ii tinjauan pustaka 2.1 sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/bab_2_dhior_antalimar.pdf · bangsa :...

17
4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukun Tanaman sukun termasuk dalam famili Urticaceae, Genus Artocarpus (Nangka-nangkaan) dan species Artocarpus communis (Sutikno, 2008). Beberapa sebutan lokal untuk sukun antara lain sukin, di Siam dikenal dengan nama sake, di Malaysia dikenal sebagai bandarese, serta dalam bahasa inggirs disebut Breadfruit (Pitojo, 1992). Sukun (Breadfruit) dinamakan demikian karena tekstur buah yang mempunyai rasa mirip dengan roti, tanaman ini berasal dari Malaysia, dan ditanam di seluruh wilayah tropika basah. Buah sukun berbentuk bulat telur atau lonjong. Kulit buahnya cenderung agak kasar, namun ada juga yang berkulit halus. Buah sukun memiliki warna hijau muda kuningan. Daging buah berwarna putih krem dengan ketebalan sekitar 7 cm. Teksturnya kompak dan berserat halus, dengan rasa agak manis dan memiliki aroma yang spesifik. Tanaman sukun biasanya berbuah dua kali dalam setahun. Panen raya pada bulan Januari-Februari dan panen susulan pada bulan Juli-Agustus. Maju mundurnya musim panen dipengaruhi oleh datangnya musim hujan. Apabila musim kemarau basah, maka produksi pada bulan Juli-Agustus akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan saat musim kemarau kering. Buah sukun di luar musim buah biasanya berjumlah sedikit, sehingga harganya lebih tinggi dibandingkan saat panen raya (Pitojo, 1992). Pemanfaatan buah sukun sebagai bahan pangan semakin penting, sejak pemerintah mencanangkan program difersifikasi pangan. Buah sukun di pedesaaan masih belum dimanfaatkan secara optimal, terutama di daerah yang petaninya belum mengenal teknologi pengolahan (Angkasa dan Nazarudin, 1996), Tetapi di beberapa daerah sudah memanfaatkannya untuk digunakan untuk makan pagi. Di daerah Sumenep misalnya, pada panen raya sukun tidak terpasarkan, sehingga sukun digunakan sebagai pakan ternak atau terbuang begitu saja. Buah sukun sebagai bahan pangan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dibanding dengan sumber karbohidrat yang lain, terlihat tidak jauh berbeda, bahkan mempunyai energi per 100 g bahan dalam bentuk tepung (302 kal) lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu (158 kal), ubi jalar merah (125

Upload: others

Post on 04-Nov-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sukun

Tanaman sukun termasuk dalam famili Urticaceae, Genus Artocarpus

(Nangka-nangkaan) dan species Artocarpus communis (Sutikno, 2008).

Beberapa sebutan lokal untuk sukun antara lain sukin, di Siam dikenal dengan

nama sake, di Malaysia dikenal sebagai bandarese, serta dalam bahasa inggirs

disebut Breadfruit (Pitojo, 1992). Sukun (Breadfruit) dinamakan demikian karena

tekstur buah yang mempunyai rasa mirip dengan roti, tanaman ini berasal dari

Malaysia, dan ditanam di seluruh wilayah tropika basah. Buah sukun berbentuk

bulat telur atau lonjong. Kulit buahnya cenderung agak kasar, namun ada juga

yang berkulit halus. Buah sukun memiliki warna hijau muda kuningan. Daging

buah berwarna putih krem dengan ketebalan sekitar 7 cm. Teksturnya kompak

dan berserat halus, dengan rasa agak manis dan memiliki aroma yang spesifik.

Tanaman sukun biasanya berbuah dua kali dalam setahun. Panen raya

pada bulan Januari-Februari dan panen susulan pada bulan Juli-Agustus. Maju

mundurnya musim panen dipengaruhi oleh datangnya musim hujan. Apabila

musim kemarau basah, maka produksi pada bulan Juli-Agustus akan mengalami

peningkatan dibandingkan dengan saat musim kemarau kering. Buah sukun di

luar musim buah biasanya berjumlah sedikit, sehingga harganya lebih tinggi

dibandingkan saat panen raya (Pitojo, 1992).

Pemanfaatan buah sukun sebagai bahan pangan semakin penting, sejak

pemerintah mencanangkan program difersifikasi pangan. Buah sukun di

pedesaaan masih belum dimanfaatkan secara optimal, terutama di daerah yang

petaninya belum mengenal teknologi pengolahan (Angkasa dan Nazarudin,

1996), Tetapi di beberapa daerah sudah memanfaatkannya untuk digunakan

untuk makan pagi. Di daerah Sumenep misalnya, pada panen raya sukun tidak

terpasarkan, sehingga sukun digunakan sebagai pakan ternak atau terbuang

begitu saja.

