eva rianah

95
i TESIS VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN GANGGUAN FUNGSI HATI YANG DISEBABKAN OLEH PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA MENCIT (Mus musculus) EVA RIANAH NIM 1290761043 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: buikhanh

Post on 16-Dec-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eva Rianah

i

TESIS

VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN

GANGGUAN FUNGSI HATI YANG DISEBABKAN

OLEH PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA

MENCIT (Mus musculus)

EVA RIANAH

NIM 1290761043

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: Eva Rianah

ii

TESIS

VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN

GANGGUAN FUNGSI HATI YANG DISEBABKAN

OLEH PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA

MENCIT (Mus musculus)

Tesis ini untuk memperoleh gelar Magister

dalam bidang Ilmu Kedokteran,

Kekhususan Anti Aging Medicine pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana

EVA RIANAH

NIM 1290761043

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: Eva Rianah

iii

Lembaran Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL: 25 NOVEMBER 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK Prof.Dr.dr.Wimpie I. Pangkahila,SpAnd,FAACS

NIP :194606191976021001 NIP . 194612131971071001

Mengetahui,

Ketua Program Magister Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof.Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS

NIP.194612131971071001

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)

NIP:195902151985102001

Page 4: Eva Rianah

iv

Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai

Pada tanggal 25 November 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Program Pascasarjana Universitas Udayana

No: 3464/UN.14.4/HK/2014 Tanggal: 19 September 2014

Panitia Penguji Tesis adalah:

Ketua : Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS

2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC.,Sp.And

3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D

4. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes.

Page 5: Eva Rianah

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Eva Rianah

NIM : 1290761043

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine

Judul Tesis : VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN GANGGUAN

FUNGSI HATI YANG DISEBABKAN OLEH

PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA MENCIT (Mus

musculus)

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 25 November 2014

Yang membuat pernyataan

( Eva Rianah )

*Coret yang tidak perlu

Page 6: Eva Rianah

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur

kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat dan karunia-Nya penelitian dan

penyusunan tesis yang berjudul “Vitamin C mencegah Nekrosis dan Gangguan

Fungsi Hati yang disebabkan oleh Parasetamol Dosis Toksik pada Mencit

(Mus musculus)” dapat berjalan lancar sesuai waktu yang direncanakan.

Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir belajar

untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu

Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana

Universitas Udayana. Dengan selesainya laporan ini, penulis ingin manyampaikan

rasa hormat serta penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar besarnya

kepada:

1. Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Rektor Universitas

Udayana yang telah meberikan fasilitas pendidikan dan kesempatan

kepada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, SpS(K) sebagai Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budhiarsa, MA selaku

Asdir I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph selaku Asdir II atas

kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswi di Program Pasca

Sarjana Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS, Ketua Program

Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine

Page 7: Eva Rianah

vii

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta penguji dan pembimbing

II yang banyak memberikan bimbingan, koreksi, masukan, saran ilmiah

serta memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan karya ilmiah.

4. Prof. Dr. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, Kepala Laboratory Animal Unit

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta

penguji dan pembimbing pembimbing I, yang telah meberikan masukan

dan saran ilmiah dan semangat untuk terus maju untuk menyelesaikan

karya ilmiah ini.

5. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And selaku penguji yang

secara teliti mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif

baik saat akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih

menyempurnakan laporan ini.

6. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH., Ph.D selaku penguji yang secara teliti

mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif baik saat

akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih menyempurnakan

laporan ini.

7. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes. selaku penguji yang secara teliti

mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif baik saat

akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih menyempurnakan

laporan ini.

8. Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes dan seluruh staf laboratorium

Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana

yang membimbing, memberi saran, masukan sehubungan pelaksanaan

Page 8: Eva Rianah

viii

pemeriksaan histopatologi serta analisanya sehingga penelitiannya dapat

berjalan lancar.

9. Drs. I Ketut Tunas, Msi yang sangat banyak membantu terutama

memberikan masukan, saran, terutama dalam analisis statistik sehingga

tesis ini dapat diselesaikan.

10. Para dosen dan pengajar Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, teman-teman seperjuangan dan seluruh karyawan bagian Ilmu

Biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan,

penelitian dan penulisan tesis ini, dengan rendah hati saya ucapkan beribu

terimakasih.

11. Bapak I Gede Wiranata yang selalu menyumbang pikiran positif serta

memberi bantuan tanpa kenal lelah dari saat pemeliharaan tikus dan

bantuan selama pelaksanaan penelitian sehingga penelitian berjalan

lancar.

12. Suami tercinta, dr. Zulfikar Idamansyah, Sp.OG dan anak-anak ku

tersayang, Keisha Zulva Ramadhani, Nayla Salsabilla Zulva, Myiesha

Nafeeza Zulva, yang selalu merasa kekurangan waktu, dan ikut

merasakan suka duka penulis selama menjalankan pendidikan Magister di

Program Biomedik kekhususan Anti Aging Medicine di Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana. Serta kedua orang tua dan saudara saya

terimakasih atas doa, dukungannya selama penulis menempuh

pendidikan.

Page 9: Eva Rianah

ix

Tiada gading yang tak retak, tesis ini memang masih jauh dari sempurna.

Saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan hati terbuka untuk

kelengkapan dan lebih baiknya laporan tesis ini. Semoga semua yang baik dari

segala penjuru bersatu di dalam hati kita semua.

Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan

berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua, amin.

Denpasar, 25 November 2014

Penulis

Page 10: Eva Rianah

x

ABSTRAK

VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN GANGGUAN FUNGSI HATI

YANG DISEBABKAN OLEH PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA

MENCIT (Mus musculus)

Parasetamol sebagai salah satu analgesik antipiretik yang sangat efektif

dalam mengurangi rasa nyeri, menurunkan demam, tidak mengiritasi lambung dan

banyak digunakan karena mudah didapatkan dan dijual tanpa harus dengan resep

dokter. Toleransi yang tinggi dan ketersediaan over-the-counter atau dapat dibeli

dimana saja, maka kejadian overdosis obat pada penggunaan akut atau kronis

sering menyebabkan kerusakan hati yang serius, terutama pada dosis harian lebih

besar dari 4 gram pada orang dewasa. Pemberian vitamin C pada manusia secara

oral dapat menangkal efek senyawa radikal bebas. Selain itu pemberian vitamin C

juga dapat meningkatkan glutathion sehingga dapat mencegah kerusakan sel hati.

Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa pemberian vitamin C dapat

melindungi hati terhadap efek parasetamol dosis toksik.

Penelitian ini adalah merupakan animal experimental dengan Post Test Only

Control Group Design. Sebanyak 30 ekor mencit dibagi menjadi 3 kelompok,

yaitu kelompok kontrol (parasetamol 0,52 mg/g berat badan mencit dan plasebo),

kelompok perlakuan 1 (parasetamol 0,52 mg/g berat badan mencit dan Vitamin C

0,065 mg/g berat badan mencit), dan kelompok perlakuan 2 (parasetamol 0,52

mg/g berat badan mencit dan Vitamin C 0,13 mg/g berat badan mencit).

Penelitian ini dilakukan selama 14 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar

AST dan ALT dalam serum plasma heparin mencit serta gambaran

histopatologinya pada masing-masing kelompok yang menjadi data posttest.

Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa distribusi data

ketiga kelompok normal dan varian data ketiga kelompok homogen dengan

p>0,05. Uji perbandingan antara ketiga kelompok sesudah perlakuan berupa

pemberian vitamin C menggunakan uji One Way Anova menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan secara bermakna antara rerata ketiga kelompok baik itu

penurunan kadar ALT, AST dan skor nerkrosis dengan p<0,05. Pada kelompok

perlakuan 1 dan perlakuan 2 terjadi penurunan kadar Alanine Aminotransferase

sebesar 7,68% dan 24,81%, penurunan kadar Aspartate Aminotransferase sebesar

12,18% dan 24,36% dan penurunan skor nekrosis sebesar 68,26% dan 85,02%.

Kesimpulannya adalah pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan

kadar Alanine Aminotransferase/ALT, Aspartate Aminotransferase/AST, nekrosis

sel hati pada mencit yang dipapar parasetamol dosis toksik.

Kata kunci: parasetamol, vitamin C, alanine aminotransferase/ALT, aspartate

aminotransferase/AST, nekrosis

Page 11: Eva Rianah

xi

ABSTRACT

VITAMIN C PREVENTED NECROSIS AND DYSFUNCTION OF LIVER

CAUSED BY PARACETAMOL TOXIC DOSES IN MICE (Mus musculus)

Paracetamol as one of analgesic antipyretic is very effective in relieving

pain, reducing fever, and minimalize irritable to the stomach. It is also widely

used because it is easily obtained without a prescription. High tolerance and

availability of over-the-counter or can be purchased anywhere, tends to correlate

to the incidence of drug overdose in acute or chronic use, which consequently

leads to serious liver damage, especially at daily doses greater than 4 grams in

adults. Administration of vitamin C in humans orally can counteract the effects of

free radical compounds. In addition, administration of vitamin C can also increase

glutathione so as to prevent damage to the liver cells. The purpose of this study

was to prove that the administration of vitamin C could protect the liver against

the effects of paracetamol toxic doses.

This study was an experimental animal with Post Test Only Control Group

Design. A total of 30 mice were divided into 3 groups: control group (paracetamol

0.52 mg/g body weight of mice and placebo), treatment group 1 (paracetamol 0.52

mg/g body weight of mice and vitamin C 0.065 mg /g body weight of mice), and

treatment group 2 (paracetamol 0.52 mg/g body weight of mice and Vitamin C

0.13 mg/g body weight of mice). The study was conducted over 14 days, then

examined the levels of AST and ALT in heparin plasma serum and

histopathologic of mice in each group for posttest data.

Results of Shapiro-Wilk test and Levene'test showed that all three groups of

data distribution was normal and variant data of the three groups were

homogeneous with p>0.05. Test comparisons among the three groups after

treatment with vitamin C using One Way Anova test showed that there were

significant differences between the mean of the three groups either decreased

levels of ALT, AST and nercrosis scores with p<0.05. In the treatment group 1

and treatment 2 decreased alanine aminotransferase levels of 7.68% and 24.81%,

decreased levels of aspartate aminotransferase by 12.18% and 24.36% and a

decrease of necrosis score 68.26% and 85.02 %.

The conclusion was that vitamin C prevented increase levels of alanine

aminotransferase/ ALT, aspartate aminotransferase/ AST, liver cell necrosis in

mice exposed to paracetamol toxic doses.

