duita_leprae

8
Hipertrofi Otot dan Atrofi Otot Bila massa total suatu otot meningkat, peristiwa ini disebut hipertrofi otot. Bila massanya menurun, proses ini disebut atrofi otot. Sebenarnya, semua hipertrofi otot adalah akibat dari suatu peningkatan jumlah filament aktin dan myosin dalam setiap serabut otot, menyebabkan pembesaran masing-masing serabut otot, hal ini secara sederhana disebut hipertrofi serabut. Hipertrofi yang sangat luas dapat terjadi bila otot -otot diberikan beban selama kontraksi. Untuk menghasilkan hipertrofi hampir maksimum dalam waktu 6 sampai 10 minggu, hanya dbutuhkan sedikit kontraksi kuat setiap harinya. Bagaimana kontraksi yang sangat kuat ini dapat menimbulkan hipertrofi masih belum diketahui. Namun, telah diketahui bahwa selama terjadi hipertrofi, sintesis protein kontraksi otot berlangsung jauh lebih cepat, sehingga juga menghasilkan jumlah filament aktin dan myosin yang bertambah banyak secara progresif di dalam myofibril, yang seringakali meningkat 50%. Kemudian, telah diamati bahwa beberapa miofibri itu sendiri akan memecah di dalam otot yang mengalami hipertrofi untuk membentuk myofibril yang baru, namun kepentingan ini pada hipertrofi otot yang biasa belum diketahui. Bersama dengan peningkatan ukuran myofibril, system enzim yang menyediakan energy juga bertambah. Hal ini terutama terjadi pada enzim-enzim yang dipakai untuk glikolisis, yang memungkinkan terjadinya penyediaan energy yang cepat selama kontraksi otot yang kuat dan singkat. Bila suatu otot tidak digunakan selama berminggu-minggu, kecepatan penghancuran protein kontraktil akan berlangsung lebih cepat daripada kecepatan penggantiannya. Karena itu, terjadi atrofi otot. Pengaruh Denervasi Otot Bila suatu otot kehilangan suplai sarafnya, otot tersebut tidak lagi menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal. Karena itu, atrofi otot hampir segera terjadi. Setelah sekitar 2 bulan, perubahan degenerative itu juga mulai tampak pada serabut otot itu sendiri. Jika inervasi saraf dalam otot itu tumbuh kembali dengan cepat, pengembalian seluruh fungsi otot secara sempurna dapat terj adi dalam waktu sekurang-kurangnya 3 bulan, namun bila lebih dari waktu tersebut (3 bulan), kemampuan fungsional otot menjadi berkurang, dan setelah 1 sampai 2 tahun tidak lagi terjadi pengembalian fungsi lebih lanjut. Pada tahap akhir atrofi akibat denervasi, sebagian besar serabut otot akan r usak dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan jaringtan lemak. Serabut-serabut yang tersisa hanya terdiri dari membrane sel panjang dengan barisan inti sel otot tetapi dengan beberapa at au tanpa disertai sifat kontraksi dan sedikit atau tanpa kemampuan untuk membentuk kembali myofibril jika saraf tumbuh kembali. Jaringan fibrosa yang menggantikan serabut-serabut otot selama atrofi akibat denervasi juga memiliki kecenderungan untuk terus memendek selama berbulan-bulan, yang disebut kontraktur.

Upload: chairunisa-anggraini

Post on 30-Oct-2015

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kasus leprae

TRANSCRIPT

Page 1: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 1/8

Hipertrofi Otot dan Atrofi Otot

Bila massa total suatu otot meningkat, peristiwa ini disebut hipertrofi otot. Bila massanya

menurun, proses ini disebut atrofi otot.

Sebenarnya, semua hipertrofi otot adalah akibat dari suatu peningkatan jumlah filament aktin

dan myosin dalam setiap serabut otot, menyebabkan pembesaran masing-masing serabut otot, hal ini

secara sederhana disebut hipertrofi serabut. Hipertrofi yang sangat luas dapat terjadi bila otot-otot

diberikan beban selama kontraksi. Untuk menghasilkan hipertrofi hampir maksimum dalam waktu 6

sampai 10 minggu, hanya dbutuhkan sedikit kontraksi kuat setiap harinya.

Bagaimana kontraksi yang sangat kuat ini dapat menimbulkan hipertrofi masih belum diketahui.

Namun, telah diketahui bahwa selama terjadi hipertrofi, sintesis protein kontraksi otot berlangsung jauh

lebih cepat, sehingga juga menghasilkan jumlah filament aktin dan myosin yang bertambah banyak

secara progresif di dalam myofibril, yang seringakali meningkat 50%. Kemudian, telah diamati bahwa

beberapa miofibri itu sendiri akan memecah di dalam otot yang mengalami hipertrofi untuk membentuk

myofibril yang baru, namun kepentingan ini pada hipertrofi otot yang biasa belum diketahui.

