ii. tinjauan pustaka · kelapa, daun pisang, eceng gondok, ampas sagu, atau serbuk gergaji (sinaga,...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jamur Merang
Jamur merang (Volvariella volvaceae) termasuk dalam kingdom Mycetae,
Divisi Amastigomycota dan sub divisi Basidiomycotina, kelas Basidiomycetes,
subkelas Holobasidiomycetes, ordo Agaricales, famili Plutaceae, genus
Volvariella dan species Volvariella volvaceae (Sinaga, 2000). Warna tudung
jamur merang bermacam-macam yaitu putih bersih, abu-abu dan hitam. Perbedaan
warna ini disebabkan oleh bibit yang berbeda, pengaruh penyinaran dan sirkulasi
udara. Jamur dengan warna tudung hitam lebih banyak diminati pasar ekspor.
Jamur merang merupakan salah satu jamur yang dapat tumbuh pada
temperatur yang cukup tinggi. Pertumbuhan vegetatif pada suhu 32-340C, dimana
jamur ini tumbuh dengan cepat dalam waktu sekitar 8-10 hari mulai dari
pembenihan hingga panen (Chang et al., 2004). Berbagai macam sumber selulosa
dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur merang, namun Volvariella
volvaceae tetap dikenal dengan nama jamur merang. Media yang dapat
digunakan untuk menumbuhkan jamur merang adalah tumpukan merang, limbah
kapas, sorgum, gandum, jagung, tembakau, limbah sayuran, ampas tebu, sabut
kelapa, daun pisang, eceng gondok, ampas sagu, atau serbuk gergaji (Sinaga,
2000). Selain itu menurut Widiyastuti (2007) juga bisa menggunakan ampas aren
atau kardus bekas.
2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang
Pertumbuhan basidiokarp jamur merang secara kasar dibagi menjadi 6 tahap
yaitu jarum pentul (pinhead) yang merupakan tahap awal pertumbuhan jamur,
kancing kecil (tiny button), kancing (button) yang masih berbentuk bulat kecil.
Kemudian dilanjutkan dengan fase telur (egg), yang mulai berbentuk oval,
dilanjutkan dengan pemanjangan (elongation), dan dewasa (mature). Pada fase
dewasa, jamur sudah berupa volva, stripe, dan pileus (Sinaga, 2000). Bentuk-
bentuk fase pertumbuhan jamur merang dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Gambar 1 Fase perkembangan jamur merang, yaitu (A) fase kancing, (B) fase
telur, (C) fase pemanjangan, dan (D) fase dewasa
Jamur merang sudah dapat dipanen setelah berumur 10-14 hari sejak tanam.
Panen dilakukan setiap hari hingga tanaman berumur sebulan. Namun setelah
panen 4-5 kali, diistirahat selama 2-3 hari sebelum dipanen kembali (Suharjo,
2007). Pemanenan jamur merang umumnya dilakukan sebelum fase
pemanjangan atau pada fase kancing (Sinaga, 2000), namun pemanenan pada fase
telur akan mendapatkan aroma paling baik dan paling tepat untuk pemasaran
(Stamet, 1993). Jamur merang pada fase telur berukuran sebesar telur burung
puyuh hingga sebesar telur ayam dengan berat per buah sekitar 10-150 gram.
Pemanenan jamur merang sangat mudah tetapi harus dilakukan secara hati-hati
menggunakan tangan atau pisau tajam yang tidak berkarat setelah dicuci dengan
alkohol.
Keberhasilan pemasaran sangat ditentukan oleh penanganan pascapanen
yang tepat, karena akan dapat mempertahankan karakteristik jamur merang
supaya tetap segar hingga ke konsumen dan tahan lama. Saat yang paling tepat
untuk memanen jamur merang adalah pada fase kancing dan fase telur karena
lebih disukai oleh konsumen. Kandungan gizi jamur merang dapat dilihat pada
Tabel 1.
