eksistensi syafaat dalam tafsir sunni dan mu ...repository.uinjambi.ac.id/94/1/ade...
TRANSCRIPT
EKSISTENSI SYAFAAT DALAM TAFSIR SUNNI DAN
MU’TAZILAH (STUDI KOMPARATIF ANTARA
TAFSIR MAFATIHUL GHAIB DAN
TAFSIR AL-KASSYAF)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Strata
Satu ( S,1) dalam Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin
DI Susun Oleh:
ADE IRAWAN
NIM : UT.150186
PRODI ILMU AL-QUR’AN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2018
vii
ABSTRAK
Penelitian dalam skripsi ini dilatar belakangi oleh keingintahuan penulis terhadap keberadan syafaat menurut Sunni dan Mu’tazilah, yang kedua aliran tersebut berbeda pendapat mengenai keberadaannya, Sunni sendiri mengakui keberadaan dan kebenarannya, sedangkan Mu’tazilah menafikan keberadaan dan kebenarannya. Penulis memperpadukan dua kitab tafsir untuk menjelaskan tentang keberadaan dan kebenaran syafaat tersebut, yaitu tafsir Mafatihul Ghaib karya Fakrudddin Al-Razi dan tafsir Al-Kasyaf karya Al-Zamakhsyari, yang kedua tokoh kitab tafsir tersebut menganut aliran Sunni dan Mu’tazilah.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penilitian kepustakaan (library research) objek penelitian terfokus pada tafsir Mafatihul Ghaib dan tafsir Al-Kasyaf, sebagai data atau sumber primer. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu tafsir, dengan metode tahlili (analisis) dalam tehnis deskriptif, kualitatif dan eksploratif.
Dari hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa: (1) Syafaat diyakini keberadaannya oleh para ulama, terutama Sunni termasuk juga Mu’tazilah hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai keberadaan syafaat tersebut. (2) Dalam tafsir Mafatihul Ghaib penafian syafaat hanya di tujukan kepada orang-orang kafir saja. (3) Dalam tafsir Al-Kasyaf penafian syafaat di tujukan kepada orang-orang kafir dan orang Mukmin yang melakukan dosa besar dan ahli maksiat.
Kata kunci: Syafaat, Sunni, Mu’tazilah
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan,
kesempatan, dan kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul, “Eksistensi Syafaat dalam tafsir Sunni dan Mu’tazilah
(Studi Komparatif antara Tafsir Mafatihul Ghaib dan Tafsir Al-Kasyaf)”.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, untuk seluruh keluarga, serta para sahabat beliau, yang
senantiasa istiqamah dalam perjuangan agama Islam. Semoga kita menjadi
hamba-hamba pilihan seperti mereka Amin ya Rabbal Alamin.
Selanjutnya penulis menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini,
penulis telah di bantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang tak terhingga kepada beberapa pihak yang telah membantu
penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluarga yang telah menjaga,
mendidik, menyayangi, dan senantiasa mengsupport serta mendoakan penulis
sehingga karya ini dapat diselesaikan.
Dan pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
2. Bapak Prof. Dr. H. Sua’idi Asy’ari, MA Ph.D, bapak Dr. H. Hidayat, M.
Pd, dan Ibu Dr. Hj. Fadlilah, M. Pd selaku wakil Rektor I, II, III, UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. H. Abd Ghaffar, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
ix
4. Bapak Dr. Masyan M Syam, M. Ag, bapak H. Abdullah Firdaus, Lc,
MA, Ph.D, dan bapak Dr. Pirhat Abbas, M. Ag selaku wakil Dekan I, II,
III Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
5. Ibu Ermawati, MA selaku kepala Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Bapak Dr. H. Abd Ghaffar, M. Ag selaku pembimbing I, dan Ibu
Nurhasanah S. Ag M. Hum selaku pembimbing II.
7. Ibu Dr. Ratnawaty, M. Fil I selaku dosen pembimbing akademik selama
kuliah di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
8. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jamb, semoga ilmu yang di ajarkan kepada penulis
selama ini dapat diamalkan sebagaimana mestisnya.
9. Seluruh karyawan dan karyawati dilingkungan akademik Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa, semoga kebaikan dari semua pihak di
catat oleh Allah SWT, sebagai amal shaleh dan mendapatkan balasan yang sebaik-
baiknya, Amin i semua pihak di catat oleh Allah SWT, sebagai amal shaleh dan
mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya, Amin ya Rabbal Alamin.
Tidak ada sesuatupun yang sempurna di dunia ini melainkan Allah yang
maha sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kepda seluruh
pihak untuk memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis
berharap semoga tulisan ini mempunyai nilai guna dan manfaat, bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jambi, November 2018
Penulis
Ade Irawan UT. 150186
ix
DAFTAR ISI SKRIPSI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
NOTA DINAS ................................................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .................................... iii
PENGESAHAN ............................................................................................... iv
MOTTO............................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Permasalahan ............................................................................ 6
C. Batasan Masalah ....................................................................... 6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................. 7
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 7
F. Metode Penelitian ..................................................................... 12
G. Sitematika Penulisan ................................................................ 14
BAB II PROFIL TAFSIR MAFATIHUL GHAIB DAN AL-KASSYAF.
1. Tafsir Mafatihul Ghaib
a. Biografi penulis tafsir Mafatihul Ghaib ............................ 15
b. Latar belakang penulisan Tafsir Mafatihul Ghaib ............. 17
c. Metode dan Corak Tafsir Mafatihul Ghaib. ...................... 19
d. Komentar para ulama mengenai Mafatihul Ghaib ............ 20
x
B. Tafsir Al-Kassyaf
1. Biografi penulis Tafsir Al-Kassyaf ................................... 22
2. Latar belakang penulisan Tafsir Al-Kassyaf ..................... 24
3. Metode dan Corak Al-Kasyaf ............................................ 26
4. Komentar para ulama mengenai Al-Kasssyaf ................... 27
BAB III EKSISTENSI SYAFAAT DALAM TAFSIR MAFATIHUL GHAIB
DAN TAFSIR AL-KASSYAF
A. Apakah Syafaat itu ada........................................................... 31
B. Eksistensi Syafaat dalam Tafsir Mafatihul Ghaib .................. 36
1. Ayat-ayat yang menguraikan Syafaat ............................. 36
2. Penjelasan Al-Razi mengenai ayat-ayat Syafaat ............. 38
C. Eksistensi Syafaat dalam Tafsir Al-Kassyaf .......................... 43
a. Ayat-ayat yang menguraikan Syafaat ............................. 43
b. Penjelasan Al-Zamakhsyari mengenai ayat syafaat ........ 44
BAB IV KOMPARASI ANTARA PENAFSIRAN MAFATIHUL AL-RAZI
DAN AL-ZAMAKHSYARI MENGENAI SYAFAAT.
A. Perbandingan antara metodologi dan corak penafsiran ......... 48
B. Perbandingan antara isi penafsiran......................................... 51
C. Kelebihan dan kekurangan penafsiran ................................... 58
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 60
A. KESIMPULAN ...................................................................... 61
B. REKOMENDASI ................................................................... 61
DAPTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURICULUM VITAE
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
‘
b
t ‘
ts gh
j f
q
kh k
d l
dz m
r n
z h
s w
sy ,
y
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
A Ā ˉi
U Á Aw
I Ū Ay
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan syafaat merupakan salah satu persoalan dari prinsip (ushul) atau
pokok dari ajarar Agama Islam.1 Al-Qur‟an tidak sedikit mengungkapkan dan
menyebutkan kata syafaat dalam berbagai ayat, dan lafadz tersebut dituangkan
dalam konteks ayat yang berbeda-beda dan dalam surah yang berbeda-beda juga.
Sehingga diperlukan untuk mengkaji lebih mendalam dan lebih serius tentang arti
syafaat dari keterangan berbagai ayat dalam Al-Qur‟an.
Sedangkan pengertian dari syafaat itu sendiri adalah bentuk tebusan,
pertolongan, kelebihan dan pemberian bantuan atau pahala, atau meminta
seseorang untuk memberikan bantuan kepada orang lain di depan Allah. Kata itu
secara harfiyah berarti genap yaitu bahwa seorang hamba dalam menghadap Allah
untuk memohon penghapusan dosa dan memohon untuk dihindarkan dari siksa.
Syafaat inilah yang menjadi perantara bagi mereka pada Hari Kiamat, dimana
pada itu semua orang mengharapkannya.
Dalam perspektip lain kata syafaat sering diartikan sebagai perbuatan yang
menengahi seseorang untuk menyelamatkannya dari hukuman Allah SWT,
dinamakan dengan syafaat karena posisi dan kedudukan orang yang menengahi
serta kekuatan pengaruhnya menjadi suatu unsur-unsur keselamatan yang ada
pada diri orang yang di tengahi. Keduanya saling membantu dalam
menyelamatkan orang-orang yang bersalah.
Akan tetapi yang memberikan bantuan tersebut adalah orang yang yang di
izinkan dan diridhai oleh Allah. Yang menjadi pembahasan atau sasaran dalam
penelitian kali ini adalah keberadaan syafaat itu sendiri pada hari kiamat maka
penulis akan menjelaskan beberapa literatur pandangan suatu kelompok atau
seorang Mufassir terhadap syafa‟at tersebut.
1Syaikh Ja‟far As-Subhani, Mafahim Al-Qur‟an, (Iran: Mu‟assasah al-Imam al-Sadiq), 332
2
Namun yang menjadi objek utama peneliti dalam mengangkat tema ini
adalah membicarakan tentang keberadaan dan kebenaransyafaat pada Hari
Kiamat. Dalam objek penelitian ini, peneliti telah mencantumkan dua tokoh tafsir,
yaitu dua tokoh tafsir ternama darikalangan Sunni dan Mu‟tazilah. Adapun Sunni
dan Mu‟tazilah yang di maksud dalam penelitian ini adalah, tokoh dalam ruang
lingkup tafsir bukan ruang lingkup ilmu kalam atau teologi.
Salah satu kelompok atau golongan yang menolak keberadaan syafaat pada
hari kiamat adalah Kaum Mu‟tazilah beserta kelompok-kelompoknya, pendapat
yang mereka gunakan dalam menguatkan argumen mereka, maka mereka
berdasarkan pada suatu ayat yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 48.
Menurut mereka ayat tersebut berbicara tentang peniadaan syafa‟at pada hari
kiamat sesuai dengan teks dalam ayat tesebut.
“Dan takutlah kamu pada hari kiamat, ketika tidak seorangpun dapat
membela orang lain sedikitpun. Sedangkan syafaat dan tebusan apapun
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan di tolong” (QS. Al-Baqarah;
2:48).2
Berbeda dengan Ahlus-Sunnah (Sunni) dan para pengikut-pengikutnya,
mereka mengakui tentang adanya syafaat pada Hari Kiamat, menurut mereka ayat
48 dalam surah Al-Baqarah bukan menafikan syafaat tetapi menafikan pemberia
syafaat kepada orang-orang kafir. Pendapat mereka berdasarkan pada suatu ayat
yang tertera dalam Al-Qur‟an, yaitu surah Thaha ayat 109 yang mengakui tentang
keberadaannya, dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang tidak penulis sebutkan
satu-persatu.
2Tim Penterjemah dan Pentafsir Al-Quran, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, ( Jakarta: Penerbit
Lentera Abadi, 2010), 07
3
“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali dari orang-orang yang telah
diberikan izin kepadanya oleh Allah yang maha pemurah, dan perkataan
yang telah di ridhainy” (QS.Thaha; 20: 109.)3
Namun meskipun demikian, dalam beberapa ayat lainnya, Al-Qur‟an
menegaskan bahwa dengan rahmat-Nya, Allah dapat mengampuni dosa-dosa
siapa saja yang ia kehendaki. Allah berikan kepada siapapun yang Ia kehendaki.
Maksud dari penjelasan itu adalah bahwa syafaat berhak Prioritas ampunan-Nya
diberikan kepada mereka yang telah bertobat dan yang melakukan dosa kecil saja.
Pendapat ini lah yang dianut oleh Al-Zamakhsyari dan kaum mu‟tazilah pada
umumnya.
Dalam kasus ini, tampaknya beberapa ayat Al-Qur‟an mengingkari
aksesibilitas syafaat. Karena di nyatakan dalam Al-Qur‟an, bahwa pada hari
kiamat nanti tidak ada lagi jual beli, persahabatan yang akrab dan tidak ada pula
syafaat, hal ini senada dengan beberapa ayat Al-Qur‟an.4 Ini lah yang menjadi
landasan besar bagi kaum Mu‟tazilah yang mengingkari adanya syafaat sehingga
terjadi benturan atau perbedaan antara Sunni dan Mu‟tazilah dalam memahami
konteks tentang syafaat.
Jika kita perhatikan dengan seksama dari beberapa ayat yang membicarakan
tentang syafaat maka kita akan menemukan sesuatu yang tampak bertantangan,
untuk memahami konteks ayat-ayat tersebut di perlukan pemahaman yang sangat
mendalam. Menurut Abd Rahman Dahlan jika menemukan ayat-ayat Al-Quran
kelihatan bertantangan maka kembali kehakikat Al-Qur‟an atau kerelevanan Al-
Qur‟an, bahwa tidak ada satupun ayat-ayat Al-Qur‟an yang saling bertantangan
saling berlawanan antara satu ayat dengan ayat lainnya. meskipun pada zhahirnya
kelihatanlabertantangan.5
3Tim Penterjemah,Al-Qur‟an dan Tafsirnya, 319
4Lihat Al-Baqarah ayat 254, dan 48, Al-An‟am ayat 51 dan 70, Al-Mukmin ayat 18
5Abd Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Tafsir, ( Jakarta: Pustaka Amzah, 2010 ), 03
4
Mengenai syafaat ini beberapa dari kalangan ulama memberi komentar
seperti Imam Jalalalain dalam tafsirnya,6 pada hari kiamat tidak ada perantara dan
tidak ada orang yang bisa dijadikan perantara maksud dari pernyataan ini adalah
bahwa yang beliau maksud adalah konteks dari ayat ini syafaat ditiadakan hanya
bagi orang-orang kafir saja berarti kesimpulan dari penjelasan imam Jalalain
adalah bahwa penjelasan tentang peniadaan syafaat hanya bersifat khusus saja
(khusus orang-orang kafir).
Hal ini pun senada dengan pendapat Alauddin Ali bin Muhammad bin
Ibrahim Al-Bagdhadi dalam tafsirnya,7 bahwa arti yang di kehendaki dalam kata
la tuqbalu minha syafa‟atu, adalah orang-orang kafir juga, karna beliau merujuk
kepada ayat yang sebelumnya, yaitu ayat 48 yang menceritakan tantang Bani
keburukan orang-orang Bani Israil atau orang-orang Yahudi yang mengingkari
Allah dan tidak mensyukuri nikmat-nikmatnya.
Alammah Kamal Faqih memberi komentar terhadap kaum Mu‟tazilah
tentang peniadaan syafaat, dalam bukunya8 adalah hal yang galat sekiranya dalam
membuktikan suatu klaim, kita hanya mengambil suatu ayat dari sekian banyak
ayat mengenai syafaat dan menolak yang lain. Kesalahan yang terjadi menyangkut
tema syafaat serta pada persoalan yang tidak rasional lainnya, sebagai akibat
pengkajian keliru dan tidak sempurna tersebut. Metode ini yakni mengambil suatu
ayat saja dan menolak ayat-ayat lain yang dapat menjadi kerangka acuan yang
gamblang berkaitan dengan ayat-ayat tertentu tersebut adalah jauh dari cara
pengkajian yang benar.
Karena itu pertama-tama selain seluruh argumen lain dari berbagai
penjelasan mengenai vidalitas syafaat berdasarkan ayat-ayat Al-Qur‟an lainnya
yang telah disebutkan sebelumnya dan dengan kepastian yang lebih jauh lagi
dengan hadist Nabi saw adalah kesimpulan logis dan alamiah yang jauh dari
6Jalaluddin Al-Mahally dan Jalaluddin Asy-Sayuti, Tafsir Jalalain, (Surabaya: Nurul Huda
1997), 25 7Ala‟uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Bagdhadi, Tafsir Khazan,jilid III, (
Lebanon: Darl kitab alamiyah 1996 ), 43 8Alammah Kamal Faqih, Tafsir Sya‟rawi, juz II ( Jakarta: Pustaka Al-Huda ), 194-195
5
keraguan dengan mengatakan, pada hari pembalasan syafaat merupakan fakta
yang tidak dapat dihindari. Dalam madah lain, penghormatan Allah kepada
hamba-hamba-Nya yang suci dan beriman diterima sebagai faktor alamiah dan
masuk akal.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai doktrin syafaat sejumlah ayat yang
dapat dijadikan acuan diantaranya adalah.9 Dalam literatur autentik kaum Muslim,
baik dari jalur Sunni, Syi‟ah maupun Mu‟tazilah, melalui beberapa riwayat Islam
terdapat banyak implikasi mengenai keberadaan syafaat diakhirat sebagai penjelas
terhadap ayat-ayat yang telah disebut menyangkut syafaat. Berarti keberadaan
syafaat tidak terbantah dan tidak bisa di ragukan lagi.
Menurut Syaikh Tanthawi Jawhari dalam menafsiri surat Al-Baqarah ayat
48 yang tertera kitab tafsirnya,10
bahwa beliau mengkhususkan tentang
peniadaansyafaat kepada Ahli Maksiat, beliau juga mengartikan nama lain dari
syafaat adalah fidiyah. Namun menurut beliau ayat inilah yang menjadi pegangan
kaum Mu‟tazilah tentang ketiadaan syafaat bagi pelaku dosa besar. Mengenai hal
ini Syaikh Muhammad Ali As-Shabuny memberikan komentar perihal syafaat.11
Peniadaan syafaat selamanya hanya berlaku kepada kaum kafir saja dalam
menafsirkan ayat tersebut Ia menggunakan lafadz penguat (taukid)12
yaitu lafadz
abadan.
