ii. tinjauan pustaka · kelapa, daun pisang, eceng gondok, ampas sagu, atau serbuk gergaji (sinaga,...

15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Merang Jamur merang (Volvariella volvaceae) termasuk dalam kingdom Mycetae, Divisi Amastigomycota dan sub divisi Basidiomycotina, kelas Basidiomycetes, subkelas Holobasidiomycetes, ordo Agaricales, famili Plutaceae, genus Volvariella dan species Volvariella volvaceae (Sinaga, 2000). Warna tudung jamur merang bermacam-macam yaitu putih bersih, abu-abu dan hitam. Perbedaan warna ini disebabkan oleh bibit yang berbeda, pengaruh penyinaran dan sirkulasi udara. Jamur dengan warna tudung hitam lebih banyak diminati pasar ekspor. Jamur merang merupakan salah satu jamur yang dapat tumbuh pada temperatur yang cukup tinggi. Pertumbuhan vegetatif pada suhu 32-34 0 C, dimana jamur ini tumbuh dengan cepat dalam waktu sekitar 8-10 hari mulai dari pembenihan hingga panen (Chang et al., 2004). Berbagai macam sumber selulosa dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur merang, namun Volvariella volvaceae tetap dikenal dengan nama jamur merang. Media yang dapat digunakan untuk menumbuhkan jamur merang adalah tumpukan merang, limbah kapas, sorgum, gandum, jagung, tembakau, limbah sayuran, ampas tebu, sabut kelapa, daun pisang, eceng gondok, ampas sagu, atau serbuk gergaji (Sinaga, 2000). Selain itu menurut Widiyastuti (2007) juga bisa menggunakan ampas aren atau kardus bekas. 2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang Pertumbuhan basidiokarp jamur merang secara kasar dibagi menjadi 6 tahap yaitu jarum pentul (pinhead) yang merupakan tahap awal pertumbuhan jamur, kancing kecil (tiny button), kancing (button) yang masih berbentuk bulat kecil. Kemudian dilanjutkan dengan fase telur ( egg), yang mulai berbentuk oval, dilanjutkan dengan pemanjangan (elongation), dan dewasa (mature). Pada fase dewasa, jamur sudah berupa volva, stripe, dan pileus (Sinaga, 2000). Bentuk- bentuk fase pertumbuhan jamur merang dapat dilihat pada Gambar 1.

Upload: hahanh

Post on 09-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jamur Merang

Jamur merang (Volvariella volvaceae) termasuk dalam kingdom Mycetae,

Divisi Amastigomycota dan sub divisi Basidiomycotina, kelas Basidiomycetes,

subkelas Holobasidiomycetes, ordo Agaricales, famili Plutaceae, genus

Volvariella dan species Volvariella volvaceae (Sinaga, 2000). Warna tudung

jamur merang bermacam-macam yaitu putih bersih, abu-abu dan hitam. Perbedaan

warna ini disebabkan oleh bibit yang berbeda, pengaruh penyinaran dan sirkulasi

udara. Jamur dengan warna tudung hitam lebih banyak diminati pasar ekspor.

Jamur merang merupakan salah satu jamur yang dapat tumbuh pada

temperatur yang cukup tinggi. Pertumbuhan vegetatif pada suhu 32-340C, dimana

jamur ini tumbuh dengan cepat dalam waktu sekitar 8-10 hari mulai dari

pembenihan hingga panen (Chang et al., 2004). Berbagai macam sumber selulosa

dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur merang, namun Volvariella

volvaceae tetap dikenal dengan nama jamur merang. Media yang dapat

digunakan untuk menumbuhkan jamur merang adalah tumpukan merang, limbah

kapas, sorgum, gandum, jagung, tembakau, limbah sayuran, ampas tebu, sabut

kelapa, daun pisang, eceng gondok, ampas sagu, atau serbuk gergaji (Sinaga,

2000). Selain itu menurut Widiyastuti (2007) juga bisa menggunakan ampas aren

atau kardus bekas.

