gambaran darah mencit (mus musculus albinus) pada proses ... · kunyit adalah tanaman yang...

23
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Botani Kunyit Kunyit merupakan tanaman obat yang bersifat tahunan (perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar di sekitar hutan atau bekas kebun. Kunyit merupakan tumbuhan semak yang tumbuh berumpun-rumpun, mempunyai susunan tubuh yang terdiri dari akar, batang semu, rimpang, terdiri dari kumpulan ltelopak atau pelepah daun yang berpautan, daun tangkai bunga, dan kuntum bunga (Rukrnana 1994). Tumbuhan ini tidak berbulu, batangilya pendelc, bunganya putih pucat dan kuning, daunnya berjumbai, mempunyai daun pelindung berwarila putih bergaris hijau dan diujuilgnya merah jambu, sedangkan yang terletalc di bagian bawah berwarna hijau muda, serta pelepah daunnya menlbentuk batang semu (Purseglove et al. 1981). Kunyit dikenal sebagai Curcunza loizgga Linn, karena naina tersebut sudah dipakai untuk jenis rempah-rempah lainnya, inaka tahun 1918 diganti menjadi Curczrma donzestica oleh Valantin (Purseglove et al. 1981). Kata curcuma berasal dari bahasa Arab yaitu kz~rkz~m dan bahasa Yunani kaalkoin. Pada tahun 77-78 SM, Dioscarides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus yang menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, sedikit pedas dan tidalc beracun. Tananan ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia khususnya Jawa (Darwis et al. 1991). Tanaman kunyit termasuk kingdom Plantae, divisi Spealinatoplyta, sub divisi Angiosperi1zae, kelas Monoco@ledonae, ordo Zingiberales, falnili Zingiberaceae, genus Cz~rcunza, spesies Curcunza doi~zestica Valet (Rukmana 1994). Sifat Fisifc dan I<imia ICunyit Kunyit adalah tanaman yang tingginya mencapai 1 in dan bunganya muncul dari pucuk batang semu dengan panjang 10-1 5 cm dan berwarna putih dan bisa ditanam sepanjang tallun (Tllon~as 1989). Turnbullan kunyit (Cui~cunza donzestica) dan rimpang kunyit dapat dilihat pada Galnbar 1.

Upload: buihanh

Post on 12-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah dan Botani Kunyit

Kunyit merupakan tanaman obat yang bersifat tahunan (perenial) yang

tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar di sekitar

hutan atau bekas kebun. Kunyit merupakan tumbuhan semak yang tumbuh

berumpun-rumpun, mempunyai susunan tubuh yang terdiri dari akar, batang

semu, rimpang, terdiri dari kumpulan ltelopak atau pelepah daun yang berpautan,

daun tangkai bunga, dan kuntum bunga (Rukrnana 1994). Tumbuhan ini tidak

berbulu, batangilya pendelc, bunganya putih pucat dan kuning, daunnya

berjumbai, mempunyai daun pelindung berwarila putih bergaris hijau dan

diujuilgnya merah jambu, sedangkan yang terletalc di bagian bawah berwarna

hijau muda, serta pelepah daunnya menlbentuk batang semu (Purseglove et al.

1981).

Kunyit dikenal sebagai Curcunza loizgga Linn, karena naina tersebut sudah

dipakai untuk jenis rempah-rempah lainnya, inaka tahun 1918 diganti menjadi

Curczrma donzestica oleh Valantin (Purseglove et al. 1981). Kata curcuma berasal

dari bahasa Arab yaitu kz~rkz~m dan bahasa Yunani kaalkoin. Pada tahun 77-78 SM,

Dioscarides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus yang menyerupai jahe, tetapi

pahit, kelat, sedikit pedas dan tidalc beracun. Tananan ini banyak dibudidayakan

di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia

khususnya Jawa (Darwis et al. 1991). Tanaman kunyit termasuk kingdom

Plantae, divisi Spealinatoplyta, sub divisi Angiosperi1zae, kelas Monoco@ledonae,

ordo Zingiberales, falnili Zingiberaceae, genus Cz~rcunza, spesies Curcunza

doi~zestica Valet (Rukmana 1994).

Sifat Fisifc dan I<imia ICunyit

Kunyit adalah tanaman yang tingginya mencapai 1 in dan bunganya

muncul dari pucuk batang semu dengan panjang 10-1 5 cm dan berwarna putih dan

bisa ditanam sepanjang tallun (Tllon~as 1989). Turnbullan kunyit (Cui~cunza

donzestica) dan rimpang kunyit dapat dilihat pada Galnbar 1.

Gambar 1. Tanaman dan Rimpang kunyit (Sumber: h@://www..sadaJcom/images/turmeric.gz~

Kunyit merupakan jenis temu-temuan yang mengandung senyawa aktif

diantaranya minyak atsiri dan kurkuminoid. Mimyak atsiri tersebut mengandung

senyawa-senyawa k i i i a seskuiterpen alkohol, tumeron dan zingiberen sedangkan

kurktunimoid mengandung senyawa kurkumii dan turunannya berwarna b i g

yang meliputi desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Di samping itu

rimpang kunyit juga mengandung pati atau amilum, gom dan getah, sedangkan

yang memberikan aroma harum dan rasa khas pada umbinya adalah minyak atsiri

(Thomas 1989). Komposisi kimia kunyit dapat diliiat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi K i i a Kunyit

Komponen Jumlah (%)

Kadar air 6.0

Protein 8.0

Karbohidrat 63.0

Serat kasar 7.0

Bahan mineral 6.8

Mmyak volatil 3.0

Kurkumin 3.0

Bahan non volatil 9.0

Sumber : Natarajan dan Lewis (1980)

Peranan Rirnpang Kunyit

Bagian kunyit yang sering dimanfaatkan adalah rimpangnya, untuk

antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing,

obat salcit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo, memar dan

rematik. Kurltuminoid pada kunyit berkhasiat sebagai antihepatotoksik,

anthelmintik, antiedemik, analgesik. Zat aktif lain dari kunyit yaitu lturkumin

dapat berfuilgsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan. Kurkumin juga berkhasiat

mematikan kuman dan menghilangkan rasa kelnbung karena dinding empedu

dirangsang lebih giat untuk mengeluarkan cairan pemecah lemak. Millyak atsiri

pada kuilyit dapat bermanfaat untuk mengurangi gerakan usus yang kuat sehingga

manlpu meugobati diare. Selain itu, juga bisa digunakan ultuk ~neredakatl batuk

dan autikejang (Sumiati dan Adnyana 2004).