Keywords: paracetamol, vitamin C, alanine aminotransferase/ALT, aspartate

aminotransferase/AST, necrosis

Page 12: Eva Rianah

xii

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR ........................................................................................................ i

SAMPUL DALAM .................................................................................................... ii

LEMBARAN PENGESAHAN .................................................................................. iii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................................. x

ABSTRACT ............................................................................................................... xi

DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiv

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xvi

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................... 8

2.1 Aging ........................................................................................................... 8

2.1.1 Teori-teori Aging ................................................................................ 9

2.2 Antioksidan .................................................................................................. 12

2.3 Asam Askorbat (Vitamin C) ........................................................................ 13

2.3.1 Manfaat Vitamin C ............................................................................. 13

2.3.2 Sumber-sumber Vitamin C ................................................................ 14

2.3.3 Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai Antioksidan ............................. 15

2.4 Parasetamol (Asetaminofen) ....................................................................... 17

2.5 Hati .............................................................................................................. 21

2.5.1 Fisiologi Hati ..................................................................................... 21

2.5.2 Histologi Hati ..................................................................................... 22

2.5.3 Kerusakan Hati Akut.......................................................................... 24

2.6 Enzim Transaminase ALT dan AST ............................................................ 25

2.7 Konversi Dosis Manusia dan Hewan ........................................................... 26

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 27

3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................................ 27

3.2 Konsep ......................................................................................................... 28

3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 29

BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................... 30

4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................. 30

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 30

Page 13: Eva Rianah

xiii

4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................... 31

4.4 Variabel Penelitian ...................................................................................... 32

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian ................................................................. 33

4.6 Pemeliharaan & Perawatan Mencit Selama Penelitian ............................... 33

4.7 Prosedur Pemeriksaan AST dan ALT ......................................................... 34

4.8 Prosedur Penelitian ..................................................................................... 36

4.9 Prosedur Pemeriksaan Histopatologi .......................................................... 36

4.10 Analisis Data ............................................................................................... 37

BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................................. 40

5.1 Uji Normalitas Data .................................................................................... 40

5.2 Uji Homogenitas Data ................................................................................. 41

5.3 Kadar Alanine Aminotransferase ................................................................ 41

5.4 Kadar Aspartate Aminotransfere ................................................................ 43

5.5 Nekrosis ...................................................................................................... 46

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN .................................................... 50

6.1 Subyek Penelitian ........................................................................................ 50

6.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ..................................... 50

6.3 Pengaruh Pemberian Vitamin C .................................................................. 51

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 55

Page 14: Eva Rianah

xiv

DAFTAR GAMBAR

2.1 Rumus Bangun Asam Askorbat (Vitamin C) .................................................. 15

2.2 Hubungan Sinergisme Sistem Antioksidan ...................................................... 16

2.3 Rumus Bangun Asetaminofen ......................................................................... 17

2.4 Metabolisme Asetaminofen pada proses hepatotoksis ..................................... 20

2.5 Histologi Hepar ................................................................................................ 22

2.6 Histologi Lobus Hati ........................................................................................ 23

3.1 Bagan Konsep Penelitian ................................................................................. 29

4.1 Skema Rancangan Penelitian ........................................................................... 31

4.2 Hubungan Antar Variabel ................................................................................ 33

4.3 Alur Penelitian ................................................................................................. 36

5.1 Perbandingan Kadar Alanine Aminotransferase antara Kelompok Kontrol

dengan Kelompok Perlakuan ............................................................................ 42

5.2 Perbandingan Kadar Aspartate Aminotransferase antara Kelompok Kontrol

dengan Kelompok Perlakuan ............................................................................ 44

5.3 Perbandingan Nekrosis antara Kelompok Kontrol dengan Kelompok

Perlakuan .......................................................................................................... 47

5.4 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada

kelompok kontrol setelah perlakuan ................................................................. 47

5.5 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada

kelompok perlakuan 1 setelah perlakuan .......................................................... 48

5.6 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada

kelompok perlakuan 2 setelah perlakuan .......................................................... 48

Page 15: Eva Rianah

xv

DAFTAR TABEL

4.1 Skor Nekrosis Sentrilobular .............................................................................. 38

5.1 Hasil Uji Normalitas Data Alanine Aminotransferase (ALT), Aspartate

Aminotransferase (AST), dan Nekrosis ............................................................ 40

5.2 Homogenitas Kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase,

dan Nekrosis antar Kelompok Perlakuan ......................................................... 41

5.3 Perbedaan Rerata Kadar Alanine Aminotransferase Antar Kelompok

Sesudah Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C .............................. 41

5.4 Analisis Komparasi Kadar Alanine Aminotransferase Sesudah Perlakuan

antar Kelompok ................................................................................................ 43

5.5 Perbedaan Rerata Kadar Aspartate Aminotransferase Antar Kelompok

Sesudah Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C .............................. 44

5.6 Analisis Komparasi Kadar Aspartate Aminotransferase Sesudah Perlakuan

antar Kelompok ................................................................................................ 45

5.7 Perbedaan Rerata Nekrosis Antar Kelompok Sesudah Diberikan

Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C ............................................................. 46

5.8 Analisis Komparasi Nekrosis Sesudah Perlakuan antar Kelompok .................. 49

Page 16: Eva Rianah

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance ................................................................................... 58

Lampiran 2. Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan Untuk

Konversi Dosis Manusia dan Hewan .................................................... 59

Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ALT dan AST .................................. 60

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Histopatologi........................................................... 61

Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Statistik ............................................................ 62

Lampiran 6. Kumpulan Foto Penelitian ..................................................................... 68

Lampiran 7. Prosedur Penanganan Hewan Coba ....................................................... 71

Page 17: Eva Rianah

xvii

DAFTAR SINGKATAN

ALT : Alanine Aminotransferase

AST : Aspartate Aminotransferase

SGPT : Serum Glutamic Piruvic Transaminase

SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase

DNA : Deoxy Nucleic Acid

AAM : Anti-Aging Medicine

A4M : American Academy of Anti-Aging Medicine

SOD : Super Oksida Dismutase

PUFAs : Poly Unsaturated Faty Acids

Page 18: Eva Rianah

xviii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses penuaan atau aging process adalah suatu proses bertambah tua atau

adanya tanda-tanda penuaan setelah mencapai usia dewasa. Secara alamiah seluruh

komponen tubuh pada tahap ini tidak dapat berkembang lagi, dan mulai terjadi

penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan tersebut. Pada umumnya orang

menganggap menjadi tua memang harus terjadi dan membiarkan berbagai tanda

dan gejala penuaan yang mulai muncul. Ada banyak faktor yang menyebabkan

orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menjadi sakit dan

akhirnya membawa kepada kematian.

Anti-aging medicine menganggap dan memperlakukan penuaan sebagai

suatu penyakit yang dapat dihindari, diobati, dicegah, diperlambat, bahkan mungkin

dihambat dan kualitas hidup dipertahankan. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan

menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah terbentuknya

radikal bebas yang bersifat merusak sel, penurunan efisiensi mitokondria, terjadinya

ikatan glukosa-protein, penurunan kemampuan membran sel dan penurunan sistem

imun, hormon yang berkurang, proses glikolisis, metilasi, apoptosis dan gen. Faktor

eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak sehat, stress, polusi lingkungan dan

kemiskinan (Pangkahila, 2007).

Perubahan terjadi pada tingkat seluler, organ, maupun sistem karena

proses penuaan, yang kesemuanya ini akan mengakibatkan timbulnya

1

Page 19: Eva Rianah

xix

penyakit degeneratif dan obesitas yang diakui sebagai salah satu faktor

terhadap munculnya berbagai penyakit seperti hiperkolesterol, diabetes,

penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan kanker. Kelebihan komposisi lemak

tubuh dan distribusi lemak dalam tubuh merupakan ancaman terbesar dalam

mempercepat penuaan (Goldman and Klatz, 2007).

Banyak teori yang menjelaskan manusia dapat mengalami proses

penuaan, di antaranya teori radikal bebas, dan teori wear and tear. Menurut

teori radikal bebas, suatu organisme menjadi tua karena akumulasi kerusakan

oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas akan merusak

molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut, sehingga

menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.

Molekul utama di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas adalah

deoxy nucleic acid (DNA), lemak, dan protein (Goldman and Klatz, 2007).

Menurut teori wear and tear, tubuh dan selnya menjadi rusak karena

terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Organ tubuh seperti hati,

lambung, ginjal, kulit dan lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan

dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan

nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi

kerusakan ini tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel.

Teori ini menyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan

yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya

dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan

mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2007).

Page 20: Eva Rianah

xx

Parasetamol/ asetaminofen merupakan salah satu analgesik antipiretik

yang efektif, menghilangkan rasa nyeri, menurunkan panas, tidak mengiritasi

lambung dan banyak digunakan karena mudah didapatkan dan dijual tanpa

harus dengan resep dokter. Parasetamol lebih dari 1 miliar tablet yang dijual

setiap tahun di Amerika Serikat saja (Nourjah et al., 2006). Toleransi yang

tinggi dan ketersediaan over-the-counter atau dapat dibeli dimana saja, maka

kejadian overdosis obat pada penggunaan akut atau kronis sering

menyebabkan kerusakan hati yang serius, terutama pada dosis harian lebih

besar dari 4 gram pada orang dewasa (Ostapowicz et al., 2002).

Diperkirakan bahwa lebih dari 56.000 kasus yang datang ke ruang

emergensi dan hampir 500 kematian terjadi di Amerika Serikat setiap

tahunnya, akibat keracunan parasetamol (Nourjah et al., 2006). Namun,

angka ini terus meningkat. Dalam beberapa waktu terakhir, keamanan

parasetamol bahkan pada dosis terapi telah menimbulkan perdebatan (Jalan et

al., 2006). Hasil penelitian Watkins dan rekan serta studi lain telah membuka

kembali kontroversi tentang keamanan terapi parasetamol pada pengobatan

terus menerus jangka panjang (Yin et al., 2001; Watkins et al., 2006). Cidera

hati akut telah dilaporkan pada pasien dosis terapi parasetamol (Yin et al.,

2001; Watkins et al., 2006).

Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati akut disebabkan oleh

reaksi peroksidasi lipid yang meningkat pada jaringan hati (Schnellman,

2001; Bessems dan Vermeulen, 2001). Hepatotoksisitas akut parasetamol

akan ditandai dengan peningkatan serum dari enzim-enzim hati (Alanine

Page 21: Eva Rianah

xxi

Aminotransferase (ALT)/ Serum Glutamic Piruvic Transaminase (SGPT) dan

Aspartate Aminotransferase (AST)/ Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase (SGOT) (Schellman, 2001). ALT dan AST yang paling sering

digunakan untuk penanda cidera hepatoseluler yang akut. Enzim ini, ALT

ditemukan banyak terutama di hati sedangkan AST ditemukan banyak dalam

berbagai jaringan lain seperti jantung dan otot rangka, ginjal, otak, dan lain-

lain (Rochiling et al., 2001).

Secara fisiologis vitamin C adalah penangkal radikal bebas yang kuat

hingga 24 % dari radikal bebas yang ada dalam plasma, jaringan mata, otak,

paru–paru, hati, jantung, sperma dan leukosit, dan berperan melindungi sel-

sel dari kerusakan oksidatif termasuk mencegah mutasi DNA, dan

memperbaiki dioksidasi residu asam amino memelihara integritas protein (Yi,

2007). Penelitian yang dilakukan Adejuwon et al. (2008), melaporkan bahwa

pemberian vitamin C 100-500 mg/kg dapat melindungi kerusakan hati dari

konsumsi asetaminofen dimana vitamin C berperan menghambat radikal

bebas yang baik.

Pemberian vitamin C dengan dosis 1 mg/kg berat badan pada manusia

secara oral dapat menangkal efek senyawa radikal bebas. Selain itu

pemberian vitamin C juga dapat meningkatkan glutathion sehingga dapat

mencegah kerusakan sel hati (Fauzi, 2008).

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka jelaslah bahwa

parasetamol dapat menyebabkan nekrosis dan gangguan fungsi hati dan

vitamin C berpotensi sebagai bahan pelindung hati dari pengaruh parasetamol

Page 22: Eva Rianah

xxii

tersebut. Namun, pilihan terapi untuk pengobatan dan profilaksis yang

berhubungan dengan komplikasi parasetamol sangat terbatas (James et al.,

2003). Dengan demikian, penelitian yang berhubungan dengan komplikasi

parasetamol berupa nekrosis dan gangguan fungsi hati menjadi keharusan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proteksi vitamin C

terhadap nekrosis dan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh

parasetamol yang dicobakan pada mencit.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, maka

dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Alanine

Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.

2. Apakah pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar

Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.

3. Apakah pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati mencit yang

disebabkan parasetamol dosis toksik.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Page 23: Eva Rianah

xxiii

Untuk mengetahui pengaruh proteksi vitamin C terhadap nekrosis dan

gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh parasetamol dosis toksik.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar

Alanine Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol

dosis toksik.

2. Untuk mengetahui pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar

Aspartate Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol

dosis toksik.

3. Untuk mengetahui pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati

mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh informasi ilmiah tentang

penggunaan vitamin C dalam melindungi hati terhadap efek parasetamol

dosis toksik.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Page 24: Eva Rianah

xxiv

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi

masyarakat tentang manfaat penggunaan vitamin C dalam melindungi hati

terhadap efek parasetamol.

BAB II

Page 25: Eva Rianah

xxv

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aging

Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan

fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan

berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik

seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini

atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).

Menurut A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine), aging

adalah kelemahan dan kegagalan baik fisik maupun mental yang

berhubungan dengan aging normal disebabkan oleh disfungsi fisiologik,

dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat

(Klatz, 2003). Aging dapat dibagi menjadi dua konsep yang berbeda, yaitu :

usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis yaitu usia berdasarkan

urutan waktu, terhitung sejak tanggal lahir, sedangkan usia biologis

merupakan fungsi fisik dan mental seseorang, yang terkadang dapat lebih

muda atau lebih tua bila dibandingkan orang lain yang seusianya (Goldman

dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007).

Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Anti-Aging Medicine

(AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan

diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati

bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat

menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz,

8

Page 26: Eva Rianah

xxvi

2007; Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai

organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh

dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, walaupun usia bertambah.

Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda

dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007).

Konsep dan definisi AAM pada awalnya diperkenalkan oleh A4M (

American Academy of Anti-Aging Medicine) pada tahun 1993, definisinya

adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,

pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula berbagai

disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang

bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat ” (Pangkahila,

2007)

2.1.1 Teori-teori Aging

Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga molekuler secara

umum terdiri dari 2 latar belakang, yaitu aging sebagai sesuatu yang

terprogram (programmed theory) dan aging merupakan sesuatu yang tidak

terprogram (non-programed theory). Teori terprogram berdasarkan

pemikiran bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia

diperintah oleh jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk

sejumlah perubahan. Teori tidak-terprogram menyatakan organisme menjadi

tua oleh sejumlah kejadian acak. Contohnya kerusakan DNA oleh radikal

Page 27: Eva Rianah

xxvii

bebas atau hanya wear and tear dari kehidupan sehari-hari. Ada 4 teori

pokok dari aging (Goldman dan Klatz, 2007).

Teori “wear and tear”

Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan

disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung,

ginjal, kulit dan yang lainya, menurun karena toksin didalam makanan dan

lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin,

karena sinar ultraviolet dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi

kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ

tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh

hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk

poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan

hormonya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam

jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA,

dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan

Page 28: Eva Rianah

xxviii

fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut

menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup.

Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena

terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu.

Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron

yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi,

karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul

menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu

elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang

elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan

kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di

dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan

protein (Suryohudoyo, 2000).

Bersamaan dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel

akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu

metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa

pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen

dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel

dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal

bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit

Page 29: Eva Rianah

xxix

dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas

(Goldman dan Klatz, 2007).

2.2 Antioksidan

Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 yaitu antioksidan

enzimatis dan antioksidan non enzimatis yang berupa mikronutrien.

Antioksidan enzimais dapat dibentuk dalam tubuh, seperti super oksida

dismutase (SOD), glutation peroksida, katalase, dan glutation reduktase.

Sedangkan antioksidan non enzimatis yang berupa mikronutrien masih dibagi

dalam 2 kelompok lagi :

1. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karetenoid, flavonoid, quinon,

dan bilirium.

2. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam,

dan protein pengikat heme.

Beta karoten merupakan scavengers oksigen tunggal, vitamin C scavengers

superoksida dan radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan

pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein.

Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi

Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel

dari oksidasi oleh radikal bebas (Hariyatmi, 2004).

Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibagi menjadi : (Hariyatmi, 2004)

a. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan

menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E.

Page 30: Eva Rianah

xxx

b. Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat

pemulung, misalnya vitamin C.

c. Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+ dan

Cu2+, misalnya flavonoid.

d. Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi

bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation

peroksidase.

Mekanisme kerja antioksidan seluler adalah sebagai berikut:

a. Berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal

b. Mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif

c. Mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik

d. Mencegah kemampuan oksigen reaktif

e. Memperbaiki kerusakan yang timbul.

2.3 Vitamin C (Asam Askorbat)

2.3.1 Manfaat Vitamin C

Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan sangat penting

untuk biosintesis kolagen, karnitin dan berbagai neurotransmiter.

Kebanyakan tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat mensintesis vitamin C

untuk kebutuhannya sendiri. Akan tetapi manusia dan hewan primata

lainnya, tidak mampu mensintesis vitamin C karena tidak memiliki enzim

gulonolactone oxidase, begitu juga dengan marmut dan kelelawar

pemakan buah. Oleh sebab itu, pada manusia dan hewan vitamin C harus

Page 31: Eva Rianah

xxxi

disuplai dari luar tubuh terutama dari buah, sayur atau tablet suplemen

vitamin C. Banyak keuntungan di bidang kesehatan yang diperoleh dari

vitamin C, misalnya sebagai anti oksidan, anti atherogenik,

imunomodulator dan mencegah flu. Untuk dapat berfungsi dengan baik

sebagai antioksidan, maka kadar asam askorbat ini harus terjaga agar tetap

dalam kadar yang relatif tinggi dalam tubuh (Yi, 2007). Konsumsi 500 –

1000 mg vitamin C sehari sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dan

kerusakan di jaringan organ.

2.3.2 Sumber-sumber Vitamin C

Vitamin C banyak dijumpai dalam buah-buahan dan sayuran segar.

Buah yang banyak mengandung asam askorbat diantaranya adalah jeruk,

jeruk lemon, semangka, strawberi, mangga dan nanas. Sedangkan sayuran

yang banyak mengandung asam askorbat antara lain adalah sayuran yang

berwarna hijau, tomat, brokoli dan kembang kol. Kebanyakan tumbuhan

dan hewan mensintesis asam askorbat dari glukosa-D atau galaktosa-D.

Sebagian besar hewan memproduksi vitamin C yang relatif tinggi dari

glukosa yang terdapat di hati (Naidu, 2003). Asam askorbat merupakan

molekul yang labil, sehingga dapat hilang dari makanan pada saat

dimasak. Vitamin C sintetis tersedia dalam berbagai macam suplemen

bentuknya bisa bermacam macam baik dalam bentuk tablet, kapsul, tablet

kunyah, bubuk kristal, dan dalam bentuk larutan. Baik vitamin C yang

alami maupun yang sintetis memiliki rumus kimia yang identik dan tidak

terdapat perbedaan aktifitas biologi dan bioavailabilitasnya (Naidu, 2003).

Page 32: Eva Rianah

xxxii

2.3.3 Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai Antioksidan

Gambar 2.1 Rumus Bangun Vitamin C (Lavoiser, 1998)

Vitamin C adalah nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting

untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal

dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C

dikenal sebagai antioksidan terlarut air paling dikenal.

Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan

cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Selain itu, vitamin C

juga dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler

dan ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif

didalam sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina. Vitamin ini juga dapat

bereaksi dengan Fe-feritin. Diluar sel, vitamin C mampu menghilangkan

senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer

Page 33: Eva Rianah

xxxiii

elektron ke dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam

saluran pencernaan.

Gambar 2.2 Hubungan Sinergisme Sistem Antioksidan (Helen, 2000)

Gambar 2.2 menjelaskan hubungan yang sinergisme di dalam sistem

antioksidan. Adanya suatu radikal yang masuk, pertama kali akan dinetralisir

oleh vitamin E, kemudian vitamin C dan dilanjutkan oleh mekanisme

oksidatif dari dalam tubuh, dilakukan oleh enzim, misal gluthathion. Di

dalam sistem tersebut ada saling keterkaitan antara satu dengan lain

(antioxidant network). Beberapa antioksidan penting dalam mekanisme untuk

menghambat kerusakan oksidatif akibat radikal bebas, diantaranya

gluthathion peroksidase, vitamin C dan vitamin E.

Antioksidan bisa

dikelompokkan berdasar sumbernya menjadi antioksidan endogen dan

eksogen. Antioksidan endogen merupakan antioksidan secara alami berada

dalam sel manusia diantaranya adalah superokside dismutase (SOD), katalase

(CAT), dan gluthathion peroksidase (GPx). Antioksidan eksogen adalah

antioksidan yang berasal dari luar tubuh, berasal dari makanan sehari-hari

seperti vitamin-vitamin (vitamin C, vitamin E, ß–karoten), dan senyawa

fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin, polifenol) (Helen, 2000).

Page 34: Eva Rianah

xxxiv

Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi

dengan anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid

peroksida. Sebagai reduktor vitamin C akan mendonorkan satu elektron

membentuk semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya

mengalami reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat

tidak stabil. Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan

asam treonat. Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal

bebas, maka peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran

sel (Suhartono et al, 2007).

2.4 Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol/ asetaminofen dengan rumus molekulnya C8H9NO2

mempunyai kerja yang serupa dengan fenasetin dengan khasiat analgetik dan

antipiretik yang sama (sedikit lebih lemah dari asetosal). Sifat-sifat

farmakokinetiknya lebih kurang sama dengan fenasetin, efek sampingnya

lebih ringan, khususnya tidak nefrotoksis dan tidak menimbulkan euphoria

dan ketergantungan psikis. Tidak menimbulkan perdarahan lambung seperti

asetosal, maka pada tahun-tahun terakhir parasetamol banyak sekali

digunakan di Indonesia sebagai analgetik-antipiretik yang aman.

Gambar 2.3 Rumus Bangun Asetaminofen (Darmansjah, 2002)

Page 35: Eva Rianah

xxxv

Namun penggunaannya tetap harus hati-hati, karena dosis 6-12 gram

sudah dapat merusak hati secara serius. Hal ini disebabkan oleh karena

terbentuknya metabolit reaktif didalam hati. Keuntungan lain dari

parasetamol dibandingkan dengan fenasetin adalah kelarutannya didalam air,

sehingga dapat digunakan dalam sediaan-sediaan cair. Parasetamol/

asetaminofen adalah suatu analgetik dan antipiretik, namun tidak memiliki

kerja anti inflamasi dan diberikan pada individu yang tidak mampu

mentoleransi hipersensitivitas. Merupakan suatu antipiretik yang paling

selektif.

Dibandingkan dengan aspirin, parasetamol diabsorpsi baik di usus,

memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, dan tidak

menimbulkan masalah perdarahan atau toksisitas pada ginjal. Obat ini

ditoleransi dengan baik. Berbeda dengan aspirin yang dapat ditemukan dalam

ASI, maka parasetamol aman diberikan pada kehamilan. Peminum alkohol

yang berat mungkin lebih mudah mengalami toksisitas hati pada dosis

teraupetik. Nefropati analgesik seperti yang dilaporkan dengan pemakaian

fenasetin, tidak merupakan masalah pada pemakaian parasetamol. Efek anti

inflamasi dari parasetamol sendiri sangat lemah, oleh karena itu parasetamol

tidak dipergunakan sebagai antireumatik. Efek iritasi, erosi dan pendarahan

lambung tidak terlihat pada obat ini. Demikian juga gangguan pernafasan dan

keseimbangan basa.

Tanpa pengobatan yang tepat, overdosis parasetamol bisa menyebabkan

Page 36: Eva Rianah

xxxvi

gagal hati dan kematian dalam beberapa hari. Dosis toksis parasetamol sangat

bervariasi. Pada dewasa, dosis tunggal di atas 10 gram atau 150 mg/kg bisa

menyebabkan toksisitas. Toksisitas juga bisa terjadi pada dosis multipel yang

lebih kecil dengan jangka waktu pemberian 24 jam melebihi kadar tersebut,

atau bahkan pemberian jangka panjang dosis terendahnya 4 g/hari. Keracunan

yang fatal bisa terjadi pada penggunaan 12-20 tablet parasetamol dengan

kadar per tabletnya 500 mg sekaligus ditelan, bergantung kepada kapasitas

individual setiap orang. Diketahui pula bahwa waktu paruh parasetamol

dalam darah yang normal yang semula adalah 2 jam, dapat bertambah lama

menjadi 4 jam, sehingga dipakai sebagai ukuran untuk menilai derajat

keracunan (Darmansjah, 2002).

Dosis lazim oral parasetamol adalah sebesar 500-1000 mg. Dosis total

harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Pada dosis terapeutik, parasetamol

biasanya ditoleransi dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan

reaksi alergi lain. Namun, jika dosis parasetamol melebihi dosis lazim akan

terjadi efek merugikan berupa nekrosis hati dan kemungkinan fatal serta

tergantung pada dosis (Baggish, 2005).

Parasetamol/ asetaminofen termasuk obat antipiretik analgesik yang

cukup aman dalam dosis terapi (1,2 gram/hari untuk orang dewasa). Secara

alamiah mengalami proses glukuronidasi dan sulfasi ke konjugat yang sesuai

dan bersama-sama membentuk 95% dari total metabolit yang diekskresikan.

Jalur alternatif P450-dependent GSH konjugasi menyumbang 5% sisanya.