Begitulah pendangan para Mufassir tentang konteks Syafa‟at atau
kedudukan syafaat pada hari kiamat nanti. Sangat jelas bahwa dari kebanyakan
pendapat para ulama seperti Fakhrur Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib dan
ulama lainya lebih condong kepada Sunni daripada Mu‟tazilah yaitu dengan
9Asy-Syu‟ara, ayat 100. Al-Baqarah, ayat 48, 123, 255. Al-Mudassirt, ayat 48. Al-Anbiya‟,
ayat 28. Thaha, ayat 109. Saba‟, ayat 23. dan Maryam, ayat 87. 10
Syaikh Tanthawi Jawhari, Tafsir Jawahir. Juz I, ( Lebanon: Pustaka Darl Fik 1998 ) juz I,
60 11
Syaikh Muhammad Ali As-Shabuny, Shafwatu Tafasir, juz III(Madinah: Darus Shabuny
1997), 60 12
Lihat Jami‟id Durus dan Alfiah Ibnu Malik pada bab ta‟kid. Yang dimaksud dengan
ta‟kid atau taukid (penguat) adalah jika dalam sebuah kalimat disertai denganz lafad
ta‟kid ( penguat ) maka kalimat tesebut akan menjadi kuat atau Rajih ( paling unggul ).
Ta‟kid itu sendiri ialah sebuah ilmu alat yang menguat muakkad (kalimat yang diikuti)
dengan tujuan menguatkan pernyataan tersebut.
6
adanya syafaat pada Hari Kiamat kelak. Meskipun demikian Mu‟tazilah tetap
berpegang kepada pendapatnya tentang penafian (peniadaan syafa‟at) pada hari
kiamat, tetapi ada juga yang mendukung pendapatnya yaitu Al-Zamakhsyari
dalam tafsir Al-Kassyaf.
B. Permasalahan
Pokok Masalah yang ingin penulis angkat dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana Eksistensi Syafaat dalam tafsir Mafatihul Ghaib dan Tafsir Al-
Kassyaf? Pokok masalah ini lebih jauh dapat di rumuskan dalam beberapa
pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Apakah syafaat itu ada?
2. Bagaimanakah keberadaan syafaat dalam tafsir Mafatihul Ghaib dan tafsir
Al-Kassyaf?
3. Bagaimanakah komparasi antara tafsir Mafatihul Ghaib dan tafsir Al-
Kassyaf mengenai keberadaan syafaat?
C. Batasan Masalah
Penelitian ini hanya berbicara tentang eksistensi syafaat dalam tafsir Sunni
dan tafsir Mu‟tazilah, yaitu kitab tafsir Mafatihul Ghaib dan Tafsir Al-Kassyaf,
Selain itu penelitian ini juga di batasi dalam konteks keunikan pemahaman dua
tokoh tafsir tersebut, yaitu tafsir Mafatihul Ghaib dan tafsir Al-Kasyaf terhadap
ayat-ayat yang menjelaskan keberadaan syafaat pada Hari Kiamat. Mengenai
syafaat dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada syafaat yang berkaitan
dengan Allah saja adapun dalil-dalil lain yang penulis cantumkan hanya sebagai
penguat penelitian ini.
D. Tujuan dan Keguanaan Penelitian
Dari permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat
sebagai berikut:
7
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini di tujukan untuk mengetahui bagaimana eksistensi syafaat
dalam tafsir Sunni dan tafsir Mu‟tazilah serta pandangan kedua tokoh tafsir
Mafatihul Ghaib dan Tafsir Al-Kasyaf terhadap pemikiran-pemikiran yang
berkenaan dengan penafian syafaat serta menjelaskan ayat-ayat yang berkenaan
dengan syafaat tersebut.
2. Kegunaan penelitian
Penelitian ini lebih jauh di harapkan dapat mencapai kegunaan yang bersifat
teoritis dan juga praktis, yaitu:
a. Memberikan kontribusi pemikiran agar tidak salah dalam memahami isi
suatu kandungan ayat.
b. Memberikan sumbangan pemikiran yang berharga dalam memperkaya
khazanah Al-Qur‟an serta keilmuan Islam serta diharapkan dapat menjadi
salah satu bahan masukan dalam bidang akademis, khususnya Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir
c. Diharapkan pula dapat menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN
STS Jambi yang tengan mengembangkan Paradigma keilmuan yang
berwawasan global dalam bentuk Universitas Islam.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian kepustakaan pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan
gambaran tentang hubungan topik penelitian yang akan diajaukan dengan
penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga tidak
terjadi pengulangan yang tidak perlu dan mubazzir.
Dalam halini sepanjang pengetahuan penulis, penelitian secara cermat dan
menyeluruh tentang syafaat dalam khazanah penafsiran, masih sedikit ditemukan.
Namun secara garis besar sebagaimana yang dikemukakan di atas penelitian yang
dilakukan oleh para ulama berkisar pada permasalahan keyakinan yang
8
mengandung makna relegius teologis13
. Yakni bahasan mengenai faktor ada atau
tidak adanya juru selamat yang bisa mempengaruhi nasib seseorang yang beriman
dan melakukan dosa besar di Mahkamah Allah.
Syafaat merupakan suatu kajian yang menuai kritik Pro dan Kontra dalam
ajaran Agama Islam. Inilah yang membuat penulis ingin lebih jauh untuk
membahas dan mengkajinya salah satu buku yang mengkaji itu adalah buku yang
dituliskan oleh Syaikh Ja‟far as-Subhani yang berjudul Adakah Syafa‟at dalam
Islam antara Pro dan Kontra, buku ini menjadi jawaban dari perdebatan antara
kaum Sunni dan Mu‟tazilah dalam memahami konteks Syafaat.14
Selanjutnya buku “Tentang Dibenarkannya Syafaat dalam Islam Menurut
Al-Qur‟an dan As-Sunnah, yang diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad dari kitab
Mafahim Al-Qur‟an karya Syaikh Ja‟far Subhani, bab al-syafaah, mencantumkan
pendapat Al-Razi tentang syafaat. Namun sangat sedikit sekali dan tidak
menggambarkan pandangannya secara utuh. Pembahasannya bersifat ilmiah dan
lebih condong kepada Syi‟ah.
Penelitian berupa skripsi yang ditulis oleh Binti Latifah mahasiswa Tafsir
Hadist Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, dengan judul “Syafaat menurut
Fakhruddin Al-Razi” dalam skripsi ini penulis mengkaji konsep syafaat menurut
Al-Razi dan pemahaman-pemahaman Fakhruddin Al-Razi terhadap ayat-ayat
yang menguraikan syafaat, penulis hanya memaparkan penafsiran-penafsiran Al-
Razi terhadap ayat-ayat yang menguraikan tentang syafaat.15
Selanjutnya dalam karya akademik lainnya, Tesis yang ditulis oleh Leily
Vidya Rahma, yang berjudul “Konsep Syafaat dalam Al-Qur‟an, kajian kitab
tafsir Al-Kassyaf” dalam tesis ini penulis melihat bahwa pembahasan pokok
adalah menguraikan konsep syafaat dalam tafsir Al-Kassyaf, penulis tesis ini
13
Aliya Harb, Relativitas Kebenaran Agama: Kritik dan Dialog, terj Umar Bukhory Ghazi
Mubarak, (Yokyakarta: Ircisod 2001), 180 14
Syaihk Jafar as-Subhani, Adakah Syafa‟at dalam Islam antara Pro dan Kontra,
(Bandung; Pustaka al-Hidayah), 53 15
Binti Latifah, Konsep Syafaat Menurut Fakhruddin Al-Razi, (Skripsi Yokyakarta:
Program Strata Satu S1 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yokyakarta 2003), 14
9
menyampaikan pendapat-pendapat Al-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kassyaf dan
pemahaman Al-Razi mengenai ayat-ayat tersebut.16
Selanjutnya dalam karya akademik lainnya yang membahas ini adalah
skripsi yang ditulis oleh M. Ulinuha Mujib dengan judul, Konsep syafaat dalam
Perspektif Muhammad Husain At-Thabathaba‟i, dalam skripsi ini ia memberikan
penjelasan tentang pengertian syafaat, orang-orang yang memberikan syafaat, dan
orang yang berhak diberikan syafaat, Ia menjelaskan tesis ini dalam pandangan
Al-Maraghi yang meliputi keberadaan syafaat itu sendiri, dalam memaparkan isi
tesisnya Ia mencamtumkan seluruh hal-hal yang berkenaan dengan syafaat
terutama ayat-ayat Al-Qur‟an yang khsusus menjelaskan syafaat itu sendiri
dengan menyertakan rujukan-rujukan.17
Sementara dalam karya akademik lain nya adalah Tesis M. Fahruddien
dengan judul, Konsep Syafa‟at dalam Tafsir Al-Maraghi. Tesis dengan jumlah
halaman 139 ini sangat lengkap penyusun bukan sekedar membahas pengertian
syafaat saja tetapi seluruh yang berkaitan dengan syafaat Ia kemukan dalam
tesisnya. Ia tidak hanya mengkaji syafaat menurut pandangan Al-Maraghi belaka
tetapi banyak kalangan Mufassir Ia libatkan dalam mengkaji ayat-ayat tentang
syafaat. Ia juga mengemukan syafaat dalam pandangan Syi‟ah, Sunni dan
Mu‟tazilah dengan mengemukakan argumen-argumen yang kuat atau Rajih
sehingga persoalan syafaat hampir terjawab dalam tesisnya namun meskipun
demikian lengkapnya pembahasan tesis ini, juga ada titik kekurangannya Ia
mengemukakan pembahasan dengan berbelit-belit sehingga pembaca susah untuk
memahami secara lansung dan pembaca harus berkonsentrasi agar pembahasan-
pembahasan yang Ia kemukana bisa dimengerti.18
16
Leily Vidya Rahma, Konsep Syafaat dalam Al-Qur‟an, kajian dalam Tafsir Al-Kassyaf,
(Tesis Tulung Agung: Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Tulung Agung 2015), 18 17
M. Ulinuha Mujib. Konsep Syafa‟at dalam Perspektip Muhammad Husain At-
Thabathaba‟i, ( Tesis Yokyakarta: Program Pasca Sarjana S2 Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yokyakarta 2017 ), 16 18
M. Fahruddin, Konsep Syafa‟at dalam Tafsir Al-Maraghi, ( Tesis Jawa Tengah: Institut
Agama Islam Negeri Surakarta 2015 )
10
Dari kajian pustaka diatas terlihat belum ada karya-karya yang sama dengan
yang akan penulis teliti. Penelitian sebelumnya lebih banyak kepada kajian
Maudu‟i (tematik). Sedangkan penelitian ini memfokuskan pada kajian analisis
atau mengkritisi terhadap pendapat-pendapat kedua tokoh mufassir, yakni Sunni
dan Mu‟tazilah yang membicarakan tentang pengadaan dan peniadaan syafaat.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research) dalam
tehnis deskriptif kualitatif eksploratif. Tujuannya adalah mencari ide-ide baru
dalam kerangka menemukan teori baru. Sesuai dengan sifat datanya, maka
pendekatan yang dilaukan adalah pendekatan analisis komparatif, yaitu
mencoba mendeskripsikan kontruksi kedua tafsir tersebut, lalu dianalisis secara
kritis, serta mencari penyebab persamaan dan perbedaan kedua tafsir tersebut.
2. Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka19
karena itu sumber data dalam
penelitian ini dapat penulis klarifikasikan dalam dua jenis, yaitu data primer dan
data sekunder. Adapun objek utama dalam penelitian ini adalah penafsiran
terhadap teks-teks yang berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat tentang Syafa‟at.
Dalam hal ini yang menjadi data primernya adalah, Tafsir Mafatihul Ghaib dan
Tafsir Al-Kasyaf. Dan data sekunder sebagai data pendukung adalah karya-karya
yang memiliki keterkaitan dengan pokok-pokok pembahasan, seperti Jurnal,
Artikel-artikel, dan lain-lain yang berhubungan dengan topik pembahasan sebagai
pelengkap data penelitian. Diatas kedua sumber data tersebut penulis juga
menyandarkan data Qur‟ani dalam membangun penelitian ini, sehingga hasilnya
diharapkan relatif dan dapat diterima oleh kalangan akademik dan kalangan
umum.
19
Tim Penyusun, Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, ( Jambi: Fakultas
Ushuluddin IAIN STS Jambi, 2016 ), 44
11
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data yang diperlukan, penulis melakukan
penelusuran kepustakaaan dengan mengkaji dan menela‟ah referensi yang
bersumber dari tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang
penulis teliti.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data pokok
persoalan yang sedang diteliti, selanjutnya data yang terkumpul lalu dianalisis
sehingga dapat memberikan pengertian dan kesimpulan sebagai jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi objek penelitian.
4. Metode Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data, penulis akan menganalisa data yang
didapatkan dengan metode Muqaran. Muqaran secara harfiyah berarti
perbandingan, secara istilah, berarti suatu metode atau tehnik menafsirkan Al-
Quran dengan cara membandingkan pendapat seorang Mufassir dengan Mufassir
lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat 20
Penafsiran dengan metode Muqaran dapat dikategorikan kepada tiga bentuk;
pertama, membandingkan suatu ayat dengan ayat yang lain, kedua
membandingkan ayat Al-Qur‟an dengan suatu Hadist, ketiga membandingkan
suatu tafsir dengan tafsir lainnya mengenai sejumlah ayat yang telah ditetapkan
yang memiliki keterkaitan dengan tema yng sedang dibahas atau diteliti.
Sebenarnya metode muqaran (komparatif) tidak jauh beda dengan metode
lainnya, hanya saja dalam metode komparatif akan tampak sangat menonjol
uraian-uraian perbandingannya. Adapun langkah-langkah metodenya sebagai
berikut.21
1. Menentukan tema apa yang akan di teliti
20
Kadar M Yusuf. Studi Al-Qur‟an edisi kedua. ( Jakarta: Amzah, 2014 ), 136 21
Abdul Mustaqim. Metode Penelitian Al-Qur‟an dan Tafsir. ( Yokyakarta: Ideal Press,
2015 ), 137
12
2. Mengidentifikasi aspek-aspek yang hendak diperbandingkan
3. Melakukan analisis secara mendalam dan kritis disertai dengan
argumentasi data
4. Membuat kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengsistematisi penulisan dan menjawab pertanyaan dalam
penelitian ini, maka penulis telah merangkum penelitian ini ke dalam beberapa
bab, di antaranya adalah:
Bab I membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, batasan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian,
serta sistematika penulisan
Bab II membahas tentang profil tafsir Mafatihul Ghaib yang meliputi
biografi Penulis, latar belakang penulisan tafsir Mafatihul Ghaib dan tafsir Al-
Kasyaf, corak serta metode yang digunakan dalam Tafsir Mafatihul Ghaib dan Al-
Kasyaf, serta komentar para ulama mengenai tafsir tersebut.
Bab III membahas tentang eksistensi syafaat menurut tafsir Mafatihul
Ghaib dan tafsir Al-Kasyaf yang meliputi keberadaan syafaat dan kedudukan
syafaat yang terdapat didalam dua kitab tafsir tersebut.
Bab IV membahas tentang komparasi antara tafsir Mafatihul Ghaib dan
tafsir Al-Kasyaf mengenai keberadaansyafaat yang meliputi persamaan dan
perbedaan isi penafsiran, serta kelebihan dan kekurangan dari penafsiran.
Bab V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan, yang menjadi
jawaban dari rumusan masalah sebelumnya dan diakhiri dengan saran-saran
konstruktif bagi penelitian lebih lanjut.
13
BAB II
PROFIL TAFSIR MAFATIHUL GHAIB DAN TAFSIR AL-KASSYAF
A. Tafsir Mafatihul Ghaib
1. Biografi penulis Tafsir Mafatihul Ghaib
Sebagaimana yang tertulis dalam tafsir Mafatihul Ghaib nama lengkap
Fakhruddin al-Razi adalah Muhammad ibn Umar ibn al-Husain ibn al-Hasan ibn
Ali al-Taymiy al-Bakriy al-Tabrastani, yang dalam literatur keilmuan klasik kita
kenal dengan nama Fakhruddin al-Razi, ia dilahirkan di Ray, yaitu sebuah kota
yang terletak disebelah Tenggara Teheran Iran pada tanggal 15 Ramadhan 544
H/11449 M. Beliau wafat pada bulan Syawal, 606 H/1209 M. Tentang
perawakannya ia berbadan tegap, berjenggut lebat, memiliki suara yang keras dan
juga bersikap sopan santun. Beliau mempunyai beberapa nama panggilan seperti,
Abu Abdillah, Abu Ma‟ali, Abu al-Fadil dan Ibn Khatib al-Ray.1
Beberapa gelar itu diberikan disebabkan karena pengetahuannya yang luas,
maka beliau mendapat berbagai gelar seperti, Ibn Khatib al-Ray, Syaikhul Islam
dan Fakhruddin al-Razi. Beliau mendapatkan gelar Ibn Khatib al-Ray karena
beliau adalah ulama terkemuka dikota Ray. Ia dijuluki dengan Syaikhul Islam
karena ia menguasai ilmu fiqih dan ushul fiqh. Dan dalam bidang tafsir beliau
terkenal dengan sebutan Fakhruddin al-Razi sejak kecil ia telah di didik oleh
ayahnya, syekh Diyauddin. Disitulah al-Razi berkembang menjadi manusia yang
shaleh dan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Setelah beliau belajar dengan
ayahnya barulah beliau melakukan perjalanan keberbagai kota seperti Khurasan,
diamana disana banyak ulama besar seperti Abdullah bin Mubarak, Imam
Bukhari, Imam Tirmidzi dan ualam besar lainnya. Dari Khurasan atau lebih
dikenal dengan sebutan Bukhara, ia melanjutkan perjalanannya ke Iraq terus ke
1 Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, n vol 1. (Kairo: Darl Had,
2005), 248
14
Syam. Namun lebuh banyak waktunya digunakan di Khawarizmi untuk belajar
memperbanyakilmunya, kemudian terakhir beliau berangkat kekota Herat
didaerah Afganistan untuk belajar mengajar.2
Kesungguhan al-Razi dalam menggali berbagai macam ilmu sudah tampak
ketika ia masih muda. Ia tak pernah henti-henti dalam belajar dan menimba ilmu
du berbagai tempat dan di berbagai guru. Disebutkan bahwa beliau telah dapat
mengahafal kitab Syamil karya al-Ju‟in, al-Mustafa karya al-Ghazali dan kitab al-
Mu‟tamad karya tokoh ternama kaum Mu‟tazilah.3 Sehingga wajarlah keilmuan
beliau tidak diragukan lagi dikarenakan kesungguhan beliau yang begitu tinggi
dan begitu besar.
