Download - SDH Kronis
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pada hematom subdural, darah berkumpul di dalam ruang yang potensial
membesar di antara lapisan meningeal dura dan arachnoid. Hematom subdural
dibagi menjadi hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai
dengan hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga,
dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. Pada hematom subdural kronis
terjadi akumulasi darah pada ruang subdural secara perlahan dan progresif. Hal ini
dapat menyebabkan kompresi pada hemisferium dan herniasi otak (Snell, 2006;
Sjamsuhidajat, 2004; Delgado-López, 2009).
Gambar 1. Perdarahan Subdural
B. Anatomi
1. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri atas lima lapisan, yaitu:
a. Kulit (Skin)
b. Jaringan ikat penyambung (Connective tissue)
c. Galea aponeurotika (Aponeurosis)
d. Jaringan ikat longgar (Loose areolar tissue)
e. Pericranium
2. Cranium
Cranium merupakan tulang penyusun kepala. Terdapat dua bagian cranium,
yaitu neurocranium dan viscerocranium. Neurocranium terdiri atas calvaria dan
basis cranii. Bagian eksternal basis cranii terdiri atas arcus alveolaris os maxilla,
processus palatina os maxilla, os palatum, os sphenoidalis, vomer, temporal,
dan os occipital. Bagian internal basis cranii terdiri atas tiga fossa cranial, yaitu
fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior (Moore, 2002).
3. Meningen
Otak diliputi oleh tiga membran atau meninges, yaitu dura mater,
arachnoidea mater, dan pia mater. Paling luar, dura mater, mempunyai sifat yang
tebal dan kuat sehingga berfungsi untuk melindungi jaringan saraf yang ada di
bawahnya. Secara konvensional, dura mater digambarkan terdiri dari dua lapis,
yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan tersebut bersatu dengan
erat, kecuali pada garis-garis tertentu, tempat berpisah untuk membentuk sinus
venosus. Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan
dalam tengkorak. Lapisan endosteal melekat paling kuat pada tulang-tulang di
atas basis cranii. Lapisan meningeal adalah lapisan dura mater yang sebenarnya,
merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat yang meliputi otak (Snell,
2006).
Arachnoidea mater merupakan membran impermeabel yang lebih tipis dan
meliputi otak secara longitudinal. Arachnoidea mater dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial yaitu ruang subdural yang terisi oleh selapis cairan.
Ruangan di antara arachnoidea dan pia mater yaitu spatium subarachnoideum
diisi oleh cairan serebrospinalis. Pia mater merupakan suatu membran vaskular
yang melekat dengan erat serta menyokong otak (Snell, 2006).
4. Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa cranii
anterior dan media serta menempati seluruh cekungan tempurung otak.
Cerebrum terbagi menjadi dua bagian yaitu diencephalon yang membentuk inti
sentral dan telencephalon yang membentuk hemispherium cerebri.
Diencephalon dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu thalamus, subthalamus,
epithalamus, dan hypothalamus. Hemispherium cerebri merupakan bagian otak
2
yang paling besar dan dipisahkan oleh fissura longitudinalis cerebri. Masing-
masing hemispherium terbagi menjadi lobus-lobus yang dinamakan sesuai
dengan tulang tengkorak yang ada di atasnya, yaitu lobus frontalis, parietalis,
temporalis, dan occipitalis (Snell, 2006).
5. Batang otak
Batang otak dibentuk oleh medulla oblongata, pons, dan mesencephalon
serta menempati fossa cranii posterior di dalam tengkorak. Batang otak
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyalur tractus ascendens dan
descendens yang menghubungkan medulla spinalis dengan berbagai pusat yang
lebih tinggi, pusat refleks penting yang mengatur control sistem respirasi dan
kardiovaskular serta berhubungan dengan kendali tingkat kesadaran, dan
mengandung nuclei saraf cranial III sampai XII (Snell, 2006).