2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang

Pertumbuhan basidiokarp jamur merang secara kasar dibagi menjadi 6 tahap

yaitu jarum pentul (pinhead) yang merupakan tahap awal pertumbuhan jamur,

kancing kecil (tiny button), kancing (button) yang masih berbentuk bulat kecil.

Kemudian dilanjutkan dengan fase telur (egg), yang mulai berbentuk oval,

dilanjutkan dengan pemanjangan (elongation), dan dewasa (mature). Pada fase

dewasa, jamur sudah berupa volva, stripe, dan pileus (Sinaga, 2000). Bentuk-

bentuk fase pertumbuhan jamur merang dapat dilihat pada Gambar 1.

5

Gambar 1 Fase perkembangan jamur merang, yaitu (A) fase kancing, (B) fase

telur, (C) fase pemanjangan, dan (D) fase dewasa

Jamur merang sudah dapat dipanen setelah berumur 10-14 hari sejak tanam.

Panen dilakukan setiap hari hingga tanaman berumur sebulan. Namun setelah

panen 4-5 kali, diistirahat selama 2-3 hari sebelum dipanen kembali (Suharjo,

2007). Pemanenan jamur merang umumnya dilakukan sebelum fase

pemanjangan atau pada fase kancing (Sinaga, 2000), namun pemanenan pada fase

telur akan mendapatkan aroma paling baik dan paling tepat untuk pemasaran

(Stamet, 1993). Jamur merang pada fase telur berukuran sebesar telur burung

puyuh hingga sebesar telur ayam dengan berat per buah sekitar 10-150 gram.

Pemanenan jamur merang sangat mudah tetapi harus dilakukan secara hati-hati

menggunakan tangan atau pisau tajam yang tidak berkarat setelah dicuci dengan

alkohol.

Keberhasilan pemasaran sangat ditentukan oleh penanganan pascapanen

yang tepat, karena akan dapat mempertahankan karakteristik jamur merang

supaya tetap segar hingga ke konsumen dan tahan lama. Saat yang paling tepat

untuk memanen jamur merang adalah pada fase kancing dan fase telur karena

lebih disukai oleh konsumen. Kandungan gizi jamur merang dapat dilihat pada

Tabel 1.

6

Tabel 1 Hasil analisis nutrisi jamur merang di Laboratorium Food and Nutrition

Research Institute Philipine

Kandungan gizi per 100 g jamur merang Kondisi segar Dikeringkan

pada 105⁰C

Air (%) 87.7 14.9

Energi (kal) 39.0 274.0

Protein (g) 3.8 16.0

Lemak (g) 0.6 0.9

Total karbohidrat (g) 6.0 64.6

Serat (g) 1.2 4.0

Abu (g) 1.0 3.6

Kalsium (g) 3.0 51.0

Fosfor (mg) 94.0 223.0

Besi (mg) 1.7 6.7

Thiamin (mg) 0.11 0.09

Riboflavin (mg) 0.17 1.06

Niacin (mg) 8.3 19.7

Asam askorbat (mg) 8.0 - Sumber : Julianti (1997)

Standar mutu jamur yang sesuai dengan SNI 01-6945-2003, mencakup ciri

khas jamur merang seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Ciri khas kultivar jamur merang segar (Volvariella volvaceae)

No Komponen Ciri Khas

1. Ukuran Kecil sampai besar

2. Bobot (g) 100 – 400

3. Bentuk Bulat atau lonjong dan tidak bertangkai

4. Kulit Halus, berbulu tipis

5. Warna Putih bersih

6. Daging Tebal

7. Aroma Tidak bau Sumber : SNI 01-6945-2003

2.3. Perubahan Fisiologis Lepas Panen Jamur Merang

Jamur merang setelah panen akan mengalami perubahan-perubahan yang

dapat menurunkan mutunya, terutama bila penanganannya kurang tepat atau

kurang hati-hati. Jamur merang, memiliki kandungan air yang sangat tinggi

sehingga bersifat mudah rusak atau perishable.