Selain sebagai seorang mufassir, beliau juga seorang pakar fiqih dan ushul
fiqih, ilmu kalam, ilmu kedokteran dan ilmu filsafat. Mengenai bidang ilmu-ilmu
tersebut ia telah menulis beberapa kitab terkait ilmu tersebut, dan menjadi
rujuakan banyak ulama-ulama sesudahnya. Beliau sangat unggul dalam berbagai
disiplin ilmu, sehingga banyak orang yang datang dari belahan penjuru negeri
untuk meneguk dari sebagian keluasan ilmu beliau.4
Meski pernah menulis karya tafsir yang sangat terkenal, al-Razi lebih
dikenal sebagai ahli fiqih dan filosof. Beberapa karya dibidang filsafatnya ialah
Syarh al-Isyarah, yang berisi komentarnya mengenai kitab al-Isyarah wa al-
Tanbihat karya Ibnu Sina. Sedangkan dibidang ushul fiqih karya besarnya
berjudul Al-Ma‟ul fi Ilmi al-Ushul, yang merangkum empat kitab besar dalam
Mazhab Syafi‟i dan pendapat para ahli ilmu kalam.
Dimasa tuanya al-Razi menetap di Herat, Afganistan. Ditempat itu ia
membangun Mesjid, mengajar dan menulis beberapa kitab salah satunnya adalah
kitab beliau tafsir Al-Kabir atau tafsir Mafatihul Ghaib, ini adalah karya terbesar
beliau, setelah itu hingga ajal menjemput beliau pada tahun 606H/1209 M. Dikota
2 Syab ibn Muhammad Ismail, Tarkhuh wa Rijluh, (Mekkah: Darl al-Salam, 1998), 238
3 Muhammad Ibrahim Abd al-Rahman, Manhaj Fakhruddin al-Razi fi al-Tafsir al-Kabir,
(Kairo: Darl al-Fikr, 2001), 3 4Ibid. ,24
15
Herat itu pula jenazah tokoh yang telah menulis tak kurang dari 81 judul kitab itu
dimakamkan
2. Latar belakang penulisan Tafsir Mafatihul Ghaib
Fakhruddin al-Razi menulis kitab tafsirnya dengan judul Tafsir al-Kabir wa
Mafatihul Ghaib, adalah terdiri dari 17 jilid atau 33 juzuk yang diterbitkan
pertama kali oleh Hay‟ah al-Buht wa al-Dirasat Dar al-Fikr, tahun 1414 H/1992
M. Dengan kata pengantar al-Syaikh Khalil Muhyi al-Din al-Masy sebagai
direktur al-Azhar ketika itu.5
Khusus untuk jilid 17 danjuz 33, hanyaa berisi indeks yang disusun oleh
Muhammad Abdur Rahim yang diterbitkan pada tahun 1415 H/1995 M. Dengan
cakupan 12 indek, yaitu:
1. Indek tentang tema-tema pokok dalam setiap juznya.
2. Indek tentang ayat-ayat hukum.
3. Indek tentang tema-tema ayat al-Qur‟an berdasarkan urutan huruf-huruf
asing atau kata jadinya
4. Indek tentang etnis/suku, masyarakat, bangsa, agama, mazhab, aliran,
maupun kepercayaan.
5. Indek yang berkaitan dengan tempat dan negara kejadiannya.
6. Indek tentang kitab-kitab atau referensi.
7. Indek berdasarkan hewan, serangga, hama dan ikan.
8. Indek yang berkaitan dengan tambang, intan, logam dan permata.
9. Indek tentang hadis-hadis.
10. Indek tentang nama-nama populer.6
5Muhammad Ibrahim Abd al-Rahman, Manhaj Fakhruddin al-Razi fi al-Tafsir al-Kabir,
(Kairo: Darl al-Fikr, 2001), 78, 6 Aswadi, Konsep Syafaat dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, (Disertasi-Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007), 67
16
Menurut al-Dzahabi dalam karyanya al-Tafsir wa al-Mufassirun,
menyimpulkan bahwa Tafsir Mafatihul Ghaib, secara keseluruhannya tidak ditulis
oleh al-Razi. Menurutnya, penulis al-Razi hanya hanya berakhir pada al-Qur‟an
surat al-Anbiya, kemudian disempurnakan oleh generasi berikutnya yang bernama
Shihabuddin al-Kuwaini, namun dalam penyempurnaannya itu juga belum tuntas,
sehingga dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang bernama Najmuddin al-
Qamuli hinggaselesai secara keseluruhan.7
Disamping itu juga, al-Dzahabi menunjukkan alasan melalui bukti dan
temuan dalam syarah Kasyf al-Dzunun karya Sayyid Murtada, yang menunjukkan
bahwa al-Razi menulis tafsirnya hanya sampai pada surat al-Anbiya. Lebih lanjut
al-Dzahabi menunjukkan sebuah teks atau redaksi dalam tafsir Mafatihul Ghaib
ketika menjelaskan al-Qur‟an surat al-Waqi‟ah ayat 24, Allah Swt berfirman:
.8
Yang dijadikan sebagai bukti bahwa al-Razi tidak menyelesaikan tafsirnya.
Redaksi maupun pernyataan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
9
Tidak hanya al-Dzahabi yang berpendapat bahwa Imam al-Razi tidak
menyelesaikan karyanya secara keseluruhan, bahkan pada catatan kaki dalam
kitabnya cetakan yang ke-4 telah ditahqih oleh penerbitnya yaitu Darl al-Ihya al-
Turath memberikan catatab yang sama seperti yang diungkapkan oleh al-Dzahabi
adapun catatannya yaitu :
7Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, n vol 1. (Kairo: Darl Had,
2005), 191 8Kementerian agamaRI,Al-Qur‟an dan terjemahannya, (Jakarta: Pustaka Forum Pelayan
Al-Qur‟an, 2012) 9 Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatihul Ghaib, (Kairo: Darl al Fikr, 1992) jilid
29, 339
17
“Pada statemen ini dapat dirasakan bahwa ulasan pada penafsiran surat al-
Waqi‟ah ayat 24 di permasalahan utama ditafsir al-Razi adalah akhir dari
karangan beliau melainkan dari salah satu murid beliau yang melanjutkan
karya beliau selepas wafatnya imam al-Razi”.
Disisi yang lain pula. Abdurrahman menegaskan apa yang pernah diragukan
oleh ulama terdahulu atas hal ini, bahwa keraguan atas penulisan tafsir Mafatihul
Ghaib oleh al-Razi adalah sikap terburu-buru dalam memberikan kesimpulan,
karena mereka tidak melakukan pembacaan secara keseluruhan atas tafsir
Mafatihul Ghaib, sehingga kesimpulan-kesimpulan dari hasil redaksi sebagian
teks tafsir yang muncul dipermukaan berlalu-lalang masih bersifat mubham,
sangat kabur dan tidak jelas.10
3. Metode dan Corak Tafsir Mafatihul Ghaib
Tafsir Al-Razi termasuk kedalam golongan tafsir yang bermetode Tahlili,
dimana menafsirkab per-ayat dalam Al-Qur‟an sesuia dengan urutan Mushaf
(mushaf ustmany). Dengan kata lain metode ini mencoba mengungkapkan dan
mengkaji Al-Qur‟an dari segala segi dan maknanya. Kata perkata diuraikan
dengan maksud dan kandungannya serta unsur yang berada dalam kaidah-kaidah
penafsiran. Di antaranya unsur I‟jaz, Balaghah dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan apa-apa yang dapat dinisbatkan dari ayat, seperti hukum, fiqih, dalil
syar‟i dan sebagainya.11
Tafsir Mafatihul Ghaib atau yang dikenal sebagai tafsir Al-Kabir
dikategorikan sebagai tafsir bil al-ra‟y, yaitu tafsir yang dalam menjelaskan
maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan
10
Muhammad Ibrahim Abdur al-Rahman, Manhaj tafsir Mafatihul Ghaib Fakhruddin al-
Razi, (Kairo: Darl al-Handasyah, 1993), 85 11
Ali asan al-Aridi, sejarah dan metodologi tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1994) 30
18
penyimpulanyang didasarkan oleh ra‟y semata,12
dengan pendekatan Mazhab
Syafi‟iyah dan Asy‟ariyah.Di lihat dari berbagai argumen dan penjelasan Al-Razi
dalam menjelaskan penafsirannya maka dapat disimpulkan bahwa corak
penafsiran yang Ia gunakan adalah corak Ilmi dan Sosial.
4. Komentar Para Ulama terhadap Tafsir Mafatihul Ghaib
Dikalangan para ulama, tafsir Mafatihul Ghaib sangat terkenal karena
kepiawaian al-Razi dalam mengungkapkan kemukjizatan Al-Qur‟an, terutama
membandingkan dan mejelaskan suatu ayat, mengenai keindahan balaghahnya.
Mereka mengatakan bahwa tafsir inilah yang pertama kali menyingkap
kemukjizatan Al-Qur‟an secara sempurna. Namun, tiada gading yang tak retak.
Disamping mempunyai kelebihan, tafsir Mafatihul Ghaib juga mempunyai
keleahan dan kekurangan. Berikut ini beberapa penilaian terhadap tafsir Mafatihul
Ghaib.
Rasyid Ridha13
memberikan predikat al-Imam kepada Al-Razi, selain itu
Al-Razi merupakan raja dari teolog dan ahli ushuluddin pada masanya. Sehingga
ketika Al-Razi meninggal dunia mereka mengakui kepemimpinannya. Namun
Rasyid Ridha menilai Al-Razi lemah dalam pemahaman hadis dan riwayat rijal
al-hadist. Sehingga dalam penafsirannya Ia lebih banyak mengkolaborasikan
pemahamannya sendiri.
Sedangkan Al-Dzahabi menyebutkan bahwa Al-Razi memang merupakan
ulama yang tidak memiliki ilm luas soal hadis. Namun semua itu tidak bisa dinilai
sebagai sebuah kekurangan dan kelemahan. Tafsir ini memiliki pembahasan yang
luas bukan hanya dari sisi riwayat, melainkan berbagai sisi keilmuan dengan
kolaborasi pendapat dari tokoh muhfassir yang sebelumnya.Soal keluasan
pembahasan tafsir ini sudah bukan hal asing lagi, semuanya ada dalam tafsir
12
Manna Khalil al-Qatan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur‟an, terj. Mudzakkir (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 1992) 482 13
Salah satu penulls tafsir Al-Manar, Ia memiliki peran besar dalam pembaharuan islam
19
tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Abu Hayyan Al-Andalusi dalam tafsirnya yang
secara meyakinkan akan kekurangan dan kelebihannya.14
Manna al-Qhattan dalam tulisannya Ia menguraikan bahwa, soal besarnya
pengaruh logika dalam tafsir Mafatihul Ghaib, sehingga tafsir ini terlihat seperti
analisi pemikiran kedokteran, hikmah dan filsafat Aristoteles. Hal ini keluar dari
maksud nash yang sebenarnya, karena berusaha menggunakan istilah ilmiah dan
rasional.15
oleh karena itu, kitab ini tidak memiliki ruh tafsir. Tapi itu hanya
menurut Manna Al-Qhattan tidak dengan ulama lainnya.
Ibnu Araby mengungkapkan kekagumannya terhadap tafsir Mafatihul Ghaib
tentang keluasan pemahaman dan pemikiran al-Razi sehingga Ia menilai tafsir ini
adalah tafsir yang sangat besar pengaruhnya dalam melawan rasional Mutazilah.
Disamping itu Ia juga menilai bahwa al-Razi dalam perkembaangan tafsir
sangatlah besar dan terasa sampai hari ini. Itu semua dikarenakan keseriusan Al-
Razi dalam menyelesaikan kitab tafsirnya.
Keberadaan tafsir ini tentu membawa nuansa baru dalam genre pemikiran
islam, dan di akui oleh beberapa tokoh pembaharuan. Arkoun misalnya, bahwa
dari sekian banyak kitab tafsir yang telah di susun sejak abad X, tafsir yang ditulis
oleh al-Razi menampakkan kewibawaan yang tak kunjung pudar. Otoritasnya
masih diakui oleh kaum muslimin terpelajar dan islamolog.16
Tentu pendapat ini
memiliki argumentasi yang kuat dan bisa menjadi bukti penerimaan masyarakat
terhadp tafsir ini. Tafsir Mafatihul Ghaib mampu menunjukaan dan menyuarakan
kerinduan bertemunya kajian modern yang berbasis ilmu pengetahuan dan filsafat
yang saat itu sudah nyaris pudar dengan pemahaman keagamaan dalam setiap
aspeknya.
14
Asir al-Din Abu Abdillah Muhammadbin Yusuf al-Andalusi, Bahr al-Muhit, vol.I
(Kairo: Darl Ihya al-Turath, t.th) 34 15
Manna Khalil al-Qatan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur‟an, terj. Mudzakkir (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 1992), 529 16
Mohammad Arkoun, Kajian Kontemporer Qur‟an (Bandung: Penerbit Pustaka, 1998),
125
20
B. Tafsir Al-Kassyaf
1. Biografi penulis Tafsir Al-Kassyaf
Sebagaimana tertulis didalam tafsir al-Kasyaf, nama lengkap al-
Zamakhsyari adalah Abd al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn Umar al-
Zamakhsyari. Tetapi ada juga yang menulis Muhammad ibn Umar ibn
Muhammad Al-Khawarizmi Al-Zamakhsyari.17
Ia dilahirkan di Zamakhsyar,
sebuah kota kecil di Khawarizmi18
pada hari Rabu 27 Rajab 467 H. atau 18 Maret
1075 M.19
, dari sebuah keluarga miskin, tetapi alim dan taat beragama. Dilihat
dari masa tersebut, Ia lahir pada masa pemerintahan Sulthan Jalal al-Din Abi al-
Fath Maliksyah dengan wazirnya Nizam al-Mulk. Wazir ini terkenal sebagai
orang yang aktip dalam pengembangan dan kegiatan keilmuan. Dia mempunyai
kelompok diskusi yang terkenal maju dan selalu penuh dihadiri oleh para ilmuan
dari berbagai kalangan.20
Sejak usia menjelang remaja, al-Zamakhsyari sudah pergi merantau,
meninggalkan desanya pergi menuntut ilmu pengetahuan di Bukhara, yang pada
masa itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan.
Baru beberapa tahun belajar, ia merasa terpanggil untuk pulang sehubungan
dengan dipenjarakan ayahnya oleh pihak penguasa dan kemudian wafat. Al-
Zamakhsyari masih beruntung bisa berjumpa dengan ulama terkemuka di
Khawarizmi, yaitu Abu Mu‟dar al-Nahwi (w. 508 H.), berkat bimbingan dan
bantuan yang diberikan oleh Abu Mu‟dar, ia berhasil menjadi murid yang terbaik,
menguasai bahasa dan sastra arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.
Al –Zamakhsyari dikenal sebagai yang berambisi memperoleh kedudukan
dipemerintahan. Setelah merasa tidak berhasil dan kecewa melihat orang-orang
17
Abu al-Abbas Syam al-Din Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bakr ibn Khallikan, Wafayat
al-A‟yan wa Anba al-Zaman, jilid 5 (Beirut: Dar Sadir, t.th), 168. 18
Syihab al-Din ibn Abd Allah Yaqut al-Hamawi, Mu‟jam al-Buldan, jilid 3 (Beirut: Dar
Sadir), 148. 19
M. Hostma et.al. First Encyplopedia of Islam 1993-1996, jilid 8 (Leiden: E.J. Brill,
1993), 1205. 20
Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur‟an, (Mesir: Dar
al-Ma‟arif, t.th.), hlm 27
21
yang dari segi ilmu dan akhlaq lebih rendah dari dirinya diberi jabatan-jabatan
yang tinggi oleh para penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya
walaupun telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormatinya, Abu Mu‟dar.