6. Cerebellum
Cerebellum terletak di fossa cranii posterior dan di bagian superior ditutupi
oleh tentorium cerebelli. Cerebellum merupakan bagian terbesar
rhombencephalon dan terletak di posterior ventriculus quadratus, pons, dan
medulla oblongata. Cerebellum menerima informasi aferen yang berkaitan
dengan gerakan volunter dari cortex cerebri dan dari otot, tendon, dan sendi.
Cerebellum juga menerima informasi keseimbangan dari nervus vestibularis
dan mungkin juga informasi penglihatan dari tractus tectocerebellaris (Snell,
2006).
Gambar 2. Susunan Struktur Kepala
3
C. Patogenesis
Perdarahan subdural disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya
mungkin tidak berarti sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Riwayat trauma
terdapat pada 75% kasus hematom subdural. Biasanya, penyebabnya adalah
pukulan pada bagian depan atau belakang kepala yang menyebabkan pergeseran
anteroposterior otak di dalam cranium. Perdarahan seringkali berasal dari bridging
veins karena tarikan ketika terjadi penggeseran rotatorik pada otak. Perdarahan
subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan
sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Oleh karena
perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul berjumlah hanya 100 – 200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti
karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah
yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Pada
daerah itu bisa terulang lagi perdarahan-perdarahan kecil dan pembentukan suatu
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma) (Mardjono,
2008; Snell, 2006).
Gambar 3. Hematoma Subdural Akibat Pecahnya Bridging Veins
4
Terdapat dua mekanisme yang berperan dalam terjadinya hematoma subdural
kronis (Plaha, 2008) :
1. Hematom subdural akut yang tidak dievakuasi dapat menyebabkan terjadinya
hematom subdural kronis. Pada hematom subdural akut yang telah matur akan
terbentuk membran yang melapisi bekuan darah. Perdarahan kecil yang berulang
dari struktur pembuluh darah baru pada membran dapat menyebabkan terjadinya
ekspansi hematom. Ekspansi hematom terjadi akibat adanya gradien osmotik
yang disebabkan oleh produk fibrinolitik pada hematom.
2. Pembentukan higroma subdural sekunder akibat trauma yang merobek membran
arachnoid kortikal sehingga menyebabkan masuknya cairan serebrospinalis ke
dalam ruang subdural. Ekspansi higroma lebih lanjut terjadi akibat adanya
perdarahan kecil berulang dari membran yang melapisi hematom. Adanya Beta–
trace protein, marker spesifik cairan serebrospinal, pada hematom subdural
mendukung hipotesis ini.
Gambar 4. Patogenesis Terjadinya Hematoma Subdural (Plaha, 2008)
5
Darah yang berkumpul pada ruang subdural dapat memacu terjadinya respon
inflamasi. Dalam beberapa hari, fibroblas menginvasi bekuan darah dan
membentuk membran pada permukaan dalam (kortikal) dan luar (dural).
Pembentukan membran diikuti oleh pembentukan pembuluh-pembuluh darah
kapiler baru, fibrinolisis enzimatik, dan likuefaksi bekuan darah. Produk degradasi
fibrin bergabung dengan bekuan darah baru dan menghambat hemostasis.
Perkembangan hematom subdural kronis ditentukan oleh keseimbangan efusi
plasma dengan atau tanpa perdarahan ulang dari membran dan reabsorpsi cairan.
Ekspansi dari bekuan darah dapat terjadi melalui daya tarik osmotik darah terhadap
cairan serebrospinalis pada membran hematom yang semipermeabel. Tekanan
osmotik pada hematoma subdural dipertahankan oleh disintegrasi eritrosit menjadi
substansi onkotik (Greenberg, 2006).