Buah sukun sebagai bahan pangan mempunyai nilai gizi yang cukup

tinggi dibanding dengan sumber karbohidrat yang lain, terlihat tidak jauh

berbeda, bahkan mempunyai energi per 100 g bahan dalam bentuk tepung (302

kal) lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu (158 kal), ubi jalar merah (125

Page 2: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

5

kal), maupun kentang hitam (142 kal), selain itu juga diketahui bahwa tepung

sukun mempunyai kandungan protein (3,6 g), calcium (5,8 mg), Fe (1,1 mg), dan

P (165,5 mg) yang terbilang cukup tinggi (Sutikno, 2008).

Buah sukun sebagai bahan pangan memiliki kandungan nutrisi yang

cukup tinggi, dari 100 gram buah mentah dapat dihasilkan 108 kalori dan

kandungan karbohidrat 28,2 gram, 59 miligram fosfor, vitamin C sebanyak 17

miligram (Sutikno, 2008). Buah sukun mempunyai potensi sebagai bahan

pangan alternatif untuk pengganti beras (difersifikasi pangan) dalam mendukung

ketahanan pangan (Edahwati, dkk., 2013). Untuk difersifikasi makanan, buah

sukun dapat diolah menjadi produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.

Tepung sukun sangat prospektif untuk dikembangkan, selain sebagai cara untuk

mengawetkan buah sukun sewaktu musim panen juga dapat diolah menjadi

berbagai produk olahan, antara lain : krupuk, mie, kue, dll.

Sukun merupakan buah yang mudah diperoleh, mudah dibudidayakan

dan cocok sebagai tanaman penghijauan yang juga dapat tumbuh didaerah

tropis, asalkan mendapat air yang cukup (Fatmawati, 2012). Pohon sukun dapat

berbuah sejak berumur 3 tahun. Setiap kali pohon dipanen, sekurang-kurangnya

dua kali dalam setahun. Karena bisa dikatakan pohon yang berumur tujuh tahun

dapat dipetik tidak kurang dari 200 sampai 300 buah perpohonnya dengan berat

antara 1,5 kg sampai 2 kg. Untuk pohon yang dirawat dan dipupuk, beratnya bisa

mencapai tidak kurang 3 kg per buah (Fatmawati, 2012)..

Buah sukun merupakan buah yang memiliki kandungan karbohidrat

tinggi, memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah kandungan phospor yang

tinggi dibandingkan dengan zat gizi lainnya. Kandungan phospor yang tinggi

dapat menjadi buah alternatif untuk meningkatkan gizi masyarakat. Phospor

memiliki peranan penting dalam pembentukan komponen sel esensial, yang

berperan dalam pelepasan energi, karbohidrat dan lemak serta mempertahankan

keseimbangan cairan tubuh (Fatmawati, 2012). Sedangkan kekurangan dari

buah sukun sendiri adalah buah sukun mudah busuk setelah dipetik jadi cara

menanggulanginya adalah dibuat tepung sukun. Karena setelah dijadikan tepung

masa simpannya akan semakin panjang dan tahan lama.

Page 3: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

6

Pitojo (1992) menuliskan sistematika tanaman sukun (Artocarpus altilis)

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Urticales

Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg

Gambar 2.1 Buah Sukun (Dokumentasi Penelitian, 2014)

Seperti umumnya buah – buahan, sukun mudah mengalami reaksi

browning setelah dikupas, hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga

terbentuknya warna pencoklatan, yang akan berdampak pada pembuatan tepung

sukun (Edahwati, dkk., 2013). Terbentuknya warna coklat pada bahan pangan

yang nantinya akan dibuat tepung dapat dihindari dengan cara mencegah

seminimal mungkin adanya kontak antara bahan yang yang telah dikupas

dengan udara, salah satu caranya yaitu dengan cara direndam dalam air

(Sutikno, 2008).

2.2 Tepung Sukun

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi

yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat

komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk dan lebih cepat dimasak

sesuai kebutuhan modern yang serba praktis (Winarno, 2002). Berdasarkan

kadar karbohidrat yang cukup tinggi (27%), buah sukun berpeluang untuk diolah

menjadi tepung. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan olahan dapat

Page 4: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

7

mensubtitusi penggunaan terigu sampai 50 hingga 100% tergantung jenis produk

yang akan dibuat.

Dalam pembuatan tepung sukun ada tahapan–tahapan yang harus

diperhatikan yaitu pemilihan bahan baku, pengupasan, pencucian, pembelahan,

perendaman, pengirisan tipis, penjemuran, dan yang terakhir penggilingan.

Apabila dalam proses pembuatan tepung sukun tidak memenuhi persyaratan

kualitas maka akan mengakibatkan tepung sukun yang dihasilkan cenderung

berwarna kecoklatan (Fatmawati, 2012). Adapun langkah proses pembuatan

tepung sukun secara umum, adalah sebagai berikut :

1.Pemilihan

Untuk mendapatkan tepung dengan warna yang baik, maka dipilih buah

sukun yang berumur cukup tua (berumur 80 hari terhitung dari munculnya bunga

betina), memiliki tekstur yang keras, dan kulit tidak mengalami cacat fisik.

