RINGKASAN EKSEKUTIF
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PENANGGULANGAN BENCANA DI PROVINSI
BALI DAN PROVINSI JAWA TIMUR
2018 Peneliti:
Rahmi Yuningsih, Dina Martiany, Faridah Alawiyah, Sali Susiana, dan Tri Rini Puji Lestari
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
A. Pendahuluan
Letak geografis Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng atau kulit
bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian
utara dan Lempeng Pasifik di bagian timur, membuat Indonesia rentan mengalami
bencana alam. Intensitas kejadian bencana alam cenderung mengalami peningkatan.
Dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dihimpun oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), pada periode tahun 2005 hingga 2015 terjadi
11.648 kejadian bencana hidrometeorologi dan sekitar 3.810 bencana geologi.
Bencana hidrometeorologi berupa kejadian bencana banjir, gelombang ekstrim,
kebakaran lahan dan hutan, kekeringan dan cuaca ekstrim. Sedangkan bencana geologi
yang sering terjadi adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor.
Saat ini anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak cukup besar
untuk untuk membantu korban bencana dan untuk membangun kembali rumah,
sarana dan prasarana pascabencana. Dengan terbatasnya kemampuan pemerintah
dalam menangani korban dan pembangunan pascabencana, penanggulangan bencana
mengalami pergeseran paradigma, yaitu dari pemerintah sentris menjadi
partisipatoris. Partisipasi harus dimulai dari tingkat paling rendah, yaitu masyarakat.
Adanya partisipasi dari masyarakat juga membuat pergeseran paradigma
penanggulangan bencana, yaitu dari tanggap darurat menjadi kesiapsiagaan. Tanggap
darurat sampai saat ini memang penting dilakukan dan dibutuhkan oleh masyarakat
terdampak bencana. Namun tidak cukup hanya upaya tersebut saja. Yang lebih penting
adalah menyiapkan masyarakat untuk lebih cerdas dalam menghadapi bencana,
mengurangi dampak risiko serta mengelola pengetahuan menjadi kesadaran kolektif
di dalam masyarakat sehingga tahan atau tangguh dalam menghadapi bencana.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan penelitian ini adalah
“Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali
dan Provinsi Jawa Timur?”, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana?
(2) Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam upaya
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana?
B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih
karena sifatnya yang terbuka dan fleksibel. Peneliti akan membangun gambaran
holistik yang kompleks; menganalisis kata-kata; dan menguraikan laporan mengenai
pendapat detail dari para responden. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat
diperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya dari para narasumber dan informan,
sehingga dapat diperoleh gambaran yang utuh mengenai permasalahan.
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 19 - 25 Maret 2018 di Provinsi Bali dan
pada tanggal 16 - 22 April 2018 di Provinsi Jawa Timur. Teknik pemilihan informan
dalam penelitian ini dilakukan melalui purposive sampling. Sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, observasi langsung,
wawancara dan FGD dengan pihak-pihak yang berkepentingan seperti BNPB,
Kementerian Sosial, BPBD, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, PMI, lurah/ketua RW
setempat, pengurus Kampung Siaga Bencana dan Desa Tangguh Bencana setempat,
akademisi, masyarakat dan lainnya.
C. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana di Provinsi Bali
Terkait budaya Bali, terdapat beberapa pandangan masyarakat Bali mengenai
kejadian bencana, antara lain: (1) bencana tidak dapat ditentukan sebelumnya,
melainkan kehendak alam yang harus dihadapi dengan saling bahu membahu antara
unsur pemerintah, swasta dan masyarakat; (2) kejadian bencana merupakan dampak
dari dinamika pertumbuhan penduduk, perubahan iklim dan faktor alam sehingga
kejadian bencana tidak dapat terelakkan; (3) masyarakat masih memiliki pandangan
konvensional terhadap kejadian bencana seperti berpandangan klenik ataupun mistis,
terutama di daerah-daerah pedesaan yang belum terjangkau oleh sosialisasi ataupun
peningkatan kapasitas mengenai penanggulangan bencana. Namun pandangan ini
mulai bergeser setelah kejadian bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004, terutama
di wilayah-wilayah perkotaan yang banyak memiliki akses terhadap media
cetak/elektronik ataupun internet.