Bersama dengan peningkatan ukuran myofibril, system enzim yang menyediakan energy juga

bertambah. Hal ini terutama terjadi pada enzim-enzim yang dipakai untuk glikolisis, yang memungkinkan

terjadinya penyediaan energy yang cepat selama kontraksi otot yang kuat dan singkat.

Bila suatu otot tidak digunakan selama berminggu-minggu, kecepatan penghancuran protein

kontraktil akan berlangsung lebih cepat daripada kecepatan penggantiannya. Karena itu, terjadi atrofi

otot.

Pengaruh Denervasi Otot

Bila suatu otot kehilangan suplai sarafnya, otot tersebut tidak lagi menerima sinyal kontraksi

yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal. Karena itu, atrofi otot hampir

segera terjadi. Setelah sekitar 2 bulan, perubahan degenerative itu juga mulai tampak pada serabut otot

itu sendiri. Jika inervasi saraf dalam otot itu tumbuh kembali dengan cepat, pengembalian seluruh fungsi

otot secara sempurna dapat terjadi dalam waktu sekurang-kurangnya 3 bulan, namun bila lebih dari

waktu tersebut (3 bulan), kemampuan fungsional otot menjadi berkurang, dan setelah 1 sampai 2 tahun

tidak lagi terjadi pengembalian fungsi lebih lanjut.

Pada tahap akhir atrofi akibat denervasi, sebagian besar serabut otot akan rusak dan digantikan

oleh jaringan fibrosa dan jaringtan lemak. Serabut-serabut yang tersisa hanya terdiri dari membrane sel

panjang dengan barisan inti sel otot tetapi dengan beberapa atau tanpa disertai sifat kontraksi dan

sedikit atau tanpa kemampuan untuk membentuk kembali myofibril jika saraf tumbuh kembali.

Jaringan fibrosa yang menggantikan serabut-serabut otot selama atrofi akibat denervasi juga

memiliki kecenderungan untuk terus memendek selama berbulan-bulan, yang disebut kontraktur.

Page 2: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 2/8

Karena itu, masalah yang paling penting dalam melakukan terapi fisik adalah mempertahankan otot

yang sedang mengalami atrofi ini agar tidak mengalami kelemahan (debilitating) dan kontraktur yang

merusak bentuk. Hal ini dicapai dengan melakukan peregangan otot-otot setiap hari atau dengan

menggunakan alat-alat yang mempertahankan otot-otot agar tetap teregang selama proses atrofi

berlangsung.

LEPRAE/KUSTA/MORBUS HANSEN

KLASIFIKASI

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas

pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:

TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti : tuberkuloid indefinite

BT : borderline tuberkuloid

BB : Mid borderline bentuk yang labil

Bi : borderline indefinite

Li : lepromatosa indefinite

LL : lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT 100% tuberkuloid

LL 100% lepromatosa

BB 50% tuberkuloid dan 10% lepromatosa

Ti dan Li campuran

BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya

BL dan Li lebih banyak lepromatosanya

*tipe yang stabil tidak mungkin berubah tipe

*tipe yang labil dapat beralih tipe, baik ke LL maupun TT.

Page 3: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 3/8

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi:

  Multibasilar: mengandung banyak basil (tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan

indeks bakteri (IB) lebih dari 2+)

  Pausibasilar: mengandung sedikit basil (tipe I, TT, BT, dengan IB kurang dari 2+)

*2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta

PB adalah kusta dengan BTA negative pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT

menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan

dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL

atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif.

Antara diagnosis klinis dan histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan maupun

perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan

kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian

tubuh saja sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai,

dsb.

GEJALA KLINIS

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan

sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granulomatosa yang terbentuk sebagai reaksi

terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus

respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan

saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Gejala-gejala kerusakan saraf:

N. ulnaris:

  Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

  Clawing kelingking dan jari manis

  Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial

N. medianus

  Anesteshia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

  Tidak mampu aduksi ibu jari

  Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

  Ibu jari kontraktur

  Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Page 4: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 4/8

N. radialis

  Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

  Tangan gantung (wrist drop)

  Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis

  Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis

  Kaki gantung (foot drop)

  Kelemahan otot perineus

N. tibialis posterior

  Anesthesia telapak kaki

  Claw toes

  Paralisis otot intrinsic dan kolaps arkus pedis

N. fasialis

  Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

  Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan

mengatupkan bibir.

N. trigeminus

  Anesthesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata

dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus

N. fasialis yang dapat membuat paralysis N. orbikularis palbebrarum sebagian atau seluruhnya,

menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya

dapat menyebabkan kebutaan

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kluit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan

folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada lepromatosa dapat timbul

ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada

tubulus seminiferus testis.

SIFAT LL TT

Lesi

-  Bentuk

-  Jumlah

Macula

Infiltrate difus

Papul

Nodus

Tidak terhitung, praktis tidak ada

Macula saja; macula dibatasi

infiltrate

Satu, dapat beberapa

Page 5: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 5/8

 

-  Distribusi

-  Permukaan

-  Batas

-  Anesthesia

BTA

-  Lesi kulit

-  Secret hidung

Tes Lepromin

kulit sehat

Simetris

Halus berkilat

Tidak jelas

Biasanya tak jelas

Banyak

Banyak

Negative

Asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Hampir selalu negative

Positif kuat (3+)

DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopik, dan histopatologik.