Gambar 5. Perkembangan Hematom Subdural (Newel, 2004)
Modifikasi sel otot polos pada membran hematom bagian luar mempunyai
peranan dalam penyembuhan hematom. Sel otot polos memproduksi kolagen yang
dapat memperkuat dan mengurangi fragilitas membran. Struktur makrokapiler yang
disebut sebagai sinusoid pada membran luar hematom memiliki endothelial gap
6
junction yang berperan dalam terjadinya kebocoran pembuluh darah sehingga dapat
menyebabkan ukuran hematom bertambah besar akibat perdarahan-perdarahan
kecil dan peningkatan aktivitas fibrinolisis. Endothelial gap junction terkadang
dapat dijembatani oleh platelet. Hal ini menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil
berkurang sehingga dapat mengurangi ukuran hematom (Ethem, 2009).
Pasien lanjut usia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hematom
subdural. Ruang subdural semakin lebar akibat terjadinya atrofi cerebri dan
bridging veins mudah robek akibat adanya peningkatan tekanan. Pada 25% kasus,
etiologi hematom subdural tidak dapat ditentukan. Terapi antikoagulan dan
antiplatelet dihubungkan dengan meningkatnya risiko hematom subdural spontan.
Studi retrospektif menunjukkan bahwa dari 123 pasien yang mengalami hematom
subdural spontan didapatkan 76% (93 pasien) sedang dalam terapi aspirin dan
warfarin. Faktor risiko hematom subdural lainnya yaitu koagulopati,
trombositopenia, dan alkoholism. Alkoholism dapat meningkatkan risiko terjadinya
hematom subdural karena dapat menyebabkan timbulnya penyakit hepar dengan
koagulopati dan trombositopenia sekunder (Karnath, 2004).
D. Gejala
Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh
setelah mendapat trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan interval laten
dan bisa berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan adakalanya juga
bisa lebih dari dua tahun. Pada interval laten kebanyakan penderita hematoma
subdural mengeluh tentang sakit kepala. Di samping itu, timbul gejala-gejala yang
mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial berupa kesadaran yang
makin menurun, organic brain syndrome, hemiparesis ringan, hemihipestesia, dan
epilepsi fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema (Mardjono, 2008).
Hematom subdural akut berkaitan dengan cedera kepala hebat dan timbul dari
kombinasi robeknya bridging veins, putusnya pembuluh kortikal, dan laserasi
korteks. Evakuasi bedah dari bekuan dapat membawa perbaikan gejala akibat efek
massa. Defisit yang menetap sering menyertai perluasan cedera parenkim.
Hematoma subdural subakut berkaitan dengan letargi progresif, confuse, dan defisit
7
neurologi fokal yang tampak setelah beberapa hari, dan dapat menghilang setelah
pengangkatan hematoma. Hematoma subdural kronis biasanya timbul akibat
robekan bridging vein karena cedera kepala minor dan seringkali tidak diketahui.
Hematom ini paling umum ditemukan pada pasien lanjut usia dengan atrofi otak
atau pada bayi. Perubahan status mental secara lambat dan progresif dengan atau
tanpa tanda fokal dapat terlihat. Drainase hematoma sering menghasilkan
pemulihan sempurna (Schwartz, 2000).
Gambar 6. Sistem Penentuan Derajat Defisit Neurologis pada Hematoma Subdural
E. Pemeriksaan penunjang
Pengenalan hematoma subdural yang akut dan kronik dapat dilakukan
berdasarkan gambaran CT scan. Hematom subdural yang akut berbentuk sebagai
bulan sabit dan batasnya berliku-liku, sedangkan hematoma subdural yang kronik
memperlihatkan kepadatan yang kira-kira sama dengan jaringan otak normal. Oleh
karena itu, sering hematoma subdural kronik luput dikenal. Adanya hematom
subdural kronik dapat diketahui melalui efek massa pada jaringan otak berupa
midline shift atau blunting sulci (Mardjono, 2008; Karnath, 2004).