Ketika asupan asetaminofen jauh melebihi dosis terapi, jalur glukuronidasi

Page 37: Eva Rianah

xxxvii

dan sulfasi menjadi jenuh, dan jalur P450-dependent menjadi semakin

penting. Sedikit atau tidak terjadinya hepatotoksisitas, GSH hepatik tetap

tersedia untuk konjugasi. Namun, seiring dengan waktu, GSH hepatik lebih

cepat habis daripada yang dapat diregenerasi, dan reaktif, metabolit yang

toksik akan terakumulasi. Dengan tidak adanya nukleofil intraseluler seperti

GSH, metabolit reaktif ini (N-acetylbenzoiminoquinone) akan bereaksi

dengan kelompok-kelompok nukleofilik dari protein seluler, sehingga terjadi

hepatotoksisitas (Katzung, 2012).

Page 38: Eva Rianah

xxxviii

Gambar 2.4 Metabolisme Asetaminofen pada proses hepatotoksis (Katzung,

2012).

2.5 Hati

2.5.1 Fisiologi Hati

Hati adalah organ tubuh terbesar dan mempunyai fungsi yang sangat

kompleks di dalam tubuh, dengan berat 1/36 berat badan orang dewasa yaitu

Page 39: Eva Rianah

xxxix

berkisar 1200 - 1600 gr. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang

berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8

sampai 2 mm. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Hati terdiri dari

dua lobus utama, yaitu lobus kanan yang merupakan bagian terbesar dan lobus

kiri merupakan bagian yang lebih kecil. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat

makanan, sebagian besar obat dan toksikan (Guyton, 2002).

Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar organ hati dan

bertanggung jawab terhadap peran sentralnya dalam metabolisme. Sel-sel ini

terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu, sedangkan sel

Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem

retikuloendothelial tubuh. Darah mengalir ke hati melalui vena porta dan arteri

hepatika. Vena porta membawa zat makanan karena menerima aliran darah dari

saluran cerna, limpa dan pankreas. Sedangkan sistem saluran empedu terbentuk

mulai dari kanalikuli yang kecil sekali, dan dibentuk oleh sel parenkim yang

berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktus saluran empedu interlobular, dan

saluran empedu yang lebih besar. Saluran hati yang utama membungkus duktus

kistik dari kandung empedu dan membentuk saluran empedu yang mengalir ke

dalam duodenum. Hati merupakan organ yang sangat penting sebagai pusat

metabolisme tubuh dan memiliki fungsi yang banyak dan komplek (Guyton, 2002).

2.5.2 Histologi Hati

Page 40: Eva Rianah

xl

Histologi hati terdiri atas lobulus, yaitu lobulus anatomi dan fungsional.

Lobulus fungsional terdiri dari atas segi tiga Kierman sebagai titik tengah

dan vena centralis sebagai batas luar (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Histologi Hepar (Luiz, 2007)

Tetapi dalam mempelajari patologi maka anatomi lobulus yang lebih

penting (Gambar 4) terdiri dari:

a. Vena sentralis sebagai titik tengah yang mengalirkan darah ke vena

sublobularis dan kemudian ke vena hepatika.

b. Parenchym hati yang terdiri lagi atas selapis sel hati dan kanal empedu kecil-

kecil.

c. Sinusoid yang berlapiskan sel Kupffer (susunan retikuloendotelial).

d. Ruang Disse yang terletak antara sel hati dan sinusoid.

e. Segi tiga Kierman atau daerah portal sebagai batas luar lobulus.

Page 41: Eva Rianah

xli

Gambar 2.6 Histologi lobus hati : Vena sentralis, Hepatosit, dan Sinusoid (Luiz,

2007)

Hati adalah alat tubuh yang tersering mengalami kerusakan dan beruntung

sekali, bahwa alat ini mempunyai cadangan fungsional yang luar biasa, hasil

percobaan pada binatang menunjukkan bahwa 10% parenkim hati saja sudah

cukup untuk mempertahankan fungsi hati normal. Pada manusia, kerusakan hati

haruslah luas sekali untuk bisa menimbulkan gejala klinik insufisiensi hepatik,

sedangkan kelainan luas akibat intoksikasi, infeksi virus, penyakit gizi dapat

menyebabkan gangguan jaringan hati yang cepat memburuk (Luiz, 2007).

2.5.3 Kerusakan Hati Akut

Pemeriksaan penanda biokimia untuk penyakit hati seperti AST dan

ALT (SGOT dan SGPT) menunjukkan adanya kerusakan hepatosit. Kadar

bilirubin serum dan alkali phosphatase yang meningkat menunjukkan

Page 42: Eva Rianah

xlii

adanya Kolestatis. Perkembangan penyakit atau adanya kesembuhan dapat

dipantau dengan pengukuran fungsi hati serial.

Kerusakan hati akut bisa disebabkan dibawah ini :

1. Overdosis

2. Infeksi

1. Overdosis

Zat yang paling banyak terbukti mempengaruhi hati adalah Parasetamol

dan karbon tetraklorida. Keduanya dimetabolisme oleh hati yang utuh,

dalam jumlah yang kecil, akan tetapi pada saat mereka berada dalam

jumlah yang tinggi mereka akan menghasilkan peningkatan metabolik

toksik, yang akan merusak hepatosit dengan pelepasan enzim dalam

jumlah besar. Kapasitas hati untuk menahan serangan akan berkurang

jika ada kerusakan hati yang mendasarinya, yang disebabkan oleh

alkohol, malnutrisi atau penyakit kronis lainnya. Beberapa tumbuhan dan

toksin-toksin jamur juga dapat menyebabkan katastropik dan kerusakan

hati fatal dalam waktu 48 jam (Navarro, 2006).

Kelompok toksin ketiga adalah kelompok yang meningkatkan

kegagalan hepatoseluler akut hanya pada individu tertentu yang peka.

Contoh yang penting adalah natrium valproat, suatu obat antikonvulsan

yang toksisitasnya meningkat pada beberapa anak-anak, dan halotan,

suatu anestetik.

2. Infeksi hati

Baik bakteri maupun virus dapat meningkatkan hepatitis infektif, yang

Page 43: Eva Rianah

xliii

dapat menimbulkan banyak kematian. Yang paling umum adalah

hepatitis A, hepatitis B dan hepatitis C.

2.6 Enzim Transaminase ALT dan AST

Sel hati mengandung enzim-enzim transaminase dalam jumlah besar.

Jika sel hati mengalami kerusakan atau nekrosis, enzim- enzim tersebut akan

keluar dari sel hati sehingga kadarnya akan meningkat di dalam darah. Enzim

yang dapat dijadikan indikator kerusakan hati adalah Alanin

Aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST). Kedua

enzim ini merupakan indikator terbaik untuk mengidentifikasi kerusakan hati

karena peningkatan kedua enzim ini terjadi lebih awal dan umumnya

peningkatannya lebih drastis dari enzim lainnya.

Enzim ALT atau disebut juga Serum Glutamat Piruvat Transaminase

(SGPT) terdapat dalam sel-sel jaringan tubuh tetapi enzim ini paling banyak

ditemukan di sel-sel hati dan terikat dalam sitoplasma. Enzim ini berperan

dalam mengatalisis pemindahan gugus amino dari alanin ke asam α-

ketoglutarat membentuk asam glutamat dan asam piruvat. Enzim ALT

merupakan indikator terbaik dalam melihat kerusakan hati karena bersifat

khas dan spesifik. Pada umumnya konsentrasi ALT lebih tinggi dibandingkan

konsentrasi AST pada penyakit hati yang parah karena enzim ALT

proporsinya lebih banyak pada organ hati dibandingkan organ tubuh lain.

Nilai normal laki-laki dewasa < 50 U/L dan perempuan dewasa < 34 U/L.

Enzim AST atau disebut juga Serum Glutamat Oksaloasetat

Page 44: Eva Rianah

xliv

Transaminase (SGOT) merupakan enzim mitokondria yang berfungsi

mengatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke

asam α-oksaloasetat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat. Enzim AST

tidak spesifik sebagai indikator disfungsi hati karena banyak ditemukan pada

otot rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Kadar enzim AST akan meningkat

apabila terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler seperti

gangguan fungsi hati dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh

darah, serta gangguan fungsi ginjal dan pankreas (Fischbach, 2004).

2.7 Konversi Dosis Manusia dan Hewan

Untuk menentukan dosis ideal vitamin C dan parasetamol pada hewan

percobaan mencit menggunakan tabel konversi dosis manusia dan hewan.

Diketahui untuk mencit 20 gram didapatkan nilai konversinya terhadap

manusia 70 kg sebesar 0,0026. Dosis ideal vitamin C perhari bagi manusia

antara 500-1000 mg sedangkan dosis toksik parasetamol untuk manusia 70 kg

sebesar 4000 mg.

Maka dosis 500 mg vitamin C ekuivalen untuk mencit adalah :

= (500 mg x 0,0026)/20 gram

= 0,065 mg/g BB Mencit

Sedangkan pada dosis 1000mg vitamin C ekuivalen untuk mencit adalah :

= (1000mg x 0,0026)/20 gram

= 0,13 mg/g BB Mencit.

Page 45: Eva Rianah

xlv

Untuk dosis toksik parasetamol 4 g ekuivalen mencit adalah :

= (4000 mg x 0,0026)/20 gram

= 0,52 mg /g BB Mencit.

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Page 46: Eva Rianah

xlvi

Beberapa orang berfikir bahwa parasetamol (asetaminofen) adalah

aman untuk dikonsumsi, tetapi hal tersebut dapat menimbulkan masalah yang

serius terhadap kerusakan hati yang berat dan bahkan sampai gagal hati yang

akut jika dikonsumsi melebihi dosis seharusnya.

Vitamin C dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik

dengan atau tanpa katalisator enzim. Reaksinya terhadap senyawa oksigen

reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen lainnya. Asam askorbat

juga melindungi makro molekul penting dari oksidatif. Reaksi terhadap

radikal hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi.

Peningkatan kadar AST, ALT dan nekrosis yang terjadi di hati

dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara

lain overdosis obat-obatan seperti parasetamol dan penyakit infeksi virus.

Sebagai zat penghambat radikal bebas, vitamin C dapat langsung

bereaksi dengan anion superoksida, radikal hidroksil, dan lipid peroksida.

Sebagai reduktor vitamin C akan mendonorkan satu elektron membentuk

semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami

reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat tidak stabil.

Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam

treonat. Kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal bebas, maka

peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, vitamin C dapat

melindungi hati dari kerusakan akibat pemakaian parasetamol dengan

mencegah radikal bebas dan melindungi nekrosis dan gangguan fungsi hati.

28

Page 47: Eva Rianah

xlvii

3.2 Konsep

Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep penelitian diatas, ditetapkan hipotesis

penelitian sebagai berikut :

1. Pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Alanine

Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.

Mencit yang diberikan

Parasetamol dosis

tinggi

Faktor Eksternal

Makanan

Aktivitas

Penyakit

Obat

Faktor Internal

Genetik

Hormonal

Jenis kelamin

Usia

Vitamin C

(Asam Askorbat)

Kadar AST

Kadar ALT

Nekrosis hati

Page 48: Eva Rianah

xlviii

2. Pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Aspartate

Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.

3. Pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati pada mencit yang

disebabkan parasetamol dosis toksik.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan

menggunakan Posttest Only Control Group Design (Pocock, 2008).

O1

P0

Page 49: Eva Rianah

xlix

P1

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

P0 : Perlakuan pada kelompok Kontrol yang diberikan Parasetamol 0,52 mg/g

+ Plasebo peroral.

P1 : Perlakuan pada kelompok Perlakuan yang diberikan Parasetamol 0,52

mg/g + Vitamin C 0,065 mg/g peroral.

P2 : Perlakuan pada kelompok Perlakuan yang diberikan Parasetamol 0,52

mg/g + Vitamin C 0,13 mg/g peroral.

O1 : Kadar AST dan ALT serta gambaran histopatologi pada kelompok Kontrol

posttest.

O2 : Kadar AST dan ALT serta gambaran histopatologi pada kelompok

Perlakuan posttest.

O3 : Kadar AST dan ALT serta gambaran histopatologi pada kelompok

Perlakuan posttest.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

- Tempat : di Laboratory Animal Unit di bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, Bali dan pemeriksaan AST dan ALT di

Laboratorium Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada.

