duita_leprae
DESCRIPTION
kasus lepraeTRANSCRIPT
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 1/8
Hipertrofi Otot dan Atrofi Otot
Bila massa total suatu otot meningkat, peristiwa ini disebut hipertrofi otot. Bila massanya
menurun, proses ini disebut atrofi otot.
Sebenarnya, semua hipertrofi otot adalah akibat dari suatu peningkatan jumlah filament aktin
dan myosin dalam setiap serabut otot, menyebabkan pembesaran masing-masing serabut otot, hal ini
secara sederhana disebut hipertrofi serabut. Hipertrofi yang sangat luas dapat terjadi bila otot-otot
diberikan beban selama kontraksi. Untuk menghasilkan hipertrofi hampir maksimum dalam waktu 6
sampai 10 minggu, hanya dbutuhkan sedikit kontraksi kuat setiap harinya.
Bagaimana kontraksi yang sangat kuat ini dapat menimbulkan hipertrofi masih belum diketahui.
Namun, telah diketahui bahwa selama terjadi hipertrofi, sintesis protein kontraksi otot berlangsung jauh
lebih cepat, sehingga juga menghasilkan jumlah filament aktin dan myosin yang bertambah banyak
secara progresif di dalam myofibril, yang seringakali meningkat 50%. Kemudian, telah diamati bahwa
beberapa miofibri itu sendiri akan memecah di dalam otot yang mengalami hipertrofi untuk membentuk
myofibril yang baru, namun kepentingan ini pada hipertrofi otot yang biasa belum diketahui.
Bersama dengan peningkatan ukuran myofibril, system enzim yang menyediakan energy juga
bertambah. Hal ini terutama terjadi pada enzim-enzim yang dipakai untuk glikolisis, yang memungkinkan
terjadinya penyediaan energy yang cepat selama kontraksi otot yang kuat dan singkat.
Bila suatu otot tidak digunakan selama berminggu-minggu, kecepatan penghancuran protein
kontraktil akan berlangsung lebih cepat daripada kecepatan penggantiannya. Karena itu, terjadi atrofi
otot.
Pengaruh Denervasi Otot
Bila suatu otot kehilangan suplai sarafnya, otot tersebut tidak lagi menerima sinyal kontraksi
yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal. Karena itu, atrofi otot hampir
segera terjadi. Setelah sekitar 2 bulan, perubahan degenerative itu juga mulai tampak pada serabut otot
itu sendiri. Jika inervasi saraf dalam otot itu tumbuh kembali dengan cepat, pengembalian seluruh fungsi
otot secara sempurna dapat terjadi dalam waktu sekurang-kurangnya 3 bulan, namun bila lebih dari
waktu tersebut (3 bulan), kemampuan fungsional otot menjadi berkurang, dan setelah 1 sampai 2 tahun
tidak lagi terjadi pengembalian fungsi lebih lanjut.
Pada tahap akhir atrofi akibat denervasi, sebagian besar serabut otot akan rusak dan digantikan
oleh jaringan fibrosa dan jaringtan lemak. Serabut-serabut yang tersisa hanya terdiri dari membrane sel
panjang dengan barisan inti sel otot tetapi dengan beberapa atau tanpa disertai sifat kontraksi dan
sedikit atau tanpa kemampuan untuk membentuk kembali myofibril jika saraf tumbuh kembali.
Jaringan fibrosa yang menggantikan serabut-serabut otot selama atrofi akibat denervasi juga
memiliki kecenderungan untuk terus memendek selama berbulan-bulan, yang disebut kontraktur.
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 2/8
Karena itu, masalah yang paling penting dalam melakukan terapi fisik adalah mempertahankan otot
yang sedang mengalami atrofi ini agar tidak mengalami kelemahan (debilitating) dan kontraktur yang
merusak bentuk. Hal ini dicapai dengan melakukan peregangan otot-otot setiap hari atau dengan
menggunakan alat-alat yang mempertahankan otot-otot agar tetap teregang selama proses atrofi
berlangsung.
LEPRAE/KUSTA/MORBUS HANSEN
KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas
pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:
TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : tuberkuloid indefinite
BT : borderline tuberkuloid
BB : Mid borderline bentuk yang labil
Bi : borderline indefinite
Li : lepromatosa indefinite
LL : lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT 100% tuberkuloid
LL 100% lepromatosa
BB 50% tuberkuloid dan 10% lepromatosa
Ti dan Li campuran
BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya
BL dan Li lebih banyak lepromatosanya
*tipe yang stabil tidak mungkin berubah tipe
*tipe yang labil dapat beralih tipe, baik ke LL maupun TT.
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 3/8
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi:
Multibasilar: mengandung banyak basil (tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
indeks bakteri (IB) lebih dari 2+)
Pausibasilar: mengandung sedikit basil (tipe I, TT, BT, dengan IB kurang dari 2+)
*2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta
PB adalah kusta dengan BTA negative pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT
menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan
dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL
atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif.
Antara diagnosis klinis dan histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan maupun
perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan
kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian
tubuh saja sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai,
dsb.