Perubahan-perubahan yang dapat terjadi adalah pengerutan, pemekaran,

pencoklatan (browning), berair, kehilangan air, perubahan tekstur, aroma dan

flavor. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi karena proses metabolisme,

7

reaksi-reaksi kimia, atau pertumbuhan mikroorganisme kontaminan yang terus

berlangsung dalam jaringan selama penyimpanan/pasca panen.

Perubahan-perubahan tersebut didahului oleh peningkatan laju respirasi, dan

penghentian suplai nutrien yang akan mempercepat sejumlah reaksi yang

irreversibel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada jamur (Cho et al., 1982).

Proses Respirasi

Respirasi merupakan metabolisme penting yang harus diperhatikan pada

jamur merang segar, karena akan terus berlangsung setelah proses pemanenan.

Pada proses respirasi, terjadi perubahan-perubahan pada kandungan nutrisi jamur

merang yang akan mengakibatkan perubahan fisiknya pula. Respirasi merupakan

pemecahan senyawa kompleks, terutama pati menjadi molekul sederhana seperti

karbondioksida, air, dan energi, serta terjadinya kehilangan substrat. Besar

kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang,

O2 yang digunakan, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi

yang timbul (Pantastico,1986). Metabolisme ditujukan untuk memenuhi

keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh bahan pangan tersebut agar dapat

melangsungkan kehidupan pasca panennya, terutama dalam bentuk energi.

Laju respirasi produk segar merupakan indikator yang baik terhadap aktivitas

metabolisme jaringan dan merupakan pedoman potensi masa simpan produk segar

(Pantastico, 1986). Makin cepat laju respirasinya berarti makin cepat pula terjadi

pemecahan senyawa kompleks yang menandakan semakin cepatnya terjadi

penurunan mutu jamur merang. Laju respirasi jamur merang pada beberapa

tingkat suhu disajikan pada Tabel 3. Nilai RQ jamur merang lebih dari 1,

menunjukkan bahwa respirasi yang terjadi menggunakan substrat yang

mengandung O2, yaitu asam-asam organik.

Tabel 3 Laju respirasi dan nilai RQ jamur merang

Suhu (⁰C) Laju respirasi (ml/kg-jam)

RQ Produksi CO2 Konsumsi O2

10 40.111 26.065 1.54

28 480.808 345.500 1.39 Sumber : Julianti, 1997

8

Perubahan Kadar Air

Jamur merang memiliki kandungan air yang tinggi yaitu sekitar 87,7%.

Laju respirasi yang cepat akan menyebabkan kehilangan air yang cepat pula. Laju

kehilangan air tergantung pada 1) struktur dan kondisi jamur, 2) suhu dan RH

lingkungan, dan 3) gerakan udara dan tekanan udara. Evaporasi terjadi lebih

lambat pada fase kancing, kemudian meningkat pada fase berikutnya dan paling

cepat pada saat pemekaran tudung (Cho et al., 1982). Pengaruh utama kehilangan

air adalah susut bobot yang memperlihatkan ciri fisik terjadinya pelayuan dan

pengerutan, dengan tekstur yang liat.

Pemekaran Tudung

Aktivitas metabolisme yang terus terjadi pada jamur merang setelah panen

akan mengakibatkan mekarnya tudung, yang akan menyebabkan peningkatan

kadar protein dan lemak serta penurunan nilai energi. Pemekaran tudung pada

jamur merang adalah hal yang harus dihindari, karena dapat menurunkan mutu

yang sekaligus menurunkan harga jualnya.

Perubahan Warna

Perubahan warna pada jamur merang adalah salah satu parameter yang

paling menentukan mutu. Perubahan warna dapat disebabkan akibat reaksi

pencoklatan enzimatis atau pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Pseudomonas

tolasii (Julianti, 1997). Proses pengupasan, pencucian, adanya kerusakan

mekanis, dan senesensi juga mempengaruhi perubahan warna pada jamur merang.

