Download - Makalah Autis 2013 Fix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf
pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak
hingga masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat
anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan
sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua
arah (Wijayakusuma, 2004)
Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom
autisme berbeda – beda. Ada varian symptom yang ringan dan ada juga
yang berat. Akan tetapi, secara umum dapat dispesifikasikan kedalam
tiga hal yang mencakup kondisi mental, kemampuan berbahasa serta
usia si anak.
Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari
berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa
negara menunjukan bahwa 2 – 4 anak per 10.000 anak berpeluang
menyandang austime dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki –
laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentan
menyandang sindrom autisma dibandingkan anak perempuan. Bahkan
diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak autisme pada tahun
2010 akan mencapai 60 % dari keseluruhan populasi anak di seluruh
dunia.
Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalang-
an ekonomi menengah keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya
tidak seimbang.
Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia,
berbagai jenis penyembuhan telah dilakuan. Beberapa implementasi
penyembuhan tersebut bukan hanya bersifat psikis, tetapi juga fisik,
mental, emosional hingga fisiologis. Tetapi penyembuhan yang diterap-
kanpun dilakukan dengan berbagai varian teknik, diantaranya teknik bela-
jar dan bermain yang dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal.
Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara
meluas, ada yang melibatkan peran serta orang tua dan ada juga yang
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
1
tidak. Ada yang dapat dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah dan ada
juga terapi yang memerlukan bantuan sejumlah ahli atau terapis. Inti dari
sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir berbagai
symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang
disandang anak.
Yang terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme
hendaknya tetap melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuan-
nya agar setiap orang tua merasa memiliki andil atas kemajuan yang
dicapai anak autisma mereka dalam setiap fase terapi. Dengan kata lain,
orang tua tidak hanya memasrahkan perbaikan anak autisme kepada
para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan tingkat perbaikan yang
perlu dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan terbentuk suatu ikatan
emosional yang lebih kuat antara orang tua dengan anak autismenya dan
hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional dan mental
si anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Yang melatar belakangi pembuatan askep yang berjudul autisme
yaitu adanya penugasan dari dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan
keingintahuan kami mengenai konsep dasar dan askep autisme itu
sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah definisi dari autisme ?
1.2.2. Ada berapa pengelompokan autisme ?
1.2.3. Bagaiman etiologi autisme ?
1.2.4. bagaimana karakteristik autisme ?
1.2.5. Bagaimana penatalaksanaan autisme ?
1.2.6. bagaimana askep autisme ?
1.3. Tujuan
1. Tujuan umum
Pembaca dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep
autisme.
2. Tujuan khusus
Setelah membaca askep ini, pembaca mampu :
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
2
1. Menjelaskan definisi dari autisme
2. Menjelaskan pengelompokan autisme
3. Menjelaskan penatalaksanaan autisme
4. Menjelaskan karakteristik autisme
5. Menjelaskan etiologi autisme
6. Menjelaskan askep autisme
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
3
BAB II
KONSEP TEORI
2.1. Definisi
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir
ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk
hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut
terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas
dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan
kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat
tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem
syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak –
kanak hingga masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut
membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin
hubungan social secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin
komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)
2.2. Epidemiologi
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi.
Dua puluh tahun yang lalu hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis.
Lima tahun yang lalu 1 dari 1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166 anak,
dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak
autis baru (Dwinoto, 2008).Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta,
hingga saat ini belum diketahui persis jumlah anak autis namun
diperkirakan dapat mencapai 150 -200 ribu orang. Perbandingan laki dan
perempuan 4 : 1, namun pasien anak perempuan akan menunjukkan
gejala yang lebih berat.Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh
semua anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survai dari
beberapa Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000 anak
berpeluang menyandang autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan
perempuan; anak laki-laki lebih rentan menyandang sindrom autisme
dibandingkan anak perempuan (Sari, 2009).Anak laki-laki memiliki
hormon testosteron yang mempunyai efek yang bertolak belakang
dengan hormon estrogen pada perempuan, hormon testosteron
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
4
menghambat kerja RORA (retinoic acid-related orphan receptor-alpha)
yang berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen meningkatkan
kinerja RORA (Darmawan, 2009)
2.3. Pengelompokan Autisme
Dr. Faisal Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok,
yaitu :
1. Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme
internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir.
2. Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar
(6 – 7 tahun) sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis.
Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu pertama.
Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan
tertentu berulang – ulang dan kadang – kadang disertai kejang –
kejang.