Salep yang dibuat dari campuran lcutlyit dellgall nmillyak kelapa banyak

digunakan untuk menyembuhkan kaki bengkak dan untuk mengeluarkan cairan

penyebab bengkak. Salep dari kunyit detlgan asam kawak juga digunakan untuk

pengobatail kaki luka. Kunyit yang diremas-remas dengan biji ceugkeh dan melati

digutlakail u~ltulc obat radang hati, dan penyakit kulit. Sementara akar kunyit yang

diremas-remas dapat digunalcan sebagai obat luar peuyakit bengkak dan reunatik

(Sumiati dan Adilyaila 2004).

Beherapa penelitian secara in vitro dan in vivo meuunjukan bahwa kunyit

mempunyai aktivitas sebagai antiinflarnasi (anti peradangan), aktivitas terhadap

peptic tllcel; antitoksik, antihiperlipiden~ia, dan aktivitas anti kailker. Pada tikus,

jus lcunyit atau serbulc yang diberikail secara oral tidak menghasilkan efek

a~~tiinflamasi (anti peradangan), hanya injeksi iiltraperitoneal (Ice organ dalain

perut) yang efektif. Ekstrak kurkumin juga dapat mencegah kerusakan hati pada

tikus, mencegah hepatoksisitas dan kerusakan sel, menuruilkaii semua komposisi

lipid (trigliserida, fosfolipida dail kolestrol) dall mencegah lcanker usus (Sumiati

dan Adnyana 2004).

Zat Alctif Rimpang Kunyit

Alkaloid Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang bersifat basa (Anonim

2008a). Menurut Hidayat (2008) alkaloid merupalcail seilyawa basa nitrogen asal

tumbuhan yang bersifat fisiologi altif. Alkaloid hagi tumbuhan b e r h g s i sebagai

senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga dan herbivora, produk

akllir reaksi detoksifikasi senyawa-senyawa yang berbahaya bagi tumbuhan,

reg~~lator faktor peitumbuhan dan sebagai senyawa cadangan untuk sumber

nitrogen atau elemen lain yang berguna bagi tumbuhan.

Allcaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai

kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang

pengobatan (Harborne 1987). Alkaloid berfungsi sebagai anti de~nam (anti

piretikum), anti cacing (anthelmintikum), obat atau zat pemulih (analeptiltum):

anti parasit (anti plasmodium), anti radang (antiinflamasi), anti batuk (antitusif),

insektisida, narkotikum, merangsang sistem saraf pusat (stimulansia), memacu

keluarnya keriugat (diaphoretic), merangsang muntah (emetikum), dan

merangsang keluarnya urin (Anonim 2008a).

Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa yang larut dala~n air. Flavonoid

~nengandung siste~n aro~natik yang terkonjugasi, umulnnya terdapat pada

turnbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Se~nua

flavonoid inenurut strukturnya merupakan turunan senyawa iuduk flavon yang

berupa tepung putih dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang salna

(Harborne 1987).

Flavonoid berfungsi menurunltan permeabilitas kapiler sehingga

perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusaltan ltapiler dapat

diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Flavonoid bekerja dengall membentuk sumbat

tro~nbosit dan ~neinperbaiki endotel vaskuler sehingga dapat ~nenutup robekan

ltecil pada pembuluh darall (Evans 1989).

Polifenol dan Tanin

Polifenol ~nerupakan kelonlpok bahan kilnia yang ditemukan pada

tananan yang ~nemililti karakteristilt mengandung lebih dari satu kelompok fen01

per molekul. Secara umum sub divisi polifenol terdiri atas tanin dan

phenylpropanoid seperti lignin dan flavanoid (Hollmann 2005).

Tanin pada tumbuhan sub divisi angiospermae terdapat khusus dalam

jaringall kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein

membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin

adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah lculit hewan

yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung-silang

protein. Salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak

hewan pemalcan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987).

Saponin

Saponin adalah deterjen alami yang ditemukan pada banyak tanaman yang

memiliki bahan surfaktan karena mengandung lemak dan air yang mudah larut.

Komponen strulctur saponin terdiri dari gula-gula hexose dengan sejumlah atom

karbon, hidrogen dan oksigen. Keberadaan saponin dapat dicirikan dengan rasa

yang pahit, pe~nbentuk busa yang stabil pada larutan cair (busa berbentuk sarang

lebah pada air) dan mampu membentuk lnolekul dengan kolestrol (Cheeke 1999).

Selain itu, saponin juga mempunyai kemampuan membunuh kulnan (Anonim

2008b).

Icuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempuyai kromofor dasx seperti

lcromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus 1cal"oonil yang

berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Warna pigmen kuinon di

slam beragam, mulai dari kuning pucat sampai hampir hitanl, dan struktur yang

telah dikenal jumlahnya lebih dari 450. Untuk tujuan identifikasi kuinon dapat

dibagi menjadi enlpat kelompok: benzokuinon, naftolcuinon, antraltuinon, dan

kuinon isoprenoid. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida h u t sedikit

dalaln air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalan leinak dan akan

terekstraksi dari ekstrak tumnbuhan kasar bersama-sama dengan karotenoid dan

ltlorofil (Harborne 1987). Senyawa kuinon mempunyai kemampuan sebagai

antibiotik dan penghilang rasa sakit seita merangsang pertumbuhan sel baru pada

lculit (Anonin1 2008b).

Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan kandungan aktif dari simplisia menggunakan

cairan penyaring yang cocok. Metode ekstraksi antara lain perendaman

(nzaserasi), perkolnsi, digesti, infusi dan dekoksi. Hal-ha1 yang harus diperhatikan

dala~n proses ekstraksi adalah jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat

kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan dan perhitungan dosis pemakaian

(Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan jamu yang

dihaluskan sesuai dengan syarat Farmakope Indonesia (biasanya terpotong-potong

atau diserbuk-kasarlca~~), disatukan dengan bahan ekstraksi. Deposisi tersebut

disimpal dan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dilcatalisis

cahaya ataupun perubahan warna) kemudian dikocok kembali. Waktu maserasi

adalah berbeda-beda, setiap Farmakope mencantumkan 4-10 hari dengan

dilaltultan pengocokan secara berulang (kira-kira tiga kali sehari). Melalui usaha

ini dijamin suatu keseilnbangan konsentrasi bahan ekstralcsi yang lebih cepat lte

dalam cairan (DepKes RI 1995). Keadaan dia~n selama maserasi menyebabkan

turunnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan simplisia

terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight 1994).

Cara ekstraksi yang tepat secara alarni tergantung pada telcstur dan

kandungan air bahan tumbuhan yang dieltstraksi dan pada jenis senyawa yang

diisolasi (Harbome 1987). Ekstraksi juga sangat bergantung pada jenis d a l

komposisi dari cairan pengeltstraksi. Untuk memperoleh sediaan obat yang cocok

umumnya berlalcu canpuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight

1994).

