hubungan antarpribadi dalam psikologi sosial

29
HUBUNGAN ANTARPRIBADI DALAM PSIKOLOGI SOSIAL DOSEN : Laila Meiliyandrie Indah Wardani, M.psi, Dr Disusun oleh: AISYAH TSABITA 46112120051 FAKULTAS PSIKOLOGI

Upload: aisy12

Post on 30-Jun-2015

2.072 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

hubungan antapribadi menjelaskan berbagai macam bentuk hubungan yang terjadi pada seorang individu dengan individu lainnya. dalam makalah ini, juga dijelaskan apa saja yang dapat menyebabkan hubungan yang sudah terjadi berakhir. dalam hal ini dilihat dari sudut pandang psikologi sosial.

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

HUBUNGAN ANTARPRIBADI

DALAM PSIKOLOGI SOSIAL

DOSEN : Laila Meiliyandrie Indah Wardani, M.psi, Dr

Disusun oleh:AISYAH TSABITA

46112120051

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA MENTENG

2014

Page 2: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

DAFTAR ISI

Daftar Isi…………………………………………………………………...1

KATA PENGANTAR……………………………………………………..3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….4

1.1 Latar Belakang……………………………………….………….4

BAB II PEMBAHASAN………..…………………………..…………...…6

2.1 Kebutuhan Afiliasi (NAFF)…..…………………………..……..6

2.1.1 Hipotesis Rasa Memiliki………………………………6

2.1.2 Hipotesis Penahan Stres……………………………….7

2.2 Komunikasi Antarpribadi………...……………………………..8

2.3 Prinsip-Prinsip Ketertarikan………….………………………....9

2.3.1 Kedekatan……………………………………………..9

2.3.2 Daya Tarik Fisik……………………………………..10

2.3.3 Kesamaan…………………………………………….11

2.3.4 Ketimbalbalikan……………………………………...12

2.4 Hubungan dengan Orang yang Belum Dikenal………………..13

2.5 Hubungan Romantis………………………………………...…14

2.5.1 Cinta………………………………………………….14

2.6 Pernikahan…………………………………………………..…15

2.7 Gangguan Pada Hubungan…………………………………….15

2.7.1 Dampak Putus Hubungan……………………………16

2.7.2 Kesepian……………………………………………..16

Page 3: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

BAB III KESIMPULAN………………………………………………....18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………......19

Page 4: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur selalu tercurah kepada Allah Tuhan semesta

alam, yang telah memberikan nikmatNya kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula shalawat serta salam selalu

tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada seluruh sahabat, keluarga,

serta pengikutnya hingga akhir zaman.

Tak lupa penulis ucapkan kepada :

1. Ibu Laila Meiliyandrie Indah Wardani, Ph.D, selaku dosen

mata kuliah psikologi sosial yang telah memberikan waktu

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai

waktu yang telah di tentukan.

2. Keluarga dari penulis, yang telah banyak memberikan

motivasi, dorongan secara moral maupun material dan doa

3. Teman-teman sekelas, yang sama-sama sedang berjuang dan

terus belajar untuk mengembangkan kemampuan di dalam

dirinya masing-masing.

Akhir kata, penulis dengan ikhlas menerima kritik dan saran dari

pembaca, agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi dalam pembuatan karya

berikutnya.

Semoga saja karya penulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

khusunya bagi para pembaca.

PENULIS

14 Juni 2014

Page 5: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psikologi sosial termasuk salah satu ilmu yang baru berkembang,

sehingga akhirnya definisi dari psikologi sosial itu sendiri sangat luas

maknanya. Banyaknya literatur maupun tokoh yang mengemukakan

mengenai definisi psikologi sosial itu sendiri, mampu membuat kita

memahami makna dan definisi dari psikologi sosial itu sendiri sesuai

dengan penelitian maupun pelajaran terkait ilmu ini.

Oleh karenanya, berkembangnya ilmu psikologi sosial juga

berkaitan erat dengan berkembangnya tingkah laku dalam bermasyarakat.