2.Pengupasan dan Pemotongan

Pengupasan dan pemotongan dilakukan dalam waktu yang singkat, buah

sukun yang sudah dipotong tipis (Chip) direndam ke dalam air yang bersih

3.Perendaman

Perendaman sebaiknya dilakukan minimal 15 menit, perendaman

bertujuan untuk mengurangi reaksi pencoklatan yang diakibatkan oleh oksigen.

4.Pengeringan

Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering kabinet, dalam

waktu kurang lebih 20 jam agar Chip kering secara merata

5.Penghalusan

Penghalusan menggunakan blender dan setelahnya tepung diayak

menggunakan ayakan 80 mesh (Suprapti, 2002).

Tingkat kematangan buah sukun sangat berperan terhadap warna tepung

yang dihasilkan. Sukun yang baik diolah menjadi tepung (warna tepung putih,

rendemen tinggi) yaitu buah mangkal yang dipanen disaat berumur 80 hari

terhitung dari munculnya bunga betina pada pohon (Widowati, dkk., 2002). Bobot

kotor buah sukun sekitar antara 1.200-2500 gr kandungan daging buah sekitar

81,21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan

menghasilkan sawut kering sebanyak 15-20% dan tepung yang diperoleh

sebesar 13-18%, tergantung tingkat kematangan dan jenis sukun. Dalam tepung

sukun, masih terbawa ampas daging buahnya sehingga tingkat kehalusan yang

dicapai adalah 80 mesh. Sementara dalam tepung sukun terkandung unsur gizi

Page 5: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

8

yang cukup tinggi sesuai dengan pendapat Suprapti, (2002), unsur gizi tepung

sukun tersebut dapat diihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Kandungan Gizi Tepung Sukun per 100 g buah

Zat Gizi Tepung Sukun

Karbohidrat (g) 78,2

Lemak (g) 2,72

Protein (g) 3,6

Vitamin B1 (mg) 0,34

Vitamin B2 (mg) 0,17

Vitamin C (mg) 47,6

Kalsium (mg) 58,8

Fosfor (mg) 165,2

Zat Besi (mg) 1,1

Sumber : (Suprapti, 2002)

Tepung buah sukun telah dimanfaatkan dalam pembuatan berbagai jenis

makanan seperti cake sukun, bubur sumsum, pastel, frest role cake, nastar, roti,

mie dan lain-lain. Kandungan karbohidrat yang jumlahnya hampir sama dengan

tepung terigu menjadi salah satu alternatif agar tepung sukun disukai oleh

konsumen. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan dapat mensubstitusi

penggunaan tepung terigu 50% hingga 100% tergantung dari jenis produknya.

Tepung sukun memiliki kandungan kadar protein 4,72%, kandungan ini jauh lebih

rendah dari tepung terigu. Rendahnya kandungan protein pada tepung sukun

mengakibatkan kemampuan pengembangan adonan kue rendah. (Widowati,

dkk., 2002)

Tepung sukun mengandung amilopektin 77,48% dan amilosa 22,52%

(Agustin, 2011). Sifat tepung sukun mencerminkan perilaku tepung sukun dan

kaitannya dengan kesesuaiannya saat diolah menjadi berbagai produk olahan

makanan (Sutarji, dkk., 2003). Beberapa sifat tepung sukun yang penting adalah

kapasitas hidrasi tepung sukun yang bernilai lebih tinggi dari tepung terigu, yaitu

290% sedangkan tepung terigu bernilai 191,55% (Dameswary, 2012). Bentuk

dan ukuran granula pati sebagai sifat mikroskopis hidrasi tepung sukun dan

warna. Kapasitas hidrasi menunjukkan jumlah air yang dapat diserap oleh

tepung. Sifat ini memberikan pengaruh yang besar terhadap sifat dari adonan

yang akan terbentuk.

Page 6: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

9

Kendala dalam pembuatan tepung sukun ialah terjadinya warna browning

saat diproses menjadi tepung. Cara yang biasa dilakukan adalah merendam

buah sukun yang telah dikupas dalam air bersih, atau dilakukan pengukusan

(Blanching) terhadap chips sukun dengan tujuan untuk menonaktifkan enzim

yang menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan pada tepung. Lama

pengukusan kira-kira selama 5-10 menit, tergantung dari banyaknya bahan yang

digunakan (Sutikno, 2008).