3. Autisme yang Timbul Kemudian
2.4. Etiologi
Danuatmaja (2003) menyebutkan beberapa hal yang diduga
menjadi faktor penyebab terjadinya autisme, yaitu antara lain :
a. Gangguan Susunan Saraf Pusat
Ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat)
pada beberapa tempat didalam otak anak autis. Banyak anak autis
mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI-VII. Seharus-
nya, dilobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje. Namun, pada anak au-
tis jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibatnya, produksi serotonin ku-
rang, menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar-otak.
Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam
otak sehingga emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini mem-
bantu dokter menentukan obat yang lebih tepat. Obat-obatan yang ba-
nyak dipakai adalah dari jenis psikotropika yang bekerja pada susunan
saraf pusat. Hasilnya menggembirakan karena dengan mengkonsumsi
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
5
obat-obatan ini pelaksanaan terapi lainnya lebih mudah. Anak lebih mu-
dah untuk diajak bekerja sama.
b. Gangguan Sistem Pencernaan
Ada hubungan gangguan pencernaan dengan gejala autis. Tahun
1997, seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pen-
cernaan yang sangat buruk. Ternyata, ia kekurangan enzim sekretin.
Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuh dan mengalami ke-
majuan yang luar biasa (Budhiman, 2002). Kasus ini memicu penelitian-
penelitian selanjutnya pada gangguan metabolism pencernaan.
Contoh Konkritnya adalah Peradangan Dinding Usus
Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan
usus pada sejumlah anak autis yang memiliki pencernaan buruk
ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar anak
(Budhiman, 2002). Dr. Andrew ahli pencernaan asal Inggris, men-
duga peradangan tersebut disebabkan virus, mungkin virus cam-
pak. Itu sebabnya, banyak orangtua yang kemudian menolak
imunisasi MMR (measles, mumps, rubella) karena diduga menjadi
biang keladi autis pada anak. Temuan Wakefield diperkuat sejum-
lah riset ahli medis lainnya.
Namun teori ini hingga sekarang masih kontroversial menge-
nai vaksinasi MMR yang diberikan pada usia 15 bulan, juga teori
penggunaan antibiotik, stres, merkuri dan berbagai toksin yang
ada di lingkungan. Tetapi semua mungkin hanya merupakan
pemicu saja, yang bias terjadi pada anak yang sudah mempunyai
riwayat genetik. Di antara berbagai teori tersebut, teori yang
berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai
dibicarakan (Sari, 2009).
c. Faktor genetika.
Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme. Namun, gejala
autisme baru muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. bias saja
autisme tidak muncul, meski anak membawa gen autisme. Jadi perlu
faktor pemicu lain.Hasil penelitian terhadap keluarga dan anak kembar
menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembang-
an autisme. Pada anak kembar satu telur ditemukan sekitar 36 – 89 %,
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
6
sedang pada anak kembar dua telur 0 %. Pada penelitian terhadap
keluarga ditemukan 2,5 – 3 % autisme pada saudara kandung, yang
berarti 50 - 100 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal
(Masra, 2002)
d. Keracunan logam berat.
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan
darah ditemukan kandungan logam berat dan beracun pada banyak
anak autis. Diduga, kemampuan sekresi logam berat dari tubuh
terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya menemukan logam
berat seperti arsenik (As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa (Hg),
dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat. Tahun 2000, Sallie
Bernard, ibu dari anak autis, menunjukan penelitiannya, gejala yang
diperlihatkan anak-anak autis sama dengan keracunan merkuri.
Dugaan ini diperkuat dengan membaiknya gejala autis setelah anak-
anak mlakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh
mereka) (Budhiman, 2002)
e. Alergi.
Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autisme dipengaruhi
dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi
alergi. Dari penelitian yang pernah dilakukan, dilaporkan bahwa
autisme berkaitan erat dengan alergi (Judarwanto, 2004).
Penelitian lain menyebutkan setelah dilakukan eliminasi makanan
beberapa gejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini
dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan
adanya perbaikan gejala pada anak autisme yang menderita alergi,
setelah dilakukan penanganan eliminasi diet alergi. Beberapa laporan
lain mengatakan bahwa gejala autisme semakin memburuk bila
manifestasi alergi muncul (Judarwanto, 2004).
f. Teori disfungsi metabolik.
Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai makanan, dan
dilaporkan bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan tingkah laku pada pasien autis. Makanan yang mengandung
amino phenolic itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat,
pisang, apel. Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi
menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
7
menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut
tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolic. Komponen
amino phenolic merupakan bahan baku pembentukan neurotransmiter;
jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi
katekolamin yang toksik bagi saraf.
g. Teori infeksi kandida.
Ditemukan beberapa Strain candida di saluran pencernaan dalam
jumlah sangat banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya
akan menyebabkan terganggunya flora normal anak. Laporan
menyebutkan bahwa infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai pada
anak yang banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
yeast dan karbohidrat, karena pada makanan tersebut Candida dapat
tumbuh subur. Makanan jenis ini dilaporkan menyebabkan anak
menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan
antara beratnya infeksi Candida albicans dengan gejala-gejala
menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku
dan penurunan kontak mata. (Adams and Conn, 1997). Tetapi Dr
Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang autis,
mengatakan bahwa sampai sekarang hubungan antara keduanya
kemungkinannya masih sangat kecil.
h. Teori kelebihan opiod dan hubungan gluten dan protein kasein.
Teori ini mengatakan bahwa pencernaan anak autis terhadap
kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah
sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke
dalam aliran darah dan menimbulkan efek morfin di otak anak. Di
membran saluran cerna kebanyakan pasien autis ditemukan pori-pori
yang tidak lazim, yang diikuti dengan masuknya peptida ke dalam
darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan
berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut
berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas
gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat
mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Dengan demikian
implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh
kesembuhan pasien.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
8
Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa
dipakai dalam pembuatan bir serta gandum hitam sedangkan protein
kasein ditemukan mempunyai aktivitas opiod saat protein tidak dapat
dipecah.
Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22
anak autis mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan
dengan 5 anak autis yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6
pasien autis yang digunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah 3
bulan, pada diet bebas gluten terjadi perbaikan verbal dan komunikasi
non verbal, pendekatan afektif, motorik, dan kemampuan anak untuk
perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkan pada kelompok
makanan yang masih mengandung gluten justru semuanya memburuk.
Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yang sangat
kecil, tapi cukup bisa diterima sampai sekarang.
Pentingnya penanganan diet pada pasien autis tak kalah
pentingnya dari farmakoterapi dan fisioterapi, untuk itulah masalah
alergi makanan pada anak dengan gangguan spektrum autisme harus
dilakukan secara holistik.
2.5. Tanda dan Gejala
Secara umum ada beberapa gejala autisme, yang akan tampak
semakin jelas saat anak mencapai usia 3 tahun, yaitu :
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti
terhambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri
yang tidak dapat dimengerti, echolalia, dan ssering meniru dan
mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.
2. Gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata,
tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, dan lebih suka
bermain sendiri.
3. Gangguan pada bidang perilakuyang terlihat dan adanya perilaku yang
berlebih (excesive) dan kekurangan (deficient), seperti impulsive,
hiperaktif, repetitive, namun dilain waktu terkesan pandangan yang
sama dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda
tertentu, seperti gambar, karet, dan lain-lain, yang dibawanya kemana-
mana.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
9
4. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati,
simpati dan toleransi. Kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa
sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa kendali bila tidak
mendapatkan apa yang ia inginkan.
5. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan
menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung
menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, dan seterusnya.
Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua pada setiap
anak autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita
anak (Wardhani, 2008)
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) dengan minimal 2
gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik. Minimal
harus ada dua gejala dari gejala – gejala dibawah ini :
a) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak
mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik
kurang tertuju.
b) Tak bias bermain dengan teman sebaya.
c) Tak ada empati
d) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional
yang timbal balik.
2) Gangguan kuantitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada
satu gejala dari gejala dibawah ini :
a) Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak
berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara
non-verbal
b) Bila anak bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
c) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat
meniru.
3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam
prilaku, minat dan kegiatan, minimal harus ada satu gejala dari gejala
dibawah ini :
a) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas
dan berlebihan
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
10
b) Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak
ada gunanya
c) Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d) Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
4) Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan
dalam bidang:
a) Interaksi social
b) bicara dan berbahasa
c) cara bermain yang monoton dan kurang variatif
5) Bukan disebabkan oleh Rett Syndrome atau gangguan Disintegrasi
Masa Kanak
Handojo (2008) menyebutkan dari kelainan anatomis dan fungsi dari
bagian otak, maka timbulah gejala yang dapat kita amati. Baik ICD – 10
1993 (International Classification of Diseases) dari WHO maupun DSM – IV
(Diagnostic and Statistical Manual) 1995, dari grup Psikiatri Amerika,
keduanya menetapkan kriteria yang sama untuk autisme anak.