Salep

Salep merupakan sediaan setengah padat yang digunakan sebagai obat luar

pada membran mukosa/lculit. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen

dalam dasar salep yang cocok. Fungsi salep antara lain sebagai sutbstansi obat

untulc pengobatan lalit (pembawa), pelunlas pada lalit, mencegah kontak

permulcaan kulit dengan rangsangan dari luar (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Syarat-syarat dasar salep antara lain harus stabil secara fisik maupun

kimia, warna dan bau harus stabil selama penyimpanan da11 pemakaian, dapat

dicampurlcan dengan semua obat, halus dan licin sehingga mudah dioleskan pada

kulit, daya kerjanya sama baik untuk kulit kering maupun berlemak, tidak

mengiritasi kulit, tidak mudah tengik, dan mudah dipakai atau dioleskan

(Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Voight (1994) ~nenjelaskan bahwa salep yang mengandung cairan dalain

jumlah besar harus dilindungi terhadap pengenceran cairan jika wadah tidak

terjanlin kerapata~mya. Ini dilakukan dengan menutup menggunakan folia logam

atau plastik atau bahan lain yang cocok. Menurut Ansel (1989) salep biasanya

dikemas, baik dalam botol atau dalan tube. Botol dapat dibuat dari gelas tidak

berwarna, warna hijau, biru atau burain dan porselen putih. Botol plastik juga

dapat digunakan. Wadah dari gelas buam dan berwarna berguna untulc salep yang

mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Kebanyakan salep harus disimpan

pada temperatur di bawah 30°C untuk mencegah pelembekan dan cairnya salep.

Preparat setengah padat seperti salep, sering memerlukan penambahan pengawet

kimia sebagai anti miluoba, pada for~nulasi untuk mencegah pertumbuhan

miluoorganisme yang mengkontaminasi.

Salep dibuat dengan dua ~netode umum yaitu: pencampuran dan

peleburan, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Metode untuk pembuatan

tertentu, teruta~na tergantung pada sifat-sifat bahannya. Dalan metode

pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama sampai diperoleh

sediaan yang rata (Ansel 1989).

Mencit (Mus I I I L I S C I ~ ~ U S )

Hewan yang akan digunakau pada penelitian ini adalah ~nencit

laboratoriuin Mus nzusculzrs (Gambar 2). Klasifikasi mencit laboratoriuin me~n~rut

Arrington (1972) adalah sebagai berikut ;

Kingdom : Animalia

Filunl : Chordata

Kelas : Ma~nmalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Mencit sering digunakan sebagai hewan model dalam berbagai kegiatan

penelitan. Hewan ini mudah didapat, mudah dikembangbiakkan dan harganya

relatif murah, ukurannya kecil sehingga mudah ditangani, jumlah anak

perperanakannya banyak. Sebagaimana makhluk hidup lainnya selama

pertumbuhan dan perkembangannya mencit tidak dapat lepas dari pengaruh

berbagai faktor lingkungan hidupnya. Mencit laboratorium adalah hewan yang

semarga dengan mencit liar atau mencit nunah/domestic. Semua galur mencit

laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah

melalui peteniakan selektif. Mencit diielompokkan dalam order rodentia karena

memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti pahat dan dapat menajam

dengan sendirinya. Genus Mus memiliki empat bentuk morfotipe yang sudah

dikenal sebagai spesies tertentu yaitu Mus musculus, Mus domesticus, Mus

castaneus, dan Mus bactrianus, maupun sebagai sub spesies dari MIIS musculus

yaitu Mus n~usculus dometicus Perm 1999).

Mencit laboratorium mempunyai berat badan yang hampir sama dengan

mencit liar. Saat ini terdapat berbagai warna bulu, galur, dan berat badan yang

berbeda-beda setelah diternakkan secara selektif selama 80 tahun yang lalu (Smith

& Mangkoewidjojo 1988). Banyak strain berbeda dari mencit laboratorium yang

telah dikembangkan oleh ahli genetik. Beberapa strain seperti Swiss Webster

dikembangkan secara outbreed, sementara beberapa strain lain seperti DDY,

Balblc, DBA, dan 36 diiembangkan secara inbred dengan geu-gen yang

homozigot (Penn 1999).

Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut

cahaya dan aktif pada malam hari. Mencit yang dipelihara sendiri, makannya lebih

sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam

satu kandang, dan kadang-kadang mempunyai sifat kanibal (Penn 1999).

Mencit memiliki lama hidup sekitar satu hingga dua tahun, baldcan

beberapa bisa mencapai usia tiga tahun dengan lama produksi ekonomisnya

adalah sembilan bulan. Mencit mencapai usia dewasa pada 35 hari dimana setelah

usia delapan minggu sudah dapat dikawinkan. Lama kebuntingal mencit adalah

19-21 hari dengall jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan dewasa

adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram. Mencit laboratorium

dapat dilcandangkan pada kotak sebesar kotak sepatu yang dapat terbuat dari

berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau polikarbonat),

aluminium, atau baja tahan karat (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Selanjutnya

data dasar fisiologis mencit dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Data dasar fisiologis pada mencit.

Karakteristik Nilai Berat Dewasa

Jantan 20-40 gr Betina 18-35 gr

Berat lahir 1.0-1.5 gr Masa kebuntinga~~ 18-2 1 hr Mata membuka 12-13 hr Masa hidup 1-2 th Suhu tubuh 37.4 O C

Konsumsi pakan 4-5 grI100 gr BBIhr Konsumsi air 4-7 m1/100 gr BBIhr Kardiovaskuler

Frekuensi jantung Rataan 600 detaklrnnt Kisaran 328-780 detaklmnt

Rataan sistole 1 13 mmHg Rataau diastole 81 mmHg

Frekuensi pernapasan Rataan 163 Imnt Kisaran 84-230 /mnt

Hemoglobin Rataa~l 14.8 gr% Kisara~~ 10-19 gr%

Hematokrit 41.5 % Eritrosit

Rataan 9.3 x 10'lpL Kisaran 7.7-12.5 x lo6 I ~ L

Leukosit Rataan 8 x lo3 IpL Kisaran 4-12x 1 0 ~ 1 ~ ~

Sumber: Arrington (1972)

Darah

Darah merupakan media cair yang terdiri dari komponen selular yaitu sel-

sel darah dan komponen cairan yang kaya akan protein yaitu plasma darah

(Schalm et al. 1975). Menurut Stainer dan Forsling (1990) kandungan cairan

tubuh pada hewan veitebrata sekitar 65% dari total bobot badannya, yang dibagi

~nenjadi cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Pada hewan yang ineiniliki

siste~n vaskuler tei-tutup, seluruh cairan tubuh didistribusikau di antara dua

kompai-temen cairan tersebut. Cairan ekstraseluler terdiri dari cairan

ekstravaskuler dan cairan intravaskuler. Cairan ekstravaslculer terdiri dari cairan

interstisial yang inerupalcan tiga perempat cairan ekstraseluler dan cairan

intravaskuler yang terdiri dari plasma darah (Guyton dan Hall 1997). Cairan

ekstraseluler ini pada mamalia dewasa jumlahnya sekitar 45% dari jumlah total

cairan tubuh dan sisanya 55% adalah intraseluler (Stainer dan Forsling 1990).