Menurut (Suprapti, 2002), tepung sukun yang memiliki kandungan kadar

air tinggi, akan lebih mudah dan lebih cepat mengalami kerusakan bila

dibandingkan dengan tepung sukun yang memiliki kadar air rendah. Tepung

sukun memiliki sifat higroskopis (mudah menyerap air dari udara), dengan

demikian dalam penyimpanannya harus dikemas dengan bahan pengemas yang

kedap udara dan air, yang bertujuan untuk meminimalis terjadinya penyerapan

kelembapan oleh tepung. Selain itu, pengemasan juga betujuan untuk

menghindari terjadinya pencemaran tepung sukun yang diakibatkan oleh debu

dan bahan pencemar lainnya, termasuk juga kondisi lembab lingkungan sekitar.

Adanya mikroorganisme dan serangga juga menjadi penyebab rusaknya tepung

bila tidak dilakukan penanganan dan penyimpanan dengan baik.

2.3 Pati

Pati merupakan komponen terbesar dari tepung, kandungan pati pada

tepung kira-kira sebesar 75-80% dari berat kering tepung (Wirawan, 2000).

Molekul pati tersusun atas unit-unit glukosa sehingga disebut homopolisakarida

dengan ikatan α glikosidik. Meskipun pati tersusun hanya oleh unit-unit glukosa

tetapi rantai glukosa berikatan dengan 2 cara yaitu ikatan α 1-4 dan berstruktur

lurus disebut amilosa, dan amilopektin yang mempunyai rantai cabang dengan

ikatan α 1-6 dan ikatan α 1-4 pada bagian yang lurus (Wurzburg, 1982).

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan, salah satu caranya

adalah dengan menggunakan air panas, adanya air dan energi panas yang

cukup, mengakibatkan pati mengalami pembengkakan yang selanjutnya akan

mengakibatkan pati terpecah. Granula pati yang Pecah menyebabkan granula

fraksi amilosa pati mengalami leaching. Fraksi terlarut pada pati disebut amilosa

dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa merupakan polimer

linier yang mengandung 500-2000 unit glukosa yang terikat oleh ikatan α -(1,4)

sedangkan pada amilopektin, tidak hanya mengandung ikatan α -(1,4) namun

Page 7: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

10

juga mengandung ikatan α -(1,6) sebagai titik percabangannya (Winarno, 2008).

Amilosa memberikan sifat keras pada karakteristik produk sedangkan

amilopektin menyebabkan sifat lengket, amilosa juga sangat berpengaruh

terhadap karakteristik gel pati yang dihasilkan (Widodo et al., 2005).

Perbandingan amilosa dan amilopektin di alam secara umum adalah 25% dan

75% (Eliasson dan Magnus, 2006). Berikut merupakan tabel perbandingan

karakteristik antara amilosa dan amilopektin.

Tabel 2.2 Karakteristik Amilosa dan Amilopektin

Karakteristik Amilosa Amilopektin

Struktur Tidak bercabang Bercabang Panjang rantai ~10

3 unit glukosa 20-25 unit glukosa

Derajat Polierisasi 103 10

4-10

5

Reaksi iodium Berwarna biru Berwarna merah dan ungu Kekuatan Helix Kuat Lemah Kestabilan dalam larutan Tidak Stabil Stabil Retrogradasi Cepat Lambat Sifat Gel Keras dan irreversible Lunak dan reversible Sifat Film

Kuat

Rapuh

Chen et al (2003)

2.4. Karakteristik Fisiko-Kimia Pati

2.4.1 Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan proses membengkaknya granula pati yang

diakibatkan oleh pemanasan didalam media air. Granula pati tidak larut dalam air

dingin, namun granula pati dapat mengembang didalam air panas. Suhu

pemanasan yang meningkat akan seiring dengan membengkaknya granula pati.

Pembengkakan granula pati akan menyebabkan terjadinya pemekatan antar

granula pati. Pembengkakan granula pati pada awalnya bersifat reversible (dapat

kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati,

pembengkakan granula pati menjadi bersifat irreversible (tidak dapat kembali).

Kodisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut

gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa tersebut dinamakan suhu

gelatinisasi.

Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran dari granula dari pati, semakin

besar ukuran granulanya, memungkinkan pati lebih mudah dan lebih banyak

menyerap air sehingga mudah membengkak dan pati lebih mudah mengalami

gelatinisasi (Purnamasari dkk., 2010). Suhu gelatinisasi tergantung juga pada

Page 8: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

11

konsentrasi pati. Makin kental suatu larutan, maka suhu tersebut makin lambat

tercapai. Suhu gelatinisasi pada tiap jenis pati berbeda-beda dan memiliki suatu

kisaran, misalnya pada jagung 62-70C, beras 68-78C, gandum 54,5-64C,

kentang 58-66C dan tapioka 52-64C.

