gambaran darah mencit (mus musculus albinus) pada proses ... · kunyit adalah tanaman yang...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah dan Botani Kunyit
Kunyit merupakan tanaman obat yang bersifat tahunan (perenial) yang
tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar di sekitar
hutan atau bekas kebun. Kunyit merupakan tumbuhan semak yang tumbuh
berumpun-rumpun, mempunyai susunan tubuh yang terdiri dari akar, batang
semu, rimpang, terdiri dari kumpulan ltelopak atau pelepah daun yang berpautan,
daun tangkai bunga, dan kuntum bunga (Rukrnana 1994). Tumbuhan ini tidak
berbulu, batangilya pendelc, bunganya putih pucat dan kuning, daunnya
berjumbai, mempunyai daun pelindung berwarila putih bergaris hijau dan
diujuilgnya merah jambu, sedangkan yang terletalc di bagian bawah berwarna
hijau muda, serta pelepah daunnya menlbentuk batang semu (Purseglove et al.
1981).
Kunyit dikenal sebagai Curcunza loizgga Linn, karena naina tersebut sudah
dipakai untuk jenis rempah-rempah lainnya, inaka tahun 1918 diganti menjadi
Curczrma donzestica oleh Valantin (Purseglove et al. 1981). Kata curcuma berasal
dari bahasa Arab yaitu kz~rkz~m dan bahasa Yunani kaalkoin. Pada tahun 77-78 SM,
Dioscarides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus yang menyerupai jahe, tetapi
pahit, kelat, sedikit pedas dan tidalc beracun. Tananan ini banyak dibudidayakan
di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia
khususnya Jawa (Darwis et al. 1991). Tanaman kunyit termasuk kingdom
Plantae, divisi Spealinatoplyta, sub divisi Angiosperi1zae, kelas Monoco@ledonae,
ordo Zingiberales, falnili Zingiberaceae, genus Cz~rcunza, spesies Curcunza
doi~zestica Valet (Rukmana 1994).
Sifat Fisifc dan I<imia ICunyit
Kunyit adalah tanaman yang tingginya mencapai 1 in dan bunganya
muncul dari pucuk batang semu dengan panjang 10-1 5 cm dan berwarna putih dan
bisa ditanam sepanjang tallun (Tllon~as 1989). Turnbullan kunyit (Cui~cunza
donzestica) dan rimpang kunyit dapat dilihat pada Galnbar 1.
Gambar 1. Tanaman dan Rimpang kunyit (Sumber: h@://www..sadaJcom/images/turmeric.gz~
Kunyit merupakan jenis temu-temuan yang mengandung senyawa aktif
diantaranya minyak atsiri dan kurkuminoid. Mimyak atsiri tersebut mengandung
senyawa-senyawa k i i i a seskuiterpen alkohol, tumeron dan zingiberen sedangkan
kurktunimoid mengandung senyawa kurkumii dan turunannya berwarna b i g
yang meliputi desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Di samping itu
rimpang kunyit juga mengandung pati atau amilum, gom dan getah, sedangkan
yang memberikan aroma harum dan rasa khas pada umbinya adalah minyak atsiri
(Thomas 1989). Komposisi kimia kunyit dapat diliiat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi K i i a Kunyit
Komponen Jumlah (%)
Kadar air 6.0
Protein 8.0
Karbohidrat 63.0
Serat kasar 7.0
Bahan mineral 6.8
Mmyak volatil 3.0
Kurkumin 3.0
Bahan non volatil 9.0
Sumber : Natarajan dan Lewis (1980)
Peranan Rirnpang Kunyit
Bagian kunyit yang sering dimanfaatkan adalah rimpangnya, untuk
antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing,
obat salcit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo, memar dan
rematik. Kurltuminoid pada kunyit berkhasiat sebagai antihepatotoksik,
anthelmintik, antiedemik, analgesik. Zat aktif lain dari kunyit yaitu lturkumin
dapat berfuilgsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan. Kurkumin juga berkhasiat
mematikan kuman dan menghilangkan rasa kelnbung karena dinding empedu
dirangsang lebih giat untuk mengeluarkan cairan pemecah lemak. Millyak atsiri
pada kuilyit dapat bermanfaat untuk mengurangi gerakan usus yang kuat sehingga
manlpu meugobati diare. Selain itu, juga bisa digunakan ultuk ~neredakatl batuk
dan autikejang (Sumiati dan Adnyana 2004).
Salep yang dibuat dari campuran lcutlyit dellgall nmillyak kelapa banyak
digunakan untuk menyembuhkan kaki bengkak dan untuk mengeluarkan cairan
penyebab bengkak. Salep dari kunyit detlgan asam kawak juga digunakan untuk
pengobatail kaki luka. Kunyit yang diremas-remas dengan biji ceugkeh dan melati
digutlakail u~ltulc obat radang hati, dan penyakit kulit. Sementara akar kunyit yang
diremas-remas dapat digunalcan sebagai obat luar peuyakit bengkak dan reunatik
(Sumiati dan Adilyaila 2004).
Beherapa penelitian secara in vitro dan in vivo meuunjukan bahwa kunyit
mempunyai aktivitas sebagai antiinflarnasi (anti peradangan), aktivitas terhadap
peptic tllcel; antitoksik, antihiperlipiden~ia, dan aktivitas anti kailker. Pada tikus,
jus lcunyit atau serbulc yang diberikail secara oral tidak menghasilkan efek
a~~tiinflamasi (anti peradangan), hanya injeksi iiltraperitoneal (Ice organ dalain
perut) yang efektif. Ekstrak kurkumin juga dapat mencegah kerusakan hati pada
tikus, mencegah hepatoksisitas dan kerusakan sel, menuruilkaii semua komposisi
lipid (trigliserida, fosfolipida dail kolestrol) dall mencegah lcanker usus (Sumiati
dan Adnyana 2004).
Zat Alctif Rimpang Kunyit
Alkaloid Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang bersifat basa (Anonim
2008a). Menurut Hidayat (2008) alkaloid merupalcail seilyawa basa nitrogen asal
tumbuhan yang bersifat fisiologi altif. Alkaloid hagi tumbuhan b e r h g s i sebagai
senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga dan herbivora, produk
akllir reaksi detoksifikasi senyawa-senyawa yang berbahaya bagi tumbuhan,
reg~~lator faktor peitumbuhan dan sebagai senyawa cadangan untuk sumber
nitrogen atau elemen lain yang berguna bagi tumbuhan.
Allcaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai
kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang
pengobatan (Harborne 1987). Alkaloid berfungsi sebagai anti de~nam (anti
piretikum), anti cacing (anthelmintikum), obat atau zat pemulih (analeptiltum):
anti parasit (anti plasmodium), anti radang (antiinflamasi), anti batuk (antitusif),
insektisida, narkotikum, merangsang sistem saraf pusat (stimulansia), memacu
keluarnya keriugat (diaphoretic), merangsang muntah (emetikum), dan
merangsang keluarnya urin (Anonim 2008a).
Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang larut dala~n air. Flavonoid
~nengandung siste~n aro~natik yang terkonjugasi, umulnnya terdapat pada
turnbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Se~nua
flavonoid inenurut strukturnya merupakan turunan senyawa iuduk flavon yang
berupa tepung putih dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang salna
(Harborne 1987).
Flavonoid berfungsi menurunltan permeabilitas kapiler sehingga
perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusaltan ltapiler dapat
diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Flavonoid bekerja dengall membentuk sumbat
tro~nbosit dan ~neinperbaiki endotel vaskuler sehingga dapat ~nenutup robekan
ltecil pada pembuluh darall (Evans 1989).
Polifenol dan Tanin
Polifenol ~nerupakan kelonlpok bahan kilnia yang ditemukan pada
tananan yang ~nemililti karakteristilt mengandung lebih dari satu kelompok fen01
per molekul. Secara umum sub divisi polifenol terdiri atas tanin dan
phenylpropanoid seperti lignin dan flavanoid (Hollmann 2005).
Tanin pada tumbuhan sub divisi angiospermae terdapat khusus dalam
jaringall kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein
membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin
adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah lculit hewan
yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung-silang
protein. Salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak
hewan pemalcan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987).
Saponin
Saponin adalah deterjen alami yang ditemukan pada banyak tanaman yang
memiliki bahan surfaktan karena mengandung lemak dan air yang mudah larut.
Komponen strulctur saponin terdiri dari gula-gula hexose dengan sejumlah atom
karbon, hidrogen dan oksigen. Keberadaan saponin dapat dicirikan dengan rasa
yang pahit, pe~nbentuk busa yang stabil pada larutan cair (busa berbentuk sarang
lebah pada air) dan mampu membentuk lnolekul dengan kolestrol (Cheeke 1999).
Selain itu, saponin juga mempunyai kemampuan membunuh kulnan (Anonim
2008b).
Icuinon
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempuyai kromofor dasx seperti
lcromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus 1cal"oonil yang
berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Warna pigmen kuinon di
slam beragam, mulai dari kuning pucat sampai hampir hitanl, dan struktur yang
telah dikenal jumlahnya lebih dari 450. Untuk tujuan identifikasi kuinon dapat
dibagi menjadi enlpat kelompok: benzokuinon, naftolcuinon, antraltuinon, dan
kuinon isoprenoid. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida h u t sedikit
dalaln air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalan leinak dan akan
terekstraksi dari ekstrak tumnbuhan kasar bersama-sama dengan karotenoid dan
ltlorofil (Harborne 1987). Senyawa kuinon mempunyai kemampuan sebagai
antibiotik dan penghilang rasa sakit seita merangsang pertumbuhan sel baru pada
lculit (Anonin1 2008b).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan kandungan aktif dari simplisia menggunakan
cairan penyaring yang cocok. Metode ekstraksi antara lain perendaman
(nzaserasi), perkolnsi, digesti, infusi dan dekoksi. Hal-ha1 yang harus diperhatikan
dala~n proses ekstraksi adalah jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat
kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan dan perhitungan dosis pemakaian
(Wientarsih dan Prasetyo 2006).
Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan jamu yang
dihaluskan sesuai dengan syarat Farmakope Indonesia (biasanya terpotong-potong
atau diserbuk-kasarlca~~), disatukan dengan bahan ekstraksi. Deposisi tersebut
disimpal dan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dilcatalisis
cahaya ataupun perubahan warna) kemudian dikocok kembali. Waktu maserasi
adalah berbeda-beda, setiap Farmakope mencantumkan 4-10 hari dengan
dilaltultan pengocokan secara berulang (kira-kira tiga kali sehari). Melalui usaha
ini dijamin suatu keseilnbangan konsentrasi bahan ekstralcsi yang lebih cepat lte
dalam cairan (DepKes RI 1995). Keadaan dia~n selama maserasi menyebabkan
turunnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan simplisia
terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight 1994).
Cara ekstraksi yang tepat secara alarni tergantung pada telcstur dan
kandungan air bahan tumbuhan yang dieltstraksi dan pada jenis senyawa yang
diisolasi (Harbome 1987). Ekstraksi juga sangat bergantung pada jenis d a l
komposisi dari cairan pengeltstraksi. Untuk memperoleh sediaan obat yang cocok
umumnya berlalcu canpuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight
1994).
Salep
Salep merupakan sediaan setengah padat yang digunakan sebagai obat luar
pada membran mukosa/lculit. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen
dalam dasar salep yang cocok. Fungsi salep antara lain sebagai sutbstansi obat
untulc pengobatan lalit (pembawa), pelunlas pada lalit, mencegah kontak
permulcaan kulit dengan rangsangan dari luar (Wientarsih dan Prasetyo 2006).
Syarat-syarat dasar salep antara lain harus stabil secara fisik maupun
kimia, warna dan bau harus stabil selama penyimpanan da11 pemakaian, dapat
dicampurlcan dengan semua obat, halus dan licin sehingga mudah dioleskan pada
kulit, daya kerjanya sama baik untuk kulit kering maupun berlemak, tidak
mengiritasi kulit, tidak mudah tengik, dan mudah dipakai atau dioleskan
(Wientarsih dan Prasetyo 2006).
Voight (1994) ~nenjelaskan bahwa salep yang mengandung cairan dalain
jumlah besar harus dilindungi terhadap pengenceran cairan jika wadah tidak
terjanlin kerapata~mya. Ini dilakukan dengan menutup menggunakan folia logam
atau plastik atau bahan lain yang cocok. Menurut Ansel (1989) salep biasanya
dikemas, baik dalam botol atau dalan tube. Botol dapat dibuat dari gelas tidak
berwarna, warna hijau, biru atau burain dan porselen putih. Botol plastik juga
dapat digunakan. Wadah dari gelas buam dan berwarna berguna untulc salep yang
mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Kebanyakan salep harus disimpan
pada temperatur di bawah 30°C untuk mencegah pelembekan dan cairnya salep.