Mengingat posisi Bali sebagai kawasan yang masuk dalam jalur ring of fire,
diperlukan kesadaran masyarakat terhadap bahaya yang dapat mengancam sewaktu-
waktu. Terkait dengan bencana erupsi Gunung Agung, masyarakat yang tinggal di desa
paling terdampak erupsi mulai berinisiatif membentuk relawan yang tergabung dalam
Pasemetonan Jagabaya (Pasebaya) Gunung Agung, terdiri dari perwakilan 28 desa di
sekitar Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Mereka berperan aktif memberikan
informasi kepada warga di wilayah terpapar bencana erupsi. Ini merupakan bentuk
nyata dari kekuatan modal sosial masyarakat Bali melalui gotong royong. Keberadaan
Pasebaya Gunung Agung ini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Evakuasi
menjadi lebih mudah, karena mereka mengedukasi serta melakukan pendekatan
personal kepada warga.
Selain itu, konsep menyama braya menjadi modal dasar bagi masyarakat Bali
dalam ikut serta penanggulangan bencana. Menyama braya dalam konteks umum
mempunyai makna jiwa kebersamaan, gotong royong, saling asah, asih, dan asuh.
Dalam konteks kekinian, konsep tersebut diimplementasikan menjadi bekerja dalam
team work. Konsep menyama braya didukung oleh sistem cluster (banjar) yang
membuat solidaritas, toleransi dan rasa kemanusiaan menjadi lebih kuat. Konsep
menyama braya dan tulus ngayah menjadi motivasi besar bagi masyarakat Bali untuk
berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana. Konsep menyama braya
diimplementasikan misalnya pada saat terjadi erupsi Gunung Agung, masyarakat
dengan sukarela mempersilahkan fasilitas umum yang dimilikinya seperti bangunan
banjar untuk dapat ditempati oleh para pengungsi yang tersebar di hampir seluruh
Bali.
Bali juga memiliki konsep tri hita karana atau memelihara keharmonisan
hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan
melalui kearifan lokal dan budaya yang berlaku di tiap desa. Hubungan manusia
dengan lingkungan mengajarkan masyarakat untuk tetap menjaga kebersihan
lingkungan sebagai bagian dari upaya pra-bencana. Selain itu, terdapat beberapa nilai
lokal atau local wisdom yang dimiliki masyarakat Bali yang sangat mendukung
partisipasi dalam penanggulangan bencana, yaitu: (1) Jengah; (2) Ngayah; dan (3)
Lascarya.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali
antara lain:
a. Participation in decision making: (1) Masyarakat ikut serta dalam setiap
program kebencanaan dan menindaklanjuti program tersebut dengan
berkoordinasi dengan perangkat desa sebagai pengambil kebijakan tingkat hilir;
(2) Masyarakat membantu memberikan informasi kerentanan dan jalur-jalur yang
memungkinkan untuk dilakukannya tindakan evakuasi dan data lain dibutuhkan;
(3) Membuat kesepakatan dalam komunitas, misalnya dalam membuat rencana
kontijensi penanggulangan bencana, peraturan/awig-awig terhadap kelestarian
lingkungan, latihan mandiri, dan memberi dan menggalang bantuan untuk korban
bencana; (4) Masyarakat berkontribusi dalam uji coba penanggulangan bencana
serta membangun perkumpulan atau relawan tanggap bencana.
Participation in implementation: (1) Masyarakat langsung menuju tempat
pengungsian yang telah disiapkan sebelumnya. Hal ini terlihat pada saat banjir
bandang di Gerokgak Buleleng, longsor di Songan Bangli, dan erupsi gunung
Agung; (2) keterlibatan langsung masyarakat dalam kegiatan dapur umum di
lapangan; (3) masyarakat membantu menyalurkan kebutuhan dasar korban
bencana seperti sembako dan pakaian; (4) memberikan bimbingan konseling
kejiwaan bagi korban bencana
Participation in benefit: Masyarakat mengikuti kegiatan pemeliharaan kebersihan
rumah dan lingkungan. Sesuai dengan konsep tri hita karana atau memelihara
kebersihan dan keharmonisan hubungan dengan lingkungan melalui kearifan lokal
dan budaya yang berlaku di tiap desa
Participation in evaluation: Masyarakat turut mengawasi, memberikan saran dan