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara)
dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka
tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang
didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi
potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan
kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial
abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan
berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan
bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat
memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak
austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan
bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan
waktu untuk bermain sendiri.
b. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang
mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-
bagian tubuh.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
11
c. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya,
menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut
dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan
objek mekanik.
d. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan
anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai
perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan
dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f. Kontak mata minimal atau tidak ada.
g. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan,
pengunyahan benda, dan menggosok permukaan
menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap
rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan
kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang
mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada
rangsangan lain.
h. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif
tampak pada emosional
i. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata
secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial,
berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh
lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk
berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan
kecakapan pada umur 2 tahun.
j. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam
retardasi secara fungsional.
k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan
tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai,
melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
2.6. Karakteristik
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini
dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik
dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
12
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami
bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di
sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang
dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku
yang tertentu. Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat
beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi,
dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak
'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya
sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat
(echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi
umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit
memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu
terdapat individualitas yang unik dari individu-individu
penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan
pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan
peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child
Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan
5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk,
dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di
usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada
usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak
tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan
autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan
evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog,
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
13
Pediatric, Terapi Wicara , Paedagog dan profesi lainnya yang memahami
persoalan autisme.
2.7 Cara Mengetahui Autisme pada Anak Sejak Dini
Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan :
a. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
b. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
c. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah,
diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi
normal.
Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.
a. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau
menjadi tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak
bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye),
anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada
bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi,
menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak
terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-
benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain
sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau
sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua
orang tuanya.
c. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak
merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari.
Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia
(mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah
beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang
aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas
(walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi
bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.
Ciri yang khas pada anak yang austik :
a. Defisit keteraturan verbal.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
14
b. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
c. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau
dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
a. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
b. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
c. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel
dan tidak imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3
tahun.
2.8 Penatalaksanaan Autisme
1. Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied
Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari
University of California Los Angeles (UCLA) (Rudy, 2007). Dalam terapi
perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif
setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak
ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak
berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali
maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.
Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk
berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif
(atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan (Muhardi, 2009).
Dalam suatu penelitian dikatakan dengan terapi yang intensif selama 1-2
tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan
fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding kelompok anak yang tidak
memperoleh terapi intensif.
Bahkan pada akhir terapi sekitar 42% dapat masuk ke sekolah
umum (Gamayanti, 2003). Menurut Sutadi (2003), walaupun tidak bisa
disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sedini mungkin
sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil penatalaksa-
naan terapi setelah usia lima tahun akan berjalan lebih lambat.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
15
2. Terapi Biomedik
Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melalui
perbaikan metabolism tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter
yang berwenang, vitamin dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6,
risperidone, dll (Veskarisyanti, 2008). Sedangkan menurut Handojo
(2008), obat- obatan yang dipakai terutama untuk penyandang autisme,
sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya
sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis yang memahami dan
mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak). Baik obat
maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena
baik obat maupun vitamin dapat memberikan yang tidak diinginkan.
Vitamin banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah
lebih dahulu sebelum membeli dan memberikannya kepada penyandang
autisme. Terapi biomedik tidak menggantikan terapi‐terapi yang telah ada,
seperti terapi perilaku, wicara, okupasi dan integrasi sensoris. Terapi
biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan memperbaiki “dari
dalam”. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat
terjadi (Muhardi, 2009).
3. Terapi Integrasi Sensori
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengar-
tikan seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun ling-
kungan, dan kemudian menghasilkan respons yang terarah.
Disfungsi dari integrasi sensoris atau disebut juga disintegrasi
sensoris berarti ketidak mampuan untuk mengolah rangsang sensoris
yang diterima. Gejala adanya disintegrasi sensoris bisa tampak dari :
pengendalian sikap tubuh, motorik halus, dan motorik kasar. Adanya
gangguan dalam ketrampilan persepsi , kognitif, psikososial, dan
mengolah rangsang. Namun semua gejala ini ada juga pada anak dengan
diagnosa yang berbeda (Handojo, 2008).
4. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam
perkembangan motorik halus. Gerak‐geriknya kaku dan kasar, mereka
kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
16
memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih
mempergunakan otot ‐otot halusnya dengan benar (Muhardi, 2009).
5. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme yang
dalam pelaksanaannya harus meibatkan peran aktif dari orang tua.
Psikoterapi menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan non verbal
yang memungkinkan orang tua lebih mendekatkan diri kepada anak
autisme mereka dan lebih mengenal lagi berbagai kondisi anak secara
mendetail guna membantu proses penyembuhan anak.
6. Terapi Diet
a. Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai
dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari
makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein. Gluten
adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput”
seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi
kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan
sejenis. Sedangkan jenis bahan makanan sumber kasein adalah susu
sapi segar (mengandung 80% kasein), susu skim, tepung susu, dan
produk olahan susu seperti, keju, mentega, margarine, krim, yoghurt,
es krim (Hariyadi, 2009).
Meskipun masih kontroversial namun teori adanya kelainan peptida di
otak yaitu ditemukannya gliodorphin dan casomorphin, adanya zat
tersebut pada penderita dapat dideteksi dengan pemeriksaan tes
peptida urin dimana ditemukan zat sejenis opioid yang merupakan
hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan kasein
(Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal ini yang mendasari diet bebas
gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena gluten dan kasein
dapat menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008).
Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan
menyebabkan masalah yang serius/memicu timbulnya gejala. Pada
umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok
orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
17
Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya
dapat dilihat dalam waktu antara 1‐3 minggu. Menghindari makanan
sumber gluten dan kasein meningkatkan perbaikan 65% anak autis.
Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut tidak ada
kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat diberi
makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil penelitian oleh
Ishak (2008), menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian diet
terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkan menurut Hyman
(2010), tidak ada efek khusus pada perkembangan prilaku dengan
terapi diet bebas gluten dan kasein dikatakan juga diet gluten dan
casein tidak berkaitan dengan sifat agresif penderita autisme dan
kinerja usus mereka, dikarenakan banyak faktor yang
mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi mana yang paling
sesuai dan efektif pada masing-masing anak.
Didalam penelitan Hyman (2010), responden penelitian tidak
mengalami perubahan dalam pola aktivitas dan frekuensi tidur. Anak-
anak menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa dan minat
setelah diberikan terapi gluten dan kasein dan diukur gejala yang
timbul dengan Ritvo Freeman Real Life Rating Scale namun tidak
mencapai signifikansi statistic
b. Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambah rasa
sintetis, aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin
ada dalam makanan dapat memperparah keadaan anak autis
(Hariyadi, 2009). Contoh bahan makanan yang mengandung zat aditif
adalah sosis, kornet, chicken nugget dan lain-lain. Beberapa zat
pewarna merusak DNA yang menyebabkan mutasi genetik.
Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG dapat mempengaruhi
saraf otak (Sunartini, 2003).
c. Diet bebas fenol dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis
pengaturan pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa
salisilat mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan
makanan yang harus dihindari adalah almond, apel, tomat, mangga
muda dan alpokat. Efek yang dimungkinkan dari bahan makanan yang
mengandung salisilat dapat memperberat kebocoran usus (Budhiman,
2002). Diet bebas fenol dimaksudkan untuk menghindari jenis bahan
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
18
makanan yang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme karena dapat
memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan
makanan ini berupa jus apel, jus jeruk, coklat, dan anggur merah
(Hariyadi, 2009).
d. Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan pola makan,
disarankan juga untuk mengkonsumsi berbagai suplemen bagi anak
autisme. Suplemen-suplemen tersebut adalah vitamin C, mineral Zn,
enzim, melatonin (semacam hormone untuk memperbaiki jam biologis
tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002).
Faisal Yatim pun memberikan tip – tip untuk mengelola penderita
anak autisme, berikut ini :
a. Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan
perilaku yang mana kira – kira yang perlu ditingkatkan
b. Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku
tersebut
c. Menentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan
perilaku tersbut
d. Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan
atau mengurangi penyimpangan perilaku
e. Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang
terlibat ikut peduli dengan program tersebut
f. Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang
direncanakan bisa berjalan dengan konsisten
g. Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan
terlalu mengharapkan hasilnya dalam waktu singkat
h. Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah
hasil yang anda harapkan tercapai, ingat, beberapa jenis
kelainan perilaku tidak mudah untuk diubah. Salah seorang
ahli manganjurkan 3 bulan setelah program dilaksanakan baru
dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal
i. Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis
pengobatan bagi anak autisme, yang bisa mengurangi
kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam dunianya
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
19
j. Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan,
misalnya waktu berekreasi juga dianjurkan oleh para
professional. Pengobatan secara psikologi dan bermain
termasuk yang dianjurkan.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
2. data subyektif dan obyektif
a. Kegagalan untuk membentuk hubungan antar pribadi, dicirikan oleh
sifat tidak responsif pada orang; kurangnya kontak mata dan sifat
responsif pada wajah, pengabaian atau keengganan terhadapa kasih
sayang dan kontak fisik. Pada awal masa kanak-kanak, ada kegagalan
untuk mengembangkan kerjasama dalam bermain dan persahabatan.