Preparat setengah padat seperti salep, sering memerlukan penambahan pengawet
kimia sebagai anti miluoba, pada for~nulasi untuk mencegah pertumbuhan
miluoorganisme yang mengkontaminasi.
Salep dibuat dengan dua ~netode umum yaitu: pencampuran dan
peleburan, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Metode untuk pembuatan
tertentu, teruta~na tergantung pada sifat-sifat bahannya. Dalan metode
pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama sampai diperoleh
sediaan yang rata (Ansel 1989).
Mencit (Mus I I I L I S C I ~ ~ U S )
Hewan yang akan digunakau pada penelitian ini adalah ~nencit
laboratoriuin Mus nzusculzrs (Gambar 2). Klasifikasi mencit laboratoriuin me~n~rut
Arrington (1972) adalah sebagai berikut ;
Kingdom : Animalia
Filunl : Chordata
Kelas : Ma~nmalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Mencit sering digunakan sebagai hewan model dalam berbagai kegiatan
penelitan. Hewan ini mudah didapat, mudah dikembangbiakkan dan harganya
relatif murah, ukurannya kecil sehingga mudah ditangani, jumlah anak
perperanakannya banyak. Sebagaimana makhluk hidup lainnya selama
pertumbuhan dan perkembangannya mencit tidak dapat lepas dari pengaruh
berbagai faktor lingkungan hidupnya. Mencit laboratorium adalah hewan yang
semarga dengan mencit liar atau mencit nunah/domestic. Semua galur mencit
laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah
melalui peteniakan selektif. Mencit diielompokkan dalam order rodentia karena
memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti pahat dan dapat menajam
dengan sendirinya. Genus Mus memiliki empat bentuk morfotipe yang sudah
dikenal sebagai spesies tertentu yaitu Mus musculus, Mus domesticus, Mus
castaneus, dan Mus bactrianus, maupun sebagai sub spesies dari MIIS musculus
yaitu Mus n~usculus dometicus Perm 1999).
Mencit laboratorium mempunyai berat badan yang hampir sama dengan
mencit liar. Saat ini terdapat berbagai warna bulu, galur, dan berat badan yang
berbeda-beda setelah diternakkan secara selektif selama 80 tahun yang lalu (Smith
& Mangkoewidjojo 1988). Banyak strain berbeda dari mencit laboratorium yang
telah dikembangkan oleh ahli genetik. Beberapa strain seperti Swiss Webster
dikembangkan secara outbreed, sementara beberapa strain lain seperti DDY,
Balblc, DBA, dan 36 diiembangkan secara inbred dengan geu-gen yang
homozigot (Penn 1999).
Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut
cahaya dan aktif pada malam hari. Mencit yang dipelihara sendiri, makannya lebih
sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam
satu kandang, dan kadang-kadang mempunyai sifat kanibal (Penn 1999).
Mencit memiliki lama hidup sekitar satu hingga dua tahun, baldcan
beberapa bisa mencapai usia tiga tahun dengan lama produksi ekonomisnya
adalah sembilan bulan. Mencit mencapai usia dewasa pada 35 hari dimana setelah
usia delapan minggu sudah dapat dikawinkan. Lama kebuntingal mencit adalah
19-21 hari dengall jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan dewasa
adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram. Mencit laboratorium
dapat dilcandangkan pada kotak sebesar kotak sepatu yang dapat terbuat dari
berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau polikarbonat),
aluminium, atau baja tahan karat (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Selanjutnya
data dasar fisiologis mencit dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Data dasar fisiologis pada mencit.
Karakteristik Nilai Berat Dewasa
Jantan 20-40 gr Betina 18-35 gr
Berat lahir 1.0-1.5 gr Masa kebuntinga~~ 18-2 1 hr Mata membuka 12-13 hr Masa hidup 1-2 th Suhu tubuh 37.4 O C
Konsumsi pakan 4-5 grI100 gr BBIhr Konsumsi air 4-7 m1/100 gr BBIhr Kardiovaskuler
Frekuensi jantung Rataan 600 detaklrnnt Kisaran 328-780 detaklmnt
Rataan sistole 1 13 mmHg Rataau diastole 81 mmHg
Frekuensi pernapasan Rataan 163 Imnt Kisaran 84-230 /mnt
Hemoglobin Rataa~l 14.8 gr% Kisara~~ 10-19 gr%
Hematokrit 41.5 % Eritrosit
Rataan 9.3 x 10'lpL Kisaran 7.7-12.5 x lo6 I ~ L
Leukosit Rataan 8 x lo3 IpL Kisaran 4-12x 1 0 ~ 1 ~ ~
Sumber: Arrington (1972)
Darah
Darah merupakan media cair yang terdiri dari komponen selular yaitu sel-
sel darah dan komponen cairan yang kaya akan protein yaitu plasma darah
(Schalm et al. 1975). Menurut Stainer dan Forsling (1990) kandungan cairan
tubuh pada hewan veitebrata sekitar 65% dari total bobot badannya, yang dibagi
~nenjadi cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Pada hewan yang ineiniliki
siste~n vaskuler tei-tutup, seluruh cairan tubuh didistribusikau di antara dua
kompai-temen cairan tersebut. Cairan ekstraseluler terdiri dari cairan
ekstravaskuler dan cairan intravaskuler. Cairan ekstravaslculer terdiri dari cairan
interstisial yang inerupalcan tiga perempat cairan ekstraseluler dan cairan
intravaskuler yang terdiri dari plasma darah (Guyton dan Hall 1997). Cairan
ekstraseluler ini pada mamalia dewasa jumlahnya sekitar 45% dari jumlah total
cairan tubuh dan sisanya 55% adalah intraseluler (Stainer dan Forsling 1990).
Menurut Ganong (1999) darab ~nerupakan cairan ekstraseluler yang berada
dala~n vaslculer (intravaskuler). Fungsi darah adalah menyuplai setiap sel dengan
air yang diperlulcan, oksigen, elektrolit, nutrisi, dan transpol-tasi horinon serta
menerima sisa buangan metabolisme untuk ditransport ke organ selwesi (Schalm
et al. 1975). Selain itu menurut Banlcs (1986) fungsi darah yang laiu adalah
sebagai alat pertahanan tubuh melalui sel-sel pertahanan dan inaterial penghalang
(ailtibodi, antitoksin, dll).