- Waktu : bulan Juli 2014 – September 2014.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi Penelitian

Mencit (Mus musculus) jantan dan betina berumur 6-7 minggu, dengan

berat badan 20-22 gram.

4.3.2 Kriteria Subjek

Kriteria penerimaan :

Populasi Sampel

P2

O2

O3

31

Random

Page 50: Eva Rianah

l

1. Mencit jantan dan betina yang telah dikondisikan dalam suhu ruangan

yang terkontrol (24 ± 2° c) dan kelembaban (65-80 %) selama 14 hari.

2. Umur 6 – 7 minggu.

3. Berat mencit 20 - 22 gram .

Kriteria drop-out :

1. Mencit mati saat penelitian berlangsung.

4.3.3 Besaran Sampel

Pada penelitian ini sampel diperhitungkan dengan Rumus Federer

(2008) jumlah sampel minimal.

Rumus Federer : ( n – 1) ( t – 1) ≥ 15

Keterangan:

n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

t = jumlah kelompok perlakuan

Dengan demikian, maka diperoleh:

(n-1) (3-1) ≥ 15

(n-1) 2 ≥ 15

(n-1) ≥ 7,5

n ≥ 8,5 9

Minimal jumlah sampel = 9, ditambah 10% untuk mengatasi dropout

menjadi 10 ekor mencit.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, jumlah sampel mencit yang

digunakan pada penelitian ini adalah 10 ekor per kelompok. Karena jumlah

Page 51: Eva Rianah

li

kelompok adalah 3, maka jumlah mencit seluruhnya adalah 30 ekor.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel

a. Variabel bebas : vitamin C

b. Variabel tergantung : kadar AST dan ALT , nekrosis hati

c. Variabel kendali : berat badan mencit, umur mencit

4.4.2 Hubungan Antar Variabel

Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel

4.4.3 Definisi Operasional Variabel

a. Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan sangat penting untuk

biosintesis kolagen, karnitin dan berbagai neurotransmitter. Vitamin C

dalam penelitian ini dengan sediaan dalam bentuk padat (mg/g).

b. Parasetamol adalah salah satu analgesik antipiretik yang memiliki rumus

molekul C8H9NO2. Sediaan parasetamol dalam bentuk padat (mg/g).

Variabel Tergantung

Kadar AST & ALT

Nekrosis hati

Variabel Kendali

BB & umur mencit

Variabel Bebas

Vitamin C

Page 52: Eva Rianah

lii

c. Alanine Aminotransferase (ALT) dan Aspartate Aminotransferase (AST)

merupakan enzim hati yang digunakan untuk penanda cidera

hepatoseluler (IU/l).

d. Gambaran lesi histopatologi hati berupa degenerasi difus, inti piknotik

hepatosit dengan infiltrasi limfositik dari portal triad hepatik

e. Luas nekrosis pada hati mencit dinilai secara semikuantitatif menggunakan

mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada zona 3 dalam 10 lobulus.

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian

Bahan penelitian :

1. Vitamin C/ asam askorbat dalam bentuk bubuk dengan dosis 0,065 mg/g

dan 0,13 mg/g.

2. Parasetamol/ asetaminofen dosis toksik dalam bentuk bubuk dengan

dosis 0,52 mg/g.

4.6 Pemeliharaan & Perawatan Mencit Selama Penelitian

- Mencit, umur 6-7 minggu, sehat dengan berat badan 20-22 gram.

- Kandang percobaan dibersihkan setiap hari untuk mencegah infeksi yang

dapat terjadi akibat kotoran mencit tersebut.

- Kandang ditempatkan dalam suhu kamar dan cahaya menggunakan sinar

matahari tidak langsung.

- Makanan hewan percobaan diberikan dalam bentuk pelet. Makanan dan

minuman diberikan secukupnya dalam wadah terpisah dan diganti setiap

hari.

Page 53: Eva Rianah

liii

4.7 Prosedur Penelitian

1. Dipilih 30 ekor mencit, umur 6-7 minggu, sehat dengan berat badan 20-

22 gram.

2. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, 10 ekor mencit per kelompok secara

acak dan dilakukan adaptasi sebelum penelitian dilakukan.

3. Kelompok kontrol (P0) diberikan plasebo dan diberikan juga 0,52

mg/g/hari parasetamol peroral 1 jam setelah pemberian plasebo tersebut

selama 14 hari.

4. Kelompok perlakuan (P1) diberikan dosis harian vitamin C 0,065 peroral

mg/g dan masing-masing diberikan 1 jam sebelum pemberian 0,52 mg/g

peroral parasetamol selama 14 hari.

5. Kelompok perlakuan (P2) diberikan dosis harian vitamin C 0,13 mg/g

peroral dan masing-masing diberikan 1 jam sebelum pemberian peroral

0,52 mg/g parasetamol selama 14 hari.

6. Setelah 14 hari, dilakukan pemeriksaan kadar AST dan ALT dalam

serum plasma heparin mencit serta gambaran histopatologinya pada

masing-masing kelompok yang menjadi data posttest.

Kontrol Perlakuan 2

30 mencit yang termasuk inklusi

dilakukan adaptasi

Perlakuan 1

Page 54: Eva Rianah

liv

Gambar 4.3 Alur Penelitian

4.8 Prosedur Pemeriksaan AST dan ALT

Prinsip pengukuran aktivitas ALT dan AST adalah mengukur laju

berkurangnya jumlah NADH menjadi NAD+

pada reaksi yang terjadi antara

enzim dan substrat yang dapat diukur pada panjang gelombang 340 nm.

Sampel darah mencit disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15

menit untuk mendapatkan serumnya. Setelah itu, dilakukan analisis kadar

ALT dan AST. Sebanyak 100 μl serum darah mencit dicampur dengan 1000

μl reagen, kemudian diukur serapannya dengan menggunakan photometer

Setelah 14 hari diambil kadar serum

AST & ALT serta gambaran

histopatologi hati mencit

Analisis

Laporan

diberikan 0,52

mg/g/hari

parasetamol

peroral +

plasebo peroral

diberikan 0,52

mg/g/hari parasetamol

peroral + dosis harian

vitamin C 0,065 mg/g

peroral

diberikan 0,52

mg/g/hari parasetamol

peroral + dosis harian

vitamin C 0,13 mg/g

peroral

Page 55: Eva Rianah

lv

pada panjang gelombang 340 nm.

Pengukuran aktivitas kedua enzim tersebut dilakukan dengan cara yang

sama, hanya saja reagen yang digunakan berbeda. Reagen yang digunakan

dalam pengukuran AST mengandung buffer Tris pH 7.8 (80 mmol/L), L-

aspartat (240 mmol/L), 2-oksoglutarat (12 mmol/L), laktat dehidrogenase

(600 U/L), malat dehidrogenase (600 U/L), dan NADH (0.18 mmol/L).

Sedangkan pereaksi yang digunakan dalam pengukuran ALT mengandung

buffer Tris (100 mmol/L),L- alanin (500 mmol/L), 2-oksoglutarat (15

mmol/L), laktat dehidrogenase (1200 U/L), dan NADH (0.18 mmol/L).

4.9. Prosedur Pemeriksaan Histopatologi

Pada hari ke-14 dilakukan pengambilan hati mencit untuk diperiksa

gambaran histopatologinya. Pengambilan hati dilakukan setelah mencit

dimatikan terlebih dulu dengan cara menempatkan hewan coba ini dalam

bejana berisi uap eter jenuh. Setelah mencit mati, diletakkan pada papan

fiksasi, kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil hati mencit

dengan menggunakan minor set. Organ hati yang baru diangkat ditempatkan

dalam wadah yang telah diberi label untuk masing-masing kelompok,

kemudian ditambahkan formalin 10% buffer kira-kira sampai seluruh organ

terendam dan segera ditutup rapat. Setelah itu sampel hati mencit tersebut

dibawa ke Laboratorium untuk pembuatan slide mikroskopis dan diperiksa

gambaran histopatologinya.

Luas nekrosis pada hati mencit dinilai secara semikuantitatif

Page 56: Eva Rianah

lvi

menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada zona 3

dalam 10 lobulus. Skor nekrosis sentrilobular dibedakan atas 5 yaitu:

Tabel 4.1 Skor Nekrosis Sentrilobular (Sawant, 2004) Kriteria Nekrosis Sentrilobular Skor

Tidak ditemukan nekrosis

Nekrosis minimal

Ringan (<1/3 lobulus mengalami nekrosis)

Sedang (<1/3 - <2/3 lobulus mengalami nekrosis)

Berat (>2/3 lobulus mengalami nekrosis)

Nekrosis masif

0

1

2

3

4

5

4.10 Analisis Data

Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan

menggunakan program SPSS for windows versi 20. Analisis data dalam

penelitian meliputi:

1. Analisis Deskriptif.

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui karakteristik data yang

dimiliki.

2. Uji Normalitas.

Uji normalitas data dilakukan dengan Uji Shapiro-Wilk. Data

berdistribusi normal dengan p>0,05.

3. Uji Homogenitas.

Homogenitas data dianalisis dengan Levene’s Test. Varian data homogen

dengan p>0,05.

4. Uji Komparabilitas.

Page 57: Eva Rianah

lvii

Karena data berdistribusi normal dan homogen maka uji komparatif

dengan One Way Anova dilanjutkan dengan Least Significant Difference

test (LSD).

Page 58: Eva Rianah

lviii

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian eksperimental dengan rancangan Post Test Only Control Group

Design, menggunakan 30 ekor mencit berumur 6-7 minggu, berat badan 20-22

gram sebagai sampel, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok

kontrol (parasetamol 0,52 mg/g dan plasebo), kelompok perlakuan 1 (parasetamol

0,52 mg/g dan Vitamin C 0,065 mg/g), dan kelompok perlakuan 2 (parasetamol

0,52 mg/g dan Vitamin C 0,13 mg/g). Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas

data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.

5.1 Uji Normalitas Data

Data kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan

nekrosis diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk.

Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada

Tabel 5.1.

Tabel 5.1

Hasil Uji Normalitas Data Alanine Aminotransferase (ALT), Aspartate

Aminotransferase (AST), dan Nekrosis

Kelompok Subjek n p Ket.

Page 59: Eva Rianah

lix

AST kontrol

AST perlakuan 1

AST perlakuan 2

ALT kontrol

ALT perlakuan 1

ALT perlakuan 2

Nekrosis kontrol

Nekrosis perlakuan 1

Nekrosis perlakuan 2

10

10

10

10

10

10

10

10

10

0,656

0,152

0,222

0,816

0,448

0,574

0,328

0,287

0,876

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

5.2 Uji Homogenitas Data

Data kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan

nekrosis diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test.

Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2

berikut.

Tabel 5.2

Homogenitas Kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase,

dan Nekrosis antar Kelompok Perlakuan

Variabel F p Keterangan

AST

ALT

Nekrosis

2,558

1,464

0,620

0,096

0,249

0,546

Homogen

Homogen

Homogen

5.3 Kadar Alanine Aminotransferase

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar Alanine

Aminotransferase antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa

parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C. Hasil analisis kemaknaan dengan uji

One Way Anova disajikan pada Tabel 5.3 berikut.

Tabel 5.3

Perbedaan Rerata Kadar Alanine Aminotransferase Antar Kelompok Sesudah

Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C

40

Page 60: Eva Rianah

lx

Kelompok Subjek n

Rerata Kadar Alanine

Aminotransferase

(IU/L)

SB F

p

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

10

10

10

33,45

30,88

25,15

1,15

0,61

0,64

255,92 0,001

Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar Alanine

Aminotransferase kelompok kontrol adalah 33,451,15, rerata kelompok

perlakuan 1 adalah 30,880,61, dan rerata kelopok perlakuan 2 adalah

25,150,64. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan

bahwa nilai F = 255,92 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata

kadar Alanine Aminotransferase pada ketiga kelompok sesudah diberikan

perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Gambar 5.1 Perbandingan Kadar Alanine Aminotransferase antara

Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan

Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

33.45 30.88

25.15

ALT (IU/L)

Page 61: Eva Rianah

lxi

Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu

dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference test (LSD). Hasil uji

disajikan di bawah ini.

