[fiqh al-hadits] latar belakang metode pemhaman sunah al-qaradhawi

Upload: mrdia

Post on 15-Oct-2015

139 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Upaya Mencari Titik Moderat : Latar Belakang Metode Pemhaman Sunah al-Qaradhawi

Metode al-Qaradhwi dalam memahami sunah dapat diidentifikasi dari beberapa karya awalnya misalnya di dalam fatwa-fatwanya yang terhimpun di dalam Fatwa Mushirah. Pada mukaddimah bukunya tersebut al-Qaradhwi menjelaskan metodenya dalam memutuskan suatu hukum, termasuk caranya memahami sunah Nabi saw. Namun ,metode pemahaman sunah al-Qaradhwi dapat ditemukan pemaparan sistematis serta contoh aplikasinya di dalam tiga karyanya yang langsung bersentuhan dengan sunah, yaitu, al-Madkhl li Dirsah as-Sunnah an-Nabawiyyah, Kaifa Natamal maa as-Sunnah an-Nabawiyyah dan as-Sunnah Mashdar li Marifah wa al-Hadhrah[1]. Proyek al-Qaradhw di dalam ketiga karyanya tersebut merupakan bagian dari kritik matan. Jika ditelusuri secara historis, kritik matan telah dilakukan oleh para sahabat di masa-masa awal setelah meninggalnya Rasulullah saw. Aisyah ra misalnya telah mengkritik beberapa hadis yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Quran meskipun para sahabat yang meriwayatkannya tidak mungkin berdusta. Misalnya hadis tentang seorang mayat disiksa karena ratapan keluarganya. Bagi Aisyah hadis ini tidak sejalan dengan Al-Quran yang menjelaskan bahwa seseorang hanya dibebani sesuai dengan kesanggupannya. Aisyah lalu memjelaskan bahwa hadis itu berkenaan dengan mayat seorang Yahudi yang ditangisi kelaurganya, lalu Rasulullah saw mengomentari bahwa para keluarganya meratap sementara si mayat sendiri disiksa.[2] Tindakan Umar yang menolak hadis dari Fartimah binti Qais yang dianggapnya tidak sejalan dengan QS. at-Thalq (65) : 6 juga dapat dikategorikan kritik matan hadis. Kritik serupa juga dilakukan oleh ulama-ulama setelahnya terutama ulama-ulama dari lingkungan mazhab Hanafyyah. Mereka menolak hadis-hadis yang bertentangan dengan Al-Quran. Adanya materi hadis (matn) yang tampak bertentangan dengan Al-Quran atau akal kemudian melahirkan disiplin ilmu baru yakni Ikhtilf al-Hadts (kontroversialitas hadis). Tokoh yang dikenal berkontribusi besar dalam meletakan dasar bagi ilmu ini adalah al-Imm asy-Syfi (w. 204 H.) dengan bukunya Ikhtilf al-Hadts. Begitu pula Ibn Qutaibah ad-Dainur (w. 276) yang mengarang karya monumental berjudul Tawl Mukhtalaf al-Hadts. Disiplin ilmu ini berusaha memberikan jawaban yang memuaskan mengenai hadis-hadis yang sepertinya bertentangan dengan akal atau Al-Quran.[3] Di dalam pengertian hadis sahih yang dirumuskan ulama pun terdapat unsur kritik matan yakni tiadanya illat dan syadz. Namun demikian perhatian ulama terhadap kritik matan tidak sebesar perhatian yang diberikan kepada kritik sanad.[4] Di era kontemporer usaha kritik matan dan menetapkan metode pemahaman terhadap sunah seperti yang dilakukan oleh al-Qaradhw dapat dilacak hingga ke Muhammad Abduh (1894-1905 M.) dan Rasyd Ridh (1865-1935 M.) yang menyatakan bahwa hadis yang telah sahih sanadnya sekalipun harus dikritik matannya untuk memperoleh pemahaman yang benar.[5] Setelahnya ada nama-nama seperti Taufiq shidq (1881-1920 M.), Ahmad Amn (1886-1920 M.), Husain Haikal (1889-1956 M.), Mahmd Ab Rayyah, Thh Husain (1889-1973 M.), Mahmd Syaltth (1893-1963 M.)