Menurut Ganong (1999) darab ~nerupakan cairan ekstraseluler yang berada

dala~n vaslculer (intravaskuler). Fungsi darah adalah menyuplai setiap sel dengan

air yang diperlulcan, oksigen, elektrolit, nutrisi, dan transpol-tasi horinon serta

menerima sisa buangan metabolisme untuk ditransport ke organ selwesi (Schalm

et al. 1975). Selain itu menurut Banlcs (1986) fungsi darah yang laiu adalah

sebagai alat pertahanan tubuh melalui sel-sel pertahanan dan inaterial penghalang

(ailtibodi, antitoksin, dll).

Darah pada hewan dengan sirkulasi tertutup terdiri atas sel-sel darah dan

cairan @lasina) yang mengisi sirkulasi dan yang mengalir dalam gerak teratur

tanpa arah yang didorong terutama lcontralcsi ritmik jantung (Junqueira d m

Carneiro 1980). Plasma darah ~nengandung zat-zat yang penting dalam proses

digesti (asam amino, glukosa, gliserol, d m asam lemak terbang), produk buangan

nitroge~l (urea, asain urat, 1u.eatinin) dari metabolisme, hormon, antibodi,

karbondioksida, garam anorganik, dan protein plasma seperti albumin, globulin,

dan fibrinogen (Van Tyne dan Berger 1975).

Menurut Rapaport (1987), sel-sel darah terdiri dari tiga macan yaitu sel

darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (troinbosit). Jika

contoh darah dibiarkan atau disentrifuse, ~naka aka11 terjadi pemisahau mei~jadi

dua bagiail yaitu eleinen seluler yang terdiri dari eritrosit, leukosit, troinbosit, dan

kadang-kadang sel misterius dari Reticulo Endotelial System (RES) dan plasma

atau fraksi ekstraseluler yang mengandung air, elektrolit, glukosa, enzim, dan

hormon (Phillis 1976).

Perubahan fisiologis pada tubuh hewan merupalcan faktor yang dapat

me~npengaruhi ganlbaran darah. Perubahan fisiologis internal antara lain

pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, proses produlcsi darah,

siklus estrus, suhu tubuh, sedangkan perubahan fisiologis eksternal antara lain

infeksi kuman penyalcit, fralct~lra, perubahan suhu linglc~mgan, sanitasi dan

sebagainya (Banks 1986).

Eritrosit

Eritrosit merupakan sel yang tidak berinti dan bersifat non motil. Eritrosit

biasanya berbentulc bilconlcaf, bulat dengan bagian tengah yang pucat. Komposisi

eritrosit pada hewan dewasa terdiri dari 62-72% air, sisanya hampir 35% adalah

padatan, 95% dari padatan adalah hemoglobin dan sisanya 5% adalah protein

yang terdapat pada strolna dan membran sel, lipid, vitamin, glukosa, enzim dan

lain-lainnya (Swenson 1984).

Jumlah eritrosit pada mencit berkisar antara 7,7-12.5 jutalpl (Arrington

1972). Faktor yang dapat mempengaruhi jurnlah eritosit antara lain adalah rute

pengambilan darah sampel. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah

lconsentrasi hemoglobin, Packed Cell Volume (PCV), umur, jenis lcelamin,

kesehatan, olahraga, laktasi, kebuntingan, suhu, dan ketinggian (Swenson 1984).

Jangka hidup eritrosit pada beberapa hewan laboratoris kecil bel-turut-turut

sekitar 45-50,45-50, dan 20-30 hari pada kelinci, tikus, dan mencit. Pada keadaan

anemia defisiensi zat besi, dimana eritrosit menjadi berukuran kecil, mungkin

dapat diperkirakan bahwa jangka hidupnya diperpanjang karena sel yang lebih

muda memililci ukuran lebih besar dibandingkan sel tua. Sebaliknya, anemia tipe

mikrositik terjadi karena sel-sel darah muda yang tidalc dilepaskan ke dalam darah

yang bersirkulasi dalam jumlah yang cukup untuk menggantilcan sel-sel yang

telah mati (Swenson 1984).

Leul~osit

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit yang aktif dari sistem

pertahanan tubuh (Guyton 1997). Leukosit memiliki jumlah yang jauh lebih

sedikit dibandingkan dengan eritrosit yang bersirkulasi dalam tubuh, terdapat

enam jenis sel darah putih yang normal dalam darah yaitu neutrofil, eosinofil,

basofil, monosit, limfosit, dan sel plasma. Limfosit dan monosit dibentuk di

jaringau limfatik dan limfonodus, tonsil, limpa, timus, dan mukosa usus.

Granulosit dibentuk di sumsum tulang. Janglca hidup dari leukosit belum

diketahui secara pasti, namun sekitar 3-12 hari untuk leukosit granular dan sedikit

lebih lama untuk limfosit (Williams 1987). Selain itu terdapat tron~bosit dalam

jumlah besar yang merupakan fragn~en jenis ke-7 dari sel darah putih yang

dite~nukan dalanl sumsum tulang, nzegnkariosit. Tiga jenis sel polimorfonuklear

me~niliki penanlpilan granular, oleh sebab itu merelta dinamakan granulosit, atau

dalam terminologi klinik sering dinamakan "polys" (Lichtman 1980).

Jumlah sel darah putih tertentu dapat nleningkat karena berbagai ha1

seperti pada infeksi bakteri, jumlah leukosit khususnya meningkat tajam,

sebaliknya pada infeksi viral jumlah neutrofil menurun tajanl (leukopenia).

Leukopenia dapat juga dite~nui bersa~na dengan endotoksin bakteri, septicenzia

dan toxenzia, sedangkan pada kasus tumor (neoplasma) yang nlelibatkan system

limpatik, jumlah limfosit dalam aliran darah meningkat dengan perubahan rasio

dari eritrosit dengan leukosit (Swenson 1984).

Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa

oksigen dala~n sel darah merah. Pembentukan hemoglobin di~nulai dari eritroblas

pada stadium retilculosit keinudian diteruskan samnpai sel eritrosit matang. Jika sel

darah mesa11 meninggalkan sumsuln tulang dan masuk ke aliran darah maka aka1

tetap melanjutkau pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau

sesudahnya (Schalm et al. 1975).

Hemoglobin terbentuk dari gabungan 2 komponen yaitu heme dan globin.

Heme mengandung protoporphin dan ion ~ e ~ + yang disintesis oleh mitokondria

(Schalm et al. 1975) dan dari beberapa penyelidikan dengan menggunaltan isotop

diketahui bahwa heme terutama disintesis dari asam asetat dan glisin yang

kebanyakan terjadi di mitolcondria (Guyton 1995). Kandungan zat besi yang

terlepas ketika hemoglobin mengalami kerusakan, akan segera menuju ke hati,

kemudian akan dipergunakan kembali untt~k pembentukan hemoglobin baru

(Ganong 2002). Globin adalah suatu peptida yang didapatkan dari pembentukan

hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma sel darah merah (Schalm et al. 1975).

Sifat dasar hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara

longgar dan reversibel dengan oksigen tetapi jika ada gangguan akan merubah

sifat-sifat fisik hemoglobin (Guyton 1995). Berat molekulnya 64.450 dalton yang

berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit. Hemoglobin inengiltat 0 2 untuk membentuk

oksihemoglobin, 0 2 menempel pada ~ e ~ + dalam heme. Afinitas hemoglobin

terhadap 0 2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3 difosfogliserat (2,3-

DPG) dalanl sel darah merah (Lorenz 1993). 2,3-DPG dan Hi berkompetisi

dengan 0 2 untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa oksigen (hemoglobin

terdeoksi), sehingga menuiunkan afinitas hemoglobin terhadap 0 2 dengan

menggeser 4 rantai peptida (Ganong 2002).

Faltor lain yang menyebabkan afinitas hemoglobin terhadap 0 2 rendah

adalah susunan asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida. Pada

henloglobin dewasa mempunyai bentulc rantai polipeptida a202 yang merupakan

komponen hemoglobin yang mempunyai afinitas 0 2 yang tinggi, akan tetapi

rantai polipeptida a ~ y 2 pada janin lebih tiuggi. Sedangkan pada embrio yang

mempunyai rantai <2c2 afinitas terhadap 0 2 rendah (Ganong 2002).

Hemoglobin terdapat kira-kira 95% dari berat kering RBC dewasa dail

variasi dalam rangkaian asanl amino pada globin untuk mernbedakan tipe

hemoglobin antara embrional, fetus dan dewasa (Banks 1986). Hemoglobin

dewasa normal adalah 90% hemoglobin A (Hgb A) yang terdiri dari 2 rantai

polipeptida yang disebut rantai n dan dan diberi kode ~ $ 2 (Guyton 1995).

Henloglobin embrio dilcenal deagan I~ernoglobin tipe E (Okabe et al. 1996).

Hemoglobin E mengandung polipeptida dengan rantai 5 dan rantai E, yang

membentulc globin gower 1 (12~2) dan globin gower 2 (~12~2). Sedanglcan

hemoglobin fetus dikenal dengan hemoglobin tipe F yang masih dapat terkandung

dalam darah hewan yang baru lahir dan me~niliki struktur yang mirip dengan

struktur hemoglobin A, kecuali bahwa rantai P-nya diganti dengan rantai y

sehingga hemoglobin F adalah azyz (Ganong 1999).

Hemoglobin mempunyai nilai yang berbeda pada berbagai tingkat

perturnbullan, perbedaan ini terdapat pada komposisi asam amino, kurva disosiasi

oksigen, dan kelarutan spektrum absorbsi ultraviolet. Jumlah hemoglobin pada

darah normal pada kebanyakan mamalia dewasa 13-15 g r d 1 0 0 ml (Guyton

1995).

IIematokrit

Hematokit atau Packed Cell Volunze (PCV) adalah presentase sel darah

merah di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PCV sebanding dengan jumlah

eritrosit dan kadar hemoglobin. Eritrosit berpengaruh terhadap viskositas darah

yaitu semakin ineinbesar persentasi sel darah ~nerah semakin banyak timbul

gesekan antar lapisan darah sehingga viskositas darah meningkat yang berakibat

pada derajat kesultaran aliran darah ymg melalui pembuluh darah kecil (Guyton

1995).

Pemeriltsaan total hematokrit tubuh di vena atau banyaknya hematokrit

pada pembuluh darah, menunjukkan bahwa limpa memainkan peran dalam

menlpengaruhi sirkulasi sel darah merah. Rasio total hematokit darah dengan

hematokrit vena lebih besar ketika limpa mengalami gangguan (Schalm et al.

1975). Darah dalam pembuluh darah yang kecil dalan tubuh secara nyata

menu~unkan nilai hematokrit dibandingkan dengan darah yang berasal dari

jantung atau pembuluh darah (Banks 1986).

Persembuhan Lulta

Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh yang sebisa mungkin

memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal

tubuh sebelumnya (Vegad 1995). Proses perse~llbuhan bukanlah suatu proses yang

sedel-hana inelainka~l suatu proses yang kompleks nanlun terintegrasi dan

sisteinatik (Engelhardt el al. 1998; Kalangi 2004). Proses biologis utalna dalam

perbaikan jaringan secara umunl meliputi tiga tahap utama yaitu proses

peradangan, pembelltukan jaringan grailulasi, dan pembentukan matriks serta

remodelilzg (Kalangi 2004). Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase

persembuhan lulta yang lebih dikenal dengan fase peradangan, fase proliferasi,

dan fase maturasi (Banks 1993).

Persembuhan luka dibagi meujadi dua macanl berdasarltan lteadaan lulta

yang terjadi, yaitu persembuhan berdasar penyatuan primer (prinzary union) dan

persembuhan berdasar penyatuan sekunder (secondary union). Suatu

persembuhan luka dapat digolongkan menjadi penyatuan luka primer apabila luka

tertutup, lnengaltibatkan hilangnya sejumlah kecil jaringan, lulta berupa suatu

garis insisi dengan scalpel yang steril, tidak disertai infeksi sekunder oleh bakteri,

dan celah luka segera ditutupi oleh darah beku. Persembuhau berdasar penyatuan

luka sekunder ditandai dengan luka yang terbulta dan mengalarni kerusakan atau

hilangilya jaringan dalam jumlah besar. Selain itu, luka terinfeksi oleh bakteri,

banyak pembuluh darah yang terkoyak, serta dapat ditemui jaringan yang

mengalami nekrosis dan peradangan di daerah luka (Vegad 1995).