2.4.2 Retrogradasi

Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah

mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa dapat

terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak

dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pasta pati

yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak

yang tersuspensi ke dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang

terdispersi ke dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi,

selama pati masih dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih

memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati

mendingin, energi pada air tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan

molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa dapat

berikatan kembali antara satu dengan yang lain serta berikatan dengan cabang

amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula pati, dengan demikian molekul-

molekul tersebut menggabungkan bulir-bulir pati yang bengkak menjadi

semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno, 2002).

Retrogradasi pasta pati ataupun larutan pati memiliki beberapa efek,

diantaranya: (1) peningkatan viskositas; (2) terbentuknya kekeruhan; (3)

terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas; (4) terjadi presipitasi pada

partikel yang tidak larut; (5) terbentuknya gel; (6)terjadinya sineresis pada pasta

pati (Swinkels, 1985). Retrogradasi merupakan proses yang kompleks dan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur

pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan

keberadaan komponen lain.

2.4.3 Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan

Daya kembang pati atau swelling power merupakan kenaikan volume dan

berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling

power menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang di dalam air. Swelling

power yang tinggi mempengaruhi kemampuan pati untuk mengembang semakin

Page 9: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

12

tinggi pula di dalam air. Menurut Suriani (2008) Nilai swelling power perlu

diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan

untuk proses produksi, sehingga saat pati mengalami swelling, wadah yang

digunakan masih bisa menampung pati tersebut.

Menurut Leach (1959) Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada

kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga

tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula. Berbagai faktor yang

menentukan daya ikat tersebut adalah (1) perbandingan amilosa dan

amilopektin, (2) bobot molekul dari fraksi fraksi tersebut, (3) distribusi bobot

molekul, (4) derajat percabangan, (5) panjang dari cabang molekul amilopektin

terluar yang berperan dalam kumpulan ikatan (Leach, 1959).

Kelarutan merupakan kemampuan pati untuk terlarut dalam air. Nilai

kelarutan berkolerasi dengan kadar amilosa. Granula menjadi salah satu faktor

yang mempengaruhi nilai kelarutan. Gugus hidroksil yang bersifat hidrofilik pada

granula memiliki kecenderungan untuk berikatan secara hidrogen dengan gugus

hidroksil yang berdekatan dan membentuk struktur yang teratur, sehingga

memiliki barrier yang cukup baik terhadap difusi moekul lain kedalam granula pati

termasuk molekul air. Reily (1985) menjelaskan bahwa semakin banyak ikatan

hidrogen yang terbentuk maka akan mengakibatkan larutan pati semakin tidak

larut kedalam air.

Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen

antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula

pati akan menyerap air dan membengkak. Namun, jumlah air yang terserap dan

pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika

granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling).

Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah

antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga

terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang,

sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat

dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985). Ketika molekul pati sudah benar-

benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di

luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki

rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang

akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan

granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan

Page 10: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

13

lebih banyak mengeluarkan amilosa (Fleche, 1985). Selain itu, Mulyandari (1992)

juga melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati,

sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak

mengeluarkan amilosa.

Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan

meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk

tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat

supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power.

Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan pati dari umbi-

umbi yang lain.

2.4.4 Karakteristik Pati Sukun

Pati sukun didapat dari buah sukun yang berumur cukup tua. Untuk

mendapatkan pati sukun, buah sukun dikupas bersih dan dipotong-potong lalu

dihaluskan dengan cara diparut atau diblender. Untuk melarutkan tepung dan

memisahkannya dari ampas, tambahkan air ke dalam hasil parutan sukun.

Penyaringan bisa dilakukan berulang kali hingga seluruh pati terlarut.

Selanjutnya biarkan pati mengendap dengan memperhatikan lapisan air di

bagian atasnya. Semakin jernih air menandakan pengendapan semakin baik.

Setelah air endapan dibuang, jemur pati di bawah terik matahari sampai kering.

Pati sukun yang sudah kering dapat disimpan dalam plastik (Nopianto, 2012).

Pati sukun tersusun atas dua polimer rantai lurus dan tidak lurus. Kedua

polimer ini sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan perekat (starch

gum) untuk kebutuhan industri kertas, keramik, kosmetik, cat, percetakan, dan

plywood karena merupakan bahan organik yang sifatnya ramah lingkungan

(Hooltzapple, 2009). Komponen karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun

berada dalam bentuk pati (69%), karbohidrat terlarut (6,9%), total gula (4,07%)

dan gula reduksi (2,65%) (Graham & de Bravo 1981). Komposisi kimia dari pati

sukun dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Komposisi Pati Sukun

Komponen Kadar (%) Komponen Kadar (%)

Protein Kasar 0.53 Lemak 0.39

Air 10.83 Amilosa 22.52

Abu 1.77 Amilopektin 77.48

Akanbi et al (2009)

Page 11: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

14

Sama seperti pati dari sumber lain, molekul pati pada sukun tersusun atas

dua komponen makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer itu

disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain dan diikat

melalui ikatan glikosidik (Whistler & Daniel 1985). Perbedaan antara kedua

makromolekul tersebut terletak pada percabangan yang terbentuk pada struktur

liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi

pada granula pati, seperti pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Struktur amilosa dan amilopektin (Taggard, 2000)

Amilosa memiliki struktur yang lurus dan didominasi dengan ikatan α-

(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin memiliki ikatan yang sama dengan

amilosa namun memiliki titik percabangan ikatan di α-(1,6) (Winaro, 2008).

