hakikat majas atau gaya bahasa
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Gaya Bahasa
Sebelum dijabarkan lebih lanjut tentang hakikat gaya bahasa, terlebih
dahulu akan dijelaskan secara singkat mengenai stilistika. Secara etimologis
stylistics berkaitan dengan style (gaya), dengan demikian stylistics dapat
diterjemahkan dengan ilmu tentang gaya yang erat hubungannya dengan
linguistik.
Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memberikan bahasa dan
menunjukkan bagaimana cara kerjanya, sedangkan stylistics merupakan bagian
dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa,
yang walaupun tidak secara eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra.
(Tuner dalam Pradopo, 2005: 161).
Gaya dalam ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan
bahasa dalam karya sastra (Pradopo, 2005: 161). Sebelum ada stilistika, bahasa
karya sastra sudah memiliki gaya yang memiliki keindahan.
Gaya adalah segala sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian biasa.
Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan. Keindahan ini banyak muncul
dalam karya sastra, karena sastra memang syarat dengan unsur estetik. Segala
unsur estetik ini menimbulkan manipulasi bahasa, plastik bahasa dan kado bahasa
sehingga mampu membugkus rapi gagasan penulis. (Endraswara, 2003: 71)
Dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa
bagian dari suatu bahasa tertentu (Pradopo, 2005: 162). Hubungan antara bahasa
2
dan sastra sering bersifat dialektis. Sastra sering mempengaruhi bahasa sementara
itu sastra juga tidak mungkin diisolasi dari pengaruh sosial dan intelektualitas.
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus
dan mengandung arti leksikal „alat untuk menulis‟ (Aminuddin, 2009: 72).
Aminuddin juga menjelaskan bahwa dalam karya sastra istilah gaya mengandung
pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Sejalan dengan pengertian tersebut (Scharbach dalam Aminuddin 2009:
72) menyebut gaya sebagai hiasan, sebagai sesuatu yang suci, sebagai sesuatu
yang indah dan lemah gemulai serta sebagai perwujudan manusia itu sendiri.
Bagaimana seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dalam wacana ilmiah
dengan cara pengarang dalam kreasi cipta sastra, dengan demikian akan
menunjukkan adanya perbedaan meskipun dua pengarang itu berangkat dari satu
ide yang sama.
Beracuan dari beberapa pendapat di atas gaya dapat disimpulkan dengan
tatanan yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang
mengandung makna konotatif. Sedangkan pengarang dalam wacana sastra justru
akan menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif,
asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan kalimat-kalimatnya juga
menunjukkkan adanya variasi dan harmoni sehinnga mampu menuansakan
keindahan dan bukan hanya nuansa makna tertentu saja. Oleh sebab itulah
3
masalah gaya dalam sastra akhirnya juga berkaitan erat dengan masalah gaya
dalam bahasa itu sendiri.
B. Pengertian Gaya Bahasa
Sudjiman (1998: 13) menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat
digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan
ragam sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks
tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional
gaya bahasa selalu ditautkan dengantertentu oleh orang tertentu untuk maksud
tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks
sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas
dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang
terdapat dalam sebuah karya sastra.
Jorgense dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya
bahasa bukan sekedar saluran, tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun
kembali dunia sosial itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna, 2009:
84) gaya bahasa baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk
mengeksplorasi kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika
dengan demikian memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan
terhadap substansi kultural pada umumnya.
Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan fungsi
dan konteks pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan dengan
konteks yang melatar belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua gaya
4
bahasa itu berkaitan langsung dengan latar sosial dan kehidupan di mana bahasa
itu digunakan.
Bahasa sastra adalah bahasa khas (Endraswara, 2003: 72). Khas karena
bahasanya telah direkayasa dan dioles sedemikian rupa. Dari polesan itu
kemudian muncul gaya bahasa yang manis. Dengan demikian seharusnya
pemakaian gaya bahasa harus didasari penuh oleh pengarang. Bukan hanya suatu
kebetulan gaya diciptakan oleh pengarang demi keistimewaan karyanya. Jadi
dapat dikatakan jika pengarang pandai bersilat bahasa, kaya, dan mahir dalam
menggunakan stilistika maka karyanya akan semakin mempesona dan akan lebih
berbobot. Stilstik adalah penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya
sastra yang akan membangun aspek keindahan karya sastra.
Pradopo (dalan Endraswara, 2003: 72) menyatakan bahwa nilai seni sastra
ditentukan oleh gaya bahasanya. Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian
seorang pengarang dalam mengolah kata-kata. Jangkauan gaya bahasa sangat luas,
tidak hanya menyangkut masalah kata tetapi juga rangkaian dari kata-kata tersebut
yang meliputi frasa, klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan (Keraf, 2004:
112) termasuk kemahiran pengarang dalam memilih ungkapan yang menentukan
keberhasilan, keindahan, dan kemasuk akalan suatu karya yang merupakan hasil
ekspresi diri (Sayuti, 2000: 110).
Sejalan dengan Sayuti (2003: 73) juga menyatakan bahwa gaya bahasa
merupakan seni yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa sastrawan
menuangkan idenya. Bagaimanapun perasaan saat menulis, jika menggunakan
5
gaya bahasa, karya yang dihasilkan akan semakin indah. Jadi, dapat dikatakan
gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan teks sastra.
Melalui gaya bahasa pembaca dapat menilai kepribadian dan kemampuan
pengarang, semakin baik gaya bahasa yang digunakan, semakin baik pula
penilaian terhadapnya. Sering dikatakan bahwa bahasa adalah pengarang yang
terekam dalam karya yang dihaslkannya. Oleh sebab itu setiap pengarang
mempunyai gayanya masing-masing. Zhang (1995: 155) menjelaskan bahwa
”Literary stylistics is a discipline mediating between linguistics and literary
criticism. Its concern can be simply and broadly defined as thematically and
artistically motivated verbal choices” (“gaya bahasa sastra adalah disiplin mediasi
antara linguistik dan kritik sastra. Disisi lain dapat sederhana dan secara luas
didefinisikan sebagai tematik dan artistik termotivasi pilihan verbal”). Dengan
kata lain, objek tersebut adalah untuk mengetahui nilai-nilai tematik dan estetika
yang dihasilkan oleh linguistik bentuk, nilai-nilai yang menyampaikan visi
penulis, nada dan sikap, yang bisa meningkatkan afektif atau kekuatan emotif
pesan yang memberikan sumbangan untuk karakterisasi dan membuat fiksi
realitas fungsi lebih efektif dalam kesatuan tematik.
Beberapa pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran
dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini
terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan
makna yang sebenarnya.
C. Ciri-Ciri Gaya Bahasa
6
Berbicara tentang gaya bahasa kita tidak akan terlepas dari masalah
stilistika yaitu makna yang timbul dari pemakaian bahasa. Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa gaya bahasa harus harmonis atau sejalan dengan yang
dilukiskan. Kalau yang dilukiskan itu indah, maka yang digunakan adalah gaya
bahasa yang indah pula.
Gaya bahasa dapat dipandang sebagai fenomena bahasa yang istimewa dan
tidak dapat dipisahkan dari cara atau teknik seorang pengarang dalam
merefleksikan (memantulkan, mencerminkan) pengalaman, bidikan, nilai-nilai,
kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa. Karena itu, tidak
dapat sebenarnya seorang penutur memproduksi gaya bahasa seorang penutur
lainnya, kecuali untuk tujuan-tujuan praktis yang bersifat peniruan sebagai suatu
parody.
Setiap orang yang menggunakan bahasa sebenarnya menunjukkan gaya
bahasa sendiri-sendiri sehingga jumlah gaya bahasa sangat bervariasi atau sangat
banyak jumlahnya (Zainuddin, 1992: 52). Berdasarkan cirri-ciri yang terdapat
pada penulisan atau pemakaian bahasa, maka dibuatlah nama sesuai dengan cirri-
ciri tersebut.
Adapun cirri-ciri gaya bahasa yang dikemukakan oleh Zainuddin (1992:
52) adalah:
1. Ada perbedaan dengan sesuatu yang diungkapkan, misalnya melebihkan,
mengiaskan, melambangkan, menyindir, atau mengulang-ulang.
2. Kalimat yang disusun dengan kata-kata yang menarik dan indah.
3. Pada umumnya mempunyani makna kias.
7
D. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapat
efek-efek tertentu. Oleh karena itu, penelitian gaya bahasa terutama dalam karya
sastra yang diteliti adalah wujud (bagaimana bentuk) gaya bahasa itu dan efek apa
yang ditimbulkan oleh penggunaannya atau apa fungsi penggunaan gaya bahasa
tersebut dalam karya sastra. Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan
meskipun tidaklah terlalu luar biasa, namun unik karena selain dekat dengan
watak dan jiwa penyair juga membuat bahasa digunakannya berbeda dalam
makna dan kemesraannya. Dengan demikian, gaya lebih merupakan pembawaan
pribadi.
Gaya bahasa dipakai pengarang hendak memberi bentuk terhadap apa
yang ingin disampaikan. Dengan gaya bahasa tertentu pula seorang pengarang
dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan
itu pula ia menyentuh hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari dalam
batin seorang pengarang maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang
pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap atau
karakteristik pengarang tersebut. Demikian pula sebaliknya, seorang yang
melankolis memiliki kecenderungan bergaya bahasa yang romantis. Seorang yang
sinis member kemungkinan gaya bahasaya sinis dan ironis. Seorang yang gesit
dan lincah juga akan memiliki gaya bahasa yang hidup dan lincah.
Perrin (dalam Tarigan, 1995: 141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga.
Gaya bahasa tersebut yaitu: (1) perbandingan yang meliputi metafora, kesamaan,
8
dan analogi; (2) hubungan yang meliputi metonomia dan sinekdoke; (3)
pernyataan yang meliputi hiperbola, litotes, dan ironi.
Moeliono (1989: 175) membedakan gaya bahasa menjadi tiga. Gaya
bahasa tersebut antara lain: (1) perbandingan yang meliputi perumpamaan
metafora, dan penginsanan; (2) pertentangan yang meliputi hiperbola, litotes, dan
ironi; (3) pertautan yang meliputi metonomia, sinekdoke, kilatan, dan eufemisme.
Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 21-30)
berpendapat gaya bahasa dibagi menjadi lima golongan, yaitu: (1) gaya bahasa
penegasan, yang meliputi repetisi, paralelisme; (2) gaya bahasa perbandingan,
yang meliputi hiperbola, metonomia, personifikasi, perumpamaan, metafora,
sinekdoke, alusio, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan
hipalase; (3) gaya bahasa pertentangan mencakup paradoks, antithesis, litotes,
oksimoron, hysteron, prosteron, dan okupasi; (4) gaya bahasa sidiran meliputi
ironi, sinisme, innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifarsis; (5) gaya bahasa
perulangan meliputi aliterasi, antanaklasis, anaphora, anadiplosis, asonansi,
simploke, nisodiplosis, epanalipsis, dan epuzeukis”.
Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat
dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa berbandingan, (2) gaya
bahasa perulangan, (3) gaya bahasa sindiran, (4) gaya bahasa pertentangan, (5)
gaya bahasa penegasan. Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas
adalah sebagai berikut.
1. Gaya Bahasa Perbandingan
Pradopo (2005: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan
9
adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain
dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak,
seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan adalah gaya
bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang
dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang
dianggap sama. Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: hiperbola,
metonomia, personifikasi, pleonasme, metafora, sinekdoke, alusi, simile,
asosiasi, eufemisme, epitet, eponym, dan hipalase.
a. Hiperbola
Maulana (2008: 2) berpendapat bahwa hiperbola yaitu sepatah kata yang
diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari pada kata.
Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa
yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan
suatu hal. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola
adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dari
kenyataan, contoh:
hatiku hancur mengenang dikau, berkeping-keping jadinya.
b. Metonomia
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa metonomia adalah suatu gaya
bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain
karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Sementara iitu, Altenberd
(dalam Pradopo, 2005: 77) mengatakan bahwa metonomia adalah penggunaan
10
bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang
sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonomia adalah penamaan
terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau
melekat pada suatu benta tersebut, contoh: ayah membeli kijang.
c. Personifikasi
Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam
gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-
barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
Personifikasi juga dapat diartikan majas yang menerapakan sifat-sifat manusia
terhadap benda mati Maulana (2008: 1). Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang memperamalkan
benda-benda mati seolah- olah hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan.
Berdasarkan pendapat tersebut gaya bahasa personifikasi mempunyai contoh:
pohon melambai-lambai diterpa angin.
d. Perumpamaan
Moeliono (1989: 175) berpendapat bahwa perumpamaan adalah gaya
bahasa perbandingan yang pada hakikatnya membandingkan dua hal
yang berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama. Gaya bahasa
perumpamaan dapat disimpulka yaitu perbandingan dua hal yang hakikatnya
11
berlainan dan yang sengaja dianggap sama. Terdapat kata laksana, ibarat, dan
sebagainya yang dijadikan sebagai penghubung kata yang diperbandingkan.
Dengan kata lain, setiap kalimat yang dipakai dalam gaya bahasa
perumpamaan, tidak dapat disatukan, dan hanya bisa dibandingkan. Hal
tersebut akan terlihat jelas pada contoh berikut ini: setiap hari tanpamu laksana
buku tanpa halaman.
e. Pleonasme
Keraf (2004: 133) berpendapat bahwa pleonasme adalah semacam acuan
yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan
untuk menyatakan satu gagasan atau pikiran. Apabila kata yang berlebihan
tersebut dihilangkan maka tidak mengubah makna/ arti. Gaya bahasa
pleonasme dapat disimpulkan menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus,
tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai
gaya, contoh: ia menyalakan lampu kamar, membuat supaya kamar menjadi
terang.
f. Metafora
Keraf (2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi
yang membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk
yang singkat. Sementara itu menurut Maulana (2008: 1) metafora juga dapat
diartikan dengan majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda
12
lain. Kedua benda yang diperbandingkan itu mempunyai sifat yang sama,
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa
yang membandingkan secara implisit yang tersusun singkat, padat, dan rapi;
contoh: generasi muda adalah tulang punggung negara.
g . Alegori
Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa alegori adalah gaya bahasa
perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang
utuh. Gaya bahasa alegori dapat disimpulkan kata yang digunakan sebagai
lambang yang untuk pendidikan serta mempunyai kesatuan yang utuh, contoh:
hati-hatilah kamu dalam mendayung bahtera rumah tangga, mengarungi
lautan kehidupan yang penuh dengan badai dan gelombang. Apabila suami
istri, antara nahkoda dan jurumudinya itu seia sekata dalam melayarkan
bahteranya, niscaya ia akan sampai ke pulau tujuan.
h. Sinekdoke
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam
bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk
menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan
sebagian. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinekdoke adalah
gaya bahasa yang menggunakan nama sebagian untuk seluruhnya atau
sebaliknya, contoh: akhirnya Maya menampakkan batang hidungnya.
i. Alusio
Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang berusaha
mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Dari pendapat
13
di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang
menunjuk sesuatu secara tidak langsung kesamaan antara orang, peristiwa
atau tempat, contoh: memberikan barang atau nasihat seperti itu kepadanya,
engkau seperti memberikan bunga kepada seekor kera.
j. Simile ;
Keraf (2004: 138) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang
bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang
lain. Sementara itu simile atau perumpamaan dapat diartikan suatu
majas membandingkan dua hal/benda dengan menggunakan kata penghubung,
contoh: caranya bercinta selalu mengagetkan, seperti petasan.
k. Asosiasi
Maulana (2008: 2) berpendapat asosiasi adalah gaya bahasa
perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain
yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Pendapat tersebut menyiratkan
bahwa asosiasi adalah gaya bahasa yang berusaha membandingkan sesuatu
dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan, contoh:
wajahnya pucat pasi bagaikan bulan kesiangan.
l. Eufemisme
Keraf (2004: 132) berpendapat bahwa eufemisme adalah acuan berupa
ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang
mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugestikan
sesuatu yang tidak menyenangkan. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan
14
bahwa eufemisme adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-
ungkapan lain dengan maksud memperhalus, contoh: kaum tuna wisma makin
bertambah saja di kotaku.
m.Epitet
Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang
menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu
hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau
menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Dari pendapat tersebut
dapat disimpulkan epitet adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau suatu
benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifat itu, contoh: raja
siang sudah muncul, dia belum bangun juga (matahari).
n. Eponim
Keraf (2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di
mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu
sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa eponim adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan
berdasarkan sifat yang sudah melekat padanya, contoh: kecantikannya bagai
Cleopatra.
o. Hipalase
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya
bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah
kata yag seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud pendapat di
atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi
15
sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain., contoh: dia berenang
di atas ombak yang gelisah. (bukan ombak yang gelisah, tetapi manusianya).
p. Pars pro toto
Keraf (2004: 142) Pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan
sebagian untuk keseluruhaan. Maksud pendapat tersebut adalah pars pro toto
merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai pengganti dari wakil
keseluruhan, contoh: sudah tiga hari, dia tidak kelihatan batang hidungnya.
2. Gaya Bahasa Perulangan
Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002: 28) berpendapat bahwa
gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah
itu yang diulang bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa
perulangan ini meliputi: aliterasi, anadiplosis, epanalipsis, epizeukis,
mesodiplosis, anafora.
a. Aliterasi
Keraf (2004: 130) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang
berwujud perulangan konsonan yang sama. Suyoto (2008: 2) alitersi juga dapar
diartikan sebagai pengulangan bunyi konsonan yang sama. Jadi aliterasi adalah
gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata
berikutnya, contoh: Malam kelam suram hatiku semakin muram.
b. Anadiplosis
Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa
terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa
16
24 atau kalimat berikutnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama dari suatu kalimat
menjadi kata terakhir, contoh: dalam hati ada rasa, dalam rasa ada cinta, dalam
cinta, ada apa.
c. Epanalipsis
Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa epanalipsis adalah pengulangan
yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat mengulang kata
pertama. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah
pemngulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu
kalimat, contoh: kita gunakan akal pikiran kita.
d. Epizeukis
Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa yang dinamkan epizeukis adalah
repetisi yang bersifat langsung, artinya kata-kata yang dipentingkan diulang
beberapa kali berturut-turut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
epizeukis adalah pengulangan kata yang bersifat langsung secara berturut-turut
untuk menegaskan maksud, contoh: kita harus terus semangat, semangat, dan
terus semangat untuk menghadapi kehidupan ini.
e. Mesodiplosis
Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah repetisi di
tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang
kata di tengah-tengah baris atau kalimat. contoh: Hidup bagaikan surga kalau
17
dianggap surga. Hidup bagaikan neraka kalau dianggap neraka. Namun, yang
penting hidup bagai sandiwara sementara.
f. Anafora
Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa anaphora adalah repetisi yang
berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama
yang sama pada kalimat berikutnya, contoh: Kita tidak boleh lengah, Kita tidak
boleh kalah. Kita harus tetap semangat.
3. Gaya Bahasa Sindiran
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi
adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud
berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Jadi yang
dimaksud dengan gaya bahasa sindiran adalah bentuk gaya bahasa yang rangkaian
kata-katanya berlainan dari apa yang dimaksudkan. Gaya bahasa sindiran ini
meliputi: melosis, sinisme, ironi, innuendo, antifrasis, sarkasme, satire.
a. Melosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 27) berepndapat bahwa
melosis adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang merendah dengan
tujuan menekankan atau mementingkan hal yang dimaksud agar lebih berkesan
dan bersifat ironis. Jadi yang dimaksud melosis adalah gaya bahasa sindiran yang
merendah dengan tujuan menekankan suatu yang dimaksud, contoh: tampaknya
dia sudah lelah di atas, sehingga harus lengser.
b. Sinisme
18
Keraf (2004; 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai
suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap
keikglasan dan ketulusan hati. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar,
contoh: tak usah kuperdengarkan suaramu yang merdu dan memecahkan telinga
itu.
c. Ironi
Hadi (2008: 2) berpendapat bahwa ironi adalah gaya bahasa yang berupa
sindiran halus berupa pernyataan yang maknanya bertentangan dengan makna
sebenarnya. Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ironi adalah gaya bahasa
yang bermakna tidak sebenarnya dengan tujuan untuk menyindir, contoh: pagi
benar engkau datang, Hen! Sekarang, baru pukul 11.00.
d. Innuendo
Keraf (2004: 144) berpendapat bhwa innuendo adalah semacam sindiran
dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengungkapkan
kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya, contoh: dia berhasil naik pangkat
dengan sedikit menyuap.
e. Antifrasis
Keraf (2004: 132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi
yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa
saja dianggap ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal
kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
19
antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebalikannya
dengan tujuan menyindir, contoh: lihatlah si raksasa telah tiba (si cebol).
f. Sarkasme
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang
lebih kasar dari ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Jadi
yang dimaksud dengan sarkasme adalah gaya bahasa penyindiran dengan
menggunakan kiata-kata yang kasar dan keras, contoh: Mulutmu berbisa bagai
ular kobra.
g. Satire
Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk ungkapan dengan maksud
menertawakan atau menolak sesuatu (Keraf, 2004: 144). Dari pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk
mencari kebenarannya sebagai suatu sindiran, contoh: sekilas tampangnya seperti
anak berandal, tapi kita jangan langsung menuduhnya, jangan melihat dari
penampilan luarnya saja.
4. Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya
bertentangan dengan kata-kata yang ada. Gaya bahasa pertentangan meliputi:
litotes, paradoks, histeron prosteron, antithesis, oksimoron, dan okupasi.
a. Litotes
20
Keraf (2004: 132) berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang
mengandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya.
Bagas (2007: 1) juga berpendapat bahwa litotes dapat diartikan sebagai ungkapan
berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri. Dapat disimpulkan 27
bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan dikurangi
(dikecilkan) dari makna yang sebenarnya, contoh: mampirlah ke rumah saya yang
berapa luas.
b. Paradoks
Keraf (2004: 2004: 136) mengemukakan bahwa paradoks adalah semacam
gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang ada dengan fakta-fakta yang
ada. Hadi (2008: 2) juga berpendapat paradoks dapat diartikan sebagai ungkapan
yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang
kata-katanya mengandung pertentangan dengan fakta yang ada, contoh: musuh
sering merupakan kawan yang akrab.
c. Histeron Prosteron
Histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikan
dari sesuatu yang logis atau dari kenyataan yang ada (Keraf, 2004: 133). Jadi
dapat dikatakan bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan
makna kebalikannya yang dianggap bertentangan dengan kenyataan yang ada,
contoh: jalan kalian sangat lambat seperti kuda jantan.
d. Antitesis
21
Keraf (2004: 126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa
yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan
kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Hadi (2008: 7) juga berpendapat
bahwa antitesis dapat diartikan dengan gaya bahasa yang membandingkan dua hal
yang berlawanan. Jadi dapat disimpulkan bahwa antithesis adalah gaya bahasa
yang kata-katanya merupakan dua hal yang bertentangan, contoh: suka duka kita
akan selalu bersama.
e. Oksimoron
Keraf (2004: 136) oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk
menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Suyoto
(2008:2) berpendapat bahwa oksimoron juga dapat diartikan mempertentangkan
secara berlawanan bagian demi bagian. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian-28
bagiannya saling bertentangan, contoh: kekalahan adalah kemenangan yang
tertunda.
f. Okupasi
Hadi (2008: 2) berpendapat okupasi merupakan gaya bahasa yang
melukiskan sesuatu dengan bantahan, tetapi kemudian diberi tambahan penjelasan
atau diakhiri dengan kesimpulan. . Jadi dapat dijelaskan bahwa okupasi adalah
gaya bahasa yang isinya bantahan terhadap sesuatu tetapi diikuti dengan
penjelasan yang mendukung, contoh: merokok itu merusak kesehatan, akan tetapi
si perokok tidak dapat menghentikan kebiasaannya. Maka, muncullah pabrik-
pabrik rokok karena untungnya banyak.
22
5. Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya
dalam satu baris kalimat. Gaya bahasa penegasan meliputi: paralelisme, erotesis,
klimaks, repetisi, dan anti klimaks .
a. Paralelisme
Suyoto (2008:3) berpendapat bahwa paralelisme dapat diartikan sebagai
pengulangan ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna. Jadi
dapat dijelaskan bahwa pararelisme adalah salah satu gaya bahasa yang berusaha
mengulang kata atau yang menduduki fungsi gramatikal yang sama untuk
mencapai suatu kesejajaran, contoh: hidup adalah perjuangan, hidup adalah
persaingan, hidup adalah kesia-siaan.
b. Epifora
Keraf (2004: 136) berpendapat bahwa epifora adalah pengulangan kata
pada akhir kalimat atau di tengah kalimat. Simpulan gaya bahasa epifora adalah
gaya bahasa dengan mengulang kata di akhir atau tengah kalimat, contoh: Yang
kurindu adalah kasihmu. Yang kudamba adalah kasihmu.
c. Erotesis
Keraf (2004: 134) mengemukakan bahwa erotesis adalah semacam
pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk
mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali
tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Simpulan gaya bahasa erotesis adalah
gaya bahasa yang bertujuan untuk mencapai efekyang lebih mendalam tanpa
23
membutuhkan jawaban, contoh: rakyatkah yang harus menanggung akibat semua
korupsi dan manipulasi di negara ini?
d. Klimaks
Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah
semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali
semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Jadi dapat
dijelaskan klimaks adalah pemaparan pikiran atau hal berturut-turut dari
sederhana dan kurang penting meningkat kepada hal atau gagasan yang penting
atau kompleks, contoh: generasi muda dapat mentediakan, mencurahkan,
mengorbankan seluruh jiwa raganya kepada bangsa.
e. Repetisi
Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi,
suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk member tekanan
dalam sebuah konteks yang nyata. Hadi (2008: 2) berpendapat repetisi juga dapat
diartikan dengan sebuah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan
mengulang kata atau beberapa kata berkali-kali yang biasanya dipergunakan
dalam pidato. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya
bahasa yang mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan terhadap maksudnya,
contoh: kita junjung dia sebagai pemimpin, kita junjung dia sebagai pelindung.
f. Anti klimaks
Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa anti klimaks adalah gaya bahasa
yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke
24
gagasan yang kurang penting. Hadi (2008: 2) berpendapat anti klimaks juga dapat
diartikan sebagai gaya bahasa kebalikan dari klimaks. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang susunan
ungkapannya disusun makin lama makin menurun, contoh: bukan hanya Kepala
Sekolah dan Guru yang mengumpulkan dana untuk korban kerusuhan, para murid
ikut menyumbang semampu mereka.
D. Komentator Sepak Bola
Dalam Kamus ilmiah populer, Komentator berarti juru komentar;
penyampai ulasan; atau juru tafsir . Komentator juga dapat diartikan sebagai
orang yang (pekerjaannya) mengomentari atau mengulas suatu berita atau juru
ulas.
Seseorang dapat saksikan pertandingan sepak bola di Televisi bahwa
komentator pertandingan sepakbola tersebut bukan hanya seorang komentator
yang diundang oleh pihak Televisi yang berkomentar pada saat berlangsungnya
pertandingan tersebut tetapi pembawa acara juga berperan atau ikut serta
memberikan komentar atau memberikan informasi tentang keadaan atau fakta
yang terjadi di lapangan.
Sebuah pelajaran berharga untuk pengelola televisi di tanah air, dalam
memilih komentator atau pengamat sepakbola. Pada tayangan pertandingan
persahabatan antara Indonesia vs Palestina, Senin 22 Agustus 2011 lalu, pelajaran
itu sangat terasa kentalnya. SCTV dengan berani memilih Nus Tuanakota sebagai
25
penyiar yang melaporkan langsung pertandingan tersebut. Terasa sangat berbeda
dengan penyiar biasanya.
Nus Tuanakotta merupakan penyiar senior yang sudah lama berkiprah
mulai dari RRI sampai TVRI. Dia terbiasa melaporkan langsung berbagai
kegiatan olahraga. Teori siaran dan praktiknya bisa dilakoninya dengan baik.
Ketika masih di TVRI beberapa dekade silam – saya masih duduk di bangku SD
dan SMP – gaya siaran Nus ini nyaris sama dengan para penyiar lainnya. Mereka
punya gaya yang mirip-mirip. Suara ngebas, berirama dan harmonis dengan
gambar, sehingga menunjang kenikmatan penonton dalam menyaksikan
pertandingan. Mungkin sebagian dari kita ingat dengan Bung Sambas, yang
sangat khas dalam membawakan siaran langsung olahraga mulai dari sepakbola
sampai bulutangkis. Mereka jarang sekali melakukan kesalahan ucap atau fakta.
Pada tayangan tersebut, berkali-kali teman duet siaran Nus yaitu wartawan
sepakbola Bung Kesit, salah menyampaikan fakta. Wasit menunjuk sepak pojok,
dia mengatakan pelanggaran. Pada saat bersamaan, Nus dengan tepat menyebut
corner kick karena dia melihat dengan penuh konsentrasi gerak tubuh sang wasit.
Demikian pula ketika terjadi pelanggaran, off side dan beberapa fakta
lainnya. Nus dengan tepat menyebutkan berbagai fakta. Bahkan, dia juga dengan
lancar melaporkan jalannya pertandingan, menggambarkan aliran bola meski tidak
detil, menyebut nama pemain yang memegang bola dengan akurat, berteriak
histeris ketika bola nyaris masuk ke gawang, dan mengaduh ketika ada
pelanggaran. Dia membawa penonton masuk ke irama dan suasana pertandingan.
26
Ketika gol terjadi, Nus berteriak menyesali gol karena gawang Indonesia yang
kebobolan. Emosional sekali.
Saya sangat yakin, para penyiar sekelas Sambas dan Nus Tuanakota,
punya kemampuan bagus seperti itu tidak diperoleh dengan seketika. Mereka pasti
rajin berlatih dan belajar serta praktik selama bertahun-tahun. Mereka dibekali
pengetahuan yang memadai tentang cara siaran, dan mendapatkan mentor-mentor
terbaik, serta pasti selalu terus belajar. Berbeda dengan para komentator dan
penyiar yang banyak beredar di sejumlah televisi swasta.
Gaya bicara mereka relatif sering mengganggu kenikmatan menonton
sepakbola, karena mereka tidak dibekali cara siaran yang baik. Pada level ini,
tampaknya televisi hanya mengumakan gambar yang standar broadcast, tapi
mengabaikan suara yang juga seharusnya standar broadcast. Mereka ribut sendiri,
menyampaikan banyak fakta yang tidak berhubungan dengan moment di
lapangan, gagal mengomentari fakta di lapangan, salah ucap, salah fakta dan yang
paling krusial; tidak mampu masuk ke dalam atmosfer pertandingan. Saya sering
mengecilkan suara penyiar/komentator, ketika menonton sepakbola dalam negeri.
Dan melakukan hal serupa jika pertandingan mancanegara gagal menampilkan
suara penyiar/komentator dari tempat asalnya.
Stasiun televisi setiap harinya menyajikan berbagai jenis program yang
jumlahnya sangat banyak dan jenisnya sangat beragam. Berbagai jenis program
itu dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu: (1) program informasi
(news), (2) program hiburan (non news/entertainment). Program informasi
kemudian dibagi lagi kedalam jenis berita keras (hardnews) yang merupakan
27
laporan berita terkini yang harus segera disiarkan. Dan berita lunak (softnews)
yang merupakan kombinasi dari fakta, gossip dan opini. Sementara program
hiburan terbagi atas tiga kelompok besar yaitu: musik, drama, permainan
(gameshow), pertunjukkan dan sport (Morrisan, 2005: 100).
