Download - LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C BLOK 14.docx
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C
BLOK 14 TAHUN 2014
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6
Tutor: dr. Mezfi Unita, SpPA(K)
R.A Deta Hanifah (04011281320023)
Endy Averossely Passaray (04011381320017)
KMS.M Afif Rahman (04011381320019)
Virdhanitya Vialetha (04011381320045)
M.Tafta Zani (04011381320061)
Fira Andriani (04011381320065)
Dedi Yanto Husada (04011181320017)
Nurul Windi Anggraini (04011181320019)
Rismitha Andini (04011181320055)
Dwi Nopianti (04011181320101)
Muhammad alex Januarsyah (04011181320109)
Tri Legina Oktari (04011181320111)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan ini berhasil kami selesaikan.
Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas Laporan Tutorial. Dalam penyusunan laporan
ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan laporan ini tidak lain berkat bantuan dari dr. Mezfi Unita, Sp.PA (K)
selaku Tutor kami yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan
bimbingan, pengarahan, dan dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan laporan ini.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Mezfi Unita, Sp.PA
(K).
Kami sadar laporan yang kami buat ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik
pada teknik penyusunan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki
sangatlah terbatas. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat kami harapkan untuk memperbaiki laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Palembang, 29 Desember 2014
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Anggota.................................................................................................................................1
Kata Pengantar......................................................................................................................2
Daftar Isi...............................................................................................................................3
I. Skenario....................................................................................................................4
II. Klarifikasi Istilah......................................................................................................5
III. Identifikasi Masalah.................................................................................................5
IV. Analisis Masalah......................................................................................................6
V. Keterkaitan Masalah................................................................................................33
VI. Learning Issue..........................................................................................................34
VIII. Kerangka Konsep.....................................................................................................63
IX. Kesimpulan...............................................................................................................63
X. Daftar Pustaka..........................................................................................................64
3
Skenario C blok 14 Tahun 2014
Tn.Romo, 63 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit oleh keluarganya karena
tidak sadar sejak 3 jam yang lalu. Menurut keluarganya, pasien mengidap DM tipe 2 sejak
5 tahun yang lalu dan setiap hari mengkonsumsi obat glibenkemid 5 mg. Menurut
keluarganya, sebelum tidak sadar, Tn. Romo merasa dingin, berkeringat, jantung
berdebar-debar, badan lemas dan merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi.
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran: Koma, TD 90/40 mmHg, nadi 124 x/menit, suhu 36oC.
Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik.
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl.
4
I. KLARIFIKASI ISTILAH
No. Istilah Definisi
1. Ruang Gawat Darurat Salah satu bagian dari rumah sakit yang menyediakan
penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan
cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidup
(UGD)
2. DM Tipe 2 Jenis kedua diabetes yang lebih umum dimana
pankreas dapat memproduksi insulin namun tidak
cukup
3. Glibenklamid Obat oral anti diabetes golongan sulfonilurea yang
berguna untuk menurunkan gula darah
4. Koma Suatu keadaan tidak sadarkan diri yang dalam hingga
penderita tidak dapat dibangunkan bahkan dengan
rangsangan yang kuat
5. GDS Hasil pengukuran gula darah yang dilakukan seketika
waktu tanpa ada puasa
6. Glukometer Alat yang digunakan untuk mengukur glukosa darah
II. Identifikasi masalah
N
O
MASALAH CONCERN
1. Tn.Romo, 63 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit
oleh keluarganya karena tidak sadar sejak 3 jam yang lalu.
VVVV
2. Menurut keluarganya,pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun
yang lalu dan setiap hari mengkonsumsi obat glibenkemid 5 mg.
VV
3 Menurut keluarganya, sebelum tidak sadar, Tn. Romo merasa
dingin, berkeringat, jantung berdebar-debar, badan lemas dan
merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi.
VVV
4. Pemeriksaan fisik:
Kesadaran: Koma, TD 90/40 mmHg, nadi 124 x/menit, suhu 36oC.
V
5
Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik.
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40
mg/dl.
III. ANALISIS MASALAH
A. Tn.Romo, 63 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit oleh
keluarganya karena tidak sadar sejak 3 jam yang lalu.
1. Apa penyebab dan mekanisme tidak sadar tuan Romo?
Penyebab Dalam kasus ini, koma yang dialami Tn. Roma diakibatkan adanya
keadaan hipoglikemia, keadaan hipoglikemia pada Tn. Roma dapat disebabkan
karena dosis obat antidiabetika oral yang terlalu tinggi (pada usia lanjut, dosis
normal 2,5 mg/hari).
Mekanisme makan OAD sebelum makan kadar insulin meningkat
hiperinsulinemia glukosa darah menurun asupan glukosa otak meningkat
otak kekurangan glukosa tidak sadar
2. Apa hubungan jenis kelamin dan usia dengan keluhan?
Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis
menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah
seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun pada
mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi
terhadap insulin.
Jenis kelamin
Resiko perempuan dan laki-laki terhadap DM sama besar tetapi dipengaruhi
oleh genetik. Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang
mengidap diabetes mellitus, karena kelainan gen yang mengakibatkan
tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan baik.
6
3. Apa akibat tidak sadar selama 3 jam?
Tidak sadar yang dialami oleh tn. Romo diakibatkan karena syok hipoglikemik.
Hipogilkemia bila terjadi terus-menerus dan dalam jangka waktu yang cukup
lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen bahkan kematian
4. Apa penanganan yang harus dilakukan di ruang gawat darurat?
Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik
oral maupun intravena. Pada kasus ini, Tn. Romo dibawa ke ruang gawat darurat
dalam keadaan tidak sadar, maka diberikan glukosa intravena untuk mencegah
terjadinya kerusakan otak yang serius.
Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon ( 50 mL ) bolus intra
vena.
Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam per kolf.
Periksa gula darah sewaktu (GDS) atau setiap 1 jam ,dengan Glukometer
Bila GDS < 50 mg/dL bolus Dekstrosa 40 % 50mL iv
Bila GDS < 100 mg/dL bolus Dekstosa 40 % 25mL iv
Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % :
Bila GDS < 50 mg/dL bolus Dekstrosa 40 % 50mL iv
Bila GDS < 100 mg/dL bolus Dekstosa 40 % 25mL iv
Bila GDS < 100-200 mg/dL tanpa bolus Dekstrosa 40%
Bila GDS > 200 mg/dL pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dekstrosa 10 % atau mengganti infus dengan Dektrosa 5 % atau NaCl
0,9%
Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut, sliding scale setiap 6
jam
GD ( mg/dL ) RI ( Unit , subkutan )
< 200 0
200 – 250 5
250 – 300 10
300 – 350 15
>350 20
7
Bila pasien belum sadar, GDS sekitar 200 mg/dL : injeksi Deksametason 10
mg iv bolus dilanjutkan Manitol 1,5-2 g/kg BB iv setiap 6-8 jam, lalu cari
penyebab lain dari penurunan kesadaran.
B. Menurut keluarganya, sebelum tidak sadar, Tn. Romo merasa dingin,
berkeringat, jantung berdebar-debar, badan lemas dan merasa cemas, setelah
minum obat sebelum makan pagi.
1. Bagiamana penyebab dan mekanisme :
a) merasa dingin?
Pada keadaan hipoglikemia, timbul suatu efek langsung akibat kadar
glukosa darah yang rendah terhadap hipotalamus, yang akan merangsang
saraf simpatis. Selanjutnya rangsangan saraf simpatis akan diterima oleh
medulla adrenal yang akan menyekresikan epinefrin. Epinefrin akan
berikatan dengan reseptor α1 yang beradadi otot polos pembuluh darah
perifer, dalam konsentrasi yang tinggi akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Hal ini akan menyebabkan kulit menjadi terasa
dingin.
b) berkeringat?
Konsumsi OAD golongan sulfonylurea, pada kasus ini glibenklamid
peningkatan pelepasan insulin dari pancreas karena sulfonylurea berikatan
dengan reseptor sulfonylurea menghambat efluks ion kalium melalui
kanal tersebut dan menimbulkan depolarisasi depolarisasi membuka suatu
kanal kalsium bergerbang-tegangan dan menimbulkan influks kalsium
pelepasan insulin belum ada pasokan makanan (karena obat diberikan
sebelum makan) hiperinsulinemia peningkatan pengambilan glukosa
oleh sel dan penurunan pengeluaran glukosa oleh hati hipoglikemia.
Hipoglikemia sel tidak mendapat glukosa yang cukup untuk kebutuhan
energi otak merangsang sekresi epinefrin epinefrin terlalu banyak
merangsang syaraf otonom (simpatis) menyebabkan timbulnya gejala
berkeringat, berdebar-debar, tremor, dan lainnya.
8
c) jantung berdebar-debar?
Mekanisme yang terjadi adalah suatu kondisi dimana hemoglobin dalam
darah penderita tidak sempurna dalam membawa oksigen ke seluruh sistem
saraf di tubuh, karena tubuh kekurangan zat besi pada darah. Maka keadaan
itu menyebabkan irama jantung menjadi abnormal atau jantung berdebar-
debar. Mekanisme respon hipoglikemia, pada awalnya, bagian ventromedial
hipothalamus merupakan organ utama yang berperan dalam respons kontra
regulasi. Hormon kontra regulasi terbagi dalam 2 kelompok, yaitu: hormon
kerja cepat yaitu katekolamin dan glucagon dan hormon kerja lambat yaitu
growth hormone dan kortisol. Secara otomatis terjadilah respon terhadap
rendahnya kadar gula darah dengan merangsang kelenjar adrenal untuk
melepaskan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung
saraf. Epinefrin akan merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi
juga menyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan, dengan cara
menyebabkan beberapa pembuluh darah berkontraksi dan pembuluh lain
berelaksasi, dengan pengaruh keseluruhan yang akan diperoleh berupa
pengurangan aliran darah menuju kulit, saluran pencernaan, dan
ginjal,sementara meningkatkan aliran darah ke jantung,otak dan otot.