Keadaan itu memaksanya untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan
baik serta pujian baik dari kalangan penjabat pemerintahan Abu al-Fath ibn al-
Husain al-Ardastani dan kemudian Ubaidillah Nizam al-Mulk. Disana, ia diangkat
menjadi sekretaris (katib), tetapi karena tidak puas dengan jabatan tersebut, ia
pergi kepusat pemerintahan Daulah Bani Saljuk, yakni kota Isfahan.21
Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa Al-Zamakhsyari selalu gagal
dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Kemungkinan pertama,
karena ia bukan saja dari ahli bahasa dan ahli sastra Arab, tetapi ia juga seorang
tokoh Mu‟tazilah yang sangat demonsratif dalam menyebar-luaskan fahamnya,
dan ini membawa dampak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak
berafiliasi terhadap Mu‟tazilah.22
Kedua, mungkin juga kurang didukung oleh
kondisi jasmaninya, Al-Zamakhsyari memiliki cacat fisik, yaitu kehilangan satu
kakinya.23
Akan tetapi setelah terserang sakit yang parah pada tahun 512 H., angan-
anganya untuk mendaptkan jabatan dipemerintahanpu segera sirna. Al-
Zamakhsyari lalu melanjutkan perjalanan ke Bagdad. Disini ia mengikuti
pengajian Hadsit oleh Abu al-Khattab al-Batr Abi Sa‟idah al-Syafani, Abi Mansur
al-Harisi, dan mengikuti pengajian fiqih oleh ahli fiqih Hanafi, al-Damagani al-
Syarif ibn al-Syajari. Ia bertekad membersihkan dosa-dosanya yang lalu dan
menjauhi para penguasa, menuju penyerahan kepada Allah swt. Dengan melewatk
ke Mekkah selama dua tahun. Dikota iniia begitu sibuk mempelajari kitab
Sibawaihi pakar Gramatika Arab yang terkenal (w. 518 H.). Ia juga
menyempatkan diri mengunjungi banyak tempat dijazirah Arab. Kerinduannya
kepada kampung halaman membawanya pulang kembali. Setelah Al-Zamakhsyari
21
Syihab al-Din ibn Abd Allah Yaqut al-Hamawi, Mu‟jam al-Buldan, jilid 19 (Beirut: Dar
Sadir), 123-124 22
Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, (Yokyakarta: Penerbit Teras, 2004.), 45 23
Jamal al-Din Abi al-Hasan Ali Ibn Yusuf al-Qifni, Anbah al-Ruwat Anbah al-Nuhat, jilid
3 (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1986). 286
22
menyadari usianya semakin lanjut, timbul lagi kegairahannya untuk pergi ke
Mekkah. Ia tiba kembali disana untuk yang kedua kalinya pada tahun 256 H. Ia
menetap disana selama tiga tahun, yaitu tahun 256-259 H, atau 1132-1135 M.
Sehingga ia memperoleh gelar Jar Allah. Dari Mekkah ia pergi lagi ke Bagdad
dan selanjutnya ke Khawarizmi. Beberapa tahun setelah berada dinegaranya itu, ia
wafat di Jurjaniyah pada malam Arafah tahun 538 H. Petualang Ibnu Batutah
mengaku melihat kuburannya.24
Al-Zamakhsyari membujang seumur hidup. Sebagian besar waktunya
diabadikan untuk mendalami ilmu pengetahuan dan menyebarluaskan faham yang
dianutnya, seperti yang sering dilakukan oleh kalangan ulama Mutazilah
pendahulunya.25
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila penulis mencatat
kurang lebih 50 buah karya tulisannya yang mencakup berbagai bidang ilmu.
Sebagian karyanya masih ada yang dalam bentuk manuskrip.
2. Latar Belakang penulisan Tafsir Al-Kassyaf
Al-Zamakhsyari menulis kitab tafsirnya berjudul Al-Kassyaf an Haqa‟iq al-
Tanzil wa Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta‟wil, bermula dari permintaan suatu
kelompok yang menamakan diri al-Fi‟ah al-Najiyah al-Adliyah. Kelompok yang
dimaksud disini adalah kelompok Mu‟tazilah.26
Dalam muqadimah tafsir al-
Kasyaf disebut begini, “Mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan
mereka meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna Al-Qur‟an dan
semuakisah-kisah yang terdapat didalamnya, termasuk segi penakwilannya.27
Didorong oleh permintaan diatas, al-Zamakhsyari menulis sebuah kitab
tafsir, dan kepada mereka yang meminta didiktekan mengenai fawatih al-suwar
dan beberapa pembajasan tentang hakikat-hakikat surat al-Baqarah. Penafsiran al-
24
Munni‟ Abd Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, (Mesir: Dar al-Kutub, 1978). 105 25
Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur‟an, (Mesir: Dar
al-Ma‟arif, t.th.), 49 26
Malik Madani, al-Kasyaf: Tafsir Mu‟tazilah dalam literatur kaum Sunni, dalam
Pesantren, Vol. VIII, NO. 1991, 89 27
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa‟iq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta‟wil,
jilid I, (T.kt: Intisyarat Arab, t.th), 17-20
23
Zamakhsyari ini tampak mendapat sambutan hangat diberbagai negeri. Dalam
perjalanan kedua ke Mekkah banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan
keinginannya untuk memperoleh karyanya itu. Bahkan setelah ia sampai di
Mekkah, ia diberi tau bahwa pemimpin pemerintahan Mekkah, yakni Ibn Wahhas
bermaksud mengunjunginya ke Khawarizmi untuk mendapatkan karya tersebut.
Semua itu menggugah semangat al-Zamakhsyari untuk memulai menulis
tafsirnya, meskipun dalam bentuk yang lebih ringkas dari yang didiktekan
sebelumnya.
Berdasarkan desakan pengikut-pengikut Mu‟tazilah di Mekkah dan atas
dorongan al-Hasan Ali ibn Hamzah ibn Wahhas, serta kesadaran dirinya sendiri,
akhirnya al-Zamakhsyari meneyelesaikan penulisan tafsirnya dalam waktu kurang
lebih 30 bulan. Penulisan tafsir tersebut dimulai ketika ia berada di Mekkah pada
tahun 526 H. dan selesai pada hari senin 23 Rabi‟ul Akhir 528 H.28
Penafsiran yang ditempuh oleh Al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat
menarik dan menggugah hati para pembesar-pembesar atau tokoh-tokoh
Mu‟tazilah, karena uraiannya singkat tapi jelas, sehingga para ulama Mu‟tazilah
mengusulkan agar tafsir tersebut dipersentasikan pada para ulama Mu‟tazilah, dan
juga ulama Mu‟tazilah mengusulkan kepada Al-Zamakhsyari agar penafsirannya
dilakukan dengan corak i‟tizali, dan hasilnya adalah tafsir Al-Kassyaf yang ada
saat sekarang ini.
Pada tahun 1968, tafsir al-Kasyaf dicetak ulang pada percetakan Mustafa al-
Babi al-Halabi, Mesir dalam empat jilid. Jilid pertama diawali dengan surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Mai‟dah. Jilid kedua diawali dengan surat al-
An‟am dan diakhiri dengan surat al-Anbiya‟. Jilid ketiga diawali dengan surat al-
Hajj dan diakhiri dengan surat al-Hujurat. Dan jilid yang keempat diawali dengan
surat Qaf dan diakhiri dengan surat al-Nas.29
28
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa‟iq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta‟wil,
jilid IV, (T.kt: Intisyarat Arab, t.th), 304 29
Muhammad Yusuf DKK, Studi Kitab Tafsir, (Yokyakarta: Penerbit Teras, 2004.), 49
24
3. Metode dan Corak Tafsir Al-Kasyaf
Tafsir Al-Kassyaf disusun dengan tartib mushafi, yaitu berdasakan urutan
surat dan ayat dalam mushaf dalam Mushaf Ustmani, yang terdiri dari 30 juz
berisi 114 surat, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-
Nas. Setiap surat diawali dengan basmalah, kecuali surat al-Taubah.30
Penafsiran
Al-Zamakhsyari hampir sama dengan penafsiran Al-Razi dalam segi metode dan
penyusunannya (tertibnya).
Dalam menafsirkan Al-Qur‟an al-Zamakhsyari terlebih dahulu menuliskan
ayat-ayat Al-Qur‟an yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya
dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil dari
riwayat (hadis) atau ayat-ayat Al-Qur‟an, baik yang berhubungan dengan asbab
al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, Ia tidak
terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat
yang mendukung penafsirannya ai akan mengambil riwayat tersebut, dan jikalau
tidak ada, ia akan tetap melanjutkan penafsirannya.31
Jika diteliti dengan cermat, ayat demi ayat dan surat demi surat maka
nampaklah dengan jelas bahwa metode yang digunakan oleh Al-Zamakhsyari
dalam penafsirannya adalah metode tahlili, yaitu meneliti makna kata-kata dan
kalimat-kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap aspek munasabah, yaitu
hubungan suatu ayat dengan ayat lainnya atau antara satu surat dengan surat
lainnya sesuai dengan tertib surat dalam Mushaf Ustmani. Untuk membantu
mengungkapkan makna ayat-ayat ia juga menggunakan riwayat-riwayat dari para
sahabat dan para tabi‟in dan kemudian mengambil konluksi dengan pandangan
dan pemikirannya sendiri.
Al-Zamakhsyari terkenal sebagai orang yang ahli dalam bahasa Arab, yang
meliputi sastranya, balagahahnya, nahwunya atau gramatiknya. Oleh karena itu
30
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa‟iq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta‟wil,
jilid IV, (T.kt: Intisyarat Arab, t.th), 25 31
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), 50
25
tidak mengherankan kalau bidang-bidang keahliannya itu juga sangat mewarnai
hasil penafsirannya. Al-Zahabi misalnya, menyatakan bahwa penafsiran al-
Zamakhsyari lebih banyak berorientasi pada aspek balaghah, untuk menyingkap
keindahan dan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur‟an, sehingga tafsir Al-
Kassyaf sangat terkenal di negara-negara belahan Timur, karena perhatian
masyarakat pada masyarakat sangat besar.32
Subhi al-Shalih juga menyatakan hal
yang sama, bahwa tafsir Al-Kassyaf mempunyai keistimewaan dalam
mengetengahkan aspek balaghah dan membuktikan beberapa bentuk i‟jaz dengan
cara adu argumentasi. Tafsir al-Kasyaf uraiannya jelas dan tidak bertele-tele.33
Al-Zamakhsyari adalah seorang teolog (mutakallim) sekaligus seorang
tokoh Mu‟tazilah. Kedua predikat ini juga mewarnai penafsirannya yang tertuang
dalam tafsir Al-Kassyaf, sehingga tafsir tersebut juga memiliki corak teologis dan
lebih khusus lagi corak Mu‟tazilah (laun i‟tizal). Di sinilah dapat kita lihat
bagaimana Al-Zamakhsyari menuangkan pemikiran-pemikiran kemu‟tazilahannya
dalam menafsirkan atau menjelaskan firman-firman Allah.
4. Komentar para Ulama terhadap Tafsir Al-Kassyaf
Dikalangan para ulama, tafsir Al-Kassyaf sangat terkenal karena kepiawaian
al-Zamakhsyari dalam mengungkapkan kemukjizatan Al-Qur‟an, terutama
mengenai keindahan balaghahnya. Mereka mengatakan bahwa tafsir inilah yang
pertama kali menyingkap kemukjizatan Al-Qur‟an secara sempurna. Namun, tiada
gading yang tak retak. Disamping mempunyai kelebihan, tafsir Al-Kassyaf juga
mempunyai kelemahan dan kekurangan. Berikut ini beberapa penilaian terhadap
tafsir Al-Kassyaf.
Setelah melakukan penelitian terhadap dua tafsir, yaitu tafsir Ibn Atiyyah
dan tafsir al-Zamakhsyari, Busykual berkesimpulan: Tafsir Ibn Atiyyah banyak
mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedangkan
32
Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Darl Fikr, 1976), 442 33
Subhi Al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, terj, Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996), 390
26
tafsir Al-Zamakhsyari lebih ringkas dan lebih mendalam. Hanya saja al-
Zamakhsyari sering menggunakan kata-katayang sukar dan banyak menggunakan
syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya, dan sering
menyerang Mazhab lain. Hal ini terjadi karena ia berusaha membela Mazhabnya,
Mazhab Mu‟tazilah. Semoga ia mendapat pengampunan dari Allah Swt.34
Selanjutnya Haidar al-Harawi menilai bahwa tafsir al-Kasyaf merupakan
kitab tafsir yang sangat tinggi nilainya. Tafsir-tafsir sesudahnya tiada satupun
yang dapat menandinginya, baik dalam keindahan maupun kedalamannya.
Kalaupun ada maka penyusunannya hanya mengutip apa adanya, tanpa mengutip
sedikitpun baik susunan kata maupun kalimatnya.
Tafsir al-Kassyaf sangat terkenal diberbagai negara dan menaburkan makna
dan kandungan Al-Qur‟an dalam setiap kalbu insan, bagaikan matahari disiang
hari menyinari seluruh daratan matahari. Namun bukan berarti bahwa al-Kasyaf
adalah sempurna tanpa kekurangan. Menurut Haidar, kekurangan-kekurangan
yang terdapat dalam tafsir al-Kasyaf antara lain:
1. Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tanpa dipikirkan lebih
mendalam, dan menafsirkan ayat dengan panjang lebar, seakan-akan untuk
menutupi kelemahannya, serta penuh dengan pemikiran Mu‟tazilah.
2. Kurang menghormati ulama-ulama lainnya, sehingga al-Razi ketika
menafsirkan Qs al-Maidah 54 menunjukkan kepada penyusun al-Kasyaf,
karena al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama yang
dicintai oleh Allah Swt.
3. Terlalu banyak menghadirkan syair-syair dan peribahasa yang penuh dengan
kejenakaan, yang jauh dari tuntunan syariat.
4. Sering menyebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah dengan sebutan yang tidak
sopan. Bahkan kadang-kadang mengkafirkan mereka dengan sindiran-
34
Sa‟ad Abdul Wahid, “Zamakhsyari dan tafsir al-Kasyaf” dalam M Amin Abdullah Dkk,
Rekontruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, (Yokyakarta: Suka Press, 2003), 275
27
sindiran. Ini adalah suatu perilaku yang tidak layak disandang oleh seorang
ulama yang baik.35
Ibnu Khaldun memberikan penilaian terhadap tafsir Al-Kasyaf, ketika
membahas pentingnya lughah, i‟rab, dan balaghah dalam memahami Al-Qur‟an,
Ibn Khaldun mengatakan bahwa diantara tafsir yang baik dan paling mampu
mengungkapkan makna Al-Qur‟an dengan pendekatan bahasa dan balaghah
adalah tfsir al-Kasyaf. Hanya saja penyusunannya bermazhab Mu‟tazilah dalam
masalah aqidah. Dengan balaghah ia membela Mazhabnya dalam menafsirkan
Al-Qur‟an. Karena itu sebagian ulama menantangnya dengan balaghah dalam
pengertian Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah, bukan menurut pengertian Mu‟tazilah.36
Dari penelaian Ibn Khaldun diatas penulis memberikan kesimpulan bahwa
tafsir Al-Kasyaf juga tergolong kedalam tafsir yang memiliki perang penting
dalam keilmuan terutama di bidang tafsir, hanya saja penulis tafsir tersebut
melaukan sesuatu yang sangat berlebihan kepada aliran yang Ia anut yakni
Mu‟tazilah, sehingga penafsiran beliau kelihatan seperti pemikiran para tokoh
Mutazilah.
Al-Sawi berpendapat bahwa al-Zamakhsyari adalah seorang ulama
Mu‟tazilah yang sangat fanatik dalam membela faham Mu‟tazilah, sehingga
penafsiran-penafsirannya sangat dipengaruhi oleh faham-faham Mu‟tazilah. Oleh
karena itu, tafsirnya seakan-akan menyampaikan pemikiran-pemikiran mutazilah
melalui tulisan dalam tafsirnya dan hanya melakukan pembelaan terhadap Mazhab
Mu‟tazilah saja.37
Hal inilah yang menjadi alasan utama Al-Zamakhsyari menuai ragam
kritikan yang pedas terutama dari kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah
dikarenakan pemikiran-pemikiran yang beliau tuangkan melalui tafsirnya.
Meskipun demikian Al-Zamakhsyari tidak memperdulikan kritikan tersebut, Ia
35
Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Darl Fikr, 1976), 149 36
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th,), 492 37
Mustafa al-Sawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th,), 149
28
sangat konsisten dalam mempertahankan pendapatnya. Sehingga tafsir Al-Kasyaf
juga memperoleh predikat di mata para mufassir lainnya.
Seoranag tokoh dunia barat terkemuka, yang bernama Ignaz Al-Goldziher
dalam bukunya Mazahib al-Tafsir al-Islami, Goldziher mengatakan bahwa tafsir
al-Kasyaf sangat baik, bahkan menurutnya tafsir ini merupakan tafsir yang sangat
lengkap terutama mengenai khazanah keilmuan, hanya saja pembelaan yang
dilakukan oleh Al-Zamkhsyari terhadap kamu Mu‟tazilah sangat berlebihan.38
Hal
inilah yang menjadikan Al-Zamakhsyari banyak di anggap oleh kalangan ulama
Sunni fanatisme.
Dari beberapa penilaian atau kritikan yang diberikan oleh para ulama
terhadap tafsir Al-Kasyaf, maka jelaslah bagaimanapun piawainya Al-
Zamakhsyari dalam menjelaskan penafsirannya, Ia tak pernah luput dari
kekurangan dan kelemahan sebagai seorang mufassir. Menurut penulis banyaknya
kritikan yang dilayangkan kepada kitab tafsirnya dikarenakan Ia adalah seorang
Mu‟tazilah, pemikiran-pemikiran beliaupun tidak jauh berbeda dengan para tokoh
Mu‟tazilah. Kaum Sunni dan para tokoh ulama umum lainnya sangat mewaspadai
pemikiran-pemikiran Mu‟tazilah.