Sepakbola merupakan olahraga popular dan merakyat di muka bumi ini,
tentu saja karena banyak diminati setiap orang. Tayangan sepakbola sendiri bisa
dinikmati untuk segala jenis usia, baik anak-anak, orang dewasa, maupun orang
tua. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri, bahwa fenomena sepakbola memang
bisa membuat kita terpana. Sepakbola telah menjelma menjadi ideologi universal
di muka bumi.
Dengan banyaknya tayangan sepakbola di televisi, orang sanggup untuk
duduk berjam-jam di depan televisi. Bahkan rela bangun tengah malam untuk
menyaksikan tim kesayangannya bermain dan tidak memikirkan resiko apa yang
akan didapat apabila pada pagi harinya akan melakukan suatu aktivitas. Bagi
stasiun televisi itu sangat menguntungkan karena stasiun televisi sendiri bisa
mendapatkan penonton yang banyak dengan rating yang besar. ANTV sebagai
salah satu stasiun televisi di Indonesia memanjakan pemirsanya dengan tayangan
langsung pertandingan sepakbola nasional dari ajang Djarum Indonesia Super
League, yang melibatkan 15 klub terbaik.
E. Contoh Bahasa Komentator Sepak Bola
Pertanyaan retoris ialah pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan
jawaban. Sedikit banyak, jawaban sudah tercermin dari pertanyaan yang diajukan.
28
Salah satu contoh pertanyaan retoris dalam sebuah pertandingan sepak bola
misalnya: Apakah faktor stamina juga memengaruhi menurunnya kualitas
permainan para pemain?, Apakah pelatih ingin menekankan penyerangan dengan
memasukkan penyerang tambahan, atau pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Kalau dicermati, pertanyaan retoris memang memiliki maksud tertentu. Dalam
konteks sepak bola, kira-kira maksudnya sebagai berikut.
1. Meminta kepastian dari komentator
Dalam kondisi seperti ini, sering kali para komentator memiliki latar
belakang sepak bola yang jauh lebih kuat daripada pembawa acara. Tidak jarang
seorang komentator yang diundang merupakan seorang pelatih, mantan pemain,
atau malah pemain sepak bola. Dalam posisi demikian, pelatih, mantan pemain,
maupun pemain sepak bola memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada pembawa
acara. Artinya pernyataan-pernyataan yang mereka keluarkan lebih berharga
daripada yang disampaikan oleh pembawa acara.
2. Mengharapkan penjelasan lebih jauh
Dengan mengungkapkan satu faktor, misalnya stamina sebagaimana dalam
contoh 1 di atas, pembawa acara ingin komentator menjelaskan hal-hal seputar
stamina. Sehingga akan muncul komentar bahwa para kualitas stamina para
pemain memang tidak baik. juga mengungkapkan faktor-faktor lain yang mungkin
luput dari analisa singkat sang pembawa acara. Tidak heran kalau seorang
komentator akan menambahkan faktor-faktor lain, yaitu kekeliruan pelatih dalam
29
menginstruksikan strategi kepada para pemainnya, atau kekeliruan pemain dalam
menerapkan instruksi pelatihnya, dan sebagainya.
3. Memancing diskusi yang lebih luas lagi mengenai pertandingan yang
tengah atau telah berlangsung
Cobalah amati betapa seringnya pertanyaan-pertanyaan yang mungkin
terkesan tidak perlu ini justru menuntun kepada diskusi yang lebih luas. Sebagai
contoh, dari masalah stamina, bisa jadi pembicaraan beranjak kepada faktor
penonton yang lebih banyak mendukung salah satu tim sehingga tekanan mental
lebih memengaruhi permainan tim tamu.
Harus diakui bahwa kadang-kadang pembawa acara yang memandu
memang kurang berkualitas. Rendahnya kualitas pembawa acara ini bisa menjadi
penyebab maraknya pertanyaan maupun pernyataan yang tidak perlu atau malah
tidak bermutu. Tentu para penggemar sepak bola masih ingat kejadian pada Piala
Dunia 2006 yang lalu di mana rendahnya kualitas pembawa acara saat itu
memaksa pihak penyiar menggantikannya dengan yang lebih berpengalaman.
Dalam percakapan sehari-hari pun pertanyaan retoris bukanlah hal yang
tidak biasa. Dengan alasan yang sama pula kita sering mengajukan pertanyaan
demikian. Sayangnya, pertanyaan retoris sering pula menyebabkan mitra wicara
kita menjadi kesal.
Salah satu kasus kebahasaan lain yang sering dimunculkan oleh
komentator sepak bola ialah pengaburan makna frasa seperti tendangan yang
30
sangat baik, dan yang senada dengan itu. Sering kali kita akan mendengar
komentar, misalnya seperi berikut.
“Tendangan yang sangat baik dilepaskan oleh Saktiawan Sinaga.”
Atau seperti berikut ini.
“Tendangan yang sangat baik sudah dilepaskan Saktiawan Sinaga, namun sayangnya melebar.”
Namun, yang kita saksikan justru sebuah tendangan yang melenceng jauh
dari mistar gawang. Padahal kalau tendangan yang dilakukan itu baik seharusnya
menghasilkan sebuah gol dan bukannya goal kick? Oleh karena itu, bentuk
kalimat yang lebih tepat seharusnya ialah:
“Sebuah usaha yang cukup baik dilakukan Saktiawan (dengan melepaskan tendangan dari luar kotak penalti)”.
Atau
“Meski melebar, usaha yang dilakukan Saktiawan amatlah tepat (mengingat rapatnya pertahanan lini belakang lawan)”.
Sedikit berbeda kalau mengucapkan:
“Umpan yang sangat baik dilepaskan oleh Gustavo Chena, sayangnya reaksi para pemain depan sangat terlambat.”
Dalam kalimat di atas, umpan yang sangat baik telah diberikan, namun
kegagalan justru dilakukan oleh penerima umpan tersebut. Bandingkan dengan
kalimat berikut
31
“Umpan yang sangat baik dilepaskan oleh Gustavo Chena, sayang terlalu deras.”
Sebenarnya kalau Anda mencermati, hal serupa juga sebenarnya tidak
hanya dilakukan oleh komentator dalam negeri. Coba saja menyimak komentator
berbahasa Inggris pada pertandingan Liga Italia. Hal serupa pasti muncul. Hal
seperti ini telah mewarnai siaran pertandingan sepak bola sehingga terkadang
muncul pertanyaan di hati penulis bahwa apakah ini berarti para komentator
tersebut perlu belajar bahasa Indonesia juga mengingat pembinaan bahasa
Indonesia yang kontekstual pun dapat dilangsungkan melalui komentar-komentar
pada siaran-siaran di media pertelevisian tersebut?
F. Media
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), Media merupakan bentuk
jamak dari kata medium. Dalam ilmu komunikasi, media bisa diartikan sebagai
saluran, sarana penghubung, dan alat-alat komunikasi. Kalimat media sebenarnya
berasal dari bahasa latin yang secara harafiah mempunyai arti perantara atau
pengantar.
B. Kerangka Pikir
Penelitian ini di awali dengan mengacu pada fakta-fakta dalam proses
penelitian gaya bahasa komentator sepak bola yang di media elektronik dengan
32
maksud untuk menambah pengetahuan tentang gaya bahasa yang digunakan oleh
komentator sepak bola pada media pertelevisian , serta masyarakat umum, yang
selama ini tidak mengerti betapa banyaknya variasi-variasi bahasa yang digunakan
oleh masyarakat khususnya komentator sepak bola. Oleh karena itu , diperlukan
adanya data yang aktual sebagai bahan kajian dalam meneliti gaya bahasa
komentator sepak bola yang di media elektronik. Adapun teknik penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penelitian kuantitatif dengan
melibatkan pendengar sebagai subjek dan komentator sepak bola sebagai obyek.
Dengan strategi seperti ini dapat memenuhi para penutur dalam hal ini
komentator sepak bola dan peminat sepak bola yang dapat menumbuhkan
kemampuan berbahasa, berfikir kreatif, dan mengembangkan sikap berbahasa.
Hal ini memiliki dampak yang sangat positif terhadap pendengar dan
penutur (komentator) yang dapat meningkatkan motivasi untuk selalu kreatif
dalam mengembangkan bahasa yakni dengan memunculkan gaya bahasa yang
variatif.
B. Bagan Kerangka Pikir
Adapun bagan kerangka pikir Gaya bahasa komentator sepak bola di
media elektronik digambarkan pada diagram berikut:
Bagan Kerangka Pikir
Keterampilan Berbahasa
Menyimak Berbicara Membaca Menulis
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Komentator Sepak Bola
Gaya Bahasa
Analisis KeunikanKetepatan Kesesuaian
Temuan
1. Perbandingan2. Perulangan3. Sindiran4. Pertentangan5. Penegasan
Bentuk Gaya Bahasa
Faktor dominannya gaya bahasa
34
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1975),
(dalam Moleong, 2002 :31) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
berupa kata-kata tertulis dari pelaku yang diamati.
Dengan menggunakan metode diskriptif analisis penelitian ini semata-
mata bersifat fakta atau fenomena penggunaan bahasa secara empiris hidup atau
digunakan oleh komentator sepak bola, sehingga diperoleh pemerian atau
diskripsi pemakaian bahasa sebagai gambar sesuai dengan aslinya.
B. Batasan Istilah
Penekanan utama dalam penelitian ini adalah Gaya bahasa komentator
sepak bola di media elektronik. Untuk menghindari terjadinya salah penafsiran
atau kekeliruan dalam memahami penelitian, istilah penelitian ini perlu
didefinisikan secara operasional yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan
perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini
terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung
menyatakan makna yang sebenarnya. Gaya bahasa yang digunakan oleh
komentator sepak bola di media elektronik khususnya pada media
pertelevisian.
2. Komentator berarti juru komentar; penyampai ulasan; atau juru tafsir .
Komentator juga dapat diartikan sebagai orang yang (pekerjaannya)
mengomentari atau mengulas suatu berita atau juru ulas. Seseorang dapat
35
saksikan pertandingan sepak bola di Televisi bahwa komentator
pertandingan sepakbola tersebut bukan hanya seorang komentator yang
diundang oleh pihak Televisi yang berkomentar pada saat berlangsungnya
pertandingan tersebut tetapi pembawa acara juga berperan atau ikut serta
memberikan komentar atau memberikan informasi tentang keadaan atau
fakta yang terjadi di lapangan.