Semakin tinggi perubahan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan dan

teknologi, sedikit banyak juga mempengaruhi pola interaksi yang berlaku

dalam bermasyarakat. Contoh kasus ini lah yang membuat psikologi sosial

terus bergerak menuju perubahan zaman dan disesuaikan dengan kondisi

yang terjadi saat ini.

Apabila dilihat dari pola interaksi masyarakat saat ini, mereka sudah

hampir melupakan kelekatan yang terjadi diantara sesamanya. Mudahnya

akses internet yang ada membuat mereka terhubung sangat dekat, namun

sekaligus menjauhkan kelekatan itu sendiri. Ini akhirnya menjadi sebuah

fenomena yang cukup serius, karena dilihat dari sikapnya, manusia mulai

lebih mementingkan individualistik dan melupakan kebersamaan. Asumsi

dasar ini mulai lahir dari kebutuhan-kebutuhan kejiwaan setiap individu

dalam berhubungan dengan orang lain.

Akhirnya, psikologi sosial mencoba merangkum dan menjabarkan

setiap fenomena yang ada beserta masalah yang terkandung didalamnya.

Dan diharapkan juga bahwa psikologi sosial mampu menjawab segala

Page 6: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

permasalahan tersebut. Sehingga keselarasan tetap terjalin di antara setiap

individu meskipun zaman terus berubah. Karena tidak mungkin juga

manusia menghentikan perubahan itu, atau memilih untuk tidak

mengikutinya. Maka, membangun sikap yang benar dalam mengikuti

perkembangan zaman dan problematika yang ada, menjadi salah satu

tanggungan bagi para psikolog sosial.

Page 7: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebutuhan Afiliasi (NAFF)

Materi mengenai hubungan antarpribadi dimulai dengan adanya

kebutuhan setiap manusia untuk berafiliasi. Biasa disebut juga dengan

NAFF (need of affiliation). Yang mana setiap manusia berharap mampu

berhubungan dengan sesama manusia lainnya secara bersahabat dan

kooperatif. Dalam penjelasan mengenai kebutuhan berafiliasi ini terdapat

dua hipotesis besar, hipotesis rasa memiliki, dan hipotesis penahan stres.

2.1.1 Hipotesis Rasa Memiliki

Banyak peneliti yang mengklaim memiliki bukti yang mendukung

hipotesis rasa memiliki, yang menyatakan bahwa “kebutuhan untuk

memiliki adalah motivasi yang kuat, mendasar, dan sangat pervasif”

(Baumeister & Leary, dalam Mercer & Clayton, 2012: 164). Adapun dalil

ini didasari oleh dua sebab, pertama, penelitian yang menyelidiki gaya

kelekatan pada bayi hewan dan manusia. Kedua penelitian pada orang-orang

dewasa yang menunjukkan efek-efek negatif pengucilan sosial jangka

pendek dan pengasingan jangka panjang.

Dalam sebuah penelitian pada tahun 1969 yang dilakukan oleh

Bowlby dan diperbaharui pada tahun 1978 oleh Ainsworth, Blehar, Watess

dan Wall tentang deprivasi maternal menunjukkan, dorongan bawaan untuk

afiliasi yang tetap kita miliki sepanjang hidup. Pernyataan ini didukung oelh

sejumlah penelitian yang mengemukakan bukti tentang “bayi yang baru

lahir memiliki kecenderungan melihat ke arah wajah yang mereka sukai

ketimbang stimuli lain (Mondloch, dalam Mercer & Clayton, 2012: 164).

Selanjutnya diperkuat dengan adanya studi-studi observasional yang

menunjukkan bahwa bayi mempertahankan kedekatan fisik dengan ibu atau

Page 8: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

memulihkannya jika kedekatan tersebut terputus. Dalam penelitian ini

menunjukkan munculnya konsekuensi-konsekuensi negatif jika kebutuhan

untuk kontak sosial ini tidak terpenuhi secara layak. Deprivasi sosial dalam

jangka panjang pada anak-anak dapat mengakibatkan trauma psikologis dan

gaya berhubungan dekat mereka di masa dewasa kelak.

