krim dalam mengikat air sehingga menghasilkan viskositas
yang lebih rendah dibanding es krim inulin 0% karena inulin memiliki kemampuan viskos yang
lemah.
301
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Kurva Hubungan Antara Penambahan Inulin dan Viskositas Es Krim Susu Kambing Tanpa Lemak
Overrun
Overrun merupakan pengembangan volume es krim karena adanya udara yang
terperangkap dalam es krim akibat proses pengocokan dalam pembuatan es krim (Goff dan
Hartel, 2013). Overrun adonan es krim dapat dilihat pada gambar 2. Berdasarkan gambar 2
dapat diketahui bahwa antara penambahan inulin dan overrun es krim yang dihasilkan terdapat
hubungan yang mendekati persamaan yang berbentuk kuadratik atau model polinomial pangkat
2. Nilai R square (r2) atau koefisien determinasi antara konsentrasi inulin dan overrun yang
dihasilkan menunjukkan nilai sebesar 0.77. Hal ini menunjukkan bahwa overrun es krim susu
kambing tanpa lemak dipengaruhi oleh penambahan inulin sebesar 77% sedangkan sisanya
sebesar 23% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati seperti jenis bahan penstabil yang
dipakai, jumlah padatan, serta suhu, kecepatan, dan waktu pengadukan dalam proses
pengadukan.
Overrun merupakan salah satu karakteristik fisik es krim yang berperan dalam kualitas
produk berhubungan dengan tekstur, kelembutan, dan stabilitas es krim yang dihasilkan (Dertli
et al., 2016). Penambahan inulin pada es krim susu kambing tanpa lemak menghasilkan nilai
overrun yang lebih tinggi dibandingkan dengan es krim tanpa penambahan inulin. Hal ini
sesuai dengan penelitian Akalin dan Erisir (2008) yang menambahkan es krim prebiotik dengan
inulin menghasilkan es krim dengan nilai overrun yang lebih tinggi sebesar 50,6%
dibandingkan es krim regular tanpa penambahan inulin sebesar 23,6%. Peningkatan nilai
overrun es krim dengan penambahan inulin mengindikasikan peranan inulin dalam
meningkatkan pengikatan udara dalam adonan es krim (Akalin dan Erisir, 2008). Selain itu,
y = 140.997 - 8.766x + 0.461x2
R² = 0.923
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Inulin 0% Inulin 8% Inulin 10% Inulin 12%
Vis
kosi
tas
302
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
inulin memiliki jumlah gugus hidroksil yang tinggi sehingga akan berperan besar dalam
mengikat udara dan mempengaruhi nilai overrun.
Gambar 2. Kurva Hubungan Antara Penambahan Inulin dan Overrun Es Krim Susu Kambing Tanpa Lemak
Berdasarkan hasil penelitian, nilai overrun es krim susu kambing tanpa lemak dengan
penambahan inulin menunjukkan nilai overrun yang fluktuatif seiring besarnya penambahan
inulin. Hal pun terjadi pada penelitian Ismail et al. (2013) yang menunjukkan nilai overrun es
krim dengan penambahan inulin yang tidak signifikan dimana nilai overrun inulin 0%; inulin
2,5%; inulin 5%.
Kecepatan Leleh
Kecepatan leleh adalah waktu yang diperlukan es krim sampai dengan meleleh sempurna.
setelah mengalami penyimpanan pada suhu pembekuan dalam suhu ruang. Kecepatan leleh
adonan es krim dapat dilihat pada gambar 3. Penambahan inulin dan kecepatan leleh es krim
yang dihasilkan terdapat hubungan yang mendekati persamaan yang berbentuk linear. Nilai R
square (r2) atau koefisien determinasi antara konsentrasi inulin dan kecepatan leleh yang
dihasilkan menunjukkan nilai sebesar 1. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan leleh es krim
susu kambing tanpa lemak dipengaruhi oleh penambahan inulin sebesar 100%.
y = 32.165 + 0.3040x + 0.045x2
R² = 0.7740
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Inulin 0% Inulin 8% Inulin10%
Inulin12%
Overrun
(%)
Overrun
Poly. (Overrun)
303
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 3. Kurva Hubungan Antara Penambahan Inulin dan Kecepatan Leleh Es Krim Susu Kambing Tanpa
Lemak
Kecepatan pelelehan es krim dipengaruhi beberapa faktor, seperti banyaknya udara yang
masuk, adanya kristal es, dan pembentukan jaringan oleh globula lemak selama pembekuan
(Muse dan Hartel 2004). Penambahan inulin menghasilkan es krim dengan kecepatan leleh
yang lebih cepat dari es krim tanpa penambahan inulin. Hal ini serupa dengan penelitian
Kurultay (2009), es krim dengan total padatan terbanyak memiliki kecepatan leleh yang lebih
cepat. Li et al. (1997) mengatakan sampel es krim dengan kandungan total padatan dan lemak
yang tinggi mencair lebih cepat dibandingkan sampel yang memiliki total padatan dan lemak
yang rendah karena semakin tinggi konsentrasi larut air, semakin rendah titik beku dan
tingginya kecepatan leleh. Penggunaan inulin dalam penelitian ini meningkatkan total padatan
dan konsentrasi larut air yang terdapat dalam es krim sehingga kecepatan leleh yang dihasilkan
lebih cepat.
Sifat Organoleptik
Tabel 2. Evaluasi Sensori Es Krim Susu Kambing Tanpa Lemak Penambahan Inulin
0
2
4
6
8
10
12
14
Inulin0%
Inulin8%
Inulin10%
Inulin12%
Kec
epat
an L
eleh
(m
enit
/2g)
Kecepatan Leleh
Linear (KecepatanLeleh)
Karakteristik
(skala 1-5)
Inulin %
0 8 10 12
Warna 2,67c 3,86b 4,73ab 4,40a
Flavor 3,66a 4,06a 4,20a 4,06a
Kelembutan 2,93b 3,93a 4,40a 4,60a
Creaminess 2,93b 3,93a 4,60a 4,0a
304
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Keterangan: Nilai rata-rata yang ditandai dengan huruf kecil yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf uji 5%.
Warna bahan makanan dapat disebabkan oleh beberapa sumber, dan salah satu yang
terpenting disebabkan oleh pigmen yang ada dalam bahan nabati atau hewani secara alami. Es
krim inulin 10% memiliki rata-rata paling tinggi. Hal ini menunjukkan, sampel es krim inulin
10% memiliki karakteristik warna yang disukai oleh panelis dimana panelis menyukai warna
es krim yang cenderung terang sedangkan kesukaan yang rendah dimiliki oleh perlakuan
kontrol produk dan inulin 10% yang berwarna lebih kekuningan. Sampel es krim dengan
penambahan inulin semakin meningkatkan intesitas warna putih pada es krim. Hal ini
disebabkan oleh warna partikel inulin yang berwarna putih (Roberfroid, 2007).
Flavor merupakan keseluruhan kesan (sensasi) yang diterima oleh indra manusia
terutama oleh rasa dan bau pada saat makanan dan minuman dikonsumsi (Fardiaz, 2006). Inulin
dapat memberikan flavor pada es krim. Inulin merupakan serat golongan frukto-oligosakarida
sehingga memiliki sedikit rasa manis dimana penambahan inulin yang cukup, dapat
meningkatkan rasa dan memperbaiki tekstur produk pangan (Anan'ina dkk., 2009).
Kelembutan secara sensori merupakan besarnya kekuatan yang diperlukan untuk
menekan sampel ke atap mulut, semakin mudah semakin lembut (Bo, 2006). Es krim inulin
12% menunjukkan karakteristik kelembutan yang paling disukai oleh panelis. Hal ini
menunjukkan bahwa bertambahnya jumlah penggunaan inulin pada es krim mampu
meningkatkan kelembutan es krim tanpa lemak. Sesuai dengan pernyataan Meyer et al. (2011),
inulin pada konsentrasi yang tinggi dapat bertindak sebagai pengganti lemak dalam es krim
rendah lemak karena kemampuannya yang dapat memodifikasi kekerasan, kelembutan, dan
mouthfeel es krim yang disukai. Selain itu, tekstur lembut terjadi karena pengaruh globula es
krim yang kecil dan merata (Failisnur, 2013).
Creaminess es krim secara sensori merupakan sifat yang menyerupai lemak dan es krim
menghasilkan cairan kental setelah mencair didalam mulut (Bo, 2006). Es krim inulin 10%
menunjukkan karakteristik creaminess yang paling disukai oleh panelis sedangkan nilai
kesukaan terendah ditunjukkan oleh inulin 0%. Penambahan inulin meningkatkan keseragaman
kristal es sehingga memperbaiki creaminess dan mouthfeel pada es krim rendah (Balthazar et
al., 2016). Creaminess es krim dengan perlakuan inulin 10% lebih disukai dibanding inulin
12%. Hal ini menunjukkan bahwa panelis tidak terlalu menyukai creaminess yang berlebihan
Rasa dingin 4,06a 4,40a 4,20a 3,86b
305
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
di dalam es krim. Bo (2006) menyatakan, faktor yang menyebabkan es krim kurang disukai
karena creaminess menyebabkan tekstur yang terlalu lembut dan kurangnya rasa dingin es krim
di dalam mulut.
Rasa dingin adalah sensasi dingin yang dirasakan lidah dan atap mulut setelah es krim
diletakkan didalam mulut (Bo, 2006). Es krim inulin 8% menunjukkan intensitas rasa dingin
yang paling disukai oleh panelis sedangkan nilai kesukaan terendah ditunjukkan oleh es krim
kontrol produk. Hal ini menunjukkan bahwa panelis tidak terlalu menyukai es krim dengan
intensitas rasa dingin yang rendah. Menurut Bo (2006), es krim dengan intensitas rasa dingin
yang rendah, tidak memiliki suhu yang cukup untuk mempertahankan bentuk es krim karena
cepat kehilangan suhu dingin saat disajikan sehingga menyebabkan kurangnya rasa dingin saat
dimakan. Es krim yang mengandung fat replacer berbasis karbohidrat seperti inulin, memiliki
intensitas rasa dingin yang rendah karena sifatnya yang tinggi dalam mengikat air dalam es
krim (Bo, 2006).
KESIMPULAN
Perlakuan penambahan inulin yang digunakan dalam pembuatan es krim susu kambing
tanpa lemak memiliki hubungan yang signifikan berdasarkan uji statistik tehadap karakteristik
fisik, yaitu viskositas, kecepatan leleh, dan overrun yang dihasilkan dengan masing-masing
nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,923; 0,774; dan 1. Uji hedonik (kesukaan) es krim
susu kambing menunjukkan bahwa kesukaan terhadap warna, flavor dan creaminess terbesar
adalah es krim susu kambing tanpa lemak dengan penambahan inulin 10%, kesukaan terhadap
kelembutan terbesar adalah es krim susu kambing tanpa lemak dengan penambahan inulin
12%, dan kesukaan terhadap intensitas rasa dingin terbesar adalah es krim susu kambing tanpa
lemak dengan penambahan inulin 8%.
DAFTAR PUSTAKA
Akalın, A. S., & Erişir, D. (2008). Effects of Inulin and Oligofructose on the Rheological
Characteristics and Probiotic Culture Survival in Low-Fat Probiotic Ice Cream. Journal
of Food Science, 73(4), M184–M188. doi:10.1111/j.1750-3841.2008.00728.x
Anan'ina, N.A., Andreeva O.A. Mycots L.P.Oganesyan E.T. 2009. Standardization ofinulin
extracted from dahlia single tubers andsome physicochemical properties of
inulin.Pharmaceutical Chemistry Journal, 43(3): 157-160.
Balthazar, C.F., Silva, H.L.A., Vieira, A.H., Neto, R.P.C., Cappato, L.P., Coimbra, P.T.,
Moraes, J., Andrade, M.M., Calado, V.M.A., Granato, D., Freitas, M.Q., Tavares, M.I.B.,
306
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Raices, R.S.L., Silva, M.C. & Cruz, A.G., Assessing The Effects Of Different Prebiotic
Dietary Oligosaccharides In Sheep Milk Ice Cream, Food Research International (2016),
Doi:10.1016/J.Foodres.2016.11.008
Bo, Kang Liou. 2006. Sensory Analysis of Low Fat Strawberry Ice Creams Prepared With
Different Flavor Chemicals and Fat Mimetics. Faculty of the Graduate School University
of Missouri-Columbia.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI Es Krim No. 01-3713-1995. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta.
Failisnur. 2013. Karakteristik Es Krim Bengkuang Dengan Menggunakan Beberapajenis Susu.
Jurnal Litbang Industri, Vol.3 No.1 Juni 2013: 11-20
Fardiaz. 2006. Kimia Flavour I. Jurusan Kimia, Fakultas Teknik. Medan. Universitas Sumatera
Utara.
Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids Vol.I. Florida. CRC Press.
Goff, H. D., & Hartel, R. W. 2013. Ice cream 7th edn. New York, NY, USA. Springer.
Kurultay, Ş., Öksüz, Ö., & Gökçebağ, Ö. (2010). The influence of different total solid,
stabilizer and overrun levels in industrial ice cream production using coconut oil. Journal
of Food Processing and Preservation, 34, 346–354.doi:10.1111/j.1745-
4549.2009.00418.x
Li, Z., Marshall, R., Heymann, H. And Fernando, L. 1997. Effect of Milk Fat Content on flavor
Perception of Vanilla Ice Cream. J. Dairy Sci. 80, 3133–3141.
Ismail E. A., A. A. Al-Saleh, and A. A. M. Metwalli. Effect of Inulin Supplementation on
Rheological Properties of Low-Fat Ice Cream. Life Sci J 2013;10(3):1742-1746]. (ISSN:
1097-8135).
Marshall RT, Arbuckle WS. 1996. Ice Cream, 6th Ed. Chapman and Hall, New York, NY.
Meyer, D., Bayarri, S., Tárrega, A., & Costell, E. (2011). Inulin as texture modifier in dairy
products. Food Hydrocolloids, 25(8), 1881-1890.
http://dx.doi.org/10.1016/j.foodhyd.2011.04.012.
Muse, M. R., & Hartel, R. W. (2004). Ice Cream Structural Elements that Affect Melting Rate
and Hardness. Journal of Dairy Science, 87(1), 1–10. doi:10.3168/jds.s0022-
0302(04)73135-5
Napier, K. (1997). Fat Replacers: The Cutting Edge of Cutting Calories. New York: American
Council on Science and Health. Inc.
Roberfroid M. B. 2007. Prebiotics: The Concept Revisited, The Journal of Nutrition, Vol. 137,
No. 3, 2007, 830S-837S.
307
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Setyawardani, T. 2017. Membuat Keju, Yoghurt Dan Kefir Dari Susu Kambing. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Sodiq. A. dan Z. Abidin. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa.
Agromedia Pustaka. Jakarta
Tiwari, A., Sharma, H. K., Kumar, N., & Kaur, M. 2014. The Effect of Inulin as a Fat Replacer
on The Quality of Low-Fat Ice Cream. International Journal of Dairy Technology, 68(3),
374-380.
Zhang WM, Wang WL. 1999. Studies on Non-Sugar, Low-Fat, Low-Calorie and Functional
Ice Cream. China Dairy Ind. 27(5): 12-6.
308
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KARAKTERISTIK OLEORESIN LADA PUTIH MUNTOK (Piper nigrum
L.) TERHADAP PENAMBAHAN BERBAGAI EMULSIFIER
Patar Sahat Martua Manurung
Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 43563
Email: [email protected]
ABSTRAK
Lada putih merupakan salah satu komoditas ekspor terbesar di Indonesia. Selama ini lada
putih diekspor dalam bentuk utuh sehingga meningkatkan biaya transportasi dan terjadi
penurunan kualitas selama proses distribusi. Salah satu cara mengatasi masalah tersebut adalah
mengolah lada putih kedalam bentuk oleoresin. Namun oleoresin juga masih memiliki
kekurangan yaitu terjadinya penurunan kualitas akibat terjadinya proses oksidasi selama
penyimpanan. Solusi dari permasalahan tersebut adalah melakukan emulsifikasi terhadap
oleoresin lada putih kedalam minyak kedelai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui jenis dan konsentrasi emulsifier terbaik yang dapat digunakan untuk menghasilkan
emulsi oleoresin lada putih dengan karakteristik terbaik. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian eksperimental dengan analisis deskriptif. Perlakuan yang diberikan
terdiri dari 3 jenis emulsifier yang berbeda yaitu lesitin, gelatin, dan tween 80. Masing-masing
emulsifier ditambahkan dengan konsentrasi 5%, 7,5%, dan 10% dari jumlah minyak dan
oleoresin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan emulsifier lesitin menghasilkan
emulsi dengan baik sedangkan penggunaan emulsifier gelatin dan tween 80 tidak dapat
membentuk emulsi sama sekali. Penambahan emulsifier lesitin 10% memiliki kestabilan
emulsi paling baik dibandingkan dengan konsentrasi lesitin 7,5% dan 5%. Emulsi oleoresin
dengan emulsifier lesitin memiliki kadar piperin tertinggi yaitu berkisar antara 3,77% – 5,17%.
Semakin tinggi konsentrasi lesitin, kadar piperin juga semakin tinggi. Uji skoring tingkat
kepedasan menunjukkan bahwa penambahan lesitin menghasilkan emulsi dengan taraf
kepedasan tertinggi dibanding emulsifier gelatin dan tween 80. Berdasarkan parameter
tersebut, emulsifier lesitin dengan konsentrasi 10% menghasilkan emulsi oleoresin lada dengan
kualitas yang paling baik.
Kata Kunci: Oleoresin Lada Putih. Emulsifikasi, Lesitin, Gelatin, Tween 80.
309
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Lada putih merupakan salah satu komoditas ekspor paling besar dari Indonesia.
Berdasarkan data dari International Papper Community (IPC) (2014), pada tahun 2013 dan
2014 Indonesia merupakan negara eksportir lada terbesar kedua setelah Vietnam. Sementara
itu berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia (2016), ekspor lada pada
tahun 2015 mencapai angka 58,075 ton. Hal ini menjadikan Indonesia memegang peranan
penting akan ketersediaan lada dunia. Potensi ekspor lada yang tinggi tersebut tidak diimbangi
dengan kondisi lada yang tergolong mudah rusak dan mudah tercecer. Kondisi pemasaran lada
saat ini masih dalam bentuk konvensional, yakni dalam bentuk utuh atau butiran. Hal ini
menyebabkan terjadinya kerusakan selama distribusi serta biaya transportasi yang tinggi akibat
volume lada yang masih besar. Hal tersebut juga menyebabkan kualitas lada yang diekspor dari
Indonesia masih cukup rendah dan berdampak pada nilai jualnya yang rendah. Oleh karena itu,
diperlukan pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas lada dan nilai jualnya
sehingga lada Indonesia mampu bersaing di pasar Internasional.
Upaya yang dilakukan dalam peningkatan kualitas ekspor lada dari Indonesia, salah
satunya melalui pengolahan oleoresin lada. Oleoresin merupakan senyawa aromatik yang
diekstrak dari rempah-rempah menggunakan pelarut yang kemudian diuapkan lagi sehingga
menghasilkan minyak kental (Winarno, 2005). Oleoresin lada banyak diminati oleh industri
pangan sebagai pemberi citarasa karena memiliki banyak keunggulan diantaranya
mempermudah pengolahan, memiliki rasa dan aroma yang kuat, hingga nilai ekonomis yang
tinggi sehingga dapat meminimalisasi biaya transportasi. Oleoresin juga memiliki kelemahan
yakni bersifat lengket dan kental, sering terjadi perubahan kimia (teroksidasi) dan organoleptik
(offlavor) yang terjadi selama penyimpanan, serta memiliki kelarutan rendah dalam air (Yuliani
dkk., 2007). Oleh karena itu diperlukan proses lebih lanjut untuk mengatasi hambatan tersebut.
Salah satu solusi yang dapat digunakan adalah melakukan proses emulsifikasi terhadap
oleoresin ke dalam minyak sehingga dapat mengurangi proses oksidasi serta meningkatkan
kestabilan emulsi tersebut. Menurut Anwar dan Hasmi. (1994), piperin sebagai komponen aktif
dalam oleoresin lada memiliki sifat basa yang tidak optis aktif, dapat larut dalam alkohol,
benzene, eter, dan sedikit larut dalam air. Oleh karena itu diperlukan penambahan emulsifier
untuk membentuk sistem emulsi dalam minyak.
310
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Proses emulsifikasi merupakan pembentukan emulsi antara dua larutan dengan bantuan
emulsifier. Pemilihan emulsifier sangat berpengaruh terhadap kualitas emulsi karena emulsifier
bekerja spesifik terhadap larutan tertentu. Menurut Murwan, et al. (2008) dalam Syafi’i, dkk.
(2016), pemilihan bahan emulsi harus mempertimbangkan beberapa syarat, di mana emulsifier
tersebut harus dapat bercampur dengan komponen lain, mempunyai warna, rasa, dan bau yang
lemah sehingga tidak mempengaruhi karakteristik bahan, tidak toksik, stabil, dan tidak mudah
teruarai. Salah satu faktor utama dalam pemilihan emulsifier adalah kemampuan menjaga
stabilitas emulsi dalam jangka waktu yang lama selama penyimpanan dan pemakaian.
Emulsifier yang digunakan antara lain adalah lesitin, gelatin dan tween 80. Pemilihan
ketiga emulsifier tersebut didasari oleh perbedaan nilai HLB (hidrofilic lipofilic balance), di
mana HLB ketiga emulsifier tersebut berturut-turut adalah 4; 9,8; dan 15 (Fitriyaningtyas dan
Widyyaningsih, 2015; Aisyah, dkk., 2017; Taylor, 2011). Nilai HLB menunjukkan
keseimbangan antara gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Semakin tinggi nilai HLB maka
akan cenderung suka air dan membentuk emulsi oil in water (O/W) dan sebaliknya (Mollet dan
Grubermann, 2001 dalam Cicilia 2016).
METODE PENELITIAN
Alat Percobaan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah grinder, homogenizer,
hot plate, pipet tetes, magnetic stearer, wadah plastik, erlenmeyer, timbangan digital,
stopwatch, sendok, cling wrap, rotary vacuum evaporator, dan aluminium foil. Alat yang
digunakan untuk analisis adalah Spektrofotometer UV, timbangan analitik, labu ukur, gelas
piala, gelas ukur, pipet ukur, hot plate dan tabung reaksi.
Bahan Percobaan
Bahan baku penelitian ini adalah lada putih, lesitin, tween 80, dan gelatin. Lada putih
yang digunakan diperoleh dari PT Cinquer Agro Nusantara yang beralamat di Kawasan
Industri De Prima Terra BI. F2. No.5, Tegalluar, Bojongsoang, Bandung, Jawa Barat. Bahan-
bahan kimia yang digunakan antara lain pelarut etanol 96%, dan aquades.
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari-Mei 2019, di Laboratorium Keteknikan
Pengolahan Pangan, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Laboratorium Kimia
311
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pangan, Laboratorium Sensori, dan Laboratorium Uji, Departemen Teknologi Industri Pangan,
Fakultas Teknologi Industri Pertanian.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan analisis
deskriptif (explanatory research), dimana dalam penelitian ini terdapat 2 faktor dengan
masing-masing 4 perlakuan dan 2 kali ulangan. Faktor-faktor dalam penelitian ini antara lain
adalah faktor perlakuan tipe emulsifier dan faktor rasio penambahan emulsifier. Faktor tipe
emulsifier berguna untuk mengetahui jenis emulsifier yang cocok digunakan untuk pembuatan
oleoresin sedangkan faktor rasio emulsifier berguna untuk mengetahui jumlah penambahan
emulsifier yang tepat. Parameter pengamatan utama yang dianalisis adalah stabilitas emulsi,
viskositas, tingkat kepedasan, warna dan kadar piperin.
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan dimulai dengan memproduksi sampel oleoresin lada terlebih dahulu. Produksi
dimulai dengan melakukan penggilingan buah lada menggunakan grinder. Setelah halus bubuk
lada kemudian disaring menggunakan saringan 40 mesh untuk menyeragamkan ukuran
partikelnya. Bubuk yang tidak lolos saringan kemudian digrinder kembali sampai lolos
saringan. Setelah itu dilakukan proses maserasi menggunakan pelarut etanol 96% selama 6 jam
pada suhu 40oC untuk melarutkan senyawa aktif yang ingin diekstrak. Sampel kemudian
disaring untuk memisahkan antara padatan dengan larutan yang telah mengandung senyawa
aktif tersebut. Larutan kemudian dipekatkan menggunakan Rotary Evaporator untuk
menghilangkan pelarut etanol dari ekstrak yang diinginkan. Setelah pekat, sampel kemudian
dipanaskan dalam oven vakum pada suhu 40oC untuk memastikan tidak ada pelarut etanol yang
tersisa sehingga diperoleh oleoresin lada murni. Oleoresin lada yang telah dihasilkan kemudian
diemulsifikasi kedalam minyak soybean oil menggunakan 3 jenis emulsifier berbeda.
Emulsifer yang digunakan antara lain adalah Lesitin, Gelatin, dan Tween 80. Perbandingan
antara oleoresin, minyak kedelai, dan emulsifier dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Oleoresin, Minyak Kedelai, Dan Emulsifier
Oleoresin Minyak kedelai Emulsifier(%)
Formula 1 1 10 5
Formula 2 1 10 7,5
Formula 3 1 10 10
312
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Proses emulsifikasi dilakukan menggunakan homogenizer pada kecepatan putar 4000
RPM selama 2 menit. Emulsi oleoresin lada kemudian dilakukan pengamatan terhadap kadar
piperin, kestabilan emulsi, dan uji skoring tingkat kepedasan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Piperin
Pengujian kadar piperin mengacu pada prosedur yang terdapat pada SNI-01-0025-1987
tentang oleoresin lada hitam. Pengujian dilakukan menggunakan Spektrofotometer UV dengan
panjang gelombang 343 nm. Kadar piperin dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut:
%𝑃𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑛 =𝐴
A1 cm1% 𝑥
100
10 𝑥
100
10 𝑥
100
𝑀 ……… [1]
Keterangan :
M : Bobot contoh uji (g)
A : Absorban larutan contoh
A1 cm1% : Absorban pada 343 nm dari 1% larutan piperin dan cell 1 cm yaitu 1238
Pengujian kadar piperin terlebih dahulu dilakukan terhadap oleoresin murni yaitu bahan
baku pembuatan emulsi. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh hasil jumlah kadar piperin pada
sampel bahan baku oleoresin murni adalah sebesar 57,32%. Hasil ini sudah sesuai dengan SNI
yang menyatakan bahwa kadar piperin minimal yang terkandung pada oleoresin lada adalah
sebesar 35% (BSN, 2013). Kemudian dilakukan pengujian terhadap sampel emulsi oleoresin
lada. Penujian juga dilakukan terhadap sampel kontrol dimana sampel kontrol merupakan
sampel yang tidak ditambahakan emulsifier sama sekali. Hasil pengujian dapat dilihat pada
Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa emulsifier lesitin
menghasilkan emulsi dengan jumlah piperin tertinggi dibandingkan emulsifier lainnya. Sampel
yang menggunakan emulsifier gelatin, tween 80, dan control memiliki nilai yang cukup jauh
lebih rendah dibandingkan dengan sampel dengan emulsifier lesitin. Hal ini menunjukkan
bahwa lesitin dapat membentuk emulsi yang lebih baik dibandingkan gelatin dan tween 80.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Mollet dan Grubermann (2001) dalam Cicilia (2016) yang
menyatakan bahwa emulsifier dengan nilai HLB yang rendah dapat membentuk emulsi air
dalam minyak lebih baik dibandingkan dengan emulsifier yang memiliki nilai HLB lebih
tinggi.