3. Media adalah sebuah alat atau benda yang digunakan sebagai objek dalam
pengambilan data atau informasi. Dalam hal ini adalah media elektronik
khususnya televise atau TV.
4. Faktor yang menyebabkan dominannya suatu gaya bahasa pada
percakapan komentator sepak bola di media elektronik dilihat dari
ketepatan, kesesuaian, dan keunikan. Dapat dilihat juga dari jenis gaya
bahasa yaitu gaya bahasa perbandingan, perulangan, sindiran,
pertentangan, dan penegasan.
C. Data dan Sumber Data
a. Data
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah berupa obrolan –
obrolan yang mengandung penggunaan gaya bahasa atau berupa komentar
yang dikeluarkan atau diucapkan oleh pembawa acara dan komentator
36
sepak bola pada saat berlangsungnya pertandingan sepak bola di media
elektronik. Bentuk tuturan komentator sepak bola pada media pertelevisian
berupa gaya bahasa yang dituturkan oleh komentator sepak bola seperti
gaya bahasa perbandingan, perulangan, pertentangan, sindiran, dan gaya
bahasa penegasan. Berdasarkan bentuk gaya bahasa tersebut menghasilkan
kesesuaian, ketepatan, dan keunikan.
Adapun data yang diperoleh diambil dari sebagian hasil Youtube
berupa vidio cuplikan ulang pertandingan sepak bola pada bulan
Desember tahun 2010 dan tahun 2011 pada bulan Oktober. Hal ini
dilakukan untuk memperkuat data terbaru yang diambil sejak tanggal 3
Nopember 2012 sampai 1 Desember 2012.
b. Sumber Data
Sumber data dari dari penelitian ini adalah komentator sepak bola
pada media elektronik. Adapun media yang dipilih dalam penelitian ini
adalah televisi yang programnya menayangkan pertandingan sepak bola.
Beberapa program yang ada di televisi untuk dijadikan sebagai subjek
penelitian ini seperti TvOne, RCTI, SCTV, Trans 7, Global Tv, dan
sebagainya.
Berdasarkan informasi di atas, maka dapat dilihat dalam tabel tersebut:
Program Bentuk Gaya Bahasa
37
TV Perbandingan Perulangan Sindiran Pertentangan Penegasan
ANTV
RCTI
Global TV
SCTV
Ttans7
D.. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian sangat penting. Penyediaan
data merupakan upaya seorang peneliti dalam menyediakan data yang berkaitan
langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993 :5).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi, teknik
dokumentasi, teknik rekam, teknik catat untuk memperoleh data, dan teknik
introspeksi atau teknik evaluasi .
1. Teknik observasi
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data mengenai
gaya bahasa dalam tuturan komentator sepak bola pada media
pertelevisian. Bahan-bahan yang diamati sebagai sumber data
adalah kata-kata dalam kalimat yang terdapat pada tuturan
komentator sepak bola.
2. Teknik dokumentasi
38
Teknik ini digunakan untuk membaca dan mengkaji unsur-
unsur gaya bahasa dalam dokumen-dokumen berupa seluruh
tuturan komentator sepak bola
3. Teknik rekam
Teknik rekam adalah teknik yang dilakukan dengan
perekaman yang menggunakan tape recorder tertentu sebagai
alatnya.
4. Teknik catat adalah teknik yang dilakukan pencatatan pada kartu data
yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi (Sudaryanto,1993:135).
Hasil pengamatan dari tuturan komentator sepak bola yang memiliki
gaya bahasa ditandai atau dicatat pada kartu-kartu data yang telah
disediakan.
5. Teknik intrispeksi atau teknik evaluasi adalah teknik ini digunakan
untuk menyeleksi atau mengevaluasi semua data yang telah diperoleh.
Penyeleksian atau pengevaluasian data dimaksudkan untuk
mendapatkan data yang sesuai dan akurat.
Tujuan dari teknik pengumpulan data tersebut di atas adalah agar peneliti
mudah mengamati data- data yang nantinya akan dianalisis.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka setelah data
diklasifikasikan, peneliti menganalisis data dengan metode padan. Menurut
Sudaryanto (1993:13-14), metode padan merupakan analisis data yang memiliki
39
alat penentu di luar bahasa, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang
bersangkutan, sedangkan teknik yang digunakan adalah teknik referensial dan
teknik prakmatis. Teknik referensial digunakan untuk mendeskripsikan faktor
yang menyebabkan dominannya suatu gaya bahasa yang digunakan oleh
komentator sepak bola.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah televise yang
programnya menayangkan acara pertandingan sepak bola seperti siaran sepak bola
yang ditayangkan oleh ANTV, TVOne, RCTI, SCTV, Trans7, Global TV, dan
sebagainya kemudian direkam dengan alat perekam. Langkah selanjutnya mencari
data- data yang berhubungan dengan gaya bahasa. Setelah data didapatkan
kemudian data dianalisis dengan teori yang sudah ada. Terakhir adalah
menyimpulkan hasil penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Gaya Bahasa Komentator Sepakbola di Media Elektronik
40
Penelitian ini adalah pemakaian gaya bahasa pada komentator sepak bola
di media elektronik setelah dilakukan teknik analisis dokumen, data yang
diperoleh sebanyak 175 data, berupa kalimat yang mengandung gaya bahasa yang
terdiri dari 24 jenis gaya bahasa, yaitu:
1. Gaya Bahasa Perbandingan
a. Hiperbola
Hiperbola adalah ungkapan kata yang melebih-lebihkan apa yang
sebenarnya dimaksudkan baik jumlah, ukuran, atau sifatnya. Hasil analisis pada
komentator sepak bola terdapat 41 data gaya bahasa hiperbola, yaitu sebagai
berikut.
1) Tendangan ekstrim dari Malesyia sangat berbahaya. Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “ekstrim” terkesan tendangan tersebut seolah-olah sangat
keras atau merupakan kecendrungan sikap yang terlampau jauh dan keras
dan dapat melukai.
2) Kita saksikan serangan tajam dari Malesyia. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “tajam” terkesan tendangan tersebut seolah-olah melukai
seseorang.
3) Bola dilemparkan mampu menggelinding pemain,,,,!!! Kalimat
tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
melebih-lebihkan kata “menggelinding” terkesan lemparan tersebut seolah-
olah bola mampu membuat pemain berguling-guling.
4) Sebuah peluang emas yang gagal dimanfaatkan irfan Bakhdi,,,,!!!!
Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola
karena melebih-lebihkan kata “peluang emas” dapat diartikan sebagai
kesempatan yang diperoleh oleh Indonesia.
41
5) Sayang sekali...tendangan langsung tidak mampu merobek gawang
Malesyia. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa
hiperbola karena melebih-lebihkan kata “merobek gawang” dapat
diartikan sebagai tendangan langsung yang tidak mampu menciptakan gol,
atau bola tidak masuk gawang.
6) Umpan trobosan dilakukan oleh Irfan Bachdi. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “terobosan” dapat diartikan sebagai umpan yang mampu
menerobos pemain lawan, yang bolanya datar tidak melambung jauh ke
atas.
7) O,, nyaris sudah dilakukan, tendangan langsung. Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “nyaris” dapat diartikan: hampir atau hampir-hampir terjadi
sesuatu yang membahayakan dan sebagainya.
8) Ada Andik disana.... ya pemirsa ..... syuting langsung...Ooooo Golllll.
Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola
karena melebih-lebihkan kata “syuting langsung” dapat diartikan:
tendangan keras, tendangan langsung gol dan tiba-tiba ditendang ke arah
gawang.
9) Sebuah eksekusi dilakukan di kanan gawang. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “eksekusi” dapat diartikan: melakukan atau pelasanakan
hukaman mati atau tendangan yang segera dilakukan.
10) Tendangan Irfan Bachdi kali ini mampu menyulap masa sayang.
Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola
karena melebih-lebihkan kata “menyulap masa sayang” dapat diartikan:
sebagai tendangan yang dapat memberikan poin untuk grupnya atau untuk
pertahanan Indonesia yang dapat mengangkat nama baik Indonesia dalam
pertandingan tersebut.
11) Masih Egi,,,,,, langsung .... menusuk gawang Timur Leste. Kalimat
tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
42
melebih-lebihkan kata “menusuk gawang” dapat diartikan: sebagai
tendangan yang dapat memasukkan bola ke dalam gawang dan
menciptakan gol.
12) Tendangan yang cukup produktif ,,,Irfan Bachdi.....!!! Kalimat
tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
melebih-lebihkan kata “tendangan produktif” dapat diartikan: sebagai
tendangan yang selalu menghasilkan, atau tendangan yang selalu
menciptaan gol.
13) Tendangan spekulasi,,, dilakukan oleh Egi..! Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “tendangan spekulasi” dapat diartikan: sebagai tendangan
yang mengecoh lawan pemain.
14) Pemirsa,,,, pemain tampak berlari semburat, pontang panting karena
dikejar-kejar lawan. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai
gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan kata “berlari”
dengan memanfaatkan kata “pontang -panting” terkesan mereka berlari
terbirit-birit tanpa arah.
15) Kita liat tekanan dari malasyia Muhammad Hasanuddin,, 27 tahun.
Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola
karena melebih-lebihkan kata “tekanan” dapat diartikan: sebagai
tendangan yang menyerang pemain Indonesia yang akan menyerang
gawang Indonesia.
16) Bola panjang kita saksikan. Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan kata “Bola
Panjang” dapat diartikan: sebagai tendangan atau umpan yang panjang
atau jarak antara pengopor dengan yang diopor cukup jauh menerima bola.
17) Sayang sekali pemain Indonesia membuang bola begitu saja.
Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
menganggap kata “ membuang” a d a l a h m e l e p a s k a n b o l a d a r i
k a k i m e n u j u k a k i r e k a n s e p e r m a i n a n .
18) Kontrol bola yang kurang cermat oleh Joni. Kalimat tersebut dapat
43
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “kurang cermat” dapat diartikan: seorang pemain tidak
mampu menguasai bola dengan waktu yang cukup lama.
19) Akhirnya.... Pemain Bisaa membalikkan posisi menjadi 2-1. Kalimat
tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
melebih-lebihkan kata “membalikkan posisi” dapat diartikan: seorang
pemain yang mampu mengalahkan lawannya dengan skor atau poin yang
lebih tinggi dari lawan mainnya.
20) Indonesia masih berjuang dari ketertinggalan. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “berjuang dari ketertinggalan” dapat diartikan: seorang
pemain yang berusaha bermain dengan baik, kerja keras untuk
mendapatkan poin atau angkau yang lebih tinggi dr lawan mainnya.