Jamur merang yang disimpan pada suhu kamar akan cepat mengalami perubahan

warna menjadi coklat (Julianti, 1997).

Pada jamur terdapat enzim polifenol oksidase, sehingga kehadiran 02 dan

substrat akan mengkatalisa oksidasi komponen fenolik menjadi quinon yang

berwarna coklat, kemudian bergabung dengan asam amino derivatif membentuk

kompleks melanoidin yang berwarna coklat dan disebut dengan pencoklatan

enzimatis. Reaksi ini dapat dikontrol dengan penginaktifan enzim oleh panas, S02

atau perubahan pH akibat penambahan asam (Cho et al., 1982). Reaksi

pencoklatan pada jamur dapat dikontrol dengan penyimpanan pada suhu rendah

(Julianti, 1997).

9

Penyimpangan Bau

Oksidasi lemak yang terjadi karena kehadiran asam-asam lemak tak jenuh

pada jamur merang dapat menyebabkan penyimpangan bau. Hal yang sama juga

dapat diakibatkan oleh oksidasi protein dan berkembangnya mikroorganisme

pembusuk (Cho et al., 1982).

2.4. Pembekuan

Pembekuan merupakan proses menghilangkan panas pada produk pangan

dan mempertahankan suhu penyimpanannya di bawah titik beku. Pembekuan

memiliki pengaruh yang menguntungkan pada produk pangan, yaitu dengan

penurunan suhu akan memperlambat reaksi biokimia serta menghambat

pertumbuhan mikroorganisme patogen yang menyebabkan penurunan mutu,

seperti reaksi oksidasi lemak, denaturasi protein, atau aktivitas enzim hidrolitik

(Tucker, 2008). Perubahan nutrisi dan kualitas organoleptik pada produk pangan

akan sangat kecil dengan melakukan pembekuan. Pembekuan juga dapat

mengurangi penggunaan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan,

karena mampu mencegah perkembangan mikroorganisme (Evans, 2008).

Prinsip pembekuan adalah memindahkan air dari matriks produk pangan

dengan membentuk kristal es. Kristal es yang terdapat dalam jaringan produk

pangan akan menyebabkan air sisa yang tidak membeku akan meningkat

konsentrasinya dengan padatan terlarut, sehingga dapat menurunkan Aw.

Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat hidup pada Aw di bawah 7,0 (Evans,

2008). Pada proses pembekuan kandungan air produk pangan mengalami

perubahan bentuk menjadi kristal-kristal es, yang mengakibatkan peningkatan

konsentrasi sehingga dapat menurunkan aktivitas air (Aw) pada produk pangan

(Fellows, 2000). Pengawetan pada bahan pangan dapat dicapai dengan

menggabungkan suhu rendah dan menurunkan Aw.

Proses pembekuan membutuhkan energi untuk digunakan dalam perubahan

fase dari air menjadi es, yang sering disebut dengan panas laten kristalisasi. Yang

paling penting dalam pembekuan adalah laju pembekuan yang digunakan untuk

menghilangkan panas pada produk pangan dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Pada bahan pangan segar, panas dari respirasi juga harus diperhitungkan. Pada

bahan pangan yang banyak mengandung air, memiliki panas spesifik sebesar

10

4200J kg-1

K-1

dan panas laten sebesar 335 kJ kg-1

(Fellows, 2000). Pindah panas

pada bahan pangan umumnya secara konveksi, yaitu pindah panas antara udara

pembeku dengan permukaan bahan pangan

Proses pembekuan dimulai dari permukaan bahan pangan yang langsung

berhubungan dengan media pembeku padat (misalnya heat exchanger plates pada

suhu -30⁰C hingga -40⁰C, dry ice pada suhu -78,5⁰C, cairan kriogenik nitrogen

pada suhu -196⁰C). Permukaan bahan pangan akan membeku lebih cepat

dibandingkan bagian dalamnya, karena panas pada bagian dalam harus melalui

permukaan dengan konduksi (Evans, 2008). Proses pembekuan sangat

dipengaruhi oleh laju pembekuan bahan pangan, dimana durasi proses pembekuan

tergantung pada laju pembekuan (⁰C/menit), sesuai dengan definisi yang

dinyatakan oleh International Institute of Refrigeration dalam Thorne (1989),

yaitu perbedaan antara suhu awal dan suhu akhir dibagi dengan waktu

pembekuan. Waktu pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan dari awal

pembekuan hingga suhu akhir pembekuan tercapai.