313
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 2. Kadar Piperin Emulsi Oleoresin Lada
Konsentrasi Kadar Piperin
Lesitin 5% 3,77 ± 0,20
Lesitin 7,5% 4,14 ± 0,44
Lesitin 10% 4,32 ± 0,51
Gelatin 5% 2,28 ± 0,71
Gelatin 7,5% 2,66 ± 0,22
Gelatin 10% 2,53 ± 0,82
Tween 80 5% 2,76 ± 1,29
Tween 80 7,5% 2,40 ± 0,61
Tween 80 10% 2,45 ± 0,47
Kontrol 1,53 ±0,23
Disamping itu kecendererungan lain yang dapat dilihat adalah bahwa terdapat
kecenderungan peningkatan kadar piperin seiring penigkatan konsentrasi lesitin yang
ditambahkan. Penambahan lesitin dengan konsentrasi 10% menghasilkan emulsi dengan kadar
piperin tertinggi yaitu sebesar 4,32 ± 0,51%. Penambahan lesitin dengan konsentrasi 7,5%
menghasilkan emulsi dengan kadar piperin sebesar 4,14 ± 0,44% diikuti emulsi dengan
penambahan lesitin 5% dengan kadar piperin sebesar 3,77 ± 0,20%. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hartayanie dkk. (2014) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi
emulsifier maka kualitas emulsi akan semakin baik.
Pengujian Kestabilan Emulsi
Pengujian kestabilan emulsi dilakukan menggunakan pengujian Creaming stability.
Menurut Deviarny et al. (2012), Creaming stability merupakan pengujian stabilitas emulsi
berdasarkan kemampuan mempertahankan distribusi halus fase terdispersi dalam jangka waktu
yang lama. Creaming stability dinyatakan dalam bentuk creaming index (%) yang merupakan
persentase dari perbandingan tinggi serum yang terbentuk selama penyimpanan terhadap tinggi
total emulsi. Semakin besar nilai creaming index suatu emulsi menunjukkan bahwa emulsi
tersebut semakin tidak stabil. Pengujian dilakukan dengan mengukur perubahan ketinggian
serum selama 7 hari selama penyimpanan dalam tabung reaksi. Nilai Creaming Index dihitung
menggunakan rumus berikut:
%𝐶𝐼 = 100𝐻𝑆
𝐻𝐸 ……………………… [2]
Keterangan
CI : Creaming Index
HS : Tinggi serum
314
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
HE : Tinggi emulsi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa emulsifier gelatin dan tween 80 tidak
dapat membentuk emulsi antara minyak dan oleoresin lada dengan baik. Hasil emulsi yang
terbentuk dapat dilihat pada Gambar 1. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mollet dan
Grubermann (2001) dalam Cicilia (2016) yang menyatakan bahwa semakin rendah nilai HLB
maka akan cenderung suka minyak dan membentuk emulsi water in oil (W/O). Oleh karena itu
pengujian stabilitas emulsi hanya dapat dilakukan pada sampel dengan emulsifier lesitin.
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi penambahan lesitin yang
optimum untuk menghasilkan emulsi dengan kestabilan yang baik. Contoh perubahan
ketinggian serum selama penyimpanan 7 hari dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil pengamatan
disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) (b) (c)
Gambar 1. Perbedaan Kenampakan Sampel dengan Emulsifier (a) Lesitin 10%; (b) Gelatin 10%; (c) Tween 80
10%
(a) (b)
Gambar 2. Pengukuran Kestabilan Emulsi (a) Hari ke- 0; (b) Hari ke-7
315
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 3. Kurva Creaming Index Emulsi Oleoresin Lada
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan bahwa pada hari 1 telah terjadi peristiwa
creaming pada ketiga tingkat konsentrasi tersebut. Namun penambahan konsentrasi lesitin
yang berbeda memberi pengaruh yang berbeda pula pada kestabilan emulsi selama
penyimpanan 7 hari. Semakin besar jumlah penambahan konsentrasi lesitin maka nilai
creaming index yang dihasilkan akan semakin kecil. Artinya semakin besar penambahan
konsentrasi lesitin maka emulsi yang dihasilkan semakin stabil. Hasil tersebut sesuai dengan
pernyataan Hartayanie (2014) yang menyatakan bahwa creaming stability dapat ditingkatkan
dengan penambahan konsentrasi pengemulsi. Pembentukan creaming dipengaruhi oleh dua hal
yaitu jenis emulsifier yang digunakan serta konsentrasi pengemulsi tersebut. Penambhaan
emulsifier lesitin sebanyak 5% menunjukkan kestabilan emulsi yang rendah dengan nilai
creaming index yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan lesitin sebanyak 5%
belum mampu menyalut oleoresin secara keseluruhan sehingga masih terdapat tegangan
permukaan yang tinggi. Sementara itu penambahan lesitin dengan konsentrasi 10%
menunjukkan kestabilan emulsi yang lebih baik dari penambahan lesitin sebanyak 5% yang
ditunjukkan dengan nilai creaming index yang lebih kecil.
Uji Skoring Tingkat Kepedasan
Uji skoring merupakan salah satu pengujian yang termasuk kedalam uji skalar (Soekarto,
1985 dalam Larasati, 2012). Pengujian dengan uji skoring dilakukan dengan memberikan nilai
berupa angka terhadap bahan yang diuji pada jenjang mutu tertentu. Tingkat skala yang
digunakan dapat dinyatakan pada skala mutu yang telah baku.
316
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Parameter uji skoring yang diamati pada penelitian ini adalah tingkat kepedasan emulsi
oleoresin lada. Uji skoring ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepedasan tiap emulsi
berdasarkan uji panelis. Uji sensori dilakukan terhadap 15 orang panelis dan 10 sampel. Sampel
yang disediakan merupakan sampel emulsi oleoresin yang telah dicampurkan kedalam garam.
Tujuan pencampuran emulsi oleoresin tersebut kedalam garam adalah untuk mengurangi
intensitas kepedasan yang dirasakan oleh panelis. Perbandingan yang digunakan antara garam
dan emulsi oleoresin adalah 5:1. Sampel tersebut terdiri dari 3 jenis emulsifier dengan masing-
masing 3 konsentrasi beserta 1 sampel kontrol. Perhitungan dilakukan dengan perhitungan uji
skoring dan dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3. Rata-rata Tingkat Kepedasan Emulsi Oleoresin
Sampel Rata-rata
Lesitin 7,5% 4,27a
Lesitin 10% 4,20a
Lesitin 5% 4,20a
Tween 80 5% 3,27b
Gelatin 10% 3,27b
Gelatin 5% 3,13bc
Tween 80 10% 2,93cd
Kontrol 2,93cd
Tween 80 7,5% 2,73de
Gelatin 7,5% 2,60e
Keterangan: L= Lesitin; G= Gelatin; T= Tween 80
Berdasarkan Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa sampel dengan emulsifier lesitin
memiliki tingkat kepedasan paling tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya serta tidak
memiliki karakteristik yang sama dengan sampel yang lain. Sedangkan sampel dengan
perlakuan emulsifier gelatin dan tween 80 memiliki tingkat kepedasan yang lebih rendah serta
memiliki tingkat kepedasan yang acak. Sampel tween 80 5% dan gelatin 10% memiliki
karakteristik tingkat kepedasan yang sama dengan sampel gelatin 5%. Sampel gelatin 5% dan
sampel tween 80 10% memiliki karakteristik tingkat kepedasan yang sama dengan kontrol.
Sementara itu sampel dengan tween 80 10% dan control memiliki karakteristik yang sama
dengan sampel tween 80 7,5% dan sampel tween 80 7,5% memiliki karakteristik tingkat
kepedasan yang sama dengan gelatin 7,5%.
317
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa emulsi yang dihasilkan
menggunakan emulsifier lesitin menghasilkan emulsi dengan tingkat kepedasan tertinggi. Hasil
ini sesuai dengan hasil ujii kadar piperin yang menunjukkan bahwa sampel emulsi yang
menggunakan emulsifier lesitin memiliki kadar piperin yang lebih besar dibandingkan dengan
emulsi dengan penggunaan emulsifier lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (1985)
dalam Syafi’I (2015), sensasi pedas dari lada disebabkan oleh kandungan senyawa piperin,
piperanin, dan chavicin terdapat dalam lada.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa emulsifier lesitin dapat membentuk emulsi
antara oleoresin lada dan minyak dengan baik sedangkan emulsifier gelatin dan tween 80 tidak
dapat membentuk emulsi sama sekali. Emulsi dengan emulsifier lesitin mengandung kadar
piperin, dan tingkat kepedasan yang lebih tinggi daripada emulsi dengan penambahan
emulsifier gelatin dan tween 80. Semakin besar konsentrasi lesitin yang ditambahankan akan
semakin meningkatkan kestabilan emulsi yang dihasilkan. Saran dari penelitian ini adalah perlu
dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai batas maksimum penambahan lesitin pada
pembuatan emulsi oleoresin lada untuk menghasilkan emulsi dengan karakteristik yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Y., S. Haryani, dan N. Safriani. 2017. Pengembangan Produk Pangan Fungsional
Berbasis Minyak Atsiri Pala dengan Menggunakan Teknologi Nano. Laporan Akhir
Tahun Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi. Universitas Syiah Kuala,
Darussalam.
Anwar, C. dan Hasmi. 1996. Pengantar Praktikum Kimia Oganik. Depdikbud, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2007. 06-2388-1998. Oleoresin Lada Hitam. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta.
Cicilia, F. S. 2016. Pengaruh Nilai HLB (Hyddrophile-Lipophile Balance) Campuran
Surfaktan Polysorbate 80 dan Cetyl Alcohol Terhadap Stabilitas
Deviarny, C., Lucida H, Safni. 2012. Uji Stabilitas Kimia Natrium Askorbil Fosfat Dalam
Mikroemulsi dan Analisisnya dengan HPLC. Jurnal Farmasi Andalas. 1(1)
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia. Available
at:http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2017/Lada-2015-
2017.pdf (Diakses: 19 Juni 2018)
318
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Fitriyaningtyas, S. I., dan T. D. Widyaningsih. 2015. Pengaruh Penggunaan Lesitin dan CMC
Terhadap Sifat Fisik, Kimia, Dan Organoleptic Margarin Sari Apel Manalagi (Malus
sylfertris Mill) Tersuplementasi Minyak Kacang Tanah. Jurnal Pangan dan Agroindustri
3(1):226-236.
Hartayanie L, Adriani M, Lindayani. 2014. Karakteristik emulsi santan dan minyak kedelai
yang ditambah gum arab dan sukrosa ester. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
25(2):152-15
International Pepper Community dan Food and Agriculture Organization of The United
Nations. (2005). Pepper (Pepper Nigrum L.) Production Guide for Asia and The Pacifc.
International Pepper Community: Jakarta
Larasati, S. P. 2012. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Nasi dari Beberapa
Varietas Beras. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor.
Syafi’I, F., H. W. Christofora., dan B. Nurtama. 2016. Optimasi Proses Pembuatan Bubuk
Oleoresin Lada (Piper nigrum) Melalui Proses Emulsifikasi dan Mikroenkapsulasi.
Agritech 36(2): 128-136.
Taylor. M. S. 2011. Stabilisation of Water-in-Oil Emulsions to Improve the Emollient
Properties of Lipstick. Thesis. School of Chemical Engineering University of
Birmingham, Birmingham.
Winarno, F.G., W. Agustinah. 2005. Herba dan Rempah Aplikasinya dalam Hidangan. M-Brio
Press, Bogor.
Yuliani, S., Desmawarni and M.S. Rusli. 2007. Effect of Encapsulating Material Compositions
on the Properties of Encapsulated Ginger Oleoresin. Paper presented on International
Seminar on Essential Oil, Jakarta.
319
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PERBAIKAN TATA LETAK PABRIK
STUDI KASUS PABRIK BERAS CV SABAR SUBUR
Ramadhoni Husnuzhan1, Irfan Ardiansah2, Totok Pujianto2
1 Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran 1 Departemen Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl.Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor Sumedang, 43563
Email: 1 [email protected]
ABSTRAK
Suatu perusahaan tentu memiliki banyak cara untuk meningkatkan angka produktivitas,
salah satunya dengan cara mengurangi pemborosan yang tidak sengaja dilakukan selama proses
produksi. Pemborosan seperti waktu produksi yang lama, tenaga pekerja yang berlebih, dan
bahan baku yang terbuang selama proses produksi karena penetapan tata letak pabrik tidak
tepat. Masalah serupa terjadi di pabrik beras milik CV Sabar Subur yang berlokasi di
Kabupaten Cirebon. Perpindahan bahan pada pabrik tersebut masih menggunakan tenaga
manual dan pekerja akan lebih mudah kelelahan disebabkan oleh jarak perpindahan bahan yang
jauh antar stasiun kerja dan pola aliran bahan yang tidak teratur, selain itu masih terdapat ruang/
lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk penambahan fasilitas keperluan pendukung
pabrik. Oleh karena itu, diperlukan sebuah perbaikan tata letak yang dapat mengatur lalu lintas
perpindahan bahan dan memperpendek jaraknya pada setiap stasiun kerja, sehingga perusahaan
dapat mengelola sistem produksi secara efisien. Terdapat bermacam metode yang dapat
menjadi dasar pembuatan perbaikan tata letak, seperti ARC (Activity Relationship Chart)/ Peta
Hubungan Kerja, ARD (Activity Relationship Diagram)/ Diagram Hubungan Antar Aktivitas,
dan AAD (Area Allocation Diagram)/ Diagram Alokasi Area. Kombinasi metode ini
memerlukan identifikasi proses produksi pada pabrik tersebut sebagai sumber data, identifikasi
tersebut dapat dilakukan dengan membuat Diagram Alir Proses, Peta Aliran Proses, Peta Proses
Operasi, dan Pola Aliran Bahan. Output dari perbaikan tata letak pabrik beras CV Sabar Subur
ini berupa layout pabrik usulan yang bisa menjadi bahan pertimbangan perusahaan untuk
mengubah sebagian atau keseluruhan tata letak pabrik yang sudah ada saat ini.
Kata Kunci: Tata Letak, ARC, ARD, AAD
320
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Dewasa ini pertumbuhan dunia industri sedang perkembang pesat dan terlihat dari
banyaknya perusahaan-perusahaan baru bermunculan. Menurut Kementerian Perindustrian
(2018), pada triwulan I 2018 pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan (migas dan non-migas)
tercatat sebesar 4,50% tahun ke tahun/ year over year (yoy). Selain permintaan pangan pasar
yang makin meningkat dan beragam, hal-hal tersebut membuat persaingan antara perusahaan
di bidang industri semakin ketat, termasuk perusahaan negara yang bergerak dibidang
pengelola persediaan beras seperti Perum BULOG terhadap perusahaan kecil milik pribadi.
Perolehan pengadaan beras BULOG dalam negeri terbesar diperoleh dari wilayah bagian Utara
provinsi Jawa Barat seperti Cirebon, Indramayu, Karawang, dan Ciamis (Ardiansah dkk,
2017).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon (2014), sektor pertanian
merupakan salah satu sektor penting di wilayah Kabupaten Cirebon. Sektor tersebut
meyumbang sekitar 30% dari Produk Domestik Regional Bruto. Peningkatan produksi
tanaman pangan terutama padi sawah di wilayah Kabupaten Cirebon pada tahun 2014 sebesar
129.889 ton. Oleh karena itu banyak perusahaan kecil dan perusaaan milik negara seperti
BULOG yang bergerak di bidang pengolahan beras saling bersaing di regional Cirebon ini,
salah satu perusahaan kecil tersebut adalah CV Sabar Subur.
CV Sabar Subur merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan beras yang
berlokasi di Desa Bakung Lor, Kabupaten Cirebon. Berbagai strategi perusahaan dapat
dilakukan untuk dapat bersaing dan bertahan. Strategi tersebut seperti minimalisasi biaya,
peningkatan efektivitas penanganan barang (material handling), kecepatan dan ketepatan
proses produksi, dan sebagainya. Bila dilihat, strategi ini merujuk pada satu permasalahan yaitu
tata letak pabrik dari perusahan industri tersebut. Tata letak pabrik (plan lay out) atau tata letak
fasilitas (facilities layout) adalah tata cara pengaturan fasilitas-fasilitas fisik pabrik guna
menunjang kelancaran proses produksi (Hendrarto dkk, 2007).
Perbaikan tata letak fasilitas pabrik beras CV Sabar Subur dengan area lahan seluas ±
1200 m2 yang sesuai dan tertata dapat meningkatkan kinerja dan kenyamanan selama proses
produksi sehingga perusahaan dapat menjadi produsen beras unggul di daerahnya.
321
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu
dikerjakan dengan menekankan pada pengamatan secara nyata agar bisa menarik kesimpulan
berdasarkan pengamatan tersebut. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan studi kasus.
Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks
kehidupan nyata (Yin, 2011). Objek studi kasus dari penelitian ini adalah tata letak yang saat
ini diterapkan di pabrik beras CV Sabar Subur.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data
primer didapatkan melalui observasi dan wawancara langsung dengan pemilik dan pegawai
perusahaan sesuai dengan topik penelitian. Sedangkan data sekunder didapatkan melalui kajian
pustaka tentang topik penelitian dari penelitian terdahulu dan berbagai sumber informasi yang
terkait.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model analisis
data dari berbagai penelitian terdahulu yang pada umumnya menggunakan serangkaian metode
berupa ARC (Activity Relationship Chart)/ Peta Hubungan Kerja, ARD (Activity Relationship
Diagram)/ Diagram Hubungan Antar Aktivitas, dan AAD (Area Allocation Diagram)/
Diagram Alokasi Area.
Identifikasi Proses Produksi
Langkah ini merupakan langkah awal dimana data yang sudah diperoleh dari
pengumpulan data akan diolah sebelum dilakukan analisis data. Identifikasi proses produksi
terdiri dari Diagram Alir Proses, Peta Aliran Proses, Peta Proses Operasi, dan Pola Aliran
Bahan. Namun bila dibandingkan, Pola Aliran Bahan lebih memiliki peran penting dalam
penelitian ini.
Pola Aliran Bahan
Pola aliran bahan merupakan pola aliran yang digunakan oleh perusahaan dalam
manajemen produksi untuk mengatur aliran bahan dalam proses produksinya. Pola ini terdiri
dari pola garis lurus, zig-zag, bentuk U, memutar, dan sudut ganjil.
322
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Pola Aliran Bahan Pabrik Beras CV Sabar Subur Saat Ini
Pola aliran yang terdapat pada pabrik beras CV Sabar Subur mengikuti bentuk bangunan
utama produksi sebagai acuannya, dimana bangunan tersebut memiliki bentuk persegi panjang.
Pola aliran pabrik ini memiliki pola yang tidak beraturan.
Tabel 1. Keterangan Pola Aliran Bahan
No. Lambang Angka Keterangan Proses
1 1 Pengangkutan Bahan Baku dari Area Drop Off
2 2 Persiapan dan Penimbangan
3 3a Penjemuran Gabah
4 3b Penyimpanan Bahan Baku
5 4 Pemecahan Sekam
6 5 Pengayakan
7 6 Penyosohan
8 7 Grading Mutu
9 8 Pengemasan
10 9 Penyimpanan Produk Jadi
11 10 Pengangkutan Produk Jadi ke Area Loading Produk
323
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Serangkaian panah yang mengarah pada lingkaran - lingkaran pada Gambar 1 merupakan
pola aliran bahan dari proses produksi beras. Panah dengan garis putus menunjukkan aliran
sampingan, panah ini menunjukkan pada proses 3b yaitu penyimpanan bahan baku di gudang.
Sebelum masuk ke nomer 3b, terdapat proses 2 yaitu penimbangan. Hasil timbangan yang
berlebih dari rasio bahan baku produksi per hari akan dilanjutkan ke proses 3b dan hasil
timbangan yang sudah memenuhi rasio bahan baku akan dilanjutkan pada aliran utama 3a yaitu
proses pengeringan.
Pertimbangan Luas Area Keperluan Proses
Pabrik beras CV Sabar Subur memiliki bangunan produksi utama dimana bangunan
tersebut berbentuk persegi panjang dan tidak memiliki sekat dinding/ ruang yang dikhususkan
untuk penempatan kegiatan proses tertentu, kecuali untuk ruangan penampungan limbah
serbuk bekatul. Pada bangunan ini hanya terdapat area tiap proses yang ditempatkan dan
mempunyai luas area yang berbeda-beda tergantung pada kegiatan yang berlangsung maupun
dimensi luas mesin.
Tabel 2. Usulan Luas Area/ Ruang Keperluan Proses
No. Nama Area/
Ruang
Dimensi Area/ Ruangan (p x l)
Saat Ini
(m)
Usulan
Berdasarkan
Mesin/ Alat
(m)
Berdasarkan
Ruang Gerak
(m)
Luas Akhir
(m2)
1 Area Drop Off
Bahan Baku (4,2 x 1,6) (5,3 x 2,4) (6,3 x 3,4) 21,42
2 Gudang Bahan
Baku (21,3 x 10) - (22,3 x 11) 245,3
3 Lapang
Pengeringan (25 x 25) - - 625
4
Area
Pemecahan
Sekam
(10 x 3,4) (10,4 x 3,8)
(2 mesin) (4,8 x 11,4) 54,72
5 Area
Pengayakan (1,32 x 0,3) (1,34 x 0,5) (2,34 x 1,5) 3,51
324
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
6 Area
Penyosohan (4 x 1,2) (3,6 x 1,22) (4,6 x 2,22) 10, 21
7 Ruang Limbah
Bekatul (7 x 6,5) - - 45,5
8 Area Grading
Mutu (1,1 x 0,5) (1,5 x 1) (2,5 x 2) 5
9 Area
Pengemasan (2,5 x 1,4) (3,1 x 1,8) - 5,58
10
Area
Penyimpanan
Produk
(6,3 x 15) - - 94,5
11 Area Loading
Produk (5,3 x 2,4) - (6.3 x 3,4) 21,42
Total 1132.16 m2
Penambahan Area/ Ruang Keperluan Pendukung
Jika dilihat dari Tabel 2, dihasilkan usulan luas sebesar 1132.16 m2. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat luas pabrik yang tersisa karena menurut sang pemilik perusahaan luas lahan
pabrik yang terpakai adalah sebesar ± 1200 m2. Sisa luas lahan yang tidak digunakan dapat
menjadi area jalan pekerja dan dapat pula digunakan untuk keperluan pendukung. Usulan untuk
menggunakan area tersisa sebesar ± 67,84 m2 ini adalah untuk digunakan sebagai ruang/ area
keperluan pendukung. Keperluan pendukung ini berpengaruh dalam menjalankan aktivitas
produksi, karena penyediannya dapat mempermudah segala aktivitas sekunder pekerja maupun
dari pihak perusahaan.
Tabel 3. Usulan Penambahan Area/ Ruang Keperluan Pendukung
No.
Usulan
Area/ Ruang Keperluan
Pendukung
Dimensi Area/ Ruang (p x
l) (m)
Luas Area/ Ruang
(m2)
1 Kantor Kecil (5 x 5) 25
2 Penampungan Air Bersih (5 x 3) 15
325
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
3 Power Plant (3 x 3) 9
4 Toilet dan Septic Tank (4,5 x 4) 18
Total 67 m2
Penentuan Activity Relationship Chart (ARC)
Activity Relationship Chart (ARC) atau Peta Hubungan Kerja adalah aktifitas atau
kegiatan antara masing-masing bagian yang menggambarkan penting tidaknya kedekatan
ruangan. Nilai-nilai yang menunjukkan derajat hubungan dicatat sekaligus dengan alasan-
alasan yang mendasarinya dalam sebuah ARC yang telah dikembangkan oleh Richard Muther
pada tahun 1973 (Wignjosoebroto, 2000).
Gambar 2. Activity Relationship Chart Pabrik Beras CV Sabar Subur
Bentuk hubungan dalam ARC terdapat 6 buah dan diwakilkan dengan huruf derajat
prioritas, secara berurutan yaitu mutlak (A), sangat penting (E), penting (I), cukup/ biasa (O),
tidak penting (U), dan tidak dikehendaki (X). Hubungan-hubungan tersebut disusun
membentuk piramid agar mudah dibaca dengan melihat satu elemen dengan elemen lain yang
memiliki titik temu berupa huruf yang sama.
Pembuatan Worksheet
Worksheet dibuat untuk menerangkan hasil Activity Relationship Chart (ARC) dengan
tujuan mempermudah dalam membaca hubungan antar aktivitas. Worksheet terdiri dari baris
326
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dan kolom dan pada bagian sebelah kiri berupa urutan kegiatan/ ruangan sedangkan bagian
kanan ditempatkan tingkat hubungan berdasarkan derajat prioritasnya. Masing-masing
departemen diwakilkan dengan kode huruf.
Tabel 4. Tabel Worksheet
No. Nama Area/
Ruang Kode
Huruf Derajat Prioritas
A E I O U X
1 Area Drop Off
Bahan Baku A B - C -
D,E,F,H,I,J,K,N,
O G,L,M
2 Gudang Bahan
Baku B C - - -
D,E,F,H,I,K,L,M,
N G,J,O
3 Lapang
Pengeringan C D - - E,F,L G,H,I,J,K,M,N O
4 Area Pemecahan
Sekam D E - F,G H,I, J,K,L,M,N O
5 Area Pengayakan E F - G H,I J,K,L,M,N O
6 Area Penyosohan F G - - H,I J,K,L,M,N O
7 Ruang Limbah
Bekatul G - - - O K,N
H,I,J,L,
M
8 Area Grading
Mutu H I - - J K,L,M,N O
9 Area Pengemasan I J K - L M,N O
10
Area
Penyimpanan
Produk
J K - L - M N,O
11 Area Loading
Produk K - - - N M,O L
12 Kantor Kecil L - - - - M,O N
13 Penampungan Air
Bersih M - - - - N,O -
14 Power Plant N - - - - O -
15 Toilet dan Septic
Tank O - - - - - -
327
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kode ruangan/ area yang berada pada warna hijau dinilai dapat berdekatan sesuai urutan
huruf derajat prioritas (A, E, I, dan O) sedangkan warna merah dinilai harus berjauhan satu
sama lain untuk X lalu U. Penilaian ini didasari oleh pembacaan Activity Relationship Chart
(ARC) sebelumnya.
Tabel Skala Prioritas
Tabel Skala Prioritas (TSP) merupakan tabel yang menggambarkan urutan prioritas
untuk yang paling terpenting untuk berdekatan antar departemen dalam suatu lintasan atau
layout pabrik. TSP meringkaskan apa yang sudah disampaikan pada Tabel 4 dalam bentuk
kelompok urutan skala prioritas.