[6], Muhammad al-Ghazl (1917-1996 M.) dan lain sebagainya. Tidak semua gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh tadi diterima dengan baik. Bahkan sebgian dari mereka menuai kontroversi dan banyak ulama yang kemudian menulis buku-buku untuk menyanggah pendapat mereka. Seorang ulama kenamaan dari Universitas Damaskus Prof. Dr. Musthafa as-Sibi (1915-1964 M.) menulis buku as-Sunnah an-Nabawiyah wa Maknatuh fi Tasyr al-Islm yang di dalamnya terdapat bantahan-bantahan terhadap pemikiran-pemikiaran Mahmd Ab Rayyah yang tertuang di dalam karyanya Adhw al al-Sunnah al-Muhammadiyah dan Ahmad Amn di dalam bukunya Fajr al-Islm. Di dalam karyanya tersebut Ab Rayyah banyak mengkritik hal-hal yang telah disepakati oleh para ulama, salah satunya adalah kredibilitas sahabat seperti Ab Hurairah ra. Ab Rayyah misalnya menjelaskan bahwa Ab Hurairah adalah seorang sahabat yang asal-muasalnya tidak jelas, nama aslinya masih diperselisihkan, ia mengikuti Rasulullah saw hanya untuk memenuhi perutnya dan sebagainya[7] Menurut as-Sib refesrensi-referensi utama Ab Rayyah di dalam pendapat-pendapatnya yang menyalahi kesepakatan ulama salaf maupun khalaf kebanyakan berasal dari sumber yang memang bermasalah. Sumber-sumber tersebut antara lain pendapat-pendapat orientalis, pemuka-pemuka Muktazilah, tulisan-tulisan kaum Syiah ekstrim, pendapat-pendapat sejarawan atau sastrawan yang kredibilitas mereka masih dipermasalahkan atau pemikiran-pemikiran sesatnya sendiri yang telah ia simpan bertahun-tahun dan akhirnya bisa ia ungkapkan. Jika Ab Rayyah mengutip dari karya-karya ulama yang mutabar ia akan mengeluarkan kutipan-kutipa itu dari konteksnya sehingga seolah-olah para ulama tersebut sepakat dengan gagasannya. Ulama-ulama yang sering dicatut namanya antara lain Muhammad Abduh dan muridnya Rasyd Ridh.[8] Beliau kemudian mengulas sumber-sumber tersebut dan menunjukan kekeliruan klaim-klaim Ab Rayyah. Untuk membantah Ahmad Amn yang mengkritik autentisitas hadis dari segi otoritas hukum dan kesejarahan, as-Sib menulis satu bab khusus. Di dalam bab tersebut pendapat-pendapat Ahmad Amn diulas secara terperinci dan ditunjukan kesalahannya, misalnya pembahasan tentang mulianya pemalsuan hadis di masa kehidupan Nabi saw dan isu-isu lainnya.[9] Ulama lain yang membantah pendapat-pendapat Ab Rayyah adalah Muhammad bin Muhammad Ab Syuhbah, Guru Besar Ilmu Hadis dan Al-Quran di Universitas al-Azhar dan Umm al-Qur. Pokok kritikannya yang dituangkan di dalam buku berjudul Dif an as-Sunnah wa Radd Subah al-Mustasyriqn wa al-Kuttb al-Mushirn adalah kecurangan Ab Rayyah dalam mengutip riwayat-riwayat atau pendapat-pendapat ulama, serta pengaruh orientalis yang sangat kuat di dalam ide-idenya. Ab Syuhbah membela kredibilitas Ab Hurairah dengan menunjukan teks-teks lengkap dari riwayat yang dikutip Ab Rayyah secara parsial dan keluar dari konteks. Ternyata tuduhan yang dilontarkan kepada Ab Hurairah tidak terbukti.[10] Prof. Dr. M. M Azami juga membantah pemikiran Ahmad Amn dan Ab Rayyah di dalam karyanya Dirst fi al-Hadts an-Nabawi wa Trikh Tadwnih.[11] Tokoh yang karyanya banyak menuai kontroversi dan mengundang banyak ulama lain untuk menulis buku khusus untuk menyanggah pendapatnya adalah guru sekaligus kolega al-Qaradhw dari gerakan al-Ikhwn al-Muslimn, Prof. Dr. Muhammad al-Ghazl. Atas permintaan al-Mahad al-lam li al-Fikri al-Islm (Institut Pemikiran Islam Internasional), sebuah lembaga pemikiran Islam yang berpusat di Amerika Serikat dan dipimpin oleh Prof. Dr. Thah Jbir al-Ulwn, al-Ghazli menulis as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadts.[12] Misi penulisan buku tersebut adalah untuk mengarahkan kajian sunah ke arah metodologi pemahaman yang benar, atau dengan kata lain kritik matan. Menurut al-Ulwn, bidang tersebut masih kurang terjamah oleh para ulama berbeda dengan kritik sanad yang sudah sangat matang dan mapan.