Darah pada hewan dengan sirkulasi tertutup terdiri atas sel-sel darah dan
cairan @lasina) yang mengisi sirkulasi dan yang mengalir dalam gerak teratur
tanpa arah yang didorong terutama lcontralcsi ritmik jantung (Junqueira d m
Carneiro 1980). Plasma darah ~nengandung zat-zat yang penting dalam proses
digesti (asam amino, glukosa, gliserol, d m asam lemak terbang), produk buangan
nitroge~l (urea, asain urat, 1u.eatinin) dari metabolisme, hormon, antibodi,
karbondioksida, garam anorganik, dan protein plasma seperti albumin, globulin,
dan fibrinogen (Van Tyne dan Berger 1975).
Menurut Rapaport (1987), sel-sel darah terdiri dari tiga macan yaitu sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (troinbosit). Jika
contoh darah dibiarkan atau disentrifuse, ~naka aka11 terjadi pemisahau mei~jadi
dua bagiail yaitu eleinen seluler yang terdiri dari eritrosit, leukosit, troinbosit, dan
kadang-kadang sel misterius dari Reticulo Endotelial System (RES) dan plasma
atau fraksi ekstraseluler yang mengandung air, elektrolit, glukosa, enzim, dan
hormon (Phillis 1976).
Perubahan fisiologis pada tubuh hewan merupalcan faktor yang dapat
me~npengaruhi ganlbaran darah. Perubahan fisiologis internal antara lain
pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, proses produlcsi darah,
siklus estrus, suhu tubuh, sedangkan perubahan fisiologis eksternal antara lain
infeksi kuman penyalcit, fralct~lra, perubahan suhu linglc~mgan, sanitasi dan
sebagainya (Banks 1986).
Eritrosit
Eritrosit merupakan sel yang tidak berinti dan bersifat non motil. Eritrosit
biasanya berbentulc bilconlcaf, bulat dengan bagian tengah yang pucat. Komposisi
eritrosit pada hewan dewasa terdiri dari 62-72% air, sisanya hampir 35% adalah
padatan, 95% dari padatan adalah hemoglobin dan sisanya 5% adalah protein
yang terdapat pada strolna dan membran sel, lipid, vitamin, glukosa, enzim dan
lain-lainnya (Swenson 1984).
Jumlah eritrosit pada mencit berkisar antara 7,7-12.5 jutalpl (Arrington
1972). Faktor yang dapat mempengaruhi jurnlah eritosit antara lain adalah rute
pengambilan darah sampel. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah
lconsentrasi hemoglobin, Packed Cell Volume (PCV), umur, jenis lcelamin,
kesehatan, olahraga, laktasi, kebuntingan, suhu, dan ketinggian (Swenson 1984).
Jangka hidup eritrosit pada beberapa hewan laboratoris kecil bel-turut-turut
sekitar 45-50,45-50, dan 20-30 hari pada kelinci, tikus, dan mencit. Pada keadaan
anemia defisiensi zat besi, dimana eritrosit menjadi berukuran kecil, mungkin
dapat diperkirakan bahwa jangka hidupnya diperpanjang karena sel yang lebih
muda memililci ukuran lebih besar dibandingkan sel tua. Sebaliknya, anemia tipe
mikrositik terjadi karena sel-sel darah muda yang tidalc dilepaskan ke dalam darah
yang bersirkulasi dalam jumlah yang cukup untuk menggantilcan sel-sel yang
telah mati (Swenson 1984).
Leul~osit
Leukosit atau sel darah putih merupakan unit yang aktif dari sistem
pertahanan tubuh (Guyton 1997). Leukosit memiliki jumlah yang jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan eritrosit yang bersirkulasi dalam tubuh, terdapat
enam jenis sel darah putih yang normal dalam darah yaitu neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit, limfosit, dan sel plasma. Limfosit dan monosit dibentuk di
jaringau limfatik dan limfonodus, tonsil, limpa, timus, dan mukosa usus.
Granulosit dibentuk di sumsum tulang. Janglca hidup dari leukosit belum
diketahui secara pasti, namun sekitar 3-12 hari untuk leukosit granular dan sedikit
lebih lama untuk limfosit (Williams 1987). Selain itu terdapat tron~bosit dalam
jumlah besar yang merupakan fragn~en jenis ke-7 dari sel darah putih yang
dite~nukan dalanl sumsum tulang, nzegnkariosit. Tiga jenis sel polimorfonuklear
me~niliki penanlpilan granular, oleh sebab itu merelta dinamakan granulosit, atau
dalam terminologi klinik sering dinamakan "polys" (Lichtman 1980).
Jumlah sel darah putih tertentu dapat nleningkat karena berbagai ha1
seperti pada infeksi bakteri, jumlah leukosit khususnya meningkat tajam,
sebaliknya pada infeksi viral jumlah neutrofil menurun tajanl (leukopenia).
Leukopenia dapat juga dite~nui bersa~na dengan endotoksin bakteri, septicenzia
dan toxenzia, sedangkan pada kasus tumor (neoplasma) yang nlelibatkan system
limpatik, jumlah limfosit dalam aliran darah meningkat dengan perubahan rasio
dari eritrosit dengan leukosit (Swenson 1984).
Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa
oksigen dala~n sel darah merah. Pembentukan hemoglobin di~nulai dari eritroblas
pada stadium retilculosit keinudian diteruskan samnpai sel eritrosit matang. Jika sel
darah mesa11 meninggalkan sumsuln tulang dan masuk ke aliran darah maka aka1
tetap melanjutkau pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau
sesudahnya (Schalm et al. 1975).
Hemoglobin terbentuk dari gabungan 2 komponen yaitu heme dan globin.
Heme mengandung protoporphin dan ion ~ e ~ + yang disintesis oleh mitokondria
(Schalm et al. 1975) dan dari beberapa penyelidikan dengan menggunaltan isotop
diketahui bahwa heme terutama disintesis dari asam asetat dan glisin yang
kebanyakan terjadi di mitolcondria (Guyton 1995). Kandungan zat besi yang
terlepas ketika hemoglobin mengalami kerusakan, akan segera menuju ke hati,
kemudian akan dipergunakan kembali untt~k pembentukan hemoglobin baru
(Ganong 2002). Globin adalah suatu peptida yang didapatkan dari pembentukan
hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma sel darah merah (Schalm et al. 1975).