38
Ignaz Goldziher, Mazahib Tafsir al-Islami, terj. kedalam bahasa Arab oleh Abd Halim
an-Najjar, (Beirut: Dar al-Iqra, 1983), 141
29
BAB III
EKSISTENSI SYAFAAT DALAM TAFSIR MAFATIHUL GHAIB DAN
TAFSIR Al-KASSYAF
A. Apakah Syafa’at itu ada?
Syafaat merupakan salah satu prinsip (ushul) dalam islam, kebenaran dan
keotentikan mengenai keberadaann syafaat tersebut tidak akan terbantah lagi,
karena berbagai hujjah baik itu ayat-ayat atau hadis-hadis telah menyebutkan
tentang kebenarannya. Para ulama dan para mufassir sepakat bahwa Nabi
Muhammad SAW, adalah salah seorang pemberi syafaat. Pendapat ini mereka
sandarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi:
“Dan kelak Tuhanmu akan memberikan karunianya kepadamu, lalu
(hati)kamu menjadi puas” (QS. Al-Dhuha; 93:5).1
“Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu kepada tempat yang terpuji”
(QS. Al-Isra; 17:79).2
Kedua ayat tersebut di atas ditafsirkan dengan syafaat. Maqamam
mahmudan (tempat yang terpuji) adalah maqam syafaat,3dan yang di anugerahkan
Allah kepada Nabi saw. Itu adalah hak untuk memberikan syafaat, sehingga hal
itu membuat hati beliau menjadi puas. Jadi dapat penulis simpulkan bahwa syafaat
itu ada dan Nabi Muhammad adalah salah satu satu sumber pemberian syafaat.
1Tim Penterjemah Al-Quran, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, 592
2Ibid., 290
3 Ja‟far Subhani. Pro dan Kontra mengenai Syafaa, (Bandung; Pustaka Hidayah, 2011), 11
30
Kesimpulan atas kedua ayat tersebut tergantung pada kajian masalah
syafaat,dalil-dalilnya, dan definisinya. Maka sangat relevan bila di sini saya
mengkaji masalah syafaat secara tuntas. Kendati tujuan utamanya adalah untuk
mengetahui salah satu sifat Nabi saw sebagai pemberi syafaat pada hari kiamat
kelak. Untuk itu saya katakan, bahwa umat islam sepakat bahwa syafaat
merupakan salah satu ushul (prinsip, ajaran pokok) Islam yang disebutkan oleh
Al-Qur‟an dan dijelaskan oleh Sunnah Nabawiyah dan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh para imam yang suci, tanpa ada seorangpun yang
menentangnya, sekalipun terdapat perbedaan pendapat mengenai artikulasi dan
kekhususan-kekhususannya.
Kaum Sunni berpendapat bahwa pada Hari Kiamat Rasulullah saw, akan
memberikan syafaat kepada sekelompok umatnya yang melakukan dosa besar.
Sementara Mu‟tazilah mengatakan, bahwa syafaat Rasulullah saw tersebut
diberikan kepada orang-orang yang taat, bukan kepada pelaku maksiat,dan bahwa
sanya beliau tidak akan memberikan syafaatnya kepada orang-orang yang berhak
untuk disiksa di antara seluruh makhluk.4
Para ulama berbeda pendapat tentang pemberian syafaat yang di lakukan
oleh Nabi saw. Mu‟tazilah dan para pengikut-pengikutnya berpendapat bahwa
syafaat Nabi diberikan kepada Ahli Surga agar Allah menaikkan derajat mereka,
sedangkan kelompok Sunni dan lainnya mengatakan, bahwa syafaat Nabi di
berikan kepada para pelaku dosa besar dan ahli maksiat di kalangan orang-orang
Mukmin yang agamanya di ridhai oleh Allah, untuk digugurkan siksanya.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa syafaat itu memanglah ada dan
tidak bisa diragukan lagi mengenai keberadaannya, karena banyak sekali
penjelasan ayat-ayat Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan argumentasi para ulama
mengenai keberadaan syafaat tersebut. Bahkan kaum Mutazilah pun mengakui
keberadaannya, hanya saja mereka berbeda dalam hal kedudukan atau pemberian
syafaat tersebut.
4 Al-Syaikh Al-Mufid. Awail Al- Maqalat, (Beireut Lebanon; Darl Al-Fikr, 1990) 14-15
31
Pada persoalan itu pulalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka,
tentang arti syafaat. Yakni, tentang apakah syafaat itu berarti memohon
ditambahkannya manfaat bagi kaum muslimin yang berhak atas pahala,
sebagaimana yang di anut oleh Mu‟tazilah, ataukah sebagaimana yang dikatakan
oleh kelompok yang selain mereka5 digugurkannya siksa bagi orang-orang yang
fasik di kalangan umat Islam.
Dengan demikian, akar perbedaannya adalah sama, yang sesekali dikaitkan
dengan siapa yang diberikan syafaat apakah hanya orang-orang taat, ataukah para
pelaku maksiat dan para pendosa dan pada kali lainnya dikaitkan dengan makna
syafaat itu sendiri apakah ia berarti memohon tambahan manfaat atas pahala,
ataukah pengguguran dosa. Jadi perbedaan yang terjadi menurut penulis adalah
tentang pemberian syafaat itu sendiri ditujukan kepada siapa.
Terhadap masalah yang manapun persoalan ini dikaitkan, yang jelas syafaat
itu merupakan masalah yang telah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin.
Untuk itu, tidak ada salahnya bila di sini saya kutipkan beberapa pendapat para
ulama tentang dibenarkannya (adanya) syafaat, sehingga pembaca dapat
memikirkan persoalan ini dengan jernih dan dapat menilai tentang perbedaan yang
terjadi dalam memahami ayat-ayat yang mengkaji dan membahas syafaat tersebut
sehiingga dapat menemukan titik terangnya.
Abu Manshur bin Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi Al-Samarqandi
(w. 333 H.) dalam tafsirnya mengisyaratkan tentang adanya syafaat yang
dikabulkan oleh Allah (al-Syafa‟ah al-Maqbulah). Beliau berdalil dengan firman
Allah yang berbunyi: “Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada
orang-orang yang diridhai Allah” (QS. Al-Anbiys; 21:48). Dan pada bagian
sebelumnya beliau juga mengemukan firman Allah yang berbunyi: “Dan tidak
diterima syafaat darinya” (QS. Al-Baqarah; 2:48). Dari kedua ayat tersebut beliau
kemudian menyimpulkan bahwa, kendatipun ayat yang pertama menafikan
5 Al-Allammah Al-Hilli. Kasyaf Al-Murad, (Beirut Lebanon; Darl Al-Fikr, tt), 262
32
syafaat, namun tetap dinyatakan adanya syafaat yang diterima seperti syafaat yang
di isyaratkan oleh ayat ini (ayat kedua).6
Tajul Islam Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.380 H.) sepakat pula dengan
pendapat yang mengatakan bahwa, mengakui adanya syafaat berdasarkan ayat-
ayat yang difirmankan oleh Allah dan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh
Nabi saw. Hukumnya adalah wajib,7 karena adanya firman Allah yang berbunyi,
“Dan kelak Tuhanmu akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu
menjadi puas” (QS. Al-Dhuha; 93:5), dan “Mudah-mudahan Allah mengangkat
kamu kepada tempat yang terpuji” (QS. Al-Isra; 17:79), serta “Dan mereka tiada
memberi syafaat melainkan kepada orang-orang yang diridhai-Nya” (QS. Al-
Anbiya;21:28). Sementara itu Nabi saw mengatakan, “Syafaatku adalah untuk
pelaku-pelaku dosa besar di antara umatku”8
Al-Qadhi Iyadh mengatakan, “Madzhab Ahlus Sunnah menyatakan
kebenaran adanya syafaat secara rasional, dan wajib adanya berdasarkan wahyu
yang sharih dan hadis yang bisa di percaya. Riwayat-riwayat yang secara
keseluruhan derajatnya sampai kepada tingkat mutawattir membenarkan adanya
syafaat pada Hari Kiamat bagi orang-orang Mukmin pelaku dosa. Pendapat ini
juga di sepakati oleh ulama salaf yang shaleh dari kalangan Ahlus Sunnah sesudah
mereka. Namun pendapat ini di tolak mentah oleh orang-orang Khawarij dan
sebagian orang Mutazilah.9 Dalam syarh Al-Aqa‟id Al-Nasafiyyah, al-Taftazani
memperkuat pendapat Al-Qadhi Iyadh dengan tanpa ragu-ragu membenarkan
adanya syafaat.
Filosof besar Al-Alammah Thabathaba‟i mengatakan, “Ayat-ayat yang
berbicara seputar syafaat ada yang menetapkan kekhususan syafaat hanya bagi
Allah SWT. Sedangkan yang lainnya memiliki arti yang lebih umum yang
6 Lihat tafsir Al-Maturidi yang lebih dikenal dengan nama Ta‟wilat Ahl Al-Sunnah, 148
7Lihat Abu Bakar Al-Kalabadzi. Al-Ta‟arruf li Madzhab Ahl Al-Tasawuf, di-tahqiq oleh Dr.
Abdul Halim Mahmud, 54-55 8Sebuah Riwayat dalam Kitab, Kanzul Ummal, juz 14 (dari Ibnu Umar, dari Ka‟ab bin
Ajarah), 398 9 Lihat Al-Qadhi Iyadh, Bihar Al-Anwar, jilid VIII, (Beirut; Darl Haq, tt), 62
33
mencakup selain Allah berdasarkan izin Allah dan ridha-Nya. Ayat-ayat tersebut
tidak diragukan lagi menetapkan adanya syafaat. Sesudah itu Al-Alammah
Thabathaba‟i mengemukakan bentuk pengkompromian ayat-ayat tersebut, yang
penjelasannya dapat pembaca ikuti sendiri dalam tafsirnya ketika beliau
membahas ayat-ayat tersebut.10
Syaikh Muhammad Jawad Al-Balaghi mengatakan, “syafaat dari satu sisi
dinafikan oleh Al-Qur‟an, yaitu syafaat untuk kaum musyrikin, atau syafaat yang
mereka duga bisa mereka minta dari sesembahan-sesembahan yang mereka
pertuhankan disamping Allah. Atau syafaat dari orang-orang yang mereka patuhi
secara mutlak seperti yang disebutkan dalam Surah Yasin ayat 22, Surah Al-
Mu‟min ayat 18, Surat Al-mudatsir ayat 48, dan Surah Al-Zumar ayat 18. Akan
tetapi ditetapkan juga tentag adanya syafaat berdasarkan pengecualian, bahkan
melalui penegasan yang kuat lantaran pentingnya penafian mutlak dari
sekelompok orang, Allah berfirman, “Kecuali dengan izin-Nya”, “Kecuali
sesudah diberikannya izin”, dan “Kecuali kepada orang-orang yang telah
memperoleh ridha-Nya”11
Al-Fattal Al-Naisaburi, salah seorang ulama kita yang hidup pada abad ke
enam Hijriah, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan di kalangan kaum
Muslimin tentang adanya syafaat. Hanya saja kaum Mu‟tazilah mengatakan,
bahwa tujuan syafaat adalah menambah pahala dan derajat, sedangkan menurut
kami, adalah menggugurkan mudharat dan siksa.12
Dari uraian ini jelas bahwa
syafaat itu benarlah adanya, hanya saja dalam hal mendeskripsikan atau
menjelaskan syafaat itu sendiri dikalangan ulama banyak yang berbeda pendapat.
Itulah sejumlah kecil dari sekian banyaknya pendapat para ulama yang bisa
saya nukilkan dikarenakan dhaifnya diri penulis dalam menelaah dan
menganalisa, agar pembaca dapat menelaah secara obyektif pendapat-pendapat
10
Al-Alammah Muhammad Husain Thabathaba‟i, Tafsir Al-Mizan, jilid I, (Lebanon; Darl
Ihya, tt), 206 11
Muhammad Jawad Al-Balaghi, Ala‟ Al-Rahman, jilid I, (Bandung; Pustaka Amani,
2009), 62 12
Al-Fattal Al-Naisaburi, Raudat Al-Wa‟izhim, (Beirut; Darl Al-Fikr, tt) 406
34
para ulama dari berbagai aliran yang berbeda tentang masalah penting ini. Semua
itu merupakan teks-teks dan pernyataan-pernyataan yang tidak perlu diragukan
lagi kebenarannya. Dan penulis menyimpulkan bahwa syafaat itu ada dan
kebenarannya tidak diragukan lagi.
B. Eksistensisyafaat dalam tafsir Mafatihul Ghaib
1. Ayat yang menguraikan tentang syafaat
“Pada hari itu tidak berguna Syafa‟at, kecuali dari orang-orang yang telah
diberikan izin kepadanya oleh Allah yang maha pemurah, dan perkataan
yang telah di ridhainya” (QS.Thaha; 20: 109.) 13
Dan takutlah kamu pada hari kiamat, ketika tidak seorangpun dapat
membela orang lain sedikitpun. Sedangkan Syafa‟at dan tebusan apapun
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan di tolong (QS Al-Baqarah;
2:48).14
Dan takutlah kamu pada hari kiamat, ketika tidak seorangpun dapat
membela orang lain sedikitpun. Sedangkan Syafa‟at dan tebusan apapun
13
Ibid., 317 14
Tim penterjemah dan Pentafsir Al-Quran, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta; Penerbit
Lentera Abadi, 2010), 7
35
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan di tolong (QS Al-Baqarah;
2:123).15
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakan sebagian dari rezekimu yang
telah kami berikan kepadamu sebelum datang suatu hari yang pada waktu
itu tidak ada lagi jual-beli, tidak pula ada persahabatan yang akrab, dan
tidak pula ada syafa‟at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang
zalim” (QS Al-Baqarah; 2:254).16
“Barang siapa yang memberikan pertolongan dengan pertolongan yang
baik, niscaya dia akan memperoleh bagian pahalanya. Dan barang siapa
yang memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia
akan memikul bagian dari dosanya. Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
(QS. An-Nisa; 4, 85).17
15
Tim penterjemah, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,19 16
Tim penterjemah, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, 42 17
Ibid., 91
36
“Tidakkah mereka hanya menanti-nanti bukti kebenaran (Al-Qur‟an) itu.
Pada hari bukti kebenaran itu tiba, orang-orang sebelum itu
mengabaikannya berkata, sungguh Rasul-rasul tuhan kami telah datang
membawa kebenaran. Maka adakah pemberi syafaat bagi kami yang yang
akan memberikan pertolongan kepada kami atau agar kami di kemnalikan
(ke dunia) sehingga kami akan beramal tidak seperti perbuatan yang pernah
kami lakukan dahulu. Mereka sebenarnya telah merugikan dirinya sendiri
dan apa-apa yang mereka adakan dulu telah hilang lenyap dari mereka. (QS.
Al-A‟raf; 7:53).18
2. Asbabun Nuzul ayat
Suniaid meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku kepadaku Hajjaj, telah
menceritaakan kepadaku Ibnu Juraij dari Mujahid yang mengatakan bahwa
sahabat Ibnu Abbas r.a pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya,
“la yuqbalu minha syafaatu wala yu‟khodzu minha adlu,” artinya adalah
penolong atau tebusan, As-Saddi mengatakan, yang sepadan maksudnya ialah,
seandainya dia (kafir) datang membawa emas sepenuh bumi untuk menolong dan
menebus dirinya dari neraka, niscaya tidak dapat diterima. Halitu sama dengan
yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Ad-Dahak meriwayatkan, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya, “mengapa kalian tidak tolong menolong,”(QS. As-Saffat). Yakni
kenapa kalian pada hari ini tidak saling tolong-menolong, bantu-membantu dan
kasih-mengasihi dari azab Kami, mustahillah bagi kalian semua untuk dapat
melakukan hal tersebut pada hari ini. Karena pada hari ini kalian akan melihat
semua tentang apa-apa yang kalian dustakan dahulu.
Ibnu Jarir berkata, bahwa pada hari itu tiada seorangpun yang dapat
menolong mereka sebagaimana tiada seorangpun yang dapat memberikan syafaat
kepada siapapu pada hari itu masing-masing dari kita sibuk memikirkan diri
18
Tim penterjemah, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,157
37
masing-masing, dan pada hari itu juga, tidak dapat diterima dari mereka tebusan,
tidak pula syafaat, hari itu juga tidak berlaku lagi kasih sayang dan pudar semua
suap dan perantara.19
Pendapat ini beliau landaskan kepada firman Allah diatas.
3. Penjelasan Al-Razi
Berdasarkan dua ayat di atas, Al-Razi penulis tafsir Mafatihul Ghaib
memberikan asumsi dengan tegas tentang keberadaan dan kebenaran syafaat
dalam kitab tafsirnya. Walaupun secara lahiriyah ayat tersebut menafikan
keberadaan syafaat, tapi Al-Razi ketika memahami konteks ayat itu, Ia tujukan
kepada kaum kafir tentang peniadaan syafaat, karena ayat tersebut sangatlah erat
kaitannya dengan ayat yang sebelumnya.
Karena dalam menjelaskan sebuah ayat Al-Razi selalu mengaitkan dengan
ayat sebelumnya, jika kita perhatikan dari kedua ayat di atas maka kaitannya
sangat jelas di tujukan kepada kaum kafir saja, sehingga dapat kita lihat dengan
akal sehat kita, bahwa ayat tersebut bukan menafikan kebenaran syafaat,
melainkan tidak berlakunya pemberiansyafaat bagi orang-orang kafir. Hal ini
sangat logis menurut penulis karena didalam ayat tersebut juga disebutkan kata-
kata kafir dan ayat sebelumnya juga berkaitan dengan orang-orang kafir.
Lalu orang-orang yang beriman meskipun Ia pernah melakukuan dosa besar,
maka Al-Razi dengan tegas menyatakan, orang-orang yang seperti ini akan
memperoleh syafaat pada hari kiamat, karena hak prioritas syafaat adalah hak
Allah, maka Allah berhak memberikan kepada siapapun yang diizinkannya.