[13] Al-Ghazl berpendapat bahwa para ulama hadis kurang memperhatikan kritik matan, jika sebuah hadis telah sahih secara sanad mereka akan menerimanya begitu saja. Sedangkan ulama ahli fikih lebih jeli dalam melihat illat dan syadz di dalam hadis, sehingga sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk meneliti apakah suatu hadis bertentangan dengan Al-Quran atau akal.[14] Beliau memberikan contoh Ibn Hajr ketika memberikan penjelasan (syarah) kepada buku Sahh al-Bukhr menguatkan hadis ayat-ayat setan (gharniq), kemudian pendapatnya tersebut diikuti oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhb sehingga pendapat itu semakin tersebar dan menimbulkan kerusakan seperti kasus Salman Rusydi.[15]. Selanjutnya beliau juga menuding al-Albn telah menyatakan hadis yang bertentangan dengan Al-Quran sebagai hadis sahih. Hadis tersebut adalah hadis yang menyatakan bahwa daging sapi adalah penyakit, hadis ini bertentangan dengan QS. al-Anm (6): 142-143 dan QS. al-Hajj (22): 36.[16]Meskipun ia mengakui bahwa sistem pengujian sanad yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu terutama ulama hadis adalah sistem yang sangat luar biasa namun atensinya kepada pengujian sanad tidaklah besar. Hal itu mungkin karena paradigma dikotomis antara ulama hadis yang dianggapnya hanya terpaku terhadap sanad dan ulama fikih yang bertanggung jawab atas pengujian matan hadis. Paradigma ini pada gilirannya mendapatkan kecaman dari ulama-ulama lain.[17] Al-Ghazl menguji matan hadis dengan empat alat utama ; (1) ayat Al-Quran ; (2) pengujian dengan hadis lain ; (3) pengujian dengan fakta historis; (4) pengujian dengan kebenaran ilmiyah.[18] Dari keempat poin tadi pengujian dengan Al-Quran adalah alat yang paling dominan digunakannya.[19] Dengan alat tersebut al-Ghazl menolak beberapa hadis yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Quran, meskipun telah dinyatakan sahih oleh ulama-ulama hadis seperti al-Albn bahkan Ibn Hajr al-Asqaln yang kepakarannya dibidang hadis telah diakui di dunia Islam. Sikap al-Ghazl kemudian menuai banyak tantangan, muncul beberapa tokoh yang menulis risalah atau buku khusus untuk membantahnya. Di Timur Tengah muncul nama-nama seperti Ab Islm Musthaf Salmah dengan buku Barah Ahl al-Hadts wa Ahl al-Fiqh min Awhm Muhammad al-Ghazl., Abd al-Krim bin Shlih al-Humaid dengan bukunya Inah al-Mutali liradd al-Ghazl ; Aidh bin Abdullah al-Qarn menulis buku berjudul al-Ghazl fi Majlis al-Inshf ; Salman al-Audah dengan bukunya Hiwr Hdi maa Muhammad al-Ghazl ; dan Syaikh Rab bin Hd al-Madkhal menulis buku Kasyf Mauqf al-Ghazl min as-Sunnah wa Ahlih wa Naqd Badhi Arihi.[20] Kontoversi yang kian menajam di sekitar karya al-Gazl as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadts membuat misi penulisan buku tersebut menjadi kabur dan sulit tercapai. Pihak al-Mahad al-lam li al-Fikri al-Islm kemudian meminta kepada Ysuf al-Qaradhwi untuk menuis buku mengenai tema yang serupa yakni mengenai penetapan metode untuk memahami hadis dengan benar dan kajian atas sunah sebagai sumber pengetahuan dan peradaban.