Sifat dasar hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara
longgar dan reversibel dengan oksigen tetapi jika ada gangguan akan merubah
sifat-sifat fisik hemoglobin (Guyton 1995). Berat molekulnya 64.450 dalton yang
berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit. Hemoglobin inengiltat 0 2 untuk membentuk
oksihemoglobin, 0 2 menempel pada ~ e ~ + dalam heme. Afinitas hemoglobin
terhadap 0 2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3 difosfogliserat (2,3-
DPG) dalanl sel darah merah (Lorenz 1993). 2,3-DPG dan Hi berkompetisi
dengan 0 2 untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa oksigen (hemoglobin
terdeoksi), sehingga menuiunkan afinitas hemoglobin terhadap 0 2 dengan
menggeser 4 rantai peptida (Ganong 2002).
Faltor lain yang menyebabkan afinitas hemoglobin terhadap 0 2 rendah
adalah susunan asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida. Pada
henloglobin dewasa mempunyai bentulc rantai polipeptida a202 yang merupakan
komponen hemoglobin yang mempunyai afinitas 0 2 yang tinggi, akan tetapi
rantai polipeptida a ~ y 2 pada janin lebih tiuggi. Sedangkan pada embrio yang
mempunyai rantai <2c2 afinitas terhadap 0 2 rendah (Ganong 2002).
Hemoglobin terdapat kira-kira 95% dari berat kering RBC dewasa dail
variasi dalam rangkaian asanl amino pada globin untuk mernbedakan tipe
hemoglobin antara embrional, fetus dan dewasa (Banks 1986). Hemoglobin
dewasa normal adalah 90% hemoglobin A (Hgb A) yang terdiri dari 2 rantai
polipeptida yang disebut rantai n dan dan diberi kode ~ $ 2 (Guyton 1995).
Henloglobin embrio dilcenal deagan I~ernoglobin tipe E (Okabe et al. 1996).
Hemoglobin E mengandung polipeptida dengan rantai 5 dan rantai E, yang
membentulc globin gower 1 (12~2) dan globin gower 2 (~12~2). Sedanglcan
hemoglobin fetus dikenal dengan hemoglobin tipe F yang masih dapat terkandung
dalam darah hewan yang baru lahir dan me~niliki struktur yang mirip dengan
struktur hemoglobin A, kecuali bahwa rantai P-nya diganti dengan rantai y
sehingga hemoglobin F adalah azyz (Ganong 1999).
Hemoglobin mempunyai nilai yang berbeda pada berbagai tingkat
perturnbullan, perbedaan ini terdapat pada komposisi asam amino, kurva disosiasi
oksigen, dan kelarutan spektrum absorbsi ultraviolet. Jumlah hemoglobin pada
darah normal pada kebanyakan mamalia dewasa 13-15 g r d 1 0 0 ml (Guyton
1995).
IIematokrit
Hematokit atau Packed Cell Volunze (PCV) adalah presentase sel darah
merah di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PCV sebanding dengan jumlah
eritrosit dan kadar hemoglobin. Eritrosit berpengaruh terhadap viskositas darah
yaitu semakin ineinbesar persentasi sel darah ~nerah semakin banyak timbul
gesekan antar lapisan darah sehingga viskositas darah meningkat yang berakibat
pada derajat kesultaran aliran darah ymg melalui pembuluh darah kecil (Guyton
1995).
Pemeriltsaan total hematokrit tubuh di vena atau banyaknya hematokrit
pada pembuluh darah, menunjukkan bahwa limpa memainkan peran dalam
menlpengaruhi sirkulasi sel darah merah. Rasio total hematokit darah dengan
hematokrit vena lebih besar ketika limpa mengalami gangguan (Schalm et al.
1975). Darah dalam pembuluh darah yang kecil dalan tubuh secara nyata
menu~unkan nilai hematokrit dibandingkan dengan darah yang berasal dari
jantung atau pembuluh darah (Banks 1986).
Persembuhan Lulta
Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh yang sebisa mungkin
memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal
tubuh sebelumnya (Vegad 1995). Proses perse~llbuhan bukanlah suatu proses yang
sedel-hana inelainka~l suatu proses yang kompleks nanlun terintegrasi dan
sisteinatik (Engelhardt el al. 1998; Kalangi 2004). Proses biologis utalna dalam
perbaikan jaringan secara umunl meliputi tiga tahap utama yaitu proses
peradangan, pembelltukan jaringan grailulasi, dan pembentukan matriks serta
remodelilzg (Kalangi 2004). Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase
persembuhan lulta yang lebih dikenal dengan fase peradangan, fase proliferasi,
dan fase maturasi (Banks 1993).
Persembuhan luka dibagi meujadi dua macanl berdasarltan lteadaan lulta
yang terjadi, yaitu persembuhan berdasar penyatuan primer (prinzary union) dan
persembuhan berdasar penyatuan sekunder (secondary union). Suatu
persembuhan luka dapat digolongkan menjadi penyatuan luka primer apabila luka
tertutup, lnengaltibatkan hilangnya sejumlah kecil jaringan, lulta berupa suatu
garis insisi dengan scalpel yang steril, tidak disertai infeksi sekunder oleh bakteri,
dan celah luka segera ditutupi oleh darah beku. Persembuhau berdasar penyatuan
luka sekunder ditandai dengan luka yang terbulta dan mengalarni kerusakan atau
hilangilya jaringan dalam jumlah besar. Selain itu, luka terinfeksi oleh bakteri,
banyak pembuluh darah yang terkoyak, serta dapat ditemui jaringan yang
mengalami nekrosis dan peradangan di daerah luka (Vegad 1995).
Fase Peradangan
Peradangan adalah suatu realtsi dari jaringan hidup yang dialiri darah
terhadap perlultaau lokal. Terjadinya peradangan pada suatu area lokal dapat
menyebabkan beberapa perubahan baik pada tingkat vascular maupun pada
tingkat selular. Perubahan yang terjadi pada tingltat vascular adalah perubahan
pada pembuluh darah, perubahan pada aliran darah, perubahan pada pergerakan
atau arus darah dalanl pelnbuluh, eksudasi plasma darah, emigrasi dari leukosit,
dan diapedesis dari eritrosit. Perubahan pada tingkat selular berupa peningkatan
aktivitas leukosit. Aktivitas leukosit ini merupakan suatu aktivitas yang
berkelanjutan dan terdiri dari inarginasi, adesi, emigrasi, fagositosis, dan
pelepasan produk-produk leukosit ke jaringan eltstraselular (Vegad 1995).