Pengucilan sosial telah diteliti melalui manipulasi-manipulasi

eksperimental berupa penolakan jangka pendek dan studi-studi korelasional

tentang rasa kesepian yang dilaporkan sendiri, yang mana berupa akibat dari

pengasingan jangka panjang. Dan dari beberapa penelitian tersebut

didapatkan hasil yang negatif apabila “kebutuhan afiliasi” seorang individu

tidak terpenuhi. Meski begitu, beberapa peneliti berargumen bahwa

pengucilan sosial dapat memotivasi individu untuk berafiliasi dan

berhubungan kembali dengan orang-orang di sekitar mereka (Maner,

DeWall, Baumeister & Shaller, 2007). Namun, efek dari pengucilan sosial

pada emosi, setelah diperdebatkan dan disertai beberapa bukti bahwa

pengucilan sosial mengakibatkan afek negatif, dan juga dapat menunjukkan

afek yang menumpulkan emosi. Dijelaskan pula, bahwa tidak ada

kesepakatan diantara penulis mengenai apakah penolakan memengaruhi

harga diri. Bahkan dua analisis meta-analisis yang dilakukan pada waktu

yang sama menghasilkan kesimpulan yang berbeda terkait hubungan antara

penolakan dan harga diri (Blackheart, Nelson, Knowles & Baumeister,

2009; Gerber & Wheeler, 2009)

2.1.2 Hipotesis Penahan Stres

Hipotesis ini berpendapat bahwa dukungan sosial membantu kita

menilai suatu peristiwa penuh stress dan merumuskan strategi-strategi untuk

mengatasinya. Terkait hal ini, banyak penelitian yang menunjukkan peran

dukungan sosial dengan menggunakan paradigma eksperimental

(dikembangkan dari studi klasik Schacter tahun 1959). Dalam penelitian ini,

para peserta yang berada dalam kondisi kecemasan tinggi, diminta untuk

memilih apakah mereka mau berinteraksi dengan orang lain atau tidak.

Page 9: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

Dari banyak temuan dalam skenario ini, kita mencari teman yang

sama dengan diri kita atau yang berada dalam suatu situasi yang sama.

Terdapat dua penjelasan utama untuk NAFF kita dalam situasi-situasi penuh

stress:

Perbandingan Sosial. Membahas situasi yang kita hadapi dengan

orang lain memberi kita “kejernihan kognitif”— membantu kita

mengambil keputusan-keputusan tentang apa yang harus dilakukan

— dan “kejernihan emosional”— member kita pemahaman yang

lebih baik tentang perasaan-perasaan kita sendiri dan bagaimana

mengatasinya.

Teori manajemen terror. Afiliasi meningkatkan harga diri dan

mengurangi terror tentang keniscayaan kematian. (Mercer &

Clayton, 2012:166)

2.2 Komunikasi Antarpribadi

Setelah membahas mengenai kebutuhan dasar manusia untuk

berafiliasi, kini kita akan membahas mengenai komunikasi antarpribadi.

Sebagai makhluk sosial, setiap manusia membutuhkan komunikasi terhadap

sesamanya, dan komunikasi salah satu cara agar kebutuhan berafiliasi itu

terwujud. Dalam komunikasi salah satu pihak menyampaikan pesan atau

biasa disebut juga pengirim/transmitter atau komunikator, kemudian pihak

yang menerima disebut receiver atau komunikan. Dan isi pesan atau

pembicaraan adalah pesan (komunike). Maka dari itu, syarat komunikasi

dapat berjalan dengan baik paling tidak memerlukan dua pihak.