Asalkan ia beriman.Bahkan orang yang telah masuk Neraka sekalipun, menurut
Al-Razi masih Allah berikan mereka syafaat dengan syarat adanya keimanan yang
haq dalam dirinya , karena syafaat itu di berlakukan kepada orang-orang yang
Allah izinkan dan ridhai.20
19
Fahkruddin Al-Razi, Syarh Tafsir Al-Kabir Ala Tafsir Mafatihul Ghaib, (Beirut Lebanon;
Darl Al-Makrifat, tt), 70 20
Fakhruddin Al-Razi,Syarh Tafsir Al-Kabir Ala Tafsir Mafatihul Ghaib, (Beirut
Lebanon: Darl Al-Fikr. Tt), 65
38
Al-razi juga memberikan penjelasan mengenai ayat di atas bahwa penafian
atau peniadaan syafaat ditujukan kepada kaum yang murtad juga bukan hanya
orang kafir, lantas bagaimana dengan pelaku dosa besar, maka ia tergolong ke
dalam orang-orang yang akan memperoleh syafaat.21
Disini lah Al-Razi
memjabarkan keluasan pemahamannya tentang orang-orang yang Allah izinkan
dan Allah ridhai, Ia dengan tegas menyebutkan bahwa salah satu orang-orang
yang Allah izinkan termasuk juga yang melakukan dosa besar dengan syarat ia
telah bertaubat dari hal tersebut.
Adapun yang di maksud dengan lafadz “la yuqbalu minha asy-syafaatu”,
menurut Al-Razi adalah, tentang tidak berlaku atau tidak adanya pemberian
syafaat dari teman karib, sesembahan, atau sesuatu yang mereka jadikan panutan
secara mutlak. Bukan tentang tidak adanya syafaat Yang Ia maksud teman karib,
sesembahan dan sebagainya adalah kaum kafir,22
lantas bagaimana dengan pelaku
dosa tapi mereka beriman, maka orang-orang yang seperti ini berhak mendapatkan
syafaat, sesuai dengan firman Allah yang tertera dalam surah Thaha ayat 109 yang
bunyinya “pada hari itu tidak ada gunanya syafaat kepada orang-orang yang
Allah izinkan dan Allah ridhai”.
Al-Razi dan para mufassir lainnya seperti Thantawi dalam tafsirnya, beliau
berpendapat sama dengan pendapat Al-Razi yaitu mengakui tentang kebenaran
adanya syafaat, dan mengakui syafaat sebagai salah satu di antara prinsip-prinsip
Islam yang telah diterima kebenarannya, dan bahwa dalam hal ini, tidak ada
perbedaan pendapat antara Mu‟tazilah dan para Filosof, dengan seluruh aliran
dalam Islam. Kalaupun ada perbedaan, maka hal itu mengenai artikulasi dan
tujuan dari syafaat itu sendiri. Selain itu ia tida dapat di analisis dengan pengertian
yang benar melalui penafsiran-penafsiran yang jauh dari makna syafaat yang
sesungguhnya, begitulah tutur Al-Razi dalam tafsirnya.23
21
Ibid, 68 22
Fakhruddin Al-razi, TafsirAl-Kabir Mafatihul Ghaib, (Lebanon Beirut; Darl Al-Fikr,
1981), 59-60 23
Ibid., 61-62
39
Selanjutnya dalil yang amat jelas yang terdapat dalam kedua ayat diatas
menunjukkan adanya penafian sebagian dari syafaat, bukan seluruhnya. Firman
Allah yang berbunyi, “Dan tidak ada pula persahabatan yang akrab,” secara
jelas Al-Razi mengatakan, tentang terputusnya ikatan persahabatan yang akrab
pada Hari Kiamat, tanpa adanya perbedaan antara orang Mukmin dan orang Kafir.
Padahal Al-Qur‟an telah menjelaskan bahwa yang terputus adalah persahabatan di
kalangan orang kafir saja, seperti yang tertera dalam firman Allah berikut ini,
“Sahabat-sahabat karib, pada hari itu sebagian menjadi musuh pada sebagian
lainnya, kecuali bagi orang-orang yang bertakwa,” (QA. Az-Zukhruf;43:67).24
Penegecualian yang terdapat dalam ayat ini, yang menunjukkan pada tidak
adanya permusuhan di kalangan orang-orang yang bertakwa, secara tergesa-gesa
di simpulkan sebagai langgengnya persahabatan dan tidak adanya permusuhan di
kehidupan dunia.Melalui pernyataan Al-Razi diatas maka penulis berasumsi
bahwa di samping Ia mengakui tentang kebenaran syafaat, Ia juga dengan tegas
mengatakan bahwa syafaat tidak hanya mutlak dari Allah tapi juga bisa dari selain
Allah dalam artian, orang-orang yang Allah berikan izin, seperti sahabat karib
atau seseorang yang senantiasa mengajak kepada kebenaran.
Dalam Al-Kassyaf, Al-Zamakhsyari mengatakan, Pada Hari itu terputuslah
segala bentuk persahabatan antara dua orang sahabat karib yang tidak berada pada
jalan Allah, atau ia berubah menjadi permusuhan dan kebencian. Sedangkan
persahabatan dua orang sahabat yang berada pada di jalan Allah, merupakan
persahabatan yang kekal dan semakin kuat mana kala mereka melihat pahala.25
Pernyataan ini juga yang menjadi bukti kuat bahwa syafaat diberikan kepada
orang-orang Allah izinkan.
Al-Alammah Thabathaba‟i mengatakan, Sesungguhnya tanda-tanda
persahabatan yang kekal adalah manakala seseorang memberi bantuan kepada
sahabatnya dalam menyelesaikan urusan-urusannya. Apabila hal itu dilakukan
24
Tim Penterjemah Al-Quran, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, 494 25
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasyaf, (Beirut Lebanon; Darl Al-Ma‟rifat, cet ke III 2009),
109
40
selain di jalan Allah, maka hasilnya adalah pertolongan menuju penderitaan yang
abadi dan azab yang kekal. Adapun sahabat karib yang terdiri dari orang-orang
yang bertaqwa maka persahabatan mereka semakin kokoh dan bermanfaatpada
hari kiamat. Pendeknya, perubahan persahabatan yang akrab menjadi permusuhan
itu disebabkan oleh sesuatu, seperti yang terdapat dalam firman Allah yang
berbunyi,”Dia telah meyesatkanku dari Al-Qur‟an” Penyebab ini terhindarkan
dari orang-orang yang bertakwa, sehingga ikatan persahabatan mereka kekal pada
hari kiamat.26
Berdasarkan keterangan di atas dan berdasarkan kenyataan bahwa yang
dinafikan oleh ayat diatas adalah suatu bentuk persahabatan tertentu, bukan semua
persahabatan. Maka adapun syafaat yang dinafikan oleh ayat di atas adalah suatu
syafaat tertentu, bukan syafaat dalam segala aspeknya.27
Intiarinya adalah bahwa
syafaat itu dibenarkan tentang keberadannya pada Hari Kiamat dan kita wajib
mengimaninya.
Bisa saya tambahkan di sini bahwa, yang jelas dinafikan disitu adalah
syafaat yang berkaitan dengan diri-diri orang kafir, berdasarkan pada dalil yang
terdapat pada akhir ayat tersebut yang berbunyi, “Dan orang-orang kafir itulah
orang-orang yang zalim,” lalu jika persoalannya seperti itu, masih bisakah kita
menjadikan ayat ini sebagai hujjah bagi dinafikannya syafaat sama sekali pada
Hari Kiamat? Tentu saja tidak.
Dari keterangan dan penjelasan Al-Razi di atas maka penulis menyimpulkan
bahwa penafian mengenai syafaat ditujukan kepada pemberian syafaat tersebut
kepada orang-orang kafir, bukan tentang kebenaran syafaatnya. Dan kita harus
ingat bahwa tidak ada satupun ayat-ayat Al-Qur‟an yang bertentangan. Maksud
dari penafian atau peniadaan syafaat dalam ayat-ayat di atas adalah, bahwa bagi
orang-orang kafir tida diberlakukan syafaat.
26
Syaikh Ja‟far Subhani, Adakah Syafaat dalam Islam, (Bandung; Pustaka Al-Hidayah,
2011), 52 27
Ibid, 53
41
Jadi pada dasarnya pendapat Al-Razi mengenai keberadaan dan kebenaran
Syafaat, mendapat banyak dukungan dari para ulama dan para tokoh-tokoh
mufassir lainnya, terutama Ahlus-Sunnah wal Jama‟ah (Sunni), karena beliau
sendiri merupakan tokoh mufassir dari kalangan Sunni, menjadi hal yang wajar
penafsiran beliau mengenai syafaat tidak banyak menuai pro dan kontra dari
berbagai kalangan. Penulis pun menilai bahwa pendapat Al-Razi sangat mudah
dipahami dan sangat mudah diterima di kalangan masyarakat awam karena tidak
bertentangan dengan akidah-akidah yang kita anut terutama Ahlus sunnah wal
Jamaah.
C. Eksistensisyafaat dalam tafsir Al-Kasyaf
1. Ayat-ayat yang menguraikan tentang syafaat
“Pada hari itu tidak berguna Syafa‟at, kecuali dari orang-orang yang telah
diberikan izin kepadanya oleh Allah yang maha pemurah, dan perkataan
yang telah di ridhainya” (QS.Thaha; 20: 10928
).
Dan takutlah kamu pada hari kiamat, ketika tidak seorangpun dapat
membela orang lain sedikitpun. Sedangkan Syafa‟at dan tebusan apapun
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan di tolong (QS Al-Baqarah;
2:48).29
28
Ibid., 319 29
Tim Penterjemah Al-Quran, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, 07
42
“Barang siapa yang memberikan pertolongan dengan pertolongan yang
baik, niscaya dia akan memperoleh bagian pahalanya. Dan barang siapa
yang memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia
akan memikul bagian dari dosanya. Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
(QS. An-Nisa; 4, 85).30
2. Penjelasan Al-Zamakhsyari
Berdasarkan ayat di atas itulah alasan Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa
pada hari kiamat tidak ada syafaat. Adapun penafian dan peniadaansyafaat yang
Beliau maksud di sini adalah, bahwa seorang Mukmin yang melakukan dosa besar
dan para ahli maksiat, pada Hari Kiamat tidak akan memperoleh syafaat,31
dari
pernyataan ini beliau mengakui kebenaran syafaat sama halnya dengan
Fakhruddin Al-Razi.
Al-Zamakhsyari sebenarnya mengakui aksebilitas kebenaran syafaat, Ia juga
mengakui kalau syafaat adalah prinsip ushul (pokok ajaran Islam), namun yang
membedakan Ia dengan Al-Razi adalah, tentang penerimaan syafaat itu nanti
diperuntukkan bagi siapa saja. Ia tidak menafikan atau menolak kebenaran
syafaat namun yang harus kita ketahui adalah, Beliau berbeda pendapat dengan
para kalangan ulama lainnya karena pembelaan beliau terlalu berlebihan kepada
Mutazilah32
sehingga dalam penafsirannya tergolong banyak rasional.
Keberadaan syafaat di dalam tafsirnya, beliau bahas secara tuntas dan
mendetail, bahkan sampai kepada penjelan orang-orang yang berhak
menerimanya pada Hari Kiamat kelak. Tidak ada satupun penulis temukan satu
30
Ibid., 91 31
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasyaf, (Beirut Lebanon; Darl Al-Ma‟rifat, cet ke III 2009),
75 32
Ignaz Goldziher, Mazahib Tafsir al-Islami, terj. kedalam bahasa Arab oleh Abd Halim an-
Najjar, (Beirut: Dar al-Iqra, 1983), 141
43
kalimat yang menyatakan, bahwa beliau mengingkari kebenaran syafaat, beliau
hanya menafikan syafaat bagi orang Mukmin yang melakukan dosa besar dan
orang-orang yang bermaksiat.
Sebuah kutipan yang berbentuk pertanyaan dalam kitab tafsir Al-
Zamakhsyari33
yang berbunyi sebagai berikut:
“Sekiranya Engkau berkata (Pembaca), Apakah surat Al-Baqarah ayat 48
tersebut Anda jadikan alasan bahwa pada Hari Kiamat, para pelaku dosa
besar dan ahli maksiat tidak mendapat syafaat, dengan tegas Ia menjawab
Naam (iya)34
La yuqbalu minha syafaatu wala yu‟khodzu minha adlu, Al-Zamakhsyari
mengatakan, kalau ditanyakan apakah ada dalil yang menyatakan, bahwa syafaat
tidak bisa diberikan kepada para pelaku maksiat dan dosa besar, maka Saya (Al-
Zamakhsyari) akan menjawab iya, sebab ayat tersebut menafikan adanya orang
yang bisa menanggung hak orang lain, baik dengan melakukan dengan apa yang
semestinya yang dijalani orang lain, maupun membebaskan orang tersebut dari
kewajibannya. Kemudian menurut beliau ayat tersebut juga menafikan syafaat
yang diberikan oleh pemberi syafaat. Dengan demikian bisa diketahui bahwa
syafaat itu tidak bisa diberikan untuk pelaku dosa besar dan ahli maksiat.35
Ayat inilah landasan beliau mengatakan, bahwa pelaku dosa besar dan ahli
maksiat tidak memperoleh syafaat atau di nafikan syafaat bagi mereka. Syafaat
menurut beliau adalah sebuah kemanfaatan dan kelebihan yang diberikan kepada
seseorang pada Hari Kiamat, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat
baik saja, terutama para ahli surga agar Allah meninggikan derajatnya lebih tinggi
lagi36
. Disini lah Al-Zamakhsyari banyak menuai kritikan dari kalangan mufassir
33
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasyaf,jilid I, Maktabat Waqfeya(Beirut Lebanon; Darl Al-
Makrifat, cet III, 2009), 69 34
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasyaf,jilid I, 73 35
Ibid., 73-75 36
Lihat tafsir Al-Kassyaf, jilid I, halaman 214-215. Pendapat yang dikemukakan oleh
penyusun tafsir ini dalam menafsirkan Syafaat, merujuk pada metodologi Mutazilah dalam
44
lainnya, tentang penafsiran beliau terhadap penafian syafaat kepada para pelaku
dosa besar dan ahli maksiat.
Iman Nasir Al-Din bin Muhammad Ibn Al-Munir Al-Iskandari Al-Maliki,
dalam kitabnya yang berjudul Al-Insyaf yang mengomentari kitab Al-Kasyaf yang
mengemukakan pandangan yang bercorak Mu‟tazilah itu, mengatakan: “Orang-
orang yang mengingkari syafaat, jelas tidak akan memperolehnya, sedangkan
orang-orang yang beriman dan mempercayainya yakni kalangan Ahlus-Sunnah
wal Jama‟ah, adalah orang yang mengharapkan rahmat Allah. Dalam kepercayaan
mereka syafat bisa diperoleh oleh para pelaku dosa besar dan ahli maksiat dari
kalangan orang-orang Mukmin. Dan bahwa-sanya syafaat itu disediakan bagi
mereka kelak.37
Al-Baidawi dalam Tafsir-nya,38
mengatakan dengan berpegang pada ayat
ini, Al-Zamaksyari dan para Mutazillah menafikan syafaat bagi para pelaku dosa
besar dan para ahli maksiat dikalangan kaum Mukminin dan meraka (Ahlus
Sunnah) menjawab, bahwa ayat ini khusus berkaitan dengan orang-orang kafir
dan orang Yahudi saja, karena terdapat banyak ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi
yang menyebutkan keotentikan syafaat. Lalu
Mengenai penjelasan Al-Zamakhsyari pada Surah Thaha ayat 109, beliau
tetap bersikeras bahwa orang-orang yang di Izinkan oleh Allah dalam ayat
tersebut tentang perolehan syafaat, hanya orang-orang yang berbuat kebajikan dan
orang-orang yang shaleh terutama ahli surga agar Allah menaikkan derajatnya
lebih tinggai lagi.39
Dari uraian panjang lebar di atas dapat penulis lihat bahwa Al-
Zamakhsyari sangat konsisten dengan pendapatnya meskipun ribuan kritik dan
komentar pedas yang Ia peroleh dari berbagai kalangan mengenai argumen yang
mengartikan Syafaat. Tujuan saya mengutip pendapat ini adalah untuk menarik kesimpulan bahwa
syafaat itu ada dan tidak hanya di peruntukkah bagi orang yang berbuat baik atau taat saja serta
merupakan persoalan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin. 37
Imam Nashir Al-Din Ahmad bin Muhammad Ibn Al-Munir, Al-Insyaf, jilid 1 (Beirut;
Darl Al-Fikr, tt) 164 38
Alammah Al-Baidhawi, Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta‟wil, jilid 1, (Beirut, Darl Al-
Fikr,tt), 152 39
Ibid, jilid III, 663
45
Ia gunakan dalam menafsir dan menjelaskan kebenarana syafaat. Namun
meskipun demikian beliau tetap megakui aksebilitas dari syafaat itu sendiri.
Al-Zamakhsyari sangat keras dalam berargumen dan sangat kosnisten dalam
mempertahankan pendapatnya, sehingga menurut penulis tafsir beliau sangat
menarik dan merangsang pembaca untuk terus mencari sesuatu yang akan
membuat penasaran, terutama mengenai pendapat beliau yang kelihatannya
ekstrim dikarenakan pemikiran-pemikiran rasionalitas dari beliau padahal
sebenarnya tidak.
46
BAB IV
KOMPARASI ANTARA PENAFSIRAN FAKHRUDDIN Al-RAZI DAN Al-
ZAMAKAHSYARI MENGENAI SYAFAAT
A. Perbandingan Metodologi dan Corak Penafsiran
Fakhruddin Al-Razi dan Al-Zamakhsyari, keduanya adalah ulama Tafsir
yang sama-sama menggunakan metode tahlili dalam hal menfsirkan (Mafatihul
Ghaib dan Al-Kasyaf). Kedua Muafssir tersebut berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan,
kecendrungan dan keilmuannya yang dihidangkan secara runtun.1 Hal ini dapat
dilihat dari penafsirannya dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan
susunannya yang terdapat dalam mushaf.