kritik terhadap upaya penanggulangan yang dilakukan pemerintah, antara lain
dengan melakukan kritik/koreksi terhadap jalur evakuasi korban dan memberikan
saran terhadap jalannya penanggulangan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendukung dalam upaya meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali yaitu:
1. faktor agama dan keyakinan masyarakat Bali yang sebagian besar beragama hindu
yang percaya dengan adanya hukum karmaphala (hukum karma) dan konsep
hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan lingkungan
(konsep Tri Hita Karana)
2. faktor budaya masyarakat Bali yang kental dengan semangat gotong-royong
(menyama braya), rasa kemanusiaan, persaudaraan, toleransi dan solidaritas yang
tinggi menimbulkan rasa tulus dan ikhlas dalam membantu sesama
3. pengaruh adat dan budaya Bali yang tumbuh dan berkembang dalam konteks desa
pekraman di mana masyarakat hidup rukun dan saling menolong
4. Pulau Bali sebagai destinasi pariwisata yang membutuhkan kapasitas masyakat
dalam menjamin wisatawan dapat merasa aman dan nyaman di Bali termasuk
ketika terjadi bencana
5. semakin gencarnya program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah maupun stakeholder lainnya dalam bentuk desa tangguh, desa siaga,
siaga bencana berbasis masyarakat, kampung siaga bencana, dan lainnya
6. semakin banyak lembaga atau organisasi sosial kemanusiaan terkait dengan
penanggulangan bencana yang bersentuhan langsung dengan masyarakat
termasuk dalam upaya pemberian sosialisasi dan pelatihan
Adapun faktor penghambat dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali yaitu:
1. masyarakat masih belum sepenuhnya memahami dan peduli akan kejadian
bencana di Provinsi Bali. Masyarakat cenderung berpandangan bahwa
menghindari risiko bukanlah hal yang penting, mereka tetap melakukan rutinitas
sehari-hari yang bisa saja mengancam keselamatan jiwanya. Misalnya, masyarakat
masih banyak yang bertempat tinggal di daerah rawan bencana dan juga
masyarakat kurang berminat untuk berperan aktif dalam sosialisasi kebencanaan.
Bahkan dalam kejadian erupsi Gunung Agung, ada beberapa masyarakat yang
tetap melakukan pekerjaan kesehariannya di daerah yang rawan. Namun ketika
bencana itu terjadi, masyarakat malah menilai pemerintah lamban dalam
menangani dan mengantisipasinya.
2. urusan kebencanaan masih banyak dianggap tabu untuk dibahas (entah karena
kaitannya dengan upacara/persembahan ataupun karena dalih pariwisata yang
diusung pemerintah sebagai jargon “turis akan takut datang ke Bali jika kita bicara
bencana”). Beberapa wilayah yang telah mendapatkan sosialisasi ataupun
pendampingan baik dari pemerintah maupun lembaga nonpemerintah lebih
terbuka menyikapi isu-isu mengenai kesiapsiagaan, penanggulangan dan
pengurangan risiko dibandingkan daerah yang tidak tersentuh intervensi program
sama sekali.
3. masih adanya anggapan bahwa masyarakat hanya sebagai objek bukan subjek.
Padahal urusan penanggulangan bencana adalah urusan pemerintah, swasta dan
masyarakat. Hal ini membuat masyarakat bersikap pasrah dan sangat bergantung
pada program-program pemerintah.
4. belum maksimalnya koordinasi antara masyarakat dan pemangku kepentingan
dalam penanggulangan bencana. Koordinasi juga belum maksimal dilakukan antar
instansi pemerintah maupun stakeholder lain. Hal ini terlihat dalam belum
bersinerginya program-program pemberdayaan masyarakat dalam
penanggulangan bencana yang dilakukan di masing-masing instansi seperti
program destana, kampung siaga bencana, desa siaga dan sibat.
5. pendanaan program atau kegiatan penanggulangan bencana untuk masyarakat
yang masih minim
6. upaya sosialisasi pra-bencana kurang intens dilakukan khususnya di daerah-
daerah pelosok. Biasanya sosialisasi gencar dilakukan setelah dalam keadaan
sudah terancam bahaya bencana.
7. tidak semua masyarakat mempunyai kehidupan perekonomian yang mencukupi.