Sedangkan menurut Hartley, dalam Sarwono (2002:193), “ada

berbagai jenis komunikasi, yaitu antara individu dan individu, antara

individu dan massa, dan antara kelompok dengan massa, yang masing-

masing dapat berlangsung secara tatap muka, atau dengan bantuan alat atau

teknologi(telepon, radio, tv, film, dan sebagainya).” Namun komunikasi

antarindividu yang paling efektif dan paling lengkap mengandung berbagai

faktor psikologis adalah komunikasi langsung/tatap muka. Komunikasi

Page 10: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

bertatap muka menurut Hartley dalam Sarwono (2002:193) “mengandung

berbagai aspek. Pertama, tatap muka itu sendiri yang membedakannya dari

komunikasi jarak jauh atau komunikasi dengan alat. Dalam komunikasi

tatap muka ada peran yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak dan

peran itu merupakan bagian dari proses komunikasi itu sendiri. Dalam hal

ini diperlukan saling percaya, saling terbuka, dan saling suka antara kedua

pihak agar terjadi komunikasi. Aspek lain, yaitu adanya hubungan dua arah.

Komunikasi tatap muka berbeda dari warta berita di tv atau radio karena

kedua pihak dapat saling menukar pesan. Dengan pertukaran pesan, terjadi

saling mengerti akan makna atau arti dari pesan itu. Jadi, dalam komunikasi

yang penting bukanlah pesannya semata, tetapi arti (meaning) dari pesan

itu.”

Selain itu juga terdapat komunikasi noninterpersonal, atau

komunikasi karena terpaksa. Dalam hal ini, kematangan kepribadian lebih

siap menerima berbagai peran dari pasangan komunikasinya (Kabul dalam

Sarwono, 2002:194). Ada pula kriteria dimengertinya pesan, yaitu adanya

kepuasan dan saling pengertian dalam interaksi yang bersangkutan. Apabila

sudah didapatkan kepuasan dari kedua belah pihak maka bisa disimpulkan

bahwa komunikasi antara kedua orang belah pihak sudah tercapai.

Kemudian setelah makna atau arti dari komunikas tatap muka, ada juga niat,

kehendak atau intense dari kedua pihak.

Menurut Monsour dalam Sarwono (2002:195), “adanya intense

untuk saling berkomunikasi akan mempercepat proses guna mencapai saling

pengertian secara kognitif dalam komunikasi antarpribadi.” Proses yang

terjadi terkadang berkaitan dengan waktu, seperti membutuhkan waktu.

Untuk mendapatkan pengertian yang semakin tinggi berbanding lurus

dengan waktu yang cukup lama.

2.3 Prinsip-Prinsip Ketertarikan

Kemudian, setelah kita membahas mengenai komunikasi dan dasar

kebutuhan manusia dalam berafiliasi. Kita akan memasuki bagian tentang

Page 11: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

dengan siapa kita akan menjalin hubungan. Apa yang menyebabkan kita

menjalin hubungan dengan orang tersebut dan apa yang menyebabkan kita

memilih untuk berhubungan dengan dia.

2.3.1 Kedekatan

Dalam sebuah interaksi ada yang disebut dengan efek keakraban

(propinquity effect) yaitu orang-orang yang paling sering ditemui dan

dengan siapa ia paling sering berinteraksi adalah yang paling mungkin

menjadi teman atau kekasih. Dalam beberapa penelitian klasik disebutkan

seberapa penting kedekatan sebagai fasilitator ketertarikan. Hal ini

menunjukkan bahwa efek keakraban lebih bisa menjadi cerminan jarak

fungsional ketimbang jarak geografis. Artinya, hubungan itu bisa bermula

bukan karena tinggal berdekatan dengan orang tersebut, tapi dengan

seberapa sering kemungkinan mereka bertemu secara rutin.

Efek keakraban bekerja melalui meningkatnya familiaritas,

keberadaan, dan ekspektasi-ekspektasi bagi interaksi yang berkelanjutan.