Diantara ketiganya, diagnosis klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopik

memerlukan waktu yang paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau

memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya

baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tioe kusta perlu dilakukan agar dapat menentukan

terapi yang sesuai.

Kalau secara inspeksi mirip penyakit yang lain, ada tidaknya anesthesia sangat banyak

membantu penentuan diagnosis,meskipiun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan

menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan bila dengan kedua cara tersebut

belum jelas barulah pengujian terhadap rasa suhu, panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung

reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang

dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya dari tengahlesi kea rah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang

dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar

menentukannya.

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau

tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu:

  N. fasialis

  N. aurikularis magnus

  N. radialis

  N. ulnaris

  N. medianus

  N. poplitea lateralis

  N. tibialis posterior

Bagi tipe kea rah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe

tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Page 6: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 6/8

 

DIAGNOSIS PENUNJANG

Pemeriksaan Bakterioskopik

Digunakan untuk menegakkan diagnosis dan pengamatn pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan

 jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil

tahan asam, antara lain ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti

orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae.

Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah

terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan

oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa di 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling

aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltrative.

Cara pengambilan bahan.

Dengan menggunakan skalpet steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari

dan jari telunjuk, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu

gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar

mencapai jaringan yang diharapkan benyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya

mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian

diwarnai dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen.

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari yang

ditampung pada sehelai plastic. Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus

pada hari yang sama, pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.

Pemeriksaan Histopatologik

Makrofagdalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah yang berada di kulit disebut

histiosit. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS orang itu. Apabila SIS-

nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman

disebabkan karena proses imunologik dengan adanya factor kemotatktik. Kalau datangnya berlebihan

dan tidak ada lagi yang difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat

bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia langerhans. Adanya masa epiteloid yang

berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan

 jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat

menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan

disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivate-derivatnya. Gambaran histopatologik

tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit

dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal 9subepidermal clear zone)

yaitu sebuah daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow

dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsure-unsur tersebut.

Page 7: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 7/8

Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada tubuh seseorang yang

terinfeksi oleh M. leprae. Antibody yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu

antibody anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan

antibody yang tidak spesifik antara lain antibody anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh

kuman M. tuberculosis.

Kegunaannya ialah untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan karena tanda klinis dan

bakteriologik tidak jelas.

Macam2 pemeriksaan:

  Uji MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Aglutination)

  Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay)

  ML Dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick)

PENGOBATAN

Obat kusta yang paling banyak digunakan saat ini adalah:

  DDS (diaminodifenil sulfon)

  Klofazimin

  Rifampisin

Digunakan secara kombinasi (MDT= Multi Drugs Treatment).

Yang paling dirisaukan adalah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat anti kusta yang

paing banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di Negara

berkembang dengan social ekonomi rendah.

Resistensi terhadap DDS bisa primer dan sekunder. Primer: bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah

resisten dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe, bergantung pada SIS penderita. Derajat

resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat

resistensi yang tinggi, DDS tidak dapat dipakai lagi.

Resistensi sekunder terjadi karena:

  Monterapi DDS

  Dosis terlalu rendah

  Minum obat tidak teratur

  Pengobatan terlalu lama 4-24 tahun

DDSDosis: 1-2 mg/kgBB/hari/

Efek samping: nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer,

sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbunimia, methemoglobinemia.

Page 8: Duita_Leprae

7/16/2019 Duita_Leprae

http://slidepdf.com/reader/full/duitaleprae 8/8

Rifampisisn

Salah satu obat yang dikombinasikan dengan DDS.

Dosis: 10mg/kgBB setiap hari atau setiap bulan.

Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit.

Klofazimin (lamprene)

Dosis: 50 mg/hari atau 100mg selang 1 hari atau 3x100mg tiap minggu.

Juga bersifat antiinflamasi.

Efek samping:

  Warna kecoklatan pada kulit

  Warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus

Hal tersenut disebabkan karena klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel

system RE, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah

dalamketaatan pengobatan penderita. Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang selama 3

bulan obat dihentikan.

Efek samping terjadi pada penggunaan dosis yang tinggi: gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen,

nausea, diare, anoreksia, vomitus). Selain itu juga dapat terjadi penurunan berat badan.

Untuk rehabilitasi medis yang dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan

fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik

dapat diperbaiki

DIAGNOSIS BANDING

  Dermatofitosis

  Tinea versikolor

  Pitiriasis rosea

  Pitiriasis alba

  Dermatitis seboroika

  Psoriasis

  Neurofibromatosis

  Granuloma anulare

  Xantomatosis  Scleroderma

  Leukemia kutis

  Tuberculosis kutis verukosa

  Bith mark