Laju pembekuan mempengaruhi kualitas bahan pangan, dimana pada laju

pembekuan lambat terjadi pertumbuhan kristal es yang lebih cepat dibandingkan

dengan pembentukan kristal esnya, sehingga menghasilkan kristal es yang besar

dan dapat merusak jaringan bahan pangan. Sedangkan pada laju pembekuan

cepat, terjadi pembentukan kristal es yang lebih cepat daripada pertumbuhan

kristal esnya, sehingga terbentuk kristal es berukuran kecil, seperti diilustrasikan

pada Gambar 2.

Pada pembekuan dengan laju yang rendah, kristal es akan terbentuk di

daerah interselular, kemudian merusak dan memecah dinding sel yang berdekatan.

Air yang berada dalam sel akan keluar menuju kristal es yang membesar, karena

es memiliki tekanan uap air yang lebih kecil daripada bahan pangan. Akibat air

yang keluar dari dalam sel, menyebabkan sel terdehidrasi dan rusak dengan

meningkatnya konsentrasi larutan dan rusaknya dinding sel. Bila bahan pangan

beku tersebut di-thawing, sel tidak akan kembali menjadi bentuk dan besarnya

semula. Bahan pangan akan menjadi lebih lunak dan bagian dalam sel akan

keluar melalui dinding sel yang rusak, yang disebut dengan istilah drip loss.

11

Gambar 2 Pengaruh laju pembekuan terhadap jaringan tanaman (a) pembekuan

lambat (b) pembekuan cepat (Sumber : Fellow, 2000)

Pada pembekuan cepat, kristal es yang terbentuk berukuran kecil, baik di

dalam atau di daerah interselular. Kerusakan fisik sel yang terjadi sangat kecil

dan perbedaan tekanan uap air tidak terjadi, sehingga dehidrasi sel yang terjadi

juga sangat kecil. Hal tersebut menyebabkan tekstur bahan pangan tetap terjaga

dalam kondisi yang baik. Namun pembekuan yang terlalu cepat dapat

menyebabkan jaringan terbelah atau pecah.

Kisaran suhu yang dapat menyebabkan kerusakan permanen berada pada

1⁰C hingga -5⁰C. Bahan pangan yang melalui proses pembekuan harus

melampaui kisaran suhu tersebut dalam waktu yang relatif cepat. Untuk

mendapatkan pembentukan kristal es yang kecil, suhu 0⁰C dan -3,9⁰C harus

dilampaui dalam waktu kurang dari 30 menit (Evans, 2008).

Proses pembekuan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan laju

pembekuannya. Menurut Alvarest, et al. (1997) laju pembekuan di bawah

0,5˚C/menit termasuk dalam pembekuan lambat, dan 2˚C/menit termasuk dalam

laju pembekuan cepat. Sedangkan menurut Delgado et al. (2005), laju

pembekuan dibagi menjadi 3, yaitu seperti ditampilkan pada Tabel 4.

12

Tabel 4 Klasifikasi laju pembekuan

No Jenis Pembekuan Laju pembekuan

1. Pembekuan lambat 0,02-0,2˚C/menit

2. Pembekuan komersial 0,2-0,83˚C/menit

3. Pembekuan cepat >0,83˚C/menit Sumber : Delgado et al. (2005)

Menurut Alvarez, et al. (1997), pembekuan cepat memiliki hasil yang baik

pada tekstur kentang, wortel, cranberries, dan blackberries. Pada wortel yang

dibekukan secara cepat mampu mempertahankan ketegaran (firmness) dengan

lebih baik. Proses pembekuan dilakukan hingga panas di bagian terdalam dari

bahan pangan telah hilang atau telah beku. Tahapan proses pembekuan dijelaskan

pada Gambar 3. Pada tahap AS, bahan pangan dibekukan hingga di bawah titik

beku.

