inisiasi insulin
TRANSCRIPT
SARI PUSTAKA
INISIASI INSULIN PADA PENDERITA DM
Disusun Oleh :
Winda Amelia
06-079
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PERIODE 21 DESEMBER– 18 FEBRUARI 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Sari Pustaka ini dibuat untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mahasiswa
kepaniteraan ilmu penyakit dalam tentang Insulin pada Diabetes Melitus. Selain itu
alasan dibuat Sari Pustaka ini adalah sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
kepaniteraan ilmu penyakit dalam.
Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Yunus Tanggo, Sp.PD yang
telah memberikan kesempatan penulis untuk menyelesaikan dan mempresentasikan Sari
Pustaka ini. Penulis memiliki harapan semoga Sari Pustaka ini dapat membuka wawasan
mengenai Inisiasi Insulin pada penderita Diabetes Melitus.
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing,
Dr. Yunus Tanggo, Sp.PD
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………i
Pendahuluan…………………………………………………………………………1
Pembahasan………………………………………………………………………….9
Daftar Pustaka………………………………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN
Penemuan insulin lebih dari 80 tahun yang lalu merupakan salah satu penemuan
terbesar dalam dunia kedokteran pada abad ke-20. Saat ini, penggunaan insulin
mengalami kemajuan yang pesat. Beberapa kemajuan itu antara lain dalam hal jumlah
penggunaan insulin per pasien, perbaikan mutu insulin, dan cara penggunaan insulin.
Penemuan insulin dimulai dari jenis yang belum dapat dibuat dengan murni, kemudian
insulin manusia yang dibuat dengan rekayasa genetika, sampai insulin analog dengan
farmakokinetik menyerupai insulin endogen.
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit progresif dengan
karakteristik penurunan fungsi sel beta pankreas. Seiring meningkatnya angka kejadian
DMT2, terutama pada orang berusia relatif muda dan kemungkinan usia hidup masih
panjang,maka semakin banyak pasien DMT2 dengan defisiensi insulin. Pada kasus-kasus
tersebut, akan dibutuhkan insulin dalam penatalaksanaannya.
Keuntungan yang mendasar dari penggunaan insulin dibandingkan obat
antidiabetik oral dalam pengobatan diabetes melitus adalah insulin terdapat di dalam
tubuh secara alamiah. Selain itu, pengobatan dengan insulin dapat diberikan sesuai
dengan pola sekresi insulinendogen. Sementara itu, kendala utama dalam penggunaan
insulin adalah pemakaiannya dengan cara menyuntik dan harganya yang relatif mahal.
Namun demikian, para ahli dan peneliti terus mengusahakan penemuan sediaan insulin
dalam bentuk bukan suntikan, seperti inhalan sampai bentuk oral agar penggunaannya
dapat lebih sederhana dan menyenangkan bagi para pasien.(1)
Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh
sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,
insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh
untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang
baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar
pankreas.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin
mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam
gelembung-gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim
peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya
sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal,
karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada
dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa,
beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam
rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari
sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang
cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya
rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati
membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa
lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam
berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai
“kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose
transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses
masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting
bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan
fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang
terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K
channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti
kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan
masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini
dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum
seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya
disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat
oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan
tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak
pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR)
pada membran sel beta.
Dinamika Sekresi Insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti
dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya
rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang
dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas
fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase
sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah
selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang
terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga
cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal
itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya
meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat
penting bagi regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar
dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR
yang normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme
glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah
terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial
(postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk
hiperinsulinemia kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase,
latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan
dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa
darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang
berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan
ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor
resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2
terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi
mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2.
Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi
kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal.
Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi
oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan dinamika sekresi insulin
pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance = IGT
), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang
juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung
normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi
insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia.
Ini adalah keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa
darah yang dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan
berbagai dampak negatifnya.