21) Tidak ada eksekutor bola-bola mati. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan kata “eksekutor bola-bola mati” dapat diartikan: saat itu tidak
ada pemain yang menemukan bola – bola yang tanpa penjagaan lawan main
atau bola yang mampu menyelamatkan bola yang akan keluar garis
permainan atau bola yang keluar lapangan.
22) Keberuntungan tak berpihak tadi pada Andik. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan karena dapat diartikan: Ada kesempatan untuk memasukkan bola
ke gawang. Namun, tendangan yang dilakukan Andik tidak tepat, bola tidak
masuk di gawang.
23) Ada kaeajaiban yang mampu membantu Indonesia. Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan karena kalimat tersebut dapat diartikan: ada seorang pemain yang
dapat memasukkan bola atau mencetak bola ke dalam gawang dalam waktu
yang singkat sebelum babak perandingan selesai.
24) Angkat bola...... Owwwwwww.....ofsait! Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
44
lebihkan karena kalimat tersebut dapat diartikan: adanya tendangan ke atas
menuju gawang tapi bola tidak tepat masuk di gawang dan mencetak gol
tapi dinyatakan keluar. Seorang penyerang menunggu bola di daerah
pertahanan lawan tetapi tidak ada pemain belakang lawan yang berada di
zona itu. Dan ini merupakan pelanggaran yang dinamakan ofcide.
25) Tendangan akan mampu menyelesaikan pertandingan ini. Kalimat
tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena
melebih-lebihkan karena kalimat tersebut dapat diartikan ppemain yang
melakukan tendangan langsung dan pada saat mencetak gol. Maka
dianggap dapat menyelesaikan pertandingan.
26) Indonesia memimpin di atas laos. Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan karena
kalimat tersebut dapat diartikan Indonesia menang dari Laos.
27) Mampu merebut dalam kotak finalti. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan karena kalimat tersebut dapat diartikan bahwa salah satu pemain
dapat masuk ke babak finalti.
28) Kontrol bola yang belum sempurna. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan karena kalimat tersebut dapat diartikan bahwa pemain tidak
mampu membawa atau menguasai bola dengan sempurna sehingga bola
yang dikuasai dihalau oleh lawan main.
29) Firman menciptakan tiga nol. Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan karena
kalimat tersebut dapat diartikan bahwa Firman telah memasukkan bola ke
gawang sebanyak tiga kali.
30) Tidak akurat tadi dari effendi. Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan karena
kalimat tersebut dapat diartikan bahwa tendangan yang dilakukan oleh
Efendy tidak teliti, cermat atau tidak saksama hingga tidak tercipta gol.
31) Kita akan menantikan siapa yang akan di eksekusi kali ini tendangan
45
bebas dari Indonesia,,, Andik atau Muh. Taufik,,, ! Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan. K a t a e k s e k u s i k a l i i n i dapat diartikan bahwa
tendangan bebas yang dilakukan Indonesia, apakah mampu melakukan
tendangan yang mampu mencetak gol ke gawang lawan mainnya.
32) Indonesia kali ini, lemparan pendek Syamsul Arif. Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan. K a t a L e m p a r a n P e n d e k dapat diartikan bahwa
sebuah tendangan yang dilakukan pemain yang satu dengan posisi bola
datar dan jarak yang tidak terlalu jauh untuk menghantar bola ke teman
mainnya.
33) Salah umpan,,,, Syamsul Arif. Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan. K a l i m a t
t e r s e b u t dapat diartikan bahwa sebuah tendangan yang dilakukan
Syamsul arif tidak tepat karena bola tidak mengarah kepada temannya
melainkan kepada lawan mainnya.
34) Terlalu keras tadi,,,,,! Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai
gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan. K a l i m a t
t e r s e b u t dapat diartikan bahwa sebuah tendangan yang dilakukan
pemain terlalu keras.
35) Tekanan dari Malesyia. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai
gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan. K a l i m a t
t e r s e b u t dapat diartikan bahwa adanya sebuah penyerangan yang terus
menerus yang membuat pemain Indonesia nampak berada pada posisi yang
sangat mengkhawatirkan.
36) Ada sedikit ketegangan, antara otto dengan pemain Malesyia sofik
Ibrahim. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa
hiperbola karena melebih-lebihkan. K a l i m a t t e r s e b u t dapat
diartikan bahwa adanya sebuah aksi perebutan bola untuk bias dihantar ke
gawang lawan pemain.
37) Kontrol dari ,,, tidak akurat tadi,,,,!!!! Kalimat tersebut dapat
46
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan. K a l i m a t t e r s e b u t dapat diartikan bahwa adanya
penguasaan bola yang kurang teliti, cermat atau saksama.
38) Ada sedikit sentuhan dari pemain Laos. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan. K a l i m a t t e r s e b u t dapat diartikan bahwa adanya
benturan fisik antara pemainIndonesia dengan Laos saat terjadi aksi
perebutan bola melayang.
39) Serangan balik dilakukan Indonesia, masih Otto....! Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan. K a l i m a t t e r s e b u t dapat diartikan bahwa adanya
serangan yang dilakukan oleh Tim Indonesia unttuk dapat mencetak gol ke
gawang lawan mainnya..
40) Lepaskan tendangan,,, masih dihalau Joko. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebihkan. K a l i m a t t e r s e b u t dapat diartikan bahwa adanya sebuah
tendangan oleh seorang pemain tapi dapat di ambil atau dihalau oleh lawan
mainsehingga bola tidak dikuasai lagi. Artinya bola sudah lepas ke lawan
main.
41) Kembali tertipu yang mengarahkan bola ke sisi kiri gawang Timur
Leste. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa
hiperbola karena melebih-lebihkan. K a l i m a t t e r s e b u t dapat
diartikan bahwa salah penafsiran saat menghantar bola ke gawang untu
mencetak gol.
b. Metonomia
Metonomia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek
atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk
menggantikan objek tersebut. Hasil analisis gaya bahasa dalam komentator sepak
47
bola di media elektronik hususnya Televisi terdapat 6 data gaya bahasa metonomia,
yaitu sebagai berikut.
1) Andik dalam 2 partai ini, selalu mendapatkan kartu merah. Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata
“Partai dan Kartu Merah” k a t a p a r t a i dipakai
untuk mengganti atribut objek yaitu pertandingan dan kata Kartu Merah
dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu pemain dikeluarkan atau
diberentikan dari pertandingan.
2) Sementara terjadi pergantian di kubu Malaysia. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata
“kubu” dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu banteng atau
tembok pertahanan tim dari Malesyia.
3) Keras memang untuk pertandingan malam ini karena sudah 4 kali
kartu kuning dikeluarkan. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa metonomia karena kata “kartu kuning” dipakai untuk
mengganti atribut objek yaitu pemain sepakbola yang
melakukan pelanggaran pada saat bermain.
4) Pemain paling senior di tugu Indonesia. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata
“tugu” dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu pemain dari
t im Indonesia .
5) Irfan bintang baru, bintang masa depan. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata “bintang
baru, bintang masa depan” dipakai untuk mengganti atribut objek
yaitu pemain dari t im Indonesia yang dapat di jadikan
generasi baru atau penerus untuk masa depan.
6) Ini adalah kartu kuning pertama selama bermain. Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa metonomia karena kata “
kartu kuning” dipakai untuk mengganti atribut objek pemain yang
diberikan peringatan melalui tanda kartu kuning karena pemain pada saat
48
itu melakukan pelanggaran.
c. Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Hasil analisis t e n t a n g g a y a
b a h a s a pada komentator sepak bola terdapat 8 data gaya bahasa
personifikasi, yaitu sebagai berikut.
1). Sebuah aksi individu mampu menusuk Arif di sebelah kanan.
Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa
personifikasi karena kata “menusuk” terkesan ada seorang pemain yang
dengan membawa atau menendang bola yang seolah-olah bola menusuk
pemain atau lawan mainnya padahal dapat diartikan juga mengarahkan bola
ke kaki Arif.
2) Andik firmansyah dengan menelan unggul di Singapura. Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena
menganggap menelan dapat d i a r t i k a n s e b a g a i mencapai keuungulan
pada Tim Singapura. jadi seakan-akan menelan atau memasukkan sesuatu
keadalam perut melalui pembuluh kerongkongan seperti manusia.
3) Bola tanpa kompromi dibuang oleh Afrisal. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena menganggap
“ kompromi” a d a l a h a d a n y a p e r s e t u j u a n d dapat d i a r t i k a n
s e b a g a i mencapaimai atau kesepakatan aerta jalan tengah yang dilakukan
oleh bola tersebut. jadi seakan-akan seperti manusia yang tidak melakukan
kompromi dengan org lain atau pihak lain.
4) Nopendi memotong bola... pemirsa kita saksikan! Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena menganggap
“ memotong” b e r a r t i s e o r a n g p e m a i n m e n g a m b i l a t a u
m e n g h a l a u b o l a d a r i l a w a n m a i n n y a . D a p a t j u g a
d i k a t a k a n , b o l a d i r e b u t o l e h l a w a n m a i n n y a p a d a s a a t
d i h a n t a r k e g a w a n g .
49
5) Pemirsa.... kita saksikan seorang pemain Malesyia Memasukkan tali
pusar dengan menarik Otto Maniani...! Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa personifikasi karena menganggap “ tali pusar”
b e r a r t i s e o r a n g l a w a n m a i n m e n a r i k O t t o M a n i a n i .
6) Andik yang dituju,,,,dari bola mati. Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa personifikasi karena menganggap “ bola mati”
b e r a r t i a d a n y a b o l a y a n g m e n i n g g a l k a n a t a u k e l u a r d a r i
g a r i s p e r m a i n a n a t a u l a p a n g a n .
7) Bola mampu mengecoh penjaga gawang laos. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena kalimat “ bola
mampu mengecoh” b e r a r t i a d a n y a b o l a y a n g m e m b u a t l a w a n
m a i n n y a t e r k e c o h s e o l a h - o l a h s e p e r t i m a k h l u k h i d u p .
8) Indonesia kebobolan 4 kali. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa personifikasi karena kalimat “ kebobolan” b e r a r t i
a d a n y a b o l a y a n g m a s u k k e g a w a n g s e b a n y a k 4 k a l i . I n i
s e p e r t i m a k h l u k h i d u p y a n g s e a k a n - a k a n k e b o b o l a n
y a n g b e r a r t i t e r p e c a h a t a u r u s a k .
c. Pleonasme
Keraf (2004: 133) berpendapat bahwa pleonasme adalah semacam acuan
yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan
untuk menyatakan satu gagasan atau pikiran. Apabila kata yang berlebihan
tersebut dihilangkan maka tidak mengubah makna/ arti. Gaya bahasa
pleonasme dapat disimpulkan menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus,
tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai
gaya. Hasil analisis gaya bahasa komentator sepak bola di media elektronik
terdapat 26 gaya bahasa pleonasme yaitu sebagai berikut:
50
1) Tendangan yang kurang cermat dari Malesyia, bola dihalau pemain
Indonesia. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme
karena menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi
sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya
sebagai gaya yaitu pada kata “bola dihalau pemain Indonesia”.