Sesaat setelah terjadi perlukaau, pembuluh darah mengala~ni
vasokonstriltsi yaug singkat. Icontraksi buluh darah ini segera diikuti oleh
vasodilatasi pada arteriol yang akan menyebabkan pembukaan mikrovaskular baru
seperti vena, arteriol kecil, dan pernbuluh kapiler (Vegad 1995). Dilatasi
pembuluh darah ini disebabkan oleh substansi kinlia yang disebut sebagai
mediator inflamasi. Kondisi ini mengakibatkan hiperemi dan peningkatan aliran
darah pada daerah yang meradang.
Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang segera diikuti
oleh melanlbatnya sirkulasi darah. Darah yang mengalir lambat dalam
mikrovaskular dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
tersebut. Dinding endotel menjadi permeable terhadap protein plasma dan
mengakibatkan protein plasma yang terdiri dari albumin, globulin, datl fibrinogen
keluar lte jaringan interstisial. Hal ini menyebabkan tekanan osnzotic intravasculav
lnenurun dan tekanan osnzotic cairan interstisial meningkat. Akibatnya, cairan
plasma darah keluar dari pembuluh dan terakunlulasi di jaringan interstisial.
Kondisi ini disebut sebagai udema peradangan ltarena pada saat ini luka akan
terlihat basah. Mediator lcimia seperti histamin dan bradikinin turut meinbantu
pelepasan cairan plasma darah dengan membuka hubungan antar sel endotel
(Vegad 1995). Hubungan antar sel endotel ini menjauh akibat efek inflamasi yang
menyebabkan kontraksi pada endotel. Pada fase peradangan, platelet alcan
teraktivasi untult membentuk benang-benang fibrin yang akan mengheniikan
hemoragi pada matriks ekstraselular akibat pembuluh darah yang terkoyak pada
saat perlukaan (Anonim 2003). Selain itu, sel mast juga menghasilkan heparin
yang ~nerupakan zat pengkoagulasi darah.
Darah dalam pembuluh dapat mengalami stasis dimana aliran darah sudah
terhambat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh meningkatnya pembuluh kapiler
baru yang dialiri darah pada daerah luka. Darah yang melewati pembuluh kapiler
ini berjalan dellgall sangat lambat, akibatnya darah yang bersirkulasi akan
terhambat. Selain itu, protein plasma yang telah keluar dari penlbuluh darah
menyebabkan peningkatan konsentrasi benda-henda darah dimana viskositas
darah akan meniilgkat dan aliramlya akan terhambat (Vegad 1995).
Pergerakan atau arus aliran darah dalanl pe~nbuluh membagi peinbuluh
lnenjadi dua zona. Pada bagian tengah lumen pembuluh, pergeraltan darah
ditunjang oleh suatu gaya sentripetal. Bagian ini disebut sebagai alirall aksial dan
terdiri dari elenlen-elemen seluler seperti eritrosit dan leukosit. Bagian eksternal
dari zona tersebut langsung terhubung dengan dinding endotel dan terdiri dari
plasma. Zona ini disebut aliran plasmatilc. Ketilta aliran darah melanlbat, leukosit
keluar dari zona aksial karena gaya sentripetal zona tersebut tergantikan oleh
suatu gaya sentrifugal (Vegad 1995). Leukosit akan mengalani marginasi dan
berdiam diri pada dinding endotel. Marginasi leulcosit ini semakin menghambat
aliral darah sehingga akan terjadi pembendungan, eritrosit yang tertumpuk akan
membentuk suatu susunan bentuk yang disebut rouleaux yang berukuran besar
serta lnendominasi area aksial pembuluh sehingga leukosit alcan terdorong ke
daerah perifer pembuluh darah.
Leukosit yang terakumulasi pada dinding endotel akan melalcukan
etnigrasi atau lceluar dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Leukosit keluar
dari pembuluh darah melalui celah antara dinding endotel. Sel darah merah juga
dapat keluar dari pembuluh darah, tidak seperti leukosit, eritrosit tidak melniliki
kelnampuan untuk bergerak sendiri dan pergerakan eritrosit tersebut berupa gerak
pasif akibat dorongan dari tekanan intravaskular yang menurun karena keluarnya
leulcosit dari pembuluh tersebut.
Terjadinya luka juga mengindulcsi pelepasan beberapa substansi kilnia
yang bertindak sebagai mediator dalam perubahan-perubaha~ yailg terjadi pada
sisteln vascular di daerah luka tersebut (Vegad 1995). Beriltut ini adalah beberapa
mediator inflamasi yang mempengarulli proses peradangan dan persembuhan
luka.
Histamin
Histamin merupakan salah satu mediator peradangan yang berfungsi
sebagai inedia pada proses dilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Senyawa ini tersinlpan
dalaln granul pada sel mast, basofil, dan platelet. Histamin menyebabkan
kontraksi pada dinding endotel dan menyebablcan melebarnya celah yalg
menghubungkan sel-sel endotel. Pelepasan senyawa ini (degranulasi sel mast)
dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti trauula atau dingin,
reaksi imunologik, suatu fraksi dari lcolnplen~e~~ yang disebut sebagai
anaphjdatoxins, dan adanya lzistanzine-releasing factor yang dilceluarkan oleh
neutrofil (Vegad 1995). Selain histainin, substansi yang bertindalc sebagai
mediator inflamasi lainnya adalah serotonin. Senyawa ini juga dihasilkan oleh sel
mast namun hanya terdapat pada tikus dan n~encit (Dellmann & Brown 1988;
Vegad 1995).
Enzim-enzim lisosom
Sel neutrofil dan monosit mengandung butir-butir lisosom yang akan
dilepaskan pada saat terjadi proses peradangan. Neutrofil memiliki dua macam
butir yang terbentuk dalam waktu yang tidak bersamaan pada sitoplasmanya.
Butir yang terbentuk lebih awal yaitu butir azurophil atau disebut juga butir
primer (Dellmann & Brown 1988). Butir primer ini memiliki kandungan senyawa
yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, memicu kemotaksis, dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat (Banks 1993).