Metode Tahlili ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan
penafsiran, ada yang bersifat kebahasaan, Hukum, Sosial Budaya, Filsafat,
tasawuf, dan lain-lainnya. Malik berpendapat bahwa tujuan utama para ulama
menggunakan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi
pemahaman dan pembuktian kemukjizatan Al-Qur‟an.
Metode Tahlili juga disebut dengan metode anlisis, yaitu menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat
yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat
tersebut.2 Jadi pendekatan analisis yaitu, mufassir membahas Al-Qur‟an ayat demi
ayat sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun dalam Al-Qur‟an. Maka tafsir
yang memakai pendekatan ini mengikuti naskah Al-Qur‟an dan menjelaskan
dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang
Ia yakini efektif. Sepeerti mengandalkan pada arti-arti harfiyah, hadist, atau ayat
1Quraish Shihab,Kaidah-kaidah: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayta-Ayat Al-Qur‟an ,( Tangerang: Lentera Hati,2015), 378 2Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, (Jakarta; Pustaka Pelajar, 1988), 1-2
47
lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang
sedang di tafsiri sebatas kemampuannya didalam membantu menerangkan makna
bagian yang sedang di tafsirkan sambil memperhatikan naskah konteks ayat
tersebut, sehingga penulis dapat melihat upaya yang dilakukan oleh Al-Razi dan
Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat menggunakan metode ini.
Metode Tahlili adalah metode yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-
ayat Al-Qur‟an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah
dalam mushaf Ustmani, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya,
hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab-sebab turunnya, hadist-
hadist yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat mufassir terdahulu dan
mufassir itu sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahlian
mufassir tersebut.3
Pendapat tersebut bisa diterima jikalau yang dimaksud adalah pada tahap
awal dari lahirnya metode, karena dalam kenyataannya, hal tersebut tidak selalu
ditemukan kecuali pada tafsir tahlili yang bercorak kebahasaan.Dalam konteks
kebahasaan ini, di samping kelebihannya yang menonjol, yakni pemahaman
makna kosakata, tidak jararng juga ditemukan sang mufassir memberi makna
yang berlebih atau berkurang dari apa yang seharusnya ditampung oleh kata yang
ditafsirkan.4
Fakhruddin Al-Razi adalah sosok mufassir yang secara kongkrit
menawarkan penafsiran Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, maka dalam penafsirannya
tidak jarang dijumpai adanya satu ayat yang menjadi penjelas bagi ayat yang
lain. Beliau adalah mufassir yang sedikit sekali menggunakan Ta‟wil dalam
penafsirannya, bahkan beliau tidak menjadikannya sebagai pendekatan dalam
tafsirnya.ini karena menurut beliau dalam penafsiran Al-Qur‟an adalah makna
zhahir bukan makna bathin.
3Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir dan Perkembangannya, (Tesis; UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta), 274 4Ibid., 379
48
Adapun corak panafsiran yang digunakan oleh Fakruddin Al-Razi adalah
corak ilmi, sebuah corak penafsiran yang mana dalam hal menjelaskan makna
suatu ayat, mufassir mengutif berbagai keilmuan dan membandingkan dengan
berbagai pendapat para ulama, persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat
dimaknai atau didefenisikan berdasarkan pandangan para ilmuan dan pandangan
para ulama,5
Meskipun dalam menafsirkan Al-Qur‟an menggunakan hanya satu metode
penafsiran atau interpretasi terhadap Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, tetapi
Fakhruddin Al-Razi tidak meninggalkan secara serta merta pendekatan yang
menjadi corak utama dalam tafsir Mafatihul Ghaib tersebut yaitu pendekatan
ilmi dan sosial, sebagai bentuk dari penalaran seorang mufassir yang menjadikan
penafsiran tersebut bersifat rasional dan realistis, akan tetapi tetap berfikir secara
Qur‟ani.
Adapun pendekatan yang digunakan Fakruddin AL-Razi dalam
penafsirannya yang terdapat dalam kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib, adalah
pendekatan menafsirkan Al-Qur‟an dengan al-Qur‟an yang berarti ayat-ayat Al-
Qur‟an itu satu sama lain saling menafsirkan, saling menjelaskan, dan saling
menguatkan. Karena Al-Qur‟an bagaikan pelita dan penjelas untuk semua hal,
maka tidak mungkin ia, tidak menjadi penjelas bagi dirinya sendiri.
Sedangkan Al-Zamakhsyari menggunakan corak teologis atau lebih khusus
disebut corak Mu‟tazilah, yatu suatu corak penafsiran yang mana dalam hal
menafsirkan, mufassir lebih banyak mengungkap pemikiran dan rasionya,
sehingga dalam menyampaikan argumen mengenai penjelasan penafsirannya
banyak menuai kritik dan di anggap mengedapankan akalnya ketimbang wahyu,
ini menjadi hal yang wajar karena beliau adalah seorang tokoh muktazilah dan
pemikiran beliau lebih cenderung kepada rasionalitas. Namu semua itu tidak
menutup kemungkinan penafsiran beliau juga banyak menuai pujian lantaran
5Kadar M Yusuf, Srudi Al-Qur‟an, ( Jakarta: Amzah,2014 ),163
49
kepiawaian beliau dalam mengemukakan kandungan-kandungan, mukjizat,
balaghah dan gramatika Al-Qur‟an.
Dalam bukunya Mazahib al-Tafsir al-Islami, Ignaz Goldziher mengatakan
bahwa Al-Zamakhsyari sangat baik dalam menjelaskan isi penafsirannya, hanya
saja pembelaannya terhadap Mu‟tazilah sangat berlebihan. Sehingga dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an beliau lebih ketergantungan dengan rasionya
ketimbang daripada wahyu.6
Perbanding dari corak kedua tafsir di atas adalah bahwa corak ilmi lebih
unggul menurut penulis ketimbang corak Itizali (teologis) karena, corak ilmi lebih
banyak membandingkan ayat dengan ayat, dan di dukung oleh pengetahuan,
sedangkankan corak teologis lebih banyak memaparkan menggunakan rasional
dan logika belaka, bukan berarti hal demikian tidak diperbolehkan, hanya saja
harus di dukung oleh dail-dalil dan argumentasi yang kuat.
B. Perbandingan Isi Penafsiran
Adapun mengenai Pemikiran tentang syafaat, Terdapat persamaan serta
perbedaan yang jelas antara penafsiran Fakhruddin Al-razi dan Al-
Zamaksyari.Bahwa kedua mufassir tersebut dalam menjelaskan syafaat, sama-
sama menafsirkan ayat dengan ayat hadist dengan hadist
Ketika menafsirkan QS„Al-Baqarah ayat 48, kedua mufasir tersebut
menjelaskan ayat tersebut dengan ayat dalam surah lain yang pembahasannya
masih seputar syafaat, sebagai pendukung terhadap penafsiran tersebut. Misalnya
dalam kedua kitab tafsir tersebut Al-Razi mengakui tentang syafaat juga di
peruntukkan bagi orang pelaku dosa besar maka Ia mengaitkan surah Al-Baqarah
ayat 48 tersebut dengan surah Al-Baqarah ayat 255 (ayat kursi), begitu juga
dengan Al-Zamakhsyari ketika Ia mengingkari syafaat terhadap pelaku dosa besar
6 Ignaz Goldziher, Mazahib Tafsir al-Islami, terj. kedalam bahasa Arab oleh Abd Halim
an-Najjar, (Beirut: Dar al-Iqra, 1983), 141
50
maka Ia juga mengaitkan ayat 48 tersebut dengan ayat 254 dalam surah yang
sama.7
Selanjutnya dalam menjabarkan penjelasan mengenai syafaat, kedua
mufassir tersebut sama-sama didukung oleh aliran yang mereka anut masing-
masing, sehingga ketika kita membaca penafsiran tersebut kita akan mengira
mereka berdebat. Di samping itu tokoh-tokoh yang satu pemikiran dengan mereka
juga ikut memberikan argumen sebagai penguat penafsiran mereka, sehingga
penjelasan keduanya menjadi kuat dan tidak terbantahkan.8
Selanjutnya, kedua tokoh tersebut di samping mereka seorang mufassir,
mereka juga ahli teologi sehingga pemikiran mereka tidak di ragukan lagi. Al-
Razi adalah seorang tokoh mafssir Sunni yang terkemuka sedangkan Al-
Zamakhsyari adalah seorang tokoh mufassir Mu‟tazilah terkemuka. Maka kita
akan sering melihat dalam penafsiran keduanya, mereka akan lebih condong
membela aliran masing-masing.
Rasyid Ridha9 memberikan predikat al-Imam kepada Al-Razi, selain itu Al-
Razi merupakan raja dari teolog dan ahli ushuluddin pada masanya. Sehingga
ketika Al-Razi meninggal dunia mereka mengakui kepemimpinannya. Al-
Zamakhsyari adalah seorang teolog (mutakallim) sekaligus seorang tokoh
Mu‟tazilah. Kedua predikat ini juga mewarnai penafsirannya yang tertuang dalam
tafsir al-Kasyaf, sehingga tafsir tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih
khusus lagi corak Mu‟tazilah (laun i‟tizal).
Menurut Fakhruddin Al-Razi penafian syafaat dalam Al-Qur‟an besifat
umum sehingga menurut beliau siapapun yang Allah beri izin dan beri ridha untuk
itu, ia berhak untuk mendapatkannya, tidak menutup kemungkinan sekalipun
orang yang pernah melakukan segala macam maksiat dan dosa besar. Di ujung
penafsirannya Ia juga menyebutkan, bahwa orang-orang yang disiksa didalam
7Al-Razi dan Al-Zamakhsyari, Mafatihul Ghaib dan Al-Kasyaf, Maktabat Waqfeya,
(Beirut; Darl al-Fikr, tt), 75 dan 214 8Nurliana Damanik, Konsep Syafaat dalam perspekstif Al-Qur‟an dan Hadis, (Tesis; UIN
Syarif Hidayatullah), 46 9 Salah satu penulls tafsir Al-Manar, Ia memiliki peran besar dalam pembaharuan islam
51
neraka, tapi mereka adalah seorang Mukmin, maka sewaktu-sewaktu mereka akan
dikeluarkan dari neraka tersebut, dan mereka adalah termasuk orang yang akan
diberikan syafaat. Hal ini senada juga dengan hadist Nabi saw, bahwa siapa saja
yang di dalam hatinya ada keimanan walapun sebesar biji zarah maka kelak ia
akan di angkat dari dasar neraka.10
Fakhruddin Al-Razi sebelum menafsirkan suatu ayat, beliau terlebih dahulu
menjelaskan Asbab An-Nuzul ayat tersebut, sehingga ketika beliau menafsirkan
ayat 48 Surah Al-Baqarah maka sesuai dengan riwayat yang Ia temukan, Ia
menafsiri dengan demikian, bahwa orang yang di tuju oleh ayat tersebut adalah
orang-orang kafir dan orang-orang Bani Israil. Beliau menafsiri demikian karena
sebelum ayat 48 tersebut adalah ayat yang menyindir tentang Bani israil, sehingga
penafian syafaat yang di tuju dalam ayat itu adalah orang-orang kafir saja, bukan
orang Mukmin yang melakukan maksiat dan dosa besar.
Dikalangan para ulama, tafsir Mafatihul Ghaib sangat terkenal, karena
kepiawaian al-Razi dalam mengungkapkan kemukjizatan Al-Qur‟an, terutama
membandingkan dan mejelaskan suatu ayat, mengenai keindahan balaghahnya.
Mereka mengatakan bahwa tafsir inilah yang pertama kali menyingkap
kemukjizatan Al-Qur‟an secara sempurna.
Karena demikian itu lah banyak ulama yang cenderung dengan penafsiran
beliau, dan mereka menilai penafsiran beliau adalah penafsiran yang sangat baik,
tidak menimbulkan perdebatan, perselisihan dikalangan para ulama. Di samping
beliau menyebutkan Asbab An-Nuzul, beliau juga menggunakan Munasabah ayat
yang di tafsiri baik dengan ayat yang sebelumnya atau dengan ayat yang
sesudahnya.
Misalnya ketika beliau menjelaskan penafsiran ayat berikut ini:
10
Maulana Zakaria, Himpunan Hadist Fadilah Amal, Bab Iman (Yokyakarta; As-Shaff,
2006), 64
52
“Pada hari itu tidak berguna Syafa‟at, kecuali dari orang-orang yang telah
diberikan izin kepadanya oleh Allah yang maha pemurah, dan perkataan
yang telah di ridhainya” (QS.Thaha; 20: 109.) 11
Dan takutlah kamu pada hari kiamat, ketika tidak seorangpun dapat
membela orang lain sedikitpun. Sedangkan Syafa‟at dan tebusan apapun
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan di tolong (QS Al-Baqarah;
2:48).
Ayat yang pertama di atas secara jelas menafikan adanya syafaat, dan
agaknya pengertian lahiriyahnya ini lah yang dijadikan pegangan oleh orang-
orang yang meyakini bahwa syafaat itu merupakan kepercayaan yang diciptakan
oleh kahin, agar mereka memperoleh kedudukan yang terhormat di kalangan umat
mereka.12
Sesungguhnya sumber kekeliruan dalam menafsirkan ayat tersebut
terletak pembatasannya satu ayat ini saja seraya mengabaikan maksud-maksud
yang terkandung di dalam ayat lainnya, yang juga berbicara syafaat.
Dalam menafsiri dua ayat di atas beliau mengatakan, bahwa dua ayat
tersebut sangatlah erat kaitannya, di ayat yang pertama berbicara tentang penafian
syafaat, sedang ayat yang kedua membicarakan syafaat diberikan kepada orang-
orang yang telah Allah beri izin. Maka dalam penafsiran beliau ayat pertamalah
yang menjadi pernyataan kuat bahwa syafaat tersebut tidak akan pernah berlaku
bagi orang-orang kafir atau di sebut dengan penafian syafaat. Lalu apakah ayat
yang kedua juga demikian, menurut beliau, orang-orang yang telah diberikan izin
di ayat tersebut adalah orang-orang yang Mukmin.
Di samping mengemukan Asbab An-Nuzul Al-Razi juga membandingkan
ayat-ayat yang beliau tafsirkan, sehingga dalam menafsiri dua ayat di atas beliau
mengatakan, bahwa dua ayat tersebut sangatlah erat kaitannya, di ayat yang
pertama berbicara tentang penafian syafaat, sedang ayat yang kedua
11
Ibid., 317 12
Ja‟far Subhani, Adakah Syafaat dalam Islam, (Bandung; Pustaka Hidayah, 2011), 49
53
membicarakan syafaat diberikan kepada orang-orang yang telah Allah beri izin.
Maka dalam penafsiran beliau ayat pertamalah yang menjadi pernyataan kuat
bahwa syafaat tersebut tidak akan pernah berlaku bagi orang-orang kafir atau di
sebut dengan penafian syafaat. Lalu apakah ayat yang kedua juga demikian,
menurut beliau, orang-orang yang telah diberikan izin di ayat tersebut adalah
orang-orang yang Mukmin.13
Sedangkang Al-Zamkhsyari dalam tafsirnya, ketika beliau menafsirkan
suatu ayat, penulis tidak menemukan Asbab An-Nuzul sebelum Ia menjelaskan
ayat tersebut, sehingga ketika beliau menafsirkan ayat 48 Surah Al-Baqarah,
beliau hanya melihat ayat tersebut dari segi tekstualnya saja dan beliau
komparasikan dengan rasionya seolah-seolah penafsiran tersebut murni
pemikirannya. Maka wajar dalam penafsirannya tersebut, mengenai penafian
syafaat mutlak Ia tujukan kepada seseorang Mukmin yang melakukan dosa besar
dan seseorang yang ahli maksiat. Menurutnya orang-orang ini tidak akan pernah
mendapatkan syafaat, baik dari Allah maupun selain Allah.
Misalnya ketika beliau menjelaskan ayat-ayat berikut ini dengan
penafsirannya:
Dan takutlah kamu pada hari kiamat, ketika tidak seorangpun dapat
membela orang lain sedikitpun. Sedangkan Syafa‟at dan tebusan apapun
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan di tolong (QS Al-Baqarah;
2:48).
13
Fakhruddin Al-Razi, Mafatihul Ghaib, 187
54
“Pada hari itu tidak berguna Syafa‟at, kecuali dari orang-orang yang telah
diberikan izin kepadanya oleh Allah yang maha pemurah, dan perkataan
yang telah di ridhainya” (QS.Thaha; 20: 109.) 14
Pada surah Al-Baqarah ayat 48 ayat diatas, alasan terkuat Al-Zamakhsyari
tentang penafian syafaat kepada orang-orang Mukmin yang ahli maksiat dan
pelaku dosa besar yaitu pada akar kata, “la yuqbalu minha syafaatu,” Ia
mengaitkan akar kata tersebut dengan akar kata, “nafsun an-nafsin” menurut
beliau arti dari “nafsun an-nafsin” tersebut adalah orang-orang Mukmin lalu ia
beliau kaitkan dengan kata “la yuqbalu minha syafaatu” maka di sinilah letaknya
pemahaman beliau tentang penafian syafaat terhadap pelaku dosa besar dari
kalangan Mukmin.15
Sehingga Al-Baidawi dalam Tafsir-nya,16
memeberikan kritikan padas
kepada Al-Zamakhsyari dan mengatakan dengan berpegang pada ayat ini, Al-
Zamaksyari dan kelompok Mutazillah menafikan syafaat bagi para pelaku dosa
besar (dikalangan kaum Mukminin) dan meraka (Ahlus Sunnah) menjawab,
bahwa ayat ini khusus berkaitan dengan orang-orang kafir saja, karena terdapat
banyak ayat dan hadis yang menyebutkan keotentikan syafaat. Pendapat ini
didukung dengan pernyataan bahwa ayat-ayat di atas berkaitan dengan orng-orang
kafir saja, dan ia diturunkan sebagai bantahan atas anggapan orang-orang Yahudi
yang mengatakan bahwa, nenek monyang mereka dapat memberikan syafaat
kepada mereka.