Ada dua pandangan mengenai hal ini, yang pertama dari para psikolog

evolusioner, merekaa berpendapat bahwa akan adaptif bagi para leluhur

untu waspada terhadap segala sesuatu yang tidak dikenal dengan baik. Lain

halnya dengan yang disebutkan dalam perspektif kognitif, bahwa interaksi

memungkinkan orang untuk menggali kesamaan-kesamaan mereka dan

merasa saling menyukai.

2.3.2 Daya Tarik Fisik

Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa ketertarikan fisik

merupakan faktor utama dalam ketertarikan awal. Dikutip dari Buss dalam

Mercer & Clayton (2012: 169), para teoris evolusioner berpendapat bahwa

kita memilih pasangan yang menarik guna meningkatkan peluang

keberlangsungan hidup gen kita. Sejumlah poin dikemukakan untuk

mendukung pendapat evolusioner ini:

Page 12: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

Orang yang menarik bernasib lebih baik dalam hidup, mereka

menilai secara lebih positif, memiliki harga diri yang lebih tinggi,

gaji yang lebih tinggi, serta kesehatan fisik dan mental yang lebih

baik

Individu-individu, terlepas dari ras, kelas, dan umur, memiliki rasa

yang sama tentang apa yang dianggap menarik

Sifat-sifat yang kita anggap menarik mungkin merupakan indicator

kesuburan dan kesehatan

Sejak usia sangat dini, bayi lebih menyukai wajah yang menarik

(diukur dengan lama waktu dalam memandangi foto).

Namun, bukan berarti bahwa setiap orang akan memilih pasangan

kencan yang paling menarik, adapun mereka akhirnya akan memilih sesuai

dengan tingkat daya tarik mereka sendiri. Perspektif evolusioner juga

menunjuk kepada perbedaan gender, bahwa laki-laki dianggap lebih

menghargai daya tarik fisik dari pada perempuan. Namun, biar

bagaimanapun laki-laki maupun perempuan sesungguhnya sama-sama

memilih pasangan yang lebih menarik.

2.3.3 Kesamaan

Salah satu temuan yang paling kuat dalam penelitian ketertarikan

antarpribadi adalah bahwa kita tertarik pada mereka yang sama dengan diri

kita—efek keterterikan-kesamaan (SAE— similarity attraction of effect)

(Byrne, dalam Mercer & Clayton, 2012:170). Kebanyakan dari kita akan

tertarik kepada orang yang lebih banyak memiliki kesamaan dengan kita,

entah itu kesamaan sikap, kepribadian, kegemaran, aktifitas, ataupun

demografi. Lebih jauh dari itu, menurut penelitian, semakin besar kesamaan

antara suami-istri, semakin bahagia mereka dan semakin kecil kemungkinan

untuk bercerai.

Dalam teori kognitif, berpendapat bahwa kesamaan memberikan

suatu rasa familiaritas. Berhubungan dengan orang yang sama dengan diri

kita mampu membenarkan sudut pandang kita dan meningkatkan harga diri.

Page 13: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

Dikutip dalam buku Psikologi Sosial karya Mercer & Clayton (2012:170),

disebutkan bahwa terdapat bias konsensus semu, bias ini menyatakan bahwa

kita berasumsi orang lain memiliki sikap yang sama dengan diri kita. Ketika

kita mendapati bahwa seseorang memiliki sikap yang tidak sama, kita

mungkin tidak menyukai orang tersebut, karena ketidaksamaan itu akan

menimbulkan masalah dengan konsistensi kognitif. Ini pula yang

menjelaskan mengapa akhirnya kita menjadi, atau Nampak menjadi,

semakin sama dengan pasangan kita seiring waktu.

Jones, Pelham, Carvallo, dan Mirenberg (2004) mengajukan teori

egotism implisit, yang menyatakan bahwa orang secara umum melihat diri

mereka secara positif, sehingga apapun yang mengingatkan pada diri sendiri

dapat memicu asosiasi-asosiasi positif yang otomatis. Teori identitas sosial

(Tajfel dalam Mercer & Clayton, 2012:171) menyatakan bahwa orang yang

mengategorikan diri mereka dan orang lain sebagai amggota berbagai

kategori sosial membentuk identitas dengan kelompok-kelompok sosial

spesifik.