Meningkatnya aliran darah ke jantung inilah yang kemudian menyebabkan
jantung berdebar-debar pada Tn. Romo.
d) badan lemas?
Hipoglikemia Kekurangan glukosa diseluruh tubuh sel-sel tidak dapat
membentuk ATP badan menjadi lemas.
e) merasa cemas?
Rasa cemas diintepretasikan sebagai suatu stres oleh otak kita dan membuat
otak kita meresponnya. Mekanisme adaptasi stres oleh otak biasanya
memang didasarkan karena adanya pemicu dalam hal ini disebebkan oleh
hipoglikemi. Inilah yang menyebabkan pasien-pasien terutama pasien
gangguan cemas panik merasakan adanya kondisi kecemasan dan gejala
psikosomatik yang akut padahal dia tidak sedang dalam kondisi stres saat itu
terjadi. Respon otomatis ini sebenarnya menandakan bahwa otak telah berada
9
pada fase kelelahan (exhausted) yang pada hal ini disebabkan oleh
berkurangnya kadar glukosa dalam darah yang akhirnya menyebabkan
responnya kacau terhadap stres. Gambaran cemas disini (berkeringat, jantung
berdebar debar, gemetar). Pelepasan besar-besaran noreepineprin oleh
postganglion simpatis dan pelepasan epineprin dari medula adrenal.
2. Apa dampak yang akan terjadi bila Tn.Romo makan obat OAD sebelum makan
dan kapan waktu minum obat yang baik serta alasannya?
Glibenklamid adalah obat OAD golongan sulfonilurea yang bekerja
menurunkan kadar glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah
makan. Sehingga efek hipoglikemik dari glibenklamid akan lebih besar. Juga
karena glibenklamid dikonsumsi dalam jangka panjang, sehingga efek
hipoglikemi juga semakin meningkat ditambah lagi asupannya kurang.
Waktu pemberian OAD yang baik tergantung pada golongan OAD yang
tersedia berdasarkan prinsip kerja OAD tersebut, OAD dibedakan menjadi 5
golongan, yaitu:
1. Sulfonilurea dimakan 15-30 menit sebelum makan
contohnya glibenklamid dengan dosis 2,5-15 mg
2. Biguanide dimakan bersamaan saat makan atau sesudah makan
contohnya metformin dengan dosis 0,5-3 mg
3. Meglitinides dimakan bersamaan saat makan
Contohnya repaglinides dengan dosis 0,5-16 mg
4. Alpha glucosidase inhibitor dimakan bersamaan saat makan
Contohnya glucobay dengan dosis 50-100 mg
5. Thiazolidinediones diminum bersamaan saat makan
Contohnya phioglitazhone dengan dosis 15-30 mg
3. Bagaimana hubungan antar keluhan pada kasus?
Gejala-gejala (keluhan) yang dirasakan oleh Tn. Romo dalam kasus merupakan
akibat dari hipoglikemia. Keadaan hipoglikemia ini menyebabkan adanya
pelepasan hormon kontraregulator insulin, epinefrin, sebagai kompensasi yang
10
selain menyebabkan pelepasan glukosa lebih lanjut dari hati, juga dapat
mengakibatkan berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi. Selain itu,
tingkah laku yang aneh, merasa cemas, sensorium yang tumpul, dan koma
terjadi akibat kekurangan glukosa dalam otak.
C. Menurut keluarganya, pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan
setiap hari mengkonsumsi obat glibenkemid 5 mg.
1. apa saja obat anti diabetik?
Golongan Nama generik Nama dagang Dosis Fungsi
Sulfonylurea
Chlorpropamide
Glibenclamid
Gliquidone
Gliclazide
Glipizide
glipmepride
Diabenese
daonil, euglucon
Glurenorm
Diamicron
minidiab, glicotrol
amaryl
250-500 mg
2,5-15 mg
30-120 mg
20-320 mg
2,5-20 mg
1-8 mg
Meningkatkan sekresi
insulin
Biguanides Metformin Glucophage,diabex 0,5-3 mg
Meningkatkan
sensitivitas insulin
pada jaringan otot dan
jaringan lemak tubuh
Alpha glucosidase
inhibitorAcarbose Glucobay 50-600 mg
Menghambat
penyerapan
karbohidrat pada
saluran cerna
MeglitinidesNateglinides
repaglinides
Starlix
novonorm
180-540 mg
0,5-16 mg
Meningkatkan sekresi
insulin (kemampuan
bergantung kepada
kadar glukosa)
Tiazolidinediones Pioglitazone
rosiglitazone
Actos
avandia
15-30 mg
4-8 mg
Meningkatkan
sensitivitas insulin
11
pada jaringan otot dan
jaringan lemak tubuh
Beberapa sumber menambahkan
Penghambat DPP-IV Meningkatkan sekresi insulin pada saat kadar gula
darah meningkat, dan menurunkan pembentukan
gula di hati.
Sitagliptin,
Saxagliptin
2. Termasuk golongan apa obat glibenklamid?
Glibenklamid termasuk golongan obat sulfonilurea generasi II
3. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat anti diabetik?
Berdasarkan cara kerja, obat antidiabetika oral dibagi menjadi 3 golongan:
a) Memicu produksi insulin
1. Sulfonilurea
Obat ini telah digunakan dalam menangani hipoglikemia pada penyandang
diabetes melitus tipe 2 selama lebih dari 40 tahun. Mekanisme kerja obat ini
cukup rumit. Ia bekerja terutama pada sel beta pankreas untuk meningkatkan
produksi insulin sebelum maupun setelah makan. Sel beta pankreas merupakan
sel yang memproduksi insulin dalam tubuh.
Sulfonilurea sering digunakan pada penyandang diabetes yang tidak gemuk di
mana kerusakan utama diduga adalah terganggunya produksi insulin.
Penyandang yang tepat untuk diberikan obat ini adalah penyandang diabetes
melitus tipe 2 yang mengalami kekurangan insulin tapi masih memiliki sel beta
yang dapat berfungsi dengan baik. Penyandang yang biasanya menunjukkan
respon yang baik dengan obat golongan sulfoniurea adalah usia saat diketahui
menyandang diabetes melitus lebih dari 30 tahun, menyandang diabetes
diabetes melitus lebih dari 5 tahun, berat badan normal atau gemuk, gagal
dengan pengobatan melalui pengaturan gaya hidup, perubahan pengobatan
dengan insulin dengan dosis yang relatif kecil.
Sampai saat ini sudah ada 3 generasi sulfonilrea yang beredar.
12
Generasi I : Acetohexamid, Chlorpropamid, Tolbutamid dan Talazamid
Generasi II : Gliclazid, Glipizid, gliburid dan Glibenklamid.
Generasi III : Glimepirid.
Di Indonesia, turunan generasi II adalah yang paling sering digunakan. hal ini
dikarenakan lebih efektif dan generasi II ini mempunyai efek minimal. Adapun
efek samping utama sulfonilurea yang sering dilaporkan adalah penambahan
berat badan.
Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu
dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari hipoglikemia. Pada keadaan
tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea
dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa
hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah
terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Dosis permulaan sunfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila
konsentrasi glucosa puasa<200mg/dl,>200 mg/dl dapat diberikan dosis awal
yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena
diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya
diberikan pada waktu makan pagi atau pada makanan porsi terbesar.
2. Golongan Meglitinide
Meglitinide merupakan bagaian dari kelompok yang meningkatkan produksi
insulin (selain sulfonilurea). Maka dari itu ia membutuhkan sel beta yang masih
berfungsi baik. Repaglinid dan Nateglinid termasuk dalam kelompok ini,
mempunyai efek kerja cepat, lama kerja sebentar, dan digunakan untuk
mengontrol kadar glukosa darah setelah makan. Repaglinid diserap secara cepat
segera setelah dimakan, mencapai kadar puncak di dalam darah dalam 1 jam.
b) Meningkatkan kerja insulin (sensitivitas terhadap insulin)
1. Biguanide
Metformin adalah satu-satunya biguanid yang tersedia saat ini. Metformin
berguna untuk penyandang diabetes gemuk yang mengalami penurunan kerja
insulin. Alasan penggunaan metformin pada penyandang diabetes gemuk adalah
karena obat ini menurunkan nafsu makan dan menyebabkan penurunan berat
badan.
13
Sebanyak 25% dari penyandang diabetes yang diberikan metformin dapt
mengalami efek samping pada saluran pencernaan, yaitu rasa tak nyaman di
perut, diare dan rasa seperti logam di lidah. Pemberian obat ini bersama
makanan dan dimulai dengan dosis terkecil dan meningkatkannya secar
perlahan dapat meminimalkan kemungkinan timbulnya efek samping. Obat ini
tidak seharusnya diberikan pada penyandang dengan gagal ginjal, hati, jantung
dan pernafasan.