6
Tabel 1 Hasil analisis nutrisi jamur merang di Laboratorium Food and Nutrition
Research Institute Philipine
Kandungan gizi per 100 g jamur merang Kondisi segar Dikeringkan
pada 105⁰C
Air (%) 87.7 14.9
Energi (kal) 39.0 274.0
Protein (g) 3.8 16.0
Lemak (g) 0.6 0.9
Total karbohidrat (g) 6.0 64.6
Serat (g) 1.2 4.0
Abu (g) 1.0 3.6
Kalsium (g) 3.0 51.0
Fosfor (mg) 94.0 223.0
Besi (mg) 1.7 6.7
Thiamin (mg) 0.11 0.09
Riboflavin (mg) 0.17 1.06
Niacin (mg) 8.3 19.7
Asam askorbat (mg) 8.0 - Sumber : Julianti (1997)
Standar mutu jamur yang sesuai dengan SNI 01-6945-2003, mencakup ciri
khas jamur merang seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Ciri khas kultivar jamur merang segar (Volvariella volvaceae)
No Komponen Ciri Khas
1. Ukuran Kecil sampai besar
2. Bobot (g) 100 – 400
3. Bentuk Bulat atau lonjong dan tidak bertangkai
4. Kulit Halus, berbulu tipis
5. Warna Putih bersih
6. Daging Tebal
7. Aroma Tidak bau Sumber : SNI 01-6945-2003
2.3. Perubahan Fisiologis Lepas Panen Jamur Merang
Jamur merang setelah panen akan mengalami perubahan-perubahan yang
dapat menurunkan mutunya, terutama bila penanganannya kurang tepat atau
kurang hati-hati. Jamur merang, memiliki kandungan air yang sangat tinggi
sehingga bersifat mudah rusak atau perishable.
Perubahan-perubahan yang dapat terjadi adalah pengerutan, pemekaran,
pencoklatan (browning), berair, kehilangan air, perubahan tekstur, aroma dan
flavor. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi karena proses metabolisme,
7
reaksi-reaksi kimia, atau pertumbuhan mikroorganisme kontaminan yang terus
berlangsung dalam jaringan selama penyimpanan/pasca panen.
Perubahan-perubahan tersebut didahului oleh peningkatan laju respirasi, dan
penghentian suplai nutrien yang akan mempercepat sejumlah reaksi yang
irreversibel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada jamur (Cho et al., 1982).
Proses Respirasi
Respirasi merupakan metabolisme penting yang harus diperhatikan pada
jamur merang segar, karena akan terus berlangsung setelah proses pemanenan.
Pada proses respirasi, terjadi perubahan-perubahan pada kandungan nutrisi jamur
merang yang akan mengakibatkan perubahan fisiknya pula. Respirasi merupakan
pemecahan senyawa kompleks, terutama pati menjadi molekul sederhana seperti
karbondioksida, air, dan energi, serta terjadinya kehilangan substrat. Besar
kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang,
O2 yang digunakan, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi
yang timbul (Pantastico,1986). Metabolisme ditujukan untuk memenuhi
keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh bahan pangan tersebut agar dapat
melangsungkan kehidupan pasca panennya, terutama dalam bentuk energi.
Laju respirasi produk segar merupakan indikator yang baik terhadap aktivitas
metabolisme jaringan dan merupakan pedoman potensi masa simpan produk segar
(Pantastico, 1986). Makin cepat laju respirasinya berarti makin cepat pula terjadi
pemecahan senyawa kompleks yang menandakan semakin cepatnya terjadi
penurunan mutu jamur merang. Laju respirasi jamur merang pada beberapa
tingkat suhu disajikan pada Tabel 3. Nilai RQ jamur merang lebih dari 1,
menunjukkan bahwa respirasi yang terjadi menggunakan substrat yang
mengandung O2, yaitu asam-asam organik.
Tabel 3 Laju respirasi dan nilai RQ jamur merang
Suhu (⁰C) Laju respirasi (ml/kg-jam)
RQ Produksi CO2 Konsumsi O2
10 40.111 26.065 1.54
28 480.808 345.500 1.39 Sumber : Julianti, 1997
8
Perubahan Kadar Air
Jamur merang memiliki kandungan air yang tinggi yaitu sekitar 87,7%.