Namun, walau begitu kita tidak dapat menyatakan fenomena SAE

ersifat universal, adapun alasannya sebagai berikut:

Tidak terdapat penjelasan gamblang terkait mekanisme yang

berperan dalam efek kesamaan

Kebanyakan penelitian dilakukan di sekitar kampus-kampus

Universitas di Amerika.

2.3.4 Ketimbalbalikan

Premis dasar ketimbal balikan yaitu “ kita akan menyukai orang-

orang yang menyukai kita”. Di sini terlihat bahwa harga diri merupakan

moderator utama efek ini. Individu-individu yang memiliki harga diri tinggi

kurang terpengaruh oleh respons-respons orang lain. “Hipotesis untung rugi

menyatakan bahwa kita akan tertarik pada mereka yang awalnya tidak

menyukai kita, namun kemudian secara bertahap mulai menyukai kita.”

(Mercer & Clayton, 2012:171).

Page 14: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

Kenny dalam Mercer & Clayton (2012:171), membedakan dua tipe

ketimbalbalikan: rasa suka timbal-balik umum dan rasa suka timbal-balik

diadik. Bukti bagi rasa suka timbal-balik diadik tampaknya lebih dapat

diandalkan, sedangkan bukti bagi rasa suka timbal-balik umum tidak

konsisten.

2.4 Hubungan dengan Orang yang Belum Dikenal

Dalam judul kali ini sudah sedikit disinggung dalam judul yang

sebelumnya terkait kedekatan. Bahwasanya pertemuan yang berulang,

sejauh reaksi yang didapatkan pertama kali tidak terlalu negatif, maka itu

termasuk faktor utama yang memudahkan komunikasi berlangsung. Karena

pertemuan yang berulang tersebut mampu mengurangi kecemasan dan

adanya pembiasaan terhadap orang asing yang baru ditemui sehingga dapat

berhubungan lebih baik. Oleh sebab itu, faktor kedekatan fisik juga salah

satu faktor penting dalam peningkatan hubungan.

Selain itu, kedekatan fungsional juga penting, bukan hanya

kedekatan fisik. Bahkan dalam sebuah eksperimen lain membuktikan

bahwa yang dijumpai sambil lalu dapat lebih diingat daripada yang harus

dijumpai dengan penuh perhatian dan kesengajaan (Bornstein & D’Agostino

dalam Sarwono, 2002:198). Dalam hal ini, Zajonc menerangkan bahwa

emosi lebih primitif dan ada lebih dahulu dari akal atau rasio. Maka dari itu,

orang yang merasa takut, gugup, atau cemas saat bertemu dengan orang

baru bertemu atau yang belum dikenal bukan dikarenakan terdapat

prasangka-prsanagka, namun prasangka itulah yang kemudian

dikembangkan untuk menjelaskan emosi-emosi yang timbul.

Setelah kedekatan adapula afek yang akan berpengaruh terhadap

orang yang baru atau belum dikenal. Di pihak lain, interaksi antarpribadi

juga dapat mempengaruhi afek seseorang. Entah itu positif atau negatif,

tidak selalu bisa diprediksikan.

Page 15: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

2.5 Hubungan Romantis

Pertemuan yang berulang, kedekatan yang intens, dan komunikasi

yang sering terjadi diantara dua individu dapat menimbulkan perasaan cinta

dan kasih sayang. Jika semula diantara keduanya tidak terdapat perasaan

apapun, seiring dengan berjalannya waktu hubungan tersebut berubah

menjadi hubungan yang lebih dekat lagi bahkan bisa menjadi sepasang

kekasih. Biasanya disebut juga hubungan romantik yang kelak hubungan ini

bisa berubah menjadi sebuah ikatan pernikahan.

2.5.1 Cinta

Menurut Izard dalam Sarwono (2012:71), cinta dapat mendatangkan

segala jenis emosi, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.