Padatnya rutinitas keseharian yang mempersulit masyarakat berperan aktif
dalam organisasi atau kegiatan sosial
D. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana di Provinsi Jawa
Timur
Mayoritas bencana terjadi di desa sehingga penanganan pertama pada saat
bencana akan optimal jika dilakukan oleh masyarakat sekitar. Keterlibatan aktif
masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana di Jawa Timur banyak dilakukan
melalui program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
provinsi maupun kabupaten/kota. Tak hanya pihak tersebut, namun pihak swasta
seperti universitas juga berperan dalam menumbuhkan peran aktif masyarakat
daklam penanggulangan bencana. Seperti program Destana yang diinisiasikan oleh
BNPB, Kampung Siaga Bencana (KSB) oleh Kemensos, Desa Siaga oleh Kementerian
Kesehatan, SIBAT oleh PMI dan lainnya. Dari program tersebut, Desa Siaga merupakan
jumlah program pemberdayaan paling banyak di Jawa Timur (90% dari jumlah desa
yang ada) walau Desa Siaga lebih menitikberatkan pada upaya kesehatan secara umum
namun tetap menyiratkan program kebencanaan khususnya kegawatdaruratan medis
akibat bencana. Tujuan program tersebut sama-sama ingin membentuk pemahaman
masyarakat mengenai bencana beserta upaya penanggulangan yang melibatkan
masyarakat sehingga masyarakat dapat mandiri melakukan upaya penanggulangan.
1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang
memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu
mengorganisasi sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus
meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan
dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan,
kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk
pemulihan pascakeadaan darurat. Dalam Desa/Kelurahan Tangguh Bencana,
masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau,
mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka,
terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.
Komponen Desa/Kelurahan Tangguh Bencana meliputi: (1) Legislasi:
penyusunan Peraturan Desa yang mengatur pengurangan risiko dan penanggulangan
bencana di tingkat desa; (2) Perencanaan: penyusunan rencana Penanggulangan
Bencana Desa; Rencana Kontinjensi bila menghadapi ancaman tertentu; dan Rencana
Aksi Pengurangan Risiko Bencana Komunitas (pengurangan risiko bencana menjadi
bagian terpadu dari pembangunan); (3) Kelembagaan: pembentukan forum
Penanggulangan Bencana Desa/Kelurahan yang berasal dari unsur pemerintah dan
masyarakat, kelompok/tim relawan penanggulangan bencana di dusun, RW dan RT,
serta pengembangan kerjasama antarsektor dan pemangku kepentingan dalam
mendorong upaya pengurangan risiko bencana; (4) Pendanaan: rencana mobilisasi
dana dan sumber daya (dari APBD Kabupaten/ Kota, APBDes/ADD, dana mandiri
masyarakat dan sektor swasta/pihak lain); (5) Pengembangan kapasitas: pelatihan,
pendidikan, dan penyebaran informasi kepada masyarakat, khususnya kelompok
relawan dan para pelaku penanggulangan bencana agar memiliki kemampuan dan
berperan aktif sebagai pelaku utama dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana; dan (6) Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana: kegiatan-kegiatan mitigasi fisik struktural dan non-fisik;
sistem peringatan dini; kesiapsiagaan untuk tangggap darurat, dan segala upaya
pengurangan risiko melalui intervensi pembangunan dan program pemulihan, baik
yang bersifat struktural-fisik maupun non-struktural.
2. Kampung Siaga Bencana (KSB) Mahameru Kabupaten Malang
Secara geografis, beberapa desa di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang merupakan daerah rawan bencana. Desa Ngadas terutama memiliki risiko
tinggi terkait dengan erupsi Gunung Bromo. Desa Gubug Klakah dan Pandansari yang
terletak di lereng gunung tersebut, rawan terkena bencana longsor. Adanya
pengalaman menghadapi erupsi Gunung Bromo pada tahun 2015, menjadi latar
belakang terbentuknya KSB Mahameru. Khusus dari Desa Gubug Klakah mayoritas
relawan adalah perempuan.
KSB dibentuk dengan maksud untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman dan risiko bencana dengan cara menyelenggarakan kegiatan
pencegahan dan penanggulangan bencana berbasis masyarakat melalui pemanfaatan
sumber daya alam dan manusia yang ada pada lingkungan setempat. Anggotaan tim
KSB 30-50 orang yang berasal dari unsur masyarakat.
Syarat keanggotaan bersifat sukarela, tinggal di kawasan dimaksud dan telah
mengikuti pelatihan penanggulangan bencana atau sejenis yang dilaksanakan oleh
dinas atau instansi sosial kabupaten/kota, provinsi atau Kementerian Sosial. Adapun
syarat kelengkapan KSB antara lain adanya Gardu Sosial sebagai tempat sekretariat
KSB, tempat pertukaran informasi antar anggota KSB, juga dapat difungsikan sebagai
Pusat Kendali Operasi (Pusdalop) pada saat terjadi bencana serta sebagai pusat
layanan komunitas bidang kesejahteraan sosial pada saat kondisi normal atau tidak
ada bencana. Selain itu juga disyaratkan adanya Lumbung Sosial, yaitu bangunan
permanen sebagai tempat penyimpanan dan persediaan barang-barang (logistik,
pakaian dan lainnya) untuk kesiapsiagaan penanggulangan bencana.