Laju respirasi yang cepat akan menyebabkan kehilangan air yang cepat pula. Laju
kehilangan air tergantung pada 1) struktur dan kondisi jamur, 2) suhu dan RH
lingkungan, dan 3) gerakan udara dan tekanan udara. Evaporasi terjadi lebih
lambat pada fase kancing, kemudian meningkat pada fase berikutnya dan paling
cepat pada saat pemekaran tudung (Cho et al., 1982). Pengaruh utama kehilangan
air adalah susut bobot yang memperlihatkan ciri fisik terjadinya pelayuan dan
pengerutan, dengan tekstur yang liat.
Pemekaran Tudung
Aktivitas metabolisme yang terus terjadi pada jamur merang setelah panen
akan mengakibatkan mekarnya tudung, yang akan menyebabkan peningkatan
kadar protein dan lemak serta penurunan nilai energi. Pemekaran tudung pada
jamur merang adalah hal yang harus dihindari, karena dapat menurunkan mutu
yang sekaligus menurunkan harga jualnya.
Perubahan Warna
Perubahan warna pada jamur merang adalah salah satu parameter yang
paling menentukan mutu. Perubahan warna dapat disebabkan akibat reaksi
pencoklatan enzimatis atau pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Pseudomonas
tolasii (Julianti, 1997). Proses pengupasan, pencucian, adanya kerusakan
mekanis, dan senesensi juga mempengaruhi perubahan warna pada jamur merang.
Jamur merang yang disimpan pada suhu kamar akan cepat mengalami perubahan
warna menjadi coklat (Julianti, 1997).
Pada jamur terdapat enzim polifenol oksidase, sehingga kehadiran 02 dan
substrat akan mengkatalisa oksidasi komponen fenolik menjadi quinon yang
berwarna coklat, kemudian bergabung dengan asam amino derivatif membentuk
kompleks melanoidin yang berwarna coklat dan disebut dengan pencoklatan
enzimatis. Reaksi ini dapat dikontrol dengan penginaktifan enzim oleh panas, S02
atau perubahan pH akibat penambahan asam (Cho et al., 1982). Reaksi
pencoklatan pada jamur dapat dikontrol dengan penyimpanan pada suhu rendah
(Julianti, 1997).
9
Penyimpangan Bau
Oksidasi lemak yang terjadi karena kehadiran asam-asam lemak tak jenuh
pada jamur merang dapat menyebabkan penyimpangan bau. Hal yang sama juga
dapat diakibatkan oleh oksidasi protein dan berkembangnya mikroorganisme
pembusuk (Cho et al., 1982).
2.4. Pembekuan
Pembekuan merupakan proses menghilangkan panas pada produk pangan
dan mempertahankan suhu penyimpanannya di bawah titik beku. Pembekuan
memiliki pengaruh yang menguntungkan pada produk pangan, yaitu dengan
penurunan suhu akan memperlambat reaksi biokimia serta menghambat
pertumbuhan mikroorganisme patogen yang menyebabkan penurunan mutu,
seperti reaksi oksidasi lemak, denaturasi protein, atau aktivitas enzim hidrolitik
(Tucker, 2008). Perubahan nutrisi dan kualitas organoleptik pada produk pangan
akan sangat kecil dengan melakukan pembekuan. Pembekuan juga dapat
mengurangi penggunaan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan,
karena mampu mencegah perkembangan mikroorganisme (Evans, 2008).
Prinsip pembekuan adalah memindahkan air dari matriks produk pangan
dengan membentuk kristal es. Kristal es yang terdapat dalam jaringan produk
pangan akan menyebabkan air sisa yang tidak membeku akan meningkat
konsentrasinya dengan padatan terlarut, sehingga dapat menurunkan Aw.
Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat hidup pada Aw di bawah 7,0 (Evans,
2008). Pada proses pembekuan kandungan air produk pangan mengalami
perubahan bentuk menjadi kristal-kristal es, yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi sehingga dapat menurunkan aktivitas air (Aw) pada produk pangan
(Fellows, 2000). Pengawetan pada bahan pangan dapat dicapai dengan
menggabungkan suhu rendah dan menurunkan Aw.