Gugus hidroksil pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain

membentuk struktur heliks melalui ikatan hidrogen (Whistler & Daniel 1985).

Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu dengan lain

dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada

percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang satu dengan cabang yang

lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).

Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-

beda, demikian juga dengan berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi

amilopektin yang lebih besar apabila dibandingkan dengan amilosa. Pati sukun

memiliki kandungan amilosa yang terbilang beragam, tergantung varietas dan

tempat dimana tanaman tersebut tumbuh. Sebagai contoh kadang amilosa

Page 12: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

15

tepung sukun Kulon Progo dan Purworejo adalah sebesar 17-20%, sedangkan

untuk tepung sukun Cilacap, Kediri Bone dan Kepulauan Seribu berkisar antara

11-17% (Prabawati & Suismono 2009).

Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin tepung sukun

menjadi penting apabila tepung sukun tersebut dipakai sebagai bahan baku,

maupun bahan pembantu pada produk pangan seperti bihun. Kandungan

amilosa tinggi (>25 g/100 g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel

dan struktur bihun yang diproduksi dari bahan baku beras (Juliano & Sakurai

1985). Pembentukan gel yang baik berpengaruh terhadap tingkat kelengketan

produk bihun yang dihasilkan nantinya, semakin baik gel yang dihasilkan maka

tingkat kelengketan yang terbentuk semakin berkurang. Pati suku yang berasal

dari Indonesia memiliki kandungan amilosa yang tergolong rendah (11-20%),

tetapi didukung oleh sifat amilografi dan sifat fungsional lainnya yang berpotensi

untuk diolah menjadi produk pangan seperti bihun.

Seperti pati pada umumnya, pati sukun juga memiliki beberapa

kelemahan, diantaranya adalah sifatnya yang mudah mengembang, memiliki

viskositas break down yang rendah pada saat dipanaskan pada suhu 95°C dan

diaduk secara mekanik (Loos et al., 1981). Untuk mengatasi hal tersebut, maka

perlu dilakukan modifikasi pati sehingga didapatkan sifat-sifat yang cocok untuk

aplikasi tertentu. Beberapa motode yang dapat digunakan untuk memodifikasi

pati antara lain rekayasa genetika, konversi dengan hidrolisis secara enzimatis

dan asam, cross-linking, derivatisasi secara kimia dan fisik. Namun didalam

pengaplikasiannya, modifikasi secara fisik dinilai lebih sederhana dan lebih

aman, karena tidak meninggalkan residu berbahaya.

2.5 Modifikasi Pati

Menurut Glicksman (1969), modifikasi pati adalah pati yang diberi

perlakuan tertentu yang bertujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk

memperbaiki sifat sebelumnya, atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya.

Pati termodifikasi merupakan pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat

suatu reaksi kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi), atau dengan

mengganggu struktur asalnya (Fleche, 1985). Perlakuan ini dapat mencakup

penggunaan panas, alkali, asam, zat pengoksidasi, atau bahan kimia lainnya

yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta

struktur molekul pati. Modifikasi ini bertujuan untuk mengatasi beberapa sifat

Page 13: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

16

alami pati yang kurang menguntungkan, diantaranya, ketidak seragaman pati

dalam membentuk gel, tidak tahan terhadap suhu tinggi, tidak tahan proses

mekanis, kelarutan pati yang terbilang terbatas, dan mudah mengalami sineresis

pada gelnya (Pomeranz, 1991). Sifat fisiko kimia dipengaruhi oleh modifikasi pati

berkaitan dengan pengaplikasiannya dalam produk olahan makanan tertentu,

misalnya modifikasi kimia dapat menghasilkan pati yang resisten terhadap

kondisi asam sehingga dapat digunakan untuk produk yang dalam

pengolahannya menggunakan asam.

Didalam pengaplikasiannya, teknologi modifikasi pati diklasifikasikan

menjadi empat kategori yaitu modifikasi secara fisik, kimia, enzim dan genetik.

Keempat modifikasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan variasi turunan baru

dan sesuai dengan yang diinginkan dengan merubah sifat fisiko kimia sehingga

memiliki fungsi yang spesifik terhadap produk tertentu (Neelam et al, 2012).

Penggunaan teknik modifikasi bergantung pada sifat fisik-kimia dan atribut

fungsional tertentu dari suatu produk. Biasanya untuk menghasilkan jenis pati

yang diinginkan, perlu dilakukan kombinasi antar metode modifikasi pati.