Metformin dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi. Obat-
obatan oral mungkin gagal untuk mengontrol gula darah setelah beberapa saat
sebelumnya berhasil (kegagagalan sekunder) akibat kurangnya kepatuhan
penyandang atau fungsi sel beta yang memburuk dan / atau terjadinya gangguan
kerja insulin (resistansi insulin). Pada kasus-kasus ini, terapi kombinasi
metformin dengan sulfonilurea atau penambahan penghambat-glucosidase
biasanya dapat dicoba. Kebanyakan penyandang pada akhirnya membutuhkan
insulin.
2. Tiazolidinedion
Saat ini terdapat 2 tiazolinedion di Indonesia yaitu rosiglitazon dan pioglitazon.
Obat golongan ini memperbaiki kadar glukosa darah dan menurunkan
hiperinsulinaemia (tingginya kadar insulin) dengan meningkatkan kerja insulin
(menurunkan resistensi insulin) pada penyandang diabetes melitus tipe 2. Obat
golongan ini juga menurunkan kadar trigliserida da asam lemak bebas.
Rosiglitazone (Avandia) dapat pula digunakan kombinasi dengan metformin
pada penyandang yang gagal mencapai target kontrol glukosa darah dengan
pengaturan makan dan olahraga. Pioglitazone (Actos), juga diberikan untuk
meningkatkan kerja (sensitivitas) insulin.
Efek samping dari obat golongan ini dapat berupa bengkak di daerah perifer
(misalnya kaki), yang disebabkan oleh peningkatkan volume cairan dalam
tubuh. Oleh karena itu obat goolongan ini tidak boleh diberikan pada
penyandang dengan gagal jantung berat. Selain itu, pada penggunaan obat in
ipemeriksaan fungsi hati secara berkala harus dilakukan.
c) Penghambat enzim alfa glukosidase
14
Penghambat kerja enzim alfa-glukosidase seperti akarbose, menghambat
penyerepan karbohidrat dengan menghambat enzim disakarida di usus (enzim
ini bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat). Obat ini terutama
menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Efek sampingnya yaitu
kembung, buang angin dan diare. Supaya lebih efektif obat ini harus dikonsumsi
bersama dengan makanan.
Obat ini sangat efektif sebagai obat tunggal pada penyandang diabetes melitus
tipe 2 dengan kadar glukosa darah puasanya kurang dari 200 mg/dL (11.1
mmol/l) dan kadar glukosa darah setelah makin tinggi. Obat ini tidak
mengakibatkan hipoglikemia, dan boleh diberikan baik pada penyandang
diabetes gemuk maupun tidak, serta dapat diberikan bersama dengan
sulfonilurea, metformin atau insulin.
4. bagaimana indikasi dan kontra indikasi dari glibenklamid?
INDIKASI Pada umumnya hasil yang baik diperoleh pada pasien yang
diabetesnya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun.
KONTRAINDIKASI Pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar
dan ginjal, terutama yang menggunakan sediaan dengan masa kerja panjang.
Obat golongan sulfonilurea juga menyebabkan hipersensitifitas dan
meningkatkan resiko ketoasidosis diabetik.
5. bagaimana efek samping obat glibenklamid?
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan
hipersekresi asam lambung dan gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit
kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik
termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik
dapat terjadi walau jarang sekali. Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak
tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada
lansia. Selain itu, golongan ini juga cenderung meningkatkan berat badan.
6. Bagaimana patofisiologi dari DM tipe 2?
15
Patofisiologi DM sangat multifaktorial, yang merupakan gabungan beberapa
faktor resiko meliputi genetik(mutasi), sedentary life style(kurang aktivitas
fisik), pola makan yang tidak seimbang berupa input yang lebih besar dibanding
output sehingga terjadi obesitas serta factor lainnya.Keadaan tersebut mampu
membuat keadaan yang disebut sebagai resistensi insulin baik pada hepar
maupun jaringan perifer( jaringan lemak dan otot).
Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari
makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan
lemak menjadi asam lemak. Agar dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat
makanan itu harus masuk terlebih dahulu ke dalam sel agar dapat diolah. Di
dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses metabolisme,
yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Dalam proses metabolisme ini
insulin memegang peran yang sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke
dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Hidrat arang
dalam makanan diserap oleh usus halus dalam bentuk glukosa. Glukosa darah
dalam tubuh manusia diubah menjadi glikogen hati dan otot oleh insulin.
Sebaliknya, jika glikogen hati maupun otot akan digunakan, dipecah lagi
menjadi glukosa oleh adrenalin. Jika kadar insulin darah berkurang, kadar
glukosa darah akan melebihi normal, menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan sebagai anak
kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk
kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila
insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya
glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di
dalam darah meningkat. Dalam keadaan ini badan akan menjadi lemah karena
tidak ada sumber energi di dalam sel. Inilah yang disebut sebagai diabetes
melitus.
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang berhubungan
dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada
diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian
insuliin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
16
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes tipe II.
7. Hormon apa saja yang terlibat pada kasus?
Hormon yang terlibat pada kasus adalah insulin yang meningkat sehingga
menyebebakan hipoglikemia dan epinefrin sebagai mekanisme kompensasi dari
hipoglikemik yang dialami oleh Tn. Romo sehingga menyebabkan banyak
gejala timbul yang mengakibatkan berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan
palpitasi. Selain itu, tingkah laku yang aneh, merasa cemas, sensorium yang
tumpul, dan koma terjadi akibat kekurangan glukosa dalam otak.
8. Apa tipe-tipe DM?
Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi otoimun.
Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β,
sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon,
sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun demikian
serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Destruksi otoimun
dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan
defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defesiensi insulin,
fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak
normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan
oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
17
menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe
1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,
hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan
ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik
apabila tidak mendapatkan terapi insulin.
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada
orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM
tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin
secara normal, keadaan ini disebut resietensi insulin. Disamping resistensi
insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan gangguan sekresi
insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak
terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi
pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM
tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.
Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,
merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian
besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan
kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar
dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu
defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap
glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua
kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang
mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Diabetes mellitus gestasional
Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul selama
masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini
terjadi karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan
resistensi insulin
9. Bagimana penatalaksanaan DM tipe 2?
18
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi
berpotensi untuk menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam
upaya pencegahan primer. Masyarakat luas melalui lembaga swadaya
masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula
pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan
Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM
dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah
hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan
jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak
terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal
pengelolaan penyakit DM. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah
penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pada
penyandang diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa,
dan GIT. Skrinning direkomendasikan untuk :
Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes
Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler
Orang-orang yang gemuk
b. Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan
pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan
19
menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu
dibantu dengan diet dan bergerak badan.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik
masih merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan
jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral.
Obat hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu
dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel beta
pancreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.
Tabel 2
Aktivitas Obat Hipoglisemik Oral
Obat Lamanya jam Dosis lazim/hari
Klorpropamid (diabinise) 60 1
Glizipid (glucotrol) 12-24 1-2
Gliburid (diabeta, micronase) 16-24 1-2
Tolazamid (tolinase) 14-16 1-2
Tolbutamid (orinase) 6-12 1-3
c. DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan
yang masuk harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari
kehari. Adalah sangat penting bagi pasien yang menerima insulin
dikordinasikan antara makanan yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh
orang dengan DM tipe II, cenderung kegemukan dimana ini berhubungan
dengan resistensi insulin dan hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik
dengan penurunan berat badan. (Hendrawan,2002).
1) Modifikasi dari faktor-faktor resiko
Menjaga berat badan
Tekanan darah
Kadar kolesterol
Berhenti merokok
Membiasakan diri untuk hidup sehat
20
Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik
yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang
berulang untuk mencapai kebugaran.
Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena
hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam
yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar
karbohidrat dan lemak tinggi.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum
kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari)
dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah
mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan
termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas
hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan
holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit
rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung
dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006).
10. Apakah etiologi dari DM tipe 2?
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap
dengan jelas. Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus
bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya
akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya
juga memegang peranan penting pada penderita DM ((Price, 2005).
21
Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan
terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat,
serta kurang gerak badan. Etiologi DM tipe 2 juga bervariasi mulai dari
resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relatif hingga defek sekresi
insulin yang dibarengi resistensi insulin.
11. Apa saja faktor resiko dari DM tipe 2?
Adapun Faktor resikonya dibagi menjadi:
1. Risiko yang Bisa Dikontrol
Kelebihan berat badan (Obesitas).
Stres
Gaya hidup yang tidak sehat ditandai dengan minimnya aktivitas fisik
Kolesterol dan lemak darah yang tinggi akibat pola makan yang salah
Tekanan darah tinggi.
Merokok.
2. Risiko yang Tidak Bisa Dikontrol
Ras atau etnis
Faktor keturunan / Kelainan genetik
Faktor usia
12. apa komplikasi DM tipe 2?
1. Komplikasi Akut
Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah mencapai
60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik berdebar,
banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma)
Diabetic Ketoacidosis (DKA), dan Hiperglikemia, Hiperosmolaritas, Koma
non-ketotik (HHNK)
2. Komplikasi Kronis (Menahun)
22
Makroangiopati (Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah tepi, Pembuluh
darah otak )
Mikroangiopati (Pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati diabetik),
Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik))
Neuropati.