Dalam teorinya, Stenberg (dalam Sarwono, 2012:71) mengemukakan bahwa

cinta memiliki tiga dimensi, yaitu hasrat (passion), keintiman (intimacy),

dan komitmen/keputusan (commitment/decision).

Hasrat

Dimensi ini menekankan pada intensnya perasaan serta perasaan

(keterbangkitan) yang muncul dari daya tarik fisik dan daya tarik

seksual. Pada jenis ini, seseorang mengalami ketertarikan fisik

secara nyata, selalu memikirkan orang yang dicintainya sepanjang

waktu, melakukan kontak mata secara intens saat bertemu,

mengalami perasaan indah seperti melambung ke udara, mengagumi

dan terpesona dengan pasangan, detak jantung meningkat,

mengalami perasaan sejahtera, ingin selalu bersama pasangan yang

dicintai, memiliki energy yang besar untuk melakukan sesuatu demi

pasangan mereka, merasakan adanya kesamaan dalam banyak hal,

serta tentu saja merasa sangat bahagia.

Keintiman

Dimensi ini tertuju pada kedekatan perasaan antara dua orang dan

kekuatan yang mengikat mereka untuk bersama. Sebuah hubungan

Page 16: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

akan mencapai keintiman emosional jika kedua belah pihak saling

mengerti, terbuka, dan saling mendukung, serta bisa berbicara apa

pun tanpa merasa takut ditolak. Mereka mampu untuk saling

memaafkan dan menerima, khusunya ketika mereka tidak

sependapat atau berbuat kesalahan.

Komitmen/Keputusan

Pada dimensi ini, seseorang berkeputusan untuk tetap bersama

dengan seorang pasangan dalam hidupnya. Komitmen dapat

bermakna mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk

menjaga suatu hubungan tetap langgeng, melindungi hubungan

tersebut dari bahaya, serta memperbaiki bila hubungan dalam

keadaan kritis.

2.6 Pernikahan

Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antarpasangan, dan

dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa

saat itu pasangan telah resmi menjadi suami istri. Duvall & Miller dalam

Sarwono (2012:73), menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan pria

dan wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan

hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak, dan membangun

pembagian peran diantara sesama pasangan.

Pernikahan adalah puncak dari hubungan intim antarjenis. Di dalam

perkawinan kedua belah pihak saling membagi pengalaman dan perasaan

serta pikiran, sehingga akhirnya pasangan-pasangan yang sudah menikah

cukup lama mempunyai kemiripan dalam sikap, nilai-nilai, minat, dan sifat

(Pearson & Lee dalam Sarwono, 2002:220)

2.7 Gangguan Pada Hubungan

Sumber-sumber yang konflik yang dapat mengganggu hubungan

antarpribadi, antara lain adalah perilaku-perilaku tertentu seperti tidak dapat

dipercaya, watak yang tidak menyenangkan, emosi yang tidak stabil,

Page 17: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

ketidaksamaan yang terungkap dalam sikap, kebiasaan, nilai, dan

sebagainya, kebosanan, kata-kata dan perbuatan yang positif mulai diganti

dengan yang negative, dan saling menyalahkan. (Sarwono, 2002:222)

2.7.1 Dampak Putus Hubungan

Putusnya hubungan antapribadi dapat menimbulkan perasaan

bersalah. Jika yang putus itu adalah hubungan percintaan, dampaknya lebih

berat daripada hubungan persahabatan. Putus hubungan cinta dapat

menimbulkan perasaan tidak tenang dan selalu menimbulkan perasaan sakit

hati dan kemarahan(Rose dalam Sarwono, 2002:222). Dalam hal ini, jika

sudah ada alternatif lain atau hubungan antarpribadi lainnya yang setara

sebagai pengganti, dampaknya tidak terlalu berat daripada jika hubungan itu

putus begitu saja(Jemmot, Ashby & Lindenfeld dalam Sarwono, 2002:222).