Sebenarnya beliau juga berpendapat yang sama seperti pendapat Al-Razi,
bahwa ayat tersebut umumnya berlaku bagi orang-orang kafir dan orang-orang
Bani Israil. Hal ini beliau sebut di dalam penafsirannya tafsir Al-Kasyaf, tetapi
beliau juga menyebutkan ayat itu juga ditujukan kepada orang-orang Mukmin
14
Tim Penterjemah, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, 295 15
Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, 79 16
Alammah Al-Baidhawi, Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta‟wil, jilid 1, (Beirut, Darl Al-
Fikr,tt), 152
55
yang melakukan dosa besar, ini lah yang menurut penulis beliau melakukan
pembelaan yang berlebihan kepada Mu‟tazilah.17
Dalam menafsiri suatu ayat Al-Zamakhsyari terlalu mengedepankan
akalnya, hal ini dapat penulis lihat dalam penjelasan beliau pada surah Al-Baqarah
ayat 255, tentang orang-orang yang Allah izinkan atas penerimaan syafaat. Di sini
beliau mengatakan bahwa orang-orang yang Allah izinkan atas syafaat tersebut
adalah orang-orang yang taat saja agar Allah naikkan derajatnya lagi. Padahal Al-
Razi dan mufassir lainnya dengan tegas mengatakan, bahwa hak prioritas syafaat
tersebut adalah murni hak Allah, siapapun berhak Allah kasih. Lagi-lagi di sini
penulis lihat Al-Zamakhsyari melakukan pembelaan yang berlebihan terhadap
Mu‟tazilah.
Jadi pada intinya kedua tokoh mufassir ini sama-sama mengakui keberadaan
dan kebenaran adanya syafaat, yang membedakan penjelasan penafsiran keduanya
adalah, penafian terhadap pemberian syafaat pada Hari Kiamat nanti. Fakhruddin
Al-Razi mengatakan dalam tafsirnya, tafsir Mafatihul Ghaib bahwa, penafian
syafaat hanya di peruntukkan bagi orang-orang kafir dan orang-orang Yahudi saja.
Sementara Al-Zamakhsyari mengatakan didalam tafsirnya, tafsir Al-Kasyaf
bahwa penafian syafaat tersebut di perunttukan bagi orang-orang kafir dan orang-
orang Mukmin yang melakukan dosa besar dan maksiat. Jadinya sebenarnya
syafaat itu ada dan keberadaannya tidak ada satupun dalil yang membantah
tentamg kebenarannya.
C. Kelebihan dan kekurangan isi penafsiran
Jadi kesimpulan dari uraian Fakhruddin Al-Razi dan Al-Zamakhsyari
didalam kitabnya di atas adalah, bahwa hak prioritas syafaat mutlak hak Allah,
mau diberikan kepada siapapun itu urusan Dia, urusan kita hanyalah mengimani
tentang syafaat, karena ini merupakan prinsip ushul dalam agama Islam atau
17
Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, 214
56
disebut dengan pokok ajaran agama Islam untuk mengimani dan mempercayai hal
tersebut.
Dan pada intinya kedua tokoh mufassir ini sama-sama mengakui keberadaan
dan kebenaran adanya syafaat, yang membedakan penjelasan penafsiran keduanya
adalah, penafian terhadap pemberian syafaat pada Hari Kiamat nanti. Al-Razi
mengatakan, bahwa penafian syafaat hanya di peruntukkan bagi orang-orang kafir
saja. Sementara Al-Zamakhsyari mengatakan, bahwa penafian syafaat tersebut di
perunttukan bagi orang-orang kafir dan orang-orang Mukmin yang melakukan
dosa besar dan maksiat. Jadinya sebenarnya syafaat itu ada.
Iman Nasir Al-Din bin Muhammad Ibn Al-Munir Al-Iskandari Al-Maliki,
dalam kitabnya yang berjudul Al-Insyaf yang mengomentari kitab Al-Kasyaf yang
mengemukakan pandangan yang bercorak Mu‟tazilah itu, mengatakan: “Orang-
orang yang mengingkari syafaat, jelas tidak akan memperolehnya, sedangkan
orang-orang yang beriman dan mempercayainya yakni kalangan Ahlus-Sunnah
wal Jama‟ah, adalah orang yang mengharapkan rahmat Allah. Dalam kepercayaan
mereka syafat bisa diperoleh oleh para pelaku dosa besar dan ahli maksiat dari
kalangan orang-orang Mukmin. Dan bahwa-sanya syafaat itu disediakan bagi
mereka kelak.18
Jadi jelas yang di nafikan oleh ayat tersebut bukan syafaat melainkan
pemberian syafaat itu kelak di batasi, dalam artian syafaat hanya diberikan oleh
Allah kepada orang-orang yang Ia ridhai dan orang-orang yang Ia izinkan. Jadi
urusan Dia mau diberikan kepada siapa saja, tugas kita hanya mengimani dan
meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa hal tersebut adalah salah satu pokok
dari ajaran-ajaran Al-Qur‟an.
18
Imam Nashir Al-Din Ahmad bin Muhammad Ibn Al-Munir, Al-Insyaf, jilid 1 (Beirut;
Darl Al-Fikr, tt) 164
57
1. Kelebihan dan Kekurangan Penafsiran FakhruddinAl-Razi
a. Fakhruddin Al-Razi, mengemukakan Asbab An-Nuzul terlebih dahulu
sebelum menafsirkan suatu ayat, jika ayat tersebeut memiliki Asbab An-
Nuzul.
b. Fakhruddin Al-Razi, selalu menjelakan munasabah ayat yang sedang
beliau jelaskan, baik dengan ayat-ayat yang sebelumnya atau dengan
ayat-ayat yang sesudahnya.
c. Fakhruddin Al-Razi, selalu menafsirkan atau menjelaskan ayat Ia tafsiri
dengan bantuan ayat-ayat lain, dan pendapat-pendapat para mufassir
terdahulu baik ahli filsafat, ahli kalam ahli fiqih dan ahli ilmu lainnya.
d. Fakhruddin Al-Razi, tidak memasukkan cerita Israiliyat kedalam
penafsirannya, beliau lebih banyak memasukkan pendapat para tokoh
mufassirter dahulu.
e. Fakhruddin Al-Razi, lebih banyak menjelaskan penafsiran dengan wahyu
ketimbang rasio atau pemikirannya, sehingga penefsiran beliau jarang
sekali menuai kritikan dari para mufassir lainnya.
f. Fakhruddin Al-Razi, selalu menyebutkan mazhab fuqoha, jika beliau
bertemudengan ayat-ayat tentang hukum dalam penafsirannya, akan
tetapi beliaulebih condong kepada mazhab Syafi‟i.
g. Fakhruddin Al-Razi, adalah ahli tafsir yang sedikit mengetahui tentang
hadis, sehingga dalam penfsirannya beliau jarang memberikan penjelasan
dengan hadis.
2. Kelebihan dan Kekurangan Penafsiran Al-Zamakhsyari
a. Al-Zamaksyari selalu menafsiri dan menjelaskan ayat dengan bantuan
ayat lain, hadis-hais Nabi.
b. Al-Zamakhsyari tidak memasukkan cerita Israiliyat dalam penafsirannya
tetapi beliau lebih banyak menafsiri dengan rasinalitasnya.
58
c. Al-Zamakhsyari tidak mengemukakan Asbab An-Nuzul terlebih dahulu
sebelum menafsirkan suatu ayat, jika ayat tersebeut memiliki Asbab An-
Nuzul.
d. Al-Zamakhsyari lebih banyak menafsiri dan menjelaskan ayat dengan
tekstualnya saja, lalu Ia kolaborasikan dengan rasionya.
e. Al-Zamakhsyari terlalu berlebihan melakukan pembelaan terhadap
Mutazilah sehingga banyakmenimbulkan kritikan dari para tokoh
mufassir lainnya.
f. Al-Zamakhsyari terlalu berlebihan dalam menggunakan logikanya dalam
menjelaskan suatu ayat, sehingga menurut penulis kelihatan sangat
ekstrim.
“Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur‟an dengan akal fikirannya maka
tempat duduknya di dalam neraka,”19
!
Karena kewajiban seorang Muslim dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an
hendaknya ketika sedang menafsirkan Al-Qur‟an itu dia merasakan dirinya
sebagai penerjemah Allah, sebagai saksi bagi-Nya terhadap apa-apa yang di
inginkan-Nya dari firman-Nya itu. Sehingga dia menganggap agung
persaksiannya ini dan merasa khawatir kalau-kalau ia berbicara atas nama Allah
tanpa landasan ilmu sehingga ia terjerumus kepada hal yang di haramkan Allah
yang karenanya ia akan di hinakan pada Hari Kiamat.20
Tapi penulis sangat yakin
dengan keilmuan seorang Al-Zamakhsyari, dan beliau terjaga dari itu semua.
19
Muhammad bin Shalih Al-Utsmani, Ushulun Fit-Tafsir, (Solo; Pustaka Al-Qowam,
2014), 9 20
Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit-Tafsir, 43
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis uraikan dalam bab-bab sebelumnya, dapat
diambil kesimpulan bahwa :
1. Syafaat adalah salah satu ajaran pokok dalam Agama Islam. Mengenai
keberadaan dan kebenarannya tidak diragukan lagi karena banyak ayat-ayat,
hadis-hadis dan penjelasan para ulama mengenai hal itu. Bahkan ulama
Mu‟tazilah mengakui keberadaan dan kebenarannya, jadi penulis
menyimpulkan bahwa, syafaat itu memanglah ada dan akan Allah berikan
kepada orang-orang yang Ia kehendaki pada Hari Kiamat.
2. Dalam tafsir Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Al-Razi mengakui keberadaan dan
kebenaran syafaat, begitu juga dengan Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-
Kasyaf, beliau juga mengakui keberadaan dan kebenarannnya. Hanya saja
kedua mufassir ini berbeda pandangan mengenai syafaat itu sendiri, yakni
dalam hal pemberian syafaat. Al-Razi dalam tafsirnya mengatakan, bahwa
syafaat itu dinafikan bagi orang-orang kafir saja. Sedangkan Al-Zamakhsyari
mengatakan bahwa, syafaat itu dinafikan bagi orang-orang Kafir dan orang-
orang Mukmin yang melakukan dosa besar dan ahli maksiat.
3. Dalam hal metode, kedua mufassir ini menggunakan metode yang sama, yakni
metode tahlili, dan dalam hal isi penafsiran mereka memiliki perbedaan. Al-
Razi ketika menafsirkan ayat-ayat tentang syafaat, beliau menguatkan dengan
ayat-ayat yang lain, sementara Al-Zamakhsyari lebih banyak menempatkan
peran utama akalnya dalam menafsir atau menjelaskan ayat-ayat tersebut.
Karena kedua mufassir ini memiliki latar belakang dan pemikiran yang
berbeda.
Fakhruddin Al-Razi adalah ulama Ahlus Sunnah wal Jama‟ah serta
memiliki latar belakang pendidikan Sunni, tetapi tidak sepenuhnya beliau
dalam menafsirkan hanya terfokus kepada pemikiran Ahlus Sunnah saja.
60
Beliau juga banyak menafsirkan mengutif kepada pendapat para Filosof dan
Fuqoha. Hal inilah yang membuat penafsiran beliau terkenal dan menyebar
luas, salah satunya kitab Tafsir Mafatihul Ghaib. Sedangkan Al-Zamakhsyari
adalah seorang mufassir dari kalangan Mu‟tazzilah yang mana telah banyak
mempengaruhi khazanah keilmuan, terutama dalam bidang Tafsir, pemikiran,
dan sebagainya. Salah satu kitab tafsir beliau adalah Tafsir Al-Kasyaf, tafsir
ini merupakan sebuah tafsir yang di nilai cukup lengkap oleh para ulama,
hanya saja dalam Tafsir tersebut, AL-Zamakhsyari terlalu berlebihan terhadap
Mu‟tazilah.
Pendapat kedua Mufasir diatas mengenai ayat-ayat yang berbicara
tentang syafaat, ini terdapat perbedaan dalam hal pemberian syafaat, keduanya
sama-sama mengakui kebenaran syafaat. Fakhruddin al-Razi mengatakan
bahwa penafian syafaat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
diberlakukan untuk orang-orang kafir saja. Sedang Al-Zamakhsyari, penafian
syafaat dalam ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang kafir danorang-
orang Mukmin yang melakukan dosa besar dan maksiat. Jadi pada intinya
penafian syafaat tersebut bersifat khusus menurut Al-Razi, karena penafiannya
cuma buat orang kafir saja. Sedangkan menurut Al-Zamakhsyari, penafian
syafaat tersebut bersifat umum, karena tidak hanya kepada orang-orang kafir
saja, tetapi juga orang-orang Mukmin yang melakukan dosa besar.
B. Saran-saran
Sebagai catatan akhir dari skripsi ini,, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat serta menambah khazahanah keilmuan Khususnya bagi diri
penulis. Selain itu penulis juga berharap agar skripsi ini dapat menambah
semangat dalam hal dunia penelitian. Hendaknya dapat juga menambah
pemahaman terhadp ayat-ayat Al-Qur‟an khusunya dalam Hal menafsirkan serta
mengambil pesan-pesan Allah yang tercantum dalam Al-Qur‟an
61
Akhir kata, Penulis menyadari tidak ada hal yang mudah dalam meraih
sesuatu kecuali mau berusaha dengan gigih, serta tidak ada pemahaman yang
benar kecuali dengan membaca pengalaman. Penulis mohon maaf atas segala
kekurangan serta kesalahan baik yang bersifat tulisan maupun pemahaman. Oleh
karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi penulis.
Wallahu „alamu bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Tim Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Depertemen Agama RI, 1998
Buku
Ali Ala’uddin bin Muhammad bin Ibrahim Al-Bagdhadi, Tafsir Khazan, Lebanon: Darl kitab alamiyah 1996
Al-Qurthubi Syamsuddin, Bekal Mengahdapi Kehidupan Setelah Mati: penjelasan mengenai Roh, Syafaat, dan catatan amal, Jakarta Timur; Pustaka Al-Kautsar 2001
Al-Mahally Jalaluddin dan Asy-Sayuti Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Surabaya: Nurul Huda 1997
Al-Mufidh Syaikh. Awail Al- Maqalat, Beireut Lebanon; Darl Al-Fikr, 1990
Al-Razi Fakhruddin, Tafsir Kabir Mafatihul Ghaib, Beirut Lebanon; Darl Al-Fikr,1992
As-Subhani Ja’far, Mafahim Al-Qur’an, Iran: Mu’assasah al-Imam al-Sadiq 1998
Al-Zamkahsyari, Tafsir Al-Kasyaf, Beirut Lebanon; Darl Al-Ma’rifat 1997
As-Subhani Ja’far, Mafahim Al-Qur’an, Iran: Mu’assasah al-Imam al-Sadiq 1998
Baidan Nasruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Pelajar 1988
Dahlan Abd Rahman, Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta: Pustaka Amzah 2010
Fahd Syaikh bin Nashir, Buku Induk Agama Islam tentang: Syafaat Nabi, Qadha dan Qadar, Karamah Wali, Kiamat Kubra dan lain-lainnya. Jakarta; Darl Haqq 2008
Dr.Yusuf Muhammad, MA, Biografi Para Mufassir, Yokyakarta: Penerbit Teras 2004
Fakih Kamal Alammah, Tafsir Sya’rawi, Jakarta: Pustaka Al-Huda 2014
Goldziher Ignaz, Mazahib Tafsir al-Islami, terj. kedalam bahasa Arab oleh Abd Halim an-Najjar, Beirut: Dar al-Iqra 1983
Shihab Quraish, Kaidah-kaidahdalam Memahami Ayta-Ayat Al-Qur’an ,Tangerang: Lentera Hati 2015
Subhan Jafar, Adakah Syafa’at dalam Islam antara Pro dan Kontra, Bandung; Pustaka al-Hidayah 2014
Shalih Muhammad, Ushulun Fi At-Tafsir, Solo; Pustaka Al-Qowam 2014
Syaikh Jawhari Tanthawi, Tafsir Jawahir. Lebanon: Pustaka Darl Fikr 1998
Syaikh Ali As-Shabuny Muhammad, Shafwatu Tafasir, Madinah: Darus Shabuny 1997
Yusuf Kadar, Srudi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah 2014
Yusuf Muhammad, MA, Studi Kitab Tafsir, Yokyakarta: Penerbit Teras 2004
Skripsi
Fahruddin Muhammad, Konsep Syafa’at dalam Tafsir Al-Maraghi, Skripsi Jawa Tengah: Institut Agama Islam Negeri Surakarta 2015
Mujib Ulinuha. Konsep Syafa’at dalam Perspektip Muhammad Husain At-Thabathaba’i, Tesis Yokyakarta: Program Pasca Sarjana S2 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga 2017
Nurliana Damanik, Konsep Syafaat dalam perspekstif Al-Qur’an dan Hadis, Tesis; UIN Syarif Hidayatullah 2012
Sanaky Hujair, Metode Tafsir dan Perkembangannya. Tesis; UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 2014
CURRICULUM VITAE
A. Informasi Diri
Nama : Ade Irawan
Tempat & Tng Lahir : Desa Rantau Panjang, 12 April 1995
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kelurahan Bagan Pete, Kecamatan Alam Barajo
Kabupaten Kota Jambi, Propinsi Jambi
B. Riwayat Pendidikan
1. Memperoleh gelar S1 (Strata Satu) di UIN STS Jambi pada tahun 2018
2. Madrasah Aliyah Swasta (MA) Al-Mujahadah pada tahun 2014.
3. Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTS) Al-Mujahadah pada tahun 2011.
4. Sekolah Dasar Negeri. 140/VI Rantau Panjang pada tahun 2008.