3. Komplikasi dengan mekanisme gabungan:
Rentan infeksi, contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi
kulit dan infeksi kaki.
Disfungsi ereksi.
13. Apa kompetensi dokter umum pada DM tipe 2?
Kompetensi dokter umum dalam menangani kasus DM tipe 2 adalah 4A,
dimana lulusan dokter umum mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh
dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray, penilaian
tingkat kesadaran dengan skala koma Glasgow (GCS) ). Dokter dapat
memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga tuntas.
14. Bagimana cara mendiagnosis DM?
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria,
serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan
glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup
kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
23
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1985
1. 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
2. Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Kadar glukosa darah puasa diperiksa
5. Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam air 250
ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama
pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti tidak
ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO**
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti
ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik
15. Apa saja diagnosis banding pada kasus?
Diabetes tipe 1
Diabetes autoimun laten pada dewasa (jarang)
Diabetes melitus sekunder: gangguan pankreas, gangguan hormonal (sindrom
Cushing, akromegali), induksi obat (steroid, tiazid)
Diabetic ketoacidosis
Cystic fibrosis
Drug-induced glucose intolerance
Glucose intolerance
Pancreatitis
24
D. Pemeriksaan fisik:
Kesadaran: Koma, TD 90/40 mmHg, nadi 124 x/menit, suhu 36oC.
Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik.
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl.
1. Bagimana interpretasi dari hasil pemerikasaan fisik?
Pemeriksaan Fisik Hasil Normal Interpretasi
Kesadaran Koma Compos mentis suatu keadaan tidak sadarkan
diri yang dalam hingga penderita
tidak dapat dibangunkan bahkan
dengan rangsangan yang kuat
Tekanan Darah 90/40
mmHg
120/80 mmHg Hipotensi/tekanan darah rendah
yang disebabkan oleh
hipoglikemik
Nadi 124
x/menit
60-100 x/menit Takikardi
Suhu 360C 36,5-37,50C Hipotermia ringan (kedinginan)
Kadar glukosa
darah sewaktu
40 mg/dl 60-120 mg/dl
Hipoglikemik berat
2. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
1. Koma
Terjadi karena kondisi hipoglikemi yang terjadi. Hipoglikemi dapat timbul
akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah
penyuntikkan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi
insulin seperti sulfonylurea dan metformin atau glibenclamid. Glukosa
merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh karena itu
otak hanya menyimpan glukosa dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak
yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan
pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat
menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma.
25
Dalam kasus ini, koma yang dialami Tn. Romo diakibatkan adanya keadaan
hipoglikemia, keadaan hipoglikemia pada Tn. Romo dapat disebabkan karena
dosis obat antidiabetika oral (dalam hal ini glibenklamid 5 mg) yang terlalu
tinggi (pada usia lanjut, dosis normal 2,5 mg/hari), penurunan fungsi ginjal
akibat usia yang sudah tua, asupan makanan yang tidak adekuat (karena waktu
makan yang tidak tepat), pengonsumsian antidiabteika oral jangka panjang.
2. Tekanan Darah
Kondisi hipoglikemik menyebabkan osmolaritas darah berkurang sehingga
terjadi kondisi hipovolemik dan tekanan darah menurun. Selain itu kadar
glukosa darah yang rendah dapat merangsang sekresi epineprin yang
merangsang saraf parasimpatis untuk meningkatkan volume darah dengan
vasodilatasi namun vasodilatasi dengan keadaan hivolemik menyebabkan
tekanan darah menurun.
3. Nadi
Denyut nadi yang meningkat merupakan merupakan efek fisiologis sebagai
kompensasi penurunan TD dengan tujuan meningkatkan TD. Selain itu
denyut nadi ini meningkat akibat adanya rangsangan saraf simpatis yang
kemudian merangsang pengeluaran epineprin. Epineprin bekerja pada
reseptornya di jantung dan menyebabkan peningkatan denyut nadi (IPD,
2010) (Sherwood, 2001).
4. GDS
Gula darah sewaktu yang rendah menunjukkan kadar glukosa darah yang
menurun. Mekanismenya dapat terjadi karena terjadi peningkatan kadar insulin
pada waktu yang tidak tepat.
3. Bagimana cara pemerikasaan gula darah suatu dengan glukometer?
1. Siapkan glucometer, alkohol, kasa/kapas, test strip, jarum penusuk (lancet)
dan alat penusuk (lancing device)
2. Untuk menghindari kontaminasi, cuci dan keringkan kedua tangan dengan
kain bersih sebelum pengambilan sampel darah
3. Masukkan lancet ke alatnya (lancing device). Pastikan bahwa jarum yang
26
dipakai steril dan masih baru. Jarum penusuk hanya untuk sekali pakai
4. Letakkan ujung jari anda yang akan ditusuk. Jari yang direkomendasikan
adalah telunjuk, jari manis, dan jari tengah.
5. Bersihkan ujung jari yang akan ditusuk dengan kasa atau kapas beralkohol
untuk menghindari infeksi
6. Tusukkan jarum ke ujung jari. Darah pertama yang keluar dengan kapas di
lap terlebih dahulu lalu biarkan bulatan kecil darah terbentuk di ujung jari.
Tekan dengan pelan jari anda untuk membantu mengeluarkan darah, jangan
terlalu kuat agar darah tidak bercampur cairan otot yang akan membuat hasil
tidak valid
7. Bila darah tidak cukup keluar, dapat dicoba ke jari kedua
8. Masukkan test strip ke glucosemeter. Pastikan bahwa tanggal test strip tidak
kadaluwarsa
9. Tempelkan kasa atau kapas beralkohol ke ujung jari yang ditusuk untuk
menghentikan pendarahan.
10. Lihat hasil pada glukometer
4. Jelaskan tipe-tipe kesadaran?
a. Compos mentis : sadar normal.
b. Apatis : sikapnya acuh tak acuh
c. Delirium : gelisah, diorientasi orang,ruang dan waktu, berhalusinasi.
d. Somnolen : respon psikomotornya lambat, mudah tertidur, kesadaran pulih
bila dirangsang namun jatuh tertidur lagi.
e. Stupor : seperti tertidur lelap tetapi ada respon terhadap nyeri dengan adanya
reflek pupil terhadap cahaya.
f. Koma : tidak ada respon terhadap rangsangan apapun.
5. Apa saja macam macam koma?
1. Koma supratentorial
27
Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang
otak tetap normal. Ini disebabkan proses metabolik dan lesi struktural
supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di dalam
kranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak,
abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di
sekitarnya; terjadilah : 1. Hemiasi girus singuli, 2. Hemiasi transtentorial
sentral, 3. Herniasi unkus.
2. Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau serta
merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi,
perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan
sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah
tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan
menekan medula oblongata.
Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan
sebagainya.
3. Koma metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma
disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf
1) Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya
metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2) Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme
otak, yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan
keseimbangan elektrolit ataupun keracunan.
28
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistem motorik simetris dan
tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau
atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien
mempergunakan barbiturat).
ANALISIS HIPOTESIS
Hipotesis : Tn romo 63 tahun mnderita DM tipe 2 dengan komplikasi shock
hipoglikemik akibat mengkonsumsi obat glibenklamid sebelum makan pagi
1. Bagaimana penyebab dan mekanisme shock hipoglikemik?
Penyebab syok hipoglikemik
1. Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
2. Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi yang diberikan kepada
penderita diabetes untuk menurunkan kadar glukosa darahnya.
3. Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal.
4. Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan gukosa dihati.
Mekanisme syok hipoglikemik
Konsumsi OAD golongan sulfonylurea terjadi peningkatan pelepasan
insulin dari pancreas karena sulfonylurea berikatan dengan reseptor
sulfonylurea menghambat efluks ion kalium melalui kanal tersebut dan
menimbulkan depolarisasi depolarisasi membuka suatu kanal kalsium
bergerbang-tegangan dan menimbulkan influks kalsium dan pelepasan
insulin belum ada pasokan makanan (karena obat diberikan sebelum
makan) hiperinsulinemia peningkatan pengambilan glukosa oleh sel
dan penurunan pengeluaran glukosa oleh hati hipoglikemia
Kontraregulator : peningkatan insulin eksogen menyebabkan penekanan
sekresi glucagon sehingga tidak dapat meningkatkan pengeluaran glukosa
oleh hati hipoglikemia.
29
Hipoglikemi menyebabkan kurangnya pasokan glukosa ke otak, otak dapat
menggunakan glikogen namun dalam jumlah terbatas, contohnya glikogen
yang bersumber dari otot, akibat keterbatasan glikogen di otot dan
keterbatasan otak untuk menggunakan glikogen sebagai sumber energi,
akhirnya otak kehilangan sumber energinya, maka terjadilah syok
hipoglikemik yang ditandai dengan adanya iritabilitas saraf progresif yang
menyebabkan pasien menjadi pingsan, dapat juga kejang, yang lebih fatal
adalah koma
2. Bagaimana tata laksana shock hipoglikemik?
Terapi non farmakologi
Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah
penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa)
maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering
mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu
membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan
sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan,
sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung
karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit).
Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak
mungkin untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan
glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang
yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya
selalu membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh
sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa
dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk
suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit.
Tumor penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan. Sebelum
pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan insulin oleh
tumor (misalnya diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering
mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan
sering makan dalam porsi kecil.