Aksi Insulin
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh
terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses
utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan
hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan
sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel
tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang
berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak,
meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan,
transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-
4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses
sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke
intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses
metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang
normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas
atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor
etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme
glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai
kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah
jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian
kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara
endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar.
Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh
hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi
hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan
menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan
semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.
Efek Metabolisme dari Insulin
Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini
bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan
kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes
melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak
adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh
terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ).
Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi
insulin secara absolut.
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika
sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan
(inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap
homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut
pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah
beban glukosa (makan atau minum).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi
yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif
dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein.
Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna
pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah.
Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan
yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin
secretagogue ) atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang
berkhasiat menurunkan resistensi insulin ( insulin sensitizer ).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi
insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa
darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang
dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state.
Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami
defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah
postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah
postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi
Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai
prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga
sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).
Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau
hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT,
memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan
komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang
diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan
jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase
TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai
dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini
terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin
serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan
yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes,
sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin
tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa
darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat
resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis
dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari
hepar.
Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh
kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan
berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia).
Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi
insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap
insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau
obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme
glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses
kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh
resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya,
sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.(2,6)
BAB II
PEMBAHASAN
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau Langerhans
kelenjar pankreas. Insulin menstimulasi pemasukan asam amino kedalam sel dan
kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan
mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan
glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu
penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati. Insulin endogen adalah insulin yang
dihasilkan oleh pankreas, sedang insulin eksogen adalah insulin yang disuntikan dan
merupakan suatu produk farmasi.(2,4,5)
Indikasi terapi dengan insulin :
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Diabetic Ketoasidosis
Hiperglikemia Hiperosmolar non-ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan terapi kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres Berat, seperti infeksi sistemik, operasi besar, Infark Miokard
Akut, Stroke)
Kehamilan dengan Diabetes Melitus/ Diabetes Melitus Gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi Ginjal atau Hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kendali Kadar glukosa darah yang buruk (A1c > 7,5% atau kadar
glukosa dah puasa > 250mg/dl)
Riwayat disfungsi pancreas dan riwayat pankreatektomi
Riwayat pengguna insulin lebih dari 5 tahun dan penyandang DM
lebih dari 10 tahun.
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
• Insulin kerja singkat
Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin / CZI ). Saat ini dikenal
2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang ada antara lain :
Actrapid, Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum makan,
mencapai puncak setelah 1– 3 macam dan efeknya dapat bertahan sampai 8 jam.
• Insulin kerja menengah
Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn ( NPH ),MonotardÒ,
InsulatardÒ. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4 –
15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam.
• Insulin kerja panjang
Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat dari
tempat penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam.
Preparat: Protamine Zinc Insulin ( PZI ), Ultratard
• Insulin infasik (campuran)
Merupakan kombinasi insulin jenis singkat dan menengah. Preparatnya: Mixtard 30 / 40
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih
efisien dan tepat karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula
darah diperiksa setiap 6 jam sekali.
Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
• Gula darah < 60 mg % = 0 unit
• Gula darah < 200 mg % = 5 – 8 unit
• Gula darah 200 – 250 mg% = 10 – 12 unit
• Gula darah 250 - 300 mg% = 15 – 16 unit
• Gula darah 300 – 350 mg% = 20 unit
• Gula darah > 350 mg% = 20 – 24 unit
MUTLIPLE SUNTIKAN PERHARI
Rutinitas seperti waktu makan-basal biasanya membutuhkan setidaknya empat
suntikan per hari. Sebuah kerja cepat insulin analog waktu makan (lispro atau ASPART
insulin) digunakan sebelum makan. Seperti dijelaskan sebelumnya, onset cepat tindakan
lispro atau ASPART insulin menghasilkan hipoglikemia postprandial dan hipoglikemia
berkurang pada malam hari dibandingkan dengan insulin reguler, yang membuat mereka
ideal untuk rejimen MDI. NPH, ultralente, atau glargine dapat digunakan sebagai insulin
basal, pada waktu tidur. Glargine, sebagai insulin basal dalam rejimen MDI, telah
dikaitkan dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa dan hipoglikemia menurun.