Tabel 5. Tabel Skala Prioritas
No. Nama Area/ Ruang Kode Skala Prioritas
I II III
1 Area Drop Off Bahan Baku A B C -
2 Gudang Bahan Baku B C - -
3 Lapang Pengeringan C D E F
4 Area Pemecahan Sekam D E F G
5 Area Pengayakan E F G H
6 Area Penyosohan F G H I
7 Ruang Limbah Bekatul G O - -
8 Area Grading Mutu H I J -
9 Area Pengemasan I J K L
10 Area Penyimpanan Produk J K L -
11 Area Loading Produk K N - -
12 Kantor Kecil L - - -
13 Penampungan Air Bersih M - - -
14 Power Plant N - - -
15 Toilet dan Septic Tank O - - -
328
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Maksud dari pembagian skala prioritas adalah seperti contoh kode A yang harus
berdekatan dengan B menurut skala I, namun juga berdekatan dengan C menurut skala II, dan
tidak ada pada skala III karena huruf tersebut berada pada derajat kedekatan U maupun X yang
berarti harus dijauhkan. Keharusan ini didasari dengan tingkatan huruf derajat prioritas (A, E,
I, O, U, X) yang sudah diketahui pada Tabel 4.
Penentuan Activity Relationship Diagram (ARD)
Activity Relationship Diagram (ARD) atau Diagram Hubungan Antar Aktivitas
merupakan diagram keterkaitan kegiatan atau hubungan antar aktifitas dibuat menggunakan
informasi dari peta keterkaitan kegiatan yang digunakan menjadi dasar perencanaan
keterkaitan antara pola aliran barang dan lokasi kegiatan pelayanan dihubungkan dengan
kegiatan produksi. Diagram ini merupakan diagram balok yang menunjukkan pendekatan
keterkaitan kegiatan sebagai suatu model kegiatan tunggal (Apple, 1990).
Gambar 3. Activity Relationship Diagram 1
ARD 1 dibuat berdasarkan skala prioritas yang sudah ditetapkan pada TSP sebelumnya,
diwakilkan dengan garis berwarna sebagai gambaran tingkatan kedekatan area dan ruang. Garis
berwarna tersebut menghubungkan tiap elemen dan menggambarkan bagaimana skala prioritas
kedekatan antar elemen. Terdapat 3 macam pengelompokan garis berwarna. 3 garis merah
untuk skala prioritas pertama dan paling diperhatikan, 2 garis kuning untuk skala prioritas
kedua, dan 1 garis hijau untuk skala prioritas ketiga atau terakhir. Diketahui bahwa banyak
329
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
garis yang tergambar melambangkan kedua elemen yang dihubungkan perlu berdekatan dan
dibutuhkan jarak aliran bahan yang kecil/ dekat. Faktor lain yang membuat elemen-elemen
tersebut berskala prioritas pertama karena ruangan/ area termasuk dalam urutan proses
produksi atau digunakan untuk keperluan proses. Rangkaian kelompok 3 garis merah yang
merupakan skala prioritas I membentuk sebuah pola aliran baru yang masih bisa dikembangkan
dan disesuaikan lagi sesuai keadaan fisik pabrik saat ini. Pola aliran tersebut termasuk pola
aliran zig-zag. Namun terdapat jarak yang jauh antara ruang limbah bekatul dengan toilet dan
septic tank. Kedua entitas ini harus berdekatan karena merupakan tempat pembuangan dan
harus dijauhi dari area dan ruang baik itu untuk keperluan proses maupun keperluan
pendukung. Hal ini diperbaiki pada ARD 2.
Gambar 4. Activity Relationship Diagram 2
ARD 2 merupakan perbaikan dari ARD 1 dimana terjadi pertukaran antara letak kantor
kecil dengan toilet dan septic tank. Selain itu garis skala prioritas antara area loading produk
dengan power plant dihapus karena tidak ada hubungan dan seharusnya dijauhkan untuk
menghindari musibah akibat gangguan arus listrik.
Penentuan Area Allocation Diagram (AAD)
Area Allocation Diagram (AAD) atau Diagram Alokasi Area merupakan gambaran
layout secara global yang menggambarkan hubungan kedekatan antar departemen dengan skala
ukuran luas area yang sebenarnya.
330
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 5. Area Allocation Diagram Pabrik
Blok kotak departemen telah disuaikan dengan dimensi ruangan yang diusulkan yang
sudah termasuk kebutuhan luas mesin dan penambahan ruang gerak pekerja. Bila dilihat pada
Gambar 10, blok dibedakan menjadi 2 yaitu yang berwarna putih dan berwarna arsiran hijau.
Blok yang berwarna arsiran hijau menunjukkan bahwa blok tersebut merupakan area yang
tidak memiliki sekat ruang sedangkan yang berwarna putih merupakan suatu ruangan yang
mencakup area tertentu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 6. Layout Pabrik Usulan Perbaikan
331
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pembuatan final layout ini merupakan usulan perbaikan yang juga merupakan rancangan
terakhir dari yang telah didapat berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan. Terdapat ukuran skala dan letaknya menurut proses pengerjaan
yang diperlukan dalam operasi pengerjaan bahan dan juga pertimbangan jalur-jalur alat
pemindahan bahan sehingga aliran dapat bergerak dengan lancar. Letak antara satu daerah kerja
dengan daerah kerja lainnya diberi jarak yang dianggap baik karena alasan tertentu atau adanya
kemungkinan terjadinya perluasan pabrik di masa yang akan datang. Terdapat panah biru yang
menunjukkan pola aliran bahan yang baru dari usulan perbaikan layout pabrik. Bentuk pola
aliran bahan yang baru merupakan campuran dari pola aliran zig-zag dan bentuk L yang juga
sesuai dengan bentuk bangunan utama produksi yang diusulkan serta lebih efisien karena jarak
perpindahan bahan yang pendek.
KESIMPULAN
Tata letak pabrik CV Sabar Subur saat ini masih dapat diperbaiki melihat dari pola aliran
bahan produksi yang kurang beraturan. Perbaikan tata letak membuat pola aliran bahan tersebut
menjadi teratur sehingga jarak perpindahan bahan yang jauh antar stasiun kerja menjadi dekat.
Luas area lahan total CV Sabar Subur sebesar ± 1200 m2 ternyata masih menyisakan lahan ±
67,84 m2 dari luas area keperluan proses yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan area/ ruang
keperluan pendukung yang dapat meningkatkan kenyamanan dan efisiensi kerja produsen
sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Perusahaan bisa mempertimbangkan untuk
mengaplikasikan perbaikan tata letak ini seluruhnya atau sebagian, tergantung kebutuhan
maupun strategi penguatan pada proses produksi tertentu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasi kepada Irfan Ardiansah, S.TP., M.T. dan Ir. Totok Pujianto, MSIE karena
telah bersedia membimbing dengan sabar dan selalu memberi saran yang membangun
mengenai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Apple, James M. 1990. Tata Letak Pabrik Dan Pemindahan Bahan. Edisi III. Bandung: ITB.
Ardiansah, I., Pujianto, T., Putri, G.A. 2017. Analisis Perencanaan Dan Pengendalian
Persediaan Beras Pada Perum Bulog Divisi Regional Jawa Barat. STRING (Satuan
Tulisan Riset Dan Inovasi Teknologi). Vol. 2.
332
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. 2014. Kabupaten Cirebon Dalam Angka. Kabupaten
Cirebon: BPS Kabupaten Cirebon.
Hendrarto, M., Kastaman, R., & Pujianto, T. 2007. Modifikasi Tata Letak Fasilitas Produksi
Jamur Tiram Studi Kasus Pada Petani Jamur Cita Lestari Cisarua Kabupaten Bandung.
Jurnal Teknotan, no. Vol 1, No 3 (2007). Jurnal Teknotan.
Kementerian Perindustrian. 2018. Analisis Perkembangan Industri. Edisi III. Jakarta: Pusdatin
Kemenperin.
Wignjosoebroto, Sritomo. 2000. Tata Letak Dan Pemindahan Bahan. Edisi III. Surabaya:
Guna Widya.
Yin, Robert K. 2011. Studi Kasus: Desain Dan Metode. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
333
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
UJI EFEKTIVITAS ANTIKAPANG EKSTRAK KULIT BUAH KAKAO
(Theobroma Cacao L) TERHADAP KAPANG PATOGEN PRODUK
PANGAN
Reina Rizkiani1, Indira Lanti Kayaputri2*, Zaida2, Debby Sumanti Moody2
1 Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 43563
*Penulis koresponden: [email protected]
ABSTRAK
Kapang merupakan organisme yang sering mengontaminasi bahan pangan yang
menyebabkan keracunan pada manusia sehingga pertumbuhannya perlu dihambat. Berbagai
bahan alami diketahui memiliki komponen fitokimia yang berperan sebagai antimikroba, yaitu
golongan polifenol yang dapat ditemukan pada kulit buah kakao diantaranya komponen fenol,
tanin, dan flavonoid. Kulit buah kakao dilakukan ekstraksi menggunakan metode maserasi
dengan pelarut etanol 70%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak kulit
buah kakao yang paling efektif menghambat kapang patogen pada produk pangan. Kapang
yang digunakan pada penelitian ini adalah kapang yang paling sering mengontaminasi
makanan yaitu kapang Aspergillus niger, Aspergillus flavus, dan Rhizopus stolonifer. Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental yang dianalisis secara
deskriptif. Konsentrasi ekstrak kulit buah kakao yang dibuat untuk menguji antikapang metode
difusi sumuran yaitu 10%; 20%; 30%; 40%; 50%; 60%; dan 70%. Sedangkan untuk pengujian
antikapang metode dilusi cair ekstrak kulit buah kakao yang digunakan yaitu pada konsentrasi
1,56%; 3,125%; 6,25%; 12,5%; 25%; 50%; 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kapang memiliki zona hambat pada metode difusi sumuran A. niger berada dikisaran rata – rata
6,31 – 16,43mm (resisten – sensitif), A. flavus 5,26 – 15,33mm (resisten – sensitif), dan pada
kapang R. stolonifer berada dikisaran 7,61 – 15,55 mm (resisten – sensitif). Hal ini diduga
disebabkan oleh perbedaan dinding sel pada setiap jenis kapang. Selain itu pada pengujian
aktivitas antikapang pada ekstrak kulit buah kakao metode dilusi cair ketiga jenis kapang
tersebut memiliki nilai Kadar Hambat Minimum (KHM) pada kapang A. niger adalah 12,5%,
sedangkan A. flavus, dan R. stolonifer adalah 25% dan untuk nilai Kadar Bunuh Minimum
(KBM) pada kapang A. niger adalah 100% sedangkan A. flavus, dan R. stolonifer adalah 50%.
Kata Kunci: Antikapang, kulit buah kakao, A. flavus, A. niger, R. stolonifer
PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia yang bersifat aman, bergizi, beragam,
serta memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan. Namun masih terdapat berbagai
334
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
ancaman keamanan pangan diantarannya adalah keracunan. Keracunan pangan umumnya
disebabkan oleh mikroorganisme, salah satunya adalah kapang yang menghasilkan mikotoksin.
Kapang yang sering mengontaminasi bahan pangan diantaranya adalah Aspergillus flavus,
Aspergillus niger, dan Rhizopus stolonifer. Kapang patogen pada makanan dapat direduksi dan
dibunuh dengan menggunakan bahan – bahan alami. Berbagai bahan alami diketahui memiliki
komponen fitokimia yang memiliki peran sebagai antimikroba, golongan polifenol dan
alkaloid. Komponen fitokimia tersebut dapat ditemukan pada kulit buah kakao. Kulit buah
kakao diketahui mengandung senyawa polifenol aktif flavonoid atau tanin terkondensasi, asam
sinamat, tanin, pirogalol, epikatekin-3-galat, kuersetin, dan resinol (Fapohunda & Alofayan,
2012). Kandungan polifenol pada kakao berpotensi sebagai antimikroba terhadap beberapa
kapang patogen dengan mekanisme penghambatannya yaitu merusak membran sel dengan cara
mendenaturasi protein pada dinding sel (Hui, 1992).
Maksud dari tujuan ini adalah untuk mengetahui berbagi konsentrasi ekstrak kulit buah
kakao dalam menghambat aktivitas kapang patogen pada produk pangan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi ekstrak kulit buah kakao yang efektif
menghambat aktivitas kapang patogen pada produk pangan. Berdasarkan uraian tersebut, maka
dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut: “Berapakah konsentrasi ekstrak kulit buah
kakao yang efektif untuk menghambat aktivitas kapang patogen pada produk pangan?”
METODE PENELITIAN
Alat
Alat yang digunakan dalam pengujian ini adalah alumunium foil, ayakan 80 mesh,
autoclave, batang pengaduk, beaker glass, bulb pipet, bunsen, botol gelap, tertutup, botol
semprot, cawan petri, clingwrap, grinder, inkubator, jangka sorong, kassa, kapas, kertas saring,
labu didih, labu Erlenmeyer, labu ukur, mikropipet, neraca analitik, pinset, pipet ukur, rak
tabung, refrigerator, spatula, Spektrofotometer UV-Vis, tabung reaksi, waterbath. Sedangkan
alat yang digunakan untuk pengujian antikapang ekstrak kulit buah kakao yaitu adalah kulit
buah kakao segar berwarna kuning kemerahan jenis Forestero yang didapat dari perkebunan
swasta PP Bajabang Indonesia, Cipeundeuy, Jawa Barat, serta pelarut etanol 70% untuk
ekstraksi.
Bahan
335
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Bahan yang digunakan pada proses yaitu media PDA (Potato Dextrose Agar), media
PDB (Potato Dextrose Broth), aquades, NaCl Fisiologis 0,85%, NaCl Fis 0,85%, spirtus,
pereaksi Dragendroff, n-heksana, HCl pekat, Mg, FeCl3 1%, etanol 95%, NaOH 10%, reagen
Folin-Cioucalteu, Na2CO3 15%, metanol, AlCl3 2%, H2SO4 6N, asetik anhidrit (C4H6O3), asam
borat, asam oksalat, eter, K2Cr2O7, kultur murni Aspergillus flavus, Aspergillus niger dan
Rhizopus.
Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Eksperimental (Experimental Method)
yang dianalisis secara deskriptif. Metode eksperimental yang dianalisis secara deskriptif ini
dilakukan untuk mengetahui konsentrasi mana yang efektif untuk menghambat aktivitas
kapang patogen produk pangan. Perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini adalah ekstrak
kulit buah kakao dengan fraksi larut etanol 70% dari berbagai konsentrasi yang dilakukan
pengulangan sebanyak 3 kali. Selanjutnya data yang sudah di dapat akan dihitung standar
deviasinya pada setiap perlakuan. Dengan rumus sebagai berikut;
Perhitungan Standar Deviasi:
S2 = 𝑛 (∑ 𝑋𝑖2)−(∑ 𝑋𝑖)2
𝑁 (𝑛−1)
Keterangan:
S : Standar Deviasi
n : Jumlah sampel yang dianalisis
∑ 𝑋𝑖 ∶ Jumlah pengukuran, ∑ 𝑋𝑖2 ∶ jumlah kuadrat pengukuran.
Pelaksanaan Percobaan
Persiapan bahan dilakukan untuk membuat serbuk kulit buah kakao dengan cara
pengeringan menggunakan oven yang kemudian akan di grinder dan di ayak menggunakan
ayakan 80 Mesh. Selanjutnya dilakukan preparasi kultur cair kapang uji dengan streak kultur
di agar miring PDA (Potato Dextrose Agar) yang diinkubasi selama 72 jam pada suhu ±35 0C.
serbuk kulit buah kakao yang sudah di ayak kemudian dilakukan proses ekstraksi
menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanl 70% selama 24 jam pada suhu ruang.
Setelah proses ekstraksi kemudian ekstrak dilakukan pemekatan menggunakan Rotary
Evaporator pada suhu 40 0C kemudian ekstrak dilakukan pengenceran yang dilakukan untuk
membuat berbagai konsentrasi ekstrak 10%;20%;30%;40%;50%;60; dan 70%.
Pengujian Fitokimia
336
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Ekstrak kulit buah kakao dilakukan pengujian fitokimia untuk mengidentifikasi
komponen bioaktif yang terdapat didalam ekstrak kulit buah kakao yang dapat berperan
sebagai antikapang. Pengujian ini dilakukan secara kualitatif dan kuatitatif. Untuk pengujian
kualitatif dilakukan uji Alkaloid, uji Flavonoid, uji Saponin, dan uji Tanin. Sedangkan untuk
pengujian kuantitatif yaitu pengujian total Fenolik.
Uji Efektivitas Antikapang Ekstrak Kulit Buah Kakao dengan Metode Difusi Sumuran
Pengujian ini dilakukan dengan cara memasukan media PDA kedalam cawan petri steril
kemudian didiamkan hingga agar tersebut memadat, swab kultur cair kapang uji di permukaan
media PDA kemudian dibuat 5 semuran dengan diameter ±7,5mm yaitu sumuran 1 ulangan1,
sumuran 2 ulangan 2, sumuran 3 ulangan 3, sumuran 4 kontrol positif yaitu etanol, dan sumuran
5 kontrol negatif yaitu aquades. Kemudian diinkubasi selama ±35 0C selama ±24 jam kemudian
diamati zona bening. . Zona hambat resisten berada pada diameter 9 mm, zona hambat
intermediet 10-11 mm sedangkan zona hambat sensitif pada diameter 12 mm (Cappuccino dan
Sherman, 2001).
Uji Efektivitas Antikapang Ekstrak Kulit Buah Kakao dengan Metode Dilusi Cair
Pengujian aktivitas antikapang dari ekstrak kulit buah kakao menggunakan metode dilusi
cair. Metode dilusi cair atau broth dilution test ini yang diakukan adalah dengan membuat seri
pengenceran dengan interval pengenceran dua kali. Pengujian ini dilakukan dengan
memasukan media PDB (Potato Dextrose Broth) sebanyak 1 ml ke 7 tabung reaksi, kemudian
penambahan ekstrak pada tabung 1 yang dinamai ekstrak 100%, kemudian dari tabung 1
diambil 1 ml dan dituang pada tabung 2 yang dinamai 50%, dan seterusnya. Kemudian
dilakukan penambahan suspense kapang sebanyak 1 ml kedalam semua tabung reaksi dan
diinkubasi diinkubasi selama ±35 0C selama ±24 jam kemudian diamati tingkat kekeruhannya.
Tabung yang paling jernih merupakan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum). Kemudian
ekstrak didalam tabung reaksi dimasukkan kedalam media agar PDA di swab dan dilihat KBM
nya (Konsentrasi Bunuh Minimum) dengan ditandainya tidak tumbuh kapang pada media
tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Fitokimia Ekstrak Kulit Buah Kakao
Tabel 2. Hasil Pengujian Fitokimia Ekstrak Kulit Buah Kakao
337
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Senyawa Kulit Buah Kakao
Alkaloid +
Flavonoid +
Saponin -
Tanin +
Total Fenol 0,893%/100gram
Keterangan: (+) mengandung senyawa yang di uji; (-) Tidak mengandung senyawa yang diuji
Pengujian fitokimia bertujuan untuk mengidentifikasi komponen bioaktif yang terdapat
dalam esktrak kulit buah kakao yang dapat berperan sebagai antikapang. Pengujian ini
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian kualitatif dengan ditandai perubahan
warna atau terbentuknya endapan, dan secara kuantitatif untuk mengetahui total fenol yang
terdapat di dalam ekstrak kulit buah kakao. Berdasarkan tabel 2, hasil pengujian menunjukkan
ekstrak kulit buah kakao positif mengandung alkaloid, flavonoid, dan tanin, serta negatif
mengandung senyawa saponin. Sedangkan untuk hasil pengujian menunjukkan total fenol yang
terdapat pada ekstrak kulit buah kakao 0,893% dalam 100g.
Hasil Penelitian Antikapang Ekstrak Kulit Buah Kakao Metode Difusi Sumuran
Tabel 3. Data Rata-rata Zona Bening Kapang Menggunakan Metode Difusi Sumuran
A. niger (mm) A. flavus (mm) R. stolonifer (mm)
10% 6.31 ± 0.85 5.26 ± 1.00 7.61± 3.16
20% 7.16 ± 1.32 9.22 ± 2.67 10.81± 0.93
30% 7.37± 2.64 9.57 ± 2.02 11.08 ± 0.90
40% 10.72 ± 2.61 12.78 ± 1.97 11.17 ± 0.09
50% 16.43 ± 0.90 12.86 ± 2.08 11.73 ± 1.14
60% 14.01 ± 3.37 14.86 ± 2.83 15.29 ± 0.97
70% 16.39 ± 1.62 15.33± 1.32 15.55 ± 2.45
(a) (b)
338
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
(c)
Grafik 1. Grafik Daya Hambat Metode Difusi Sumuran pada kapang (a). A. niger (b). A. flavus (c). R. stolonifer
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan daya hambat kulit buah kakao terhadap
pertumbuhan A. niger berada pada kisaran 6,31 – 16.43mm , A. flavus 5,26 – 15,33mm, dan R.
stolonifer 7,61 – 15,55mm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa aktivitas antikapang pada
ekstrak kulit buah kakao berada pada zona resisten sampai sensitif. Berdasarkan grafik 1(a)
menunjukkan penghambatan tertinggi pertumbuhan kapang A. niger pada penggunaaan ektrak
kulit buah kakao berada pada konsentrasi 50%.. sedangkan zona bening terendah pada ekstrak
kulit buah kakao pada konsentrasi 10%. Berdasarkan grafik diatas, konsentrasi ektrak kulit
buah kakao dalam menghambat kapang A. niger mengalami penurunan dari konsentrasi 50%
ke 60%. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena adanya peningkatan permeabilitas yang
menyebabkan nutrisi, enzim, dan protein dalam sel akan keluar. Hal inilah yang dapat
menyebabkan tidak terkontrolnya pertumbuhan kapang (Septiadi, Delianis P, dan Ocky K.R.
2013).
Berdasarkan grafik 1(b & c) diameter zona bening metode difusi sumuran pada kapang
A.flavus dan kapang R.stolonifer menunjukkan pertumbuhan paling baik ada pada konsentrasi
70% sedangkan zona bening terendah pada ekstrak kulit buah kakao pada konsentrasi 10%.
Pada kapang jenis ini zona bening mengalami kenaikan yang signifikan. Semakin besar
konsentrasi semakin besar juga zona bening yang dihasilkan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
pada kapang jenis A. flavus semakin besar konsentrasi ekstrak maka semakin efektif untuk
menghambat kapang jenis A. flavus.
Hasil Penelitian Antikapang Ekstrak Kulit Buah Kakao Metode Dilusi Cair
Tabel 4. Data Kemampuan Penghambatan Kapang Menggunakan Metode Dilusi Cair
KHM KBM
A. niger 12,5% 100%
339
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan hasil data pada tabel 2 menunjukkan aktivitas penghambatan terendah mulai
dari konsentrasi 12,5% untuk A. niger, 25% untuk A. flavus, dan 25% untuk R. stolonifer yang
menunjukkan nilai KHM untuk A. niger berada pada konsentrasi 12,5%, A. flavus dan R.
stolonifer berada pada konsentrasi 25%. Sedangkan nilai KBM pada ketiga jenis kapang
tersebut berada pada konsentrasi ekstrak kulit buah kakao A. niger 100%, A. flavus, dan R.
stolonifer berada di konsentrasi ekstrak kulit buah kakao 50%.
Berdasarkan hasil penelitian, perbedaan daya hambat yang terjadi ini dipengaruhi oleh
dinding sel. Rhizopus stolonifer merupakan spesies kapang divisi Zygomycota, sedangkan
Aspergillus flavus dan Aspergillus niger merupakan spesies kapang divisi Ascomycota.
Klasifikasi kapang mempengaruhi mekanisme penghambatan kapang oleh zat antikapang.
Mekanisme penghambatan kapang yaitu penyerangan terhadap dinding selnya. Komponen
utama penyusun dinding sel kapang adalah kitin. Kitin tersusun pada dinding sel dalam bentuk
ikatan mikrofibril yang dapat memperkuat dan mempertebal dinding sel. Selain kitin, penyusun
dinding sel fungi juga terdiri dari 80-90% polisakarida, protein, lemak, polifosfat, dan ion
anorganik yang dapat mempererat ikatan antar matriks pada dinding sel (Madigan et al. 2012).
Dinding sel fungi juga tersusun oleh fosfolipid bilayer yang mengandung protein globular.
Lapisan tersebut berfungsi sebagai tempat masuknya nutrisi, tempat keluarnya senyawa
metabolit sel, dan sebagai penghalang selektif pada proses translokasi. Komponen lain yang
menyusun dinding sel fungi adalah antigenik glikoprotein dan aglutinan, senyawa melanin
berwarna coklat berfungsi sebagai pigmen hitam. Pigmen tersebut bersifat resisten terhadap
enzim lisis, memberikan kekuatan mekanik dan melindungi sel dari sinar UV, radiasi matahari
dan pengeringan.
Kitin merupakan suatu polisakarida, polimer linier dari N-asetil-glukosamin yang
dihubungkan oleh ikatan β-(1,4)-glukosida. Ikatan tersebut memungkinkan terbentuknya
mikrofibril di dalam sel kapang dan membentuk suatu jaringan di dalam matriks. Komponen
utama dari matriks tersebut adalah polisakarida yang larut dalam air, yaitu glukan dan
glikoprotein. Kemampuan penghambatan yang berbeda pada jenis kapang yang digunakan
dipengaruhi oleh struktur dinding selnya. Menurut Griffin (1981), dinding sel fungi divisi
A. flavus 25% 50%
R. stolonifer 25% 50%
340
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Ascomycota terdiri dari 39% kitin dari berat kering sel, sedangkan divisi Zygomycota terdiri
dari 9% kitin dari berat kering sel. Komposisi kitin pada Aspergillus flavus dan Aspergillus
niger lebih tinggi sehingga zat antikapang lebih sulit untuk menghancurkan kitin. Jika zat yang
mengandung senyawa bioaktif ditambahkan ke dalam media yang berisi kapang, ikatan β-
(1,4)-glukosida akan terserang sehingga komponen mikrofibril seperti glukan dan glikoprotein
akan terlepas dan menyebabkan dinding sel menjadi renggang dan terjadi kebocoran. Hal ini
akan menyebabkan isi sel kapang akan keluar karena terjadi perbedaan tekanan osmotik.
Kebocoran dinding sel menyebabkan pertumbuhan kapang terhambat karena komponen
penyusunnya sudah rusak.