Kemampuan tim KSB meliputi: (1) Mengetahui proses dan mekanisme KSB
secara baik; (2) Mengetahui kondisi wilayah, budaya, dan adat istiadat setempat; (3)
Mengetahui dan memahami manajemen penanggulangan bencana secara umum dan
penanggulangan bencana berbasis masyarakat; (4) Mengetahui tingkat kerentanan,
kerawanan, dan risiko bencana; (5) Kemampuan menyusun standar operasional
penanggulangan bencana; dan (6) Mengetahui sumber daya dan potensi lokal yang
dapat dipergunakan untuk penanggulangan bencana.
3. Taruna Siaga Bencana (Tagana) Jawa Timur
Taruna Siaga Bencana atau Tagana adalah relawan yang berasal dari
masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana
bidang perlindungan sosial. Tagana merupakan bagian dari tim KSB yang memiliki
tugas khusus, yaitu: (1) Melakukan pendekatan awal kepada tokoh masyarakat dengan
cara menjelaskan dan meyakinkan keberadaan dan fungsi KSB; (2) Memfasilitasi
masyarakat dalam menyusun rencana kerja KSB; (3) Menyebarluaskan informasi
penanggulangan bencana kepada masyarakat; (4) Memberikan keterampilan-
keterampilan praktis penanggulangan bencana kepada masyarakat; (5) Membantu dan
memfasilitasi metode dan praktik simulasi penanggulangan bencana; (6) Membantu
masyarakat dalam menyusun SOP; (7) Membantu masyarakat dalam menyusun peta
kerawanan bencana dan peta risiko bencana; (8) Membantu tim KSB berkomunikasi
dengan pihak luar.
Tagana menjadi penghubung antara pemerintah daerah dengan masyarakat
setempat. Anggota Tagana berlatar belakang aktif di karang taruna dan memperoleh
latihan dasar Tagana yang diberikan oleh pemerintah daerah. Tagana di Provinsi Jawa
Timur ada sejak tahun 2006. Pada tahun 2007 dan tahun 2014 ketika Gunung Kelud
mengalami erupsi, Tagana berpartisipasi dalam penanggulangan bencana Gunung
Kelud. Tagana ditempatkan di posko induk membantu melakukan koordinasi
penanganan bencana, penanganan pengungsi dan korban bencana hingga membantu
kegiatan dapur umum.
Pada saat bencana tanah longsor di Banaran, Tagana aktif mengelola relawan.
Relawan yang berasal dari masyarakat sekitar dapat turun ke lokasi bencana
berdasarkan keahlian atau kluster keahlian yang telah dibuat sebelumnya oleh Tagana
seperti keahlian dapur umum, keahlian dukungan psikososial pada korban dan
masyarakat yang mengalami trauma. Manajemen tersebut juga berlaku untuk pihak
lain yang ikut serta upaya penanggulangan seperti bantuan keahlian dari kampus,
sekolah tinggi ataupun perkumpulan psikolog dalam penangaman psikososial,
sehingga penanganan korban bencana dan masyarakat yang mengalami trauma
dilakukan satu pintu yaitu di bawah koordinasi Tagana.
Tagana memprioritaskan korban bencana yang membutuhkan pertolongan
utama seperti lansia dan anak-anak. Seperti pada saat bencana tanah longsor di
Banaran, terdapat 19 anak yang mengalami trauma akibat melihat langsung kejadian
tanah longsor di sekolah. Bersama stakeholder lain, Tagana membuat rencana tindak
lanjut seperti menyediakan tenda untuk sekolah darurat, pemberian dukungan
psikososial, intervensi sosial pada anak yang ditinggal orang tua meninggal akibat
bencana.
4. Desa Siaga Aktif
Desa Siaga merupakan desa yang mempunyai Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)
atau Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) lainnya yang buka setiap
hari dan berfungsi sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar, penanggulangan
bencana dan kegawatdaruratan, surveilans berbasis masyarakat yang meliputi gizi,
penyakit, lingkungan dan perilaku sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Poskesdes merupakan UKBM yang dibentuk di desa
dalam rangka mendekatkan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa.
Poskesdes dikelola oleh satu orang bidan dan minimal dua orang kader dan
merupakan koordinator dari UKBM.