Faktor pengalctifasi platelet (Platelet Activating Factor-PAF)
Platelet akan mengalami agregasi da11 melepaslcan kandungannya jika
dipicu oleh faktor pengaktifasi ini. PAF memiliki petensi yang lebih hebat dari
histamin dalam ha1 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah (Vegad 1995). Faktor pengaktifasi platelet ini juga dapat menyebabkan
adesi sel leukosit pada dinding endotel dan proses kemotaksis. Selain platelet,
PAF ini juga dapat disekresi oleh sel-sel lain seperti basofil, neutrofil, monosit,
dan sel endotelial.
Sitokin
Sitokin dapat diproduksi oleh banyak sel, terutama oleh sel limfosit dan
mo~losit yang telah teralttivasi. Sitokin yang dihasilkan oleh sel limfosit diltenal
dengan llama limfolcin, sementara sitokin yang dibentulc oleh moilosit disebut
monokin. Tiga jenis sitokin yang memiliki peranan penting dalam proses
peradangan adalah interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan
interleukin-8 (IL-8) (Vegad 1995). Menurut Vegad, IL-1, TNF,dan IL-8 diselcresi
oleh makrofag yang teralttivasi dan dstimulasi oleh beberapa faltor, salah satunya
adalah perlukaan fisik. IL-1 dan TNF berfungsi dalam merangsang perlekatan atau
adesi sel-sel leukosit pada dinding endotel. TNF memiliki pengaruh yang sama
dengan IL-8 dala~n proses peradangan, yaitu menyebabkan agregasi dan alctivasi
dari neutrofil pada jaringall 1~1ka hanya saja IL-8 merupakan chen~onrtracta~~t dan
aktivator neutrofil yang lebih kuat. IL -8 juga menstiinulasi proses inigrasi dan
proliferasi keratinosit secara langsung (Engelhardt et a1 1998). Selain itu,
Engelhardt et a1 juga menyatakan bahwa IL-8 juga memiliki peran dalam
peningkatan angiogenesis di daerah luka.
Setelah leulcosit lceluar dari dinding endotel, sel-sel tersebut bergeralc
menuju jaringan yang terluka mengikuti suatu kekuatan yang merangsangnya
yang disebut kemotaksis. Ken~otalcsis dikatakan sebagai suatu migrasi yang
terarah dari sel-sel menuju suatu senyawa penarik atau attractant (Vegad 1995).
Leukosit bermigrasi pada jaringan ikat menuju daerah luka melalui suatu gradien
kimia. Menuut Kalangi 2004, terdapat molekul-molekul struktural pada matriks
ekstrasel yang kemungkcinan dapat mendorong migrasi melalui sel radang.
Molelcul-molelcul ini mendorng migrasi melalui penyediaan suatu substratum
(fibronektin dan kolagen) yang dapat menjadi pedoman kontak bagi sel radang
untukbergerak ke arah chemoattractant.
Proses pengambilan partikulat ke dalam sitoplasma oleh suatu sel disebut
sebagai proses fagositosis (Vegad 1995). Sel-sel leukosit yang telah tiba di daerah
luka akan segera membunuh dan menghancurkan material asing (bakteri) dan sel-
sel yang rusak dengan cara fagositosis. Fagositosis diawali dengan
pengidentifikasian sel leukosit terhadap materi yang akan difagosit.
Pengidentifikasian ini dimungkinlcan bila materi tersebut telah dilapisi ole11 suatu
faktor serum atau antibodi spesifik yang disebut sebagai opsonin dan proses ini
disebut sebagai opsonisasi (Vegad 1995). Setelah permukaan leukosit menempel
dengan partikel yang teropsonisasi, sitoplasma leukosit @seudopodia) akan
memanjang dan mengelilingi materi hingga membentuk vakuol atau rongga yang
mengelilingi materi dan disebut fagosom. Proses ini disebut engulfment atau
penelanan. Setelah ~natei terkurung dalam valc~~ol leukosit, ~naka terjadi proses
degradasi atau penghancuran materi tersebut dengan enzi~n hidrolitik pada organel
lisosom sel leukosit. Fagososm dengan materi di dalamnya yang sudah terpapar
dengan lisosom disebut fagolisosom.
Proses peradangan mencalup perelautan sel-sel radang dari pembuluh
darah menuju jaringan lulca. Kedatangan sel-sel ini ke daerah luka atas pengaruh
beberapa mediator peradangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sel-sel yang
menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah neutrofil, makrofag, dan limfosit.
Neutrofil
Neutrofil adalah sel leukosit yang berdiameter antara 10 sampai 12 pm,
memiliki butir halus, dan ini bergelambir (Dellmann & Brown 1988). Sel ini juga
disebut dengan le~kosit polimorfonuklear atau sel granulosit. Butir-butir granul
yang terdapat pada sitoplasma neutrofil adalah lisosom yang mengandung enzim
yaug memungkinkan neutrofil untuk mengha~curkan bakteri melalui proses
fagositosis (Vegad 1995). Neutrofil merupakan leukosit yang tiba paling awal di
lokasi terjadinya peradai~gan. Oleh karena itu disebut sebagai pertahanan selular
pertama. Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa llelcrosa sel inang).
neutrofil akan segera mati.
Makro fag
Makrofag yang berada di jaringan berasal dari sel monosit darah yang
bermigrasi ke jaringall illtat (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Jumlah sel
monosit darah pada me~lcit berkisar antara 1-12 % dari total leukosit (Smith &
Mangkoewidjojo 1988). Namun, apabila terjadi peradangal, jumlah monosit yang
bermigrasi ke jaringan ikat menjadi berlipat-lipat dan maluofag yang telah ada di
jaringan ikat alean teraktivasi. Makrofag ini mulai bermunculan setelah neutrofil
menyelesailcan tugasnya untuk memfagosit partilcel asing. Faktor yang
meinpengaruhi kemunculan makrofag antara lain adalah suatu chen~oattractnnt
yaitu monocyte chemoattractant protein-l (MCP) d a ~ macrophage initiating
protein-la atau MIP-la (Engelhardt 1998). Seperti neutrofil, makrofag adalah sel
yang efelctif untulc proses fagositosis. Makrofag mencerna dan memfagosit
organisme patogen dan debris jaringan termasuk sel-sel neutrofil yang tidalc
berguna lagi (Kalangi 2004). Untuk memungkinlcan fungsi tersebut, sel makrofag
dilengkapi dengan kandungan enzim-enzim hidrolitik dalarn jumlah sangat besar
dimana enzim-enzim tersebut dapat mendegradasi beragan jenis material secara
berula~~g-ulang (Vegad 1995). Selain memfagosit, makrofag yang aktif juga
melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan
proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaslcan inalcrofag yaitu :
Plasma protein, terdiri dari protein komplemen dalam proses fagositosis dan
protein pengkoagulasi
Mediator lipida sepel-ti hasil metabolisme asam aralcidonat (leultotrien dan
prostaglandin) serta Platelet Activating Factor (PAF)
Faktor-faktor kemotaktik
Sitokin, seperti interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan
interleukin-8 (IL-8)
Faktor-faktor pertumbuhan seperti platelet-derived growth j21ctor (PDGF),
fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan
transforming growth factor-P (TGF-P). Faktor-faktor ini mempengaruhi
proliferasi fibroblast dan pembuluh darah.