Sejak lispro dan ASPART insulin bekerja cepat seperti, suntikan kedua dari NPH atau
ultralente sebelum sarapan mungkin diperlukan untuk memberikan insulin basal selama
hari dan kontrol yang lebih baik dari konsentrasi glukosa serum sebelum makan malam.
Dosis insulin yang sebenarnya yang digunakan harus disesuaikan secara individual. Total
perkiraan harian insulin (TDI) bagi seorang individu yang sebelumnya tidak menerima
insulin 0,5 unit / kg. Jika pasien sudah menerima insulin, TDI adalah jumlah dari semua
dosis insulin saat ini. Sekitar 60% harus diberikan rapid-acting insulin (lispro atau
ASPART insulin) sebelum makan. Sisa 40% dari TDI diperkirakan harus diberikan
sebagai insulin basal (NPH, ultralente, atau glargine) pada waktu tidur.
Efek metabolik terapi insulin:
• Menurunkan kadar gula darah puasa dan post puasa.
• Supresi produksi glukosa oleh hati.
• Stimulasi utilisasi glukosa perifer.
• Oksidasi glukosa / penyimpanan di otot.
• Perbaiki komposisi lipoprotein abnormal.
• Mengurangi glucose toxicity.
• Perbaiki kemampuan sekresi endogen.
• Mengurangi Glicosilated end product.
Cara pemberian insulin :
Insulin kerja singkat :
• IV, IM, SC
• Infus ( AA / Glukosa / elektrolit )
• Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Insulin kerja menengah / panjang :
• Jangan IV karena bahaya emboli.
Saat ini juga tersedia insulin campuran (premixed) kerja cepat dan kerja menengah.
Cara penyuntikan insulin :
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan dibawah kulit (subkutan). Pada
keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Insulin
dapat diberikan tunggal (satu macam insulin kerja cepat, kerja menengah atau kerja
panjang) tetapi juga dapat diberikan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah,
sesuai dengan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah harian.
Lokasi penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula mengenai rotasi
tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin
dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh pasien yang sama. Harus
diperhatikan kesesuaian kosentrasi insulin (U40, U100) dengan semprit yang dipakai.
Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen yang kemudian diikuti oleh
daerah lengan, paha bagian atas bokong. Bila disuntikan secara intramuskular dalam
maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan
jasmaniyang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat onset kerja dan
juga mempersingkat masa kerja.
Teknik Penyuntikan Insulin
Sebelum menggunakan insulin, diabetesein ataupun keluarga tentunya perlu
untuk diberikan pengetahuan dan wawasan mengenai cara dan prosedur menyuntikkan
insulin eksogen;
• Sebelum menyuntikkan insulin, kedua tangan dan daerah yang akan disuntik
haruslahbersih. Bersihkanlah dengan cairan alkohol 70% dengan menggunakan kapas
bersih dan steril.
• Tutup vial insulin harus diusap dengan cairan alkohol 70%.
• Untuk semua insulin, kecuali insulin kerja cepat, harus digulung-gulung secara
perlahan-lahan denga kedua telapak tangan. Hal ini bertujuan untuk melarutkan
kembali suspensi. (Jangan dikocok).
• Ambillah udara sejumlah insulin yang akan diberikan. Lalu suntikkanlah ke dalam
vial untuk mencegah terjadi ruang vakum dalam vial. Hal ini terutama diperlukan bila
akan dipakai campuran insulin.
• Bila mencampur insulin kerja cepat dengan kerja cepat harus diambil terlebih dahulu.
• Setelah insulin masuk ke dalam alat suntik, periksa apakah mengandung gelembung
atau tidak. Satu atau dua ketukan pada alat suntik dalam posisi tegak akan dapat
mengurangi gelembung tersebut. Gelembung yang ada sebenarnya tidaklah terlalu
membahayakan, namun dapat mengurangi dosis insulin.