Indikator desa siaga antara lain: (1) adanya Forum Masyarakat Desa, sarana
atau fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Poskesdes atau UKBM lain) dengan tenaga
dan sistem rujukannya, Posyandu, UKBM maternal dan UKBM lain sesuai kebutuhan;
(2) Sistem pengamatan berbasis masyarakat (KIA, gizi, penyakit, faktor risiko
lingkungan dan perilaku); (3) Sistem kesiapsiagaan kegawatdaruratan dan bencana
berbasis masyarakat; (4) Upaya menciptakan dan terwujudnya lingkungan sehat; dan
(5) Upaya menciptakan serta terwujudnya PHBS dan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).
Desa siaga dilaksanakan melalui pendekatan edukatif, yaitu dengan
memfasilitasi masyarakat (individu, keluarga, kelompok masyarakat) untuk menjalani
proses pembelajaran pemecahan masalah kesehatan yang dihadapinya secara
terorganisasi (pengorganisasian masyarakat), dengan tahapan: (1) Mengidentifikasi
masalah, penyebab masalah, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk
mengatasi masalah; (2) Mendiagnosis masalah dan merumuskan alternatif-alternatif
pemecahan masalah; (3) Menetapkan alternatif pemecahan masalah yang terpilih dan
layak, merencanakan, dan melaksanakannya; (4) Memantau, mengevaluasi, dan
membina kelestarian upaya yang telah dilakukan.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi
Jawa timur antara lain:
Participation in decision making: (1) masyarakat bersama pemerintah membuat
roadmap, rencana kontijensi, dan directory penanggulangan bencana; (2)
masyarakat didampingi para relawan PMI membuat jalur evakuasi, menentukan
titik aman, membuat sistem peringatan dini, sosialisasi serta pembagian tugas
pokok dan fungsi.
Participation in implementation: pada saat terjadinya bencana, Tagana
mempunyai tanggung jawab sosial di wilayah bencana, yaitu mengerahkan tenaga
untuk membantu proses evakuasi, membantu bahan baku sayuran untuk penguatan
dapur umum dan membantu menyebarkan informasi kepada masyarakat dan
membantu dalam layanan dukungan psikososial pada korban bencana maupun
pada masyarakat umum yang mengalami trauma akibat bencana.
Participation in benefit: berpartisipasi dalam kebermanfaatan pembangunan
merupakan keikutsertaan masyarakat, yang dapat memberikan manfaat positif bagi
pemerintah; sekaligus meningkatkan manfaat pembangunan bagi masyarakat itu
sendiri. Masyarakat mengikuti kegiatan pemeliharaan kebersihan rumah dan
lingkungan.
Participation in evaluation: Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan
bencana juga dilakukan melalui upaya pengawasan. Masyarakat juga memberikan
saran dan kritik terhadap upaya penanggulangan yang dilakukan pemerintah.
Adapun bentuk partisipasi dalam evaluasi, antara lain dapat dilakukan dengan:
melakukan kritik/koreksi terhadap jalur evakuasi korban, dan memberikan saran
terhadap jalannya penanggulangan. Upaya pengawasan secara pribadi dan lembaga
pengawasan dilakukan secara menyeluruh misalnya apakah masih ada hak korban
yang terlewati.
Faktor-faktor yang menjadi pendukung dalam upaya meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Jawa Timur yaitu:
adanya kesadaran tinggal di daerah yang rawan bencana, solidaritas yang
tinggi antar masyarakat, dan tanggung jawab sosial untuk menjaga lingkungan.
Adapun modal sosial yang menjadi faktor dalam penanggulangan bencana
adalah sifat gotong royong, loyalitas tanpa pamrih dan kerja sama. Adanya
riwayat sejarah kejadian bencana yang dialami oleh masyarakat di desa atau
kelurahan tersebut juga menjadi faktor pendorong partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan bencana;
pemerintah memberikan perhatian terhadap kegiatan-kegiatan
penanggulangan bencana mulai dari tahap pra, saat, hingga pascabencana.
Penanggulangan bencana juga didukung oleh kebijakan, sarana dan prasarana
di masing-masing daerah, serta didukung oleh SDM terlatih;
Pemerintah menganggap penting keberadaan relawan Tagana, baik pada tahan
prabencana, saat bencana maupun pascabencana. Pemerintah memberikan
perhatian pada 1.600 relawan Tagana dengan memberikan asuransi. Dana
asuransi bagi Tagana bersumber dari APBD 1. Selain itu, pemerintah juga
menganggarkan pada tahun 2018 sebanyak 50 orang relawan akan
disertifikasi oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) penanggulangan bencana.