Proses pembekuan membutuhkan energi untuk digunakan dalam perubahan
fase dari air menjadi es, yang sering disebut dengan panas laten kristalisasi. Yang
paling penting dalam pembekuan adalah laju pembekuan yang digunakan untuk
menghilangkan panas pada produk pangan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Pada bahan pangan segar, panas dari respirasi juga harus diperhitungkan. Pada
bahan pangan yang banyak mengandung air, memiliki panas spesifik sebesar
10
4200J kg-1
K-1
dan panas laten sebesar 335 kJ kg-1
(Fellows, 2000). Pindah panas
pada bahan pangan umumnya secara konveksi, yaitu pindah panas antara udara
pembeku dengan permukaan bahan pangan
Proses pembekuan dimulai dari permukaan bahan pangan yang langsung
berhubungan dengan media pembeku padat (misalnya heat exchanger plates pada
suhu -30⁰C hingga -40⁰C, dry ice pada suhu -78,5⁰C, cairan kriogenik nitrogen
pada suhu -196⁰C). Permukaan bahan pangan akan membeku lebih cepat
dibandingkan bagian dalamnya, karena panas pada bagian dalam harus melalui
permukaan dengan konduksi (Evans, 2008). Proses pembekuan sangat
dipengaruhi oleh laju pembekuan bahan pangan, dimana durasi proses pembekuan
tergantung pada laju pembekuan (⁰C/menit), sesuai dengan definisi yang
dinyatakan oleh International Institute of Refrigeration dalam Thorne (1989),
yaitu perbedaan antara suhu awal dan suhu akhir dibagi dengan waktu
pembekuan. Waktu pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan dari awal
pembekuan hingga suhu akhir pembekuan tercapai.
Laju pembekuan mempengaruhi kualitas bahan pangan, dimana pada laju
pembekuan lambat terjadi pertumbuhan kristal es yang lebih cepat dibandingkan
dengan pembentukan kristal esnya, sehingga menghasilkan kristal es yang besar
dan dapat merusak jaringan bahan pangan. Sedangkan pada laju pembekuan
cepat, terjadi pembentukan kristal es yang lebih cepat daripada pertumbuhan
kristal esnya, sehingga terbentuk kristal es berukuran kecil, seperti diilustrasikan
pada Gambar 2.
Pada pembekuan dengan laju yang rendah, kristal es akan terbentuk di
daerah interselular, kemudian merusak dan memecah dinding sel yang berdekatan.
Air yang berada dalam sel akan keluar menuju kristal es yang membesar, karena
es memiliki tekanan uap air yang lebih kecil daripada bahan pangan. Akibat air
yang keluar dari dalam sel, menyebabkan sel terdehidrasi dan rusak dengan
meningkatnya konsentrasi larutan dan rusaknya dinding sel. Bila bahan pangan
beku tersebut di-thawing, sel tidak akan kembali menjadi bentuk dan besarnya
semula. Bahan pangan akan menjadi lebih lunak dan bagian dalam sel akan
keluar melalui dinding sel yang rusak, yang disebut dengan istilah drip loss.
11
Gambar 2 Pengaruh laju pembekuan terhadap jaringan tanaman (a) pembekuan
lambat (b) pembekuan cepat (Sumber : Fellow, 2000)
Pada pembekuan cepat, kristal es yang terbentuk berukuran kecil, baik di
dalam atau di daerah interselular. Kerusakan fisik sel yang terjadi sangat kecil
dan perbedaan tekanan uap air tidak terjadi, sehingga dehidrasi sel yang terjadi
juga sangat kecil. Hal tersebut menyebabkan tekstur bahan pangan tetap terjaga
dalam kondisi yang baik. Namun pembekuan yang terlalu cepat dapat
menyebabkan jaringan terbelah atau pecah.
Kisaran suhu yang dapat menyebabkan kerusakan permanen berada pada
1⁰C hingga -5⁰C. Bahan pangan yang melalui proses pembekuan harus
melampaui kisaran suhu tersebut dalam waktu yang relatif cepat. Untuk
mendapatkan pembentukan kristal es yang kecil, suhu 0⁰C dan -3,9⁰C harus
dilampaui dalam waktu kurang dari 30 menit (Evans, 2008).
Proses pembekuan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan laju
pembekuannya. Menurut Alvarest, et al. (1997) laju pembekuan di bawah
0,5˚C/menit termasuk dalam pembekuan lambat, dan 2˚C/menit termasuk dalam
laju pembekuan cepat. Sedangkan menurut Delgado et al. (2005), laju
pembekuan dibagi menjadi 3, yaitu seperti ditampilkan pada Tabel 4.