Tabel 5.4

Analisis Komparasi Kadar Alanine Aminotransferase Sesudah Perlakuan

antar Kelompok

Kelompok Beda Rerata (IU/L) p Interpretasi

Kontrol dan Perlakuan 1

Kontrol dan Perlakuan 2

Perlakuan 1 dan Perlakuan 2

2,57

8,30

5,73

0,001

0,001

0,001

Berbeda

Berbeda

Berbeda

Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:

1. Rerata kadar Alanine Aminotransferase kelompok kontrol berbeda

bermakna dengan kelompok perlakuan 1 (rerata kelompok perlakuan 1

lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).

2. Rerata kadar Alanine Aminotransferase kelompok kontrol berbeda secara

bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok perlakuan 2

lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).

3. Rerata kadar Alanine Aminotransferase kelompok perlakuan 1 berbeda

secara bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok

perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan 1).

Page 62: Eva Rianah

lxii

5.4 Kadar Aspartate Aminotransferase

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar Aspartate

Aminotransferase antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa

parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One

Way Anova disajikan pada Tabel 5.5 berikut.

Tabel 5.5

Perbedaan Rerata Kadar Aspartate Aminotransferase Antar Kelompok

Sesudah Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C

Kelompok

Subjek n

Rerata Kadar Aspartate

Aminotransferase

(IU/L)

SB F

p

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

10

10

10

27,09

23,79

20,49

1,18

0,69

0,72

136,98 0,001

Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar Aspartate

Aminotransferase kelompok kontrol adalah 27,091,18, rerata kelompok

perlakuan 1 adalah 23,790,69, dan rerata kelopok perlakuan 2 adalah

20,490,72. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan

bahwa nilai F = 136,98 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar

Aspartate Aminotransferase pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan

berbeda secara bermakna (p<0,05).

Page 63: Eva Rianah

lxiii

Gambar 5.2 Perbandingan Kadar Aspartate Aminotransferase antara

Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu

dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference test (LSD). Hasil uji

disajikan di bawah ini.

Tabel 5.6

Analisis Komparasi Kadar Aspartate Aminotransferase Sesudah

Perlakuan antar Kelompok

Kelompok Beda Rerata (IU/L) p Interpretasi

Kontrol dan Perlakuan 1

Kontrol dan Perlakuan 2

Perlakuan 1 dan Perlakuan 2

3,30

6,60

3,30

0,001

0,001

0,001

Berbeda

Berbeda

Berbeda

Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:

1. Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok kontrol berbeda

bermakna dengan kelompok perlakuan 1 (rerata kelompok perlakuan 1

lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).

Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

27.09 23.79

20.49

AST (IU/L)

Page 64: Eva Rianah

lxiv

2. Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok kontrol berbeda

secara bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok

perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).

3. Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok perlakuan 1 berbeda

secara bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok

perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan 1).

5.5 Nekrosis

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata Nekrosis antar kelompok

sesudah diberikan perlakuan berupa parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C. Hasil

analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.7 berikut.

Tabel 5.7

Perbedaan Rerata Nekrosis Antar Kelompok Sesudah Diberikan

Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C

Kelompok Subjek n Rerata Skor

Nekrosis SB F

p

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

10

10

10

3,34

1,06

0,50

0,23

0,19

0,29

394,70 0,001

Tabel 5.7 di atas, menunjukkan bahwa rerata Nekrosis kelompok kontrol

adalah 3,340,23, rerata kelompok perlakuan 1 adalah 1,060,19, dan rerata

kelopok perlakuan 2 adalah 0,500,29. Analisis kemaknaan dengan uji One Way

Page 65: Eva Rianah

lxv

Anova menunjukkan bahwa nilai F = 394,70 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti

bahwa rerata nekrosis pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda

secara bermakna (p<0,05).

Gambar 5.3 Perbandingan Nekrosis antara Kelompok Kontrol dengan

Kelompok Perlakuan

Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

3.34

1.06

0.50

Nekrosis

Page 66: Eva Rianah

lxvi

Gambar 5.4 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis

(1/3 - 2/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok kontrol

setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b. hepatosit.

c.sinusoid

Gambar 5.5 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis

(minimal - <1/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok

perlakuan 1 setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b.

vena sentralis. c. hepatosit normal. d. sinusoid

Page 67: Eva Rianah

lxvii

Gambar 5.6 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis

minimal pada kelompok perlakuan 2 setelah perlakuan (perbesaran

400x). a. Hepatosit normal. b. sinusoid

Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu

dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference test (LSD). Hasil uji

disajikan di bawah ini.

Tabel 5.8

Analisis Komparasi Nekrosis Sesudah Perlakuan antar Kelompok

Kelompok Beda Rerata (IU/L) p Interpretasi

Kontrol dan Perlakuan 1

Kontrol dan Perlakuan 2

Perlakuan 1 dan Perlakuan 2

2,28

2,84

0,56

0,001

0,001

0,001

Berbeda

Berbeda

Berbeda

Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:

Page 68: Eva Rianah

lxviii

1. Rerata nekrosis kelompok kontrol berbeda bermakna dengan kelompok

perlakuan 1 (rerata kelompok perlakuan 1 lebih rendah daripada rerata

kelompok kontrol).

2. Rerata nekrosis kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan

kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok perlakuan 2 lebih rendah daripada

rerata kelompok kontrol).

3. Rerata nekrosis kelompok perlakuan 1 berbeda secara bermakna dengan

kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok perlakuan 2 lebih rendah daripada

rerata kelompok perlakuan 1).

Page 69: Eva Rianah

lxix

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

6.1. Subyek Penelitian

Untuk menguji pemberian vitamin C terhadap penurunan kadar Alanine

Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan nekrosis, maka dilakukan

penelitian eksperimental dengan rancangan Post Test Only Control Group

Design, menggunakan 30 ekor mencit berumur 6-7 minggu, berat badan 20-

22 gram sebagai sampel, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu

kelompok kontrol (parasetamol 0,52 mg/g dan plasebo), kelompok perlakuan

1 (parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C 0,065 mg/g), dan kelompok

perlakuan 2 (parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C 0,13 mg/g). Mencit dipilih

karena masih termasuk dalam kingdom animalia dan kelas mamalia (kelas

yang sama dengan manusia), maka mencit ini memiliki beberapa ciri-ciri

yang sama dengan manusia dan mamalia lainnya. Tidak dibedakan antara

mencit jantan dan betina karena tidak ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dalam hasil over dosis parasetamol (Ostapowicz et al., 2002).

6.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian

Data hasil penelitian berupa kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate

Aminotransferase, dan nekrosis sebelum dianalisis lebih lanjut, terlebih

dahulu diuji distribusi dan variannya. Untuk uji distribusi digunakan uji

Shapiro-Wilk, yaitu untuk mengetahui normalitas data dan uji homogenitas

50

Page 70: Eva Rianah

lxx

dengan uji Levene test. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa masing-

masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05).

6.3 Pengaruh Pemberian Vitamin C

Uji perbandingan antara ketiga kelompok sesudah perlakuan berupa

pemberian vitamin C menggunakan uji One Way Anova. Rerata kadar

Alanine Aminotransferase kelompok kontrol adalah 33,451,15, rerata

kelompok perlakuan 1 adalah 30,880,61, dan rerata kelopok perlakuan 2

adalah 25,150,64. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova

menunjukkan bahwa nilai F = 255,92 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti

bahwa rerata kadar Alanine Aminotransferase pada ketiga kelompok sesudah

diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok kontrol adalah

27,091,18, rerata kelompok perlakuan 1 adalah 23,790,69, dan rerata

kelopok perlakuan 2 adalah 20,490,72. Analisis kemaknaan dengan uji One

Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 136,98 dan nilai p = 0,001. Hal

ini berarti bahwa rerata kadar Aspartate Aminotransferase pada ketiga

kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Rerata skor nekrosis kelompok kontrol adalah 3,340,23 yang

menunjukkan derajat nekrosis sedang dimana terdapat sebagian besar lobulus

mengalami nekrosis. Rerata kelompok perlakuan 1 adalah 1,060,19 yang

memperlihatkan kondisi nekrosis minimal dimana hanya didapatkan beberapa

lobulus yang mengalamai nekrosis, begitu juga rerata kelompok perlakuan 2

Page 71: Eva Rianah

lxxi

adalah 0,500,29 yang memperlihatkan kondisi nekrosis yang lebih sedikit

terjadi dibandingkan perlakuan 1. Analisis kemaknaan dengan uji One Way

Anova menunjukkan bahwa nilai F = 394,70 dan nilai p = 0,001. Hal ini

berarti bahwa rerata nekrosis pada ketiga kelompok sesudah diberikan

perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa pada kelompok

perlakuan 1 dan perlakuan 2 terjadi penurunan kadar Alanine

Aminotransferase sebesar 7,68% dan 24,81%, penurunan kadar Aspartate

Aminotransferase sebesar 12,18% dan 24,36% dan penurunan skor nekrosis

sebesar 68,26% dan 85,02% dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Hal ini disebabkan karena vitamin C merupakan penangkal radikal

bebas yang kuat hingga 24 % dari radikal bebas yang ada dalam plasma,

jaringan mata, otak, paru–paru, hati, jantung, sperma dan leukosit, dan

berperan melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif termasuk mencegah

mutasi DNA, dan memperbaiki dioksidasi residu asam amino memelihara

integritas protein (Yi, 2007). Penelitian yang dilakukan Adejuwon et al.

(2008), melaporkan bahwa pemberian vitamin C 100-500 mg/kg dapat

melindungi kerusakan hati dari konsumsi asetaminofen dimana vitamin C

berperan menghambat radikal bebas yang baik.

Terdapat hubungan yang sinergisme di dalam sistem antioksidan.

Adanya suatu radikal yang masuk, pertama kali akan dinetralisir oleh vitamin

E, kemudian vitamin C dan dilanjutkan oleh mekanisme oksidatif dari dalam

tubuh, dilakukan oleh enzim, misal gluthathion. Di dalam sistem tersebut ada

Page 72: Eva Rianah

lxxii

saling keterkaitan antara satu dengan lain (antioxidant network). Beberapa

antioksidan penting dalam mekanisme untuk menghambat kerusakan

oksidatif akibat radikal bebas, diantaranya gluthathion peroksidase, vitamin C

dan vitamin E. Antioksidan bisa dikelompokkan berdasar sumbernya menjadi

antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen merupakan

antioksidan secara alami berada dalam sel manusia diantaranya adalah

superokside dismutase (SOD), katalase (CAT), dan gluthathion peroksidase

(GPx). Antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh,

berasal dari makanan sehari-hari seperti vitamin-vitamin (vitamin C, vitamin

E, ß–karoten), dan senyawa fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin,

polifenol) (Helen, 2000).

Pemberian vitamin C dengan dosis 1 mg/kg berat badan pada manusia

secara oral dapat menangkal efek senyawa radikal bebas. Selain itu

pemberian vitamin C juga dapat meningkatkan glutathion sehingga dapat

mencegah kerusakan sel hati (Fauzi, 2008).

Hepatotoksisitas parasetamol akan ditandai dengan peningkatan serum

ditandai enzim hati (ALT dan AST) (Schellman, 2001). ALT dan AST adalah

yang paling sering digunakan cedera hepatoseluler dan mewakili penanda

penanda hepatoseluler. Enzim ini, ALT terlokalisasi terutama untuk hati

sedangkan AST ditemukan dalam berbagai jaringan lain, seperti otot jantung

dan rangka, ginjal, otak, dll (Friedman et al., 1996). Dengan demikian, ALT

dianggap penanda yang paling dapat diandalkan cedera hepatoseluler sebagai

Page 73: Eva Rianah

lxxiii

penyakit skeletal dan jantung otot, ginjal dan otak sama-sama dapat

meningkatkan tingkat sirkulasi AST (Friedman et al., 1996).

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian pemberian vitamin C didapatkan simpulan

sebagai berikut:

1. Pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Alanine

Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis

toksik.

2. Pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Aspartate

Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis

toksik.

3. Pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati pada mencit yang

disebabkan parasetamol dosis toksik.

7.2 Saran

Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi

optimal pemberian vitamin C terhadap penurunan kadar Alanine

Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan nekrosis.

Page 74: Eva Rianah

lxxiv

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat vitamin C

untuk mencegah kerusakan hati pada manusia menggunakan

parasetamol dosis berlebih.