Adapun faktor penghambat dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan bencana antara lain:
masyarakat belum semuanya memahami pentingnya upaya pencegahan
bencana sehingga umumnya masyarakat baru menyadari pada saat bencana
terjadi.
adanya perubahan karakter masyarakat dari masyarakat pedesaan ke
masyarakat perkotaan membuat modal sosial gotong royong menjadi sedikit
berubah.
kebijakan, dana, kurangnya pengetahuan masyarakat terkait penanggulangan
bencana, kearifan lokal, kapasitas dan kompetensi masyarakat terkait dengan
penanggulangan bencana belum merata di masing-masing daerah.
dukungan pemerintah kabupaten/kota sampai ke tingkat desa, namun
anggaran, sarana dan prasarana khususnya pada tahapan kesiapsiagaan
bencana masih terbatas.Masih adaa anggapan program penanggulangan
bencana bukan sektor unggulan, namun sektor penunjang yang membutuhkan
banyak dana.
program pemerintah umumnya berupa kegiatan rutin dan berskala panjang
sehingga kerap dinilai kurang inovatif. Program pemerintah dalam
penanggulangan bencana juga terhambat dengan adanya mutasi pegawai di
pemerintah kabupaten/kota.
belum dilakukan upaya sinergitas antar program. Upaya sinergitas menjadi
penting mengingat adanya target desa tangguh bencana dalam RPJMN
sejumlah 5.000 desa atau kelurahan. Dengan sinergitas maka BPBD Provinsi
Jawa Timur dapat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur melalui integrasi komponen ketangguhan bencana dalam
masing-masing program.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali dan
Provinsi Jawa Timur cukup baik dan signifikan dalam mendukung upaya
penanggulangan bencana yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan. Modal
sosial yang paling menonjol yang ditemukan dalam masyarakat Bali terkait dengan
penanggulangan bencana adalah adanya semangat Menyama Braya, semacam jiwa
kebersamaan, gotong royong, saling asah, asih, dan asuh. Dalam konteks kekinian,
semangat ini diimplementasikan menjadi bekerja dalam team work. Sedangkan
beberapa nilai kearifan lokal/local wisdom lain yang dimiliki masyarakat Bali yang
sangat mendukung partisipasi dalam penanggulangan bencana, yaitu: (1) Jengah; (2)
Ngayah; dan Lascarya.
Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Bali dilakukan
dalam bentuk (1) Memelihara kebersihan dan keharmonisan hubungan dengan
lingkungan melalui kearifan lokal dan budaya yang berlaku di tiap desa (Tri Hita
Karana); dan (2) Membuat kesepakatan dalam komunitas, misalnya dalam membuat
rencana kontijensi penanggulangan bencana, peraturan/awig-awig terhadap
kelestarian lingkungan, latihan mandiri, dan memberi bantuan maupun menggalang
bantuan untuk korban bencana.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendukung dalam upaya meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali yaitu: (1)
Faktor agama (keyakinan) masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu, yang
percaya dengan adanya hukum karmaphala (hukum karma) dan Tri Hita Karana; (2)
Faktor budaya masyarakat Bali yang kental dengan semangat gotong-royong; dan (3)
Pengaruh adat dan budaya Bali yang tumbuh dan berkembang dalam konteks Desa
Pekraman di mana masyarakat hidup rukun dan saling menolong.
Sementara itu faktor penghambat dalam upaya meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan bencana di Provinsi Bali yaitu: (1) Kurangnya
kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam penanggulangan bencana; (2)
Kurangnya kapasitas dan pengetahuan masyarakat dalam penanggulangan bencana;
dan (3) Belum maksimalnya koordinasi antara masyarakat dan pemangku
kepentingan dalam penanggulangan bencana.
Di Jawa Timur, partisipasi masyarakat tumbuh dan berkembang melalui
program-program pemberdayaan oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota
dan pihak swasta. Bentuk program-program tersebut antara lain Destana oleh BNPB,
KSB oleh Kemensos, Desa Siaga oleh Kementerian Kesehatan, dan SIBAT oleh PMI.
Melalui program-program tersebut, maka tumbuh kesadaran dan solidaritas yang
tinggi antar-masyarakat dan tanggung jawab sosial untuk menjaga lingkungan. Kondisi
ini menjadi salah satu faktor pendukung dalam upaya penanggulangan bencana.