Modifikasi pati secara fisik banyak diaplikasikan untuk merubah struktur

granula pati, selain itu modifikasi pati secara fisik juga dipilih untuk merubah sifat-

sifat dasar alami pati yang kurang menguntungkan. Modifikasi ini dapat

menyebabkan terjadinya pengaturan kembali dan peningkatan derajat asosiasi

rantai molekul penyusun pati. Keadaan ini didukung dengan melelehnya daerah

kristalin, yang kemudian pembentukan daerah kristalin kembali atau reorientasi.

Perubahan molekul tersebut berdampak nyata terhadap sifat reologi pati, yaitu

adanya perubahan suhu gelatinisasi, kapasitas menyerap air dan sifat pasta

yang dihasilkan. Menurut Neelam et al (2012) modifikasi fisik yang sering

digunakan yaitu Annealing, Heat moisture treatmen (HMT), retrogradasi,

freezing, ultra high pressure treatment, inhibitor, plasma treatment, gelatinisasi

dan osmotic-pressure treatment, selain karena pengaplikasiannya yang terbilang

sederhana, modofikasi pati secara fisik juga tidak melibatkan bahan kimia

didalam pengaplikasiannya, sebab dikhawatirkan akan meninggalkan residu

apabila menggunakan bahan kimia berbahaya. Berikut ini merupakan tabel

beberapa contoh tujuan dan aplikasi dari modifikasi fisik.

Page 14: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

17

Tabel 2.4 Teknik Modifikasi Pati Fisik dan Aplikasinya

Teknik modifikasi Pati secara fisik

Tujuan Aplikasi

Pregelatinisasi Menghasilkan pati yang dapat terdispersi (larut) dalam air dingin (bersifat instan)

Makanan bayi, food powder, salad dressing, cake mixes, pudding

Annealing Menghasilkan pati dengan sifat termo stabil, kelarutan rendah dan tinggi suhu gelatinisasi.

Mie instan, Produk bakery, bihun, dan produk cetak

HMT (heat moisture treatment

Menghasilkan pati yang rendah leaching amilosa, rendah daya bengkak, menurunkan viskositas puncak, dan meningkatkan kestabilan terhadap panas

Produk tersterilisasi seperti penstabil untuk ikan dalam kaleng, dan produk mie instan,

Freezing Menghasilkan pati yang tinggi retrogradasi,

Pengawetan makanan , produk kering dan produk lyophilisasi

(Wurzburg, 1986) (Neelam et al, 2012)

Menurut Bemller dan Whistler (1996) Modifikasi pati dibidang pangan

memiliki peran fungsional dalam memberikan sifat viskositas yang spesifik,

meningkatkan stabilitas free-thawing pada produk pasta, meningkatkan

kejernihan pasta yang dihasilkan, meningkatkan gloosy pasta, meningkatkan

formasi gel dan kekuatan gel, menurunkan sineresis, merubah interksi dengan

substansi lain, meningkatkan stabilitas terhadap kondisi yang ekstrim, (lebih

stabil terhadap asam, dan panas), dan daya kembang.

Perlakuan pemanasan pada suhu diatas suhu gelatinisasi (80-120oC)

dikombinasikan dengan pengaturan kadar air (kurang dari 35%) atau lebih

dikenal dengan modifikasi fisik secara Heat-moisture treatment pada pati.

Modifikasi fisik diketahui dapat mempengaruhi karakteristik pati tanpa

menyebabkan perubahan yang signifikan pada kenampakan granula pati.

Penelitian yang dikembangkan oleh Lorenz and Kulp (1981) pada ubi kayu, pada

jagung oleh Abraham (1993), pada oat dan yam oleh (Hoover and Vasanthan

(1994), Eerlingen et al (1997) pada kentang dan sukun oleh Collado and Corke

(1999). Beberapa penelitian tersebut masih mengukur perubahan-perubahan pati

dari sisi viskoamilografinya, dan belum mengarahkan modifikasi tersebut untuk

Page 15: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

18

menghasilkan produk tertentu. Adapun perbedaan antara pati alami dan pati

termodifikasi yang dapat dilihat pada gambar 2.4.