8
Densitas dan gambaran CT scan hematom subdural berubah sesuai dengan
perkembangan hematom. Terdapat tiga fase hematom subdural pada gambaran CT
scan, yaitu (Plaha, 2008):
1. Hiperdens pada fase akut
2. Isodens pada fase subakut
3. Hipodens pada fase kronik
Gambar 6. Gambaran CT scan Hematoma Subdural Kronik
F. Terapi
1. Terapi konservatif
Pasien yang asimptomatik dan gambaran hematom subdural yang minimal
perlu dilakukan pemantauan gejala klinis dan gambaran CT scan. Istirahat serta
pemberian diuretik osmotik dan kortikosteroid dapat dilakukan sebagai terapi
konservatif. Kortikosteroid dapat menghambat pembentukan membran yang
permeabel terhadap protein dan mengurangi ukuran hematoma subdural kronis
(Plaha, 2008; Ethem, 2009).
9
2. Terapi operatif
Terapi operatif dalam penatalaksanaan hematoma subdural kronis terdiri
atas burrhole drainage, twist drill drainage, dan craniotomy. Hematom subdural
kronis paling sering dievakuasi dengan tindakan burrhole. Jumlah dan lokasi
burrhole bergantung pada ukuran dan lokasi hematoma yang dapat dilihat dari
gambaran CT scan. Membran yang melapisi hematom kemudian dibuka agar
terjadi drainase. Tindakan craniotomy dilakukan apabila terdapat substansial
solid pada hematom dan juga memungkinkan pengangkatan membran hematom
secara parsial pada pasien dengan hematoma subdural kronis yang persisten dan
berulang. Twist drill craniostomy merupakan terapi operatif yang kurang invasif
dimana celah pada tulang kepala berukuran kurang dari 5 mm. Akan tetapi,
proses irigasi sulit dilakukan bila melalui celah yang kecil (Plaha, 2008).
Gambar 7. Tindakan Craniotomy untuk Evakuasi Hematoma Subdural
10
G. Prognosis
Angka mortalitas hematom subdural mencapai 30%. Prediktor untuk mortalitas
yang lebih tinggi pada pasien hematom subdural meliputi tingkat kesadaran dengan
GCS < 7, usia > 80 tahun, dan pembentukan hematoma secara akut. Adanya tanda
defisit neurologi fokal dan midline shift tidak berhubungan dengan peningkatan
mortalitas. Gambaran CT scan hematoma subdural yang isodens memberikan
prognosis yang positif, sedangkan gambaran hipodens memberikan prognosis yang
negatif. Hal ini karena gambaran isodens menunjukkan bahwa hematoma subdural
berlangsung dalam durasi yang pendek sehingga otak lebih mudah mengalami
ekspansi setelah drainase hematom dilakukan. Sekitar 25% pasien dengan subdural
hematom memerlukan tindakan operasi ulang karena terjadinya reakumulasi darah
pada ruang subdural (Karnath, 2004; Delgado-López, 2009).
11
DAFTAR PUSTAKA
Delgado-López, Martín-Velasco, Castilla-Díez, Rodríguez-Salazar, Galacho-
Harriero, Fernández-Arconada. 2009. Dexamethasone treatment in chronic
subdural haematoma. Neurocirugia 20: 346-359.
Ethem, Mahmut, Tanju, Saim. 2009. Spontaneous resolution of a large chronic
subdural hematoma: a case report and review of the literature. Ulus Travma
Acil Cerrahi Derg 15(1):95-98.
Greenberg M.S. 2006. Handbook of Neurosurgery. New York: Thieme.
Karnath B. 2004. Subdural hematoma Presentation and management in older
adults. Geriatrics 59 (7): 18-23.
Mardjono M., Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Moore K.L., Agur A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Newell D.W., Moore A.J. 2004. Neurosurgery Principles and Practice. London:
Springer.
Plaha P., Malhotra, Heuer, Whitfield P. 2008. Management of Chronic Subdural
Haematoma. ANCR 8 (5): 12-15.
Schwartz S.I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Snell R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik Edisi 5. Jakarta: EGC.
12