12
Tabel 4 Klasifikasi laju pembekuan
No Jenis Pembekuan Laju pembekuan
1. Pembekuan lambat 0,02-0,2˚C/menit
2. Pembekuan komersial 0,2-0,83˚C/menit
3. Pembekuan cepat >0,83˚C/menit Sumber : Delgado et al. (2005)
Menurut Alvarez, et al. (1997), pembekuan cepat memiliki hasil yang baik
pada tekstur kentang, wortel, cranberries, dan blackberries. Pada wortel yang
dibekukan secara cepat mampu mempertahankan ketegaran (firmness) dengan
lebih baik. Proses pembekuan dilakukan hingga panas di bagian terdalam dari
bahan pangan telah hilang atau telah beku. Tahapan proses pembekuan dijelaskan
pada Gambar 3. Pada tahap AS, bahan pangan dibekukan hingga di bawah titik
beku.
Gambar 3 Grafik waktu dan suhu selama proses pembekuan (Sumber : Fellows,
2000)
Pada titik S, air masih berupa larutan, walaupun berada di bawah titik beku
(disebut fenomena supercooling) hingga 10⁰C. Pada tahap SB, suhu akan
meningkat secara cepat mencapai titik beku dimana kristal es mulai terbentuk dan
panas laten kristalisasi dilepaskan. Tahap BC merupakan pelepasan panas dari
bahan pangan dengan laju yang sama, panas laten dihilangkan seiring dengan
pembentukan es dan suhu mulai stabil. Tahap CD, larutan mulai jenuh dan
mengkristal. Pada tahap DE, kristalisasi air dan larutan masih terjadi. Waktu
yang dibutuhkan (tf) ditentukan oleh laju penghilangan panas. Pada tahap EF,
suhu es akan turun hingga mencapai suhu freezing. Pada suhu pembekuan
13
komersil, terdapat sejumlah air yang tidak membeku, yang jumlahnya tergantung
pada jenis dan komposisi bahan pangan, serta suhu penyimpanan (Fellows, 2000).
Bahan pangan segar memiliki kandungan air dan titik beku yang berbeda-
beda tiap komoditas, seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Kadar air yang tinggi
pada sayuran dan buah menyebabkannya rentan terhadap kristal es yang terbentuk
dan thawing, dibandingkan dengan bahan pangan yang lain. Sayuran lebih tahan
terhadap pembekuan dibandingkan dengan buah berdasarkan karakteristik yang
dimiliki.
Tabel 5 Kandungan air dan titik beku pada beberapa bahan pangan
Bahan Pangan Kandungan Air (%) Titik Beku (⁰C)
Sayuran 78 – 92 -0,8 s/d -2,8
Buah 87 – 95 -0,9 s/d -2,7
Daging 55 – 70 -1,7 s/d -2,2
Ikan 65 – 81 -0,6 s/d -2,0
Susu 87 -0,5
Telur 74 -0,5 Sumber : Fellows, 2000
Jaringan buah dan sayuran memiliki struktur sel yang rentan terhadap
peningkatan volume kristal es sehingga menyebabkan kerusakan pembekuan yang
irreversible. Kerusakan yang terjadi pada jaringan bahan pangan akibat
pembekuan dapat menyebabkan hilangnya fungsi membran sel, gangguan pada
sistem metabolisme, denaturasi protein, perpindahan kandungan air dari intrasel
menuju ekstrasel secara tetap, reaksi enzim, dan kerusakan jaringan yang cukup
parah. Terdapat 4 jenis kerusakan yang disebabkan oleh pembekuan menurut Sun
et al. (2002), yaitu :
1. Kerusakan dingin (chilling damage), disebabkan karena jaringan kontak
dengan suhu dingin.
2. Kerusakan akibat konsentrasi larutan (solute-concentration damage),
disebabkan peningkatan konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar
dan pembentukan kristal es.
3. Kerusakan dehidrasi (dehydration damage), disebabkan peningkatan
konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan perpindahan air
secara osmosis dari intrasel.