[21] Memenuhi permintaan tersebut al-Qaradhmi menulis Kaifa Natamal maa as-Sunnah an-Nabawiyyah dan as-Sunnah Mashdar li Marifah wa al-Hadhrah. Jadi dapat dikatakan bahwa latar belakang sistematisasi metode pemahaman sunah al-Qaradhw adalah adanya pertentangan yang cenderung membuat polarisasi di tengah-tengah ulama Islam yang mengkaji sunah. Sebagain dari mereka menekankan kritik matan dan dianggap kurang memberikan atensi kepada sanad, sedangkan sebagain yang lain dianggap masih membatasi kajiannya di seputar sanad dan tidak mencoba membuka ranah kajian baru yakni metode pemahaman sunah dengan kritik matan yang mendalam. Di sisi lain, al-Qaradhwi juga memiliki keprihatinan tersendiri kepada kecendrungan pemahaman sunah yang mengarah kepada dua kutub ekstrim. Di satu sisi ada kecndrungan untuk menolak hadis-hadis yang dianggap bertentangan dengan akal, kemajuan sains, atau Al-Quran padahal mereka memahaminya secara salah dan terburu-buru. Mereka juga kerap memaknai hadis jauh dari makna yang diinginkan syariat karena terlalu liberal dalam menakwilnya demi apa yang mereka sebut kemajuan. Kelompok ini disebut al-Qaradhwi sebagi budak-budak perubahan zaman.[22] Sementara itu di sudut ekstrim yang lain adalah orang-orang yang jumud dan kaku, mereka cenderung untuk mempersempit, mempersulit dan mengharamkan segala sesautu, al-Qaradhwi menyebut mereka zhahiriyah baru.[23] Dengan latar belakang seperti diapaparkan di atas, al-Qaradhw membangun metode pemahaman sunahnya dengan moderat di antara kecendrungan-kecendrugan ekstrim, baik di dalam keseimbangan kajian sanad dan matan atau pun dalam kecendrungan pemahaman liberal dan literal. Delapan metode yang ditawarkan al-Qaradhw jika diperhatikan sebenarnya penyempurnaan atau pengembangan dari metode yang digagas oleh Muhammad al-Ghazl untuk menguji matan suatu hadis.[24]Namun berbeda dengna gurunya tersebut, al-Qaradhw memberikan perhatian yang besar kepada ulama-ulama hadis, baik metode maupun produk ijtihad mereka mereka. Berkaitan dengan metode, al-Qaradhwi menetapkan tiga landasan utama dalam memahami hadis, landasan pertama adalah memastikan kesahihan hadis, dimana metode para ulama hadis lah yang harus digunakan. Dalam menilai suatu hadis al-Qaradhw banyak merujuk kepada produk pemikiran ulama-ulama hadis baik para ulama hadis kontemporer seperti Nashiruddin al-Albn (1914-1999 M.) dan Ahmad Muhammad Sykir (w. 1958 M.) maupun ulama klasik seperti an-Naww (w. 676 H.), as-Suyth (w. 911 H.), adz-Dzahab (w. 748 H.), Ibn Hajar al-Asqaln (w. 852 H.), Ibn al-Arabi (w. 543 H.) dan lain-lain. Selain itu al-Qaradhw juga kerap merujuk kepada ulama-ulama fikih yang telah diakui di dunia Islam seperti keempat imam mazhab, Ibn Hazm (w. 456 H.), al-Qurthub (w. 671 H.), asy-Syathb (w. 790) dan lain-lain. Beliau juga sangat menghormati pendapat-pendapat ulama yang dijadikan rujukan utama kalangan salafi seperti Ibn Taimiyyah (w. 728 H.) dan muridnya Ibn al-Qayyim (w. 751 H).[25] Al-Qaradhw mengikuti pendapat-pendapat ulama-ulama di atas dengan tetap bersikap kritis kepada mereka, sebagaimana prinsip yang ia pegangi untuk tidak fanatik terhadap ulama tertentu. Sejalan dengan mayoritas ulama umat Islam yang menolak pemikiran-pemikiran menyimpang kelompok Mutazilah, al-Qaradhw juga tidak mau menerima penakwilan mereka yang terlampau mengagungkan akal, misalnya di dalam persoalan syafaat di hari kiamat yang dinafikan kalangan Muktazilah.[26] Dengan sikap seperti ini, al-Qaradhw tidak menuai penentangan sekeras yang dihadapi al-Ghazl, namun tetap saja ada kritikan-kritikan tajam yang diarahkan kepada metode pemahaman sunah yang ia bangun. Sebut saja kritkan dari Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al Udaini yang menulis buku Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam. Di dalam buku tersebut beberapa pendapat al-Qaradhw dikritiknya, tetapi kritikan tersebut terbatas pada produk-produk aplikasi metode yang dibangun oleh al-Qaradhw dan tidak menyentuh metode pemahaman sunahnya.