Gambar 3 Grafik waktu dan suhu selama proses pembekuan (Sumber : Fellows,

2000)

Pada titik S, air masih berupa larutan, walaupun berada di bawah titik beku

(disebut fenomena supercooling) hingga 10⁰C. Pada tahap SB, suhu akan

meningkat secara cepat mencapai titik beku dimana kristal es mulai terbentuk dan

panas laten kristalisasi dilepaskan. Tahap BC merupakan pelepasan panas dari

bahan pangan dengan laju yang sama, panas laten dihilangkan seiring dengan

pembentukan es dan suhu mulai stabil. Tahap CD, larutan mulai jenuh dan

mengkristal. Pada tahap DE, kristalisasi air dan larutan masih terjadi. Waktu

yang dibutuhkan (tf) ditentukan oleh laju penghilangan panas. Pada tahap EF,

suhu es akan turun hingga mencapai suhu freezing. Pada suhu pembekuan

13

komersil, terdapat sejumlah air yang tidak membeku, yang jumlahnya tergantung

pada jenis dan komposisi bahan pangan, serta suhu penyimpanan (Fellows, 2000).

Bahan pangan segar memiliki kandungan air dan titik beku yang berbeda-

beda tiap komoditas, seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Kadar air yang tinggi

pada sayuran dan buah menyebabkannya rentan terhadap kristal es yang terbentuk

dan thawing, dibandingkan dengan bahan pangan yang lain. Sayuran lebih tahan

terhadap pembekuan dibandingkan dengan buah berdasarkan karakteristik yang

dimiliki.

Tabel 5 Kandungan air dan titik beku pada beberapa bahan pangan

Bahan Pangan Kandungan Air (%) Titik Beku (⁰C)

Sayuran 78 – 92 -0,8 s/d -2,8

Buah 87 – 95 -0,9 s/d -2,7

Daging 55 – 70 -1,7 s/d -2,2

Ikan 65 – 81 -0,6 s/d -2,0

Susu 87 -0,5

Telur 74 -0,5 Sumber : Fellows, 2000

Jaringan buah dan sayuran memiliki struktur sel yang rentan terhadap

peningkatan volume kristal es sehingga menyebabkan kerusakan pembekuan yang

irreversible. Kerusakan yang terjadi pada jaringan bahan pangan akibat

pembekuan dapat menyebabkan hilangnya fungsi membran sel, gangguan pada

sistem metabolisme, denaturasi protein, perpindahan kandungan air dari intrasel

menuju ekstrasel secara tetap, reaksi enzim, dan kerusakan jaringan yang cukup

parah. Terdapat 4 jenis kerusakan yang disebabkan oleh pembekuan menurut Sun

et al. (2002), yaitu :

1. Kerusakan dingin (chilling damage), disebabkan karena jaringan kontak

dengan suhu dingin.

2. Kerusakan akibat konsentrasi larutan (solute-concentration damage),

disebabkan peningkatan konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar

dan pembentukan kristal es.

3. Kerusakan dehidrasi (dehydration damage), disebabkan peningkatan

konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan perpindahan air

secara osmosis dari intrasel.

14

4. Kerusakan mekanik (mechanical damage), disebabkan karena pembentukan

kristal es yang berukuran besar dan keras.

Sebelum proses pembekuan dilakukan, perlakuan pendahuluan terhadap

bahan pangan diperlukan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme,

menghilangkan bagian yang tidak diperlukan, serta meminimalkan keragaman

produk. Perlakuan pendahuluan yang umumnya dilakukan adalah pencucian atau

pembersihan, sortasi, grading, atau pengupasan dan pengirisan bila diperlukan.

Jenis bahan pembeku yang sering digunakan untuk pembekuan dan titik

didihnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis bahan pembeku dan titik didihnya.