KESIMPULAN
Ekstrak kulit buah kakaoo memiliki komponen aktif fenol, tanin, flavonoid, alkaloid, dan
memiliki total fenol 0,893% dalam 100g. zona penghambatan yang diuji dengan menggunakan
metode difusi sumuran zona bening pada kapang A. niger termasuk kategori yaitu rata-rata
kisaran 6,31 – 16,43 mm (resisten – sensitif), A. flavus 5,26 – 15,33 mm (resisten – sensitif),
dan R. stolonifer kisaran 7,61 – 15,55 mm (resisten – sensitif). Nilai Kadar Bunuh Minimum
(KHM) pada kapang A. niger 12,5% , A. flavus dan R. stolonifer memiliki nilai KHM sebesar
25%. Sedangkan untuk Kadar Bunuh Minimum (KBM) pada kapang A. niger 100%, A. flavus
dan R. stolonifer 50%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada PP Bajabang Indonesia serta Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Cappuccino, J.G. dan Sherman. 2001. Microbiologi: A Laboratory Manual. Sixth Edition.
Benjamin Cummings, San Fransisco
Fapohunda dan Afolayan, 2012, Fermentation of Cocoa Beans and Antimicrobial Potentials of
the pod Husk Phytochemicals, Journal of Physiology and Pharmocology Advances, 2
(3), 158-164.
Griffin, D.H. 1981. Fungal Physiology. New York : John Willey and Sons Publication.
341
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Hui, Y. H.. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. Vol. I. John Wiley & Sons
Inc 10.
Madigan, M.T., J.M. Martinko, D.A. Stahl, and D.P. Clark. 2012. Brock Biology of
Microorganisms. Pearson Education, Inc., San Francisco.
Septiadi, T., Delianis P., dan Ocky K.R. 2013. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antijamur Ekstrak
Teripang Keling (Holoturia atra) dari Pantai Bandengan Jepara Terhadap Jamur
Candida albicans. Journal of Marine Research Vol 2 (2): 76-84.
342
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
KAJIAN KARAKTERISTIK COOKIES SORGUM (Sorghum bicolor L.
Moench) TERSUBSTITUSI KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata L.)
Rifa Nabila1, Endah Wulandari2, Elazmanawati Lembong2
1 Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 43563
Korespondensi : [email protected]
ABSTRAK
Sorgum (Sorgum bicolor (L) Moench.) merupakan bahan pangan lokal yang dapat
digunakan sebagai pengganti terigu dalam pembuatan cookies, namun sorgum memiliki
kandungan tanin yang membuat warna produk menjadi gelap. Pengurangan tanin dalam
sorgum dapat dilakukan dengan perkecambahan. Perkecambahan dan substitusi kacang
tunggak dapat meningkatkan kandungan mineral namun memberikan warna yang lebih gelap.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan imbangan antara tepung sorgum dan tepung
kecambah sorgum dengan tepung kacang tunggak terbaik agar dihasilkan produk cookies yang
sesuai standar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 8 perlakuan yaitu imbangan tepung
sorgum atau tepung kecambah sorgum dengan tepung kacang tunggak (100:0, 90:10, 80:20,
dan 70:30) yang diujikan 2 kali ulangan . Hasil penelitian menunjukkan semua perlakuan
memiliki warna cookies Yellow Red/ kecoklatan dengan nilai Hue berturut-turut 76,68o, 79,01o,
81,92o, 82,44o, 72,99o, 76,39o, 76,71o, 75,90o dan kadar abu 2,39%, 2,56%, 2,65%, 2,83%,
2,50%, 2,62%, 2,72%, 2,88%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa substitusi kacang tunggak
yang semakin banyak memberikan warna cookies yang semakin gelap dan perkecambahan
dapat meningkatkan warna gelap dan kadar abu cookies. Perlakuan terbaik adalah cookies
sorgum tanpa kacang tunggak.
Kata Kunci: Sorgum, Perkecambahan, Kacang Tunggak, Warna, Abu
PENDAHULUAN
Sorgum berpeluang untuk dikembangkan menjadi produk pangan premium dengan
keunggulan tidak memiliki kandungan gluten (gluten free) sehingga sangat sesuai untuk
konsumen dengan gizi khusus (Sungkono dkk., 2009). Namun pemanfaatan tepung sorgum
menjadi berbagai macam produk masih mengalami berbagai macam kendala. Menurut
Hubbard (2009) dikutip Katresna (2017), tepung sorgum yang ditambahkan semakin banyak
akan menghasilkan cookies yang berwarna semakin gelap. Senyawa tanin yang terdapat pada
tepung sorgum memberikan efek warna gelap dan rasa agak sepat pada produk akhir (Suarni,
343
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
2009). Meskipun dengan proses penyosohan kulit sorgum telah dapat menurunkan kadar tanin
yang ada, tetapi masih ada sifat-sifat fungsional lain pada tepung sorgum yang perlu diperbaiki
untuk menghasilkan produk yang baik. Sifat-sifat fungsional tepung ini sangat mempengaruhi
mutu produk-produk yang menggunakan tepung sebagai bahan dasarnya, seperti adonan untuk
pembuatan cookies.
Menurut Narsih dkk. (2008), perkecambahan pada biji sorgum dapat menghasilkan
tepung sorgum dengan kadar tanin dan asam fitat terendah sehingga dapat digunakan untuk
berbagai produk pangan. Menurut Afify et al. (2011), tepung kecambah sorgum yang
dihasilkan dari perkecambahan dapat menghilangkan kandungan phytate pada sorgum dan
meningkatkan kandungan besi dan seng secara sigifikan. Hal yang sama dilaporkan oleh
Correia et al. (2008), bahwa tepung sorgum yang diolah dari kecambah sorgum bebas
kandungan gula. Kacang tunggak dapat digunakan sebagai substitusi dalam pembuatan cookies
karena kacang-kacangan kaya akan asam-asam amino dan protein. Menurut Rosida dkk (2011),
kacang tunggak memiliki kandungan lemak yang relatif lebih rendah sehingga dapat
meminimalisasi efek negatif dari penggunaan produk pangan berlemak, memiliki kandungan
vitamin B1 yang tinggi, dan kaya kandungan asam amino lisin, asam aspartat, dan glutamat.
Perkecambahan dan substitusi kacang tunggak dapat meningkatkan kandungan mineral
namun memberikan warna yang lebih gelap. Menurut Fatkhurahman dkk. (2012), besarnya
kadar abu pada suatu produk pangan bergantung pada besarnya kandungan mineral bahan yang
digunakan dan apabila kadar abu melebihi dari standar mutu yang ada maka akan
mempengaruhi warna cookies yang dihasilkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan imbangan antara tepung sorgum atau tepung
kecambah sorgum dengan tepung kacang tunggak terbaik agar dihasilkan produk cookies yang
sesuai standar.
METODE PENELITIAN
1.1 Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji sorgum (Sorghum bicolor L.
Moench) kultivar lokal Bandung yang diperoleh dari petani di Kabupaten Bandung dan kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.) yang diperoleh dari dari petani di Kota Banjar. Bahan lain yang
digunakan yaitu kuning telur, margarin, gula halus, susu bubuk skim, baking powder, garam,
dan akuades. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung dan cookies yaitu alat
344
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
penyosoh, wadah plastik, ayakan 80 mesh, kain flannel, keranjang, disc mill, plastic sealer,
grinder, cabinet dryer, mixer, oven listrik, loyang, roller, cetakan cookies, neraca analitik, dan
pengaduk. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk keperluan analisa yaitu cawan porselen,
krustang, tanur, desikator, oven, dan spectrophotometer CM-5.
1.2. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Penelitian terdiri dari 8 imbangan pembuatan cookies yang masing-masing kombinasi diulang
sebanyak 2 kali. Rancangan percobaan yang dilakukan, yaitu : A = 100:0 tepung sorgum dan
tepung kacang tunggak.
B = 90:10 tepung sorgum dan tepung kacang tunggak
C = 80:20 tepung sorgum dan tepung kacang tunggak
D = 70:30 tepung sorgum dan tepung kacang tunggak
E = 100:0 tepung kecambah sorgum dan tepung kacang tunggak
F = 90:10 tepung kecambah sorgum dan tepung kacang tunggak
G = 80:20 tepung kecambah sorgum dan tepung kacang tunggak
H = 70:30 tepung kecambah sorgum dan tepung kacang tunggak
1.3. Metode Penelitian
1.3.1. Pembuatan tepung sorgum
Biji sorgum dicuci kemudian direndam sesaat untuk memisahkan biji (biji yang
mengapung tidak digunakan). Biji direndam dalam air selama 2-3 jam (hingga kadar air ± 30%)
kemudian ditiriskan. Setelah itu biji dikeringkan (hingga kadar air ≤12%) dalam cabinet dryer
(suhu 50oC) selama 6 jam. Dilakukan penyosohan biji sorgum selama 10 menit kemudian biji
digiling dengan mesin penepung (disc mill) dengan frekuensi 3 kali selama 15 menit. Tepung
sorgum diayak dengan ayakan 80 mesh kemudian dikemas pada kemasan Metalized Plastic
(Modifikasi Mardawati dkk. (2010); Sukarminah (2014); dan Widawati (2018)).
1.3.2. Pembuatan tepung kecambah sorgum
Biji sorgum dicuci kemudian direndam sesaat untuk memisahkan biji (biji yang
mengapung tidak digunakan). Biji direndam dalam akuades selama 12 jam kemudian
ditiriskan. Biji kemudian disimpan dalam keranjang yang dilapisi dengan kain flanel lembab
selama 24 jam (suhu ruang 25oC dan gelap). Setelah itu kecambah biji dikeringkan dalam
cabinet dryer (suhu 50oC) selama 6 jam. Dilakukan penyosohan kecambah biji sorgum selama
345
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
3 menit kemudian biji digiling dengan mesin penepung (disc mill. Tepung kecambah sorgum
diayak dengan ayakan 80 mesh kemudian dikemas pada kemasan Metalized Plastic
(Modifikasi Narsih et al. (2008); Mardawati dkk. (2010); Sukarminah (2014); dan Widawati
(2018)).
1.3.3. Pembuatan tepung kecambah tunggak
Kacang tunggak dicuci kemudian disortasi untuk memisahkan kacang yang
permukaannya halus dan bersih. Kacang tunggak direndam selama 6 jam dalam air (air:kacang
tunggak = 3:1). Kacang tunggak selanjutnya dioven (suhu 120oC) selam 65 menit kemudian
dilakukan pemisahan kulit ari kacang dengan cara ditampi. Setelah itu kacang digiling dengan
mesin penepung (disc mill). Tepung kacang tunggak diayak dengan ayakan 80 mesh kemudian
dikemas pada kemasan Metalized Plastic (Modifikasi Sa’adah, 2009).
1.3.4. Pembuatan cookies
Pembuatan cookies dilakukan dengan imbangan tepung sorgum dan tepung kacang
tunggak dengan perbandingan 100:0, 90:10, 80:20, 70:30 serta imbangan tepung kecambah
sorgum dan tepung kacang tunggak dengan perbandingan 100:0, 90:10, 80:20, 70:30. Untuk
membuat 200 g adonan cookies, sebanyak 28,57% Margarin, 21,5% gula halus, 0,17% garam,
dan 4,01% kuning telur (Sufmawati, 2015) diaduk dengan mixer selama 5 menit. Tepung
sorgum/tepung kecambah sorgum, tepung kacang tunggak sesuai perlakuan imbangan, 0,17%
baking powder, dan 2,145% susu bubuk skim diaduk kemudian dimasukkan sedikit demi
sedikit ke dalam adonan hingga tercampur rata. Setelah itu, adonan digiling secara perlahan
dengan roller sampai terbentuk lembaran dengan ketebalan 0,5 cm. Adonan dicetak dengan
cetakan cookies kemudian diletakkan dalam loyang yang telah diolesi margarin. Cookies
dipanggang dalam oven (suhu 150oC) selama 17 menit hingga cookies berwarna kuning
kecoklatan (Modifikasi Sutomo (2008) dikutip Mardawati dkk (2010)).
1.4. Pengamatan
Parameter yang diamati pada cookies yaitu, 1) analisis sifat kimia, kadar abu dengan
metode pengeringan (AOAC, 1990), 2) analisis sifat fisik, warna cookies dengan model
CIELAB menggunakan spectrophotometer CM-5 (Yam dan Pandakis, 2004).
1.5. Analisis Data
346
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam. Apabila dari
hasil analisa tersebut terdapat pengaruh yang signifikan, akan dilanjutkan dengan uji Duncan
pada taraf 5% (LSR test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kadar Abu
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa formulasi tepung sorgum atau tepung
kecambah sorgum dengan tepung kacang tunggak memberikan pengaruh berbeda nyata
terhadap kadar abu cookies. Nilai kadar abu cookies dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Imbangan Tepung Sorgum, Tepung Kecambah Sorgum, dan Tepung
Kacang Tunggak Terhadap Kadar Abu Cookies
Perbandingan Tepung Komposit Perlakuan Rata-rata Kadar Abu (%)
Tepung Sorgum : A (100 : 0) 2,39 ± 0,07 f
Tepung Kacang Tunggak B (90 : 10) 2,56 ± 0,05 de
C (80 : 20) 2,65 ± 0,004 cd
D (70 : 30) 2,83 ± 0,06 ab
Tepung Kecambah Sorgum : Tepung E (100 : 0) 2,50 ± 0,02 ef
Kacang Tunggak F (90 : 10) 2,62 ± 0,05 cd
G (80 : 20) 2,72 ± 0,04 bc
(70 : 30) 2,88 ± 0,07 a
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang berbeda menyatakan berbeda
nyata pada taraf uji 5% menurut uji Duncan.
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa nilai kadar abu cookies berkisar antara
2,395– 2,88 %. Kadar abu dari cookies yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar SNI (01-
2973-1992). Menurut Badan Standarisasi Nasional (1992), kadar abu maksimal pada produk
cookies yaitu sebesar 1,5%. Namun menurut Passos et al. (2013), kandungan abu beberapa
cookies dan crackers komersial berkisar antara 0,5 – 4,3 %.
Kadar abu merupakan parameter untuk menunjukkan nilai kandungan bahan anorganik
(mineral) yang ada di dalam suatu bahan atau produk. Semakin tinggi nilai kadar abu maka
semakin banyak kandungan bahan anorganik di dalam produk tersebut. Komponen bahan
anorganik di dalam suatu bahan sangat bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Kandungan
347
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
bahan anorganik yang terdapat di dalam suatu bahan di antaranya kalsium, kalium, fosfor, besi,
magnesium, dan lain-lain (Sudarmadji dkk, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa kadar abu cookies yang dibuat dari
tepung kecambah sorgum substitusi kacang tunggak (2,50% – 2,88%) lebih tinggi
dibandingkan cookies yang dibuat dari tepung sorgum substitusi kacang tunggak (2,39% –
2,83%). Hal ini menunjukkan bahwa perkecambahan dapat meningkatkan kadar abu sehingga
kadar mineral dalam cookies menjadi lebih tinggi.
Peningkatan kadar mineral terjadi seiring dengan peningkatan aktivitas enzim fitase
selama perkecambahan yang menyebabkan hidrolisis ikatan antara protein-enzim mineral
menjadi bebas sehingga meningkatkan ketersediaan mineral (Inyang & Zakari, 2008 dikutip
Dewi dkk, 2018). Menurut Ikujenlola & Fashakin, (2005) dikutip Dewi dkk (2018), kadar
mineral meningkat pesat pada tepung beras, kacang tunggak, dan jagung yang berkecambah,
seperti kalsium, potassium, phosphor, besi, seng, dan sodium.
Peningkatan kadar abu selain karena perkecambahan juga terjadi karena adanya
substitusi kacang tunggak. Tabel 14 menunjukkan bahwa semakin banyak substitusi kacang
tunggak maka kadar abu menjadi semakin tinggi. Menurut Satya et al. (2010), kacang-
kacangan merupakan sumber mineral seperti K, Ca, Mg, Cu, Fe, Zn. Kandungan mineral yang
terdapat pada kacang tunggak antara lain: sodium 23 mg/100 g, kalsium 80,3 mg/100 g,
magnesium 250,2 mg/100 g, seng 3,77 mg/100 g, mangan 1,28 mg/100 gram, tembaga 0,94
mg/100gram, dan besi 7,54 gram per 100 gram (Matthews, 1989 dikutip Sa’adah, 2009).
Sedangkan kandungan mineral yang terdapat pada sorgum antara lain adalah : fosfor 287
mg/100 g, kalsium 28 mg/100 g, dan besi 4,4 mg/100 g (Beti et al., 1990 dikutip Suarni, 2012).
3. Warna CIE-Lab
Skala warna CIE-Lab merupakan sebuah perkiraan skala keseragaman warna. Sumbu L*
mulai dari atas ke bawah, parameter L* menunjukkan tingkat kecerahan dengan skala 0
(gelap atau hitam) sampai 100 (cerah atau terang). Sumbu a* dan b* tidak memiliki nilai batas
yang spesifik. Bila nilai a* positif berarti merah dan bila negatif adalah hijau, sedangkan untuk
b* bila positif berarti kuning dan bila negatif adalah biru (Hermawan et al., 2010).
348
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan imbangan tepung sorgum atau
tepung kecambah sorgum dengan tepung kacang tunggak memberikan pengaruh berbeda nyata
terhadap nilai L*, a*, dan b* cookies. Nilai L*, a*, dan b* cookies dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Imbangan Tepung Sorgum, Tepung Kecambah Sorgum, dan Tepung
Kacang Tunggak Terhadap Warna CIE-Lab Cookies
Perbandingan Perlakuan Rata-rata Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai
Tepung Komposit Nilai L* a* b*
Tepung Sorgum : A (100 : 0) 68,31 ± 0,22 a 6,93 ± 0,36 bc 29,29 ± 0,24 f
Tepung Kacang
B (90 : 10) 67,51 ± 0,21 a 6,95 ± 0,18 bc 35,78 ± 0,63 d
Tunggak
C (80 : 20) 68,21 ± 1,51 a 5,51 ± 1,55 c 38,84 ± 0,41 c
D (70 : 30) 68,10 ± 0,44 a 5,61 ± 0,15 c 42,27 ± 0,52 a
Tepung Kecambah E (100 : 0) 62,96 ± 0,30 b 10,18 ± 0,07 a 33,26 ± 0,10 e
Sorgum : Tepung
F (90 : 10) 64,37 ± 0,14 b 8,63 ± 0,04 ab 35,64 ± 0,79 d
Kacang Tunggak
G (80 : 20) 63,94 ± 1,20 b 9,10 ± 0,92 a 38,55 ± 0,42 c
H (70 : 30) 62,61 ± 0,39 b 10,15 ± 0,18 a 40,37 ± 0,15 b
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada
taraf uji 5% menurut uji Duncan.
Nilai warna L*cookies dapat dipengaruhi oleh komponen penyusun cookies, suhu, dan
waktu pemanggangan. Penelitian Sufmawati (2017) menggunakan suhu dan waktu
pemanggangan yang sama untuk setiap perlakuan sehingga kemungkinan perbedaan nilai
kecerahan cookies disebabkan karena komponen penyusun cookies. Salah satu komponen yang
mempengaruhi adalah jenis tepung. Proporsi dan jenis tepung yang berbeda akan menghasilkan
tingkat kecerahan cookies yang berbeda pula. Berikut ini perbandingan warna cookies sorgum
yang dihasilkan:
349
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Perbandingan Warna Cookies Sorgum
(Dokumentasi Pribadi, 2019)
Penelitian ini menggunakan tiga jenis tepung yang berbeda. Berdasarkan data di Tabel
19, dapat diketahui nilai L* cookies dari tepung sorgum substitusi kacang tunggak (67,51 –
68,31) lebih tinggi dibandingan dengan cookies dari tepung kecambah sorgum substitusi
kacang tunggak (62,61 – 64,37). Hal ini menunjukkan bahwa cookies dari tepung sorgum
menghasilkan warna yang lebih cerah. Perbedaan dalam penambahan kacang tunggak pada
cookies menghasilkan nilai L* yang fluktuatif. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan aliran
panas yang terjadi pada proses pemanggangan.
Cookies dari tepung kecambah sorgum substitusi kacang tunggak memiliki kecerahan
yang lebih rendah karena perkecambahan dapat mengubah komponen bahan dalam produk.
Berdasarkan hasil analisis kadar abu di penelitian ini menunjukkan bahwa perkecambahan
dapat meningkatkan kadar abu. Menurut Wadlihah (2010), kadar abu menunjukkan kandungan
mineral pada bahan pangan. Keberadaan mineral ini yang diduga sebagai salah satu pemicu
timbulnya warna gelap pada cookies. Menurut Saroyo (2013), semakin tinggi kadar abu pada
cookies menyebabkan warna cookies yang dihasilkan menjadi semakin gelap. Hal ini yang
membuat cookies dari tepung kecambah sorgum menjadi lebih gelap.
Pada satuan warna a*, yaitu nilai warna kemerahan menunjukkan cookies yang berasal
dari tepung kecambah sorgum substitusi kacang tunggak (10,18 – 8,63) menghasilkan nilai a*
yang lebih besar dibandingkan dengan cookies dari tepung sorgum substitusi kacang tunggak
(5,51 – 6,93). Hasil ini menunjukkan bahwa perkecambahan dapat meningkatkan nilai a* pada
cookies.
Menurut Che et al. (2016), sorgum memiliki pigmen karotenoid berupa beta karoten 1,2
mg/100 gram. Menurut Dutta (2005) dikutip Kusbandari dan Hari (2017), beta karoten
350
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
merupakan pigmen organik berwarna kuning, oranye, atau merah oranye yang dapat terjadi
secara alamiah dalam tumbuhan yang berfotosintesis, ganggang, beberapa jenis jamur, dan
bakteri.
Perkecambahan dapat meningkatkan kadar beta karoten. Lama perkecambahan
menunjukkan peningkatan kadar bata karoten setiap harinya dan mencapai kadar tertinggi pada
lama 3 hari perkecambahan, karena tingkat hidrolisis zat gizi cadangan dalam biji terjadi lebih
banyak dibandingkan dengan 1 hari dan 2 hari perkecambahan (Sukatiningsih dkk., 2009). Hal
ini yang dapat membuat cookies dari tepung kecambah sorgum memiliki nilai a* yang lebih
tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian nilai b* di tabel 19, cookies yang diolah tanpa kacang
tunggak memiliki nilai b* yang rendah. Semakin banyak penambahan tepung kacang tunggak
maka nilai b* dari produk semakin meningkat sehingga semakin berwarna kuning. Kacang
tunggak memiliki kandungan pigmen karotenoid seperti sorgum. Menurut Matthews (1989)
dikutip Sa’adah (2009), beta karoten dalam kacang tunggak sebesar 28 mg per 100 gram.
Cookies yang berasal dari tepung kecambah sorgum menghasilkan nilai b* yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cookies dari tepung sorgum. Menurut penelitian Sukatiningsih dkk.
(2009), menunjukkan perkecambahan dapat meningkatkan kadar beta karoten.
Perbandingan nilai a* dan b* selanjutnya dikonversikan kedalam nilai Hue untuk
mengetahui intensitas warna cookies yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui
bahwa semua perlakuan memiliki nilai Hue 72,99o – 82,44o sehingga termasuk ke dalam daerah
kisaran warna Yellow Red (YR).
Tabel 3. Nilai Hue dan Daerah Kisaran Warna Cookies
Perbandingan Tepung Perlakuan Nilai Hue Daerah Kisaran Warna
Komposit
Tepung Sorgum : A (100 : 0) 76,68 Yellow Red (YR)
Tepung Kacang Tunggak
B (90 : 10) 79,01 Yellow Red (YR)
C (80 : 20) 81,92 Yellow Red (YR)
D (70 : 30) 82,44 Yellow Red (YR)
Tepung Kecambah Sorgum : E (100 : 0) 72,99 Yellow Red (YR)
351
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tepung Kacang Tunggak
F (90 : 10) 76,39 Yellow Red (YR)
G (80 : 20) 76,71 Yellow Red (YR)
H (70 : 30) 75,90 Yellow Red (YR)
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2019)
Menurut Ghifary (2012), warna kemerahan dan kekuningan memberikan kesan berwarna
kecoklatan yang berasal dari pigmen melanoidin sebagai hasil reaksi Maillard. Hal ini
didukung
dengan pendapat Avianty dkk. (2013), yang menyatakan bahwa warna kecokelatan dapat
dihasilkan oleh reaksi Maillard yang terjadi antara asam amino dengan gugus gula pereduksi.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi kacang tunggak yang semakin banyak
memberikan warna cookies yang semakin gelap. Perkecambahan dapat meningkatkan warna
gelap dan kadar abu cookies. Perlakuan terbaik adalah cookies sorgum sorgum tanpa kacang
tunggak.
DAFTAR PUSTAKA
Afify, A. E. M. M. R., H. S. El-Beltagi, S.M.A. El-Salam, dan A.A. Omran. 2011.
Bioavailability of iron, zinc, phytate and phytase activity during soaking and germination
of white sorghum varieties. PLoS ONE, 6(10), pp. 1–7.
AOAC. 1990. Official Methods of Analisis. Association of Official Analitycal Analytical
Chemists, Washington DC USA.
Avianty S, Ayustaningwarno F. Kandungan Zat Gizi dan Tingkat Kesukaan Snack Bar Ubi
Jalar Kedelai Hitam Sebagai Alternatif Makanan Selingan Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2. Journal of Nutrition College. 2013;4(2):622-629
Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI 2973:1992). Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Correia, I., A. Nunes, A.S. Barros, and I. Delgadillo. 2008. Protein Profile and Malt Activity
During Sorghum Germination. Journal of Science of Food and Agriculture, 88(2), pp.
2598–2605.
352
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Dewi, I.G.A.A.S.P., Ekawati, I.G.A., dan Pratiwi, I.D.P.K. 2018 .Pengaruh Lama
Perkecambahan Millet (Panicum milliaceum) terhadap Karakteristik Flakes. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Pangan. 7(4): 175-183.
Fatkurahman, R., W. Atmaka dan Basito. 2012. Karakteristik sensoris dan sifat fisikokimia
cookies dengan substitusi bekatul beras hitam (Oryza sativa L.) dan tepung jagung (Zea
mays L.). Jurnal Teknosains Pangan. 1 (1): 49-57
Ghifary, A. 2012. Pengaruh Imbangan Tepung Sorgum dan Tapioka Terhadap Karakteristik
dan Rendemen Muffin Sorgum. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Hermawan, R., Hayati, E.L., dan Budi, U.S. 2010. Effect of Temperature , Ph on Total
Concentration and Color Stability of Anthocyanins Compound Extract Roselle Calyx (
Hibiscus Sabdariffa L.) Alchemy, 2(1), pp. 104–115.
Katresna, N. P. 2017. Pengaruh Substitusi Tepung Modifikasi Sorgum (Shorgum bicolor L.)
dan Terigu dengan Penambahan Bekatul Beras (Oryzae sativa L.) terhadap Karakteristik
Cookies [Skripsi].Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung.
Kusbandari dan Hari. 2017. Kandungan Beta Karoten dan Aktivitas Penangkapan Radikal
Bebas terhadap DPPH Ekstrak Buah Blewah (1,1-difenil 2-pikrilhidrazil) Ekstrak Buah
Blewah (Cucumis melo var. Cantalupensis L) secara Spektrofotometri UV-Visibel.
Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas. 14(1), pp 37-42.
Mardawati, E, E. Sukarminah, T.Mutiara, C. Tjahjadi, dan R. Indiarto. 2010. Pengolahan Biji
Sorgum Menjadi Aneka Produk Pangan. Pustaka Gratuna, Bandung.