b. kelainan pada komunikasi (verbal dan non verbal), dicirikan oleh tidak
adanya bahasa atau jika dikembangkan, sering adanya struktur
gramatik yang tidak matang, penggunaan kata-kata yang tidak benar,
ekolalia atau ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan
abstrak. Ekspresi non verbal yang menyertai bisa menjadi tidak sesuai
atau tidak ada.
c. Respon-respon kacau terhadap lingkungan, dicirikan oleh perlawanan
atau reaksi-reaksi perilaku yang ekstrem terhadap peristiwa-peristiwa
kecil, kasih sayang yang mengganggu pikiran yang tidak normal
terhadap benda-benda aneh, perilaku - perilaku yang ritualisitik.
d. Rasa tertari yang ekstrem terhadap benda-benda yang bergerak (mis,
kipas angin, kereta api). Minat khusus terhadap musik, bermain-main
dengan air, kancing atau bagian dari tubuh.
e. Tuntutan yang tidak beralasan terhadap keharusan untuk mengikuti
kebiasaan sehari-hari dengan rincian yang tepat (Misalnya : menuntut
keharusan untuk selalu mengikuti rute yang sama apabila pergi
berbelanja).
f. Kesusahan yang terlihat terhadap perubahan-perubahan pada aspek-
aspek yang sepele dari lingkungan (misalnya : Apabila vas bunga
dipindahkan dari tempat biasanya).
g. Gerakan-gerakan tubuh stereotip (Misalnya : menjetik - jentikan tangan
atau memilin - milin tangan, berputar - putar, gerakan seluruh tubuh
yang kompleks).
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
21
3. Pemeriksaan penunjang :
Darah, urine dan faeces untuk mengetahui :
Gangguan pencernaan
Jamur/parasit / bakteri di dalam usus
Alergi makanan
Peptide / morphin dalam urine
Kelainan genetik
Kerusakan sel & pembuluh darah otak
auto imunitas
Mineral & logam berat (Pb, Cad, Hg, As, Ai)
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
22
3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Umum
No.Diagnosa
keperawatan
Tujuan dan kriteria
hasilIntervensi Rasional
1. Kerusakan Interaksi
Sosial Berhubungan
Dengan Gangguan
konsep diri
Tujuan:
Jangka pendek
Pasien akan men-
demonstrasikan ke-
percayaan pada se-
orang pemberi pera-
watan
Jangka panjang
Pasien akan memu-
lai interaksi-interaksi
sosial (fisik, verbal,
nonverbal) dengan
pemberi perawatan
saat pulang
1) Kaji pola interaksi antara pasien
dan orang lain
2) Berikan informasi tentang sumber-
sumber dikomunitas
3) Berikan anak benda-benda yang
dikenal (misalnya mainan kesuka-
an
4) Sampaikan sikap yang hangat,
1) Dengan mengetahui pola
interaksi antara pasien dan
orang lain dapat menentukan
seberapa jauh kerusakan
interaksi sosial yang klien alami
serta memudahkan pemilihan
intervensi yang tepat
2) Informasi tentang sumber-
sumber komunikasi yang tepat
dapat membantu pasien atau
meningkatkan interaksi sosial
setelah pemulangan
3) Benda-benda ini memberikan
rasa aman dalam waktu-waktu
aman bila anak merasa distres
4) Karakteristik-karakteristik ini
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
23
Kriteria hasil :
i. Menunjukan
partisipasi
bermain
ii. Menunjukan
keterampilan
interaksi sosial
iii. Menunjukan
perkembangan
anak
iv. Menunjukan
keterlibatan
sosial
dukungan, dan kebersediaan keti-
ka pasien berusaha untuk meme-
nuhi kebutuhan-kebutuhan dasar-
nya.
5) Mulai dengan penguatan yang
positif pada kontak mata, perkenal-
kan secara berangsung-angsur de-
ngan sentuhan, pelukan.
meningkatkan pembentukan
dan mempertahankan hubung-
an saling mempercayai
5) Pasien autistik dapat merasa
terancam oleh suatu rangsang-
an yang gencar pada pasien ti-
dak terbiasa
2. Kerusakan komunkasi
verbal berhubungan
dengan Stimulasi
sensorik yang tidak
sesuai
Tujuan :
Jangka pendek
Pasien akan mem-
bentuk kepercayaan
dengan seorang
pemberi perawatan
1) Kaji dan dokumentasikan tentang
pasien menyangkut komunikasi
2) Instruksikan kepada pasien dan
1) Hasil pengkajian perihal komuni-
kasi klien diharapkan dapat me-
ngetahui karakteristik komunikasi
yang digunakan oleh pasien dan
seberapa jauh kerusakan komu-
nikasi yang klien alami.
2) Alat bantu bicara sejauh ini efektif
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
24
Jangka panjang
Pasien telah mem-
buat cara-cara
untuk mengkomuni-
kasikan (secara ver-
bal dan non verbal )
kebutuhan-
kebutuhan dan
keinginan –
keinginan kepada
staf dengan pelak-
sanaan
Kriteria hasil :
Pasien dapat me-
nunjukan kemam-
puan komunikasi
keluarga tentang penggunaan alat
bantu bicara
3) Gunakan posisi berhadapan, ber-
tatapan, untuk menyampaikan
ekspresi-ekspresi non verbal yang
benar
4) Berikan perawatan dalam sikap
yang rileks tidak terburu-buru,dan
tidak menghakimi.
untuk memudahkan pasien untuk
menyampaikan komunikasinya
3) Kontak mata mengekspresikan
minat yang murni terhadap dan
hormat kepada seseorang
4) Bentuk perawatan seperti ini me-
mungkinkan kita sebagai perawat
untuk memahami tindakan dan
komunikasi pasien serta dapat
melakukan perawatan secara
efektif
3. gangguan indentitas
pribadi berhubungan
dengan Stimulasi
sensorik yang tidak
Tujuan :
Jangka pendek
Pasien akan
menyebutkan
1) Bantu anak dalam menyebutkan
bagian-bagian tubuhnya
1) Dengan klien mengetahui bagian-
bagian tubuhnya setelah dilaku-
kannya kegiatan ini dapat me-
ningkatkan kewaspadaan anak
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
25
sesuai bagian-bagian tubuh
diri sendiri dan
bagian-bagian tubuh
dari pemberi
perawatan
Jangka panjang
Pasien akan
membentuk identi-
tas ego (ditunjukan
oleh kemampuan
untuk mengenali
fisik dan emosi diri
terpisah dari orang
lain) saat pulang.
Kriteria hasil :
Menunjukan identi-
tas dengan meng-
ungkapkan pengu-
atan identitas priba-
2) Tingkatkan kontak fisik secara
tahap demi tahap menggunakan
sntuhan sampai kepercayaan anak
telah terbentuk
3) Beritahu orang tua tentang pen-
tingnya perhatian dan dukungan
mereka terhadap konsep diri yang
positif pada perkembangan anak-
nya
terhadap diri sebagai sesuatu
yang terpisah dari orang lain
2) Kontak fisik yang tergesa-gesa
dapat diinterprestasikan sebagai
suatu ancaman oleh pasien
3) Dukungan perhatian dan konsep
diri dari orang-orang terdekat
terutama orang tua dapat me-
ningkatkan pencapaian harga diri
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
26
di
4. Resiko tinggi terha-
dap mutilasi diri ber-
hubungan dengan
reaksi-reaksi yang
histeris terhadap
perubahan-perubahan
pada lingkungan
Tujuan:
Jangka Pendek
Pasien tampak te-
nang, mendemons-
trasikan perilaku -
perilaku alternatif
(misalnya : memulai
interaksi antara diri
dengan perawat)
sebagai respon
terhadap
kecemasan.
Jangka Panjang
Pasien tidak akan
melukai diri
Kriteria Hasil :
Menunjukan
penahanan mutilasi
1) Kaji respon pasien terhadap
lingkungan untuk menentukan jika
ada stresor yang dapat menye-
babkan tindakan mencederai diri
2) Tindakan untuk melindungi anak
apabila perilaku-perilaku mutilatif
diri, seperti mamukul-mukul/
membentur-benturkan kepala atau
perilaku-perilaku histeris lainnya
menjadi nyata
3) Gunakan alat-alat protektif untuk
mencegah tindakan mencederai
diri
1) Respon-respon yang pasien
tunjukkan terhadap efek-efek
lingkungan tertentu dapat
berpeluang terjadinya tindakan
mencederai diri yang dilakukan
oleh klien
2) Perawat bertanggung jawab
untuk menjamin keselamatan
pasien
3) Alat-alat yang bersifat protektif
sangat diperlukan untuk memi-
nimalisir cedera akibat tindakan
memukul-mukul kepala, sarung
tangan untuk mencegah
menarik-narik rambut, dan pem-
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
27
diri dengan mencari
bantuan ketika ingin
merasa mecederai
diri ,tidak membawa
peralatan untuk
mencederai diri
4) Bekerja pada dasar satu perawat
untuk satu anak
5) Tawarkan diri kepada anak selama
waktu-waktu meningkatnya anise-
tas
berian bantalan yang sesuai un-
tuk melindungi ekstremitas ter-
luka selama terjadinya gerakan-
gerakan histeris yang klien
lakukan.
4) Dengan prinsip satu perawat
satu anak dapat membentuk ke-
percayaan anak pada perawat
tersebut, lebih-lebih sulitnya
membangun komunikasi efektif
pada anak dengan autis
5) Ketika klien mengalami pening-
katan ansietas sangat penting
sekali sosok pendamping yang
dekat atau telah mendapat ke-
percayaan dari klien karena da-
pat menurunkan kebutuhan pa-
da perilaku-prilaku mutilasi diri
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
28
dan memberikan rasa aman
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
29
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan
berinteraksi social serta mengalami gangguan sensoris,pola bermain dan
emosi. Penyebabnya karena antar jaringan otak tidak sinkron. Ada yang
maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Penyebab autisme
sangat kompleks, tak lepas dari factor genetika dan lingkungan social.
Terapi penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai
varian tehnik, diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan
secara vebal maupun non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada juga
yang tidak.
Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir
berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang
tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang
disandang anak.
Autisme masa kanak kanak adalah gangguan perkembangan yg
sangat kompleks. Prevalensi masih sedang meningkat dgn pesat, Timbulnya
gejala seringkali dicetuskan oleh penyebab organ biologis. Para Profesional
harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan supaya dapat bekerja
samamelakukan pengobatan yg tepat dan terpadu.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
30
DAFTAR PUSTAKA
Sacharin, r.m.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. EGC: Jakarta
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3.
FKUI : Jakarta.
Mary. C.T. 1998. Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan
psikiatri. EGC : Jakarta.
Maramis, W.F. 2005. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Airlangga : Jakarta.
Ahira, Anne. 2009. Seputar Penyakit Autisme. Available at
http://www.anneahira.com/penyakit-autisme.htm diakses pada Minggu
15 September 2013 pukul 11.00 WIB.
Danuatmaja, B. (2004). Menu Autis. Jakarta: Pustaka Pembangunan
Swadaya Nusantara.
Budhiman, M. P. (2002). Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan
Memperbaiki Metabolisme Tubuh. Jakarta: Penerbit Majalah Nirmala.
Sari, I. D. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. CDK (Cermin Dunia
Kedokteran) , 89-93.
Judarwanto, W. (2004). Alergi Makanan dan Autisme. Available at
http://putrakembara.org/fajarid.shtml diakses pada hari Minggu, 15
September 2013, pukul 11.12 WIB.
Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. In Apa dan
Bagaimana Autisme; Terapi Medis Alternatif (pp. 1-37). Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Handojo, Y. (2008). Autisme. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok
Gramedia.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
31
Muhardi, A. (2009). Autisme. Retrieved November 4, 2010, available at
Autis.info: http://www.autis.info/ diakses pada hari Minggu, 15
September 2013 pukul 12.00 WIB.
Rudy, L. J. (2007). What is the Difference Between ABA, Discrete Trials,
dan "The Lovaas Method?". Available at http://autisme.about.com/od/
treatmentoptions/f/WhatisABA.htm diakses pada hari Minggu, 15
September 2013 pukul 12.10 WIB.
Gamayanti, I. (2003). Aspek Psikologis pada Anak Autis. Temu Ilmiah
Dietetik VI. Yogyakarta.
Sutadi, R. (2003). Autisme. Konferensi Nasional Autisme Indonesia.
Jakarta.
Makalah Asuhan Keperawatan pada Pasien“AUTISME”
32