Fase Peradangan

Peradangan adalah suatu realtsi dari jaringan hidup yang dialiri darah

terhadap perlultaau lokal. Terjadinya peradangan pada suatu area lokal dapat

menyebabkan beberapa perubahan baik pada tingkat vascular maupun pada

tingkat selular. Perubahan yang terjadi pada tingltat vascular adalah perubahan

pada pembuluh darah, perubahan pada aliran darah, perubahan pada pergerakan

atau arus darah dalanl pelnbuluh, eksudasi plasma darah, emigrasi dari leukosit,

dan diapedesis dari eritrosit. Perubahan pada tingkat selular berupa peningkatan

aktivitas leukosit. Aktivitas leukosit ini merupakan suatu aktivitas yang

berkelanjutan dan terdiri dari inarginasi, adesi, emigrasi, fagositosis, dan

pelepasan produk-produk leukosit ke jaringan eltstraselular (Vegad 1995).

Sesaat setelah terjadi perlukaau, pembuluh darah mengala~ni

vasokonstriltsi yaug singkat. Icontraksi buluh darah ini segera diikuti oleh

vasodilatasi pada arteriol yang akan menyebabkan pembukaan mikrovaskular baru

seperti vena, arteriol kecil, dan pernbuluh kapiler (Vegad 1995). Dilatasi

pembuluh darah ini disebabkan oleh substansi kinlia yang disebut sebagai

mediator inflamasi. Kondisi ini mengakibatkan hiperemi dan peningkatan aliran

darah pada daerah yang meradang.

Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang segera diikuti

oleh melanlbatnya sirkulasi darah. Darah yang mengalir lambat dalam

mikrovaskular dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

tersebut. Dinding endotel menjadi permeable terhadap protein plasma dan

mengakibatkan protein plasma yang terdiri dari albumin, globulin, datl fibrinogen

keluar lte jaringan interstisial. Hal ini menyebabkan tekanan osnzotic intravasculav

lnenurun dan tekanan osnzotic cairan interstisial meningkat. Akibatnya, cairan

plasma darah keluar dari pembuluh dan terakunlulasi di jaringan interstisial.

Kondisi ini disebut sebagai udema peradangan ltarena pada saat ini luka akan

terlihat basah. Mediator lcimia seperti histamin dan bradikinin turut meinbantu

pelepasan cairan plasma darah dengan membuka hubungan antar sel endotel

(Vegad 1995). Hubungan antar sel endotel ini menjauh akibat efek inflamasi yang

menyebabkan kontraksi pada endotel. Pada fase peradangan, platelet alcan

teraktivasi untult membentuk benang-benang fibrin yang akan mengheniikan

hemoragi pada matriks ekstraselular akibat pembuluh darah yang terkoyak pada

saat perlukaan (Anonim 2003). Selain itu, sel mast juga menghasilkan heparin

yang ~nerupakan zat pengkoagulasi darah.

Darah dalam pembuluh dapat mengalami stasis dimana aliran darah sudah

terhambat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh meningkatnya pembuluh kapiler

baru yang dialiri darah pada daerah luka. Darah yang melewati pembuluh kapiler

ini berjalan dellgall sangat lambat, akibatnya darah yang bersirkulasi akan

terhambat. Selain itu, protein plasma yang telah keluar dari penlbuluh darah

menyebabkan peningkatan konsentrasi benda-henda darah dimana viskositas

darah akan meniilgkat dan aliramlya akan terhambat (Vegad 1995).

Pergerakan atau arus aliran darah dalanl pe~nbuluh membagi peinbuluh

lnenjadi dua zona. Pada bagian tengah lumen pembuluh, pergeraltan darah

ditunjang oleh suatu gaya sentripetal. Bagian ini disebut sebagai alirall aksial dan

terdiri dari elenlen-elemen seluler seperti eritrosit dan leukosit. Bagian eksternal

dari zona tersebut langsung terhubung dengan dinding endotel dan terdiri dari

plasma. Zona ini disebut aliran plasmatilc. Ketilta aliran darah melanlbat, leukosit

keluar dari zona aksial karena gaya sentripetal zona tersebut tergantikan oleh

suatu gaya sentrifugal (Vegad 1995). Leukosit akan mengalani marginasi dan

berdiam diri pada dinding endotel. Marginasi leulcosit ini semakin menghambat

aliral darah sehingga akan terjadi pembendungan, eritrosit yang tertumpuk akan

membentuk suatu susunan bentuk yang disebut rouleaux yang berukuran besar

serta lnendominasi area aksial pembuluh sehingga leukosit alcan terdorong ke

daerah perifer pembuluh darah.

Leukosit yang terakumulasi pada dinding endotel akan melalcukan

etnigrasi atau lceluar dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Leukosit keluar

dari pembuluh darah melalui celah antara dinding endotel. Sel darah merah juga

dapat keluar dari pembuluh darah, tidak seperti leukosit, eritrosit tidak melniliki

kelnampuan untuk bergerak sendiri dan pergerakan eritrosit tersebut berupa gerak

pasif akibat dorongan dari tekanan intravaskular yang menurun karena keluarnya

leulcosit dari pembuluh tersebut.

Terjadinya luka juga mengindulcsi pelepasan beberapa substansi kilnia

yang bertindak sebagai mediator dalam perubahan-perubaha~ yailg terjadi pada

sisteln vascular di daerah luka tersebut (Vegad 1995). Beriltut ini adalah beberapa

mediator inflamasi yang mempengarulli proses peradangan dan persembuhan

luka.

Histamin

Histamin merupakan salah satu mediator peradangan yang berfungsi

sebagai inedia pada proses dilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Senyawa ini tersinlpan

dalaln granul pada sel mast, basofil, dan platelet. Histamin menyebabkan

kontraksi pada dinding endotel dan menyebablcan melebarnya celah yalg

menghubungkan sel-sel endotel. Pelepasan senyawa ini (degranulasi sel mast)

dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti trauula atau dingin,

reaksi imunologik, suatu fraksi dari lcolnplen~e~~ yang disebut sebagai

anaphjdatoxins, dan adanya lzistanzine-releasing factor yang dilceluarkan oleh

neutrofil (Vegad 1995). Selain histainin, substansi yang bertindalc sebagai

mediator inflamasi lainnya adalah serotonin. Senyawa ini juga dihasilkan oleh sel

mast namun hanya terdapat pada tikus dan n~encit (Dellmann & Brown 1988;

Vegad 1995).

Enzim-enzim lisosom

Sel neutrofil dan monosit mengandung butir-butir lisosom yang akan

dilepaskan pada saat terjadi proses peradangan. Neutrofil memiliki dua macam

butir yang terbentuk dalam waktu yang tidak bersamaan pada sitoplasmanya.