2.7.2 Kesepian

Sisi lain dari hubungan antarpribadi adalah kesepian (loneliness).

Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam

hubungan yang akrab dengan seseorang tidak tercapai (Peplau&Perlman

dalam Sarwono, 2002:223). Karena sifatnya yang bersifat yang berupa

perasaan, kesepian bersifat subjektif. Ia harus dibedakan dari pengertian

kesendirian. Kesendirian lebih bersifat fisik objektif, yaitu suatu keadaan

dimana seseorang sedang tidak bersama orang lain.

Dalam hubungan inilah dapat dimengerti bahwa masa remaja adalah

masa yang penuh kemungkinan terjadinya kesepian, karena remaja

mengalami berbagai proses perpisahan dalam tempo yang singkat. Seperti

pindah sekolah, lulus kuliah, pergi dari orang tua, putus dari pacar,

dikhianati sahabat, dan lain sebagainya dalam rangka pencarian jati

diri(Brennan dalam Sarwono, 2002:225). Salah satu akibat dari rasa

kesepian pada remaja ini adalah keputusasaan, sehingga di berbagai

lingkungan budaya cukup sering terjadi remaja yang bunuh diri. Untuk

mengatasi keputusasaan itu diperlukan keterampilan sosial yang baik, yang

tidak dimiliki oleh setiap orang (Sarwono, 2002:225).

Page 18: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

Mereka yang tidak mempunyai cukup keterampilan sosial seperti

kurang dapat bergaul, biasanya melarikan diri ke khayalannya sendiri

(menjadi pelamun) atau menjadi peminum alkohol atau penyalahgunaan

obat(Revenson dalam Sarwono, 2002:225). Sebagian yang lain lari ke

music, tetapi hasilnya malah semakin depresi (Davis&Kraus dalam

Sarwono, 2002:225).

Page 19: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

BAB III

KESIMPULAN

Psikologi social membahas mengenai hubungan antara manusia

dengan manusia lainnya dan kaitannya saat mereka berinteraksi dengan

sesame di lingkungan social. Hubungan antarpribadi berbicara mengenai

sikap seseorang saat ia harus berhadapan dengan orang yang belum dikenal,

bagaimana reaksinya, apa yang akan terjadi dan bagaimana ia menyikapi

perasaannya tersebut. Kemudian hubungan tersebut menjadi lebih dekat dan

lebih baik jika perasaan pertama yang timbul bersifat postif. Jika sebaliknya,

maka kemungkinan hubungan itu tidka akan berlanjut ke hubungan yang

lebih jauh lagi.

Setelah itu dilanjut kepada pernikahan yang membawa pada sebuah

komitmen diantara dua individu. Komitmen yang membuat hubungan

mereka menjadi lebih kompleks untuk dipertahankan dan diperkuat. Namun,

sebuah hubungan bisa memiliki akhir jika terdapat perilaku-perilaku yang

membuta hubungan merenggang dan hubungan tersebut akhirnya berakhir.

Page 20: Hubungan Antarpribadi dalam Psikologi Sosial

DAFTAR PUSTAKA

Blackheart, G. C., Nelson, B. C., Knowles, M. L., & Baumeister, R. F.

2009. Rejection elicits emotional reactions but nether causes

immediate distress nor lowers sel-esteem: A meta-analytical review

of 192 studies of social exclusion. Personality and Social

Psychology Review, 13, 269-309.

Maner, J. K., DeWall, C. N., Baumeister, R. F., & Shaller, M. 2007. Does

social exclusion motivate interpersonal reconnection?: Resolving the

‘porcupine problem’. Journal of Personality and Social Psychology,

9(1) 422-455.

Mercer, Jenny dan Debbie Clayton. 2012. Psikologi Sosial (Terjemahan).

Jakarta: Penerbit Erlangga

Sarwono, Sarlito W. dan Eko A. Meinarno. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta:

Salemba Humanika

Sarwono, Sarlito W. 2002. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori

Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka