Download - Referat Cedera Kepala Anak
-
BAB I.
PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat, trauma merupakan salah satu penyebab kematian
terbanyak pada usia kurang dari 45 tahun dan lebih dari setengahnya merupakan ajibat
dari cedera kepala. Menurut American Trauma Society, kira-kira 500.000 orang
masuk ke Rumah Sakit setiap tahunnya karena cedera kepala, 75.000 hingga 90.000
meninggal dan sisanya ada yang sehat tanpa meninggalkan gejala sisa dan selebihnya
mengalami disabilitas. (1,2)
Trauma kepala merupakan kejadian yang sering dijumpai pada anak. Trauma
kepala pada anak berbeda dengan orang dewasa. Trauma kepala pada anak
berdasarkan umur dibagi atas 2 jenis : 1) anak usia di bawah 2 tahun dan 2) anak di
atas 2 tahun. Pembagian ini dilakukan oleh karena trauma kepala pada anak di bawah
2 tahun mempunyai karakteristik pemeriksaan klinis yang lebih sulit, kerusakan
intracranial umumnya asimtomatik, sering terjadi keretakan tulang kepala akibat
trauma ringan dan sering terjadi kerusakan jaringan otak. (1,2)
Cedera kepala dan komplikasinya merupakan penyebab dari sejumah besar
kematian akibat cedera pada anak-anak. Cedera kepala hebat juga bisa menyebabkan
kerusakan yang serius pada otak yang sedang berkembang, sehingga mempengaruhi
perkembangan fisik kecerdasan dan emosional anak dan menyebabkan kecacatan
jangka panjang.
Cedera kepala paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur kurang
dari 1 tahun dan pada remaja diatas 15 tahun, serta lebih banyak terjadi pada anak
laki-laki. Setiap cedera kepala berpotensi menimbulkan akibat yang serius, karena itu
setiap anak yang mengalami cedera kepala sebaiknya diperiksa secara seksama.(1,2)
1
-
BAB II.
CEDERA KEPALA ANAK
II.1 Anatomi(1)
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan (SCALP)
1. Skin
2. Connective Tissue
3. Aponeurosis
4. Loose Areolar Tissue
5. Perikranium
Loose areolar tissue yang memisahkan antara galea dengan pericranium
adalah tempat :
a. Untuk terjadinya hematom subgaleal
b. Flap luas dan scalping injury
Kulit kepala ini bisa mengalami perdarahan banyak, tetapi mudah
diatasi hanya dengan menekan sebentar saja daerah yang berdarah dan
perdarahan akan berhenti. Pada anak, laserasi kulit kepala berakibat
kehilangan darah masif.
B. Tulang Tengkorak (Kranium)
Terdiri dari :
a. Calvarium, tipis pada regio temporalis namun dilapisi oleh otot temporal.
2
-
b. Basis Kranii, berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar di bagi 3 fosa :
1. Fosa anterior, tempat lobus frontalis
2. Fosa Media, tempat lobus temporalis
3. Fosa posterior, ruang bagian bawah batang otak dan cerebelum
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Arachnoid
Terdapat dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang
tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Selaput arachnoid
terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarachnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarah subarachnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
3
-
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah
membrana vascular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Bila terjadi perdarahan
subarachnoid maka darah bebas akan berada dalam ruang ini.
D. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada
hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus
frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari
mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan
pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis
dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan
dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
E. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus
sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan
masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak
dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
vili araknoid.
4
-
F. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
II.2 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2
II.3 Epidemiologi(1,2)
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia
produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53%
dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. (1,2)
Di Amerika Serikat, kejadian tahunan diperkirakan cedera kepala pediatrik
adalah sekitar 200 per 100.000 penduduk. Jumlah ini mencakup semua cedera kepala
yang mengakibatkan rawat inap, kematian, atau keduanya pada orang berusia 0-19
tahun. Distribusi trauma kepala relatif stabil sepanjang masa. Peningkatan kejadian
trauma kepala diidentifikasi dalam 2 kelompok usia. Pada sekitar usia 15 tahun,
peningkatan dramatis terjadi, terutama pada laki-laki, berkaitan dengan keterlibatan
mereka dalam olahraga dan kegiatan mengemudi. Bayi berusia kurang dari 1 tahun
juga memiliki insiden tinggi trauma kepala, yang disebabkan jatuh dan pelecehan
anak.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-
5
-
70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian
tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak
ada yang meninggal.
Laki-laki dua kali lebih mungkin untuk mempertahankan cedera kepala sebagai
perempuan dan memiliki 4 kali resiko trauma fatal. Remaja laki-laki hitam account
untuk sebagian besar senjata api terkait cedera SSP dalam populasi anak.
II.4 Etiologi(1,3)
Data Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2011 didapatkan
penyebab cedera kepala antara lain:
a. Jatuh 35,2%
b. Penyebab yang tidak diketahui atau penyebab lain 21%
c. Kecelakaan lalu lintas 17,3%
d. Kecelakaan kerja, rumah tangga atau olahraga 16,5%
e. Kekerasan benda tumpul atau tajam 10%
Kebanyakan cedera kepala terjadi sekunder terhadap kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, penyerangan, kegiatan rekreasi, dan pelecehan anak. Persentase
masing-masing faktor berbeda antara studi, dan distribusi bervariasi sesuai dengan
usia, kelompok, dan jenis kelamin. Beberapa faktor (misalnya, gangguan kejang,
gangguan perhatian defisit, dan penggunaan alkohol dan narkoba) dikenal untuk
meningkatkan kerentanan anak atau remaja untuk jenis trauma. Bayi dan anak-anak
lebih rentan terhadap penyalahgunaan karena ketergantungan mereka pada orang
dewasa dan ketidakmampuan untuk membela diri. (1,3)
Kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 27-37% dari semua cedera kepala
pediatrik. Dalam kebanyakan kasus yang melibatkan anak-anak muda dari 15 tahun,
korban adalah pejalan kaki atau pengendara sepeda, pejalan kaki kecelakaan pada
anak usia 5-9 tahun adalah penyebab paling sering kedua kematian. Dewasa muda
berusia 15-19 tahun cenderung penumpang di kecelakaan, dan alkohol sering
merupakan faktor penyebabnya.
Jatuh adalah penyebab paling umum dari cedera pada anak-anak muda dari 4
tahun, berkontribusi 24% dari semua kasus trauma kepala. Kegiatan rekreasi memiliki
distribusi musiman, dengan puncak selama musim semi dan musim panas bulan.
Mereka mewakili 21% dari semua cedera otak anak, dengan kelompok rentan terbesar
usia 10-14 tahun. (1,3)
6
-
II.5 Patofisiologi(1,3)
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung
kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan
kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut
lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi
kontusio countercoup.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio
intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal.
Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu
yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan
ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding
sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan
otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
7
-
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.
II.6 Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis,
tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, usia, tingkat
beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi.1
Klasifikasi cedera kepala:
A. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi
akselerasi dan deselerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam
rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan
benda tajam. Dapat menyebabkan perdarahan dan kerusakan jaringan otak
apabila tulang tengkorak menusuk otak. Trauma kepala ini menyebabkan
fraktur tulang tengkorak dan lasersai duramater. Setelah 2-3 hari akan
tampak battle sign dan otorrhoe. Perdarahan dari telinga dengan trauma
kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.
Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto roentgen,
sehingga harus diperhatikan gejala dan tanda. Tanda-tanda klinik yang
dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign (akibat fraktur yang meluas sampai ke belakang dan
merusak sinus sigmoideus, jaringan dibelakang telinga dan processus
mastoideus mengakibatkan warna biru / ekhimosis di belakang telinga di
atas os mastoid)
b. Hemotimpanum (perdarahan di daerah gendang telinga)
c. Rhinorrhoe ( keluar cairan dari hidung)
d. Otorrhoe ( akibat fraktur yang merobek membran timpani atau
merusak canalis auditori externus)
e. Racoon eyes ( akibat fraktur di daerah anterior basis cranii yang
mengakibatkan darah masuk ke jaringan periorbita)
8
-
B. Berdasarkan Usia anak-anak
Trauma kepala merupakan kejadian yang sering dijumpai pada anak. Trauma
kepala pada anak berbeda dengan orang dewasa. Trauma kepala pada anak
berdasarkan umur dibagi atas 2 :
1. anak usia di bawah 2 tahun
2. anak di atas 2 tahun.
Pembagian ini dilakukan oleh karena trauma kepala pada anak di bawah 2 tahun
mempunyai karakteristik pemeriksaan klinis yang lebih sulit, kerusakan intracranial
umumnya asimtomatik, sering terjadi keretakan tulang kepala akibat trauma ringan
dan sering terjadi kerusakan jaringan otak.
C. Berdasarkan Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik
bonewindow untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat. Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut;
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
9
-
b. Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi
yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode
apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan
abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya
kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan
perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra
serebral yang membutuhkan tindakan operasi.
10
-
D. Berdasarkan Beratnya
1. Cedera Kepala Ringan
Skor PGCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran atau kehilangan kesadaran kurang dari 30
menit, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis
Amnesia post trauma kurang dari 24 jam
Gejala: mual, muntah, sakit kepala
2. Cedera Kepala Sedang
Skor PGCS 9-12
Penurunan kesadaran 30 menit sampai 1 minggu
Amnesia post trauma 24 jam 1 minggu
Terdapat kelainan neurologis seperti kelumpuhan saraf dan anggota gerak
3. Cedera Kepala Berat
Skor PGCS 3-8
Penurunan kesadaran lebih dari 1 minggu
Amnesia post trauma lebih dari 1 minggu
11
-
II.7 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis(1,4)
Pasien trauma kepala sering memiliki beberapa cedera organ. Penilaian pasien
dengan cedera kepala berat meliputi survei primer dan survei sekunder. Survei primer
adalah pemeriksaan fisik terfokus ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengobati
kondisi yang mengancam jiwa yang ada dalam pasien trauma dan dengan demikian
mencegah cedera otak sekunder. Survei sekunder pasien dengan trauma kepala adalah
pemeriksaan rinci dan penilaian sistem individu dengan tujuan mengidentifikasi
semua luka traumatis dan mengarahkan perawatan lebih lanjut.
I. Survei Primer
Airway
Pemeriksaan Airway harus diarahkan untuk mengidentifikasi keberadaan
benda asing, gigi lepas, luka wajah dan ketidakstabilan tulang, deviasi
trakea, dan sianosis circumoral indikasi hipoksia. Auskultasi jalan napas
dapat menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas atas, terutama ketika pola
aliran turbulen dicatat.
Pernafasan
Apnea dan hipoventilasi sekunder untuk penyebab paru atau neurologis
adalah temuan umum pada pasien dengan trauma kepala. Saat ini, mereka
menjamin intervensi langsung dan intubasi endotrakeal, merawat untuk
menjaga tulang belakang stabilisasi serviks pada pasien dengan cedera
tulang belakang leher yang diketahui atau dicurigai.
Sirkulasi
Triad Cushing (yaitu, bradikardia, hipertensi, dan perubahan respirasi),
jika ada, adalah manifestasi akhir menunjukkan herniasi.
Bila terdapat hipotensi, tidak boleh dianggap semata-mata untuk ICH.
Beberapa penyebab lain dapat menyebabkan temuan ini, termasuk namun
tidak terbatas pada perdarahan internal cedera tulang belakang, memar
jantung, trauma dada dengan pneumotoraks dan / atau efek hemothorax,
obat atau alkohol, dan disritmia dengan gangguan curah jantung sekunder.
Hipotensi terkait dengan bradikardia pada pasien trauma harus dianggap
sangat sugestif cedera tulang belakang.
Neurologis
Responsiveness dinilai dengan waspada, verbal, nyeri, tidak responsif
12
-
(AVPU) sistem dan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan modifikasi
anak nya, Pediatric Glasgow Coma Scale (PGCs). Para PGCs
dikembangkan untuk anak-anak muda dari 5 tahun sebagai alat yang lebih
akurat yang akan menghindari kesalahan yang terjadi ketika GCS ini
diterapkan kepada anak-anak dan bayi dengan kemampuan verbal yang
terbatas. Sebuah PGCs total skor 13-15 merupakan cedera ringan, skor 8-
12 merupakan cedera sedang, dan skor yang lebih rendah dari 8
merupakan cedera parah. (1,4)
Pediatric Glasgow Coma Scale
SCORE > 5 Years 2-5 Years 0-2 Years
5 Orientasi dan mampu berbincang
Menggunakan kata-kata yang tepat
Menangis dengan keras
4 Disorientasi Kata-kata tidak tepat Menangis
3 Kata-kata tidak tepat Mengangis / berteriak Menangis / berteriak
2 mengerang mengerang Mengerang
1 Tidak ada jawaban Tidak ada jawaban Tidak ada jawaban
SCORE 1 Year 0-1 Year
4 Membuka mata spontan Membuka mata spontan
3 Membuka mata sesuai perintah Membuka mata karena teriakan
2 Membuka mata dengan respon nyeri
Membuka mata dengan respon nyeri
1 Tidak ada respon Tidak ada respon
13
-
Menurut North B and Reilly P., jumlah score yang normal :
Bayi baru lahir sampai umur 6 bulan, jumlah score 9
Umur 6 bulan sampai 12 bulan, jumlah score 11
Umur 12 bulan sampai umur 2 tahun, jumlah score 12
Umur 2 tahun sampai umur 5 tahun, jumlah score 13
Umur 5 tahun atau lebih, jumlah score 14
II. Survei Sekunder(1,4)
Kepala
Deformitas leher rahim, pembengkakan, nyeri dengan palpasi, langkah-off,
atau malalignment bisa menyarankan cedera stabil dari tulang belakang leher dan
harus meminta imobilisasi tulang belakang leher sampai tes diagnostik lebih lanjut
diperoleh. Laserasi dan depresi, jika ada, menjamin eksplorasi lebih lanjut untuk
benda asing dan tulang yang mendasari dan gangguan dural.
Battle Sign atau ekimosis di daerah retroauricular dan mastoid adalah
patognomonik untuk basilar patah tulang tengkorak. Ini adalah hasil dari darah
bedah di daerah oksipital dan mastoid dari tengkorak terganggu korteks. Mata
rakun atau ekimosis periorbital merupakan indikasi dari basilar patah tulang
tengkorak. Itu juga merupakan hasil darah membedah dari tengkorak terganggu
korteks ke dalam jaringan lunak daerah periorbital.
Hemotympanum (darah di belakang membran timpani) menunjukkan
fraktur tulang temporal petrosa dan mungkin terkait dengan gangguan saraf
kranial VII dan VIII.
CSF otorrhea dan rhinorrhea dapat hadir dengan basilar patah tulang
tengkorak dan merupakan hasil dari gangguan leptomeninges dan lempeng
SCORE 1 Year 0-1 Year
6 Mengikuti perintah N/A
5 Mengetahui lokasi nyeri Mengetahui lokasi nyeri
4 Reaksi menghindar Reaksi menghindar
3 Reaksi flexi (dekortikasi) Reaksi flexi (dekortikasi)
2 Reaksi ekstensi (deserebrasi) Reaksi ekstensi (deserebrasi)
1 Tidak ada respon Tidak ada respon
14
-
berkisi. Sebuah rekaman oksidase glukosa dapat digunakan untuk membedakan
antara rhinorrhea dan kebocoran CSF.
Pola Pernapasan
Apnea sekunder untuk kelumpuhan diafragma menunjukkan cedera tulang
belakang yang tinggi. Respirasi Cheyne-Stokes atau periode bolak hiperpnea
dengan apnea menunjukkan cedera pada belahan otak atau diencephalon.
Hiperventilasi merupakan indikasi kerusakan pada batang otak rostral atau
tegmentum. Respirasi Apneustic, digambarkan sebagai berkepanjangan akhir
ekspirasi jeda, sekunder terhadap kerusakan dari tingkat pontine midpontine atau
ekor.
Pemeriksaan neurologis
GCS dan PGCs tidak termasuk pemeriksaan pupil. Untuk alasan ini, penilaian
pupil harus dilakukan setiap kali penilaian neurologis dilakukan. Penilaian ukuran
pupil dan respon terhadap cahaya dapat menghasilkan temuan yang signifikan berikut:
Dilatasi pupil ipsilateral dengan tidak ada respon terhadap rangsangan
langsung maupun konsensual terhadap cahaya - Hal ini disebabkan oleh
herniasi transtentorial dan kompresi dari serat parasimpatis dari saraf
kranial III
Bilateral, melebar, dan tidak responsif - Temuan ini merupakan
suatu pertanda buruk indikasi baik secara bilateral dikompresi saraf kranial
III atau anoksia serebral global dan iskemia.
Pupil melebar sepihak karena kompresi saraf kranial III dan biasanya
menunjukkan herniasi ipsilateral. Awalnya, refleks cahaya yang diawetkan, tetapi
sebagai herniasi berlangsung dan saraf kranial III dikompresi oleh lobus temporal,
pupil menjadi tidak responsif terhadap cahaya stimulus.
Ukuran pupil mungkin menyarankan tingkat cedera. Pinpoint pupil yang
hadir dalam lesi pontine. Pupil yang ada di midposition dan reaktif terhadap
cahaya, tetapi mempertahankan hippus dan respon terhadap akomodasi
mengindikasikan otak tengah cedera tectum.
Sindrom Horner atau penyempitan pupil ipsilateral, ptosis, dan anhydrosis
menemani kerusakan hipotalamus dan gangguan jalur simpatik. Ini juga dapat
menjadi tanda awal herniasi transtentorial. Nystagmus, ketika hadir, menunjukkan
cedera serebelum atau vestibular. Menonjol dari ubun-ubun merupakan tanda
15
-
peningkatan tekanan intrakranial (ICP).
Deviasi mata tonik adalah sekunder untuk lesi kortikal, disfungsi saraf
kranial, atau aktivitas kejang. Perdarahan retina menunjukkan trauma kepala
nonaccidental atau diderita peningkatan ICP. Papilledema, hilangnya pulsasi vena,
diamati dengan peningkatan ICP. Refleks (misalnya, kornea, muntah, dan
oculovestibular) dan adanya upaya pernapasan spontan dapat membantu dalam
menemukan tingkat cedera. Motor dan fungsi sensorik harus dinilai untuk
menentukan integritas dari sumsum tulang belakang. Refleks tendon dalam yang
simetris dan hiperaktif menunjukkan kepala atau cedera tulang belakang, sebagai
lawan refleks asimetris, yang menunjukkan lesi unilateral. Babinski refleks,
dorsofleksi dari kaki besar di stimulasi plantar, menunjukkan keterlibatan saluran
piramida. Bayi mungkin memiliki tanda positif biasanya, dan nilai dari tanda ini
dalam kelompok usia ini terbatas.
Kemampuan motorik dinilai melalui pengamatan langsung gerakan spontan
dan simetris, melalui aplikasi tekanan ke kuku, atau melalui aplikasi pusat stimulus
yang menyakitkan (misalnya menggosok sternum). Temuan mungkin termasuk yang
berikut:
Penurunan gerakan spontan atau keadaan normal, menunjukkan cedera
tulang lokal atau tulang belakang potensial
Posisi deserebrasi, menunjukkan kerusakan otak tengah
Posisi dekortikasi, menunjukkan kerusakan pada korteks serebral, materi
putih, atau ganglia basal
II.8 Pemeriksaan Penunjang(1,5)
Pemeriksaan Laboratorium
Hitung darah lengkap (CBC) harus dipantau serial, terutama ketika perdarahan
dicurigai pada pasien dengan trauma kepala. Studi kimia darah, termasuk tingkat
amilase dan lipase, memberikan informasi mengenai cedera organ lainnya.
Pemeriksaan profil koagulasi, waktu protrombin (PT), dengan rasio
normalisasi internasional (INR); diaktifkan parsial thromboplastin time (aPTT), dan
tingkat fibrinogen harus diperoleh pada pasien dengan trauma kepala karena pasien
ini mungkin memiliki dasar atau trauma-dipicu koagulopati. Nilai gas darah arteri
memberikan informasi mengenai oksigenasi, ventilasi, dan status asam-basa dan dapat
digunakan untuk membantu perawatan langsung lebih lanjut.
16
-
Pemeriksaan toksikologi darah atau urin harus diperoleh di samping panel
rutin, terutama pada pasien yang telah terjadi perubahan status mental, kejang, dan
sejarah yang tidak jelas.
CT-Scan(5)
Computed tomography (CT) dari kepala tetap studi pencitraan yang paling
berguna untuk pasien dengan trauma kepala berat atau tidak stabil beberapa cedera
organ.
Indikasi untuk CT scan pada pasien dengan cedera kepala meliputi anisocoria,
GCS skor kurang dari 12 (beberapa studi menunjukkan CT scan dalam setiap pasien
pediatrik dengan skor GCS
-
massa, pembesaran ventrikel mungkin menyarankan pengembangan
hidrosefalus dari perdarahan intraventrikular atau penyumbatan oleh efek massa
Kehadiran edema serebral seperti yang ditunjukkan oleh hilangnya demarkasi
materi abu-abu-putih
Dengan tidak adanya kerusakan neurologis atau peningkatan tekanan
intracranial (ICP), pemeriksaan rutin CT scan ulang lebih dari 24 jam setelah masuk
dan follow-up awal tidak dapat diindikasikan untuk keputusan tentang intervensi
bedah saraf.
MRI(5)
MRI adalah studi pencitraan lebih sensitif dibandingkan CT dalam pengaturan
ini, memberikan informasi lebih detil mengenai struktur anatomi dan pembuluh darah
dan proses mielinasi dan memungkinkan deteksi perdarahan kecil di daerah yang
mungkin melarikan diri CT scan.
MRI berguna untuk memperkirakan mekanisme awal dan luasnya cedera dan
memprediksi hasilnya pada pasien neurologis stabil. Hal ini tidak praktis dalam situasi
darurat, karena medan magnet menghalangi penggunaan monitor dan peralatan
pendukung kehidupan yang dibutuhkan oleh pasien yang tidak stabil. Selain itu,
waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan studi MRI yang tepat dapat menyebabkan
keterlambatan tidak dapat diterima dalam pengelolaan pasien dengan cedera otak
traumatik yang parah.
Meskipun sensitivitas MRI dipahami lebih unggul CT untuk evaluasi
intrakranial, itu tidak mudah diperoleh akut setelah cedera dan belum secara luas
divalidasi dalam studi besar, khususnya mengenai pengaruh pada keputusan
manajemen. Dalam prakteknya saat ini, sedikit bukti mendukung penggunaan MRI
dalam mempengaruhi manajemen pasien dengan TBI parah.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat dilakukan pada neonatus dan bayi kecil dengan ubun-ubun
terbuka dan dapat memberikan informasi mengenai perdarahan intrakranial atau
obstruksi dari sistem ventrikel.
II.9 Penatalaksanaan(1,6)
Terapi medis diarahkan untuk mengendalikan tekanan intrakranial (ICP)
melalui pemberian obat penenang dan neuromuskuler blocker, diuretik, dan
antikonvulsan. Selain itu mempertahankan cairan secukupnya juga tidak kalah
18
-
pentingnya.
1. Cairan Intravena
Pertahankan cairan secukupnya agar tetap normovolemik untuk emnghindari
dehidrasi dan terjadinya syo akibat perdarahan. Jangan menggunakan cairan glukosa
karena dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat memperberat dan
memperburuk keadaan otak. Beriksan cairan NaCl 0,9%.
2. Neuromuscular Blockers, NondepolarizingNondepolarisasi neuromuscular blockers yang digunakan dalam kombinasi
dengan obat penenang sebagai bagian dari proses intubasi cepat-urutan atau sebagai
sarana mengendalikan ICP.
Vecuronium
Vecuronium digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal dan
memberikan relaksasi neuromuscular selama intubasi dan ventilasi mekanik. Hal ini
diberikan sebagai tambahan untuk agen obat penenang atau hipnotis.
3. Anticonvulsants, BarbituratesBarbiturat digunakan sebagai tambahan untuk intubasi pada pasien dengan
trauma kepala dan dalam pengelolaan ICP. Mereka juga dapat digunakan sebagai
antikonvulsan. Penggunaannya harus disertai dengan pemantauan hemodinamik yang
tepat, karena dapat menyebabkan hipotensi dan apnea / Hypopnea.
Thiopental
Thiopental is the drug of choice for endotracheal intubation of patients with
head injury. It also decreases the ICP. Thiopental facilitates transmission of impulses
from the thalamus to the cortex, resulting in an imbalance in central inhibitory and
facilitative mechanisms.
Pentobarbital (Nembutal)
Pentobarbital adalah barbiturat short-acting dengan obat penenang, hipnotis,
dan antikonvulsan properti. Ini dapat digunakan dalam dosis tinggi untuk
menginduksi koma barbiturat untuk pengobatan refraktori peningkatan ICP.
Fenobarbital
Fenobarbital digunakan untuk kontrol kejang pada pasien dengan trauma
19
-
kepala.
4. Anxiolytics, BenzodiazepinesBenzodiazepin dapat digunakan untuk mendapatkan kontrol langsung dari
aktivitas kejang atau sebagai tambahan untuk narkotika dan neuromuskuler blocker
untuk mengontrol ICP. Penggunaan jangka panjang obat ini dapat mengubah temuan
pemeriksaan neurologis.
Midazolam
Midazolam adalah benzodiazepin short-acting dengan onset cepat tindakan.
Hal ini berguna dalam mengobati peningkatan ICP.
Lorazepam (Ativan)
Lorazepam adalah benzodiazepin long-acting digunakan sebagai
antikonvulsan untuk kontrol langsung dari aktivitas kejang.
5. DiureticsDiuretik mungkin memiliki efek yang menguntungkan dalam menurunkan ICP
dengan menurunkan cairan cerebrospinal (CSF) produksi, istimewa buang air di atas
zat terlarut, dan mengurangi kekentalan darah, dengan perbaikan selanjutnya aliran
darah otak (CBF).
Furosemide (lasix)
Furosemide adalah loop diuretik yang membantu menurunkan ICP melalui 2
mekanisme terpisah. Salah satu mekanisme mempengaruhi pembentukan CSF dengan
mempengaruhi pergerakan natrium air melintasi penghalang darah-otak, mekanisme
lain adalah ekskresi preferensial air di atas zat terlarut dalam tubulus distal.
Mannitol (Osmitrol)
Manitol merupakan diuretik osmotik yang menurunkan kekentalan darah dan
menghasilkan vasokonstriksi serebral dengan CBF normal. Penurunan ICP terjadi
setelah penurunan volume darah otak (CBV).
6. AnticonvulsantsAntikonvulsan dianjurkan sebagai tindakan pencegahan untuk pasien pada
peningkatan risiko untuk aktivitas kejang setelah trauma kepala. Tidak terbukti
adanya unsur efek yang menguntungkan dalam pencegahan kejang lebih dari 1
20
-
minggu setelah trauma kepala. Obat ini juga digunakan untuk kontrol langsung dari
kejang.
Phenytoin (Dilantin, Phenytek)
Fenitoin dapat bertindak di korteks motorik, di mana hal itu mungkin
menghambat penyebaran aktivitas kejang. Hal ini juga dapat menghambat aktivitas
dari pusat-pusat batang otak bertanggung jawab untuk fase tonik dari grand mal
kejang. Fenitoin lebih disukai untuk fenobarbital untuk mengendalikan kejang karena
tidak menyebabkan sebagai sistem saraf banyak tengah (CNS) depresi.
Fosphenytoin
Fosphenytoin adalah garam ester difosfat fenitoin yang bertindak sebagai larut
dalam air pro-obat fenitoin. Setelah pemberian, esterase plasma mengkonversi
fosphenytoin untuk fosfat, formaldehida, dan fenitoin. Fenitoin, pada gilirannya,
menstabilkan membran saraf dan menurunkan aktivitas kejang. Untuk menghindari
kebutuhan untuk melakukan penyesuaian berbasis berat molekul ketika mengkonversi
antara fosphenytoin dan natrium dosis fenitoin, mengungkapkan dosis seperti fenitoin
setara natrium (PE). Meskipun fosphenytoin dapat diberikan IV dan IM, rute IV
merupakan rute pilihan dan harus digunakan dalam situasi darurat.
Terapi non-medikamentosa seperti pembedahan diarahkan untuk
mengembalikan tekanan intrakranial (ICP) ke dalam batas normal, mengembalikan
pergeseran midline, kontrol perdarahan dan mencegah perdarahan ulang. Indikasi
operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
Status Neurologis
Status Radiologis
Ukuran Tekanan Intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intracranial :
Massa hematoma kira-kira mencapai 40 cc
Massa dengan pergeseran midline lebih dari 5 mm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran midline dengan
GCS 8 atau kurang
Kontusio Cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran midline lebih dari 5 mm
Pasien-pasien dengan penurunan kesadaran yang diikuti dengan peningkatan
tekanan intracranial lebih dari 25 mmHg.
21
-
II.10 Komplikasi(4)
Komplikasi jangka panjang dari cedera kepala yang umum pada anak-anak,
dan mereka terkait dengan cedera primer maupun sekunder. Kejang lebih sering
diamati dengan kontusio (lebih dengan hematoma subdural hematoma epidural
dibandingkan dengan), depresi patah tulang tengkorak, dan cedera kepala berat (skor
PGCs, 3-5).
Cedera saraf kranial dapat mengembangkan sekunder untuk fraktur tengkorak
basilar, efek massa, atau herniasi. Cerebral oculomotor karena cedera tengkorak saraf
VI, III, atau IV. Trauma saraf VII menyebabkan kelumpuhan saraf wajah. Gangguan
pendengaran dapat terjadi karena cedera saraf kranial VIII.
Sindrom pasca trauma dapat berkembang setelah trauma kepala ringan sampai
sedang dan terdiri dari lekas marah, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, gugup,
dan kadang-kadang perilaku atau gangguan kognitif. Gejala gegar otak mungkin lebih
umum yang dilaporkan sebelumnya, melibatkan komponen neurologis dan
nonneurologic, dan membutuhkan perhatian fisik, kognitif, dan gejala emosional
(terutama untuk pasien dengan gejala persisten).
Kebutaan kortikal, digambarkan sebagai kehilangan akut penglihatan setelah
trauma kepala, biasanya sembuh secara spontan dalam waktu 24 jam. Beberapa
mekanisme telah terlibat, termasuk edema serebral akut dan vasospasme sementara.
Kebutaan kortikal sekarang dianggap hasil dari perubahan transien kecil dalam fungsi
otak yang dipicu oleh peristiwa traumatis.
Trauma yang disebabkan migrain mungkin mulai dari menit sampai jam
setelah cedera dan dapat berlangsung dari jam ke hari. Beta-blocker merupakan obat
pilihan untuk komplikasi ini. Hasil Hidrosefalus baik dari obstruksi yang disebabkan
oleh perdarahan intraventrikular atau penurunan reabsorpsi CSF karena obstruksi
protein dari vili arachnoid.
Edema paru neurogenik dianggap akibat iskemia medula yang mengarah ke
peningkatan tonus simpatik dengan peningkatan berikutnya dalam tekanan pembuluh
darah paru dan pergeseran dalam distribusi darah dari sistemik ke sirkulasi paru-paru.
Infeksi paru sering hadir pada pasien dengan trauma kepala karena baik proses
aspirasi awal atau ventilasi mekanis berkepanjangan.
Keseluruhan hasil bagi anak-anak dengan cedera kepala lebih baik daripada
untuk orang dewasa dengan skor cedera yang sama. Waktu untuk pemulihan
maksimum setelah cedera lebih panjang pada anak-anak (bulan ke tahun)
22
-
dibandingkan pada orang dewasa (biasanya sekitar 6 bulan ). Pasien dengan beberapa
luka-luka organ, termasuk trauma kepala, umumnya memiliki hasil yang jauh lebih
buruk dibandingkan dengan cedera kepala saja.
Penilaian hasil didasarkan pada Pediatric Glasgow Coma Scale (PGCs) dapat
digunakan sebagai prediktor awal, tapi skala ini memiliki keterbatasan mengenai hasil
jangka panjang. Mekanisme cedera tampaknya menjadi prediktor signifikan dari hasil
klinis dan fungsional di debit untuk pasien cedera ekuivalen.
Menurut Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan, angka kematian dari
trauma kepala adalah 29% pada populasi anak. Data ini didasarkan pada informasi
kematian sertifikat, dan 29% bisa menjadi meremehkan tingkat sebenarnya. Data yang
dilaporkan oleh penelitian di pusat-pusat trauma menunjukkan bahwa cedera kepala
merupakan 75-97% kematian trauma pediatrik.
Pasien dengan trauma kepala berat dan skor 3-5 PGCs memiliki kematian 6-
35%, angka ini meningkat menjadi 50-60% bagi mereka dengan skor PGCs dari 3.
Dari mereka dengan skor PGCs 3-5 yang bertahan hidup, 90% membutuhkan
rehabilitasi setelah keluar rumah sakit, dan sebagian besar dari mereka akhirnya
kembali ke sekolah.
Faktor risiko yang terkait dengan peningkatan mortalitas anak-anak menderita
pelecehan, trauma kepala non-disengaja meliputi, tidak mengherankan, GCS rendah
(3 atau 4-5), perdarahan retina, perdarahan intraparenchymal dan edema serebral.
Anehnya, kehadiran subdural hematoma kronis dikaitkan dengan kelangsungan hidup.
Masalah memori jangka pendek dan waktu respon tertunda dilaporkan pada
10-20% anak dengan cedera kepala sedang sampai berat (skor PGCs, 6-8), terutama
jika koma berlangsung lebih dari 3 minggu. Pasien dengan skor 6-8 PGCs yang paling
mungkin untuk sadar kembali dalam waktu 3 minggu, tetapi sepertiga yang tersisa
dengan defisit neurologis fokal dan kesulitan belajar, terutama ketika koma
berlangsung di luar 3 minggu.