14
4. Kerusakan mekanik (mechanical damage), disebabkan karena pembentukan
kristal es yang berukuran besar dan keras.
Sebelum proses pembekuan dilakukan, perlakuan pendahuluan terhadap
bahan pangan diperlukan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme,
menghilangkan bagian yang tidak diperlukan, serta meminimalkan keragaman
produk. Perlakuan pendahuluan yang umumnya dilakukan adalah pencucian atau
pembersihan, sortasi, grading, atau pengupasan dan pengirisan bila diperlukan.
Jenis bahan pembeku yang sering digunakan untuk pembekuan dan titik
didihnya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis bahan pembeku dan titik didihnya.
No. Bahan Pembeku Titik Didih (˚C)
1. Amonia -33
2. Sulfur dioksida -10
3. Freon/Dichlorofluorometan 8,9
4. Karbondioksida cair/padat (dryice) -78,5
5. Nitrogen cair -196 Sumber : Singh et al., 2005
Amonia, sulfur dioksida, dan freon umum digunakan sebagai bahan
pendingin di refrigerator, walaupun penggunaan freon sudah dilarang karena
berbahaya. Karbondioksida dan nitrogen cair umumnya digunakan sebagai
cryogen pada pembekuan kriogenik atau pembekuan sangat cepat.
Karbondioksida padat lebih sering digunakan untuk mendinginkan produk beku
ataupun produk segar pada suatu kemasan. Menurut Swain et al. (1999),
pengunaan karbondioksida padat atau dry ice memiliki keuntungan sebagai
alternatif pendingin mekanik saat distribusi produk dingin ataupun produk beku.
2.5. Thawing
Thawing adalah kebalikan dari proses pembekuan, yaitu penggunaan energi
oleh bahan pangan untuk melelehkan kristal es (Evans, 2008). Thawing
merupakan suatu proses yang kritis, karena selama proses tersebut, suhu bahan
pangan akan meningkat sehingga memiliki resiko untuk perkembangan
mikroorganisme, namun saat ini thawing banyak dilakukan di akhir rantai
pasokan, yaitu dilakukan oleh konsumen di rumah untuk langsung dimasak,
sehingga mengurangi resiko bahayanya.
15
Bahan pangan yang di-thawing setelah penyimpanan beku, seharusnya
memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan bahan pangan segar. Namun
pada bahan pangan yang sangat peka, hal tersebut akan sangat sulit dicapai. Pada
komoditas seperti roti, daging, ikan, dan sayuran, kualitas bahan pangan yang
sudah di-thawing harus benar-benar dapat dibandingkan dengan bahan pangan
segarnya (Evans, 2008)
Thawing dapat dilakukan di udara terbuka atau di dalam air, dimana es akan
meleleh menjadi lapisan air, dan memerlukan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan proses pembekuan (Fellows, 2000). Perubahan suhu pada
proses thawing dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahap AB, lapisan air pada
permukaan bahan pangan mulai hilang, dan pada BC, terjadi pelelehan kristal es
di dalam bahan pangan, yang akan memperlihatkan kerusakan akibat pembekuan
lambat, yaitu keluarnya cairan sel atau drip loss.
Gambar 4 Perubahan suhu selama thawing (Sumber : Fellows, 2000)
2.6. Perubahan Akibat Pembekuan
Perubahan Fisik
Perlakuan pembekuan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang
mempengaruhi kualitas bahan pangan. Perubahan yang dapat terjadi adalah
perubahan sifat fisik dan kimiawi, sehingga mempengaruhi kualitas bahan pangan
beku. Perubahan fisik yang terjadi adalah :
1. Warna
2. Peningkatan volume
16
3. Perubahan bobot
4. Freeze burn
5. Sifat fungsional, seperti tekstur, konsistensi, appearance, sifat organoleptik,
dan water holding capacity
Perubahan Kimiawi
Perubahan kimiawi juga dapat terjadi pada proses pembekuan, yaitu :
1. Terjadinya ketengikan pada bahan pangan yang berlemak
2. Kehilangan warna
3. Kehilangan flavor dan aroma
4. Kehilangan vitamin
5. Denaturasi protein
2.7. Dry ice/Karbondioksida Padat
Dry ice atau es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang berbentuk
padat, merupakan salah satu refrigeran yang umum digunakan, selain nitrogen dan
karbondioksida cair. Dry ice memiliki titik didih yang cukup rendah, yaitu
-78,5⁰C dan langsung menyublim menjadi gas CO2, sehingga tidak menyisakan
cairan seperti es batu ketika meleleh. Sifat-sifat beberapa bahan pembeku seperti
pada Tabel 7.