GEJALA KLINIS
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan
sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granulomatosa yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris:
Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Clawing kelingking dan jari manis
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus
Anesteshia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 4/8
N. radialis
Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis
Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis
Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot perineus
N. tibialis posterior
Anesthesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsic dan kolaps arkus pedis
N. fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir.
N. trigeminus
Anesthesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata
dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus
N. fasialis yang dapat membuat paralysis N. orbikularis palbebrarum sebagian atau seluruhnya,
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya
dapat menyebabkan kebutaan
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kluit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada lepromatosa dapat timbul
ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis.
SIFAT LL TT
Lesi
- Bentuk
- Jumlah
Macula
Infiltrate difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung, praktis tidak ada
Macula saja; macula dibatasi
infiltrate
Satu, dapat beberapa
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 5/8
- Distribusi
- Permukaan
- Batas
- Anesthesia
BTA
- Lesi kulit
- Secret hidung
Tes Lepromin
kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Biasanya tak jelas
Banyak
Banyak
Negative
Asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Hampir selalu negative
Positif kuat (3+)
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopik, dan histopatologik.
Diantara ketiganya, diagnosis klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopik
memerlukan waktu yang paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau
memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya
baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tioe kusta perlu dilakukan agar dapat menentukan
terapi yang sesuai.
Kalau secara inspeksi mirip penyakit yang lain, ada tidaknya anesthesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis,meskipiun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan
menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan bila dengan kedua cara tersebut
belum jelas barulah pengujian terhadap rasa suhu, panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung
reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang
dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya dari tengahlesi kea rah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang
dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar
menentukannya.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau
tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu:
N. fasialis
N. aurikularis magnus
N. radialis
N. ulnaris
N. medianus
N. poplitea lateralis
N. tibialis posterior
Bagi tipe kea rah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 6/8
DIAGNOSIS PENUNJANG
Pemeriksaan Bakterioskopik
Digunakan untuk menegakkan diagnosis dan pengamatn pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil
tahan asam, antara lain ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae.
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan
oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa di 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling
aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltrative.
Cara pengambilan bahan.
Dengan menggunakan skalpet steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari
dan jari telunjuk, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu
gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar
mencapai jaringan yang diharapkan benyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya
mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari yang
ditampung pada sehelai plastic. Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus
pada hari yang sama, pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.
Pemeriksaan Histopatologik
Makrofagdalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah yang berada di kulit disebut
histiosit. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS orang itu. Apabila SIS-
nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya factor kemotatktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat
bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia langerhans. Adanya masa epiteloid yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan
jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivate-derivatnya. Gambaran histopatologik
tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit
dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal 9subepidermal clear zone)
yaitu sebuah daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsure-unsur tersebut.
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 7/8
Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Antibody yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibody anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan
antibody yang tidak spesifik antara lain antibody anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman M. tuberculosis.
Kegunaannya ialah untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan karena tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas.
Macam2 pemeriksaan:
Uji MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Aglutination)
Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay)
ML Dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick)
PENGOBATAN
Obat kusta yang paling banyak digunakan saat ini adalah:
DDS (diaminodifenil sulfon)
Klofazimin
Rifampisin
Digunakan secara kombinasi (MDT= Multi Drugs Treatment).
Yang paling dirisaukan adalah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat anti kusta yang
paing banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di Negara
berkembang dengan social ekonomi rendah.
Resistensi terhadap DDS bisa primer dan sekunder. Primer: bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah
resisten dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe, bergantung pada SIS penderita. Derajat
resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat
resistensi yang tinggi, DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi sekunder terjadi karena:
Monterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Minum obat tidak teratur
Pengobatan terlalu lama 4-24 tahun
DDSDosis: 1-2 mg/kgBB/hari/
Efek samping: nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer,
sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbunimia, methemoglobinemia.
7/16/2019 Duita_Leprae
http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 8/8
Rifampisisn
Salah satu obat yang dikombinasikan dengan DDS.
Dosis: 10mg/kgBB setiap hari atau setiap bulan.
Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit.
Klofazimin (lamprene)
Dosis: 50 mg/hari atau 100mg selang 1 hari atau 3x100mg tiap minggu.
Juga bersifat antiinflamasi.
Efek samping:
Warna kecoklatan pada kulit
Warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus
Hal tersenut disebabkan karena klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel
system RE, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah
dalamketaatan pengobatan penderita. Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang selama 3
bulan obat dihentikan.
Efek samping terjadi pada penggunaan dosis yang tinggi: gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen,
nausea, diare, anoreksia, vomitus). Selain itu juga dapat terjadi penurunan berat badan.
Untuk rehabilitasi medis yang dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan
fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik
dapat diperbaiki
DIAGNOSIS BANDING
Dermatofitosis
Tinea versikolor
Pitiriasis rosea
Pitiriasis alba
Dermatitis seboroika
Psoriasis
Neurofibromatosis
Granuloma anulare
Xantomatosis Scleroderma
Leukemia kutis
Tuberculosis kutis verukosa
Bith mark