Butir yang terbentuk lebih awal yaitu butir azurophil atau disebut juga butir

primer (Dellmann & Brown 1988). Butir primer ini memiliki kandungan senyawa

yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, memicu kemotaksis, dan

menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat (Banks 1993).

Faktor pengalctifasi platelet (Platelet Activating Factor-PAF)

Platelet akan mengalami agregasi da11 melepaslcan kandungannya jika

dipicu oleh faktor pengaktifasi ini. PAF memiliki petensi yang lebih hebat dari

histamin dalam ha1 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

darah (Vegad 1995). Faktor pengaktifasi platelet ini juga dapat menyebabkan

adesi sel leukosit pada dinding endotel dan proses kemotaksis. Selain platelet,

PAF ini juga dapat disekresi oleh sel-sel lain seperti basofil, neutrofil, monosit,

dan sel endotelial.

Sitokin

Sitokin dapat diproduksi oleh banyak sel, terutama oleh sel limfosit dan

mo~losit yang telah teralttivasi. Sitokin yang dihasilkan oleh sel limfosit diltenal

dengan llama limfolcin, sementara sitokin yang dibentulc oleh moilosit disebut

monokin. Tiga jenis sitokin yang memiliki peranan penting dalam proses

peradangan adalah interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan

interleukin-8 (IL-8) (Vegad 1995). Menurut Vegad, IL-1, TNF,dan IL-8 diselcresi

oleh makrofag yang teralttivasi dan dstimulasi oleh beberapa faltor, salah satunya

adalah perlukaan fisik. IL-1 dan TNF berfungsi dalam merangsang perlekatan atau

adesi sel-sel leukosit pada dinding endotel. TNF memiliki pengaruh yang sama

dengan IL-8 dala~n proses peradangan, yaitu menyebabkan agregasi dan alctivasi

dari neutrofil pada jaringall 1~1ka hanya saja IL-8 merupakan chen~onrtracta~~t dan

aktivator neutrofil yang lebih kuat. IL -8 juga menstiinulasi proses inigrasi dan

proliferasi keratinosit secara langsung (Engelhardt et a1 1998). Selain itu,

Engelhardt et a1 juga menyatakan bahwa IL-8 juga memiliki peran dalam

peningkatan angiogenesis di daerah luka.

Setelah leulcosit lceluar dari dinding endotel, sel-sel tersebut bergeralc

menuju jaringan yang terluka mengikuti suatu kekuatan yang merangsangnya

yang disebut kemotaksis. Ken~otalcsis dikatakan sebagai suatu migrasi yang

terarah dari sel-sel menuju suatu senyawa penarik atau attractant (Vegad 1995).

Leukosit bermigrasi pada jaringan ikat menuju daerah luka melalui suatu gradien

kimia. Menuut Kalangi 2004, terdapat molekul-molekul struktural pada matriks

ekstrasel yang kemungkcinan dapat mendorong migrasi melalui sel radang.

Molelcul-molelcul ini mendorng migrasi melalui penyediaan suatu substratum

(fibronektin dan kolagen) yang dapat menjadi pedoman kontak bagi sel radang

untukbergerak ke arah chemoattractant.

Proses pengambilan partikulat ke dalam sitoplasma oleh suatu sel disebut

sebagai proses fagositosis (Vegad 1995). Sel-sel leukosit yang telah tiba di daerah

luka akan segera membunuh dan menghancurkan material asing (bakteri) dan sel-

sel yang rusak dengan cara fagositosis. Fagositosis diawali dengan

pengidentifikasian sel leukosit terhadap materi yang akan difagosit.

Pengidentifikasian ini dimungkinlcan bila materi tersebut telah dilapisi ole11 suatu

faktor serum atau antibodi spesifik yang disebut sebagai opsonin dan proses ini

disebut sebagai opsonisasi (Vegad 1995). Setelah permukaan leukosit menempel

dengan partikel yang teropsonisasi, sitoplasma leukosit @seudopodia) akan

memanjang dan mengelilingi materi hingga membentuk vakuol atau rongga yang

mengelilingi materi dan disebut fagosom. Proses ini disebut engulfment atau

penelanan. Setelah ~natei terkurung dalam valc~~ol leukosit, ~naka terjadi proses

degradasi atau penghancuran materi tersebut dengan enzi~n hidrolitik pada organel

lisosom sel leukosit. Fagososm dengan materi di dalamnya yang sudah terpapar

dengan lisosom disebut fagolisosom.

Proses peradangan mencalup perelautan sel-sel radang dari pembuluh

darah menuju jaringan lulca. Kedatangan sel-sel ini ke daerah luka atas pengaruh

beberapa mediator peradangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sel-sel yang

menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah neutrofil, makrofag, dan limfosit.

Neutrofil

Neutrofil adalah sel leukosit yang berdiameter antara 10 sampai 12 pm,

memiliki butir halus, dan ini bergelambir (Dellmann & Brown 1988). Sel ini juga

disebut dengan le~kosit polimorfonuklear atau sel granulosit. Butir-butir granul

yang terdapat pada sitoplasma neutrofil adalah lisosom yang mengandung enzim

yaug memungkinkan neutrofil untuk mengha~curkan bakteri melalui proses

fagositosis (Vegad 1995). Neutrofil merupakan leukosit yang tiba paling awal di

lokasi terjadinya peradai~gan. Oleh karena itu disebut sebagai pertahanan selular

pertama. Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa llelcrosa sel inang).

neutrofil akan segera mati.

Makro fag

Makrofag yang berada di jaringan berasal dari sel monosit darah yang

bermigrasi ke jaringall illtat (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Jumlah sel

monosit darah pada me~lcit berkisar antara 1-12 % dari total leukosit (Smith &

Mangkoewidjojo 1988). Namun, apabila terjadi peradangal, jumlah monosit yang

bermigrasi ke jaringan ikat menjadi berlipat-lipat dan maluofag yang telah ada di

jaringan ikat alean teraktivasi. Makrofag ini mulai bermunculan setelah neutrofil

menyelesailcan tugasnya untuk memfagosit partilcel asing. Faktor yang

meinpengaruhi kemunculan makrofag antara lain adalah suatu chen~oattractnnt

yaitu monocyte chemoattractant protein-l (MCP) d a ~ macrophage initiating

protein-la atau MIP-la (Engelhardt 1998). Seperti neutrofil, makrofag adalah sel

yang efelctif untulc proses fagositosis. Makrofag mencerna dan memfagosit

organisme patogen dan debris jaringan termasuk sel-sel neutrofil yang tidalc

berguna lagi (Kalangi 2004). Untuk memungkinlcan fungsi tersebut, sel makrofag

dilengkapi dengan kandungan enzim-enzim hidrolitik dalarn jumlah sangat besar

dimana enzim-enzim tersebut dapat mendegradasi beragan jenis material secara

berula~~g-ulang (Vegad 1995). Selain memfagosit, makrofag yang aktif juga

melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan

proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaslcan inalcrofag yaitu :

Plasma protein, terdiri dari protein komplemen dalam proses fagositosis dan

protein pengkoagulasi

Mediator lipida sepel-ti hasil metabolisme asam aralcidonat (leultotrien dan

prostaglandin) serta Platelet Activating Factor (PAF)

Faktor-faktor kemotaktik

Sitokin, seperti interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan

interleukin-8 (IL-8)

Faktor-faktor pertumbuhan seperti platelet-derived growth j21ctor (PDGF),

fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan

transforming growth factor-P (TGF-P). Faktor-faktor ini mempengaruhi

proliferasi fibroblast dan pembuluh darah.