2) Bola lepas, tidak dapat dikontrol oleh pemain belakang. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik
untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata
“bola lepas”.
3) Pertahanan Tim Garuda,... Indonesia . Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang
sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas
arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “Indonesia”.
4) O,, kali ini tidak terlalu terkontrol...bola melewati jauh di atas gawang
Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena
menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya
tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya
yaitu pada kata “tidak terlalu terkontrol”.
5) Bola dihalau oleh Fahruddin... Andik yang dituju Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik
untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata
51
“Andik yang dituju”.
6) Nopan menghentikan bola... dengan syuting kakik kirinya. Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena
menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya
tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya
yaitu pada kata “syuting kaki kirinya”.
7) Kurang konsentrasi sehingga dapat mencetak bola, malesyia satu,
Indonesia nol. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa
pleonasme karena menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus,
tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya
sebagai gaya yaitu pada kata “mencetak bola”.
8) Tendangan bebas langsung dilakukan oleh Arif. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik
untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata
“dilakukan oleh Arif”.
9) Kurang atur mengontrol bola. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang sama arti
sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti
maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “atur”.
10) Serangan balik dari Malesyia. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang sama arti
sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti
52
maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “balik”.
11)Malesyia punya pemain yang sangat tepat. Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang
sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas
arti maupun hanya sebagai gaya.
12)Indonesia tertinggal 2 kosong. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang sama arti
sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti
maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “2 kosong”.
13) Dalam 3 menit kemudian datang gol dari Malesyia. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik
untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata
“datang”.
14)Langsung jauh ke Syamsul Arif. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang sama arti
sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti
maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “jauh”.
15)Tendangan salto dilakukan oleh Syamsul Arif, mencetak gol! Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena
menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya
tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya
53
yaitu pada kata “mencetak gol”.
16)Langsung melampau batas gawaang...! Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang
sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas
arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “batas gawang”.
17)Tendangan yang jauh dari gawang tadi dilakukan. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik
untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “tadi
dilakukan”.
18)Berpindan kekanan kali ini, pelanggaaran. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik
untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata
“pelanggaran”.
19)Otto Maniani sudah melakukantendangan terlalu jauh ke atas. Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena
menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya
tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya
yaitu pada kata “jauh ke atas”.
20)Menganliss strategi yang mudah untuk Indonesi...untuk
mempertahankan kubu. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya
bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang sama arti
54
sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti
maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “mempertahankan
kubu”.
21)Antisipasi sangat tepat oleh penjaga gawang Malesyia. Kalimat tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik
untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata
“penjaga gawang”.
22)Sebuah pekerjaan berat harus mencetak gol setiap 20 menit. Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena
menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya
tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya
yaitu pada kata “mencetak gol”.
23)Serangan dari Malesyia selalu berbahaya. Kalimat tersebut dikategorikan
sebagai gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang
sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas
arti maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “selalu bebahaya”.
24)Berhasil dihalau oleh Fahruddin. Kalimat tersebut dikategorikan sebagai
gaya bahasa pleonasme karena menggunakan dua kata yang sama arti
sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti
maupun hanya sebagai gaya yaitu pada kata “bola dihalau pemain
Indonesia”.
25)Waktu normal, dimanfaatkan oleh tim Garuda..... Indonesia. Kalimat
55
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena
menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya
tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya
yaitu pada kata “Indonesia”.
26)Umpan dari Joko Sasoko, tendangan yang cukup cerdik. Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme karena
menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya
tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya
yaitu pada kata “tendangan yang cukup cerdik”.
d. Sinekdoke
Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan
sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan
keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Hasil analisis g a y a b a h a s a pada
komentator sepak bola di media elektronik terdapat 1 data gaya bahasa sinekdoke,
yaitu sebagai berikut.
1) Andik firmansyah......auuuuuuuuuu....... !Kalimat di atas dikategorikan
sebagai gaya bahasa sinekdoke karena kata “Auuuuuu” sudah m ewakili
secara keseluruhan yaitu yang artinya Andik Kesakitan karena terlempar jauh.
e. Asosiasi
Asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat
memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang
dilukiskan. Hasil analisis gaya bahasa pada komentator sepak bola di media
elektronik terdapat 3 data gaya bahasa asosiasi, yaitu sebagai berikut:
56
1) Sebuah krossing yang bagus tendangan yang melambung atau
melayang keatas. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa
asosiasi karena keadaan tendangan krosing tersebut telah dilukiskan
secara nyata, yaitu tendangan yang melambung atau melayang ke atas.
2) Irfan Bacdi di babak kedua ini mengalami penurunan penampilan
seperti kurang bersemangat. Kalimat di atas dikategorikan sebagai
gaya bahasa asosiasi karena keadaan Irfan Bachdi yang mengalami
penurunan saat bermain, nampak kurang bersemangat.
3) Bagimana ekspresi Irfan Bachdi… berlari dan memeluk temannya.
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa asosiasi karena
keadaan Irfan Bachdi yang berlari dan memeluk temannya, seperti
mengungkapkan ekspresi kebahagiaan yang terdapat pada dirinya karena
mampu mencetak gol ke gawang lawan mainnya.
f. Epitet
Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang
menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu
hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau
menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Dari pendapat tersebut
dapat disimpulkan epitet adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau suatu
benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifat itu. Hasil
analisis gaya bahasa pada komentator sepak bola di media elektronik terdapat 4 data
gaya bahasa asosiasi, yaitu sebagai berikut:
1) Malesya kali ini, Otto disana,,,, Tim garuda disana sementara
berjuang. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya
bahasa epitet karena merupakan acuan yang menyatakan suatu sifat
atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. kata “Tim
Garuda” adalah acuan dari Tim Indonesia.
57
2) Semangta dari tim garuda. Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa epitet karena merupakan acuan yang
menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu
hal. kata “Tim Garuda” adalah acuan dari Tim Indonesia.
3) Pertahanan dari Indonesia,,,, Syamsul Arif dari pemain
Gorontalo. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya
bahasa epitet karena merupakan acuan yang menyatakan suatu sifat
atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. kata “Pemain
Gorontalo” adalah acuan dari Syamsul Arif.
4) Sebuah Kubu yang sangat berbahaya telah dihadapi oleh Tim
Garuda. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa
epitet karena merupakan acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri
yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. kata “Kubu” adalah acuan
dari Tim Indonesia.
g. Eponim
Keraf (2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di
mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu
sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa eponim adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan
berdasarkan sifat yang sudah melekat padanya, Hasil analisis gaya bahasa pada
komentator sepak bola di media elektronik terdapat 9 data gaya bahasa eponim
yaitu sebagai berikut:
1) Andik.... adalah pemain berpostur mungil. Kalimat tersebut
58
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa epitet karena
merupakan acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus
dari seseorang atau sesuatu hal. kata “pemain berpostur mungil”
adalah acuan dari penampilan Andik.
2) Syamsul Arif adalah pemain cukup tenang. Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa epitet karena
merupakan acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus
dari seseorang atau sesuatu hal. kata “pemain cukup tenang” adalah
acuan dari sifat Syamsul Arif.
3) Otto Maniani melewati 2 pemain.. pemain yang cukup
cerdik....! Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya
bahasa epitet karena merupakan acuan yang menyatakan suatu
sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. kata
“pemain yang cukup cerdik” adalah acuan dari nya. sifat Otto Maniani
dalam melewati dua pemain lawan
4) Otto Maniani semangat tinggi namun kadang-kadang tidak
terkontrol emosinya. Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa epitet karena merupakan acuan yang
menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau
sesuatu hal. kata “pemain tidak terkontrol emosinya” adalah acuan
darinya. sifat Otto yang kadang-kadang tidak terkontrol emosinya.
5) Andik memiliki jam terbang yang cukup luas, 3 kali tampil,
dan selalu diandalkan…! Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa epitet karena merupakan acuan yang
59
menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau
sesuatu hal. kata “memiliki jam terbang yang cukup luas” adalah
acuan darinya Andik.
6) Irfan Bachdi salah satu Pemain sangat vital. Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa epitet karena
merupakan acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus
dari seseorang atau sesuatu hal. kata “pemain sangat vital” adalah
acuan darinya Irfan Bachdi.
7) Nopan pemain padang . Kalimat tersebut dapat dikategorikan
sebagai gaya bahasa epitet karena merupakan acuan yang
menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau
sesuatu hal. kata “Pemain Padang” adalah acuan darinya Nopan.
8) Pemain yang posisinya gelandang bertahan. Kalimat tersebut
dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa epitet karena
merupakan acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus
dari seseorang atau sesuatu hal. kata “Gelandang bertahan ” adalah
acuan dari salah satu pemain Indonesia.
9) Permisa kita saksikan pemain dari Malesyia,, dengan gaya
rambutnya yang tdk pernah berubah. Kalimat tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya bahasa epitet karena merupakan
acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari
seseorang atau sesuatu hal. kata “Gaya Rambut ” adalah acuan dari
salah satu pemainMalesyia.
60
2. Gaya Bahasa Perulangan
Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002: 28) berpendapat bahwa
gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah
itu yang diulang bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa
perulangan ini meliputi: aliterasi, anadiplosis, epanalipsis, epizeukis,
mesodiplosis, anafora.
a. Aliterasi
Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang
sama. Hasil analisis gaya bahasa pada komentator sepak bola di media elektronik
terdapat 3 data gaya bahasa aliterasi, yaitu sebagai berikut.
1) Satu peluang yg lagi - lagi gagal,,,gagal meraih keunggulan.
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa alitersi
karena adanya pemanfaatan kata ulang pada permulaan yang
sama bunyinya yaitu “gagal”.
2) Krosing,,,, krosing yang dilakukan oleh otto,, sangat
baguuuss,,,bagus sekli. Kalimat di atas dikategorikan sebagai
gaya bahasa alitersi karena adanya pemanfaatan kata ulang
pada permulaan yang sama bunyinya yaitu “Krosing dan
bagaus”.
3) Lagi-lagi,,, Irfan Bachdi,,, sayang sekali,,, Irfan Bachdi
peluang tipis. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya
bahasa alitersi karena adanya pemanfaatan kata ulang pada
permulaan yang sama bunyinya yaitu “Irfan Bachdi”.