No. Bahan Pembeku Titik Didih (˚C)

1. Amonia -33

2. Sulfur dioksida -10

3. Freon/Dichlorofluorometan 8,9

4. Karbondioksida cair/padat (dryice) -78,5

5. Nitrogen cair -196 Sumber : Singh et al., 2005

Amonia, sulfur dioksida, dan freon umum digunakan sebagai bahan

pendingin di refrigerator, walaupun penggunaan freon sudah dilarang karena

berbahaya. Karbondioksida dan nitrogen cair umumnya digunakan sebagai

cryogen pada pembekuan kriogenik atau pembekuan sangat cepat.

Karbondioksida padat lebih sering digunakan untuk mendinginkan produk beku

ataupun produk segar pada suatu kemasan. Menurut Swain et al. (1999),

pengunaan karbondioksida padat atau dry ice memiliki keuntungan sebagai

alternatif pendingin mekanik saat distribusi produk dingin ataupun produk beku.

2.5. Thawing

Thawing adalah kebalikan dari proses pembekuan, yaitu penggunaan energi

oleh bahan pangan untuk melelehkan kristal es (Evans, 2008). Thawing

merupakan suatu proses yang kritis, karena selama proses tersebut, suhu bahan

pangan akan meningkat sehingga memiliki resiko untuk perkembangan

mikroorganisme, namun saat ini thawing banyak dilakukan di akhir rantai

pasokan, yaitu dilakukan oleh konsumen di rumah untuk langsung dimasak,

sehingga mengurangi resiko bahayanya.

15

Bahan pangan yang di-thawing setelah penyimpanan beku, seharusnya

memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan bahan pangan segar. Namun

pada bahan pangan yang sangat peka, hal tersebut akan sangat sulit dicapai. Pada

komoditas seperti roti, daging, ikan, dan sayuran, kualitas bahan pangan yang

sudah di-thawing harus benar-benar dapat dibandingkan dengan bahan pangan

segarnya (Evans, 2008)

Thawing dapat dilakukan di udara terbuka atau di dalam air, dimana es akan

meleleh menjadi lapisan air, dan memerlukan waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan proses pembekuan (Fellows, 2000). Perubahan suhu pada

proses thawing dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahap AB, lapisan air pada

permukaan bahan pangan mulai hilang, dan pada BC, terjadi pelelehan kristal es

di dalam bahan pangan, yang akan memperlihatkan kerusakan akibat pembekuan

lambat, yaitu keluarnya cairan sel atau drip loss.

Gambar 4 Perubahan suhu selama thawing (Sumber : Fellows, 2000)

2.6. Perubahan Akibat Pembekuan

Perubahan Fisik

Perlakuan pembekuan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang

mempengaruhi kualitas bahan pangan. Perubahan yang dapat terjadi adalah

perubahan sifat fisik dan kimiawi, sehingga mempengaruhi kualitas bahan pangan

beku. Perubahan fisik yang terjadi adalah :

1. Warna

2. Peningkatan volume

16

3. Perubahan bobot

4. Freeze burn

5. Sifat fungsional, seperti tekstur, konsistensi, appearance, sifat organoleptik,

dan water holding capacity

Perubahan Kimiawi

Perubahan kimiawi juga dapat terjadi pada proses pembekuan, yaitu :

1. Terjadinya ketengikan pada bahan pangan yang berlemak

2. Kehilangan warna

3. Kehilangan flavor dan aroma

4. Kehilangan vitamin

5. Denaturasi protein

2.7. Dry ice/Karbondioksida Padat

Dry ice atau es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang berbentuk

padat, merupakan salah satu refrigeran yang umum digunakan, selain nitrogen dan

karbondioksida cair. Dry ice memiliki titik didih yang cukup rendah, yaitu

-78,5⁰C dan langsung menyublim menjadi gas CO2, sehingga tidak menyisakan

cairan seperti es batu ketika meleleh. Sifat-sifat beberapa bahan pembeku seperti

pada Tabel 7.

Tabel 7 Sifat-sifat bahan pembeku

Sifat Nitrogen cair Karbondioksida

Densitas (kg m-3

) 784 464

Panas spesifik (kJ kg-1

K-1

) 1.04 2.26

Panas laten (kJ kg-1

) 358 352

Total penggunaan untuk pendinginan

(kJ kg-1

)

690 565

Titik didih (˚C) -196 -78.5(sublimasi)

Termal konduktivitas (W m-1

K-1

) 0.29 0.19

Konsumsi /100g produk beku (g) 100 - 300 120 – 375 Sumber : Sigh et al., 2005

Dry ice merupakan produk sampingan yang dihasilkan oleh industri yang

menghasilkan amonia dan nitrogen dari gas alam atau industri fermentasi skala

besar. Udara dengan konsentrasi CO2 tinggi ditingkatkan tekanannya dan

didinginkan hingga berubah menjadi cairan. Setelah menjadi cairan, tekanan

diturunkan, sehingga menyebabkan suhunya menjadi sangat rendah dan merubah

17

cairan menjadi butiran es seperti salju. Butiran-butiran salju tersebut kemudian

dibentuk seperti yang diinginkan oleh konsumen. Saat ini, umumnya dry ice

berbentuk berupa silinder berukuran kecil seperti pelet atau berupa balok besar

berukuran 50 kg. Dry ice yang dihasilkan oleh PT Petrokimia Gresik berbentuk

balok berukuran 50 kg. Dry ice bisa didapatkan di distributor es krim besar, yang

menggunakannya untuk mendinginkan produk supaya tetap beku.

Dry ice memiliki sifat seperti es batu, bila disimpan pada suhu tinggi, akan

makin cepat menyublim menjadi gas. Kecepatan sublimasi dry ice adalah 3,5%

perhari (http://www.dryicesource. com) atau akan berkurang sebanyak 1/3 bagian

pada penyimpanan di suhu kamar selama 12 jam. Bila pada termos biasa, akan

menyublim dengan kecepatan 5-10 lb (2,25-4,5kg) pada penyimpanan selama 24

jam.

Dry ice memberikan energi 2 kali lebih besar untuk mendinginkan produk

per lb berat produk (1 lb = 0,45 kg) dan 3 kali lebih besar energi pendinginan per

volume dibandingkan es batu biasa (H2O) (http://www.dryiceinfo.com). Dry ice

sering digunakan untuk mempertahankan produk beku pada penyimpanan, seperti

produk es krim. Di bidang industri, sering digunakan untuk menghancurkan atau

mematahkan ubin dengan cara dikerutkan kemudian dipatahkan. Selain itu juga

sering digunakan untuk membekukan air dalam saluran pipa selama dilakukan

proses perbaikan pada bagian pipa yang rusak. Dry ice juga dapat digunakan

untuk membuat kabut pada pementasan teater, dan pada bidang pangan sering

digunakan untuk membuat minuman berkarbonasi, seperti softdrink dan bir. Dry

ice juga dapat digunakan sebagai perangkap nyamuk, sebagai bahan untuk

fumigasi, untuk mendinginkan dan menghambat bunga mekar saat distribusi

tanaman bunga, dan untuk penyimpanan bahan pangan

Namun selain memiliki manfaat yang banyak, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam menangani dry ice. Dry ice memiliki suhu yang sangat

rendah, sehingga bila tersentuh dengan kulit atau produk pangan secara langsung

akan mengakibatkan kerusakan. Kulit manusia akan melekat kuat pada dry ice

dan menimbulkan luka seperti luka bakar, sedangkan pada produk pangan akan

mengakibatkan kerusakan atau penurunan mutu. Untuk mengantisipasi kerusakan

yang terjadi dalam penanganannya, dry ice lebih baik dibungkus dengan kain atau

18

kertas koran, dan ditangani dengan menggunakan sarung tangan kain. Dry ice

dapat digunakan untuk membekukan atau mendinginkan sayuran dan buah-

buahan ataupun daging.