Narsih, Yunianta dan Harijono. 2008. Studi Lama Perendaman dan Lama Perkecambahan
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) untuk Menghasilkan Tepung Rendah Tanin dan
Fitat. Jurnal Teknologi Pertanian, 9(3), pp. 173–180.
Passos, M.E.A, Moreira, C.F.F, Pacheco, M.T.B, Takase, I., Lopes M.L.M, Velente Mesquita,
V.L. 2013. Proximate and Mineral Composition of Industrilized Biscuits. Food Science
and Technology, Campinas, Brazil. 33 (2):323-331.
Rosida, F. D., Qomariah, H. dan Murtiningsih 2011. Kajian Dampak Substitusi Kacang Tolo
Pada Kualitas Fisik Dan Sifat Kimia Tahu, Jurnal Teknologi Pangan.
Sa’adah, F. 2009. Pembuatan Cookies Campuran tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata
L. Walp.) dan Tepung Beras Sebagai Pangan Tambahan Bagi Ibu Hamil [Skripsi].
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saroyo. 2013. Kajian Penggunaan Tepung Garut (Maranta Arundinacea L.) sebagai Substitusi
Tepung Terigu yang Difortifikasi dengan Bekatul Beras Merah dalam Pembuatan
Cookies [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Satya, S., Geetanjali Kaushik, S. N. Naik. 2010. Processing of food legumes: a boon to human
nutrition.Mediterr J Nutr Metab (2010) 3:183–195.
353
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Suarni. 2009. Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung untuk Kue Kering (Cookies). Litbang
Pertanian, 28(274), pp. 63–71.
Suarni. 2012. Potensi Sorgum sebagai Bahan Pangan Fungsional. Iptek Tanaman Pangan, 7(1),
pp. 58– 66.
Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Liberty :Yogyakarta.
Sufmawati, F. 2015 Pengaruh Imbangan Tepung Komposit terhadap Beberapa Karakteristik
Cookies Sorgum [Skripsi]. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas
Padjadjaran, Jatinangor Sumedang.
Sukatiningsih., A.M Yustian., dan Widiati. 2009. Penambahan Isolat Protein Kedelai dan
Sukrosa sebagai Elisator terhadap Senyawa Antioksidan dan Racun pada Kecambah
Koro Kratok (Phaseolus lunatus (L) Sweet). Agritop Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 1-7.
Sukarminah, E. 2014. Kajian Sifat Biji Sorgum Putih Varietas Lokal Bandung serta Pengaruh
Kadar Air setelah Conditioning dan Lama Penyosohan Abrasif terhadap Hasil Beras
Sorgum [Disertasi]. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sungkono, Trikoesoemaningtyas, D. Wirsnas, D. Sopandie, S. Human, dan M.A. Yudiarto.
2009. Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Galur Mutan Sorgum (Sorghum bicolor
(L.) Moench) di Tanah Masam. Jurnal Agronomi Indonesia, 37(3), pp. 220–225.
Wadlihah, F. 2010. Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Tepung Biji Nangka terhadap
Komposisi Proksimat dan Sifat Sensorik Kue Bolu Kukus. [Skipsi] Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Widawati, R.G. 2018. Pengaruh Substitusi Kacang Tunggak (Vigna unguiculata L.) terhadap
Daya Cerna Protein Nasi Sorgum Merah Secara In Vitro. Fakultas Teknologi Industri
Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung.
Yam, K. L. dan S. E. Papadakis. 2004. A Simple Digital Imaging Method forMeasuring and
Analyzing Color of Food Surfaces. Journal Food Engineering.61 : 137-142.
354
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGARUH DAYA HAMBAT MINYAK ESENSIAL KAYU MANIS
TERHADAP KAPANG PERUSAK PADA KUE BROWNIES KUKUS
Riska Oktafiani1, Tri Yuliana2, Gemilang Lara Utama2
1Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
2Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kue brownies kukus merupakan jenis kue cokelat yang bertahan hingga 4 hari dalam
suhu ruang. Kue ini memiliki umur simpan yang singkat karena adanya kontaminasi oleh
kapang perusak sehingga perlu ditambahkan minyak esensial kayu manis (Cinnamomum
verum) untuk menghambat pertumbuhan kapang tersebut. Sinamaldehid merupakan komponen
utama minyak esensial kayu manis yang berfungsi untuk menghambat spora kapang, dimana
kandungannya sebesar 80%. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui konsentrasi minyak
esensial kayu manis yang tepat untuk menghambat kapang perusak pada kue brownies kukus.
Bahan utama yang digunakan adalah minyak esensial kayu manis C. verum serta kultur
Penicillium sp. dan Aspergillus flavus yang diperoleh dari isolasi kapang pada kue brownies
kukus. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan 2 kali ulangan serta 5
perlakuan konsentrasi minyak esensial kayu manis 0 µL/mL, 50 µL/mL, 100 µL/mL, 150
µL/mL, dan 200 µL/mL. Pengujian aktivitas antifungi minyak esensial kayu manis dilakukan
dengan metode difusi agar. Berdasarkan hasil analisis, minyak esensial kayu manis pada
konsentrasi 200 µL/mL memiliki aktivitas antifungi paling besar terhadap Penicillium sp. dan
A. flavus, dimana masing – masingnya menghasilkan diameter zona hambat sebesar 66,18 mm
dan 33,00 mm. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi minyak esensial
kayu manis, maka semakin tinggi pula daya hambat terhadap kapang perusak dan berpotensi
sebagai bahan pengawet alami untuk kue brownies kukus.
Kata Kunci: Minyak esensial kayu manis, kapang perusak, kue brownies kukus
355
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Kue brownies kukus merupakan jenis kue cokelat yang banyak diminati oleh semua
orang dari berbagai kalangan. Namun, kue ini hanya bertahan hingga 4 hari dalam suhu ruang
karena adanya kontaminasi oleh kapang perusak. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
kapang yaitu berasal dari alat dan proses pengolahan, pengukusan, pengemasan, hingga kondisi
penyimpanan yang kurang baik (Karolak et al., 2014; Melini dan Melini, 2018). Selain itu,
bahan baku yang digunakan, oksigen yang tercukupi, dan terbukanya wadah penyimpanan
makanan mempengaruhi pertumbuhan kapang (Small Plant News, 2012). Kue yang memiliki
kelembaban sedang hingga tinggi serta pH 4,00 – 6,00 sering ditumbuhi oleh kapang perusak
(Hozova et al., 2002 dikutip Tarar et al., 2010). Kue kukus biasanya sering ditumbuhi oleh
kapang Aspergillus sp. dan Penicillium sp. (Ju et al., 2018).
Dampak yang ditimbulkan terhadap kontaminasi kapang perusak pada kue brownies
kukus yaitu dapat membahayakan kesehatan karena kapang menghasilkan racun mikotoksin
(Ju et al., 2018). Mikotoksin sangat stabil terhadap suhu tinggi dan hanya sel vegetatif yang
rusak selama pemanasan. Mikotoksin bersifat karsinogenik yang dapat merusak ginjal
(Karolak et al., 2014). Aspergillus sp. dan Penicillium sp. mampu memproduksi racun
mikotoksin (Frazier dan Westhoff, 2003 dikutip Pundir dan Jain, 2011). A. flavus salah satunya
ditemukan dalam produk bakery yang menghasilkan aflatoksin AFB1 dan AFB2, sehingga
bersifat sangat toksik, mutagenik, dan karsinogenik (Hassane et al., 2017).
Minyak esensial kayu manis merupakan alternatif yang digunakan untuk menghambat
pertumbuan kapang perusak pada kue brownies kukus. Jenis minyak esensial kayu manis yang
digunakan adalah C. verum karena dapat menghambat kapang Aspergillus sp. (terutama A.
flavus), juga mampu menghambat Penicillium sp. dan Mucor sp. (Sousa et al., 2011 dan
Lakshmeesha et al., 2014). Sinamaldehid merupakan komponen utama yang terkandung pada
minyak esensial kayu manis C. verum dan berfungsi untuk menghambat pertumbuhan spora
kapang, dimana kandungannya mencapai 80% (Sachdeva et al., 2017). Komponen bioaktif
lainnya terdiri dari linalool (4,08%), cinnamaldehyde para-methoxy (2,66%), eugenol (2,37%),
dan trans-caryophyllene (2,05%) (Vazirian et al., 2015). Sinamaldehid dan eugenol bertindak
sebagai aktivitas antifungi paling baik untuk menghambat mikroorganisme pembusuk
makanan seperti kapang (Manosi et al., 2013).
356
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Berdasarkan penelitian Ju et al., (2018) membuktikan bahwa minyak esensial kayu manis
dalam konsentrasi 50 μL/mL, 100 μL/mL, 150 μL/mL, dan 200 μL/mL dapat menghambat
pertumbuhan Penicillium sp. dan Aspergillus sp. yang diisolasi dari produk bakery. Minyak
esensial kayu manis memiliki aktivitas antifungi paling kuat terhadap Penicillium sp. yang
menghasilkan diameter zona hambat sebesar 53,60 mm – 68,00 mm. Selain itu, Aspergillus sp.
dapat dihambat dengan kuat oleh minyak esensial kayu manis dan menghasilkan diameter zona
hambat sebesar 30,10 mm – 41,70 mm. Menurut penelitian Shirukar dan Wahegaonkar (2012)
juga menyatakan bahwa minyak esensial kayu manis dapat menghambat pertumbuhan A. flavus
yang diisolasi dari biji jagung dengan diameter zona hambat sebesar 39 mm.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui konsentrasi minyak esensial kayu manis yang
tepat untuk menghambat pertumbuhan kapang perusak yang diisolasi dari kue brownies kukus.
Aktivitas antifungi minyak esensial kayu manis dilihat berdasarkan diameter zona hambat,
sehingga hasilnya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam aplikasi kue brownies
kukus sebagai pengawet alami.
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu minyak esensial kayu manis C.
verum diperoleh dari toko minyak esensial food grade di Jakarta. Selain itu, kultur Penicillium
sp. dan A. flavus diambil dari hasil isolasi kapang pada kue brownies kukus. Kue brownies
kukus sendiri diperoleh dari toko kue di Jatinangor. Bahan yang digunakan untuk analisis
diantaranya yaitu PDA (Potato Dextrose Agar) untuk menumbuhkan kultur kapang, NaCl
0,85%, akuades, kertas saring, vaselin, larutan McFarland 0,5, kertas cakram (paper disc), dan
gliserol berfungsi sebagai pengencer minyak esensial kayu manis.
Alat
Alat yang digunakan terdiri dari autoklaf, batang pengaduk, bulb pipet, cawan petri,
cover glass, erlenmeyer, gelas kimia, gelas objek, inkubator, jarum ose, kuvet, mikropipet dan
tip, mikroskop, neraca analitik, oven, pembakar bunsen, pinset, pipet ukur, rak tabung reaksi,
spatula, tabung ependorf, tabung reaksi, UV-Spektrofotometer, dan vortex.
Metode
357
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk mengetahui konsentrasi minyak
esensial kayu manis yang tepat berdasarkan diameter zona hambat. Percobaan ini terdiri dari 2
kali ulangan serta 5 perlakuan konsentrasi minyak esensial kayu manis 0 µL/mL, 50 µL/mL,
100 µL/mL, 150 µL/mL, dan 200 µL/mL.
Isolasi, Pemurnian, dan Identifikasi Kapang (Modifikasi Chaudhari et al., 2017)
Isolasi kapang diawali dengan penyimpanan kue brownies kukus selama 6 hari atau
hingga ditumbuhi oleh miselium kapang di bagian permukaannya pada suhu ruang.
Selanjutnya, sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam 9 mL NaCl 0,85% steril dan
dikocok menggunakan vortex hingga homogen. Sebanyak 1 mL supernatan dari hasil
pengocokan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL NaCl 0,85% steril
untuk dilakukan pengenceran hingga 10-4. Selanjutnya, sebanyak 100 µL hasil pengenceran 10-
3 dan 10-4 dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan diinokulasikan dengan media PDA.
Masing – masing cawan petri dihomogenisasi membentuk angka 8. Cawan petri tersebut
selanjutnya diinkubasi pada suhu 25 oC atau suhu ruang selama 5 hari hingga terbentuk isolat
kapang. Isolat kapang kemudian di inokulasikan dalam media PDA miring yang telah
membeku secara zig – zag untuk menghasilkan kultur murni Penicillium sp. maupun A. flavus,
setelah itu diinkubasi pada suhu 25 oC atau suhu ruang selama 5 hari sehingga dihasilkan kultur
murni Penicillium sp. dan A. flavus. Masing – masing kultur murni digunakan untuk
identifikasi kapang dan pengujian aktivitas antifungi. Identifikasi kapang dilakukan dengan
metode moist chamber, dimana masing – masing kultur murni diamati dalam mikroskop
dengan perbesaran 100x dan 1000x.
Persiapan Kultur Cair Kapang Uji (Modifikasi Arullappan et al., 2014)
Persiapan kultur cair kapang uji diawali dengan menginokulasikan kultur murni
Penicillium sp. maupun A. flavus dengan media PDA miring yang telah membeku secara zig –
zag menggunakan jarum ose. Inokulat kemudian di inkubasi pada suhu 25 oC atau suhu ruang
selama 5 hari. Selanjutnya, sebanyak 9 mL NaCl 0,85% steril dimasukkan ke dalam inokulat
dan sesekali dikocok, sehingga kekeruhan tampak pada kultur cair tersebut. Kultur cair
Penicillium sp. maupun A. flavus kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan bantuan
UV-Spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm serta dicocokan dengan standar Mc.
358
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Farland 0,5 hingga dihasilkan absorbansi 0,12 – 0,15. Sehingga diperoleh jumlah koloni
kapang pada kultur cair kapang uji sebanyak 1 x 106 CFU/mL.
Pengujian Aktivitas Antifungi Metode Difusi Agar (Modifikasi Ju et al., 2018)
Pengujian aktivitas antifungi dilakukan dengan cara menginokulasikan 100 µL kultur
cair kapang uji dengan ± 15 mL media PDA ke dalam cawan petri. Inokulat tersebut
dihomogenisasi membentuk angka 8. Selanjutnya, kertas cakram (paper disc) diletakkan pada
bagian tengah permukaan agar dengan bantuan pinset steril. Setelah itu, sebanyak 10 µL
minyak esensial kayu manis C. verum dituangkan ke dalam kertas cakram dengan konsentrasi
0 µL/mL, 50 µL/mL, 100 µL/mL, 150 µL/mL, dan 200 µL/mL, dimana masing – masing
konsentrasi diencerkan ke dalam 1 mL gliserol. Selanjutnya, cawan petri di inkubasi pada suhu
28 oC selama 4 – 5 hari dan diameter zona hambat diukur dalam satuan milimeter (mm).
Sehingga diperoleh zona hambat kapang Penicillium sp. dan A. flavus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kapang
Identifikasi kapang bertujuan untuk mengetahui karakteristik Penicillium sp. dan A.
flavus yang diisolasi dari kue brownies kukus secara makroskopis dan mikroskopis.
Berdasarkan karakteristik makroskopis, Penicillium sp. yang tumbuh dalam media PDA dari
kenampakan depan memiliki konidia berwarna hijau gelap di bagian tengah dan dikelilingi
oleh miselium berwarna putih, sementara dilihat dari belakang konidia berwarna orange (lihat
gambar 1). Berdasarkan karakteristik mikroskopis menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 1000 kali, Penicillium sp. memiliki konidiofora bercabang, rantai konidia seperti
sikat, serta konidia tampak tipis dan halus. Diduga jenis Penicillium sp. yang tumbuh dalam
media agar PDA adalah P. chrysogenum (Bandh et al., 2011 dan Ravimannan et al., 2016).
359
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Karakteristik makroskopis dan mikroskopis Penicillium sp. dalam media PDA
Karakteristik A. flavus secara makroskopis yaitu konidia berwarna kuning atau hijau
cerah dan terdapat serabut putih di bagian luar permukaan. Isolat A. flavus awalnya
menghasilkan miselium berwarna putih. Setelah tiga hari tumbuh dalam media PDA, warna
isolat tersebut berubah menjadi kuning dan hijau cerah hingga hijau tua yang mendominasi
penampilan koloni (Gautam dan Bhadauria, 2012 dan Thathana et al., 2017). Sementara
karakteristik A. flavus secara mikroskopis dilihat dari mikroskop dengan perbesaran 100 kali
adalah memiliki konidiofora berdinding tebal, tidak berwarna, kasar, dan panjangnya kurang
dari 1 mm. Vesikel mengalami pemanjangan, kemudian berbentuk bulat dengan diameter 10 –
65 µm. Konidia yang berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 3,5 – 4,5 mm (Hedayati et al.,
2007). Karakteristik A. flavus dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini :
Gambar 2. Karakteristik makroskopis dan mikroskopis A. flavus dalam media PDA
Pengaruh Minyak Esensial Kayu Manis terhadap Penicillium sp.
360
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Minyak esensial kayu manis dalam konsentrasi 0 µL/mL tidak menunjukkan adanya
aktivitas antifungi. Sementara itu, minyak esensial kayu manis dalam konsentrasi 50 µL/mL,
100 µL/mL, 150 µL/mL, dan 200 µL/mL menghasilkan diameter zona hambat sekitar 33,12
mm – 66,18 mm yang lebih kuat untuk menghambat pertumbuhan Penicillium sp. Konsentrasi
200 µL/mL memiliki aktivitas antifungi paling kuat dari konsentrasi lainnya (lihat gambar 3).
Semakin tinggi konsentrasi minyak esensial, maka zona hambat yang dihasilkan semakin tinggi
pula (Celikel dan Kavas, 2008). Ukuran zona hambat antifungi dipengaruhi oleh media kultur,
sensitivitas senyawa antifungi, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar. Kecepatan difusi
agar juga dipengaruhi oleh konsentrasi mikroorganisme, suhu dan waktu inkubasi, dan
komposisi media yang digunakan (Ponce et al., 2008 dikutip Utami dkk., 2017).
Gambar 3. Pengaruh minyak esensial kayu manis terhadap Penicillium sp. metode difusi agar
Minyak esensial kayu manis dari konsentrasi tertinggi ke terendah berturut – turut untuk
menghambat Penicillium sp. adalah 200 µL/mL, 150 µL/mL, 50 µL/mL, 100 µL/mL, dan 0
µL/mL. Sinamaldehid yang terkandung dalam minyak esensial kayu manis merupakan
komponen utama yang bertanggung jawab terhadap kerusakan membran sel dan integritas
dinding sel dalam kapang. Komponen minor seperti limonene (2%), eugenyl acetate (0,6%),
linalool (3,9%), dan benzyl benzoate (0,6%) juga memberikan aktivitas antifungi minyak
esensial kayu manis terhadap kapang. Komponen – komponen ini dapat mempengaruhi
fluiditas dan permeabilitas yang menyebabkan sel kapang mati (Shahina et al., 2018).
Mekanisme kerja minyak esensial sebagai antifungi adalah membentuk pori – pori pada
membran sel dan menyebabkan membran bocor, selanjutnya struktur dan sintesis dinding sel
361
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
ikut terganggu. Sinamaldehid merupakan golongan aldehid yang berfungsi untuk menurunkan
jumlah ergosterol dengan cara meningkatkan konsentrasi antifungi (Rahemi et al., 2015).
Tepung terigu merupakan bahan baku utama dalam pembuatan kue brownies kukus yang
mengandung karbohidrat cukup tinggi sehingga digunakan sebagai sumber karbon dan energi
untuk pertumbuhan kapang, khususnya Penicillium sp. (Hamad et al., 2014). Selain itu, karbon
digunakan oleh Penicillium sp. untuk mengeluarkan hasil metabolit sekunder berupa penisilin
(Dayalan et al., 2011).
Pengaruh Minyak Esensial Kayu Manis terhadap A. flavus
Rata – rata zona hambat dari aktivitas antifungi minyak esensial kayu manis terhadap A.
flavus yaitu 11,79 mm – 33,00 mm. Minyak esensial kayu manis dalam konsentrasi 0 µL/mL
tidak menunjukkan adanya aktivitas antifungi karena hanya gliserol yang ditambahkan dalam
konsentrasi tersebut. Konsentrasi 50 µL/mL menunjukkan aktivitas antifungi yang sedang.
Sementara itu, konsentrasi 100 µL/mL, 150 µL/mL, dan 200 µL/mL menunjukkan aktivitas
antifungi yang kuat. Konsentrasi 200 µL/mL memiliki aktivitas antifungi paling kuat dengan
zona hambat sebesar 33,00 mm (lihat gambar 4). Minyak esensial dalam konsentrasi rendah
hanya merangsang pertumbuhan kapang dan produksi racun, tanpa menghambatnya
(Thanaboripat et al., 2007). Sementara konsentrasi tinggi memberikan efek antimikroba atau
antifungi yang tinggi sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan
baik (Kalemba dan Kunicka, 2003 dikutip Mohamed et al., 2016). Diameter zona hambat
kurang dari 7 mm tidak memiliki aktivitas antifungi, diameter zona hambat 7 – 10 mm memiliki
aktivitas antifungi yang lemah, diameter zona hambat 10 – 16 mm memiliki aktivitas antifungi
yang sedang, dan diameter zona hambat lebih dari 16 mm memiliki aktivitas antifungi yang
kuat (Monks et al., 2002 dikutip Mahmoud, 2012).
362
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 4. Pengaruh Minyak Esensial Kayu Manis Terhadap A. Flavus Metode Difusi Agar
Minyak esensial kayu manis dari konsentrasi tertinggi hingga terendah berturut – turut
untuk menghambat pertumbuhan kapang A. flavus yaitu 200 µL/mL, 150 µL/mL, 100 µL/mL,
50 µL/mL, dan 0 µL/mL. Secara umum, komponen aktif yang terkandung dalam minyak
esensial kayu manis terdiri dari cinnamaldehyde, camphor, cinnamyl-acetate, caryophllene,
trans α-bergamotene, caryophillene oxide, linalool, geraniol, bornyl acetate, α-cubebene, α-
copane, guaiol, eugenol, dan lain – lain (Preedy, 2016). Komponen – komponen tersebut
mampu menginduksi hifa dan membentuk massa sel yang tidak beraturan, sehingga mampu
menghambat pertumbuhan kapang atau jamur. Minyak esensial kayu manis dapat menghambat
pembentukan konidia. Sinamaldehid yang terkandung dalam minyak esensial kayu manis dapat
mempengaruhi aktivitas anzimatis dan meningkatkan aktivitas anti-aflatoksisitas dengan cara
mengurangi hingga menutup aktivitas biosintesis enzim. Selain itu, minyak esensial kayu
manis mampu menurunkan efek patogenitas dari aflatoksin dengan cara mengurangi ikatan
DNA atau bereaksi dengan spesies oksigen reaktif (ROS) yang diproduksi oleh aflatoksin
(Muhammad dan Dewettinck, 2017).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak esensial kayu manis dalam konsentrasi 200
µL/mL memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan Penicillium sp. dan A. flavus.
Selain itu, Penicillium sp. memiliki aktivitas antifungi lebih besar dibandingkan dengan A.
flavus, dimana Penicillium sp. menghasilkan diameter zona hambat sebesar 66,18 mm dan A.
flavus sebesar 33,00 mm. Hal ini karena beberapa Penicillium sp. mampu menghasilkan
363
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
metabolit sekunder berupa penisilin yang digunakan sebagai antibiotik, contohnya P.
chrysogenum dan P. notatum (Gharaei-Fathabad et al., 2014). Kombinasi antara minyak
esensial dan antibiotik mampu meningkatkan kerja antimikroba untuk melawan berbagai
mikroorganisme (Yap et al., 2014 dikutip Rai et al., 2017). Berdasarkan hasil penelitian
Shirukar dan Wahegaonkar (2012) bahwa minyak esensial kayu manis dapat menghambat
pertumbuhan Penicillium sp. dengan diameter zona hambat sebesar 44 mm dan A. flavus
sebesar 39 mm, artinya daya hambat Penicillium sp. lebih besar dibandingkan dengan A. flavus.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah minyak esensial kayu manis dalam konsentrasi 200
µL/mL memiliki aktivitas antifungi paling kuat untuk menghambat pertumbuhan Penicillium
sp. dan A. flavus, dimana diameter zona hambat Penicillium sp. sebesar 66,18 mm dan A. flavus
sebesar 33,00 mm. Minyak esensial kayu manis dalam konsentrasi tinggi dapat digunakan
sebagai pengawet alami untuk kue brownies kukus.
DAFTAR PUSTAKA
Arullappan, S., P. Rajamanickam., N. Thevar. and C.C. Kodimani. 2014. Original Research
Article : In Vitro Screening of Cytotoxic, Antimicrobial and Antioxidant Activities of
Clinacanthus nutans (Acanthaceae) leaf extracts. Tropical Journal of Pharmaceutical
Research 13(9) : 1455 – 1461.
Bandh, S.A., A.N. Kamili. and B.A. Ganai. 2011. Identification of some Penicillium species
by traditional approach of morphological observation and culture. African Journal of
Microbiology Research Vol. 5(21) : 3493 – 3496.
Celikel, N. and G. Kavas. 2008. Antimicrobial Properties of Some Essential Oils against Some
Pathogenic Microorganisms. Czech Journal of Food Sciences 26(3) : 174 – 181.
Chaudhari, S.N., S.B. Palve., K.R. Choudhari., D.H. Pawar. and S.S. Gaikwad. 2017. Original
Research Article: Microbial Analysis of Ragi Cake Base Stored at Room Temperature
without Added Chemical Preservative. International Journal of Current Microbiology
and Appliede Sciences 6(12) : 3519 – 3525.
Dayalan, S.A.J., P. Darwin. and S. Prakash. 2011. Comparative study on production,
purification of penicillin by Penicillium chrysogenum isolated from soil and citrus
samples. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine doi:10.1016/S2221-
1691(11)60061-0.
364
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gautam, A.K. and R. Bhadauria. 2012. Characterization of Aspergillus species associated with
commercially stored triphala powder. African Journal of Biotechnology 11(104) : 16814
– 16823.
Gharaei-Fathabad, E., M.A. Tajick-Ghanbary. and N. Shahrokhi. 2014. Antimicrobial
Properties of Penicillium Spesies Isolated fromAgricultural Soils of Northern Iran.
Research Journal of Toxins 6(1) : 1 – 7.
Hamad, H.O., M.H. Alma., H.M. Ismael. and A. Goceri. 2014. Research Article: The Effect of
Some Sugars on the Growth of Aspergillus niger. KSU Doga Bil Derd 17(4) : 7 – 11.
Hassane, A.M.A., A.A. El-Shanawany., N.F. Abo-Dahab., A.M. Abdel-Hadi., U.M. Abdul-
Raouf. and M. Mwanza. 2017. Influence of Different Moisture Contents and
Temperature on Growth and Production of Aflatoxin B1 by a Toxigenic Aspergillus
flavus Isolate in Wheat Flour. Journal of Ecology of Health & Environment : An
International Journal 5(3) : 77 – 83.
Hedayati, M.T., A.C. Pasqualotto., P.A. Warn., P. Bowyer. and D.W. Denning. 2007.