Lebih dari separuh anak-anak dengan skor 3-5 PGCs memiliki defisit
neurologis permanen. Pasien dengan skor PGCs dari 3 memiliki hasil neurologis
sangat miskin. Sebuah studi yang terutama diselidiki pasien TBI dewasa
mengungkapkan bahwa korban TBI diabetes memiliki rasio odds kematian yang tidak
menguntungkan (1,5), dengan tren yang buruk bagi pasien insulin-dependent diabetes
daripada yang noninsulin-dependent. Penelitian ini menimbulkan pertanyaan apakah
defisiensi insulin dapat menyebabkan kematian TBI, baik bersama atau bebas dari
23
-
perubahan glukosa setelah TBI.
Setidaknya, poin penelitian ini bahwa insulin teliti dan manajemen glukosa
pasien TBI diabetes, insulin yang cocok untuk karbohidrat administrasi yang
diperlukan, dapat membantu mengurangi angka kematian TBI pada populasi ini.
Perawatan masih harus diambil untuk tidak menginduksi kejadian hipoglikemik pada
pasien sakit kritis ketika mencoba untuk menghindari kekurangan insulin yang
berpotensi membahayakan.
II.11 Prognosis(1,2)
Keseluruhan hasil bagi anak-anak dengan cedera kepala lebih baik daripada
untuk orang dewasa dengan skor cedera yang sama. Waktu untuk pemulihan
maksimum setelah cedera lebih panjang pada anak-anak (bulan ke tahun)
dibandingkan pada orang dewasa (biasanya sekitar 6 bulan ). Pasien dengan beberapa
luka-luka organ, termasuk trauma kepala, umumnya memiliki hasil yang jauh lebih
buruk dibandingkan dengan cedera kepala saja. (1,2)
Penilaian hasil didasarkan pada Pediatric Glasgow Coma Scale (PGCs) dapat
digunakan sebagai prediktor awal, tapi skala ini memiliki keterbatasan mengenai hasil
jangka panjang. Mekanisme cedera tampaknya menjadi prediktor signifikan dari hasil
klinis dan fungsional di debit untuk pasien cedera ekuivalen.
Menurut Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan, angka kematian dari
trauma kepala adalah 29% pada populasi anak. Data ini didasarkan pada informasi
kematian sertifikat, dan 29% bisa menjadi meremehkan tingkat sebenarnya. Data yang
dilaporkan oleh penelitian di pusat-pusat trauma menunjukkan bahwa cedera kepala
merupakan 75-97% kematian trauma pediatrik.
Pasien dengan trauma kepala berat dan skor 3-5 PGCs memiliki kematian 6-
35%, angka ini meningkat menjadi 50-60% bagi mereka dengan skor PGCs dari 3.
Dari mereka dengan skor PGCs 3-5 yang bertahan hidup, 90% membutuhkan
rehabilitasi setelah keluar rumah sakit, dan sebagian besar dari mereka akhirnya
kembali ke sekolah. (1,2)
Masalah memori jangka pendek dan waktu respon tertunda dilaporkan dalam
10-20% dari anak-anak dengan cedera kepala sedang sampai berat (skor PGCs, 6-8),
terutama jika koma berlangsung lebih dari 3 minggu. Pasien dengan skor 6-8 PGCs
yang paling mungkin untuk sadar kembali dalam waktu 3 minggu, tetapi sepertiga
yang tersisa dengan defisit neurologis fokal dan kesulitan belajar, terutama ketika
24
-
koma berlangsung di luar 3 minggu. Lebih dari separuh anak-anak dengan skor 3-5
PGCs memiliki defisit neurologis permanen. Pasien dengan skor PGCs dari 3
memiliki hasil neurologis sangat miskin. (1,2)
BAB III.
KESIMPULANCedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu rudapaksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Sedangkan cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intracranial dan perubahan neurokimiawi.
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada
tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip
penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan
survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation,
disability dan exposure yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua
pasien cedera kepala perlu di rawat inap di Rumah Sakit.
25
-
BAB IV.
DAFTAR PUSTAKA
1. Verire MJ. Pediatric Head Trauma. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/907273. Accessed on May 29, 2013.
2. Chelly H, Chaari A, Daoud E, et al. Diffuse axonal injury in patients with head
injuries: an epidemiologic and prognosis study of 124 cases. J Trauma. Oct
2011;71(4):838-46.
3. Hymel KP, Stoiko MA, Herman BE, et al. Head injury depth as an indicator of
causes and mechanisms. Pediatrics. p. 712-20.
4. Pinto PS, Poretti A, Meoded A, Tekes A, Huisman TA. The unique features of
traumatic brain injury in children. Review of the characteristics of the
pediatric skull and brain, mechanisms of trauma, patterns of injury,
complications and their imaging findings--part 1. J Neuroimaging. p. 1-17.
5. Cakmakci H. Essentials of trauma: head and spine. Pediaticr Radiology. 39
Suppl 3: p. 391-405.
6. Kochanek PM, Carney N, Adelson PD, et al. Guidelines for the acute medical
management of severe traumatic brain injury in infants, children, and
adolescents--second edition. Pediatr Crit Care Med. p. 1-82.
26
3. Anticonvulsants, Barbiturates4. Anxiolytics, Benzodiazepines5. Diuretics6. Anticonvulsants