30
Terapi farmakologi
a. Infuse martos ( maltose 10%) atau glukosa 10% bila belum sadar dapat
diulang 25 CC glukosa 40% setiap ½ jam (sampai sadar) dan dapat
diulang sampai enam kali . gunakan rumus 1.2.3 Injeksi gula 40% IV
25 ml (encerkan dua kali) .
1) Rumus 1 : Diberikan 1 flash bila kadar gula darah 60 -90 mg/dl
2) Rumus 2 : Diberikan 2 flash bila kadar gula darah 30 – 60 mg/dl
3) Rumus 3 : Diberikan 3 flash bila kadar gula darah < 30 mg / dl
b. Injeksi metil prednisolon 62,5 – 125 mg IV diulang serta dikombinasi
fenitoin 3x 100 mg IV atau fenitoin oral dengan dosis 3 x 100 mg
sebelum makan 5
c. Bila perlu, injeksi efedrin (bila tidak ada kontraindikasi jantung, dll) 25 –
50 mg atau injeksi glucagon 1 mg IM
3. Apa kompetensi dokter umum pada kasus syok hipoglikemik?
31
Hypoglikemia : KDU tingkat kemampuan 3B, yaitu mampu membuat diagnosis
klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan – pemeriksaan tambahan
yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau
X-ray), dan dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus
gawat darurat).
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan)
yaitu :
a. Hipoglikemia Berat termasuk tingkat kemampuan 3B yaitu.
b. Koma
IV. Keterkaitan antar masalah
32
Tn. Romo, 63 Tahun
DM Tipe 2
Belum makan pagi
Hipoglikemi
Konsumsi Glibenklamid 5 mg
Koma TD 90/40 mmHg
Cemas
Nadi 124 x/menit
Syok hipoglikemik
Berkeringat Jantung berdebar-
debar
Badan lemas
GDS 40 mg/dl
Dingin
V. Learning Issue
33
1. DIABETES MELITUS TIPE 2
A. Pengertian Diabetes Mellitus Tipe 2
Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk
metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan
secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa
darah meningkat (Adhi, 2011). Diabetes mellitus sebelumnya dikatakan
diabetes tidak tergantung insulin atau diabetes pada orang dewasa. Ini adalah
istilah yang digunakan untuk individu yang relatif terkena diabetes (bukan
yang absoult) defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya
resisten terhadap insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam
jangka waktu yang lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup
untuk memprovokasi gejala nyata dari diabetes. Namun demikian, pasien
tersebut adalah risiko peningkatan pengembangan komplikasi macrovascular
dan mikrovaskuler (WHO,1999). Faktor yang diduga menyebabkan
terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya
kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor lingkungan
dan faktor makanan (Tjekyan, 2007).
B. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam
3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini
adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat
menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi
insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan
insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin
sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan
sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa
darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2,
dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan
selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi
34
gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar
glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah
puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika
kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak
mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel
beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam
darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi
glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi
glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan
faktor yang didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel beta,
malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta
dan efek toksik glukosa (glucose toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh
Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi
insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi
respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara
terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan.
Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik
dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi
insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini
juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti
kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan
berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin
(Indraswari, 2010).
C. Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang
progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai pola
familial yang kuat. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan dalam sekresi
insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya kelihatan terdapat
35
resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian
terjadi reaksi intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus
membrane sel. Pada pasien-pasien dengan NIDDM terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya
jumlah tempat reseptor yang responsive insulin pada membrane sel.
Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin
dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan
dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi insulin, tetapi
pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang beredar tidak
lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien
NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan
akibat dari obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan
perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa
(Rakhmadany,2010).
D. Gambaran Klinis
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah (Agustina,
2009):
Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak
dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk
menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa
diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita
kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
b. Banyak kencing ( Poliuri)
36
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak
kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat
mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.
c. Banyak minum (polydipsi)
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar
melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab
rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk
menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.
c. Banyak makan (polyphagia)
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa
dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa
lapar.
E. Diagnosa Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai (Shahab,2006).
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu
faktor risiko untuk DM, yaitu:
1. Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2. Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmhg)
4. Riwayat keluarga DM
5. Riwayat kehamilan dengan bb lahir bayi > 4000 gram
6. Riwayat dm pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah
puasa terganggu)
37
Tabel 1.
Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥200
Darah Kapiler < 90 90 - 199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126
Darah Kapiler
< 90 90 - 109 ≥110
b. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria,
serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan
glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga
digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan
khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa
oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1985
1. 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
2. Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Kadar glukosa darah puasa diperiksa
38
5. Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam air 250
ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama
pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti tidak
ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO**
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut,
seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik
F. Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Adapun Faktor resikonya yaitu (Rakhmadany, 2010):
Unchangeable Risk Factor
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes
mellitus, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat
menghasilkan insulin dengan baik.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis
menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah
seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun pada
mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi
terhadap insulin.
Changeable risk factor
39
1. Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang manis-
manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak.
Serotonin ini memiliki efek penenang sementara untuk meredakan stress,
tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang beresiko
terkena diabetes mellitus.
2. Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan keduanya meningkatkan resiko
terkena diabetes mellitus. Kurang gizi (malnutrisi) dapat merusak pankreas,
sedangkan berat badan lebih (obesitas) mengakibatkan gangguan kerja
insulin ( resistensi insulin).
3. Minimnya Aktivitas Fisik
Setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan mengeluarkan tenaga
dan energi, yang biasa dilakukan atau aktivitas sehari-hari sesuai profesi atau
pekerjaan. Sedangkan faktor resiko penderita DM adalah mereka yang
memiliki aktivitas minim, sehingga pengeluaran tenaga dan energi hanya
sedikit.
4. Obesitas
80% dari penderita NIDDM adalah Obesitas/gemuk.
5. Merokok
Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis 25 kajian yang
menyelidiki hubungan antara merokok dan diabetes yang disiarkan antara
1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta yang ditelusuri selama 30
tahun. Mereka mendapati resiko bahkan lebih tinggi bagi perokok berat.
Mereka yang menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki
resiko terserang diabetes 62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
tidak merokok. Merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap
insulin, kata para peneliti tersebut. Itu berarti merokok dapat mencampuri
cara tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin biasanya
mengawali terbentuknya Diabetes tipe 2.
6. Hipertensi
40
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan dengan
resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan
konsekuensi metabolik yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas
metabolik berhubungan dengan peningkatan diabetes mellitus pada kelainan
fungsi tubuh/ disfungsi endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa
substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur fungsi pembuluh darah.
PENANGGULANGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2
A. Strategi Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2
Adapun stategi penanggulangannnya sebagai berikut (Moh Joeharno,2009):
1. Primordial prevention
Primordial prevention merupakan upaya untuk mencegah terjadinya risiko
atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap
penyakit secara umum. Pada upaya penanggulangan DM, upaya pencegahan
yang sifatnya primordial adalah :
a. Intervensi terhadap pola makan dengan tetap mempertahankan pola
makan masyarakat yang masih tradisional dengan tidak membudayakan
pola makan cepat saji yang tinggi lemak,
b. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis
c. Intervensi terhadap aktifitas fisik dengan mempertahankan kegiatan-
kegiatan masyarakat sehubungan dengan aktivitas fisik berupa olahraga
teratur (lebih mengarahkan kepada masyarakat kerja) dimana kegiatan-
kegiatan masyarakat yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan
berkebun sekalipun dalam lingkup kecil namun dapat bermanfaat sebagai
sarana olahraga fisik.
d. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat
2. Health promotion
Health promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi kepada
masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada upaya
pencegahan DM, tindakan yang dapat dilakukan adalah :
41
a. Pemberian informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklsif kepada
masyarakat khususnya kaum perempuan untuk mencegah terjadinya
pemberian susu formula yang terlalu dini
b. Pemberian informasi akan pentingnya aktivitas olahraga rutin minimal
15 menit sehari
3. Spesific protection
Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan secara
dini kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada
beberapa penyakit biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian imunisasi
namun untuk perkembangan sekarang, diabetes mellitus dapat dilakukan
melalui :
a. Pemberian penetral radikal bebas seperti nikotinamid
b. Mengistirahatkan sel-beta melalui pengobatan insulin secara dini
c. Penghentian pemberian susu formula pada masa neonatus dan bayi sejak
dini
d. Pemberian imunosupresi atau imunomodulasi
4. Early diagnosis and promp treatment
Early diagnosis and prompt treatmen dilakukan sehubungan dengan upaya
pendeteksian secara dini terhadap individu yang nantinya mengalami DM
dimasa mendatang sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan sedini
mungkin untuk mencegah semakin berkembangnya risiko terhadap
timbulnya penyakit tersebut. Upaya sehubungan dengan early diagnosis pada
DM adalah dengan melakukan :
a. Melakukan skrining DM di masyarakat
b. Melakukan survei tentang pola konsumsi makanan di tingkat keluarga
pada kelompok masyarakat
5. Disability limitation
Disability limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah
dampak lebih besar yang diakibatkan oleh DM yang ditujukan kepada
42
seorang yang telah diangap sebagai penderita DM karena risiko
keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang dapat dilakukan adalah :
a. Pemberian insulin yang tepat waktu
b. Penanganan secara komprehensif oleh tenaga ahli medis di rumah
sakit
c. Perbaikan fasilitas-fasilitas pelayanan yang lebih baik
6. Rehabilitation
Rehabilitation ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan kembali
pada individu yang telah mengalami sakit. Pada penderita DM, upaya
rehabilitasi yang dapat dilakukan adalah :
a. Pengaturan diet makanan sehari-hari yang rendah lemak dan
pengkonsumsian makanan karbohidrat tinggi yang alami
b. Pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur dengan melaksanakan
pemeriksaan laboratorium komplit minimal sekali sebulan
c. Penghindaran atau penggunaan secara bijaksana terhadap obat-obat
yang diabetagonik
2. OBAT ANTI DIABETES
1. Golongan Sulfonilurea
Dikenal dua generasi sulfonilures, generasi 1 terdiri dari tolbutamid,
tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi dua yang potensi
hipoglikemik lebih besar antara lain adalah gliburid, glipizid gliklazid dan
glimepirid.