Limfosit

Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan

hanya memiliki kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka,

peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-

sel radang lainnya. Beberapa limfokin yang dihasilkan adalah MAF atau

macrophage aggregatingfrrctor, d m MCF atau nzacrophage chemolactic facfor.

(Banks 1993). MAF merangsang agregasi dari maluofag, sedangkan MCF

berfungsi sebagai chemoattractant bagi makrofag.

Fase proliferasi

Fase proliferasi meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel

endotel, dan sel-sel fibroblast. Fibroblast, sel-sel radang, dan pembuluh darah baru

memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat

berwarna merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses

reepitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan

luka. Lapisan hemidesmosom ailtara epidermis dengan membran dasar akan

menipis dan memungkinkan sel epitel yang telah aktif untuk bermigrasi ke

jaringan luka dan mengeluarkan sitolcin seperti IL-1, TNF, TGF-a, dan TGF-P

(Anonim 2003). Untuk memfasilitasi migrasinya pada jaringan ikat, sel epitel

mengeluarltan enzini kolagenase (Singer & Clark 1999).

Sel-sel endotel berproliferasi mulai dari ujung pembuluh yang terkoyak

hingga terbentuk suatu pembuluh kapiler baru (Banks 1993). Pembentukan

pembuluh darah baru tersebut dapat berupa pemanjangan maupun percabangan

dari pembuluh darah induk menjadi pembuluh darah kecil (kapiler). Proses ini

dikenal dengan istilah angiogenesis. Pembentultan suatu peinbuluh darah baru

memerlukan degradasi enzimatik dari membran dasar pembuluh induk agar

pembentukan cabang pembuluh anak dapat terjadi. Selain itu, juga terjadi migrasi,

proliferasi, serta pematangan sel-sel endotel untuk membentuk suatu pembuluh

kapiler baru (Vegad 1995). Setelah terbentuk, kapiler-ltapiler bar^^ yang terbentnk

akan beranastomose sehiilgga altan terjadi perltembangan sirkulasi di daerah luka

(Kalangi 2004). Faktor yang mempengaruhi angiogenesis ini antara lainfibroblast

growth factor (FGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang

dihasilkan oleh makrofag. Dalam ha1 ini, FGF lebih banyak berperan daripada

VEGF, yaitu dengan menginduksi sekresi proteinase ole11 sel endotel untuk

inendegradasi membran dasar serta memicu migrasi dan proliferasi endotel

(Vegad 1995).

Fibroblast bermigrasi lte daerah luka dan be~proliferasi. Prolifersai

fibroblast ini dipicu ole11 beberapa faktor pertumbuhan (growth firctor) seperti,

plcrtelet-derived growth factor (PDGF), epidernzal growth factor (EGF),fibroblast

qowth factor (FGF), dan kansforming growth factor-p (TGF-P), serta sitokin

fibrogenik yang dihasilkan oleh makrofag (Vegad 1995; Anoniln 2003). Sel

fibroblast secara aktif mensintesis proteogliltan dan ltolagen. Fibroblast

berproliferasi membentuk matriks ekstraseluler yang mengandung lnyofilamel~

dan disebut myofibroblast dimana matrilts ini akan bennigrasi ke area luka dan

berltontraksi untuk mengmangi ukuran luka hingga daerah luka altan tertutup

(Anonim 2003).

Fase pematangan

Fase ini ditandai dengan berkurangnya jumlah fibroblast secara berkala

dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh kapiler. Serabut kolagen mengalmi

pertalnbahan jumlah dan menyusun diri sepanjang garis lebar luka. Secara

berangsur-angsur, luka meningltatkan lcelcuata~l integritasnya terhadap tekanan.

Pada fase ini matriks eltstraseluler sementara yang telah terbentuk pada fase

sebelumnya digantiltan oleh matriks kolagen dermis (Anonim 2003). Fase ini

dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahuli.

Falttor-falttor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka

Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu nutrisi, ltadar

vitamin C, mineral zinc (Zn) dan glukokortikosteroid dalam tubuh, usia, partikel

iritan lokal, kurangnya suplai darah, keberadaan benda asing dan faktor-faktor

nleltanis (Vegad 1995). Nutrisi yang tidak seimbang terutama kurangnya

konsumsi protein (asam amino) dapat menyebabltan keltuatan regangan jaringan

iltat akan melemah. Sel-sel fibroblast yang terbentuk hanya sediltit dan sintesis

serabut kolagen akan terhambat. Kekurangan vitamin C akan mengakibatkan

serabut kolagen yang disintesis oleh fibroblast menjadi lebih sedikit dan

mengalami penurunan ltualitas. Zinc adalah mineral yang diperiultan untuk

inetabolisme beberapa enzim yang penting untuk persembuhan luka. Pada

individu yang kekurangan zinc, persembuhan luka akan memakan waktu lebih

lama. Persembuhan luka pada individu yang berusia tua akan memakan waktu

lebih lama jilta dibandingltan dengan individu yang masih muda. Hal ini terkait

dengan suplai darah individu muda yang lebih bailt dan adanya ltemungkinan

penyakit seperti aterosltlerosis pada individu tua. Glul~olcortiltosteroid memiliki

pengaruh pada proses inflamasi dan fibroplasia. Keberadaannya dalam jumlah

besar dapat menginduksi perubahan kimia pada matriks substansi dasar jaringan

iltat. Keberadaannya di jaringan dapat mengurangi produksi kolagen dan

pembentultan neokapiler. Infiltrasi bakteri, debri-debri dari sel yang nekrosis.

nanah dan benda asing dapat menyebabkan infeksi jaringan dan penundaan

persembuhan luka. Kurangnya suplai darah jaringan dapat dipengaruhi oleh

adanya gangguan dalam sistem sirkulasi seperti adanya penyakit pada pembuluh

arteri.