61
3. Gaya Bahasa Sindiran
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi
adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud
berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Jadi yang
dimaksud dengan gaya bahasa sindiran adalah bentuk gaya bahasa yang rangkaian
kata-katanya berlainan dari apa yang dimaksudkan. Hasil analisis gaya bahasa
pada komentator sepak bola di media elektronik terdapat 3 data gaya bahasa
aliterasi, yaitu sebagai berikut.
a. Sinisme
Keraf (2004; 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai
suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap
keikglasan dan ketulusan hati. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar. Hasil
analisis gaya bahasa pada komentator sepak bola di media elektronik terdapat 2
data gaya bahasa aliterasi, yaitu sebagai berikut.
1) Banyak peluang tapi belum pernah menciptakan gol. Kalimat di
atas dikategorikan sebagai gaya bahasa Eufemisme karena kalimat
tersebut berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan
maksud memperhalus.
2) Terlalu banyak posisi yang menjajikan tapi sayang Andik terlalu
banyak pelanggaran. Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya
bahasa Eufemisme karena kalimat tersebut termasuk menghina,
62
menyinggung perasaan.
4. Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya
bertentangan dengan kata-kata yang ada. Gaya bahasa pertentangan meliputi:
litotes, paradoks, histeron prosteron, antithesis, oksimoron, dan okupasi.
a. Paradoks
Paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan
dengan fakta yang ada. Hasil analisis gaya bahasa pada komentator sepak bola di
media elektronik terdapat 1 data gaya bahasa aliterasi, yaitu sebagai berikut.
1) Saingan yang melibatkan emosi. Kalimat di atas dikategorikan
sebagai gaya bahasa paradoks karena kata-katanya mengandung
pertentangan dengan fakta yang ada.
5. Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya
dalam satu baris kalimat. Gaya bahasa penegasan meliputi: paralelisme, erotesis,
klimaks, repetisi, dan anti klimaks .
a. Epifora
Keraf (2004: 136) berpendapat bahwa epifora adalah pengulangan kata
pada akhir kalimat atau di tengah kalimat. Simpulan gaya bahasa epifora adalah
gaya bahasa dengan mengulang kata di akhir atau tengah kalimat. Hasil analisis
gaya bahasa pada komentator sepak bola di media elektronik terdapat 1 gaya
bahasa efipora anatara lain:
63
1) O…. Kita bahaya skali,,,, berbahaya pemirsa,,,! Kalimat di
atas dikategorikan sebagai gaya bahasa pefipora karena terdapat
pengulangan kata pada akhir ataupun tengah kalimat yaitu: kata
“berbahaya”.
Hasil analisis gaya bahasa di atas dapat dilihat dengan jelas melalui table
berikut ini:
Tabel 1: Daftar Penggunaan Gaya Bahasa pada komentator Sepakbola di Media Televisi
No Bentuk Gaya Bahasa Jenis Gaya
Bahasa
Jumlah Ket
1 Perbandingan
Hiperbola 41
Metonomia 6
Personifikasi 8
Pleonasme 25
Sinekdoke 1
Asosiasi 3
Epitet 4
Eponim 9
2 Pengulangan Aliterasi 3
3 Sindiran Sinisme 2
4 Pertentangan Paradoks 1
5 Penegasan Epifora 1
Jumlah 12 104
Tabel 2: Distribusi Frekuensi dan Presentase Penggunaan Gaya Bahasa pada Komentator Sepak bola
Di Media Elektronik
64
No Gaya Bahasa
Frekuensi
Penggunaan
Data
(X)
Frekuensi
Relatif
X
∑X
Frekuensi
Presentase
X x 100 %
X∑
1 Hiperbola 41 0, 39 39 %
2 Metonomia 6 0, 057 5, 7 %
3 Personifikasi 8 0, 076 7, 6 %
4 Pleonasme 25 0, 240 24 %
5 Sinekdoke 1 0,0096 0, 9 %
6 Asosiasi 3 0, 028 2, 8 %
7 Epitet 4 0, 038 3, 8 %
8 Eponim 9 0, 086 8, 6%
9 Aliterasi 3 0, 028 2, 8 %
10 Sinisme 2 0, 019 1,9 %
11 Paradoks 1 0, 0096 0, 96 %
12 Epifora 1 0, 0096 0, 96 %
Jumlah 104 100 %
Ket: X : Banyaknya pemunculan jenis gaya bahasa dalam data X∑X : Total keseluruhan munculnya gaya bahasa
B. Pembahasan Hasil Analisis Data
65
Terlihat dalam tabel di atas, bahwa penggunaan gaya bahasa
oleh komentator sepak bola di media Televisi sangat menonjol. Dari 175 daftar
data yang telah terpilih, ternyata 104 data yang tersaring dan dianalisis.
Dari 24 jenis gaya bahasa yang ada, hanya 12 jenis gaya bahasa yang
digunakan komentator sepak bola yaitu gaya bahasa hiperbola sebanyak 48, ;
metonomia sebanyak 3; personifikasi sebanyak 8; pleonasme sebanyak 25,
sinekdoke sebanyak 1, asosiasi sebanyak 3, epitet sebanyak 4, eponym 9, aliterasi
sebanyak 3, sinisme sebanyak 2, paradox sebanyak 1, dan epifora juga sebanyak 1.
Gaya bahasa yang paling dominan digunakan adalah gaya bahasa
hiperbola sebanyak 39 %. Hasil analisis gaya bahasa komentator sepak bola di atas
menunjukkan bahwa seorang komentator sepak bola banyak menggunakan gaya
bahasa hiperbola atau ungkapan kata yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya
dimaksudkan baik jumlah, ukuran, dan sifatnya.
. Hal itu terbukti bahwa yang paling dominan dipakai oleh seorang
komentator sepak bola adalah gaya bahasa hiperbola dengan hasil 39 % yaitu
41 data yang ditemukan dari 104 data. Tujuan pemakaian gaya bahasa hiperbola
pada komentator sepak bola di media Televisi yaitu tidak lepas dari tugas seorang
komentator baik pembawa acara ataupun komentator langsung yang diundang oleh
pihak Televisi, karena mereka inilah yang melaporkan langsung fakta, situasi atau
keadaan yang ada di lapangan dan mengeluarkan kemampuannya dalam mengolah
kata ataupun kalimat sehingga penonton atau pendengar seolah-olah berada dilokasi
pertandingan dan merasi tertarik dengan pertandingan sepak bola.
BAB V
66
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan kajian teori, hasil analisis dan pembahasan yang telah
dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkanan bahwa s e o r a n g
komentator sepak bola di media elektronik menggunakan beberapa gaya
bahasa. Gaya bahasa tersebut yaitu:
(a) perbandingan meliputi hiperbola 41 data dengan presentase 39 %,,
metonomia 6 data 5, 7 %, personifikasi 8 data 7, 6 %, pleonasme 25 data 24
%, sinekdoke 1 data 0,9 %, asosiasi 3 data 2, 8 %, epitet 4 data 3, 8 %, dan
eponym 9 data 8, 6 %.
(b) perulangan meliputi gay bahasa aliterasi sebanyak 3 data dengan
presentase 2, 8 %.
(c) Sindiran meliputi gaya bahasa sinisme sebanyak 2 data dengan presentase
1, 9 %.
(d) Pertentangan meliputi gaya bahasa paradox sebanya 1dengan presentase 0,
96 %.
(e) Penegasan sebanyak 1 data meliputi gaya bahasa epifora dengan
presentase 0, 96 %.
2. Gaya bahasa yang paling dominan dipakai komentator sepak bola di media
televisi adalah hiperbola.
B. Saran
Beberapa saran berikut dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat
bagi pihak-pihak terkait yaitu masyarakat hendaknya dalam menyaksikan sebuah
pertandingan sepak bola memperhatikan nilai-nilai positif antara lain tentang
semangat, tekad, kerja keras, kerja sama, motivasi dan sadar akan arti pentingnya
mempertahankan sebuah banteng pertahanan, yaitu Bangsa Indonesia serta dapat
mengharumkan Negara Indonesia.
Masyarakat dapat melihat sisi positipnya ketika menyaksikan sebuah
67
pertandingan sepak bola di media televise, belajar bagaimana mengolah kata dan
bahasa sehingga seseorang dapat berkomunikasi dengan bai dan dapat berterima di
lingkungan masyarakat. Dengan memiliki banyak kosa kata, tentunya ini sangat
membantu seseorang untuk berkomunikasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
68
Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Argesindo.
Anwar, Rofik. 2012. “ Analisis Penggunaan Implikatur Percakapan Antara Resepsionis dan Tamu Chek In di Guest haouse Pradiso Surakarta. “ Skripsi . Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Badudu. J. S. 1984. Sari Kasusastraan Indonesia 2. Bandung: Pustaka Prima.
Bagas. 2007. “Majas Perbandingan”. Dalam http://bagas.wordpress.com/2007/09 /05/belajar-majas-atau-gaya-bahasa/ diakses pada tanggal 20 Januari 2010.
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, A. 1995. Pengantar semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, A, dan Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta,
Cook, Guy. 1994. Analisis Wacana. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada
Darmono, Sapardi Djoko. 2003. “Kita dan Sastra Dunia”. Dalam www.mizan.com. diakses pada Tanggal 3 Agustus 2012.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.
Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hadi, Abdul. 2008. “Majas (Gaya bahasa)”. Dalam http://basasin.blogspot.com /2008/10/majas-gaya-bahasa.html. diakses pada tanggal 4 Agustus 2012.
Hasbullah. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hirata, Andrea. 2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Latif. 2001. Analisis Stilistika Gaya Bahasa Parni Hadi dalam Kolom Resonansi Harian Republika. Makassar: UNM
69
Maulana, Firman. 2008. ”Gaya Bahasa”. Dalam http://firman94.multiply.com/ journal/item/70 diakses pada tanggal20 Januari 2010.
Miles, B. Mattew. dan Huberman, Michael. A. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press. 104.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta. Tiara Wacana.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
R. Rose, K dan kasper G. 2001. Pragmatic In Language Teaching. New York: Cabridge University Press.
Sayuti, Suminto. A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Semi, Atar M. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sevilla. C. G, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: University Indonesia Press.
Soeleman, Munandar. 1987. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT. Eresco.
Soyoto. 2008. Majas. Dalam http// oyoth. Wordpress.com/2008/02/01/Gaya-Bahasa/ diakses pada Tanggal 20 januari 2012. 105
Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Press.
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik, ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Sudjiman, Panuti. 1998. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sugiono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Prisip- Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
70