• Penyuntikan dilakukan pada jaringan bawah kulit (subkutan). Pada umumnya
suntikan dengan sudut 90 derajad. Pada pasien kurus dan anak-anak, kulit dijepit dan
insulin disuntikkan dengan sudut 45 derajat agar tidak terjadi penyuntikkan otot (intra
muskular).
Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia seperti pada non lanjut
usia, yaitu adanya kegagalan terapi ADO, ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya
infeksi (stress ) dll. Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang dicampur dengan
kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan satu atau dua kali sehari.
Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia ialah karena pasien tidak
mau menyuntik sendiri karena persoalnnya pada matanya, tremor, atau keadaan fisik
yang terganggu serta adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini tentulah sangat
diperlukan bantuan dari keluarganya.
Jenis alat suntik (syringe) insulin
1. Siring (syringe) dan jarum Siring dari bahan kaca sulit dibersihkan, mudah pecah dan
sering menjadi kurang akurat.Siring yang terbaik adalah siring yang terbuat dari plastik
sekali pakai. Walaupun banyak pasien diabetes yang menggunakan lebih dari sekali
pakai, sangat disarankan hanya dipakai sekali saja setelah itu dibuang.
2. Pena insulin (Insulin Pen) Siring biasanya tertalu merepotkan dan kebanyakan pasien
diabetes lebih suka menggunakan pena insulin. Alat ini praktis, mudah dan
menyenangkan karena nyaris tidak menimbulkan nyeri. Alat ini menggabungkan semua
fungsi didalam satu alat tunggal.
3. Pompa insulin (Insulin Pump) diciptakan untuk mneyediakan insulin secara
berkesinambungan. Pompa harus disambungkan kepada pasien diabetes (melalui suatu
tabung dan jarum). Gula (Glucose) darah terkontrol dengan sangat baik dan sesuai
dengan kebutuhan.
Efek samping penggunaan insulin :
• Hipoglikemia
• Lipoatrofi
• Lipohipertrofi
• Alergi sistemik atau lokal
• Resistensi insulin
• Edema insulin
• Sepsis
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75%
pasien yang diberikan insulin konvensional dapat terjadi Lipoatrofi yaitu terjadi lekukan
di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan
oleh reaksi imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda terutama terjadi di negara
yang memakai insulin tidak begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan jaringan
lemak subkutan di tempat suntikan akibat lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di
negara yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin tidak lagi disuntikkan di
tempat tersebut.
Reaksi alergi lokal terjadi 10x lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada
penggunaan sediaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di
tempat suntikan yang terjadi dalam beberpa menit atau jam dan berlagsung.
Selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah
pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan
kulit kurang baik, penggunaan antiseptik yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya
suntikan intrakutan, reaksi ini akan hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa
urtikaria, erupsi kulit, angioudem, gangguan gastrointestinal, gangguan pernapasan dan
yang sangat jarang ialah hipotensi dan shock yang diakhiri kematian.(1,3,4,5)
DAFTAR PUSTAKA
1. Perkumpulan Endokrinologi di Indonesia. PETUNJUK PRAKTISI TERAPI
INSULIN PADA DIABETES MELITUS.Jakarta 2007
2. Asman Manaf. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV, BAB 422, hal
1868-1869 INSULIN : MEKANISMESEKRESI DAN ASPEK
METABOLISME.Jakarta 2009
3. Perkumpulan Endokrinologi di Indonesia.Konsensus Pengelolahan Diabetes
Melitus di Indonesia.PB PERKENI.Jakarta 2011
4. http://www.smallcrab.com/diabetes/452-sekilas-mengenal-insulin2010
5. http://www.naturindonesia.com/diabetes-militus/insulin2010.html
6. http://www.ebookpp.com/ef/efek-insulin-doc.html