Mekanisme kerja
Sering disebut insulin secretagogues, kerjanya merangsang sekresi insulin
dari granul-granul sel beta langerhans pancreas. Rangsangannya melalui
interaksinya dengan ATP-sensitive K Channel pada membrane sel-sel β
yang menimbulkan depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka
kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca akan masuk ke sel β,
merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin
43
dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptide-C. Selain itu, sulfonylurea
dapat mengurangi klirens insulin di hepar. 1
Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan
hipoglikemia.
Farmakokinetik
Absorbsi ke saluran cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan
hiperglikemia dapat mengurangi absorbs, karena itu akan lebih efektif bila
diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma 90% terikat protein
plasma terutama albumin. Ikatan ini paling kecil untuk klorpropamid dan
paling besar untuk gliburid.
Masa paruh asetoheksamid pendek tetapi metabolit aktifnya, 1-
hidroksiheksamid masa paruhnya lebih panjang, sekitar 4-5 jam, sama
dengan tolbutamid dan tolazamid. Sebaiknya sediaan ini diberikan dalam
dosis terbagi. Sekitar 10 % metabolitnya dieksresi melalui empedu dan
keluar bersama tinja.
Klorpropamid dalam darah terikat albumin, masa paruhnya panjang, 24-48
jam. Efeknya masih terlihat beberapa hari setelah obat dihentikan.
Metabolismenya di hepar tidak lengkap, 20 % diekskresi utuh di urin.
Mula kerja tolbutamid cepat, masa paruhnya sekitar 4-7 jam. Dalam darah 96
% tolbutamid terikat protein plasma dan di hepar diubah menjadi
karboksitolbutamid. Ekskresinya melalui ginjal.
Tolazamid absorbsinya lebih lambat dari yang lain. Efeknya dalam glukosa
darah belum nyata untuk beberapa jam setelah obat diberikan. Masa paruh
sekitar 7 jam. 1
Sulfonilurea generasi II umumnya potensi hipoglikemiknya 100x lebih besar
dari generasi I. Meski masa paruhnya pendek, yaitu 3-5 jam, efek
hipoglikemiknya berlangsung 12-24 jam. Cukup diberikan 1x sehari.
Glipizid, absorbsinya lengkap, masa paruh 3-4 jam. Dalam darah 98% terikat
protein plasma, potensinya 100x lebih kuat dari tolbutamid, tetapi efek
hipoglikemik maksimalnya mirip dengan sulfonylurea lain. Metabolismenya
di hepar menjadi metabolit tidak aktif, 10 % diekskresi melalui ginjal dalam
keadaan utuh.
44
Gliburid (glibenklamid), potensi 200x lebih besar dari tolbutamid, masa
paruhnya sekitar 4 jam. Metabolismenya di hepar. Pada pemberian dosis
tunggal hanya 25 % metabolitnya diekskresi melalui urin, sisanya melalui
empedu. PAda penggunaan dapat terjadi kegagalan primer dan sekunder,
dengan seluruh kegagalan kira-kira 21% selama 1 ½ tahun.
Karena semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui
ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar
atau ginjal yang berat.
Efek samping
Insidens efek samping generasi I adalah 4 % dan lebih rendah lagi untuk
genarasi II. Dapat timbul hipoglikemia hingga koma. Reaksi ini lebih sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal,
terutama yang menggunakan sediaan dengan masa kerja panjang.
Efek samping lain yaitu mual, muntah, diare, gejala hematologic, ssp, mata,
dsb. Gangguan saluran cerna tersebut dapat berkurang dengan mengurangi
dosis, menelan obat bersama dengan makanan atau membagi obat dalam
beberapa dosis. Gejala ssp berupa vertigo, bingung, ataksia, dsb. Gejala
hematologic seperti leucopenia, agranulositosis. Efek samping lain yaitu
hipotiroidisme, ikterus obstruktif, yang bersifat sementara dan lebih sering
timbul akibat klorpropamid.
Kecenderungan hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh mekanisme
kompensasi berkurang dan asupan makanan yang cenderung kurang. Selain
itu hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahan
tanpa tanda akut dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai koma.
Penurunan kecepatan ekskresi klorpropamid dapat meningkatkan
hipoglikemia.
Indikasi
Pada umumnya hasil yang baik diperoleh pada pasien yang diabetesnya
mulai timbul pada usia diatas 40 tahun. Selama terapi pemeriksaan fisik dan
laboratorium harus dilakukan secara teratur.
45
Interaksi
Obat yang dapat meningkatkan resiko hipoglikemia saat penggunaan
sulfonylurea adalah insulin, alcohol, fenformin, kloramfenikol, anabolic
steroid, fenfluramin dan klofibrat.
2. Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme
kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda.
Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-
independent di sel β pankreas.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam
waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali
sehari, sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak
aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi
hepar atau ginjal harus diberikan secara berhati-hati. Efek samping utamanya
hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
3. Biguanid
Dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanid yakni fenformin, buformin dan
metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering
menyebabkan asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah
metformin.
Mekanisme kerja: biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu
antihiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya
tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa
dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap
insulin. Preparat ini tak mempunyai efek yang berarti pada sekresi glukagon,
kortisol, hormone pertumbuhan, dan somatostatin.
Biguanid tidak merangsang maupun menghambat perubahan glukosa menjadi
lemak. Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat
badan dengan mekanisme yang masih belum jelas pada orang nondiabetik yang
gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa darah.
46
Metformin oral akan mengalami absorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat
protein plasma, ekskresinya melalui urine dalam keadaan utuh. Masa paruhnya
sekitar 2 jam.
Dosis awal 2 x 500 mg, umumnya dosis pemeliharaan 3 x 500 mg , dosis
maksimal 2,5 gram. Obat diminum pada waktu makan. Pasien DM yang tidak
memberikan respon dengan sulfonilurea dapat diatasi dengan metformin, atau
dapat pula diberikan sebagai terapi kombinasi dengan insulin atau sulfonilurea.
Efek samping : hampir 20% pasien dengan metformin mengalami mual,
muntah, diare serta kecap logam(metalic taste). Pada beberapa pasien yang
mutlak bergantung pada insulin eksogen, kadang-kadang biguanida
menimbulkan ketosis yang tak disertai dengan hiperglikemia. Hal ini harus
dibedakan dengan ketosis karena defisiensi insulin.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovaskular,
pemberian biguanid dapat menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam
darah, sehingga hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan
tubuh.
4. Golongan Tiazolidinedion
Mekanisme kerja dan efek metabolic
Telah diterangkan diatas, insulin merangsang pembentukan dan translokasi
GLUT ke membrane sel organ perifer. Ini terjadi karena insulin merangsang
Peroxisome proliferators-activated reseptor-γ (PPARγ) di inti sel dan
mengaktivasi insulin-responsive genes, gen yang berperan dalam metabolism
karbohidrat dan lemak. PPARγ terdapat di target insulin, yakni di jaringan
adipose, pankreas, hepar, keberadaannya di otot skelet masih meragukan.
Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPARγ membentuk
kompleks PPARγ-RXR dan terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adipose
PPARγ mengurangi keluarnya asam lemak ke otot, dan karenanya dapat
mengurangi resistensi insulin.
Efek samping antara lain, peningkatkan berat badan , edema, menambah volume
plasma dan memperburuk gagal jantung kongesif. Edema sering terjadi pada
penggunaannya bersama insulin. Kecuali heap, tidak dianjurkan pada gagal
ginjal kelas 3 dan 4 menurut New York Heart Association. Hipoglikemia pada
penggunaan monoterapi jarang terjadi.
47
5. Penghambat Enzim α-glikosidase
Obat golongan penghambat enzim α-glikosidase ini dapat memperlambat
absorpsi polisakarida (starch), dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan
menghambat kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat
mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM.
Karena kerjanya tak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan
menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai
monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat
tinggi. Di klinik sering digunakan bersama antidiabetik oral lain dan / atau
insulin.
Obat golongan ini diberikan pada waktu mulai makan, dan absorpsi buruk.
Efek samping yang bersifat dose-dependent, antara lain malabsorpsi, flatulen,
diare, dan abdominal bloating. Untuk mengurangi efek samping ini sebaiknya
dosis dititrasi, mulai dosis awal 25 mg pada saat mulai makan untuk selama 4-8
minggu, kemudian secara bertahap ditingkatkan setiap 4-8 minggu sampai dosis
maksimal 75 mg setiap tepat sebelum makan. Dosis yang lebih kecil dapat
diberikan dengan makanan kecil(snack).
Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat,
mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila
akarbose diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan
menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada
pemberian sukrose, polisakarida, atau maltosa.
3. SYOK HIPOGLIKEMIA
DEFINISI
Konsentrasi glukosa darah yang berkurang secara abnormal (sewaktu: 75-115
gr/dl). Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah batas
normal. Hipoglikemia dianggap telah terjadi bila kadar glukosa darah < 50 mg/ dL
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada diabetes
melitus, terutama karena terapi insulin. Harus ditekankan bahwa serangan
hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang
lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian.
48
KLASIFIKASI
Berdasarkan durasi timbulnya :
-Hipoglikemia akut Penurunan cepat glukosa plasma sampai kadar rendah.
-Hipoglikemia kronis Penurunan relatif lambat glukosa plasma di sebabkan
turunnya produksi glukosa hati sebagai respon terhadap hiperinsulinemia
1. Ringan, Simtomatik dapat di atasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari0hari
yang nyata.
2. Sedang, Simtoimatik dapat di atasi sendiri menimbulkan gangguan aktivitas sehari-
hari yang nyata.
3. Berat. Sering (tidak selalu) tidak simtomatik karena gangguan kognitif pasien tidak
dapat mengatasi sendiri.
ETIOLOGI
Hipoglikemia pada (DM) dapat ditemukan pada penderita yang mendapat
pengobatan insulin atau penderita yang mendapat obat hipoglikemia oral (tablet).
Pada umumnya lebih sering ditemukan pada penderita DM yang mendapat insulin.
Terjadinya hipoglikemia pada penderita ini adalah akibat pemberian dosis obat
yang melebihi dari yang semestinya dengan kata lain dosis yang diberikan terlalu
besar, atau penderita melakukan kegiatan dan aktifitas fisik yang berlebihan, atau
penderita kurang makan sedangkan pemberian dosis obat yang diberikan tidak
diturunkan.
Pada umumnya timbulnya hipoglikemia sering ditemukan pada saat sebelum
makan siang dan malam hari. Hal ini disebabkan karena penderita terlambat makan
siang (karbohidrat yang dimakan tidak mencukupi). Aktifitas fisik yang berlebihan,
dosis insulin yang berlebihan, perubahan jenis suntikan insulin dari insulin
babi/sapi ke insulin murni tanpa menurunkan dosis insulin, semuanya dapat
mempercepat timbulnya hipoglikemia. Beberapa keadaan tersebut di bawah ini
dapat mempermudah penderita DM masuk ke dalam hipoglikemia:
1. Kerja insulin akan lebih lama bila pada penderita yang mendapat insulin juga
mendapat obat-obat seperti, propranolol, oxytetracycline, ethylene diamino tetra
acetic acid (EDTA).
49
2. Penderita dengan insufisiensi ginjal atau gagal ginjal mempunyai
kecenderungan untuk mengalami hipoglikemia akibat gangguan inaktifasi
insulin oleh ginjal.
3. Adanya hipoglikemia sering juga ditemukan pada penderita DM usia lanjut
yang mendapat tablet golongan sulfonilurea yang kerjanya lama seperti,
chlorpropamide (Diabinese) atau acetohexamide oleh karena kerjanya yang
lama merangsang sel beta, sehingga sekresi insulin dapat berlangsung lama.
Pada orang tua sering disertai dengan gangguan faal ginjal, sehingga walaupun
obat hipoglikemia oral sudah dihentikan masih dapat timbul ulangan
hipoglikemia karena kerja obat ini yang lama. Pada penderita usia lanjut
mungkin produksi glukosa oleh hati berkurang sehingga timbul suatu keadaan
hipoglikemia
PATOFISIOLOGI
Mekanisme respon hipoglikemia pada awalnya, tubuh secara otomatis
memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan melepaskan
epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin
akan merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabkan
gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan,
gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar).
Seperti sebagian besar jaringan lainnya, matabolisme otak terutama bergantung
pada glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas,
otak dapat memperoleh glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu
dipakai dalam beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak,
otak sangat tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke
dalam jaringan interstitial dalam system saraf pusat dan saraf-saraf di dalam
system saraf tersebut.
Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang disuplai oleh darah menurun, maka
akan mempengaruhi juga kerja otak. Pada kebanyakan kasus, penurunan mental
seseorang telah dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65
mg/dl (3.6 mM). Saat kadar glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl
(0.55 mM), sebagian besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat
menghasilkan koma.
50
Secara umum, hipogklikemia dapat dikategorikan sebagai yang berhubungan
dengan obat dan yang tidak berhubungan dengan obat. Sebagian besar kasus
hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan berhubungan dengan obat.
Hipoglikemia yang tidak berhubungan dengan obat lebih jauh dapat
dibagi lagi menjadi:
Hipoglikemia karena puasa, dimana hipoglikemia terjadi setelah berpuasa
Hipoglikemia reaktif, dimana hipoglikemia terjadi sebagai reaksi terhadap
makan, biasanya karbohidrat.
Hipoglikemia paling sering terjadi disebabkan oleh insulin atau obat lain
(sulfonilurea) yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar
gula darahnya. Jika dosis obat ini lebih tinggi dari makanan yang dimakan maka
obat ini bisa bereaksi menurunkan kadar gula darah terlalu banyak.
Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia berat. Hal
ini terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak membentuk glukagon secara
normal dan kelanjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal.
Padahal kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi
kadar gula darah yang rendah.
Pentamidin yang digunakan untuk mengobati pneumonia akibat AIDS juga bisa
menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia kadang terjadi pada penderita kelainan
psikis yang secara diam-diam menggunakan insulin atau oba hipoglikemik untuk
dirinya.
Pemakaian alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu yang lama
bisa menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat sehingga menyebabkan stupor.
Olah raga berat dalam waktu yang lama pada orang yang sehat jarang
menyebabkan hipoglikemia.
Puasa yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia, hanya jika terdapat penyakit
lain (terutama penyakit kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal) atau
mengkonsumsi sejumlah besar alkohol. Cadangan karbohidrat di hati bisa
menurun secara perlahan sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan kadar gula
darah yang adekuat. Pada orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam
berpuasa bisa menyebabkan hipoglikemia. Bayi dan anak-anak yang memiliki
kelainan sistem enzim hati yang memetabolisir gula bisa mengalami hipoglikemia
diantara jam-jam makannya.
51
Seseorang yang telah menjalani pembedahan lambung bisa mengalami
hipoglikemia diantara jam-jam makannya (hipoglikemia alimenter, salah satu
jenis hipoglikemia reaktif). Hipoglikemia terjadi karena gula sangat cepat diserap
sehingga merangsang pembentukan insulin yang berlebihan. Kadar insulin yang
tinggi menyebabkan penurunan kadar gula darah yang cepat.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala hipoglikemi terdiri dari 2 fase, yaitu
1. Fase 1, gejala-gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga
hormon epinefrin dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena
pada saat itu pasien masih sadar sehingga dapat diambil tindakan yang perlu
untuk mengatasi hipoglikemi lanjut.
2. Fase 2, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak,
sehingga dinamakan gejala neurologis.
Gejala dan tanda hipoglikemia :
1. Gejala karena efek hipoglikemi pada saraf otonom
a. Banyak keringat walaupun udara dingin atau berkeringat dingin
b. Timbul rasa lapar
b. Parestesia pada bibir dan jari
c. Pucat
d. Palpitasi
e. Tremor
2. Gejala karena efek hipoglikemik pada sistem saraf pusat
a. Penglihatan kabur dan diplopia
b. Sakit kepala
c. Gerakan-gerakan yang bersifat spastik
d. Sering menguap
3. Perubahan psikis karena hipoglikemia
a. Depresi dan iritabel
b. Sering mengantuk tapi tidak dapat tidur pada malam hari
c. Tidak mampu konsentrasi
4. Gejala karena efek hipoglikemi pada sistem muskular
Rasa lemah dan mudah capai selama mengerjakan kegiatan fisik
52
FAKTOR RISIKO
Kelebihan insulin merupakan determinan utama resiko hipoglikemia
iatrogenik. Kelebihan insulin relatife atau absolute dapat terjadi jika :
a. dosis insulin atau obat oral lain berlebih, atau salah jenis obat
b. influx glukosa eksogen dikurangi (puasa 24 jam atau jika telat makan)
c. penggunaan glukosa tergantung insulin meningkat ( saat olahraga)
d. sensitifitas insulin meningkat (terapi insulin intensif, saat malam hari,
setelah olahraga).
e. Produksi glukosa endogen berkurang (konsumsi alkohol)
f. klirens insulin berkurang (pada gagal ginjal)
PENATALAKSANAAN
1. Peningkatan glukosa darah di arahkan ke kadar glukosa puasa, yaitu 120
mg/dl
2. Satu flakon (25 ml) dekstrosa 40% (10 g dekstrosa) dapat menaikkan
kadar glukosa 25-50 mg/
3. Petunjuk praktis rumus pemberian terapi adalah 3-2-1
Kadar glukosa
mg/dl
Terapi Glukosa 1 flakon (25 ml) 40 %
(10 g), menaikkan kadar
glukosa 25-50 mg/dl
< 30 mg/dl Inj. Iv dekstrosa 40%,
bolus 3 flakon
Rumus – 3
30 – 60 mg/dl Inj. Iv dekstrosa 40%,
bolus 2 flakon
Rumus – 2
60-100 mg/dl Inj. Iv dekstrosa 40%,
bolus 1 flakon
Rumus – 1
4. INSULIN DAN REGULASI GLUKOSA
Kelenjar Pankreas
Kelenjar prankeas dinamakan juga kelenjar Langerhans atau pulau Langerhans.