Sedangkan lemahnya pemahaman masyarakat akan kejadian bencana
merupakan salah satu faktor penghambat dalam upaya penanggulangan bencana
selain karena faktor dukungan dana dan pemerintah setempat (pemerintah
kabupaten/kota sampai ke tingkat desa).
2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat direkomendasikan beberapa hal
berikut, yaitu:
a. Budaya dan kearifan lokal (local wisdom) yang selama ini terdapat dalam
masyarakat Bali yang penuh dengan semangat gotong-royong perlu terus
dipelihara, sehingga dapat mendukung upaya penanggulangan bencana yang
dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan;
b. Kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap upaya penanggulangan
bencana di dua provinsi perlu ditingkatkan oleh seluruh stakeholder terkait,
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing;
c. Agar upaya penanggulangan bencana lebih optimal, koordinasi antar-
pemangku kepentingan perlu terus dibangun dan ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2013. Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anwas, Oos M. 2013. Pemberdayaan Masyarakat di Era Global. Bandung: Penerbit Alfabeta.
BNPB. 2014. Indeks Risiko Bencana Indonesia. West Java: Directorate of Disaster Risk Reduction Deputy for Prevention and Alertness.
Coppola, Damon P. & Maloney, Erin K. 2009. Communicating Emergency Preparedness – Strategies for Creating a Disaster Resilient Public. London: CRC.
Health Agency Bali Province. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014. Denpasar: Health Agency of Bali Province.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Hikmat, Harry. 2004. Pengarusutamaan Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Cipruy.
IDEP. 2007. Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Bali: Yayasan IDEP.
Isnanta, Fahri. 2014. Implementasi Program Kampung Siaga Bencana (KSB) dalam Rangka Penanggulangan Bencana Berbasiskan Masyarakat di Kelurahan Rawa Buaya RW 11 Jakarta Barat. Depok: Tesis FISIP UI.
Ministry of Social Affairs. 2015. Himpunan Perundang-undangan Penanggulangan Bencana Bidang Perlindungan Sosial. Jakarta: Directorate of Social Protection for Natural Disaster Victims Ministry of Social Affairs RI.
Ministry of Social Affairs. 2016. Buku Saku Kampung Siaga Bencana (KSB). Jakarta: Directorate of Social Protection for Natural Disaster Victims Ministry of Social Affairs RI.
Ministry of Social Affairs. 2016. Petunjuk Teknis Kampung Siaga Bencana (KSB). Jakarta: Directorate of Social Protection for Natural Disaster Victims Ministry of Social Affairs RI.
Khambali. 2017. Manajemen Penanggulangan Bencana. Yogyakarta: ANDI.
Majalah Kontak Sosial. Jefri, Tagana Teladan Pertama Tingkat Nasional. Edition of Semester 2 Year 2017, page 40.
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI). 2009. Kiat Tepat Mengurangi Risiko Bencana: Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Jakarta: Grasindo.
Mulyadi, Mohammad. 2009. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Masyarakat Desa. Ciputat: Nadi Pustaka.
Nurjanah, dkk. 2013. Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta.
Health Crisis Center of Ministry of Health 2017. Profil Penanggulangan Krisis Kesehatan Kabupaten/Kota Rawan Bencana Jawa Timur.
Sugiyanto, dkk. 2012. Bantuan Stimultan Pemulihan Sosial: Studi Evaluasi Bantuan Stimulan Bahan Bangunan Rumah Berupa Uang Melalui Kelompok Masyarakat Penerima Bantuan. Jakarta: P3KS.
Yustiningrum, Emilia, dkk. 2016. Bencana Alam, Kerentanan dan Kebijakan di Indonesia: Studi Kasus Gempa Padang dan Tsunami Mentawai. Yogyakarta: Calpilus.
Zubaedi. 2016. Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik. Jakarta: Kencana.
“1.655 KK Pengungsi Sinabung akan di Relokasi tahap Tiga’, http://news.analisadaily.com/read/1655-kk-pengungsi-sinabung-akan-di-relokasi-tahap-tiga/424224/2017/09/30, accessed on February 8th, 2018.
“Belum Rampung Dibangun, Jembatan di Brebes ini Roboh Tersapu Banjir”, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3844425/belum-rampung-dibangun-jembatan-di-brebes-ini-roboh-tersapu-banjir/komentar, accessed on February 8th, 2018.
“Jatim Juara Lagi, Mensos Khofifah Berikan Penghargaan untuk Pakde Karwo”, https://duta.co/jatim-juara-lagi-mensos-khofifah-berikan-penghargaan-untuk-pakde-karwo/, accessed on February 8th.