Aspergillus flavus: human pathogen, allergen and mycotoxin producer. Microbiology
153 : 1677 – 1692.
Ju, J., X. Xu.,Y. Xie., Y. Guo., Y. Cheng., H. Qian. and W. Yao. 2018. Inhibitory Effect of
Cinnamon and Clove Essential Oil on Mold Growth on Baked Foods. Food Chemistry
240 : 850 – 855.
Karolak, I.K., J.R. Kaczmarek. and L. Krala. 2014. Factors Influencing Quality and Shelf Life
of Baking Products. Journal on Processing and Energy in Agriculture 8(1) : 1 – 7.
Lakshmeesha, T.R., M.K. Sateesh., S. Vedashree. and M.S. Sofi. 2014. Research Article :
Antifungal activity of Cinnamomum verum on Soybean seed-borne Aspergillus flavus.
International Journal of Advanced Research 2(5) : 1169 – 1172.
Mahmoud, S.N. 2012. Antifungal Activity of Cinnamomum zeylanicum and Eucalyptus
microtheca Crude Extract Against Food Spoilage Fungi. Euphrates Journal of
Agriculture Science 4(3) : 26 – 39.
Manosi, D., M. Suvra., M. Budhimanta. and H. Jayram. 2013. Ethnobotany, Phytochemical
and Pharmacological Aspects of Cinnamomum zeylanicum Blume. International
Research Journal of Pharmacy 4(4) : 58 – 63.
Melini, V. and F. Melini. 2018. Review : Strategies to Extend Bread and GF Bread Shelf-Life:
From Sourdough to Antimicrobial Active Packaging and Nanotechnology. Journal
Fermentation MDPI 4(9) : 1 – 18.
Mohamed, H.G., A.M. Gaafar. and A.S. Soliman. 2016. Research Article : Antimicrobial
Activities of Essential Oil of Eight Plant Species from Different Families Against some
Pathogenic Microorganisms. Research Journal of Microbiology. 11(1) : 28 – 34.
365
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Muhammad, D.R.A. and K. Dewettinck. 2017. Cinnamon and its derivatives as potential
ingredient in functional food—A review. International Journal of Food Properties 20(52)
: 52237 – 52263.
Preedy, V.R. 2016. Essential Oils in Food Preservation, Flavor and Safety. Elsevier Inc.USA.
Pundir, R.K. and P. Jain. 2011. Qualitative and quantitative analysis of microflora of Indian
bakery products. Journal of Agricultural Technology 7(3) : 751 – 762.
Rahemi, D., N. Babaee., S. Kazemi., S.A.A. Sefidgar. and A.A. Moghadamnia. 2015. An In
Vitro Study of the Effect of Cinnamaldehyde on the Growth of Candida albicans
Compared to Nystatin and Fluconazole. Crescent Journal of Medical and Biological
Sciences 2(3) : 76 – 80.
Rai, M., P. Paralikar., P. Jogee., G. Agarkar., A.P. Ingle., M. Derita. and S. Zacchino. 2017.
Review article : Synergistic antimicrobial potential of essential oils in combination with
nanoparticles: Emerging trends and future perspectives. International Journal of
Pharmaceutics 519 : 67 – 78.
Ravimannan, N., P. Sevvel. and S. Saarutharshan. 2016. Study on fungi associated with
spoilage of bread. International Journal of Advanced Research in Biological Sciences
3(4) : 165 – 167.
Sachdeva, A., S. Vashist., R. Chopra. and D. Putri. 2017. Antimicrobial activity of active
packaging film to prevent bread spoilage. International Journal of Food Science and
Nutrition 2(4) : 29 – 37.
Shahina, Z., A.M. El-Ganiny., J. Minion., M. Whiteway., T. Sultana. and T.E.S. Dahms. 2018.
Cinnamomum zeylanicum bark essential oil induces cell wall remodelling and spindle
defects in Candida albicans. Fungal Biology and Biotechnology 5(3) : 1 – 16.
Shirukar, D.D. and N.K. Wahegaonkar. 2012. Antifungal activity of selected plant derived oils
and some fungicides against seed borne fungi of maize. Pelagia Research Library 2(5) :
1693 – 1696.
Small Plant News. 2012. Introduction to the Microbiology of Food Processing. Unites States
Department of Agriculture Food Safety and Inspection Service. Available at:
www.fsis.usda.gov (Diakses pada 19 Oktober 2018).
Sousa, P.R.D., F.D.O. Pereira., R.D.S. Lima. and E.D.O. Lima. 2011. Full Length Research
Paper : Antifungal action of Cinnamomum zeylanicum Blume essential oil against
Penicillium spp from environment air of a dry food industry. International Research
Journal of Microbiology 2(5) : 173 – 178.
Tarar, O.M., S. Rehman., G. Mueen-Ud-Din. and M.A. Murtaza. 2010. Studies on the shelf life
of bread using acidulants and their salts. Turkish Journal of Biology 34 : 133-138.
366
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Thanaboripat, D., Y. Suvathi., P. Srilohasin., S. Sripakdee., O. Patthanawanitchai. and S.
Charoensettasilp. 2007. Inhibitory Effect of Essential Oil on the Growth of Aspergillus
flavus. King Mongkut’s Institute of Technology Ladkrabang Science Technology
Journal 7(1) : 1 – 7.
Thathana, M. G., H. Murage., A.L.K. Abia. and M. Pillay. 2017. Morphological
Characterization and Determination of Aflatoxin-Production Potentials of Aspergillus
flavus Isolated from Maize and Soil in Kenya. Journal Agriculture MDPI 7(80) : 1 – 14.
Utami, R., L.U. Khasanah., K.K. Yuniter., dan G.J. Manuhara. 2017. Pengaruh Oleoresin Daun
Kayu Manis (Cinnamomum burmanii) Dua Tahap terhadap Karakteristik Edible Film
Tapioka. Journal of Sustainable Agriculture. 32(1) : 55 – 67.
Vazirian, M., S. Alehabib., H. Jamalifar., M.R. Fazeli., A.N. Toosi. and M. Khanavi. 2015.
Original Article : Antimicrobial effect of cinnamon (Cinnamomum verum J. Presl) bark
essential oil in cream-filled cakes and pastries. Research Journal of Pharmacognosy 2(4)
: 11 – 16.
367
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
ANALISIS ENERGI PADA PROSES PENGOLAHAN TEH HIJAU DI
PUSAT PENELITIAN TEH DAN KINA GAMBUNG
1)Shida Habsari. 2)Wahyu Kristian Sugandi. 3)Kralawi Sita
1)Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas, Universitas Padjadjaran
2)Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor Sumedang 43563 3)Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung
Desa Mekarsari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung
Email : [email protected]
ABSTRAK
Analisis energi merupakan suatu usaha untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh
mengenai situasi pemakaian energi dari suatu sistem atau fasilitas yang mengkonsumsi energi.
Analisis energi pada proses pengolahan teh hijau di Pabrik Teh Hijau Pusat Penelitian Teh dan
Kina (PPTK) Gambung dilakukan untuk memberikan informasi dan identifikasi penggunaan
energi sehingga dapat ditingkatkan efisiensi penggunaan energi. Analisis energi dihitung
berdasarkan penggunaan energi pada setiap tahapan proses pengolahan teh hijau dimulai dari
proses pelayuan hingga pengepakan. Tahapan proses pengolahan teh hijau yang menggunakan
bahan bakar sebagai energi langsung yaitu pelayuan, pengeringan I, dan pengeringan II.
Metode penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan mengukur dan menghitung penggunaan
energi untuk setiap proses pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses
pengolahan teh hijau untuk satu ton pucuk teh memerlukan energi langsung bahan bakar
sebesar 14.969,196 MJ/ton. Penggunaan energi langsung bahan bakar terbesar yaitu pada
proses pengeringan II sebesar 9.215,47 MJ/ton atau 61,56% dari total energi langsung bahan
bakar.
Kata kunci: analisis energi, pengolahan teh, teh hijau, penghematan energ
368
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENDAHULUAN
Energi merupakan kemampuan untuk melakukan usaha dan menjadi unsur utama yang
bekerja sebagai penggerak aktivitas kehidupan manusia, industri dan perekonomian suatu
negara. Pertumbuhan perekonomian dunia dan adanya negara-negara industri baru dan sedang
berkembang menyebabkan permintaan terhadap energi global meningkat (Setiawan, 2010).
Indonesia sendiri masih menjadi negara terbesar dalam kebutuhan energi di Asia Tenggara
yakni mencapai 44% dari total kebutuhan energi di kawasan Asia Tenggara yang kemudian
disusul oleh Malaysia 23% dan Thailand 20% (Biantoro, 2017). Kontribusi energi fosil
terutama dalam pemenuhan konsumsi di dalam negeri masih tinggi yaitu sebesar 96% (minyak
bumi 48%, gas 18% dan batubara 30%) dari total konsumsi energi (Dewan Energi Nasional,
2014).
Sektor industri sendiri diperkirakan akan tetap mendominasi pertumbuhan permintaan
energi fosil dengan kenaikan 2,7% per tahun hingga 2035 mendatang (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, 2006). Peningkatan penggunaan energi di sektor industri dalam 10
tahun terakhir terjadi karena proses transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke
sektor industri. Peningkatan kebutuhan energi jika tidak diikuti dengan pemilihan jenis bahan
bakar yang berkarbon rendah, penggunaan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan akan
berdampak pada tingginya laju pertumbuhan emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran
sumber energi.
Perkebunan teh merupakan salah satu subsektor pertanian yang memiliki peranan penting
dalam menghasilkan komoditas ekspor di Indonesia. Menurut International Tea Committee
(2017), Indonesia merupakan negara produsen teh yang berada pada urutan ke tujuh di dunia
setelah China, India, Kenya, Srilanka, Turkey, dan Vietnam. Pada tahun 2016 total produksi
teh Indonesia mencapai 125 ribu ton dari total produksi teh dunia. Teh (Camiellia sinensis L.)
merupakan tanaman yang memiliki beragam manfaat, diantaranya adalah sebagai bahan
minuman penyegar, bahan industri, farmasi dan kosmetik. Produk teh di Indonesia terdiri atas
tiga macam yaitu, teh hitam, teh oolong, dan teh hijau. Menurut Rohdiana (2015), teh hijau
merupakan teh yang memiliki potensi khasiat kesehatan yang paling baik.
Menurut Badan Pusat Statistik (2017), sekitar 70,54% pengolahan teh hijau dilakukan di
Jawa Barat. Salah satu tempat pengolahan teh hijau adalah di Pusat Penelitian Teh dan Kina
(PPTK) Gambung yang memiliki Pabrik Teh Hijau di Pasir Jambu, Jawa Barat. PPTK
Gambung merupakan Pusat Unggulan Iptek (PUI) yang berada dibawah pengawasan
369
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Produksi teh hijau di
Pabrik Teh Hijau PPTK Gambung menggunakan metode panning dengan tahapan pengolahan
dimulai dari pelayuan, pendinginan, penggulungan, pengeringan, dan pengepakan (Santoso,
2008). Pengolahan teh hijau tersebut melibatkan pekerja serta penggunaan alat dan mesin baru
yang belum dianalisis efisiensi energinya.
Konsumsi energi pada proses pengolahan teh hijau di Pabrik Teh Hijau PPTK Gambung
saat ini belum diketahui berapa jumlah energi yang dibutuhkannya. Penelitian ini bertujuan
untuk melakukan identifikasi penggunaan energi pada proses pengolahan teh hijau serta
menganalisis penggunaan energinya.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2019 sampai dengan Mei 2019
bertempat di Pabrik Teh Hijau Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Pasir Jambu,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu alat tulis, kalkulator, laptop, moisture analyser, pita ukur,
smartphone, software microsoft excel 2013, stopwatch, termometer infrared, timbangan
digital. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder pada proses
pengolahan teh hijau.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif yaitu metode pemilihan yang menghimpun data, menyusun secara sistematis,
kemudian melukiskan variabel demi variabel, satu per satu (Hasan, 2002).
Tahapan Penelitian
Tahapan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
370
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 1. Tahapan Penelitian
Konversi Data
Perhitungan energi langsung bahan bakar dalam penelitian ini dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
ELT =(KL x CL x Rd)
𝐶𝐻 .......…………………(1)
Keterangan:
ELT = Energi terpakai bahan bakar proses produksi (MJ/ton)
KL = Konsumsi bahan bakar (kg/jam)
CL = Nilai unit energi bahan bakar (MJ/kg)
Rd = Rendemen hasil kegiatan yang berlangsung (%)
CH = Kapasitas lapangan efektif alsin (ton/jam)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen Proses Pengolahan Teh Hijau
Proses produksi pertanian tidak pernah lepas dari rendemen. Pengolahan merupakan
salah satu bagian dari proses produksi pertanian. Pada proses pengolahan komoditas teh,
terutama pada komoditas teh hijau nilai rendemen dapat dihitung dengan membandingkan
massa hasil proses pengolahan (teh hijau kering) dengan massa hasil panen (bahan baku pucuk
Mulai
Penentuan Jumlah Sample
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisis Data
Selesai
Penarikan Kesimpulan
Konversi Data
371
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
basah) sebelum masuk kedalam proses pengolahan. Nilai rendemen yang dihitung merupakan
nilai rendemen rata-rata dari 7 kali pengolahan. Massa bahan baku pucuk basah sebelum proses
pengolahan adalah 14,579 ton, proses pengolahan menghasilkan massa teh hijau kering
sebanyak 3,308 ton sehingga rendemen pada proses pengolahan teh hijau sebesar 22,7%.
Perhitungan rendemen proses pengolahan teh hijau diperoleh dengan membandingkan
massa teh setelah proses (output) dengan massa teh sebelum masuk proses yang dilakukan
(input). Perhitungan rendemen ini dilakukan untuk setiap proses pengolahan pascapanen teh
hijau, sehingga terdapat rendemen pelayuan, rendemen pendinginan, rendemen penggulungan,
rendemen pengeringan I, rendemen pengeringan II, dan rendeman pengepakan. Nilai rendemen
proses yang dihitung merupakan nilai rendemen rata-rata dari 7 kali pengolahan. Rendemen
tiap proses pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 5. Rendemen Tiap Proses Pengolahan Pascapanen Teh Hijau
Proses Input Output
Rendemen (ton) (ton)
Pelayuan 14,578 10,251 70,32%
Pendinginan 10,251 9,987 97,42%
Penggulungan 9,987 9,788 98,01%
Pengeringan I 9,788 8,348 85,29%
Pengeringan II 8,348 3,308 39,63%
Pengepakan 3,308 3,308 100%
Total 22,7%
Proses yang memiliki rendemen paling banyak dari proses lainnya yaitu proses pelayuan
dengan rendemen sebesar 70,32%, proses pengeringan pertama dengan rendemen sebesar
85,29%, dan proses pengeringan kedua dengan rendemen 39,63%. Hal tersebut dikarenakan
terjadinya pengurangan kadar air pada teh yang signifikan pada ketiga proses tersebut.
Pengurangan kadar air pada proses pelayuan dikarenakan selama proses pelayuan berlangsung,
di dalam rotary panner terjadi proses penguapan air pada permakaan daun teh maupun air yang
terkandung pada teh, yang kemudian akan dibuang melalui fan. Pengeringan teh hijau
umumnya dilakukan dalam 2 tahap pengeringan, dimana kadar air pada teh akan berkurang
pada setiap tahapan pengeringan karena proses ini memerlukan suhu panas. Pada proses
pengeringan pertama terjadi pengurangan kadar air dari 46,5% menjadi 37,1%. Pengeringan
372
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
kedua pengurangan kadar air cukup signifikan karna membuat pucuk teh menjadi bubuk teh
dengan rata-rata kadar air 4,7% dimana proses ini memerlukan suhu panas. Rendemen pada
proses pendinginan 97,42% dan rendemen penggulungan 98,01% nilai tersebut tidak terlalu
signifikan. Pengurangan massa output proses dianggap karena terdapat pucuk layu yang
tercecer pada proses tersebut.
Penggunaan Energi Bahan Bakar Pada Proses Pengolahan Teh Hijau
Perhitungan penggunaan energi pada proses pengolahan teh hijau di Pabrik Teh Hijau
PPTK Gambung terdiri dari 6 kegiatan. Kegiatan atau proses yang dilakukan meliputi proses
pelayuan, pendinginan, penggulungan, pengeringan I, pengeringan II, dan pengepakan. Dari
beberapa kegiatan atau proses pengolahan tersebut, tiap kegiatan dilakukan perhitungan
penggunaan energi bahan bakarnya, dimana jenis bahan bakar yang digunakan pada proses
pengolahan teh hijau di PPTK Gambung adalah wood pellet dan LPG.
1) Penggunaan Energi Bahan Bakar pada Proses Pelayuan
Tahap pertama pada proses pengolahan teh hijau di Pabrik Teh Hijau PPTK Gambung
adalah proses pelayuan pucuk teh. Proses pelayuan pucuk teh dilakukan menggunakan mesin
Rotary Panner. Proses pelayuan ini rata-rata menghabiskan 2175 kg wood pellet per
pengolahan. Mesin Rotary Panner ini rata-rata mengonsumsi energi sebesar 3886,266 MJ/ton
pucuk teh.
2) Penggunaan Energi Bahan Bakar pada Proses Pendinginan
Proses pendinginan pucuk teh dilakukan menggunakan mesin Cooling Machine. Pada
proses pendinginan pucuk teh tidak ada penggunaan energi bahan bakar. Karena tidak ada
mesin yang menggunakan bahan bakar pada proses ini.
3) Penggunaan Energi Bahan Bakar pada Proses Penggulungan
Proses penggulungan pucuk teh dilakukan menggunakan mesin Roller. Pada proses
penggulungan pucuk teh tidak ada penggunaan energi bahan bakar. Karena tidak ada mesin
yang menggunakan bahan bakar pada proses ini.
4) Penggunaan Energi Bahan Bakar pada Proses Pengeringan I
Proses pengeringan I pucuk teh dilakukan menggunakan berbagai jenis mesin. Proses
pengeringan I rata-rata menghabiskan 395 kg LPG per pengolahan. Mesin ECP rata-rata
mengonsumsi energi sebesar 1867,46 MJ/ton teh.
5) Penggunaan Energi Bahan Bakar pada Proses Pengeringan II
373
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Proses pengeringan II pucuk teh dilakukan menggunakan berbagai jenis mesin. Proses
pengeringan II rata-rata menghabiskan 592 kg LPG per pengolahan. Mesin- mesin pada proses
pengeringan II ini rata-rata mengonsumsi energi sebesar 9215,469 MJ/ton pucuk teh.
Tabel 6. Penggunaan Energi Bahan Bakar Pada Proses Pengolahan Teh Hijau
Proses KL
Konsumsi
bahan
bakar
(kg/jam)
CL
Nilai unit
energi
bahan
bakar
(MJ/kg)
Rd
Rendemen
hasil
kegiatan
(%)
CH
Kapasitas
lapangan
efektif
alsin
(ton/jam)
ELT
Energi
terpakai
bahan
bakar
(MJ/ton)
Persentase
%
Pelayuan 164,840 18,42* 70,32 1,1029 3886,266 25,962
Pendinginan 0 0 97,42 0,6729 0 0
Penggulungan 0 0 98,01 0,6547 0 0
Pengeringan I 26,48 26,10* 85,29 0,6417 1867,46 12,473
Pengeringan
II
493,214 26,10*
39,63
0,8345 8959,484 61,563
98,643 2,0871 255,985
Pengepakan 0 0 100 0,827 0 0
*(Sumber: Cervinca (1980) dalam Indrayana, 2001)
6) Penggunaan Energi Bahan Bakar pada Proses Pengepakan
Proses pengepakan pucuk teh dilakukan menggunakan berbagai jenis mesin sehingga
ada proses ini tidak ada penggunaan energi bahan bakar. Penggunaan energi bahan bakar tiap
proses pengolahan dapat dilihat pada Tabel 2, dan persentase penggunaannya dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Persentase Penggunaan Energi Bahan Bakar pada Pengolahan Teh Hijau
Dapat dilihat bahwa proses pelayuan yang dilakukan pada pengolahan teh hijau
menggunakan energi bahan bakar sebesar 3886,266 MJ/ton atau sebesar 25,962% dari total
25.962%
0.000%
0.000%
12.473%61.563%
0.000%
Pelayuan Pendinginan Penggulungan
Pengeringan I Pengeringan II Pengepakan
374
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
energi bahan bakar yang digunakan. Sementara proses pendinginan yang dilakukan pada
pengolahan teh hijau tidak menggunakan energi bahan bakar atau 0% dari total energi bahan
bakar yang digunakan. Proses penggulungan yang dilakukan pada pengolahan teh hijau tidak
menggunakan energi bahan bakar atau 0% dari total energi bahan bakar yang digunakan. Proses
pengeringan I yang dilakukan pada pengolahan teh hijau menggunakan energi bahan bakar
sebesar 1867,46 MJ/ton atau sebesar 12,473% dari total energi bahan bakar yang digunakan.
Sedangkan proses pengeringan II yang dilakukan pada pengolahan teh hijau menggunakan
energi bahan bakar sebesar 9215,469 MJ/ton atau sebesar 61,563% dari total energi bahan
bakar yang digunakan. Proses pengepakan yang dilakukan pada pengolahan teh hijau tidak
menggunakan energi bahan bakar atau 0% dari total energi bahan bakar yang digunakan. Jadi
total penggunaan energi bahan bakar yang digunakan dalam proses pengolahan pascapanen teh
hijau adalah sebesar 14969,1956 MJ/ton.
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah proses pengolahan teh hijau untuk satu ton pucuk teh
memerlukan energi langsung bahan bakar sebesar 14.969,196 MJ/ton. Penggunaan energi
langsung bahan bakar terbesar yaitu pada proses pengeringan II sebesar 9.215,47 MJ/ton atau
61,56% dari total energi langsung bahan bakar.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih pada Bapak Wahyu Kristian Sugandi, S.T.P., M.Si.
selaku pembimbing ke-1 yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada penulis, Ibu
Kralawi Sita, S.P., M.Sc. selaku pembimbing ke-2 yang juga telah memberi bimbingan dan
arahan kepada penulis, dan Pabrik Teh Hijau Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung yang
telah membantu penulis dalam hal penyediaan data yang mendukung penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2017. Statistik Teh Indonesia 2017. Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia. Jakarta
Biantoro, A. W. 2017. Analisis Perbandingan Efisiensi Energi pada Gedung P Kabupaten
Tangerang dan Gedung Tower UMB Jakarta. Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06,
No. 3, Juni 2017. Jakarta
375
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Dewan Energi Nasional. 2014. Outlook Energi Indonesia 2014. ISBN 978-602-1328-02-6.
Jakarta
Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalian Indonesia.
Jakarta
International Tea Committee. 2017. Annual Bulletin of Statistics 2017. International Tea
Committee. London
Indrayana. 2001. Analisis Kebutuhan Energi pada Proses Produksi Gula di PT. PG Rajawali
II Unit PG. Jatitujuh. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional
(PEN). Jakarta
Rohdiana, Dadan. 2015. Teh: Proses, Karakteristik, dan Komponen Fungsionalnya. Jurnal:
FOODREVIEW INDONESIA Vol. X/No. 8/Agustus 2015. 34-38. Jakarta
Santoso, J. 2008. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh Edisi Kedua. PPTK Gambung. ISBN 979-
8610-16-4. Bandung
Setiawan, T. 2010. Audit Energi Pada Sistem Pengolahan Pucuk Teh Menjadi Teh Hitam
Orthodox Di PT. Perkebunan Nusantara VIII Kebun Cisaruni, Garut Jawa Barat.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
376
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
PENGARUH OZONASI TERHADAP FREZZE-THAW STABILITY
TEPUNG HANJELI (Coix lacryma-jobi L.)
Syaidina Ramdhani
Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 45363
e-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Hanjeli dapat menjadi salah satu usaha diversifikasi pangan karena hanjeli juga memiliki
nilai gizi dan sifat fungsional yang baik bagi kesehatan. Salah satu bentuk pengolahan biji
hanjeli adalah dengan mengubahnya menjadi tepung. Sayangnya, tepung hanjeli memiliki
beberapa kekurangan saat diolah menjadi produk, terutama produk beku. Gel pati dalam tepung
hanjeli sangat rentan mengalami sineresis dan retrogradasi apabila disimpan di suhu rendah.
Sineresis adalah proses terbentuknya cairan pada permukaan gel pati, yang berhubungan
dengan tingkat freeze-thaw stability. Semakin bahan cenderung mengalami sineresis maka
freeze-thaw stability bahan semakin rendah, yang artinya produk semakin tidak stabil apabila
disimpan di suhu beku. Untuk memperbaiki sifat fungsional tepung dapat dilakukan
modifikasi. Penelitian ini menggunakan ozon sebagai modifikator tepung hanjeli dengan
variasi flowrate dan lama ozonasi, dengan fokus perbaikan sifat fungsional freeze thaw
stability. Pemilihan flowrate dan lama ozonasi didasarkan pada indikator derajat putih dan
wettability. Sampel yang digunakan adalah tepung hanjeli varietas Mayuen. Metode pengujian
freeze thaw stability yang dilakukan adalah metode separasi sentrifugal, dimana pemisahan
cairan dan ampas yang terbentuk setelah sineresis terjadi pada penyimpanan suhu beku. Hasil
dari penelitian yang dilakukan terhadap sineresis satu siklus freeze thaw stability, adalah tepung
hanjeli alami memiliki persentase sineresis yang cukup besar, yakni 42,5%. Sementara tepung
hanjeli terozonasi 10 menit, 15 menit, dan 20 menit memiliki persentase sineresis berturut-turut
sebesar 57%, 8%, dan 22%. Tepung hanjeli yang diberi perlakuan ozonasi cenderung
menurunkan nilai sineresis tepung hanjeli, kecuali tepung hanjeli yang terozonasi selama 10
menit yang mengalami peningkatan nilai sineresis dibandingkan tepung hanjeli alami.
Kata Kunci : Freeze thaw stability, Ozon, Tepung hanjeli
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan beragam tanaman
sumber karbohidrat alternatif untuk menunjang program diversifikasi pangan. Tanaman
serealia tropis yang termarginalkan di habitatnya sendiri antara lain sorgum, milet (jawawut),
dan hanjeli yang pada dasarnya dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat. Hanjeli dapat
377
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
dikembangkan karena baik bagi kesehatan manusia dan tinggi makronutrien (Grubben dan
Partohardjono, 1996).
Hanjeli dapat menjadi salah satu usaha diversifikasi pangan karena hanjeli juga memiliki
nilai gizi dan sifat fungsional yang baik bagi kesehatan, seperti anti inflamasi, anti alergi,
antioksidan, rendah indeks glikemik, dan mampu mengontrol kolesterol darah (Chen, Chung,
dan Chiang, 2012). Salah satu bentuk pengolahan biji hanjeli adalah dengan mengubahnya
menjadi tepung. Produk tepung hanjeli lebih mudah dimanfaatkan dan memiliki potensi variasi
produk yang lebih beragam.