53
Pulau Langerhans merupakan sekelompok kecil yang tersebar di seluruh pankreas.
Sel-sel pulau Langerhans tak terkait dengan saluran pembawa getah pankreas yang
menuju duodenum. Sekresi yang dihasilkan dari kelenjar Langerhans yakni
hormone insulin, sebuah hormon berbentuk protein yang ditemukan oleh Dr.
Frederick Banting pada tahun 1922. Hormon insulin berperan saat proses
pengubahan gula darah (glukosa) menjadi gula otot (glikogen) di dalam hati.
Sehingga, oleh hormon tersebut, kadar gula darah menjadi turun. Kekurangan
hormon insulin pada seseorang dapat menyebabkan penyakit diabetes melitus atau
penyakit kencing manis yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa dalam
darah. Kelebihan glukosa tersebut dikeluarkan bersama urin. Tanda-tanda diabetes
melitus,yaitu sering mengeluarkan urin dalam jumlah banyak, sering merasa haus
dan lapar, serta badan terasa lemas.
Selain hormon insulin, kelenjar Langerhans juga memproduksi hormon guklagon.
Hormon guklagon hormon yang berperan dalam mengubah glikogen menjadi
glukosa.
Hormon insulin dan glukagon bekerja secara berlawanan untuk mengatur kadar
glukosa. Bila kadar glukosa dalam darah tinggi, pankreas akan mensekresikan
hormon insulin. Insulin merangsang hati untuk menyerap glukosa dan
mengubahnya menjadi glikogen. Sebaliknya, jika kadar glukosa dalam darah
menurun, hormon glukagon akan mengubah glikogen menjadi glukosa.
Hormon Insulin
Insulin adalah polipeptida dengan BM kira-kira 6000. Polipeptida ini terdiri dari 51
asam amino tersusun dalam 2 rantai; rantai A yang terdiri dari 21 asam amino dan
rantai B terdiri dari 30 asam amino. Antara rantai A dan B terdapat 2 jembatan
disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan B-19 dengan A-20. Selain itu masih
terdapat jembatan disulfida antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai A.
Insulin disintesis oleh sel b pulau Langerhans. Insulin dibentuk dari proinsulin.
Proinsulin disintesis dalam elemen poliribosom retikulum endoplasmik sel β
pankreas. Prohormon tersebut ditransfer ke retikulum endoplasmik dan kemudian
ke badan Golgi. Di tempat terakhir ini terjadi perubahan proinsulin menjadi insulin.
Granula yang mengandung insulin, proinsulin (sedikit) dan peptida—C kemudian
melepaskan diri dari aparatus Golgi.
54
A. Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam
darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara
fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone
glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon
insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,
preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang
kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel
tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai
menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara
normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi
glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan
komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi
insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat
pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai
bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah
adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum
sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya
rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati
membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan
senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang
terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa.
Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel
jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati
membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul
glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk
55
Glucose signaling
Glucose
GLUT-2
Glucose
Glucose-6-phosphate
ATP
Depolarization of
membrane
K+ channel shut
Ca2+ Channel Opens
Insulin + C peptide
Cleavage enzymes
Proinsulin
preproinsulin Preproinsuli
n Insulin Synthesisβ cell
K+ ↑↑
Gambar.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasiGlukosa ( Kramer,1995 )
Dinamika sekresi insulin
Insulin Release
tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran
sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang
menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian
oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya
ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini
dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan
belum seutuhnya dapat dijelaskan (Gambar 1).
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak
hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel,
tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun
senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja
pada reseptor tersendiri, tidak Pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang
disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta.
B. Dinamika Sekresi Insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan
tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk
biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan
terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau
56
minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah
agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara
sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal,
sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi
insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat
dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang
relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar
glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR
yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal
karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa
darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan
untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara
fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial
(postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk
hiperinsulinemia kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained
phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan
dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas
pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi
insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya
(secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di
akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi
fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan
sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya
dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial)
tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2
sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1.
57
Insu
lin
Sec
reti
on
Intravenous glucose stimulation
First-Phase
SecondPhase
IGT
Normal
Type 2DM
Basal
Pada gambar di atas (Gambar. 2) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada
keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu (Impaired Glucose Tolerance =
IGT), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin
yang juga normal di jaringan (tanpa resistensi insulin), sekresi fase 2 juga akan
berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan (ekstra) sintesis
maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan
keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang memang ideal karena
tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak
glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.
C. Aksi Insulin
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam
tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya
dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada
otot, lemak, dan hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada
membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan
semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa
58
0 5 10 15 20 25 30 ( minute )
Gambar.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta (Ward, 84)
didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum
begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan
kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong
penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah
yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya
mengalami metabolism. Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal,
selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula
aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya
resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi
terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan
metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-
2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel
kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur
homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih
ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari
proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini
berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin.
Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon
tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi
tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan
semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.
59
1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi
glukosa meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi
membran, 6. kembali kesuasana semula.
Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan
perifer (Girard, 1995)
D. Efek Metabolisme dari Insulin
Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan
pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada
dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti
oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal
sebagai gejala diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis
diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan
oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin)
dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai
oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1),
gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada
dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak
sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan
dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah
hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah
segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor
etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini
bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak
ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak
berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan
abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang
normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk
peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau bila diperlukan secara
60
substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi
insulin (insulin sensitizer).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2
sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap
kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat
terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut
juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai
tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi
peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu
(TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban
larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO), berkisar
diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa
darah puasa antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah
Puasa Terganggu (GDPT).
Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes,
atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak
tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang
menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah
(glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung
jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif,
dan proses glikosilasi yang meluas.
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau
konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor
resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai
kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2,
meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia
masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular,
meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular
telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin
dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun
postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi
insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan
61
glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari
hepar.
Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan
oleh kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase
2, dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah
(hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya
respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau
pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat
progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut
pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai
jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin,
selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering
menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.
E. Glukosa
Glukosa adalah bahan bakar yang digunakan dalam kuantitas yang cukup
besar. Persediaan karbohidrat pada jaringan saraf sangat terbatas dan fungsi
normalnya tergantung pada suplai glukosa yang terus menerus. Ketika glukosa
plasma turun, gejala yang pertama muncul adalah palpitasi, berkeringat, dan gugup
karena perubahan saraf otonom. Ini terjadi pada tingkat glukosa darah yang sedikit
di bawah tingkat di mana aktivasi otonom pertama terjadi, karena threshold untuk
gejala sedikit di atas threshold untuk aktivasi awal. Pada kadar glukosa plasma
yang lebih rendah, neuroglycopenic symptoms mulai terjadi. Ini termasuk lapar,
confusion, dan kelainan kognitif lainnya. Pada kadar glukosa plasma yang jauh
lebih rendah, letargi, koma, konvulsi, dan bahkan kematian dapat terjadi. Pada
onset gejala hipoglikemia dibutuhkan terapi dengan glukosa atau minuman
mengandung glukosa. Meskipun hilangnya gejala secara dramatis adalah respon
yang umum, abnormalitas mulai dari berkurangnya intelektual hingga koma dapat
persisten jika hipoglikemia sangat parah atau berkepanjangan. Bila gangguan ini
tidak segera ditanggulangi, akan menimbulkan kerusakan sel-sel otak yang
irreversible yang menyebabkan kematian.
62
Tn. Romo, 63 TahunDM tipe 2, sejak 5 tahun
yang lalu
↑ sekresi insulin + belum makan pagi
Mendapat OAD (Glibenklamid 5 mg)
jangka lama
Hipoglikemik
Berkeringat Dingin
Vasodilatasi perifer, kompensasi
vasokonstrriksi
Epinefrin ↑
Merangsang hormon kontraregulasi
(Epinefrin)
Gangguan otak
Gejala neuroglikopenia
Koma, lemas
Rangsang sistem saraf parasimpatis
Volume darah ↑
Osmolaritas darah ↓
Hipovolemik
Hipotensi
Takikardia
Koma Hipoglikemik
VI. Kerangka Konsep
VII. Kesimpulan
Tn. romo 63 tahun menderita diaebtes melitus tipe 2 dengan komplikasi koma
hipoglikemik yang disebabkan karena penggunaan obat anti diabetik
(glibenklamid) yang tidak tepat.
63
VIII. Daftar Pustaka
Girard J. 1995. NIDDM and glucose transport in cells. In (Assan, R, ed) NIDDM
and glucose transport in cells. Molecular Endocrinology and Development
CNRS Meudon, France: 6 – 16
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Cryer, Philip E., 1997. Hypoglycemia: Pathophysiology, Diagnosis, and
Treatment. USA: Oxford University Press.
Aru W.Sudoyo, et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Greenspan, Francis S. 2000. Endokrinologi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. 2008. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
64