DAFTAR PUSTAKA

Adejuwon, A., Joseph, O. 2008. Protective Effect of Oral

Ascorbic Acid (Vitamin C) Against Acetaminophen-Induced Hepatic

Injury in Rats. African Journal of Biomedical Research. 11: 183-190.

Antman, E.M., Bennett, J.S., Daugherty, A. 2007. Use of Nonsteroidal Anti-

Inflammatory Drugs: an Update for Clinicians: a Scientific Statement from

The American Heart Association. 115(12): 1634-42.

Baggish, J.S., Temple, A.R. 2005. Guidelines for The Management of

Acetaminofen Overdose. McNeil Consumer & Speciality Pharmaceuticals.

p.1-14.

Bessems, J.G., Vermeulen, N.P. 2001. Paracetamol (Acetaminophen)-Induced

Toxicity: Molecular and Biochemical Mechanisms, Analogues and

Protective Approaches. Critical Review of Toxicology. 31: 55-138.

Fauzi, T.M. 2008. “Pengaruh Pemberian Timbal Asetat dan Vitamin C Terhadap

Peroksidasi Lipid dan Kualitas Spermatozoa di dalam Sekresi Epididimis

Mencit Jantan (Mus musculus)” (Tesis). Medan: Universitas Sumatera

Utara.

Fischbach, F. 2004. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 7th.

Ed.

Wisconsin USA: Lippincott Williams & Wilkins. p. 386-88.

Fored, C.M., Ejerblad, E., Lindblad, P. 2001. Acetaminophen, Aspirin, and

Chronic Renal Failure. N Engl J Med. 345(25): 1801-8.

Friedman, L.S., Martin, P., u oz, S.J. 1996. Liver Function Tests and the

Objective Evaluation of the patient with Liver Disease. In: Hepatology: A

Textbook of Liver Disease. W.B. Saunders Co., Philadelphia, vol. 1, 3rd

ed., 791 – 833.

Guyton, A., Hall, J. 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 1103 –

1107.

Haas, D.A. 2002. An Update on Analgesics for The Management of Acute

Postoperative Dental Pain. J Can Dent Assoc. 68(8): 476-82.

54

Page 75: Eva Rianah

lxxv

Hariyatmi. 2004. Kemampuan Vitamin C Sebagai Antioksidan Terhadap Radikal

Bebas pada Lanjut Usia. Jurnal MIPA vol 14 No.1.Surakarta. UMS.

Hellen, W., Lynn, E. 2000. Oxidative Stress and Antioxidant, Influence on Health

and Brain Ageing. Departement of Nutrition and Dietetics, King’s College

London, UK.

Hyllested, M., Jones, S., Pedersen, J.L., Kehlet, H. 2002. Comparative Effect of

Paracetamol, NSAIDs or Their Combination in Postoperative Pain

Management: a Qualitative Review. Br J Anaesth. 199-214.

Jalan, R., Williams, R., Bernuau, J. 2006. Comment: Paracetamol: Are

Therapeutic Doses Entirely Safe?. The Lancet. 368: 2195-96.

Katzung, B.G., Correis, MA. 2012. Drug Biotransformation. In: Katzung BG,

Masters SB, Trevor AJ. Basic and Principal Pharmacology. 12th. Ed. New

York: McGraw-Hill. 60-61.

Katzung, B.G., Corelli, R.L. 2012. Therapeutic and Toxic Potential of Over-the-

Counter Agents. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and

Principal Pharmacology. 12th. Ed. New York: McGraw-Hill. p. 1115-24.

Lavoiser, A.I. 1998. Chemical and Physiological Properties of Vitamins. In:

Combs GF,Ed. The vitamins. Fundamental Aspects in Nutrition and

Health. 2nd Ed. London: Academic Press. 191-263.

Luiz, J.C. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. EGC. Penerbit Buku

Kedokteran. Jakarta.

Naidu, K.A. 2003. Vitamin C in Human Health and Disease is Still a Mystery?

An Overview. J.Nutr; 2: 7.

Navarro, V.J., Senior, J.R. 2006. Drug related hepatotoxity. N Engl J Med. 354:

731-39.

Nourjah, P., Ahmad. S.R., Karwoski. C., Willy, M. 2006. Estimates of

Acetaminophen (Paracetamol)-Associated Overdoses in the United States.

Pharmacoepidemiol Drug Saf. 15(6): 398-405.

Ostapowicz, G., Fontana, R.J., Schiodt, F.V. 2002. The US Acute Liver Failure

Study Group. Results of a prospective study of acute liver failure at 17

Tertiary Care Centers in the United States. Annuals of Internal Medicine.

137: 945-954.

Page 76: Eva Rianah

lxxvi

Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup.

Anti-Aging Medicine. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal:

9, 13-23, 40-41.

Pocock, S.J. 2008. The Size of a Clinical Trial, Clinical Trials. A Practical

Approach. John Willey & Sons. 123-127.

Rochiling, F.A. 2001. Evaluation of Abnormal Liver Tests. Clin Cornerstone. 3:

1-12.

Sawant, S.P., Dnyanmote, A.V., Shankar, K., Limaye, P.B., Latendresse, J.R.,

Mahendale, H.M. 2004. Potentiation of Carbon Tetrachloride

Hepatotoxicity and Lethality in Type 2 Diabetic Rats. Joumal of

Pharmacology and Experimental Therapeutics.

Schnellman, R.G. 2001. Toxic Responses of The Kidneys. In: Casarett and

Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons. 2nd ed. cGraw-Hill

Medical Division. New York. p. 491-514.

Suhartono, E., Fachir, H., Setiawan, B. 2007. Kapita Selekta Biokimia Stres

Oksidatif Dasar dan Penyakit. Universitas Lambung Mangkurat.

Banjarmasin: Pustaka Benua.

Susanti, R., Nuryanto, Salasia, S.I.O, 2002 Intoksikasi Tetrachlorodibenzo-p-

Dioxin (TCDD): II. Efek Terhadap Histopatologis Hati, Ginjal, dan Paru

Mencit Putih (Rattus Norvegicus). UGM, 29-36.

Tjay, T.H. 2002. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek

Sampingnya. Edisi V. Cetakan 1. PT. Elex Media Komputindo Gramedia.

Jakarta. hal. 295-297.

Watkins, P.B., Kaplowitz, N., Slattery, J.T., Colonese, C.R., Colucci, S.V.,

Stewart, P.W., Harris, S.C. 2006. Aminotransferase Elevations in Healthy

Adults Receiving 4 grams of Acetaminophen Daily: a randomized

controlled trial. Journal of American Medical Association, 296: 87-93.

Whitcomb, D.C., Block, G.D. 1994. Association of Acetaminophen

Hepatotoxicity with Fasting and Ethanol Use. JAMA, 272(23):1845-50.

Yi, L., Herb, E.S., 2007. New Developments and Novel Therapeutic Perspectives

for Vitamin C. J. Nutr. 137: 2171–2184.

Yin, O.Q., Tomlinson, B., Chow, A.H., Chow, M.S. 2001. Pharmacokinetics of

Acetaminophen in Hong Kong Chinese subjects. International Journal of

Pharmacology, 222: 305-308.

Page 77: Eva Rianah

lxxvii

Lampiran 1. Ethical Clearance

Page 78: Eva Rianah

lxxviii

Page 79: Eva Rianah

lxxix

Lampiran 2. Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan

Untuk Konversi Dosis Manusia dan Hewan (Laurence &

Bacharach, 1964)

Mencit

20 gr

Tikus

200 gr

Marmut

400 gr

Kelinci

1,5 kg

Kucing

2 kg

Kera

4 kg

Anjing

12 kg

Manusia

70 kg

Mencit

20 gr 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9

Tikus

200 gr 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0

Marmut

400 gr 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5

Kelinci

1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2

Kucing

2 kg 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0

Kera

4 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1.9 6,1

Anjing

12 kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1

Manusia

70 kg 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0

(Kusumawati, 2004)

Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ALT dan AST

Page 80: Eva Rianah

lxxx

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Histopatologi

NO DATA SKORING NEKROSIS CENTROLOBULER JARINGAN

HATI

PADA LIMA LAPANG PANDANG

KONTROL P1 P2

I II III IV V I II III IV V I II III IV V

1 4 3 3 4 3 2 1 1 1 0 1 1 0 0 1

Page 81: Eva Rianah

lxxxi

2 3 4 4 3 3 1 1 1 1 2 1 0 0 1 0

3 3 4 3 3 4 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1

4 3 3 3 4 3 1 2 1 1 1 0 0 1 0 1

5 4 4 3 3 3 2 1 0 1 1 0 0 0 0 0

6 3 3 4 3 4 1 1 1 2 1 1 0 1 0 0

7 4 3 3 3 3 1 1 2 1 2 1 1 1 0 0

8 3 3 3 3 4 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1

9 3 3 3 4 3 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1

10 3 4 3 3 3 2 1 1 0 1 1 1 0 0 1

Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Statistik

Uji Normalitas Data AST, ALT, dan Nekrosis

Tests of Normality

Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Page 82: Eva Rianah

lxxxii

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

AST_post Kontrol .129 10 .200* .949 10 .656

Perlakuan 1 .261 10 .051 .886 10 .152

Perlakuan 2 .207 10 .200* .901 10 .222

ALT_post Kontrol .183 10 .200* .963 10 .816

Perlakuan 1 .181 10 .200* .930 10 .448

Perlakuan 2 .162 10 .200* .942 10 .574

Nekrosis Kontrol .227 10 .155 .916 10 .328

Perlakuan 1 .224 10 .168 .911 10 .287

Perlakuan 2 .164 10 .200* .968 10 .876

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Uji One Way Anova Data AST, ALT, dan Nekrosis Sesudah Perlakuan

Descriptives

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence

Interval for Mean

Minimu

m

Maximu

m

Lower

Bound

Upper

Bound

AST_po

st

Kontrol 10 27.090 1.18287 .37406 26.2438 27.9362 25.25 28.64

Perlakuan 1 10 23.789 .68826 .21765 23.2966 24.2814 22.82 24.76

Perlakuan 2 10 20.489 .71619 .22648 19.9767 21.0013 19.42 21.36

Total 30 23.789 2.87281 .52450 22.7166 24.8621 19.42 28.64

ALT_p

ost

Kontrol 10 33.452 1.15459 .36511 32.6261 34.2779 31.56 35.44

Perlakuan 1 10 30.878 .61331 .19395 30.4393 31.3167 30.10 32.04

Perlakuan 2 10 25.151 .63820 .20182 24.6945 25.6075 24.28 26.22

Total 30 29.827 3.62059 .66103 28.4751 31.1789 24.28 35.44

Nekrosi

s

Kontrol 10 3.3400 .23190 .07333 3.1741 3.5059 3.00 3.80

Perlakuan 1 10 1.0600 .18974 .06000 .9243 1.1957 .80 1.40

Perlakuan 2 10 .5000 .28674 .09068 .2949 .7051 .00 1.00

Total 30 1.6333 1.27044 .23195 1.1589 2.1077 .00 3.80

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

AST_post 2.558 2 27 .096

ALT_post 1.464 2 27 .249

Nekrosis .620 2 27 .546

Page 83: Eva Rianah

lxxxiii

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

AST_post Between Groups 217.866 2 108.933 136.977 .000

Within Groups 21.472 27 .795

Total 239.338 29

ALT_post Between Groups 361.102 2 180.551 255.915 .000

Within Groups 19.049 27 .706

Total 380.151 29

Nekrosis Between Groups 45.259 2 22.629 394.698 .000

Within Groups 1.548 27 .057

Total 46.807 29

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

LSD

Dependen

t Variable

(I)

Kelompok

(J)

Kelompok

Mean

Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower

Bound Upper Bound

AST_post Kontrol Perlakuan 1 3.30100* .39881 .000 2.4827 4.1193

Perlakuan 2 6.60100* .39881 .000 5.7827 7.4193

Perlakuan 1 Kontrol -3.30100* .39881 .000 -4.1193 -2.4827

Perlakuan 2 3.30000* .39881 .000 2.4817 4.1183

Perlakuan 2 Kontrol -6.60100* .39881 .000 -7.4193 -5.7827

Perlakuan 1 -3.30000* .39881 .000 -4.1183 -2.4817

ALT_post Kontrol Perlakuan 1 2.57400* .37564 .000 1.8033 3.3447

Perlakuan 2 8.30100* .37564 .000 7.5303 9.0717

Perlakuan 1 Kontrol -2.57400* .37564 .000 -3.3447 -1.8033

Perlakuan 2 5.72700* .37564 .000 4.9563 6.4977

Perlakuan 2 Kontrol -8.30100* .37564 .000 -9.0717 -7.5303

Perlakuan 1 -5.72700* .37564 .000 -6.4977 -4.9563

Nekrosis Kontrol Perlakuan 1 2.28000* .10708 .000 2.0603 2.4997

Perlakuan 2 2.84000* .10708 .000 2.6203 3.0597

Perlakuan 1 Kontrol -2.28000* .10708 .000 -2.4997 -2.0603

Perlakuan 2 .56000* .10708 .000 .3403 .7797

Perlakuan 2 Kontrol -2.84000* .10708 .000 -3.0597 -2.6203

Perlakuan 1 -.56000* .10708 .000 -.7797 -.3403

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 84: Eva Rianah

lxxxiv

Oneway

Post Hoc Tests

Descriptives

AST

10 27,0900 1,18287 ,37406 26,2438 27,9362 25,25 28,64

10 23,7890 ,68826 ,21765 23,2966 24,2814 22,82 24,76

10 20,4890 ,71619 ,22648 19,9767 21,0013 19,42 21,36

30 23,7893 2,87281 ,52450 22,7166 24,8621 19,42 28,64

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Total

N Mean Std. Dev iation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interv al for

Mean

Minimum Maximum

Test of Homogeneity of Variances

AST

2,558 2 27 ,096

Levene

Stat ist ic df 1 df 2 Sig.