Tepung hanjeli seringkali digunakan sebagai tepung komposit, yaitu tepung hasil
pencampuran antara dua atau lebih jenis tepung. Produk pangan yang dihasilkan dari tepung
komposit salah satunya adalah produk pangan beku. Produk pangan beku dan produk pangan
yang membutuhkan suhu rendah selama penyimpanannya, seperti nugget, membutuhkan gel
pati yang memiliki sifat tahan terhadap pembekuan dan pencairan. Gel pati dalam tepung
hanjeli sangat rentan mengalami sineresis dan retrogradasi apabila disimpan di suhu rendah.
(Mahmud dan Zulfianto, 2009).
Sineresis adalah proses terbentuknya ekstrudat (cairan) pada permukaan gel pati.
Sementara retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali dan pembentukan matriks pati
yang telah mengalami gelatinisasi akibat pengaruh suhu, yang menjabarkan tingkat freeze-thaw
stability (Barbosa et al, 2005) Semakin bahan cenderung mengalami sineresis maka freeze-
thaw stability bahan semakin rendah, yang artinya produk semakin tidak stabil apabila
disimpan di suhu beku.
Produk yang melibatkan tepung hanjeli membutuhkan sifat fungsional, sifat fisik, dan
sifat kimia yang baik untuk mendukung mutu produk. Untuk memperbaiki sifat fungsional
tepung dapat dilakukan modifikasi. Modifikasi merupakan upaya untuk memperbaiki sifat
tepung. Upaya untuk menaikkan freeze-thaw stability dapat dilakukan salah satunya dengan
modifikasi secara kimia, yakni pemberian oksidator. Ozon merupakan oksidan terkuat yang
dapat diaplikasikan pada produk pangan (Chawla, et al., 2012). Pengaplikasian ozon terhadap
bahan pangan menggunakan ozonizer, yang menggunakan oksigen sebagai bahan pembuatnya
dan tidak menimbulkan residu berbahaya bagi tubuh dan lingkungan.
Kelebihan ozon yang dapat terurai cepat menjadi oksigen menjadikan ozon bersifat tidak
meninggalkan residu dalam bahan makanan sehingga teknologi ozon sangat ramah lingkungan
(Purwadi dkk, 2007). Ozon dapat diaplikasikan pada saat penanganan, penyimpanan dan
378
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
pengolahan bahan pangan segar dan yang sudah diolah minimal, baik dalam bentuk gas atau
larutan (Khadre et al., 2001).
Tujuan pengkajian ozonasi pada tepung hanjeli yang dilakukan adalah untuk mengetahui
kemampuan ozon dalam memperbaiki sifat fungsional freeze thaw stability, dengan
menggunakan parameter derajat putih dan wettability, dipilih yang terbaik. Variasi percobaan
terletak pada keragaman flow rate dan lama ozonasi tepung hanjeli.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung hanjeli dari biji hanjeli (Coix
lacryma-jobi L.) varietas Mayuen yang diperoleh dari perkebunan lokal di Ciparanje,
Jatinangor. Bahan penunjang yang digunakan antara lain aquades dan gas oksigen sebagai
bahan pembuat ozon.
Alat yang digunakan untuk proses ozonasi meliputi ozonizer D’Ozone, ozone test kit,
tabung stainless kapasitas 1 Liter, alumunium foil, plastik cling wrap, metallized pouch, silica
gel, dan perekat. Alat yang digunakan dalam proses analisis antara lain neraca analitik, gelas
ukur 100 mL, kompor dan panci, tabung sentrifuse, sentrifugator, kulkas, freezer, sentrifugase,
wadah, spektrofotometer, stopwatch.
Metode
Penentuan Flow Rate pada Proses Ozonasi Tepung Hanjeli
Sampel 100 gram dimasukkan dalam tabung stainless berkapasitas 1 L, dilengkapi tutup
berbahan plastik alumunium foil, cling wrap, dan perekat. Proses ozonasi dilakukan dengan
flowrate ozon 2 L/min, 2.5 L/min, dan 5 L/min selama 5 menit dikontakkan pada sampel.
Rotasi sampel dilakukan per-2 menit selama 10 menit penyimpanan. Kemudian dilakukan
pengukuran derajat putih dengan spektrofotometer. Setiap akan digunakan, alat harus
dikalibrasi dengan memilih calibration pada menu bar instrumen, lakukan zero calibration dan
white calibration sesuai perintah program. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel
di dalam wadah sampel yang sudah tersedia dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala
nilai L, a, b. Selanjutnya akan dihitung nilai derajat putih dengan standar derajat putih yang
digunakan yaitu BaSO4 melalui persamaan 1 dan 2:
Derajat putih (x) = 100 - √ ((100 – L)2 + (a2 + b2)) (1)
Derajat putih (%) = X
110.8 𝑋 100% (2)
379
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Pengukuran wettability dilakukan dengan sampel tepung sebanyak 0.4 gram dimasukkan
ke dalam 40 mL air destilata dalam gelas ukur. Daya disperse dilakukan pada suhu kamar tanpa
pengadukan. Waktu dicatat dengan menggunakan stopwatch.
Penentuan Lama Ozonasi Tepung Hanjeli
Sampel dimasukkan sebanyak 100 gram ke dalam tabung stainless dan ditutup sampai
rapat (digunakan perekat). Proses ozonasi dilakukan dengan flowrate 2 L/min selama 10, 15,
dan 20 menit. Rotasi sampel dilakukan per-2 menit selama 10 menit penyimpanan. Kemudian
dilakukan analisis parameter derajat putih dan wettability, sama halnya seperti pada metode
penentuan flow rate pada proses ozonasi tepung hanjeli.
Pengujian Freeze Thaw Stability Tepung Hanjeli
Pembuatan suspensi tepung hanjeli dengan konsentrasi padatan kering sebanyak 5%
dengan menimbang sampel sebanyak 5 gram pada gelas ukur 100 mL dan penambahan aquades
hingga batas. Suspensi kemudian dipanaskan sampai mencapai suhu gelatinisasi atau mengenal
menjadi pasta. Pasta lalu ditimbang sebanyak 20 gram dan dimasukkan ke tabung sentrifuse
rapat-rapat. Penyimpanan pada suhu 4⁰ C selama 24 jam kemudian dibekukan pada suhu -15⁰
C selama 48 jam. Pengeluaran tabung dari freezer, setelah itu penyimpanan pada suhu ruang
selama 2-3 jam. Sentrifugasi tabung yang berisi pasta selama 15 menit dengan kecepatan 3500
rpm. Cairan yang terpisah dari gel ditimbang, kemudian dihitung persentase sineresisnya
dengan rumus
Sineresis = 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑖𝑠𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑥 100% (3)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tepung hanjeli yang digunakan sebagai sampel penelitian merupakan tepung hanjeli
yang dibuat sebelumnya dengan bahan baku hanjeli varietas Mayuen yang berasal dari
perkebunan hanjeli di Ciparanje, Jatinangor. Pembuatan tepung hanjeli mengacu kepada
Setiasih, dkk (2007). Modifikasi diterapkan pada tepung hanjeli sebagai rangka perbaikan sifat
fungsional tepung hanjeli, dimana pada percobaan ini dititikberatkan pada freeze thaw stability,
yakni kestabilan pasta tepung dan pasta pati terhadap penyimpanan suhu rendah (Putri dkk,
2014).
380
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Freeze-thaw stability merupakan indikator penting yang digunakan untuk mengevaluasi
ketahanan sifat fisik gel pati terhadap perubahan yang tidak diinginkan selama pembekuan dan
pencairan (Elliason, 2004). Selama penyimpanan suhu beku, pasta pati mengalami
retrogradasi. Freeze-thaw stability dinyatakan dalam persentase sineresis, yaitu persentase
jumlah air yang terpisah setelah pasta diberi perlakuan penyimpanan satu siklus -15° C.
Semakin tinggi persentase jumlah air yang terpisah menunjukkan bahwa pati tersebut semakin
tidak stabil terhadap penyimpanan suhu beku (Putri dkk, 2014)
Modifikasi yang digunakan dalam percobaan ini adalah modifikasi oksidasi. Metode
oksidasi dilakukan dengan oksidator. Ozon merupakan oksidan terkuat yang dapat
diaplikasikan pada produk pangan (Chawla, et al., 2012). Proses ozonasi pada tepung selain
dapat memperbaiki karakteristik tepung juga memiliki banyak keuntungan, diantaranya waktu
prosesnya singkat dan tidak menimbulkan residu berbahaya bagi kesehatan dan bagi
lingkungan. (O’Donnell, et al., 2012).
Variasi ozonasi yang dilakukan pada percobaan ini terletak pada variasi flow rate dan
lama ozonasi tepung. Kombinasi dari kedua aspek ozonasi ini akan berujung pada variasi
konsentrasi ozon yang dipaparkan pada tepung hanjeli. Indikator yang digunakan pada proses
ozonasi adalah derajat putih dan wettability tepung. Indikator fisik yang digunakan ini mengacu
kepada persepsi masyarakat awam terhadap tepung, dimana penilaian tepung yang baik adalah
tepung yang berwarna cerah dan memiliki daya basah yang baik saat proses pengolahan.
Percobaan tahap 1 dilakukan dengan mengozonasi tepung hanjeli dengan flowrate 2 L/min, 2.5
L/min, dan 5 L/min selama 5 menit. Tepung hanjeli yang telah diozonasi diamati derajat putih
dan wettability-nya. Berikut ini hasil dari percobaan penentuan flow rate ozon yang digunakan.
Tabel 1. Hasil penentuan flowrate ozon pada indikator derajat putih
Sampel L* a* b* Derajat Putih
(%) Rata-rata
Tepung Hanjeli 2 L/min 86,09 0,22 12,1 73,61223995 74,017
87,16 0,21 11,95 74,42082365
Tepung Hanjeli
2.5L/min
87,55 0,03 10,78 75,389432 75,252
87,38 0,07 11,05 75,11359132
Tepung Hanjeli 5L/min 87,44 0,08 10,92 75,23148985 75,182
87,4 0,16 11,04 75,13255859
Tepung Hanjeli Alami 84,14 0,35 11,47 72,58476323 71,907
82,93 0,31 12,36 71,22991594
Sumber : Dokumentasi pribadi (2019)
381
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tabel 2. Hasil penentuan flowrate ozon pada indikator wettability
Sampel t (menit) Rata-rata
Tepung Hanjeli 2 L/min 4,60
4,36 4,12
Tepung Hanjeli
2.5L/min
2,72 2,80
2,88
Tepung Hanjeli 5L/min 2,41
2,49 2,56
Tepung Hanjeli Alami 5,20
4,88 4,56
Sumber : Dokumentasi pribadi (2019)
Dari hasil percobaan, diketahui bahwa ozonasi pada flowrate 2 L/min memiliki derajat
putih dan wettability berturut-turut 74,017% dan 4,36 menit, ozonasi dengan flowrate 2,5
L/min 75,252% dan 2,80 menit, ozonasi dengan flowrate 5 L/min 75,182% dan 2,49 menit,
tanpa ozonasi 71,907% dan 4,88 menit. Maka diketahui bahwa ozonasi 5 L/min menunjukkan
hasil derajat putih dan wettability terbaik, yaitu 75,18% dan 2,49 menit.
Setelah didapatkan flow rate yang terbaik, maka percobaan dilanjutkan dengan
penentuan lama ozonasi tepung hanjeli. Percobaan tahap 2 dilakukan dengan ozonasi tepung
hanjeli pada flowrate 5 L/min dengan variasi lama ozonasi selama 5, 10, 15, 20, dan 25 menit.
Tepung hanjeli yang telah diozonasi diamati derajat putih dan wettability. Berikut adalah hasil
penentuan lama ozonasi pada tepung hanjeli.
Tabel 3. Hasil penentuan lama ozonasi pada indikator derajat putih
Sampel L* a* b* Derajat Putih
(%) Rata-rata
Tepung Hanjeli fr 5, 5' 83,01 0,37 13,57 70,62524602 70,8946
Tepung Hanjeli fr 5, 5' (2) 83,6 0,39 13,35 71,16400176
Tepung Hanjeli fr 5, 10' 83,35 0,27 13 71,18618707
71,1903 Tepung Hanjeli fr 5, 10'
(2) 83,48 0,27 13,15 71,19451109
Tepung Hanjeli fr 5, 15' 86,52 0,11 11,85 74,05379219
73,7083 Tepung Hanjeli fr 5, 15'
(2) 85,64 0,06 12 73,36283026
Tepung Hanjeli fr 5, 20' 86,32 0,01 11,6 74,06492147
73,9191 Tepung Hanjeli fr 5,
20'(2) 86,16 0,08 11,91 73,7732428
Tepung Hanjeli fr 5, 25' 90,29
-
0,11 8,21 78,77604397 78,8276
382
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tepung Hanjeli Fr 5,
25'(2) 90,44
-
0,11 8,21 78,879083
Sumber : Dokumentasi pribadi (2019)
Tabel 4. Hasil penentuan lama ozonasi pada indikator wettability
Sampel t (menit) Rata-rata
Tepung Hanjeli 5' 1,00 1,61
Tepung Hanjeli 5' (2) 2,21
Tepung Hanjeli 10' 1,24 1,295
Tepung Hanjeli 10' (2) 1,35
Tepung Hanjeli 15' 1,43 1,25
Tepung Hanjeli 15' (2) 1,07
Tepung Hanjeli 20' 1,24 1,38
Tepung Hanjeli 20' (2) 1,52
Tepung Hanjeli 25' 2,11 2,075
Tepung Hanjeli 25' (2) 2,04
Sumber : Dokumentasi pribadi (2019)
Dari percobaan ini, didapatkan waktu terbaik proses ozonasi adalah selama 10, 15, dan
20 menit. Karena dapat meningkatkan nilai derajat putih dan mempercepat waktu wettability
tepung hanjeli secara berturut-turut 71,19%; 73,71%; 73,92% dan 1,29 menit; 1,25 menit; 1,38
menit.
Penelitian yang akan dilakukan kali ini menyorot pada pengujian freeze-thaw stability
tepung hanjeli dengan pemaparan ozon pada flowrate 5 L/min dengan waktu kontak 10, 15, 20
menit dan tepung hanjeli tanpa ozonasi. Pemilihan flowrate dan lama ozonasi didasarkan pada
data percobaan pendahuluan yang telah dilakukan.
Pengujian freeze thaw stability dilakukan dengan metode separasi sentrifugal
(Wattanachant dkk, 2002). Metode separasi sentrifugal menggunakan alat sentrifugator,
dimana dengan gaya sentrifugal yang diberikan, cairan dari sampel akan terpisah di bagian atas
tabung sentrifuse. Cairan kemudian dipisahkan dan diukur banyaknya. Berikut ini adalah hasil
pengujian freeze thaw stability tepung hanjeli terozonasi dan tepung hanjeli alami.
Tabel 5. Hasil pengujian freeze thaw stability
Sampel Supernata
n
% Sineresis
Tepung hanjeli alami 8,5 L 42,5%
Tepung hanjeli terozonasi 10 menit 11,4 L 57%
383
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Tepung hanjeli terozonasi 15 menit 1,6 L 8%
Tepung hanjeli terozonasi 20 menit 4,4 L 22%
Sumber : Dokumentasi pribadi (2019)
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, diketahui bahwa tepung hanjeli alami,
yakni tepung hanjeli tanpa proses modifikasi terozonasi, memiliki persentase sineresis yang
cukup besar, yakni 42,5%. Sementara tepung hanjeli terozonasi 10 menit, 15 menit, dan 20
menit memiliki persentase sineresis berturut-turut sebesar 57%, 8%, dan 22%. Perlakuan
ozonasi yang terbaik adalah ozonasi 15 menit, karena persentase sineresis yang dihasilkan
adalah yang terkecil.
Perhitungan sineresis dilakukan dengan melakukan perbandingan supernatan dengan
ampas hasil sentrifugasi. Makin rendah supernatan yang dihasilkan, maka persentase sineresis
semakin rendah, yang juga berarti pasta tepung hanjeli semakin stabil pada penyimpanan suhu
rendah. Tidak ada standar khusus bagi freeze thaw stability produk pangan, namun secara
umum produk dikatakan semakin baik apabila memiliki persentase sineresis yang lebih rendah.
Mekanisme freeze thaw stability dimulai saat pasta tepung hanjeli didinginkan, energi
kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk mencegah kecenderungan molekul-molekul amilosa
berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggiran
luar granula. Dengan demikian terjadi pembentukan dan pengendapan mikrokristal. Proses
kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Sebagian besar
pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau didinginkan untuk beberapa hari atau minggu
akan membentuk endapan kristal di bagian dasar wadahnya (Winarno, 2004). Akibat peristiwa
retrogradasi tersebut, molekul air yang semula terperangkap di dalam matriks gel pati akan
keluar. Pengeluaran molekul air dari matriks gel pati dinamakan dengan sineresis. (Putri dkk,
2014)
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap sineresis satu
siklus freeze thaw stability, tepung hanjeli alami memiliki persentase sineresis yang cukup
besar, yakni 42,5%. Sementara tepung hanjeli terozonasi 10 menit, 15 menit, dan 20 menit
memiliki persentase sineresis berturut-turut sebesar 57%, 8%, dan 22%. Tepung hanjeli yang
diberi perlakuan ozonasi cenderung menurunkan nilai sineresis tepung hanjeli, kecuali tepung
384
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
hanjeli yang terozonasi selama 10 menit yang mengalami peningkatan nilai sineresis
dibandingkan tepung hanjeli alami.
Peningkatan nilai sineresis selama modifikasi dipengaruhi oleh kadar amilosa tepung,
kadar amilosa yang tinggi dapat meningkatkan retrogradasi pati maka sineresis pati selama
pembentukan gel akan meningkat. Akibat peristiwa retrogradasi tersebut, molekul air yang
semula terperangkap di dalam matriks gel pati akan keluar atau sineresis. Kestabilan freeze
thaw stability menurun dikarenakan meningkatnya nilai sineresis.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari bahwa publikasi ilmiah ini dapat disusun dengan bimbingan, bantuan,
dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Hj. Imas Siti Setiasih, SU., Ketua
Komisi Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
penyusunan usulan penelitian; Dr. Tita Rialita, S.Si., M.Si., Anggota komisi pembimbing dan
ketua program studi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian
usulan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Barbosa-Cánovas, G. V., E. Ortega-Rivas, P. Juliano, dan H. Yan. 2005. Food Powders:
Physical Properties, Processing, and Functionality. Plenum Publishers, New York.
Chawla, A. S., D. R. Kasler, S. K. Sastry dan A. E. Yousef. 2012. “Microbial decontamination
of food using ozone“. In. A. Demirci and M.O. Ngadi (Ed.) Microbial Decontamination
in the Food Industry. Woodhead Publishing Limited, USA.
Chen, H. J., C. P. Chung, dan W. Chiang. 2012. Inhibitory Effects of Adlay Bran (Coix
lachryma-jobi L. var. ma-yuen Stapf) on Chemical Mediator Release and Cytokine
Production in Rat Basophilic Leukemia Cells. J. Ethnopharmacol. 141(1): 119-127.
Eliasson, A. C. 2004. Starch in Food : Structure, Function, and Application. CRC Press.
North America
Grubben, G. J., dan S. Partohardjono. 1996. Plant Resources of South-East Asia. 10 Cereals.
Backhuys Publishers, Leiden.
Khadre, M. A., A. E. Yousef, dan J. G. Kim. 2001. Microbiological Aspects of Ozone
Applications in Food: A Review. Journal of Food Science 66(9): 1242-1252.
Mahmud, M. K., dan Z. A. Zulfianto. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). Elex
Media Komputindo, Jakarta.
385
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
O’Donnell C., B.K. Tiwari, P.J. Cullen and R.G. Rice. 2012. Ozone in Food Processing. Wiley-
Blackwell, Oxford.
Purwadi, A., W. Usada, dan Suryadi. 2007. Aplikasi Ozon Hasil Teknologi Kimia Plasma
untuk Memperpanjang Umur Simpan Umbi Kentang. Prosiding PPI - PDIPTN.
Putri, W.D.R., Zubaidah, E., Ningtyas, D. W. 2014. Effect of heat moisture treatment on
functional properties and microstructural profiles of sweet potato flour. Advance
Journal of Food Science and Technology 6(5) : 655-659. ISSN : 2042-4868
Setiasih, I. S. 2007. Pembuatan Hanjeli (Coix lacryma) Instan Bergizi Sebagai Upaya
Pencapaian Ketahanan Pangan. Fakultas Teknologi Industri Pertanian UNPAD,
Jatinangor.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
386
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN KEMANGI
(Ocimum sanctum L.) TERHADAP Escherichia coli DAN Aspergillus niger
Tri Yuliana1, Violita Widyaningtyas2, Tita Rialita1
1Departemen Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjadjaran
2Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21, Jatinangor Sumedang 43563
Email : [email protected]
ABSTRAK
Daun kemangi (Ocimum spp.) memiliki senyawa yang bersifat fungisida dan antibakteri
seperti minyak atsiri dengan kandungan kimia utamanya adalah linalool (56,7% - 60%). Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi ekstrak daun kemangi terbaik yang
dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli dan Aspergillus niger. Penelitian dilakukan
secara eksperimental yang dianalisis secara deskriptif. Pembuatan ekstrak daun kemangi
dilakukan dengan metode maserasi menggunakan etanol 70% sebagai pelarut. Kemudian
dilakukan evaporasi dan pengujian aktivitas antimikroba menggunakan metode difusi agar
berkonsentrasi 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%. Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas
antimikroba terbaik adalah ekstrak daun kemangi dengan konsentrasi 100% yang memiliki
aktivitas terhadap E. Coli dan A. Niger dengan daya hambat berturut-turut mencapai 30,04 mm
dan 5,96 mm.
Kata Kunci: Daun kemangi, Antimikroba, Escherichia coli, Aspergillus niger.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil rempah terbesar di dunia yang dapat
digunakan sebagai bahan pengawet alami, dimana rata-rata rempah yang dihasilkan sebesar
21.06% dari total pasar rempah dunia pada tahun 2013 (Hermawan, 2015). Salah satu rempah
yang juga sering digunakan sebagai tanaman obat adalah daun kemangi (O. sanctum L). Selain
sebagai tanaman obat, berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa daun kemangi
(Ocimum spp.) memiliki senyawa yang bersifat insektisida, larvasida, nematisida, antipiretik,
fungisida, antibakteri dan antioksidan (Nurcahyanti dkk, 2011; Maryati dkk, 2007).
Sudah ditemukan sebanyak 7 jenis tanaman daun kemangi (Ocimum spp.), yaitu O.
gratissimum, O. basilicum, O. americanum L, O. klimandschavicum, O. minimum, O. viridae
L, dan O. sanctum (Hadipoentyanti & Wahyuni, 2008). Kandungan kimia pada daun kemangi
387
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
(Ocimum spp.) berbeda setiap jenisnya. Kandungan kimia yang pernah dilaporkan adalah
minyak atsiri, saponin, tanin, flavonoid, steroid, terpenoid, alkaloid, fenol, karbohidrat, lignin,
pati dan antrakuinon (Dhale, Birari & Dhulgande, 2010). Minyak atsiri merupakan senyawa
aktif pada daun kemangi yang bersifat antibakteri. Kandungan kimia utama pada minyak atsiri
daun kemangi adalah linalool yang berpotensi sebagai antibakteri (56,7% - 60,0%) (Telci et
al., 2006).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai uji aktivitas antimikroba pada daun
kemangi antara lain Atikah (2013), menguji ekstrak etanol 70% dan kepolaran bertingkat dari
daun kemangi terhadap Staphylococcus aureus dan Candida albicans menggunakan difusi agar
dan dilusi cair yang menghasilkan konsentrasi terbaik adalah pelarut etil asetat dengan
konsentrasi 4000 µg/mL. Penelitian lainnya menyatakan bahwa ekstrak kloroform daun
kemangi dapat menghambat pertumbuhan bakteri Shigella dysenteriae, serta ekstrak alkohol
pada konsentrasi 100 mg/mL dapat menghambat Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, dan Bacillus subtilis dengan zona hambat berturut-turut sebesar 10
mm, 12 mm, 23 mm, dan 16 mm (Dhale et al., 2010). Senyawa aktif ekstrak etanol daun
kemangi yang diduga memiliki peran sebagai antibakteri yaitu 2,6-oktadiena-1,8-diol, ekso
metil kamfenilol, kamfor, fitol, linalool oksida, cis geraniol dan cis karveol (Solikhah, 2015).
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental
yang dianalisis secara deskriptif dengan ulangan sebanyak 2 kali. Tahap pertama adalah
melakukan determinasi bahan uji yaitu daun kemangi, pembuatan ekstrak daun kemangi
dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Kemudian dilakukan pengujian
aktivitas antimikroba terhadap E. coli dan A. niger menggunakan metode difusi agar dengan
konsentrasi 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain beaker glass, gelas ukur, pipet
ukur, bulb, labu erlenmeyer, cawan petri, spatula, tabung reaksi, inkubator, vacuum filter,
serangkaian alat rotary evaporator, spektrofotometer, autoklaf, neraca analitik, jarum ose,
cawan alumunium, oven, mikropipet, desikator, bunsen, fin tip, botol semprot, refrigerator,
Laminar Air Flow, kuvet, dan botol kaca gelap.
388
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian adalah daun kemangi (O. sanctum L.) yang
diperoleh dari Kampung Tugu Desa Cihanjuang Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung
Barat. Media pertumbuhan mikroba menggunakan NA (Nutrient Agar), PDA (Potato Dextrose
Agar) dan NaCl fis 0,85%. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah etanol 70% dan alkohol
95%. Kultur mikroba uji, yaitu E. coli dan A. niger. Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu
akuades, alumunium foil, clingwrap, kertas saring, kertas cakram, kapas, kasa, dan spirtus.
Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Daun Kemangi
Daun kemangi yang akan digunakan disortasi kering dan dicuci terlebih dahulu kemudian
dilakukan pengeringan selama 6-7 hari dengan cara diangin-anginkan saja atau tidak terkena
matahari langsung. Selanjutnya dilakukan sortasi kering untuk memisahkan benda asing seperti
benang, rambut, dan pengotor lain yang mungkin menempel selama proses pengeringan. Daun
kemangi yang telah kering kemudian diperkecil ukurannya untuk memperbesar luas
permukaan sehingga kontak dengan pelarut menjadi lebih optimal.
Simplisia kering kemudian dimaserasi menggunakan etanol 70% lalu direndam selama
2-3 hari dengan pengadukan setiap hari atau sesering mungkin. Selanjutnya disaring
menggunakan vacuum filter dan filtrat yang didapat kemudian dikentalkan menggunakan
rotary evaporator dengan suhu heating bath sebesar 400C dan suhu chiller + 30C, selama + 1,5
jam atau tergantung banyaknya larutan sehingga diperoleh ekstrak kental (Yulianigtyas dan
Bambang, 2016).