Tabel 7 Sifat-sifat bahan pembeku
Sifat Nitrogen cair Karbondioksida
Densitas (kg m-3
) 784 464
Panas spesifik (kJ kg-1
K-1
) 1.04 2.26
Panas laten (kJ kg-1
) 358 352
Total penggunaan untuk pendinginan
(kJ kg-1
)
690 565
Titik didih (˚C) -196 -78.5(sublimasi)
Termal konduktivitas (W m-1
K-1
) 0.29 0.19
Konsumsi /100g produk beku (g) 100 - 300 120 – 375 Sumber : Sigh et al., 2005
Dry ice merupakan produk sampingan yang dihasilkan oleh industri yang
menghasilkan amonia dan nitrogen dari gas alam atau industri fermentasi skala
besar. Udara dengan konsentrasi CO2 tinggi ditingkatkan tekanannya dan
didinginkan hingga berubah menjadi cairan. Setelah menjadi cairan, tekanan
diturunkan, sehingga menyebabkan suhunya menjadi sangat rendah dan merubah
17
cairan menjadi butiran es seperti salju. Butiran-butiran salju tersebut kemudian
dibentuk seperti yang diinginkan oleh konsumen. Saat ini, umumnya dry ice
berbentuk berupa silinder berukuran kecil seperti pelet atau berupa balok besar
berukuran 50 kg. Dry ice yang dihasilkan oleh PT Petrokimia Gresik berbentuk
balok berukuran 50 kg. Dry ice bisa didapatkan di distributor es krim besar, yang
menggunakannya untuk mendinginkan produk supaya tetap beku.
Dry ice memiliki sifat seperti es batu, bila disimpan pada suhu tinggi, akan
makin cepat menyublim menjadi gas. Kecepatan sublimasi dry ice adalah 3,5%
perhari (http://www.dryicesource. com) atau akan berkurang sebanyak 1/3 bagian
pada penyimpanan di suhu kamar selama 12 jam. Bila pada termos biasa, akan
menyublim dengan kecepatan 5-10 lb (2,25-4,5kg) pada penyimpanan selama 24
jam.
Dry ice memberikan energi 2 kali lebih besar untuk mendinginkan produk
per lb berat produk (1 lb = 0,45 kg) dan 3 kali lebih besar energi pendinginan per
volume dibandingkan es batu biasa (H2O) (http://www.dryiceinfo.com). Dry ice
sering digunakan untuk mempertahankan produk beku pada penyimpanan, seperti
produk es krim. Di bidang industri, sering digunakan untuk menghancurkan atau
mematahkan ubin dengan cara dikerutkan kemudian dipatahkan. Selain itu juga
sering digunakan untuk membekukan air dalam saluran pipa selama dilakukan
proses perbaikan pada bagian pipa yang rusak. Dry ice juga dapat digunakan
untuk membuat kabut pada pementasan teater, dan pada bidang pangan sering
digunakan untuk membuat minuman berkarbonasi, seperti softdrink dan bir. Dry
ice juga dapat digunakan sebagai perangkap nyamuk, sebagai bahan untuk
fumigasi, untuk mendinginkan dan menghambat bunga mekar saat distribusi
tanaman bunga, dan untuk penyimpanan bahan pangan
Namun selain memiliki manfaat yang banyak, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menangani dry ice. Dry ice memiliki suhu yang sangat
rendah, sehingga bila tersentuh dengan kulit atau produk pangan secara langsung
akan mengakibatkan kerusakan. Kulit manusia akan melekat kuat pada dry ice
dan menimbulkan luka seperti luka bakar, sedangkan pada produk pangan akan
mengakibatkan kerusakan atau penurunan mutu. Untuk mengantisipasi kerusakan
yang terjadi dalam penanganannya, dry ice lebih baik dibungkus dengan kain atau