ANOVA

AST

217,866 2 108,933 136,977 ,000

21,472 27 ,795

239,338 29

Between Groups

Within Groups

Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Multiple Comparisons

Dependent Variable: AST

LSD

3,30100* ,39881 ,000 2,4827 4,1193

6,60100* ,39881 ,000 5,7827 7,4193

-3,30100* ,39881 ,000 -4,1193 -2,4827

3,30000* ,39881 ,000 2,4817 4,1183

-6,60100* ,39881 ,000 -7,4193 -5,7827

-3,30000* ,39881 ,000 -4,1183 -2,4817

(J) Kelompok

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Kontrol

Perlakuan 2

Kontrol

Perlakuan 1

(I) Kelompok

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Mean

Dif f erence

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interv al

The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el.*.

Page 85: Eva Rianah

lxxxv

Oneway

Post Hoc Tests

Descriptives

ALT

10 33,4520 1,15459 ,36511 32,6261 34,2779 31,56 35,44

10 30,8780 ,61331 ,19395 30,4393 31,3167 30,10 32,04

10 25,1510 ,63820 ,20182 24,6945 25,6075 24,28 26,22

30 29,8270 3,62059 ,66103 28,4751 31,1789 24,28 35,44

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Total

N Mean Std. Dev iation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interv al for

Mean

Minimum Maximum

Test of Homogeneity of Variances

ALT

1,464 2 27 ,249

Levene

Stat ist ic df 1 df 2 Sig.

ANOVA

ALT

361,102 2 180,551 255,915 ,000

19,049 27 ,706

380,151 29

Between Groups

Within Groups

Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Multiple Comparisons

Dependent Variable: ALT

LSD

2,57400* ,37564 ,000 1,8033 3,3447

8,30100* ,37564 ,000 7,5303 9,0717

-2,57400* ,37564 ,000 -3,3447 -1,8033

5,72700* ,37564 ,000 4,9563 6,4977

-8,30100* ,37564 ,000 -9,0717 -7,5303

-5,72700* ,37564 ,000 -6,4977 -4,9563

(J) Kelompok

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Kontrol

Perlakuan 2

Kontrol

Perlakuan 1

(I) Kelompok

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Mean

Dif f erence

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interv al

The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el.*.

Page 86: Eva Rianah

lxxxvi

Oneway

Post Hoc Tests

Descriptives

Nekrosis

10 3,3000 ,10541 ,03333 3,2246 3,3754 3,20 3,40

10 1,0600 ,18974 ,06000 ,9243 1,1957 ,80 1,40

10 ,4600 ,18974 ,06000 ,3243 ,5957 ,00 ,60

30 1,6067 1,25339 ,22884 1,1386 2,0747 ,00 3,40

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Total

N Mean Std. Dev iation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interv al for

Mean

Minimum Maximum

Test of Homogeneity of Variances

Nekrosis

,906 2 27 ,416

Levene

Stat ist ic df 1 df 2 Sig.

ANOVA

Nekrosis

44,811 2 22,405 808,749 ,000

,748 27 ,028

45,559 29

Between Groups

Within Groups

Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Page 87: Eva Rianah

lxxxvii

Lampiran 6. Kumpulan Foto Penelitian

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Nekrosis

LSD

2,24000* ,07444 ,000 2,0873 2,3927

2,84000* ,07444 ,000 2,6873 2,9927

-2,24000* ,07444 ,000 -2,3927 -2,0873

,60000* ,07444 ,000 ,4473 ,7527

-2,84000* ,07444 ,000 -2,9927 -2,6873

-,60000* ,07444 ,000 -,7527 -,4473

(J) Kelompok

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Kontrol

Perlakuan 2

Kontrol

Perlakuan 1

(I) Kelompok

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Mean

Dif f erence

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Conf idence Interv al

The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el.*.

Page 88: Eva Rianah

lxxxviii

Peneliti sedang berada di Laboratory Animal Unit dan melakukan percobaan

pada mencit

Peneliti sedang melakukan pemeriksaan histologi dengan mikroskop

Page 89: Eva Rianah

lxxxix

Gambar 5.4 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis

(1/3 - 2/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok kontrol

setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b. hepatosit.

c.sinusoid

Gambar 5.5 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis

(minimal - <1/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok

perlakuan 1 setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b.

vena sentralis. c. hepatosit normal. d. sinusoid

Page 90: Eva Rianah

xc

Gambar 5.6 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis

minimal pada kelompok perlakuan 2 setelah perlakuan (perbesaran

400x). a. Hepatosit normal. b. sinusoid

Page 91: Eva Rianah

xci

Lampiran 7. Prosedur Penanganan Hewan Coba

Percobaan di laboratorium yang menggunakan hewan coba sebagai subjek

penelitian dalam penelitian ini mencit, harus memperhatikan beberapa prinsip

dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang baik diharapkan hasil yang sesuai

dengan tujuan penelitian dan juga dipandang dari segi etika penelitian yang

berkaitan dengan penggunaan hewan coba (ethical clearance). Beberapa prinsip

yang harus dipenuhi yaitu:

1. Pengawasan lingkungan

Prinsip yang paling penting terkait dengan lingkungan tempat

pemeliharaan hewan coba adalah suatu lingkungan yang stabil dan

sesuai dengan keperluan fisiologis jenis hewan coba. Suhu,

kelembapan dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrem harus

dihindari. Pembuatan ventilasi yang baik mendukung kelancaran

pertukaran udara, serta memungkinkan mengurangi penyebaran

penyakit. Suhu ruangan yang optimum untuk pemeliharaan mencit

berkisar antara 250 – 30

0 C.

2. Pengawasan kenyamanan

Kenyamanan hewan coba terkait dengan kondisi kandang tempat

pemeliharaan. Bahan kandang terbuat dari plastik yang ditutup kawat.

Prinsip yang paling penting dalam memilih bahan untuk kandang

mencit adalah mudah dibersihkan, tahan lama, tahan digigit mencit.

Kisaran ukuran kandang mencit yang umum dipakai berukuran 35 cm

Page 92: Eva Rianah

xcii

X 20 cm X 10 cm. Ukuran kandang tersebut cukup untuk memelihara

10 – 15 ekor mencit dalam satu kandang. Dengan asumsi memberi

ruang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi.

Sistem kandang juga dilengkapi tempat makanan dan minuman yang

mudah dijangkau oleh seluruh mencit.

3. Pengawasan nutrisi (makan dan minum)

Selama percobaan hewan coba diberikan makan dan minum dengan

kualitas yang optimum pula. Apabila hal ini tidak terpenuhi tentunya

juga akan berpengaruh terhadap kehidupan, kesehatan mencit dan bias

terhadap hasil penelitian. Misalnya mencit memerlukan makanan

dengan kandungan protein sekitar 20 %. Sehingga untuk mendapatkan

makanan dengan komposisi tersebut biasanya dipakai makanan dalam

bentuk pelet yang komposisinya sudah tertera dalam kemasannya. Air

minum bersih dan bebas dari kontaminasi harus selalu tersedia untuk

hewan coba. Alat-alat minum harus sering dicuci dan disterilkan

misalnya dua minggu sekali.

4. Pengawasan kesehatan

Kandang hewan percobaan harus selalu dijaga kebersihannya, agar

hewan berbiak dengan baik dan percobaan berhasil sesuai yang

diharapkan. Kandang mencit harus dibersihkan sekurang-kurangnya

seminggu sekali. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumbuhnya

jamur dan bakteri yang dapat mempengaruhi kesehatan mencit.

Biasanya kandang mencit yang terbuat dari bahan plastik dapat

Page 93: Eva Rianah

xciii

dibersihkan dengan mencuci kotak tersebut dan mengganti sekam yang

dipakai sebagai alas kandang.

Secara lengkap penanganan mencit yang dipakai dalam penelitian ini

dapat dijabarkan seperti di bawah ini:

1. Penanganan sebelum penelitian

Beberapa hal yang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian terhadap

mencit antara lain:

a. Menyiapkan kandang pemeliharaan yang optimal dan nyaman bagi

mencit; terkait dengan ukuran, keadaan kandang (ventilasi cukup,

sekam padi untuk alas kandang) dan tempat makan/minum yang

mudah dijangkau oleh seluruh mencit.

b. Melakukan aklimatisasi; menyesuaikan mencit terhadap kondisi

lingkungan tempat percobaan. Aklimatisasi dilakukan pada

kandang pemeliharaan selama 14 hari sebelum pelaksanaan

penelitian.

c. Pemberian makan dan minum secara teratur.

d. Pemeriksaan kesehatan mencit; apabila ada mencit yang sakit

langsung dikeluarkan dari kelompok.

2. Penanganan selama penelitian

Page 94: Eva Rianah

xciv

Selama penelitian mencit harus selalu dalam keadaan terkontrol.

Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:

a. Kenyamanan dan kesehatan mencit; kandang mencit selama

penelitian dijaga kebersihannya dan sekam padi diganti seminggu

sekali.

b. Pemberian makan dan minum yang teratur; diberi makanan dalam

bentuk pelet secara ad libitum, mencit juga tidak boleh dalam

keadaan tanpa air minum. Air minum harus tersedia dan air tidak

terkontaminasi. Air minum diberikan dengan botol-botol plastik

dan mencit dapat minum air dari botol tersebut melalui pipa

plastik.

c. Penanganan pemberian vitamin c dan parasetamol

Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, 10 ekor mencit per kelompok,

secara acak. Kelompok kontrol (P0) diberikan plasebo dan diberikan

juga 0,52 mg/g/hari parasetamol peroral 1 jam setelah pemberian

plasebo tersebut selama 14 hari. Kelompok perlakuan (P1) diberikan

dosis harian vitamin C 0,065 mg/g peroral dan masing-masing diberikan

1 jam sebelum pemberian 0,52 mg/g peroral parasetamol selama 14

hari. Kelompok perlakuan (P2) diberikan dosis harian vitamin C 0,13

mg/g peroral dan masing-masing diberikan 1 jam sebelum pemberian

peroral 0,52 mg/g parasetamol selama 14 hari.

3. Penanganan setelah penelitian

Page 95: Eva Rianah

xcv

Setelah penelitian, dilakukan pemeriksaan kadar AST dan ALT dalam

serum plasma heparin mencit serta gambaran histopatologinya pada

masing-masing kelompok. Mencit dieutanasi dengan eter, dan

dilakukan pembedahan untuk mengambil hati mencit untuk dilakukan

pemeriksaan histopatologi. Setelah mencit dieutanasi kemudian

dikubur untuk menghindari bau yang tidak sedap atau efek negatif

lainnya.