Limfosit
Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan
hanya memiliki kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka,
peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-
sel radang lainnya. Beberapa limfokin yang dihasilkan adalah MAF atau
macrophage aggregatingfrrctor, d m MCF atau nzacrophage chemolactic facfor.
(Banks 1993). MAF merangsang agregasi dari maluofag, sedangkan MCF
berfungsi sebagai chemoattractant bagi makrofag.
Fase proliferasi
Fase proliferasi meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel
endotel, dan sel-sel fibroblast. Fibroblast, sel-sel radang, dan pembuluh darah baru
memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat
berwarna merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses
reepitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan
luka. Lapisan hemidesmosom ailtara epidermis dengan membran dasar akan
menipis dan memungkinkan sel epitel yang telah aktif untuk bermigrasi ke
jaringan luka dan mengeluarkan sitolcin seperti IL-1, TNF, TGF-a, dan TGF-P
(Anonim 2003). Untuk memfasilitasi migrasinya pada jaringan ikat, sel epitel
mengeluarltan enzini kolagenase (Singer & Clark 1999).
Sel-sel endotel berproliferasi mulai dari ujung pembuluh yang terkoyak
hingga terbentuk suatu pembuluh kapiler baru (Banks 1993). Pembentukan
pembuluh darah baru tersebut dapat berupa pemanjangan maupun percabangan
dari pembuluh darah induk menjadi pembuluh darah kecil (kapiler). Proses ini
dikenal dengan istilah angiogenesis. Pembentultan suatu peinbuluh darah baru
memerlukan degradasi enzimatik dari membran dasar pembuluh induk agar
pembentukan cabang pembuluh anak dapat terjadi. Selain itu, juga terjadi migrasi,
proliferasi, serta pematangan sel-sel endotel untuk membentuk suatu pembuluh
kapiler baru (Vegad 1995). Setelah terbentuk, kapiler-ltapiler bar^^ yang terbentnk
akan beranastomose sehiilgga altan terjadi perltembangan sirkulasi di daerah luka
(Kalangi 2004). Faktor yang mempengaruhi angiogenesis ini antara lainfibroblast
growth factor (FGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang
dihasilkan oleh makrofag. Dalam ha1 ini, FGF lebih banyak berperan daripada
VEGF, yaitu dengan menginduksi sekresi proteinase ole11 sel endotel untuk
inendegradasi membran dasar serta memicu migrasi dan proliferasi endotel
(Vegad 1995).
Fibroblast bermigrasi lte daerah luka dan be~proliferasi. Prolifersai
fibroblast ini dipicu ole11 beberapa faktor pertumbuhan (growth firctor) seperti,
plcrtelet-derived growth factor (PDGF), epidernzal growth factor (EGF),fibroblast
qowth factor (FGF), dan kansforming growth factor-p (TGF-P), serta sitokin
fibrogenik yang dihasilkan oleh makrofag (Vegad 1995; Anoniln 2003). Sel
fibroblast secara aktif mensintesis proteogliltan dan ltolagen. Fibroblast
berproliferasi membentuk matriks ekstraseluler yang mengandung lnyofilamel~
dan disebut myofibroblast dimana matrilts ini akan bennigrasi ke area luka dan
berltontraksi untuk mengmangi ukuran luka hingga daerah luka altan tertutup
(Anonim 2003).
Fase pematangan
Fase ini ditandai dengan berkurangnya jumlah fibroblast secara berkala
dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh kapiler. Serabut kolagen mengalmi
pertalnbahan jumlah dan menyusun diri sepanjang garis lebar luka. Secara
berangsur-angsur, luka meningltatkan lcelcuata~l integritasnya terhadap tekanan.
Pada fase ini matriks eltstraseluler sementara yang telah terbentuk pada fase
sebelumnya digantiltan oleh matriks kolagen dermis (Anonim 2003). Fase ini
dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahuli.
Falttor-falttor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka
Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu nutrisi, ltadar
vitamin C, mineral zinc (Zn) dan glukokortikosteroid dalam tubuh, usia, partikel
iritan lokal, kurangnya suplai darah, keberadaan benda asing dan faktor-faktor
nleltanis (Vegad 1995). Nutrisi yang tidak seimbang terutama kurangnya
konsumsi protein (asam amino) dapat menyebabltan keltuatan regangan jaringan
iltat akan melemah. Sel-sel fibroblast yang terbentuk hanya sediltit dan sintesis
serabut kolagen akan terhambat. Kekurangan vitamin C akan mengakibatkan
serabut kolagen yang disintesis oleh fibroblast menjadi lebih sedikit dan
mengalami penurunan ltualitas. Zinc adalah mineral yang diperiultan untuk
inetabolisme beberapa enzim yang penting untuk persembuhan luka. Pada
individu yang kekurangan zinc, persembuhan luka akan memakan waktu lebih
lama. Persembuhan luka pada individu yang berusia tua akan memakan waktu
lebih lama jilta dibandingltan dengan individu yang masih muda. Hal ini terkait
dengan suplai darah individu muda yang lebih bailt dan adanya ltemungkinan
penyakit seperti aterosltlerosis pada individu tua. Glul~olcortiltosteroid memiliki
pengaruh pada proses inflamasi dan fibroplasia. Keberadaannya dalam jumlah
besar dapat menginduksi perubahan kimia pada matriks substansi dasar jaringan
iltat. Keberadaannya di jaringan dapat mengurangi produksi kolagen dan
pembentultan neokapiler. Infiltrasi bakteri, debri-debri dari sel yang nekrosis.
nanah dan benda asing dapat menyebabkan infeksi jaringan dan penundaan
persembuhan luka. Kurangnya suplai darah jaringan dapat dipengaruhi oleh
adanya gangguan dalam sistem sirkulasi seperti adanya penyakit pada pembuluh
arteri.