2.4 Perbedaan Pati Alami dan Pati Termodifikasi

Sifat Pati Alami Pati Temodifikasi

Sineresis Pati alami mudah mengalami sineresis

Pati termodifikasi tidak mudah mengalami sineresis

Suhu Pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi

Pati termodifikasi tahan terhadap suhu tinggi

Viskositas Pati akan menghasilkan viskositas suspensi pati yang tidak seragam

Menghasilkan viskositas suspensi pati yang seragam

Proses Pati alami tidak tahan proses mekanik

Pati termodifikasi tahan proses mekanik

Kelarutan Kelarutan pati yang terbatas di dalam air

Kelarutan pati tidak terbatas di dalam air

Sumber : Aulia (2013)

2.6 Modifikasi Pati Fisik Metode Annealing

Annealing merupakan modifikasi pati fisik yang pada pengaplikasiannya

mengkombinasikan antara panas dan suhu, dimana kadar air yang digunakan

terbilang berlebih, yaitu sekitar (>65%) dengan temperatur di bawah suhu

gelatinisasi (Neelam et al., 2012). Annealing merupakan jenis modifikasi pati fisik

yang tergolong bersifat hidrotermal, maksudnya adalah modifikasi fisik pati yang

mengkombinasikan antara kadar air dengan suhu yang nantinya diharapkan

akan mampu mempengaruhi sifat pati tanpa merubah penampakan granula pati

(Zondag, 2003). Faktor yang mempengaruhi seberapa besar efek pada

modifikasi tersebut tergantung pada kadar air, temperatur dan waktu perlakuan

(Gomez et al., 2004). Reorganisasi molekul-molekul pati yang diakibatkan

pengaruh annealing mengakibatkan terjadinya perubahan sifat fisiko-kimia dari

pati tersebut. Menurut Elliason dan Magnus (2006), perubahan yang terjadi

akibat perlakuan annealing diantaranya yaitu menurunnya kelarutan,

meningkatkan suhu gelatinisasi, mempersempit range gelatinisasi, meningkatkan

kerentanan terhadap enzim α-amilase, kestabilan pasta dan kristalinitas,

menurunkan viskositas puncak dan menurunkan trend retrogradasi.

Page 16: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

19

Pada pengaplikasiannya, modifikasi secara annealing masih diberlakukan

pada skala kecil dan skala laboratorium, sehingga perlu adanya pengujian lebih

lanjut terhadap skala yang lebih besar agar dapat diidentifikasi titik-titik krisis

dalam produksi pati modifikasi pada skala komersial, sehingga nantinya

pemanfaatannya lebih luas lagi.

Modifikasi pati menggunakan metode annealing dapat diaplikasikan

dalam pembuatan produk bakery, dan mie instan. Nilai pati yang mengalami

penurunan akibat pengaruh annealing dinilai cocok untuk diaplikasikan terhadap

produk mie instan, selain itu menurunnya nilai kelarutan dapat memperkecil

cooking loss pada mie instan.

Menurut Gomez, et al., (2004) perlakuan annealing mengarah kepada

penyusunan molekul pati dengan memodifikasi sifat fisikokima dari pati tersebut.

Swelling power dan kelarutan merupakan prinsip dari perubahan yang

diinginkan, selain itu peningkatan suhu gelatinisasi, menstabilkan sifat pasta dan

serta meningkatkan puncak viskositas dari pati. Perubahan sifat fisiko-kimia pati

yang termodifikasi annealing dipengaruhi oleh komposisi susunan rantai pati

dalam daerah amorf, dan kristalin dari granula pati alaminya (Jayakody dan

Hoover, 2008). Modifikasi secara annealing bertujuan untuk memperoleh bentuk

amilopektin dan molekul pati yang lebih terorganisasi.

Menurut Adebowale, etl al., (2005) semakin tinggi suhu pemanasan

mengakibatkan sweling power dan kelarutan semakin tinggi, lama inkubasi juga

berpengaruh terhadap peningkatkan nilai swelling power dan kelarutan (Gomez,

et al., 2004). Penyusunan kembali molekul pati dalam granula terjadi selama

proses annealing berlangsung, selain itu peningkatan kelarutan juga mengalami

peningkatan selama proses annealing, hal itu disebabkan terjadinya peristiwa

amylose leaching karena terjadi interaksi antara amilosa dan amilopektin yang

mengakibatkan amilopektin helix meningkat selama proses annealing

berlangsung. Akibat perlakuan annealing, pati memiliki sifat breakdown

dibandingkan pati alaminya. Nilai breakdown mempengaruhi kestabilan pati,

dimana semakin kecil nilai breakdown maka ketidakstabilan pati semakin

meningkat saat dilakukan proses pengadukan dan pemanasan.

Modifikasi annealing mirip dengan modifikasi secara heat-moisture

treatment, hal itu dikarenakan keduanya dapat memodifikasi sifat fisiko-kimia pati

tanpa merusak struktur granulanya, meskipun kedua metode tersebut memiliki

perbedaan pada threatmentnya. Proses modifikasi pati metode annealing

Page 17: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukunrepository.ub.ac.id/150409/3/BAB_2_Dhior_Antalimar.pdf · Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson)

20

biasanya menggunakan suhu di bawah suhu gelatinisasinya (Neelam et al.,

2012). Penggunaan suhu di bawah suhu gelatinisasi bertujuan untuk mencegah

kerusakan dari granula pati, biasanya suhu yang digunakan sekitar 50 oC.