Pengujian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi
Disiapkan medium Nutrient Agar (NA) untuk media pertumbuhan E. coli dan Potato
Dextrose Agar (PDA) untuk media pertumbuhan A. niger kedalam cawan petri dan dibiarkan
membeku. Selanjutnya ditambahkan 0,1 mL suspensi E. coli (λ = 600 nm) dan 0,1 mL suspensi
A. niger (λ = 530 nm) dan diratakan keseluruh permukaan media. Kertas cakram yang sudah
steril kemudian diletakkan diatas permukaan media dan diteteskan ekstrak daun kemangi
dengan berbagai konsentrasi (0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%) sebanyak 40 µL. Dilakukan
inkubasi pada suhu 37oC selama 1-2 hari (E. coli) dan suhu 25-28oC selama 3-5 hari (A. niger)
untuk mengamati zona hambat yang terbentuk. Terakhir dilakukan pengukuran diameter zona
hambat yang terbentuk menggunakan jangka sorong.
389
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi
Gambar 1. Grafik Hasil Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi terhadap E. coli
Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 1, menunjukkan bahwa ekstrak daun
kemangi berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan E. coli. Aktivitas ekstrak daun
kemangi mulai dapat dilihat pada konsentrasi 25% yakni sebesar 19,08 mm. Pada konsentrasi
50% menunjukkan daya hambat sebesar 21,01 mm. Pada konsentrasi yang lebih tinggi lagi
yakni 75% sebesar 21,69 mm. Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat bahwa zona bening yang
dihasilkan konsentrasi 25%, 50%, dan 75% menunjukkan diameter yang tidak jauh berbeda.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kemangi yang digunakan maka semakin tinggi pula
zona bening yang dihasillkan yakni mencapai 30,98 mm pada konsentrasi 100%. Pada kertas
cakram yang tidak diberi ekstrak daun kemangi atau konsentrasi 0% tidak menunjukkan adanya
aktivitas terhadap E. coli, hal ini diketahui dengan tidak adanya zona hambat yang terlihat
disekeliling kertas cakram.
30.98
21.69 21.0119.08
00
5
10
15
20
25
30
35
100 75 50 25 0
Dia
met
er (
mm
)
Konsentrasi (%)
390
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 2. Grafik Hasl Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi terhadap A. niger
Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 2, menunjukkan adanya aktivitas
antimikroba yang ditunjukkan oleh berbagai konsentrasi ekstrak daun kemangi terhadap A.
niger. Pada konsentrasi 0% atau tidak diberi ekstrak daun kemangi tidak menunjukkan adanya
aktivitas antimikroba yang dapat dillihat dengan tidak adanya zona bening yang terbentuk
disekitar kertas cakram. Namun zona bening mulai dapat terlihat dari konsentrasi 25%, 50%,
75%, dan 100% berturut-turut yakni sebesar 1,14 mm, 3,59 mm, 4,31 mm, dan 5,96 mm.
Berdasarkan kedua grafik diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang
digunakan maka semakin besar pula diameter zona hambat terhadap E. coli dan A. niger yang
dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin tingginya senyawa bioaktif maka umumnya
dapat bersifat bakterisida atau dapat mematikan mikroba, sedangkan kadar senyawa bioaktif
yang lebih rendah umumnya hanya bersifat bakteriostatik atau menghambat pertumbuhannya
saja dan tidak mematikan mikroba (Kamal et al., 2012).
Aktivitas antimikroba yang menghambat pertumbuhan E. coli dan A. niger oleh ekstrak
daun kemangi dapat disebabkan oleh adanya pengaruh senyawa aktif yang terdapat dalam
ekstrak. Pengujian senyawa fitokimia terhadap ekstrak etanol daun kemangi (O. sanctum)
menunjukkan hasil positif terhadap senyawa tannin, flavonoid, dan minyak atsiri (Angelina
dkk., 2015). Selain itu, faktor pelarut yang digunakan juga dapat mempengaruhi senyawa atau
metabolit sekunder yang dihasilkan seperti untuk golongan steroid dapat larut dalam pelarut
non polar dan untuk golongan tannin dan flavonoid dapat larut dalam pelarut polar seperti
etanol dan golongan alkaloid merupakan senyawa yang tidak dapat larut dalam air (Harbone,
1987).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Savita (2008), menunjukkan bahwa
terdapat senyawa flavonoid dalam ekstrak O. sanctum yang dapat berperan sebagai antibakteri.
5.96
4.31
3.59
1.14
00
1
2
3
4
5
6
100 75 50 25 0
Dia
met
er (
mm
)
Konsentrasi (%)
391
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Selain itu, beberapa senyawa yang diduga dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroba
pada daun kemangi yakni tetrametil-okta 5,7 dien-3-on, 2,6 oktadiena 1,8 diol, ekso metil
kamfenilol, kamfol, fitol, linalool oksida, cis geraniol dan cis karveol (Sholikhah dkk., 2015).
Rendahnya diameter zona hambat yang dihasilkan ekstrak daun kemangi terhadap A.
niger dapat disebabkan karena kurang efektifnya kerja senyawa bioaktif yang mampu
membunuh A. niger sehingga ekstrak daun kemangi hanya bersifat menghambat dengan daya
hambat yang rendah. Selain itu, aktivitas antijamur juga dapat dipengaruhi oleh variasi
konsentrasi dari minyak atsiri yang terdapat didalam daun kemangi. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Martiningsih dan Suryanti (2017), menyebutkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi mimyak atsiri maka kecenderungan zona hambat yang dihasilkan semakin tinggi
terhadap isolat jamur. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bansod dan Rai
(2008), yang menyatakan bahwa dari 15 jenis tanaman yang digunakan sebagai antijamur
terhadap A. niger, daun kemangi (O. sanctum) memiliki zona hambat yang paling rendah yakni
pada konsnetrasi 100 µg sebesar 12 + 0,5 mm dan pada konsentrasi 15 µg sebesar 8 + 0,5 mm.
KESIMPULAN
Penggunaan ekstrak daun kemangi dapat memberikan daya hambat terhadap
pertumbuhan E. coli dan A. niger. Penentuan aktivitas antimikroba ekstrak daun kemangi
terhadap E. coli dan A. niger menghasilkan zona hambat beragam dimana semakin besar
konsentrasi semakin besar pula zona hambat yang terbentuk. Zona hambat yang terbentuk pada
aktivitas E. coli yakni 0 mm (0%), 19,08 mm (25%), 21,01 mm (50%), 21,69 mm (75%), dan
30,98 mm (100%). Zona hambat yang terbentuk pada aktivitas A. niger yakni 0 mm (0%), 1,14
mm (25%), 3,59 mm (50%), 4,31 mm (75%), dan 5,96 mm (100%).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya
ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
392
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
DAFTAR PUSTAKA
Angelina, Maria., Turnip, Masmur., & Khotimah, Siti. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia
coli dan Staphylococcus aureus. Probionat, Vol. 4 No.1 : 184-189.
Ali, H & Savita, D, 2012, ‘In Vitro Antimikrobial Activity Of Flavonoids Of Ocimum sanctum
with Synergistic Effect of Their Combined Form’, Asian Pacific Journal of Tropical
Disease.
Atikah, N. 2013. Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Herba Kemangi (Ocimum americanum L)
terhadap Staphylococcus aureus dan Candida albicans. Skripsi. UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Bansod, Sunita and Mahendra Rai. 2008. “Antifungal Activity of Essential Oils from Indian
Medicinal Plants Against Human Pathogenic Aspergillus Fumigatus and A. Niger.”
World Journal of Medical Sciences 3(2):81–88.
Dhale, D. A., Birari, A.R., & Dhulgande, G. S. 2010. Preliminary Screening of Antibacterial
and Phytochemical Studies of Ocimum americanum Linn. Journal of Ecobiotechnology,
2/8 : 11-13.
Hadipoentyanti, Endang., & Wahyuni, Sri. 2008. Keragaman Selasih (Ocimum spp.)
berdasarkan Karakter Morfologi Produksi dan Mutu Herba. Jurnal Littri, Vol. 14(4). Hal.
141-148.
Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisi Tumbuhan.
Penerbit ITB : Bandung. Hal 6-9.
Hermawan, I. 2015. Daya Saing Rempah Indonesia Di Pasar ASEAN Periode Pra dan Pasca
Krisis Ekonomi Global. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 9 No 2. Jakarta.
Kamal. A., Sudarmin. & A. Binadja. 2012. Aktivitas Antimikroba Senyawa Hasil Reaksi
Hidrasi Kariofilena pada E. coli dan S. aureus. Indonesian Journal of Chemical Science,
1(2): 152-157.
Martiningsih, Ni Wayan dan Suryanti, Ida Ayu. 2017. Skrining Fitokimia dan Aktivitas
Antijamur Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum sp.). Seminar Nasional Riset Inovatif.
Maryati., Fauzia, Ratna Sorayya., & Rahayu, Triastuti. 2007. Uji Aktivitas Antibakteri Minyak
Atsiri Daun Kemangi (Ocimum basilicum L) terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Vol. 8, No. 1 : 30-38.
Nurcahyanti, Agustina. D. R., Dewi, Lusiawati., & Timotius, Kris H. 2011. Aktivitas
Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Polar dan Non Polar Biji Selasih (Ocimum sanctum
Linn). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XXII, No.1.
393
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Solikhah. 2015. Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Batang dan Daun Kemangi
(Ocimum basilicum L.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Semarang.
Telci, I., E. Bayram., G. Yilmaz. dan BA. Variabilityy in essential oil composition of Turkish
basils. Biochem Syst Ecol J. 2006;34(6):489–97.
Yulianingtyas Aning & Kusmartono Bambang. 2016. Optimasi Volume Pelarut dan Waktu
Maserasi Pengambilan Flavonoid Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Jurnal
Teknik Kimia Vol. 10, No.2.
394
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
SCALEUP STEAMER UNTUK PENGOLAHAN TEH HIJAU STEAMING
DI PUSAT PENELITIAN TEH DAN KINA GAMBUNG
Vitaloka Feriansari1, Dedy Prijatna2, M. Iqbal Prawira-Atmaja3, Mimin Muhaemin2
1Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Padjajaran
2Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung - Sumedang Km.21, Jatinangor, Sumedang 43563 3Pengolahan Hasil dan Enjiniring, Pusat Penelitian Teh dan Kina, Desa Mekarsari,
Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, 40972
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung memproduksi teh hijau dengan dua metode
pelayuan, yaitu metode panning dan metode steaming. Produksi teh hijau yang saat ini perlu
dikembangkan adalah teh hijau metode steaming karena produk yang dihasilkan dianggap lebih
berkualitas dibandingkan dengan teh metode panning. Saat ini, mesin yang digunakan untuk
produksi teh hijau steaming yaitu steamer hanya mampu memproduksi 7-8 kg pucuk daun
segar dalam satu batch. Oleh karena itu diperlukan scaleup steamer agar mampu memproduksi
teh hijau dalam jumlah yang lebih besar. Scaleup ini dilakukan dengan metode rekayasa dengan
melakukan kegiatan rancang bangun (Engineering Design). Penelitian ini didesain dengan
dimensi panjang 2400 mm, lebar 800 mm dan tinggi 1200 mm. Penetapan dimensi ini dapat
menghasilkan pucuk daun teh sebanyak 25 kg.
Kata kunci: teh hijau, steaming, scaleup
PENDAHULUAN
Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung memproduksi teh hijau dengan dua metode
pelayuan, yaitu metode panning dan metode steaming. Menurut Yulianto dkk (2006), proses
pelayuan dengan metode panning kurang efektif dan kurang efesien karena ditinjau secara
ekonomi dan teknik, penembusan panas pada metode ini dinilai tidak mampu menetralkan
enzim polifenol oksidase secara keseluruhan. Kerugian lain dari metode panning adalah
dihasilkannya warna teh yang kehitaman. Berbeda dengan metode panning, metode steaming
yang dilakukan dengan cara memberikan uap panas pada pucuk daun teh dapat menetralkan
enzim polifenol lebih efektif. Penetralan enzim polifenol dengan cara pemberian uap panas
mampu menembuskan panas ke dalam sitoplasma lebih efektif. Hal ini menyebabkan enzim
polifenol oksida yang berada pada bagian sitoplasma menjadi inaktif dengan baik. Keuntungan
395
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
lainnya dari metode steaming adalah dihasilkannya warna teh yang lebih kehijauan dan warna
air seduhan yang lebih terang (hijau kekuningan).
Ruang pelayuan yang ada di Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung dioperasikan
dengan energi listrik dengan kapasitas antara 6 sampai 8 kg tergantung dari jenis petikan pucuk
daun teh. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses pelayuan adalah 2 sampai 3 menit.
Proses yang terjadi di dalam ruang pelayuan ini dibantu oleh proses boiling sebagai media
pemanas air untuk menghasilkan uap yang nantinya akan dialirkan menuju ruang pelayuan.
Kondisi ruang pelayuan yang ada di Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung sekarang
ini memiliki kapasitas produksi dari pengolahan teh hijau yang kecil. Menurut Eikel (2018),
ruang pelayuan yang ada hanya mampu melayukan 12 kg pucuk daun teh segar dengan waktu
150 menit. Kondisi tersebut berdampak terhadap kerugian secara materiil karena penggunaan
energi dan hasil yang didapatkan tidak sebanding.
Oleh karena itu, perlu adanya rancang bangun ruang pelayuan dengan kendali
mikrokontroler pada industri pengolahan teh hijau dengan kapasitas yang lebih besar.
Peningkatan kualitas pada ruang pelayuan ini diharapkan mampu beroperasi secara otomatis,
mulai dari bukaan inlet pada ruang pelayuan hingga pengaturan suhu di dalam ruang pelayuan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan November 2018 sampai dengan Maret 2019,
penelitian ini akan dilakukan di beberapa tempat, yaitu di Laboratorium Pengolahan Hasil dan
Enjinering, Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Bengkel, Pusat Penelitian Teh dan Kina,
Gambung; dan Laboratorium Sistem Instrumentasi dan Elektronika, Fakultas Teknologi
Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat
Alat – alat yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada Tabel 1.
Tabel 7. Alat yang Digunakan pada Penelitian
No Nama Alat Spesifikasi/Merk Kegunaan
1 Arduino IDE 1.6.12 Untuk membuat program
2 AutoCAD 2016 Untuk membuat gambar teknik
mesin
396
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
3 Fritzing Untuk membuat simulasi
rangkaian
3 Manometer Jenis Bourdon Untuk menunjukkan besarnya
tekanan uap pada boiler
4 Meteran Untuk mengukur dimensi
5 Multimeter
Itw (My-64) Untuk mengukur tegangan, arus
dan hambatan rangkaian listrik
6 Thermometer Tipe E Untuk mengukur temperatur yang
beropasi pada boiler dan steamer
7 Kamera Untuk mendokumentasikan
kegiatan penelitian
8 Laptop
ASUS K43U,
AMD VISION 1,60
GHz, 4 GB RAM
Untuk menyimpan data
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada Tabel 2.
Tabel 8. Bahan yang digunakan pada penelitian
No Bahan Spesifikasi/Me
rk Kegunaan
1 Plat Besi SS 304 Untuk middle chase
SS 316 Untuk main chase
2 Besi Hollow SS 304 6x6 Untuk main frame
SS 304 6x4 Untuk middle frame
3 Pipa Untuk menyalurkan panas
4 Nozel Untuk menyalurkan uap
5 Safety Valve
(Selenoid)
US-25 AC
220V
Untuk pengaman apabila terjadi
tekanan melebihi batas yang
diijinkan
6 Main Steam Valve Untuk pembuka dan penutup jalur
utama steam
7 Arduino UNO R3 Arduino Sebagai mikrokontroler
8 Sensor suhu LM35
9 PCB Blank Sebagai media perangkaian
skematik
10 Motor Stepper Sebagai aktuator
11 Kabel Jumper Untuk menghubungkan rangkaian
12 Relay Untuk mengubah arus DC menjadi
arus AC
13 AC/DC Adaptor Untuk mengubah arus AC menjadi
arus DC
14 LCD 128x64 Untuk menampilkan data
15 Micro SD Psi Modul Untuk menyimpan datalog
397
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode rekayasa dengan melakukan kegiatan
rancang bangun (Engineering Design).
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yang akan disajikan pada diagram alir
penelitian di Gambar 1.
Gambar 25. Diagram Alir Penelitian
398
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme kerja dari ruang pelayuan berbasis mikrokontroler pada pengolahan teh hijau
steaming ini adalah pucuk daun sebanyak 25 kg akan terbagi kedalam beberapa rak. Pertama-
tama akan ada LCD yang menampilkan beberapa pilihan lama bukaan dari katup yang akan
dibuka oleh motor stepper dan dipilih dengan tactile button. Di dekat engsel pintu akan
diberikan saklar guna menjadi patokan untuk solenoid membuka katupnya. Katup solenoid ini
berfungsi sebagai pengaman (safety valve) sebelum uap panas benar-benar memasuki ruang
pelayuan. Apabila katup solenoid sudah terbuka, 5 (lima) detik kemudian katup kran pada pipa
yang ditempatkan sebelum solenoid akan membuka dengan bukaan mulai dari bukaan ¼, ½,
dan 1. Katup kran tersebut akan digerakkan oleh motor stepper sebagai aktuator. Kemudian
uap panas akan masuk secara perlahan kedalam ruang pelayuan. Didalam ruang pelayuan akan
ditempatkan 7 sensor yang apabila 4 diantara 7 sensor sudah menunjukkan kondisi suhu
mencapai 90oC, maka katup kran akan menutup kembali secara perlahan seperti langkah
pembukaan kran pada tahap sebelumnya, namun katup solenoid masih tetap tertutup. Katup
solenoid dapat terbuka apabila pintu sudah dibuka. Pintu dapat dibuka setelah penyebaran suhu
di dalam ruang pelayuan sudah merata.
Sistem kontrol yang dirancang terdiri dari komponen sebagaimana terlihat pada Gambar
2.
Keterangan:
1. LCD
2. Mikrokontroler
3. Solenoid
4. Power Supply Unit
5. Motor Stepper
6. Gear
7. Sensor DS18B20
8. MicroSD Card Adapter Module
Gambar 26. Mekanisme Kerja Ruang Pelayuan
Hasil Rancangan Steamer
Dimensi steamer dibuat dengan melakukan perbandingan dimensi dari steaming lama.
Steamer lama memiliki dimensi panjang 60 cm, lebar 65 cm, dan tinggi 70 cm. Sehingga
399
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
didapatkan panjang, lebar dan tinggi untuk steamer adalah 119 cm x 59,5 cm x 111 cm. Dengan
dimensi tersebut, steamer dapat menampung lebih dari 25 kg. Gambar dari steamer dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Hasil Rancangan Steamer
Dalam perancangan steamer terdapat pula perancangan untuk jalur masuk steam melalui
pipa. Di sepanjang pipa ini terdapat satu solenoid, enam kran dan satu barometer. Dari keenan
kran tersebut, salah satunya berfungsi untuk membuka jalur jika solenoid mengalami masalah
dan tidak bisa membuka kran. Gambar dari kran tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Selain
itu, terdapat dua kran yang berfungsi untuk membuka jalur apabila motor stepper tidak
berfungsi. Gambar dari kran tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Kran Untuk Jalur Steam Apabila Solenoid Bermasalah
400
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Gambar 5. Kran Untuk Jalur Steam Apabila Motor Stepper Bermasalah
Penentuan Jenis Motor Stepper
Penentuan jenis motor stepper ini dilakukan dengan menghitung massa yang dapat
menggerakkan kran yang nantinya digunakan untuk menghitung torsi. Hasil yang didapatkan
dari perhitungan tersebut adalah:
m=760 gram × 2=1,52 kg
F=m × g=1,52 kg × 9,81 m/s2=14,9112 N
T=F × r=14,9112 N × 10 × 10-2
m=1,49112 Nm
Dari perhitungan tersebut didapatkan nilai torsi motor stepper dengan minimal 1,49112
Nm. Didapatkan Motor Stepper NEMA 23 Type 57HS7630A4D8 yang memiliki torsi sebesar
1,8 Nm.
Hasil Perhitungan Nilai Kalor
401
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
a. Q1=m×c×∆T
Q1=500 kg ×
4200J
kgoC
×(100-15)oC
Q1=178,5 MJ
b. Q2=m×U
Q2=500 kg ×2,268 MJ/kg
Q2=1134 MJ
c. Qtotal
=Q1+Q
2
Qtotal
=178 MJ+1134 MJ
Qtotal
=1312,5 MJ
A. T uap pada 5 bar
Diketahui dari table sifat air jenuh (Uap-Cair): Tabel tekanan
T = 151,9 oC
Volume spesifik (vg) = 0,3749 m3/kg
Energy dalam (ug) = 2561,2 kJ/kg
Entalpi = 2748,7 kJ/kg
Entropi = 6,8212 kJ/kgK
B. Laju Aliran Uap
vg=0,3749m3/kg=374,9 L/kg
t=2,5 menit=150 s
Laju aliran uap= v
t
Laju aliran uap= 374,9 L/kg
150 s
Laju aliran uap= 2,499 L/s
C. Q pipa
d. Konduksi
402
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
Diketahui: misal tebal = 1 mm = 10-3
T1=151,9oC
T2=100oC
d = 1 inch = 0,0254 m
1. H=Q
t
H=1312,5 MJ
150 s
H=8,75MJ
s(laju kalor yang diterima oleh uap)
2. k=dH
A(T1-T2)
k=10
-3m×8,75 MJ/s
π(0,0127)2×(151,9-100)
oC
k=0,3327 MJ/msoC
3. Q konduksi= kA∆Tt
L
Q konduksi= 0,3327 MJ/msoC×5,067×10
-4m2×51,9
oC×150s
5m
Q konduksi=0,2625 MJ
e. Radiasi
Diketahui: e = 1
𝜎 = 5,67 × 10−8𝑊/𝑚2𝐾4
d = 0,0254 m
T = 100oC = 373,15 K
Qradiasi
t=eσAT4
Qradiasi
t=1×5,67×10
-8W/m2K4×373,15K
4
Qradiasi
t=0,557J/s
Qradiasi=0,557 J/s ×t
Qradiasi=0,557 J/s ×150s
Qradiasi=83,552×10-6
MJ
f. Konveksi
Diketahui: h=250 W/m2K (dari tabel, dianggap konveksi paksa gas)
403
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
d=0,0254 m
T1=151,9oC
T2=100oC
Qkonveksi
t=hA∆T
Qkonveksi
t=250W/m2K×5,067×10
-4m2×51,9K
Qkonveksi
t=6,574J/s
Qkonveksi=6,574 J/s ×t
Qkonveksi=6,574 J/s ×150s
Qkonveksi=986,165×10-6
MJ
g. Q pipa=Q konduksi+Q radiasi+Q konveksi
Q pipa=0,2625 MJ+83,552×10-6
MJ+986,165×10-6
MJ
Q pipa=0,263569717 MJ
D. Q ruang pelayuan
𝑄 ruang pelayuan=Q boiler-Q pipa
Q ruang pelayuan=1312,5 MJ-0,263569717 MJ
Q ruang pelayuan=1312,23643 MJ
E. Tekanan di ruang pelayuan pada suhu 90oC
P = 0,7014 bar
Volume spesifik (vg) = 2,361 m3/kg
Energy dalam (ug) = 2494,5 kJ/kg
Entalpi = 2660,1 kJ/kg
Entropi = 7,4791 kJ/kgK
F. Volume yang terdapat pada ruang pelayuan
P1V1
T1
=P2V2
T2
5 bar×500 L
151,9oC
=0,7014 bar×V2
100oC
404
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
V2=2111,830135 Liter Uap
V2=2,1118 m3 Uap
Hasil Rancangan Elektronika
Rancangan sistem elektronik ini terbagi ke dalam dua rancangan, yaitu rancangan
hardware dan rancangan software.
Rancangan Hardware
Gambar 6. Rangkaian Hardware
Rancangan Software
Rancangan software pada penelitian ini dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini:
1. Sub Program Start
Rancangan program start sebagai berikut:
solenoid, memilih pilihan, tombol start, motor stepper, sensor suhu, microSD Card
Adapter
IF (solenoid) = ON
dapat memilih pilihan
IF tombol start = ON
motor stepper = ON sesuai pilihan
sensor suhu = ON
microSD Card Adapter = ON
mesin hidup
steam masuk
selesai
2. Sub Program Menyimpan Data
Int CS PIN
IF (CS PIN) = terbaca
405
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
microSD Card Adapter = ON
penyimpanan data berhasil
3. Sub Program Memilih Pilihan
Int Current Menu Item, up, down, enter, back
Current Menu Item = n
IF (state) = 1
kursor bergerak keatas (up)
IF (state) = 2
kursor bergerak kebawah (down)
IF (state) = 3
memilih pilihan (enter)
IF (state) = 4
kembali (back)
4. Sub Program Gerakan Motor Stepper
Int kondisi, suhu, motor stepper
Kondisi = 0
IF (suhu <= 90)
motor stepper berputar searah jarum jam dengan
delay yang sudah ditentukan pada pilihan
mesin hidup
steam masuk
IF (suhu >= 90)
motor stepper berputar berlawanan arah jarum
jam
kondisi = 1
mesin mati
5. Sub Program Stop
Int kondisi, suhu, motor stepper
Kondisi = 0
IF (suhu >= 90)
motor stepper berputar berlawanan arah jarum
jam
406
Seminar Nasional Semar Berdasi
Sumedang, 20 Juni 2019
Prosiding Semar Berdasi ISBN: 978-602-439-740-1
kondisi = 1
mesin mati
solenoid menutup
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah mesin steamer yang dibuat menggunakan perbandingan
dimensi dengan mesin steamer lama. Dimensi yang didapatkan untuk panjang, lebar, dan tinggi
adalah 119 cm x 59,5 cm x 111 cm. Motor Stepper yang digunakan adalah NEMA 23 Type
57HS7630A4D8 yang memiliki torsi sebesar 1,8 Nm. Dari hasil pengujian, diketahui bahwa
kalor panas yang masuk kedalam steamer adalah 1312,23643 MJ. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa mesin steamer yang dapat beroperasi secara otomatis dan menampung pucuk daun teh
segar sebanyak 25 kg.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Dedy Prijatna, M.P selaku ketua
komisi pembimbing, Bapak M. Iqbal Prawira Atmaja, S.TP., M.Sc. selaku anggota komisi
pembimbing, dan Bapak Ir. Mimin Muhaemin, M.Eng., Ph.D., selaku penelaah atas semua
pengarahan, masukan, dan saran yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Eikel, Sitepu. 2018. Penggunaan Energi Pengeringan Teh Hijau Steam Pada Lb Mini
Processing di pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Jawa Barat. Bandung. PPTK
Gambung.
Nazaruddin dan Paiman, 1993. Pembudidayaan dan Pengolahan Teh. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Rohdiana, Dadan. 2015. Teh: Proses, Karakteristik, dan Komponen Fungsionalnya. Jurnal:
FOODREVIEW INDONESIA Vol. X/No. 8/Agustus 2015. 34-38. Jakarta.
Yulianto, Mohamad & Ariwibowo, Didik & Arifan, Fahmi & Kusumayanti, Heni &
Nugraheni, F.S. & Senin, Senin. (2006). Model Perpindahan Massa Proses Steaming
Inaktivasi Enzim Polifenol Oksidase Dalam Pengolahan Teh Hijau. Hal 25-30