[1] Sunaryo, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis Perspektif Dr. Yusuf al-Qardhawi dan Muhammad al-Ghazali, (Yogyakarta: Teras, 2008), hal 196.[2] Shalh ad-Dn al-Adb, Manhaj Naqd al-Matn Inda Ulam al-Hadts an-Nabw, (Beirut : Dr al-Afq al-Jaddah, 1983), hal 113.[3] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,cet. ke-6, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2011), hal 3.[4] Hal ini diungkapkan misalnya oleh Ahmd Amn di dalam karyanya Fajr al-Islm. Lihat ; Shalh ad-Dn al-Adb, Manhaj Naqd al-Matn... hal 11.[5] Sunaryo, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis...hal 205.[6] Ibid, hal 204.[7] Mahmd Abu Rayyah, Adhw al al-Sunnah al-Muhammadiyah, (Kairo : Dr al-Marif, 1994), hal 167-170.[8] Musthafa as-Sibi, -Sunnah an-Nabawiyah wa Maknatuh fi Tasyr al-Islm, (ttp : Dr al-Warrq, 2000), hal 3.[9] Sebelum membahas kesalahan Ahmad Amn, as-Sib terlebih dahulu menyatakan bahwa pembahasan hadis di dalam karya Ahmad Amin Fajr al-Islm cukup singkat yakni sekitar 20 halaman namun dengan keterangan singkat tersebut Ahmad Amin mencoba mengetengahkan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan ketetapan para ulama salaf dan khalaf. Lihat ; Ibid, hal 266. [10] Muhammad bin Muhammad Ab Syuhbah dan Abd al-Ghn Abd al-Khliq, Dif an as-Sunnah wa Radd Subah al-Mustasyriqn wa al-Kuttb al-Mushirn wa Yalhi ar-Radd al Man Yunkir Hujjiyah as-Sunnah, (ttp : Maktabah as-Sunnah, tt), hal 97.[11] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis....hal 18.[12] Muhammad al-Ghazl, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadts, (Kairo : Dr asy-Syurk, tt), hal 6.[13] Thah Jbir al-Ulwn, Tashdr ath-Tabah al-l, dalam Ysuf al-Qaradhwi, Kaifa Natamal maa as-Sunnah an-Nabawiyyah, hal 12.[14] Muhammad al-Ghazl, as-Sunnah an-Nabawiyyah...hal 19.[15] Ibid, hal 20.[16] Ibid, hal 21.[17] Misalnya oleh Ab al-Islm Musthafa Salmah yang menulis risalah berjudul Barah Ahl al-Hadts wa Ahl al-Fiqh min Awhm Muhammad al-Ghazl. Di dalam risalah tersebut ia membantah anggapan al-Ghazli bahwa para ulama sunah mentapkan dua syarat khusus untuk matan di dalam kelima syarat kesahihan hadis. Menurutnya semua syarat tersebut berlaku untuk matan dan sanad, begitulah yang ditetapkan ulama hadis, berbeda dengan anggapan al-Ghazali. Lihat ; oleh Ab al-Islm Musthafa Sa, Barah Ahl al-Hadts wa Ahl al-Fiqh min Awhm Muhammad al-Ghazl, (Kairo: tnp, 1409 H), hal 17.[18] Sunaryo, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis...hal 198.[19] Ibid, hal 199.[20] Ibid, hal 210.[21] [22] Ysuf al-Qaradhw, Fatwa-Fatwa Kontemporer...hal, 36.[23] Ibid, hal 39. [24] Delapan metode tersebut adalah ; (1) memahami sunah sesuai petunjuk ayat Al-Quran ; (2) menggabungkan hadis-hadis yang setema; (3) menggabungkan atau mentarjih hadis-hadis nampak bertentangan; (4) memahami hadis sesuai latar belakang, situasi, kondisi, dan tujuannya; (5) membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap; (6) membedakan antara ungkapan haqqah dan majz; (7) membedakan antara yang ghaib dan nyata; (8) memastikan makna kata-kata dalam hadis. Kedelapannya akan dijelaskan pada bagian lain risalah ini. Sedangkan al-Ghazl menguji matan hadis dengan empat alat utama ; (1) ayat Al-Quran ; (2) pengujian dengan hadis lain ; (3) pengujian dengan fakta historis; (4) pengujian dengan kebenaran ilmiyah. Poin 1 metode al-Qaradhw sama dengan al-Ghazl, poin 2 dan 3 sama dengan poin ketiga yakni pengujian historis, sedangkan poin 6, 7, dan 8, termasuk kedalam kriteria keempat al-Ghazl.[25] Nama-nama ulama-ulama di atas dapat ditemukan menjadi rujukan di dalam karya-karya utama al-Qaradhw berkaitan dengan sunah sebagaimana telah disebutkan ; Lihat ; Sunaryo, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis...hal 212. [26] Ysuf al-Qaradhwi, Kaifa Natamal ...hal 121.